bab v pembahasan -...
TRANSCRIPT
46
BAB V
PEMBAHASAN
Proses interaksi yang terjadi pada para aktor, akan menghantarkan para
aktor kepada proses adaptasi. Seberapa sering para aktor berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya tentu akan mempengaruhi bagaimana perilaku para aktor.
Suranto (2010) mengatakan, melalui suatu proses belajar secara
berkesinambungan setiap manusia akan menganut suatu nilai yang diperoleh dari
lingkungannya. Nilai-nilai itu kemudian diadopsi dan diimplementasikan dalam
bentuk kebiasaan yaitu pola perilaku sehari-hari. Namun dalam proses adaptasi
tersebut tidak serta-merta akan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
para aktor. Dalam arti bahwa, dalam prosesnya harapan kita bisa saja dialnggar
dan menjadi sebuah pelanggaran harapan. Namun, pelanggaran harapan tersebut
bukan tentang sesuatu yang salah atau fatal atau sesuatu yang bernilai negatif.
Pelanggaran harapan juga dapat bernilai positif, tergantung bagaimana para aktor
yang adalah komunikator memberikan penilaian terhadap pelanggaran tersebut,
berikut akan dijelaskan bagaimana proses adaptasi yang terjadi pada para aktor,
pelanggaran harapan yang terjadi, hingga akan menghasilkan suatu pola adaptasi.
5.1 Adaptasi
Adaptasi merupakan suatu proses penyesuaian diri yang akan dilakukan
oleh setiap individu yang berada pada lingkungan barunya. Hal ini dilakukan
untuk mempertahankan diri demi kelangsungan hidup. Dalam proses penyesuaian
dapat berarti mengubah diri seseorang sesuai dengan lingkungan barunya atau
mengubah lingkungan sesuai dengan kemauan seseorang. Namun dalam beberapa
kasus adaptasi untuk mengubah lingkungan sesuai dengan apa yang diinginkan
seseorang sangat jarang ditemukan. Kebanyakan kasus adaptasi adalah bagaimana
seseorang berubah mengikuti lingkungan barunya. Begitu juga dengan aktor-aktor
dalam penelitian ini.
Sebelum masuk dalam tahap adaptasi yang sesungguhnya para aktor sudah
dibekali pengetahuan secara tidak langsung tentang daerah atau lingkungan
47
tempat mereka akan memulai sesuatu yang baru. Dalam hal ini para aktor yang
adalah mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, sudah diberi tahu
secara umum bagaimana kehidupan di Pulau Jawa, bagaimana penduduknya dan
seperti apa mereka misalnya, masyarakat di Jawa khususnya Salatiga adalah orang
yang ramah-ramah, sopan, lemah lembut, daerahnya dingin, dan lain sebagainya.
Hal-hal tersebut mereka dapatkan dari kerabat-kerabat mereka yang memang
sudah pernah merantau di daerah Jawa, ada juga yang belajar dari kehidupan
orang-orang rantau yang ada di daerah asal mereka.
5.1.1 Adaptasi Aktor dengan Lingkungan Tempat Tinggal
Dalam kehidupan baru para aktor sebagai anak rantau yang harus
menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Tentunya hal pertama yang harus
mereka kenali dan pelajari terlebih dahulu adalah tempat mereka tinggal sekarang
yaitu kos mereka. Jika dilihat dari daerah kos para aktor, A1 berada pada
lingkungan kos dimana pada daerah tersebut memang rata-rata adalah anak Papua
juga, yaitu daerah cemara. Namun untuk pemilihan kosnya, A1 tidak
mengharuskan untuk satu kos dengan anak-anak yang satu daerah juga. Pada kos
A1, hanya dirinya sendiri yang berasal dari daerah Papua, selebihnya dari daerah
Jawa dan ada juga yang berasal dari Medan.
A2 dan A3 tinggal di kosan yang berada di daerah Seruni. Di daerah
tersebut tergolong daerah campuran dari berbagai daerah. Kebetulan A2 dan A3
tinggal pada kos yang sama. Pada kos A2 dan A3 hanya terdapat mereka berdua
yang berasal dari daerah Papua, selebihnya ada anak Ambon, Toraja, dan Jawa.
A4 yang berasal dari suku Dayak, berada pada daerah kos yang
lingkungannya adalah penduduk setempat, yaitu di daerah Sumopuro Lor. Pada
kos Aktor IV rata-rata penghuninya adalah anak-anak dari daerah Jawa yang dekat
dengan Salatiga. Kos dari A4 pun merupakan kos 24 jam, sehingga memang
banyak anak-anak rantau sekitar Salatiga yang tinggal disitu dikarenakan mereka
yang sering pulang. A4 memilih kos di daerah tersebut dikarenakan waktu kosnya
yang 24 jam dan lingkungannya.
