bab v analisis peran militer dan demokrasi v.pdfmasa orde baru dikategorikan sebagai ... secara...

30
70 BAB V ANALISIS PERAN MILITER DAN DEMOKRASI Rezim militer yang ada baik di Indonesia dan Thailand cenderung mengurangi tekanan terhadap politik dan membatasi partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan. Masa Orde Baru dikategorikan sebagai authoritarian bureaucratic bercirikan pemerintahan militeristik. Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi namun sifatnya demokrasi semu (pseudo democracy). Pasca runtuhnya Orde Baru rakyat Indonesia memasuki suatu masa transisi menuju demokrasi (Martin, 2007). Perubahan paradigma militer pada masa reformasi menjadi ciri masa transisi Indonesia menuju demokrasi. Kondisi politik Thailand hingga saat ini masih menunjukkan besarnya kekuatan rezim militer. Pemerintahan oleh junta militer bersifat militeristik dan tak luput dari penyusunan kebijakan represif yang digunakan untuk membungkam suara rakyat. Dalam penulisan ini akan dilakukan pembahasan mengenai pengaruh peran militer terhadap perkembangan demokratisasi di Indonesia dan Thailand. V.1 Analisis Reformasi Peran Militer dan Demokrasi di Indonesia Krisis ekonomi menjadi salah satu key facor pendorong proses demokratisasi. Terbukti karena adanya satu masalah bersama yakni keterpurukan ekonomi mampu mempersatukan masyarakat untuk satu suara menurunkan rezim otoriter Soeharto. Akibat gesekan konflik ekonomi dan politik maka pecahlah gerakan revolusioner karena kekecewaan rakyat terhadap tindakan komersialisasi dan represif pemerintah. Gerakan yang pada awalnya diprakarsai oleh para mahasiswa tersebut terbukti mampu membangkitkan kelompok-kelompok lain untuk menyatukan suara rakyat menutut adanya perbaikan ekonomi dan menjadi penyebab kehancuran legitimasi Presiden Soeharto. Mundurnya militer dari ranah politik dan tercapainya kemajuan demokrasi menunjukkan bahwa Indonesia berhasil mengatasi fragmented society yang sekian lama menjadi penyakit masyarakat dan membuka kesempatan bagi militer untuk masuk dan mendominasi politik Indonesia. Secara konstitusi dengan mundurnya Presiden Soeharto maka Wakil Presiden B.J Habibie menggantikan posisi Soeharto menjadi presiden ke-3

Upload: others

Post on 23-Feb-2020

20 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

70

BAB V

ANALISIS PERAN MILITER DAN DEMOKRASI

Rezim militer yang ada baik di Indonesia dan Thailand cenderung

mengurangi tekanan terhadap politik dan membatasi partisipasi rakyat dalam

proses pengambilan keputusan. Masa Orde Baru dikategorikan sebagai

authoritarian bureaucratic bercirikan pemerintahan militeristik. Indonesia

menganut sistem pemerintahan demokrasi namun sifatnya demokrasi semu

(pseudo democracy). Pasca runtuhnya Orde Baru rakyat Indonesia memasuki

suatu masa transisi menuju demokrasi (Martin, 2007). Perubahan paradigma

militer pada masa reformasi menjadi ciri masa transisi Indonesia menuju

demokrasi. Kondisi politik Thailand hingga saat ini masih menunjukkan besarnya

kekuatan rezim militer. Pemerintahan oleh junta militer bersifat militeristik dan

tak luput dari penyusunan kebijakan represif yang digunakan untuk membungkam

suara rakyat. Dalam penulisan ini akan dilakukan pembahasan mengenai pengaruh

peran militer terhadap perkembangan demokratisasi di Indonesia dan Thailand.

V.1 Analisis Reformasi Peran Militer dan Demokrasi di Indonesia

Krisis ekonomi menjadi salah satu key facor pendorong proses

demokratisasi. Terbukti karena adanya satu masalah bersama yakni keterpurukan

ekonomi mampu mempersatukan masyarakat untuk satu suara menurunkan rezim

otoriter Soeharto. Akibat gesekan konflik ekonomi dan politik maka pecahlah

gerakan revolusioner karena kekecewaan rakyat terhadap tindakan komersialisasi

dan represif pemerintah. Gerakan yang pada awalnya diprakarsai oleh para

mahasiswa tersebut terbukti mampu membangkitkan kelompok-kelompok lain

untuk menyatukan suara rakyat menutut adanya perbaikan ekonomi dan menjadi

penyebab kehancuran legitimasi Presiden Soeharto. Mundurnya militer dari ranah

politik dan tercapainya kemajuan demokrasi menunjukkan bahwa Indonesia

berhasil mengatasi fragmented society yang sekian lama menjadi penyakit

masyarakat dan membuka kesempatan bagi militer untuk masuk dan mendominasi

politik Indonesia.

Secara konstitusi dengan mundurnya Presiden Soeharto maka Wakil

Presiden B.J Habibie menggantikan posisi Soeharto menjadi presiden ke-3

71

Indonesia. Masa pemerintahan Habibie tidak banyak mengeluarkan kebijakan

yang mencerminkan masa transisi demokrasi dan dipenuhi situasi chaos. Kaum

reformis menilai bahwa Habibie adalah warisan dari Orde Baru. Hal ini terbukti

dengan masih adanya praktek kolusi dan nepotisme dalam pengangkatan kabinet

dan MPR yang didominasi oleh orang-orang Ikatan Cendekiawan Muslim

Indonesia (ICMI) juga orang-orang yang dianggap Habibie sebagai kawan.

(Yulianto, 2002: 344-345)

Peranan ABRI setelah turunnya Soeharto tidak lagi mendominasi

melainkan mendukung. Perubahan sikap militer ini membuka peluang

pelaksanaan objective civilian control untuk menjadikan militer profesional.

Menurut Salim Said kontrol sipil objektif sangat mungkin untuk dilakukan karena

1) posisi tentara tidak diuntungkan akibat pemberlakuan sikap represifnya sebagai

pelaksana kebijakan keamanan otoriter pemerintah Orba, 2) berakhirnya Perang

Dingin turut merubah sikap internasional terhadap peran politik tentara, 3)

bangkitnya peran kekuatan sipil kritis terhadap peran politik tentara (Said,

2010:108). Salah satu upaya pelaksanaan kontrol sipil objektif dilakukan Habibie

dengan menyerahkan penataan peran militer kepada Panglima ABRI Jenderal TNI

Wiranto.

Pada 5 Oktober 1998, Menhakam/Pangab Jenderal Wiranto mengeluarkan

buku berjudul “ABRI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi Peran

ABRI dalam Kehidupan Bangsa.” Buku tersebut berisi penyesuaian implementasi

peran sosial politik ABRI pada masa transisi. Pada dasarnya peran sosial politik

ABRI tidak dihilangkan hanya saja posisi dan metode ABRI telah diubah, ABRI

tidak akan menempati peran sentral namun akan memberikan kesempatan pada

instansi fungsional terkait untuk dapat melaksanakan tugas-tugasnya. ABRI juga

akan memperkecil dan membatasi posisinya yang memiliki nilai strategis dalam

politik praktis. ABRI akan tetap memberikan kontribusi dalam pemerintahan

melalui pemikiran yang bersifat konstruktif, bukan intervensi. Terakhir

pengambilan keputusan kenegaraan dan pemerintahan akan dilakukan dengan

membagi peran ABRI bersama mitra sipil dan menempatkan institusi secara

fungsional. (Yulianto, 2002: 351-354)

72

Dalam masa pemerintahan Habibie tidak banyak kebijakan untuk

mengembangkan kontrol sipil terhadap militer. Walaupun terdapat mutasi dalam

tubuh ABRI namun Habibie tetap mempertahankan kedudukan strategis yang

dipegang oleh para pejabat-pejabat militer semasa pemerintahan Soeharto.

Kontestasi militer menjadi salah satu faktor penghambat demokratisasi pada masa

Habibie. Habibie tidak dapat memaksa militer untuk menjawab tindak lanjut

pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM mengenai penculikan terhadap aktifis

pro-demokrasi, Tanjung Priok, Lampung Berdarah dan Timor Loro Sae.

Ketegangan hubungan sipil-militer pada masa Habibie meningkat akibat

kebijakan Habibie untuk membuka kebebasan pers. Dampak dari kebijakan ini

militer harus menerima kritikan-kritikan dan tuntutan-tuntutan atas konsekuensi

sikap represifnya di masa lalu. Walaupun militer telah berkenan melakukan

reposisi dan redefinisi peran sospol ABRI, tetapi seperti tertulis di atas bahwa

ABRI tidak berkenan sepenuhnya untuk melepaskan pengaruhnya dalam bidang

sosial politik. Puncak momentum perpecahan Habibie dan militer terjadi pada 27

Januari 1999, akibat kebijakan Habibie dalam penyelesaian kasus Timor Timur

yang dinilai militer justru merupakan kesalahan besar dalam sejarah Indonesia.

(Haramin, 2004:118-119)

Selain itu keinginan Habibie untuk menjadikan Wiranto sebagai wapres

menunjukan ketidakkonsistensian terhadap penegakan supremasi sipil. Sikap yang

ditujukkan Habibie dinilai sebagai ketakutannya karena merasa lemah atau tidak

aman jika militer tidak menjadi pendukung utamanya. Sikap para poltisi sipil yang

selalu menganggap militer sebagai kekuatan strategis pendukung legitimasi

kekuasannya menjadi penghambat bagi penegakkan supremasi sipil. Pemilu 1999

menghantarkan Habibie pada akhir karirnya. Faktor lain yang mencederai karir

politik Habibie adalah perpecahan dalam tubuh Golkar. Sebagai akibat dari

keretakan hubungan Habibie dengan Wiranto, menyebabkan Golkar terbagi dalam

dua kubu. Kubu pertama Akbar Tanjung dan Marzuki Darusman lebih optimis

terhadap Wiranto untuk menjadi calon presiden, sedangkan kubu Irmasuka lebih

memilih Habibie. Kenyataan ini menghantarkan Golkar pada kekalahannya karena

terpaku pada permainan politik lawan. (Haramin, 2004: 121)

73

Merujuk pada teori O’Donnell dan Schmitter (1993) maka masa transisi

Indonesia baru nampak jelas terlihat pada setelah hasil pemilu 1999 dicapai. Hal

ini terlihat jelas dari lahirnya liberalisasi dan pelaksanaan pemilu 1999, dianggap

sebagai perlehatan sukses dalam sejarah politik Indonesia. Masa pemerintahan

Abdurrahman Wahid dianggap sebagai masa titik tolak Reformasi di Indonesia.

