bab v. deskripsi identitas kebalian - institutional...

150
247 BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN Bab Lima merupakan deskripsi bentuk identitas kebalian komunitas Bali Nusa di Balinuraga. Sebuah (bentuk) identitas kebalian yang kompleks, tidak kaku (monoton) dan terbatas bahwa komunitas ini adalah orang Bali dan Hindu. Tidak pula terbatas pada seremoni atau upacara-upacara besar yang menunjukkan eksistensi mereka seperti sebuah negara teater Kampung Bali. Ada sistem sosial di dalamnya yang memfungsikan identitas kebalian mereka sebuah sistem sosial yang sama kompleksnya dengan identitas itu sendiri sebagai sebuah kesatuan. Picard (1997, 1999, 2005, 2008) menyebutkan identitas kebalian sebagai kebudayaan Bali yang merupakan gabungan dari elemen-elemen penting kebudayaan Bali seperti kepercayaan, adat istiadat (tradisi) dan kesenian. Sistem Sosial - Kemasyarakatan Komunitas Bali Nusa Ciri khas komunitas Bali Nusa di Balinuraga yang secara umum menjadi ciri khas transmigran Bali adalah keterikatan sosialnya dengan tanah kelahiran atau tanah leluhur. Ikatan sosial ini yang kemudian menjadi ciri khas atau pengidentifikasian diri mereka sebagai Bali Hindu tetap menjadi Bali Hindu meskipun sudah berada di luar Bali. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa sistem sosial ini diadaptasi oleh para transmigran agar mereka tetap identik (sama) seperti yang ada di tempat kelahirannya Nusa Penida, Bali. Bagi mereka menjadi Bali setelah berada di Lampung bukan hanya karena mereka berasal dari Bali, tetapi yang terpenting adalah bagaimana sistem sosial yang di dalamnya terdapat nilai-nilai kultural-keagamaan (Bali Hindu) tetap berjalan dan berlaku seperti di tempat asal dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan tempat yang baru (Lampung). Keseluruhan sistem sosial ini yang di dalamnya terdapat sistem adat dan keagamaan, sistem kekerabatan dan kemasyarakatan, sistem pertanian dan lain-lain adalah dasar dari kebalian mereka, sekaligus menjadi Lampung (bagian dari masyarakat Lampung). Mereka berpendapat dan berkeyakinan bahwa mereka menjadi Bali (Bali Hindu) setelah berada di Lampung ketika sistem sosial yang ada di tempat asal tetap dijalankan sebagaimana mestinya (dengan melakukan beberapa penyesuaian-penyesuaian

Upload: ledan

Post on 04-Mar-2019

235 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

247

BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN

Bab Lima merupakan deskripsi bentuk identitas kebalian

komunitas Bali Nusa di Balinuraga. Sebuah (bentuk) identitas kebalian

yang kompleks, tidak kaku (monoton) dan terbatas bahwa komunitas ini

adalah orang Bali dan Hindu. Tidak pula terbatas pada seremoni atau

upacara-upacara besar yang menunjukkan eksistensi mereka seperti sebuah

negara teater Kampung Bali. Ada sistem sosial di dalamnya yang

memfungsikan identitas kebalian mereka – sebuah sistem sosial yang sama

kompleksnya dengan identitas itu sendiri sebagai sebuah kesatuan. Picard

(1997, 1999, 2005, 2008) menyebutkan identitas kebalian sebagai

kebudayaan Bali yang merupakan gabungan dari elemen-elemen penting

kebudayaan Bali seperti kepercayaan, adat istiadat (tradisi) dan kesenian.

Sistem Sosial - Kemasyarakatan Komunitas Bali Nusa

Ciri khas komunitas Bali Nusa di Balinuraga – yang secara umum

menjadi ciri khas transmigran Bali – adalah keterikatan sosialnya dengan

tanah kelahiran atau tanah leluhur. Ikatan sosial ini yang kemudian

menjadi ciri khas atau pengidentifikasian diri mereka sebagai Bali Hindu –

tetap menjadi Bali Hindu – meskipun sudah berada di luar Bali. Seperti

yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa sistem sosial ini

diadaptasi oleh para transmigran agar mereka tetap identik (sama) seperti

yang ada di tempat kelahirannya Nusa Penida, Bali. Bagi mereka menjadi

Bali setelah berada di Lampung bukan hanya karena mereka berasal dari

Bali, tetapi yang terpenting adalah bagaimana sistem sosial yang di

dalamnya terdapat nilai-nilai kultural-keagamaan (Bali Hindu) tetap

berjalan dan berlaku seperti di tempat asal dengan melakukan

penyesuaian-penyesuaian dengan tempat yang baru (Lampung).

Keseluruhan sistem sosial ini – yang di dalamnya terdapat sistem adat dan

keagamaan, sistem kekerabatan dan kemasyarakatan, sistem pertanian dan

lain-lain – adalah dasar dari kebalian mereka, sekaligus menjadi Lampung

(bagian dari masyarakat Lampung). Mereka berpendapat dan berkeyakinan

bahwa mereka menjadi Bali (Bali Hindu) setelah berada di Lampung

ketika sistem sosial yang ada di tempat asal tetap dijalankan sebagaimana

mestinya (dengan melakukan beberapa penyesuaian-penyesuaian

Page 2: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

248

berdasarkan konsep kala dan patra) melalui ritual dan upacara adat-

keagamaan layaknya di Bali secara eksklusif di dalam komunitasnya

(Kampung Bali); dan menjadi Lampung dalam proses interaksi dan

relasinya (hubungan sosial) dengan komunitas lain dalam masyarakat

Lampung yang majemuk, baik hubungan personal dan kelompok

(horisontal) maupun hubungan dengan instansi pemerintahan (vertikal).

Dengan kata lain, sistem sosial layaknya di Bali ini yang menjadikan

landasan identitas mereka sebagai “Bali Hindu” yang ada di Lampung.

Untuk menguraikan sistem sosial komunitas Bali Nusa di Desa

Balinuraga ini, maka pembahasannya akan dipilah-pilah menjadi beberapa

bagian, meskipun berada dalam sebuah sistem sosial di komunitas ini.

Sistem sosial ini adalah sistem yang kurang lebih sama dengan yang ada di

tanah kelahiran mereka, khususnya di Nusa Penida, Bali. Ada pun yang

menjadi bagian atau elemen-elemen dari sistem sosial yang turut mereka

adaptasi di Desa Balinuraga, Lampung Selatan, yang menjadi identitas

mereka sebagai Bali Hindu di Lampung adalah sistem adat dan keagamaan

dalam bentuk kewajiban-kewajiban terhadap pura tertentu (kahyangan

tiga, kawitan, dadia), banjar, krama subak, status sosial dalam sistem

warga (sistem kekerabatan dalam satu identitas leluhur), perkumpulan dan

keanggotaan seka (baca: seke, sebutan lain sekeha-sekeha) tertentu, dan

komunitas adat (banjar, desa adat / desa pakraman)224

. Berdasarkan

elemen-elemen tersebut, yang dalam adaptasinya dilakukan proses

penyesuaian berdasarkan konteks masyarakat Lampung yang majemuk,

maka menjadikan komunitas ini sebagai sebuah komunitas yang memiliki

ikatan sosial yang kuat ke dalam komunitasnya (melalui komunitas

Kampung Bali yang eksklusif, bonding) tapi juga sebagai sebuah

komunitas yang memiliki ikatan sosial yang kuat ke luar komunitasnya

(bridging, atau bonding dalam ruang identitas yang lebih besar, yaitu

ikatan sosial sebagai masyarakat Lampung).

224

Sebagai perbandingan dapat lihat Geertz (1959) “From and Variation in Bali

Village Structure”, dalam American Antropoligist Vol. 61. Pp.991-1012, segi-segi

kehidupan sosial apa saja yang mengikat masyarakat Bali dalam sistem sosialnya.

Page 3: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

249

Pura Kahyangan Tiga dan Pura Kawitan

Sebuah pertanyaan penting guna memastikan eksistensi komunitas

Bali Nusa di Desa Balinuraga adalah apa (wujud fisik pura tertentu) yang

melegalkan bahwa komunitas ini atau Desa Balinuraga merupakan sebuah

komunitas adat-keagamaan Bali Hindu yang ada di Lampung Selatan?

Cukup mudah untuk memastikan dan membuktikan bahwa desa ini

merupakan sebuah desa Bali Hindu yang ada di luar Bali, yaitu dengan

melihat wujud fisik Pura Kahyangan Tiga: Pura Desa (Pura Bale Agung),

Pura Puseh (sebutan lain: Pura Segara), dan Pura Dalem. Keberadaan Pura

Kahyangan Tiga ini, yang sejak di tahun-tahun awal mereka

bertransmigrasi sudah mulai dibangun dalam bentuk yang sangat

sederhana, merupakan elemen penting yang menyatukan komunitas

transmigran Bali Nusa dalam satu komunitas adat-keagamaan yang

nantinya bernama Desa Balinuraga. Dengan kata lain, eksistensi identitas

mereka sebagai sebuah desa atau komunitas Bali Nusa (Bali Hindu) yang

mengikat komunitas ini secara adat dan keagamaan dapat dilihat

keberadaan Pura Kahyangan Tiga.

Fungsi utama dari keberadaan Pura Kahyangan Tiga ini adalah

sebagai pemersatu anggota komunitas Desa Balinuraga yang

terfragmentasi ke dalam tujuh banjar (dusun) dengan komposisi warga-

warga tertentu dan sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa

(Tuhan Yang Maha Esa)225

. Meskipun Pura Kahyangan Tiga ini berfungsi

sebagai pemersatu dari warga-warga yang tersebar di tujuh banjar, namun

ada sebuah kasus menarik yang harus dipaparkan oleh penulis bahwa

pertentangan antar warga yang telah dibahas sebelumnya di Bab Lima juga

dimanifestasikan dalam salah satu Pura Kahyangan Tiga ini, yaitu adanya

dua Pura Puseh (tercakup di dalamnya Pura Penataran Bale Agung). Sejak

wafatnya Sri Mpu Suci sebagai patron utama sebagai pemersatu warga-

warga, kelompok warga yang bertentangan dengan kelompok warga yang

lain berusaha untuk membuat Pura Puseh tersendiri sebagai manifestasi

225

Fungsi lain dari Pura Kahyangan Tiga adalah mengendalikan tiga dasar sifat

dan bakat manusia yang dalam ajaran agama Hindu disebut Tri Guna (Wiana

2007), yaitu (1) Sattwam: dasar terbentuknya sifat-sifat baik, tenang, suci,

pengasih dan penyayang; (2) Rajas:dasar terbentuknya sifat-sifat aktif bergerak

energik; (3) dan Tamas: dasar terbentuknya sifat-sifat lamban, gelap dan malas.

Page 4: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

250

Dewa Wisnu (Dewa Pelindung) bagi komunitas (banjar) warga tersebut.

Seolah-olah salah satu kelompok warga tersebut tidak mau memiliki satu

Pura Puseh, atau ingin memiliki Dewa Pelindung atau Pura Puseh sendiri

bagi komunitas warga-nya. Namun, Pura Desa (Pura Bale Agung) dan

Pura Dalem tetap satu dalam Desa Balinuraga. Oleh karena itu, tidak

mengherankan bila di dalam catatan statistik Kecamatan Way Panji tahun

2009 tercatat ada empat buah tempat peribadatan atau pura (seharusnya

ada tiga pura / Kahyangan Tiga) di Desa Balinuraga226

. Realitas

pertentangan warga yang turut dimanifestasikan dalam salah satu Pura

Kahyangan Tiga ini sebenarnya adalah sebuah dinamika dalam komunitas

Bali Nusa di mana setiap kelompok warga memiliki ego tersendiri untuk

menunjukkan status siapa tertinggi. Para tokoh atau sepuh sebenarnya

menyayangkan kejadian seperti ini, mengapa pertentangan antar warga

yang sebenarnya diwakili oleh para elit warga tertentu sampai melibatkan

umat. Dalam arti pertentangan elit warga sampai melibatkan dan

membawa umat pada tempat peribadatan (Pura Puseh dan Pura Desa) yang

berbeda, di mana sebelumnya (sebelum Sri Mpu Suci wafat) mereka tetap

beribadat dalam pura yang sama. Muncul kesan dan terkesan ingin

mengkotak-kotakan dan memertajamkan perbedaan tersebut atas identitas

warga (leluhur), khususnya Warga Pandé dan Warga Pasek, di mana

Warga Arya berada di pihak yang netral. Oleh karenanya, keberfungsian

Pura Kahyangan Tiga sebagai pemersatu komunitas Bali Nusa tetap

berjalan sebagaimana mestinya, meskipun ada perpecahan. Hal ini

disebabkan mereka masih memiliki satu Pura Desa dan Pura Dalem

bersama-sama, misalnya, dalam upacara Ngaben semua warga

menggunakan Pura Dalem yang sama. Dalam kasus tertentu (upacara

keagamaan Hindu Dharma) PHDI sebagai wadah umat Hindu Dharma

menjalankan fungsinya sebagai penengah, yaitu memutuskan pura mana

(Pura Desa) yang akan dijadikan tempat upacara bagi umat Hindu Dharma

di Desa Balinuraga, karena PHDI sendiri tidak mau ikut campur mengenai

urusan adat, tapi menekankan pada kepentingan umat Hindu Dharma. Bagi

PHDI keutuhan dan kesolidan umat Hindu Dharma di Balinuraga lebih

226

Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Selatan (2009), Kecamatan Way

Panji Dalam Angka Tahun 2008-2009.

Page 5: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

251

penting, dan mencegah agar pertentangan adat (warga) tidak merembet ke

persoalan umat. Di samping itu, untuk ibadah yang bersifat harian mereka

memiliki Pura Keluarga (Rong Telu) sebagai Pura Kahyangan Tiga di

level keluarga inti. Realitas yang tidak dapat dihindari dari pertentangan

warga ini terhadap bangunan Pura Kahyangan Tiga adalah warga-warga

lebih condong (memprioritaskan) renovasi Pura Kawitan warga-nya

daripada Pura Kahyangan Tiga milik desa mereka, karena persaingan

eksistensi identitas warga mana yang lebih unggul lebih mudah untuk

dimanifestasikan – Pura Kahyangan Tiga merupakan milik Desa

Balinuraga atau semua kelompok warga-warga, sedangkan Pura Kawitan

adalah milik satu kelompok warga tertentu.

Page 6: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

252

Gambar 20. Pura Desa dan Pura Puseh I

(Atas: Pura Desa dan Puseh tampak depan; Bawah: pintu / gapura depan Pura

Desa dan Puseh)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Page 7: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

253

Gambar 21. Pura Desa dan Pura Puseh II

(Atas: bagian dalam Pura; bawah: Pura tampak depan menyerong ke kanan)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Page 8: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

254

Gambar 22. Pura Dalem

(Atas: bagian dalam Pura diambil dari sisi kiri tembok Pura; bawah: bagian depan

Pura)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Jika Pura Kahyangan Tiga merupakan pura bersama bagi warga-

warga di Desa Balinuraga, maka pada level di bawahnya (banjar atau

dusun yang mewakili identitas warga tertentu) mereka memilki Pura

Kawitan untuk warga-nya yang saat ini sudah membaur di berbagai

banjar. Artinya, dalam contoh kasus di Balinuraga, Warga Pandé dan

Warga Pasek memilki Pura Kawitan-nya sendiri (Pura Kawitan Warga

Pandé dan Pura Kawitan Warga Pasek); berbeda dengan Pura Kahyangan

Tiga yang mana digunakan oleh warga-warga. Pura Kawitan Warga

(dadia) ini berfungsi sebagai tempat suci (pura) untuk memuja roh suci

Page 9: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

255

leluhur sebagai Sang Hyang Atma, dan sebagai pemersatu anggota-

anggota komunitas Desa Balinuraga yang tersebar di berbagai banjar

berdasarkan identitas warga-nya atau identitas leluhurnya (pada satu

leluhur pembentuk klan atau warga tersebut). Oleh karena itu, dalam

kasus-kasus tertentu penyelenggaraan upacara atau ritual adat-keagamaan

terkadang tidak dilakukan bersama-sama dan dalam waktu yang bersamaan

karena setiap warga memiliki Pura Kawitan-nya sendiri. Tidak

mengherankan jika di Desa Balinuraga dalam rentang waktu tertentu dan

dalam ritual dan upacara adat-keagamaan tertentu dilaksanakan di tempat

yang berbeda dengan massa yang berbeda, tapi masih berada dan

merupakan masyarakat Desa Balinuraga; dan bagi orang awam yang

melihat penyelenggaraan ritual dan upacara tersebut akan menilai bahwa

ritual dan upacara adat-keagamaan sepertinya berlangsung terus menerus

dengan jeda waktu yang tidak terlalu lama.

Gambar 23. Pura Kawitan Warga

(Gapura depan memasuki bagian jero Pura)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Dasar atau acuan dari pembangunan Pura Kawitan Warga di Desa

Balinuraga adalah Pura Kawitan mereka di tanah kelahiran (sebelum

mereka bertransmigrasi), yaitu di Nusa Penida. Lebih spesifiknya adalah

dalam wilayah adat atau banjar di Nusa Penida, namun tetap dalam satu

identitas leluhur (warga) yang sama. Pura Kawitan ini merupakan ikatan

Page 10: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

256

sosial atas identitas leluhur dan tempat asal yang tidak dapat mereka

lepaskan meskipun mereka sudah berada di Lampung Selatan. Mereka

harus dan memiliki kewajiban adat-keagamaan terhadap Pura Kawitan

meskipun sudah berada di Lampung. Jati diri dan identitasnya sebagai Bali

Hindu ada di dalam Pura Kawitan tersebut. Dalam perkembangannya,

khususnya setelah beberapa anggota komunitas Desa Balinuraga merantau

ke luar Desa Balinuraga (beralih dari pertanian ke perkebunan), seperti ke

Lampung Timur (Tulang Bawang) dan Sumatera Selatan (daerah

perbatasan Lampung Timur dan Sumatera Selatan), Pura Kawitan di

Balinuraga tetap dijadikan sebagai tempat untuk melaksanakan kewajiban

adat-keagamaannya. Istilah orang Balinuraga yang sudah merantau (masih

di dalam pulau Sumatera) adalah pulang kampung ke Balinuraga ketika

ada upacara dan ritual adat-keagamaan penting yang diselenggarakan di

Pura Kawitan di Balinuraga berdasarkan identitas warga-nya sendiri. Bagi

mereka yang merantau, maka pulang kampung untuk melaksanakan

kewajiban adat-keagamaan sebanyak dua kali: ke Balinuraga, Lampung

Selatan dan Nusa Penida, Bali. Contoh kasusnya, dalam upacara penting

seperti Ngaben, anggota warga atau keluarga besar dari anggota keluarga

warga tertentu pasti akan datang ke Balinuraga untuk menghadiri upacara

tersebut. Bagi mereka tidak ada alasan untuk tidak menghadiri upacara

tersebut, karena ini merupakan acara yang bersifat sakral bagi mereka,

selain sebagai forum silatuhrami (medharma suaka). Oleh karena itu, akar

kesolidan (kekompakkan) etnis Bali di Lampung di level bawah (keluarga

besar warga), dalam kasus ini Bali Nusa di Balinuraga adalah keberadaan

Pura Kawitan. Di level desa adalah keberadaan Kahyangan Tiga, dan di

level provinsi (Bali Lampung) adalah keberadaan “Pura Besakih-nya

Lampung” atau “pura pemersatu” Bali Lampung yang berada di Way

Lunik (Bandar Lampung).

Page 11: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

257

Gambar 24. Warga Banjar Bersembahyang di Pura Kawitan Warga saat

Upacara Galungan

(Atas: warga bersembahyang di bagian jero Pura; bawah: sulinggih memberikan

tirta kepada umat)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Kata “leluhur” (sebutan lain “leluhur”: “wit”) itu sendiri – terkait

dengan Pura Kawitan – yang dalam Bahasa Sansekerta disebut “pitr”

(pitra) – ibu dan bapak para leluhur yang sudah meninggal – memiliki dua

tipe, yaitu bapak, kakek, kumpi (buyut) ke atas, dan leluhur yang menjadi

asal dari seluruh umat manusia (Titib 2003). Pura kawitan yang berfungsi

sebagai tempat pemujuaan roh suci leluhur – seperti kasus Pura Kawitan

Page 12: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

258

Warga di Balinuraga – didirikan oleh pihak keluarga inti, keluarga besar

sampai satu klan (satu warga). Karenanya, di dalam sebuah Pura Kawitan

Warga di Balinuraga, terdapat beberapa tipe pelinggih (bangunan suci)

sebagai tempat pemujaan leluhur (1-5), yaitu (1) sanggah atau merajan

sebagai tempat pemujaan leluhur level keluarga inti; (2) merajan kamulan

sebagai tempat pemujaan leluhur dengan level beberapa keluarga inti; (3)

merajan ibu pertiwi atau merajan Agung sebagai tempat pemujaan leluhur

sedikitnya sepuluh keluarga inti; (4) pura Ibu atau pura batur jika sudah

mencapai sedikitnya dua puluh keluarga inti; (5) pura dadia atau pura

panti jika sudah mencapai empat puluh keluarga inti; (6) pura padharman

sebagai tempat pemujaan leluhur untuk satu warga (satu klan) atau seluruh

keluarga besar yang berasal dari satu identitas warga. Keenam tipe ini

digolongkan sebagai Pura Kawitan227

.

Gambar 25. Bagian Dalam (jero) Pura Kawitan

(Sumber: Yulianto, 2009)

Banjar, Desa Adat, dan Seka

Konsep banjar yang digunakan di Balinuraga memiliki pengertian

dan fungsi yang sama seperti konsep banjar yang berlaku umum dalam

227

Untuk uraian singkat mengenai tingkatan atau level Pura Kawitan lihat: Ketut

Wiana (2007, hlm. 56-57) dalam “Tri Hita Karana menurut Konsep Hindu”,

Surabaya: Penerbit Paramita.

Page 13: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

259

masyarakat Bali, yaitu sebagai kesatuan masyarakat adat. Hanya saja

banjar yang diadopsi oleh masyarakat Balinuraga adalah seperti banjar

yang ada di Nusa Penida. Seperti contoh banjar pertama yang menjadi

cikal bakal Desa Balinuraga, Banjar Pandéarga yang merupakan banjar

bagi Warga Pandé yang berasal dari Dusun (banjar) Soyor, Desa Tanglat,

yang ada di Nusa Penida. Saat ini Desa Balinuraga memiliki tujuh banjar,

yaitu Banjar Sumbersari, Jatirukun, Sukanadi, Sukamulya, Banjarsari,

Sidorahayu (baca: Siderahayu), dan Pandéarga. Umumnya setiap banjar

memilki ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan banjar lain,

khususnya banjar yang didominasi keanggotaannya oleh kelompok warga

tertentu. Artinya, untuk saat ini anggota dari beberapa kelompok warga

sudah membaur, meskipun ada banjar-banjar tertentu yang didominasi

keanggotaannya oleh warga tertentu. Misalnya, untuk Banjar Pandéarga

keanggotaan di dalamnya terdapat juga anggota dari Warga Pasek dan

Arya, meskipun banjar ini tetap dengan ciri khasnya sebagai banjar-nya

Warga Pandé; begitu juga sebaliknya di Banjar Sidorahayu yang

didominasi oleh Warga Pasek. Selain kedua banjar ini yang kental dengan

identitas warga-nya dari kelompok warga tertentu, umumnya banjar-

banjar lain lebih moderat dan bersifat netral, terutama yang memilki

komposisi warga-nya berimbang (Pandé, Pasek, dan Arya).

Sama seperti di Bali pada umumnya, banjar di Balinuraga

merupakan kesatuan adat sekaligus keagamaan. Aktivitas adat dan

keagamaan sebenarnya lebih banyak di lakukan di level banjar daripada di

level desa. Jika ada hari raya keagamaan atau ritual adat-keagamaan

tertentu, pelaksanaannya terfokus pada setiap banjar. Ini disebabkan setiap

banjar memiliki karakteristik atau ciri khas tersendiri, khususnya tradisi

adat-keagamaan yang dilaksanakan oleh kelompok warga-warga. Artinya,

ritual dan upacara adat-keagamaan di Banjar Pandéarga (Warga Pandé)

berbeda dengan Banjar Sidorahayu (Warga Pasek), meskipun hari raya

atau jenis upacaranya sama. Terkadang anggota banjar yang warga-nya

berbeda bisa melakukan penyelenggaraan ritual dan upacara adat-

keagamaan-nya sendiri, atau bergabung dengan banjar lain di mana

menjadi basis warga tertentu. Hal ini cukup menarik karena dalam satu

hari raya tertentu prosesi ritual dan upacara adat-keagamaan dilakukan

dalam waktu yang tidak sama dan dengan cara yang berbeda berdasarkan

Page 14: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

260

ciri khas dan karakteristik warga tertentu. Terkadang mereka memilih hari

yang lain, agar pelaksanaan ritual dan upacara adat-keagamaan tidak

berada di waktu yang sama. Sekaligus untuk menunjukkan eksistensi

identitas warga-nya bahwa mereka berbeda dengan warga lain dan

mempunyai keunikan tersendiri.

Untuk saat ini, yang membedakan banjar di Balinuraga dengan

banjar di Bali adalah banjar di Balinuraga tidak otonom secara

administratif. Artinya, secara administratif mereka merupakan bagian dari

Desa Dinas dengan kedudukan setara dengan Dusun. Awig-awig adatnya

bersifat informal (tidak tertulis), sanksinya tidak bersifat mengikat seperti

hukum legal (berupa sanksi sosial), dan hanya berlaku dalam banjar itu

sendiri. Karena itu, fungsi Desa Adat sebagai Desa Pakraman di

Balinuraga sebagai lembaga adat sekaligus keagamaan lebih banyak

dimainkan perannya oleh banjar-banjar sebagai komunitas adat-

keagamaan di level dusun. Otomatis ketika ketujuh banjar ini menjalankan

fungsinya sebagai lembaga adat-keagamaan, maka Desa Adat itu sudah

berjalan. Hal ini disebabkan karena Desa Adat di Balinuraga itu sendiri

merupakan gabungan dari ketujuh banjar. Ini yang menyebabkan awig-

awig untuk Desa Balinuraga sebagai “Desa Adat” belum rampung dan

masih terus menjadi perdebatan sampai sekarang, karena kesatuan adat-

keagamaan di setiap banjar sudah begitu kuat dan memiliki karakteristik

dan ciri khas tersendiri yang mewakili satu kelompok warga tertentu – dan

bagi mereka mungkin lebih baik tidak ada awig-awig Desa Adat daripada

menimbulkan perdebatan terus menerus. Setiap banjar memiliki awig-

awig-nya sendiri (tidak tertulis) berdasarkan kelompok warga tertentu, jika

dibuat awig-awig Desa Adat maka akan semakin mempertajam

pertentangan identitas warga pada setiap banjar. Tentu setiap elit warga

yang ada di banjar tertentu ingin mendominasi dalam pembuatan awig-

awig Desa Adat berdasarkan kepentingan atau dominasi warga-nya.

Selain itu, konsep “Desa Adat” Balinuraga menjadi satu dengan Desa

Administratif versi pemerintah yang mengakibatkan kerancuan. Bagi

mereka yang terpenting adalah komunitas adat-keagamaan di dalam

banjar, karena itu merupakan representasi “Desa Adat” Balinuraga dan

basis dari komunitas adat-keagamaan Bali Nusa di level desa.

Page 15: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

261

Kehadiran tujuh banjar di Balinuraga memberikan satu dinamika

tersendiri dalam hubungan antar banjar, khususnya banjar yang

didominasi dan menjadi identitas dari kelompok warga yang memiliki

pengaruh dominan di Balinuraga: Pasek dan Pandé. Persaingan kedua

kelompok banjar dengan identitas warga-nya sangat tampak dalam setiap

aspek kehidupan sosial-kemasyarakatan mereka, terutama terkait dengan

adat-keagamaan. Misalnya, persaingan terkait banjar mana yang memiliki

kelompok seni (seka gong) dengan permainan gamelan dan pentas tarinya

yang paling menawan dengan cita rasa seni yang tinggi berdasarkan

konsep dan pemahaman mereka; banjar mana yang dapat

menyelenggarakan ritual adat-keagamaan yang paling mewah dan

bergengsi dengan massa yang besar; banjar mana yang memilki tim bola

voli, bulu tangkis atau sepak bola yang paling kuat; dan lain-lain. Mereka

menyebut persaingan ini, yang sebenarnya bukan terletak pada persaingan

antar banjar tapi lebih pada persaingan antar warga dalam memperebutkan

posisi yang dominan dan berpengaruh di Balinuraga. Patron atau

pemersatu banjar yang berbasiskan identitas warga adalah sulinggih.

Artinya, sulinggih mana yang pamor dan popularitasnya (kekuatan sekala

dan niskala) yang paling besar. Indikatornya adalah seberapa besar jumlah

tamu (dari berbagai kelompok etnis) atau pun pejabat penting yang

bertamu ke rumah sulinggih tersebut untuk berkonsultasi spiritual untuk

berbagai kepentingan, mulai dari kepentingan asmara, bisnis, karir, atau

pun jabatan penting di pemerintahan daerah. Menariknya persaingan ini

dinilai oleh mereka bukan sebagai pemecah komunitas Bali Nusa di

Balinuraga. Justru melalui persaingan ini semakin meningkatkan

keterampilan kesenian (tari, gamelan, ukiran, lukisan, dan lain-lain) dan

perekonomian. Persaingan ini memacu mereka untuk lebih kreatif dan

inovatif dalam mengembangkan kesenian tradisional Bali, dan memotivasi

mereka untuk bekerja lebih agresif di bidang pertanian – di mana sebagian

dari mereka merantau ke daerah lain untuk membuka perkebunan karet dan

sawit yang hasil lebihnya bisa mereka donasikan untuk kemajuan

kelompok seni di banjarnya dan untuk keperluan penyelenggaraan ritual

adat-keagamaan penting. Akibatnya, pembangunan khususnya renovasi

Pura Kahyangan Tiga menjadi sedikit lebih terabaikan, karena adanya

gengsi kelompok banjar dengan identitas warga-nya.

Page 16: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

262

Terlepas dari persaingan antar banjar, poin penting dari kehadiran

banjar ini adalah bagaimana banjar sebagai salah satu elemen dari sistem

sosial bagi komunitas Bali Nusa sebagai Bali Hindu menjadi wadah bagi

mereka agar eksistensi adat dan keagamaannya tetap bertahan dan lestari.

Hal ini disebabkan karena banjar sebagai kesatuan adat-keagamaan

menjadi jati diri mereka setelah berada di Lampung, di mana kewajiban

adat-keagamaan mereka laksanakan di dalam komunitas banjar. Ini yang

menyebabkan seberapa jauh mereka merantau ke luar Desa Balinuraga,

mereka akan berusaha datang ke desa atau banjar-nya jika ada ritual dan

upacara adat-keagamaan yang penting. Mereka tidak ingin kehilangan

keanggotaannya pada banjar tersebut, karena akan berdampak pada

eksistensi mereka sebagai Bali Hindu di Lampung. Begitu pula sebaliknya,

jika banjar asal mereka di Nusa Penida sedang melaksanakan ritual dan

upacara adat-keagamaan penting. Mereka sebisa mungkin menghadiri

kegiatan tersebut, dan mempersiapkan sejumlah dana dari jauh-jauh hari

agar bisa datang ke Nusa Penida. Karenanya, tidak mengherankan jika

mereka yang ekonominya mapan dan memiliki fisik yang masih prima

minimal satu tahun sekali pulang kampung ke Nusa Penida. Terutama

setelah hadirnya penerbangan Lampung-Jakarta-Bali, khususnya

Lampung-Jakarta, yang jumlah penerbangannya lebih banyak dan dengan

harga yang sangat terjangkau. Realitas ini menunjukkan bahwa sistem

sosial yang berasal dari tanah kelahiran mereka di Nusa Penida, Bali,

mengikat kuat dan melembaga dalam diri individu Bali Nusa yang ada di

Balinuraga. Seperti yang dijelaskan pada Bab Lima, bahwa mereka ingin

seidentik mungkin dengan sistem sosial-nya yang ada di Bali, sehingga

eksistensi identitas mereka sebagai Bali Hindu tetap diakui meskipun

sudah berada di luar Bali, khususnya setelah perekonomiannya mereka

sudah mapan.

Di era reformasi, terutama setelah diterapkannya model

“pemilihan langsung” kepala daerah maupun anggota legislatif, banjar

baik langsung atau pun tidak langsung telah ikut terjun ke arena politik

praktis yang diwakili oleh elit-elit banjar. Semakin kompak dan

solid sebuah banjar dengan jumlah massa yang besar sebagai pemilih,

maka semakin banyak calon kepala daerah maupun calon legislatif yang

berkampanye di banjar tersebut, dan sebagai banjar pertama untuk

Page 17: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

263

berkampanye. Model kampanye di Desa Balinuraga bukan berbasis desa,

tapi berbasiskan banjar atau dusun. Kekuatan kelompok masyarakat dan

massanya berkumpul pada setiap banjar. Karenanya, lebih mudah

menyatukan dan menggerakkan massa di level banjar daripada di level

desa. Para calon kepala daerah maupun anggota legislatif mengetahui

(sebelumnya sudah diberitahu oleh elit-elit setiap banjar) bahwa waktu

yang tepat untuk berkampanye adalah saat diselenggarakan upacara

penting pada hari raya tertentu, di mana massa berkumpul di setiap banjar-

nya tanpa dikomandoi oleh siapa pun. Massa yang berkumpul untuk

melaksanakan kewajiban adat dan keagamaannya justru dimanfaatkan oleh

para calon kepala daerah atau pun anggota legislatif sebagai ajang untuk

berkampanye. Tujuannya sangat jelas: penghematan biaya. Mereka tidak

perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk mengumpulkan massa, tapi setelah

kegiatan upacara dan kampanye selesai setiap calon cukup memberikan

sejumlah dana (bantuan) kepada pura dan banjar sebagai kas – alasan

klasiknya adalah untuk pembangunan dan renovasi pura. Sebagai catatan,

para calon kepala daerah dan legislatif yang berkampanye di level banjar

adalah mereka yang saat ini belum memiliki posisi di pemerintahan atau

pun di legislatif (non-imcumbent). Calon kepala daerah yang sedang

menjabat (incumbent) dan mencalonkan dirinya kembali sudah tentu

memanfaatkan posisinya untuk berkampanye pada saat upacara keagamaan

besar, di mana massa yang berkumpul adalah massa (umat Hindu Dharma)

setingkat kabupaten, seperti saat Upacara Melasti di Pantai Merak

Belantung (Maret 2010). Adalah sebuah kesalahan jika para calon berpikir

bahwa massa di setiap banjar adalah pemilih yang “penurut”. Umumnya

mereka sudah “melek” politik, karena seringnya para calon berkampanye

di banjar setiap kali akan digelar pemilihan langsung dengan janji-janji

yang hampir sama: “memperjuangkan dan menyuarakan eksistensi

identitas kebalian (Bali Hindu) di Lampung”. Para calon kepala daerah dan

legislatif yang umumnya berasal dari kalangan non-Bali tidak mengetahui

bahwa setiap banjar di Balinuraga sudah bermain politik praktis di level

banjar dan desa berdasarkan identitas warga-nya: sebuah pertarungan

politik antar warga yang berlangsung lebih dari empat dasawarsa (sejak

tahun 1970-an sampai sekarang). Setiap anggota banjar sudah tahu elit

warga-nya sendiri dan elit warga lain mana yang dapat dipercaya dan

Page 18: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

264

tidak. Mereka pun tanpa segan-segan mengacuhkan elit warga dari banjar-

nya sendiri jika memang track-record-nya jelek di bidang politik,

khususnya yang sangat berambisius untuk berkuasa dan mencari uang

dengan “menjual” suara anggota banjar kepada calon tertentu untuk

kepentingan politiknya sendiri. Mereka sudah mengetahui bahwa elit di

banjar yang berambisi besar tidak layak dipercaya, dan dalam kasus

tertentu, jika elit tersebut mencalonkan diri pada jabatan strategis tertentu,

maka elit tersebut tidak dipilih (mendapatkan suara yang kecil).

Berdasarkan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan secara turun

temurun berdasarkan tradisi Bali Hindu, mereka umumnya mengetahui

calon mana yang pantas untuk dipilih, termasuk elit-nya sendiri, apakah

pantas dipercaya atau tidak (cara sederhana adalah dengan melihat pesona

wajah seseorang). Uniknya, setiap kali ada yang berkampanye di banjar

tertentu dalam Desa Balinuraga, setiap banjar berusaha memberikan yang

terbaik baik para calon yang berkampanye, meskipun waktu kampanye

sebenarnya dilakukan saat penyelenggaraan upacara dan ritual tertentu,

yaitu memberikan kata sambutan, memberikan tempat duduk yang khusus,

disuguhkan pentas kesenian Bali, makanan dan minuman bagi tamu, dan

lain-lain. Sebenarnya, ini bukan berarti mereka akan memilih calon

tersebut sebagaimana hangatnya sambutan yang diberikan oleh banjar –

dan ini sering disalah-tafsirkan oleh para calon dengan menganggap bahwa

mereka akan secara aklamasi mendapatkan dukungan penuh dari anggota

banjar – tetapi ini merupakan manifestasi dari pertarungan politik atau

perang dingin antar banjar yang menjadi perwakilan dari identitas warga

tertentu. Banjar tidak mau memusingkan dirinya dengan janji atau pun

jumlah donasi yang diberikan para calon untuk kas pura dan banjar, tapi

bagaimana mereka bisa menunjukkan harga diri banjar-nya sebagai banjar

dengan identitas warga tertentu, bahwa mereka memiliki prestise yang

tinggi, yaitu dengan memberikan sambutan yang hangat, menyuguhkan

pentas kesenian Bali, memberikan posisi dan tempat duduk yang baik,

menyajikan makanan dan minuman bagi calon sebagai tamu, dan lain-lain.

Page 19: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

265

Gambar 26. Calon Kepala Daerah Berkampanye di Banjar di dalam Pura

Kawitan Warga

(Calon Kepala Daerah Ditampilkan Tari Barong)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Setiap banjar memilki sebuah bale banjar sendiri, termasuk seka-

seka dan krama subak228

, serta pemimpin adatnya (klian banjar). Bale

banjar merupakan tempat di mana seluruh anggota banjar berkumpul

secara rutin dalam periode waktu tertentu untuk membahas berbagai

permasalahan sosial-keagamaan. Di dalam bale banjar terdapat lumbung

(jineng) bagi krama subak yang ada di setiap banjar – saat sekarang setiap

petani yang sudah mapan memiliki lumbung dan penggilingan padi sendiri.

