bab v - ..:: learning by doing ::.. | "mencari … · web viewhasil penelitian yang terungkap...

35
BAB V PEMBAHASAN Hasil penelitian yang terungkap pada Bab IV dibahas berdasarkan kajian teoretis yang mendasari penelitian ini. Sesuai dengan masalah penelitian, pembahasan difokuskan pada aspek cara meningkatkan kemampuan membaca literal dan interpretatif kelas I SLTP Negeri 2 Malang. Berkenaan dengan itu, dalam pembahasan ini diungkapkan (1) hasil dan pembahasan penelitian dan (2) implikasi hasil penelitian terhadap pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya pada pembelajaran membaca pemahaman literal dan interpretatif, baik bagi guru maupun siswa. 5.1 Hasil dan Pembahasan Penelitian 5.1.1 Cara Meningkatkan Perencanaan Pembelajaran Membaca Pemahaman Literal dan Interpretatif melalui Pendekatan Konstruktivisme Sebelum pembelajaran membaca pemahaman berlangsung, perencanaan pengajaran dipandang penting karena dapat 104

Upload: dodung

Post on 07-May-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB V

PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang terungkap pada Bab IV dibahas berdasarkan kajian

teoretis yang mendasari penelitian ini. Sesuai dengan masalah penelitian, pembahasan

difokuskan pada aspek cara meningkatkan kemampuan membaca literal dan

interpretatif kelas I SLTP Negeri 2 Malang. Berkenaan dengan itu, dalam

pembahasan ini diungkapkan (1) hasil dan pembahasan penelitian dan (2) implikasi

hasil penelitian terhadap pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya pada

pembelajaran membaca pemahaman literal dan interpretatif, baik bagi guru maupun

siswa.

5.1 Hasil dan Pembahasan Penelitian

5.1.1 Cara Meningkatkan Perencanaan Pembelajaran Membaca Pemahaman

Literal dan Interpretatif melalui Pendekatan Konstruktivisme

Sebelum pembelajaran membaca pemahaman berlangsung, perencanaan

pengajaran dipandang penting karena dapat digunakan untuk meningkatkan

kemampuan membaca pemahaman literal dan interpretatif berdasarkan pendekatan

konstruktivisme. Berpedoman pada rancangan pembelajaran yang dirancang secara

kolaboratif, pembelajaran membaca yang dilaksanakan dapat terarah pada pencapaian

tujuan pembelajaran yang diinginkan. Dalam pemikiran Rubin (1993:428),

perencanaan pembelajaran yang dilakukan secara cermat sebelum pembelajaran

berlangsung merupakan langkah yang tepat karena dapat membantu pemusatan

104

konsentrasi siswa terhadap kegiatan yang akan dilaksanakan. Langkah itu juga dapat

berpengaruh terhadap kesuksesan belajar siswa. Berkenaan dengan itu, Taba dalam

Dubin dan Olshtain (1986:2) berpendapat bahwa ada tujuh langkah yang perlu

dipersiapkan dalam perencanaan pembelajaran, yakni (1) mendiagnosis sejumlah

kebutuhan, (2) memformulasikan tujuan, (3) memilih isi pengajaran, (4)

mengorganisasikan isi pengajaran, (5) menyeleksi pengalaman belajar, (6)

mengorganisasikan pengalaman belajar, dan (7) menemukan apa yang akan

dievaluasi dan apa alat-alat mengevaluasi yang digunakan. Di samping itu, menurut

Cox (1999:282), guru dalam membuat rencana pembelajaran membaca dapat memilih

bahan bacaan dengan kriteria yang disukai dan diperkirakan diperlukan bagi siswa,

serta mempunyai illustrasi yang baik.

Berkaitan dengan itu, berdasarkan hasil penelitian, perencanaan pembelajaran

yang telah disusun dalam tindakan pertama pada siklus ke-I dan ke-II sudah

mengalami peningkatan berdasarkan hasil evaluasi proses dan evaluasi hasil. Dalam

evaluasi proses dapat diketahui bahwa siswa kelompok rendah sudah berani

mengemukakan pendapat dengan bahasa sendiri. Sementara itu, siswa dari kelompok

sedang dan tinggi mengalami peningkatan kecepatan dan ketepatan dalam

menemukan jawaban, serta lebih berani mengemukakan pendapat dalam berdiskusi

(periksa halaman 95). Dalam evaluasi hasil dapat diketahui nilai pada siklus II lebih

tinggi daripada nilai pada siklus I (periksa halaman 99).

105

Secara riil, isi perencanaan pembelajaran membaca pemahaman yang telah

digunakan terdiri atas (1) tema pembelajaran, (2) tujuan pembelajaran khusus, (3)

teknik dan pengalaman belajar siswa dan guru berupa belajar mengajar (KBM), (4)

materi pembelajaran, (5) tersedianya lembar kerja siswa (LKS), dan (6) alat evaluasi

keberhasilan belajar. Jadi, rincian aspek dalam perencanaan pembelajaran itu sudah

sejalan dengan tuntutan teoretis yang relevan.