Gagasan Gus Dur tentang bagaimana militer berperan di Indonesia telah berhasil

mengubah pandangan sipil bahwa dominasi militer selama ini sangatlah

bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Menurut Gus Dur militer

seharusnya menjadi tiga pilar pendukung negara yakni teritorial, rakyat dan

pemerintah itu sendiri.

Gus Dur menyadari bahwa supremasi sipil di Indonesia tidak bisa

sepenuhnya disamakan dengan negara lain, oleh karena itu perlu dijelaskan bahwa

supremasi sipil yang dimaksud adalah suatu pembagian peran yang seimbang

antara militer dan sipil, tidak perlu ada supremasi sipil yang mensubordinasi

militer. Hal ini dapat kita lihat dalam wujud kabinet Persatuan Nasional yang

masih terisi oleh beberapa perwira militer di dalamnya (Haramin, 2004:188-198).

Penerapan militarizing the military dengan upaya memperbesar profesionalisme

militer, walaupun kekuasan militer diminimalkan namun tidak menghilangkan

sepenuhnya peran militer melainkan menyediakan wadah yang memerlukan

profesionalisme militer. Cara ini menurut Huntington dianggap dapat

menciptakan dan mengelola hubungan sipil-militer yang sehat.

Pada bulan April 2000 dalam rapim TNI Panglima TNI Laksamana

Widodo AS secara tegas menyatakan bahwa TNI akan menginggalkan fungsi

sospol yang menyimpang dari jati diri TNI sebagai bhayangkari (pasukan

pengawal) negara, sehingga TNI akan berkonsentrasi pada pelaksanaan tugas-

tugas pertahanan.1 Pengukuhan legalitas peran TNI yang baru dilakukan melalui

Tap MPR Nomor VII/MPR/2000, berisi penetapan peran TNI sebagai alat negara

dalam pertahanan, bertugas memberikan bantuan dan ikut serta dalam

penyelenggaraan negara.2 Melalui keputusan tersebut disepakati oleh sipil dan

militer bahwasannya peran politik legal militer secara resmi ditinggalkan.

1 Kompas, edisi 20 April 2000. “Tinggalkan Sospol, Konsentrasi pada Pertahanan”

2 Tap MPR RI Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran

Kepolisian Negara Republik Indonesia

74

Kebijakan tersebut mencapai kata mufakat karena adanya kesadaran dari

organisasi militer sendiri, bahwa “dwifungsi” sebenarnya menjadikan badan

militer sebagai alat yang dimanfaatkan Presiden Soeharto untuk berkuasa. Faktor

pendorong profesionalisme militer Indonesia lainya adalah persepsi diri para

perwira militer generasi baru. Jika dahulu militer angkatan 45 melihat diri sebagai

pejuang dan menganggap dirinya memiliki hak berpolitik, generasi perwira baru

justru lebih melihat diri sebagai tentara profesional. (Said, 2015:103-104)

Usaha Gus Dur untuk mengurangi hak prerogratif militer dilakukan dengan

Keputusan Presiden (Keppres) No. 38/2000 tentang Penghapusan Badan

Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas) dan Lembaga

Penelitian Khusus (Litsus). Bakorstanas dan Litsus dinilai tidak sesuai dengan

masa reformasi. Hal ini dikarenakan kedua lembaga ini dianggap sebagai

instrumen otoriter Orba(Haramin, 2004:202-207). Kebijakan Bakorstanas dan

Litsus dimaksudkan untuk menciptakan hubungan sipil-militer yang berorientasi

pada adanya kontrol sipil atas militer. Upaya restrukturisai militer juga dilakukan

presiden melalui Keppres NO. 65/TNI/2000 mengumumkan likuidasi posisi

Wakil Panglima (Wapang). Alasan penghapusan Wapang adalah demi

kepentingan perampingan dan restrukturisasi TNI.

Pada awal masa reformasi terdapat gagasan pemisahan ABRI-Polri

melalui Instruksi Presiden No.2/19993, namun kenyataan dilapangan Polri masih

berada dibawah komando ABRI. Untuk menegaskan ide tersebut dalam masa

pemerintahan Abdurrahman Wahid dikeluarkan Ketetapan MPR/VI/2000 tentang

Pemisahan TNI dan Polri4 dan Kepres Nomor 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan

Kepolisian RI yang menegaskan bahwa Polri berkedudukan langsung dibawah

presiden.5 Maka dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut presiden telah berhasil

melepaskan peran militer dari masalah keamanan dalam negeri dan menegaskan

bahwasannya polisi bertugas untuk menjadi penegak hukum dan keamanan.

Reposisi militer dari tubuh birokrasi pemerintahan sipil utamanya dalam

kementrian pertahanan ditunjukkan dengan memisahkan jabatan Menhakam dan

3 Keputusan Presiden RI: Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah-langkah Kebijakan dalam rangka pemisahan

Kepolisian Negara RI dari ABRI 4 Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara

Republik Indonesia 5 Keputusan Presiden RI: Nomor 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia

75

Pangab. Penempatan sipil pertama kali di Dephan dalam masa pemerintahan

Abdurrahman Wahid dilakukan dengan mengangkat Juwono Sudarsono menjadi

Menteri Pertahanan dan menempatkan Laksamana TNI Widodo AS yang

notabene Angkatan Laut (AL) sebagai Panglima TNI yang selama ini dipegang

oleh Jenderal Angakatan Darat(Haramin, 2004: 212-213). Penempatan sipil pada

jabatan Menhan memperlihatkan keseriusan Gus Dur mewujudkan sipilisasi

wajah Departemen Pertahanan yang dahulu didominasi militer. Terjadinya

perubahan dalam struktur kepemimpinan TNI menjadi pendorong pembinaan

karir dan kompetisi yang sehat serta profesional dalam tubuh militer.

Pengangkatan jabatan strategis lainnya adalah Kepala Badan Intelijen Strategis

(KaBais) yang selama ini diduduki perwira AD diganti oleh Marsekal Muda TNI

Ian Perdanakusuma dari TNI Angkatan Udara (AU) dan pengangkatan Kasuspen

TNI oleh Marsekal Muda TNI Graito Usodo (Yulianto, 2002: 393-396).

Kebijakan ini tidak hanya menjadikan fungsi struktur kedua jabatan lebih optimal

tetapi juga membantu peningkatan supremasi sipil di Indonesia.

Sebagai langkah penyelesaian konflik dan separatisme di daerah Gus Dur

memilih jalan damai melalui dialog. Presiden mengeluarkan status otonomi

khusus untuk Aceh dengan UU No.18 tahun 2001 tentang Nangroe Aceh

Darussalam dan membenarkan pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Penyelesaian

konflik Irian Jaya dilakukan dengan menyetujui tuntutan masyarakat Papua untuk

mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua dan ijin untuk mengibarkan bendera

Bintang Kejora. Tetapi dalam pernyatannya presiden menginginkan rakyat Papua

untuk tetap mematuhi dan melaksanakan konstitusi NKRI. (Haramin, 2004: 227-

229)

Upaya penegakan supremasi hukum dilakukan Presiden Abdurrahman

Wahid dengan menunjukkan komitmennya untuk mengusut dan menuntaskan

masalah pelanggaran hak asasi manusia justru melahirkan kontestasi militer. Salah

satu penyelesaian kasus penculikan aktivis pro-demokrasi yang dilakukan oleh

Kopassus. Hasilnya Letjen TNI Prabowo Subiyanto diberhentikan secara hormat

dari ABRI, Mayjen TNI Muchdi dan Kol Inf Chairawan dibebas tugaskan dan

jabatan struktrual di ABRI. Kedua, kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok

1984 dan pelanggaran HAM di Timor Timur. Jenderal (Purn) TNI Wiranto

76

dipersalahkan atas kasus Timor Timur dan diminta untuk mengundurkan diri dari

jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam)

(Yulianto, 2002: 381-383). Pengusutan kasus-kasus tersebut dengan pemanggilan

para jenderal telah membuat prajurit sakit hati dan TNI merasa dipojokkan.

Dinamika hubungan-sipil militer dalam masa pemerintahan Presiden

Abdurrahman Wahid paling banyak mendapatkan sorotan dalam kebijaknnya

menyangkut mutasi TNI. Mutasi pada bulan Febuari 2000 melibatkan sebanyak

74 perwira tinggi di lingkungan TNI. Keputusan mutasi dianggap sebagai langkah

dramatis presiden untuk mereformasi TNI, tindakan ini justru dianggap sebagai

upaya intervensi presiden dan mengakibatkan berbagai ketidakpuasan ditubuh

militer yang pada akhirnya terbagi dalam dua kubu. Kubu pertama adalah

kelompok Wiranto, sebanyak 12 jenderal lulusan Akademi Militer Nasional

(AMN) membuat draft pernyataan protes yang berisi bahwa sebanyak 4 jenderal

menolak ditempatkan pada posisi barunya dan 8 jenderal bermaksud

mengundurkan diri.(Cahyono, 2000)

Tabel 5.1

Daftar Sebagian Nama Jabatan, Pejabat Lama, Pejabat Baru

Strategis dalam Mutasi 28 Febuari 2000

Jabatan Pejabat Lama Pejabat Baru

Kasum TNI Letjen TNI Suaidi Marassabessy Letjen TNI Djamari Chaniago

Pangkostrad Letjen TNI Djaja Suparman Mayjen TNI Agus

Wirahadikusumah

Wakil KSAD Letjen TNI Djamari Chaniago Letjen TNI Endriartono S.

Wakil KSAU Marsdya TNI II Gede Sudana Marsda Mudjiono Said

Dan Sekso

TNI

Letjen TNI Endriartono S. Letjen TNI Djaja Suparman

Pangdam

VII/Wirabuana

Mayjen TNI Agus

Wirahadikusumah

Brigjen TNI S.Kirbiantoro

Dan Paspampers Mayjen TNI Suwandi Brigjen TNI Putu Sastra W.