Di Balinuraga setiap banjar memiliki kelompok kesenian (seka gong) dan

krama subak berdasarkan banjar-nya masing-masing, termasuk kelompok

olahraga seperti bulu tangkis, bola voli, dan sepak bola. Secara

organisasional seka ini berada di bawah otoritas banjar. Seka (baca: seke),

sebutan lainnya sekeha-sekeha, menggunakan definisi Geertz (1977)

merupakan: suatu kelompok sosial, dibentuk berdasarkan kriteria yang

tunggal dan eksklusif, kriteria keanggotaan, dan dicurahkan untuk mencapi

tujuan sosial yang tertentu dan biasanya agak khusus, misalnya

228

Krama diartikan sebagai masyarakat atau anggota masyarakat adat. “Krama

Subak” berarti (dalam artian umum) anggota masyarakat adat untuk organisasi

Subak. “Krama” ini menjadi kata dasar dari Desa “Pa-krama-an” sebagai

persamaan dari Desa Adat.

Page 20: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

266

keagamaan, politik, ekonomi, atau apa saja. Dalam kasus yang sampai

saat ini masih terjadi, keberhasilan sebuah seka, khususnya seka gong,

dalam menampilkan pentas seni (gamelan dan tari Bali), maka akan

meningkatkan popularitas sebuah banjar, dan juga status sosial kekompok

warga tertentu identik dengan banjar tersebut. Seka gong adalah seka yang

paling tua di Balinuraga, dan sampai sekarang masih eksis. Seka gong

tertua dimiliki oleh Banjar Pandéarga sebagai banjar pertama yang

menjadi cikal bakal Desa Balinuraga. Popularitasnya menjadikan seka

gong ini kerap mengisi pentas kesenian Bali untuk komunitas Bali di luar

Desa Balinuraga, baik yang ada di Lampung Selatan maupun yang ada di

Sumatera Selatan, dan untuk mengisi acara formal di pemerintahan daerah.

Saingannya adalah seka gong milik Banjar Sidorahayu, yang dalam

kesempatan tertentu juga diminta untuk mengisi acara kesenian di berbagai

tempat atas permintaan dari berbagai kalangan tertentu. Biasanya honor

yang diterima dari seka gong ini akan digunakan untuk kepentingan

banjar, terutama untuk biaya renovasi dan uang kas Pura Kawitan. Selain

seka gong masih terdapat seka-seka lainnya, seperti seka tani (krama

subak) untuk koordinasi petani dalam satu banjar (dusun), seka untuk

kaum lansia (lanjut usia), seka untuk mempelajari keagamaan, seka untuk

cabang olahraga tertentu, dan lain-lain. Seka yang dulu pernah populer

adalah seka yang beranggotakan para pemuda yang bertugas melakukan

inspeksi dan penertiban babi-babi yang sering berkeliaran di jalan desa

terutama ketika pemilik sedang bertani. Babi-babi yang tertangkap ketika

berkeliaran di jalan desa akan ditangkap, kemudian akan ditahan oleh seka

tersebut. Lalu, pihak pemilik diwajibkan untuk menebus atau membayar

denda atas babinya jika ingin diambil kembali. Jika sampai waktu tertentu

babi tersebut belum ditebus oleh pemiliknya, maka babi akan dijual. Uang

denda dan penjualan babi digunakan oleh seka tersebut untuk membiayai

seka cabang olahraga tertentu, seperti bulu tangkis, voli, sepak bola, catur,

dan lain-lain. Seka lain yang lebih spesifik dan lebih eksklusif adalah seka

atau perkumpulan berdasarkan tingkatan keluarga dalam satu identitas

warga berdasarkan satu garis keturunan leluhur (wit), misalnya: seka dari

keluarga inti dan keluarga besar dari warga tertentu. Selain anggota

keluarga inti, keluarga besar, atau warga ini, seseorang tidak dapat

menjadi anggota dari seka ini. Tugas dan kewajiban utama dari seka atau

Page 21: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

267

kelompok ini, sebuah tugas yang tidak dapat digantikan oleh siapa pun

kecuali anggotanya sendiri adalah memilihara dan menjaga Pura Kawitan,

serta menyelenggarakan peribadatan (bersembahyang) untuk setiap

merajan (keluarga inti), dadia (keluarga besar), yang ada di Pura Kawitan.

Seka jenis ini pembentukkan terjadi secara otomatis, tanpa melalui proses

perencanaan yang berbelit-belit. Mereka yang berasal dari orang tua yang

sama, kakek yang sama, buyut yang sama, leluhur yang sama, secara

otomatis memiliki seka-nya, karena setiap tingkatan dari seka tersebut,

khususnya di level orang tua atau keluarga inti, di mana tugas dan

kewajiban di dalam Pura Kawitan (dalam merajan) tidak dapat digantikan

oleh anggota keluarga inti yang lain, meskipun berasal dari kakek yang

sama. Di level satu garis leluhur tunggal (wit), keanggotaan seka adalah

seluruh anggota keluarga inti yang berasal dari satu identitas leluhur yang

sama, atau disebut warga, dengan tugas dan kewajiban yang sama di Pura

Kawitan. Seka jenis ini biasanya masih berada di dalam satu banjar

tertentu, atau menjadi bagian dari banjar yang mewakili satu identitas

warga tertentu. Jenis seka lain yang masih berada di dalam satu banjar,

terkadang menjadi identitas sebuah banjar (menjadi satu), adalah seka

yang dibentuk berdasarkan keanggotaan keluarganya ketika berada di Nusa

Penida dalam satu banjar tertentu, misalnya: seka untuk Warga Pandé

yang ada di Dusun Soyor di Nusa Penida.

Page 22: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

268

Gambar 27. Salah Satu Bale Banjar

(Atas: tampak depan; bawah: gedung utama bale banjar)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Kembali ke seka sebagai sebuah salah satu sistem sosial dalam

masyarakat Bali, seka yang ada di Balinuraga merupakan adaptasi dari

seka yang ada di Nusa Penida. Mereka yang sebelum bertransmigrasi

merupakan anggota dari seka gong atau seka tani, seka-seka tersebut

mereka terapkan lagi setelah bertransmigrasi. Untuk kasus seka gong dan

seka tani, mereka yang membentuk seka ini adalah mereka yang dulunya

sewaktu di Nusa Penida telah menjadi anggota dari seka tersebut di dalam

Page 23: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

269

banjar-nya – dalam perkembangannya keanggotannya menjadi terbuka

ketika ada transmigran Bali Nusa (baik Bali Nusa dari Nusa Penida atau

pun yang berasal dari Jembrana, Bali Utara) yang bertransmigrasi ke

wilayah Balinuraga dalam banjar tersebut dalam transmigrasi gelombang

kedua. Kemudian, untuk kasus seka gong, kehadiran seka ini berfungsi

sebagai kaderisasi bagi generasi berikutnya untuk mengembangkan dan

meneruskan kesenian Bali. Ini yang menyebabkan seka gong tetap eksis di

Balinuraga, dan menjadikan desa ini populer akan pentas keseniannya,

baik di kalangan komunitas Bali di luar Balinuraga maupun di kalangan

pemerintah daerah. Selain sebagai tradisi dalam masyarakat Bali, seka di

Balinuraga secara sosial berfungsi untuk mempererat solidaritas

anggotanya, khususnya anggota di dalam satu banjar. Umumnya setiap

anggota banjar mempunyai keanggotaan di seka tertentu, dan

keanggotaannya lebih dari satu seka dalam satu banjar. Mereka akan

merasa canggung jika tidak memiliki keanggotaan atau terlibat aktif dalam

seka tertentu. Ada sebuah prestise tersendiri, khususnya bagi anak muda di

Balinuraga dan orang tuanya (ada regenerasi dari orang tua ke anaknya

dalam keanggotaan dan keterampilan seni dalam seka gong), jika menjadi

anggota seka gong, terutama memiliki keahlian tertentu di dalam seka

gong tersebut, seperti terampil memainkan gamelen Bali dan mementaskan

salah satu varian tarian Bali – bagi pemuda ini merupakan nilai tambah

untuk memikat seorang gadis Bali, baik di Balinuraga atau pun di luar

Balinuraga jika sedang diundang pentas ke perkampungan Bali lain di luar

Balinuraga.

Page 24: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

270

Gambar 28. Seka Gong sedang Mentas

(Di malam hari dalam rangkaian upacara pitra yadnya)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Page 25: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

271

Gambar 29. Anggota dan Logo Seka Gong

(sebelah kiri: persiapan mentas Tari Baris saat upacara puncak ngaben pribadi;

kanan: logo seka gong yang ada di seragam resmi)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Subak

Sistem subak yang ada di Balinuraga berbeda dengan yang ada di

Bali pada umumnya. Hal ini ini disebabkan sawah di Balinuraga tidak

Page 26: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

272

menggunakan irigasi, atau sistem irigasi (subak)229

, melainkan

menggunakan sistem sawah tadah hujan. Sama seperti pola pertanian

mereka ketika di Balinuraga yang sangat mengandalkan air hujan, karena

sangat terbatasnya air tanah dan curah hujan di Nusa Penida. Dapat

dikatakan mereka sudah terbiasa dengan lahan pertanian yang

mengandalkan air dari curah hujan. Konsep yang digunakan dalam adopsi

sistem subak ini terletak pada krama subak yang keanggotannya

berdasarkan banjar tertentu, yaitu dengan membentuk seka tersendiri di

masing-masing banjar. Krama subak kurang lebih mirip seperti kelompok

tani, atau biasa disebut seka tani. Pembedanya adalah pada dalam proses

pertaniannya dilihatnya unsur-unsur adat-keagamaan Bali Hindu yang

menjadi ciri khas mereka. Keanggotaannya adalah anggota banjar yang

berprofesi sebagai petani (pemilik sawah). Jadi, tidak didasarkan pada

identitas warga yang ada di dalam banjar tersebut. Siapa pun bisa menjadi

anggota, asalkan berasal dari banjar atau anggota dusun tersebut.

Sama seperti banjar, krama subak ini memiliki kekompakkan

yang khusus sebagai kelompok tani Bali Nusa. Proses pertanian dimulai

dan diakhiri bersama-sama, mulai dari masa pembenihan bibit sampai pada

proses panen dan penjualan, dengan waktu yang hampir bersamaan dengan

krama subak di banjar lain. Proses ini yang membedakan pola pertanian

antara kelompok petani Bali Nusa dengan kelompok petani Jawa. Unsur

adat-keagamaan yang dimasukan dalam proses pertanian menjadikan

kegiatan bertani sebagai sebuah proses sakral, sekaligus terkesan ribet bagi

orang awam (petani Jawa). Penunjuk utama bahwa lahan pertanian (sawah)

itu adalah milik petani Bali (Bali Nusa) adalah keberadaan sebuah pura di

lahan pertanian – biasa disebut dengan “pura tani”– yang secara rutin

mereka sajikan bantenan (sesajen). Salah satu peraturan tidak tertulis

(semacam awig-awig) yang berlaku bagi krama subak adalah mereka tidak

diperkenankan menjual hasil panennya sesaat setelah panen selesai

dilaksanakan. Setelah masa panen mereka wajib melakukan upacara

pengucapan syukur, dan menyimpan hasil panennya di dalam lumbung.

229

Sebagai perbandingan bagaimana sistem subak di Bali terkait dengan sistem

irigasinya, lihat: Sutawan (2008), Organisasi dan Manajemen Subak di Bali,

Denpasar: Pustaka Bali Post.

Page 27: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

273

Penjualan dilakukan setelah harga jual gabah atau beras tinggi (harganya

pas atau sesuai, tidak nombok), kecuali ada kasus-kasus tertentu seperti

padi puso akibat banjir dan serangan hama wereng. Acara puncak dari

proses pertanian yang biasanya diselenggarakan dalam sebuah ritual dan

upacara yang besar adalah ruwatan hasil panen, khususnya ketika panen

besar berhasil diraih oleh krama subak dari banjar tertentu. Terkadang

dalam waktu tertentu acara ini turut disponsori oleh perusahaan swasta

yang menjual produk bibit, pupuk, dan pembasmi hama, dan juga

pemerintah daerah. Ini bukan berarti ketika hasil panen tidak baik dan

tidak ada sponsor upacara ini tidak dilakukan. Upacara ini tetap dilakukan

secara sederhana oleh mereka secara swakarsa, meskipun panen tidak baik

dan tidak ada sponsor. Inti dari upacara ini adalah wujud pengucapan

syukur atas anugerah dari Sang Hyang Widhi. Mereka percaya bahwa

pengucapan syukur melalui upacara ini akan mendatangkan keberhasilan

pada penanaman berikutnya, meskipun misalnya terjadi panen yang tidak

baik. Kemudian, pendapatan dari uang penjualan hasil panen ini digunakan

oleh mereka untuk berbagai kebutuhan sehari-hari, pendidikan anak,

pembangunan dan renovasi pura keluarga, kawitan, kahyangan tiga,

penyelenggaraan upacara adat-keagamaan penting, dan kebutuhan

sekunder lainnya.

Jadi, ritual dan upacara adat-keagamaan merupakan sebuah

kewajiban bagi krama subak dalam menjalankan profesi mereka di bidang

pertanian. Mereka percaya dan meyakini bahwa kealpaan dari ritual dan

upacara ini akan berdampak pada sanksi niskala, entah hasil panen yang

lebih buruk di masa tanam berikutnya, maupun malapetaka yang menimpa

anggota keluarganya. Hal penting dari sistem subak yang diadopsi oleh

masyarakat Balinuraga pada setiap krama subak di banjar-nya adalah

sebagai wadah atau organisasi sosial serta organisasi yang bersifat adat-

keagamaan. Berikutnya, yang jauh lebih penting adalah sebagai pemersatu

komunitas banjar yang terdiri dari anggota kelompok warga-warga

sebagai petani Balinuraga. Tentu, akan menjadi kebanggaan tersendiri jika

krama subak dari banjar tertentu mendapatkan hasil panen yang lebih baik

dari krama subak di banjar lain.

Page 28: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

274

Arti penting dari keberadaan seka tani atau krama subak yang

berada di bawah banjar adalah fungsinya sebagai lembaga adat, agama,

dan perekonomian (pertanian). Ketiganya tidak dapat dipisahkan. Ketiga

fungsi ini menjadi satu kesatuan. Oleh karena itu, dalam setiap

pelaksanaan kegiatan pertanian (ekonomi) krama subak tidak dapat

melepaskan kegiatan pertanian tersebut dengan kegiatan adat dan agama.

Secara simbolis, eksistensi krama subak dapat dilihat dari berdirinya “Pura

Subak” atau “Pura Empelan” sebagai pemersatu krama subak dalam

teritori banjar tertentu. Keanggotaan krama subak atau seka tani ini tidak

hanya keanggotaannya sebagai petani tapi juga sebagai anggota adat dan

keagamaan. Karenanya, di level keluarga inti (petani pemilik lahan), setiap

petani memiliki pura tani di lahan pertaniannya. Upacara penting yang

melibatkan krama subak – terkait dengan kegiatan pertanian, adat, dan

keagamaan – biasanya diselenggarakan di Pura Subak. Bila upacara

tersebut merupakan upacara yang besar – seperti ruwatan hasil panen –

upacara diselenggarakan di bale banjar, setelah upacara inti

diselenggarakan di pura subak. Sistem pertanian tradisional ini (subak)

yang menjadi pembeda antara petani Bali (Bali Hindu) dengan petani

Jawa. Petani Bali – seperti di Balinuraga – tetap mempertahankan sistem

pertaniannya yang tradisional, di mana unsur adat dan agama menjadi satu

dengan kegiatan pertanian mereka.

Gambar 30. Pura Tani

(Pura Tani di lahan pertanian krama subak)

(Sumber: Yulianto, 2008)

Page 29: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

275

Gambar 31. Pura Subak / Empelan

(Sumber: Yulianto, 2009)

Salah satu inovasi yang dilakukan oleh petani di Balinuraga

sebagai solusi mengatasi kekurangan air adalah dengan membangun sumur

bor. Ketika musim hujan berdurasi singkat, sedangkan lahan pertanian

mereka tadah hujan, maka kehadiran sumur bor ini akan sangat

mendukung para anggota krama subak. Umumnya setiap petani memilki

sumur bor sendiri. Saat ini tidak membutuhkan biaya yang besar untuk

membuat sumur bor. Dengan biaya tiga sampai lima juta (harga paling

murah) mereka sudah dapat membangun sumur bor di lahan

pertaniannya230

. Kendala dari kehadiran sumur bor tersebut yang mulai

dirasakan oleh petani Balinuraga adalah sumur tradisional di rumah debit

airnya mengalami penurunan yang cukup signifikan ketika kemarau tiba.

230

Dalam kasus tertentu, ada yang menghabiskan sampai puluhan juta rupiah

untuk membangun sumur bor, namun hasilnya tidak memuaskan. Ini dikarenakan

karena tanah pertaniannya tidak berada pada jalur air tanah yang memiliki debit

air yang besar.

Page 30: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

276

Gambar 32. Sumur Bor Krama Subak

(Sumber: Yulianto, 2008)

Keberhasilan dari kelompok tani (krama subak) di Balinuraga

adalah menjadikan desa ini sebagai salah desa penghasil beras di

Kabupaten Lampung Selatan. Kesolidan dan kekompakkan krama subak

ini yang menjadikan mereka sebagai petani yang diidentikkan dengan

petani pekerja keras, tekun, ulet, dan agresif. Bagi mereka tanah dua hektar

serasa belum memiliki tanah, karena masih dapat mereka kelola sendiri

tanpa menggunakan jasa dari buruh tani. Memiliki tanah lebih dari dua

hektar – rata-rata puluhan hektar – baru dianggap memiliki tanah, karena

mereka sudah menggunakan buruh tani dan tidak menggarapnya sendiri.

Saat musim hujan mulai tiba dan masa pembenihan serta penanaman telah

dimulai, Desa Balinuraga seperti kampung kosong sejak dini hari. Hanya

sekawanan babi, ayam, dan anjing yang berkeliaran di jalan desa dan

pekarangan rumah. Desa mulai ramai kembali di waktu sore hari setelah

petani dan beberapa anggota keluarganya telah pulang dari sawah, dan di

malam hari diisi dengan kegiatan olahraga atau bermain musik dan berlatih

tari dalam seka gong.

Sistem Warga

Sebelum membahas sistem warga yang berlaku dalam komunitas

Bali Nusa di Desa Balinuraga, ada beberapa fakta yang harus dikemukakan

terlebih dahulu, yaitu (1) masyarakat Bali Nusa termasuk dalam golongan

jabawangsa, yaitu sebuah golongan atau kelompok masyarakat Bali yang

Page 31: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

277

berada di luar lingkungan kerajaan (puri) atau triwangsa (brahmana,

kesatria, dan weysia). Sebutan lain dari golongan jabawangsa ini – yang

bagi sebagian besar anggota kelompok warga yang tidak dimasukkan ke

dalam golongan triwangsa di masa kolonial sebagai sebuah sebutan yang

merendahkan harkat dan martabat mereka – adalah sudrawangsa atau

orang sudra. Dengan kata lain, saat mereka masih berada di Nusa Penida

dan setelah berada di Lampung, mereka termasuk golongan jabawangsa.

Secara geografis pun keberadaan mereka di Nusa Penida jauh dari

lingkaran dan jangkauan kekuasaan puri, di mana puri atau kerajaan

terdekat adalah Klungkung. Di samping itu, sejarah di masa kerajaan di

mana pulau ini dijadikan sebagai tempat pengasingan atau pembuangan

bagi tahanan politik pihak kerajaan yang berkuasa, di mana yang menjadi

tahanan politik (sebagian besar) adalah orang-orang penting yang memiliki

kedudukan atau status sosial yang tinggi, dan orang-orang buangan karena

melakukan praktek ilmu hitam ketika berada di pulau induk, Bali. Mereka

yang diasingkan ke Nusa Penida secara otomatis status atau kedudukan

sosialnya menjadi hilang. Dengan kata lain, mereka menjadi kawula atau

rakyat jelata, yang biasa disebut sebagai orang jaba (orang luar); (2)

sebuah realitas bahwa golongan jabawangsa ini terdiri dari beberapa

kelompok warga yang berasal dari leluhur yang berbeda, di mana leluhur

tersebut menjadi pembentuk dari warga atau klan generasi-generasi

berikutnya. Menariknya adalah leluhur dari beberapa kelompok warga

tersebut, baik berdasarkan sejarahnya atau pun berdasarkan versi elit-elit

warga tersebut, merupakan seseorang yang memiliki peran penting di

dalam pemerintahan dan keagamaan. Singkatnya, leluhur-leluhur warga

tersebut di masanya termasuk dalam golongan brahmana dan kesatria; (3)

konsep warga sebagai sebuah identitas sosial atau status sosial lebih

senang mereka gunakan daripada konsep wangsa atau kasta. Mereka lebih

sering mengidentifikasikan dirinya sebagai Warga Pasek, Warga Pandé,

dan Warga Arya daripada mengidentifikasikan dirinya sebagai jabawangsa

atau sudrawangsa. Terkadang mereka yang sudah generasi ketiga secara

meyakinkan dapat menyebutkan identitasnya sebagai Warga A, Warga B,

atau Warga C, tapi mereka menjadi bingung (belum paham) ketika Warga

A, Warga B, atau Warga C itu termasuk dalam kasta atau wangsa apa.

Bagi generasi sebelumnya yang sudah sepuh dan mereka yang memahami

Page 32: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

278

konsep catur warna dalam agama Hindu, mereka lebih senang dengan

konsep warga karena dinilai lebih egaliter, tidak ada pembedaan kelas atau

status sosial berdasarkan kelahiran yang bersifat ajeg. Mereka pun bangga

dengan status sosial warga-nya, karena leluhur mereka di masanya

memiliki perang yang penting di pemerintahan kerajaan dan di bidang

keagamaan (sebagai kesatria dan sebagai brahmana). Hal ini diperkuat

dengan komposisi masyarakat Nusa Penida di waktu itu (sebelum

bertransmigrasi) yang lebih egaliter karena kedudukan pulau tersebut

sebagai tempat pengasingan dan lokasinya yang jauh dari pusat kerajaan

(puri). Dalam beberapa kasus, (dimungkinkan) terjadi beberapa kesalahan

dari beberapa kelompok masyarakat dalam mengidentifikasikan identitas

warga atau leluhurnya.

Beberapa fakta di atas merupakan dasar bagi berkembanganya

sistem warga di Balinuraga. Sistem wangsa yang dulu pernah berlaku di

masa kolonial – dan sampai sekarang masih (mungkin) masih berlaku atau

dianggap relevan bagi kalangan tertentu di Bali – tidak mereka adaptasi di

Balinuraga. Seperti fakta-fakta di atas, memang secara situasional sistem

wangsa tidak berkembang di Nusa Penida, baik karena posisi pulau

tersebut sebagai pulau pengasingan atau pun karena letaknya yang jauh

dari pusat kerajaan. Dengan kata lain, tidak ada bangsawan puri atau raja

menetap di Nusa Penida di era kolonial, yang dapat memastikan

berjalannya sistem wangsa tersebut atas dukungan pemerintah kolonial.

Oleh karena itu, mereka yang bertransmigrasi dari Nusa Penida ke

Lampung Selatan (generasi pertama transmigran Bali Nusa) tidak ada yang

berasal dari golongan triwangsa; dengan kata lain seluruh transmigran ini

berasal dari golongan jabawangsa atau non-puri. Hal ini dapat dibuktikan

dari pemakaian nama yang tidak menggunakan gelar kebangsawan seperti

halnya golongan triwangsa, seperti Anak Agung, Ida Bagus, Cokorda,

Gusti, Dewa Agung, dan lain-lain. Nama yang mereka kenakan adalah

nama-nama umum seperti yang digunakan masyarakat Bali pada umumnya

yang bukan berasal dari golongan puri, seperti: Nyoman, Kadek, Putu,

Wayan, Made, Ketut, Komang, dan sebagainya ( kata “I” di depan nama

tersebut untuk laki-laki, sedangkan “Ni” untuk wanita). Pemakaian “gelar”

bagi kalangan non-sulinggih umumnya hanya dengan nama warga,

contohnya dengan menambahkan nama “Pandé” di antara atau di belakang

Page 33: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

279

nama “ I Made” menjadi “I Pandé Made Sutra” atau “I Made Pandé Sutra”

(biasanya jarang digunakan dan penempatannya tergantung dari orang tua

yang memberi nama), dan gelar bagi sulinggih warga seperti “Sri Mpu”

atau “Rsi” (sangat terbatas, hanya boleh digunakan oleh sulinggih warga

yang sah).

Sistem atau konsep warga digunakan atau diadaptasi dalam

komunitas Bali Nusa di Balinuraga dikarenakan di dalam konsep warga

atau soroh terdapat identitas mereka sebagai Bali. Menurut mereka,

bagaimana mungkin bisa mengaku sebagai orang Bali jika (seseorang)

tidak tahu berasal dari warga atau soroh apa. Sebagai (orang) Bali mereka

harus tahu siapa dan apa leluhur atau warga-nya. Terlebih setelah

keberadaan mereka di luar Bali (Lampung Selatan). Mereka butuh

kejelasan dan keabsahan dari identitasnya sebagai warga apa dan siapa

leluhurnya, agar diakui eksistensi identitasnya sebagai “Bali Hindu” baik

di Lampung (dalam komunitasnya) maupun di Bali. Selain itu, di dalam

sistem atau konsep warga ini terdapat sebuah status sosial atau prestise

tertentu melekat pada setiap anggotanya berdasarkan sejarah kebesaran

dari leluhur mereka di masanya yang membentuk klan atau warga tersebut.

Karenanya, dalam dinamika hubungan atau relasi sosial di dalam

komunitas ini tidak ada pertentangan atau pun konflik kasta antara mereka

yang berkasta tinggi (triwangsa) dengan mereka yang berkasta rendah

(sudrawangsa). Sebaliknya, pertentangan atau pun konflik tertutup (perang

dingin) yang justru terjadi antara warga satu dengan warga lainnya.

Dengan kata lain, konflik antar kelompok warga dalam golongan

jabawangsa. Inti dari pertentangan atau konflik tertutup ini adalah

memperebutkan siapa di antara warga tersebut (khususnya diwakili para

elit warga) yang memiliki status sosial yang paling tinggi. Pertentangan

klasik dan perang dingin yang masih terjadi sampai saat ini adalah antara

Warga Pandé dan Warga Pasek, sedangkan Warga Arya tetap berada di

posisi netral, tidak mau terlibat atau ikut campur perselisihan di antara

kedua warga tersebut.

Terlepas dari persaingan antar warga di Balinuraga, kehadiran

sistem warga ini menjadikan masyarakat Balinuraga secara umum lebih

egaliter: kedudukan mereka sama, tidak berlaku sistem kasta yang bersifat

diskriminatif, tidak ada hirarki sosial vertikal tertutup, dan perlakuan

Page 34: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

280

istimewa terhadap kelompok warga tertentu. Setiap warga memiliki

sulinggih sendiri – Sri Mpu dan Rsi – yang bertugas sebagai pemimpin

spiritual sekaligus sebagai patron bagi komunitas adat-keagamaan warga

tersebut. Dengan demikian, mereka tidak bergantung pada peran pedanda

(pendeta brahmana) yang harus mereka datangkan dari Bali, karena

sulinggih warga memiliki fungsi kependetaan yang sama dengan pedanda

dengan pengakuan legal (resmi) dari PHDI sebagai organisasi resmi

(semi-pemerintah) agama-kemasyarakatan yang diakui oleh pemerintah

dan masyarakat Bali secara umum, baik untuk muput ritual dan upacara

adat-keagamaan maupun untuk memberikan tirta (air suci) kepada anggota

warga (dengan posisi sebagai umat Hindu Dharma) ketika dilangsungkan

upacara penting. Secara sosial dan psikologis penggunaan sistem atau

konsep warga ini di Balinuraga merupakan pembebasan dari belenggu

sistem kasta yang bersifat diskriminatif seperti yang dipraktekan di masa

kolonial. Sekaligus sebagai pembuktian bahwa komunitas mereka yang

disebut sebagai jabawangsa atau pun sudrawangsa ini bisa eksis secara

komunitas dan mapan secara ekonomi setelah berada di luar Bali – dan

beberapa di antaranya berhasil menduduki posisi strategis dalam

pemerintahan lokal dan di bidang politik, atau pun memiliki karir yang

menjanjikan sebagai profesional muda.

Bahasa Bali Nusa

Pembeda yang paling signifikan antara Bali dari Pulau Nusa

Penida (Bali Nusa) dengan Bali dari Pulau Bali adalah penggunaan bahasa.

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Bali Nusa Penida. Bahasa ini

berbeda dengan Bahasa Bali yang biasa digunakan secara umum oleh

masyarakat Bali di Bali, meskipun berasal dari satu rumpun yang sama.

Selain kosa kata, perbedaan yang mencolok terletak pada logat dan

ekspresi mimik wajah ketika berkomunikasi. Bagi masyarakat Bali yang

umum menggunakan Bahasa Bali, mereka akan kesulitan untuk memahami

Bahasa Bali Nusa Penida. Namun, bagi Bali Nusa mereka tidak cukup

kesulitan untuk memahami dan menggunakan Bahasa Bali yang umum

digunakan, yaitu Bahasa Bali tingkatan nista (kasar, dalam Bahasa Jawa

setingkat ngoko). Untuk kasus tertentu, jika ada orang Bali dari Bali dan

orang Bali Nusa sedang berkumpul atau berdiskusi, orang Bali Nusa akan

Page 35: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

281

menggunakan Bahasa Bali Nusa untuk berbisik atau menggosipkan lawan

bicaranya yang berasal dari Bali. Jadi, cara termudah untuk

mengidentifikasikan sebuah Kampung Bali di Lampung apakah ini Bali

dari Bali atau Nusa Penida adalah dari bahasa dan logatnya, karena untuk

model banjar, subak, seka, warga, ritual dan upacara adat-keagamaan

umumnya hampir sama.

Sama seperti elemen-elemen dari sistem sosial yang melekat pada

masyarakat Bali, Bahasa Bali Nusa untuk sampai saat ini masih melekat

setiap anggota komunitas Balinuraga sampai generasi muda (Bali Nusa

yang sudah lahir dan besar di Lampung). Hal ini disebabkan Bahasa Bali

Nusa masih digunakan sebagai bahasa ibu dalam percakapan sehari-hari

baik di level keluarga maupun dalam pergaulan di lingkup banjar dan

Desa Balinuraga. Saat ini penggunaan Bahasa Bali Nusa oleh generasi

muda, kosa katanya sudah mulai tercampur dengan kosakata dalam Bahasa

Indonesia dan Bahasa Jawa (tingkat ngoko), dan menggunakan beberapa

kosa kata gaul yang mereka dapatkan dari pergaulan dengan teman-

temannya yang tinggal di perkotaan. Begitu pula logat bahasanya yang

sudah tercampur baur – mengingat ketika mereka bersekolah Bahasa

Indonesia adalah bahasa resmi yang harus mereka gunakan dalam

berkomunikasi. Bahasa Indonesia adalah bahasa kedua yang umum

digunakan oleh masyarakat Balinuraga. Bahasa Indonesia biasa digunakan

untuk acara formal yang melibatkan komunitas lain non-Bali – umumnya

digunakan sebagai kata sambutan. Jika acara formal tersebut dikhususkan

untuk komunitas Bali (Bali dan Bali Nusa), maka bahasa yang digunakan

adalah Bahasa Bali yang halus, yaitu tingkat tertinggi yang disebut tingkat

utama (dalam Bahasa Jawa setingkat krama), dan tingkat mengengah yang

disebut tingkat madya . Di samping itu, Bahasa Indonesia digunakan oleh

masyarakat Balinuraga jika mereka bertemu pertama kali sesama orang

Bali Nusa yang ada di Lampung. Bahasa Bali Nusa baru mereka gunakan

setelah pada percakapan awal dengan Bahasa Indonesia mereka sudah

mengetahui bahwa lawan bicaranya adalah orang Bali Nusa yang bisa

menggunakan bahasa tersebut. Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua

cukup disukai pemakaian oleh masyarakat Balinuraga karena bahasa

nasional ini lebih egaliter, tidak ada tingkatan dalam berbahasa

(berkomunikasi) ketika berbincang dengan lawan bicara dengan

Page 36: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

282

kedudukan atau status sosial yang tinggi – sama seperti ketika mereka

menggunakan Bahasa Bali Nusa yang tidak menekankan hirarki berbahasa

terhadap lawan bicara yang berkedudukan tinggi. Selain itu, pemakaian

Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam acara formal memberikan

prestise tersendiri bagi mereka, karena menjadikan mereka lebih Indonesia

(perasaan nasionalisme). Hal ini dapat dibuktikan dari penggunaan Bahasa

Indonesia yang baik dan benar cum santun yang digunakan oleh para sepuh

yang memiliki latar belakang pendidikan mumpuni dan pergaulan yang

luas dengan kelompok masyarakat lain dan birokrasi pemerintahan.

Sebagian dari mereka juga bisa menggunakan Bahasa Jawa untuk

berkomunikasi dengan etnis Jawa. Selain dikarenakan jumlah etnis Jawa

jumlahnya besar di Lampung Selatan (khususnya di sekitar Desa

Balinuraga), kemampuan mereka berbahasa Jawa dikarenakan pergaulan

(pertemanan) atau pun hubungan kerja. Oleh karena itu, meskipun mereka

tetap mempertahankan dan menggunakan Bahasa Bali Nusa Penida di

dalam komunitasnya, secara umumnya dialek atau pengucapannya dan

pengkomunikasiannya sudah tidak sama persis seperti di Nusa Penida.

Lingkungan sosial yang heterogen – dengan berbagai bahasa daerah dari

masing-masing komunitas etnis dan satu bahasa nasional – merupakan

faktor utama yang menyebabkan Bahasa Bali Nusa Penida tidak menjadi

sama persis seperti di Nusa Penida, terutama pada dialeknya. Di samping,

di Nusa Penida sendiri pada wilayah tertentu ada penggunaan Bahasa Nusa

Penida dengan dialek yang berbeda.

Penggunaan Bahasa Bali Nusa Penida di Desa Balinuraga

merupakan cerminan dari kuatnya ikatan komunitas Bali Nusa terhadap

tanah leluhurnya. Sekaligus menjadi identitas atau jati diri mereka sebagai

orang Bali dari Nusa Penida. Ini yang menjadi ciri khas dari Bali Nusa

yang ada di Lampung, dalam kasus ini di Balinuraga sebagai satu desa

yang mayoritas anggota komunitasnya adalah Bali Nusa. Secara sosial

Bahasa Bali Nusa Penida ini berfungsi untuk mempererat dan pemersatu

Bali Nusa sebagai sebuah komunitas orang Bali dari Nusa Penida. Sama-

sama orang Bali seperti orang Bali di Kampung Bali lain, tapi mereka

adalah orang Bali yang berbeda: orang Bali Nusa. Ada kehangatan dan

kedekatan secara psikologis ketika menggunakan Bahasa Bali Nusa Penida

dengan sesama Bali Nusa, terutama Bali Nusa dari tempat lain di wilayah

Page 37: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

283

Sumatera (perantau) di luar Kabupaten Lampung Selatan. Hal ini didukung

faktor tempat dan posisi mereka yang telah berada di luar Bali (Nusa

Penida) dan sebagai pendatang atau perantau (perasaan senasib-

sepenanggungan).

Namun sebaliknya, dalam kasus kecil, ada merasa canggung atau

minder (rendah diri) jika menggunakan Bahasa Bali Nusa Penida, dan

lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan

seseorang itu telah lama merantau ke luar desa atau bekerja di kota, di

mana Bahasa Indonesia lebih banyak digunakan, atau Bahasa Indonesia

bercampur Bahasa Jawa lebih banyak digunakan karena bekerja dan

bergaul dalam lingkungan yang mayoritas beretnis Jawa kelahiran

Sumatera. Perasaan canggung atau minder ini bisa disebabkan karena

merasa bahasa ibunya dinilai terlalu tradisional atau tidak “gaul”, dan

menggunakan Bahasa Indonesia seperti yang digunakan masyarakat

perkotaan memberikan prestise tersendiri bagi seseorang tersebut bahwa

dirinya telah menjadi modern atau “orang kota”. Selain itu, dalam kasus

yang lebih kecil, ada beberapa orang di Balinuraga yang tidak fasih atau

pandai menggunakan Bahasa Indonesia, tapi lebih fasih menggunakan

Bahasa Bali Nusa Penida. Mereka ini adalah para orang tua (usia lanjut) –

jumlahnya tinggal sedikit – yang dalam kesehariannya setelah berada di

Lampung jarang sekali bergaul atau berinteraksi dengan komunitas lain

yang heterogen selain komunitas atau keluarganya sendiri.

Kompleks Perkampungan Bali

Serasa seperti di Bali. Ini adalah kesan yang didapatkan jika

mengunjungi sebuah perkampungan Bali di Desa Balinuraga – kurang

lebih sama seperti mengunjungi perkampungan Bali lainnya yang ada di

wilayah Provinsi Lampung. Seseorang (dari kalangan non-Bali) yang

belum pernah ke Bali akan mengalami kesan “serasa seperti di Bali” ketika

mengunjungi atau melewati Desa Balinuraga. Terlebih jika seseorang

tersebut sudah pernah berkunjung ke Bali dan Nusa Penida. Kesan ini bisa

langsung didapatkan secara langsung ketika melihat bangunan atau

arsitektur Bali Hindu – pelinggih (bangunan suci) atau pura – begitu

memasuki Desa Balinuraga. Pelinggih atau bangunan suci – terutama pura

– semua didesain dan dibangun sama seperti yang ada di Bali. Detail

Page 38: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

284

arsitekturnya bisa beragam antara satu keluarga atau warga yang lain

berdasarkan identitas dari warga atau soroh-nya (klan) – meskipun jika

dilihat bagi orang awam semua tampak sama seperti bangunan pura

lainnya, khususnya rong telu atau rong tiga (pura keluarga yang menjadi

khayangan tiga di level keluarga inti) dan Pura Kawitan Warga. Contoh

yang paling menonjol adalah penggunaan warna merah (terang) pada

pelinggih Warga Pandé sebagai simbol Dewa Api yang melindungi klan

mereka sebagai keturunan dari pandai wesi. Bagi mereka yang tingkat

perekonomiannya sudah mapan, pelinggih yang dibangun tidak hanya rong

telu saja, tapi juga dilengkapi oleh patung-patung dewa-dewi yang mereka

percayai sebagai pelindung dan manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa

dengan desain yang menawan dan warna-warna yang indah – umumnya

ditempatkan masih di dalam kompleks pura keluarga yang berada di depan

atau perkarangan rumah yang sudah dilengkapi dengan sebuah taman

bunga. Keindahan dan kemegahan pura keluarga yang mereka miliki

merupakan sebuah upaya dari mereka bagaimana menempatkan atau men-

sthana-kan Sang Hyang Widhi Wasa (dalam manifestasinya melalui pura

keluarga dan keberadaan patung atau arca dewa-dewi dalam Hindu) dalam

sebuah sthana layaknya seperti di khayangan (surga) – memberikan sebuah

tempat yang terbaik berdasarkan kemampuan ekonomi mereka di level

keluarga inti. Ada pula yang membangun pura keluarga-nya di depan teras

lantai rumahnya, sehingga dari kejauhan sudah tampak bangunan pura

keluarga. Sama seperti ketika membangun Pura Kawitan, bagaimana Pura

Kawitan ini dibangun seindah dan semegah mungkin, tidak hanya sebagai

wujud ketaatan mereka sebagai umat Hindu Sang Hyang Widhi Wasa, tapi

juga sebagai wujud nyata keeksistensian identitas warga (leluhur atau

bhatara) yang diupayakan oleh keturunannya yang telah berada di luar

Bali.