5.1.2 Cara Meningkatkan Pelaksanaan Pembelajaran Membaca Pemahaman

Literal dan Interpretatif melalui Pendekatan Konstruktivisme

Kegiatan tahap prabaca merupakan tindakan pertama yang dapat mendukung

proses belajar mengajar. Kegiatan ini merupakan upaya yang ditempuh untuk

meningkatkan kemampuan membaca pemahaman literal dan interpretatif. Dalam

tahap ini, rencana perilaku guru dan siswa memang sejalan. Berkenaan dengan itu,

kegiatan guru yang direncanakan pada tahap prabaca adalah (1) menyampaikan

tujuan pembelajaran (2) guru dan siswa bersama-sama membagi kelompok belajar,

(3) guru memberikan kebebasan untuk memilih bahan bacaan yang disenangi, (4)

guru membagikan LKS bagi siswa satu per satu, (5) guru mengantar siswa membaca

di taman sekolah. Dengan begitu, guru dapat memotivasi siswa agar berani

menetapkan apa yang akan dipelajari. Sehubungan dengan itu, isu apa yang menarik

dan cara apa yang akan ditempuh, juga menjadi perhatian dalam tahap prabaca.

Sementara itu, kegiatan siwa pada tahap prabaca adalah (1) memperhatikan

penjelasan guru, (2) duduk berkelompok masing-masing 5-6 orang, (3) masing-

masing ketua kelompok bebas memilih satu bahan bacaan, (4) mengamati langkah-

106

langkah kegiatan yang dikerjakan; (5) secara berkelompok menempati tempat yang

disepakati bersama, lalu membaca dengan gayanya masing-masing.

Kegiatan prabaca seperti menyampaikan tujuan pembelajaran tersebut penting

untuk diperhatikan oleh guru sebelum pembelajaran dilaksanakan. Degeng (1998:41)

menyatakan bahwa tujuan yang disampaikan akan berpengaruh positif pada

kemampuan siswa menampilkan perilaku belajar. Dengan tujuan yang jelas, siswa

akan terbantu dan terarahkan pada ukuran keberhasilan pembelajaran (Kemp,

1985:39). Hal itu senada dengan pemikiran Turner (1988:225) yang berpendapat

bahwa penyampaian tujuan sebelum kegiatan membaca dilakukan dapat (1)

memotivasi dan membangkitkan minat siswa dan (2) memberi rangsangan kepada

siswa untuk membaca lebih lanjut. Dalam hal ini, Vygotsky (dalam Berk & Adam,

1995:131) justru menganjurkan bahwa perilaku komunikasi antara guru dan siswa

yang dilakukan dengan cara menyampaikan tujuan pembelajaran dapat menambah

pemahaman siswa terhadap apa yang semestinya diperoleh dalam kegiatan belajar.

Dalam sudut pandang kaum konstruktivistik, penyampaian tujuan pembelajaran yang

cermat dapat membantu siswa belajar (Slavin, 1994). Dengan demikian, siswa akan

bebas, namun aktif berusaha membentuk pemahaman terhadap informasi berdasarkan

hasil interaksi dengan konteks yang dihadapi.

Setelah itu, guru dan siswa bersama-sama membagi kelompok belajar. Guru

membagi siswa di kelas menjadi 8 kelompok. Setiap kelompok dalam pembelajaran

membaca pemahaman terdiri atas lima orang. Mereka terbagi pada posisi 1 orang

sebagai ketua, 1 orang sebagai penulis, 1 orang sebagai pelapor, dan 2 orang sebagai

107

anggota. Pembagian anggota dalam kelompok tersebut juga sesuai dengan pemikiran

Aronson (1978) bahwa jumlah kelompok yang efektif terdiri atas 4-6 orang. Dengan

jumlah tersebut, peluang siswa untuk bertukar pikiran karena perbedaan pemahaman

terhadap isi teks semakin terbuka. Senada dengan itu, Johnson dan Johnson (1991:2)

berpendapat bahwa dalam kelompok kecil; siswa dapat belajar menyelesaikan tugas;

saling menyakinkan antaranggota kelompok dalam mempelajari materi yang

ditugaskan. Selanjutnya, Stone (1990) berpendapat bahwa dalam kelompok kecil

siswa dapat melakukan interaksi satu sama lain sehingga dapat memahami tugas yang

dihadapi. Dalam kelompok kecil tersebut, kesempatan siswa untuk mengatasi

hambatan mental karena rasa malu juga dapat dihindari. Dengan demikian, siswa

dapat belajar secara kooperatif meskipun terdiri atas jenis kelamin, kecerdasan, dan

etnik yang berbeda-beda (Slavin, 1997). Jadi, penentuan jumlah kelompok yang

dilakukan oleh guru tersebut sudah efektif karena dapat menimbulkan proses belajar

yang semakin aktif-kreatif sesuai dengan upaya peningkatan kemampuan membaca

pemahaman yang telah dicanangkan pada rencana pembelajaran.

