bab v - ..:: learning by doing ::.. | "mencari … · web viewhasil penelitian yang terungkap...
TRANSCRIPT
BAB V
PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang terungkap pada Bab IV dibahas berdasarkan kajian
teoretis yang mendasari penelitian ini. Sesuai dengan masalah penelitian, pembahasan
difokuskan pada aspek cara meningkatkan kemampuan membaca literal dan
interpretatif kelas I SLTP Negeri 2 Malang. Berkenaan dengan itu, dalam
pembahasan ini diungkapkan (1) hasil dan pembahasan penelitian dan (2) implikasi
hasil penelitian terhadap pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya pada
pembelajaran membaca pemahaman literal dan interpretatif, baik bagi guru maupun
siswa.
5.1 Hasil dan Pembahasan Penelitian
5.1.1 Cara Meningkatkan Perencanaan Pembelajaran Membaca Pemahaman
Literal dan Interpretatif melalui Pendekatan Konstruktivisme
Sebelum pembelajaran membaca pemahaman berlangsung, perencanaan
pengajaran dipandang penting karena dapat digunakan untuk meningkatkan
kemampuan membaca pemahaman literal dan interpretatif berdasarkan pendekatan
konstruktivisme. Berpedoman pada rancangan pembelajaran yang dirancang secara
kolaboratif, pembelajaran membaca yang dilaksanakan dapat terarah pada pencapaian
tujuan pembelajaran yang diinginkan. Dalam pemikiran Rubin (1993:428),
perencanaan pembelajaran yang dilakukan secara cermat sebelum pembelajaran
berlangsung merupakan langkah yang tepat karena dapat membantu pemusatan
104
konsentrasi siswa terhadap kegiatan yang akan dilaksanakan. Langkah itu juga dapat
berpengaruh terhadap kesuksesan belajar siswa. Berkenaan dengan itu, Taba dalam
Dubin dan Olshtain (1986:2) berpendapat bahwa ada tujuh langkah yang perlu
dipersiapkan dalam perencanaan pembelajaran, yakni (1) mendiagnosis sejumlah
kebutuhan, (2) memformulasikan tujuan, (3) memilih isi pengajaran, (4)
mengorganisasikan isi pengajaran, (5) menyeleksi pengalaman belajar, (6)
mengorganisasikan pengalaman belajar, dan (7) menemukan apa yang akan
dievaluasi dan apa alat-alat mengevaluasi yang digunakan. Di samping itu, menurut
Cox (1999:282), guru dalam membuat rencana pembelajaran membaca dapat memilih
bahan bacaan dengan kriteria yang disukai dan diperkirakan diperlukan bagi siswa,
serta mempunyai illustrasi yang baik.
Berkaitan dengan itu, berdasarkan hasil penelitian, perencanaan pembelajaran
yang telah disusun dalam tindakan pertama pada siklus ke-I dan ke-II sudah
mengalami peningkatan berdasarkan hasil evaluasi proses dan evaluasi hasil. Dalam
evaluasi proses dapat diketahui bahwa siswa kelompok rendah sudah berani
mengemukakan pendapat dengan bahasa sendiri. Sementara itu, siswa dari kelompok
sedang dan tinggi mengalami peningkatan kecepatan dan ketepatan dalam
menemukan jawaban, serta lebih berani mengemukakan pendapat dalam berdiskusi
(periksa halaman 95). Dalam evaluasi hasil dapat diketahui nilai pada siklus II lebih
tinggi daripada nilai pada siklus I (periksa halaman 99).
105
Secara riil, isi perencanaan pembelajaran membaca pemahaman yang telah
digunakan terdiri atas (1) tema pembelajaran, (2) tujuan pembelajaran khusus, (3)
teknik dan pengalaman belajar siswa dan guru berupa belajar mengajar (KBM), (4)
materi pembelajaran, (5) tersedianya lembar kerja siswa (LKS), dan (6) alat evaluasi
keberhasilan belajar. Jadi, rincian aspek dalam perencanaan pembelajaran itu sudah
sejalan dengan tuntutan teoretis yang relevan.
5.1.2 Cara Meningkatkan Pelaksanaan Pembelajaran Membaca Pemahaman
Literal dan Interpretatif melalui Pendekatan Konstruktivisme
Kegiatan tahap prabaca merupakan tindakan pertama yang dapat mendukung
proses belajar mengajar. Kegiatan ini merupakan upaya yang ditempuh untuk
meningkatkan kemampuan membaca pemahaman literal dan interpretatif. Dalam
tahap ini, rencana perilaku guru dan siswa memang sejalan. Berkenaan dengan itu,
kegiatan guru yang direncanakan pada tahap prabaca adalah (1) menyampaikan
tujuan pembelajaran (2) guru dan siswa bersama-sama membagi kelompok belajar,
(3) guru memberikan kebebasan untuk memilih bahan bacaan yang disenangi, (4)
guru membagikan LKS bagi siswa satu per satu, (5) guru mengantar siswa membaca
di taman sekolah. Dengan begitu, guru dapat memotivasi siswa agar berani
menetapkan apa yang akan dipelajari. Sehubungan dengan itu, isu apa yang menarik
dan cara apa yang akan ditempuh, juga menjadi perhatian dalam tahap prabaca.
