bab iv sumber kemaslahatan selain wakaf oke

Upload: wongpagatan

Post on 10-Oct-2015

36 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB IV SUMBER KEMASLAHATAN SELAIN WAKAF

    H. Mukhlisin Muzarie

    A. Sumber-Sumber Kesejahteraan

    Sumber kesejahteraan masyarakat dalam Islam tidak terbatas pada hasil

    produksi perwakafan, melainkan meliputi hasil infak wajib seperti zakat mal,

    zakat fitrah, pembayaran dam dan kifarat, infak suka rela yang berlatar belakang

    kemanusiaan (hibah), infak suka rela yang berlatar belakang akhirat (shadaqah),

    infak suka rela yang berlatar belakang prestasi (hadiyah), infak atau pemberian

    selama hidup (umra), infak atau pemberian bersyarat (uqba), pemberian

    manfaat sementara (ariyah) dan lain-lainnya. Namun demikian sumber

    kesejahteraan yang berasal dari hasil perwakafan dipandang sebagai sumber

    kesejahteraan yang berkesinambungan, karena dana yang didistribusi untuk

    membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah manfaat atau hasilnya,

    bukan asetnya, sehingga berkesinambungan.

    B. Pemberian wajib (zakat)

    Infak wajib atau pemberian wajib dalam bahasa Arab disebut zakat yang

    secara leteral berarti tumbuh, berkembang, suci, bersih dan kebaikan hati1.

    Dalam istilah teknis, zakat adalah nama bagi harta yang wajib dikeluarkan oleh

    seseorang untuk disalurkan kepada fakir miskin dengan tujuan untuk

    melaksanakan perintah Allah, membersihkan hati, dan memperoleh

    keberkahan.2 Zakat dalam syariat Islam mempunyai posisi yang sangat strategis,

    karena selain sebagai sendi Islam yang menjanjikan dapat membersihkan

    pelakunya dari sifat-sifat tercela dan mensucikan hartanya dari berbagai syubhat,

    juga dapat menjalin hubungan baik dengan Allah (hablun min Allah) dan

    menjalin hubungan baik dengan sesama manusia (hablun min al-Naas). Dalam

    sumber hukum Islam, baik Alquran maupun hadits banyak ditemukan perintah

    1Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Qamus al-Ashrie, (Yayasan Ali Mashum, Yogyakarta,

    1996), hal. 1017 2 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz I, hlm. 276

  • berzakat dan sanksi atau ancaman kepada barang siapa yang mengingkarinya.

    antara lain QS Al-Baqarah, 2 : 276 :

    Artinya : Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Alla tidak

    menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa

    QS Ar-Rum : 30: 39 :

    Artinya : Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia

    bertambahpada harta manusia, maka riba itu tidak menambah

    pada sisi Allah. Dan apa yan kemu berikan berupa zakat yang

    kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang

    berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan

    (pahalanya)

    QS Fushshilat, 41 : 6-7 :

    -

    Artinya : Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang

    mempersekutukan-Nya, yaitu orang-orang yang tidak menunaikan

    zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat

    Hadits riwayat Al-Thabarani dari Jabir tentang manfaat zakat dapat menangkal

    penyakit tanaman,3 :

    Artinya : Barang siapa yang menunaikan zakat hartanya, maka (Allah)

    menghilangkan penyakitnya

    Dan hadits riwayat Muslim dkk dari Abu Hurairah tentang ancaman orang yang

    tidak mau mengeluarkan zakat.4 :

    3 Yaitu :

    4 Yaitu :

  • Artinya : Orang-orang yang memiliki emas dan perak dan tidak menunaikan

    zakatnya pada hari kiamat disiapkan lempengan besi kemudian

    dipanggang di atas neraka jahanam

    Perbedaan yang mendasar antara wakaf dan zakat adalah pesan hukum

    yang memberlakukan keduanya, perintah zakat sangat tegas disertai ancaman

    bagi barang siapa yang tidak patuh menunaikan kewajiban tersebut, sedangkan

    pada wakaf, sebagaimana dikemukakan di atas, hanya bersifat anjuran.

    Perbedaan yang lain adalah menyangkut pengelolaan, pada pengelolan zakat

    (amil) lebih bersifat temporer, karena tugas utamanya adalah mengumpulkan

    dan menyalurkan, sedangkan pengelola wakaf (nadzir) lebih bersifat

    kelembagaan (permanen), karena tugas pokoknya memelihara, memberdayakan,

    dan menyalurkan sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal dan terus

    menerus. Selain dari pada itu, obyek zakat seperti dijelaskan dalam QS Al-

    Baqarah, 2 : 2675 menyangkut penghasilan jasa (ma kasabtum) dan produksi

    (ma akhrajna lakum min al-ardh), sedangkan obyek wakaf menyangkut benda,

    bukan penghasilan. Dan dilihat dari sasarannya, zakat lebih sepesifik seperti

    dijelaskan dalam QS At-Taubah, 9 : 60 6 meliputi fakir, miskin, amil, muallaf,

    riqab, gharim, sabilillah, dan ibnu sabil, sedangkan wakaf lebih fleksibel,

    meliputi berbagai kebajikan (al-birr) dan kebaikan (al-maruf).

    Apabila dipersoalkan mengapa ahli tata negara seperti Imam Abu Yusuf,

    Imam Al-Mawardi dan Imam Abu Yala tidak memasukkan wakaf sebagai

    sumber keuangan publik, padahal sejarah mencatat bahwa wakaf adalah sumber

    keuangan umat yang potensial, jawabannya karena dana wakaf bersifat suka rela

    (non budgeter), sedangkan zakat dan pajak merupakan pungutan wajib. Ulama

    ahli fikih (fuqaha) menegaskan bahwa yang dimaksud sadakah dalam QS At-

    5 Yaitu :

    6 Yaitu :

  • Taubah ayat 1037 yang mengatur adanya pungutan adalah zakat. Dengan

    demikian ayat tersebut mengandung perintah kepada penyelenggara negara agar

    memungut zakat dari harta yang dimiliki oleh masyarakat muslim secara umum.

    Abu Bakar Shiddiq ketika menjabat kepala negara telah melaksanakan tugas ini

    dengan tegas. Dalam intruksi yang diturunkan kepada para pelaksana di daerah,

    Abu Bakar menegaskan: Demi Allah, seandainya ada orang yang tidak mau

    menyerahkan unta (sebagai zakat) sebagaimana yang mereka serahkan kepada

    Rasulullah, akan saya perangi mereka8. Perintah yang tegas sebagaimana

    terdapat dalam intruksi zakat tidak ditemukan dalam wakaf sehingga wakaf tidak

    dimasukan kedalam anggaran negara.

    Pada umumnya zakat telah dipraktikkan oleh masyarakat muslim, termasuk

    masyarakat muslim di Indonesia, baik zakat mal maupun zakat fitrah. Namun

    pelaksanaannya belum dikelola secara modern sehingga belum optmal

    meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Para pengelola zakat (amil) umumnya

    hanya bertugas untuk menampung dan menyalurkan zakat secara tradisional dan

    sifatnya lokal, bahkan masih banyak yang bersifat individual, masing-masing

    muzaki menyalurkan zakatnya sendiri, tanpa melalui amil. Pada dekade 70-an

    timbul kesadaran masyarakat untuk mengorganisir zakat. Saat itu perekonomian

    umat mulai berkembang dan banyak kaum muslim yang memiliki rumah mewah

    dengan berbagai fasilitas yang serba mahal, disamping masih banyak rakyat yang

    miskin, hidup serba kekurangan. Adanya berbedaan nasib masyarakat yang

    sangat mencolok ini menggugah para ulama dan tokoh masyarakat seperti

    HAMKA, KH Syukri Ghazali, HM Saleh Suaedi, KH Muhammad Shadri, KH

    Taufiqurrahman, Ustadz Ali Alhamidi, Ustadz Muchtar Lathif al-Anshari dan KH

    Malik Ahmad untuk mengorganisir zakat. Di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta,

    Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Aceh, Sumatra Barat dan beberapa desa di Jawa

    Timur telah dirintis lahirnya lembaga-lembaga amil zakat (BAZ, BAZIS).

    Lembaga-lembaga ini berhasil mengumpulkan dana zakat hingga ratusan juta

    7 Yaitu : -

    8Wahbah, Tafsir al-Munir, juz 11, hal. 27

  • bahkan milyaran sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat

    miskin.9

    Di Cirebon sejak tahun 1971/1972 telah dirintis oleh para ulama berdirinya

    lembaga yang kemudian disebut Badan Amil Zakat. Di antara pendiri lembaga

    tersebut KH Saleh Assegaf, Syarif Muhammad bin Yahya, KH Ali Kamali, KH

    Anwar Kalitengah, KH Rumli Cholil Balerante, KH Abdullah Abas Buntet, K.