Kasdam Jaya Brigjen TNI Achmad Yahya Kolonel Romulo Robert S.

Irjenal Mayjen TNI (Mar) Sudarsono K Laksda TNI Djaelani

Irjenau Marsda TNI Irawan Saleh Marsda TNI Iskak Karminto

Sumber: Yulianto, Arif. 2002. Hubungan Sipil Militer Di Indonesia Pasca Orba Ditengah Pusaran

Demokrasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal: 406

77

Kubu lainnya adalah kubu Agus Wirahadikusumah (AWK) yang dinilai

memiliki pandangan sangat demokratis, namun dikalangan TNI AWK tidak

begitu disukai karena pemikirannya yang radikal dan agak revolusioner tidak

sesuai dengan karakter dan watak tentara. Banyak perwira tinggi tidak

mendukung AWK dalam jabatan Pangkostrad sebagai konsekuensi dari

gebrakannya membongkar skandal korupsi di lingkungan Kostrad atas Yayasan

Dharma Putra dan Mandala Air Lines. Hal lain yang mengurangi solidnya TNI

adalah pernyataan-pernyataan AWK yang terlalu lantang untuk membubarkan

komando teritorial, dinilai tidak menghargai senioritas militer karena tidak adanya

koordinasi internal. Bahkan Agus Wirahadikusumah pernah meluncurkan buku

yang mengatakan bahwa Dwi Fugsi ABRI adalah anak haram yang terlanjur

dilahirkan.(Yulianto, 2002: 408-410)

Reformasi tentu saja tidak hanya menyangkut peran sospol militer namun

juga menyetuh bisnis-bisnis militer. Kesadaran akan akar penyebab dari tindakan

korupsi yang sudah melembaga dalam tubuh militer membuat pemerintah

mengeluarkan kebijakan peningkatan anggaran militer. Pemerintah menyadari

bahwa anggaran TNI dan Polri sangat minim dibanding negara-nagara lain dan

pembentukan bisnis militer telah mengganggu asas profesionalitas militer.

Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan agar militer bersedia mematuhi

hukum dan bersikap profesional dengan tidak mendekati praktik politik. Seluruh

kebutuhan militer dicatat dalam anggaran, diantaranya kegiatan operasi,

pembelian anggaran, pembinaan personil, dan peningkatan kesejahteraan prajurit.

Pada akhirnya pemerintah menyediakan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN) untuk anggaran TNI dan Polri sebesar Rp 10,9 triliyun dan

Anggaran Belanja Tambahan (ABT) sebanyak Rp 500 milyar untuk menangani

kerusuhan disejumlah daerah. (Yulianto, 2002: 217-218)

Pada masa akhir pemerintahannya Abdurrahman Wahid disulitkan oleh

lawan-lawannya yang berasal dari DPR, militer dan wakil presiden Megawati.

DPR mengecam berbagai tindakan presiden menyangkut kebijakan terhadap

militer dan hak prerogatif presiden. Permasalahan mengenai hak prerogatif

presiden ditengarai berasal dari kebijakan presiden atas pembubaran Departemen

Sosial (Depsos) dan Departemen Penerangan (Deppen) serta pencopotan Yusuf

78

Kalla dan Laksamana Sukardi dari jabatan menteri karena dugaan terlibat KKN.

Keretakan hubungan presiden semakin terlihat ketika pada tanggal 20 Juli 2000

DPR menyetujui penggunaan hak interpelasi untuk meminta keterangan presiden

mengenai masalah-masalah tersebut.6 Presiden menolak menjawab secara terbuka

megenai hak interpelasi dengan dasar pertimbangan bahwa dirinya akan

melanggar kontitusi UUD 1945, pemberlakuan sistem presidensil berarti bahwa

parlemen tidak memiliki kuasa untuk menjatuhkan presiden dan menegaskan

tugas DPR sebagai fungsi pengawasan. Puncak ketegangan antara Gus Dur dan

parlemen disebabkan oleh kasus dugaan penyelewengan Dana Yanatera Bulog

dan Bantuan dari Sultan Brunei.7 Kasus ini menghantarkan parlemen untuk

mengeluarkan Memorandum I dan II untuk meminta pertanggungjawaban atas

kinerja presiden (Haramin, 2004: 269-276). Friksi-friksi antara presiden dan

parlemen tidak dapat dihindarkan dari situasi yang semakin kacau kemudian.

Kejatuhan Gus Dur tidak terlepas dari sikap militer yang tidak

memberikan dukungan terhadap pemerintahannya. Selain besarnya intervensi Gus

Dur pada internal tubuh militer, kekecewaan terbesar militer berasal dari

penonaktifan Wiranto dan penyelesaian kasus Aceh yang justru semakin

mengeliminasi peran militer dalam persoalan dalam negeri. Inkonsistensi sikap

militer diperlihatkan sejak Gus Dur terlibat dalam kasus Buloggate dan

Brunaigate. Ketidakpatuhan militer atas perintah presiden diperlihatkan dengan

penolakan TNI-Polri melaksanakan Maklumat Presiden(Lampiran 3).8 Alasan

penolakan tersebut didasari oleh kebijakan presiden yang ingin membekukan DPR

dan MPR tidak sesuai dengan jiwa dan aksara UUD 1945, begitu pula presiden

tidak memiliki wewenang membekukan Partai Golkar karena telah diatur dalam

UU No.2 tahun 1999 yang mana adalah kapasitas Mahkamah Agung. (Yulianto,

2002: 403-441)

Masa pemerintahan setelah Gus Dur dianggap hanya melanjutkan proses-

proses transisi demokrasi di Indonesia. Hubungan sipil-militer di Indonesia sejak

masa Presiden Megawati hingga saat ini tidak terlepas dari isu-isu penting yang

belum dituntaskan oleh pemerintahan sipil. Isu-isu penting tersebut menyangkut

6 Gamma, edisi 19-25 Juli 2000

7 Tempo, edisi 8 April 2001. Hal: 38-42

8 Kompas, edisi 23 Juli 2000. Presiden Belakukan Dekrit.

79

kejelasan UU Pertahanan dan Keamanan, serta struktur antara institusi militer

dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Mahkamah Agung (MA) dan

Kementrian Pertahanan (Kemhan).

Secara de jure, Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 menyatakan bahwa

lembaga militer tidak diperkenankan melibatkan diri dalam kegiatan politik

praktis. Kenyatannya, militer masih berada di DPR sampai tahun 2004 dan MPR

sampai tahun 2009. Ketetapan tersebut juga mengatur bahwa keterlibatan militer

dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui MPR paling lama

sampai dengan tahun 2009. Terdapat ambivalensi menyangkut keikutsertaan

militer dalam penyelenggaraan negara, disatu sisi militer masih terlibat di MPR,

sedangkan disisi lain militer sebagai pelaksana kebijakan politik negara.

Walaupun keterlibatan anggota TNI/Polri dalam masa ini tidak mengkondisikan

badannya untuk mengamankan kekuasaan eksekutif semata dan berupaya

meminimalisir kontrol DPR terhadap eksekutif seperti dahulu sebelum reformasi,

kini militer memposisikan dirinya dengan lebih banyak bersikap netral atau

abstain. Hal lain yang menjadi bahan perdebatan adalah belum tuntasnya

pembahasan RUU Pertahanan sebagai pengganti UU Nomor 20/1982 tentang

Ketentuan-Ketentuan Hamkaneg. Pelaksanaan Tap MPR Nomor VII/MPR/2000

terbentur dengan UU Nomor 20/1982 yang saat ini masih belum dicabut. UU

Nomor 20/1982 mengatur TNI/Polri (pada saat itu ABRI) sebagai kekuatan

pertahanan dan keamanan, serta sebagai kekuatan sosial-politik (Yulianto, 2002:

512-515). Menjadi dilematis karena terdapat dua peraturan yang masih berlaku

dengan isi substansi bertolak belakang.

Berdasar data-data tersebut dapat

disimpulkan bahwa pada dasarnya militer masih memiliki peran dalam sistem

politik dan hak-hak istimewa militer masih relatif tinggi. Meskipun tingkat

partsipasinya relatif sangat rendah karena tidak lagi memiliki peran politik praktis.

Dalam bukunya Yulianto Arif (2000:511) mengatakan bahwa “dalam

rezim demokratis, hak-hak istimewa militer dikatakan rendah apabila kepala

eksekutif (Presiden) secara de jure dan de facto merupakan Panglima Tertinggi,

sedangkan jika de facto kontrol militer ada di tangan Panglima Angkatan

Bersenjata dinas aktif maka hak-hak istimewa militer tinggi”. Secara de jure Pasal

10 UUD 1945 secara jelas menyatakan bahwa Presiden RI adalah Panglima

80

Tertinggi angkatan bersenjata. Namun kekuasaan presiden sebagai Pangti juga

dibatasi dalam skala tertentu. Sebagai contoh, presiden memiliki wewenang untuk

mengangkat dan memberhentikan Panglima TNI harus sepersetujuan DPR.

Presiden memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan Kepala

Staf Angkatan, namun harus dilakukan berdasar usulan dari Panglima TNI

melalui prosedur Wanjakti. Pasal 11 UUD 1945 dikatakan bahwa presiden

memiliki kuasa untuk menyatakan perang dan membuat perdamainan atas

persetujuan DPR. Maka dapat disimpulkan bahwa hak-hak istimewa militer dalam

hubungannya dengan Presiden/Panglima Tertinggi relatif rendah.

Pada negara sistem demokrasi hak-hak istimewa militer rendah jika secara

de jure dan de facto koordinasi pertahanan dilakukan oleh pejabat sipil di kabinet

melalui penunjukkan langsung oleh eksekutif, sedangkan hak-hak istimewa tinggi

jika secara de jure dan de facto koordinasi pertahanan dilakukan oleh Kepala-

Kepala Staf Angakatan secara terpisah serta ditambah kelemahan pengawasan dari

Markas Besar Gabungan serta perencaan yang lemah dari eksekutif (Yulianto,

2002: 525). Pada masa reformasi Gus Dur memulai koordinasi sektor pertahanan

dengan menempatkan sipil pada jabatan menteri pertahanan. UU No.3 tahun 2002

tentang Pertahanan Negara menjelaskan bahwa Kementerian Pertahanan sebagai

otoritas sipil dala urusan pertahanan negara. Mayoritas pada negara demokrasi

menerapkan struktur institusi militer dibawah menteri pertahanan. Namun di

Indonesia menteri pertahanan tidak memiliki fungsi komando atas militer.

