bab iv telaah kritis konsep hermeneutika...

71
218 BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA PEMBEBASAN FARID ESACK SEBAGAI METODOLOGI TAFSIR TEKS (Aplikabilitasnya Terhadap Reinterpretasi Konsep Dzimmi) A. TELAAH KRITIS KONSEP DZIMMI: SEBUAH KOMPARASI WACANA ANTARA FIQIH KLASIK DAN KONSEP HERMENEUTIKA PEMBEBASAN FARID ESACK Membaca kembali konsep ahl al-dzimmah (dzimmi) secara kritis adalah sebuah keniscayaan ketika kita ingin betul-betul mengaplikasikan gagasan Farid Esack atas tafsir pembebasannya (hermeneutika pembebasan). Meski secara jujur, bisa jadi kita tidak akan banyak menemukan istilah dzimmi dalam pemikiran Esack. Dalam hal ini, penulis mengambil posisi untuk mengambil celah yang diberikan Esack dalam pembahasan posisi the protected minority’ ini lewat pemosisikan ahl al-Kitab 1 yang diuraikan Esack, atau bahkan pembahasan Esack mengenai pandangan teks/nash terhadap ‘yang lain’ (the others) 2 , posisi ini yang lebih penting untuk penulis bawa sebagai landasan mengapa menampilkan istilah dzimmi dalam gugusan pemikiran Esack. Dengan demikian, latar belakang munculnya rumusan hermeneutika pembebasan yang ditawarkan Esack memang tidak bisa dilepaskan dari 1 Pembahasan Esack mengenai posisi ahl al-Kitab bisa kita lihat dalam tulisannya Farid Esack, Qur’an, liberation & Pluralism: An Islam ic Perspective of Interreligious solidarity againts Oppression, lihat terj. Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 194-224. 2 Mengenai uraian legitimasi teks dalam melihat posisi the others, secara jelas dalam Farid Esack, The Qur'an & the Other, dalam www.homapagefaridesack.com

Upload: doandan

Post on 10-Mar-2019

255 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

218

218

BAB IV

TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA PEMBEBASAN FARID

ESACK SEBAGAI METODOLOGI TAFSIR TEKS

(Aplikabilitasnya Terhadap Reinterpretasi Konsep Dzimmi)

A. TELAAH KRITIS KONSEP DZIMMI: SEBUAH KOMPARASI

WACANA ANTARA FIQIH KLASIK DAN KONSEP

HERMENEUTIKA PEMBEBASAN FARID ESACK

Membaca kembali konsep ahl al-dzimmah (dzimmi) secara kritis

adalah sebuah keniscayaan ketika kita ingin betul-betul mengaplikasikan

gagasan Farid Esack atas tafsir pembebasannya (hermeneutika pembebasan).

Meski secara jujur, bisa jadi kita tidak akan banyak menemukan istilah dzimmi

dalam pemikiran Esack. Dalam hal ini, penulis mengambil posisi untuk

mengambil celah yang diberikan Esack dalam pembahasan posisi the

‘protected minority’ ini lewat pemosisikan ahl al-Kitab1 yang diuraikan Esack,

atau bahkan pembahasan Esack mengenai pandangan teks/nash terhadap ‘yang

lain’ (the others)2, posisi ini yang lebih penting untuk penulis bawa sebagai

landasan mengapa menampilkan istilah dzimmi dalam gugusan pemikiran

Esack.

Dengan demikian, latar belakang munculnya rumusan hermeneutika

pembebasan yang ditawarkan Esack memang tidak bisa dilepaskan dari

1 Pembahasan Esack mengenai posisi ahl al-Kitab bisa kita lihat dalam tulisannya Farid

Esack, Qur’an, liberation & Pluralism: An Islam ic Perspective of Interreligious solidarity againts Oppression, lihat terj. Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 194-224.

2 Mengenai uraian legitimasi teks dalam melihat posisi the others, secara jelas dalam Farid Esack, The Qur'an & the Other, dalam www.homapagefaridesack.com

Page 2: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

219

219

beberapa factor, yaitu situasi sosial politik serta hukum yang menindas (rezim

despotic apartheid), perjuangan politik untuk pembebasan, reaksi terhadap

gejala stagnasi wacana pemikiran Islam dan adanya fakta ko-eksistensi

keagamaan yang plural. Sehingga problem utama Esack bukan hanya sebatas

memformulasikan sebuah pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an (tentang

konsep dzimmi, misalnya), melainkan lebih dari itu, bagaimana

menyandingkan dengan teologi pembebasan Afrika Selatan, yakni dalam arti

melakukan praksis pembebasan atas doktrin yang dianggapnya masih

‘tertutup’.

Sekadar menjelaskan, dalam sistem politik, kedudukan minoritas,

merupakan masalah penting (krusial). Sebagaimana masalah individu,

problem minoritas merupakan bagian integral dari studi tentang hubungan

antara berbagai kekuasaan masyarakat serta masalah kewarganegaraan.3

Minoritas dapat didefinisikan sebagai sebuah “kelompok ras, keagamaan,

bangsa atau politik yang lebih kecil dan berbeda dengan kelompok yang lebih

besar yang mengontrolnya”.4 Minoritas yang didefinisikan dengan istilah-

istilah ras, agama, bangsa atau politik tergantung pada hakekat pembahasan

filsafat politik. Di dalam pemerintahan Islam menurut versi Ibn Taymiyah,

agama tentu saja merupakan variabel yang independen. Dalam pemerintahan

Islam yang menganut asas Syari’at sebagai paham Negara, golongan

3 Khalid Ibrahim Jindan, the Islamic Theory of Government according to Ibn Taymiyah,

terj. Mufid, Teori Pemerintahan Islam menurut Ibn Taymiyah, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994, hlm. 107

4 Lihat dalam Khalid Ibrahim Jindan, the Islamic Theory of Government according to Ibn Taymiyah, ibid. hlm. 107.

Page 3: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

220

220

mayoritas mencakup semua warga yang memeluk Islam, sedang golongan

minoritas terdiri dari penduduk non-Muslim (Yahudi, dan Kristen/Nasrani).5

Untuk menyempurnakan perdebatan wacana seputar minoritas

tersebut, dalam bab ini, penulis akan menampilkan wacana dan konfigurasi

fiqh klasik sebagai upaya untuk melacak kehadiran status dzimmi.

1. Melacak Kehadiran Status Dzimmi

Di Madinah, Nabi Muhammad menghadapi berbagai tantangan

baru, seperti kelompok munafik, kafir yang memusuhi dan kondisi suku-

suku yang berperang. Di level sosial-politik, Muhammad menghadapi

komunitas plural keagamaan (Yahudi, Kristen) yang dalam al-Qur’an di

sebut sebagai ahlul kitab.6

Sistem pengaturan dan penertiban komunitas tersebut (sebagai

orang-orang non-Muslim yang berada dalam naungan Negara Islam) telah

jauh-jauh hari dicantumkan dalam “Piagam Madinah” atau “Konstitusi

Madinah”7. Dalam dokumen tersebut terdapat langkah penting perdana

bagi terwujudnya sebuah badan pemerintahan Islam atau ummah. Dalam

bahasa Esack, dengan piagam ini, membentuk mereka semua menjadi

5 Khalid Ibrahim Jindan, the Islamic Theory of Government according to Ibn Taymiyah,

ibid. hlm. 107. 6 Farid Esack, The Qur’an, A Short Introduction, terj. Norma Arbi’a Juli Setiawan,

menghidupkan al-Qur’an, Jakarta: Inisiasi Press, hlm. 53. 7 Piagam Madinah yang terdiri 47 point merupakan konstitusi atau Undang-Undang

Dasar (UUD) bagi negara Islam yang pertama didirikan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman perilaku sosial, keagamaan, serta perlindungan semua anggota komunitas yang hidup bersama-sama di Madinah. Fenomena Piagam Madinah yang dijadikan pedoman perilaku sosial, keagamaan, serta perlindungan semua anggota komunitas yang hidup bersama-sama tersebut sampai menimbulkan decak kagum dari seorang sosiolog modern terkemuka berkebangsaan Amerika, yaitu Robert N Bellah, yang menyatakan bahwa kehidupan Madinah yang sangat menjunjung tinggi HAM, terlampau modern untuk ukuran zaman itu. Lihat dalam Mohd Rumaizuddin Ghazali, Memahami Konsep Negara Islam, diambil dari http://www.fajar.co.id/news.php

Page 4: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

221

221

komunitas tunggal orang beriman, tetapi memboleh kan perbedaan

diantara kedua agama tersebut.8 Menurut piagam itu, konsep suku tentang

pertalian darah digantikan dengan ikatan iman yang bersifat ideologis.

Piagam ini juga menyuguhkan landasan bagi prinsip saling menghormati

dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang

mengikuti, bergabung dan berjuangan bersama mereka” (Yahudi

Madinah).9 Menurut konstitusi tersebut, orang-orang Islam dan semua

warga yang tinggal di Madinah tergabung dalam satu masyrakat (pasal 1)

yang secara fisik dan politis berbeda dengan kelompok-kelompok lain

(pasal 1 dan 39).

Tidak ada kekhawatiran mengenai siapa yang harus memegang

tampuk pimpinan dalam konfederasi semacam itu. Pasal 23, 36 dan 42

secara tegas menyebutkan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai

hakim terakhir serta sumber segenap kekuasaan dan kekuatan

(wewenang).10

Sementara Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi menuliskan, bahwa

kalau kita hendak menyimpulkan ajaran-ajaran Islam dalam persoalan

hubungan (relasi) dengan golongan ghairul Islam (non-Muslim)—

khususnya terkait dengan soal halal-haram—cukup kiranya kita

berpangkal pada basic foundation dua ayat dalam al-Qur’an berikut:

8 Farid Esack, The Qur’an, A Short Introduction, op.cit. hlm. 53. 9 Khalid Ibrahim Jindan, the Islamic Theory of Government according to Ibn Taymiyah,

ibid. hlm. 1-2 10 Khalid Ibrahim Jindan, the Islamic Theory of Government according to Ibn Taymiyah,

ibid. hlm. 2

Page 5: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

222

222

☺ ☺

☺ Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah Hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu Karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Mumtahinah: 8-9)11

Ayat pertama tidak sekadar senang keadilan dan kejujuran terhadap

golongan ghairul Islam yang tidak memerangi umat Islam dan tidak

mengusir mereka, yakni orang-orang yang tidak menaruh peperangan dan

permusuhan terhadap umat Islam, bahkan ayat tersebut senang

(menghendaki) umat Islam berbuat baik kepada mereka.

11 Basis pondasi ayat di atas adalah sebagai dasar atas masalah hubungan muslim dan

non-Muslim (ghoirul islam), sebagaimana penjelasan Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi ketika menulis buku Halal dan Haram dalam Islam terkait hubungan antara umat Islam dan ghairul islam. Lihat dalam Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, Jakarta: PT Bina Ilmu, 1993, hlm. 464. lihat juga Abdur Rahman I. Doi, Non-Muslims Under Shari’ah (Islamic Law), Kuala Lumpur Malaysia: A.S.Noordeen, 1994, cet. II., hlm, 24.

Page 6: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

223

223

Kata-kata birr (berbuat baik) suatu kata yang mempunyai arti

sangat luas, meliputi semua nilai kebaikan dan pergaulan secara luas,

meliputi smua nilai kebaikan dan pergaulan secara luas, melebihi arti adil

biasa. Kata ini juga yang dipakai oleh kaum Muslimin dalam hubungannya

dengan masalah kewajiban hak-hak kemanusiaan, misalnya birr ul

walidain. Dalam ayat ini pula, Allah menjelaskan kepada orang-orang

mukmin, bahwa ia tidak melarang untuk mengadakan hubungan baik

dengan orang-orang yang berlainan agama, bahkan dengan orang-orang

yang memerangi dan mengganggunya sekalipun.12

Ketentuan di atas berlaku untuk semua kalangan non-Muslim baik

ahli kitab13 yang berada di luar maupun dalam Negara Islam (Darul

Islam). Tetapi untuk mereka yang berada dalam naungan pemerintahan

Islam, ada satu tempat khusus.

Sampai titik ini, Islam ternyata tidak melarang untuk mengadakan

hubungan secara baik dan memberikan keadilan dengan golongan ghairul

Islam dari agama manapun, kendati dengan penyembah berhala

(watsaniyyin). Maka secara khusus, Allah mempunyai pandangan khusus

terhadap status mereka (ahli kitab): Yahudi Nasrani, baik mereka di bawah

kekuasaan Islam maupun di luar kekuasaan Islam.

12 Lihat dalam Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam,

Jakarta: PT Bina Ilmu, 1993, hlm. 465. 13 Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, terminology Ahli Kitab berarti sebutan bagi

komunitas yang mempercayai dan berpegang kepada agama yang memiliki kitab suci yang berasal dari Tuhan selain al-Qur’an. Abdul Azis Dahlan..et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996, jilid 1, hlm. 46.

Page 7: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

224

224

Ahli Kitab yang bermukim di Darul Islam, disebut ahl al-dzimmah,

karena mereka memperoleh dzimmah dari Allah dan Rasul.14 Jika dilihat

dari pemahaman bahasa, kata dzimmah berarti ikrar (al-'ahd), jaminan (al-

daman) keselamatan (al-aman).15 Inilah yang menyebabkan kenapa

kemudian dzmmi hidup di bawah ikrar Allah, ikrar Rasul dan masyarakat

Muslim.

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan pembeda

antara ahl al-dzimmah dan ahl al-ahdi (Mu’ahidin). Mu’ahidin (ahl al-

ahdi) adalah mereka yang mengikat perjanjian damai dengan orang Islam,

sehingga memiliki kebebasan penuh. Bedanya dengan ahl al-dzimmah,

kalau ahl al-dzimmah, mereka baru memperoleh sikap damai dari Islam

setelah mereka memenuhi syarat-syarat tertentu, yakni kewajiban

membayar jizyah, tunduk kepada ketentuan-ketentuan pemerintah dan

tunduk di bawah hukum Islam terhadap hal-hal yang memungkinkan

mereka laksanakan.16 Namun keduanya sama-sama mempunyai kebebasan

penuh.

Dasar akad dzimmah ini mendapatkan legitimasi kuat dalam al-

Qur’an dalam al-Qur’an Surat al-Taubah [9]: 29: yang artinya:

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah17 dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.

14 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum antar Golongan, Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 78 15 Abdur Rahman I. Doi, Non-Muslim Under Shariah (Islamic Law), op.cit, hlm. 22 16 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum antar Golongan, ibid., hlm. 79 17 Jizyah bisa dikatakan sebagai pajak per kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam

dari orang-orang yang bukan islam, sebagai imbangan bagi keamanan diri mereka.

Page 8: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

225

225

Rasul dan para khalifah telah memberikan dzimmah kepada ahli

kitab. Maksud utama pemberian dzimmah ini adalah untuk menciptakan

suasana kedamaian dan harmonis antara penduduk negeri. Suasana damai

dewasa ini seringkali diungkapkan sebagai suasana yang stabil dan

kondusif. Pemberian dzimmah untuk memberikan rasa aman dan keadilan

kepada seluruh warga penduduk, baik dia Islam ataupun dzimmi. Inilah

warna yang ingin diberikan Islam dalam membina masyarakat.18

Selanjutnya, jika kita membincangkan status kewarganegaraan

seseorang menurut syari’at, maka yang muncul adalah pemahaman

pengakuan tunduk kepada syari’at Islam, dan tidak mengingkarinya,

dengan demikian kewarganegaraan seseorang dilihat dari pengakuannya

terhadap Islam, apakah dia seorang Muslim, dzimmi, baik dia menjadi

warga negara ataupun tidak. Dalam syari’at Islam, perubahan status

kewarganegaraan seseorang terjadi bila ia berpindah memeluk agama

Islam. Seorang harbi dapat berkewarganegaraan Islam, bila ia memeluk

agama Islam dan berjanji tunduk pada ketentuan Syari’at Islam. Dengan

demikian, seorang Harbi tidak dianggap menjadi dzimmi, bila dia masih

berada di negerinya, kecuali jika seruan Islam telah sampai ke negerinya

dan penduduknya mau mengikuti Syari’at Islam.19

18 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum antar Golongan, ibid., hlm. 79 19 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum antar Golongan, ibid., hlm. 43-44

Page 9: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

226

226

Secara lebih jelas lagi, Abul A’la Al-Maududi dalam the Islamic

Law and Constitution menuliskan bahwa Syari’at Islam membagi warga

Negara non-Muslim menjadi tiga golongan sebagai berikut:20

a. Orang-orang (non-Muslim) yang menjadi rakyat suatu Negara Islam

berdasarkan suatu perdamaian atau perjanjian.

b. Non-Muslim yang menjadi rakyat suatu Negara Islam setelah

dikalahkan oleh kaum Muslim dalam suatu peperangan,

c. Non-Muslim yang berada di dalam wilayah Negara Islam dengan

cara lainnya.