    Yasin Gedongan dan lain-lainnya. Akan tetapi hingga saat ini BAZ Kabupaten

    Cirebon belum mampu menghimpun dana zakat yang optimal dari masyarakat

    muslim yang jumlahnya sangat besar. Penerimaan zakat fitrah saja hingga

    sekarang belum mencapai 10% dari total penduduk muslim sebanyak 2 juta

    orang. Pengurus BAZ selalu berusaha untuk mengoptimalkan pemungutan zakat

    tetapi hasilnya belum memadai. Upaya untuk mengembangkan pungutan zakat

    hingga mencapai calon Haji menimbulkan pro-kontra di kalangan ulama

    sehingga yang masuk hanyalah infak. Zakat mal Kabupaten Cirebon baru

    menjangkau zakat profesi, yaitu setelah diadakan mudzakarah terlebih dahulu

    yang dilaksanakan kerja sama antara Depag, MUI dan BAZ Kabupaten Cirebon,

    selanjutnya diantisipasi Surat Edaran Bupati yang ditujukan kepada kepala Dinas

    dan Intansi kemudian ditindak lanjuti dengan pembentukan unit-unit

    pengumpul zakat di lembaga dan intansi tersebut sehingga mendapat masukan

    zakat mal yang semakin meningkat.10

    2. Pemberian suka rela (hibah)

    Dalam istilah teknis pemberian suka rela (hibah) ialah pemberian lepas

    yang dilaksanakan secara suka rela atau tanpa paksaan. Sayid Sabiq

    mendefinisikan hibah adalah suatu transaksi yang bersifat memindahkan hak

    milik kepada orang lain tanpa imbalan yang dilaksanakan sewaktu hidup.11

    Dengan definisi ini hibah menyerupai wakaf dalam hal melepaskan hak milik dan

    menyerahkannya kepada orang lain tanpa imbalan. Perbedaannya dalam

    penyerahan hibah meliputi benda dan manfaatnya sedangkan wakaf hanya

    9KHM Syukri Ghozali, dkk, Pedoman Zakat 9 Seri, (Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, Depag Pusat,

    Jakarta, 1985/1986), hal. 37-38 10

    Sumber informasi : BAZ Kabupaten Cirebon, 24 Juli 2007 11

    Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz III, hlm. 388

  • manfaat atau hasilnya saja. Dalam definisi disebutkan tanpa imbalan, Sabiq

    dalam hal ini menyamakan pelepasan hibah dengan transaksi-transaksi lainnya,

    bedanya dalam hibah tidak ada imbalan. Selanjutnya dalam definisi itu

    menyebutkan dilaksanakan sewaktu hidup, Sabiq bermaksud ingin

    membedakan antara hibah dan wasiat, karena wasiat merupakan pemberian

    yang pelaksanaannya ditangguhkan sesudah yang bersangkutan meninggal

    dunia.

    Wahbah Zuhaili memandang bahwa hibah sama dengan hadiah dan

    sadakah, perbedaannya hanya dalam motif yang mendorong untuk

    melaksanakannya. Apabila motifnya untuk mendekatkan diri kepada Allah

    disebut sadakah, apabila motifnya untuk memberi penghargaan kepada

    seseorang disebut hadiah, dan apabila tidak ada yang dominan dari kedua motif

    tersebut adalah hibah.12 Ibnu Abidin berpandangan lain dalam masalah yang

    terkait dengan motif ini, menurutnya motif yang mendorong seseorang untuk

    melaksanakan hibah adalah keinginan untuk memperoleh kebaikan dari pihak

    penerima, baik bersifat duniawi, seperti imbalan materi atau jalinan kasih sayang

    dan pujian, maupun bersifat ukhrawi. Abu Manshur, seperti dikemukakan Ibnu

    Abidin, menegaskan bahwa setiap orang mukmin harus (wajib) mengajarkan

    sifat-sifat dermawan kepada anak-anaknya seperti halnya mengajarkan tauhid

    dan keimanan, alasannya karena mencintai dunia secara berlebihan adalah

    pangkal kejahatan (hubb al-dunya rasu kulli khathiah).13 Dengan pengajaran

    sifat-sifat dermawan tersebut dapat diharapkan anak-anaknya menjadi baik,

    suka beramal dan tidak bakhil akibat mencintai dunia yang berlebihan.

    Syamsuddin Ahmad bin Qaudur memberikan penilaian yang tinggi terhadap

    pembei hibah (wahib), menurut pandangannya karena Allah menyebut dirinya

    Al-Wahhab artinya Dzat Yang Banyak Memberi, maka orang-orang yang suka

    memberi berarti memiliki sifat-sifat yang terpuji seperti yang dimiliki .Allah14

    Banyaklah ayat Alquran dan hadits yang mendorong agar kaum muslim

    suka memberi hibah, hadiah dan sadakah, diantaranya QS An-Nisa, 4 : 4 :

    12

    Wahbah, Al-Fiqh al-Islami, juz V, hlm. 5 13

    Ibnu Abidin, Rdd al-Mukhtar, juz VIII, hlm. 489 14

    Syamsuddin Ahmad Qaudur, Nataij al-Afkar Takmilah Syarah Fath al-Qadir (Bairut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), juz IX, hlm. 19

  • Artinya : Kemudian apabila mereka menyerahkan kepada kamu sebagian

    maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)

    pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya

    Ayat ini menggambarkan kehidupan suami isteri yang harmonis, suaminya

    memberikan maskawin sebagai kewajiban kepada isterinya, dan isterinya

    memberikan apa yang sudah dimiliki itu kepada suaminya sebagai jalinan cinta

    dan kasih sayang. Ulama fikih memandangnya sebagai landasan hukum

    pemberian hibah, hadiah dan sadakah, karena didalamnya mengandung makna

    anjuran.

    QS Al-Baqarah, 2 : 177 :

    Artinya :dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-

    anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan

    pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta,dan

    (memerdekakan) hamba sahaya...

    Ayat ini menjelaskan salah satu bentuk kebajikan, oleh karena itu dijadikan

    laandasan oleh ulama fikih sebagai landasan hukum pemberian hibah, hadiah

    dan sadakah.

    Hadits riwayat Bukhari dkk dari Abu Hurairah tentang anjuran saling memberi

    hadiah :

    Artinya :hendaklah kamu saling memberi hadiah agar kamu saling mencintai

    Dan hadits riwayat Bukhari Muslim dari Abu Hurairah tentang petunjuk

    penerimaan hadiah yang baik.

    Artinya :Hendaklah seorang tetangga tidak menyepelekan hadiah yang

    diberikan oleh tetangganya walaupun sepotong kaki kambing

  • Kedua hadits tersebut menganjurkan agar kaum muslim saling memberi hibah

    dan hadiah, dan Nabi sendiri memberikan contoh melaksanakan hibah dan

    hadiah sehinga para sahabatnya mengikuti.

    Adapun unsur-unsur (rukun) yang harus dipenuhi dalam praktik hibah

    ialah adanya kata penyerahan (ijab) dan kata penerimaan (kabul). Ijab adalah

    ungkapan kalimat yang menunjukkan pengertian pelepasan hak tanpa imbalan,

    seperti saya hibahkan, saya hadiahkan, atau saya berikan kepadamu, dan kabul

    adalah ungkapan kalimat dari pihak penerima yang menyatakan saya terima.

    Imam Malik dan Asy-Syafiie mengharuskan adanya ijab dan kabul dalam praktik

    hibah, sedangkan sebagian ulama Hanafiyah mencukupkan dengan ijab saja.

    Sayid Sabiq menyetujui pendapat yang akhir ini dan mengatakannya sebagai

    pendapat yang lebih tepat. Sementara ulama Hanabilah membolehkan praktik

    hibah dengan serah terima saja (muathah), tanpa ijab dan kabul. Alasannya

    karena Nabi mempraktikkan hibah dan hadiah dengan cara seperti itu, demikian

    pula yang dipraktikkan oleh para sahabatnya dalam melaksanakan hibah dan

    hadiah.15 Syamsuddin Ahmad bin Qaudur yang lebih dikenal dengan nama Qadhi

    Zadah Affandi dalam Nataij al-Afkar menjelaskan bahwa transaksi hibah

    dilaksanakan dengan ijab dan kabul serta dengan serah terima. Alasannya karena

    hibah adalah suatu transaksi, oleh karena itu harus dilaksanakan dengan ijab dan

    kabul. Namun karena hibah adalah perbuatan hukum yang bersifat

    memindahkan hak, maka harus ada serah terima.16 Ahmad bin Qaudur

    memandang bahwa prosedur hibah terdiri dari dua peristiwa hukum, pertama

    terjadinya transaksi yang terdiri dari ijab dan kabul dan kedua terjadinya serah

    terima (al-qabdh). Apabila seseorang telah menyatakan :saya hibahkan rumah

    ini kepadamu (ijab) kemudian pihak penerima menyatakan :saya terima

    (kabul), maka transaksi hibah telah terjadi. Tetapi untuk kepindahan hak milik

    dari pihak pemberi kepada pihak penerima masih memerlukan perbuatan

    hukum yang lain, yaitu serah terima. Serah terima dilakukan dengan cara

    mengosongkan rumah dan menyerahkan kuncinya, atau dengan cara

    menyerahkan surat-surat bukti pemilikan beserta kuncinya kepada pihak

    15

    Said Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz III, hlm. 390 16

    Syamsuddin Ahmad Qaudur, Nataij al-Afkar, juz IX, hlm. 19

  • penerima. Menurut Imam Malik, hibah sudah berpindah hak miliknya dari pihak

    pemberi kepada pihak penerima semenjak ijabnya diucapkan. Dengan demikian

    hibah sudah sah dan mengikat walaupun kabulnya belum dilakukan. Pendapat

    ini beralasan bahwa hibah adalah transaksi kebajikan (aqd al-tabarru) atau

    transaksi sepihak, mengingat pihak keduanya adalah Allah, jadi tidak

    memerlukan kabul. Ada pula yang berpendapat bahwa transaksi hibah dilihat

    dari sisi pemberi cukup dengan ijab saja, tetapi dilihat dari penerimanya harus

    dengan ijab dan kabul. Ahmad bin Qaudur17 sebagai seorang praktisi hukum

    mempersoalkan praktik hibah mengapa belum mengikat sebelum ada serah

    terima dari kedua belah pihak padahal ijab dan kabulnya sudah diucapkan.