Di samping itu, peluang meningkatnya semangat siswa dalam kelompok

belajar memang benar karena terjadi diskusi yang intensif. Artinya, setelah membaca

dalam suatu kelompok belajar, siswa tidak hanya diam, tetapi terlibat proses berpikir

untuk mengungkap pikiran, baik secara lisan maupun tulisan, minimal di hadapan

anggota kelompoknya. Dengan cara berdiskusi dalam kelompok, terdapat tiga tujuan

yang dapat tercapai. Ketiga tujuan yang dicapai sebagai berikut. Pertama, kegiatan

berdiskusi dapat diarahkan untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa, bahkan

menolong siswa dalam merekonstruksi pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.

108

Kedua, kegiatan berdiskusi dapat meningkatkan konsentrasi siswa terhadap suatu

pelajaran. Ketiga, kegiatan berdiskusi dapat membantu siswa untuk meningkatkan

kemahiran berkomunikasi sehingga dapat menambah kemahiran berpikir (Bernard,

1996:8). Di samping itu, keberanian menggunakan bahasa secara kreatif dalam

kelompok dapat menimbulkan rasa percaya diri siswa. Akibatnya, siswa berani

mengomunikasikan pemahaman literal, bahkan interpretatif dengan bahasa sendiri

kepada orang lain dalam suatu proses komunikasi di lingkungan hidup siswa.

Setelah terbentuknya kelompok, guru memberikan kebebasan siswa untuk

memilih bahan bacaan yang disenangi. Dalam proses tersebut, perilaku yang

ditampakkan siswa dalam memilih bacaan yang diminati pada siklus I dan siklus II

menujukkan perubahan perilaku. Pada siklus pertama, misalnya, perilaku siswa dalam

memilih bahan bacaan lebih tertarik pada kemenarikan gambar sehingga banyak

waktu yang terbuang hanya untuk mengamati gambar. Namun, perilaku itu tidak

terulang pada siklus ke-II. Pada siklus ke-II, perilaku pemilihan bacaan lebih

didasarkan pada pertimbangan kebutuhan informasi aktual dari bacaan sesuai dengan

waktu yang tersedia. Dengan demikian, siswa dapat menentukan bahan bacaan sesuai

dengan minat yang dimiliki. Kesesuaian bahan bacaan dengan minat siswa dapat

berpengaruh positif terhadap proses peningkatan kemampuan membaca pemahaman

literal dan interpretatif melalui pendekatan konstruktivisme karena pembelajaran

membaca dapat berlangsung efektif, setiap siswa tertarik pada kegiatan membaca,

bahkan siswa cenderung membentuk ide-ide baru berdasarkan isi bacaan (Harris &

Sipay, 1980:92; Slavin, 1994, Piaget dalam Suparno, 1997).

109

Seperti dikemukakan dalam bagian paparan data bahwa siswa memilih bahan

bacaan dari majalah TRUBUS. Dalam majalah tersebut terungkap bacaan tentang

pertanian. Jika dikaitkan dengan minat siswa, bacaan tersebut dapat menambah

semangat siswa untuk mempelajarinya karena ada kaitan dengan latar konteks siswa.

Artinya, dalam skemata siswa terdapat kehidupan pertanian karena mereka berasal

dari lingkungan yang dekat dengan bidang pertanian. Kondisi itu akhirnya

berpengaruh terhadap peningkatan daya baca siswa dalam memahami isi teks.

Selain itu, perubahan semangat belajar siswa juga tampak dari siklus I ke siklus

II. Perubahan perilaku itu dipengaruhi oleh LKS yang dipersiapkan sebelumnya

sehingga pembelajaran membaca pemahaman terhadap teks yang bertema pertanian

dapat berlangsung secara dinamis. Kedinamisan proses belajar itu terjadi karena guru

tidak hanya melengkapi penjelasan tujuan yang harus dicapai dan tugas yang harus

dikerjakan, tetapi juga menyediakan LKS sebagai wadah unjuk kerja siswa setelah

mengikuti pembelajaran membaca pemahaman. Untuk itu, guru menyiapkan LKS per

orang dan LKS per kelompok. Dengan LKS per orang, siswa dapat menggunakannya

sebagai wadah untuk mengungkapkan informasi yang diperoleh dari bacaan. Lebih

lanjut, dengan LKS per kelompok, jawaban-jawaban yang menjadi pemahaman

bersama dapat dikemukakan secara lengkap. Keberadaan dua macam LKS tersebut

sekaligus dapat menjadi ajang pencurahan isi bacaan dengan bahasa sendiri (Piaget

dalam Suparno, 1996). Dalam proses pembelajaran bahasa, keberanian siswa dalam

mengungkapkan ide dengan bahasa sendiri merupakan suatu langkah produktif yang

perlu terus dikembangkan. Untuk itu, kebiasaan siswa membaca bacaan yang relevan

dengan pelajaran juga perlu digiatkan secara intensif.

110

Kegiatan lain yang juga menjadi tanggung jawab guru pada saat prabaca adalah

menyampaikan bentuk-bentuk tugas tertentu yang akan dikerjakan siswa. Berkenaan

dengan penyampaian tugas yang jelas dalam pembelajaran, Eanes (1997:549)

mengatakan agar siswa diberi petunjuk tentang apa yang harus dilakukan.Uraian lebih

jelas tentang tugas yang akan dikerjakan siswa dapat semakin mempermantap

langkah siswa dalam kegiatan baca. Sehubungan dengan tugas tersebut, sebelum

kegiatan baca dilakukan, guru menyampaikan tugas berikut.