48
A5 dan A6 tinggal di daerah kos Margosari, dimana umumnya anak-anak
penghuni kos di daerah Margosari berasal dari daerah Timur. Memang ada juga
anak-anak yang berasal dari daerah Jawa, namun tidak sebanyak anak-anak dari
daerah Timur. Pada kos A5 dan A6 terdapat anak-anak yang berasal dari Kupang,
Kalimantan, dan Jawa. Di daerah Margosari juga merupakan daerah
perkampungan dimana keadaan sosial didalamnya bukan hanya antara anak kos
dan anak kos, tetapi juga antara anak kos dan penduduk sekitar.
Dilingkungan tempat tinggal para aktor yang rata-rata langsung
berinteraksi dengan penduduk lokal terlihat cukup baik. Beberapa pengalaman
para aktor yaitu ketika bertemu dengan penduduk lokal, para aktor akan
menunduk dan memberi salam. Padahal jika dilihat dari kebiasaan para aktor
khusunya yang bersal dari Dayak, ketika mereka bertemu dengan orang yang
lebih tua dari mereka, mereka hanya akan tersenyum atau menyapa selamat pagi,
selamat siang dna selamat sore. Dalam hal ini tinggal di daerah kosan yang
langsung berhadapan dengan penduduk lokal cukup mempengaruhi perilaku para
aktor dalam hal tata krama da sopan santun.
5.1.2 Adaptasi Para Aktor dengan Lingkungan Kampus
Beranjak dari adaptasi dengan lingkungan kos atau tempat tinggal para
aktor yang baru, lingkungan selanjutnya yang menjadi bagian terpenting bagi para
aktor adalah lingkungan pendidikan yang baru. Sebagai mahasiswa Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga yang di juluki Indonesia Mini, para aktor
tidak hanya bertemu dengan teman-teman yang berasal dari satu daerah yang
sama, namun beragam daerah dengan bahasa dan budaya yang berbeda. Hal
tersebut tentunya membuat para aktor harus bisa menyesuaikan diri mereka
dengan cara dan kekhasan mereka masing-masing. Kesan pertama yang tidak
pernah dilupakan oleh para aktor adalah saat-saat Orientasi Mahasiswa Baru
(OMB). Pada masa-masa OMBlah para aktor mulai berbaur dan mencari teman.
A1 dalam masa OMB bertemu dan berkenalan dengan teman-temannya
yang hingga kini tetap menjadi teman-teman dekatnya. Teman-teman dari A1
49
bukan berasal dari satu daerah yang sama, ada yang berasal dari Toraja, Ambon,
Solo, Bandung, Pati dan Salatiga. Hal ini diawali dengan berkenalan, berteman
dan sering pulang bersama. Pada A2 dan A3 pada masa OMB diakui tetap
membuka diri untuk teman-teman dari budaya lain, namun mereka lebih sering
dengan teman-teman yang satu daerah. A4 mengatakan bahwa ia tipe orang yang
cenderung pemalu untuk mengawali percakapan dengan orang lain, sehingga pada
awal-awal OMB, A4 cenderung individual. A5 berbeda lagi, pada awal mulai
OMB dia merasa kaget dan lucu ketika bertemu dengan orang-orang yang berbeda
budaya. Ia merasa terheran-heran dengan orang-orang yang dia lihat. Dalam hal
berteman, pada awalnya A5 tetap memulai percakapan dengan teman-teman yang
lainnya namun untuk dekat dengan orang-orang tertentu bagi pribadi A5 sendiri
masih belum bisa untuk terlalu cepat dekat dengan orang lain. sedangkan A6 juga
merupakan tipe orang yang bisa memulai percakapan atau interaksi dengan orang
lain namun untuk dekat dengan orang-orang tertentu, A6 merasa masih butuh
waktu untuk mengenal dan mencari teman yang cocok dengan dirinya. Seiring
berjalannya waktu, mau atau tidak mau para aktor tetap akan melakukan interaksi
dengan lingkungan dan teman-teman yang berbeda budaya.
5.2 Adaptasi Interaksi Verbal dan Nonverbal Aktor
Apa yang dialami oleh para aktor diatas merupakan awal mula para aktor
mengenal dan memulai interaksi dengan teman-teman yang berbeda daerah asal
dengan mereka. Dalam teori adaptasi interaksi, Joodie Burgoon, apa yang dialami
oleh para aktor merupakan hal yang alamiah. Seperti yang dijelaskan pada prinsip
kedua dalam teori ini adalah secara biologi terjadi tekanan-tekanan untuk
melakukan interaksi antar sesama dan sewaktu-waktu dapat memiliki kecocokan
satu dengan yang lain. Dalam hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa interaksi
merupakan hal yang tidak dapat dihindari karena interaksi terjadi akibat dorongan
biologis.
Dalam interaksi para aktor terkandung suatu kebutuhan, harapan, dan
keinginan didalamnya. Ketiga faktor tersebutlah yang akan mendukung proses
adaptasi para aktor. Kebutuhan, berhubungan dengan pembawaan secara biologis
50
akan kebutuhan untuk mendapatkan rasa nyaman, dan perlindungan. Harapan
berkaitan dengan sosiologis yang berasal dari norma sosial, norma budaya, tujuan
komunikasi, pengetahuan umum tentang perilaku lawan bicara. Keinginan,
berhubungan dengan pilihan dan tujuan dalam satu interaksi. Begitulah yang
dijelaskan pada teori adaptasi interaksi.