Page 39: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

285

Gambar 33. Pura Keluarga di Pekarangan Rumah

(Sumber: Yulianto, 2010).

Gambar 34. Pura Keluarga di Teras Lantai Atas Rumah

(Sumber: Yulianto, 2010).

Dengan jumlah rumah tangga yang mencapai delapan ratus

delapan belas keluarga atau 818 KK231

menjadikan Desa Balinuraga

231

Berdasarkan “Jumlah Penduduk Kecamatan Way Panji Menurut Desa, Jenis

Kelamin dan Sex Ratio Tahun 2008” dalam Kecamatan Way Panji Dalam Angka

2008/2009 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Selatan 2009).

Page 40: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

286

sebagai sebuah desa atau Kampung Bali “seribu pura”. Menyebutkan Desa

Balinuraga sebagai “desa seribu pura” (bangunan suci menurut Hindu

Bali) sangat beralasan. Setiap kepala keluarga dipastikan memiliki satu

pura keluarga, dan setiap kepala keluarga yang memiliki lahan pertanian

juga dipastikan memiliki pura tani yang mereka bangun di atas lahan

pertaniannya (di samping memiliki pura subak atau pura empelan sendiri

untuk setiap krama subak). Termasuk dengan Pura Kahyangan Tiga (Pura

Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem), Pura Kawitan berdasarkan identitas

warga, dan bangunan suci lainnya berupa tugu, baik yang ditempatkan di

titik sentral desa atau pun di tempat-tempat tertentu (biasanya

dipersimpangan atau perempatan jalan) yang dianggap keramat atau

angker. Jenis bangunan suci lainnya – sama fungsinya seperti pura sebagai

tempat ibadah kepada Sang Hyang Widhi Wasa – adalah meru (bangunan

suci yang menjulang ke atas, semakin ke atas semakin mengerucut,

berjumlah ganjil dan beratapkan ijuk) yang ada di pura-pura penting,

seperti Pura Kawitan dan Pura Kahyangan Tiga.

Gambar 35. Tugu Desa

(Sumber: Yulianto, 2008)

Page 41: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

287

Gambar 36. Padmasana / Pelinggih di Perempatan Jalan

(Sumber: Yulianto, 2010)

Untuk pembangunan pura keluarga bagi sebuah keluarga baru

yang memiliki tempat tinggal baru (terpisah dari rumah orang tuanya),

mereka mempercayai (dan dipraktekkan) bahwa pura keluarga harus

dibangun terlebih dahulu sampai lengkap sebelum rumah atau tempat

tinggal mereka dibangun secara permanen. Oleh karena itu, tidak

mengherankan bila ada rumah yang masih terbuat dari papan (semi

permanen) tapi sudah memiliki pura keluarga yang permanen (biasanya

keluarga baru, atau pendatang baru yang jumlahnya sangat sedikit

mengingat tingkat hunian desa ini sudah padat).

Kompleks desa atau perkampungan Bali di Balinuraga sejatinya

dirancang atau didesain – awal mulanya oleh Sri Mpu Suci dan

keluarganya – sama seperti yang ada di Bali pada umumnya (permukaan

tanah yang menjadi tempat hunian dan pertanian relatif lebih datar, sama

seperti di Bali, tapi berbeda dengan Nusa Penida yang berbukit-bukit dan

bertanah keras). Jalan desa dibuat tidak terlalu lebar. Lebarnya hanya satu

jalur, kecuali jalan utama desa yang dibuat dua jalur (seukuran mobil

pribadi per jalur) yang menjadi jalan utama penghubung desa lain atau

kecamatan. Itu pun jika dilintasi kendaraan besar (ukuran mobil Fuso)

mobil dengan ukuran mobil pribadi harus menepi ke pinggir jalan.

Kompleks pura-pura penting, seperti Pura Kahyangan Tiga dan Pura

Page 42: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

288

Kawitan, dikelilingi atau dipagari oleh tembok (penyeker) dan ada

penyangga sudut (paduraksa), sehingga menjadi seperti kompleks atau

kawasan tersendiri yang menyatakan bahwa ini merupakan sebuah

kompleks suci atau penting bagi mereka sebagai tempat peribadatan. Pura-

pura penting tersebut memiliki areal tanah yang terbilang luas – mengingat

saat pembangunannya di tahun 1960-an ketersediaan tanah masih banyak

dan murah. Rata-rata untuk kompleks pura penting areanya seluas

lapangan sepak bola – sama seperti kompleks bale banjar (sedikit lebih

kecil daripada lapangan sepak bola). Untuk kompleks Pura Desa dan Pura

Puseh (berada di sebelah barat dari tugu desa, merupakan pura pertama

sebelum terjadi pemisahan yang dilakukan oleh warga lain), di depan

kompleks pura (di luar tembok yang mengelilingi pura) masih terdapat

tanah milik Pura Desa dan Pura Puseh seluas lapangan sepak bola. Di

tanah ini pemuda-pemuda Balinuraga memanfaatkannya untuk bermain

sepak bola. Kompleks yang lebih luas adalah Pura Dalem. Dikarenakan di

luar kompleks Pura Dalem (di luar tembok yang mengelilingi Pura Dalem)

terdapat tanah pura (tanah milik pura) yang digunakan sebagai kompleks

setra (kuburan) dan tempat untuk prosesi ngaben. Sama seperti di Bali,

tanah milik pura tidak dapat diperjualbelikan atau dialihfungsikan. Dengan

kata lain, tanah milik pura hanya digunakan untuk kepentingan umat

Hindu Dharma yang ada di Desa Balinuraga.

Selain bale banjar, Desa Balinuraga juga memiliki beberapa bale

bengong. Bale bengong ini dibangun di setiap perempatan jalan atau lokasi

tertentu yang dianggap strategis di mana masyarakat mudah untuk

berkumpul di sana. Bale bengong ini merupakan bangunan semi permanen

dengan rata-rata luas bangunan 3 x 2 m2 (seperti rumah panggung pada

bagian fondasi bawahnya sebagai penyangga bangunan), beratapkan

genteng tanah liat dan memiliki ruang terbuka di bagian tengah. Di waktu

senggang, jika tidak ada kegiatan pertanian, masyarakat berkumpul di bale

bengong. Ibu-ibu biasa menggunakannya untuk kumpul-kumpul sambil

bergosip. Pemuda-pemuda menggunakannya sebagai tempat “nongkrong”

sambil memarkir motor barunya. Sebagian pemuda-pemuda dan bapak-

bapak menggunakannya untuk bermain kartu (umumnya kartu gaplek atau

kartu ceki), baik menggunakan uang sebagai taruhan atau hanya bermain

biasa untuk mengisi waktu. Ada pula yang menggunakannya untuk

Page 43: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

289

bermain gamelan Bali, atau bernyanyi menggunakan gitar. Juga digunakan

untuk tempat bertemu seseorang atau menunggu jemputan (mobil atau

ojek). Melalui bale bengong dapat diketahui aktivitas perekonomian dan

keagamaan di Balinuraga. Jika sebagian besar bale bengong sepi, tidak ada

orang yang duduk-duduk atau bersantai di sana, maka dapat dipastikan

masyarakat sedang sibuk di pertanian, atau sedang sibuk untuk

mempersiapkan sebuah upacara dan ritual adat-keagamaan penting.

Gambar 37. Masyarakat Berkumpul di Bale Bengong

(Sumber: Yulianto, 2010).

Secara umum perumahan masyarakat Balinuraga bersifat terbuka,

jarang sekali menggunakan pagar besi atau pagar tembok, kecuali dalam

beberapa kasus diperuntukkan untuk pura-pura penting dan pura keluarga.

Begitu pula dengan kandang ternak yang tidak disekat atau dipagari secara

khusus. Ini yang menyebabkan hewan peliharaan seperti babi (umumnya

jenis babi celeng yang berwarna hitam), anjing, dan ayam berkeliaran di

jalan-jalan desa tanpa dapat diketahui milik siapa. Biasanya hewan ini

akan kembali ke kandangnya masing-masing baik atas perintah pemiliknya

atau pun karena keinginannya sendiri. Khusus hewan peliharaan babi,

kadang dapat menimbulkan permasalahan antar penduduk. Induk babi dan

anak babi yang sering berkeliaran di jalan terkadang – jika bernasib naas –

tertabrak oleh kendaraan roda dua atau roda empat. Dalam kasus kecil

insiden penabrakan babi bisa menimbulkan pertengkaran antar penduduk,

karena nilai ekonomis tinggi dan penjualannya lebih mudah dan cepat.

Page 44: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

290

Tidak jarang dijumpai jika pemilik lengah ayam, babi, atau pun anjing bisa

dengan masuk ke dalam rumah penduduk dengan mudahnya. Ini yang

menyebabkan jika orang non-Bali mendapatkan kesan bahwa rumah orang

Bali “kotor”. Dapat dimaklumi mengapa kesan ini muncul di benak

mereka, karena bagi komunitas non-Bali – terutama etnis Jawa sebagai

mayoritas – jarang yang memilihara anjing, terlebih lagi babi. Ada pun

yang mereka pelihara adalah ayam, yang dibuat kandang khusus di

belakang rumah, atau dibuat sebuah kandang di tempat lain. Namun, bagi

penduduk Balinuraga hal ini adalah hal yang biasa saja, karena di Bali pun

juga seperti itu (di kampung halamannya). Justru ini yang menjadi ciri

khas atau identitas dari perkampungan Bali yang ada di Lampung: ada babi

yang berkeliaran bebas di jalan desa. Memang ada denda atau penyitaan

jika ada babi yang berkeliaran di jalan, namun babi yang berkeliaran di

jalan tetap saja ada di jalan desa. Di samping tidak dibuat kandang khusus

yang mencegah babi tersebut berkeliaran, juga disebabkan babi tersebut

kekurangan makanan atau ingin mencari makanan lain di luar kandangnya.

Umumnya disebabkan pemilik lupa atau memberikan makanan yang

sedikit sebelum pergi ke sawah dari subuh hingga sore hari. Tidak ada

sebuah desa atau sebuah perkampungan di Provinsi Lampung yang bisa

memelihara babi dan anjing secara bebas tanpa ada protes dari komuntias

etnis dan agama lain selain di perkampungan Bali, khususnya di

Balinuraga.

Page 45: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

291

Gambar 38. Babi yang Berkeliaran

(Atas: anak Babi Australia / Babi Impor berkeliaran di jalan desa; bawah: babi

celeng berkeliaran di halaman belakang rumah)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Kompleks perkampungan Bali di Desa Balinuraga, yang dibuat

seidentik mungkin dengan yang ada di Bali mulai dari blue print sampai

pada pembangunannya (termasuk arsitektur bangunan suci bagi Bali

Hindu) dan bersifat eksklusif, disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,

keterikatan yang kuat terhadap perkampungannya yang ada di Bali. Jadi

tidak hanya sistem sosialnya saja, tapi juga sampai ke bentuk fisik

(bangunan suci dan kompleks perkampungan) yang mencirikan identitas

mereka sebagai Bali Hindu. Keterikatan yang kuat atas tempat asal

Page 46: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

292

tersebut yang menjadikan mereka berpandangan bahwa perkampungan

mereka adalah yang paling ideal. Mereka tidak mau dibuatkan atau

membuat model perkampungan seperti transmigran lainnya, karena itu

bukan Bali, dan tidak membuat mereka merasa nyaman dan kerasan untuk

bekerja dan menetap di Lampung. Kebebasan untuk mendesain dan

membangun perkampungan Bali di Desa Balinuraga mereka dapatkan

karena mereka merupakan transmigran swakarsa, tanpa sponsor dari

pemerintah. Pembangunannya pun menggunakan pembiayaan dan tenaga

secara komunitas (mandiri), terutama infrastruktur-infrastruktur adat dan

keagamaan bagi Bali Hindu penting, seperti Pura Kahyangan Tiga, Pura

Kawitan, dan Bale Banjar. Oleh karena itu, elemen-elemen atau simbol-

simbol fisik yang menandakan identitas mereka sebagai Bali Hindu yang

ada di perkampungan mereka di Nusa Penida (atau pun yang ada di Bali)

sebisa mungkin untuk mereka penuhi. Dengan kata lain, bagaimana

perkampungan Bali yang indah dan asri seperti yang ada di Bali dan Nusa

Penida bisa mereka ciptakan setelah ada di Lampung. Tentu,

perkampungan mereka di Balinuraga dilihat dari arsitektur dan bahan

bangunannya lebih bagus daripada yang ada di Nusa Penida, karena di

Nusa Penida mereka memiliki banyak keterbatasan baik tempat atau pun

ketersediaan bahan bangunan. Acuannya (model perkampungan) adalah di

Bali dan Nusa Penida, dengan tetap melakukan penyesuaian-penyesuaian

berdasarkan konsep kala dan patra (tempat, keadaan dan waktu), tanpa

mengurangi hakikatnya.

Page 47: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

293

Gambar 39. Perkampungan Balinuraga

(Di jalan utama desa menuju tugu desa)

(Sumber: Yulianto, 2008)

Gambar 40. Perkampungan Balinuraga Tampak Atas

(Sumber: Yulianto, 2010)

Page 48: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

294

Gambar 41. Jalan Desa dan Plat Gang Desa

(sumber: Yulianto, 2010)

Kedua, menjaga serta mempertahankan kelekatan dan kedekatan

emosional dengan kampung halaman. Menjadikan Desa Balinuraga

sebagai perkampungan Bali di Lampung berarti semakin mendekatkan dan

melekatkan hubungan emosional dengan tanah leluhur. Mereka ingin agar

romantisme seperti perkampungan Bali yang ada di Bali ada di tempat

mereka yang baru (Lampung Selatan). Salah satu hal yang menyebabkan

transmigran Bali Nusa mempunyai keinginan yang kuat untuk kembali ke

kampung halamannya, khususnya transmigran pertama, adalah suasana

perkampungan Bali yang ada di Nusa Penida. Oleh karena itu, dengan

menjadikan Desa Balinuraga seperti perkampungan Bali keinginan yang

kuat untuk kembali ke kampung halaman dapat tertahankan. Dengan

demikian maka mereka bisa lebih fokus untuk bekerja di sektor pertanian,

sehingga dapat secara rutin pulang ke Nusa Penida untuk menunaikan

kewajiban adat dan keagamaannya.

Ketiga, secara sosiologis perkampungan Bali di Desa Balinuraga

sengaja dibuat eksklusif agar mereka dapat menunjukkan eksistensi

identitasnya sebagai Bali Hindu dan sebagai Bali dari Nusa Penida.

Dikatakan sebagai Kampung Bali karena anggota komunitas merupakan

etnis Bali Hindu. Melalui perkampungan Bali mereka dapat menunjukkan

bahwa mereka adalah kelompok pendatang yang berbeda dengan

kelompok pendatangan lainnya. Letak perbedaannya adalah bagaimana

Page 49: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

295

mereka mempertahankan ciri khas yang selama ini melekat pada dirinya

sebagai Bali Hindu: kebudayaan Bali Hindu. Sekaligus menunjukkan

bahwa kebudayaan mereka yang luhur tersebut tetap eksis dan bertahan

sesuai dengan perkembangan zaman, situasi dan kondisi yang ada di

Lampung, serta tetap terbuka dalam interaksi sosialnya dengan komunitas

etnis dan agama lain. Melalui perkampungan Bali komunitas berbasis

identitas etnis-keagamaan ini mempererat dan mempersolid komunitasnya.

Singkatnya, mereka ingin menunjukkan eksistensi kebudayaan Bali Hindu-

nya setelah berada di Lampung, tidak hanya dalam wujud fisik berupa

bangunan suci dengan arsitektur Bali Hindu dan kompleks perkampungan

Bali, tapi juga sampai pelaksanaan kegiatan ritual dan upacara adat-

keagamaan yang mereka laksanakan dengan runut dan disiplin. Dengan

demikian, mereka bisa dihargai dan dihormati sebagai komunitas

pendatang yang tidak hanya menjadi pendatang (transmigran) untuk

kepentingan ekonomi, tapi turut melestarikan kebudayaan Bali Hindu-nya

sebagai identitas pembeda dengan keunikannya yang khas – tanpa

membatasi interaksi dan relasi dengan komunitas etnis dan agama lain.

Keempat, alasan praktis. Satu desa adat dengan tujuh banjar yang

mayoritas anggotanya Bali Nusa sangat mempermudah pelaksanaan

kegiatan adat dan keagamaan yang jumlahnya banyak dan jaraknya

berdekatan232

. Sumbangan tenaga (ngayah) lebih mudah dilakukan karena

masih berada dalam satu desa atau satu banjar yang sama, khususnya

persiapan dan pelaksanaan upacara besar seperti ngaben. Keuntungannya

adalah ada biaya yang bisa dihemat dan ditekan secara ekonomi dalam

proses dan pelaksanaan upacara tersebut. Sistem ngayah ini tidak hanya

dalam bentuk tenaga, tapi juga dalam bentuk bahan kebutuhan pokok,

terutama yang menunjang kinerja para pengayah ketika sedang dalam

232

Dalam Desa Adat Balinuraga seluruh anggotanya adalah etnis Bali dari Nusa

Penida – yang berasal dari Bali atau Lombok secara tidak disengaja karena ada

urusan pekerjaan dan kemudian menikah dengan penduduk Balinuraga dan

menetap di sana. Dalam Desa Administratif, di Desa Balinuaraga ada beberapa

orang yang bukan etnis Bali. Mereka secara kebetulan dalam pemetaan desa

masuk ke dalam Desa Bali Nuraga secara administratif. Karena itulah, orang non-

Bali yang masuk secara administratif Desa Balinuaraga tempat tinggalnya berada

di pinggir desa atau perbatasan desa.

Page 50: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

296

proses persiapan dan pelaksanaan upacara besar. Sistem ngayah ini dapat

berjalan efektif di Balinuraga karena satu desa dengan tujuh banjarnya

didominasi oleh etnis Bali – satu etnis dan agama. Sistem ini sifatnya

mengikat, dan cenderung seperti arisan. Jika seseorang mengayah ke

tempat yang tetangganya (baik tenaga maupun sumbangan sembako),

maka saat seseorang tersebut sedang melaksanakan upacara besar (seperti

ngaben) tetangga tersebut wajib mengayah di tempat seseorang tersebut

(sesuai yang dulu pernah diayahkan. Selain itu, menghindari

ketersinggungan atau perasaan terganggu dari komunitas etnis lain yang

berbeda keyakinan mengingat banyaknya aktivitas keagamaan dan adat

yang harus mereka lakukan. Terutama yang menyangkut hewan peliharaan

jenis anjing dan babi, di mana bagi komunitas etnis lain dengan

kepercayaan tertentu tidak diperkenankan untuk memelihara – apalagi

mengonsumsinya – kedua jenis hewan tersebut. Sampai saat ini belum ada

kasus di mana anjing dan babi peliharaan penduduk Balinuraga yang

berkeliaran atau tersesat sampai ke desa tetangga dari komunitas etnis dan

agama lain sehingga menimbulkan keributan, karena jaraknya terlalu jauh

dan rata-rata dipisahkan oleh hamparan sawah yang luas.

Contoh Kasus: Arsitektur Bali Pada Beberapa Jenis Bangunan Suci

di Balinuraga

Ciri khas perkampungan Bali adalah keberadaan bangunan pura

sebagai tempat untuk peribadatan umat Hindu Dharma. Untuk sebuah

perkampungan Bali setingkat desa seperti di Balinuraga, keberadaan pura

yang ada di setiap rumah dan beberapa kompleks pura penting seperti Pura

Kahyangan Tiga dan Pura Kawitan merupakan penunjuk utama bahwa ini

adalah perkampungan atau komunitas Bali Hindu yang ada di luar Bali,

Lampung. Dengan kata lain, pura-pura yang ada di perkampungan Bali

menjadi identitas mereka secara simbolis bahwa mereka adalah Bali

Hindu. Namun, jika ditelusuri dan diamati lagi secara seksama, sebenarnya

di setiap pura memiliki ragam bangunan suci atau biasa disebut pelinggih,

di mana setiap pelinggih mempunya arti dan fungsinya masing-masing.

Bangunan suci atau pelinggih merupakan bangunan tempat men-stana-kan

Sang Hyang Widhi, manifestasi-Nya atau roh suci leluhur (Titib 2003).

Dalam pemaparan contoh kasus ini, penulis akan menyajikan gambar-

Page 51: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

297

gambar ragam pelinggih yang ada di setiap pura di Balinuraga. Ciri khusus

dari setiap pelinggih yang ada di Balinuraga – umumnya sama di

perkampungan Bali lainnya di Lampung – adalah semen (adukan semen

dan pasir) sebagai bahan dasar konstruksi pelinggih. Ukir-ukiran patung,

motif, dan lainnya yang ada di pelinggih juga terbuat dari semen: ukir-

ukiran dibuat pada semen cetakan yang masih basah. Ukir-ukiran berbahan

semen tersebut ada yang memang diukir, tapi ada juga yang sudah dibuat

dari sebuah cetakan. Tergantung dari kemampuan ekonomi pemilik pura.

Harga yang cetakan lebih murah daripada yang diukir dengan tangan.

Modelnya secara umum mereka tiru dari Bali dan Nusa Penida, tapi ada

juga yang sudah dilakukan modifikasi. Jadi, jika dilihat dari jenis dan

model pelinggih pada pura, maka dapat dilihat perbedaan dengan yang ada

di Bali yang lebih banyak menggunakan batu (batu padas, batu karang laut

berwarna putih seperti yang umum digunakan di Nusa Penida, atau batu

lahar dari Gunung Agung) sebagai bahan dasar konstruksi pura dan

pelinggih di dalamnya. Dengan kata lain, secara umum dapat dikatakan

bahwa pura atau pelinggih yang ada di dalam pura di Balinuraga adalah

bangunan suci yang khas Bali dari Lampung.

Beberapa ragam pelinggih yang ada di dalam (kompleks) pura

yang akan penulis sajikan dalam bentuk gambar dan penjelasan singkat

mengenai arti dan fungsinya, antara lain sebagai berikut: (1) Prasada; (2)

Meru; (3) Padmasana; (4) Gedong; (5) Rong Tiga.

Page 52: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

298

Prasada

Gambar 42. Prasada

(Prasada yang ada di dalam Pura Kawitan, sebelah kiri diambil dari atas, sebelah

kanan dari bawah)

(Sumber: Yulianto, 2009)

Prasada merupakan bangunan suci (pelinggih) yang bentuknya

menyerupai tugu dengan memiliki tiga bagian utama, yaitu dasar, badan

dan atap. Atapnya memakai gelungan mahkota segi empat yang mengecil

di bagian atasnya. Tingginya kurang lebih mencapi sepuluh meter. Bahan

utama pelinggih ini adalah semen (adukan semen dan pasir) dan batu bata

(untuk bagian fondasi). Fungsi prasada adalah sebagai tempat pemujaan

Sang Hyang Widhi Wasa atau roh suci233

.

233

Lihat: Titib (2003), Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu,

Surabaya: Penerbit Paramita;

Page 53: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

299

Meru

Gambar 43. Meru

(Gambar pertama sebelah kiri: meru bertumpang sembilan di Pura Kawitan;

gambar kedua di tengah: meru bertumpang lima di Pura Desa dan Puseh I; gambar

ketga sebelah kanan: meru bertumpang tujuh di Pura Desa dan Puseh II, tumpang

tujuh simbol Tujuh Rsi leluhur Warga Pasek)

(Sumber: Yulianto, 2009 & 2010)

Meru merupakan pelinggih yang (hampir selalu ada) di setiap

(kompleks) Pura besar. Meru memiliki tiga bagian utama, yaitu dasar,

badan dan atap. Ciri khas dari meru adalah atapnya berjumlah ganjil (3, 5,

7, 9, dan 11), atapnya semakin ke atas semakin mengecil, dan (umumnya)

atap terbuat dari ijuk. Bagian dasar berbentuk bujur sangkar (sebagai

fondasi) yang berbahan batu dan adukan semen-pasir, sedangkan bagian

badan berbahan kayu. Meru merupakan simbol alam semesta (andha

bhuana) yang terdiri dari tiga bagian: bhurloka, bhuvahloka, dan svahloka.

Fungsi meru adalah sebagai tempat pemujaan bagi Sang Hyang Widi Wasa

atau manifestasi-Nya dan sebagai tempat pemujaan Devapitara atau

Atmasiddhadevata (roh suci leluhur)234

.

234

Op.cit. Titib (2003); lihat juga: Dwijendra (2008), Arsitektur Bangunan Suci

Hindu, Denpasar: Udayana University Press dan Bali Media Adhikarsa.

Page 54: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

300

Padmasana

Gambar 44. Padmasana

(Gambar pertama kiri atas: padmasana di Pura Kawitan; gambar kedua tengah:

padmasana di Pura Desa dan Puseh I; gambar ketiga kiri: padmasana tampak

belakang condong ke kanan di Pura Desa dan Puseh II; gambar keempat bawah:

padmasana tampak belakang di Pura Dalem)

(Sumber: Yulianto, 2009 & 2010)

Page 55: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

301

Padmasana diartikan sebagai stana Tuhan Yang Maha Esa

(padma: teratai merah; asana: tempat duduk). Padmasana terdiri dari tiga

bagian, yaitu dasar, badan dan puncak. Ciri khasnya terletak di bagian

puncak yang terdapat singhasano (berbentuk kursi). Fungsi padmasana

adalah memuja Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa atau

manifestasinya. Jadi, padmasana tidak difungsikan untuk pemujaan roh

suci leluhur235

.

Gedong

Gambar 45. Gedong

(Sumber: Yulianto, 2009)

Gedong adalah jenis pelinggih yang mudah ditemukan di Pura.

Bentuknya berupa bujur sangkar atau persegi panjang. Memiliki tiga

bagian, yaitu dasar, badan dan atap. Bagian dasar dan badan gedong di atas

menggunakan bahan dasar batu dan adukan semen-pasir, karenanya

disetiap sudutnya diberikan ukiran garuda. Bagian atasnya terbuat dari

kayu, dengan beratapkan genteng bata dan ijuk. Fungsi gedong di

antaranya adalah sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur

(atmasidhadevata) dan tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa236

.

235

Op.cit. Titib (2003) dan Dwijendra (2008). 236

Op.cit. Titib (2003) & Dwijendra (2008).

Page 56: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

302

Rong Tiga

Gambar 46. Rong Tiga

(Sebelah kiri bangunan rong tiga tampak depan beratapkan ijuk, sebelah kanan

tampak samping beratap seng)

(Sumber: Yulianto, 2009)

Rong tiga atau rong telu bentuk umumnya sama seperti gedong,

empat persegi panjang, dengan tiga bagian utama, yaitu dasar, badan dan

atap. Rong tiga di atas bagian dasarnya berbahan batu dan adukan semen-

pasi. Ciri khas dari bangunan rong telu adalah adanya tiga (telu) ruang

(rong) di bagian badan (tengah) bangunan yang menghadap ke depan.

Atapnya terbuat dari konstruksi kayu dengan atap ijuk atau bahan lain

(gambar di sebelah kanan menggunakan atap seng). Rong tiga ini adalah

pelinggih yang dapat dijumpai di setiap pura keluarga di Balinuraga, dan

biasanya ditempatkan juga di pamarajan atau kamulan. Fungsinya adalah

untuk memuja roh suci leluhur dan Tuhan Yang Maha Esa dalam

manifestasi-Nya sebagai Brahma, Wisnu, dan Siwa237

.

Kehidupan Sosial-Keagamaan: Tradisionalisasi versus

Modernisasi

Kehidupan keseharian masyarakat Balinuraga tidak dapat

dilepaskan dari kehidupan keagamaannya. Artinya, unsur keagamaan

237

Op.cit. Titib (2003) & Dwijendra (2008).

Page 57: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

303

Hindu dan tradisi Bali yang menjadi kesatuan selalu mewarnai setiap

aktivitas hariannya. Bersembahyang harian tiga kali sehari menjadi

kewajiban mereka sebagai umat, selain kewajiban saat hari raya atau

upacara besar keagamaan. Waktunya adalah pagi hari (di waktu subuh

sebelum bertani), siang hari, dan sore hari (selepas pulang bekerja)238

.

Sembahyang harian ini mengambil tempat di rong telu atau pura keluarga

sebagai manifestasi Pura Kahyangan Tiga. Biasanya di pagi hari ketika

udara masih sejuk dan segar, wangi dupa dapat dengan mudah tercium saat

berjalan pagi mengelilingi desa. Wangi dupa ini berasal dari pura keluarga

yang letaknya di depan perkarangan rumah. Aktivitas sembahyang harian

ini dilengkapi dengan pemberian bantenan (sesajen) di tempat-tempat

tertentu di rumahnya – tempat yang dianggap sakral (selain di rong telu).

Tidak hanya itu, mereka juga punya kewajiban untuk bersembahyang (juga

memberikan sesaji) di pura tani yang ada di areal pertanian mereka.

Hal yang menarik dalam interaksinya dengan sesama penduduk

Balinuraga dan Bali Hindu dari Kampung Bali lain ketika bertemu atau

bertamu adalah pengucapan salam om swastiastu – terkadang disingkat

dengan menyebutkan swastiastu saja. Sama seperti umat Islam (Muslim)

mengucapkan “Assalam‟alaikum” atau “Syalom” bagi umat Kristiani.

Salam om swastiastu ini ternyata sudah lama mereka gunakan. Jauh

sebelum wacana Ajeg Bali dikumandangkan di seantero Bali, di mana

salah satunya dengan mempopulerkan salam om swastiastu239

. Salam om

238

Dalam prakteknya sembahyang harian – tiga kali sehari – tidak mutlak

sebanyak tiga kali sehari. Di waktu sibuk biasanya hanya dua kali sehari, pagi dan

sore hari. Bagi yang “taat” mereka selalu bersembahyang tiga kali sehari (biasanya

para orang tua dan sepuh yang aktivitasnya tidak padat), sedangkan yang “kurang

taat” (abangan) paling tidak sehari sekali di waktu pagi (alasan praktis lebih

ditekankan terkait waktu dan pekerjaan mereka, khususnya anak muda yang

bersekolah di luar desa atau pun yang sudah bekerja di luar desa tapi masih tinggal

di desa). 239

Schulte Nordholt (2010: hlm.70): “Kebudayaan Bali juga kian ditampilkan

sebagai eksklusif Hindu. Ini dicapai dengan menegaaskan kontras dengan Islam

dan, ironisnya, meniru gaya Islam. Kontras dengan ucapan salam Islam,

Assalam’alaikum, pembawa acara, reporter, dan pemandu acara wicara

membuka acara dengan ucapan khidmat Om Swastiastu, dan menutup acara

dengan Om Shanti Shanti Shanti Om…” Schulte Nordholt (2010) menambahkan

bahwa: “Makin hari makin banyak orang Bali mengucapkan “Om Swastiastu”

Page 58: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

304

swastiastu selalu digunakan setiap diselenggarakan acara formal sosial-

keagamaan bagi umat Hindu Dharma di Balinuraga dan di tempat lain di

Lampung Selatan sebagai salam pembuka; kemudian ditutup dengan salam

om Shanti Shanti Shanti om. Selain itu, berdasarkan keterangan dari

seorang guru Agama Hindu lulusan Pendidikan Guru Agama Hindu di

Lombok yang bertugas di Balinuraga pada tahun 1978 adalah: bahwa

masyarakat Balinuraga sudah fasih melafalkan puja trisandya – salah satu

doa bagi umat Hindu Dharma – padahal (berdasarkan keterangannya)

sebagian penduduk Bali Lombok di Lombok dan sebagai penduduk Bali di

Bali puja trisandya belum begitu populer dan secara fasih dilafalkan. Hal

ini disebabkan puja trisandya merupakan sebuah doa yang baru bagi

kalangan masyarakat Bali – diadaptasi dari India yang diperkenalkan oleh

intelektual mudanya yang studi ke berbagai universitas besar di India,

kemudian dipopulerkan oleh PHDI.

Gambar 47. Spanduk Bertuliskan Om Swastiastu

(Sumber: Yulianto, 2010).

Terkait dengan profesi mereka sebagai petani (profesi mayoritas di

Balinuraga), itu pun tidak terlepas dari unsur keagamaan. Ini merupakan

kewajiban bagi mereka agar selalu melibatkan ritual dan upacara

keagamaan terkait dengan profesinya sebagai petani. Di level individu

mereka bisa melakukannya sendiri dengan bersembahyang secara personal

di setiap pura tani di areal pertaniannya. Tujuannya adalah untuk meminta

perlindungan, berkah, hasil panen yang baik, dan lain-lain kepada Sang

sebagai pengganti “Halo” saat menjawab panggilan telepon seluler mereka”

(op.cit. hlm. 70 footnote 10).

Page 59: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

305

Hyang Widhi Wasa yang dimanifestasikan dalam dewa-dewi sebagai

perantara dari doa mereka kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Di level

komunitas, dalam krama subak di banjar kegiatan keagamaan terkait

dengan pertanian dilakukan secara bersamaan dari seluruh anggota krama

subak. Upacara puncaknya adalah ngeruwat atau ruwatan hasil panen.

Masyarakat Balinuraga selama ini (secara umum) dikenal dengan

keramahannya dalam menerima tamu. Mereka cukup terbuka bagi setiap

tamu yang ingin berkunjung ke rumahnya. Filosofi mereka adalah bahwa

tamu itu seperti dewa. Seperti yang termuat dalam Kitab Taittiruya

Upanisad I.11. yang menyebutkan bahwa ada empat dewa: seorang ibu

adalah dewa, seorang bapak adalah dewa, seorang guru adalah juga

dewa dan para tamu pun adalah dewa240

(dalam Titib 2003). Karenanya,

harus diperlakukan dengan baik dan hangat. Disedikan makanan dan

minuman yang baik, meskipun seadanya. Mereka akan canggung saat

menerima tamu ketika mereka belum membersihkan diri (khususnya untuk

tamu yang baru pertama kali datang). Ada semacam kebanggaan dan

prestise tersendiri bagi mereka jika ada banyak tamu yang datang dan

sering berkunjung ke rumahnya. Banyak dan seringnya tamu yang

berkunjung bukan hanya menunjukkan prestise bahwa seseorang tersebut

adalah orang penting, tapi adalah bagaimana manifestasi “dewa” atau

“Sang Hyang Widhi Wasa” itu mengunjungi rumahnya. Jadi, tidak

mengherankan jika mereka sering mengajak tamu yang sedang bertamu ke

tempat saudaranya – ketika itu yang bersangkutan sedang ada di rumah

tersebut – untuk bertamu ke rumahnya. Jika tamu tersebut secara rutin

bersilatuhrami dan dipercaya, maka tamu tersebut akan diangkat

(dianggap) menjadi saudara. Sebenarnya keterbukaan masyarakat

Balinuraga terhadap komunitas lain berbeda etnis dan agama yang

dilandasi oleh filosofinya bahwa tamu seperti “dewa” mengikis stigma

sebagian masyarakat non-Bali yang segan (cenderung takut) jika bertamu

atau bermain ke Balinuraga, atau perkampungan Bali pada umumnya.

Stigma yang berkembang di masyarakat non-Bali terhadap perkampungan

240

Dalam Bahasa Sansekerta berbunyi: “matrdevo bhava pitrdevobhava,

acaryadevo bhava atithidevo bhava” (Taittiriya Upanisad I.11. dalam Titib 2003,

“Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu”, Surabaya: Penerbit Paramita).

Page 60: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

306

Bali atau masyarakat Bali adalah kekuatan niskala atau kekuatan gaibnya

(mistik) yang tersohor. Namun, bagi sebagian kalangan stigma ini

dimanfaatkan untuk mencari perlindungan mistik kepada tokoh-tokoh

masyarakat Balinuraga yang diyakini memiliki kekuatan gaib tersebut,

mulai dari orang biasa sampai pengusaha besar dan pejabat (dari berbagai

etnis, termasuk penduduk asli Lampung). Keuntungan dari stigma tersebut

menjadikan setiap perkampungan Bali, termasuk Balinuraga, sebagai

tempat yang relatif lebih aman dari tindakan kriminal, seperti pencurian.

Meskipun stigma tersebut – terkait dengan kekuatan gaib – sulit untuk

dibuktikan dan dijelaskan, tapi berdasarkan keterangan dan bukti-bukti

yang ada, sulit untuk mengingkari kekuatan niskala yang ada di Balinuraga

yang diwakili oleh para sesepuhnya. Agak sulit dibuktikan karena ada

perbedaan yang tipis antara kemampuan memberikan sugesti dari seorang

sepuh (orang non-Bali menyebutnya sebagai dukun atau paranormal,

dalam Bali disebut balian) kepada tamunya yang ingin meminta sesuatu

dibandingkan dengan kekuatan transenden yang berasal dari dunia lain.

Hal ini disebabkan mayoritas para tamu tersebut sudah percaya seratus

persen dengan paranormal tersebut – didukung dengan stigma yang ada –

sehingga cukup diberikan sugesti sedikit saja melalui pendekatan

psikologis pengabulan permintaan itu terjadi. Jadi terkabulnya permintaan

tersebut lebih disebabkan oleh kerja keras tamu tersebut, dan yang

dibutuhkannya sebenarnya adalah kepercayaan diri melalui sugesti yang

diberikan oleh paranormal. Media sugestinya bermacam-macam. Ada yang

cukup diberikan nasihat atau petunjuk, ada yang tersugesti jika diberikan

sebuah catatan mantra untuk dirapalkan, ada yang melalui benda-benda

tertentu, dan lain-lain.