“sekarang …, sebelum menuju ke taman, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh tiap kelompok terlebih dahulu, pertama, melalui majalah yang telah dipilih oleh masing-masing ketua kelompok itu, setiap kelompok bebas memilih satu judul bacaan dengan kreteria: judul bertema tentang pertanian, uraian jelas dan lengkap, dan terdiri dari beberapa paragraf”.

Dengan tugas itu, siswa terarahkan pada kegiatan yang jelas. sebaliknya, siswa

yang hanya mengetahui tujuan tanpa memahami tindakan riil yang akan dilakukan

akan mengarah pada gangguan emosi, bahkan cenderung frustasi. Karena itu, Johnson

& Johnson (1991) juga berpendapat bahwa spesifikasi tugas pengajaran yang jelas

dan cermat sangat penting bagi kelancaran belajar siswa karena dapat menghindarkan

siswa dari rasa frustasi. Jadi, mengabaikan tugas yang jelas pada prabaca akan

mempengaruhi konsentrasi siswa, namun memberikan tugas yang jelas dapat

menambah kemantapan siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar.

Pembahasan tahap prabaca tersebut merupakan langkah awal yang dapat

berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan membaca pemahaman literal dan

interpretatif melalui pendekatan konstruktivisme. Berkaitan dengan itu, pada tahap

saat baca, terdapat dua kegiatan guru dan siswa yang perlu dikemukakan. Untuk itu,

111

guru membimbing, mengarahkan, dan memancing siswa agar mudah menemukan

jawaban-jawaban yang tepat. Pada intinya, bimbingan, arahan, dan pancingan yang

diberikan guru untuk memberikan kemudahan siswa dalam membaca bacaan. Pada

tahap ini, guru berperan sebagai mediator dan fasilitator. Peran itu sangat penting

karena dapat meningkatkan kemampuan membaca pemahaman literal dan

interpretatif. Dalam hal ini, Suparno (1996:65-66) menegaskan bahwa proses belajar

dapat berlangsung dengan baik jika guru memainkan peran sebagai mediator dan

fasilitator. Dengan peran itu, guru tidak memberi ceramah, tetapi cenderung memberi

arahan bagaimana kegiatan dilakukan. Selain itu, guru tidak mengharuskan siswa

memberikan jawaban yang benar, tetapi cenderung menyemangati siswa agar berpikir

kreatif untuk mengemukakan ide-idenya secara interpretatif. Hal itu dilakukan untuk

menumbuhkan rasa percaya diri siswa bahwa dirinya merupakan subjek yang harus

dan mampu menguasai informasi yang baru.

Dalam praktik tahap saat baca, perilaku guru sebagai mediator dan fasilitator

tampak ketika guru mengingatkan siswa tentang waktu yang dipakai untuk membaca.

Seiring dengan itu, guru mengajak siswa untuk memahami kegiatan yang akan

dilakukan sehingga mereka tergerak menuju taman. Setelah sampai di tempat yang

dituju, guru membimbing siswa secara berkelompok. Arahan yang diberikan guru

berlanjut ketika guru membimbing siswa untuk mengikuti petunjuk atau langkah-

langkah khusus dalam kegiatan menjawab LKS. Terkait dengan itu, sebagai pengajar

konstruktivis, guru memberikan perhatian utuh kepada siswa dengan cara mengajak

atau melibatkan siswa dalam pemancingan munculnya suatu jawaban. Hal itu

112

terbukti sudah dapat meningkatkan kemampuan membaca pemahaman literal dan

interpretatif melalui pendekatan konstruktivisme.

Dalam hal itu, siswa diberi kesempatan untuk memahami pertanyaan, mencari

jawaban dalam bacaan secar literal dan interpretatif, dan mengemukakan jawaban,

bahkan membandingkan jawaban antarteman. Berkaitan dengan itu, Wilson (1996:

11-12) dan Diptoadi (1997:4-5) berpendapat bahwa seorang guru dapat menata

lingkungan belajar dengan cara memberikan kesempatan pada siswa untuk terlibat

dalam pembelajaran. Dalam proses tersebut, lingkungan belajar yang terjaga dengan

baik dapat menjadikan siswa sadar akan pentingnya pemberdayaan diri melalui

interaksi sosial, baik dengan guru maupun sesama teman. Sebaliknya, kesadaran akan

pentingnya proses membentuk keilmuan melalui lingkungan belajar yang nyaman

sulit terjadi jika guru abai terhadap lingkungan belajar. Guru memang dapat berperan

sebagai pemicu kegiatan belajar. Selanjutnya, siswalah yang berperan sebagai

pemacu diri untuk belajar.

Akhirnya, kegiatan pasca baca juga merupakan tindakan penting dalam

pembelajaran membaca pemahaman literal dan interpretatif karena merupakan tahap

yang berpengaruh terhadap rasa percaya diri siswa dalam memahamai jawaban-

jawaban yang dikemukakan masing-masing kelompok. Pada tahap ini, siswa

diarahkan agar membetulkan jawaban-jawaban yang keliru. Perilaku selektif ini

menjadikan siswa semakin teliti dalam menyatakan “benar” terhadap suatu informasi

jawaban yang telah diperoleh. Meskipun jawaban yang diperoleh sudah benar, siswa

113

masih terlibat untuk mengoreksi apakah masih ada kekurangsempurnaan jawaban.