Wewenang komando dipegang oleh Presiden dibantu Panglima TNI, kedudukan

Panglima TNI adalah sejajar dengan menteri pertahanan. Fakta ini menunjukan

bahwa masalah pertahanan masih didominasi oleh kalangan militer. Reformasi

struktural antara Kemhan dan TNI masih belum selesai. UU Nomor 34 Pasal 3

(ayat 2) Tahun 2004, secara jelas menyatakan bahwa terdapat mandat UU untuk

meleburkan TNI ke dalam Kementerian Pertahanan (Sukadis. 2015:12-15). Secara

teoritis Kemhan berhak menetapkan kebijakan penataan terhadap TNI sebagai

otoritas politik di bidang pertahanan karena TNI adalah instrumen operasional

negara. Terhambatnya Perpres proses restrukturisasi ini karena mendapat

penolakan dari militer. Dalam sesi wawancara Beni Sukadis menyatakan bahwa

terhambatnya penerapan UU No.34 Pasal 3 th 2004 dapat berkomplikasi pula

81

pada upaya supremasi sipil. Secara de jure hak-hak istimewa militer menjalankan

kontrol efektif di Kemhan memang tidak ada, namun karena pemerintah sipil

belum mampu melaksanakan hak-hak istimewanya dan juga karena militer masih

melakukan penentangan pasif dan aktif dengan tetap menyalurkan anggotanya ke

Kemhan maka hak-hak istimewa militer dikatakan moderat. Hal tersebut

dikarenakan walaupun militer aktif di Kemhan namun pihak militer tetap bersikap

akomodatif terhadap kebijakan sipil (menerima sipil menjadi Menteri Pertahanan)

dengan demikian menunjukan kemajuan kontrol sipil walaupun belum

sepenuhnya.

Isu-isu kebijakan penting tentang anggaran belanja militer, struktur militer

dan pengadaan persenjataan baru militer pada negara demokrasi biasanya

terpantau oleh badan pembuat undang-undang. Setelah masa Orba, Komisi I DPR

diitunjuk membidangi masalah pertahanan kemananan. Menurut Beni Sukadis,

terdapat duplikasi kewenangan dalam pembuatan UU mengenai bidang

pertahanan. Hingga saat ini Mabes TNI masih memutuskan sendiri soal pembelian

senjata, padahal prosedur seharusnya adalah militer hanya diperkenankan

memberi usulan pengadaan persenjataan baru kepada Kemhan untuk selanjutnya

dievaluasi oleh tim evaluasi, kemudian dibawa ke DPR. Maka terlihat bahwa hak-

hak istimewa militer berada pada tingkat tinggi karena fungsi DPR tidak berjalan

efektif, jika kontrol DPR berjalan dengan optimal maka pemerintah dapat

meminimalisir pelanggaran-pelanggaran pengadaan senjata.

Pada prinsip mayoritas negara demokratis, kedudukan kepolisian berada

dibawah kementerian non-militer atau pejabat lokal daerah. Angkatan senjata dan

kepolisian adalah badan yang berbeda dan memiliki struktur komando berbeda.

Maka pada masa reformasi, organisasi militer dan kepolisian dipisahkan.

Kedudukan Polri berada langsung dibawah presiden, sehingga Kapolri diangkat

dan diberhentikan langsung oleh presiden melalui persetujuan DPR. Perubahan

stuktur ini membuat TNI dan Polri menjadi sejajar. Status anggota Polri berbuah

menjadi pegawai negeri kepolisian Republik Indonesia. Walaupun melalui Tap

MPR Nomor VII/2000 telah mengatur pemisahan peran TNI dan Polri. TNI

bertugas sebagai alat pertahanan negara dengan tugas pokok menegakkan

kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan melindungi dari ancaman dan gangguan

82

terhadap keutuhan bangsa dan negara, sedangkan Polri berperan memelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberi pengayoman

dan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini mendeksripsikan bahwa tugas TNI

lebih bersifat menanggulangi ancaman eksternal, sedangkan Polri berperan

menanggulangi ancaman internal. Namun dalam konteks pendeskripsiannya

terdapat tumpang tindih mengenai penjelasan masalah penanganan keamanan

(national security), sehingga terjadi ambiguitas dalam pelaksanaan lapangan

karena baik TNI maupun Polri merasa merupakan tugasnya ataupun sebaliknya.

Sebagai contoh penanganan Gerakan Aceh Merdeka oleh Polri, dilihat dari

dimensi kedaulatan dan keutuhan wilayah nasional maka jelas permasalahan

tersebut adalah tugas TNI, meskipun ancaman datang dari dalam negeri (Yulianto,

2002: 567-573). Secara fisik tampilan Polri sudah berubah jika dibandingkan pada

masa Orba, namun aspek perilaku dan penampilan masih cenderung militeristik.

Hal ini disoroti dengan melihat cepatnya rotasi pejabat, kentalnya budaya

militeristik, kasus korupsi, cara berfikir doktriner dan pandangan selalu benar

dalam tindakan (superbody). Dugaan bahwa Polri tidak serius melakukan

reformasi ditengarai keinginan pelaksanaan reformasi oleh internal Polri sendiri.

Dalam masa reformasi ini masih tercatat adanya tindakan kekerasan yang

dilakukan aparat kepolisian terhadap penduduk sipil. Sebagai contoh Kontras

mencatat pelanggaran bahwa kepolisian menduduki peringkat pertama pelaku

kekerasan di Indonesia dengan 704 kasus yang dilaporkan (Makaarim, 2015: 86-

99). Analisa hak-hak keistimewaan kepolisian secara de jure relatif rendah,

namun karena ketidaksiapan pemerintah sipil menjadikan institusi polisi lebih

modern, mandiri dan profesional, maka hak-hak keistimewaan lembaga militer

menjadi moderat.

Dalam sistem negara demokratis hak-hak istimewa militer dikatakan

“rendah” jika militer tidak memiliki yuridiksi legal di luar wilayah yang terbatas

mengenai pelanggaran internal atas tindakan indispliner. Serta dikatakan “tinggi”

jika UU keamanan nasional dan sistem pengadilan militer mencakup bidang yang

luas dari politik dan sipil. Hal ini membuat kemungkinan militer diadili menjadi

kecil (Yulianto, 2002: 591-596). Agenda reformasi militer telah dimandatkan

dalam UU Nomor 34 tahun 2004 pasal 65 (ayat 2) menyatakan bahwa prajurit

83

TNI tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum

militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum

pidana umum yang diatur dengan UU (Araf dan Mengko, 2015:33-34). Merujuk

dari penjelasan pasal ini dapat disimpulkan bahwa jelas pelanggaran pidana yang

dilakukan oleh prajurit TNI harus di bawa ke pangadilan umum (sipil). Namun

kenyataanya terdapat beberapa kasus pidana yang justru di adili pada pengadilan

militer. Seperti pelanggaran HAM yang sampai saat ini masih menggunakan

pengadilan koneksitas dan pengadilan militer. Tersendatnya agenda reformasi

peradilan militer disebabkan oleh sikap pemerintah pada tahun 2009 yang tidak

lagi memberi dukungan. Mundurnya kemauan pemerintah ditengarai karena

adanya resistensi dari sebagian kalangan militer dan dugaan money politic

disebagian anggota parlemen untuk mengagalkan revisi UU No. 31/1977 tentang

peradilan militer (Araf dan Mengko, 2015:33-34). Maka hasil analisa dari data-

data tersebut terlihat bahwa hak-hak istimewa militer dalam sistem hukum masih

relatif “tinggi”. Meskipun secara de jure tata cara persidangan telah diatur, namun

secara de facto masih banyak kasus pidana umum yang diselesaikan di pengadilan

militer. Jika melihat dari kontestasi militer maka kebijakan pemerintah sipil dalam

menegakan supremasi hukum mendapat perlawanan/pertentangan tinggi dari

militer, sehingga menimbulkan konflik yang tinggi pula.

Situasi Indonesia saat ini dapat dikatakan telah memasuki demokrasi

terkonsolidasi, terlebih sejak diadakannya pemilihan umum pada tahun 2004.

Pentingnya pelaksanaan pemilu sebagai pintu masuk membangun pemerintahan

berdemokratis telah diamanatkan pada pembukaan UUD 1945 alinea ketiga. Pasca

runtuhnya Soeharto dan dimulainya agenda reformasi, terlihat kebangkitan besar

dari kesadaran para pemimpin politik dan masyarakat bahwa demokrasi adalah

sistem politik yang mampu menjamin masa depan Indonesia. Hal ini ditandai

dengan adanya empat perubahan mendasar dalam mekanisme pemilu. Pertama,

ditandai dengan kembalinya sistem multi-partai. Kedua, pemilu diadakan dua kali,

pemilu pertama untuk memilih wakil rakyat dan pemilu kedua untuk memilih

presiden secara langsung. Ketiga, dimandatkannya UU No.32 tahun 2004 tentang

pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah sebagai landasan pelaksanaan PILKADA. Keempat,

84

Mahkamah Konstitusi memutuskan perhitungan suara menggunakan suara

terbanyak. Perubahan-perubahan tersebut telah mendasari perubahan pada sistem,

struktur, intensitas persaingan dan perilaku institusi-institusi dalam pelaksanaan

Pemilu (Firmanzah, 2010: 8-9). Perubahan-perubahan ini juga disambut dengan

lahirnya euphoria massa dengan skala besar yang berupaya melegalisasi segala

hal atas nama orde reformasi.

V.2 Analisis Reformasi Peran Militer dan Demokrasi di Thailand

Sejak perubahan bentuk pemerintahan dari monarki absolut ke monarki

konstitusional negara Thailand telah mengalami 24 kudeta. Mayoritas kudeta

dilakukan oleh militer. Perkembangan proses demokratisasi di Thailand

berkembang pesat sejak tahun 1992 setelah Konstitusi 1992 disetujui. Memasuki

tahun 1997 demokrasi terkonsolidasi mulai diterapkan, walaupun mayoritas

pemerintahan masih dipimpin oleh perdana menteri militer. Pemilihan umum pada

tahun 2001 menjadi peristiwa penting bagi perkembangan demokratisasi Thailand

setelah sekian tahun lamanya Thailand memulai kembali usaha demokratisasi.