    Jawabannya, mengingat bahwa hibah adalah suatu transaksi yang bersifat

    memindahkan hak sebagaimana transaksi-transaksi jual beli dan lain-lainnya,

    maka harus ada dua pihak sebagai pelakunya, yaitu pihak pemberi yang

    melakukan ijab dan pihak penerima yang melakukan kabul. Dan setelah terjadi

    transaksi tersebut harus ditindaklanjuti dengan acara serah terima dengan

    tujuan untuk memperoleh kepastian hukum, karena sebelum adanya serah

    terima benda yang dihibahkannya masih dikuasai oleh pemberi yang sewaktu

    waktu dapat membatalkan kembali hibahnya. Pendapat Qaudur yang demikian

    relevan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

    sekarang, yang menuntut bukti pemilikan yang sah (autentik) dan prosedur

    penyerahan yang sesuai dengan petunjuk.

    Unsur atau rukun hibah berikutnya adalah adanya pihak pemberi (wahib),

    syaratnya harus pemilik yang sesungguhnya, sudah dewasa, berakal sehat, tidak

    berada di bawah pengampuan, dan tidak terpaksa dalam memberikan hibahnya.

    Pemberi hibah yang tidak memenuhi persyaratan tersebut mengakibatkan

    pemberian hibahnya tidak sah. Selanjutnya adalah pihak penerima (mauhub

    lah), syaratnya ketika transaksi hibah dilaksanakan yang bersangkutan harus

    sudah ada dan dianggap cakap sebagai penerima. Anak-anak yang belum lahir

    atau masih dalam kandungan tidak dapat menerima hibah, karena yang

    bersangkutan belum ada ketika hibahnya dilaksanakan. Dalam hal penerima

    17

    Ibid, hlm. 20; dan ada landasan tekstual sebuah riwayat dari Nabi :

  • hibah adalah anak-anak yang belum dewasa atau orang yang sedang sakit

    ingatan, maka wali atau pengampunya (wushi) bertindak sebagai penerima.

    Unsur (rukun) lainnya adalah barang yang dihibahkan (mauhub), syaratnya

    harus sudah tersedia, mempunyai nilai, dimiliki dan dikuasai oleh pemberi, tidak

    menyatu dengan harta lain yang sulit dipisahkan, dan sudah diketahui jumlah

    atau kadarnya.18 Barang-barang yang belum dipisahkan atau belum dimiliki

    penuh atau belum dikuasai seperti barang-barang dalam gadaian atau dalam

    perjanjian sewa menyewa, tidak dapat dihibahkan.

    3. Pemberian berlatar belakang prestasi (hadiyah)

    Kata hadiah berasal dari bahasa Arab hadiyah, diadopsi menjadi bahasa

    Indonesia yang artinya pemberian atau ganjaran bagi pemenang suatu

    perlombaan atau pertandingan. Ungkapan kalimat hadiah kerja, artinya

    pemberian kepada pekerja yang berprestasi, hadiah lebaran, artinya pemberian

    kepada para pegawai dan pekerja menjelang hari Raya, dan hadiah penghibur,

    artinya pemberian kepada peserta perlombaan atau pertandingan yang hampir

    menang, seperti hadiah yang diberikan kepada juara harapan I atau juara

    harapan II, mereka belum memenuhi persyaratan menjadi juara, tetapi nilainya

    hampir mendekati kriteria juara.19 Dalam istilah teknis, sebagaimana telah

    disinggung di atas, hadiah adalah suatu pemberian yang berlatar belakang

    duniawi, seperti keinginan untuk memberikan penghormatan kepada seseorang

    atau keinginan untuk menjalin hubungan kasih sayang, dan sebagainya. Ada

    kisah dalam Alquran yang terkait dengan pemberian hadiah, yaitu hadiah yang

    diberikan oleh Ratu Balqis kepada Nabi Sulaiman dengan tujuan politik. Pada

    awalnya Nabi Sulaiman mengirimkan sepucuk surat kepada Ratu Balqis agar

    Ratu beserta kaumnya memeluk agama tauhid (Islam) yang dibawa oleh Nabi

    Sulaiman. Setelah Ratu menerima surat segera mengadakan musyawarah dengan

    para pembesarnya. Dari musyawarah tersebut menghasilkan keputusan untuk

    mengirimkan delegasi dengan membawa hadiah besar kepada Nabi Sulaiman.

    18

    Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz III, hlm. 390-391 19

    W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta, PT Balai Pustaka,

    1976),hlm. 337-338

  • Balqis sengaja mengirimkan hadiah besar berupa emas permata20 yang tak

    terhingga banyaknya dengan tujuan untuk melunakkan hati Sulaiman yang juga

    seorang Raja dan terkenal memiliki pasukan yang kuat, terdiri dari jin dan

    manusia, dan terkenal keilmuannya serta kearifannya. Menurut Ibnu Abbas dan

    lain-lainnya, seperti dikemukakan oleh Wahbah dalam Tafsirnya, hadiah emas

    dan permata tersebut dikirimkan Balqis dengan tujuan untuk menguji Sulaiman

    apakah ia seorang Nabi atau hanya seorang raja. Ketika melepas delegasi yang

    membawa hadiah tersebut, Balqis berpesan kepada pemimpin rombongan :

    Apabila Sulaiman mau menerima hadiah dari kami berarti ia adalah seorang

    Raja, kita harus melawan, dan apabila tidak mau menerimanya, berarti ia

    seorang Nabi, kita harus mengikuti. Akhirnya Sulaiman menolak hadiah yang

    besar itu, dan Balqis beserta kaumnya beriman kepada Allah di bawah bimbingan

    Nabi Sulaiman.21

    Hadiah sama dengan wakaf sebagai transaksi yang bersifat melepaskan

    hak tanpa imbalan. Namun mengenai apakah hadiah memerlukan penerimaan

    atau tidak, ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka memandang hadiah tidak

    memerlukan penerimaan karena dianggap perbuatan sepihak yang sah dan

    mengikat tanpa penerimaan (kabul). Sebagian ulama lagi memandangnya

    sebagai transaksi yang memerlukan penerimaan. Apabila pemberian hadiah

    belum diterima, maka belum mengikat. Dalam praktiknya pemberian hadiah

    dilakukan dengan serah terima dan disaksikan oleh berbagai pihak. Hal ini dapat

    menghindari timbulnya sengketa di kemudian hari.

    4. Pemberian yang berlatar belakang akhirat (shadaqah)

    Dalam istilah teknis, sedekah adalah suatu transaksi memindahkan hak

    milik (tamlik) kepada orang lain yang sangat membutuhkan tanpa imbalan

    materi dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Amal ini sangat

    dianjurkan dan dipandangnya sebagai amal sunah seperti halnya hibah dan

    20

    Yaitu :

    - 21

    Wahbah Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir, juz XIX, hlm. 293-294

  • hadiah. Banyaklah Alquran dan hadits yang menganjurkan amal sedekah,

    diantaranya QS Al-Baqarah, 2 : 271 :

    Artinya : Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu adalah baik sekali.

    Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-

    orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah

    akan menghapuskan dari kamu sebahagian kesalahan-kesalahamu

    Hadits riwayat Ibnu Hibban tentang sedekah dapat meredam murka Tuhan :

    Artinya : Sedekah itu meredam murka Tuhan dan menghindari kematian yang

    buruk

    Dan hadits dari Anas bin Malik tentang sadakah dapat menghindari tujuh puluh

    macam bencana :

    Artinya : Sedekah itu mencegah tujuh puluh macam penyakit, serendah-

    rendahnya adalah penyakit lepra dan kulit

    Menurut Ahmad bin Qaudur, praktik sedekah memerlukan serah terima

    seperti halnya hibah dan hadiah. Dan sedekah tidak boleh dibatalkan secara

    sepihak karena sedekah merupakan derma yang dilaksanakan dengan tujuan

    untuk memperoleh pahala dari Allah sedangkan pahalanya telah diperoleh ketika

    kata-kata penyerahan (ijab) diucapkan.22 Sejumlah besar ulama fikih, termasuk

    Al-Nakhie, Al-Tsaurie, Al-Hasan bin Shalih, Abu Hanifah dan Asy-Syafiie

    membatasi hibah dan sedekah yang memerlukan penerimaan hanya barang-

    barang yang ditakar (al-makiel) dan barang-barang yang ditimbang (al-

    mauzun). Pendapat ini mempertimbangkan jumlah dan nilai barang yang

    disedekahkan. Barang-barang yang jumlah dan nilainya cukup besar

    memerlukan penerimaan sedangkan barang-barang yang nilainya tidak seberapa

    tidak memerlukan penerimaan. Tetapi Imam Malik dan Abu Tsaur berpendirian

    22

    Ahmad bin Qaudur, Nataij al-Afkar, juz IX, hlm. 57

  • bahwa hibah dan sedekah dalam segala jenis barang cukup dengan penyerahan

    (ijab) saja. Imam Malik memandang hibah dan sedekah sebagai perbuatan

    sepihak, alasannya karena merupakan pelepasan hak tanpa imbalan dan

    tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kalaulah kedua amal tersebut

    memerlukan pihak lain sebagai penerima, maka pihak lain itu adalah Allah

    seperti dalam wakaf dan pembebasan budak. Selanjutnya Imam Malik

    mengajukan alasan tekstual yang diriwayatkan Bukhari, Muslim dan lain-lainnya

    dari Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda sebagai berikut :

    Artinya :Orang yang meminta kembali hibahnya sama dengan orang yang

    menelan kembali ludahnya.