Sementara itu, kegiatan siwa pada tahap prabaca adalah (1) memperhatikan
penjelasan guru, (2) duduk berkelompok masing-masing 5-6 orang, (3) masing-
masing ketua kelompok bebas memilih satu bahan bacaan, (4) mengamati langkah-
106
langkah kegiatan yang dikerjakan; (5) secara berkelompok menempati tempat yang
disepakati bersama, lalu membaca dengan gayanya masing-masing.
Kegiatan prabaca seperti menyampaikan tujuan pembelajaran tersebut penting
untuk diperhatikan oleh guru sebelum pembelajaran dilaksanakan. Degeng (1998:41)
menyatakan bahwa tujuan yang disampaikan akan berpengaruh positif pada
kemampuan siswa menampilkan perilaku belajar. Dengan tujuan yang jelas, siswa
akan terbantu dan terarahkan pada ukuran keberhasilan pembelajaran (Kemp,
1985:39). Hal itu senada dengan pemikiran Turner (1988:225) yang berpendapat
bahwa penyampaian tujuan sebelum kegiatan membaca dilakukan dapat (1)
memotivasi dan membangkitkan minat siswa dan (2) memberi rangsangan kepada
siswa untuk membaca lebih lanjut. Dalam hal ini, Vygotsky (dalam Berk & Adam,
1995:131) justru menganjurkan bahwa perilaku komunikasi antara guru dan siswa
yang dilakukan dengan cara menyampaikan tujuan pembelajaran dapat menambah
pemahaman siswa terhadap apa yang semestinya diperoleh dalam kegiatan belajar.
Dalam sudut pandang kaum konstruktivistik, penyampaian tujuan pembelajaran yang
cermat dapat membantu siswa belajar (Slavin, 1994). Dengan demikian, siswa akan
bebas, namun aktif berusaha membentuk pemahaman terhadap informasi berdasarkan
hasil interaksi dengan konteks yang dihadapi.
Setelah itu, guru dan siswa bersama-sama membagi kelompok belajar. Guru
membagi siswa di kelas menjadi 8 kelompok. Setiap kelompok dalam pembelajaran
membaca pemahaman terdiri atas lima orang. Mereka terbagi pada posisi 1 orang
sebagai ketua, 1 orang sebagai penulis, 1 orang sebagai pelapor, dan 2 orang sebagai
107
anggota. Pembagian anggota dalam kelompok tersebut juga sesuai dengan pemikiran
Aronson (1978) bahwa jumlah kelompok yang efektif terdiri atas 4-6 orang. Dengan
jumlah tersebut, peluang siswa untuk bertukar pikiran karena perbedaan pemahaman
terhadap isi teks semakin terbuka. Senada dengan itu, Johnson dan Johnson (1991:2)
berpendapat bahwa dalam kelompok kecil; siswa dapat belajar menyelesaikan tugas;
saling menyakinkan antaranggota kelompok dalam mempelajari materi yang
ditugaskan. Selanjutnya, Stone (1990) berpendapat bahwa dalam kelompok kecil
siswa dapat melakukan interaksi satu sama lain sehingga dapat memahami tugas yang
dihadapi. Dalam kelompok kecil tersebut, kesempatan siswa untuk mengatasi
hambatan mental karena rasa malu juga dapat dihindari. Dengan demikian, siswa
dapat belajar secara kooperatif meskipun terdiri atas jenis kelamin, kecerdasan, dan
etnik yang berbeda-beda (Slavin, 1997). Jadi, penentuan jumlah kelompok yang
dilakukan oleh guru tersebut sudah efektif karena dapat menimbulkan proses belajar
yang semakin aktif-kreatif sesuai dengan upaya peningkatan kemampuan membaca
pemahaman yang telah dicanangkan pada rencana pembelajaran.
Di samping itu, peluang meningkatnya semangat siswa dalam kelompok
belajar memang benar karena terjadi diskusi yang intensif. Artinya, setelah membaca
dalam suatu kelompok belajar, siswa tidak hanya diam, tetapi terlibat proses berpikir
untuk mengungkap pikiran, baik secara lisan maupun tulisan, minimal di hadapan
anggota kelompoknya. Dengan cara berdiskusi dalam kelompok, terdapat tiga tujuan
yang dapat tercapai. Ketiga tujuan yang dicapai sebagai berikut. Pertama, kegiatan
berdiskusi dapat diarahkan untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa, bahkan
menolong siswa dalam merekonstruksi pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
108
Kedua, kegiatan berdiskusi dapat meningkatkan konsentrasi siswa terhadap suatu
pelajaran. Ketiga, kegiatan berdiskusi dapat membantu siswa untuk meningkatkan
kemahiran berkomunikasi sehingga dapat menambah kemahiran berpikir (Bernard,
1996:8). Di samping itu, keberanian menggunakan bahasa secara kreatif dalam
kelompok dapat menimbulkan rasa percaya diri siswa. Akibatnya, siswa berani
mengomunikasikan pemahaman literal, bahkan interpretatif dengan bahasa sendiri
kepada orang lain dalam suatu proses komunikasi di lingkungan hidup siswa.