Sayangnya pada tahun 2006 junta militer dianggap mengalami set back melalui

peristiwa kudeta terhadap pemerintahan Thaksin.

Pemilu pada tahun 2001 membuktikan bahwa Thailand telah bersiap

melakukan upaya demokratisasi sepenuhnya. Hal ini terwujud dengan dibukanya

kran lebar untuk berpartisipasi dalam poltik bagi masyarakat dan aktor-aktor

politik. Pemilu 2001 diikuti oleh 37 partai politik dan sebanyak 42.798.001

pemilih sah (Kusumawardani, 2012). Hasil pemilu 2001 memberi kemenangan

kepada Thaksin yang pada awal masa pemerintahannya dianggap pemerintahan

pro-rakyat. Dalam pelaksanaan sistem pemilu kali ini lahir koalisi-koalisi partai

terdiri dari kubu pro pemerintah (TRT, Chart Thai, New Aspiration, Seritham)

dan oposisi (Demokrat dan Chart Pattana). Hal ini memperlihatkan kemajuan

demokrasi karena koalisi antar partai sangat jarang terjadi di Thailand.

Kemenangan Thaksin juga memperlihatkan kemajuan pelakanaan Konstitusi 1997

yang menjadi landasan pelaksanaan pemilu. Kesalahan-kesalahan yang telah

dilakukan Thaksin mendorong kondisi poltik Thailand memasuki masa chaos.

Setelah junta militer berhasil melakukan kudeta terhadap Thaksin, kini situasi

85

politik Thailand kembali pada masa sebelum pemilu demokratis yakni dengan

diberlakukannya kembali otoriterianisme militer.

Sebelumnya telah dibahas bahwa raja dan militer adalah kekuatan elit

paling mendominasi di Thailand. Pada kudeta tahun 2006 hubungan raja dan

militer terlihat melalui pernyataan junta militer bahwa Raja telah memberikan

dukungan terhadap tindakan kudeta serta dukungan agenda-agenda politik pasca

kudeta terhadap Thaksin. Raja Bhumibol mengakui telah memberikan dukungan

terhadap kudeta militer pada 2006 dan 2014, namun selama penyusunan konstitusi

baru Raja tidak memperlihatkan campur tangannya secara eksplisit. Dalam sistem

pemerintahan monarki konstutisional Raja Bhumibol hanya memiliki legitimasi

prosedural yakni peran raja terbatas untuk kepentingan seremonial atau sebagai

kepala negara saja, maka dengan adanya status tersebut raja tidak dapat

menjalankan peran politik di pemerintahan. Namun dengan adanya legitimasi

tradisional raja sebagai keturunan bangsawan dan legitimasi kualitas pribadi

dimana tingginya tingkat rasa kepercayaan rakyat Thailand kepada raja karena

telah berhasil menyelesaikan setiap permasalahan politik melalui aksi-aksi sosial

yang pernah beliau lakukan, Raja dapat kembali mengintervensi politik.

Hubungan spesial antara raja dan militer ini kemudian membentuk sebuah

hubungan yakni network monarchy. Sebuah institusi di luar institusi politik hasil

kepemimpinan semi-monarki dimana raja dan sekutunya membentuk hubungan

monarki modern (Duncan Mc Margo). Sejarah perkembangan network monarchy

hadir semenjak masa pemerintahan PM Sarit Thanarat yang memutuskan untuk

melibatkan Raja dalam proses pemerintahan. Keputusan Sarit ini didasari pada

kebutuhan agar kepemimpinan, kekuasaan dan perjuangan anti-komunis yang

dijalankannya mendapatkan legitimasi. Keterlibatan Raja menjadi semakin

meningkat sejak peristiwa demonstrasi pada tahun 1973 dan peristiwa percobaan

kudeta terhadap PM Prem Tinsulanonda pada tahun 1981. Raja selalu mengambil

peran pada masa-masa krisis. Posisi Raja yang merupakan sumber legitimasi

nasional menurut konstitusi, berperan dengan memberi komentar dan didikan

dalam kasus-kasus nasional, membantu dalam proses penyusunan agenda

nasional, serta aktif mengawasi pembangunan politik melalui kerjasama dengan

wakil-wakilnya yakni Dewan Penasihat Kerajaan (Privy Council) dan tokoh

86

militer kepercayaannya. Melalui Dewan Penasihat Kerajaan yang adalah pusat

dari network monarchy, Raja dapat mengawasi jalannya pemerintahan Thailand

dengan seksama. Sementara itu, posisi militer yang bertugas melindungi kerajaan

Thailand menjadi salah satu perpanjangan tangannya. Hal ini dapat dilakukan

dengan mudah karena anggota dari Privy Council sendiri adalah para perwira

kepercayaan Raja yang memiliki koneksi jaringan di militer dan menjadi

pelindung bagi banyak tentara senior. (Kusumawardani, 2012)

Permasalahan proses suksesi yang dapat berkembang menjadi krisis

nasional, akhirnya mendorong junta militer untuk segera mengawal pengamanan

proses suksesi kerajaan. Peran militer dimulai dengan usaha-usaha menyusun

suatu konstitusi yang dapat mempersiapkan Thailand menghadapi masalah suksesi

dan memperkuat kerajaan. Maka lahirlah Konstitusi 2007. Selama penyusunan

Konstitusi 2007 telah dibentuk lembaga khusus yang bertugas untuk menyusun

konstitusi yakni CDA (Constitutional Drafting Assembly) dan CDC

(Constitutional Drafting Cominttee). Walaupun secara prosedural penyusunan

Konstitusi 2007 telah dilakukan dengan demokratis yakni proses penyusunan

dilakukan oleh lembaga independen dan diupayakan referendum untuk

penentuannya. Namun intervensi junta militer tetap ada dengan menunjuk orang-

orang kepercayaannya untuk menduduki lembaga tersebut. Hal ini menyebabkan

isi substansi dari konstitusi menjadi tidak demokratis. Isi Konstitusi 2007 menjadi

semakin tidak demokratis karena tidak melibatkan pemerintahan sebelumnya

(pemerintahan Thaksin). Semenjak membubarkan dewan perwakilan rakyat di

masa Thaksin, pihak junta militer telah menggantikan orang-orangnya melalui

penunjukan langsung yang didukung oleh monarki. Pada perkembangannya

dewan perwakilan ini mengemban tugas untuk menyusun konstitusi baru.

Beberapa pasal yang menunjukkan peran junta dan para elit Thailand dalam upaya

menyetir roda pemerintahan dan kehidupan demokrasi, diantaranya:

Oleh karena permasalahan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan

Thaksin, maka disusunlah beberapa pasal-pasal yang membatasi kekuasaan

perdana menteri. Pasal-pasal ini mengakibatkan kemunduran di tingkat eksekutif

karena kekuasaan tidak lagi berpusat pada perdana menteri atau lembaga

eksekutif. Pada Konstitusi 2007 Bab VI Pasal 3 Ayat 11 menyatakan bahwa

87

pemilihan anggota senat tidak lagi melalui pemilihan umum melainkan sebagian

melalui pemilu di tingkat provinsi dan sebagian lagi melalui penunjukan. Sistem

pemilihan ini dimaksudkan untuk mengurangi kekuasaan perdana menteri karena

dengan demikian kemungkinan perdana menteri mendapat dukungan anggota

senat menjadi sangat kecil. Selain itu terdapat pula peraturan meniadakan peran

perdana menteri untuk menandatangani persetujuan anggota senat.

Penandatanganan persetujuan akan dilakukan langsung oleh Raja. Maka secara de

jure perdana menteri tidak memiliki kuasa untuk mengajukan nama untuk anggota

senat kepada Raja dan berarti pula bahwa tidak ada lagi anggota senat yang akan

mendukung di parlemen.

Peraturan lainnya ada di Bab VI Pasal 9 ayat 158 mengenai mosi tidak

percaya. Didalamnya berisikan peraturan penurunan jumlah kursi untuk

memberikan mosi tidak percaya hanya perlu 20% atau 1/5 dari jumlah total

anggota berhak memberikan mosi tidak percaya. Kontras sekali dengan Konstitusi

1997 yang membutuhkan suara 40% atau 2/5 kursi anggota parlemen untuk

memberikan mosi tidak percaya. Peraturan tersebut semakin dipermudah dengan

adanya Pasal 9 Ayat 160 yang berbunyi, “Dalam kasus dimana jumlah anggota

parlemen yang anggota partai politiknya tidak menjabat di posisi kementerian atau

lebih sedikit dari pada jumlah anggota parlemen yang dibutuhkan untuk

meloloskan mosi untuk debat umum yang disebut dalam ayat 168 atau 159, lebih

dari setengah anggota parlemen yang ada berhak mengajukan mosi untuk debat

umum dengan perdana menteri atau menteri di bawah ayat 158 atau ayat 159

kalau Dewan Menteri sudah berjalan selama lebih dari dua tahun”. Pasal ini

memudahkan oposisi apabila jumlah total anggotanya di parlemen tidak

memenuhi syarat jumlah kursi untuk memberikan mosi tidak percaya.

Pasal-pasal dalam Konsitusi 2007 juga merubah sistem pemilu dari single

member-constituencies menjadi multi member-constituencies dengan jumlah

maksimal kursi tiap pemilih adalah tiga. Padahal melalui sistem pemilu single

member-constituencies yang diterapkan Konstitusi 1997 jusru menghasilkan

sistem koalisi partai yang sebelumnya belum pernah ada pada hasil pemilu 2001.

Perubahan sistem pemilu ini justru melahirkan fragmentasi dalam parlemen.

Perkembangan demokratisasi semakin ditekan dengan upaya mencegah partai

88

yang bersifat nasional. Larangan ini tertulis dalam Bab VI Pasal 2 Ayat 104, yang

berbunyi:

“Masa jabatan Dewan Perwakilan Rakyat adalah empat tahun sejak

pemilu. Sebelum menjabat sebagai anggota dewan, pembentukan koalisi parpol

yang anggotanya berada di dalam DPR tidak diperbolehkan.” Pasal ini

menjelaskan bahwa partai-partai yang memiliki anggota di parlemen dilarang

untuk membuat sebuah koalisi. Peraturan ini dibuat agar partai perdana menteri

tidak dapat mengajak partai lain untuk berkoalisi di parlemen.