    Menurut Imam Malik, hadits ini mengandung pengertian umum bahwa

    sesuatu yang telah dilepaskan sebagai hibah atau sedekah telah mengikat dan

    tidak boleh ditarik kembali menjadi milik pribadi. Akan tetapi kebanyakan ulama

    memberikan sanggahan bahwa hadits tersebut mengandung kemungkinan

    adanya penerimaan, karena kalimat meminta kembali hibahnya mengandung

    makna hibahnya telah diterima sehingga penerimaan tetap diperlukan.

    Selanjutnya mereka mengatakan bahwa mengkiaskan hibah dan sedekah dengan

    wakaf atau wasiat atau dengan pembebasan budak tidak dapat diterima, karena

    wakaf melepaskan hak ditujukan kepada Allah sedangkan hibah dan sedekah

    melepaskan hak yang ditujukan kepada sesama manusia. Adapun kias dengan

    wasiat, baik mengikat atau tidak mengikat tergantung kepada ahli waris, bukan

    kepada ikrar (ijab), karena merekalah yang berhak untuk meluluskan atau

    menahannya. Dan mengenai pembebasan budak, sesungguhnya bukanlah

    perbuatan hukum yang bersifat memindahkan hak milik, tetapi bersifat

    membebaskan hak sebagai tuan sehingga tidak memiliki kekuasaan terhadap

    dirinya.23 Dengan demikian tidak dapa disaakan dengan wakaf.

    5. Pinjaman (al-ariyah)

    Dalam istilah teknis pinjaman barang dibedakan dengan pinjaman uang,

    pinjaman barang disebut ariyah, dan transaksinya disebut iarah, sedangkan

    23

    Ibnai Qudamah, Al-Mughni wa Syarah al-Kabir, juz VI, hlm. 275-276

  • pinjaman uang, apabila bersifat komersial disebut qardh24 dan yang non

    komersial disebut dain25. Pembahasan di sini menyangkut pinjaman barang,

    bukan pinjaman uang. Ulama Hanafiyah mendefinisikan pinjaman adalah

    pemberian manfaat (tanpa bendanya dan) tanpa imbalan,26 atau izin penggunaan

    barang kepada orang lain.27 Ulama Syafiiyah mendefinisikan pinjaman adalah

    transaksi yang mengandung perizinan untuk menggunakan manfaat barang yang

    memiliki karakter lestari dengan ketentuan akan dikembalikan setelah selesai

    dipergunakan.28 Ulama Malikiyah mendefinisikan bahwa pinjaman adalah

    pemberian manfaat (tanpa bendanya) tanpa imbalan untuk sementara waktu.29

    Sedangkan ulama Hanabilah mendefinisikan bahwa pinjaman adalah izin

    penggunaan manfaat benda dari pemiliknya kepada orang lain tanpa imbalan.30

    Dari ungkapan kalimat yang berbeda-beda dalam memberikan batasan

    istilah pinjaman (ariyah) tersebut, intinya adalah sama, bahwa pinjaman

    merupakan transaksi pemberian manfaat benda kepada orang lain tanpa imbalan

    materi. Ibnu Abidin memberikan batasan yang lebih simpel, pinjaman adalah

    pemberian manfaat benda dengan cuma-cuma (tamlik al-manafi majanan).31

    Batasan ini dapat membedakan antara pinjaman dengan transaksi sewa

    menyewa (ijarah), yaitu pemberian manfaat benda dengan imbalan materi

    (tamliku nafin bi iwadhin),32 dan membedakannya dari transaksi hibah, yaitu

    pemberian benda dengan cuma-cuma (tamlik al-ain majanan).33 Namun

    demikian batasan tersebut hampir menyerupai transaksi wakaf, mengingat wakaf

    menurut ulama Hanafiyah adalah menahan benda dalam milik wakif dan

    memberikan manfaatnya kepada orang lain (habs al-ain ala milk al-wakif wa

    24

    Dain adalah transaksi yang tidak tunai (terhutang), lihat : Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz 11,

    hlm. 112 25

    Ibid, juz 4, hlm. 459 26

    Apabila pemberian manfaat itu dengan memperoleh imbalan disebut sewa (al-ijarah) 27

    Syamsuddin Ahmad bin Qaudur, Takmilah Fath al-Qadir, Nataij al-Afkar, juz IX, hlm.3 28

    Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz V, hlm. 117 29

    Syaikh Adil Ahmad Abdul Maujud & Syaikh Ali Muhammad Muawwadh, Taliq Radd al-Mukhtar, juz VIII, hlm. 473

    30 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz III, hlm. 232

    31 Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar, juz VIII, hlm. 474

    32 Ibid, juz VII, hlm. 4-5

    33 Ibid, juz VIII, hlm. 488

  • al-tashadduq bi al-manfaah).34 Atas dasar ini, Abu Hanifah memandang bahwa

    wakaf sama dengan pinjaman.35 Perbedaan yang prinsip antara wakaf dengan

    pinjaman dalam pandangan Abu Hanifah adalah menyangkut obyeknya.

    Transaksi wakaf obyeknya berupa benda tidak bergerak sedangkan pinjaman

    obyeknya berupa benda-benda bergerak. Sedangkan persamaannya adalah

    keduanya merupakan pemberian manfaat benda, bukan pembrian benda, kepada

    orang lain dengan cuma-cuma dan sewaktu-waktu pemiliknya dapat

    mengambilnya kembali apabila diperlukan.

    Sayid Sabiq menjelaskan bahwa memberikan pinjaman adalah salah satu

    amal kebajikan yang sangat dianjurkan dan hukumnya sunah. Allah

    menganjurkan agar manusia saling menolong dalam memenuhi kebutuhan

    hidupnya seperti disebutkan dalam QS Al-Maidah, 5 : 2 sebagai berikut :

    -

    Artinya :dan hendaklah saling menolong dalam kebajikan dan takwa, dan

    janganlah saling menolong dalam dosa dan permusuhan

    Ulama salaf, seperti dikemukakan Ibnu Rusyd, memandang tolong

    menolong bukan sekedar kebaikan dan kesunahan yang dianjurkan, tetapi bisa

    juga menjadi wajib hukumnya dan lebih patut untuk diperhatikan, mengingat

    firman Allah dalam QS Al-Maun, 107 : 7

    Artinya : dan enggan (menolong dengan) barang berguna

    Menurut penjelasan Ibnu Abbas dan Ibnu Masud karakter orang-orang

    yang tergolong mendustakan agama dalam ayat ini adalah orang-orang yang

    tidak mau menolong orang lain dengan memberikan pinjaman perkakas rumah

    tangga dan alat-alat dapur seperti kapak, cangkul, pisau besar, pisau kecil,

    periuk, dan sebagainya.36 Dengan demikian memberikan pinjaman kepada orang

    lain bisa menjadi wajib hukumnya apabila kebutuhannya mendesak dan tidak

    ada orang lain yang dapat menolongnya.

    34

    Ibid, juz VI, hlm. 518-519 35

    Ibnu al-Humam al-Hanafi, Syarah Fath al-Qadir, juz VI, hlm. 190 36

    Ibnu Rusyd, Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayah al-

    Mujtahid (T.Tp, Dar al-Fikr, TT.), juz II, hlm. 262

  • Adapun megenai ketentuannya, pertama pinjaman terjadi dengan

    menggunakan ungkapan kalimat atau dengan perbuatan yang menunjukkan izin

    penggunaan barang. Kedua orang yang memberi pinjaman harus memenuhi

    persyaratan sebagai orang yang cakap berbuat kebajikan.37 Ketiga barang yang

    dipinjamkan memiliki manfaat. Keempat barang tersebut memiliki karakter

    lestari. Kelima digunakan untuk hal-hal yang diizinkan oleh syariat (mubah).

    Dan keenam tidak boleh dipinjamkan lagi pada orang lain tanpa meminta izin

    terlebih dahulu kepada pemiliknya. Imam Abu Hanifah dan Malik membolehkan

    peminjam meminjamkan barang pinjamannya kepada orang lain tanpa meminta

    izin terlebih dahulu kepada pemiliknya apabila digunakan dalam hal yang sama.

    Ulama Hanabilah memandang bahwa barang pinjaman boleh digunakan

    langsung oleh peminjam sendiri dan boleh digunakan oleh orang lain yang

    bertindak atas namanya, tetapi tidak boleh dipinjamkan kepada orang lain atau

    disewakan tanpa seizin pemilik. Apabila dipinjamkan pada orang lain tanpa

    seizin pemilik dan barangnya ternyata rusak, maka bagi pemiliknya boleh

    meminta ganti rugi kepada peminjam pertama atau peminjam kedua, karena

    kedua-duanya bertanggung jawab atas kerusakan barang tersebut.38

    6. Pemberian sepanjang hidup (Umra)

    Pemberian sepanjang hidup (umra) termasuk salah satu bentuk hibah,

    yaitu hibah yang diberikan dengan ketentuan selama hidup pemberinya atau

    penerimanya.39 Disebut umra karena pemberian tersebut dikaitkan dengan

    umur, baik umur pemberi maupun umur penerima. Transaksi umra

    dilaksanakan dengan menggunakan kalimat yang dikaitkan dengan umur,

    misalnya :rumah ini saya berikan kepadamu selama saya hidup atau selama

    engkau hidup. Landasan tekstual yang mengatur umra tampak simpang siur, di

    satu sisi membolehkan dan di sisi lain tidak memblehkan sehingga menimbulkan

    kontroversi. Sejumlah besar ahli fikih membolehkan dan sebagian lainnya tidak

    membolehkan. Ulama yang membolehkan umra berpedoman pada hadits

    riwayat Abu Dawud dan Al-Turmudzi bahwa Nabi bersabda :

    37

    Yaitu, orang yang sudah dewasa, berakal sehat, tidak terpaksa, dan tidak berada dalam

    pengampuan. 38

    Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz III, hlm. 232 39

    Ibid, hlm. 399; Ibnai Qudamah, Al-Mughni wa Syarh al-Kabir, juz VI, hlm. 334-335

  • -

    Artinya :Umra adalah boleh bagi orang yang biasa melakukannya

    Sedangkan ulama yang tidak membolehkan berpedoman pada hadits,

    seperti yang dikutip Ibnu Qudamah, sebagai berikut :

    Artinya :Janganlah kalian memberi umra...