Langkah ini dapat mendorong rasa ingin tahu yang terus meningkat.

Dalam proses itu, guru sebatas mengajak siswa untuk memfokuskan persepsi

terhadap suatu jawaban pertanyaan. Siswa pun terdorong untuk melakukan koreksi

terhadap jawaban yang telah dihasilkan kelompok. Cara ini dapat mendorong siswa

untuk menemukan jawaban yang benar melalui interaksi intensif antaranggota

kelompok. Jika dalam proses interaksi intensif antaranggota terdapat jawaban

pertanyaan yang kurang sempurna, maka secara terbuka timbul kesadaran untuk

membetulkannya. Sikap menerima koreksi dari teman sejawat untuk menuju jawaban

yang diinginkan ini merupakan proses berpikir yang diharapkan timbul dan tumbuh

dalam diri masing-masing siswa. Dalam pandangan kaum konstruktivis, siswa

sendirilah yang semestinya aktif dalam mengecek, sekaligus membanding-

bandingkan informasi baru dengan informasi lama, bahkan merevisinya apabila suatu

informasi tidak sesuai lagi (Slavin, 1994:224).

5.1.3 Cara Meningkatkan Evaluasi Pembelajaran Membaca Pemahaman Literal

dan Interpretatif melalui Pendekatan Konstruktivisme

Evaluasi pembelajaran membaca pemahaman literal dan interpretatif

berdasarkan pendekatan konstruktivisme merupakan langkah penting untuk

mengetahui prestasi peningkatan kemampuan membaca pemahaman. Langkah itu

dilakukan untuk meningkatkan kemampuan membaca pemahaman literal dan

interpretatif berdasarkan pendekatan konstruktivisme. Dengan evaluasi terhadap

pembelajaran membaca, guru dapat menemukan kelemahan dan kelebihan siswa

114

sehingga guru dapat merancang pembelajaran yang sesuai, memberitahukan

kemajuan siswa kepada orang tua, dan mengevaluasi efektivitas strategi

pembelajaran. Jika evaluasi dilakukan dengan cermat, maka informasi tentang hasil

dan kemajuan belajar siswa yang dapat diungkap semakin akurat.

Berkaitan dengan praktik evaluasi pembelajaran membaca yang terjadi pada

siklus I, guru menugasi siswa mengerjakan tes formatif sebagai tes membaca

pemahaman. Tes ini digunakan untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap bacaan

yang berhubungan dengan alat tema pertanian. Pemahaman yang demikian mencakup

tingkat pemahaman literal dan interpretatif. Berdasarkan tes membaca yang

dikerjakan siswa terungkap bahwa hasil pembelajaran membaca baik. Prestasi itu

dicapai karena terbukti bahwa hasil belajar berdasarkan tes tertulis kelompok tinggi

RN mendapat nilai 85 (sangat baik), RS kelompok sedang mendapat nilai 80 (baik),

YR kelompok sedang mendapat nilai 77 (baik), dan TB kelompok lambat mendapat

nilai 68 (cukup). Sementara itu, nilai setiap aspek pemahaman, yakni ) tingkat

pemahaman literal rata-rata 35,75 dan tingkat pemahaman interpretatif rata-rata

41,75. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kegiatan membaca yang dilakukan siswa

sudah berhasil.

Akan tetapi, sebagai guru tidak boleh cepat puas atas hasil yang dicapai siswa.

Artinya, upaya peningkatan kemampuan membaca pun dilanjutkan melalui siklus II.

Pada siklus II dapat diketahui bahwa hasil tes kemampuan membaca literal dan

interpretatif meningkat. Hal itu dapat diketahui karena nilai yang lebih baik daripada

siklus I. Nilai dari ke-2 aspek pemahaman rata-rata sudah mendapat kategori sangat

115

baik, yaitu telah mencapai 87.00, dengan rencana (1) tingkat pemahaman literal 37,50

(2) tingkat pemahaman interpretatif rata-rata 49.50. Skala yang digunakan untuk

mengetahui tingkat penguasaan kemampuan siswa terhadap pertanyaan bacaan adalah

85-100 untuk kategori sangat baik, 70-84 untuk kategori baik, 55-69 untuk kategori

cukup, 41-54 untuk kategori kurang, dan 0-40 untuk kategori sangat kurang. Hasil

belajar berdasarkan tes tertulis kelompok tinggi RN mendapat nilai 93 (sangat baik)

dan kelompok sedang RS mendapat nilai 89 (sangat baik), kelompok sedang YR

mendapat nilai 87 (sangat baik), kelompok lambat TB mendapat nilai 79 (baik).