Konstitusi 2007 justru melemahkan pemerintahan sipil, terbukti pada

peraturan di Pasal 77 yang menyatakan bahwa tugas dan peran negara atau

pemerintahan sipil terpilih harus melindungi dan menjunjung tinggi intitusi

kerajaan dan keindependenan dan keutuhan hak-haknya serta mengatur

pemiliharaan angkatan bersenjata dan perlengkapan yang diperlukan dan memadai

teknologi terkini untuk perlindungan dan penegakan kemerdekaan, kedaulatan,

kemanan negara, intitusi kerajaan, kepentingan nasional dan rezim pemerintahan

demokratis dengan Raja sebagai Kepala Negara dan untuk pembangunan nasional.

Pasal ini menunjukkan bahwa militer akan mendapatkan kekuasaan dan porsi

anggaran belanja lebih besar dibandingkan sebelumnya. Pada Konstitusi 1997,

negara haya diwajibkan untuk memelihara militer saja. Selain itu kekuatan militer

semakin bertambah setelah dikabulkannya pasal 309, yang berbunyi:

“Setiap tindakan yang kelegalan dan konstitusionalitasnya telah diakui

oleh Konstitusi Kerajaan Thailand (Interim), BE 2549, termasuk semua tindakan

yang terkait dengannya, baik yang dilakukan sebelum atau sesudah tanggal

berlakunya Konstitusi ini, akan dianggap konstitusional menurut Konstitusi ini”.

Pasal ini berkaitan dengan pengampunan tindakan kudeta 2006 yang dilakukan

oleh pihak militer. Melalui pasal ini pula didapatkan pengesahan secara legal

terhadap aksi dan pemerintahan interim junta militer di tahun 2006. Pasal ini

seolah-olah telah membenarkan aksi kudeta sebagai upaya menangani krisis

nasional akibat pemerintahan yang bermasalah. Pasal ini juga seakan membangun

budaya kebal hukum di Thailand dan melemahkan peraturan hukum yang berlaku.

Pada tahun-tahun berikutnya dominasi junta militer di kehidupan politik

Thailand masih menunjukan skala yang tinggi. Terlihat dari aksi kudeta yang

89

kembali terjadi pada masa pemerintahan Yingluck serta pengawasan militer

terhadap proses perancangan konstitusi baru. Pada 22 Juli 2014 Jenderal Prayuth

Chan-ocha, sebagai kepala National Council for Peace and Order (NCPO)

mengumumkan rancangan konstitusi sementara 2014 (Interim Constitution 2014)

tanpa melalui perundingan publik. Rancangan Konstitusi 2014 dianggap sebagian

besar pengamat sebagai upaya memberikan pembenaran hukum bagi junta militer,

rancangan ini tidak memiliki pondasi yang kuat mengenai penegakan hak asasi

manusia. Hal ini diperlihatkan dalam Pasal 44 yang memberikan kewenangan

NCPO untuk mengeluarkan kebijakan dan melakukan tindakan dibawah otoritas

militer yang dianggap tepat, tanpa memperhatikan implikasi dampaknya terhadap

hak asasi manusia. Secara spesifik dikatakan bahwa kepala NCPO diberi

kewenangan untuk mengeluarkan perintah, penangguhan ataupun tindakan yang

dianggap perlu untuk menjaga perdamaian dan ketertiban serta keamanan

nasional. Sedangkan pada pasal 48 terdapat penjelasan pengampunan terhadap

para pelaku tindakan kudeta 22 Mei 2014. Pasal 8 dan 33 Interim Constitution

2014 menghalangi orang-orang yang telah memiliki posisi dalam partai politik

lebih dari tiga tahun untuk menjadi anggota Majelis Legislatif dan Komite

Penyusunan Konstitusi. Namun ketentuan tersebut tidak berlaku bagi anggota

NCPO, militer dan polisi atau pejabat pemerintah lainnya. 9

Pada abad ke-21 dapat dilihat jika partisipasi masyarakat dalam

pemerintahan Thailand semakin menurun semenjak adanya kudeta 2006. Menurut

Penny Heraswati, “penyebabnya adalah law enforcement yang kuat”. Law

enforcement terlihat dari bagaimana cara junta militer mengeluarkan kebijakan-

kebijakan represif untuk mengurangi partisipasi politik. Sejumlah media

elektronik baik televisi, radio maupun internet dilarang untuk menyiarkan acara

dan diberlakukan kebijakan sensor terkait isi berita. Memberi kewajiban bagi

seluruh stasiun untuk menyiarkan pidato junta militer yang menyatakan bahwa

krisis politik yang terjadi akan segera berakhir. Mengeluarkan kebijakan

pelarangan pertemuan yang dihadiri lebih dari lima orang, jika melanggar maka

akan dikenakan sanksi penjara selama enam bulan. Selain dari pada pembuatan

9 Thailand: Interim Constitution Provides Sweeping Powers. Diperoleh dari:

https://www.hrw.org/news/2014/07/24/thailand-interim-constitution-provides-sweeping-powers. Diakses

pada 13 November 2017, pukul 14.02

90

kebijakan represif untuk memberi rasa takut pada rakyat, pihak junta militer juga

mengumandangkan siaran lagu-lagu yang diciptakan oleh Raja Bhumimbol sesaat

setelah kudeta. Langkah ini dilakukan selain untuk menunjukkan legitimasi bahwa

tindakan kudeta militer telah mendapat persetujuan dan sepengetahuan Raja, hal

ini juga dijadikan sebagai momentum menguatnya rasa nasionalisme rakyat

Thailand terhadap Raja. Prinsip politik rakyat Thailand bukanlah give and take

melainkan dalam pemahaman Karma (perbuatan baik dalam ajaran Budhiisme).

Ajaran Budhiisme yang dianut masyarakat Thailand melihat Raja sebagai Buddha

hidup. Oleh karena itu terdapat hukum lèse majesté yang merupakan hukum

pidana untuk mecegah segala tindakan yang dianggap menghina dan melecehkan

Raja (Yulianto, 2002:58). Oleh sebab itulah sebagian besar rakyat Thailand

cenderung apatis dan tidak memberikan tuntutan rakyat terhadap lembaga-

lembaga dan proses demokrasi. Kekuatan politik Thailand tidak pernah

didasarkan pada basis kekuatan masa.

Krisis ekonomi juga dapat dijadikan salah satu faktor pendorong proses

demokratisasi Thailand. Menurut Rafendi Djamin, “penyebab rakyat Thailand

cenderung diam karena belum adanya momentum, seperti disaat krisis ekonomi

pada 1930-an atau pada 1970-an”. Proses kehidupan politik Thailand dan

Indonesia memiliki kesamaan pada lahirnya aksi-aksi revolusi akibat krisis

ekonomi. Sebelumnya Thailand telah mengalami dua kali masa revolusi namun

sayangnya kegagalan konsolidasi demokrasi mengantarkan Thailand pada

kembalinya peran politik militer dalam pemerintahan. Jika dilihat dari sejarah

Thailand perlawanan dan tuntutan penegakan sistem demokrasi dipelopori oleh

masyarakat berpendidikan kelas menengah. Namun jika melihat kondisi Thailand

saat ini masyarakat kelas menegah di kota Bangkok justru cenderung apatis dan

perlawanan justru dilakukan oleh masyarakat kelas bawah para pendukung

Thaksin. Terpecah-belahnya masyarakat di Thailand juga disebabkan oleh kondisi

ekonomi. Masyarakat kelas menengah ke atas tidak merasa terancam dengan

pemerintah karena memiliki penghasilan lumayan tinggi. Sedangkan untuk

masyarakat pinggiran dan pedalaman masalah ekonomi menjadi faktor pendorong

mereka menuntut perbaikan sistem. Tumpang tindih sistem juga memicu konflik

antara elit Bangkok dan penduduk pedalaman. Dalam sistem politik Thailand

91

hanya warga Bangkok yang memiliki hak suara untuk memilih gurbenur mereka

(Said, 2015:116). Pada akhirnya konflik antar kelas terjadi di Thailand.

Menurut para pengamat politik di Bangkok junta militer telah sejak lama

menginginkan model Demokrasi Terpimpin dibandingkan Demokrasi Partisipatif.

Begitu pula kelompok kaus kuning yang memandang bahwa model demokrasi

partisipatif tidak membawa keuntungan bagi Thailand (Said, 2015:116). Untuk itu

perwujudan kehidupan demokrasi masih memerlukan jalan yang panjang di

Thailand. Lambannya perwujudan demokrasi di Thailand dikarenakan

keengganan penegakan supremasi sipil yang sejatinya secara konseptual harus

dipenuhi dalam struktur politik negara demokratis. Jika melihat pada konsep

tersebut maka institusi militer hanyalah pelaksana operasional lapangan yang

diikuti dengan mekanisme pertanggungjawaban kepada publik secara transparan.

Sedangan kondisi Thailand saat ini masih diwarnai oleh supremasi militer dan

tidak adanya upaya penyatuan suara masyarakat untuk meminta

pertanggungjawaban pemerintah.

V.3 Refleksi

Rezim militer yang disipilkan di Indonesia dan Thailand ditandai oleh

suatu pembaharuan pimpinan militer-sipil. Pemimpin yang tampil pada dasarnya

adalah teknokrat yang berorientasi pada pembangunan. Stabilitas nasional yang

dicapai oleh rezim militer diperoleh dari hasil penguasaan dan pengendalian para

pembangkang politik dan oposisi serta kebijakan-kebijakan pembatasan

partisipasi politik. Persamaan rezim politik militer di Indonesia dan Thailand

dapat dilihat dari kecenderungan pemerintah yang berkuasa untuk membatasi

partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan, tetapi baik ABRI maupun

junta militer tidak mampu menghapuskan partai politik dan pemilihan umum.

Untuk itu agar tetap dapat mengurangi tekanan terhadap rezimnya maka partai

politik dikontrol sedemikian rupa sesuai keinginan penguasa. Pemilihan periodik

tetap dilaksanakan, akan tetapi tanpa hadirnya partai oposisi yang mampu

menurunkan pemerintahan yang berkuasa. Peralihan kekuasaan secara damai

merupakan hal yang sangat jarang terjadi. Semua sistem didominasi eksekutif.