    Ada hadits lain yang menguatkan hadits tersebut, yaitu hadits dari Jabir

    bahwa Nabi memberikan petunjuk praktik umra sebagai berikut :

    Artinya :Jagalah harta-harta kalian, dan janganlah kalian merusaknya,

    sesuangguhnya orang yang memberikan umra, barangnya menjadi

    milik penerima umra, baik ia masih hidup atau sudah mati,

    kemudian menjadi milik keturunannya.

    Umra adalah salah satu tradisi bangsa Arab yang berlaku sebelum Islam,

    kemudian Islam datang untuk memperbaiki tradisi tersebut. Apabila dilihat dari

    segi manfaatnya, umra merupakan amal sosial yang dapat membantu

    peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya manfaat ini umra dapat

    diakomodir sebagai salah satu bentuk amal yang dianjurkan. Akan tetapi dilihat

    dari kenyataan di masyarakat, tradisi umra sering menimbulkan konflik, bahkan

    perpecahan di kalangan kelaurga, baik keluarga pemberi maupun keluarga

    penerima. Dengan demikian tradisi tersebut tidak dapat diakomodir sebagai

    bagian dari syariat yang justru mengatur terwujudnya kedamaian dan kerukunan

    keluarga (shilah al-arham). Kasusnya pernah terjadi di masa Nabi, seorang

    sahabat Ansor memberikan sebuah kebun kurma kepada ibu kandungnya selama

    hidup (pemberian umra), kemudian ibunya meninggal dan anak-anaknya

    menuntut hak waris, sementara anak yang memberi umra menyatakan

    keberatan. Perkara tersebut akhirnya diajukan kepada Nabi, dan Nabi

    memenangkan para penggugat dengan menetapkan pembagian waris kepada

  • anak-anaknya sesuai dengan haknya masing-masing.40 Berdasarkan keputusan

    Nabi ini Jabir bin Abdullah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Syuraih, Mujahid, Thawus,

    Al-Tsauri, Asy-Syafiie dan aliran Rasional (shahib al-rayi) berpendapat bahwa

    pemberian umra mengakibatkan perpindahan hak milik dari pemberi kepada

    penerima secara mutlak. Tetapi menurut Imam Malik dan Al-Laits pemberian

    umra hanya menyangkut manfaatnya, tidak termasuk bendanya. Apabila

    pemberian umra berupa sebuah rumah, maka penerimanya hanya berhak untuk

    menempati, bukan memiliki rumahnya, dan apabila penerimanya telah

    meninggal, maka rumah tersebut dikuasai kembali oleh pemiliknya. Namun

    apabila dalam transaksinya menyebutkan :untukmu dan untuk keturunanmu,

    maka pemberian umra menjadi hak penerima turun temurun sesuai dengan

    ucapannya itu, dan apabila di kemudian hari nanti keturunannya tidak ada, maka

    rumah tersebut tetap kembali kepada keluarga pemberi umra. Al-Qasim bin

    Muhammad mendukung pendapat ini dan mengajukan argumen bahwa

    sesungguhnya yang berlaku di masyarakat adalah apa yang mereka syaratkan,

    baik dalam transaksi bisnis maupun sosial. Ibrahim bin Ishaq mengemukakan

    ada beberapa tradisi masyarakat Arab yang direcepsi menjadi hukum yang

    berlaku (urf) yaitu : umra, ruqba, afqar (memberikan unta kepada orang lain

    untuk digunakan sebagai angkutan),41 akhbal (memberikan unta kepada orang

    lain untuk dicukur dan dimanfaatkan bulunya atau untuk dikendarai kemudian

    dikembalikan),42 minhah (memberikan unta atau domba kepada orang lain

    untuk diperah air susunya selama beberapa hari atau beberapa bulan atau

    memberikan ladang untuk digarap beberapa musim kemudian dikembalikan),43

    ariyyah (memberikan pohon kurma untuk diambil buahnya selama satu musim

    atau lebih, atau melelangkan kebun kurma dengan menyisakan beberapa batang

    untuk diambil buahnya selama satu musim),44 iarah, al-sukna (memberikan

    rumah kepada orang lain untuk ditempati tanpa sewa),45 dan al-ithraq

    40

    Al-Nawawi, Kitab Al-Majmu, juz XVI, hlm. 367 41

    Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz 10, hlm. 301 42

    Ibid, juz 4, hlm. 20 43

    Ibid, juz 13, hlm. 192 44

    Ibid, juz 9, hlm. 180 45

    Ibid, juz 6, hlm. 312

  • (memberikan tempat peristirahatan),46 semuanya itu hanya memberikan

    manfaatnya, bukan memberikan bendanya sehingga pihak penerima hanya

    menikmati manfaatnya saja sesuai dengan penjanjian yang mereka lakukan.47

    7. Pemberian bersyarat kematian (Ruqba)

    Pemberian bersyarat kematian (ruqba) adalah salah satu bentuk hibah

    seperti halnya umra, tetapi ruqba mensyaratkan siapa diantara penerima dan

    pemberi yang meninggal lebih dahulu, maka yang meninggal kemudian

    mendapatkan benda yang diberikan untuk selama-lamanya. Misalnya seseorang

    memberikan sebuah rumah kepada orang lain dengan syarat bahwa :rumah ini

    aku berikan kepadamu, tetapi apabila kamu mati lebih dahulu, maka rumah ini

    kembali menjadi milikku, dan apabila aku mati lebih dahulu, maka rumah ini

    menjadi milikmu untuk selamanya. Abu Ubaid menjelaskan, seperti dikutip

    Ibnu Mandhur dalam Lisan al-Arab, bahwa kata ruqba berasal dari muraqabah

    yang artinya saling mengintai siapa yang meninggal lebih dahulu dari keduanya,

    karena harta ruqba akan menjadi milik orang yang meninggal kemudian untuk

    selama-lamanya. 48

    Ruqba adalah salah satu tradisi masyarakat Arab yang dilakukan dengan

    tujuan untuk menghormati atau mengistimewakan seseorang sehingga yang

    bersangkutan mendapatkan hak untuk menikmati sesuatu itu selama hidupnya.

    Ulama fikih tidak sepakat mengenai hukumnya, sebagian mereka

    memandangnya sebagai hibah yang mengikat sesuai dengan persyaratan yang

    diucapkan, dan sebagian yang lain memandangnya hanya sebagai pinjaman yang

    sewaktu-waktu dapat diambil kembali. Sebagian ulama Malikiyah memandang

    ruqba sebagai wakaf dan sebagian lagi memandangnya sebagai pinjaman, sama

    seperti pandangan sebagian ulama Hanafiyah. Al-Zuhri berpendapat lain, ia

    mengatakan bahwa ruqba hukumnya sama dengan wasiat mengingat pernyataan

    yang diucapkan apabila aku meninggal (lebih dahulu) maka rumah ini untuk

    kamu. Dengan demikian ketentuan ruqba diserahkan kepada ahli waris,apakah

    diteruskan atau dibatalkan. Dari perbedaan pandangan ahli fikih ini

    46

    Ibid, juz 8, hlm. 153 47

    Ibnai Qudamah, Al-Mughni, juz VI, hlm. 336-337 48

    Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz V, hlm. 280

  • mengakibatkan timbulnya persoalan apakah ruqba diperbolehkan atau tidak.

    Imam Al-Hasan, Malik bin Anas dan Abu Hanifah tidak membolehkan ruqba,49

    sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal dan Asy-Syafiie membolehkannya

    sebagaimana mereka membolehkan umra. 50 Ulama yang membolehkan ruqba

    berpedoman pada petunjuk Nabi :

    Artinya :Ruqba boleh bagi orang yang sudah terbiasa(HR Abu Dawud & Al-

    Turmudzi)

    Sedangkan ulama yang tidak membolehkannya berpedoman pada

    petunjuk hadits berikut :

    Artinya :Bahwasanya Nabi SAW membolehkan umra dan membatalkan uqba

    Imam Ahmad mengingkari hadits ini dan memandang tidak dapat

    dijadikan landasan hukum dengan alasan bahwa hadits ini tidak dikenal di

    kalangan muhadditsin.51

    Untuk menyikapi praktik umra dan ruqba yang mejadi perdebatan para

    ulama ini, Al-Nawawi mengajukan tiga alternatip, yaitu : apabila seseorang

    menyatakan : rumah ini aku berikan kepadamu sebagai umra tanpa dibatasi

    hari atau bulannya, maka hukumnya sama dengan pemberian lepas (hibah).