Tanpa adanya interaksi tentunya adaptasi juga tidak akan berjalan dengan
baik. Adaptasi didapatkan dari proses belajar dengan lingkungan sekitar
seseorang. Dalam proses belajar inilah, seluruh panca indera manusia difungsikan.
Ellingwort, mengemukakan bahwa setiap individu dianugrahi kemampuan untuk
beradaptasi antarpribadi. Oleh karena itu, maka setiap individu memiliki
kemampuan untuk menyaring manakah perilaku yang harus atau tidak harus
dilakukan (Liliwery, 2010 : 63). Perilaku tersebut dapat dilihat melalui verbal dan
nonverbal seseorang. Begitu juga para aktor dalam penelitian ini. Interaksi para
aktor dalam proses adaptasinya dapat dibagi menjadi adaptasi interaksi verbal dan
nonverbal.
5.2.1 Adaptasi Interaksi Verbal
Ketika berbicara tentang adaptasi interaksi secara verbal (lisan), berarti
berkaitan dengan apa yang dikatakan atau apa yang terungkap secara kata-kata
oleh seseorang dalam proses adaptasinya. Apa saja yang ia katakan atau ucapkan
dapat menunjukan seberapa jauh adaptasi yang dilakukan oleh seseorang.
Adaptasi yang terjadi dari proses interaksi para aktor dapat dilihat dari
perbendaharaan kata yang digunakan oleh para aktor, juga tentang vokal atau
intonasi pengucapan. Berdasarkan tabel 4.2, terlihat bahwa dalam interaksi para
aktor, banyak mengadopsi kata-kata yang berasal dari hasil interaksi dengan
teman-teman yang berasal dari daerah Jawa dan daerah timur Indonesia. Sadar
atau tidak sadar dengan siapa mereka berinteraksi mempengaruhi gaya bahasa
mereka. Dalam interaksi yang terjalin pun para aktor biasanya akan berusaha
untuk menyesuaikan kata-kata apa yang akan digunakan tergantung dengan siapa
mereka berkomunikasi. Dalam tulisannya Cai dan Rodriguez, tentang Adjusting to
51
Cultural Difference: The Intercultural Adaptation Model, dijelaskan bahwa
variasi komunikan akan mempengaruhi komunikator. Dalam arti bahwa ketika
ada komunikasi antara dua orang atau lebih yang memiliki latar belakang budaya
yang berbeda, para pelaku komunikasi ini akan berusaha untuk menyesuaikan
perilaku dan gaya bahasa mereka. Begitu juga yang dikatakan pada prinsip
pertama teori adaptasi interaksi, bahwa pada dasarnya orang-orang cenderung
untuk beradaptasi dan menyesuaikan pola interaksi mereka satu sama lain
Umumnya pada saat berkomunikasi, para aktor menggunakan bahasa
Indonesia. Apalagi bagi para aktor yang berasal dari daerah Papua. Mereka
memang pada dasarnya lebih sering menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa
Indonesia digunakan sebagai jembatan agar tercapainya satu pengertian dalam
komunikasi. Namun bukan berarti bahwa para aktor tidak pernah dengan spontan
menggunakan dialek asal mereka. ketika hal itu terjadi secara tiba-tiba, para aktor
dengan sadar akan meralat apa yang diakatakan sebelumnya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa variasi komunikan akan
mempengaruhi gaya bahasa komunikator, pada tabel 4.2 tentang kata-kata serapan
para aktor, menunjukan bahwa komunikan dari para aktor yang berasal dari Jawa,
Ambon, dan Kupang sangat mempengaruhi gaya bahasa mereka. Terkadang
dalam satu percakapan, para aktor tanpa sengaja menggabungkan kata-kata
tersebut. Seperti A1 ketika diwawancarai dan ditanya tentang bahasa sehari-hari
yang digunakan disini, A1 menjawab ‘papua tok’. Ada lagi A4 yang ketika
diwawancarai, ia beberapa kali menjawab dengan ‘nggak toh’.
Sedangkan pada intonasi atau pengucapan kata, para aktor belum
sepenuhnya mengikuti gaya ucap yang sebenarnya. Dalam hal ini, para aktor
menggunakan intonasi yang merupakan pembawaan dari daerah mereka atau
intonasi yang merupakan gabungan dari daerah lain. Seperti A1 dan A4 pada
contoh diatas, ketika mengucapkan ‘Papua tok’, A1 mengucapkannya dengan
datar dan tidak ada penekanannya. Sedangkan A4 ketika mengucapkan ‘nggak
toh’ intonasi yang keluar adalah intonasi daerah timur indonesia yang terkesan
naik dan melengking.