Sementara itu, dalam sebuah buku berjudul “Non-Muslim Under

Shari’ah (Islamic Law)” karangan Abdur Rahman I. Doi juga dituliskan

bahwa para ahli Fiqh Islam menggolongkan warga negara non-Muslim

dalam kategori yang berbeda:21

a. The Dhimmis (dzimmi). Mereka disebut sebagai ahl dzimmi yang

menerima peraturan (syari’ah) atau hegemoni sebuah negara Islam

yang berbagai hal persoalan diputuskan sesuai dasar kesepakatan.

Negara islam tersebut harus mentaati hasil dari perjanjian tersebut.

b. The Conquered People (orang-orang yang ditaklukkan), non-

Muslim ini adalah mereka yang dikalahkan/ditaklukkan setelah

20 Abul A’la al-Maududi, the Islamic Law and Constitution, terj. Asep Hikmat, Sistem

Politik Islam, Bandung: Penerbit Mizan, 1995, hlm., 502. lihat juga Dr. Syekh Syaukat Hussain, Human Rights in Islam, terj. Abdul Rocim. CN, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 76-77.

21 Pembagian warga negara versi al-Maududi ini hampir sama dengan penjelasan versi Abdur Rahman I. Doi, cuma perbedaannya ada penambahan beberapa point dan abdur rahman memberi pembedaan antara muslim, dzimmi, dan non-Muslim. Lihat dalam Abdur Rahman I. Doi, Non-Muslim Under Shariah (Islamic Law), op.cit, hlm. 23.

Page 10: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

227

227

terjadi perang. Mereka secara otomatis menjadi ahl al-dzimmah dan

menjadi tanggung jawab negara Islam. Mereka akan membayar

dengan jumlah yang telah ditetapkan (jizyah)—karenanya, dengan

pajak ini, hidup mereka, penghormatan hak milik (HAM), dan

tempat ibadahnya akan dilindungi oleh Negara Penakluk (Negara

Islam).

c. Those non-Muslim who clearly happen to be residing in the Muslim

State as its citizens (orang non-muslim yang kebetulan telah menetap

dan bertempat tinggal dalam wilayah tersebut. Kemudian Islam

datang dan keduanya melakukan perjanjian (kemudian ada yang

menamakan warga Negara ini sebagai ahl al-ahdi)

d. Non muslim residing temporarily in a muslim country e.g. tourist or

temporary sojourners (non-Muslim yang bertempat tinggal untuk

sementara dalam sebuah kota warga Islam—dalam bahasa abdur

rahman disebut sebagai wisatawan atau temporer sojourners).

e. Resident aliens who have opted voluntarily to live in a Muslim State

(penduduk asing yang telah dengan sukarela memilih untuk tinggal

dalam Negara Islam).22

Kemudian sebagian besar ahli Fiqh menyebut mereka semua

sebagai dzimmi, yakni kaum yang hidup dalam pemerintahan Negara Islam

yang dilindungi keamanan hidupnya dan dibebaskan dari kewajiban

22 Yang perlu untuk di catat adalah menghilangkan kesalahpahaman dalam pemahaman di

atas antara muslim, dzimmi, dan non-Muslim. Abdur Rahman menengarai ada beberapa sarjana yang cenderung untuk memberi analogi yang menyesatkan tentang pembedaan tersebut.

Page 11: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

228

228

militer dan zakat, namun diwajibkan membayar pajak (jizyah)23. Dalam

bahasa W. Montgomery Watt, kelompok minoritas ini dalam tradisi

pemerintahan Islam disebut sebagai the protected minority.24 Abdur

Rahman I. Doi juga memberikan pemahaman tentang the protected

minority ini bahwa mereka (ahl al-dzimmah) adalah kelompok yang

mendapatkan perlindungan hak asasi dari Syari’ah.25

Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa konsep (dzimmi) ini

muncul persis seperti yang berlaku di zaman penaklukan wilayah oleh

pemerintahan politik Islam, yang berlangsung secara besar-besaran sejak

zaman Khulafaurrasyidin, kemudian dimapankan dalam zaman Daulah

Bani Umayah dan Abasiyyah sesudahnya.26

Konsep ini hadir ketika Nabi berhasil membangun sebuah negara

agama di Madinah. Tepatnya konsep tersebut dibangun saat Nabi

melakukan ekspedisi Tabuk pada tahun 630 M. Pada ekspedisi kali ini

Nabi membuat perjanjian dengan beberapa kelompok seperti kelompok

Kristen dari Ayla (modern: Akaba, injil: Elath) kemudian kelompok

Yahudi dari Maqna (dekat Akaba) dan beberapa kelompok kecil yang

ditemui selama melakukan ekspedisi mereka yang telah sepakat membuat

perjanjian berkewajiban membayar Jizyah (pajak perlindungan) kepada

23 Hamka Haq, Konsep Zimmi dalam Islam, lihat dalam Luthfi Assyaukanie, Wajah

Liberal Islam di Indonesia, Jakarta: JIL, 2002, hlm., 60-61. 24 Abu Hafsin, Hak Politik Mioritas dalam Islam, lihat dalam bulletin at-Taharruriyyah

yang diterbitkan oleh eLSA (lembaga studi sosial dan agama) Semarang, bekerja sama dengan Yayasan TIFA Jakarta, edisi I/XI-XII/2005, hlm. 9. lihat juga dalam W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, terj. Hamid Fahmi Zarkasyi, Pergolakan Pemikiran Islam, Jakarta: PT. Beunebi Cipta, 1987, hlm., 59-61.

25 Abdur Rahman I. Doi, Non-Muslim Under Shariah (Islamic Law), op.cit, hlm. 22. 26 Hamka Haq, Konsep Zimmi dalam Islam, ibid.

Page 12: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

229

229

pemerintah pusat di Madinah, sedangkan pemerintah Islam di Madinah

berkewajiban memberikan perlindungan baik yang datang dari dalam

maupun kelompok-kelompok tersebut.27

Karena itu, pemerintah Islam menyebut kelompok-kelompok kecil

ini sebagai ahl al-dzimmah (dzimmi) yang secara bahasa berarti perjanjian.

Kata-kata ini memberikan isyarat bahwa mereka itu mendapatkan

perjanjian Allah, Nabi dan jama’atul muslimin untuk hidup di bawah

naungan Islam dengan aman dan tenteram. Maka mereka harus

diperlakukan sesuai dengan perjanjian.

Dalam sejarahnya, pada saat pemerintahan Islam dipimpin oleh

Nabi dan keempat Khulafaurrasyidin, mereka mendapatkan perlakuan

yang adil. Bahkan Montgomery Watt sendiri sebagai seorang orientalis

yang banyak menulis kesejarahan Islam mengakui bahwa perlakuan yang

diberikan oleh Nabi dan keempat khulafaurrasyidin kepada ahl al-

dzimmah jauh lebih baik dari pada perlakuan yang diberikan oleh

kekaisaran Sasanid dan Byzantium (Romawi Timur).28

Ketika terjadi penaklukan wilayah di zaman itu, kaum non-Muslim

diberi alternatif, yakni memeluk Islam atau tetap dalam agamanya dan rela

hidup dan diatur oleh pemerintahan politik Islam yang menaklukkannya.

Mereka yang memilih tetap pada agamanya dan taat bersama pada

pemerintahan Islam yang berkuasa dan melindungi keamanan hidupnya,

itulah yang disebut dzimmi. Pengertian dzimmi seperti ini sebenarnya tidak

27 Dikutip dari W. Montgomery Watt, 1987: 49-50, lihat dalam Abu Hafsin, Hak Politik Mioritas dalam Islam, op.cit. hlm., 9

28 Abu Hafsin, Hak Politik Mioritas dalam Islam, ibid.

Page 13: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

230

230

berlaku ketika Rasulullah memimpin negara Madinah, sebab meskipun

pemerintahan berada di tangan Rasulullah Saw, namun kaum non-Muslim

turut serta sebagai warga negara yang sama kedudukannya dengan kaum

muslimin. Artinya, keberadaan dan kehidupan kaum non-muslim di

Madinah bersama dengan kaum muslimin bukan merupakan hasil dari

sebuah proses penaklukan. Rasulullah Saw dan umat Islam yang berhijrah

ke Madinah bukan datang menaklukkan Madinah dan menguasai secara

politik penduduk Madinah yang sebagiannya non-Muslim. Malah, beliau

diundang bersama umat Islam berhijrah dari Makkah dan diterima secara

damai setibanya di Madinah.29

Karena itu keberadaan dan kehidupan non-Muslim di Madinah

bukanlah karena kaum muslimin melindungi mereka, melainkan non-

Muslim itu sendiri sudah berada dan hidup di Madinah sebagai negerinya

sendiri. Bahkan mereka lebih dahulu ada di sana ketimbang Rasulullah

Saw dan para Muhajirin, dan turut merestui kehadiran Rasulullah bersama

para Muhajirin. Non-Muslim di Madinah, dengan keadaannya seperti itu,

tidak disebut dzimmi, tetapi dikategorikan sebagai kelompok al-mu`ahidun

yaitu golongan non-muslim yang terikat perjanjian damai dengan muslim

dalam suatu negeri bersama. Itulah sebabnya, dalam Piagam Madinah

yang disusun bersama antara Rasulullah Saw dengan kaum non-Muslim,

disebutkan bahwa mereka saling melindungi, bahu membahu menghadapi

musuh bersama. Atau tegasnya, hubungan antara Nabi Saw, Muhajirin dan

29 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, 2004, cet. v. hlm.

146

Page 14: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

231

231

kaum non-muslim di Madinah jauh sama sekali dari pengertian saling

menaklukkan antara mereka. Piagam Madinah pun tidak menyebut mereka

dengan istilah dzimmi, melainkan dengan sebutan “ummat” yang sama

statusnya dengan umat Islam.

Rasulullah Saw memang pernah memberikan petunjuk bagaimana

memperlakukan non-Muslim jika kasusnya berbeda dengan yang ada di

Madinah. Dalam hadis riwayat Imam Ahmad bersumber dari Sulaiman bin

Buraidah, menyangkut penaklukan politik terhadap non-muslim, antara

lain Nabi SAW menegaskan:30

“Hentikanlah peperangan, kemudian ajaklah memeluk Islam, jika ia terima maka kabulkanlah dan jaminlah keamanannya; kemudian ajaklah untuk berpindah dari negerinya ke negeri muhajirin. Dan jika mereka lakukan itu niscaya mereka memperoleh hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muhajirin. Jika mereka menolak untuk pindah maka beritahukan bahwa mereka diperlakukan sebagai a`rabnya orang-orang Islam dan terhadap mereka diberlakukan hukum Islam seperti orang muslim lainnya, tetapi tidak berhak mendapatkan harta perolehan dan rampasan perang kecuali jika mereka berjihad bersama dengan muslim lain. Jika mereka tetap menolak status ini, maka mintalah dari mereka jizyah. Dan jika mereka memenuhinya maka terimalah, kemudian jaminlah keamanan mereka.“

Hadis tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan perlakuan

terhadap non-muslim di Madinah dengan non-Muslim yang mengalami

penaklukan politik di luar Madinah. Non-Muslim yang ditaklukkan oleh

pasukan Islam di luar Madinah, diberi sejumlah alternatif pilihan. Salah

satu di antaranya ialah tetap menganut agamanya dan tetap berdiam di

30 Hadis ini penulis kutip seperti pada aslinya dengan tulisan terjemahan Indonesia dari

Hamka Haq, Konsep Zimmi dalam Islam, op.cit, hlm., 60-61.

Page 15: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

232

232

negerinya, dan mereka harus membayar pajak. Mereka inilah yang disebut

kaum dzimmi, sesuai dengan definisinya dalam sejumlah buku fiqh.

Kemudian, Allah SWT membolehkan kaum muslimin memberikan

jaminan keamanan kepada warga non-Muslim, baik hal itu atas prakarsa

kaum Muslimin ataupun datang atas keinginan pihak non-Muslim. Maka

jaminan keamanan yang disetujui oleh warga muslim dan non muslim

terdiri dari:31

a. Keamanan Muaqqaat

Jaminan keamanan ini pun akhirnya dibagi menjadi dua:

1. Jaminan keamanan yang diberikan oleh pasukan tentara Islam

terhadap musuh yang terkepung dan mereka minta perlindungan

keamanan, dan dijawab: “kamu aman”. Jaminan keamanan ini

diberikan pula kepada mereka yang memintanya.

Jaminan keamanan yang diberikan ini sebenarnya bukan satu

perjanjian yang mengikat secara tetap. Namun tidak boleh dirusak

bila tidak ada satu maslahat yang menghendakinya. Jika jaminan

keamanan itu diberikan secara mutlak, dapat saja jaminan

keamanan itu dibatalkan atas keputusan panglima perang, atau atas

permintaan mereka yang terkepung yang diajukan kepda panglima,

dan dinyatakan secara resmi oleh panglima bahwa jaminan

keamanan itu sudah tidak berlaku lagi

31 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum antar Golongan, op.cit., hlm. 66-

67

Page 16: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

233

233

Bila mereka menemui panglima perang setelah mendapatkan

jaminan keamanan, hendaklah mereka diajak memeluk Islam.

Kalau ditolak, mereka diajak menjadi ahl al-dzimmah. Kalau

mereka tolak pula, mereka dikembalikan ke daerahnya dan mereka

kemudian diperangi untuk ditaklukkan.

Jika tawaran memeluk Islam dan tidak bersedia membayar jizyah

(pajak) dan bertahan untuk tidak kembali ke daerahnya, panglima

(kepala negara) dapat memberikan waktu (kesempatan). Mereka

dapat kembali ke daerah dalam jangka waktu yang ditetapkan. Jika

jangka waktu itu berakhir, mereka menjadi ahl al-dzimmah dan

mereka tidak mungkin kembali ke daerahnya.

2. Perjanjian gencatan senjata (penghentian perang

sementara/muwada’ah)

Perjanjian gencatan senjata yang dibuat oleh penglima perang,

tidak memerlukan persetujuan kepala Negara (panglima tertinggi),

yang menjadi pertimbangan adalah kemaslahatan umat islam.

Selama jaminan keamanan itu masih berlaku, mereka tetap

memperoleh perlindungan. Namun kepala Negara dapat

membatalkan perjanjian itu bila kemaslahatan menghendaki.

Namun pembatalan tidak boleh dilakukan secara sepihak. Pihak

yang menerima jaminan harus terlebih dahulu diberitahukan bahwa

jaminan keamanan yang mereka nikmati telah dibatalkan. Pihak

Islam dilarang mencederai perjanjian dengan menyerang mereka

Page 17: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

234

234

kembali. Rujukan yang digunakan terhadap isi perjanjian di atas

adalah QS. Al-Anfal [8]: 62. serta perjanjian Nabi dengan kaum

Quraisy yang dilakukan pada tahun Hudaibiyah, yaitu perletakan

senjata (tidak saling menyerang) yang berlaku 10 tahun.

b. Keamanan Muabbad (akad dzimmah)

Perjanjian ini dibuat oleh kepala Negara atau wakilnya dengan

pihak dzimmi untuk tidak saling menyerang. Syarat dzimmah adalah

dia masuk ke Darul Islam untuk menetap. Ada tiga syarat yang harus

dipenuhi dalam perjanjian ini;

a. Mereka bukan musyrikin Arab. Terhadap musyrikin hanya ada

dua pilihan, masuk Islam atau ditaklukkan. Musyrikin Ajam

dimasukkan ke dalam golongan Ahli Kitab

b. Orang yang membuat perjanjian itu tidak murtad, karena orang

murtad tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian dengan kaum

muslimin. Mereka harus dikalahkan.

c. Jaminan itu berlaku tidak terbatas. Kalau dibatasi, akad dzimmah

tersebut tidak sah. Karena tujuan akad dzimmah adalah untuk

memberikan keamanan dan ketentraman bagi harta dan jiwa si

dzimmi.