    Apabila seseorang menyatakan : rumah ini aku berikan selama hidupmu, dan

    apabila kamu mati, rumah ini aku minta kembali, maka sama dengan pinjaman

    terbatas yang akan kembali dengan sendirinya apabila penerimanya telah

    meninggal. Dan apabila seseorang menyatakan :rumah ini untukmu dan untuk

    keturunanmu sesudah kamu, maka menurut sejumlah besar ulama hukumnya

    sama dengan pemberian lepas (hibah), tetapi menurut Imam Malik hukumnya

    sama dengan wakaf, dan apabila yang bersangkutan telah mennggal, rumah

    tersebut kembali menjadi milik pemberi.52

    8. Pembebasan budak (al-itq)

    49

    Al-Nawawi, Kitab Al-Majmu, juz XVI, hlm. 368 50

    Sayid Sabiq, Fqh al-Sunnah, juz III, hlm. 401 51

    An-Nawawi, Kitab al-Majmujuz XVI, hlm. 368 52

    Al-Nawawi, Kitab Al-Majmu, juz XIV, hlm. 366-367

  • Al-itq artinya bebas atau merdeka (al-huriyah), lawannya abd artinya

    perhambaan atau hamba sahaya (al-mamluk). Menurut Imam Sibawaih, seperti

    dikutip Ibnu Mandhur, kata abd asalnya kata sifat : mengabdi, taat, dan

    merendahkan diri, kemudian digunakan sebagai nama bagi orang yang memiliki

    sifat-sifat : dapat dihibahkan, dapat dijual, dan sebagainya karena ada

    persamaan dalam hal penghambaan tersebut.53 Dalam istilah teknis, seperti

    dikemukakan Al-Shanani, itq adalah penghapusan status pemilikan terhadap

    seorang hamba (budak) dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.54

    Pembebasan budak (al-itq) dala syariat Islam merupakan amal yang terpuji dan

    sangat dianjurkan.55 Ayat Alquran dan hadits yang mendorong agar kaum

    muslim suka membebaskan budak, antara lain QS. Al-Balad, 90 : 8 sebagai

    berikut :

    Artinya :Bebaskanlah budak

    Berdasarkan ayat ini, ulama fikih memandang bahwa membebaskan

    budak, termasuk memberi bantuan kepada budak-budak yang dijanjikan oleh

    tuannya untuk dimerdekakan dengan cara menyicil harganya merupakan salah

    satu amal kebajikan yang dianjurkan, dan sahabat Nabi banyak yang terdorong

    hatinya untuk melaksanakan amal ersebut.

    Abu Hurairah menuturkan bahwa Nabi bersabda :

    -

    Artinya :Setiap orang muslim yang membebaskan perbudakan terhadap

    seorang muslim, maka Allah akan menylamatkan untuk setiap

    anggotanya dari api neraka (HR Bukhari Muslim)

    Hadits ini memberikan motivasi terhadap kaum muslim agar suka

    membebaskan budak. Sahabat Nabi makin terdorong untuk melaksanakan amal

    tersebut dengan harapan dirinya akan dibebaskan dari api neraka. Al-Shanani

    53

    Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz 9, hlm. 10 54

    Al-Shanani, Muhammad bin Ismail, Subul al-Salam (T.Tp, Dar al-Fikr,Tt.), juz III, hlm. 138 55

    Al-Nawawi, Kitab al-Majmu, juz XVI, hlm. 513

  • mencatat praktik pembebasan budak yang dilakukan para sahabat karena

    terdorong oleh keyakinan tersebut. Nabi memberikan contoh membebaskan

    budak sebanyak 63 orang, kemudian Siti Aisyah 67 orang, Abbas bin Abdul

    Muthalib 70 orang, Utsman bin Affan sedikitnya 20 orang, Hakim bin Hizam 100

    orang, Abdullah bin Umar 1000 orang,56 Dzu al-Kila al-Hairi membebaskan

    budak dalam satu hari 8000 orang, Abdurrahman bin Auf sebanyak 30.000

    orang, dan Abu Bakar Siddiq membebaskan budak belian dalam jumlah yang

    besar.57 Dari kalangan tabiin tercatat Ali bin al-Husain membeli seorang budak

    dari Abdullah bin Jafar harganya mencapai 10.000 dirham atau sama dengan

    1000 dinar kemudian dibebaskan dengan tujuan karena Allah semata-mata.58

    Dan masih banyak lagi sahabat Nabi dan tabiin yang melaksanakan praktik

    pembebasan budak karena terdorong oleh keyakinan tersebut.

    Adanya kata pembebasan yang disebutkan dalam hadits mengisyarakan

    bahwa pelakunya adalah orang-orang yang berdosa dan berhak mendapatkan

    siksa di neraka akibat dari maksiat yang mereka lakukan. Kemudian dibebaskan

    dari api neraka sebagai imbalan dari amalnya membebaskan budak tersebut.

    Lebih lanjut para ulama mempersoalkan mana yang lebih utama antara

    membebaskan budak laki-laki dengan budak perempuan. Sebagian mereka

    memandang bahwa membebaskan budak perempuan adalah lebih utama dari

    pada membebaskan budak laki-laki dengan alasan karena budak perempuan

    setelah dimerdekakan akan melahirkan keturunan orang-orang merdeka. Dan

    sebagian lagi memandang lebih utama membebaskan budak laki-laki lebih utama

    dengan alasan karena budak laki-laki setelah dimerdekakan akan dapat

    mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak dapat dikerjakan oleh kaum

    perempuan seperti pekerjaan pembangunan yang berat, peradilan, persaksian

    dan sebagainya.59

    56

    Abdullah Ibnu Umar, termasuk sahabat yang kaya dan banyak amalnya, menurut catatan Al-

    Shanani beliau membebaskan budak sebanak 1000 orang, umrah sebanyak 1000 kali, haji 60 kali, dan wakaf kuda untuk kepentingan sabilillah sebanyak 1000 ekor.

    57 Al-Shanani, Subul al-Salam, juz IV, hlm. 139

    58 Al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari ( Bairut, Dar al-

    Fikr, Tt.), juz V, hlm. 446 59

    Ibid

  • Pembebasan budak sebagai wujud dari keimanan dan ketundukkan

    seseorang terhadap Islam seperti dilakkukan oleh para sahabat dan tabiin

    tersebut diikuti oleh generasi-generasi berikutnya, baik suka rela maupun

    sebagai kewajiban atas pelanggaran yang mereka lakukan sehingga akhirnya

    perbudakan lenyap dan terhapus dari muka bumi. Al-Nawawi menggambarkan

    kehidupan masyarakat sebelum Islam, bahwa perbudakan merupakan bagian

    dari kehidupan masyarakat dan merupakan budaya yang diwarisi turun temurun.