Akan tetapi, sebagai guru perlu meluaskan pandangan secara komprehensif

dalam melihat prestasi siswa. Artinya, seorang guru BI perlu memahami prestasi

siswa tidak hanya berdasarkan hasil tes tertulis, tetapi juga perlu melengkapinya

dengan informasi hasil penilaian proses. Dalam hal ini, penilaian dilakukan selama

pembelajaran berlangsung. Untuk itu, evaluasi dilakukan dengan cara mengungkap

respon pembelajaran, baik dari siswa maupun praktisi yang terlibat aktif

pembelajaran siklus I. Informasi diperoleh melalui pengamatan dan wawancara

dengan siswa dan praktisi. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap siswa

terungkap bahwa pembelajaran yang dilaksanakan dengan pendekatan

konstruktivistik dapat menjadikan siswa senang karena bebas berpikir dan

berependapat dengan teman kelompok. Di samping itu, siswa dapat terdorong untuk

membaca karena bacaan yang menarik semakin menambah semangat siswa untuk

mengungkap isi meskipun sambil bertanya pada guru dan berdiskusi dengan teman.

Dengan begitu, cara belajar membaca perlu dilanjutkan. Sementara itu, praktisi juga

116

melihat bahwa praktik membaca baik untuk dilaksanakan. Senada dengan pernyataan

siswa, praktisi setuju dan mendukung pelaksanaan pembelajaran ini.

Setelah memperhatikan uraian tersebut, dari segi hasil memang sudah baik.

Akan tetapi, praktisi memberikan catatan bahwa perlu waktu yang cukup untuk

melatih anak mengikuti proses belajar berpendekatan konstruktivistik. Di samping

itu, praktisi juga menyatakan bahwa ketersediaan bacaan yang menarik perlu

diantisipasi agar semakin menarik dan bermanfaat bagi kehidupan siswa. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa penggunaan pendekatan kontruktivisme dalam

pembelajaran membaca itu baik dilakukan di kelas I SLTP karena dapat

membangkitkan minat baca di sekolah.

5.2 Implikasi Praktis Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memperoleh beberapa temuan yang

berkaitan dengan tahap prabaca, saat baca, dan pasca baca. Implikasi dari penelitian

mencakup (1) perencanaan pembelajaran, (2) pelaksanaan pembelajaran, dan (3)

pengevaluasian hasil pembelajaran membaca pemahaman literal dan interpretatif

berdasarkan pendekatan konstruktivisme. Uraian implikasi yang dimaksud sebagai

berikut.

5.2.1 Implikasi Hasil Penelitian terhadap Perencanaan Pembelajaran Membaca

Perencanaan pembelajaran perlu diperhatikan oleh seorang guru BI dengan

cermat karena sangat berpengaruh terhadap kelancaran, bahkan keberhasilan

pembelajaran yang akan dilaksanakannya. Dalam pembelajaran membaca

pemahaman literal dan interpretatif, perencanaan pembelajaran yang mantap malah

117

dapat menimbulkan dampak positif yang luar biasa karena siswa terdidik, bahkan

terbiasa untuk mencintai budaya baca yang diperlukan dalam penguasaan berbagai

disiplin ilmu. Jika perencanaan pembelajaran membaca tersebut diabaikan, sudah

barang tentu akan berpengaruh negatif terhadap peningkatan kemampuan baca siswa.

Sebagai konsekuensi logisnya, siswa yang kurang meminati budaya baca akan

menghadapi kesulitan menguasai isi bacaan yang dihadapinya. Padahal, informasi

dapat dikuaasai melalui kegiatan membaca. Jadi, perencanaan pembelajaran

membaca pemahaman literal dan interpretatif merupakan langkah strategis ganda

karena tidak hanya dapat digunakan untuk memperlancar penguasaan isi suatu

bacaan, tetapi juga dapat mempertajam semangat baca para siswa. Dengan cara

membaca, siswa dapat mengenali, menguasai, bahkan mengkonstruk suatu ilmu

dalam dirinya secara aktif, kreatif, gembira, semangat, dan terbuka.

Bertolak dari pemikiran itu, secara eksplisit dapat dikemukakan implikasi

perencanaan pembelajaran membaca pemahaman berdasarkan pendekatan

konstruktivisme sebagai berikut. Langkah awal yang patut dilakukan guru dalam

merencanakan pembelajaran adalah perlunya melakukan diagnosis kebutuhan.

Artinya, prestasi siswa perlu dipahami lebih awal sebelum rencana pembelajaran

disusun. Hasil identifikasi prestasi siswa dapat dimanfaatkan untuk menentukan

kualitas dan kuatitas bacaan yang dibutuhkan. Dengan kata lain, kebiasaan

memberikan sembarang bacaan kepada siswa perlu dipertimbangkan masak-masak

karena belum tentu relevan dengan kondisi internal siswa. Di samping itu, bacaan

yang tidak sesuai dengan kondisi siswa akan mempengaruhi semangat baca yang

telah dimiliki.