Setelah terbentuknya kelompok, guru memberikan kebebasan siswa untuk
memilih bahan bacaan yang disenangi. Dalam proses tersebut, perilaku yang
ditampakkan siswa dalam memilih bacaan yang diminati pada siklus I dan siklus II
menujukkan perubahan perilaku. Pada siklus pertama, misalnya, perilaku siswa dalam
memilih bahan bacaan lebih tertarik pada kemenarikan gambar sehingga banyak
waktu yang terbuang hanya untuk mengamati gambar. Namun, perilaku itu tidak
terulang pada siklus ke-II. Pada siklus ke-II, perilaku pemilihan bacaan lebih
didasarkan pada pertimbangan kebutuhan informasi aktual dari bacaan sesuai dengan
waktu yang tersedia. Dengan demikian, siswa dapat menentukan bahan bacaan sesuai
dengan minat yang dimiliki. Kesesuaian bahan bacaan dengan minat siswa dapat
berpengaruh positif terhadap proses peningkatan kemampuan membaca pemahaman
literal dan interpretatif melalui pendekatan konstruktivisme karena pembelajaran
membaca dapat berlangsung efektif, setiap siswa tertarik pada kegiatan membaca,
bahkan siswa cenderung membentuk ide-ide baru berdasarkan isi bacaan (Harris &
Sipay, 1980:92; Slavin, 1994, Piaget dalam Suparno, 1997).
109
Seperti dikemukakan dalam bagian paparan data bahwa siswa memilih bahan
bacaan dari majalah TRUBUS. Dalam majalah tersebut terungkap bacaan tentang
pertanian. Jika dikaitkan dengan minat siswa, bacaan tersebut dapat menambah
semangat siswa untuk mempelajarinya karena ada kaitan dengan latar konteks siswa.
Artinya, dalam skemata siswa terdapat kehidupan pertanian karena mereka berasal
dari lingkungan yang dekat dengan bidang pertanian. Kondisi itu akhirnya
berpengaruh terhadap peningkatan daya baca siswa dalam memahami isi teks.
Selain itu, perubahan semangat belajar siswa juga tampak dari siklus I ke siklus
II. Perubahan perilaku itu dipengaruhi oleh LKS yang dipersiapkan sebelumnya
sehingga pembelajaran membaca pemahaman terhadap teks yang bertema pertanian
dapat berlangsung secara dinamis. Kedinamisan proses belajar itu terjadi karena guru
tidak hanya melengkapi penjelasan tujuan yang harus dicapai dan tugas yang harus
dikerjakan, tetapi juga menyediakan LKS sebagai wadah unjuk kerja siswa setelah
mengikuti pembelajaran membaca pemahaman. Untuk itu, guru menyiapkan LKS per
orang dan LKS per kelompok. Dengan LKS per orang, siswa dapat menggunakannya
sebagai wadah untuk mengungkapkan informasi yang diperoleh dari bacaan. Lebih
lanjut, dengan LKS per kelompok, jawaban-jawaban yang menjadi pemahaman
bersama dapat dikemukakan secara lengkap. Keberadaan dua macam LKS tersebut
sekaligus dapat menjadi ajang pencurahan isi bacaan dengan bahasa sendiri (Piaget
dalam Suparno, 1996). Dalam proses pembelajaran bahasa, keberanian siswa dalam
mengungkapkan ide dengan bahasa sendiri merupakan suatu langkah produktif yang
perlu terus dikembangkan. Untuk itu, kebiasaan siswa membaca bacaan yang relevan
dengan pelajaran juga perlu digiatkan secara intensif.
110
Kegiatan lain yang juga menjadi tanggung jawab guru pada saat prabaca adalah
menyampaikan bentuk-bentuk tugas tertentu yang akan dikerjakan siswa. Berkenaan
dengan penyampaian tugas yang jelas dalam pembelajaran, Eanes (1997:549)
mengatakan agar siswa diberi petunjuk tentang apa yang harus dilakukan.Uraian lebih
jelas tentang tugas yang akan dikerjakan siswa dapat semakin mempermantap
langkah siswa dalam kegiatan baca. Sehubungan dengan tugas tersebut, sebelum
kegiatan baca dilakukan, guru menyampaikan tugas berikut.
“sekarang …, sebelum menuju ke taman, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh tiap kelompok terlebih dahulu, pertama, melalui majalah yang telah dipilih oleh masing-masing ketua kelompok itu, setiap kelompok bebas memilih satu judul bacaan dengan kreteria: judul bertema tentang pertanian, uraian jelas dan lengkap, dan terdiri dari beberapa paragraf”.