    Semua pekerjaan di berbagai sektor produksi, industri, dan perdagangan saat itu

    sangat bergantung kepada budak. Dengan demikian terjadinya jual beli budak

    yang sangat ramai di masyarakat adalah karena faktor kebutuhan dalam

    pengadaan tenaga kerja yang sangat dominan. Masyarakat tidak dapat

    mengerjakan pertanian, perkebunan, peternakan, perdagangan dan pekerjaan-

    pekerjaan lainnya kecuali dengan tenaga budak tersebut. Undang-undang

    Romawi, kata Al-Nawawi, sebagai negara adikuasa saat itu sangat

    mempertahankan eksistensi budak dan perbudakan. Apabila terjadi pelanggaran

    yang dilakukan oleh masyarakat, dijatuhi hukuman penjara atau hukuman dera

    atau dijadikan sebagai budak (kerja paksa) sehingga perbudakan mempunyai

    bentuk dan cara yang bermacam-macam. Demikian ini bukan hanya berlaku di

    negara Romawi, tetapi juga di Persia, Arabia, dan di nedara-negara Barat dan

    Timur semuanya sama. Kemudian Islam datang membebaskan mereka dari

    belenggu perbudakan serta menempatkannya pada posisi yang sejajar dengan

    manusia-manusia lainnya.60 A.Rahman Ritonga dkk menjelaskan sekurangnya

    ada lima hal yang pokok dalam Islam memposisikan budak sejajar dengan

    manusia lainnya. Pertama berupa anjuran agar kaum muslim berbuat baik

    kepada hamba sahayanya sebagaimana mereka berbuat baik kepada kedua orang

    tuanya, kerabatnya, anak yatim piatu, orang-orang miskin, tetangga dekat, dan

    tetangga jauh (QS, An-Nisa, 4 : 36). Kedua Nabi melarang memanggil budaknya

    dengan panggilan hai budakku atau hai hambaku, tetapi memanggilnya hai

    pemudaku atau remajaku (HR Muslim). Ketiga makanan, pakaian dan tempat

    tinggal budak agar diperlakukan sama dengan keluarga tuannya. Keempat

    60

    Al-Nawawi, Kitab Al-Majmu, juz XVI, hlm. 511

  • dilarang untuk menganiaya atau menyakiti budak. Kelima dianjurkan kepada

    pemilik budak (tuannya) untuk mendidik dan mengajari ilmu kepada budak (HR

    Abu Dawud). Adapun mengenai langkah-langkah yang ditempuh oleh Islam

    dalam membebaskan budak ialah : pertama menganjurkan kaum muslim untuk

    membebaskan budak dengan janji akan mendapat pembebasan dari api neraka

    seperti keterangan di atas. Kedua menetapkan sanksi berbagai pelanggaran dan

    kejahatan (mencampuri isteri di hari ramadhan, melanggar sumpah, dhihar,

    pembunuhan tidak sengaja, dan sebagainya) dihukum dengan pembebasan

    budak. Ketiga memerintahkan kepada tuannya agar memberikan kesempatan

    kepada budak untuk menebus dirinya dengan cara menyicil (mukatabah).61

    Adapun persyaratan yang diperlukan dalam praktik membebaskan budak

    (al-itq) sama dengan persyaratan dalam praktik amal sosial lainnya. Pertama

    pelakunya orang yang dipandang cakap untuk melakukan perbuatan hukum

    (muthlaq al-tasharruf), yakni : sudah dewasa, berakal sehat, tidak sakit keras,

    hak milik penuh, tidak tenggelam hutang, dan tidak berada di bawah

    pengampuan. Orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan tersebut

    dipandang tidak sah membebaskan budak. Kedua menggunakan pernyataan

    yang tegas seperti saya bebaskan atau saya merdekakan, dan boleh

    menggunakan kalimat yang tidak tegas (kinayah) seperti kamu sudah saya

    lepas atau saya sudah tidak berkuasa lagi atas dirimu, dan sebagainya, tetapi

    karena ungkapan kalimat tersebut tidak tegas, diperlukan niat untuk

    menunjukkan keseriusannya.62 Selanjutnya perlu dijelaskan bahwa ada praktik

    pembebasan budak dengan cara memberikan kesempatan kepada pihak budak

    untuk menebus dirinya dengan menyicil (mukatabah). Menurut Ibnu Abidin

    praktik pembebasan budak dengan cara ini harus dilakkukan melalui transaksi

    (ijab dan kabul) yang jelas dan menggunakan kalimat yang mengandung

    pengertian pembebasan dan cara-cara pembayarannya. Ibnu Abidin memberikan

    penjelasan bahwa isi perjanjian mukatabah sekurang-kurangnya memuat jumlah

    uang tebusan dan cara-cara menyicilnya, apakah harus dicicil perbulan atau bisa

    61

    A.Rahman Ritonga dkk, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996),

    jilid I, hlm. 222-223 62

    Al-Syairazie, Al-Muhadzdzab, juz II, hlm. 2

  • sekaligus, karena mungkin saja budak tersebut mendapat uang dari orang lain

    yang dapat digunakan untuk menebus dirinya.

    Praktik wakaf sering disebut-sebut oleh para ulama sebagai amal yang

    sama dengan praktik pembebasan budak. Titik persamaannya adalah bahwa

    keduanya merupakan perbuatan hukum yang bersifat melepaskan hak dan

    dilaksanakan tanpa pamrih, kecuali mencapai ridha Allah seperti disebutkan di

    atas. Oleh karena itu sebagian ulama memandang baik wakaf maupun

    pembebasan budak merupakan perbuatan sepihak karena pihak keduanya adalah

    Allah. Artinya transaksi tersebut tidak memerlukan pihak kedua sebagai

    penerima sebagaimana transaksi-transaksi lainnya karena tidak ada pihak

    keduanya kecuali Allah. Tetapi ulama lain memandangnya sebagai transaksi

    perdata seperti jual beli, sewa menyewa, dan sebagainya sehingga memerlukan

    pihak penerima, alasannya karena dalam wakaf ada pihak yang memperoleh

    manfaat atau menikmati hasil-hasilnya, yaitu mauquf alaih.

    Banyaklah amal kebajikan selain wakaf tetapi mempunyai tujuan yang sama

    dengan wakaf yang dipraktikkan kaum muslim semenjak masa Nabi hingga sekarang.

    Yaitu infak wajib atau pemberian wajib (zakat), pemberian suka rela (hibah), pemberian

    berlatar belakang akhirat (shadaqah), pemberian berlatar belakang prestasi (hadiyah),

    pemberian selama hidup (umra), pemberian bersyarat (uqba), pemberian manfaat

    sementara (ariyah) dan sebagainya. Praktik wakaf ditinjau dari berbagai aspeknya

    mengandung perbedaan-perbedaan dengan amal-amal kebajikan tersebut akan tetapi

    ditinjau dari tujuannya adalah sama yaitu memberikan bantuan suka rela sebagai

    ekspresi dari rasa cinta dan kasih sayang (al-taawun ala al-birr wa al-taqwa).

    Praktik wakaf dilihat dari aspek transaksinya yang bersifat melepaskan hak sama

    dengan jual beli, akan tetapi dilihat dari aspek bahwa wakaf merupakan pemberian

    tanpa imbalan sama dengan hibah, atau dilihat dari aspek manfaatnya yang diserahkan

    tanpa bendanya sama dengan pinjaman, dan apabila dilihat dari tujuan serta sasarannya

    yang diberikan kepada fakir miskin dan orang-orang yang sangat membutuhkan

    pertolongan sama dengan zakat dan sedekah. Berikut ini dijelaskan amal-amal kebajikan

    yang serupa dengan wakaf sekedar untuk mengetahui perbedaan dan persamaannya.

    1. zakat

  • Zakat (pemberian wajib atau infak wajib) dalam istilah teknis adalah harta

    seseorang yang wajib diberikan kepada fakir miskin dan orang-orang yang sangat

    membutuhkan dengan tujuan untuk melaksanakan perintah Allah.63 Zakat dalam

    syariat Islam mempunyai posisi yang sangat strategis, karena selain sebagai bukti

    ketaatan kepada Allah (hablun min Allah) juga sebagai bukti kepedulian terhadap

    sesama manusia (hablun min al-Naas). Para ahli hukum ketatanegaraan Islam seperti

    Abu Ubaid (w. 224 H) dan Imam Al-Mawardi (370-450 H) memandang zakat sebagai

    sumber keuangan publik yang sangat dominan di samping pajak (al-jizyah).64 Artinya

    zakat dan pajak merukan sumber keuangan negara yang sangat dominan, zakat dipungut

    dari kaum muslim sedangkan pajak dipungut dari kaum non muslim, kedua-duanya

    menjadi sumber keuangan negara yang pokok. Zakat dikenakan terhadap seluruh

    komoditas dan sumber-sumber ekonomi sementara pajak dikenakan terhadap seluruh

    warga negara non muslim (al-jizyah) dan kekyaannya (al-kharaj).

    Perbedaan yang mendasar antara zakat dan wakaf adalah terkait dengan pesan

    hukum yang memberlakukan keduanya, perintah zakat sangat tegas disertai dengan

    sanksi atau ancaman bagi barang siapa yang tidak taat melaksanakan perintah tersebut,

    sedangkan wakaf, sebagaimana dikemukakan di atas, hanya bersifat anjuran. Perbedaan

    yang lain adalah menyangkut pengelolaan, pada pengelolan zakat (amil) lebih bersifat

    temporer, karena tugas utamanya adalah mengumpulkan dan menyalurkan, sedangkan

    pengelola wakaf (nadzir) lebih bersifat permanen, karena tugas pokoknya memelihara,

    memberdayakan, dan menyalurkan hasilnya sehingga dapat memberikan manfaat yang

    lestari dan optimal. Selain dari pada itu, obyek zakat seperti dijelaskan dalam QS Al-

    Baqarah, 2 : 26765 menyangkut penghasilan dan jasa (ma kasabtum) dan produksi (ma

    akhrajna lakum min al-ardh), sedangkan obyek wakaf menyangkut benda, bukan

    penghasilan atau manfaatnya. Dan dilihat dari sasarannya, zakat lebih sepesifik seperti

    dijelaskan dalam QS At-Taubah, 9 : 60 66 meliputi fakir, miskin, amil, muallaf, riqab,

    gharim, sabilillah, dan ibnu sabil, sedangkan wakaf lebih fleksibel, meliputi berbagai

    kebajikan (al-birr) dan kebaikan (al-maruf).

    2. Hibah

    63

    Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz I, hlm. 276 64

    Lihat : Abu Ubaid, Al-Qasim Ibnu Salam, Kitab al-Amwal (Bairut, Darr al-Kutub al-Ilmyah, 1986),

    hlm. 359; dan Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah (Bairut, Darr al-Kitab al-Arabi, 1999), hlm. 202 65

    Teks ayatnya berbunyi : 66

    Teks ayatnya berbunyi :

  • Hibah (pemberian suka rela) dalam istilah teknis ialah pemberian lepas yang

    dilaksanakan secara suka rela, tanpa paksaan. Sayid Sabiq mendefinisikan hibah adalah

    suatu transaksi yang bersifat memindahkan hak milik kepada orang lain tanpa imbalan

    yang dilaksanakan sewaktu hidup.67 Dengan definisi ini hibah menyerupai wakaf dalam

    hal melepaskan hak milik dan menyerahkannya kepada orang lain tanpa imbalan.

    Perbedaannya dalam penyerahan hibah meliputi benda dan manfaatnya sedangkan

    wakaf hanya manfaat atau hasilnya saja. Ditegaskan dengan kata tanpa imbalan untuk

    membedakannya dengan transaksi-transaksi yang bersifat komersial, sedangkan

    penegasan kalimat dilaksanakan sewaktu hidup untuk membedakannya dengan

    wasiat.