Tradisionalisasi versus Modernisasi

Karakteristik yang khas dari Bali Nusa di Balinuraga – seperti

yang telah diuraikan sebelumnya – adalah kuatnya ikatan terhadap apa pun

yang menjadi identitasnya sebagai Bali Hindu. Hal ini yang menyebabkan

mengapa masyarakat Bali Nusa di Balinuraga – umumnya Bali Nusa di

Lampung – dikenal dengan kekolotannya dalam mempertahankan tradisi

Bali Hindu-nya. Mereka ini dikenal sebagai golongan kolot atau

konservatif. Golongan konservatif ini, yang didominasi oleh orang tua

Page 61: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

307

yang pemahaman dan pendidikannya mengenai Hindu Dharma (sebagai

Hindu modern) minim, menginginkan bagaimana setiap ritual dan upacara

baik adat maupun keagamaan dijalankan seketat mungkin dan harus sebisa

mungkin sama seperti yang dilakukan (dan pernah mereka lakukan) di

Nusa Penida, Bali. Golongan konservatif ini tidak menghendaki adanya

perubahan atau pun modernisasi. Menurut mereka perubahan atau pun

modernisasi dalam tata upacara dan ritual berarti ada proses pengurangan

tahapan dalam tata upacara dan ritual tersebut. Artinya, jika dilakukan

maka mereka percaya akan mengurangi hakikat dan inti dari upacara dan

ritual tersebut, dan akan berdampak negatif terhadap mereka (ada sanksi

niskala) berupa malapetaka, musibah, atau pun bencana. Kekhawatiran dan

ketakutan inilah yang sampai saat ini selalu menimbulkan perdebatan

panjang dan perang dingin antar kubu warga yang mengusung

tradisionalisme dan modernisasi.

Sebaliknya, bagi kubu warga tertentu dan anggota warga lain yang

pikirannya sudah maju dengan tingkat pendidikan yang mumpuni di

bidang keagamaan (Hindu Dharma), memandang bahwa modernisasi itu

perlu dilakukan. Bagi mereka, modernisasi yang dalam prakteknya

diadakan standarisasi upacara (bagi golongan konservatif disebut

mempersingkat tata upacara dan ritual) sama sekali tidak mengurangi

hakikat atau pun esensi dari setiap ritual dan upacara adat dan keagamaan.

Modernisasi dilakukan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan

tantangan zaman yang terus berubah, bukan dimaksudkan untuk

mengurangi nilai keluhuran dan kesucian dari ritual dan upacara tersebut.

Selain itu, melalui modernisasi masyarakat (umat Hindu Dharma di

Balinuraga) dapat melakukan upacara dan ritual besar dengan efektif dan

efisien, tidak memakan biaya dan tenaga yang besar serta waktu yang

lama. Terpenting adalah tujuan dari ritual dan upacara tersebut dapat

tercapai, dan proses pelaksanaannya berhasil.

Tema klasik perdebatannya antara kubu konservatif dan modern

adalah “kita ikut Hindu dari Bali atau ikut Hindu dari India”. Kubu

konservatif menilai bahwa mereka (kubu modern) telah mencampur

adukan Hindu Bali dengan Hindu dari India, seolah-olah ingin mengikuti

tata cara seperti yang ada di India. Kubu modern berargumen bahwa apa

yang mereka modernisasikan adalah tetap Hindu Bali. Namun, poin

Page 62: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

308

penting yang dapat diambil dari perdebatan kedua kubu ini intinya adalah

bahwa tradisi keagamaan dan adat-istiadat mereka sebagai Bali Hindu

(orang Bali yang beragama Hindu) harus tetap ada dan eksis, tidak boleh

hilang. Hal ini disebabkan, dari kubu modernis, mereka pun tidak ingin

meng-India-nisasikan Hindu Bali mereka, karena jati diri mereka sebagai

Bali dan Hindu Bali akan hilang atau terkikis. Oleh karena Bali dan Hindu

seperti menjadi kesatuan, maka jangan sampai ketika modernisasi yang

dilakukan pada Hindu dapat menghilangkan jati diri Bali, karena di

sanalah letak identitas mereka sebagai Bali Hindu. Jadi, tujuan perdebatan

dari kedua kubu tersebut sebenarnya mempunyai tujuan yang sama –

mempertahankan identitas mereka sebagai Bali Hindu. Sebenarnya bila

diperhatikan seksama inti dari perdebatannya terletak pada tata cara

pelaksanaan ritual dan upacara keagamaan, bukan perdebatan apakah

tujuan tersebut melenceng jika diadakan sebuah perubahan tata cara ritual

dan upacara keagamaan. Akibatnya, karena kedua kubu tersebut saling

mempertahankan pendapatnya masing-masing dengan mengusung

identitas warga, adalah aksi boikot: tidak menghadiri, atau hanya jadi

penonton jika kubu yang satu mengadakan sebuah upacara dan ritual adat

dan keagamaan penting (misalnya, ngaben). Tidak berhenti sampai pada

aksi boikot, tapi juga gosip-gosip yang menyindir satu kelompok warga

tertentu. Uniknya, setiap ada perubahan atau inovasi dalam tata upacara

atau pun upakara maka di saat yang sama muncul perdebatan, aksi boikot,

dan perang dingin; tapi, setelah beberapa waktu (ketika perang dingin

mereda), perubahan atau inovasi tersebut diadoptasi oleh kelompok yang

menentang. Proses ini telah terjadi sejak tahun 1970-an. Oleh karena

itulah, saat ini masyarakat non-Bali (tetangga Desa Balinuraga) menilai

bahwa sekarang masyarakat Balinuraga sudah mulai modern, tidak kolot

seperti dulu (tahun 1970-an sampai 1990-an). Indikatornya adalah:

“mereka tidak jor-joran (habis-habisan) seperti dulu jika ada upacara”.

Jika di masa Orde Baru, upacara dilakukan besar-besaran tidak menjadikan

perekonomian mereka menurun, karena di masa itu adalah masa-masa

emas perekonomian mereka di bidang pertanian: sebuah masa di mana

mencari uang tidak sulit. Saat ini upacara dilakukan tetap besar dan megah

bagi mereka yang mampu, tapi lebih sederhana – dalam arti lebih efektif

dan efisien. Namun, keefektifan dan keefisienan tersebut berguna bagi

Page 63: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

309

mereka yang perekonomian pas-pasan, belum mampu menyelenggarakan

dalam skala besar. Salah satunya adalah kasus Ngaben Massal, di mana

dalam persiapan dan penyelenggaraannya sudah menggunakan manajemen

yang sederhana (pembentukan panitia kerja dan pelaksana), bagaimana

dengan biaya yang rendah upacara tetap bisa dilaksanakan secara bersama-

sama, tetap besar dan megah serta tidak mengurangi hakikat dan esensi

dari upacara tersebut.

Entah disadari atau tidak, karena proses perdebatan dan

pertentangan tetap saja terjadi hingga saat ini, pertentangan kubu

konservatif dan modernis sebenarnya telah memberikan sebuah perubahan

yang mendasar bagi komunitas Bali Nusa di Balinuraga dibandingkan

masa-masa awal kepindahan mereka di Lampung Selatan (tahun 1960-an).

Artinya, kehidupan sosial-keagamaan mereka telah berubah, dengan tetap

menjadi dan tidak kehilangan identitasnya sebagai Bali Hindu. Perubahan

ke arah kemajuan ini – karena dilandasi oleh kepentingan dan keuntungan

ketika perubahan tersebut dilaksanakan – bersifat spiral: dinamis,

sedinamis polemik hubungan dan pertentangan antar warga. Ini yang

menyebabkan mengapa Balinuraga kerap-kali dijadikan sebagai trend-

setter bagi komunitas Bali Hindu yang ada di tempat lain, terutama

perkampungan Bali yang menjadi pecahan dari Balinuraga (masyarakat

Balinuraga yang merantau ke tempat lain dan membentuk perkampungan

Bali). Misalnya, mengundang seka gong yang ada di Balinuraga ke

perkampungan Bali lain unuk mementaskan kesenian Bali, menggunakan

jasa pembuat (ahli, tukang) pura dan bangunan suci lainnya (termasuk

pembuat bade, wadah, atau patulangan untuk upacara ngaben) dari

Balinuraga, serta mengundang tokoh, sesepuh, atau pun sulinggih dari

Balinuraga. Termasuk pentas kesenian dalam acara formal pemerintahan

dengan mengundang seka gong dari Balinuraga.

Bonding dan Bridging Komunitas Bali Nusa

Komunitas Bali Hindu di Lampung dikenal luas oleh masyarakat

Lampung sebagai sebuah komunitas yang solid dan kompak. Hidup dalam

sebuah perkampungan Bali yang eksklusif, seluruh anggotanya adalah

entis Bali Hindu. Dengan kata lain, komunitas Bali Hindu yang ada di

Lampung – yang perkampungan Balinya tersebar ke berbagai kabupaten,

Page 64: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

310

kecamatan, dan desa dalam Provinsi Lampung – memiliki ikatan sosial dan

kekerabatan yang kuat di dalam komunitasnya, atau memiliki bonding

komunitas yang kuat: mengikat anggotanya ke dalam sebuah komunitas (di

level dusun dan desa) berbasiskan identitas etnisitas dan keagamaan (Bali

Hindu). Namun, akar dari kuatnya ikatan ke dalam dari komunitas Bali

Hindu di Lampung tidak bisa dilihat utuh sebagai Bali Lampung atau

“Orang Bali Hindu yang ada di Lampung”. Mengapa? Karena akar dari

kuatnya identitas Bali Lampung tersebut sebenarnya berada di level banjar

(setingkat dusun), dan level di atasnya adalah desa pakraman

(dipersatukan dengan Pura Kahyangan Tiga). Jadi, untuk menilik lebih

jauh bonding komunitas Bali Hindu di Lampung, maka pengkajiannya

harus berada di level banjar dan desa pakraman. Dalam penelitian ini

penulis mengambil kasus Desa Balinuraga: sebuah Desa Pakraman dengan

tujuh banjar yang mayoritas anggotanya merupakan Bali Nusa (Bali Hindu

yang berasal dari Pulau Nusa Penida, Bali), di mana ketujuh banjar

tersebut dipersatukan menjadi sebuah Desa Pakraman dengan hadirnya

Pura Kahyangan Tiga. Model banjar dan desa pakraman komunitas Bali

Hindu di Lampung umumnya sama, tidak ada perbedaan yang mendasar,

kecuali karakteristik dari tempat asalnya. Sebuah model yang juga kurang

lebih sama dengan yang ada di tempat asalnya, Bali dan Nusa Penida,

sebagai sebuah sistem sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang bersifat

mengikat komunitas Bali Hindu setelah berada di luar Bali, Lampung. Dari

beberapa kelompok pendatang di Lampung, terutama Jawa dan Bali

kedatangannya ke Lampung melalui program transmigrasi, hanya etnis

Bali Hindu yang secara konsisten dan ajeg mempertahankan dan

mengaplikasikan tradisi Bali Hindu-nya di Lampung – sampai pada

pengaplikasian sistem sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang

kompleks dan rumit, di mana setiap perkampungan Bali atau banjar

memiliki karakteristik yang berbeda dengan banjar yang lain berdasarkan

tempat asalnya (banjar tempat asal).

Pembahasan sub-bagian ini akan dimulai dari level banjar sebagai

basis kebertahanan dan eksistensi tradisi Bali Hindu – dasar dari identitas

kebalian mereka di Lampung. Kemudian, Desa Adat atau Desa Pakraman,

dan selanjutnya Bali Lampung. Setiap level mempunyai bonding

komunitasnya sendiri-sendiri, semakin ke bawah (level banjar) bonding

Page 65: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

311

komunitasnya lebih bersifat spesifik dan unik, semakin ke atas (level Bali

Lampung), bonding komunitasnya sudah bersifat general.

Banjar Sebagai Akar Bonding Komunitas Berbasikan Identitas

Tertentu

Untuk melihat Bali Lampung secara utuh, maka yang harus ditilik

lebih jauh adalah banjar sebagai kesatuan komunitas adat dan keagamaan

(setingkat dusun) berbasiskan tradisi Bali Hindu berdasarkan tempat asal

yang menjadi identitas komunitas tersebut. Pada pembahasan sebelumnya

mengenai banjar di Desa Balinuraga diketahui bahwa setiap banjar

memiliki karakteristik dan ciri khas yang membedakannya dengan yang

lain. Pada banjar tertentu, seperti Banjar Pandéarga dan Sidorahayu,

karakteristik dan ciri khas yang melekat adalah identitas warga yang

mendominasi anggota banjar tersebut, yaitu identitas Warga Pandé pada

Banjar Pandéarga dan identitas Warga Pasek pada Banjar Sidorahayu.

Namun, karakteristik dan ciri khas banjar tidak bisa disempitkan pada satu

identitas warga tertentu, terutama saat ini di mana komposisi warga sudah

membaur. Di dalam Banjar Pandéarga terdapat Warga Pasek dan Arya,

begitu juga sebaliknya di Banjar Sidorahayu yang di dalamnya terdapat

Warga Pandé dan Arya.

Faktor berikutnya yang memperkuat komunitas banjar adalah

banjar asal mereka di Nusa Penida. Banjar Pandéarga – cikal bakal Desa

Balinuraga – adalah turunan (replikasi) dari banjar asal transmigran

pertama Nusa Penida (tahun 1963), yaitu Banjar Soyor (Dusun Soyor,

Desa Tanglat, Kecamatan Nusa Penida). Komposisi anggota Banjar

Pandéarga saat itu bukan seluruhnya Warga Pandé, tapi termasuk di

dalamnya Warga Pasek dan Arya. Penamaan Banjar Pandéarga adalah

untuk menghormati Sri Mpu Suci yang menjadi pemimpin transmigran

pertama yang berasal dari Warga Pandé. Dalam perkembangannya, Banjar

Pandéarga diidentikkan sebagai banjar-nya Warga Pandé, meskipun di

dalamnya terdapat anggota yang berasal dari warga lain.

Kesolidan dan kekompakkan banjar di Balinuraga tidak dapat

dilepaskan dari keberadaan seka-seka yang ada di dalam banjar. Seka

menjadi sebuah perkumpulan komunitas adat-keagamaan dengan

spesifikasi tugas yang lebih khusus, seperti seka tani dan seka gong.

Page 66: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

312

Sebagai sebuah perkumpulan di bawah otoritas banjar, seka mengikat

anggotanya dalam sebuah perkumpulan / komunitas yang eksklusif.

Dengan kata lain, seka menjadi fondasi dasar kesolidan dan kekompakkan

anggota banjar. Misalnya, seka tani yang keanggotaannya adalah krama

subak dari petani memiliki sawah dalam wilayah banjar tersebut.

Keanggotaan seka tani ini tidak terbatas pada satu identitas warga, tapi

lebih pada keberadaan lahan pertanian petani dalam wilayah banjar

(dusun) tertentu. Seka gong keanggotaannya lebih spesifik daripada seka

tani. Kasus Banjar Pandéarga dan Banjar Sidorahayu keanggotaannya

secara umum adalah anggota banjar, tapi secara khusus berasal dari warga

tertentu. Hal ini disebabkan salah tugas seka gong tersebut dalam upacara

yang ada di Pura Kawitan yang menjadi identitas warga tertentu.

Sebagai sebuah organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan,

banjar memiliki struktur organisasi yang salah satunya berfungsi

mempersatukan anggota komunitas sebagai anggota banjar dan umat

Hindu Dharma. Klian banjar adalah ketua adat sekaligus kepala dusun

yang bertugas memimpin masyarakat adat di dalam banjar dan bertugas

sebagai administratur pemerintah sebagai kepala dusun. Peran ganda ini

menyebabkan jabatan klian banjar atau kepala dusun tidak begitu

menonjol, karena lebih banyak memainkan peranan di bidang

administratif. Peran yang menonjol justru dimainkan oleh sulinggih warga,

pemangku, atau pun para sepuh sebagai tokoh sentral yang memperkuat

kesolidan dan kekompakkan banjar sebagai komunitas adat dan agama.

Realitas yang menarik adalah jumlah anggota banjar di Balinuraga

tidak akan menurun meskipun ada beberapa anggota banjar yang merantau

ke daerah lain di wilayah Lampung dan Sumatera Selatan. Hal ini

disebabkan anggota banjar sudah terikat secara sosial dan emosional

dengan banjar lamanya: identitas atau jati dirinya sebagai Bali Hindu di

Lampung melekat pada banjar tersebut, khususnya yang lahir dan besar di

salah satu banjar di Balinuraga. Artinya, meskipun sudah merantau ke luar

Balinuraga, banjar asalnya tetap dianggap sebagai kampung halaman,

mereka (pasti) akan pulang ke banjar-nya di Balinuraga jika ada upacara

dan hari raya tertentu, misalnya upacara besar seperti pitra yadnya dan

Hari Raya Galungan. Mereka yang sudah merantau tetap dianggap sebagai

anggota banjar asalnya, dan sebagai konsekuensinya ada kewajiban-

Page 67: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

313

kewajiban adat dan agama yang harus mereka laksanakan di banjar

tersebut – sama seperti kewajiban yang harus mereka penuhi di banjar

leluhurnya di Nusa Penida. Karenanya tidak mengherankan jika ada

upacara besar seperti ngaben, jumlah massa yang ada di sebuah banjar,

atau jumlah massa di Desa Balinuraga jika upacara ngaben massal,

menjadi lebih banyak daripada jumlah massa di hari-hari biasa.

Desa Adat Sebagai Pemersatu Banjar dan Warga yang Bersitegang

Desa Balinuraga sebagai desa adat atau desa pakraman, terkait

dengan bonding komunitas Bali Nusa, berfungsi sebagai pemersatu

ketujuh banjar. Peran desa adat tidak begitu menonjol di Balinuraga,

karena peran penting di bidang adat dan keagamaan sudah diambil-alih dan

dimainkan dengan baik oleh masing-masing banjar. Jadi, fungsinya

sebagai pemersatu ketujuh banjar lebih bersifat simbolis untuk

mengidentifikasikan bahwa Desa Balinuraga dengan ketujuh banjar-nya

merupakan sebuah desa atau komunitas Bali Hindu yang berasal dari Nusa

Penida, Bali. Sama seperti klian banjar, ketua desa adat perannya lebih

menonjol sebagai administratur pemerintahan desa dinas atau Kepala

Desa.

Faktor penting yang mempersatukan ketujuh banjar sebagai

komuntias adat dan keagamaan di Balinuraga (level desa) adalah

keberadaan Pura Kahyangan Tiga dan PHDI sebagai majelis yang

mewadahi berbagai kepentingan masyarakat Desa Balinuraga sebagai umat

Hindu Dharma. Karena peran banjar sebagai kesatuan adat dan keagamaan

sudah menguat, keberadaan Pura Kahyangan Tiga dan PHDI sebagai

pemersatu komunitas Bali Hindu lebih bersifat simbolis. Hal ini tidak

dapat dilepaskan dari perang dingin antar kelompok warga tertentu. Jadi,

meskipun keberadaan Pura Kahyangan Tiga dan PHDI sebagai pemersatu

lebih bersifat simbolis, kehadiran keduanya tetap memiliki nilai penting

untuk mempersatukan kedua kubu warga yang bersitegang ini sebagai Bali

Nusa dan umat Hindu Dharma. Contoh sederhananya adalah sebagai

berikut: meskipun aktivitas adat dan keagamaan lebih banyak difokuskan

di Pura Kawitan, tapi masyarakat Balinuraga dalam menyelenggarakan

upacara pitra yadnya (ngaben) tetap menggunakan satu Pura Dalem (salah

Page 68: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

314

satu dari Pura Kahyangan Tiga) yang sama, khususnya jika

diselenggarakan upacara ngaben massal. Hal ini tidak dapat dilepaskan

dari perang dingin antara kelompok warga yang menyebabkan satu kubu

warga membangun Pura Puseh (dan Penataran Bale Agung) untuk

kelompok warga-nya sendiri. Sebuah tindakan yang disesalkan oleh para

tokoh agama dan masyarakat, karena perang dingin para elit warga sampai

memecah umat, dengan memisahkan Pura Kahyangan Tiga (Pura Puseh).

Dalam kasus ini, kehadiran PHDI sebagai majelis umat Hindu Dharma di

Balinuraga sangat penting sebagai penengah sekaligus pemersatu, yaitu

menentukan Pura Desa dan Pura Puseh mana yang akan digunakan untuk

upacara besar keagamaan yang bersifat formal, sehingga semua umat

Hindu Dharma di Balinuraga bisa bersatu dan tidak terpecah belah –

biasanya yang dipilih adalah Pura Desa dan Pura Puseh yang pertama kali

dibentuk saat berdirinya Desa Balinuraga.

Bali Lampung: Bonding seluruh Komunitas Bali Hindu di Lampung

Apa yang mempersatukan seluruh anggota komunitas Bali Hindu

(umat Hindu Dharma) yang ada di Lampung, baik Bali Hindu yang berasal

dari Bali maupun Nusa Penida dengan berbagai identitas warga-nya?

Jawabannya cukup sederhana, yaitu keberadaan Pura Way Lunik, atau

biasa disebut oleh umat Hindu Dharma (Bali Hindu) “Pura Kahyangan

Kerthi Bhuana”241

. Pura ini disebut sebagai “Pura Besakih”-nya atau “Pura

Pemersatu”-nya Bali Hindu yang ada di Lampung dan sekitarnya. Pura ini

terletak di Kecamatan Way Lunik (daerah Panjang), Bandar Lampung.

Eksistensi pura ini sebagai pura pemersatu komunitas Bali Hindu di

Lampung biasanya dapat disaksikan saat Hari Raya Kuningan. Massa yang

jumlahnya ribuan datang dari berbagai wilayah Lampung. Seluruh umat

Hindu Dharma dari etnis Bali berkumpul di Pura ini untuk bersembahyang.

Terkadang oleh para pemuda dan pemudi Bali Hindu dijadikan sebagai

241

Pura Way Lunik – panggilaan umum Pura Kerthi Bhuana – termasuk dalam

pura kahyangan jagat atau pura untuk tempat pemujaan umum. Sebagai tempat

pemujaan umat (Hindu Dharma), pura ini tidak membeda-bedakan asal-usul

keluarganya, asal desanya maupun profesinya. Dengan kata lain, pura ini (dapat

dikatakan) tergolong pura yang egaliter, sebagai pemersatu umat dengan tidak

mempertimbangkan asal usul maupun status umat yang bersifat adat.

Page 69: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

315

tempat untuk mencari jodoh, karena semua muda-mudi Bali Hindu dari

penjuru Lampung berkumpul di sini. Selain itu, Pura ini menjadi sebuah

tempat yang terbuka, orang non-Bali Hindu bisa memasuki tempat ini

untuk bermain atau berwisata, dan lokasinya yang berdekatan dengan

daerah industri dan pelabuhan menjadikan suasana Pura ini tidak lagi

kondusif sebagai tempat suci untuk peribadatan. Ini yang menyebabkan

para tokoh agama Hindu dan tokoh masyarakat Bali Hindu memilih opsi

lain untuk memindahkan “Pura Pemersatu” ini, agar kesuciannya tetap

terjaga dan tidak “dikotori” oleh pihak lain.

Secara organisasional, kehadiran organisasi semi-pemerintah –

PHDI Provinsi – sangat penting sebagai pemersatu komunitas Bali Hindu

secara legal dan resmi di Lampung sebagai umat Hindu Dharma. Melalui

cabang organisasinya yang sampai ke tingkat desa, PHDI mampu

mewadahi dan mempersatukan umat Hindu Dharma dari perpecahan yang

bersifat adat (pertentangan warga) dan perbedaan penafsiran dalam ajaran

Hindu Dharma.

Bonding yang Terbuka

Jika diperhatikan secara seksama kuatnya bonding komunitas Bali

Nusa di level banjar (dan seka-seka di dalamnya) dan level desa adat,

serta di level provinsi (Bali Lampung: Bali dan Bali Nusa), bukan sesuatu

yang sengaja atau pun tidak disengaja dibentuk untuk memperkuat

komunitas mereka, sehingga disegani atau ditakuti oleh kelompok etnis

dan keagamaan lain. Komunitas yang solid dan kompak yang berakar dari

level banjar merupakan hasil dari sebuah sistem sosial kemasyarakatan

dan keagamaan berdasarkan tradisi Bali Hindu yang telah mengikat

dengan kuat sampai pada setiap individu, di mana karena kuatnya ikatan

sosial tersebut mereka terapkan dan aplikasikan setelah keberadaannya di

Lampung. Dalam kasus banjar-banjar yang ada di Balinuraga, keberadaan

banjar tersebut merupakan aplikasi dan replikasi dari sistem banjar yang

ada di Nusa Penida, Bali – secara umum hampir sama dengan sistem

banjar, dan dalam skala lebih luas, hampir sama dengan sistem sosial

kemasyarakatan dan keagamaan yang umum berlaku di Bali.

Page 70: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

316

Bonding komunitas Bali Nusa di level banjar merupakan model

bonding yang lebih eksklusif, peran dan fungsinya menjadi lebih spesifik

pada seka-seka yang ada di dalam banjar tersebut. Namun, bonding di

level desa adat (Desa Balinuraga) sifatnya lebih terbuka, karena banjar-

banjar dipersatukan dalam sebuah desa adat yang secara simbolis

dipersatukan dengan keberadaan dan eksistensi dari Pura Kahyangan Tiga.

Identitas warga dan banjar asal di Nusa Penida – yang secara umum

menjadi ciri khas banjar di Balinuraga – dipersatukan dalam satu identitas

“Desa Balinuraga” sebagai sebuah desanya Bali Nusa, orang Bali Hindu

dari Nusa Penida. Sama seperti halnya di level provinsi, identitas yang

mempersatukan mereka (mengikat ke dalam komunitas / bonding) lebih

bersifat terbuka, yaitu Bali Lampung. Keberadaan Pura Kahyangan Kerthi

Bhuana yang terletak di Bandar Lampung (ibukota Provinsi Lampung)

mempersatukan semua komunitas Bali Hindu yang tersebar di wilayah

Provinsi Lampung dan sekitarnya dengan segala identitas banjar dan

warga, yaitu dalam ikatan bonding yang lebih luas sebagai umat Hindu

Dharma Provinsi Lampung. Kasus ini menunjukkan bahwa bonding tidak

selalu tertutup pada satu identitas tungggal (level banjar), dalam level

tertentu yang lebih tinggi bonding sebuah komunitas bersifat terbuka (level

desa dan provinsi). Dengan kata lain, dalam bonding di level yang lebih

tinggi (desa dan provinsi) di dalam bonding tersebut ada bridging antar

kelompok yang berbeda identitas tempat asal, banjar, dan warga (status

sosial).

Karena itu, tidak mengherankan jika masyarakat Bali di Lampung

terkenal dengan kesolidan dan kekompakkan komunitasnya. Solidaritas

mereka telah mengakar kuat sampai di level banjar sebagai basis massa

komunitas mereka. Ini yang menyebabkan persatuan masyarakat Bali di

Lampung terkenal kuat, sampai ke perkampungan-perkampungan Bali.

Contoh konkritnya yang terkenal adalah perang kampung di awal tahun

1990-an. Sudah menjadi sebuah kewajiban bagi komunitas mereka (Bali

Hindu) untuk membantu anggota komunitasnya yang menjadi korban

kekerasan dari komunitas lain (non-Bali Hindu). Dalam kasus perang

kampung, ada beberapa orang dari anggota komunitas yang menjadi

korban kekerasan pembegalan motor. Awalnya massa di level banjar dan

desa belum mengambil tindakan. Tindakan baru diambil setelah tindakan

Page 71: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

317

pembegalan tersebut tidak dapat ditolerir. Massa yang berkumpul tidak

hanya massa dari salah satu banjar di Balinuraga yang menjadi korban

pembegalan, tapi seluruh massa yang ada di setiap banjar di Balinuraga.

Massa menjadi bertambah besar setelah mendapatkan bantuan massa dari

perkampungan Bali lain yang ada di Lampung Selatan. Sebagian massa

bertugas menjaga kampung untuk menjaga serangan balik, sebagian besar

massa bertugas menyerang kampung lain yang menjadi tempat kejadian

pembegalan. Dari kasus perang kampung ini menunjukkan solidaritas yang

kuat dari komunitas Bali yang ada di Lampung, dalam kasus ini Lampung

Selatan. Hal ini menyebabkan pihak militer dan kepolisian segera turun

tangan, karena jika tidak, massa (komunitas Bali Hindu) yang berasal dari

kabupaten lain (khususnya Lampung Tengah, dengan massa yang lebih

besar daripada di Lampung Selatan) sudah siap untuk membantu

penyerangan tersebut. Pihak keamanan, khususnya militer, tidak mau

ambil resiko lebih jauh, karena peristiwa ini terjadi tidak lama setelah

peristiwa berdarah di Talang Sari (1989)242

. Sejumlah tokoh yang

dilibatkan dalam proses perundingan dan beberapa anggota masyarakat

Balinuraga yang turut serta dalam penyerangan mengatakan bahwa jika

tindakan kekerasan yang menimpa salah satu anggota komunitas tidak

dapat ditolerir lagi, maka massa dari berbagai komunitas Bali akan

bergabung untuk mengadakan aksi balasan. Jika ini terjadi, maka akan

sulit dibendung, karena rasa solidaritas komunitas Bali Hindu di Lampung

sangat kuat – aksi massa seperti meniru semangat puputan (terkesan

seperti brutalisme massa). Bagi mereka tindakan pembegalan terhadap

anggotanya merupakan sebuah penghinaan harga diri mereka sebagai

orang Bali. Menurut mereka, jika sudah menyinggung harga diri, maka

massa yang akan bergerak. Kasus perang kampung ini menjadi klimaks

bagaimana solidaritas dan kekompakkan Kampung Bali: menjadi lebih

disegani bahkan seperti menjadi momok bagi komunitas lain. Ini yang

menjadi salah satu faktor yang menyebabkan mengapa Kampung Bali di

Lampung lokasinya relatif lebih aman daripada perkampungan lain.

242

Lihat: Chaidar, Al. (2000), Lampung Bersimbah Darah: Menelusuri Kejahatan

“Negara Intelejen” Orde Baru dalam Peristiwa Jama’ah Warsidi, Editor:

Zulfikar Salahuddin, Muhammad Muntasir, Imam Shalahudin, Taufik Hidayat,

Madani Press.

Page 72: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

318

Batasan bonding yang terbuka ini adalah (dibatasi) pada ruang

lingkup komunitas Bali Hindu (Bali Nusa) di Desa Balinuraga, dan Bali

Lampung pada umumnya. Bonding yang terbuka dalam ruang yang lebih

luas – terutama dalam interaksi ekonominya dengan komunitas etnis lain –

akan diuraikan lebih lanjut pada bagian berikutnya. Bagian ini

menunjukkan bahwa bonding komunitas Bali Nusa – di dalam komunitas

Bali Nusa di Dea Balinuraga – bersifat terbuka pada level desa, di mana

batasan-batasan identitas banjar dan warga bisa dipersatukan (khususnya)

secara simbolis dengan adanya Pura Kahyangan Tiga (dan PHDI sebagai

majelis umat dengan perannya sebagai penengah dan pemersatu umat

Hindu Dharma dari pertentangan atau perselisihan yang lebih bersifat

adat).

Pembangunan Berbasis Identitas

Ciri khas sistem perekonomian Desa Balinuraga tidak dapat

dilepaskan dari sistem sosial yang diadaptasi dari Nusa Penida, Bali –

sebuah sistem perekonomian tradisional yang secara umum hampir sama

dengan yang ada di Bali. Peran banjar di Balinuraga tidak hanya sebagai

basis komunitas adat dan agama, tetapi juga sebagai basis perekonomian

bagi anggota banjar yang bersangkutan. Peran yang paling menonjol

adalah adanya seka tani sebagi bagian dari sistem subak (krama subak)

yang ada dalam teritori sebuah banjar.

Setiap banjar memiliki ciri khas dan karakteristik tersendiri yang

berbeda dengan banjar lain. Perbedaan ini menjadi identitas pada setiap

banjar. Identitas yang paling menonjol pada sebuah banjar adalah identitas

warga. Banjar sebagai komunitas adat dan agama menjadi berbeda dengan

yang lain karena perbedaan identitas warga. Setiap warga memiliki tata

cara upacara dan upakara yang berbeda dengan warga yang lain – secara

umum sama, tapi memiliki perbedaan pada ritual-ritual tertentu sebagai

pembeda, dan bagian pembeda ini (ritual dan tata cara upacara-upakara

khas warga) tidak bisa disamakan antara warga satu dengan warga yang

lain. Konsekuensinya, sistem ekonomi banjar – sebagai basis

perekonomian Desa Balinuraga – menjadi satu dengan sistem sosial yang

berlaku dalam banjar tersebut dengan identitas warga-nya. Penulis tidak

bermaksud menyempitkan banjar pada satu identitas tunggal sebuah

Page 73: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

319

warga tertentu, karena keunikkan setiap banjar tidak hanya pada identitas

warga-nya – di mana berpengaruh pada ritual dan upacara adat-keagamaan

dalam menjalankan perekonomiannya – tetapi ada identitas lain, seperti

kesamaan banjar asal di Nusa Penida tapi dengan identitas warga yang

berbeda. Catatan penting yang ingin penulis sampaikan adalah setiap

banjar di Balinuraga dapat dikatakan sebagai sebuah komunitas ekonomi

yang otonom, di mana komunitas ekonomi ini menjadi kesatuan dengan

adat dan keagamaan dalam sebuah banjar. Sistem ekonomi di dalam

banjar berjalan seiring dengan sistem adat dan keagamaan dalam sebuah

sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat Bali – sebuah sistem sosial

yang mereka terapkan dan aplikasikan setelah berada di Lampung.

Karenanya, akan menjadi sulit jika menjelaskan sistem ekonomi banjar

secara terpisah dengan sistem adat dan keagamaan. Ketiganya saling kait-

mengait. Bukti bahwa komunitas ekonomi di dalam sebuah banjar

merupakan komunitas ekonomi yang otonom adalah pembangunan

infrastruktur sosial-adat-keagamaan yang menjadi tradisi Bali Hindu, yaitu

Pura Kahyangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem), Pura

Kawitan Warga, tugu-tugu desa, bale banjar dan desa, jalan desa dan

dusun, dan lain-lain. Bangunan penting tersebut dibangun secara swakarsa,

khususnya bangunan suci keagamaan. Dana dan tenaga diusahakan secara

swakarsa oleh anggota masyarakat desa (banjar-banjar), tidak

mengandalkan bantuan dari pemerintah. Ini yang menyebabkan status

Desa Balinuraga sebagai Desa Swakarsa. Singkatnya, sistem ekonomi di

dalam banjar berjalan ketika sistem sosial (adat dan keagamaan, termasuk

sistem ekonomi itu sendiri) berjalan.

Sistem Sosial dan Ekonomi

Poin penting dalam bagian ini adalah bahwa banjar merupakan

basis perekonomian Desa Balinuraga, yang perannya dijalankan secara

khusus dengan keberadaan seka tani. Keberhasilan ekonomi sebuah banjar

di bidang pertanian, dapat digunakan untuk meningkatkan status sosial

anggota banjar. Status sosial ini melekat pada identitas warga tertentu, di

mana identitas warga tersebut juga menjadi bagian dari identitas banjar.

Manifestasinya – sebagai wujud eksistensi dan status sosial warga-nya –

adalah pembangunan Pura Keluarga (rong telu) dan Pura Kawitan yang

Page 74: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

320

besar dan artistik, dan penyelenggaraan upacara-upacara penting, seperti

upacara pitra yadnya. Faktor ini yang menjadi salah satu faktor utama

keberhasilan ekonomi level keluarga inti Bali Nusa di Balinuraga – dan

Bali Hindu di Lampung pada umumnya. Ini yang menyebabkan mengapa

mereka harus bekerja keras, ulet, dan hemat untuk pengeluaran yang tidak

ada kaitan langsung dengan urusan adat dan agama.

Seka Tani sebagai Penggerak Perekonomian Banjar

Seka tani disebut sebagai penggerak perekonomian banjar

dikarenakan profesi utama masyarakat Balinuraga yang tersebar di ketujuh

banjar adalah sebagai petani padi lahan kering (sawah tadah hujan)243

.

Keberadaan seka tani ini, yang merupakan bagian dari sistem subak atau

krama subak dari setiap banjar, sangat vital sebagai penggerak ekonomi

setiap anggota banjar yang berprofesi sebagai petani. Melalui seka tani ini

para petani setiap banjar memiliki waktu pembenihan sampai waktu

pemanenan dan penjualan yang serempak, dan waktunya tidak berbeda

jauh dengan banjar-banjar yang lain244

. Sebagai bagian dari krama subak,

anggota dari seka tani ini melakukan ritual dan upacara adat-keagamaan

yang berhubungan dengan kegiatan pertanian mereka. Ritual dan upacara

243

Geertz (1977: 90) menyebutkan bahwa hampir seluruh kehidupan ekonomi di

Bali itu terrealisasi lewat salah satu dari seka-seka yang ada. Meskipun ada seka

yang memiliki tujuan keagamaan dan politik, namun implikasi-implikasi dan tugas

khusus yang bersifat ekonomis dilakukan di dalam seka tersebut (kategori seka

jemaah kuil dan kesatuan tempat tinggal). Kategori seka yang kegiatan

ekonominya lebih menonjol adalah masyarakat pengairan dan pertanian,

kelompok kekerabatan, dan perkumpulan sukarela. Dalam kasus di Balinuraga,

seka tani yang paling menonjol kegiatan ekonominya karena terkait dengan

profesi mereka sebagai petani, di samping masih ada seka-seka lain yang berperan

ekonomi (tidak semenonjol seka tani). Karenanya, seka tani dapat dikatakan

sebagai basis ekonomi banjar. 244

Keseragaman waktu dalam pola pertanian ini (pola tanam dan pola panen) yang

menyebabkan Desa Balinuraga menjadi seperti desa kosong ketika memasuki

masa tanam. Waktu libur, biasanya saat musim kemarau, digunakan untuk

mengadakan upacara penting, seperti upacara pitra yadnya, agar tidak

mengganggu kegiatan pertanian. Sebuah periode waktu yang sulit diprediksi saat

ini, ketika terjadi perubahan cuaca / iklim, di mana pola hujan dan kemarau

menjadi tidak jelas.