52
Dalam hal adaptasi interaksi verbal yang terjadi pada para aktor, dapat
disimpulkan bahwa secara verbal (lisan) dengan siapa para aktor berinteraksi
sangat mempengaruhi gaya bahasa yang digunakan oleh para aktor. Para aktor
juga akan menyesuikan gaya bahasa mereka ketika mereka berbicara dengan
teman-teman yang berbeda daerah asal dengan mereka.
5.2.2 Adaptasi Interaksi Nonverbal
Umumnya ketika seseorang mulai menginjakan kakinya didaerah yang
baru, ia akan cenderung untuk mencari dan mendekatkan diri dengan teman-teman
yang berasal dari daerah yang sama. Namun dalam tabel 4.1 terlihat bahwa
ternyata tidak semua aktor mengalami hal tersebut. Dalam interaksinya dengan
teman-teman yang berasal dari daerah yang sama, A1 dan A4 tidak tergolong
dalam kategori diatas. Kedua aktor ini cenderung untuk lebih dekat dengan teman-
teman yang berbeda daerah dengannya. Untuk itu pada tabel perilaku nonverbal
aktor dengan teman-teman yang satu daerah pada bagian jarak, kedua aktor ini ada
pada jarak 55-70cm dengan teman-teman satu daerahnya. Dan pada perilaku
nonverbal lainnya hanya sebatas perilaku-perilaku pada umumnya.
Pada tabel 4.3 dan 4.4, para aktor yang sering bersama dengan teman-
teman yang berasal dari satu daerah, lebih banyak memiliki variasi perilaku
nonverbal dibandingkan dengan para aktor yang lebih sering bersama dengan
teman-teman yang berbeda budaya. Hal yang paling jelas ada pada aspek
sentuhan. Dalam perilaku ini, para aktor lebih bisa melakukan sentuhan kapanpun
sesuai keinginan aktor. Dalam perilaku-perilaku kecil misalnya pada bagian
bercanda dan mengendalikan, hanya dengan satu pukulan pelan, komunikan dari
para aktor sudah dapat menangkap apa maksud dari perilaku aktor tersebut.
Seperti yang dijelaskan pada awal memasuki pembahasan bab ini, terdapat
sebuah contoh saat para aktor yang biasanya ketika bertemu dengan orang yang
lebih tua di daerah mereka, mereka hanya menyapa sambil mengucapkan selamat
pagi, selamat siang, dan selamat malam. Namun, ketika mereka ada di Salatiga
dengan lingkungan kos yang interaksinya langsung dnegan penduduk lokal,
53
perilaku tersebut berubah mengikuti tata krama orang setempat, yaitu menunduk
sambil memberikan salam.
Dalam proses adaptasi yang terjadi, perilaku para aktor merupakan
perilaku noverbal yang terjadi secara umum, atau perilaku yang biasanya
dilakukan setiap orang pada umumnya. Seperti menaikan alis, menggunakan
‘emm’, ‘hmm’ saat merespon, dan lain sebagainya. Lihat tabel 4.3 dan 4.4.
Dengan kata lain, perilaku yang ditunjukan oleh para aktor belum merupakan
perilaku adaptif, namun masih seputar kebiasaan.
5.3 Harapan dan Pelanggaran Harapan
5.3.1 Harapan
Harapan merupakan komponen yang penting ketika kita berbicara tentang
pelanggaran harapan. Harapan yang dimiliki seseorang sangat berpengaruh
terhadap evaluasi pelanggaran harapan yang terjadi. Begitu juga yang dialami oleh
para aktor. Dalam hal ini pula latar belakang budaya seseorang juga berpegaruh
terhadap harapan yang dimiliki. Pada gambar 2.1 tentang faktor-faktor harapan,
dijelaskan bahwa terdapat tiga faktor dalam harapan. Faktor pertama yaitu
komunikator, dimana dalam faktor ini lebih melihat karakterisik dari seorang
komunikator dari segi gender, umur, kepribadian, penampilan, daerah atau negara
asal. Faktor kedua yaitu hubungan, faktor ini merujuk pada hubungan atau relasi
atau konektivitas individu antara satu dengan yang lain dalam hal pengalaman
sebelumnya dengan lawan bicara, status, hubngan kekeluargaan, ketertarikan dan
rasa suka. Dan faktor yang terakhir yaitu faktor konteks, yang melihat mengenai
pengaturan dan tipe interaksi yang akan terjadi. Ketiga faktor tersebut turut
terlibat dalam interaksi yang terjadi antara para aktor dengan lingkungan
interaksinya.