118

Ketika prestasi awal siswa telah dipahami, rancangan pembelajaran perlu segera

disusun. Penyusunan rencana pembelajaran membaca berdasarkan pendekatan

konstruktivisme dapat berpengaruh positif terhadap keberhasilan pembelajaran

bahasa. Peluang keberhasilan pembelajaran bahasa semakin terbuka karena siswa

merupakan sentral kegiatan yang tidak boleh diabaikan. Sebagai subjek atau pelaku

dalam kegiatan belajar berdasarkan pendekatan konstruktivisme, perilaku siswa jelas

sudah ditata secara cermat dalam rencana pembelajaran. Dalam rancangan

pembelajaran membaca pemahaman berdasarkan pendekatan konstruktivisme,

perilaku siswa diam/pasif yang cenderung menerima transfer ilmu dari guru harus

dihindari. Menghindari hal itu dapat dilakukan dengan cara menempatkan siswa

sebagai pelaku aktif dalam membaca. Dengan begitu, siswa dipersiapkan sebagai

sosok dinamis dalam menguasai suatu informasi dalam suatu bacaan.

Untuk itu, syarat rancangan pembelajaran membaca pemahaman yang baik

perlu dicermati. Berkenaan dengan itu, seorang guru BI sebagai perencana

pembelajaran membaca pemahaman jelas tidak boleh melupakan aspek tujuan

pembelajaran karena berkenaan dengan ukuran keberhasilan pembelajaran. Selain itu,

secara sadar, guru perlu segera berpikir tentang pentingnya praktik mengungkap

skemata siswa tentang apa yang akan dibacanya. Hal ini berarti bahwa dalam

pembelajaran konstruktivistik, otak siswa bukan kotak kosong yang menunggu

“curahan informasi” dari guru. Sebelum mengikuti kegiatan baca, guru perlu

berusaha keras untuk memahami skemata yang sudah dimiliki siswa. Jika upaya

membangkitkan skemata berlangsung efektif, seorang guru juga perlu

mempersiapkan kesadaran bahwa suatu saat akan berbeda pandapat dengan siswa.

119

Sebagai kondisi kognitif yang dilazimkan oleh kaum konstruktivis, pencantuman

suatu tujuan yang jelas akan dapat membantu siswa untuk mengecek skemata yang

dimiliki sehingga dapat membangkitkan semangat dalam suatu kerja kelompok yang

telah dibentuk.

5.2.2 Implikasi Hasil Penelitian terhadap Pelaksanaan Pembelajaran Membaca

Pelaksanaaan pembelajaran merupakan sebuah proses yang melibataktifkan

aspek lahir batin siswa secara terpadu yang terencana secara matang dalam bentuk

rencana pembelajaran. Sebagai kegiatan kreatif-produktif mempelajari dan

memperoleh bahasa melalui kegiatan membaca, sosok siswa tidak dibenarkan dalam

kondisi tertekan secara mental. Sebaliknya, siswa semestinya ditempatkan sebagai

individu yang “merdeka” untuk memilih bahan, menentukan irama belajar,

mendiskusikan isi, mengemukakan pendapat, menanggapi pendapat, serta

menggunakan informasi yang diperolehnya sebagai dasar untuk membangung

pengetahuan dalam dirinya. Itu berarti bahwa siswa merupakan individu yang mandiri

dalam meraih prestasi tanpa ada pihak yang berhak menekan batinnya. Dalam hal ini,

kehadiran teman sejawat sebatas sebagai mitrabelajar yang selalu terbuka dalam

menerima pendapat orang lain. Sementara itu, kehadiran guru sebatas sebagai

motivator dan fasilitator yang selalu aktif membimbing siswa belajar. Dengan

demikian, siswa yang sedang melaksanakan pembelajaran sesungguhnya merupakan

individu yang berada dalam alam “demokratis” karena ada keleluasaan untuk belajar.

Di samping itu, di tengah kemerdekaan siswa untuk mempelajari suatu

informasi dalam bacaan, seorang guru sesunggunya memiliki ruang gerak yang

120

leluasa untuk menciptakan kerja sama dengan siswa. Secara fisik, kerja sama

mungkin saja terlihat dalam memilih, menata, dan memanfaatkan sarana belajar yang

tersedia di lingkungan sekolah. Akan tetapi, kerja sama yang lebih mendasar

sesungguhnya dapat terjadi secara mental. Maksudnya, guru juga dapat “mendekati”

siswa untuk mengetahui dan mengungkap apa yang menjadi kesulitan-kesulitan

secara pribadi dalam memahami informasi. Bertolak dari pemahaman guru tentang

kesulitan yang dihadapi, guru dapat membantu siswa agar dapat mengatasi kesulitan

belajar, baik secara kognitif maupun afektif. Dalam hal ketidaktahuan siswa terhadap

suatu istilah dalam bacaan, misalnya, guru dapat mengajak siswa untuk memahami

secara interaktif. Dalam hal ketidaksiapan siswa terhadap suasana belajar, guru dapat

mendorong siswa secara dialogis. Pendek kata, kerja sama antara guru dan siswa

perlu dimanfaatkan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi siswa sehingga mereka

memiliki kemauan dan keberanian dalam menyatakan pikiran dan perasaan secara

terbuka. Hal ini relevan dengan pentingnya proses produktif dalam menguasai suatu

bahasa.