Page 75: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

321

besarnya – Ruwatan Hasil Panen – dilakukan di Pura Subak dan bale

banjar, sedangkan ritual harian dilakukan di pura tani yang dimiliki setiap

petani di areal pertaniannya. Keanggotaannya bersifat eksklusif pada setiap

banjar, khususnya yang areal pertaniannya termasuk dalam teritori banjar

atau dusun. Sistem subak di Balinuraga berbeda dengan yang ada di Bali,

lebih mirip dengan yang ada di Nusa Penida. Perbedaaan utamanya

terletak pada sistem irigasi. Pertanian di Balinuraga merupakan pertanian

sawah tadah hujan. Jadi tidak ada sistem pembagian air yang menjadi ciri

khas dari subak seperti di Bali. Namun, persamaannya yang bersifat

penting adalah fungsi krama subak atau seka tani, yang tidak hanya

berfungsi sebagai lembaga ekonomi, tapi juga sebagai lembaga adat dan

keagamaan yang berada di bawah naungan banjar – sebagai bagian dari

sebuah sistem sosial besar yang berlaku dalam masyarakat Bali pada

umumnya.

Informasi yang penulis peroleh dari beberapa anggota komunitas

non-Bali, khususnya dari etnis Jawa, Tionghua, dan Lampung245

,

245

Narasumber dari etnis Jawa di antaranya: (1) seorang pengusaha muda

(nasrani) mempunyai usaha penggilingan padi, toko peralatan dan bengkel sepeda

motor, yang baru tahun 2010 menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di pemerintahan

kabupaten Lampung Selatan; (2) seorang pengusaha muda (muslim), yang sudah

diwarisi usaha penggilingan dan pengepul padi. Usahanya merupakan salah satu

yang terbesar di kecamatan. Pengusaha muda yang pertama pun, menjual hasil

penggilingan padinya ke pengusaha muda ini; (3) seorang PNS senior (nasrani),

jabatan Pengawas Sekolah, yang juga memiliki usaha penggilingan padi, beberapa

hektar sawah, dan peternakan ikan. Dalam profesinya sebagai pengusaha

penggilingan padi, mereka tahu daerah-daerah mana yang merupakan daerah

penghasil padi, salah satu daerah penghasil padi yang besar adalah Desa

Balinuraga. Terkait dengan profesi tersebut, bukan rahasia umum bagi mereka

bahwa petani-petani yang ada di Desa Balinuraga perekonomiannya sudah mapan

bila dilihat dari luas sawah dan hasil panennya. Untuk mendapatkan padi dari

Desa Balinuraga, para pengusaha ini harus bersaing dengan beberapa pengusaha

penggilingan padi yang ada di Balinuraga. Informan lainnya dari etnis Jawa adalah

tokoh pemuda (muslim) yang dalam pergaulannya mengetahui bagaimana pola

perilaku dari pemuda-pemuda Bali yang ada di Balinuraga, terutama pola

konsumerismenya; dan beberapa informan lainnya dari etnis Jawa yang menjadi

tetangga dan mengetahui masyarakat Balinuraga. Narasumber dari etnis Lampung

di antaranya adalah (1) salah satu tokoh muda yang memiliki pergaulan yang luas.

Sebagai salah seorang karyawan di salah satu dealer sepeda motor di pasar

Page 76: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

322

menyebutkan bahwa perekonomian masyarakat Balinuraga dapat

dikatakan sudah mapan. Dengan kata lain, mereka sudah menjadi petani

yang sukses. Terkait dengan kemapanan perekonomian masyarakat

Balinuraga, untuk menghindari generalisasi dan subjektivitas berlebihan

yang menganggap masyarakat Balinuraga perekonomiannya lebih mapan

daripada komunitas lain (meskipun secara umum komunitas lain non-Bali

menyebutkan bahwa secara umum perekonomian mereka sudah mapan),

maka penulis menggunakan indikator kemapanan ekonomi berdasarkan

versi masyarakat Balinuraga. Hal ini didasarkan atas realitas yang ada di

Balinuraga, bahwa ada beberapa keluarga (dalam jumlah relatif kecil) yang

perekonomiannya belum mapan berdasarkan versi masyarakat Balinuraga

sebagai seorang Bali dan Hindu. Biasanya lebih disebabkan faktor

individu, yang lain daripada masyarakat Balinuraga pada umumnya, yaitu

malas, kurang ulet dalam bertani (sebutan mereka bawaan lahir). Berikut

ini adalah beberapa indikator kemapanan berdasarkan versi masyarakat

Bali Nusa di Balinuraga: (1) berhasil membangun Pura Keluarga secara

permanen yang menjadi manifestasi Pura Kahyangan Tiga di level

keluarga inti. Semakin besar Pura Keluarga dan semakin artistik (dicat

dengan berwarna, dilengkapi taman yang besar dan indah, serta patung /

arca dari beberapa dewa), maka menunjukkan perekonomiannya semakin

kecamatan, yang banyak berinteraksi dengan banyak konsumen dan aktivitas

ekonomi di pasar kecamatan, pemuda ini mengetahui bagaimana pola ekonomi –

khususnya membelanjakan uangnya untuk membeli sepeda motor baru dari dealer

– masyarakat Balinuraga; (2) beberapa etnis Lampung yang berprofesi sebagai

tukang ojek – sebuah profesi alternatif yang (banyak) ditekuni oleh penduduk asli,

karena peran ekonominya sudah banyak tergeser oleh pendatang (khususnya

transmigran Jawa dan Bali). Sebagai penduduk asli, mereka sudah mahfum benar

bagaimana kematangan perekonomian masyarakat Balinuraga dan

perkembangannya – sampai akhirnya menggeser perekonomian mereka sebagai

penduduk asli. Narasumber dari etnis Tionghua di antaranya adalah para pedagang

di pasar kecamatan. Pedagang Tionghua ini sudah berdagang puluhan tahun di

pasar kecamatan. Mereka sudah paham benar konsumennya yang berasal dari

masyarakat Balinuraga. Menurut mereka: “Orang Bali pembeli yang loyal. Jika

sudah percaya, mereka akan terus belanja di toko itu, dan jarang menawar

barang.” Beberapa pedagang memiliki hubungan yang dekat sekali – sudah

dianggap seperti keluarga sendiri – dengan tokoh / sesepuh di Balinuraga.

Biasanya terkait hubungan “pelancar bisnis”.

Page 77: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

323

mapan. Tingkatan yang lebih tinggi adalah memberikan sumbangan dana

yang besar bagi pembangunan dan renovasi Pura Kawitan Warga

(perioritas utama), berikutnya (perioritas kedua) sumbangan untuk Pura

Kahyangan Tiga; (2) berhasil membangun rumah permanen. Syarat untuk

membangun rumah permanen adalah telah membangun Pura Keluarga.

Jika Pura Keluarga pembangunannya belum selesai, maka rumah tidak bisa

dibuat permanen, atau dibangun dalam bentuk semi permanen. Rumah

yang besar dan artistik berikut dengan Pura Keluarga-nya menunjukkan

status sosial dan ekonomi; (3) berhasil menyekolahkan anak-anaknya.

Minimal setingkat SMU. Semakin tinggi jenjang pendidikan anak, maka

semakin mapan perekonomiannya; (4) memiliki sawah di atas dua hektar.

Menurut mereka, mempunyai tanah dua hektar sama saja belum “memiliki

tanah”. Hasil panen dari tanah dua hektar umumnya hanya mencukupi

kebutuhan dasar dan kebutuhan penyelenggaraan upacara dan ritual yang

bersifat rutin. Ini yang menyebabkan untuk tanah seluas dua hektar,

mereka dapat mengerjakannya sendiri, bersama anggota keluarga intinya.

Jadi, hasil pertanian baru bisa terlihat atau tampak dalam wujud fisik jika

memiliki tanah di atas dua hektar; (5) memiliki hewan ternak utama seperti

babi dan sapi. Hewan ternak babi dan sapi adalah bentuk tabungan yang

masih tradisional. Untuk mencairkannya menjadi uang tunai, tidak

membutuhkan waktu yang lama. Biasanya pengepul akan datang ke rumah

masyarakat Balinuraga untuk membeli babi dan sapi. Hasil penjualan babi

biasanya digunakan untuk keperluan keluarga yang biayanya relatif kecil,

sedangkan hasil penjualan sapi untuk keperluan yang lebih besar, seperti

pulang kampung ke Nusa Penida dan menyelenggarakan upacara ngaben.

Babi juga dijadikan sebagai persembahan dan hidangan jika ada upacara

besar; (6) mampu pulang kampung ke Nusa Penida secara rutin. Paling

tidak setahun sekali, atau dua tahun sekali. Minimal mampu pulang

kampung ke Nusa Penida ketika ada upacara penting di sana. Pulang

kampung adalah indikator kemapanan ekonomi mereka, tidak hanya di

lingkungan Balinuraga, tapi keluarga dan kerabat yang masih ada di Nusa

Penida; (7) mampu meng-aben-kan anggota keluarganya yang telah

meninggal. Upacara ngaben atau pitra yadnya adalah upacara besar dan

penting bagi masyarakat Balinuraga sebagai Bali Hindu. Sebuah upacara

besar dan penting yang tidak hanya menjadi kewajibaan anggota keluarga

Page 78: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

324

yang masih hidup, tapi sebuah upacara yang secara ekonomi membutuhkan

biaya yang tidak sedikit. Anggaran minimal yang harus disiapkan untuk

upacara ngaben pribadi kurang lebih mencapai seratusan juta rupiah,

sedangkan upacara ngaben massal biaya yang dibutuhkan per keluarga

minimal kurang lebih mencapai puluhan juta rupiah (mulai dari sepuluh

sampai lima puluh juta rupiah). Oleh karena itu, hanya keluarga yang

perekonomiannya telah mapan yang sanggup menyelenggarakan upacara

pitra yadnya ini, khususnya upacara ngaben pribadi, dan jika belum

mampu menyelenggarakan upacara ngaben pribadi, pihak keluarga

biasanya menabung terlebih dahulu atau menunggu waktu yang tepat

untuk mengikuti upacara ngaben massal. Asumsi dasar dari ketujuh

indikator kemapanan versi masyarakat Balinuraga ini adalah bahwa

kebutuhan dasar seperti pangan dan pakaian, serta bantenan yang bersifat

harian sudah terpenuhi dengan baik.

Lalu yang menjadi pertanyaan penting adalah apa yang menjadi

kunci kemapanan perekonomian mereka – terkait dengan profesinya

sebagai petani? Menurut mereka, kunci keberhasilan ekonomi masyarakat

terletak pada eksistensi seka tani atau krama subak yang menjadi basis

perekonomian banjar. Unsur adat dan keagamaan yang ada di dalam

krama subak yang menjadi satu dengan kegiatan ekonomi mewajibkan

mereka untuk melalukan proses pertanian secara serempak. Mulai dari

masa pembenihan sampai masa panen dan penjualan. Ada ritual dan

upacara bersifat adat dan keagamaan yang harus mereka lakukan pada

setiap tahapan proses pertanian. Untuk memulai satu tahapan, misalnya

masa tanam, harus didasarkan hari baik dan ada ritual serta upacara yang

harus dilakukan. Relevansi ekonomi dari aktivitas adat dan keagamaan

dalam seka tani ini adalah pada penjualan hasil panen. Ini yang menjadi

pembeda dengan petani dari etnis lain non-Bali Hindu. Mereka tidak

diperkenankan menjual hasil panennya di saat masa panen itu berlangsung.

Ada upacara besar yang bernama ruwatan hasil panen yang harus

dilaksanakan oleh krama subak. Kemudian, ada kebiasaan untuk menunda

penjualan hasil panen, yaitu dengan menyimpan hasil panen di lumbung

(jineng). Hasil panen umumnya mereka jual setelah masa panen besar dari

petani-petani lain (non-Bali) mulai berakhir, atau saat paceklik.

Singkatnya, mereka menjual hasil panennya ketika harga jual gabah atau

Page 79: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

325

beras mulai naik. Sudah menjadi rahasia umum jika pengepul akan

membeli hasil panen dengan harga yang rendah (di bawah harga pasar)

saat panen raya, dan ketika pengepul langsung membeli hasil panen di

lokasi panen saat panen berlangsung. Sebuah tindakan yang tidak

diperkenankan berdasarkan tradisi mereka dan pantang dilakukan (menjual

hasil panen saat panen): ada kewajiban untuk mempersembahkan hasil

panen kepada Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pengucapan syukur. Selain

itu, waktu yang dibutuhkan untuk persiapan dan penyelenggaraan upacara

ruwatan hasil panen, di mana selama waktu tersebut hasil panen tetap

tidak diperkenankan untuk langsung dijual. Paling tidak, selama waktu

persiapan dan penyelenggaran upacara tersebut, mereka sudah terhindar

dari harga rendah karena sudah melewati masa panen.

Harga jual hasil panen yang baik tidak berdampak signifikan atas

kemapanan ekonomi mereka jika tidak disertai dengan pola konsumsi atau

pola belanja atas pendapatan hasil penjualan panen. Masyarakat

Balinuraga dikenal hemat untuk pengeluaran yang tidak perlu, khususnya

yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan adat dan keagamaan –

kecuali untuk kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, kesehatan, dan

pendidikan anak. Mengingat banyaknya upacara dan ritual adat-keagamaan

yang wajib mereka laksanakan, di mana membutuhkan biaya yang tidak

sedikit. Lalu, pertanyaan berikutnya apa solusi yang harus mereka lakukan

selain bekerja keras dan ulet di lahan pertaniannya? Solusinya adalah

dengan menambah luas areal persawahannya. Saat ini harga tanah di

Balinuraga sudah tinggi, dan sudah tidak memungkinkan (sudah sulit)

untuk membuka lahan baru atau menambah lahan baru. Untuk menambah

lahan baru di Balinuraga dan wilayah sekitarnya adalah dengan membeli

tanah pertanian yang dijual oleh petani lain, dan ini jarang terjadi di

Balinuraga karena tanah ini adalah aset ekonomi mereka. Oleh karena itu,

solusi yang mereka tempuh adalah dengan melakukan ekspansi lahan

pertanian di areal perkebunan di tempat lain, seperti Lampung Timur dan

Sumatera Selatan (perbatasan dengan Lampung Timur) yang harga

tanahnya di tahun 1980-1990an masih murah dan ketersediaan tanahnya

masih sangat luas. Ada yang menjual sebagaian tanahnya di Balinuraga, di

mana hasil penjualan tanah tersebut bisa mendapatkan tanah yang lebih

luas di tempat lain untuk perkebunan tanaman keras, seperti kelapa sawit

Page 80: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

326

dan karet. Ada pula yang menggunakan uang tabungannya untuk membeli

tanah perkebunan di tempat lain – tabungan yang berhasil dikumpulkan

selama bertahun-tahun dengan pola belanja yang “hemat”. Tabungan ini

sangat mudah mereka kumpulkan khususnya di masa Orde Baru, di mana

menurut mereka mencari uang relatif lebih mudah daripada pasca Suharto.

Masa-masa ini (Orde Baru) ekspansi lahan lebih relatif mudah dilakukan,

megingat di tahun 1990-an lahan pertanian di Balinuraga sudah bersifat

stagnan (sudah tidak memungkinkan untuk diperluas, kecuali mencari

lahan baru di tempat lain). Biasanya tanah perkebunan tersebut tidak

mereka kerjakan sendiri, tapi menggunakan jasa orang lain, umumnya

berasal dari etnis Jawa. Di samping itu, ada beberapa keluarga yang

bertransmigrasi lagi ke tempat lain, tapi tetap menjadi anggota banjar di

Balinuraga, untuk menggarap perkebunan. Saat ini, meskipun tahun 2008

harga sawit sempat anjok, tapi secara umum hasil perkebunan seperti

kelapa sawit, khususnya karet, memiliki nilai jual yang lebih tinggi

daripada bercocok tanam padi tadah hujan. Oleh karena itu, jika melihat

keadaan ekonomi mereka yang mapan, terkadang di waktu-waktu tertentu

mereka terlihat santai di bale bengong, tapi memiliki rumah dan pura

keluarga yang bagus, mampu menyelenggarakan upacara besar dan pulang

kampung secara rutin, berhasil menyekolahkan anak dan membelikan

sepeda motor terbaru dari dealer sepeda motor; hasil ini bisa mereka

peroleh dan nikmati karena memiliki perkebunan tanaman keras di tempat

lain, di luar Balinuraga. Namun, fondasi dasar ekonomi mereka di banjar,

hingga akhirnya bisa melakukan ekspansi lahan pertanian dan perkebunan

guna pemapanan ekonomi di level keluarga inti adalah keberadaan seka

tani. Singkatnya, tidak mungkin bisa mencapai kemapanan ekonomi –

melihat banyak dan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk kewajiban adat

dan keagamaan – tanpa adanya penambahan aset (kapital fisik: tanah).

Kemudian, sebagian dari hasil pendapatan ini – yang sudah disisihkan –

digunakan untuk membangun banjar. Wujudnya yang paling menonjol

adalah pada pembangunan dan renovasi Pura Kawitan Warga yang

menjadi identitas banjar tertentu. Ini adalah status sosial di level

komunitas – kelompok warga – yang dapat ditingkatkan dengan

pembangunan dan renovasi Pura Kawitan Warga, di mana hanya bisa

dilakukan jika perekonomian anggota banjar tersebut (per level keluarga

Page 81: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

327

inti) sudah mapan. Untuk anggota warga yang Pura Kawitan Warga-nya

tidak terletak di dalam banjar di mana ia tinggal dan tergabung dalam seka

tani atau krama subak di banjar tersebut, maka ia tetap memiliki

kewajiban ekonomi untuk pembangunan dan renovasi Pura Kawitan

Warga-nya yang berada di banjar lain, selain kewajiban adat dan agama.

Sistem Sosial sebagai Modal Sosial

Dalam sub-bagian ini penulis akan menguraikan konsep modal

sosial dalam perspektif lain: bukan berdasarkan perspektif Barat dalam

menguraikan konsep modal sosial, yang akhirnya (berakibat) dalam kasus

ini hanya akan melakukan pembenaran, tapi perspektif Barat tersebut lebih

digunakan sebagai rambu-rambu. Sebuah perspektif lain yang titik

pijaknya pada realitas yang ada dalam sebuah sistem sosial yang berlaku

dalam masyarakat Bali Nusa yang ada di Desa Balinuraga: sistem sosial

yang mereka adaptasi dan replikasi dengan beberapa penyesuaian

berdasarkan konsep kala dan patra. Penguraian ini akan terkait dengan

konteks pembangunan komunitas mereka di level banjar dan desa, dan

sumbangan perekonomian mereka di level kabupaten sebagai salah satu

daerah (desa) penghasil beras (pembangunan tingkat lokal) di Lampung

Selatan.

Dalam kasus masyarakat di Desa Balinuraga, penulis

menyebutkan bahwa sistem sosial – yang tampak dalam realitas sosial

masyarakat Bali Nusa di Balinuraga, baik yang sudah menghasilkan wujud

fisik (bangunan suci) atau pun masih dalam bentuk nilai dan norma yang

berlaku dalam sistem sosial tersebut – sebagai modal sosial. Ada beberapa

poin penting yang akan diuraikan lebih lanjut mengapa sistem sosial yang

ada dan berlaku dalam masyarakat Bali Nusa di Balinuraga disebut sebagai

modal sosial yang bersifat mengikat ke dalam (bonding social capital) dan

mengikat ke luar (bridging social capital):

Pertama, sistem sosial ini – yang di dalamnya terdapat sistem adat,

keagamaan (religi), sistem pertanian dan ekonomi – menjadi sebuah modal

yang berwujud kerja kolektif di level banjar dan desa yang menghasilkan

sebuah pembangunan fisik, atau modal sosial. Dalam kasus ini, dikatakan

sistem sosial dikatakan sebuah modal sosial karena dalam sistem sosial

Page 82: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

328

yang telah mengikat kuat dalam komunitas (dan level individu) berhasil

mendorong komunitas ini secara kolektif untuk melakukan sebuah prose

pembangunan yang berwujud fisik, yang menjadi sebuah kewajiban atas

sistem sosial yang mengikat tersebut. Dikatakan sebagai “modal” karena

fungsinya ekonomi dari modal tersebut untuk menghasilkan sesuatu, dalam

kasus ini adalah pembangunan fasilitas dan infrastruktur sosial dan

keagamaan; dan dikatakan “sosial” karena dikerjakan secara kolektif,

dengan kesadaran atas kewajibannya sebagai konsekuensi dari ikatan

sistem sosial yang bersifat mengikat tersebut. Contoh konkretnya: (1)

Berdirinya Pura Kahyangan Tiga yang menjadi pemersatu ketujuh banjar

di Balinuraga sebagai umat Hindu Dharma. Eksistensi identitas mereka di

level desa sebagai masyarakat Bali Nusa di Lampung Selatan dan sebagai

umat Hindu Dharma adalah dengan berdirinya Pura Desa (Penataran Bale

Agung), Pura Puseh, dan Pura Dalem (Pura Kahyangan Tiga). Pura

Kahyangan Tiga ini merupakan infrastruktur keagamaan (dan sosial) untuk

komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga. Kuatnya sistem sosial yang

mengikat komunitas ini sampai ke level individu dan kebutuhan eksistensi

identitasnya sebagai masyarakat Bali Nusa mendorong mereka untuk

membangun Pura Kahyangan Tiga ini. Pembangunannya dilakukan oleh

masyarakat secara kolektif dan mandiri, baik dana maupun tenaga. Tidak

menggunakan dana atau bantuan dari pemerintah. Pembangunannya

didasarkan atas kebutuhan mereka sebagai kesatuan masyarakat di level

desa sebagai masyarakat Bali Nusa yang beragama Hindu, dan sebagai

kewajiban sosial atas sistem sosial yang telah mengikat dan melekat dalam

komunitas dan individu; (2) Berdirinya bale desa dan bale banjar. Ini

merupakan infrastruktur sosial dalam sistem sosial yang mengikat tersebut,

yang juga berfungsi untuk aktivitas keagamaan. Rapat atau perkumpulan

setingkat desa dan setingkat banjar (dusun), baik untuk permasalahan adat

dan agama maupun permasalahan yang bersifat administratif, dilaksanakan

di dalam bale desa dan bale banjar, di mana setiap banjar memiliki satu

bale banjar. Pembangunannya dilaksanakan secara kolektif, baik dana

maupun tenaga; (3) Berdirinya bangunan suci di level banjar atau

kelompok warga, yaitu Pura Kawitan Warga. Bangunan suci ini

merupakan bagian dari sistem sosial tersebut, yang memiliki fungsi utama

untuk keperluan adat dan keagamaan. Identitas sosial dan status sosial

Page 83: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

329

terletak pada berdirinya Pura Kawitan Warga. Jika seseorang mengaku

bahwa identitas dengan warga A, tapi tidak bisa menunjukkan Pura

Kawitan Warga-nya, maka seseorang tersebut akan diragukan identitasnya

sebagai “Bali Hindu”. Pura Kawitan Warga menjadi simbol identitas di

level individu dan kelompok bahwa mereka berasal dari satu keturunan

yang sama, dan mereka dipersatukan dengan adanya Pura Kawitan Warga.

Pembangunnya dilakukan secara bersama-sama oleh anggota kelompok

warga yang bersangkutan. Mulai dari dana, tenaga, sampai model dan

rancangan arsitektur Pura Kawitan Warga tersebut. Setelah ada

perselisihan di antara dua kelompok warga yang berbeda identitas leluhur,

pembangunan dan renovasi Pura Kawitan Warga lebih menjadi fokus

utama. Gengsi dan status sosial individu dan kelompok warga

termanifestasikan atau terwakilkan dengan keberadaan Pura Kawitan

Warga yang besar dan artistik; (4) Berdirinya Pura Subak yang dibangun

secara kolektif oleh anggota banjar yang tergabung dalam seka tani atau

krama subak. Ini merupakan kewajiban mereka sebagai anggota dari

sistem pertanian (subak) yang menjadi bagian dari sistem sosial yang

mereka adaptasi tersebut; (5) Dibangunnya jalan desa dan jalan dusun.

Jalan utama desa dan dusun yang ada saat ini merupakan hasil dari kerja

kolektif masyarakat Balinuraga, khususnya pembangunan awal dilakukan

oleh transmigran pertama dan kemudian secara bertahap dilakukan

perbaikan. Fungsi utama pembangunan jalan desa dan jalan dusun ini

adalah untuk memperlancar transportasi dalam aktivitas ekonomi dan

hubungan sosial dengan komunitas lain; (6) dan bangunan-bangunan fisik

lainnya yang mempunyai fungsi sosial dan religius, seperti tugu-tugu (tugu

desa dan tugu-tugu yang ada di tempat-tempat yang dianggap keramat) dan

bale bengong sebagai tempat untuk bersantai dan berkumpul bersama di

waktu senggang. Pembangunan tugu dan bale bengong dibangun secara

kolektif (dana dan tenaga) oleh beberapa anggota masyarakat berdasarkan

cakupan wilayah tertentu di mana bangunan tersebut didirikan, kecuali

tugu desa. Adanya bukti fisik dari bangunan-bangunan fisik tersebut, dan

bagaimana cara serta proses pembangunannya, menjadi bukti bagaimana

sistem sosial yang mengikat tersebut mampu mendorong kolektifitas

kelompok (individu-individu) untuk membangun infrastruktur adat dan

keagamaan (termasuk infrastruktur ekonomi). Tujuannya adalah untuk

Page 84: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

330

menunjukkan, mempertahankan serta melestarikan eksistensi identitas

mereka sebagai Bali Hindu dari Nusa Penida, di mana melalui

pembangunan tersebut sistem sosial yang bersifat mengikat tersebut dapat

terus eksis dan lestari. Dengan kata lain, sistem sosial yang bersifat

tersebut berhasil mendorong masyarakat untuk membangun infrastruktur

sosial, adat dan keagamaan secara kolektif, guna menjamin

keberlangsungan, keberfungsian, kelestarian dan kelancaran dari sistem

sosial tersebut. Sistem sosial ini, termasuk bangunan fisik di dalamnya,

merupakan simbol dari identitas mereka sebagai Bali Hindu dari Nusa

Penida. Ini adalah sebuah kewajiban yang bersifat mengikat, di mana

ikatan tersebut mem-bonding masyarakat Bali Nusa pada level tertentu

(banjar dan desa) untuk melakukan proses pembangunan (infrastruktur

adat, keagamaan dan ekonomi) yang hasil konkretnya dapat dilihat dan

diberfungsikan sesuai dengan sistem sosial yang berlaku tersebut.

Kedua, di dalam sistem sosial tersebut ada nilai dan norma yang bersifat

mengikat – ada sebuah kewajiban dan hak dari setiap anggota komunitas di

level banjar dan desa – di mana nilai dan norma tersebut yang

memungkinkan “modal sosial yang bersifat mengikat ke dalam” ini bisa

berfungsi dan terealisasi sampai saat ini. Bukti fisiknya telah diuraikan

pada poin pertama. Bukti lainnya dapat dilihat dari contoh kasus upacara

ngaben pribadi, di mana setiap anggota banjar memiliki suatu kewajiban –

sebagai sebuah nilai dan norma yang harus mereka lakukan – untuk

membantu dan bekerja sama secara sukarela – tanpa ada paksaan – untuk

menyukseskan persiapan dan penyelenggaraan upacara ngaben pribadi

tersebut yang diselenggarakan oleh salah satu keluarga anggota banjar.

Catatan penting di sini, untuk kasus upacara ngaben pribadi dan

pembangunan fisik infrastruktur adat dan keagamaan adalah bahwa trust

tidak memainkan peranan penting dalam pelaksanaan modal sosial di

dalam komunitas ini246

. Justru nilai dan norma yang ada di dalam sistem

246

Hal ini bertentangan dengan konsep modal sosial dalam perspektif Barat

(Coleman 1988, Fukuyama 1995 1999 2001, Putnam 1995) di mana unsur trust

(kepercayaan) menjadi elemen penting dalam bekerjanya sebuah modal sosial

selain norma dan nilai (norms and value), dan jaringan sosial (networks). Konteks

Barat tentu berbeda dengan konteks “Indonesia” (dalam kasus ini masyarakat Bali

Page 85: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

331

sosial tersebut yang menjadikan modal sosial itu berjalan dan

menghasilkan sesuatu. Dorongan mereka untuk bekerja secara kolektif

dengan sumbangan dana dan tenaga lebih cenderung karena adanya nilai

dan norma dalam sistem sosial yang bersifat “wajib” dan “sukarela” –

tidak ada paksaan, tapi jika tidak melakukannya menimbulkan “perasaan

tidak enak” dan merasa “dikucilkan”. Trust tidak memainkan peran yang

penting dalam pengaplikasian modal sosial yang mengikat ke dalam ini

karena setiap anggota masyarakat atau kelompok masyarakat yang ada di

dalam desa dan banjar memiliki identitas warga yang berbeda. Setiap

warga memiliki status sosial tersendiri yang telah diklaim oleh

kelompoknya, khususnya dua kelompok warga yang bertentangan247

.

di luar Bali yang masih mempertahankan sistem sosialnya yang tradisional) yang

sebagian masyarakatnya masih tradisional, di mana nilai dan norma dalam sistem

sosial masyarakat tradisional lebih dominan dalam mengikat komunitas itu

maupun dalam mengkonsolidasi aksi (kerja ekonomi kolektif) daripada trust antar

anggotanya. Konteks Barat masyarakatnya sudah mencapai tahap masyarakat

modern atau urban (masyarakat industri), unsur keprofesionalitasan lebih

ditekankan, dan adanya trust dinilai dapat menunjang perekonomian yang lebih

bersifat langgeng (sustainable) karena dapat menekan biaya transaksi. Dengan

kata lain, tanpa trust yang kuat pun, modal sosial itu tetap berjalan dalam konteks

masyarakat tradisional di Indonesia. Mereka yang ngayah atau gotong royong

(mungkin) lebih disebabkan karena keterikatan yang kuat dengan komunitas di

mana mereka tinggal – ada perasaan tidak enak jika tidak ikut terlibat, bukan

masalah trust. 247

Pertentangan identitas warga yang terjadi ini bukan sebuah realitas yang terjadi

setelah mereka berada di Lampung, tapi realitas yang juga terjadi di Bali dalam

bentuk yang hampir sama dengan, dan yang terpenting adalah berbagai

pertentangan identitas tersebut memiliki sejarah yang panjang . Dalam konteks

yang lebih luas dan berdasarkan sejarah di masa kerajaan sampai masa kolonial

dan pasca kolonial, masyarakat Bali selalu diliputi oleh peperangan dan kekerasan

dengan latar belakang identitas yang berbeda. Mulai dari konfik antar masyarakat

antar sekte-sekte keagamaan Hindu-Budha, perang penaklukan kerajaan Bali Aga

oleh Majapahit, perang antar kerajaan di masa kekuasaan Dinasti Sri Kresna

Kepakisan (pasca Majapahit berkuasa atas Bali), perang pihak kerajaan dengan

pihak kolonial, konflik antar wangsa di masa kolonial, sampai pembunuhan

massal pasca Gerakan 30 September 1965, dan berbagai kekerasan skala kecil di

level desa (lihat: Vlekke 2008, Vickers 1966, Robinson 1995, Rossa 2008, Schulte

Schulte Nordholt 2007 2009, Pringle 2004, Cribb 2003, Howe 2005, Geertz 1967

1977). Salah satu akar konflik tersebut adalah penguatan identitas antar kelompok

Page 86: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

332

Hasrat yang mendalam untuk menunjukkan status sosial warga pada setiap

diri individu dan kelompok warga memungkinkan trust tidak dapat

menjadi “bahan bakar” berjalannya modal sosial yang mengikat ke dalam

ini. Fakta ini tidak dapat dipersalahkan, karena sistem warga atau status

sosial warga itu sendiri merupakan salah satu bagian dari sistem sosial

tersebut. Status sosial atau identitas warga begitu kuat pada diri individu,

karena jati diri atau identitasnya sebagai Bali Hindu ada di dalamnya248

.

Namun, toh modal sosial yang bersifat mengikat ke dalam ini tetap

berjalan dan terbukti berhasil dalam aplikasi dan wujud fisik

pembangunannya, bukan disebabkan oleh unsur trust yang mengikat antar

identitas warga, tapi lebih disebabkan oleh nilai dan norma dalam sistem

sosial tersebut. Unsur dis-trust antar kelompok warga ini dapat dibuktikan

dengan adanya dua Pura Puseh (dan Penataran Bale Agung) – seharusnya

dalam satu desa hanya satu, tergabung dalam Pura Kahyangan Tiga – di

mana dalam pembangunannya tetap dilaksanakan secara kolektif dengan

nilai dan norma yang berlaku dalam salah satu kelompok yang

bertentangan tersebut. Unsur ketidak-percayaan (distrust) tidak bisa sama-

ratakan bahwa setiap indivu tidak percaya dengan warga lain, sehingga

modal sosial yang bersifat ke dalam tersebut tidak berjalan. Dalam kasus

upacara ngaben pribadi ada juga beberapa anggota warga yang berbeda

dengan warga dari pihak keluarga penyelenggara upacara yang turut serta

dalam ngayah (kerja sukarela). Atau, dalam kasus lain, seperti seka tani

(bersifat primordial) dengan simbol-simbol identitasnya, namun sebaliknya,

melalui penguatan identitas tersebut identitas kebalian mereka tetap bertahan

sampai sekarang. Dengan kata lain, berdasarkan fakta sejarah tersebut, dalam

konteks masyarakat Indonesia yang masih feodal, trust mungkin hanya terbatas

dalam ikatan komunitas yang lebih kecil dengan persamaan identitasnya. Di luar

itu unsur distrust lebih besar, jika tidak, mungkin “paradise” itu adalah paradise

yang sesungguhnya. 248

Dalam penelitiannya di Tihingan, Geertz (1967) menyebutkan bahwa konflik

atau pertentangan yang sengit perihal status sosial bukan terjadi antara golongan

triwangsa dan jaba, melainkan dua klan dari golongan jaba, Pandé dan Pasek.

Geertz (1967 & 1977) menambahkan bahwa meskipun jumlahnya kecil, klan

Pandé memiliki kekuatan yang solid dan mendapatkan kedudukan yang istimewa

terkait keprofesiannya sebagai pandai besi, sehingga memampukan klan ini

bersaing dengan klan Pasek sebagai sebuah klan dengan keanggotaan yang besar

(mayoritas di Bali).

Page 87: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

333

atau keanggotaan krama subak, meskipun pada banjar tertentu didominasi

oleh warga mayoritas di banjar tersebut, keanggotaannya pun bersifat

demokratis, artinya ada warga lain yang menjadi anggota, keanggotaannya

tidak dimonopoli oleh satu warga yang mendominasi banjar tersebut.

Secara umum, poin dis-trust, atau unsur trust tidak menjadi begitu

berperan dalam modal sosial yang mengikat ke dalam, lebih disebabkan

karena adanya identitas warga yang di dalamnya telah mengakar status

sosial pada setiap individu. Menariknya tanpa dominannya unsur trust,

modal sosial tersebut tetap berjalan karena adanya sistem sosial yang

mengikat, di mana unsur nilai dan norma memegang peran dominan bagi

berjalannya modal sosial tersebut daripada unsur trust. Dengan kata lain,

penulis ingin menyampaikan bahwa untuk salah satu kelompok etnis di

Indonesia yang masih memegang erat ketradisionalannya dengan

mempertahankan dan melestarikan sistem sosialnya yang terdapat unsur

kefeodalan, modal sosial yang mengikat ke dalam karena adanya sistem

sosial yang mengikat komunitas tersebut unsur nilai dan norma lebih

dominan daripada unsur trust sebagai penggerak modal sosial komunitas

tersebut. Hal yang perlu diingat dalam kasus ini adalah komunitas ini

termasuk dalam lembaga sosial dengan kelembagaan adat dan agama yang

kuat, bukan sebuah lembaga bisnis atau corporate (perusahaan) yang

dalam kegiatan bisnisnya (transaksi dan perjanjian bisnis) sangat

mengandalkan trust sebagai salah satu cara untuk mengurangi

transactional cost dan inisible cost (biaya-biaya transaksi dan biaya-biaya

tidak terlihat dalam proses transaksi bisnis tersebut). Jadi, dalam sistem

sosial di dalam masyarakat Bali Nusa di Balinuraga yang menciptakan

modal sosial mengikat ke dalam unsur nilai dan norma dalam sistem sosial

tersebut lebih dominan dalam keberfungsian modal sosial komunitas.

Ketiga, untuk kasus yang spesifik dapat dilihat bagaimana sistem sosial ini

berhasil membangun sebuah modal sosial yang mengikat ke dalam. Kasus

pertama adalah seka tani yang menjadi basis ekonomi banjar. Krama

subak yang ada di dalam seka tani ini berhasil (secara umum)

memapankan perekonomian mereka. Modal sosial di dalam komunitas ini

dijalankan oleh sistem sosial yang ada di dalam seka tani tersebut.

Mengapa? Karena di dalam sistem sosial yang berlaku dalam krama subak

Page 88: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

334

mengharuskan para anggotanya tidak hanya fokus pada kegiatan

ekonominya di bidang pertanian, tapi juga tetap fokus pada institusi subak

itu sendiri – meskipun tidak ada pembagian air irigasi – sebagai lembaga

adat dan keagamaan. Kerja kolektif diwujudkan dalam kebersamaan dan

kekompakkan dalam melaksanakan kegiatan pertanian (mulai dari

penetapan hari baik, tahap pembenihan sampai masa panen dan penjualan),

kegiatan adat dan keagamaan krama subak, seperti “kumpul tani” dan

pelaksanaan ritual dan upacara keagamaan dalam krama subak. Lembaga

ini lebih demokratis dalam keaanggotaannya – tidak dimonopoli oleh satu

warga – dan Pura Subak yang dibangun secara kolektif berfungsi sebagai

pemersatu krama subak dari perbedaan identitas warga. Kasus kedua

adalah seka gong yang menjadi basis kesenian (lembaga kesenian) banjar.

Lembaga ini tidak hanya bergerak di bidang kesenian saja, tapi juga

bergerak di bidang keagamaan, karena pentas kesenian dalam tradisi Bali

ikut serta dalam kegiatan ritual dan upacara keagamaan, misalnya: Tari

Baris (termasuk dalam Tari Wali atau Tari Persembahan) dan Tari Barong.