Dengan tugas itu, siswa terarahkan pada kegiatan yang jelas. sebaliknya, siswa
yang hanya mengetahui tujuan tanpa memahami tindakan riil yang akan dilakukan
akan mengarah pada gangguan emosi, bahkan cenderung frustasi. Karena itu, Johnson
& Johnson (1991) juga berpendapat bahwa spesifikasi tugas pengajaran yang jelas
dan cermat sangat penting bagi kelancaran belajar siswa karena dapat menghindarkan
siswa dari rasa frustasi. Jadi, mengabaikan tugas yang jelas pada prabaca akan
mempengaruhi konsentrasi siswa, namun memberikan tugas yang jelas dapat
menambah kemantapan siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar.
Pembahasan tahap prabaca tersebut merupakan langkah awal yang dapat
berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan membaca pemahaman literal dan
interpretatif melalui pendekatan konstruktivisme. Berkaitan dengan itu, pada tahap
saat baca, terdapat dua kegiatan guru dan siswa yang perlu dikemukakan. Untuk itu,
111
guru membimbing, mengarahkan, dan memancing siswa agar mudah menemukan
jawaban-jawaban yang tepat. Pada intinya, bimbingan, arahan, dan pancingan yang
diberikan guru untuk memberikan kemudahan siswa dalam membaca bacaan. Pada
tahap ini, guru berperan sebagai mediator dan fasilitator. Peran itu sangat penting
karena dapat meningkatkan kemampuan membaca pemahaman literal dan
interpretatif. Dalam hal ini, Suparno (1996:65-66) menegaskan bahwa proses belajar
dapat berlangsung dengan baik jika guru memainkan peran sebagai mediator dan
fasilitator. Dengan peran itu, guru tidak memberi ceramah, tetapi cenderung memberi
arahan bagaimana kegiatan dilakukan. Selain itu, guru tidak mengharuskan siswa
memberikan jawaban yang benar, tetapi cenderung menyemangati siswa agar berpikir
kreatif untuk mengemukakan ide-idenya secara interpretatif. Hal itu dilakukan untuk
menumbuhkan rasa percaya diri siswa bahwa dirinya merupakan subjek yang harus
dan mampu menguasai informasi yang baru.
Dalam praktik tahap saat baca, perilaku guru sebagai mediator dan fasilitator
tampak ketika guru mengingatkan siswa tentang waktu yang dipakai untuk membaca.
Seiring dengan itu, guru mengajak siswa untuk memahami kegiatan yang akan
dilakukan sehingga mereka tergerak menuju taman. Setelah sampai di tempat yang
dituju, guru membimbing siswa secara berkelompok. Arahan yang diberikan guru
berlanjut ketika guru membimbing siswa untuk mengikuti petunjuk atau langkah-
langkah khusus dalam kegiatan menjawab LKS. Terkait dengan itu, sebagai pengajar
konstruktivis, guru memberikan perhatian utuh kepada siswa dengan cara mengajak
atau melibatkan siswa dalam pemancingan munculnya suatu jawaban. Hal itu
112
terbukti sudah dapat meningkatkan kemampuan membaca pemahaman literal dan
interpretatif melalui pendekatan konstruktivisme.
Dalam hal itu, siswa diberi kesempatan untuk memahami pertanyaan, mencari
jawaban dalam bacaan secar literal dan interpretatif, dan mengemukakan jawaban,
bahkan membandingkan jawaban antarteman. Berkaitan dengan itu, Wilson (1996:
11-12) dan Diptoadi (1997:4-5) berpendapat bahwa seorang guru dapat menata
lingkungan belajar dengan cara memberikan kesempatan pada siswa untuk terlibat
dalam pembelajaran. Dalam proses tersebut, lingkungan belajar yang terjaga dengan
baik dapat menjadikan siswa sadar akan pentingnya pemberdayaan diri melalui
interaksi sosial, baik dengan guru maupun sesama teman. Sebaliknya, kesadaran akan
pentingnya proses membentuk keilmuan melalui lingkungan belajar yang nyaman
sulit terjadi jika guru abai terhadap lingkungan belajar. Guru memang dapat berperan
sebagai pemicu kegiatan belajar. Selanjutnya, siswalah yang berperan sebagai
pemacu diri untuk belajar.
Akhirnya, kegiatan pasca baca juga merupakan tindakan penting dalam
pembelajaran membaca pemahaman literal dan interpretatif karena merupakan tahap
yang berpengaruh terhadap rasa percaya diri siswa dalam memahamai jawaban-
jawaban yang dikemukakan masing-masing kelompok. Pada tahap ini, siswa
diarahkan agar membetulkan jawaban-jawaban yang keliru. Perilaku selektif ini
menjadikan siswa semakin teliti dalam menyatakan “benar” terhadap suatu informasi
jawaban yang telah diperoleh. Meskipun jawaban yang diperoleh sudah benar, siswa
113
masih terlibat untuk mengoreksi apakah masih ada kekurangsempurnaan jawaban.
Langkah ini dapat mendorong rasa ingin tahu yang terus meningkat.