Akad dzimmah tidak boleh dirusakkan oleh pihak Islam,

namun mereka boleh merusaknya, ada tiga cara mereka membatalkan

akad dzimmah:

b. Mereka memeluk Islam

Page 18: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

235

235

c. Mereka pindah dan menetap di Darul Harb

d. Tempat tersebut diduduki musuh dan mereka membiarkannya.

Hal ini dipandang bahwa mereka telah merusak janji.

Adapun ukuran kemurtadan, jika disebutkan oleh Hasbi ash-

Siddiqiey adalah ketika meninggalkan agama Islam dan kembali kepada

agama sebelumnya atau kafir. Jika dia seorang laki-laki, hendaklah dia

diberi nasihat dan diberikan waktu tiga hari untuk dia berpikir. Kalau dia

bertobat, dia dianggap muslim kembali.32

Jumhur ulama mengatakan bahwa, jika ia menolak untuk bertobat,

penguasa dapat membunuhnya. Jika dia seorang perempuan, dia tidak

dibunuh, namun dipenjarakan, dan dipaksa kembali memeluk Islam, dan

did era tiap tiga hari sekali, sampai dia bertobat ataupun dia mati.

2. Konsep Dzimmi perspektif Fiqh Klasik

Jika kita telah mengurai bagaimana kehadiran status dzimmi

dengan pembacaan syari’at dan semangat al-Qur’an, lain halnya dengan

wacana fiqh terhadap kaum minoritas ini. Ternyata ada beberapa problem

yang menghinggapi wacana Fiqh klasik.

Dalam buku Dr. Abdul Karim Zaydan, seorang guru besar hukum

Islam di Universitas Baghdad, yang menulis buku berjudul ahkam ahl al-

dzimmah wa al-Musta’minin (yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan

ahl al-dzimmah) yang dikutip oleh Nurcholis Madjid dalam buku Fiqh

Lintas Agama mengatakan bahwa, komunitas ahl al-dzimmah merupakan

32 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum antar Golongan, op.cit., hlm. 69-

70

Page 19: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

236

236

cikal bakal munculnya penomorduaan terhadap non-Muslim.33 Dalam

kitab-kitab Fiqh, sebagaimana disinyalir Abdul Karim Zaydan, ahl al-

dzimmah adalah komunitas non-Muslim yang melakukan kesepakatan

untuk hidup di bawah tanggung jawab dan jaminan kaum muslim. Mereka

mendapat perlindungan dan keamanan. Mereka juga mendapatkan hak

hidup dan tempat tinggal di tengah-tengah komunitas Muslim.

Namun dalam kapasitasnya sebagai non-Muslim, ahl al-dzimmah

tidak mendapatkan perlakuan sebagaimana komunitas Muslim. Mereka

tidak bisa menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan, dan juga

tidak boleh menjadi pemimpin politik dan anggota Majelis

Permusyawaratan.34 Mereka tidak mempunyai hak suara, bahkan

diwajibkan membayar pajak berupa jizyah. Dalam kitab-kitab Fiqh, ahl al-

dzimmah merupakan kalangan yang dituntut dengan sejumlah kewajiban,

tapi tidak mendapatkan hak yang sejajar dan setara, sebagaimana

komunitas Muslim. Atas dasar ini, ahl al-dzimmah sering disebut sebagai

kelompok kelas dua (al-muwahin bi al-darajah al-tsaniyah).

Praktis, munculnya pandangan para ulama Fiqh terhadap ahl al-

dzimmah telah mewarnai sikap kebanyakan umat Islam terhadap agama

lain (yang lain/the others). Ahl al-dzimmah dianggap sebagai kelompok

minoritas, dan karenanya harus tunduk kepada mayoritas. Dalam kitab

33 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, op.cit. 34 Diantara tokoh Muslim yang mempunyai pandangan seperti ini adalah Abul A’la al-

Maududi. Ia menulis sebuah buku Nazhariyyatu al-Islam wa Hudahu. Ia berpandangan, bahwa ahl al-dzimmah tidak boleh menjadi pemimpin eksekutif dan legislative. Karena dalam Negara Islam peberlakuan hukum Islam adalah mutlak. Dan ahl al-dzimmah sebagai komunitas yang sama sekali tidak mengetahui Syari’at Islam sudah barang tentu tidak akan mampu menduduki posisi tersebut. Lihat dalam Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, ibid., hlm. 189.

Page 20: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

237

237

Fiqh klasik, mereka tidak mendapatkan perhatian dan pelayanan

sebagaimana umat Islam. Dan ini sejalan dengan karakter Fiqh klasik,

yang mana secara eksplisit ditulis untuk kepentingan umat Islam semata.

Sedangkan Fiqh yang berkaitan dengan agama lain hampir tidak

dijelaskan secara panjang lebar. Di sinilah, amat terkesan bahwa Fiqh

klasik telah menelantarkan dan mendiskriminasikan non-Muslim.

Problem ini kemudian ditangkap dengan baik oleh Esack, bahkan

dengan latar belakang ko-eksistensi pluralitas agama serta penindasan khas

negeri kulit hitam, Afrika Selatan. Pertanyaan yang muncul kemudian

adalah: apakah konsep ahl al-dzimmah masih relevan untuk saat ini?

Mungkinkah ahl al-dzimmah menjadi warga biasa dan mendapatkan hak

yang setara dengan warga muslim lainnya? Bagaimanakah al-Qur’an dan

hadis Nabi berbicara tentang ahl al-dzimmah.

Beberapa pertanyaan di atas akan menjadi ukuran dalam uji materi

terhadap teks yang membahas tentang pluralitas agama, terutama dalam

karya tulis ini. Dan pada gilirannya, Fiqh sebagai tata aturan secara teknis

kehidupan manusia perlu mengadakan peninjauan kembali konsep dzimmi.

Karena, membaca latar belakang historisnya secara detail di atas ternyata

terdapat perbedaan yang tajam antara semangat yang dibawa al-Qur’an

dan hadits Nabi Muhammad SAW. Untuk memberikan perlindungan

terhadap ahl al-dzimmah di satu sisi, dan di sisi lain nuansa fiqh yang

cenderung menomorduakan mereka. Perlakuan yang bersifat diskriminatif

terhadap ahl al-dzimmah seringkali menggunakan analogi (qiyas) terhadap

Page 21: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

238

238

kewajiban bagi non-Muslim untuk membayar jizyah. Dan ini merupakan

pandangan mazhab Syafi’i. Beberapa ulama kontemporer, seperti Abu al-

A’la al-Maududi, masjid Khadrawi dan Hisyam Syarabi merujuk kepada

para ulama Fiqh yang beraliran Syafi’iah.35

Sedangkan mazhab Hanafi misalnya terlihat memberikan ruang

bagi ahl al-dzimmah. Menurut mazhab ini, mereka diperbolehkan

melaksanakan ritual-ritual dan hukum yang sesuai dengan ajaran mereka,

walaupun ajaran-ajaran tersebut diharamkan bagi umat Islam, seperti

mendirikan gereja, mendapatkan tempat penyembelihan babi dan lain-lain.

Mereka mendapatkan kebebasan untuk mengekspresikan keberagamaan

mereka secara terbuka.36

Ibn Qayyim al-Jawziyah dalam ahkam ahl al-dzimmah justru

memberikan pandangan yang relatif progresif. Dalam dialog dengan

seorang muslim yang menikahi perempuan ahl al-kitab, ia berpendapat,

bahwa sang suami mesti menghargai sang istri yang hendak meminum

khamr. Sang suami berhak untuk memperingati sang istri untuk tidak

meminum khamr. Tetapi apabila sang istri tidak menerimanya, maka sang

suami tidak boleh memaksa sang istri untuk tidak meminum khamr.37

Pandangan tersebut, menunjukkan bahwa sikap terhadap non-

Muslim relatif lebih toleran dan terbuka. Perbedaan agama tidak

menyebabkan adanya perlakuan yang diskriminatif terhadap agama lain.

35 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, ibid., hlm. 146-148 36 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, ibid., hlm. 146-148 37 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, ibid., hlm. 146-147

Page 22: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

239

239

Mereka justru diberikan kebebasan untuk melaksanakan ritual

keagamaannya sesuai dengan ajaran yang diyakini.

Sikap kooperatif dan simpatik terhadap ahl al-dzimmah memang

sebenarnya telah dipraktikkan oleh para ulama terdahulu di tengah

pemerintahan Islam. Dalam sebuah kisah yang sangat menarik, tatkala

Qatlushah, raja Tatar hanya ingin membebaskan tawanan Muslim, Ibn

Taymiyah langsung menginterupsi dan menolak sikap diskriminatif raja

Tatar tersebut. Ibn Taymiyahmeminta agar raja membebaskan semua

tawanan, termasuk di dalamnya tawanan orang-orang Yahudi-Kristen,

karena mereka sebagai ahl al-dzimmah.38

Dalam dinasti Utsmaniyah pun terdapat kisah yang menarik

disimak, yaitu tatkala raja hendak membunuh orang-orang Kristen, karena

mereka bertarung dengan penduduk Bunduqiyah saat itu. Kemudian As’ad

Zamah, seorang mufti pada waktu itu menentang keras kebijakan raja.

Bahkan raja bersikeras akan membunuh orang-orang Kristen. Sang Mufti

mengancam akan mendongkel kekuasaan raja jika bersikeras untuk

membunuh orang-orang Kristen, karena telah melangar hak perlindungan

kaum Muslim terhadap ahl al-dzimmah.39

Pembelaan terhadap mereka membuktikan, bahwa konsep ahl al-

dzimmah bukan untuk menomorduakan non-Muslim, melainkan

memberikan perlindungan dan pembelaan yang bersifat total terhadap non-

Muslim. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang bagi setiap muslim

38 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, ibid., hlm. 146-148 39 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, ibid., hlm. 148

Page 23: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

240

240

untuk membela dan memberikan perlindungan hak terhadap kaum

minoritas.

Sekali lagi penulis katakan bahwa sudah saatnya kita

mengembalikan konsep ahl al-dzimmah pada semangat awal yang telah

dibangun al-Qur’an. Rasulullah pun juga telah mengingatkan lewat

beberapa hadisnya berikut ini:

Berikut ini beberapa hadits Rasulullah yang berkenaan dengan

masalah ini:

)رواه الطبرانى(من اذى ذميا فقد اذاني ومن اذني فقد اذى اهللا

Artinya: Barangsiapa mengganggu seorang kafir dzimmi, maka sungguh ia mengganggu saya dan barangsiapa mengganggu saya, maka sunguh ia mengganggu saya, dan barangsiapa mengganggu saya, maka sungguh ia mengganggu Allah. (HR. Thabrani)

حصمه خصمته يوم القيمة من اذى ذميا فأتا جصمه، ومن آنت

)رواه الخطيب باءسنا وحسن (Artinya: Barangsiapa mengganggu seorang kafir dzimmi, maka saya adalah musuhnya, dan barangsiapa memusuhi saya, maka saya akan memusuhinya nanti di hari kiamat. (HR. al-Khatib)

Di samping itu, secara politis, sikap kooperatif dan simpatik

terhadap ahl al-dzimmah sebenarnya telah mendapatkan legalitas dalam

Piagam Madinah, yaitu tatkala Rasulullah Saw. menyebut orang-orang

non-Muslim (Yahudi dan Kristiani) sebagai ummatun wahidah, umat yang

satu. Dan mereka berhak mendapatkan perlakuan sebagaimana mestinya

warga Muslim lainnya. Saat itu, sesuai dengan rekaman sejarah, bahwa

kota Madinah adalah masyarakat dan negara Islam pertama yang dipimpin

Page 24: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

241

241

oleh Nabi Muhammad. Hamidullah Muhammad (1975) menamai Kota

Madinah sebagai La Cite Etat Islamique. Konstitusinya—yang merupakan

konstitusi tertulis pertama dalam sejarah ketatanegaraan dunia—

ditandatangani perwakilan berbagai suku bangsa dan penganut agama.

Baik wakil kaum Muslimin (Muhajirin dan Anshar), bangsa dan penganut

agama Yahudi, penganut agama Kristen Orthodoks, dan kaum musyrikin

Arab.40

Penduduk Madinah ketika itu berjumlah sekitar 10 ribu jiwa.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari, kaum Muslimin

di Madinah hanya 1.500 orang. Sekitar separuh penduduk Kota Madinah

adalah penganut agama Yahudi. Kaum Muslimin—gabungan Muhajirin

dan Anshar hanya—15 persen dari total jumlah penduduk. Kaum

Muslimin merupakan golongan minoritas di tengah masyarakat multisuku

dan agama.41

Dasar masyarakat multisuku dan agama bergabung ke dalam

Negara Madinah yang dipimpin Rasulullah adalah ''pilihan''. Mereka ikut

mendeklarasikan Piagam Madinah bukan karena paksaan, kesamaan ras,

agama, atau budaya. Memang, faktor terlibatnya mereka dalam

peperangan berkepanjangan antarsuku ikut mendorong mereka mencari

pemimpin baru yang kuat. Dan mereka sepakat dengan kepemimpinan

Rasulullah yang memimpin dengan wahyu Allah.

40 Lihat tulisan ini dalam Bustanuddin Agus, Islam dan Pluralisme Agama, diterbitkan

pada tanggal 24 Oktober 2005, diambil dari internet. 41 Bustanuddin Agus, Islam dan Pluralisme Agama,ibid.

Page 25: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

242

242

Kalau terjadi sengketa antarsuku atau antaragama, Rasulullah yang

menyelesaikan. Kalau ada sengketa intern suku atau agama, kepala suku

dan pemuka agama itu sendiri yang menyelesaikan. Walaupun demikian,

banyak pula umat beragama dan suku lain yang memilih berhakim kepada

Rasulullah karena disaksikan lebih adil. Masyarakat Madinah menikmati

kebebasan menganut agama dan beribadat menurut agamanya (dikutip dari

Muhammad, Le Prophete de l'Islam. Sa Vie et Son Oevre, 1975, jilid II,

halaman 177 dan 798).42 Dalam salah satu pasal dalam Piagam Madinah

berbunyi:43

Ahli Kitab, Sebagaimana Tertera Dalam Naskah ini (piagam madinah) mempunyai hak kewarganegaraan yang utuh. Mereka dapat melaksanakan ritual keagamaan dengan bebas. Mereka juga dapa menasehati orang-orang muslim, mereka membela untuk mempertahankan Negara dan mereka saling bagu membahu. Setiap mereka dapat hidup tentang di tempat tinggal masing-masing.

Nilai-nilai dan praktik kooperatif yang terdapat dalam al-Qur’an,

hadis dan sejarah awal Islam bisa dijadikan modal dasar untuk mengambil

langkah yang lebih jauh, bahwa tidak ada pertentangan antara konsep

Islam mengenai ahl al-dzimmah dengan konsep kewarganegaraan (al-

muwathanah). Bahkan, bila dilihat secara substansial, maka konsep ahl al-

dzimmah sejalan dengan konsep kewarganegaraan, yang mana setiap

penganut agama dan aliran kepercayaan mesti mendapat perlindungan

sebagaimana mestinya, sesuai dengan undang-undang dan konsensus

bersama.

42 Bustanuddin Agus, Islam dan Pluralisme Agama,ibid. 43 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, op.cit., hlm. 146-148

Page 26: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

243

243

Dengan demikian perlakuan diskriminatif terhadap ahl al-dzimmah

sama sekali tidak dibenarkan, seperti digambarkan dalam hadis Rasul di

atas. Apalagi jika diterapkan di negara yang telah menganut sistem

demokrasi, yang mana setiap warga negara mempunyai hak yang sama,

tidak ada pembedaan oleh sekat-sekat ideolog, ras dan suku mana ia

berasal. Karenanya, di posisi inilah Esack berdiri dalam tonggak

pemikirannya untuk mencoba merekonstruksi wacana Fiqh klasik yang

amat tidak memadai terhadap pengangkatan harkat dan martabat ahl al-

dzimmah agar setara dengan kaum Muslim. Meski Esack tidak menyebut

secara banyak dalam pembahasan pemikirannya (karena Ia lebih sering

menyebut bahasan ahl al-kitab), namun dari semangat yang diambil adalah

sama, yakni berupaya untuk mereformasi dan merujuk kepada semangat

awal fiqh yang mempunyai komitmen untuk membangun toleransi,

kesepahaman dan kesetaraan antara penganut agama. Inilah fenomena

terkini yang musti di jawab oleh fiqh, fenomena pluralisme dan

multikulturalisme. Pembahasan berikutnya adalah melihat celah-celah fiqh

yang menjadi titik rawan sehingga, dari proses ini menjadi keberangkatan

beberapa pemikiran Islam, terutama Esack untuk menutup (‘bolong-

bolong’)nya.