92

Kepala eksekutif yang merupakan bekas pimpinan militer dengan bentuk sistem

pemerintahan sentralistis.

Merujuk pada teori realisme kehidupan politik di negara Indonesia dan

Thailand memperlihatkan sebuah perjuangan memperoleh kekuasaan antara sipil

dan militer. Kodrat manusia yang tidak pernah puas diperlihatkan oleh sikap

militer yang menjadikan politik sebagai alat untuk memperoleh interest mereka

dengan upaya memperbesar power militer. Power militer Indonesia tercermin

dalam upaya-upaya ABRI mengontrol jalannya politik di Indonesia, diantaranya

dengan menduduki seluruh jabatan krusial sipil di pemerintahan sehingga militer

mampu melakukan kontrol efektif terhadap kebijakan publik. Penampilan

angkatan bersenjata Indonesia telah dimulai sejak masa revolusi kemerdekaan.

ABRI merupakan salah satu kekuatan politik Indonesia yang terbesar dan menjadi

salah satu dari tiga pilar politik pada masa awal kemerdekaan. Selama masa

pemerintahan Soekarno masih efektif, kekuatan militer berhasil dibendung.

Hingga pecahnya peristiwa kudeta Untung menjadi penyebab utama pengambil

alihan kekuasaan pemerintah oleh militer. Sebagai kekuatan politik satu-satunya

peran militer pada saat itu dengan sangat mudah diterima rakyat sebagai pewaris

tunggal revolusi kemerdekaan. Pada masa Soeharto, ABRI memiliki peran sentral

dalam kehidupan sosial politik di Indonesia. Otoriterianisme militer di Indonesia

juga ditunjukkan dalam segala upaya militer untuk membungkam opini publik,

langkah militer dalam prakteknya diperlihatkan baik melalui kebijakan-kebijakan

represif dalam upaya penanggulangan pemberontakan dan demonstrasi juga pada

penerapan upaya militer dalam mengatur pemenangan pemilu. Oleh Soeharto,

Indonesia diorganisir ke dalam kelompok-kelompok pendukung fungsional.

Pertama, berada di bawah Kementrian Dalam Negeri terdapat Sekber Golkar yang

menjadi kendaraan partai bagi militer dalam upaya pemenangan pemilu. Otonomi

lokal dimonitor oleh pemerintah pusat melalui unit-unit militer di daerah seperti

Kodam, Kodim, Korem dan Koramil serta badan-badan operasi khusus. Lewat

kontrol dalam kebijakan pembangunan ekonomi militer telah berhasil

mengarahkan keuntungan yang diperoleh oleh badan-badan usaha milik negara

menjadi keuntungan penuh bagi pemenuhan kebutuhan badan militer dan

memperkaya oknum-oknum militer. Kontrol politik dan ekonomi yang dilakukan

93

oleh ABRI telah berhasil menghantarkan militer untuk tetap survive selama

kurang lebih tiga puluh tahun hingga runtuhnya Orde Baru. Sebelum era

reformasi, Soeharto bersama dengan para perwira kepercayannya telah berhasil

menjadi hegemon di Indonesia melalui dominasi mereka. Dominasi militer

diperkuat dengan adanya UU Nomor 20/1982 yang mengatur ABRI sebagai

kekuatan pertahanan dan keamanan serta sebagai kekuatan sosial-politik. Dalam

langkah reformasi Gus Dur lebih memperhatikan pada pengertian BoP dengan

tidak serta merta memencilkan peranan militer, namun memberikan militer

kesempatan untuk menjadi lebih profesional dengan memberi pembatasan pada

tugas-tugas militer.

Politik Thailand jauh lebih kompleks karena aktor yang berperan bukan

hanya sipil dan militer, melainkan melibatkan elit politik Thailand yang disebut

dengan deep state. Dominasi pengaruh menjadi satu-satunya kepentingan yang

ingin diraih oleh deep state. Awalnya militer bersama sipil berhasil membuat

sebuah kolaborasi untuk menghentikan sistem pemerintahan monarki absolut

kerajaan, namun pada perkembangannya kini militer justru bersekutu dengan

pihak kerajaan dalam upaya mengamankan dominasi militer dalam pemerintahan.

Militer paham bahwa power Raja terhadap masyarakat merupakan hal krusial.

Oleh karena itu militer tidak berusaha lagi untuk mengungguli dominasi raja

seperti pada peristiwa kudeta 1932, namun justru melakukan persekutuan dengan

kerajaan. Hal ini dapat ditelaah dalam konteks “bandwagoning”. Setelah tahun

1980-an kerjasama militer dengan kerajaan Thailand berhasil menjadikan

badannya sebagai hegemon dalam poltik Thailand dengan mengalahkan

supremasi sipil. Walaupun telah beberapa kali mencoba menegakkan suatu

pemerintahan konstitusional, namun setiap konstitusi baru segera dihapuskan oleh

kudeta berikutnya. Pergantian konstitusi dimaksudkan untuk mengabsahkan suatu

barisan baru, akan tetapi konstitusi tersebut ternyata runtuh karena menjiplak

struktur dasar pemerintahan yang diidealisir oleh pelaksana kudeta, yakni suatu

sistem dominasi eksekutif dengan perangkat-perangkat lembaga parlementer.

Sepanjang perkembangan konstitusionalnya, Thailand selalu mempertahankan

konsep penguasaan tradisional dan kebutuhan terbatas akan partisipasi politik

94

massa. Dalam sistem pemerintahan Thailand sifat dominasi dan politik sentralisasi

juga terjadi.

Kecenderungan militer untuk melakukan intervensi terhadap kehidupan

politik baik di Indonesia dan Thailand disebabkan oleh faktor yang sama. Kondisi

sosial yakni kondisi fragmented society menyebabkan tidak adanya penyatuan

aspirasi rakyat untuk melakukan kontrol efektif terhadap militer dan politik.

Perpecahan masyarakat Indonesia diperlihatkan dengan banyaknya aksi-aksi

pemeberontakan di berbagai daerah, seperti DI/TII, Permesta, GAM dan Papua

Merdeka serta susunan kabinet parlementer yang tidak dapat bertahan lama.

Sedangkan di Thailand perpecahan masyarakat dapat ditelaah dari adanya konflik

antara kaus merah dan kaus kuning, selain itu terdapat pula konflik antar kelas di

Thailand. Konflik antar kelas masyarakat di Thailand ini sejatinya telah terjadi

sejak lama karena besarnya gap ekonomi antara kelompok masyarakat kelas

menengah ke atas di pusat kota Bangkok dengan masyarakat kelas bawah di

pinggiran Bangkok dan pedalaman. Selain itu pemerintah Thailand justru

memarginalisasi para penduduk kelas bawah. Hal ini terlihat dalam struktur

pemerintahan daerah dimana baik gurbenur ataupun administrator distrik diangkat

oleh Menteri Dalam Negeri dan didominasi anggota militer. Pemilihan kepala

daerah secara langsung hanya dapat dirasakan penduduk yang tinggal di Bangkok.

Selain itu intervensi militer sejalan dengan teori Amos Perlmutter

disebabkan pula oleh kondisi politik. Kelamahan sipil menjadi sebuah undangan

bagi militer untuk turut campur dalam politik. Kelemahan para politikus yang

selalu mencari dukungan dari militer untuk dapat memperoleh legitimasi

kekuasaan justru membuka celah kesempatan bagi militer untuk masuk dalam

susunan ketatanegaraan. Pada awal masa Demokrasi Parlementer institusi militer

dibuat untuk mengakui supremasi sipil dengan pemberlakuan UUDS 1950.

Mengkaji dari teori Joseph S. Nye Jr hubungan sipil-militer pada masa demokrasi

parlementer hancur disebabkan oleh intervensi pemerintah terhadap persoalan

intern ABRI dan sejak digunakannya persoalan pertahanan untuk tujuan-tujuan

politik pada 1952 serta ketidaksediaan pemerintah untuk mengakui dan

menghormati tingkat otonomi fungsional AD pada 1955, menyebabkan AD

semakin bertindak vokal. Selain itu seperti kata Amos Permultter, tumbuhnya

95

fragmentasi masyarakat yang semakin besar akibat dari konflik kepentingan antar

partai-partai politik dan ketidakmampuan pemerintah untuk mengatasi persoalan

konflik pemberontakan di berbagai wilayah di luar Jawa, semakin mendasari

militer untuk memberikan penilaian bahwa sipil telah melepaskan tanggungjawab

politiknya. Keabsahan peran militer semakin tak terelakan ketika Soekarno

menjadikan ABRI sebagai kekuatan politik legal dalam Golongan Karya.

Prakteknya keputusan inilah yang dijadikan dasar Dwifungsi. Kebijakan

sentralisasi dan sikap anti partai Soekarno dan militer melemahkan kekuatan-

kekuatan sipil dan menjadikannya tidak berdaya. Intervensi militer dalam politik

negara semakin menguat pada saat Demokrasi Terpimpin ambruk akibat

inkonsistensi dan kelemahan sistemnya sendiri.

Sedangkan kelemahan politik sipil di Thailand dapat dipelajari dari masa

pemerintahan Thaksin dan Yingluck. Pada masa pemerintahan keluarga

Shinawatra ini tercatat sejumlah kasus pelanggaran yang dilakukan pemerintah

sipil dengan menggunakan hak kekuasaan eksekutif. Hal ini dianggap oleh pihak

junta militer sebagai tindakan ketidakbecusan pemerintah sipil dalam mengelola

negara. Menurut peneliti, pemerintah sipil Thailand pada dasarnya memiliki sifat

yang sama dengan militer. Dari sekian banyak pemerintah sipil yang pernah

berkuasa pada dasarnya memiliki ambisi besar untuk memperkuat dominasi

mereka di Thailand, namun sayangnya basis kekuatan massa sipil dapat

dikalahkan oleh junta militer. Selain itu jika pemerintahan sipil memiliki usia

panjang sifat pemerintahan justru akan berubah menjadi otoriter, seperti pada

pemerintahan Thaksin yang notabene memiliki dua kali masa jabatan. Seperti

pada masa Orla, Presiden Soekarno menggunakan kekuasaan eksekutifnya untuk

menerapkan pengangkatan presiden seumur hidup. Namun langkah konsolidasi

yang dilakukan pemerintah sipil Thailand terbatas pada diberlakukannya tindakan

represif pemerintah kepada sipil. Hal ini didasarkan pada peraturan utama pada

seluruh konstitusi Thailand yang mencantumkan raja sebagai pemegang

kekuasaan tertinggi. Oleh karena itu perebutan kekuasaan politik di Thailand

kemudian menjadi hal yang wajar.