    3. Hadiyah

    Hadiyah (pemberian berlatar belakang prestasi) bahasa Arab yang telah diadopsi

    menjadi bahasa Indonesia hadiah artinya pemberian atau ganjaran bagi pemenang

    suatu perlombaan atau pertandingan. Ungkapan kalimat hadiah kerja, artinya

    pemberian kepada pekerja yang berprestasi, hadiah lebaran, artinya pemberian kepada

    para pegawai dan pekerja menjelang hari Raya, dan hadiah penghibur, artinya

    pemberian kepada peserta perlombaan atau pertandingan yang hampir menang, seperti

    hadiah yang diberikan kepada juara harapan I dan juara harapan II dan seterusnya,

    mereka belum memenuhi persyaratan menjadi juara, tetapi nilainya hampir mendekati

    kriteria juara.68

    Dalam istilah teknis hadiah adalah suatu pemberian yang berlatar belakang

    duniawi, seperti keinginan untuk memberikan penghormatan kepada seseorang atau

    untuk menjalin hubungan kasih sayang atau ingin mendapat perhatian dan bahkan bisa

    berlatar belakang politik seperti kasus pemberian Ratu Balqis kepada Nabi Sulaiman

    yang dikisahkan dalam Alquran.69 Hadiah dipandang sama dengan wakaf karena

    kedudukannya sebagai anjuran (sunnah), bukan sebagai kewajiban, dan dilihat dari

    transaksinya bersifat melepaskan hak yang tanpa imbalan (suka rela).

    4. Shadaqah

    Shadaqah (pemberian yang berlatar belakang akhirat) dalam istilah teknis,

    adalah suatu transaksi memindahkan hak milik (tamlik) kepada orang lain yang

    membutuhkan tanpa imbalan materi dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada

    67

    Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz III, hlm. 388 68

    W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta, PT Balai Pustaka, 1976),hlm.

    337-338 69

    Wahbah Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir, juz XIX, hlm. 293-294

  • Allah. Amal ini sangat dianjurkan dan dipandangnya sebagai amal sunah seperti halnya

    hibah dan hadiah. Beberapa ulama seperti Imam Malik dan Abu Tsaur berpendapat

    bahwa hibah dan sedekah sama dengan wakaf karena semuanya merupakan pelepasan

    hak tanpa imbalan yang tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah.

    5. Ariyah

    Al-Ariyah (pinjaman) dalam istilah teknis menunjuk pada pinjaman barang

    bukan pinjaman uang. Pinjaman uang apabila bersifat komersial disebut qardh70dan

    yang non komersial disebut dain.71 Ulama Hanafiyah mendefinisikan pinjaman adalah

    pemberian manfaat (tanpa bendanya dan) tanpa imbalan,72 atau pemberian izin

    penggunaan barang kepada orang lain.73 Ulama Syafiiyah mendefinisikan pinjaman

    adalah transaksi yang mengandung perizinan untuk menggunakan manfaat barang yang

    memiliki karakter lestari dengan ketentuan akan dikembalikan setelah selesai

    dipergunakan.74 Ulama Malikiyah mendefinisikan bahwa pinjaman adalah pemberian

    manfaat (tanpa bendanya) tanpa imbalan untuk sementara waktu.75 Sedangkan ulama

    Hanabilah mendefinisikan bahwa pinjaman adalah izin penggunaan manfaat benda dari

    pemiliknya kepada orang lain tanpa imbalan.76 Dari ungkapan kalimat yang berbeda-

    beda tersebut intinya adalah sama, yaitu merupakan transaksi pemberian manfaat

    benda kepada orang lain tanpa imbalan materi. Batasan tersebut menyiratkan makna

    yang hampir menyerupai wakaf, mengingat wakaf menurut ulama Hanafiyah adalah

    menahan benda dalam milik wakif dan memberikan manfaatnya kepada orang lain

    (habs al-ain ala milk al-wakif wa al-tashadduq bi al-manfaah).77 Atas dasar ini, Abu

    Hanifah memandang bahwa wakaf sama dengan pinjaman.78 Perbedaan yang prinsip

    antara wakaf dengan pinjaman dalam pandangan Abu Hanifah adalah menyangkut

    obyeknya. Transaksi wakaf obyeknya berupa benda tidak bergerak sedangkan pinjaman

    obyeknya berupa benda-benda bergerak. Sedangkan persamaannya adalah keduanya

    70

    Dain adalah transaksi yang tidak tunai (terhutang), lihat : Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz 11, hlm.

    112 71

    Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, juz 4, hlm. 459 72

    Apabila pemberian izin penggunaan manfaat tersebut memperoleh imbalan disebut sewa (al-ijarah)

    73 Syamsuddin Ahmad bin Qaudur, Takmilah Fath al-Qadir, Nataij al-Afkar, juz IX, hlm.3

    74 Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz V, hlm. 117

    75 Adil Ahmad Abdul Maujud, Syaikh & Ali Muhammad Muawwadh, Syaikh, Taliq Radd al-

    Mukhtar, juz VIII, hlm. 473 76

    Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz III, hlm. 232 77

    Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz V, hlm. 117 77

    Adil Ahmad Abdul Maujud, Syaikh & Ali Muhammad Muawwadh, Syaikh, Taliq Radd al-Mukhtar, juz VI, hlm. 518-519

    78 Ibnu al-Humam al-Hanafi, Syarah Fath al-Qadir, juz VI, hlm. 190

  • merupakan pemberian manfaat benda, bukan pembrian bendanya kepada orang lain

    dengan cuma-cuma dan sewaktu-waktu pemiliknya dapat mengambilnya kembali

    apabila diperlukan.

    6. Umra

    Umra (pemberian sepanjang hidup) adalah salah satu bentuk hibah yang berlaku

    pada masyarakat Arab. Yaitu suatu pemberian yang berlaku selama hidup pemberi atau

    penerimanya.79 Disebut umra karena pemberiannya dikaitkan dengan umur, baik umur

    pemberi maupun umur penerima. Transaksi umra dilaksanakan dengan menggunakan

    kalimat yang dikaitkan dengan umur, misalnya :rumah ini saya berikan kepadamu

    selama saya hidup atau selama kamu hidup.

    Umra sebagaimana telah disebutkan adalah salah satu tradisi bangsa Arab yang

    berlaku sebelum Islam, kemudian Islam datang untuk memperbaiki tradisi tersebut.

    Ibrahim bin Ishaq mengemukakan ada beberapa tradisi masyarakat Arab yang direcepsi

    menjadi hukum yang berlaku (urf) yaitu : umra, ruqba, afqar (memberikan unta kepada

    orang lain untuk digunakan sebagai angkutan),80 akhbal (memberikan unta kepada

    orang lain untuk dicukur dan dimanfaatkan bulunya atau untuk dikendarai kemudian

    dikembalikan),81 minhah (memberikan unta atau domba kepada orang lain untuk

    diperah air susunya selama beberapa hari atau beberapa bulan atau memberikan ladang

    untuk digarap beberapa musim kemudian dikembalikan),82 ariyyah (memberikan

    pohon kurma untuk diambil buahnya selama satu musim atau lebih, atau melelangkan

    kebun kurma dengan menyisakan beberapa batang untuk diambil buahnya selama satu

    musim),83 iarah, al-sukna (memberikan rumah kepada orang lain untuk ditempati

    tanpa sewa),84 dan al-ithraq (memberikan tempat peristirahatan),85 semuanya itu hanya

    memberikan manfaatnya, bukan memberikan bendanya sehingga pihak penerima hanya

    menikmati manfaatnya saja sesuai dengan penjanjian yang mereka lakukan.86 Dari sisi

    ini apabila lahir sebuah gagasan yang mengakomodir wakaf-wakaf musya dan muaqqot

    niscaya semuan pemberian manfaat tersebut dapat diklim sebagai wakaf.

    7. Ruqba

    79

    Ibnai Qudamah, Al-Mughni wa Syarh al-Kabir, juz VI, hlm. 334-335 80

    Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz 10, hlm. 301 81

    Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz 4, hlm. 20 82

    Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz 13, hlm. 192 83

    Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz 9, hlm. 180 84

    Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz 6, hlm. 312 85

    Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz 8, hlm. 153 86

    Ibnai Qudamah, Al-Mughni, juz VI, hlm. 336-337

  • Ruqba (pemberian bersyarat kematian) adalah salah satu bentuk hibah seperti

    halnya umra, tetapi ruqba mensyaratkan siapa diantara penerima dan pemberi yang

    meninggal lebih dahulu, maka yang meninggal kemudian dapat menikmati untuk

    selama-lamanya. Misalnya seorang memberikan sebuah rumah kepada orang lain

    dengan syarat bahwa :rumah ini aku berikan kepadamu, tetapi apabila kamu mati lebih

    dahulu, maka rumah ini kembali menjadi milikku, dan apabila aku mati lebih dahulu,

    maka rumah ini menjadi milikmu untuk selamanya. Abu Ubaid menjelaskan, seperti

    dikutip Ibnu Mandhur dalam Lisan al-Arab, bahwa kata ruqba berasal dari muraqabah

    yang artinya saling mengintai siapa yang meninggal lebih dahulu dari keduanya, karena

    harta ruqba akan menjadi milik orang yang meninggal kemudian untuk selama-lamanya.

    87

    Ruqba adalah salah satu tradisi masyarakat Arab yang dilakukan dengan tujuan

    untuk menghormati atau mengistimewakan seseorang sehingga yang bersangkutan

    mendapatkan hak untuk menikmati sesuatu itu selama hidupnya. Dilihat dari

    transaksinya yang bersifat memindahkan hak manfaat kepada orang lain, sementara

    bendanya masih belum diserahkan penuh maka ruqba menyerupai wakaf, tetapi apabila

    dilihat dari persyaratan yang disandarkan pada kematian salah satunya, maka ruqba

    menyerupai wasiat.

    87

    Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz V, hlm. 280