Konsep Jizyah: sebuah Titik Rawan Fiqh

Kenapa penulis menyebut konsep Jizyah merupakan titik rawan,

terutama dalam fiqh hubungan antar agama? Titik rawan ini bisa kita lihat

dalam realitas kitab-kitab fiqh klasik yang selalu menampilkan pandangan-

Page 27: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

244

244

pandangan seragam dan bernada diskriminatif terhadap kaum Yahudi-

Nasrani-Majusi (ahl al-kitab), yakni dengan mewajibkan membayar

Jizyah.44 Jizyah merupakan pajak yang diberikan non-Muslim (ahl al-

kitab, termasuk ahl al-dzimmah) sebagai imbalan atas pembebasan mereka

dari kewajiban untuk mempertahankan negara; atau imbalan atas jaminan

keamanan perlindungan mereka serta berbagai hak sipil sebagai warga

negara yang sejajar dengan kaum Muslimin

Para ulama fiqh sering menggunakan konsep ‘wajib pajak’ bagi

non-Muslim ini sebagai satu hal yang perlu dan wajib, karena pajak ini

menjadi jaminan bagi ‘nyawa’ mereka, kalau tidak ingin di jadikan objek

perintah perang bagi non-Muslim seperti tercantum dalam QS. Al-Taubah

[9]: 29:

Artinya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada

44 Secara umum, jizyah ditujukan kepada non-Muslim. Ada banyak pendapat mengenai

latar belakang pewajiban jizyah, termasuk kalangan yang wajib membayar. Mazhab Hanafi beralasan, bahwa pewajiban jizyah karena ahl al-kitab ikut serta dalam membela Negara Islam. Sedangkan mazhab syafi’i, Hambali dan Syi’ah Imamiyah berpandangan, bahwa jizyah diwajibkan bagi non-Muslim sebagai jaminan hak hidup mereka di tengah-tengah komunitas Muslim dan agar tidak membunuh mereka. Dan mazhab maliki berpendapat, bahwa kewajiban jizyah sebagai jaminan untuk tidak membunuh mereka.

Page 28: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

245

245

mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS. Al-Taubah [9]: 29)

Dalam konteks yang lebih luas, jizyah merupakan cikal-bakal

lahirnya konsep ahl al-dzimmah dalam Islam, yaitu adanya perlakuan

khusus terhadap kelompok minoritas (non-Muslim).

Berkaitan ayat di atas, ada beberapa hal yang mesti dicermati

secara serius. Pertama, ayat tersebut tidak serta-merta bisa digunakan

sebagai legitimasi bagi pewajiban jizyah bagi non-Muslim. Karena ayat

tersebut mempunyai latar belakang historis (asbab an-nuzul). Ayat terebut

turun tatkala kaum Muslim sedang dalam peperangan (ekspedisi) melawan

Romawi di Tabuk, tahun 630 M.45 Perang ini berawal dari sikap keras

yang dilakukan orang-orang non-Muslim terhadap ketertiban dan

keamanana kaum Muslimin. Maka, ketika umat Islam mampu memenangi

perang tersebut, mereka mewajibkan bagi orang-orang non-Muslim untuk

membayar jizyah dan mereka pun tunduk. Lalu, oleh sebagian ulama fiqh,

ayat ini digunakan sebagai sumber untuk mewajibkan jizyah bagi non-

Muslim. Dikisahkan bahwa orang-orang Nasrani Najran adalah mereka

yang pertama kali membayar jizyah, sebelum wafatnya Nabi.46 Bukan

hanya itu, ayat ini juga menjelaskan ketundukan dan kepatuhan non-

Muslim untuk membayar jizyah.47

45 W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, terj. Hamid Fahmi Zarkasyi,

Pergolakan Pemikiran Islam, Jakarta: PT. Beunebi Cipta, 1987, hlm., 58-59. 46 Dr. M. Sa’id Ramadhan al-Buthy, al-Jihad fil Islam Kaifa Nafhamuhu? Wa kaifa

Numarisuhu?, terj. M. Abdul Ghofar, Fiqh Jihad; Upaya Mewujudkan Darul Islam antara Konsep dan Pelaksanaannya, Jakarta: Pustaka an-Nabaa’, 2001, hlm. 123.

47 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, op.cit., hlm. 150-151

Page 29: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

246

246

Bila dicermati secara mendalam, ayat tersebut mempunyai latar

belakang historis tertentu, yaitu perang. Dan karenanya, tidak bisa

diberlakukan dalam situasi normal. Pertanyaannya apakah pembayaran

jizyah masih berlaku dalam sebuah situasi damai? Dalam masyarakat yang

tidak lagi berperang?

Kedua, membayar jizyah bukanlah ajaran Islam, melainkan tradisi

umat-umat terdahulu. Dalam banyak kitab dijelaskan, bahwa istilah

“jizyah” merupakan hasil dari pengaraban istilah dari Persia yaitu

“Kazayt”. Rasyid Ridha dan al-Thabari seperti yang dikutip dalam buku

Fiqh Lintas Agama, sama-sama memberikan pembenaran bahwa konsep

Jizyah merupakan tradisi raja-raja Persia.48

Dari penjelasan tersebut, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa

konsep jizyah merupakan konsep politik yang digunakan penguasa sebagai

denda bagi mereka yang memerangi Islam. Dalam konsep jizyah,

sebagaimana disinyalir al-Qur’an, Islam sebenarnya hanya melanjutkan

tradisi-tradisi sebelumnya. Pertanyaannya, apakah konsep jizyah ini masih

bisa berlaku di zaman kita sekarang?

Sebelum kita membandingkan dengan konsep pemikiran Esack,

sejatinya, Mazhab Hanafi telah mempelopori proses pembaruan hukum

Islam terhadap konsep jizyah, yakni jizyah diwajibkan saat itu karena

pemerintahan Islam telah melindungi mereka sebagai ganti atas

dibebaskannya mereka untuk berjihad di jalan Allah. Ibn Rusyd dalam al-

48 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, ibid., hlm. 152

Page 30: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

247

247

Muqaddimat juga menjelaskan bahwa jizyah diambil dari tahun ke tahun

sebagai imbalan atas pengamanan dan penjagaan agama mereka. Mereka

pun dapat hidup berdampingan dengna kaum muslimin dan mendapatkan

perlindungan. Kaum-kaum Muslimin berperang untuk keamanan mereka,

dan mereka tidak diwajibkan melaksanakan hal-hal sebagaimana kaum

Muslim.49

Jadi konsep jizyah merupakan konsep yang kehadirannya

mempunyai konteksnya tersendiri, terutama tatkala umat Muslim dan umat

non-Muslim berada dalam peperangan. Dan dalam kondisi seperti ini,

diperlukan sebuah kesepakatan yang jelas, sehingga tidak mengganggu

stabilitas pemerintahan Islam. Konsep jizyah merupakan salah satu cara

yang digunakan al-Qur’an dan diperintahkan Tuhan bukan untuk memeras

dan menomorduakan agama lain, melainkan sebagai cara untuk

membangun kesepakatan yang tidak merugikan kedua belah pihak. Dalam

buku Fiqh Lintas Agama ada kutipan menarik yang diambil dari tulisan

Abu Yusuf (al-Kharaj, hal. 138):

Ketika kesepakatan dilakukan antara kaum Muslimin dan ahl al-dzimmah dalam pemberlakuan jizyah, lalu dibukalah beberapa kota, dengan catatan kesepakatan tersebut terus berlangsung. Dan orang-orang Muslim melakukan perlawanan terhadap musuh-musuh atau orang-orang yang ingin memerangi ahl al-dzimmah. Atas dasar ini, konsep jizyah diberlakukan, sehingga kota Syam dapat dibuka keseluruhan.

Semangat pembaruan tersebut yang nampaknya ingin

dikembangkan oleh Esack dalam pemikirannya. Berikut ini mari kita

bandingkan dengan karya pemikirannya, disandingkan dengan konsep

49 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, ibid., hlm. 153

Page 31: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

248

248

Fiqh, karena otomatis sebelum dia berangkat melakukan ‘pengembaraan’

pemikirannya, Esack terlebih dahulu melihat kekurangan Fiqh (seperti

telah diurai di atas) sebagai acuan dalam menelorkan pemikirannya.

3. Membandingkan dengan Tafsir Esack

Dalam tema pembahasan kali ini, sebenarnya telah sedikit banyak

diungkap dalam bab III. Namun sekadar untuk lebih meneguhkan kembali

bagaimana pemikiran Esack dan semangat Esack untuk bicara status non-

Muslim ini, maka penulis akan coba uraikan kembali lebih tajam

bagaimana konteks genealogi pemikirannya, hingga kemudian

menghasilkan (produk) tafsir yang berkesimpulan bahwa konsep dzimmi

(ahl al-kitab) menjadi hal yang perlu ditinjau kembali titik relevansinya

(reinterpretasi).

Faktor mendasar yang melatarbelakangi kenapa konsep ahl-kitab,

dzimmi maupun pendefinisian the others di kalangan Muslim Afrika

Selatan begitu signifikan, adalah karena semua itu menunjang perjuangan

menuju pembebasan. Perjuangan ini memberi jalan pada terlibatnya kunci-

kuci hermeneutika sebagai perangkat pembebasan dan sebagai cara untuk

mendekati dan memahami tek/nash (al-Qur’an). Dan merefleksikan teks

al-Qur’an dengan menggunakan kunci-kunci ini memungkinkan kelompok

Islamis progresif membentuk apresiasi dan penghargaan baru terhadap Din

dan kaum Lain.50

50 Farid Esack, Qur’an, liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious

solidarity againts Oppression, lihat terj. Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 231

Page 32: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

249

249

Bagaimana tergambar dalam Bab III bahwa sebelum menuju

pemikirannya, Esack terlebih dahulu mendefinisikan iman, Islam dan kufr

sebagai pembacaan awal secara komprehensif siapa ‘diri sendiri’ dan

‘orang lain’. Esack akan memperbarui wacana tersebut agar terbangun

kategori-kategori yang lebih inklusif. Karena dalam berbagai

pernyataannya, al-Qur’an tidak pernah membedakan status komunitas satu

agama dengan yang lainnya. Di sinilah bermula Esack mempunyai etos

kerja besar dalam upaya melakukan proses tafsir (hermeneutika)

pembebasan.

Pertama, pendefinisian kembali konsep Iman. Esack memakai QS.

Al-Anfal [8]: 2-4 untuk mengawali pendefinisian kembali konsep iman ini.

Iman yang dalam akar kata merujuk pada arti “aman”, “mempercayakan”,

“berpaling kepada”, yang dari situ diperoleh makna “keyakinan yang

baik”, “ketulusan”, “ketaatan” atau “kesetiaan”, menurut al-Qur’an

dipahami sebagai tindakan hati, keputusan untuk menyerahkan diri kepada

Tuhan dan firman-Nya, memperoleh kedamaian, rasa aman, dan benteng

terhadap cobaan. (seperti dikutip Esack pada Fazlur Rahman 1983, h.

171).

Esack ingin merefleksikan konsep iman yang terkait dengan amal

shaleh. Karena dalam QS. Al-Anfal [8]: 2-4, terdapat tiga tema saling

terkait; watak dinamis iman, kesalingterkaitan antara iman dan amal

shaleh, serta iman sebagai respon personal terhadap Tuhan. Persoalan

yang paling signifikan adalah bahwa iman merupakan pengakuan pribadi

Page 33: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

250

250

akan, dan respons aktif terhadap, kehadiran Tuhan di alam semesta dan di

dalam sejarah. Aspek aktif dan pribadi iman ini mengimplikasikan bahwa

ia berfluktuasi dan dinamis (bertambah dan berkurang).

Esack kemudian merangkum, tiga alasan utama bagi argumen

bahwa Iman bersifat dinamis dan senantiasa berubah: 1). Bagaimanapun

iman didefinisikan, kita amati bahwa iman dipandang oleh al-Qur’an dan

kaum Muslim awal sebagai lebih dari satu jenis dan ada dalam berbagai

tingkatan51; 2). Ketika al-Qur’an mengimbau para pemeluk Islam awal

sebagai “wahai orang-orang yang beriman”, imbauan itu mengajak mereka

untuk membawa diri ke arah tertentu, menjauh dari berbagai kesesatan di

dalam masyarakat dan mendekat kepada Tuhan. Mereka dituntut bertindak

dengan cara tertentu bukan untuk mengklaim diri sebagai pemilik

substansi khusus yang disebut iman itu; 3). Pemahaman bahwa iman

merupakan sebuah atribut karakter yang aktif, juga didukung oleh fakta

dari lawan katanya, yaitu kufr. Seperti yang akan Esack tunjukkan,

“konteks dari istilah ‘mereka mengingkari’ (kufr) memperlihatkan bahwa

menurut al-Qur’an, ‘tidak mempercayai’ merupakan sikap aktif terhadap

kehidupan secara keseluruhan…lawan dari iman adalah suatu atribut

karakter aktif, yaitu sikap tidak peduli, mencela dan berbangga diri.

51 Beberapa penafsir, merujuk dua hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

“Iman akan menyelamatkan manusia di akhirat nanti” dan “iman itu bermacam-macam dan punya tujuh puluh (70) cabang”. Yang paling tinggi adalah berikrar bahwa tiada Tuhan selain Allah dan tingkatan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan. Al-Qur’an menyebutkan berbagai tingkatan iman. Teks yang berbunyi “mu’minuna haqqan” menunjukkan tafsir sebagai “mukmin yang sempurna”. Lihat Farid Esack, Qur’an, liberation & Pluralism, ibid., hlm. 161-162.

Page 34: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

251

251

Penting untuk dicatat, bahwa yang menjadi ganjalan Esack, bahwa

apapun perbedaan dalam hubungan antara iman dan amal shaleh,

pemikiran tradisional biasanya menafsirkannya secara sempit, yaitu

sebagai bagian dari ritual Islam baku. Meski iman sering dikaitkan dengan

ibadah seperti di dalam QS. Al-Anfal [8]: 2-4, kasusnya tidak senantiasa

demikian. Lebih jauh, al-Qur’an cukup tegas bahwa amal shaleh sekecil

apapun akan memperoleh balasannya, tanpa menuntut iman sebagai

syarat.52

Menurut Esack, diskusi iman dan amal shaleh ini akan membawa

pada beberapa isu penting: 1). Status orang-orang yang beriman dalam arti

pengakuan, namun tidak “beramal shaleh”, sekalipun yang terakhir itu

diartikan sebagai ibadah-ibadah Islam baku; 2). Nilai amal shaleh yang

tidak disertai iman dalam arti pengakuan atau persaksian seperti dibahas

dalam teologi islam, dan 3). Kemungkinan bagi iman yang tak disertai

pengakuan seperti dibahas dalam teologi islam. Pertanyaan tersebut sangat

relevan dengan konteks Afrika Selatan selama tahun 1980-an. Di kalangan

muslim yang terlihat bekerja untuk apartheid dan enggan untuk menyebut

dirinya sebagai “kaum beriman”, ia hanya menyebutkan bahwa ia sedang

dalam arus politik, maka untuk sementara “mungkar secara politis” atau

“muslim” dalam tanda kutip.

Akhirnya, meski iman juga merupakan respon pribadi kepada

Tuhan, ia tak dapat dibatasi pada komunitas sosioreligius tertentu. Usaha

52 Misalnya, QS. Al-Baqarah [2]: 281; ali Imran [3]: 24; al-Nisa’ [4]: 40, 85; Yusuf [12]:

56; al-Nahl [16]: 111; al-Qashash [28]: 84.

Page 35: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

252

252

seperti ini akan mengarah pada penolakan universalitas Tuhan itu sendiri.