Dalam interaksi para aktor dengan lingkungan sekitarnya, hal pertama
yang dilihat dan diperhatikan adalah dengan siapa mereka berbicara. Hal utama
yang sangat diperhatikan adalah faktor pertama, komunikator. Dari faktor inilah
para aktor akan mulai untuk mengembangkan hubungan dan konteks ketika
54
berinteraksi. A1, A2, A3, A5, dan A6 dalam harapannya dinilai cukupterbuka dan
tidak memilih-milih lawan interaksinya. Kelima aktor ini cukup terbuka ketika
berinteraksi dengan siapa saja. Oleh sebab iu untuk faktor hubungan dan konteks
dari kelima aktor ini akan cenderung lebih bervariasi. Berbeda lagi dengan A4,
dari pengalaman yang terjadi dibanding dengan aktor-aktor lain, A4 sangat
memperhatikan komunikannya dari segi gender. Secara pribadi A4 memiliki
pengalaman yang tidak mengenakan ketka berinteraksi dengan teman-temannya
yang perempuan, sehingga berpengaruh terhadap harapan yang dimilikinya. A4
merasa lebih nyaman ketika harus berinteraksi dengan lawan jenis. Ketika terjadi
interaksi antara A4 dengan teman yang sama-sama perempuan, A4 cukup
mengontrol pembicaraan yang terjadi dan tidak akan dengan mudah terbuka
dengan orang tersebut. Faktor ini juga sangat berpengaruh terhadap dua faktor
lainnya. Ketika A4 merasa aman dan nyaman, dalam hal faktor hubungan dan
konteks pula akan semakin berkembang, begitu pula sebaliknya.
Disisi lain berbicara tentang harapan, seperti yang telah dijelaskan pada
bab sebelumnya para aktor pada awal kedatangannya memang sudah dibekali
tentang pengetahuan dari pengalaman orang-orang terdekat tentang daerah Jawa
dan penduduknya. Hal ini pula berpengaruh terhadap pandangan dan harapan para
aktor. Para aktor secara umum memiliki harapan yang sama akan diterima pada
lingkungan barunya. Masyarakat Jawa yang ramah, sopan, halus, merupakan
penilaian awal mereka ketika mendengar cerita dan pengalaman dari kerabatnya.
dari sinilah harapan para aktor mulai berkembang seturut dengan pengalaman para
aktor. Namun pada kenyataannya tidak semua harapan yang dimiliki para aktor
berjalan sesuai, adakalanya apa yang terjadi tidak seperti apa yang diharapkan.
Ketidaksesuaian inilah yang disebut dengan pelanggaran harapan.
5.3.2 Pelanggaran Harapan
Prinsip keenam dalam teori adaptasi interaksi menyatakan, bahwa
meskipun orang atau individu memiliki tekanan biologis dan sosiologis untuk
beradaptasi satu sama lain, tingkat adaptasi yang strategis akan bervariasi
tergantung pada beberapa faktor seperti konsistensi kesadaran individu dari
55
dirinya sendiri atau dari orang lain. Dengan kata lain, konsistensi individu berasal
dari diri sendiri atau pun orang lain yang menunjukan ketertarikan dan ketetapan
dalam beradaptasi. Dalam alam sadar para aktor mereka akan menunjukan
perilaku adaptasi menurut cara mereka tergantung dari seberapa besar konsistensi
dalam diri mereka dan didukung oleh orang-orang disekitarnya.
Seperti apa yang telah dijelaskan diatas mengenai faktor konsistensi
individu dan orang lain yang memiliki pengaruh dalam adaptasi para aktor,
terlihat bagaimana faktor tersebut dapat memicu terjadinya pelanggaran harapan.
Pelanggaran harapan terjadi karena perilaku yang tidak biasa yang didapati oleh
pelaku komunikasi. Pada awal kedatangan para aktor di Salatiga, mereka memiliki
harapan yang sama yaitu dapat diterima dilingkungan barunya. Namun, jika
dilihat dari konsistensi individu dan orang lain yang mendukung dan tidak
mendukung, harapan tersebut bisa berubah menjadi suatu pelanggaran.
Dalam teori pelanggaran harapan Joodie Burgon, menjelaskan bahwa
pelanggaran harapan dapat bervalensi positif atau negatif tergantung dari penilain
komunikan terhadap komunikator, dan dari seberapa besar komunikator
memberikan penghargaan terhadap komunikannya. Dalam arti, walaupun
dikatakan pelanggaran yang secara denotasi berarti suatu hal yang negatif, hal
tersebut dapat menjadi sesuatu yang positif tergantung bagaimana para pelaku
komunikasi saling bekerjasama.
Dari penjelasan tentang konsistensi individu dan orang lain pada proses
adaptasi interaksi, dapat ditemukan bahwa pelanggaran harapan dapat terjadi
karena adanya faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal merupakan
lingkungan yang ada disekitar para aktor. Sedangkan faktor internal adalah pribadi
aktor itu sendiri. Dengan kata lain, pelanggaran harapan dapat terjadi jika kedua
faktor tersebut tidak bukan merupakan faktor pendukung satu dengan yang lain.
A1, dari sisi faktor eksternal yaitu lingkungan sekitar aktor baik di kampus
dengan teman-teman kampusnya, di kos, dan faktor internal yaitu pribadi aktor I
sendiri membuka diri dengan lingkungan barunya. Oleh sebab itu merupakan
56
faktor eksternal dan internal A1 merupakan faktor-faktor yang saling mendukung.