Dalam proses itu, guru sebatas mengajak siswa untuk memfokuskan persepsi
terhadap suatu jawaban pertanyaan. Siswa pun terdorong untuk melakukan koreksi
terhadap jawaban yang telah dihasilkan kelompok. Cara ini dapat mendorong siswa
untuk menemukan jawaban yang benar melalui interaksi intensif antaranggota
kelompok. Jika dalam proses interaksi intensif antaranggota terdapat jawaban
pertanyaan yang kurang sempurna, maka secara terbuka timbul kesadaran untuk
membetulkannya. Sikap menerima koreksi dari teman sejawat untuk menuju jawaban
yang diinginkan ini merupakan proses berpikir yang diharapkan timbul dan tumbuh
dalam diri masing-masing siswa. Dalam pandangan kaum konstruktivis, siswa
sendirilah yang semestinya aktif dalam mengecek, sekaligus membanding-
bandingkan informasi baru dengan informasi lama, bahkan merevisinya apabila suatu
informasi tidak sesuai lagi (Slavin, 1994:224).
5.1.3 Cara Meningkatkan Evaluasi Pembelajaran Membaca Pemahaman Literal
dan Interpretatif melalui Pendekatan Konstruktivisme
Evaluasi pembelajaran membaca pemahaman literal dan interpretatif
berdasarkan pendekatan konstruktivisme merupakan langkah penting untuk
mengetahui prestasi peningkatan kemampuan membaca pemahaman. Langkah itu
dilakukan untuk meningkatkan kemampuan membaca pemahaman literal dan
interpretatif berdasarkan pendekatan konstruktivisme. Dengan evaluasi terhadap
pembelajaran membaca, guru dapat menemukan kelemahan dan kelebihan siswa
114
sehingga guru dapat merancang pembelajaran yang sesuai, memberitahukan
kemajuan siswa kepada orang tua, dan mengevaluasi efektivitas strategi
pembelajaran. Jika evaluasi dilakukan dengan cermat, maka informasi tentang hasil
dan kemajuan belajar siswa yang dapat diungkap semakin akurat.
Berkaitan dengan praktik evaluasi pembelajaran membaca yang terjadi pada
siklus I, guru menugasi siswa mengerjakan tes formatif sebagai tes membaca
pemahaman. Tes ini digunakan untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap bacaan
yang berhubungan dengan alat tema pertanian. Pemahaman yang demikian mencakup
tingkat pemahaman literal dan interpretatif. Berdasarkan tes membaca yang
dikerjakan siswa terungkap bahwa hasil pembelajaran membaca baik. Prestasi itu
dicapai karena terbukti bahwa hasil belajar berdasarkan tes tertulis kelompok tinggi
RN mendapat nilai 85 (sangat baik), RS kelompok sedang mendapat nilai 80 (baik),
YR kelompok sedang mendapat nilai 77 (baik), dan TB kelompok lambat mendapat
nilai 68 (cukup). Sementara itu, nilai setiap aspek pemahaman, yakni ) tingkat
pemahaman literal rata-rata 35,75 dan tingkat pemahaman interpretatif rata-rata
41,75. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kegiatan membaca yang dilakukan siswa
sudah berhasil.
Akan tetapi, sebagai guru tidak boleh cepat puas atas hasil yang dicapai siswa.
Artinya, upaya peningkatan kemampuan membaca pun dilanjutkan melalui siklus II.
Pada siklus II dapat diketahui bahwa hasil tes kemampuan membaca literal dan
interpretatif meningkat. Hal itu dapat diketahui karena nilai yang lebih baik daripada
siklus I. Nilai dari ke-2 aspek pemahaman rata-rata sudah mendapat kategori sangat
115
baik, yaitu telah mencapai 87.00, dengan rencana (1) tingkat pemahaman literal 37,50
(2) tingkat pemahaman interpretatif rata-rata 49.50. Skala yang digunakan untuk
mengetahui tingkat penguasaan kemampuan siswa terhadap pertanyaan bacaan adalah
85-100 untuk kategori sangat baik, 70-84 untuk kategori baik, 55-69 untuk kategori
cukup, 41-54 untuk kategori kurang, dan 0-40 untuk kategori sangat kurang. Hasil
belajar berdasarkan tes tertulis kelompok tinggi RN mendapat nilai 93 (sangat baik)
dan kelompok sedang RS mendapat nilai 89 (sangat baik), kelompok sedang YR
mendapat nilai 87 (sangat baik), kelompok lambat TB mendapat nilai 79 (baik).
Akan tetapi, sebagai guru perlu meluaskan pandangan secara komprehensif
dalam melihat prestasi siswa. Artinya, seorang guru BI perlu memahami prestasi
siswa tidak hanya berdasarkan hasil tes tertulis, tetapi juga perlu melengkapinya
dengan informasi hasil penilaian proses. Dalam hal ini, penilaian dilakukan selama
pembelajaran berlangsung. Untuk itu, evaluasi dilakukan dengan cara mengungkap
respon pembelajaran, baik dari siswa maupun praktisi yang terlibat aktif
pembelajaran siklus I. Informasi diperoleh melalui pengamatan dan wawancara
dengan siswa dan praktisi. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap siswa
terungkap bahwa pembelajaran yang dilaksanakan dengan pendekatan
konstruktivistik dapat menjadikan siswa senang karena bebas berpikir dan
berependapat dengan teman kelompok. Di samping itu, siswa dapat terdorong untuk
membaca karena bacaan yang menarik semakin menambah semangat siswa untuk
mengungkap isi meskipun sambil bertanya pada guru dan berdiskusi dengan teman.