Inilah alasan mengapa al-Qur’an begitu eksplisit soal iman orang-orang

yang berada di luar komunitas sosioreligius mukminun (termasuk Ahli

Kitab dan ahl al-dzimmah). Apabila iman bisa mencakup tindakan

memungut kulit pisang dari jalanan, mengapa iman tidak bisa mencakup

pula tindakan seorang individu yang sepanjang hidupnya merespon suara

Tuhan sebagaimana dipersepsinya dan mewujudkannya dalam bentuk

pelayanan kepada orang-orang yang dengannya Tuhan sendiri telah

mengidentifikasi diri, yaitu kaum marginal dan tertindas?

Kedua, adalah mendefinisikan kembali Islam. Esack mengutip QS.

Ali ‘Imran [3]: 19 dalam menggambarkan definisi Islam yang yang sering

dijadikan sebagai bentuk klaim kebenaran bahwa satu-satunya ekspresi

keagamaan yang dapat diterima Tuhan sejak kenabian Muhammad adalah

Islam, yakni agama yang dibawa Muhammad.

Dalam pendefinisiannya tentang Islam sebagai din, Esack banyak

memakai referensi tafsir para ilmuan Islam, hingga pada satu penjelasan

bahwa setidaknya ada 3 kelompok makna kata din dalam bahasa Arab: 1).

Konsep agama sistematik;53 2). Kata benda verbal, “menilai”, “melakukan

penilaian”, “menetapkan keputusan”: dan, bersamaan dengan ini,

“penilaian”, “keputusan”; 3). Kata benda verbal “mengarahkan diri”,

53 Dalam hlm ini Esack mengutip Cantwell-Smith bahwa Konsep agama sistemik yang

dimaksudkan adalah sebagai bentuk penyempurnaan serakan-serakan kebudayaan, kultur dan kebiasaan serta orientasi masyarakat Arab. Sehingga pemahaman ini menunjukkan bahwa kehidupan Arab memiliki berbagai ciri yang oleh parap pemikir modern dijuluki ‘agama’ arab pra-islam. Namun dengan kebudayaan, kultur, kebiasaan, serta orientasi yang belum terstruktur, tersistem menjadi satu agama. Maka, dalam hlm ini Islam datang untuk mensistematisasikannya. Lihat Farid Esack, Qur’an, liberation & Pluralism, op.cit., hlm. 189.

Page 36: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

253

253

“menjaga diri”, “menjalankan praktik tertentu”, “mengikuti tradisi” dan,

setelah itu, kata benda abstrak, “kesesuaian”, “kepatuhan”, “ketaatan”,

“kebiasaan” dan “perilaku standard”.

Dari kajian dan pembacaan Esack tentang Islam di dalam al-

Qur’an, ada satu upaya dan semangat besar untuk membebaskan diri dari

kungkungan abad pertengahan yang sering berlindung di bawah naungan

teks dalam memaknai Islam, seperti dalam QS. Ali ‘Imran [3]: 85:

“barang siapa mencari din selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan

diterima pilihannya itu”.

Dari teks tersebut, kalimat “apakah mereka mencari din selain din

Allah” akan dimaknai secara inklusiv bila konteksnya (dalam hal ini yang

dimaksud Esack adalah konteks lokal Afsel) juga dipertimbangkan.

Kontribusi dari pemakanaan Islam ini, bagi realitas penindasan

Afrika Selatan cukup menjadi acuan penting. Kenyataannya tidak sedikit

juga aktifitas penindasan dilakukan oleh orang-orang yang berlabel

Muslim. Di lain pihak ada orang-orang dengan label agama lain terlibat

dalam lingkaran pembebasan maupun upaya penindasan (rezim apartheid)

serta yang kelompok menolak untuk menggunakan label agama di sisi lain

menjadi satu faktor penting bagi proses pemaknaan kembali Islam agar

tidak mengangkat isu primordial dan mengutamakan satu golongan saja

dalam perjuangan melawan penindasan apartheid di Afrika Selatan54

54 Farid Esack, ibid., hlm. 176-177.

Page 37: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

254

254

Ketiga, mendefinisikan kembali konsep kufr. Dalam merefleksikan

pemakaian istilah kufr, Esack menggunakan QS. Ali ‘Imran [3]: 21-22.

Melalui kalimat “orang-orang yang menolak ayat-ayat Allah” dalam ayat

tersebut, adalah salah satu cara al-Qur’an menggambarkan “kaum lain”, di

samping wacana muslim yang telah menstigmakan bahwa Kufr menjadi

istilah yang paling penuh dengan celaan sebagai kaum lain yang tertolak

(non muslim). Farid Esack mengutip Leonard Thompson, seorang

sejarawan Afrika Selatan yang mengisahkan ketertindasan “kaum lain” ini

ketika disebut-sebut sebagai Cafres karena dianggap tidak memiliki

keyakinan dan kepercayaan di antara mereka.

Jadi al-Qur’an menggambarkan kufr sebagai faktor yang

membentuk perasaan dan identitas kebencian kepada ‘kaum lain’ yang

tergolong lemah secara ekonomi. Seperti yang dijelaskan Izutsu, menurut

al-Qur’an kufr sebagai penyangkalan terhadap Tuhan dan keesaan-Nya

”mewujud dalam bentuk sikap angkuh, sombong dan arogan” dan

pandangan bahwa kekayaan, kemakmuran dan tingkat ekonomi yang

mapan bisa membawa pada sikap kufr.55

Dalam hal ini Esack memang di satu sisi, masih meyakini bahwa

kufr juga terkait dengan penolakan terhadap dogma dan ketentuan agama,

seperti keesaan Tuhan, kitab suci, tanda-tanda Tuhan, hari kebangkitan

dan para nabi. Secara lebih spesifik, al-Qur’an menyebut kufr, pernyatan

tentang ketuhanan Isa.

55 Toshihiko Izutsu, God and Man in The Koran: Semantic of the Koranic

Weltanscauung, op.cit., hlm 115.

Page 38: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

255

255

Maka kemudian, agar tidak terjadi salah paham soal istilah kufr

dan menghindari sikap tidak adil terhadap mereka yang berlabel “di luar

Muslim” ini dalam al-Qur’an, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.56

Pertama, ketika al-Qur’an mengaitkan kufr dengan doktrin

(termasuk pencelaan terhadapnya), itu sebenarnya terkait dengan konteks

sosiohistoris (kondisi awal sejarah Nabi) yang real dan yakin bahwa

kepercayaan tulus pada keesaan Tuhan dan pertanggungjawaban akhir

kepada-Nya akan membawa pada terwujudnya masyarakat yang adil.

Kedua, al-Qur’an menggambarkan kufr sebagai sosok yang

mengetahui keesaan Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai Rasul, namun

memilih untuk menolak mengakuinya.

Ketiga, yang dicela al-Qur’an sebagai kufr adalah perilaku

bermusuhan terhadap Islam dan Muslim.

Keempat, al-Qur’an juga spesifik soal motif keputusan kuffar untuk

menolak memegang keyakinan tertentu. Mereka memilih jalan kufr, kata

al-Qur’an, karena pertimbangan material (QS. Al-Anbiya [21]: 53; al-

Syu’ara’ [26]: 74; Luqman [31]: 21), ikatan kesukuan (QS. Al-Zukhruf

[43]: 22), dan karena Islam akan menggoyahkan tatanan sosial yang tidak

adil (karena perintah untuk menzakatkan hartanya pada kaum miskin dan

lemah) (QS. Ali ‘Imran [3]: 21).

Dari penafsiran ulang terhadap istilah kufr Esack tersebut di atas,

yang ingin ditampilkan adalah ada kaitan kuat antara pencelaan al-Qur’an

56 Farid Esack, op.cit., hlm. 182

Page 39: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

256

256

terhadap kufr dengan perilaku personal dan sosial musuh-musuh Nabi

Muhammad sebagai individu atau kelompok di Makkah dan Madinah.

Semangat yang ditampilkan Esack ini sekaligus mengawali kerja-kerja

hermeneutika (penafsiran) terhadap ayat-ayat yang bersentuhan dengan

pengakuan Islam terhadap “kaum lain”. Sehingga, kita mencoba

menemukan di mana kita melihat perilaku semacam ini terhadap Islam dan

pola perilaku sosiopolitik seperti itu agar dapat membangun aplikasi

kontemporer bagi istilah kufr dan bukan semata mentransfer label kufr

yang telah terjadi 14 abad yang lalu untuk diterapkan pada masa kini

dengan perilaku dan pemahaman yang sama terhadap ‘mereka’.

Setelah melakukan proses pelacakan terhadap beberapa istilah yang

cukup rawan dan sensitif dalam pemahaman umat Islam tersebut, dan juga

sebelumnya telah ditampilkan konfigurasi wacana Fiqh klasik sebagai

pembanding yang mengetengahkan bagaimana pandangan mendasar Fiqh

mengenai konsep ahl al-dzimmah, maka kita sedikit demi sedikit menangkap

apa yang tengah dimaksudkan Esack sekarang, terutama terkait dengan sikap

Fiqh Islam menyikapi konsep-konsep modern seperti demokrasi, pluralisme,

dan kewarganegaraan (status dzimmi).

Lebih mengkerucut lagi, bagaimana Esack menyentuh wilayah yang

cukup sensitif dalam perbincangan umat Islam, yakni tentang pengakuan

‘yang lain’ (non-Muslim). Sampai disini, penulis membaca Esack ingin

melakukan proses dekonstruksi (al-qathi’ah al-ma’rafiyah) dan rekonstruksi

(al-tawashul al-ma’rafi) wacana yang terkait dengan pengakuan terhadap non-

Page 40: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

257

257

Muslim (lebih khusus pada dzimmi), yang nantinya, ujungnya adalah

membangun wacana baru mengenai konsep kewarganegaraan (status dzimmi)

di tengah situasi kontemporer seperti sekarang ini. ‘Tembakan Esack’ kali ini

adalah Fiqh, bagaimana Fiqh kewarganegaraan yang mengakui kesamaan hak

non-Muslim.

Mengapa tawarannya demikian? Karena melihat kondisi Fiqh saat ini,

rasanya ‘tak mungkin’ untuk mengatakan bahwa Fiqh kita peka terhadap

zaman. Satu hal yang tak bisa dibantah, bahwa Fiqh tak bisa dipisahkan dari

struktur dan sosio kultur yang membentuk kognisi dan psikologi historis. Fiqh

sejak awalnya terikat dengan karakter awal kedatangan Islam yang

menghadapi budaya ketauhidan yang politis dan ateis. Karena itu,

pemandangan yang mengemuka adalah bahwa Islam tampil dalam wajahnya

yang politis dan ekspansionis.

Adalah Abdullahi Ahmed an-Na’im, tokoh pemikir Islam asal Sudan

menjelaskan realitas tersebut di atas. Penjelasan yang dikemukakannya adalah

bahwa periode Makkah dan Madinah adalah cermin yang terpampang secara

transparan untuk melihat historisitas Fiqh yang membedakan antara ruang dan

waktunya.57

Pada periode Makkah, doktrin-doktrin yang muncul terlihat egaliter,

pluralis dan demokratis. Nabi Muhammad hadir dalam sosok sebagai manusia

biasa. Ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan pada periode Makkah

57 Pemikiran an-Na’im ini penulis ambil dari kutipan Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih

Lintas Agama, op.cit., hlm. 141-142

Page 41: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

258

258

disimbolisasikan dengan ungkapan “manusia” sebagai pandangan universal

yang tidak membedakan agama, ras dan suku.

Sedangkan pada periode Madinah, doktrin-doktrin tampil dengan

ajaran yang eksklusif dan homogen. Ayat-ayat yang diturunkan pada periode

Madinah seakan mengukuhkan primordial keagamaan yang disimbolisasikan

dengan “Muslim” dan “non-Muslim”. Karena itu, teks-teks yang turun pada

periode Madinah sangat diskriminatif, eksklusif dan fundamentalistik.58

Sehingga orang acapkali mengangkat pijakan ini sebagai justifikasi kebenaran

“Negara Islam”.

Berangkat dari sini, Esack ingin meneguhkan bahwa Fiqh benar-benar

merupakan proses, bukan hasil yang musti disakralkan. Pemikirannya semakin

diteguhkan dengan bantuan hermeneutika pembebasan guna melacak dan

melakukan psikologisasi maksud Tuhan dalam menurunkan Syari’at-Nya.

Pada gilirannya, aplikabilitasnya semakin kentara ketika Ia berada dalam

konteks Afrika Selatan yang menjadi latar Esack berteologi (locus

theologicus). Maka wajar jika produk pemikirannya kerapkali

menggemborkan isu tentang pluralisme, terutama berkaitan dengan masalah

hubungan mayoritas dengan minoritas, hubungan Muslim dengan non-

Muslim.

Dari pembacaan terhadap pemikiran Esack yang terdapat dalam buku

Qur’an, liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious

solidarity againts Oppression, dapat diangkat analisa, bahwa ternyata Esack

58 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, op.cit., hlm. 142-143

Page 42: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

259

259

menggunakan metodologi Fazlur Rahman dalam rangka melihat bagaimana

historisitas ayat-ayat yang menjadi perhatiannya, terkhusus ayat-ayat tentang

pengakuan non-Muslim. Berikut ini penulis coba uraikan alur kerja secara

teknis analisa Esack atas pembacaan baru terhadap dzimmi yang memakai

pembacaan double movement Fazlur Rahman:

Perang antar suku (muslim & non muslim) Penaklukan wilayah sejak Khulafaurrasyidin, Umayyah dan Abasyiyah

Mengeneralisasi Jawaban Spesifik

Menentukan tujuan moral sosial al-Qur’an

Penjelasan diagram:

1. Situasi Historis:

Teori Fazlur Rahman yang menjadi pisau analisis Esack dalam

membaca status dzimmi diawali dengan membaca bagaimana situasi

Menghagai kaum di luar Islam (toleransi), tolong menolong,di samping turun QS. Al-Taubah [9]: 29 Perlindungan Nabi terhadap hak kaum Yahudi Nasrani (non Muslim): muncul hadis…… من اذى ذميا

Menjaga stabilitas keamanan negara Membangun kesepakatan dan kontrak sosial

Situasi Historis

Situasi Kontemporer Nilai-nilai Universal

Masyarakat Islam

Nation state, multikulturalisme Paham demokrasi, Multiagama Pluralisme dan pengakuan HAM

Keadilan (al’adalah) al-Musawah (persamaan) Taat pada pemerintah yang berdaulat

Perlindungan hukum bagi kelompok minoritas Masyarakat tanpa status dzimmi Qabulul Akhar (meminjam bahasa Milad Hanna) Membangun fiqh yang emansipatoris:

Nilai keadilan Kemanusiaan Kesetaraan Pembebasan Pluralisme Non diskriminatif

Konsep dzimmi

Page 43: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

260

260

historis kehadiran konsep dzimmi ini. Dalam QS. Al-Taubah [9]: 29

dijelaskan (asbab an-nuzul) bahwa kondisi saat itu, terutama awal kali

konsep dzimmi muncul adalah tatkala terjadi peperangan (ekspedisi)

melawan Romawi di Tabuk, tahun 630 M. Perang ini berawal dari sikap

keras yang dilakukan orang-orang non-Muslim terhadap ketertiban dan

keamanana kaum Muslimin. Maka, ketika umat Islam mampu memenangi

perang tersebut, mereka mewajibkan bagi orang-orang non-Muslim untuk

membayar jizyah dan mereka pun tunduk.

Bila dicermati secara mendalam, ayat tersebut mempunyai latar

belakang historis tertentu, yaitu perang. Dan karenanya, tidak bisa

diberlakukan dalam situasi normal. Sehingga konsep jizyah merupakan

konsep yang kehadirannya mempunyai konteksnya tersendiri, terutama

tatkala umat Muslim dan umat non-Muslim berada dalam peperangan. Dan

dalam kondisi seperti ini, diperlukan sebuah kesepakatan yang jelas,

sehingga tidak mengganggu stabilitas pemerintahan Islam. Konsep jizyah

merupakan salah satu cara yang digunakan al-Qur’an dan diperintahkan

Tuhan bukan untuk memeras dan menomorduakan agama lain, melainkan

sebagai cara untuk membangun kesepakatan yang tidak merugikan kedua

belah pihak.

2. Respon Al-Qur’an (Tradisi Nabi) :

Karena al-Qur’an turun sebagai tanggapan atas kondisi saat itu,

maka ketika ada situasi historis peperangan melawan romawi (non-

Page 44: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

261

261

Muslim) dikarenakan persoalan ketertiban dan keamanan, maka al-Qur’an

turun lewat jelmaan QS. Al-Taubah [9]: 29, yang berbunyi:

Artinya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS. Al-Taubah [9]: 29).