Dalam adaptasi A1, lingkungan dan teman-teman sekitarnya turut mempengaruhi
penyesuaian diri aktor. Dari segi interaksi A1 dengan lingkungan dan teman-
temannya yang berbeda daerah asal tidak membuat A1 merasa terasingkan. Denga
kata lain, lingkungan dan teman-temannya sama-sama menghargai dan
mendukung satu dengan yang lain. Bahasa yang mereka gunakan dalam interaksi
pun adalah bahasa Indonesia. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa aktor I
dan teman-temannya tidak menggunakan bahasa daerahnya. Tapi hal tersebut
bukan menjadi suatu masalah bagi mereka. Toleransi yang tinggi menjadi bekal
dalam adaptasi A1. Sehingga ketika terjadi pelanggaran harapan pada A1 dalam
adaptasinya, pelanggaran harapan tersebut dapat bermuatan positif karena adanya
saling pengertian diantara A1 dengan lingkungan sekitarnya.
A2, dari faktor eksternal tergolong cukup mendukung A2 dalam
beradaptasi. Namun dari faktor internal, pribadi A2 sendiri mendapat kesulitan
dalam menyesuaikan bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Faktor
eksternal dan internal yang ada pada A2 merupakan faktor yang tidak saling
mendukung. Sehingga pada keseharian A2, ia lebih sering terlihat dengan teman-
teman yang berasal dari satu daerah asal karena tidak sulit dalam berkomunikasi
dan lebih mudah. Sehingga dalam adaptasi A2, faktor eksternal dan internal dari
A2 merupakan faktor-faktor yang tidak saling mendukung. Namun, dalam
pelanggaran harapan yang terjadi antara A2 dengan lingkungannya, ditemukan
pelanggaran harapan yang bermuatan positif. Hal ini dikarenakan A3
menempatkan dirinya pada suatu pengertian dan memaklumi apa yang terjadi.
A3 juga memiliki dari faktor eksternal dan internal tidak berbeda jauh
dengan A2. A3 memiliki keinginan dari dalam diri untuk bisa membangun relasi
dengan teman-teman yang berbeda daerah dengannya. Namun dalam hal ini, A3
mendapat kesulitan dari untuk bisa menyesuikan bahasa yang digunakan ketika
berinteraksi dengan teman-teman yang berbeda daerah dengannya. Oleh sebab itu
faktor eksternal dan internal yang dimiliki A3 merupakan faktor-faktor yang tidak
saling mendukung. Dalam pelanggaran harapan yang terjadi, terdapat toleransi
57
dan pengertian dari A3 ketika mengahadapidan atau menanggapi teman-teman
sekitarnya, khususnya bagi teman-teman yang berbeda daerah. Oleh sebab itu,
pelanggaran harapan yang terjadi pada A3 bermuatan postif.
A4 dari faktor eksternal juga tergolong mendukung adaptasi A4. Namun
dari faktor internal, A4 memang membatasi dirinya dalam berinteraksi atau
berhubungan dengan orang lain. Dan jika itu berhubungan dengan daerah lain
yang memiliki budaya berbeda, A4 akan melihat terlebih dulu dan mulai memilah
dari segi ketertarikan A4 terharap budaya tersebut. Jika tertarik, A4 akan dengan
mudah bisa menerima dan beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Namun jika
tidak, ia lebih memilih untuk menjadi dirinya sendiri. Memang dalam faktor
internal, A4 cukup tertutup dan hati-hati. Bahasa Indonesia dipilihnya sebagai
pertahanan dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Oleh karena faktor eksternal
dan internal A4 tidak saling mendukung, ada kemungkinan jika pelanggaran
harapan terjadi merupakan pelanggaran harapan yang bermuatan negatif. Namun
hasil penelitian yang didapat, pelanggaran harapan pada A4 bermuatan positif. A4
juga membenarkan ketika apa yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang
diharapkannya, ia akan memilih untuk memaklumi dan mencoba untuk mengerti
serta memperbaiki kesalahannya.
A5 dari faktor eksternalnya tergolong kurang mendukung A5 dalam
beradaptasi. Dilihat dari pengalaman A5 ketika megerjakan tugas kelompok
dengan teman-temannya yang berasal dari Jawa, dimana dalam percakapan
kelompok mereka menggunakan bahasa Jawa. Dan ketika diminta untuk
menggunakan bahasa indonesia, teman-teman dari A5 menolak melakukannya.
Dari faktor internal, A5 tergolong membuka diri dengan lingkungan sekitarmya.
Didapati bahwa faktor internal dan eksternal dari A5 merupakan faktor-faktor
yang tidak saling mendukung. Namun pada kenyataannya dan pada pelanggaran
harapan yang terjadi, A5 memerima perlakukan teman-temannya tersebut dan
memaklumi apa yang dilakukan teman-temannya. Oleh sebab itu, pelanggaran
harapan yang terjadi pada A5 bermuatan positif.
58
A6 dari faktor eksternal juga tergolong mendukung A6 dalam beradaptasi.