Dengan begitu, cara belajar membaca perlu dilanjutkan. Sementara itu, praktisi juga
116
melihat bahwa praktik membaca baik untuk dilaksanakan. Senada dengan pernyataan
siswa, praktisi setuju dan mendukung pelaksanaan pembelajaran ini.
Setelah memperhatikan uraian tersebut, dari segi hasil memang sudah baik.
Akan tetapi, praktisi memberikan catatan bahwa perlu waktu yang cukup untuk
melatih anak mengikuti proses belajar berpendekatan konstruktivistik. Di samping
itu, praktisi juga menyatakan bahwa ketersediaan bacaan yang menarik perlu
diantisipasi agar semakin menarik dan bermanfaat bagi kehidupan siswa. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa penggunaan pendekatan kontruktivisme dalam
pembelajaran membaca itu baik dilakukan di kelas I SLTP karena dapat
membangkitkan minat baca di sekolah.
5.2 Implikasi Praktis Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memperoleh beberapa temuan yang
berkaitan dengan tahap prabaca, saat baca, dan pasca baca. Implikasi dari penelitian
mencakup (1) perencanaan pembelajaran, (2) pelaksanaan pembelajaran, dan (3)
pengevaluasian hasil pembelajaran membaca pemahaman literal dan interpretatif
berdasarkan pendekatan konstruktivisme. Uraian implikasi yang dimaksud sebagai
berikut.
5.2.1 Implikasi Hasil Penelitian terhadap Perencanaan Pembelajaran Membaca
Perencanaan pembelajaran perlu diperhatikan oleh seorang guru BI dengan
cermat karena sangat berpengaruh terhadap kelancaran, bahkan keberhasilan
pembelajaran yang akan dilaksanakannya. Dalam pembelajaran membaca
pemahaman literal dan interpretatif, perencanaan pembelajaran yang mantap malah
117
dapat menimbulkan dampak positif yang luar biasa karena siswa terdidik, bahkan
terbiasa untuk mencintai budaya baca yang diperlukan dalam penguasaan berbagai
disiplin ilmu. Jika perencanaan pembelajaran membaca tersebut diabaikan, sudah
barang tentu akan berpengaruh negatif terhadap peningkatan kemampuan baca siswa.
Sebagai konsekuensi logisnya, siswa yang kurang meminati budaya baca akan
menghadapi kesulitan menguasai isi bacaan yang dihadapinya. Padahal, informasi
dapat dikuaasai melalui kegiatan membaca. Jadi, perencanaan pembelajaran
membaca pemahaman literal dan interpretatif merupakan langkah strategis ganda
karena tidak hanya dapat digunakan untuk memperlancar penguasaan isi suatu
bacaan, tetapi juga dapat mempertajam semangat baca para siswa. Dengan cara
membaca, siswa dapat mengenali, menguasai, bahkan mengkonstruk suatu ilmu
dalam dirinya secara aktif, kreatif, gembira, semangat, dan terbuka.
Bertolak dari pemikiran itu, secara eksplisit dapat dikemukakan implikasi
perencanaan pembelajaran membaca pemahaman berdasarkan pendekatan
konstruktivisme sebagai berikut. Langkah awal yang patut dilakukan guru dalam
merencanakan pembelajaran adalah perlunya melakukan diagnosis kebutuhan.
Artinya, prestasi siswa perlu dipahami lebih awal sebelum rencana pembelajaran
disusun. Hasil identifikasi prestasi siswa dapat dimanfaatkan untuk menentukan
kualitas dan kuatitas bacaan yang dibutuhkan. Dengan kata lain, kebiasaan
memberikan sembarang bacaan kepada siswa perlu dipertimbangkan masak-masak
karena belum tentu relevan dengan kondisi internal siswa. Di samping itu, bacaan
yang tidak sesuai dengan kondisi siswa akan mempengaruhi semangat baca yang
telah dimiliki.
118
Ketika prestasi awal siswa telah dipahami, rancangan pembelajaran perlu segera
disusun. Penyusunan rencana pembelajaran membaca berdasarkan pendekatan
konstruktivisme dapat berpengaruh positif terhadap keberhasilan pembelajaran
bahasa. Peluang keberhasilan pembelajaran bahasa semakin terbuka karena siswa
merupakan sentral kegiatan yang tidak boleh diabaikan. Sebagai subjek atau pelaku
dalam kegiatan belajar berdasarkan pendekatan konstruktivisme, perilaku siswa jelas
sudah ditata secara cermat dalam rencana pembelajaran. Dalam rancangan
pembelajaran membaca pemahaman berdasarkan pendekatan konstruktivisme,
perilaku siswa diam/pasif yang cenderung menerima transfer ilmu dari guru harus
dihindari. Menghindari hal itu dapat dilakukan dengan cara menempatkan siswa
sebagai pelaku aktif dalam membaca. Dengan begitu, siswa dipersiapkan sebagai
sosok dinamis dalam menguasai suatu informasi dalam suatu bacaan.