Ibn Taymiyah menambahkan statemen yang lebih bijak, bahwa ia

sendiri mencela konsep perang seperti ditujukan ayat-ayat perang dalam

teks (nash) yang sering dijadikan legitimasi sebagai agresifitas kaum

muslim terhadap non-Muslim. Ibn Taymiyah tidak sepakat dengan konsep

perang permanent antara dunia Islam dengan dunia orang-orang kafir

(non-Muslim), sehingga ia melihat konsep jihad sebagai suatu prinsip

defensive, bukan agresif.59

3. Mengeneralisir jawaban-jawaban spesifik & menentukan tujuan

moral sosial al-Qur’an

Dalam hal ini, ada satu premis awal yang menjadi dasar jawaban

sekaligus tujuan moral sosial al-Qur’an mengapa menurunkan QS. Al-

59 Khalid Ibrahim Jindan, the Islamic Theory of Government according to Ibn Taymiyah,

terj. Mufid, Teori Pemerintahan Islam menurut Ibn Taymiyah, op.cit, hlm., 116

Page 45: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

262

262

Taubah [9]: 29, bahwa dengan turunnya ayat ini bukan untuk

menomorduakan atau melegitimasi status dzimmi menjadi second class

seperti yang diwacanakan oleh para ahli fiqh, namun Tuhan menurunkan

ayat ini sebagai jawaban saat kondisi perang, dan dalam kondisi seperti

ini, diperlukan sebuah kesepakatan yang jelas, sehingga tidak mengganggu

stabilitas pemerintahan Islam. Konsep jizyah merupakan salah satu cara

yang digunakan al-Qur’an dan diperintahkan Tuhan bukan untuk memeras

dan menomorduakan agama lain, melainkan sebagai cara untuk

membangun kesepakatan yang tidak merugikan kedua belah pihak. Inilah

jawaban spesifik yang menjadi tujuan moral sosial al-Qur’an dalam

menurunkan ayat tersebut.

4. Situasi Kontemporer

Membaca situasi kontemporer dalam bahasan dzimmi maka kita

akan melihat bagaimana konsep Negara saat ini, yang telah menganut

system Negara bangsa (nation state). Pun paham demokrasi yang kian

merebak sebagai tuntutan hak masyarakat juga semakin menjangkiti

Negara-negara di era sekarang ini. Konsekuensinya, penegakan hak asasi

manusia menjadi satu hal yang tak bisa di tawar-tawar lagi, bukan malah

melegalkan system rasial, apalagi membedakan status warga (muslim dan

non-Muslim).

5. Nilai-nilai al-Qur’an

Sementara, membaca nilai-nilai al-Qur’an terkait dengan ayat

tersebut di atas, adalah munculnya konsep hukum berupa ketaatan pada

Page 46: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

263

263

pemerintah (ulul amr). Kemudian juga muncul konsep keadilan (al-

‘adalah) dan persamaan (al-Musawah). Nilai-nilai ini adalah yang menjadi

rujukan tertinggi bagi penentuan status hukum tentang konsep dzimmi.

6. Masyarakat Islam

Terwujudnya masyarakat yang adil damai dan sejahtera adalah

dambaan. Maka dalam konteks ini, sebagai akhir dari jawaban, adalah

mewujudkan masyarakat yang mengagungkan nilai-nilai pluralisme,

menghargai perbedaan dan pada gilirannya, membawa pada konsep fiqh

emansipatoris yakni konsep fiqh yang memiliki komitmen pada perubahan

struktur (relasi-relasi), baik relasi kekuasaan dalam dunia Islam (misalnya)

yang kemudian menimbulkan status dzimmi. Pada gilirannya visi

transformatif dalam fiqh akan berujung pada aksi pembebasan, yakni

terbebasnya masyarakat kita dari belenggu diskriminasi, baik ras, agama,

politik budaya maupun ekonomi.

Sampai di sini kiranya penulis membaca beberapa item gagasan Tafsir

Esack terhadap Ahli Kitab (termasuk di dalamnya dzimmi) atau pengakuan

kelompok non-Muslim. Dalam hal ini, Esack meminjam pembacaan double

movement-nya Fazlur Rahman. Memang diakui ada beberapa analisa lain yang

digunakan Esack, dan juga dengan memakai pisau analisa lain pula (seperti

memakai analisa hermeneutika Arkoun). Namun penulis memandang untuk

lebih fokus melihat kerja pembacaan dari Fazlur Rahman daripada Arkoun,

karena memang secara tersirat, Esack melihat persoalan dzimmi lebih

Page 47: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

264

264

workable (lebih pas/bisa dikerjakan) jika dibaca menggunakan pisau analisa

Fazlur Rahman daripada Arkoun.

B. IMPLIKASI TAFSIR KONSEP DZIMMI FARID ESACK TERHADAP

REKONSTRUKSI FIQH

Realitas dan fakta ko-eksistensi keagamaan yang plural di Afrika

Selatan jelas membawa nuansa tersendiri bagi karakter dan kecenderungan

Tafsir (kerja hermeneutika) Esack terhadap beberapa persoalan hukum,

termasuk dalam hal ini adalah persoalan status dzimmi dalam era sekarang.

Dalam arti yang lebih dalam, Esack membawa semangat besar yang tersimpan

dalam kerja hermeneutika-nya terhadap status dzimmi dengan melakukan

proses psikologisasi (membaca psikologi dan maksud) pengarang (Tuhan).

Hal ini bukan bermaksud ‘lancang’ dengan menelanjangi maksud Tuhan.

Karena jika kita mau membandingkan, dalam Islam sendiri, telah hidup tradisi

untuk membaca maksud Tuhan dalam menurunkan hukum (syari’ah)-Nya

lewat konsep yang ditelorkan oleh al-Syathibi Maqashid al-Syari’ah. Di

wilayah inilah Esack memainkan kerangka kerjanya untuk membawa tafsir

dzimmi pada dimensi pembebasan.

Maka, dalam ‘angan-angan’ besarnya, Esack mendambakan proses ini

secara praksis dapat menuju pada: Pertama, dengan mentode tafsir

pembebasan ini membawa pada petunjuk bahwa sangat mungkin hidup dalam

keimanan terhadap al-Qur’an di satu sisi dan dalam satu konteks yang hadir

(kontemporer) bersama umat lain, bekerjasama dengan mereka guna

Page 48: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

265

265

membangun masyarakat yang lebih manusiawi. Kedua, mengedepankan ide

tentang hermeneutika al-Qur’an sebagai kontribusi terhadap bangunan teologi

pluralisme dalam Islam. Ketiga, mengkaji ulang cara al-Qur’an mengkaji ‘diri

sendiri‘ dan ‘orang lain’, baik yang beriman atau tidak beriman, untuk

memberi ruang kebenaran bagi orang lain dalam teologi pluralisme demi

pembebasan. Keempat, mencari hubungan antara eksklusivisme keagamaan

dengan satu bentuk konservatisme politik (pendukung apartheid) di satu sisi,

serta inklusivisme keagamaan dengan satu bentuk politik progresif

(pendukung pembebasan) di sisi lain, serta untuk memberikan alasan-alasan

bagi yang terakhir.60

Dari empat tujuan (‘angan-angan’) Esack tersebut, tampaknya penulis

melihat ada satu benang merah yang bisa kita tarik menjadi seperangkat nilai-

nilai (visi) leberatif—atau meminjam bahasa Masdar Farid Mas’udi adalah

visi yang emansipatoris61. Berikut ini penjabaran visinya:62

a. Al-Qur’an menjadi Kitab ‘Terbuka’

Al-Qur’an sebagai kitab terbuka—seperti yang diungkap oleh

Arkoun dalam bukunya Nalar Islami Nalar Modern—meniscayakan

60 Ibid, hlm 72-73, lihat juga A. Rafiq Zainul Mun’im, op.cit, hlm. 23 61 Mengapa penulis memakai istilah emansipatoris? Barangklali secara obsesi terkesan

ambisius, namun jika kita cermati mendalam etimologinya, kita bisa temukan bahwa visi emansipatoris adalah sebuah semangat untuk membawa fiqh pada kuasa liberatifnya. Dalam arti, model fiqh yang emansipatoris berarti sangat menggarisbawahi apa yang disebut dengan dimensi praksis, yang tentu saja lebih dari sekedar wacana fiqh, namun praksis fiqh yang membebaskan. Lihat dalam Masdar Farid Mas’udi, Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris, makalah dalam pendidikan Islam emansipatoris (ma’had al-Islam al-Taharruri) yang diadakan oleh JIE-P3Mdi Pusdiklat Depdiknas, Sawangan, Senin-Sabtu, 19-24 Mei 2003.

62 Visi yang penulis ambil ini merupakan prinsip-prinsip dasar paradigmatik Islam Emansipatoris, lihat dalam Masdar Farid Mas’udi, ibid, lihat juga Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris; Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan, Jakarta: P3M, 2004, cet. I, hlm, 125-145

Page 49: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

266

266

adanya penafsiran yang akan menghadirkan makna baru yang lebih hidup

guna menyelesaikan problem kemanusiaan. Namun sebaliknya, ketika al-

Qur’an diposisikan sebagai kitab tertutup, akan muncul di kalangan Islam

pemahamna terhadap al-Qur’an yang bersifat tekstualistik, yaitu

pemahaman tentang Islam yang mempertaruhkan segalanya pada bunyi

atua huruf-huruf teks (nash) keagamaan.63

Kalau dikontekskan dengan nash/ayat tentang hubungan dengan

non-Muslim, yakni teks yang menegaskan kehalalan/kebolehan dan

keharaman Muslim berhubungan (bekerjasama) dengan ‘the others”

seperti dalam al-Qur’an Surat al-Taubah [9]: 29, misalnya, maka, dalam

sikap yang tekstualistik ini, bahwa apa yang baik (al-hasan) dan yang

buruk (al-qabih) adalah yang ditentukan oleh teks tersebut.

Karena itu, sikap tekstualistik pada dirinya menyimpan sikap

legalistik, yakni karena perintah teks adalah memerangi, maka

kecenderungan teks itu diteruskan untuk segala tempat dan waktu (zaman),

termasuk untuk saat ini. Agama adalah hukum, hukum adalah ancaman

atau sanksi. Keberagamaan yang kering, adalah keberagamaan yang keras

yang selalu cenderung mencari siapa yang salah, siapa yang harus

diancam, dikutuk, dan kalau perlu di perangi seperti maksud tersurat

dalam QS. al-Taubah [9]: 29 tersebut. Hal inilah konsekuensi logis ketika

al-Qur’an diposisikan sebagai kitab tertutup, sekaligus posisi Farid Esack

63 Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris; Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan,

ibid., hlm, 126

Page 50: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

267

267

dalam menempatkan metodologi tafsir (hermeneutika) pembebasannya

memperoleh titik relevansi.

b. Keadilan (al-‘adalah)

Sudah mafhum bahwa keadilan menurut ahli ushul fiqh menjadi

tujuan dan pelabuhan terakhir Syari’at.64 Berkaitan dengan kesadaran

keadilan ini, Asghar Ali Enginer mempunyai pemahaman yang cukup

menarik, yakni merevisi konsep kafir dan mukmin. Kafir yang

sesungguhnya, menurut Asghar, adalah “… orang-orang yang menumpuk

kekayaan dan terus membiarkan kezaliman dalam masyarakat serta

merintangi upaya-upaya menegakkan keadilan dalam masyarakat…”.65

Dengan kata lain, jika ia tidak berjuang menegakkan keadilan dan

melawan kezaliman serta penindasan, apalagi justru mendukung system

dan struktur masyarakat yang tidak adil (apartheid, misalnya), meski ia

tetap percaya kepada Allah, dalam pandangan Asghar, ia belum dapat

disebut sebagai mukmin. Asghar mengatakan bahwa “orang kafir yang

sesungguhnya adalah orang yang arogan (mustakbirin) dan penguasa yang

menindas, merampas, melakukan perbuatan-perbuatan salah, dan tidak

menegakkan yang ma’ruf, tetapi sebaliknya membela yang munkar.

Sebaliknya, orang mukmin sejati bukan hanya mereka yang mengucapkan

syahadat, melainkan juga dipersyaratkan melakukan perjuangan

menegakkan keadilan bagi mereka yang tertindas dan lemah

64 Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris; Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan,

ibid., hlm, 128. 65 Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris; Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan,

ibid., hlm, 130.

Page 51: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

268

268

(mustadl’afin), yang tidak pernah menyalahgunakan posisi kekuasaan

mereka, tidak pernah menindas orang lain atau memeras tenaga orang lain,

dan menegakkan kebaikan serta menolak kejahatan.

Di sini jelaslah, keadilan merupakan kepentingan utama

pembebasan dalam Islam. Islam berusaha menekankan kembali titik

perhatiannya yang paling esensial, yakni keadilan sosial dengan prioritas

utama pada pembebasan kelompok-kelompok lemah dan massa tertindas.

Dan yang terpenting, dalam konteks permasalahan ini adalah

membebaskan masyarakat dari kepentingan-kepentingan primordialistik.

Pembebasan bermuara pada terciptanya masyarakat “tanpa kelas” (tanpa

status dzimmi) yang menjadi tujuan sejati dari masyarakat tauhid.

c. Kesetaraan

Kesetaraan mengindikasikan adanya kehidupan umat manusia yang

menghargai kesamaan asal-muasalnya sebagai manusia dan kesamaan

pembebanan, dimana setiap manusia dikaruniai akal untuk berpikir.

Karenanya kesetaraan menjadi landasan paradigmatik untuk meneguhkan

visi (fiqh) emansipatoris.66

Salah satu yang membedakan Islam, dengan agama serumpun

Ibrahim seperti Yahudi dan Kristen, adalah al-Musawah (persamaan-

kesetaraan). Jika Kristen lebih kental dengan aura “kasih sayang”, dan

Yahudi dengan kekuatan hukum legal formal, maka Islam berada di garda

paling depan membawa bendera al-Musawah dalam harkat kemanusiaan.

66 Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris; Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan,

ibid., hlm, 131

Page 52: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

269

269

Sebagaimana diketahui, saat Muhammad diutus, bangsa Arab

Jahiliyah terkotak pada label kaya-miskin (level ekonomi), budak majikan

(sosial), sampai pada pembedaan di level agama (muslim-non-muslim).

Dengan demikian Islam hadir adalah untuk mewujudkan masyarakat

egaliter, bersederajat, dan beremansipasi.

Dalam konteks status dzimmi, maka dengan semangat al-musawah

ini, status dzimmi adalah sebuah semangat yang hidup pada zamannya,

yang kehadirannya mempunyai konteksnya tersendiri, terutama tatkala

umat Muslim dan umat non-Muslim berada dalam peperangan. Dan dalam

kondisi seperti ini, diperlukan sebuah kesepakatan yang jelas, sehingga

tidak mengganggu stabilitas pemerintahan Islam. Konsep dzimmi yang

dibebani jizyah merupakan salah satu cara yang digunakan al-Qur’an dan

diperintahkan Tuhan bukan untuk memeras dan menomorduakan agama

lain, melainkan sebagai cara untuk membangun kesepakatan yang tidak

merugikan kedua belah pihak.