Keanggotaan seka gong bersifat sukarela, tidak ada paksaan. Keunikkan

lembaga ini adalah bagaimana para anggotanya membiayai

keberlangsungan dan eksistensi lembaga keseniannya dan keseniannya itu

sendiri sebagai bagian dari tradisi Bali Hindu, yaitu dengan mentas (tampil

pentas) – diundang untuk mementaskan kesenian Bali – di perkampungan

Bali lainnya di luar Balinuraga. Modal sosial dalam lembaga ini adalah

kesadaran dari setiap anggotanya untuk tetap kompak dan konsisten dalam

berlatih kesenian secara sukarela tanpa paksaan agar menghasilkan sebuah

pertunjukkan kesenian yang baik dan memukau. Hasilnya secara tidak

langsung dari kedisiplinan anggota seka gong tersebut dalam berlatih

adalah mendapat undangan mentas (bersifat komersial dan profesional),

meskipun kadang kala honor yang diberikan tidak dalam bentuk uang. Jika

ada honor, itu pun tidak dibagikan kepada para anggota, tapi dijadikan

sebagai kas banjar atau pura. Bagi anggota seka gong penampilan

kesenian yang dipentaskan secara baik dan memukau adalah bagian dari

kepuasan batin dan status sosial. Biaya transportasi, uang rokok, dan uang

makan yang ditanggung oleh pihak panitia sudah cukup sebagai honor dan

penghargaaan, kecuali dalam kasus tertentu pihak panita (pengundang)

secara khusus memberikan honor kepada setiap anggota seka gong. Modal

Page 89: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

335

sosial yang ada di dalam seka gong, seperti kasus seka gong Banjar

Pandéarga (seka gong terbaik yang dimiliki Desa Balinuraga), menjadikan

lembaga kesenian ini sebagai lembaga di bawah naungan banjar yang

mandiri.

Keeempat, sistem sosial masyarakat Bali Nusa di Balinuraga tidak hanya

membentuk modal sosial yang bersifat mengikat ke dalam (bonding), tapi

juga mengikat ke luar (bridging). Akarnya adalah dari filosofi dan ajaran

yang tercakup dalam sistem sosial tersebut, di mana sudah melembaga

pada setiap individu. Inti dari filosofi dan ajaran tersebut adalah bagaimana

mereka sebagai masyarakat Bali bisa membangun relasi sosial yang

harmonis dengan orang lain. Relasi sosial yang harmonis dengan orang

lain tersebut – dalam pergaulan dengan masyarakat yang heterogen – yang

memungkinkan modal sosial yang bersifat terbuka ini memberikan hasil

bagi komunitas Balinuraga, yaitu ikut berpartisipasi, disertakan dan

dilibatkan dalam pembangunan di tingkat lokal dan kancah politik praktis

sebagai bagian dari masyarakat Lampung (Bali Lampung). Jadi, sistem

sosial yang mengikat tersebut bukan hanya menciptakan relasi yang

bersifat ke dalam komunitas mereka saja, tapi relasi dengan orang lain di

luar komunitasnya (non-Bali Hindu). Berikut ini adalah filosofi dan ajaran

umum yang menjadi landasan mereka untuk membangun modal sosial

yang bersifat terbuka: (1) filosofi Tri Hita Karana. Arti umum dari Tri

Hita Karana adalah “tiga penyebab kebagiaan”. Berasal dari bahasa

sansekerta di mana “Tri” berarti “tiga”, “Hita” berarti “kebahagiaan” atau

“kebajikan”, dan “Karana” berarti “penyebab”249

. Tri Hita Karana ini

merupakan ajaran yang mengajarkan agar manusia mengupayakan

hubungan harmonis dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan

alam lingkungannya (Wiana, 2007). Poin penting dari filosofi atau ajaran

Tri Hita Karana ini terkait dengan modal sosial terbuka (bridging social

capital) adalah bagaimana menjalin hubungan (relasi sosial) yang

harmonis dengan anggota atau komunitas lain (non-Bali Hindu). Ajaran ini

249

Lihat: I Ketut Wiana (2007), Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu,

Surabaya: Penerbit Paramita; dan Nyoman S Pendit (2001), Membangun Bali:

Menggugat Pembangunan di Bali untuk Orang Jakarta melalui Jalur Pariwisata,

Denpasar: Pustaka Bali Post.

Page 90: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

336

menjadi fondasi bagi mereka untuk membangun hubungan sosial atau pun

relasi sosial (berhubungan dengan kegiatan ekonomi) dengan orang lain.

Tujuannya menciptakan keharmonisan hubungan dengan liyan, dan tujuan

yang bersifat ekonomi adalah terkait profesi mereka di bidang pertanian.

Cara umum yang digunakan untuk membangun dan mempertahankan

hubungan yang harmonis dengan liyan, baik terkait dengan hubungan

sosial kemasyarakatan maupun hubungan ekonomi (bisnis) adalah

bersilatuhrami, atau dalam istilah mereka disebut medharma suaka, ke

anggota komunitas lain saat hari raya atau hari besar keagamaan tertentu.

Menurut Wiana (2007) ajaran dari Tri Hita Karana ini bukan merupakan

ajaran yang baru, yang baru adalah penggunaan istilah “Tri Hita Karana”

itu sendiri yang baru dipopulerkan di tahun 1960-an di Bali. Lalu,

bagaimana istilah ini menjadi populer pada masyarakat di luar Bali seperti

di masyarakat Balinuraga? Istilah dan ajaran “Tri Hita Karana” sebenarnya

sudah populer di Balinuraga, diperkirakan sejak akhir tahun 1960-an, yaitu

melalui proses pendidikan di sekolah darurat dan sosialisasi dari Bimas

Hindu-Budha (PHDI) kepada tokoh masyarakat dan guru agama yang

bukan berasal dari lulusan Pendidikan Guru Agama (PGA) Hindu –

lulusan PGA Hindu pertama kali bertugas di Desa Balinuraga pada tahun

1978, tapi guru agama Hindu sudah ada di sekolah darurat di Balinuraga.

Kemudian, istilah dan ajaran Tri Hita Karana ini disosialisasikan kepada

masyarakat melalui tokoh pendidikan dan tokoh agama yang ada di

Balinuraga, bersamaan dengan sosialisasi salam “om swastiastu”, salam

penutup “om shanti, shanti, shanti, om”, doa “tri sandya”, sebutan Tuhan

Yang Maha Esa “Sang Hyang Widhi Wasa” atau “Ida Sang Hyang Widhi”,

“catur guru bhakti”, “menyama braya” dan lain-lain250

. Pada masa-masa

ini masyarakat Balinuraga sudah dibentuk untuk menjadi umat Hindu

Dharma yang “resmi”, yaitu dengan dilakukannya standarisasi-standarisasi

di bidang keagamaan, seperti contoh di atas, di bawah pengawasan PHDI.

Ini yang menyebabkan istilah dan ajaran Tri Hita Karana menjadi populer

bagi masyarakat Balinuraga (sampai saat ini) sebagai umat Hindu Dharma,

dan menjadi landasan bagi mereka untuk membina dan membangun relasi

250

Sampai saat ini, Tri Hita Karana merupakan salah satu bagian wajib yang

diajarkan kepada murid-murid sekolah dalam pelajaran Agama Hindu.

Page 91: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

337

yang harmonis dengan liyan; (2) konsep dan ajaran Catur Guru Bhakti.

Poin penting dari konsep dan ajaran Catur Guru Bhakti, dalam

hubungannya dengan modal sosial terbuka, adalah terkait dengan

resiprositas (reciprocity) atau hubungan simbiosis mutualisme (saling

menguntungkan) yang bersifat kelembagaan. Catur Guru Bhakti ini –

seperti yang dijelaskan oleh beberapa tokoh pendidikan dan agama di

Balnuraga – adalah fondasi penting dalam menjalin hubungan

kelembagaan yang baik antara masyarakat Balinuraga dengan pemerintah

(dalam konteks ini lebih dekat dengan institusi pemerintahan di level desa,

kecamatan, dan kabupaten yang diwakili oleh para pejabat dan

administraturnya). Hal ini seperti tertuang dalam ajaran Catur Guru Bhakti

di mana salah satu guru yang harus dihormati “Guru Wisesa”, yaitu

(diartikan secara khusus) pihak yang berkuasa atau pemerintah; selain

Guru Swadhyaya / Swadiaya (yaitu Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan

Yang Maha Esa), Guru Rupaka / Rek (yaitu orang tua yang melahirkan /

orang tua kandung), dan Guru Pengajian (yaitu guru yang mengajar dan

mendidik dalam pendidikan formal). Seperti yang dijelaskan oleh Surpha

(2004), kasus desa adat di Bali, bahwa ajaran Catur Guru Bhakti menjadi

landasan bagi suksesnya program pemerintah di level desa dan loyalitas

masyarakat desa kepada pemerintah251

. Sikap hormat dalam menjalin

hubungan dengan “Guru Wisesa” atau pemerintah ini yang memberikan

efek positif dalam perkembangan sosial kemasyarakatan dan ekonomi

masyarakat Balinuraga, yaitu dengan tidak melakukan tindakan yang

melanggar hukum dan taat terhadap peraturan pemerintah. Efek positifnya

adalah mereka turut dilibatkan secara aktif dalam setiap kegiatan dan acara

formal pemerintahan daerah, khususnya untuk mementaskan kesenian

Bali. Melalui hubungan yang baik ini, mereka memiliki posisi tawar

kepada pemerintah untuk pembangunan infrastruktur desa, khususnya jalan

desa. Ini bukan posisi tawar yang tidak seimbang, dalam artian masyarakat

menuntut penuh pembangunan jalan. Dalam kasus ini, pemerintah hanya

mengaspalkan jalan desa, karena jalan desa dan fondasi jalannya (jalan

berbatu) sudah dibuat oleh masyarakat – hubungan yang saling

251

Lihat: I Wayan Surpha (2004, hlm,9), Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di

Bali, Denpasar: Pustaka Bali Post.

Page 92: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

338

menguntungkan karena masyarakat sudah berpartisipasi. Begitu pula

dalam hal pembangunan posyandu, puskesmas, dan sekolah negeri

(Sekolah Dasar). Masyarakat membuktikan rasa hormatnya kepada

pemerintah dengan membayar pajak (kewajiban) dan menjadi salah satu

daerah penghasil beras, kemudian kewajiban pemerintah adalah

memberikan fasilitas kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat

Balinuraga. Jika realisasi pajak tidak sesuai dengan yang diharapkan,

kemungkinan yang terjadi (bersifat umum) dikarenakan prosedur yang

berbelit-belit (masalah teknis) dan masalah sosialisasi pembayaran pajak,

di mana menyebabkan wajib pajak mengurungkan niatnya atau

membatalkan pembayaran pajak. Hubungan mutuaslime (resiprositas)

antar lembaga ini terjadi tidak hanya dengan lembaga pemerintahan, tapi

juga dengan lembaga swasta, dalam kasus ini adalah perusahaan swasta

yang memproduksi dan menjual produk-produk pertanian. Contoh

konkretnya antara lain: (1) pembangunan bale bengong yang disponsori

perusahaan swasta bibit jagung. Pada atap bale bengong terdapat tulisan /

nama (sponsor) perusahaan tersebut; (2) plat atau papan nama “Desa

Balinuraga” yang di bawahnya ada nama (sponsor) perusahaan rokok

swasta, di mana rokok tersebut menjadi rokok favorit yang dihisap oleh

mayoritas masyarakat Desa Balinuraga; (3) pembuatan baju atau kaos

untuk panitia penyelenggara upacara ngaben pribadi. Sponsornya dari

perusahaan swasta yang memproduksi dan menjual insektisida; (4) dan

bentuk-bentuk lainnya yang mendapat sponsor dari perusahaan swasta.

Umumnya berupa spanduk-spanduk yang berisikan informasi

penyelenggaraan upacara tertentu.

Page 93: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

339

Gambar 48. Bale Bengong dan Plat Nama Desa Bersponsor

(sebelah kiri: bale bengong dengan atap bertuliskan “Pioneer”; kanan: plat nama

desa dengan sponsor “Djarum”)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Page 94: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

340

Kasus Upacara Ngaben di Balinuraga

Sama seperti masyarakat Bali pada umumnya, upacara ngaben di

Balinuraga merupakan salah satu upacara besar dan penting. Kasus

upacara ngaben di Balinuraga perlu diuraikan untuk mengetahui

bagaimana identitas kebalian komunitas Bali Nusa di Balinuraga sebagai

sebuah sistem sosial dalam masyarakat Bali yang mereka adopsi di

Lampung. Melalui kasus ini dapat dilihat beberapa persamaan dan

perbedaan yang bersifat mendasar atas identitas kebalian komunitas ini di

Lampung. Perbedaan inilah yang menjadikan mereka identik dengan Bali:

tetap menjadi Bali, tetapi Bali yang ada di Lampung.

Upacara Ngaben, atau biasa disebut Pitra Yadnya252

, merupakan

salah satu upacara sakral dan penting bagi masyarakat Bali Hindu, tidak

hanya di Bali, tapi juga bagi masyarakat Bali Hindu yang ada di Desa

Balinuraga, Lampung Selatan. Upacara ini merupakan kewajiban yang

harus dijalani oleh anggota keluarga terhadap anggota keluarganya yang

telah meninggal – sebuah kewajiban yang bersifat mengikat sama seperti

kelekatan sistem sosial dalam masyarakat Bali yang mereka adopsi setelah

berada di Lampung. Dalam arti umum yang telah dikenal oleh masyarakat

luas, upacara ngaben adalah upacara pembakaran tubuh orang yang telah

meninggal (pitra, jenasah; mageseng: sebutan lain untuk pembakaran

pitra) yang berlaku (dan menjadi kewajiban) dalam masyarakat Bali

Hindu. Bertujuan untuk menghantarkan arwah yang telah meninggal ke

kahyangan (surga), sekaligus membebaskan atau melepaskan

keterikatannya dari unsur duniawi (wujud fisik berupa jenasah, badan, atau

kerangka tubuh) – yang dimanifestasikan dalam pembakaran jenasah atau

kerangka tubuh, menghanyutkan abu-nya ke laut (dikembalikan ke alam),

252

“Pitra Yadnya” adalah sebutan lain untuk upacara ngaben (pembakaran mayat

bagi masyarakat Bali Hindu). “Pitra” (baca: pitre) diartikan sebagai jenasah, badan

mati; sedangkan yadnya diartikan sebagai (upacara) korban suci.”Pitra Yadnya”

merupakan sebutan resmi untuk upacara ngaben, yang bersifat lebih formal dan

religius (Hindu). Karenanya, sebutan “pitra yadnya” ini lebih sering digunakan –

sifatnya yang lebih halus, formal, dan religius – daripada sebutan “ngaben” yang

lebih tradisional Bali. Bagi khalayak – etnis Bali dan etnis lain non-Bali – sebutan

“ngaben” sebagai pembakaran jenasah lebih populer daripada sebutan “pitra

yadnya”.

Page 95: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

341

dan kemudian menempatkan arwah atau atman yang meninggal ke sebuah

tempat suci (pelinggih) yang telah disediakan: merajan atau sanggah.

Upacara Pitra Yadnya (ngaben) bagi masyarakat Bali Hindu di

luar Bali, dalam kasus ini di Desa Balinuraga, tidak bisa dilihat dari sudut

pandang sebagai upacara yang sangat sakral dan penting (aspek

religiusitas), tapi juga aspek sosiologisnya sebagai masyarakat Bali di luar

Bali dalam mempertahankan dan menunjukkan eksistensi identitasnya, dan

memperkokoh kesolidan komunitas Bali Hindu dengan identitas

kebudayaannya yang unik. Upacara ngaben, baik pribadi atau pun massal,

selalu melibatkan partisipasi aktif massa yang besar, khususnya yang

paling menonjol adalah di tingkat banjar. Seluruh anggota banjar,

meskipun bukan berasal dari keluarga besar dan warga tertentu, memiliki

kewajiban yang sangat mengikat untuk ikut terlibat aktif. Termasuk di

dalamnya, sebuah realitas yang menarik, adalah kehadiran dan keterlibatan

aktif dari kerabat, saudara jauh, atau pun anggota banjar bukan berasal

dari keluarga yang dulunya pernah menjadi anggota banjar yang ada di

Balinuraga yang sekarang sudah merantau ke tempat lain, serta saudara

atau pun teman dekat yang ada di Nusa Penida dan Bali. Dengan kata lain,

upacara ngaben di Balinuraga merupakan sebuah upacara yang

menyatukan komunitas Bali Nusa yang telah tersebar ke berbagai tempat

pada khususnya yang masih berada di dalam wilayah Provinsi Lampung

dan Sumatera Selatan, serta teman dan saudara yang ada di Bali dan Nusa

Penida pada umumnya. Kuatnya ikatan ini yang menyebabkan bagaimana

sebisa mungkin mereka yang telah menetap di luar Balinuraga (karena

alasan pekerjaan) untuk datang dan berpartisipasi aktif saat persiapan dan

prosesi upacara dilaksanakan. Meskipun tidak ada sanksi atau pun

hukuman jika tidak hadir dan berpartisipasi aktif, kuatnya ikatan

persaudaraan (kekerabatan) ini, yang semakin kuat setelah mereka berada

di Lampung, menyebabkan mereka merasa bersalah atau pun merasa (dan

percaya) akan ada sesuatu (sanksi niskala) jika tidak ikut hadir dan

berpartisipasi aktif dalam upacara tersebut – setidak-tidaknya adalah

mereka bisa hadir saat upacara puncak dilaksanakan. Baik langsung atau

pun tidak langsung, sengaja atau tidak disengaja, ketidakhadiran seseorang

yang memiliki hubungan atau keterikatan dengan komunitas di mana

upacara ngaben akan dilaksanakan (kecuali untuk sebuah alasan yang

Page 96: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

342

masuk akal dan tidak dapat dielakkan, seperti menderita sakit parah), akan

menyebabkan seseorang tersebut disisihkan dari komunitasnya; dengan

kata lain, identitasnya akan terkikis atau tidak diakui sebagai bagian dari

sebuah komunitas Bali Hindu yang menjadi dasar dari identitasnya sebagai

Bali Hindu di Lampung, seperti: hilangnya atau tidak diakuinya

keanggotaannya sebagai anggota banjar tertentu, atau didiamkan atau

diacuhkan (semacam sanksi sosial) ketika suatu saat seseorang tersebut

datang ke banjar asalnya atau pun ketika ia suatu hari nanti

menyelenggarakan upacara ngaben.

Page 97: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

343

Gambar 49. Krama Banjar Ngayah saat Persiapan Upacara Pitra Yadnya

(Atas: kaum laki-laki sedang membuat makanan olahan dari daging babi; bawah:

kaum ibu membuat bantenan)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Page 98: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

344

Gambar 50. Tamu Undangan di Hari-H Upacara Pitra Yadnya

(Para tamu di antaranya pejabat desa dan kecamatan, pemangku dan sulinggih,

tokoh masyarakat, keluarga dan kerabat jauh, dan lain-lain)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Pemaparan contoh kasus upacara “ngaben pribadi” ini bertujuan

menangkap realitas dari sistem sosial masyarakat Balinuraga: pertentangan

antara kubu konservatif dan kubu modernis, tata cara upacara dan upakara

(sesaji, bantenan), sulinggih yang muput pelaksanaan upacara, manajemen

persiapan dan pelaksanaan upacara, keterlibatan aktif anggota banjar dan

anggota lain dalam persiapan dan pelaksanaan upacara, kesungguhan

dalam pelaksanaan upacara, biaya yang dikeluarkan selama persiapan dan

pelaksanaan upacara, dan lain-lain.

Mengapa Ngaben Pribadi?

Ngaben Pribadi di Balinuraga merupakan upacara pitra yadnya

yang diperuntukkan hanya untuk satu anggota keluarga (yang telah

meninggal) dari sebuah keluarga. Berbeda dengan ngaben massal (yang

pernah diselenggarakan di Balinuraga) yang melibatkan banyak anggota

keluarga dari keluarga-keluarga yang berbeda, termasuk tempat dan asal

usul serta identitas warga yang berbeda. Pada perinsipnya, dalam upacara

ngaben massal siapa saja boleh mengikutinya, tidak ada syarat atau

Page 99: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

345

ketentuan khusus yang membatasi, khususnya (yang diutamakan) mereka

yang perekonomian keluarganya pas-pasan.

Ngaben Pribadi di Balinuraga yang diselenggarakan pada bulan

Oktober 2010 ini, merupakan upacara ngaben dari salah satu anggota

keluarga terpandang di Balinuraga, yaitu istri dari putra laki-laki Sri Mpu

Suci, atau menantu perempuan dari Sri Mpu Suci. Kasus ini cukup unik,

dan karenanya akan menjadi perdebatan (dibahas pada bagian berikutnya),

disebabkan almarhumah bukan berasal dari etnis Bali, melainkan

peranakan Tionghua-Jawa (ayah Tionghua Totok dan ibu Jawa asli asal

Yogyakarta) yang menjadi Hindu setelah menikah. Almarhumah

meninggal tiga tahun yang lalu (2007) penyakit leukimia. Upacara ngaben

baru terealisasi tiga tahun berikutnya (2010) bukan disebabkan

ketidakmampuan biaya, tapi dikarenakan faktor-faktor lain yang

menghalangi (dibahas pada bagian berikutnya). Sebagai keluarga

terpandang di Balinuraga, dengan kemampuan ekonomi dan pengalaman

yang memupuni dalam menyelenggarakan upacara ngaben di Balinuraga

dan tempat lain, waktu tiga tahun adalah waktu yang terlampau lama.

Sebuah penantian yang lama – bagi mereka – untuk menyelesaikan

berbagai macam polemik karena pihak keluarga sebenarnya sudah siap dan

mampu menyelenggarakan ngaben pribadi saat almarhumah meninggal

dunia.

Kembali ke tema “mengapa ngaben pribadi diselenggarakan?”.

Dalam kasus ini, ngaben pribadi diselenggarakan karena beberapa alasan:

(1) pihak keluarga merupakan keluarga terpandang, yaitu sebagai keluarga

Sri Mpu Suci: tokoh penting yang sangat berjasa membawa transmigran

Bali Nusa ke Lampung Selatan dan membentuk Desa Balinuraga. Menurut

mereka, anggota dari keluarga terpandang, atau seorang tokoh terpandang,

sangat layak dan pantas untuk menyelenggarakan ngaben pribadi, seperti

sulinggih Sri Mpu Suci dan Sri Mpu Aji. Untuk sulinggih harus

diselenggarakan ngaben pribadi, tidak diperkenankan mengikuti ngaben

massal, karena sulinggih merupakan orang yang disucikan menurut

kepercayaan mereka. Mereka yang –non-sulinggih bisa menyelenggarakan

ngaben pribadi asalkan kemampuan ekonominya mencukupi; (2) pihak

keluarga memiliki kemampuan ekonomi yang mencukupi untuk

terselenggaranya upacara ngaben pribadi, dan biaya dapat dihemat karena

Page 100: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

346

anggota keluarga adalah ahli pembuat sarana dan prasaran upacara titra

yadnya berpengalaman yang sering mendapatkan proyek di berbagai

tempat di Lampung dan Sumatera Selatan; (3) prestise dan status sosial

yang tinggi ketika mampu menyelenggarakan ngaben pribadi. Ini

didukung dengan kedudukan keluarga terpandang di Balinuraga,

kemampuan ekonomi yang mapan, serta pengalaman dalam

menyelenggarakan upacara ngaben. Hal lain yang tidak dapat diabaikan

adalah manifestasi perang dingin pertentangan antar warga di Balinuraga.

Kemampuan menyelenggarakan ngaben pribadi dari keluarga terpandang

menunjukkan secara jelas dan menjadi cerminan status sosial dan status

ekonomi keluarga tersebut, dan yang lebih penting adalah status sosial dan

ekonomi warga. Dengan kata lain, ngaben pribadi seperti “kontes” atau

“perang identitas” antar warga untuk mengukuhkan warga mana yang

memiliki status sosial paling tinggi; (4) wujud keteguhan hati, ketaatan

sebagai umat Hindu Dharma dan sebagai Bali Hindu, kesetiaan dan rasa

hormat yang mendalam terhadap atman almarhumah dan juga Sang Hyang

Widhi Wasa sebagai Kekuatan yang Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur.

Terlepas dari tiga alasan di atas yang bersifat sosial dan politis, mereka

percaya bahwa ngaben pribadi adalah pemberian terbaik dengan hati yang

tulus dari mereka sebagai anggota keluarga yang masih hidup agar atman

mendapatkan tempat kahyangan (surga) yang terbaik dengan jalan yang

indah, sehingga dapat mencapai pembebasan dan kesempurnaan (moksa).

Ada kepuasan batin, yang menurut pihak keluarga tidak dapat dihitung

atau diganti dengan uang ratusan juta rupiah yang mereka habiskan untuk

upacara ngaben pribadi ini – sebuah kepuasan batin yang tidak dapat

dihitung dan digantikan dengan uang atau pun harta. Sebagai umat Hindu

Dharma dan juga sebagai etnis Bali, upacara ngaben pribadi adalah

kewajiban utama yang harus dipenuhi oleh anggota keluarga yang masih

hidup – rasa hormat dan penghargaan yang tinggi yang diberikan kepada

atman harus sama seperti ketika masih hidup . Bagi mereka, inilah wujud

ketaatan sebagai seorang Hindu dan juga sebagai seorang Bali, terlebih

setelah mereka berada di Lampung.

Page 101: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

347

Persiapan dan Pelaksanaan Upacara Ngaben Pribadi: Khas

Nusa Penida

Upacara ngaben (pribadi dan massal) merupakan sebuah upacara

yang membutuhkan waktu persiapan yang lama, baik upacara ngaben di

Bali maupun di Lampung. Rata-rata waktu yang dibutuhkan paling cepat

untuk persiapan sekitar empat minggu atau satu bulan. Umumnya bisa

menghabiskan waktu berbulan-bulan, khususnya jika upacara ngaben tidak

dikoordinasikan atau menggunakan sistem manajemen yang efektif dan

efisien.

Upacara ngaben pribadi dalam kasus di Balinuraga membutuhkan

waktu persiapan kurang lebih enam minggu, efektifnya sekitar empat

minggu atau satu bulan. Waktu yang panjang itu digunakan untuk

mempersiapkan bantenan (sesajen) yang jumlahnya banyak dan bervariasi

berdasarkan kebutuhan dan fungsi dari bantenan tersebut untuk kebutuhan

upacara. Selama waktu kurang lebih satu bulan tersebut, semua anggota

keluarga (keluarga inti dan keluarga besar) beserta anggota banjar turut

berpartisipasi aktif – mulai dari bapak-bapak dan ibu-ibu serta pemuda dan

pemudi – untuk membantu persiapan upacara tersebut. Para pria biasanya

mengambil tugas-tugas yang bersifat kasar (pekerjaan berat untuk pria),

seperti membuat tenda, membantu membuat sarana dan prasarana upacara

ngaben, memotong hewan (babi, ayam, dan entok / bebek), piket jaga

malam, dan lain-lain. Kaum wanita, ibu-ibu dan pemudi, tugas utamanya

adalah membuat bantenan dan memasak (membuat kue dan beragam

makanan ringan, minuman kopi, teh dan susu, sarapan, makan siang, dan

makan malam). Peran wanita (perempuan) dalam keberlangsungan acara

ini sangat penting sekali, karena semua urusan logistik perut kaum pria

tergantung penuh dengan pekerjaan kaum wanita. Semua pekerjaan

tersebut dilakukan secara terus menerus selama hampir satu bulan penuh.

Mereka mulai bekerja dari pagi hingga malam. Dua minggu terakhir saat

upacara akan berlangsung kegiatan semakin padat, mereka bekerja hingga

larut malam (lembur), dan menjelang “Hari-H” sebagian besar dari

mereka, kaum pria, tidak tidur sama sekali guna mempersiapan dan

mematangkan pelaksanaan upacara. Sebuah pekerjaan yang melelahkan,

tapi bagi mereka ini merupakan sebuah dharma yang harus mereka

lakukan untuk karma yang baik. Jadi, dalam satu bulan tersebut kegiatan

Page 102: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

348

para anggota banjar yang tinggal di Balinuraga – dalam kasus ini Banjar

Pandéarga – terfokus untuk mempersiapkan upacara ngaben. Pembagian

tugas sangat penting di sini agar tidak terjadi tumpang-tindih. Artinya,

jangan sampai persiapan ini mengganggu kegiatan harian di dalam rumah

tangga setiap anggota banjar. Biasanya setelah urusan rumah tangga

selesai (peran ibu rumah tangga) di pagi hari – seperti bersembahyang,

menyiapkan sarapan bagi anak-anak yang akan ke sekolah, memberikan

makanan untuk babi dan ayam – mereka langsung pergi ke tempat

keluarga yang sedang mempersiapkan upacara ngaben. Untuk bapak-

bapak, setelah di waktu subuh sampai pagi hari telah selesai

bersembahyang dan mengontrol lahan pertaniannya (sawah), mereka akan

langsung pergi ke tempat kegiatan persiapan upacara. Saat kegiatan

persiapan ini berlangsung, para anggota banjar umumnya akan sarapan,

makan siang dan makan malam di tempat ini. Ibu-ibu umumnya tidak lagi

memasak di rumah, tapi memasak di tempat keluarga yang akan

melangsungkan upacara. Selama kegiatan ini berlangsung, makanan dan

minuman selalu ada dan tidak terputus. Semua bahan-bahan pokok

termasuk air mineral berbentuk cup, minuman berenergi sampai bir sudah

disimpan guna memenuhi kebutuhan para anggota banjar yang bekerja.

Sistem kerja yang kolektif ini dan bersifat mengikat anggota banjar

disebut dengan ngayah. Ngayah tidak hanya dalam bentuk tenaga, tapi

juga ada yang menyumbangkan sembako, mulai beras, teh, kopi, minyak

goreng, gas elpiji, minuman ringan, rokok, ayam, babi, bebek, dan lain-

lain. Semua sumbangan ini dicatat oleh pihak keluarga bersangkutan.

Kurang lebih seperti arisan, sehingga jika ada anggota banjar akan

menyelenggarakan upacara ngaben atau upacara lain, maka pihak keluarga

yang bersangkutan akan memberikan sumbangan yang sama, termasuk

sumbangan tenaga. Sumbangan bahan makanan dan minuman ini

sebenarnya wujud dari partisipasi dan solidaritas para anggota banjar.

Jumlahnya tidak ditentukan, tapi berdasarkan kemampuan ekonomi

masing-masing keluarga anggota banjar, karena sebenarnya tanpa

sumbangan ini pun pihak keluarga penyelenggara upacara secara ekonomi

sudah mampu memenuhi segala kebutuhan bagi para anggota banjar yang

ngayah. Contoh sederhananya, jika anggota banjar melihat bahwa

ketersediaan rokok sudah mulai menipis, maka ia akan segera pergi ke

Page 103: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

349

warung atau ke mini market terdekat untuk membeli sejumlah rokok untuk

kebutuhan para pengayah. Oleh karena itu, sangat dimaklumi jika upacara

ngaben membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Paling tidak biaya yang

dikeluarkan, baik biaya yang terlihat dan tidak terlihat, jumlah mencapai

ratusan juta rupiah. Ini yang menyebabkan tidak setiap keluarga mampu

menyelenggarakan upacara ngaben pribadi, dan mengambil solusi

menyelenggarakan ngaben massal.

Gambar 51. Jenis Makan Siang

(Paling tengah dari tiga jejer wadah makanan adalah babi guling: makan khas

Balinuraga dan masyarakat Bali pada umumnya. Makanan ini menjadi hidangan

saat proses persiapan upacara, dan makanan olahan daging babi merupakan

menjadi menu utama)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Waktu dan biaya persiapan dan pelaksanaan upacara ngaben

pribadi yang lama dan besar harus sesuai dengan hasil yang diraih. Untuk

itu, pihak keluarga telah membuat sistem manajemen yang sederhana agar

waktu dan biaya yang telah dikeluarkan tidak sia-sia. Caranya adalah

dengan membuat panitia kerja dan pelaksana, di mana ada ketua panitia,

pelaksana, dan bendahara. Setiap anggota banjar yang ngayah sudah

ditentukan – dan ada yang menentukan sendiri pekerjaan apa yang akan

dia lakukan – jenis pekerjaannya dan spesifikasinya. Misalnya, dalam

persiapan upacara ada yang bertugas membantu membuat bade, wadah,

patuluangan, dan lain-lain (saranan dan prasarana upacara), seperti

mengecat, mendekorasi dan membuat konstruksi, kemudian bertugas di

bidang transportasi, dokumentasi dan informasi, dan lain-lain. Untuk

Page 104: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

350

pekerjaan yang bersifat teknis, seperti membangun fondasi bade, pihak

keluarga menggunakan jasa tenaga dari tukang yang selama ini mereka

gunakan untuk mengerjakan proyek pembuatan sarana dan prasarana

upacara ngaben di tempat lain. Dan ketika, beberapa rangkaian upacara

sedang dilaksanakan, beberapa anggota banjar sudah bersiap dan

menjalankan tugasnya, seperti keanggotaan seka gong: pemain gamelan,

penari tarian wali (tari persembahan / tari wali yang disebut tari baris253

),

gadis-gadis Balinuraga pembawa banten gebogan / pajegan (bantenan

yang disusun vertikal, menjulang ke atas, terdiri dari bahan makanan,

bunga dan buah-buahan yang ketika dibawa / dijunjung ditaruh di atas

kepala), dan lain-lain. Setiap ketua panita dan anggota memiliki

tanggungjawab masing-masing. Tanpa perintah bersifat top-down mereka

bekerja dengan baik, karena dalam proses pemilihan jenis pekerjaan, para

anggota banjar diperkenankan secara demokratis memilih pekerjaan yang

bisa mereka kerjakan dengan baik sesuai dengan keahliannya. Kemudian,

ketua panitia dan anggota banjar bertanggungjawab kepada pihak keluarga

sebagai penyelenggara.

Untuk mempermudah pengidentifikasian para anggota panitia

(anggota banjar), pihak panitia dan keluarga telah membuatkan baju

khusus (kaus berlengan panjang) yang menandakan bahwa mereka adalah

anggota. Baju ini dipersiapkan untuk massa yang mengusung bade ke

setra. Uniknya baju tersebut disponsori oleh sebuah perusahaan swasta

yang memiliki produk obat pembasmi hama tumbuhan (insektisida multi

guna). Bagian depan baju terdapat gambar dan merek produk perusahaan

swasta tersebut, dan bagian belakang bertuliskan “upacara pitra yadnya”

(di atasnya masih dicantumkan nama perusahaan), logo tungku api yang

menyimbolkan upacara pitra yadnya, tanggal upacara, nama almarhumah,

dan tempat berlangsungnya upacara tersebut. Hal ini menjadi cukup unik,

bahwa pihak perusahaan dan pihak panitia (dari anggota keluarga) sama-

sama melihat bahwa upacara ini sebagai ajang untuk promosi dan

253

Tari baris ini dimainkan oleh para pemuda (lajang) yang menjadi anggota seka

gong. Ciri khasnya adalah para penari membawa (senjata) tombak yang terdapat di

pura (milik pura / banjar). Tari baris ini dipentaskan saat ngaskara kajang di Pura

Kawitan (H -1), dan saat Hari-H sebelum para sulinggih dan pihak keluarga

memulai prosesi inti mageseng (pembakaran jenasah).

Page 105: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

351

memperkuat relasi dengan konsumennya. Pihak perusahaan tanpa berpikir

panjang langsung membuatkan baju tersebut sesuai dengan permintaan

pihak panitia upacara, sekaligus sebagai media promosi produknya, karena

mayoritas para peserta dan tamu dalam upacara ini adalah petani (yang

memiliki lahan pertanian) yang berasal dari berbagai tempat di Lampung

dan Sumatera Selatan. Dari pihak perusahaan sendiri, memang sudah

disiapkan anggaran untuk pembuatan baju gratis bagi para konsumennya

sebagai media promosi, sekaligus menarik minat pembeli dengan hadiah

baju. Dari pihak panitia, pengajuan baju ini sebenarnya untuk

membuktikan kesetiaan perusahaan terhadap konsumennya, karena jika

tidak, masih banyak perusahaan lain yang akan membuatkan baju untuk

keperluan upacara sekaligus media promosi. Sebenarnya pihak perusahaan

hanya menambahkan nama upacara, tanggal, nama almarhumah, dan

tempat di bagian belakang baju, dan tinggal meminta tukang sablon untuk

menambahkannya: sebuah hubungan mutualisme yang saling

menguntungkan kedua belah pihak. Bagi massa, pemberian baju khusus ini

seperti semacam penghargaan tersendiri dari pihak keluarga dan pihak

panitia, bahwa mereka ikut berpartisipasi aktif dalam upacara tersebut.

Mereka sangat senang dengan baju khusus tersebut, artinya setelah

digunakan saat upacara inti (memberangkatkan bade ke setra), baju

tersebut dapat digunakan saat bekerja di sawah atau pun sebagai baju

santai sehari-hari, sekaligus mengingat keterlibatan mereka dalam upacara

tersebut (baju kenang-kenangan dari pihak panitia dan keluarga).

Page 106: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

352

Gambar 52. Kaus Panita Bersponsor

(Sebelah kiri: bagian belakang kaus; kanan: bagian depan kaus)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Acara inti dari upacara ngaben pribadi ini berlangsung selama

empat hari dengan satu hari acara puncak, yaitu pembakaran pitra dan

nganyut abu. Ini bukan berarti upacara dan ritual lain tidak memiliki arti

dan nilai penting. Setiap ritual dan acara dalam upacara ngaben pribadi

memiliki arti dan nilai penting tersendiri serta keberfungsiannya. Oleh

karena itu, pihak keluarga sangat menginginkan persiapan yang memakan

waktu efektif satu bulan penuh tersebut dan biaya yang besar berjalan

sukses saat berlangsungnya Hari H. Di bawah ini adalah Jadwal Kegiatan

Upacara yang disusun oleh panitia upacara ngaben pribadi (dicatat

kembali oleh penulis seperti aslinya, tidak ada penambahan dan

pengurangan:

Page 107: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

353

No. TGL KEGIATAN PEMUPUT

1 30

September

2010

Ngendag Atma ke Setra Mangku

Puniatmaja

2 2 Oktober

2010

A. Ngaskara Kajang ke Pura Kawitan

Pandé Soyor

Langsung Murwa Daksina Desa

B. Ngangget Beringin Pura Soyor

C. Ngeringkes / Ngaskara

D. Merelina / Mati Lampu.

Sembahyang Keluarga Besar di

Peyadya

E. Meras Wadah

A. Mpu Galuh

B. Mangku Guru

Rsi

C. Ide Rsi Tri

Windu

E. Mangku

Sudama

3 3 Oktober

2010

(A)

A. Pemberangkatan Bade ke Setra

B. Upacara Pengiriman / Ngaskara ke

Setra

C. Nganyut Abu

(B) Ngeroras

A. Mecaru / Ngeresi Gana

B. Ngulapin Sekah Kurung ke

Prapatan

C. Nyatur

(A)

B. Ide Rsi

C. Mangku Nata

(B)

A. Ide Rsi

B. Mangku Sana

C. Empu Galuh

4 4 Oktober

2010

A. Nganyut Langsung Ngulapin ke

Segara

B. Ngelinggihin ke Sanggah

A. Mangku Gita

B. Empu Galuh

Tabel 2. Jadwal Kegiatan Upacara

Jadwal Acara Kegiatan ini dipasang pada dinding bale yang ada di

depan rumah, tempat di mana sesaji (bantenan) dan arwah almarhumah

ditempatkan (biasa disebut bale semanggen): terdiri dari empat upacara

inti, dan satu upacara puncak di tanggal 3 Oktober 2010. Dengan

demikian, setiap anggota banjar (anggota panitia) dapat melihat jadwal

tersebut. Tujuannya adalah segala persiapan yang dilakukan bisa

difokuskan pada setiap rangkaian ritual dan upacara yang telah

dijadwalkan. Misalnya, siapa yang bertugas menjemput dan menghubungi

Page 108: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

354

sulinggih, menyiapkan sound system, menyiapkan gamelan Bali di teras

rumah, koordinator saat rangkaian upacara mulai dilakukan, gladi kotor

dan gladi bersih seka gong, massa yang akan mengusung bade dan wadah,

menyusun dan mengelompokkan bantenan yang telah dibuat untuk setiap

rangkaian ritual dan upacara, dan lain-lain.