Untuk itu, syarat rancangan pembelajaran membaca pemahaman yang baik
perlu dicermati. Berkenaan dengan itu, seorang guru BI sebagai perencana
pembelajaran membaca pemahaman jelas tidak boleh melupakan aspek tujuan
pembelajaran karena berkenaan dengan ukuran keberhasilan pembelajaran. Selain itu,
secara sadar, guru perlu segera berpikir tentang pentingnya praktik mengungkap
skemata siswa tentang apa yang akan dibacanya. Hal ini berarti bahwa dalam
pembelajaran konstruktivistik, otak siswa bukan kotak kosong yang menunggu
“curahan informasi” dari guru. Sebelum mengikuti kegiatan baca, guru perlu
berusaha keras untuk memahami skemata yang sudah dimiliki siswa. Jika upaya
membangkitkan skemata berlangsung efektif, seorang guru juga perlu
mempersiapkan kesadaran bahwa suatu saat akan berbeda pandapat dengan siswa.
119
Sebagai kondisi kognitif yang dilazimkan oleh kaum konstruktivis, pencantuman
suatu tujuan yang jelas akan dapat membantu siswa untuk mengecek skemata yang
dimiliki sehingga dapat membangkitkan semangat dalam suatu kerja kelompok yang
telah dibentuk.
5.2.2 Implikasi Hasil Penelitian terhadap Pelaksanaan Pembelajaran Membaca
Pelaksanaaan pembelajaran merupakan sebuah proses yang melibataktifkan
aspek lahir batin siswa secara terpadu yang terencana secara matang dalam bentuk
rencana pembelajaran. Sebagai kegiatan kreatif-produktif mempelajari dan
memperoleh bahasa melalui kegiatan membaca, sosok siswa tidak dibenarkan dalam
kondisi tertekan secara mental. Sebaliknya, siswa semestinya ditempatkan sebagai
individu yang “merdeka” untuk memilih bahan, menentukan irama belajar,
mendiskusikan isi, mengemukakan pendapat, menanggapi pendapat, serta
menggunakan informasi yang diperolehnya sebagai dasar untuk membangung
pengetahuan dalam dirinya. Itu berarti bahwa siswa merupakan individu yang mandiri
dalam meraih prestasi tanpa ada pihak yang berhak menekan batinnya. Dalam hal ini,
kehadiran teman sejawat sebatas sebagai mitrabelajar yang selalu terbuka dalam
menerima pendapat orang lain. Sementara itu, kehadiran guru sebatas sebagai
motivator dan fasilitator yang selalu aktif membimbing siswa belajar. Dengan
demikian, siswa yang sedang melaksanakan pembelajaran sesungguhnya merupakan
individu yang berada dalam alam “demokratis” karena ada keleluasaan untuk belajar.
Di samping itu, di tengah kemerdekaan siswa untuk mempelajari suatu
informasi dalam bacaan, seorang guru sesunggunya memiliki ruang gerak yang
120
leluasa untuk menciptakan kerja sama dengan siswa. Secara fisik, kerja sama
mungkin saja terlihat dalam memilih, menata, dan memanfaatkan sarana belajar yang
tersedia di lingkungan sekolah. Akan tetapi, kerja sama yang lebih mendasar
sesungguhnya dapat terjadi secara mental. Maksudnya, guru juga dapat “mendekati”
siswa untuk mengetahui dan mengungkap apa yang menjadi kesulitan-kesulitan
secara pribadi dalam memahami informasi. Bertolak dari pemahaman guru tentang
kesulitan yang dihadapi, guru dapat membantu siswa agar dapat mengatasi kesulitan
belajar, baik secara kognitif maupun afektif. Dalam hal ketidaktahuan siswa terhadap
suatu istilah dalam bacaan, misalnya, guru dapat mengajak siswa untuk memahami
secara interaktif. Dalam hal ketidaksiapan siswa terhadap suasana belajar, guru dapat
mendorong siswa secara dialogis. Pendek kata, kerja sama antara guru dan siswa
perlu dimanfaatkan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi siswa sehingga mereka
memiliki kemauan dan keberanian dalam menyatakan pikiran dan perasaan secara
terbuka. Hal ini relevan dengan pentingnya proses produktif dalam menguasai suatu
bahasa.