Di sisi inilah relevansi pemikiran Esack ketika melacak tafsir

pembebasan atas status dzimmi menuju semangat al-Qur’an yang

mengarusutamakan takwa, bukan status yang terjebak pada pembedaan

diskriminasi baik secara ekonomi, politik, maupun agama (termasuk

munculnya status dzimmi), seperti yang tercantum dalam QS. Al-Hujarat:

1367. Untuk menopang semangat ini, Nabi acapkali menegaskan tentang

67 “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan

seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang

Page 53: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

270

270

umat manusia yang bak gerigi sisir (kaasyani al-musth), sederajat,tanpa

melihat suku, ras apalagi agamanya.

d. Pembebasan

Pembebasan memberikan keyakinan baru akan pentingnya

transformasi sosial. Kita bisa melihat definisi Esack dalam melihat

‘Teologi Pembebasan’ sebagai teologi yang bekerja ke arah pembebasan

agama dari struktur serta ide sosial, politik, dan religius yang didasarkan

pada ketundukan yang tidak kritis dan pembebasan seluruh masyarakat

dari semua bentuk ketidakadilan dan eksploitasi ras, jender, kelas dan

agama.68

Ketika diterapkan dalam konteks dzimmi, maka fiqh dengan

semangat pembebasan ketika memandang status the protected minority

tidak lagi seperti yang selama ini merasuki Fiqh yakni memversuskan kafir

dzimmi dengan Islam; menomorduakan status warga dzimmi di bawah

pemerintahan Negara Islam.

e. Kemanusiaan

Visi kemanusiaan di sini hendak mengetengahkan dimensi yang

akan mengangkat harkat manusia, tanpa melihat perbedaan agama, ras dan

suku. Begitu juga dengan status dzimmi, Esack membawa masyarakat

tanpa status dalam perjuangan Afrika Selatan adalah ingin meraih mimpi

paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha mengenal” (QS. Al-Hujarat: 13)

68 Bebeda dengan Asghar, ‘Teologi Pembebasan’ ala Esack lebih memiliki aksentuasi pada pluralisme, lihat Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression, judul terj. Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme, Bandung: Mizan, 2000, cet. I, hlm. 120

Page 54: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

271

271

besar bahwa dalam sebuah perjuangan untuk pembebasan tidak lagi

memandang status apalagi membedakan ras, agama maupun golongan

tertentu.

f. Pluralisme

Visi ini barangkali lebih memiliki tingkat relevansi yang tinggi,

karena bagaimana visi ini membawa pada semangat untuk hidup di

tengah-tengah kelompok lain yang berbeda baik secara kultur, ideology,

iman maupun yang lainnya. Di samping nalar fiqh kita yang tidak cukup

bersahabat ketika mendapati “kelompok lain” seperti yang telah dijelaskan

di muka, kita juga secara jelas menjumpai beberapa statemen provokatif

dalam al-Qur’an yang secara tekstual membawa semangat permusuhan,

kekerasan dan penghancuran pada umat lain yang berbeda secara agama

(non-Muslim).69

Di sini kiranya perlu cara pandang baru terhadap agama. Bahwa

semua agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam) itu bersumber dari satu

Tuhan. Tidak ada tujuan lain dari semua agama itu kecuali untuk

menciptakan keadilan di muka bumi. Perbedaan agama terjadi karena

perbedaan millah70 yang dianut oleh Islam, Yahudi, ataupun Kristen.

Di sinilah pentingnya penelusuran terhadap persoalan yang paling

inti dalam setiap agama (maqashid al-syari’ah) serta penafsiran yang

69 Lihatlah QS. Al-Baqarah: 120: “orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan

membiarkanmu, hingga kamu mengikuti ajaran mereka. Padahal jika kita teliti lebih dalam, ayat tersebut lebih berbicara pada penentuan arah kiblat, sebab dalam ayat sebelumnya (QS. Al-Baqarah: 115) menyebutkan: “Allah adalah penguasa Timur dan Barat. Kemanapun kamu menghada, maka akan menatap wajah (kekuasaan) Tuhan”.

70 Millah sering diartikan sebagai syari’at, dimana Nabi membawa syari’at yang tidak sama polanya dengan yang dibawa oleh nabi lainnya.

Page 55: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

272

272

terbuka terhadap agama lain. Sikap ini bukan berarti kita ingin bersikap

kompromi terhadap syari’ah, namun ingin meraih mashlahat, yakni

menghindari benturan antarumat agama.

Akhirnya pluralisme menjadi sebuah keniscayaan, khususnya

dalam membangun hubungan antara masyarakat, hubungan agama yang

lebih toleran—meminjam istilah Millad Hanna, Intelektual Koptik asal

Mesir: Menyongsong yang Lain (Qabulul Akhar)71—dan dialogis.

Bukankah relevansi bagi pemahaman soal konsep dzimmi bisa berangkat

dari titik kesadaran ini?

g. Non Diskriminatif

Diskriminasi benar-benar menjadi hambatan serius dalam

bermasyarakat, karena dalam diskriminasi mengindikasikan adanya

penindasan, peminggiran dan ketidakadilan. Karena itu, diharapkan agar

setiap tafsir (kerja hermeneutik) dalam upaya memproduksi hukum harus

menjauhi penafiran yang diskriminatif.

Ada banyak faktor mengapa hubungan mayoritas-minoritas sering

ditampilkan dalam corak diskriminatif, sehingga dalam banyak hal

merugikan kalangan minoritas (dalam hal ini status dzimmi, misalnya).

Salah satunya adalah adanya klaim kebenaran (truth claim) yang tidak

disertai kedewasaan ekspresi keberagamaan. Beberapa sikap

keberagamaan seperti absolutisme adalah kesombongan intelektual,

eksklusivisme adalah kesombongan social, fanatisme adalah kesombongan

71 Milad Hanna, Qabulul Akhar; Min Ajli Tawashuli Hiwaril Hadlarat, terj. M. Guntur

Romli, Menyongsong yang Lain Membela Pluralisme, Jakarta: JIL, 2005. hlm. 1

Page 56: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

273

273

emosional, ekstrimisme adalah berlebih-lebihan dalam bersikap, dan

agresifisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik. Tiga

penyakit pertama merupakan representasi dari kesombongan (‘Ujub) dan

dua penyakit terakhir adalah representasi dari sikap berlebih-lebihan

(tatharruf).72

Di samping menampilkan visi liberatif (yang kemudian terkenal

dengan visi emansipatoris ini), penulis telah mencantumkan dalam diagram,

bahwa implikasi yang paling penting dari penafsiran kembali (reinterpretasi)

konsep dzimmi adalah adanya perlindungan hukum bagi kelompok minoritas,

dalam hal ini bagi kelompok dzimmi agar mereka sama-sama merasakan hak

dan kewajiban yang sama.

Menuju Fiqh Yang Peka Terhadap Pluralisme

Rumusan visi emansipatoris di atas selanjutnya menjadi ‘pelabuhan

terakhir’ dalam menghasilkan produk hukum berupa status baru bagi dzimmi.

Penulis lebih sepakat untuk menamakan tema ini dalam kerangka “Menuju

Fiqh Yang Peka Terhadap Pluralisme”.73 Secara metodologis, penulis

cenderung untuk membawa analisa ini pada pembaruan fiqh yang peka

terhadap pluralisme ini dengan alasan keberangkatan problema fiqh yang

sampai saat ini masih terdapat “kepincangan” dalam memposisikan hubungan

antar agama, seperti tergambar dalam pembacaan Fiqh klasik terhadap dzimmi

72 Dikutip dari Sahli Zain, Perlindungan Hak Minoritas, dalam Buletin Jum’at an-

Nadhar, Edisi 32/14 Nopember 2003, hlm. 1. lihat dalam Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris; Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan,op.cit., hlm, 145

73 Analisa ini dapat dilihat dalam rumusan buku Fiqih Lintas Agama, Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, op.cit., hlm. 167-176.

Page 57: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

274

274

di atas. Fiqh klasik tampaknya belum mampu menjawab tantangan zaman

secara sempurna. Dalam Fiqh hubungan antar agama terlihat adanya

kegagapan dalam melihat agama lain. Kritik sangat menonjol terutama mesti

ditujukan pada Fiqh mazhab Syafi’i. Karena saking kuatnya paradigma

teosentris yang dipedomani Imam Syafi’I, terutama dalam konsep ahl al-

dzimmah, maka terlihat sangat mendiskriminasikan agama lain. Syafi’I

seakan-akan ingin menjadikan agama lain sebagai ‘sapi perahan’ yang dituntut

dengan kewajiban-kewajiban, namun di sisi lain, mereka tidak diberikan hak

yang setimpal. Bukan hanya itu, seruling jihad pun ditiupkan kepada

kelompok-kelompok non-Muslim. Hamper dalam seluruh kitab fiqh ada bab

tersendiri yang membahas masalah jihad.74

Di sinilah pentingnya membaca kembali fiqh klasik secara kritis dalam

hal pembacaan dzimmi. Pasalnya, dalam Fiqh Klasik sangat kental nuansa

diskriminatif terhadap kaum the protected minority ini. Seperti yang

diungkapkan oleh Ibn Taymiyah, bahwa pandangannya terhadap dzimmi:75

1. Golongan dzimmi tidak diperkenankan (diberi kesempatan) menduduki

pos-pos penting dalam pemerintahan dan administrasi.

2. Perumahan (rumah hunian) kelompok dzimmi tidak diperbolehkan

melebihi perumahan umat Islam.

3. Golongan dzimmi diharuskan memakai pakaian (atau identitas fisik)

yang berbeda dengan busana yang dipakai oleh umat Islam.

74 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, ibid., hlm. 167-176. 75 Khalid Ibrahim Jindan, the Islamic Theory of Government according to Ibn Taymiyah,

op.cit. hlm. 109-110.

Page 58: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

275

275

4. Tidak ada gereja atau sinagoge yang diizinkan untuk dibangun di

wilayah yang ditaklukan Islam (‘unwah).

5. Warga non-Muslim boleh memelihara tempat-tempat suci mereka yang

terletak di kawasan Islam yang diperoleh dari umat lain dengan cara

damai, namun mereka harus mematuhi perjanjian gencatan senjata

(sulh). Hanya saja, mereka tidak diperkenankan untuk mendirikan

tempat ibadah baru.

6. Warga non-Muslim tidak diperbolehkan mempraktikkan ibadah atau

menyebarkan symbol-simbol mereka di kawasan yang khusus dihuni

penduduk muslim kecuali jika merupakan salah pasal dalam perjanjian.

Maka, yang diperlukan sekarang adalah mengembalikan nilai-nilai

universal, seperti kemashlahatan umum, egalitarianisme, rasionalisme,

pluralisme (seperti yang terinci dalam visi emansipatoris di atas) sebagai

prinsip-prinsip paradigmatik Fiqh sehingga tidak terjebak dalam kubang

literalisme, fundamentalisme dan konservatisme.

Apa yang dilakukan Farid Esack di Afsel, di samping ingin

memberikan kontribusi dalam menutup kekurangan Fiqh, Ia juga

menunjukkan bahwa hubungan antar-agama pada dasarnya adalah hubungan

dialogis dan bukan hubungan konfrontatif. Agama adalah persoalan keyakinan

yang tidak bisa dipaksakan kepada seseorang. Keimanan adalah masalah

‘hidayah’ yang tak boleh dipaksakan. Dalam hermeneutikanya Esack juga

menekankan dimensi progresivitas wahyu yang berangkat dari asumsi-asumsi

penafsir.

Page 59: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

276

276

Kasus Afrika Selatan membuktikan, bahwa dalam hermeneutika,

mereka tidak berangkat dari asumsi salaf al-shalih, akan tetapi berangkat dari

realitas politik dan budaya. Kekuasaan despotic (lalim dan menindas) rezim

Apartheid menjadi pijakan Esack untuk menggalang kekuatan bersama

(interfaith solidarity) dengan masyarakat dari pelbagai agama untuk

melakukan perlawanan.

Fiqh dalam hal ini telah berubah jenis kelamin, dari wataknya yang

teosentris menjadi antroposentris dan progresif. Perlawanan masyarakat

terhadap kekuasaan politik tidak serta merta bermula dari teks, akan tetapi

dimulai dari realitas dan problem kemanusiaan dengan melandasi setiap

pemikirannya pada komitmen pembebasan.

Dengan kerangka metodologi yang demikian, maka harapannya ada

satu perubahan mendasar pada nalar Fiqh dalam menyikapi kaum dzimmi ini

agar terbebas dari belenggu teks yang mengungkung mereka.

Adalah Fahmi Huwaidy, seorang intelektual Mesir yang mewakili

kalangan enlightened Islamist, berjudul "Muwathinun La Dzimmiyyun"

(Warga Negara, Bukan Orang-Orang Dzimmi). Ulil Abshar Abdallah yang

menimbang buku ini dalam situs Islam liberal menilai, ada ijtihad mutakhir

tentang pokok masalah yang amat penting dalam konsep politik modern, yaitu

soal kewarganegaraan (dalam Islam, tidak ada padanan yang baik bagi istilah

citizenship sebagaimana dikenal dalam pengertian modern). 76

76 Dikutip dari tulisan Ulil Abshar Abdallah, Fahmi Huwaidi dan Konsep "Dzimmah",

lihat dalam www.islamlib.com, edisi 1 Juni 2003.

Page 60: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

277

277

Tanpa tedeng aling-aling, Huwaidy mengatakan bahwa konsep klasik

tentang dzimmi (warga negara non-Muslim yang dilindungi), meskipun

workable (dapat di jalankan) pada zamannya, sudah tidak bisa lagi dipakai

sekarang ini. Umat Islam tidak bisa menghindar dari kenyataan baru yang

sama sekali berbeda di mana dasar "keanggotaan dalam sebuah negara"

ditentukan bukan oleh agama, tetapi oleh prinsip muwathanah, atau

nasionalitas. Yang menghubungkan antara satu dan lain orang dalam sebuah

negara bukan karena mereka satu agama, tetapi karena kesatuan nasionalitas.

Dengan nada yang sama Asghar juga mengingatkan bahwa di dunia

demokratis modern tidak ada lagi status ‘political other’. Semua memiliki hak

warga Negara yang sama. Secara politik, bukan secara agama, sebuah

kewarganegaraan menjadi penting. Dan warga Negara bukan ditentukan dari

agama seseorang. Dzimmi hendaknya dicatat, sebagai penggolongan politik

dan kategori yang ada pada zamannya. Rasulullah mempertaruhkan dirinya

untuk memelihara dzimmi dan mendesak muslim berulangkali untuk

memperlakukan mereka dengan tanggung jawab penuh.77 Karena itu, bagi

Djohan Effendi, kita dituntut untuk bersikap toleran, bukan hanya kepada

pemeluk agama lain, tapi juga kepada orang yang tidak meyakini agama.

Alasannya sederhana, selain Islam mengajarkan kita bahwa ‘hidayah’ Tuhan

tak bisa dipaksakan kedatangannya, beragama dengan cara pemaksaan hanya

77 Asghar Ali Engineer, on Developing Theology of Peace in Islam, terj. Rizqon

Khamami, Liberalisasi Teologi Islam; Membangun Teologi Damai dalam Islam, Yogyakarta: Alenia, 2004, hlm. 154-157

Page 61: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

278

278

akan memunculkan hipokrasi dan kemunafikan, sebuah sikap yang sangat

dikecam Islam.78

Dalam konteks yang lebih riil, adalah Dr. Yusuf al-Qardhawi yang

mengajukan alternatif pemikiran agar Fiqh direformasi menjadi Fiqh Realitas

(Fiqh al-Waqi’) dan Fiqh Prioritas (Fiqh al-Awlawiyat)79, yaitu fiqh yang

dapat dijadikan sinaran baru bagi problem kemanusiaan yang muncul di

tengah masyarakat. Dalam hal ini konsep syari’at diharapkan tidak lagi hanya

bercorak vertikalistik (teosentris), yang hanya mengupas hubungan manusia

dengan Tuhannya, melainkan mencoba merambah masalah-masalah

kemanusiaan. Fiqh di desak untuk menyentuh isu-isu kesetaraan gender (fiqh

al-Mar’ah), dan wabil khusus ketatanegaraan (fiqh al-dawlah),

kewarganegaraan (fiqh al-muwathanah) dan lainnya.

Sampai di sini, terlihat bahwa mendinamisasikan fiqh merupakan

langkah awal guna mendekonstruksi Syari’at dari wajahnya yang statis,

eksklusif dan diskriminatif menjadi syari’at yang dinamis, inklusif dan

egalitarianistik. Untuk itu, yang mesti di angkat ke permukaan adalah syari’at

dalam arti sebagai sumber kemaslahatan yang dimaksud tidak hanya

kemaslahatan untuk Tuhan dan penguasa an sich, melainkan kemaslahatan

bagi manusia di seantero alam, apapun agama, suku dan rasnya. Di sinilah

relevansi fiqh maqashid, yaitu fiqh yang lebih mengutamakan nilai-nilai

kemanusiaan universal, seperti kemaslahatan, keadilan dan kesetaraan

daripada hukum-hukum yang bersifat particular.

78 Lihat tulisan ini dalam Luthfi Assyaukanie, Dari Taksonomi (Model) Lama ke Islam Liberal Pemikiran Islam Modern, dalam www.islamlib.com (kolom)

79 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, op.cit., hlm. 7-10.