Pada faktor internal, A6 cukup membuka diri dan menerima lingkungan barunya.
Berbeda dari A1 yang memang dari segi eksternal mendapat dukungan kuat
karena dukungan dari teman-teman baiknya, A6 mendapat dukungan dari orang-
orang yang tidak menentu dimana sewaktu-waktu hal tersebut dapat
mempengaruhi cara pandang A6 dalam beradaptasi. A6 memiliki faktor internal
dan internal yang saling mendukung. Oleh karena itu jika terjadi pelanggaran
harapan, pelanggaran harapan tersebut akan bermuatan positif. Karena secara
tidak langsng dari A6 sendiri ataupun lingkungan interaksinya sama-sama
memiliki kesadaran penuh tentang perbedaan budaya diantaranya.
Pelanggaran harapan dapat terjadi dari segi verbal dan nonverbal. Jika
dilihat dari kasus pada aktor dalam penelitian ini, pelanggaran harapan secara
verbal berada pada seputaran penggunaan bahasa saat interaksi yang diakibatkan
karena perbedaan budaya sehingga pemaknaannya juga akan berbeda. Dalam
adaptasi para aktor, pelanggaran harapan yang terjadi akan ditentukan pula dari
bagaimana respon secara nonverbal yang diberikan oleh lawan interaksi. jika
respon nonverbal yang diterima komunikator adalah respon postitif maka
pelanggaran harapan tersebut akan bernilai positif, begitu juga sebaliknya.
Dalam satu pengalaman ketika A1 sedang berbelanja di warung makan,
ia pernah mengalami kesulitan dalam menanggapi dan berperilaku ketika ternyata
uang kembalian yang diterimanya kurang. Tentunya A1 tidak pernah
mengaharapkan bahwa akan terjadi peristiwa seperti ini. Dalam obrolannya
dengan ibu penjual, ketika diberitahu bahwa kembaliannya kurang ibu tersebut
hanya menjawab ‘sek-sek’, kemudian A1 bertanya kembali tentang arti atau
maksud ucapan ibu tersebut namun ibunya hanya menjawab ‘mudeng ra’, jelas hal
itu membuat A1 semakin kebingungan, dengan merasa geli pada akhirnya A1
menerima uang kembalian yang sebenarnya, ibu warung makan pun
memberikannya dengan tertawa. Dalam harapannya aktor I ketika ia menginjakan
kaki di Salatiga, yang ia tahu bahwa orang-orang yang ada didalamnya akan
menggunakan bahasa Indonesia. Namun apa yang dialami oleh A1 dengan ibu
59
warung makan tersebut jelas menunjukan terjadinya pelanggaran harapan pada
A1. Akan tetapi, respon ‘tawa’ yang diberikan oleh ibu penjaga warung dan
perasaan geli pada A1 menunjukan pelanggaran harapan yang terjadi secara
positif. Komunikasi dua arah yang terjadi diantara keduanya sama-sama dianggap
sebagai sesuatu yang lucu.
Adalagi pengalaman dari A2 yang pada suatu ketika membeli usaha dana
(usda) berupa makanan dari temannya. Saat usdanya datang, temannya
mengatakan usdanya ‘nanti’ diantar. Berdasarkan pengalaman dari A2 dengan
kata ‘nanti’ berarti dalam jangka waktu yang lama, sedangkan tanpa ia ketahui
bahwa pada daerah bagian barat Indonesia kata ‘nanti’ berarti dalam waktu yang
cepat. A2 pun akhirnya tidur. Tanpa disadari temannya sudah menunggu dia di
luar cukup lama untuk mengantarkan usdanya. Ketika A2 tersadar dan melihat
hpnya ternyata sudah ada beberapa kali pesan dari temannya yang mengatakan
bahwa ia sudah diluar. Hal ini juga merupakan bentuk dari pelanggaran harapan,
akibat dari perbedaan budaya. Namun dalam kasus ini, komunikan dari A2
memaklumi dan memberikan respon postif terhadap A2, hingga pelanggaran
harapan yang terjadi pada A2 dapat dinilai sebagai pelanggaran harapan positif.
sedangkan A3 yang dalam interaksinya tanpa sengaja menggunakan salah
satu dialek daerah asal yaitu kata ‘tra’ ketika ia berbicara dengan temannya yang
berbeda daerah asal. Aktor V dalam interaksinya mendapatkan respon seperti
orang yang bingung. Hal tersebut juga termasuk dalam pelanggaran harapan yang
terjadi secara verbal. Namun, A3 memaklumi hal tersebut dan menjelaskan
dengan menggunakan bahasa Indonesia kepada temannya.
Pengalaman A5 tentang teman-teman kelompoknya yang berdiskusi
menggunakan bahasa Jawa juga merupakan suatu contoh pelanggaran harapan
yang terjadi pada sisi verbal. Namun pelanggaran harapan verbal tersebut
bermuatan positif, karena A5 merespon dengan mengindar dan memaklumi apa
yang terjadi pada dirinya dan menerima perlakukan teman-temannya sebagai
sesuatu yang wajar.