Untuk itu, pelaksanaan pembelajaran perlu didukukung dengan lembar kerja

siswa. Dalam bentuk lembar kerja siswa per kelompok dan per individu, keduanya

berimplikasi positif terhadap proses kerja siswa. Hal itu perlu dibiasakan karena

pemanfaatan LKS kelompok dapat digunakan para siswa untuk menyatukan

konsentrasi dalam merumuskan pendapat. Sebaliknya, LKS per siswa dapat

digunakan untuk melatih semangat individu dalam mengungkapkan gagasan. Dalam

hal ini, sebuah LKS perlu dirancang secara efektif. Efektifitas sebuah LKS terlihat

pada kesesuaiannya dengan tujuan yang akan dicapai, kecermatannya dalam butir-

121

butir tugas yang perlu dikerjakan siswa, dan kelengkapan muatan tugas yang dapat

memicu siswa menguasai suatu informasi bacaan secara menyeluruh. Dengan begitu,

siswa akan terpacu memanfaatkan LKS, baik secara berkelompok maupun secara

individual.

Pertimbangan lain yang perlu dikemukakan dalam merancang dan

melaksanakan pembelajaran adalah keterkaitan apa yang dipelajari siswa dengan apa

yang telah, sedang, dan akan dihadapi siswa di lingkungan hidupnya. Sebagai

alternative, pilihan majalah TRUBUS karena termotivasi oleh kedekatan siswa

dengan lingkungan pertanian sudah searah dengan kebutuhan siswa karena siswa

dekat dengan lingkungan pertanian. Selain itu, tidak tertutup kemungkinan siswa juga

dihadapkan pada materi pilihan bidang kelautan atau otomotif jika dipahami melalui

analisis kebutuhan bahwa siswa berada dalam lingkungan tersebut. Dalam

pembelajaran membaca pemahaman berpendekatan konstruktivisme, kedekatan

substansi yang dibaca akan menambah kebermaknaan informasi yang diperlukan

siswa secara langsung. Hal ini juga berarti bahwa lingkungan siswa merupakan aspek

yang harus diperhatikan dalam melaksanakan pembelajaran, terutama dalam

pemilihan bahan bacaan. Karena itu, materi bacaan yang berada “di luar” dunia siswa

dapat menjadikan siswa tidak siap secara intelektual karena merasa asing dengan apa

yang dihadapinya.

122

5.2.3 Implikasi Hasil Penelitian terhadap Evaluasi Pembelajaran Membaca

Pengevaluasian pembelajaran membaca perlu dilakukan secara terpadu agar

dapat diperoleh prestasi dan kemajuan belajar yang semakin meningkat. Untuk itu,

siswa perlu dilibatkan sebagai menilai terhadap diri sendiri. Hal ini dapat dilakukan

dengan cara mengajak siswa mempertimbangkan benar tidaknya, lengkap tidaknya,

jelas tidaknya, atau relevan tidaknya jawaban yang dimiliki dengan jawaban yang

diperlukan. Keterlibatan siswa secara intensif dalam menelaah jawaban yang telah

dibuatnya dapat menjadikan siswa semakin korektif-instrospektif terhadap pemikiran

yang telah dilakukan. Dengan cara itu, segi intelektual siswa akan matang dengan

sendirinyaa karena terlibat dalam proses mengolah jawaban yang diperlukan. Pada

akhirnya, siswa menginterpretasi jawaban apa yang relevan dengan suatu pertanyaan

melalui proses berpikir secara aktif.

Pada sisi lain, seorang guru juga dapat memanfaatkan penilaian hasil dalam

bentuk tes yang dikerjakan setiap siswa pada akhir proses belajar. Kegiatan ini dapat

mendorong terbentuknya konsentrasi siswa dalam memahami isi bacaan, baik secara

literal maupun interpretatif. Akan tetapi, guru dan siswa perlu disadarkan bahwa tes

bukan merupakan satu-satunya alat untuk mengetahui keberhasilan siswa. Dalam

pembelajaran membaca, misalnya, keberhasilan siswa yang diketahui berdasarkan tes

hanya merupakan salah satu informasi untuk melengkapi informasi lain yang

diperoleh dari teknik observasi. Karena itu, evaluasi pembelajaran membaca

sesungguhnya dapat dilakukan menggunakan evaluasi hasil dan evaluasi proses.

Namun, keduanya perlu dipadukan untuk memahami prestasi belajar siswa secara

utuh.

123

Akhirnya, pada bagian ini perlu ditegaskan bahwa peningkatan kemampuan

membaca literal dan interpretative siswa SLTP dapat dilakukan menggunakan

pendekatan konstruktivisme. Dengan pendekatan itu, pembelajaran perlu

dipersiapkan secermat mungkin. Bertolak dari persiapan yang cermat, pembelajaran

dapat dilaksanakan secara demokratis sehingga siswa merasa terlibat aktif-produktif

dalam belajar. Jika siswa pada kelompok lambat dapat berkembang, siswa dalam

kelompok sedang dan tinggi akan semakin berpeluang meningkatkan prestasinya.

Selama dan setelah proses pembelajaran membaca, penilaian dapat dilakukan, baik

berupa penilaian proses selama pembelajaran berlangsung maupun penilaian hasil

yang dilaksanakan pada akhir kegiatan. Memang, pendekatan konstruktivisme

merupakan alternative pendekatan yang dapat menjadikan siswa berkembang secara

dinamis dalam iklim belajar yang kondusif.

124