Page 62: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

279

279

Apa yang telah dilakukan oleh Farid Esack menurut penulis,

merupakan salah satu upaya dari perwujudan idealisasi tersebut, pembaruan

fiqh dan penciptaan tatanan kedilan di muka bumi dengan tanpa adanya

diskriminasi, pembedaan ras, agama, politik sosial dan kebudayaan lewat

sebuah upaya pembongkaran tafsir (hermeneutika) terhadap teks/nash agar

mempunyai semangat yang membebaskan.

Mengingat konsep dzimmi ini terkait dengan status seseorang atau

kelompok terkait dengan kekuasaan Negara—yang berbeda dengan ahli kitab

yang sangat lekat dengan dimensi teologis (karena terpaut dengan golongan

yang diberi kitab)—maka tentu jelas, menurut penulis, kita tidak bisa

menerapkan status hukum (perspektif fiqh) yang sama pada setiap wilayah.

Dalam arti, status hukum yang dikeluarkan terkait dengan status dzimmi dalam

hal ini akan sangat tergantung bagaimana kesepakatan suatu wilayah. Hal ini

sesuai dengan maksud Tuhan ketika menurunkan QS. Al-Taubah di atas

adalah sebagai dasar agar ada kesepakatan antar satu golongan dengan

golongan yang lain.

Maka dari itu, meski pelacakan tafsir hukum Esack menghendaki

adanya penghilangan status dzimmi, namun dalam penjelasan bab ini, penulis

akan menjabarkan tafsil (penjelasan) hukum dari penafsiran dzimmi Farid

Esack sebagai titik implikasi hukumnya.

1. Untuk Negara yang menganut asas demokrasi, dan telah menganut sistem

nation state: barangkali, proses tafsir atau pelacakan (kerja hermeneutika)

untuk menafsirkan kembali, seperti yang dilakukan oleh Farid Esack tidak

Page 63: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

280

280

mempunyai titik relevansi yang tinggi. Karena, maksud tertinggi tafsir

yang diinginkan atas pembacaan kembali status dzimmi adalah hilangnya

diskriminasi sistem kelas (penomorduaan) terhadap warga Negara.

Sementara dalam karakter Negara ini telah ada pengakuan yang sama atas

hak-hak warga Negara dengan tidak memandang suku, ras, agama atau

golongan.

2. Untuk Negara yang menganut asas Islam: untuk karakter Negara inilah

(kerja tafsir ini) mempunyai titik relevansi tinggi. Karena dengan asumsi

bahwa pemahaman selama ini memakai legitimasi bahwa status dzimmi

dalam Islam tetap dipertahankan. Padahal di pojok-pojok Negara ini, tentu

ada segelintir orang yang mempunyai keyakinan yang berbeda. Dalam hal

ini, proses tafsir ulang terhadap status dzimmi menjadi kebutuhan yang tak

bisa dielakkan lagi.

Namun yang jelas, hasil dari perumusan konsep Fiqh terhadap problem

status dzimmi tetap harus bertumpu pada ide dan nilai-nilai universal

(kesetaraan, keadilan dan non diskriminatif), guna menuju konsep ummah

wahidah (satu komunitas politik), menikmati hak politik, agama dan budaya

yang sama. Sehingga Fiqh yang pluralis ini akan menuju pada penghargaan

‘religious other’ dan ‘political other’.

C. KRITIK ATAS KONSEP HERMENEUTIKA PEMBEBASAN FARID

ESACK SEBAGAI METODOLOGI TAFSIR TEKS

Page 64: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

281

281

Mengakhiri pembahasan karya tulis ini, sebagai unsur objektifitas

penelitian, penulis tampilkan kritik yang paling signifikan atas konsep

hermeneutika pembebasan Farid Esack (terutama terkait dengan

pembacaannya kembali terhadap konsep pengakuan non-muslim/dzimmi),

dengan catatan bahwa kritik yang penulis tampilkan tidak jauh dari

pemahaman penulis terhadap pemikiran Farid Esack.

Pokok pikiran yang pertama dari “hermenetika pembebasan” adalah

bahwa si penafsir masuk ke dalam teks tidak dengan “pikiran yang kosong”

tetapi dengan “pikiran yang terisi”, yang merupakan hasil keterlibatannya—

melalui aktivitasnya—dengan realitas. Jadi terdapat semacam pra-teks

sebelum masuk ke dalam (menafsirkan) teks/nash. Jika Fazlur Rahman

menyatakan bahwa solusi seseorang bisa menggapai “makna obyektif” dari

teks Qur'an hanya dengan menggunakan “iman” dan “ketulusan”, maka dalam

hal ini Esack melakukan kritik, bahwa kesimpulan Rahman didasarkan atas

anggapannya tentang pengetahuan yang hanya berdasarkan kognisi saja,

sehingga mengabaikan dialektika di antara kognisi dan praksis.

Pokok pikiran yang kedua adalah bahwa teks memiliki konteksnya

sendiri. Di sini dijelaskan bahwa wahyu (al-Qur'an) bukanlah sesuatu yang

murni terletak di luar sejarah. Ia merupakan hasil komunikasi di antara Allah

dengan manusia yang berlangsung di dalam sejarah, sehingga dikondisikan

olehnya. Ia merupakan komentar-komentar Allah terhadap kebutuhan

masyarakat Arab pada masa Nabi, yang turun secara bertahap selama dua

Page 65: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

282

282

puluh tiga tahun.80 Meskipun begitu, ia tetap memiliki makna-makna yang

universal—yang mana untuk menggapai makna-makna ini diperlukan usaha

untuk menembus "partikularitas" teks. Di sinilah signifikansi dari disiplin

asbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya wahyu) dan naskh (pembatalan), selain

daripada kondisi-kondisi si penafsir sendiri, seperti yang telah disebutkan di

atas.

Pokok pikiran yang ketiga adalah bahwa penafsiran atas teks kemudian

harus diikuti dengan aksi, karena hal ini berhubungan dengan validitas dari

tafsir.

Sampai di sini, sekadar untuk menjelaskan posisi hermeneutika Farid

Esack yang sebenarnya, ternyata mempunyai irisan dengan gugusan pemikir

lain, seperti Hasan Hanafi. Menurut Hassan Hanafi, validitas interpretasi

terletak di dalam "kekuatannya" yang ada pada realitas. Sementara Esack

mengatakan bahwa praksis pembebasan dapat mengarah kepada otentisitas

yang lebih besar. Farid mengatakan: “…but argues that liberating-praxis leads

to greater authenticity”. Selain itu, Esack juga mengatakan bahwa karena

fokus dari teologi pembebasan adalah kaum tertindas, maka mereka

merupakan penentu dari otentisitas yang didasarkan atas kepentingan mereka.

Ia mengatakan: “Given that the focus of liberation theology is the 'non-

80 Esack menggunakan dua ayat untuk membenarkan hal ini, yaitu ayat 17:82 yang berbunyi:

"Kami turunkan (setahap demi setahap) dalam Qur'an apa yang menjadi obat dan rahmat bagi orang beriman; tetapi bagi orang durjana hanya akan menambah kerugian" dan ayat 17:106 yang berbunyi: “Qur'an yang Kami bagi (ke dalam bagian-bagian dari waktu ke waktu), supaya dapat kaubacakan kepada manusia berangsur-angsur. Kami wahyukan itu bertahap-tahap.” Lihat Farid Esack, Qur’an, liberation & Pluralism, op.cit., hlm. 53; Rahman juga memiliki pendapat yang sama, ia mengatakan: “Tetapi agaknya ia diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w. secara berangsur-angsur selaras dengan kebutuhan-kebutuhan situasi.” Baik Esack dan Rahman sama-sama berpendapat bahwa al-Qur'an bukanlah sebuah “kitab” dalam artian umum istilah tersebut, karena ia lebih merupakan sebuah “diskursus”.

Page 66: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

283

283

subjects' of history, the marginalized, they were the determiners of

authenticity based on their interests”. Selain itu, untuk memperkuat pendapat

bahwa manusia bisa dijadikan sebuah "kriteria kebenaran," bahkan untuk

menilai Islam sendiri, ia menggunakan argumen bahwa manusia adalah tempat

“ruh Tuhan” bersemayam, memiliki peran sebagai wakil Tuhan di bumi, dan

merupakan “the family of God”.81

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita lihat bahwa “hermenetika

pembebasan” Farid Esack di samping memiliki gugusan pemikiran yang

hampir sama dengan Hasan Hanafi, juga memiliki asumsi epistemologis yang

identik dengan epistemologi Marx. Dalam pokok pikiran yang pertama,

kemiripan dengan epistemologi Marx terlihat pada hubungan antara si penafsir

dengan realitas, yang pada gilirannya akan mempengaruhi teks, di mana si

penafsir memiliki pikiran-pikiran tertentu (pra teks) sebagai hasil dari

keterlibatannya dengan realitas—melalui aktivitasnya—dan “memaknai” teks

dengan pikiran-pikiran tersebut. Itulah kenapa Farid kemudian mengusulkan

praxis-pembebasan sebagai pra-teks, karena dengan praxis-pembebasan,

diharapkan akan muncul “pikiran-pikiran pembebasan”, yang pada gilirannya

akan ikut mempengaruhi makna teks. Gagasan “komitmen keberpihakan”

sosial-politik dari Hassan Hanafi juga identik dengan epistemologi Marx di

dalam hal memprioritaskan realitas sosial—sebagai arena dari kepentingan-

kepentingan sosial-politik—daripada teks “pada dirinya”.

81 Tulisan ini dikutip dari Zaki Muhammad Husein, Mempertemukan Epistemologi Marx

dengan Agama (Islam) melalui Hermeneutika Pembebasan, lihat dalam [email protected]

Page 67: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

284

284

Selanjutnya dalam pokok pikiran yang kedua, kemiripan dengan

epistemologi Marx terlihat dari pengkondisian sejarah terhadap teks, di mana

realitas diprioritaskan daripada teks.82 Adapun dalam pokok pikiran yang

ketiga, kemiripan dengan epistemologi Marx terlihat dari gagasan bahwa

validitas tafsir “ditentukan” oleh aksi atau praxis.

Mungkin keberatan yang akan diajukan terhadap “hermenetika

pembebasan” ini adalah karena sifatnya yang “relatif”. Tetapi menurut Zaki

Muhammad Husein, bahwa “relativitas” di dalam Islam dibolehkan selama

tidak menutup ruang untuk kebenaran yang absolut. “Hermenetika

pembebasan” tidak menutup ruang untuk kebenaran absolut, karena ia juga

memiliki asumsi-asumsi tertentu yang sudah dianggap sebagai “kebenaran

absolut”, seperti “Tuhan ada”, “Wahyu berasal dari Tuhan”,”Wahyu memiliki

relevansi yang abadi”83, dll. Mengenai masalah solusi yang bersifat relatif—

bisa terus berganti-ganti—terhadap permasalahan-permasalahan dalam

kehidupan sosial, maka menurut hemat penulis, hal itu sudah merupakan

konsekuensi logis dari realitas yang terus bergerak. Hanya dengan cara inilah

teks bisa menemukan relevansi “keduniawian”-nya, untuk terus berdialog

dengan realitas dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sekarang, untuk terus

mendorong perubahan-perubahan yang “progresif” dalam realitas seraya juga

merefleksikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam realitas itu sendiri.

82 Menurut Hassan Hanafi, tema lama dari Asbab al-Nuzul menunjukkan adanya prioritas

terhadap realitas daripada teks. Ia mengatakan: ”This is the old theme of Asbab al-Nuzul, the priority of reality on the text, of the question on the answer. The stimulus comes before the response”. Lihat Zaki Muhammad Husein, ibid, hlm. 418.

83 Di dalam hal ini Farid Esack mengatakan: “Belief in the eternal relevance of the Qur'an is not the same as belief in a text which is timeless and spaceless”, lihat Farid Esack, op. cit., hlm. 49.

Page 68: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

285

285

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat

“titik pertemuan” diantara epistemologi Farid Esack, Hasan Hanafi, juga Marx

pada “hermenetika pembebasan”, yang merupakan sebuah hermenetika

wahyu. Meskipun hermenetika ini bersifat “relatif”, tetapi menurut penulis

hermenetika ini tetap dapat dibenarkan dari sudut pandang Islam, karena ia

tetap membuka ruang untuk kebenaran yang absolut—ia memiliki asumsi-

asumsi tertentu yang sudah dianggap sebagai “kebenaran absolut”, seperti

“Tuhan ada”, “Wahyu berasal dari Tuhan”, “Wahyu memiliki relevansi yang

abadi”, dll. Adapun tetap terbukanya ruang untuk kebenaran absolut di dalam

hermenetika pembebasan mengimplikasikan adanya sedikit modifikasi

terhadap epistemologi Marx yang “diterima”

Akhirnya, bagi penulis, dari temuan titik-titik persamaan di atas, dapat

ditarik beberapa catatan kritis tentang pemikiran Esack atas metodologi

hermeneutika pembebasannya sebagai metodologi tafsir atas teks:

1. Secara jujur, apa yang telah dilakukan oleh Esack melalui “Hermeneutika

Pembebasan”, sejatinya bukanlah hal yang baru. Membandingkan proses

‘hermeneutika’ yang berasumsi pada hadirnya konteks atas teks yang

ditafsirkan, maka hal ini telah jauh sebelumnya ter-cover dalam

metodologi tafsir Islam Klasik. Dalam khazanah Ullumul Qur’an sebagai

sebentuk metodologi untuk menggarap wilayah penafsiran dan pemaknaan

terhadap al-Qur’an harus diakui telah memiliki tingkat sofistikiasi yang

luar biasa. Bagaimana tidak, tingkat sofistikasi ini telah menghasilkan

berlimpah karya tafsir dengan berbagai pola, mulai tahlili sampai

Page 69: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

286

286

maudhu’i dan mulai yang sekadar menafsirkan dengan mencari sinonim

kata dan ayat hingga yang melakukan ta’wil secara intuitif dan

menafsirkan secara ilmiah. Kalau melihat proses ini, maka kita harus akui

bahwa komprehensifnya Ullumul Qur’an telah menjembatani jarak antara

mufasir dengan al-Qur’an sehingga melahirkan berbagai khazanah tafsir.

Dan orientasi yang cukup kaya ini memang telah hadir jauh-jauh hari

dengan menampilkan tema seperti Makki-Madani, Asbab an-Nuzul, juga

Nasikh Mansukh.

2. Penulis melihat betapa unsur lokalitas pada pemikiran Esack luar biasa

besar. Meski kalau mau jujur penulis sedikit kerepotan untuk mengatakan

bahwa ide-ide pembebasan Esack tidak applicable dan mempunyai tingkat

progresifitas tinggi, namun kelebihan itu sedikit ‘terambil’ nilainya ketika

unsur lokalitas Afrika Selatan sebagai ‘locus teologicus’ cukup

ditonjolkan. Hal ini dibuktikan dengan genealogi munculnya karya-karya

Esack tak lepas dari historisitas serta setting sosial politik yang terjadi di

Afrika Selatan (Qur’an, liberation & Pluralism, atau On Being Muslim,

misalnya).

3. Terkait dengan dengan tema ahl al-dzimmah, penulis melihat bahwa Esack

tidak secara rigid mengusung ide ini. Pasalnya, tawaran yang dimunculkan

sangat terlalu umum, yakni tema besar “pluralisme”. Esack memang telah

menyinggung tema dzimmi ini dalam pembahasan relasi dengan non-

Muslim (bahasan ahl kitab misalnya). Namun keseriusan itu tidak

diteruskan untuk meninjau lebih jauh bagaimana posisi dan status dzimmi,

Page 70: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

287

287

sebagai bagian turunan tema dari ahl al kitab dilihat dari perspektif

Hukum Islam (fiqh).

Page 71: BAB IV TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti,

288

288

4. Terakhir, terkait dengan titik temu yang menemukan gugusan pemikiran

Esack dengan beberapa pemikir lain (seperti yang telah disebut di muka),

menandakan bahwa ada unsur otentisitas pemikiran yang sedikit terkikis.

Padahal jika hal ini tidak terjadi, maka pemikiran Esack menjadi

fenomenal, dengan banyak menyokong ide-ide pluralisme, sekaligus

turunan-turunannya, seperti pembahasan relasi hubungan muslim dan non-

Muslim.