60
Pelanggaran harapan yang terjadi pada para aktor rata-rata bernilai
pelanggaran positif, karena adanya pemakluman dari komunikator terhadap
komunikan dan lingkungan sekitarnya. Oleh sebab itu, untuk menghindari
terjadinya pelanggaran harapan yang memicu muatan negatif para aktor
menggunakan bahasa Indonesia dalam interaksinya. Memang ada beberapa aktor
yang tanpa disengaja menggunakan bahasa daerah mereka, namun hal tersebut
bukanlah menjadi sebuah masalah karena kesadaran dari para aktor sendiri akan
lingkungannya dan respon para aktor yang langsung meralat ucapannya.
Pelanggaran harapan yang terjadi dari segi nonverbal juga dialami oleh
para aktor. Pada perilaku nonverbal yaitu jarak, memainkan peranan penting
dalam komunikasi manusia. Dimana intensitas taktil (sentuhan) terjadi karena kita
mempunyai harapan didalam ruang pribadi kita (Ruben dan Stewart.2013:192).
Atau dengan kata lain, kita akan merespon baik sentuhan atau gerakan saat
seseorang melanggar ruang pribadi kita. Pada tabel perilaku nonverbal 4.2 tertulis
bahwa dalam percakapan, jarak yang terjadi antara aktor dan teman-temannya
berada pada level jarak pribadi frase dekat atau sekitar 45-75cm. Itu berarti, jika
komunikan dari para aktor berada pada intensitas <45cm atau >75cm menandakan
telah terjadi pelanggaran harapan dalam interaksi.
Pelanggaran harapan nonverbal dari segi jarak, dialami oleh A4 dan A6.
A4 merupakan orang yang memang menjaga jarak antara dirinya dengan teman-
teman sekitarnya. Ketika bersama-sama dengan teman-teman kampusnya, ia akan
menggunakan jarak 45-75cm, namun ketika temannya mulai dirasa berada pada
jarak <45cm, A4 akan menghindar atau menggeser menjauhi temannya. Begitu
juga dengan A6 ketika ada teman perempuannya yang tiba-tiba datang
menghampirinya dan duduk di pangkuannya, A6 secara otomatis bereaksi
mendorong temannya tersebut dan mengusir temannya. Namun dengan ekspresi
yang tertawa namun menandakan perasaan risih karena perlakukan temannya.
Pada kasus ini, bukan hanya pelanggaran harapan jarak yang terjadi namun
pelanggaran harapan sentuhan juga termasuk didalamnya.
61
Dari proses adaptasi diatas dan pelanggaran harapan yang ikut terlibat
dalam proses adaptasi tersebut, dapat digambarkan suatu skema adaptasi
komunikasi dari para aktor secara umum. Skema adaptasi didapat dari proses-
proses interaksi yang terjadi pada para aktor. Berikut skema adaptasi para aktor :
Aktor
Lingkungandan
Teman-teman
Verbaldan
Nonverbal
Pelanggaran Harapan
(Positif-Negatif)
Adaptasi
Gambar 5.1 Skema Adaptasi Aktor
InteraksiInteraksi
Interaksi
62
Berdasarkan bagan diatas, dalam proses adaptasi para aktor dapat dibagi menjadi
empat tahap.
1. Tahap pertama adalah interaksi aktor dengan lingkungan dan teman-
temannya. Pada tahap ini, para aktor pertama kali mulai untuk
mempelajari keadaan sekitarnya.
2. Selanjutnya pada tahap kedua, dalam interaksinya terjadi pertukaran pesan
secara verbal dan nonverbal antara aktor dengan lingkungan sekitarnya.
Pada tahap ini, para aktor mulai untuk mencerna perilaku-perilaku yang
ada disekitarnya dan mulai memilah manakah perilaku yang harus
dilakukan dan yang tidak harus dilakukan.
3. Tahap selanjutnya adalah pelanggaran harapan. Pada tahap ini perilaku
yang telah disaring oleh para aktor akan menjadi acuan bagaimana para
aktor akan menghadapi lingkungannya. Dalam proses penyesuaian inilah,
pelanggaran harapan dapat terjadi jika apa yang menjadi harapan para
aktor telah dilanggar. Namun dalam kasus ini, pelanggaran harapan yang
terjadi pada para aktor merupakan pelanggaran harapan yang bermuatan
postif. Hal ini terjadi karena adanya pemakluman dan pengertian dari para
aktor terhadap lingkungan sekitarnya.
4. Tahap terakhir adalah tahap adaptasi. Pada tahap ini, pelanggaran harapan
yang bermuatan postif akan menghantarkan para aktor pada satu adaptasi
yang didasarkan pada pembelajaran para aktor dengan lingkungan
sekitarnya. Karena pelanggaran harapa yang positif, adaptasi yang
dihasilkan oleh para aktor akan menjadi adaptasi yang positif dan aktif.