Sejalan dengan Huntington bahwa kontrol sipil objektif adalah upaya

paling efektif dalam meminimalisasi intervensi militer dalam politik. Hal ini dapat

96

dipelajari dari perjalanan sejarah politik Indonesia pada masa transisi demokrasi

yang diterapkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Militer mulai diberikan

pembatasan dan penegasan terhadap hak dan wewenang institusi TNI/Polri.

Melalui serangkaian peraturan perundang-undangan pada masa transisi telah

berhasil menghantarkan militer memiliki kesadaran untuk menjadi lebih

profesional. Untuk menghentikan intervensi militer diperlukan keunggulan

otoritas sipil terpilih yang ditunjukkan dengan upaya-upaya reformasi oleh kepala

eksekutif. Sepaham pula dengan teori Haramin Malik bahwa dibutuhkan

kesepakatan bersama antara sipil dan militer mengenai reposisi peran militer agar

dapat mengurangi kontestasi militer terhadap kebijakan sipil. Hal ini ditunjukkan

dengan perubahan paradigma TNI dibawah komando Pangab Jenderal TNI

Wiranto yang menegaskan keinginan militer untuk melakukan upaya redefinisi,

reposisi dan reaktualisasi. Perubahan paradigma militer didasari oleh kesadaran

pimpinan TNI bahwa “dwifungsi” sebenarnya hanyalah alat Soeharto untuk dapat

memanfaatkan power militer. Faktor yang mendorong perubahan peran militer

juga didasari oleh perspektif militer generasi baru yang melihat diri sebagai

tentara profesional. (Said, 2015:103-104)

Menelisik pada perkembangan peran militer di Indonesia dan Thailand

keduanya memiliki kesamaan yakni pada faktor-faktor yang mendasari peran

militer untuk masuk dalam percaturan kehidupan politik di kedua negara. Namun

dalam perkembangannya peran militer di Indonesia dan Thailand memiliki

perbedaan yakni peran militer dalam politik di Indonesia telah berakhir sejak

runtuhnya Orde Baru sedangkan di Thailand peran politik militer masih

memperlihatkan skala yang tinggi. Terlihat jelas pada dominasi pemerintahan

militer di Thailand hingga saat ini. Semenjak kudeta pada tahun 2014 dan

terpilihnya Pangeran Vajiralongkorn menjadi Raja baru Thailand, Jenderal

Prayuth Chan-o-Cha masih menjabat sebagai perdana menteri hingga kini. Dalam

studi lapangan peneliti menemukan bahwa tingkat campur tangan militer dalam

politik Thailand sangat tinggi, utamanya pada proses pengawalan penyusunan

konstitusi. Meneliti dari sejarah penyusunan Konstitusi 2017, peran militer hadir

dengan menempatkan orang-orang kepercayaan militer pada badan pembuat

konstitusi yakni CDA dan CDC, sehingga menyebabkan isi substansi Konstitusi

97

2007 tidak sepenuhnya demokratis. Pada saat proses penyusunan Konstitusi

Sementara 2014, militer kembali berperan dengan menyusun dan merangkai

pasal-pasal konstitusi baru tersebut tanpa melalui debat publik, institusi militer

yang melakukan penyusunan draft interim ini adalah NCPO. Sedangkan pada

proses penyusunan Konstitusi 2016 peran militer dapat dilihat dari kehadiran

orang-orang kepercayaan militer kembali dalam badan perumusan konstitusi.

Masa transisi demokrasi di Indonesia dan Thailand memiliki kesamaan

yakni pada lahirnya gerakan revolusioner semenjak terjadinya krisis ekonomi.

Namun yang membedakan adalah sejak peristiwa revolusi 1998 rakyat Indonesia

semakin menyadari dan mendukung prinsip-prinsip liberalisasi yang terkandung

dalam paham demokrasi. Kesadaran masyarakat tersebut berbanding terbalik

dengan rakyat Thailand yang justru semakin lesu menghadapi pemerintahan

otoriter militer.

Liberalisasi politik di Indonesia turut membantu pengawasan proses

pengefektifan hak-hak politik baik individu maupun kelompok-kelompok sosial,

perwujudan liberalisasi tampak pada: 1) mulai dibukanya kebebasan partisipasi

politik baik dalam tataran masyarakat maupun kepartaian, 2) dimulainya kran

kebebasan pers, dan 3) upaya-upaya demiliterisasi sistem pemerintahan yang

mewujudkan penegakan dan pengakuan terhadap supremasi sipil. Upaya

demiliterasasi pemerintahan diwujudkan dalam lahirnya jaminan hukum

mengenai posisi, peran dan fungsi militer di Indonesia.

Selain dari keinginan internal militer, perubahan peranan militer di

Indonesia sendiri didasari karena adanya desakan dari dalam dan luar negeri.

Dinamika gerakan masyarakat sipil yang berada di jalanan maupun di luar jalan

pada akhirnya mampu mengembalikan militer ke barak dan menjadi salah satu

faktor pendorong dalam proses reformasi militer. Pada masa ini krisis moneter

telah membantu mesyarakat Indonesia untuk mengatasi fragmented society.

Sedangkan desakan dari luar negeri terlihat dari kecaman dunia internasional

terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia dan penuntasan kasus

pelanggaran hak asasi manusia yang notabene sangat tinggi pada masa Orba.

Selain itu perubahan peta politik akibat berakhirnya Perang Dingin telah

98

mengubah pula sikap masyarakat internasional terhadap keterlibatan militer dalam

politik. (Said, 2015:103)

Jika melihat pada masa transisi politik di Indonesia reformasi besar-

besaran dilakukan pada sektor keamanan dengan menghapus doktrin dwifungsi

ABRI. Periode 1998-2004, ditandai dengan pemisahan TNI dan Polri melalui Tap

MPR tahun 2000 dan penerapan upaya-upaya untuk membuat militer menjadi

institusi profesional. Langkah yang diambil dengan melakukan restrukturisasi

institusi, pengawasan internal dan perubahan doktrin militer. Supremasi sipil

menjadi kata kunci dalam pengelolaan dan pengawasan aktor-aktor keamanan,

melalui keputusan pemerintah termasuk dalam sektor keamanan. Paska jatuhnya

Gus Dur, relasi hubungan sipil militer menjadi pragmatis, penuh negosiasi dan

tidak memiliki ketegasan dalam melakukan kontrol terhadap militer. Secara

formal militer di Indonesia tidak lagi terlibat dalam politik praktis, namun masih

dijadikan sebagai slah satu kekuatan politik oleh para politisi. Padahal dalam

sistem demokrasi, militer seharusnya hanya dipahami sebagai alat pertahanan

negara yang harus tunduk kepada pimpinan sipil. Kondisi ini menyebabkan

keadaan dimana tidak jarang pimpinan sipil memilih mundur jika konstestasi

terlalu tinggi. Sebagai contoh, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional dan Program Legislasi Nasional 2015-2019 masa pemeritahan Jokowi-

JK, didalamnya menjelaskan tentang rencana pemerintah dalam pembangunan

bidang pertahanan dan kemanan selama lima tahun kedepan, termasuk

membentuk UU di dektor pertahanan dan kemanan. Rencana ini justru tidak

memasukkan agend aperubahan tentang Peradilan Militer. Sehingga tindak

pindana yang dilakukan oleh prajurit TNI masih diadili di peradilan militer.

Dalam penulisan peneliti mendapatkan hasil bahwa kudeta yang terjadi di

Thailand sepenuhnya didorong oleh faktor perebutan kekuasaan oleh para aktor

politik. Beberapa faktor telah menjadikan masyarakat Thailand menjadi apatis

terhadap perkembangan politik, diantaranya: 1) besarnya tekanan dari law

enforcement, baik dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah militer

maupun dari hukum lèse majesté; 2) prinsip agama dan kebudayaan masyarakat

Thailand yang meyakini Raja sebagai Buddha hidup dan kepercayaan sakdina; 3)

belum terciptanya momentum untuk kebangkitan revolusi rakyat, seperti yang

99

terjadi pada tahun 1970-an. Diketemukan bahwa dominasi kekuatan militer

Thailand perlahan menyusut sejak peristiwa Student Revolt akibat berkembangnya

paham liberalisasi. Paham liberalisasi mendorong masyarakat utamanya para

mahasiswa untuk menuntut penyusunan konstitusi baru dan pelaksanaan

pemilihan umum di Thailand. Peristiwa Mei 1992 dijadikan sebuah titik revolusi

yang menghantarkan militer kembali ke barak. Namun ketenangan politik

Thailand tidak berlangsung lama setelah Thaksin dengan serangkaian kegagalan

sistem pemerintahannya mengundang militer untuk kembali mengambil alih

kekuasaan.

Pada penelitian kali ini ditemukan pula bahwa terdapat kemungkinan

untuk militer kembali mengintervensi politik setelah berhasil kembali ke barak.

Fakta tersebut dapat dilihat dari sejarah militer Thailand yang kembali memasuki

kehidupan politik setelah lima tahun berdiam diri. Hal ini menjadi perenungan

bersama karena militer Indonesia sendiri saat ini belum sepenuhnya menunjukkan

sikap-sikap profesionalitas tentara. Beberapa faktor yang dapat menjadi bahan

perenungan bagi perkembangan peran militer Indonesia diantaranya belum

tuntasnya masalah restrukturisasi militer, reformasi UU mengenai peran

TNI/Polri, UU mengenai peradilan militer, restrukturisasi komando teritorial

militer, konflik antara TNI-Polri, persoalan kesejahteraan prajurit, persoalan

operasi militer selain perang, dan mekanisme procurement (pembelian) dan

transparasi alutsista. Selain itu hal yang cukup rancu pada perkembangan peran

militer di Indonesia adalah keleluasaan militer untuk mengadakan MoU dengan

instansi sipil lainnya.