Untuk itu, pelaksanaan pembelajaran perlu didukukung dengan lembar kerja
siswa. Dalam bentuk lembar kerja siswa per kelompok dan per individu, keduanya
berimplikasi positif terhadap proses kerja siswa. Hal itu perlu dibiasakan karena
pemanfaatan LKS kelompok dapat digunakan para siswa untuk menyatukan
konsentrasi dalam merumuskan pendapat. Sebaliknya, LKS per siswa dapat
digunakan untuk melatih semangat individu dalam mengungkapkan gagasan. Dalam
hal ini, sebuah LKS perlu dirancang secara efektif. Efektifitas sebuah LKS terlihat
pada kesesuaiannya dengan tujuan yang akan dicapai, kecermatannya dalam butir-
121
butir tugas yang perlu dikerjakan siswa, dan kelengkapan muatan tugas yang dapat
memicu siswa menguasai suatu informasi bacaan secara menyeluruh. Dengan begitu,
siswa akan terpacu memanfaatkan LKS, baik secara berkelompok maupun secara
individual.
Pertimbangan lain yang perlu dikemukakan dalam merancang dan
melaksanakan pembelajaran adalah keterkaitan apa yang dipelajari siswa dengan apa
yang telah, sedang, dan akan dihadapi siswa di lingkungan hidupnya. Sebagai
alternative, pilihan majalah TRUBUS karena termotivasi oleh kedekatan siswa
dengan lingkungan pertanian sudah searah dengan kebutuhan siswa karena siswa
dekat dengan lingkungan pertanian. Selain itu, tidak tertutup kemungkinan siswa juga
dihadapkan pada materi pilihan bidang kelautan atau otomotif jika dipahami melalui
analisis kebutuhan bahwa siswa berada dalam lingkungan tersebut. Dalam
pembelajaran membaca pemahaman berpendekatan konstruktivisme, kedekatan
substansi yang dibaca akan menambah kebermaknaan informasi yang diperlukan
siswa secara langsung. Hal ini juga berarti bahwa lingkungan siswa merupakan aspek
yang harus diperhatikan dalam melaksanakan pembelajaran, terutama dalam
pemilihan bahan bacaan. Karena itu, materi bacaan yang berada “di luar” dunia siswa
dapat menjadikan siswa tidak siap secara intelektual karena merasa asing dengan apa
yang dihadapinya.
122
5.2.3 Implikasi Hasil Penelitian terhadap Evaluasi Pembelajaran Membaca
Pengevaluasian pembelajaran membaca perlu dilakukan secara terpadu agar
dapat diperoleh prestasi dan kemajuan belajar yang semakin meningkat. Untuk itu,
siswa perlu dilibatkan sebagai menilai terhadap diri sendiri. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara mengajak siswa mempertimbangkan benar tidaknya, lengkap tidaknya,
jelas tidaknya, atau relevan tidaknya jawaban yang dimiliki dengan jawaban yang
diperlukan. Keterlibatan siswa secara intensif dalam menelaah jawaban yang telah
dibuatnya dapat menjadikan siswa semakin korektif-instrospektif terhadap pemikiran
yang telah dilakukan. Dengan cara itu, segi intelektual siswa akan matang dengan
sendirinyaa karena terlibat dalam proses mengolah jawaban yang diperlukan. Pada
akhirnya, siswa menginterpretasi jawaban apa yang relevan dengan suatu pertanyaan
melalui proses berpikir secara aktif.
Pada sisi lain, seorang guru juga dapat memanfaatkan penilaian hasil dalam
bentuk tes yang dikerjakan setiap siswa pada akhir proses belajar. Kegiatan ini dapat
mendorong terbentuknya konsentrasi siswa dalam memahami isi bacaan, baik secara
literal maupun interpretatif. Akan tetapi, guru dan siswa perlu disadarkan bahwa tes
bukan merupakan satu-satunya alat untuk mengetahui keberhasilan siswa. Dalam
pembelajaran membaca, misalnya, keberhasilan siswa yang diketahui berdasarkan tes
hanya merupakan salah satu informasi untuk melengkapi informasi lain yang
diperoleh dari teknik observasi. Karena itu, evaluasi pembelajaran membaca
sesungguhnya dapat dilakukan menggunakan evaluasi hasil dan evaluasi proses.
Namun, keduanya perlu dipadukan untuk memahami prestasi belajar siswa secara
utuh.
123
Akhirnya, pada bagian ini perlu ditegaskan bahwa peningkatan kemampuan
membaca literal dan interpretative siswa SLTP dapat dilakukan menggunakan
pendekatan konstruktivisme. Dengan pendekatan itu, pembelajaran perlu
dipersiapkan secermat mungkin. Bertolak dari persiapan yang cermat, pembelajaran
dapat dilaksanakan secara demokratis sehingga siswa merasa terlibat aktif-produktif
dalam belajar. Jika siswa pada kelompok lambat dapat berkembang, siswa dalam
kelompok sedang dan tinggi akan semakin berpeluang meningkatkan prestasinya.
Selama dan setelah proses pembelajaran membaca, penilaian dapat dilakukan, baik
berupa penilaian proses selama pembelajaran berlangsung maupun penilaian hasil
yang dilaksanakan pada akhir kegiatan. Memang, pendekatan konstruktivisme
merupakan alternative pendekatan yang dapat menjadikan siswa berkembang secara
dinamis dalam iklim belajar yang kondusif.
124