Gambar 53. Jadwal Kegiatan Upacara

(Sumber: Yulianto, 2010)

Page 109: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

355

Gambar 54. Bale Semanggen

(Atas: dari sudut depan; bawah: tampak samping)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Page 110: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

356

Rangkaian ritual dan upacara di atas merupakan model umum

yang biasa digunakan atau berlaku dalam masyarakat Bali, baik di Bali

maupun di Lampung254

. Perbedaan yang terjadi biasanya bersifat teknis

saat upacara dilaksanakan, untuk mempermudah dan mempersingkat (tidak

dijadikan berbelit-belit), tapi inti atau esensi dari upacara tersebut tetap

sama. Misalnya, upacara Nyekah (ngaskara/nagaskara, ngeringkes) –

upacara penyucian roh leluhur yang disimbolkan dengan daun beringin –

yang biasa dilaksanakan setelah upacara ngaben, oleh pihak keluarga dan

panitia dilaksanakan sehari sebelum upacara ngaben. Tujuannya agar

jadwal kegiatan upacara tidak menumpuk pada satu hari sehingga

pelaksanaan upacara menjadi lebih mudah dan fokus serta terealisasi

dengan maksimal.

Dalam pelaksanaannya ada yang mencirikan atau menjadi ciri khas

ngaben versi Nusa Penida. Ini yang membedakan pelaksanaan ngaben

yang biasa berlaku di Bali dan Bali di Lampung, yaitu (1) Murwa Daksina

Desa, melakukan pawai atau arak-arakan sarana pengusung jenasah

(dadong brayut dan gedong) dan patulangan lembu (sarana untuk

membakar jenasah) mengelilingi desa, tepatnya di Banjar Pandéarga

(Pura Kawitan Warga sebagai pusatnya) dan Tugu Desa (pusat desa).

Intinya adalah bagaimana arwah almarhumah yang telah “dihidupkan” dan

“disucikan” – disimbolkan dengan ranting / daun beringin yang ada di Pura

Kawitan yang telah dibungkus kain putih (ngaskara, sekah, ngangget

beringin), setelah sebelumnya ada ritual penghidupan atau pemanggilan

arwah oleh anggota keluarga yang dipimpin seorang sulinggih (mpu dari

Warga Pandé) – diperkenalkan kembali dengan lokasi tempat tinggalnya

sewaktu masih hidup. Diibaratkan arwah tersebut seperti seorang tamu

yang sebelum diajak menginap atau tinggal di sebuah tempat (merajan)

254

Ada tiga tahapan dalam upacara pitra yadnya yang bersifat umum (Titib 2003),

yaitu (1) ngaben, palebon, atau atiwa-atiwa. Tujuannya untuk membebaskan roh

(atma) dari ikatan badan wadag (fisik) melalui pembakaran jenasah, dengan

demikian atma akan bebas untuk mencapai kelepasan; (2) nyekah, ngeroras,

mamukur atau maligya. Tujuannya menyucikan roh leluhur. Simbol roh dibuat

dari daun beringin; (3) atmapratistha, devapitrapratistha atau ngalinggihang

dewahyang. Tahapan terakhir dalam upacara, roh leluhur yang sudah dipandang

suci disthanakan di tempat suci untuk dipuja oleh anak cucu keturunannya.

Page 111: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

357

yang baru, dikenalkan terlebih dahulu dengan tempat atau lokasi yang ada

di sekitarnya, agar menjadi lebih familiar dengan daerah tersebut.

Gambar 55. Proses Ngangget Beringin / Ngaskara

(Pihak keluarga mengangget daun beringin yang akan digunakan sebagai simbol

roh leluhur)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Page 112: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

358

Gambar 56. Pentas Tari Baris di Pura Kawitan saat Upacara Ngaskara

(Sumber: Yulianto, 2010)

Page 113: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

359

Gambar 57. Pihak Keluarga dan Massa Melakukan Pawai Desa setelah

Upacara Ngaskara

(Atas: pihak keluarga dan massa menuju Tugu Desa; bawah: pihak keluarga dan

massa memutari Tugu Desa)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Page 114: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

360

Ciri khas Nusa Penida dalam ritual ini adalah dalam proses pawai

atau arak-arakan. Pawai atau arak-arakan ini diikuti oleh massa banjar,

diiringi dengan permainan gamelan Bali oleh seka gong, dengan

mengelilingi banjar Pandéarga (pusatnya adalah Pura Kawitan Warga

Pandé di Banjar Pandéarga) dan Desa Balinuraga – mengelilingi Desa

Balinuraga dimanifestasikan dengan memutari tugu desa yang menjadi

sentral Desa Balinuraga, kemudian sulinggih melepaskan anak panah

(entas / mengentas) ke tugu desa yang menyimbolkan melepaskan ikatan

Panca Maha Bhuta (keterikatan unsur duniawi) yang mengikat atma

(bagian dari upacara ngeringkes / ngaskara / pabersihan / upacara

penyucian roh). Pawai atau arak-arakan dilakukan dengan suka cita dan

antusiasme dari massa yang terlibat dalam arak-arakan ini, yaitu dengan

menggoyang-goyangkan petulangan (wadah jenasah yang masih kosong)

saat diusung oleh sejumlah orang, dan sorak-sorai saat sulinggih

melepaskan anak panah ke tugu desa (mengentas). Menurut mereka, ini

merupakan sebuah ritual / rangkaian upacara yang meriah, sama seperti

yang dilakukan masyarakat Bali di Nusa Penida; (2) Pemberangkatan bade

ke setra (kuburan) yang berlokasi di Pura Dalem Desa Balinuraga. Ini

merupakan rangkaian dari acara puncak pembakaran jenasah (mageseng),

yaitu membawa bade ke lokasi pembakaran jenasah di Pura Dalem. Ciri

khas pemberangkatan bade ke setra yang menjadi ciri khas Nusa Penida

adalah: massa yang jumlahnya lebih dari seratus orang (terdiri dari pria

yang berfisik kuat dan sehat) menggotong bade yang beratnya lebih dari

lima ton dengan berlari sepanjang setengah kilometer dari rumah keluarga

ke lokasi setra di Pura Dalem. Di dalam bade tersebut terdapat sejumlah

anggota keluarga dan beberapa sulinggih yang akan memuput upacara

pembakaran jenasah serta beberapa orang sambil memainkan gamelan

Bali. Pemberangkatan bade yang dilakukan dengan berlari (cukup cepat,

sesuai dengan berat dan jumlah massa yang menggotong bade), diikuti

dengan massa (masyarakat desa) yang berlari mengikuti arah bade yang

menuju Pura Dalem. Kemudian, diikuti oleh beberapa orang yang

mengusung dadong brayut, petulangan, dan gedong dengan turut serta

berlari mengikuti massa yang menggotong bade dan menggoyang-

goyangkannya dengan antusias – bisa digoyang-goyangkan karena

beratnya ringan, cukup digotong oleh beberapa orang (lima sampai sepuluh

Page 115: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

361

orang). Pemberangkatan bade ke setra ini diiringi dengan seka gong yang

memainkan gamelan Bali dengan sangat antusias, dan massa yang bersorak

sorai. Pemberangkatan bade ke setra dengan berlari dan diikuti dengan

jumlah massa yang besar yang juga ikut berlari serta diringi dengan

permainan gamelan Bali yang meriah oleh seka gong dan sulinggih yang

berada di atas bade adalah ciri khas prosesi ngaben di Nusa Penida.

Page 116: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

362

Gambar 58. Arak-Arakan Massa Memberangkatkan Bade ke Setra

(Sumber: Yulianto, 2010)

Page 117: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

363

Fakta ini menunjukkan kuatnya ikatan tanah leluhur (Nusa Penida)

bagi masyarakat Bali Nusa di Balinuraga yang tetap mereka lestarikan

dalam setiap upacara penting. Dalam kasus ini diwujudkan sampai pada

persoalan teknis seperti pemberangkatan bade ke setra dengan berlari,

karena bagi mereka dalam persoalan teknis tersebut terdapat ciri khas yang

mewakili identitas mereka sebagai Bali Nusa yang ada di Lampung dan

identitas Bali Hindu pada umumnya (pada upacara ngaben yang mewakili

identitas Bali Hindu yang ada di Lampung). Menurut mereka upacara

ngaben di Nusa Penida selalu diikuti dengan massa yang besar, meriah dan

ramai oleh sorak sorai massa yang berlari, dan tenaga yang diperoleh oleh

massa saat menggotong bade yang beratnya berton-ton sambil berlari

diperoleh dari kekuatan niskala yang diterima dari Sang Hyang Widhi

Wasa; dan ini tetap mereka praktekkan dan lestarikan ketika

menyelenggarakan upacara ngaben di Balinuraga, Lampung. Massa begitu

antusias ketika menggotong / mengangkat sarana dan prasarana ngaben,

terutama bade, dikarenakan mereka percaya bahwa ada karma baik yang

akan mereka terima dari Sang Hyang Widhi Wasa, dan wujud bakti serta

hormat yang mendalam kepada atma almarhumah. Selain itu, ada

kebanggaan tersendiri jika mereka bisa memberikan tenaganya untuk

mengusung bade yang beratnya berton-ton tersebut.

Peristiwa unik yang terjadi saat upacara puncak, mageseng

(pembakaran jenasah), adalah turunnya hujan yang sangat deras, disertai

dengan angin kencang dan kilatan petir. Sebelum pemberangkatan bade ke

setra hujan lebat sudah turun mengguyur Desa Balinuraga. Hujan berhenti

saat bade akan diberangkatkan oleh massa ke setra (Pura Dalem).

Kemudian, hujan lebat disertasi angin kencang dan kilatan petir turun

kembali saat bade sudah sampai di setra, yaitu ketika upacara pembacaan

doa dan pentas tari baris dimainkan. Meskipun demikian, upacara

pembakaran jenasah tetap dilaksanakan, dan uniknya, hujan semakin

menjadi lebat, angin semakin kencang berhembus, dan kilatan petir

semakin sering terjadi. Fakta yang terjadi adalah dalam kondisi seperti itu

(hujan deras disertasi angin kencang), bade yang di dalamnya sudah

terdapat patulangan / tumpangan (tempat jenasah diletakkan) dapat

terbakar dengan sempurna – api berhasil menyala dengan besar dan

Page 118: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

364

membakar seluruh bade dan pitra. Kejadian ini akan dibahas pada bagian

berikutnya, yaitu bagaimana tafsir warga, terutama anggota keluarga, atas

peristiwa yang terjadi saat mageseng. Sebuah peristiwa yang sangat langka

dan jarang terjadi saat upacara puncak ngaben, mengingat Desa Balinuraga

terkenal dengan kekuatan magisnya dalam mendatangkan atau pun

menolak hujan.

Poin penting yang dalam persiapan dan pelaksanaan upacara

ngaben pribadi ini adalah: (1) banjar atau komunitas adat-keagamaan

merupakan basis dari kekompakkan dan kesolidan masyarakat Bali Nusa

di Desa Balinuraga. Dalam kasus ini dapat dibuktikan dari keterlibatan

aktif anggota banjar dalam penyelenggaran upacara ngaben pribadi salah

anggota keluarga dari anggota banjar-nya, mulai dari persiapan sampai

pelaksanaan upacara puncak. Melalui upacara ngaben rasa kekeluargaan

dan solidaritas semakin diperkuat, dan mengumpulkan kembali “para

perantau” asal Balinuraga dari banjar tersebut. Kekuatan massa dari setiap

banjar dapat dilihat atau “dipentaskan” kepada khalayak ketika acara

puncak dilaksanakan, terutama saat pemberangkatan bade ke setra.

Kekuatan massa yang lebih besar “dipentaskan” lebih terbuka ketika

upacara ngaben massal, karena melihatkan banyak keluarga dari berbagai

banjar dan warga tertentu, baik di Desa Balinuraga maupun dari beberapa

perkampungan Bali lain di Lampung dan Sumatera Selatan; (2) sistem

manajemen sederhana melalui pembagian tugas dengan pembentukkan

panitia telah diadopsi oleh anggota banjar dan pihak keluarga, agar

persiapan menjadi lebih efektif dan efisien. Intinya adalah bagaimana

biaya besar yang sudah dikeluarkan oleh pihak keluarga tidak semakin

membesar – penghematan – dan tenaga yang telah dikeluarkan oleh panitia

sebanding dengan hasil yang dicapai sesuai dengan yang diharapkan. Hal

ini dapat dibuktikan bahwa hasil yang mereka dapatkan – dari pembuatan

sarana dan prasarana ngaben pribadi dan bantenan – bahwa jumlah biaya

yang dikeluarkan oleh pihak keluarga (dalam kisaran seratusan juta rupiah)

mendapatkan hasil yang lebih baik daripada upacara ngaben massal yang

dulu pernah diselenggarakan di Balinuraga dengan menghabiskan biaya

ratusan juta rupiah (di atas setengah miliyar rupiah). Menurut pihak panitia

dan keluarga, inti dari prosesi ngaben adalah di efisiensi dan efektifitas,

Page 119: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

365

baik biaya maupun tenaga tapi dengan hasil yang maksimal. Dalam

beberapa diskusi di kalangan mereka, pola ini akan diterapkan jika akan

diselenggarakan upacara ngaben berikutnya, massal dan pribadi; (3)

konsistensi dan kebulatan tekad dari pihak keluarga dan penyelenggara

untuk tetap menyelenggarakan pembakaran jenasah meskipun kondisi

alam sangat tidak memungkinan – pembakaran jenasah di tengah hujan

lebat disertai angin kencang. Ini menunjukkan kuatnya kepercayaan

mereka akan kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa (kekuatan niskala) dan

wujud dari konsistensi mereka akan sebuah rencana yang telah mereka

susun sejak jauh-jauh hari – waktu persiapan yang lama dan biaya yang

besar; (4) upaya rekonsiliasi antar dua kubu warga yang bersitegang. Pihak

keluarga selaku pihak penyelenggara upacara dan wakil warga tetap

mengundang warga lain yang bersitegang dengan warga dari pihak

keluarga. Sebagai penghormatan kepada pihak warga lain tersebut, pihak

keluarga memberikan wewenang kepada sulinggih dari warga tersebut

untuk ikut muput upacara pitra yadnya, dan diberikan kehormatan

menyalakan api suci untuk membakar bade dan jenasa di dalamnya.

Hujan Deras Saat Upacara Pembakaran Pitra

Idealnya upacara ngaben dilaksanakan pada hari baik berdasarkan

perhitungan yang telah dilakukan oleh pihak keluarga dan para ahlinya –

biasanya diwakili oleh sulinggih warga. Sebuah hari baik berdasarkan

kepercayaan mereka sebagai Bali Hindu. Dikatakan hari baik tidak hanya

terkait bahwa di hari tersebut – Hari-H saat berlangsungnya pembakaran

jenasah – dipercaya tidak ada halangan dari dunia lain yang merintangi

proses perjalanan atma menuju kahyangan (dunia niskala), tapi juga yang

terpenting adalah keadaan cuaca yang riil terjadi di Hari-H. Artinya, Hari-

H dikatakan hari baik jika Hari-H yang ditentukan sudah berdasarkan

ketentuan yang berlaku dalam tradisi dan kepercayaan mereka, dan saat

Hari-H diberlangsungkan upacara puncak mageseng (pembakaran pitra)

cuaca dalam keadaan cerah, tidak turun hujan.

Sudah menjadi sebuah kelaziman bagi mereka untuk

menghadirkan pawang hujan terutama di saat musim penghujan agar hujan

tidak turun saat upacara puncak dilangsungkan. Dalam kasus ngaben

pribadi ini, kenyataan yang terjadi adalah hujan deras turun justru di saat

Page 120: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

366

pembakaran jenasah dilakukan. Pihak keluarga tidak menghadirkan secara

khusus pawang hujan untuk mencegah atau memindahkan hujan ke tempat

lain selama proses pembakaran jenasah dilakukan. Mereka pun tidak

mengira bahwa hujan deras akan mengguyur lokasi setra yang menjadi

tempat pembakaran jenasah dilaksanakan, karena selama persiapan

dilakukan dan dua upacara inti dilaksanakan hujan tidak turun. Ini bukan

berarti di banjar ini tidak ada yang memiliki kemampuan sebagai pawang

hujan, justru dari pihak keluarga ada yang memiliki kemampuan ini. Di

samping itu, mereka percaya bahwa hujan tidak akan turun saat upacara

pembakaran jenasah dilakukan.

Hari pertama dan kedua pelaksanaan upacara inti cuaca sangat

kondusif. Penulis melihat sendiri bagaimana awan mendung – yang pasti

akan turun hujan – mendadak bergeser ke lokasi lain: gerimis sempat turun

beberapa menit, kemudian cuaca menjadi terang. Menariknya hujan turun

dilokasi lain yang berdekatan dengan lokasi upacara inti akan

dilaksanakan. Bade yang dibuat sedemikian indahnya dengan biaya

mencapai ratusan juta rupiah tidak terguyur hujan. Pagi hari di Hari-H tiba-

tiba awan mendung berwarna putih sudah menyelimuti Desa Balinuraga –

jika awan mendung berwarna putih maka hujan akan berlangsung lama

dengan intensitas deras. Hujan turus dengan derasnya di pagi itu, saat para

tamu dan undangan datang ke rumah keluarga untuk menerima kata

sambutan dan ikut serta dalam pemberangkatan bade ke setra. Menariknya

hujan tiba-tiba berhenti, awan masih mendung putih, ketika massa sudah

berkumpul dan bersiap-siap untuk mengangkat bade yang beratnya berton-

ton tersebut. Hujan tetap tidak turun saat massa memberangkatkan bade ke

setra. Hujan deras kembali turun setelah bade sampai ke setra, dan saat

prosesi upacara akan dimulai: pentas tari baris, kata sambutan dari pihak

keluarga, camat, PHDI, dan sulinggih. Hujan semakin deras dengan

hembusan angin kencang dan sambaran kilat (petir) saat upacara inti akan

diberlangsungkan (menyalakan api suci ke bade oleh sulinggih dan

anggota keluarga, dan pembacaan doa suci “puja siwa” untuk mengiri

proses pembakaran jenasah) dan terus terjadi sampai api berhasil

membakar keseluruhan bade dan pitra di dalamnya. Akibatnya, massa

yang hadir berhamburan keluar dari lokasi pembakaran jenasah, sebagian

berteduh di Pura Dalem dan sebagian besar lainnya pulang ke rumahnya

Page 121: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

367

masing-masing karena hujan tidak reda dan semakin deras, yang tersisa

hanya anggota keluarga, panitia, tamu undangan dan sulinggih.

Air versus api. Ini yang menjadi perhatian para anggota keluarga

dan sulinggih. Pemenangnya adalah api, yang menyimbolkan Dewa

Brahmana, khususnya Dewa Api (Dewa Agni) yang menjadi pelindung

dari Warga Pandé sebagai pihak keluarga yang menyelenggarakan ngaben

pribadi. Api berhasil membakar bade dan pitra: upacara ngaben pribadi

berlangsung sukses di tengah hujan deras yang mengguyur lokasi Pura

Dalem (lokasi setra). Api membakar seisi bade dan pitra dengan

sempurnanya.

Page 122: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

368

Page 123: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

369

Gambar 59. Proses Pembakaran Jenasah di Tengah Guyuran Hujan Deras

(Mulai dari gambar pertama di sudut kiri paling atas: (1) keluarga mulai menyulut

api ke bade; (2) api berhasil menyala kecil; (3) api mulai meyala besar dari bawah

ke atas bangunan bade; (4) api mulai berhasil membakar jenasah yang diletakkan

di sudut kanan atas bade; (5) api mulai menghanguskan seisi bangunan bade; (6)

bade dan jenasah berhasil diabukan oleh api di tengah guyuran hujan deras dan

genangan air.)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Tanpa memihak, tetap bersikap netral dan tidak membawa uraian

ke wilayah metafisika, penulis yang menyaksikan kejadian tersebut secara

langsung cukup terkejut ketika api berhasil membakar dengan sempurna

seisi bade dan pitra di tengah hujan deras dan angin kencang. Keadaan

waktu itu yang terjadi adalah bade beserta kayu bakar dan ban bekas sudah

basah. Secara ilmiah yang mendukung kesempurnaan kerja api saat

pembakaran jenasah dilakukan adalah ban bekas (ban mobil, berbahan

dasar karet, bahan yang mudah terbakar), minyak tanah yang jumlah

mencapai beberapa galon besar (kurang lebih mencapai seratus liter), dan

angin kencang. Sebenarnya inti dari proses pembakaran itu bisa terjadi

dengan sempurna setelah ban bekas berhasil terbakar, kemudian secara

terus menerus disiram dengan minyak tanah. Ban bekas ditaruh di bagian

bawah bade sampai ke bagian atas bade di mana patulangan yang di

dalamnya berisi pitra diletakkan. Setelah api sudah mulai berhasil

menyala, minyak tanah terus disiram ke seluruh isi bade, terutama di

bagian bawah (tempat kayu bakar yang telah basah ditempatkan) dan

bagian atas (tempat jenasah di letakkan di dalam wadah / patulangan).

Ketika api sudah cukup besar, minyak tanah tetap disiramkan dalam

jumlah yang mulai berkurang daripada sebelumnya, tapi api semakin

membesar karena dibantu dengan hembusan angin yang besar. Akibatnya,

api berhasil berkobar dengan besar di tengah guyuran hujan deras dan

membakar seluruh isi bade dan pitra. Artinya, proses pembakaran jenasah

berjalan sukses di tengah guyuran hujan deras. Seorang sarjana kimia,

yang berasal dari anggota keluarga, mengatakan bahwa ketika api sudah

berhasil menyala (istilah mereka: api sudah matang), air hujan sudah tidak

berpengaruh, justru (bukan membenarkan, tapi sebuah perkiraan)

kandungan hidrogen (H2) dan okigen (O) yang ada di dalam “air” hujan

turut membantu proses pembakaran dengan dibantu hembusan angin yang

Page 124: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

370

kencang dan ban bekas (bahan karet yang mudah terbakar dan sulit

dipadamkan).

Spekulasi bermunculan di kalangan anggota keluarga dan banjar

(selaku panitia) bahwa hujan ini “sengaja” didatangkan saat upacara

puncak (mageseng) oleh pihak tertentu yang selama ini terlibat dalam

perang dingin antar dua kubu warga di Desa Balinuraga – mengingat pihak

keluarga dan panita tidak menggunakan pawang hujan. Menurut mereka

ada pihak yang tidak senang saat upacara ngaben pribadi ini

dilangsungkan. Tanpa perlu disebutkan secara jelas, mereka sudah tahu

siapa pihak tersebut, karena hanya ada satu warga yang selama ini

bersiteru dengan warga yang menyelenggarakan upacara ngaben pribadi.

Spekulasi ini semakin kuat ketika sebagian besar warga yang bersiteru

tidak hadir saat upacara ini diselenggarakan, sebagian besar hanya

menonton arak-arakan massa saat memberangkatkan bade ke setra –

meskipun sulinggih dari warga tersebut turut hadir dalam upacara puncak

dan diberikan satu kehormatan besar secara simbolis untuk menyalakan

“api suci” untuk membakar bade. Pihak keluarga tidak membenarkan (dan

tidak juga menyalahkan) spekulasi yang berkembang saat itu, karena tidak

ingin mempertajam konflik di antara kedua warga, dan suasana dalam

upacara ngaben pribadi ini merupakan suasana duka cita. Bagi pihak

keluarga yang terpenting adalah upacara puncak berjalan dengan sukses:

“api berhasil mengalahkan air”. Menurut pihak keluarga, kesuksesan

upacara ngaben ini sangat besar artinya karena ada rintangan. Tentu tidak

dapat dikatakan sukses besar jika upacara ngaben berlangsung dalam

cuaca yang kondusif. Bagi mereka, dan dibenarkan oleh para sulinggih, ini

adalah wujud dari keteguhan hati umat sebagai Hindu Dharma, dan tidak

pada tempatnya berspekulasi menyudutkan pihak lain. Pihak keluarga

menambahkan, kesuksesan ini menunjukkan kebesaran Sang Hyang Widhi

Wasa, dan menjadi contoh bagi umat Hindu Dharma di Balinuraga bahwa

ketulusan hati dan kebulatan tekad dalam penyelenggaran upacara ngaben

pribadi ini tidak dapat dihalangi atau dirintangi oleh apa pun termasuk

hujan. Hujan adalah ujian atau cobaan bagi mereka. Buktinya adalah

upacara puncak berlangsung sukses. Rasa haru dan sorak sorai

diekspresikan secara terbuka (meneteskan air mata, bertepuk tangan, dan

melompat-lompat kegirangan) ketika api berhasil membakar habis seluruh

Page 125: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

371

isi bade dan pitra – dan ketika itu juga, sebenarnya spekulasi tersebut

“hancur” (khususnya dari pihak keluarga dan anggota banjar pada

umumnya), tidak perlu diperdebatkan dan dipertajam (spekulasi tersebut)

karena proses pembakaran jenasah telah berhasil (dan secara ilmiah

sejatinya dapat berhasil dilangsungkan).

Bade dan Patulangan versi Kreasi Balinuraga

Ciri khas dari upacara ngaben pribadi di Balinuraga ini adalah

bentuk dan arsitektur bade yang sudah modern, invotif, dan kreatif – tanpa

menghilangkan makna bade tersebut sebagai tempat di mana jenasah

ditempatkan di puncak (tumpang) menara bade. Jumlah tumpang tidak

dipermasalahkan bagi mereka sebagai golongan jaba. Warga Pandé

(biasanya) menggunakan tumpang sembilan, sedangkan Warga Pasek

(biasanya) menggunakan tumpang tujuh (simbol Tujuh Pendeta / Rsi yang

menjadi leluhur Warga Pasek). Jadi, tidak ada batasan atau perarturan

ketat yang melarang mereka (golongan jaba) untuk menggunakan jumlah

atap tumpang yang berjumlah ganjil ini (khususnya mulai dari yang

tertinggi 9, 7, 5, 3, dan 1; di Bali pada masa kerajaan tumpang 11 biasanya

digunakan oleh raja, 9 menteri, dan 7 patih). Menurut mereka, setelah di

Lampung mereka bebas berkreasi dan berinovasi, jumlah atap tumpang

tidak menjadi perdebatan, asalkan pihak keluarga secara ekonomi mampu

membuatnya.

Keunikkan bade ini terletak pada desainnya yang modern. Bade

dibuat menyerupai bangunan pura dan rumah seperti yang umumnya

dimiliki masyarakat Bali Hindu. Jadi, tidak menonjolkan keberadaaan

jumlah atap tumpang seperti bale tempo dulu yang digunakan masyarakat

Bali pada umumnya. Tingginya atap tumpang ditonjolkan dengan

bangunan bade yang tinggi atau susunannya menyerupai menyerupai

bentuk atau bangunan pura. Setiap sudut (empat sudut) bangunan bade

dibuatkan sebuah paduraksa (penyangga sudut seperti di pura). Di bagian

depan bade (bagian bawah atau tingkat pertama dari badan bade)

dibuatkan sebuah gapura (biasa disebut: angkul-angkul). Di gapura

tersebut terpampang foto dan nama almarhumah, dan tulisan “Upacara

Pitra Yadnya”, yang di atasnya (gapura) diberikan sebuah rangkaian

bunga. Bagian depan ini dibuat seperti halaman depan perkarangan rumah

Page 126: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

372

yang bercorakkan Bali Hindu, yaitu keberadaan sebuah gapura. Unikknya,

masih di bagian yang sama, seperti layaknya perkarangan sebuah rumah,

dibuatkan sebuah kolam kecil yang bisa diisikan air yang dilengkap

dengan taman bunga dan empat buah tempat lampu (sejenis lampu taman

yang biasa ada di perkarang rumah, masing-masing berjumlah dua di sisi

kiri dan sisi kanan). Kemudian, di samping dinding bade, sisi kiri dan

kanan, dipasangkan umbul-umbul dengan kain dasar berwarna emas

berlukiskan naga yang berwarna hijau.

Bagian kedua dari bangunan bade adalah bagian tengah. Sama

seperti di bagian depan, pada bagian tengah ini dibuatkan sebuah gapura,

dan dibuatkan sebuah tangga (lima anak tangga) dari bagian depan ke

bagian tengah. Bagian tengah ini terdapat sebuah ruang kosong agar nanti

pihak keluarga dan sulinggih berserta gamelan Bali bisa menempatinya

saat pemberangkatan bade ke setra. Bagian pertama dan bagian kedua dari

bangunan bade ini melambangkan dunia atau “alam tengah” (bhuva-loka)

atau disebut “gunungan”. Tempat ini merupakan penghubung atau sebagai

peralihan antara alam bumi dan surga. Karenanya, di bagian ini (bagian

pertama) dibuatkan hiasan yang menyerupai taman atau perkarangan,

sebagai simbol “alam tengah” atau “bumi”.

Bagian atas adalah bagian utama dari bangunan bade. Biasa

disebut “tumpang” yang melambangkan alam surga. Di sisi kiri bagian atas

dibuatkan (seperti) bukur (madya) – bentuknya seperti prasada – yang

bertumpang sembilan255

. Pada bagian belakang bukur pada bagian

tengahnya ditempelkan sebuah replika ukiran barong, dan di atasnya

(barong) ditempelkan daun enau (jika dilihat dari depan tampak seperti

sayap atau mahkota). Di sisi kanan bagian atas dibuatkan replika banguan

suci seperti gedong yang bagian tengahnya disediakan satu ruang kosong.

Ruang kosong di bagian tengah ini nantinya akan ditempatkanya

patulangan lembu (wadah jenasah) yang sudah berisikan jenasah saat

upacara pembakaran dimulai. Jadi, bagian atas dari bangunan bade ini

merupakan bagian terpenting, di mana jenasah ditempatkan. Pihak

255

Tumpang sembilan tidak secara eksplisit ditonjolkan di dalam bangunan bade.

Hal ini dikarenakan modifikasi bangunan bade yang lain daripada yang lain, atau

lebih dikarenakan persoalan teknis dan keindahan bangunan bade. Tumpang

sembilan biasa digunakan oleh Warga Pandé di Balinuraga.

Page 127: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

373

keluarga, yang merupakan arsitek dari bade ini, menciptakan bade dalam

bentuk yang lain daripada yang lain, menyerupai sebuah rumah dan pura

bertujuan agar atma almarhumah mendapatkan tempat yang terbaik dan

merasa nyaman.

Di setiap bagian bagian bade dihiasi dengan berbagai hiasan, baik

yang terbuat dari kertas berwarna untuk replika ukir-ukiran, atau pun yang

terbuat dari bunga dan daun segar. Hiasan ini berfungsi untuk

memperindah bangunan bade agar bisa dinikmati keindahannya oleh

semua kalangan. Warna dominan dari bade ini adalah merah terang (merah

yang menyala). Ini adalah simbol atau ciri khas dari identitas Warga

Pandé: api yang menyimbolkan Dewa Api manifestasi dari Dewa

Brahmana. Setiap lantai bangunan bade (lantai dasar, tengah dan atas)

beralaskan karpet hijau, dan juga pada dinding bagian bawah.

Bagian bawah bangunan bade adalah fondasi bangunan bade yang

setinggi pinggang orang dewasa. Fondasi ini terbuat dari bambu tua yang

kuat (biasa disebut: sanan) dan kayu balok kualitas terbaik (kuat): kayu

balok merupakan penopang atau tiang utama bagunan bade (vertikal),

sedangkan bambu adalah fondasi tambahan untuk memperkuat kayu yang

ditempatkan horisontal dan bambu yang panjangnya melebar ini digunakan

sebagai tempat bagi masing-masing massa untuk memikul bade. Bagian

bawah ini, fondasi bade, merupakan lambang dari dunia bawah (bhuh-

loka). Fondasi ini adalah bagian terberat dari keseluruhan bangunan bade,

karena nantinya saat akan diberangkatkan ke setra di atasnya (di dalam

bangunan bade) akan diisi oleh beberapa anggota keluarga, panitia

(pemimpin massa dari atas dan beberapa anggota seka gong), dan

sulinggih – selain berat kayu dan bambu yang menjadi fondasi bade itu

sendiri. Setiap jarak kurang lebih setengah meter pada rangka fondasi

merupakan ruang dan tempat untuk masing-masing massa agar bisa

dengan mudah menggotong bade dan memungkinkan mereka untuk

menggotongnya sambil berlari – rangka bade pada bagian luar yang

berbahan bambu dibuat memanjang agar tangan dan pundak masing-

masing massa bisa memikul berat bade, kecuali di bagian dalam fondasi

atau di bawah bangunan bade. Ruang kosong yang disediakan pada

fondasi untuk pegangan tangan dan sanggahan bahu masing-masing massa

berjumlah kurang lebih seratus buah. Dalam prakteknya, yang menggotong

Page 128: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

374

bade ini bisa memuat lebih dari seratus, akibatnya ada yang terhimpit

ketika massa mulai membawanya dengan berlari. Oleh karena itu, massa

yang bertugas membawa bade ini ke setra dengan jarang kurang lebih

setengah kilometer – dari rumah ke setra – harus pemuda atau laki-laki

yang sehat dan berfisik kuat. Ruang kosong yang berada di bawah fondasi

ini, nantinya ditaruh kayu bakar dan ban bekas saat akan dilakukan upacara

pembakaran jenasah. Dari bagian fondasi, bagian paling bawah, disediakan

sebuah tangga untuk menuju ke bagian depan (halaman depan,

perkarangan depan bangunan bade) bangunan utama bade yang terdapat

sebuah gapura, taman, lampu taman, dan umbul-umbul.

Bade yang digunakan dalam upacara ngaben pribadi ini

merupakan bade yang lain daripada yang umumnya digunakan oleh

masyarakat Bali. Sebuah kreativitas, inovasi dan terobosan baru dengan

membuat bade seperti layaknya sebuah rumah dan kompleks pura:

dilengkapi dengan kolam ikan, taman bunga, lampu taman, penempatan

prasada dan padmasana di bagian paling atas bade agar atma

mendapatkan tempat tertinggi dan terbaik. Arsiteknya adalah pihak

keluarga sendiri, di mana ahli pembuat pura dan sarana-prasarana ngaben,

ukir-ukiran dan lukisan. Keahlian keluarga ini, turun termurun, terkenal di

berbagai perkampungan Bali di Lampung sampai di Sumatera Selatan.

Menurut mereka, kebebasan berkreasi ini belum tentu dapat diterima di

Bali, terutama di daerah yang masih sangat kolot, seperti di Nusa Penida.

Intinya adalah tidak menyimpang dari ajaran Hindu Dharma, dan sudah

sepantasnya anggota keluarga memberikan yang terbaik bagi atma anggota

keluarga tercinta yang telah meninggal.

Page 129: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

375

Page 130: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

376

Gambar 60. Bade

(Mulai dari gambar pertama kiri atas: (1) bangunan bade keseluruhan tampak

depan; (2) bagian depan bade; (3) sudut kanan depan bade; (4) sudut kanan

belakang bade; (5) bade tampak belakang; (6) bagian bawah / fondasi bade)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Selain bade, sarana upacara ngaben pribadi yang mencolok adalah

patulangan: sarana (wadah) di mana jasad atau jenasah ditempatkan saat

upacara pembakaran jenasah dilakukan. Patulangan ini disebut juga

sebagai tunggangan atau kendaraan bagi atma dalam perjalannnya menuju

ke dunia lain yang berwujud hewan tertentu. Baik di Bali atau pun di Nusa

Penida, jenis tunggangan ini sudah ada aturannya. Artinya, setiap wangsa

atau warga memiliki tunggangan-nya sendiri. Misalnya, “lembu” untuk

wangsa brahmana dan singa makampid untuk golongan jaba seperti

Warga Pasek dan Warga Pandé. Kasus ngaben pribadi di Balinuraga ini

menjadi sangat unik dan menarik, karena patulangan atau tunggangan

yang digunakan sebagai kendaraan bagi pitra adalah menggunakan hewan

lembu. Lembu tersebut adalah lembu bertanduk emas bermata tajam

dengan ekor yang menjulang ke atas lalu menekuk ke bawah, bagian

kepalanya telah ditutup selembar kain putih. Lembu ini dicat berwarna

merah menyala – sesuai dengan identitas Warga Pandé – dan dikenakan

rompi emas pada bagian dada dan setiap sisi kaki serta bulu emas di

sepanjang tulang punggung sampai tulang ekor. Ada beberapa alasan

mengapa dikatakan unik dan menarik: (1) lembu merupakan jenis hewan

yang menjadi patulangan atau kendaraan bagi golongan brahmana. Tidak

sembarangan warga atau wangsa yang berhak menggunakannya. Menurut

pihak keluarga yang ber-warga Pandé, mereka berhak menggunakan

tunggangan lembu, tidak ada permasalahan jika digunakan di Lampung

(kecuali di Bali). Leluhur Warga Pandé adalah Mpu Pradah, seorang

pendeta brahmana, berarti keturunannya – meskipun almarhumah bukan

Bali Hindu, tapi setelah menikah menjadi Hindu dan otomatis menjadi

bagian dari keluarga besar Warga Pandé (ikut suami) – berhak

menggunakan tunggangan lembu. Dengan kata lain, “Lembu” bukan

tunggangan yang dimonopoli satu golongan tertentu, siapa pun berhak

menggunakannya asalkan memiliki bukti yang kuat bahwa leluhurnya

merupakan seorang pendeta brahmana. Menjadi menarik karena di Bali

Page 131: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

377

dan Nusa Penida sendiri, “Singa Makampid” masih menjadi tunggangan

yang umum yang digunakan oleh Warga Pasek dan Pandé; (2) lembu yang

digunakan adalah lembu yang berwarna merah menyala dan menggunakan

rompi berwarna emas (warna merah dan emas adalah warna dominan).

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, warna merah adalah identitas

Warga Pandé: simbol Dewa Brahmana dan Dewa Api. Ini menjadi ciri

khas tersendiri bila dibandingkan dengan warna lembu yang biasa

digunakan oleh para brahmana (keluarga pandita) di Bali, yaitu lembu

petak atau sapi putih. Artinya, “Lembu Merah” atau “Lembu Bang”

(“Bang”, baca: “beng” berarti merah, dalam Jawa: “abang”) adalah ciri

khas dari lembu-nya Warga Pandé yang ada di Balinuraga. Kasus bade

dan patulangan berbentuk lembu ini akan diuraikan lebih lanjut pada sub-

pembahasan berikutnya (masih dalam contoh kasus ngaben pribadi)

mengenai “Ketidak-berlakukan Dominasi Triwangsa: Pembebasan Kaum

Jaba dan Eksistensi Sudra Wangsa”.

Page 132: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

378

Gambar 61. Lembu “Bang” Patulangan

(Atas: lembu patulangan yang sudah jadi; bawah: lembu patulangan digotong oleh

beberapa pria)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Page 133: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

379

Sarana lain yang menjadi ciri khas Bali Nusa adalah sarana

pengusung jenasah bernama dadong brayut256

: dua buah orang-orangan

seperti wayang orang, yaitu berwujud laki-laki (Pan Brayut) dan

perempuan (Men Brayut) yang saling berhadapan, keduanya ditempatkan

pada sebuah tempat seperti perahu. Sama seperti wayang orang pada

umumnya, di bawah perahu tersebut terdapat dua bilah bambu yang terikat

pada bagian tubuh wayang yang berfungsi menggerakkan badannya

tersebut, sehingga bisa digerakkan atau dimainkan saat diusung serta

digoyang-goyangkan saat melakukan pawai atau arak-arakan mengelilingi

desa (upacara ngaskara sebelum Hari-H), dan saat mengiringi

pemberangkatan bade ke setra (Hari-H). Sarana pengusung jenasah ini –

dadong brayut dan gedong – diusung oleh lima sampai enam pemuda:

diusung sambil digoyang-goyangkan, satu orang sambil ikut mengusung

berperan memainkan wayang tersebut secara bergantian. Dadong brayut

ini selalu digunakan oleh masyarakat Bali di Nusa Penida saat

diselenggarakannya upacara pitra yadnya, dan tetap digunakan oleh

masyarakat Bali Nusa di Balinuraga. Dadong Brayut ini menyimbolkan

keteguhan dan ketabahan hati serta keberhasilan orang tua laki-laki yang

bernama Pan Brayut dan orang tua perempuan yang bernama Men Brayut

dalam membesarkan kedelapan belas anaknya sehingga menjadi anak yang

berhasil dan berguna di dalam masyarakat (khususnya peran Men Brayut

sebagai seorang ibu). Dalam kasus ngaben pribadi ini, dadong brayut

menyimbolkan keberhasilan almarhumah sebagai Men Brayut yang selama

hidupnya berhasil membesarkan dan mendidik anak-anaknya (dan juga

suaminya) sehingga menjadi orang yang berhasil. Jadi, jika dalam sebuah

upacara pitra yadnya disertakan dadong brayut dalam arak-arakan massa

256

Kata “dadong” adalah sebutan untuk nenek dalam Bahasa Bali, sedangkan

“brayut” berasal dari legenda klasik dalam masyarakat Bali (dan juga termasuk /

adaptasi dari cerita / legenda Jawa Kuno) yang mengisahkan sepasang suami istri

yang bernama Pan Grayut (laki-laki) dan Men Grayut (perempuan) yang memiliki

banyak anak (delapan belas). “Brayut” juga diartikan sebagai tokoh perempuan

yang mempunyai banyak anak. Inti dari kisah dua sejoli grayut yang hidup dalam

kemiskinan ini adalah keberhasilannya membesarkan dan mendidik anak-anaknya.

Sebuah legenda yang berfungsi untuk memberikan pelajaran bagi para orang tua

bagaimana seharusnya membesarkan dan mendidik anak-anakanya, dan pelajaran

bagi anak-anak bagaimana harus menghormati orang tuanya.

Page 134: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

380

yang mengiringi bade, maka dapat dipastikan bahwa upacara tersebut

dilakukan oleh masyarakat Bali Nusa, khususnya untuk

mengidentifikasikan upacara pitra yadnya (ngaben) masyarakat Bali Nusa

yang ada di Lampung. Secara umum fungsi Dadong Brayut sebagai sarana

pengusung jenasah. Sarana lain sebagai pengusung jenasah adalah gedong

(sanggah, merajan) dalam bentuk replika, dibuat dalam bentuk yang

sederhana, terbuat dari bahan kertas dengan warna dominan merah. Sarana

ini disertakan saat upacara ngaskara (penyucian roh leluhur) bersamaan

dengan patulangan dan dadong brayut, dan disertakan pula secara

bersama-sama saat memberangkatkan bade ke setra.

Page 135: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

381

Page 136: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

382

Gambar 62. Dadong Brayut dan Gedong

(Mulai dari gambar pertama di sudut kiri atas: (1) dadong brayut sebelum

diberangkatkan untuk Upacara Ngaskara; gambar (2) dan (3) dadong brayut

diarak oleh beberapa pria untuk mengiringi bade ke setra; (4) dadong brayut dan

gedong yang telah selesai dibuat; gambar (5) dan (6) gedong digotong oleh

beberapa pria untuk upacara ngaskara)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Tanpa bermaksud mengeneralisir, masyarakat Bali Hindu yang ada

di Lampung dalam penyelenggaraan setiap upacaranya – dalam kasus ini

upacara ngaben pribadi – selalu mempertahankan tradisi yang menjadi ciri

khas dari tempat asalnya – dalam kasus ini Nusa Penida, Bali. Meskipun

secara umum prosesi upacara tersebut hampir sama, tapi dalam

pelaksanaannya ada hal-hal yang bersifat teknis dan non-teknis yang

mencirikan tempat asal (Nusa Penida), seperti: membawa bade,

patulangan, dadong brayut, gedong dengan berlari dan mengoyang-

goyangkannya dengan semangat (sambil berteriak) – massa yang antusias

dalam mengusung sarana dan prasarana ngaben pribadi – serta keberadaan

dadong brayut yang (hanya) dijumpai dalam pelaksanaan upacara pitra

yadnya oleh masyarakat Bali Nusa.

Perdebatan Kubu Konservatif dan Kubu Modernis

“Bukan Bali jika masyarakatnya tidak dinamis.” Ungkapan

tersebut untuk menggambarkan bahwa perdebatan antara kubu konservatif

dan kubu modernis itu selalu ada dalam kehidupan masyarakat Bali, dalam

kasus ini Balinuraga. Masyarakat Balinuraga sendiri mengakui, baik dari

pihak konservatif dan modernis, bahwa masyarakat Bali Nusa Penida

sangat kolot (konservatif) dalam mempertahankan tradisi Bali Hindu

mereka, terutama setelah keberadaan mereka di Lampung. Sebenarnya

kedua kubu yang selalu berdebat dan bertentangan ini mempunyai tujuan

yang sama: mempertahankan tradisi Bali Hindu sesuai dengan tempat asal

mereka di Nusa Penida. Inti dari perdebatan kedua kubu ini sebenarnya

terletak pada perbedaaan tafsir. Ada yang menafsirkan berdasarkan cerita

dari para orang tua dan sesepuh yang ada di Nusa Penida dan pengalaman

pribadi saat mengikuti upacara-upacara tertentu di Nusa Penida,

berdasarkan buku teks keagamaan dan tradisi Bali Hindu yang mereka

Page 137: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

383

dapatkan dari Bali atau pun sekolah agama (sekolah tinggi teologi), dan

berdasarkan realitas atau kenyataan yang ada setelah berada di Lampung.

Mereka yang termasuk dalam kubu konservatif dan modernis tidak

dapat disempitkan pengertiannya pada satu kelompok warga tertentu.

Artinya, menganggap satu kelompok warga sebagai kubu konservatif atau

pun modernis. Dalam kasus upacara ngaben pribadi ini mereka yang

digolongkan kubu konservatif adalah kelompok atau pun individu yang

menolak adanya perubahan dalam tata cara upacara dan upakara yang

berlaku dalam tradisi Bali Hindu seperti yang ada di Nusa Penida dan Bali

pada umumnya. Masyarakat Balinuraga menyebutnya sebagai orang kolot

– kukuh pada aturan adat yang bersifat rumit dan kompleks – yang

menganggap perubahan dalam tradisi, meskipun tidak mengubah makna

dan nilai dari keluhuran tradisi tersebut, sebagai sebuah ancaman terhadap

kelestarian tradisi leluhur. Biasanya yang termasuk dalam golongan ini

adalah orang tua yang sudah berusia lanjut (sepuh), yang menganggap

tradisi leluhur sebagai sesuatu yang ajeg – tidak boleh dilakukan

perubahan karena akan mendatangkan marabahaya. Tapi tidak semua

sepuh termasuk kolot, karena ada sepuh yang berpikiran modernis. Faktor

pendidikan adalah faktor utama yang mempengaruhi pemikiran para sepuh

ini. Sepuh yang berpendidikan (pernah mengenyam pendidikan formal),

pernah mendapat pengetahuan agama Hindu Dharma (melalui buku atau

semacam kursus), dan memiliki pergaulan yang luas, umumnya memiliki

pemikiran yang lebih terbuka mengenai tradisi Bali Hindu, khususnya

melestrasikan tradisi Bali Hindu sesuai dengan konteks kala dan patra di

Lampung. Sebaliknya, ada pula golongan muda yang berpikiran kolot

meskipun sudah mengenyam pendidikan formal: ke-kolotan-nya

didasarkan penafsiran yang sempit atas pengetahuan yang diterimanya dari

buku-buku teks yang berisikan tradisi Bali dan Hindu. Begitu pula dengan

kubu modernis (berpikiran moderat), tidak dapat disempitkan pada satu

kelompok warga tertentu, karena saat ini tidak semua banjar secara

keseluruhan anggotanya berasal dari satu identitas warga – umumnya

disebabkan perkawinan antar anggota warga yang berbeda. Mereka yang

yang digolongkan kubu modernis adalah kelompok atau pun individu yang

berpikiran lebih terbuka dalam memaknai dan mengaplikasikan tradisi

leluhurnya, dan perubahan adalah salah satu cara bagaimana

Page 138: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

384

mendatangkan manfaat positif bagi umat Hindu Dharma dan kelestarian

tradisi Bali Hindu mereka sebagai warisan leluhur.

Dalam kasus ngaben pribadi ini, perdebatannya sudah berlangsung

sejak lama antara pihak keluarga (modernis) dan pihak lain (konservatif),

yaitu sejak almarhumah meninggal sampai tiga tahun sesudahnya saat

upacara ngaben pribadi akan dilaksanakan oleh pihak keluarga. Berikut ini

adalah beberapa tema perdebatan – yang sebenarnya kelanjutan dari

perang dingin yang sudah berlangsung sejak tahun 1970-an257

– antara

kedua kubu tersebut yang dimulai sejak almarhumah meninggal sampai

saat upacara pitra yadnya akan dilaksanakan:

Pertama, apakah seseorang yang bukan berasal dari etnis Bali, tapi sudah

menjadi Hindu, bisa atau diperkenankan untuk menerima upacara pitra

yadnya (ngaben). Kubu konservatif (kolot) berpendapat bahwa ngaben itu

adalah tradisinya orang Bali. Menurut mereka apakah orang non-Bali

mengenal tradsisi ngaben seperti yang dilakukan orang Bali. Mengingat

almarhumah bukan berasal dari etnis Bali, dan sebelum menjadi Hindu

menganut kepercayaan lain (yang tidak memiliki tradisi pembakaran

jenasah). Bagi kubu modernis, pendapat kubu konservatif tersebut sangat

kolot dan tidak dapat diterima, karena menurut kubu modernis, setiap

orang yang sudah menjadi Hindu, meskipun bukan orang Bali, sebagai

umat Hindu berhak untuk diupacarakan pitra yadnya (ngaben) oleh pihak

keluarganya. Kubu modernis memberikan contoh orang India yang

beragama Hindu: orang India bukan orang Bali tapi beragama Hindu, tapi

mereka memiliki tradisi yang jauh lebih tua daripada tradisi Bali Hindu

untuk melakukan pembakaran jenasah bagi anggota keluarganya yang

telah meninggal.

Kedua, perdebatan mengenai setra (kuburan Bali Hindu). Perdebatan ini

merupakan perdebatan paling panas di antara kedua belah kubu. Akibatnya

perang dingin yang sudah berlangsung lama semakin membeku. Pihak

257

Jika pada tahun 1970-an kubu modernis dan konservatif mencerminkan satu

identitas warga tertentu, maka saat ini, baik kubu modernis maupun konservatif

bisa terdiri dari beberapa anggota masyarakat Balinuraga yang berasal dari

identitas warga yang berbeda.

Page 139: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

385

keluarga yang mewakili kubu modernis membangun makam almarhumah

sesuai dengan tradisi atau adat istiadat yang berlaku pada etnistas keluarga

almarhumah (Tiongua-Jawa). Makam dibuat permanen, ada batu nissan,

dan dibuat sebuah pendopo yang memayungi makam: sebuah tindakan

yang tidak dapat diterima bagi kubu konservatif, karena bagi mereka

(sesuai dengan tradisi Bali Hindu) kuburan itu bersifat sementara (kotor)

tidak boleh dibuat secara permanen sebab jasad nantinya akan di-aben-kan.

Pihak keluarga berargumentasi bahwa pendapat kubu konvervatif itu

memang berlaku bagi etnis Bali, tapi almarhumah bukan berasal dari etnis

Bali. Pembangunan makam yang bersifat permanen tersebut dimaksudkan

untuk menghargai almarhumah, selain itu, pihak keluarga yang sangat

mencintai almarhumah ingin agar agar atma almarhumah mendapatkan

perlindungan sementara yang benar-benar nyaman: karenanya dibangun

pendopo dan makam bersifat permanen yang bagus, lengkap dengan batu

nisannya. Nantinya makam ini pun akan dibongkar saat jenasah akan di-

aben-kan dan setelah mageseng selesai dilaksanakan makam ini akan

dihancurkan. Sebagai umat Hindu, almarhumah tetap berhak mendapatkan

upacara pitra yadnya dari pihak keluarga, tidak ada persoalan dengan

model makam yang modern (anti-konvensional) seperti model setra bagi

masyarakat Bali Hindu pada umumnya: makam atau kuburan dibuat apa

adanya, pada gundukan tanah tempat jenasah ditempatkan cukup diberikan

pagar bambu yang sederhana – sebuah pandangan yang menganggap

bahwa makam bersifat sementara karena jenasah nantinya akan di-aben-

kan.

Page 140: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

386

Gambar 63. Setra

(Atas: makam pihak keluarga; bawah: makam / setra yang umum digunakan oleh

masyarakat Balinuraga dan masyarakat Bali pada umumnya sebelum di-aben-kan;

keduanya terletak di areal setra Pura Dalem di Balinuraga)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Ketiga, perdebatan apakah jenasah (kerangka tubuh / tulang) akan benar-

benar bersih (tidak ada daging yang melekat) setelah ditaruh di dalam peti.

Page 141: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

387

Hal ini berkaitan dengan peti jenasah yang ditaruh di dalam makam. Model

peti jenasah tidak terbuat dari kayu, tapi dari semen, begitu pula dengan

penutup petinya. Kaum konservatif berpendapat bahwa dengan peti

jenasah seperti itu maka jenasah akan menjadi kotor, daging masih melekat

pada tulang, berbeda jika jenasah ditanam di dalam tanah (hanya

dibungkus dengan kain putih / kafan). Perdebatan ini akhirnya selesai

setelah saat kerangka jenasah diambil oleh pihak keluarga dan panitia dini

hari di Hari-H: kerangka jenasah bersih, tidak ada daging yang melekat

pada tulang, warna putihnya sempurna seperti tulang jenasah pada

umumnya. Kemudian, kerangka jenasah dibersihkan dengan air yang

berisikan bunga-bunga segar yang harum – secara praktis agar kerangka

jenasah menjadi harum dan bersih, sedangkan secara filosofis untuk

membersihkan dan menyucikan jasad fisik(kerangka jenasah) agar siap

untuk di-aben-kan atau disucikan (melalui api, sebagai unsur pelepas

antara wujud fisik / duniawi dengan atma) dalam proses pembakaran

jenasah.

Keempat, perdebatan tentang model bangunaan bade dan atap tumpang

bade dan jenis hewan yang kendaraan tunggangan jenasah (patulangan).

Pembuatan bade yang “lain daripada yang lain” tidak lepas dari

perdebatan. Sebuah inovasi, kreasi dan terobosan yang bagi kubu

konservatif sebagai sebuah “penyimpangan”, karena telah keluar dari

koridor umum yang biasa mereka lakukan dalam pembuatan bade: (1)

bade dibuat seperti bangunan rumah dan pura, tidak seperti yang umum

digunakan dalam masyarakat Bali; dan akibatnya (2) jumlah atap tumpang

bade menjadi tidak jelas: ada yang menafsirkan sembilan dan ada pula

yang menafsirkan sebelas. Kemudian, dari jumlah atap tumpang bade

muncul perdebatan lagi, apa dasarnya menggunakan jumlah seperti itu.

Bagi pihak keluarga yang modernis, permasalahannya bukan pada

bentuknya, tapi pada nilai estetika (keindahan dan seni), kreativitas dan

inovasi dalam pembuatan dan rancangan bangunan bade. Bagi mereka,

fungsi dan nilai filosofinya tetap sama, tidak ada yang menyimpang:

memberikan yang terbaik bagi atma, maka diciptakanlah sebuah bade yang

bagus dan indah. Selain itu, ini merupakan hasil kreasi dari pihak keluarga

sendiri yang merupakan ahli karya seni (termasuk pembuat sarana dan

Page 142: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

388

prasarana upacara ngaben) yang dalam proses rancangan dan pembuatan

tetap berpedoman pada nilai dan filosofi Bali Hindu dalam pembuatan

bade dengan melakukan terobosan dan inovasi baru. Perdebatan

berikutnya adalah jenis hewan yang menjadi kendaraan tunggangan

jenasah. Kubu konservatif bersikukuh bahwa lembu adalah tunggangan

bagi golongan brahmana, dan tunggangan “singa makampid” adalah

tunggangan yang umum digunakan oleh Warga Pandé dan Warga Pasek di

Nusa Penida dan Bali – meskipun pihak konservatif mengetahui bahwa

jika ditelusuri dari silsilah leluhurnya mereka berhak menggunakan lembu

sebagai patulangan. Bagi pihak keluarga, mereka berhak menggunakan

lembu sebagai kendaraan tunggangan bagi atma dalam prosesi pitra

yadnya, karena leluhur mereka (Warga Pandé) berasal dari pandita

brahmana. Dengan kata lain, lembu tidak bisa dimonopoli oleh golongan

tertentu saja, setiap golongan berhak menggunakannya asalkan dapat

memberikan bukti-bukti mengenai sejarah leluhurnya. Terpenting adalah

lembu yang digunakan pun adalah lembu khas Warga Pandé dengan warna

merahnya sebagai identitas pembeda dengan lembu brahmana (berwarna

putih): Lembu Merah atau Lembu Bang.

Kelima, perdebatan mengenai versi upacara pitra yadnya (pembakaran

jenasah): India versus Bali. Kubu konservatif menilai upacara ngaben

pribadi ini lebih berkiblat pada India, sehingga unsur kebaliannya menjadi

hilang. Pihak keluarga menilai bahwa upacara ini tetap mengacu pada

tradisi Bali Hindu, karena Bali-nya akan hilang jika berkiblat pada India.

Inti perdebatan dari kedua belah pihak ini tetap sama: bagaimana

mempertahankan tradisi Bali Hindu, jangan sampai hilang hanya karena

mengikuti versi upacara pitra yadnya-nya India.

Keenam, perdebatan-perdebatan yang bersifat teknis dalam

penyelenggaraan upacara mageseng. Misalnya, posisi kepala jenasah

apakah searah dengan kepala lembu atau membelakangi kepala lembu.

Kedua pihak mempunyai tafsir sendiri. Pihak konservatif menyeletuk

bahwa kepala jenasah harus searah dengan kepala lembu, karena itu sesuai

dengan buku teks pernah dibacanya. Pihak modernis membalasnya

berdasarkan logika dan rasionalitas bahwa jika kepala jenasah searah

Page 143: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

389

dengan kepala lembu, maka akan menyulitkan atma saat bangun dari

patulangan karena kepalanya akan bertabrakan dengan kepala lembu.

Perdebatan teknis lainnya adalah apakah upacara pembakaran tetap

dilakukan sesuai waktunya, atau menunda sampai cuaca kembali cerah:

tafsirnya adalah apakah prose pembakaran sudah diizinkan oleh Sang

Hyang Widhi Wasa atau belum diizinkan karena hujan turun deras. Pihak

keluarga tetap berikukuh bahwa upacara pembakaran harus dilakukan

sesuai waktunya, karena dengan niat yang tulus mereka percaya pada

kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa bahwa proses pembakaran akan

berhasil meskipun hujan turun dengan deras. Akhirnya proses pembakaran

jenasah tetap dilakukan sesuai dengan waktunya meskipun hujan turun

deras, dan proses ini berlangsung sukses. Kedua contoh ini merupakan

salah satu dari perdebatan kubu konservatif dan modernis tentang hal-hal

yang bersifat teknis. Sebuah perdebatan yang jumlahnya sangat banyak

sekali, karena setiap upacara memiliki banyak prosedur teknis sendiri-

sendiri, di mana setiap teknis memiliki arti dan filosofi serta penafsiran

sendiri-sendiri. Oleh karena itu, untuk kasus ngaben pribadi ini penulis

menyajikan dua contoh perdebatan yang bersifat teknis tersebut.

Perdebatan kedua kubu ini tidak dapat disebutkan sebagai

perpecahan komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga. Justru hadirnya kubu

konservatif yang berperan sebagai “oposisi” sangat berguna untuk

mempertahankan tradisi Bali Hindu yang dimodifikasi oleh kubu modernis

agar tetap lestari. Dengan kata lain, kubu konservatif berperan sebagai

pemberi rambu-rambu agar modernisasi tersebut tidak menyimpang dari

tradisi leluhur mereka sebagai Bali Hindu. Ini merupakan sebuah peran

penting bagi masyarakat Bali Hindu (Bali Nusa) di Balinuraga, terlebih

setelah keberadaan mereka di Lampung, di mana posisinya sebagai

minoritas dan jauh dari pusat yang dapat mengontrol atau meng-ajeg-kan

kebudayaaan Bali Hindu. Sisi positif dari hadirnya kedua kubu ini adalah

bagaimana masyarakat Bali Hindu di Balinuraga bisa melakukan

penyesuaian identitas Bali Hindu-nya setelah di Lampung dengan berbagai

inovasi, kreasi dan terobosan penyelenggaraan upacara dan ritual adat-

keagamaan – dalam kasus ini upacara ngaben pribadi – agar identitasnya

tetap lestari, dan bisa menjawab tantangan dan kebutuhan umat Hindu

Dharma – terutama dari prosedur upacara dan ritual yang kompleks dan

Page 144: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

390

besarnya tenaga dan biaya yang dikeluarkan, dengan tetap

mempertahankan dan sesuai dengan hakikatnya.

Sulinggih Warga (Pendeta Warga, Pendeta Jaba) sebagai

Pemuput Upacara

Realitas menarik yang terjadi dalam kasus upacara ngaben pribadi

ini adalah pe-muput (pendeta yang memimpin upacara) adalah sulinggih

(pendeta/pandita) warga atau menggunakan sulinggih dari golongan

jabawangsa (golongan di luar puri atau kerajaan). Tidak ada perdebatan

yang berarti mengenai sulinggih warga yang memuput upacara pitra

yadnya ini. Artinya, sudah ada kesepakatan dari semua kubu bahwa

sulinggih warga berhak memuput upacara ngaben pribadi, tidak harus

menggunakan pendeta brahmana (pedanda). Hal ini serupa dengan

Anggaran Dasar PHDI yang menyatakan bahwa sulinggih warga memiliki

kedudukan yang sama dengan pedanda (sulinggih brahmana) – yang

berarti berhak memuput dan memberikan tirta pengentas dalam upacara

pitra yadnya. Ini dibuktikan dengan kehadiran perwakilan dari PHDI

sebagai tamu undangan dari pihak keluarga, dan turut serta (juga

memberikan kata sambutan dari PHDI sebagai majelis umat Hindu

Dharma) dalam prosesi upacara ngaben pribadi ini. Jika melihat “jadwal

kegiatan upacara” pitra yadnya pada bagian sebelumnya, maka dapat

diketahui bahwa “yang muput” upacara adalah sulinggih warga atau

pendeta dari golongan jaba. Ini dapat dilihat dari gelar yang digunakan:

Mpu (Sri Mpu) dan Rsi – secara struktural kedudukan mangku (pemangku)

masih di bawah Sri Mpu dan Rsi258

. Mereka adalah sulinggih warga dari

Warga Pandé, Pasek, Arya, dan Bhujangga Waisana. Berdasarkan

peraturan dari PHDI, sulinggih warga ini berhak untuk muput upacara dari

warga lainnya, bukan milik satu warga tertentu, terlebih jumlahnya yang

sangat terbatas. Bagi masyarakat Balinuraga ada kebanggaan tersendiri

258

Untuk menjadi sulinggih warga (dwijati) – seperti sri mpu dan rsi – tidak

semudah menjadi seorang pemangku. Ada prosedur yang cukup sulit dan panjang,

serta proses pembelajaran untuk mendalami kitab-kitab dan lontar. Prosedur

tersebut bersifat formal – berada di bawah pengawasan PHDI – dan jika berhasil,

kedudukannya sebagai sulinggih mendapatkan pengakuan secara resmi oleh

lembaga semi-pemerintah tersebut sebagai kepanjangan dari pemerintah.

Page 145: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

391

jika menggunakan sulinggih warga, meskipun menggunakan pedanda dari

Bali dapat meningkatkan status sosialnya – tapi secara tidak langsung

“merendahkan” kedudukan dan kapasitas sulinggih warga-nya dan

(terpenting) status sosial dari leluhurnya yang (umumnya: Pandé dan

pasek) berasal dari golongan brahmana. Di samping, pertimbangan praktis

dan ekonomis, bahwa mengundang pedanda akan merepotkan (harus

menyesuaikan dengan jadwal pedanda yang bersangkutan, dan tidak dapat

dipastikan apakah pedanda yang umumnya sudah sepuh tersebut mau

memuput upacara di Lampung mengingat faktor jarak, kesehatan dan usia)

dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jadi, fakta ini menunjukkan

bahwa peraturan masa kolonial (masa proyek balinisasi pemerintah

kolonial) dan pra-kolonial (masa kerajaan dinasti Sri Kresna Kepakisan /

Majapahit) – yang sebagian masih dipraktekkan di Bali sampai sekarang –

yang menyatakan bahwa yang berhak memberikan tirta pengentas (air

suci) saat upacara pitra yadnya harus berasal dari seorang pendeta

brahmana atau pedanda sudah tidak berlaku lagi bagi masyarakat Bali

Hindu di luar Bali – dalam kasus ini upacara pitra yadnya di Desa

Balinuraga Lampung Selatan.

Ketidak-berlakuan Dominasi Triwangsa: Pembebasan

Kaum Jaba dan Eksistensi Sudra Wangsa

Contoh kasus upacara ngaben pribadi di Balinuraga, seperti yang

dipaparkan di atas, sebenarnya menunjukkan eksistensi dari golongan jaba

(sebutan yang kurang mereka sukai adalah: sudra wangsa atau kasta

sudra) untuk melepaskan dirinya dari dominasi triwangsa (golongan puri /

kerajaan). Hal ini dapat dibuktikan dari: (1) Bagaimana mereka merancang

dan membangun bade, tanpa terpaku pada jumlah atap tumpang bade yang

harus digunakan oleh golongan jaba dan triwangsa; (2) Jenis hewan

kendaraan tunggangan jenasah (patulangan). Dalam kasus ini,

menggunakan hewan lembu, dalam ketentuan umum yang berlaku dalam

masyarakat Bali pada umumnya, merupakan jenis hewan yang hanya

diperbolehkan atau dipergunakan bagi golongan brahmana. Untuk

membedakan dari lembu golongan brahmana, mereka menggunakan

warna merah menyala (merah api) yang menjadi identitas warga-nya

sebagai Warga Pandé: salah satu kelompok warga yang statusnya

Page 146: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

392

dipertegas oleh pemerintah kolonial sebagai jaba (golongan di luar

triwangsa / puri) atau sudra wangsa; (3) Menggunakan pendeta warga

atau sulinggih warga sebagai pemuput (pemimpin) upacara pitra yadnya.

Sebuah tindakan yang tidak mungkin (sangat sulit diaplikasikan, dan jika

berani melakukannya akan menerima hukuman dari pihak penguasa)

dilakukan oleh golongan jaba di masa proyek balinisasi masa kolonial dan

di masa kerajaan feodal (pasca runtuhnya kerajaan Bali Aga dan

berkuasanya Majapahit atas Bali sampai berkuasanya Pemerintah Kolonial

Belanda), di mana masih menjadi konflik dan perdebatan di masa pasca

kolonial (pemerintah Republik Indonesia: Orde Lama dan Orde Baru), dan

mungkin masih terjadi di Bali – meskipun tidak seketat dulu; (4)

Penyelenggaraan upacara pitra yadnya oleh golongan jaba yang

melibatkan jumlah massa yang banyak dan menghabiskan biaya yang

besar, di mana menjadi tradisi atau kebiasaan dalam upacara pitra yadnya

yang diselenggarakan oleh golongan triwangsa (keluarga kerajaan dan

keluarga golongan brahmana). Tingkat perekonomian yang sudah mapan

setelah bertransmigrasi ke Lampung, dan kesolidan komunitas adatnya

(banjar dan desa pakraman) yang ada di wilayah Lampung,

memungkinkan mereka (golongan jaba) menyelenggarakan upacara pitra

yadnya – khususnya upacara ngaben pribadi – yang menghabiskan biaya

yang besar dan jumlah massa yang banyak. Rata-rata (minimal) untuk

upacara ngaben pribadi atau pun ngaben massal membutuhkan dana

minimal ratusan juta rupiah hingga milyaran rupiah. Untuk upacara ngaben

pribadi ini biaya yang dihabiskan (diperkirakan) di atas seratus juta rupiah

(sudah dan belum termasuk biaya yang tidak terhitung). Upacara ngaben

massal yang pernah diselenggarakan satu tahun sebelumnya mencapai

kisaran (perkiraan) di atas lima ratusan juta rupiah. Seorang pengusaha

Bali Nusa di daerah Sumatera Selatan (berbatasan dengan Lampung

Timur, Tulang Bawang), menghabiskan dana milyaran rupiah (di atas satu

milyar) untuk prosesi ngaben pribadi, di mana dalam pelaksanaannya

mengizinkan beberapa keluarga lain yang kurang mampu untuk ikut

bergabung dalam upacara ngaben tersebut.

Kasus ini menunjukkan bagaimana keegaliteran dan kemandirian

masyarakat Bali setelah berada di luar Bali dengan tetap mempertahankan

dan melestarikan dengan beberapa penyesuaian tradisi Bali Hindu,

Page 147: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

393

khususnya masyarakat Bali Nusa di Desa Balinuraga. Mereka berhasil

membebaskan dirinya dari pengaruh golongan triwangsa dan menciptakan

masyarakat yang lebih egaliter. Mereka lebih bebas untuk melakukan

terobosan baru bagi keberlangsungan tradisi Bali Hindu tanpa dibatasi

aturan-aturan baku yang mengekang kebebasan berekspresi bagi golongan

jaba, seperti bangunan bade yang lain daripada yang lain (bentuk yang

lebih modern sebagai simbol anti-kemapanan); mempunyai hak yang sama

dengan golongan triwangsa untuk menggunakan atap bade bertumpang

tinggi; hak yang sama menggunakan hewan “lembu” sebagai kendaraan

tunggangan jenasah; dan menyelenggarakan upacara pitra yadnya dalam

skala besar, baik jumlah biaya maupun massa.

Kesimpulan

Identitas kebalian masyarakat Bali Nusa di Balinuraga merupakan

sebuah keutuhan yang bersifat multidemensi. Sebagai sebuah keutuhan

yang multidimensi, identitas kebalian di komunitas Balinuraga tidak dapat

dilihat secara terpisah. Identitas tersebut menjadi sebuah kesatuan di dalam

sebuah sistem sosial kemasyarakatan dalam masyarakat Bali yang diadopsi

oleh komunitas ini dengan berbagai penyesuaian yang ada berdasarkan

konsep kala dan patra. Karenanya, tidak cukup hanya memotret komunitas

ini secara fisik sebagai sebuah perkampungan Bali yang dipenuhi dengan

bangunan-bangunan suci (pura), tetapi juga (terpenting) bekerjanya sistem

sosial kemasyarakatan Bali di dalamnya sebagai sebuah kesatuan yang

tidak dapat dipisahkan dalam identitas kebalian. Misalnya: sistem warga,

seka-seka dengan berbagai spesifikasi kerja, pelaksanaan ritual dan

upacara penting adat dan keagamaan, dan lain-lain. Picard (1997, 1999,

2005, 2008) menyebutkan identitas kebalian ini sebagai kebudayaan Bali

atau gabungan dari elemen penting kebudayaan Bali seperti kepercayaan,

adat (tradisi) dan kesenian.

Sama halnya ketika melihat realitas komunitas Balinuraga yang

merupakan golongan jaba (di luar kerajaan) – atau dalam kategorisasi

pemerintah kolonial disebut sebagai golongan sudra – identitas mereka

sebagai golongan jaba tidak bisa dilihat sebagai satu identitas yang

tunggal: kasta sudra. Di Balinuraga ada tiga warga atau klan yang pada

masa pemerintah kolonial dicampakkan menjadi golongan jaba, di mana

Page 148: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

394

setiap warga memiliki sulinggih tersendiri dan tata-cara adat keagamaan

yang khas, yaitu Pasek, Pandé, dan Arya. Karenanya, komunitas

Balinuraga lebih nyaman menggunakan identitas warga daripada sudra

wangsa atau kasta sudra. Sistem warga yang digunakan menjadikan

komunitas ini lebih setara (egaliter) dan tidak diskriminatif. Tidak ada

yang bisa mendominasi satu dengan yang lain, meskipun setiap warga

memiliki kesamaan klaim berdasarkan silsilah leluhurnya bahwa leluhur

mereka di masa kerajaan memiliki kedudukan penting (pejabat dan

bangsawan kerajaan). Mendudukkan komunitas dengan identitas tunggal –

sudra – menjadi tidak tepat dan diskriminatif. Sama seperti yang dilakukan

Huntington (1996) ketika mengklasifikasikan peradaban dunia ke dalam

identitas tunggal: Barat dan Islam. Sependapat Sen (2007) dan Fukuyama

(2006) bahwa identitas memiliki fakta-fakta kesejarahan dan fakta nyata,

serta berakarakteristik multidimensi.

Pengklasifikasian sebuah kelompok masyarakat atau peradaban ke

dalam sebuah identitas tunggal akan menyebabkan gejolak dan benturan di

akar rumput. Hasil penelitian Schulte Nordholt (2009) dan Robinson

(1995) menunjukkan bahwa kebijakan Balinisasi pemerintah kolonial yang

mencampakkan warga-warga (klan-klan) di luar kerajaan (puri) sebagai

sudra menimbulkan gejolak dan perlawanan di akar rumput259

. Hal ini

yang menyebabkan mengapa komunitas Balinuraga lebih nyaman dengan

identitas warga-nya daripada kasta sudra. Mengingat di dalam identitas

warga mereka mendapatkan kejelasan atas jati diri (identitas) mereka

sebagai Bali Hindu melalui identitas kawitannya (warga) yang menjadi

dasar identitas kebalian mereka.

Proses pembangunan komunitas Balinuraga tidak dapat dilepaskan

dari bekerjanya sistem sosial kemasyarakatan mereka. Bekerjanya sistem

sosial kemasyarakatan Bali di Balinuraga menjadikan komunitas ini –

seperti yang disebutkan oleh Geertz (1980) – sebagai sebuah negara

sendiri. Pembangunan dalam komunitas ini baik fisik maupun non-fisik,

yang tidak dapat dilepaskan dari kegiatan perekonomian, ditopang oleh

krama subak atau seka tani. Sistem pertanian ini – dengan beberapa

259

Lihat juga hasil penelitian Vickers (2006), Kerepun (2003, 2007), dan

Dwipayana (2001).

Page 149: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

395

perbedaan dengan yang ada di Bali – berhasil memapankan perekonomian

mereka di bidang pertanian, di mana hasilnya digunakan oleh komunitas

Balinuraga untuk membangun komunitasnya sebagai Kampung Bali

dengan identitas kebaliannya. Salah satu indikator kemapanan ekonomi

mereka sebagai seorang Bali adalah kemampuan ekonomi mereka untuk

menyelenggarakan salah satu upacara besar dan penting, yaitu upacara

ngaben.

Di samping itu, melalui upacara ngaben dapat dilihat bagaimana

perkembangan identitas kebalian komunitas Balinuraga. Dari kasus

upacara ngaben dapat dilihat pula bagaimana komunitas ini mereposisi

kedudukan mereka sebagai golongan jaba melalui atribut-atribut upacara

yang digunakan. Menjadi jelas bahwa status sosial dalam komunitas

Balinuraga (Bali di Lampung) lebih ditentukan oleh kemampuan

ekonominya. Sejak masa kerajaan, upacara ngaben yang besar digunakan

untuk menunjukkan status sosial seseorang, terutama dari kalangan pejabat

atau bangsawan kerajaan. Kini, setelah perekonomian mereka mapan

(golongan jaba), mereka pun bisa melakukannya, tidak hanya yang ada di

Bali, tapi juga (secara khusus) yang ada di Lampung, seperti di Balinuraga.

Di Bali pergeseran ini digambarkan oleh Dwipayana (2001) sebagai

pergeseran dari kasta ke kelas dengan mengkaji pergulatan kelas

menengah Bali.

Page 150: BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN - Institutional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/6/D_902008001_BAB V.pdf · adalah orang Bali dan Hindu. Tidak ... kebudayaan Bali

396