bab iv sejarah hubungan bilateral filipina-amerika...

22
35 BAB IV SEJARAH HUBUNGAN BILATERAL FILIPINA-AMERIKA SERIKAT Setiap negara memiliki sejarah dengan dinamika tersendiri yang dapat menjadi dasar bagi arah perkembangan negara tersebut. Kolonisasi dan penjajahan misalnya, dapat menjadi faktor pembentuk nasionalisme atau bahkan ideologi sebuah negara. Republik Filipina merupakan sebuah negara yang selama lebih dari tiga ratus tahun berada di bawah jajahan bangsa asing, dari Spanyol hingga Amerika Serikat. Sejak tahun 1898, Filipina beralih dari masa jajahan Spanyol ke AS. Namun berbeda dengan Spanyol, hubungan Filipina dengan AS memiliki hubungan bilateral yang menarik pada masa penjajahan bahkan pasca kemerdekaan hingga saat ini. Meskipun hubungan kedua negara tidak serta merta berjalan mulus, namun kedua negara juga telah banyak terlibat dalam berbagai kerja sama dan perjanjian dalam bidang ekonomi & perdagangan maupun politik keamanan. Hal-hal tersebut akan penulis bahas dalam Bab IV ini. 4.1. Dinamika Hubungan Bilateral Filipina-Amerika Serikat Meskipun hubungan kedua negara telah terjalin selama lebih dari satu abad, namun pertentangan dan konflik yang terjadi antara kedua pihak tetap tidak dapat dihindarkan. Untuk itu, dalam memaparkan dinamika hubungan bilateral kedua negara, penulis kemudian membaginya dalam empat periode. Periode awal masuknya AS ke Filipina pada tahun 1898-1902, periode kolonisasi AS terhadap Filipina pada 1902-1946, periode pasca kemerdekaan Filipina 1936-1986, dan pada periode 1986-2016. 4.1.1. Periode 1898-1902 Tanggal 10 Desember 1898 merupakan sebuah awal baru bagi Filipina. Pasalnya pada tanggal tersebut Spanyol menyerahkan Filipina ke tangan AS, melalui perjanjian yang ditandatangani oleh kedua negara. Sebelumnya kedua negara berperang di Manila Bay dengan kemenangan AS di bawah komando

Upload: trinhminh

Post on 24-Mar-2019

239 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

35

BAB IV

SEJARAH HUBUNGAN BILATERAL

FILIPINA-AMERIKA SERIKAT

Setiap negara memiliki sejarah dengan dinamika tersendiri yang dapat

menjadi dasar bagi arah perkembangan negara tersebut. Kolonisasi dan penjajahan

misalnya, dapat menjadi faktor pembentuk nasionalisme atau bahkan ideologi

sebuah negara. Republik Filipina merupakan sebuah negara yang selama lebih dari

tiga ratus tahun berada di bawah jajahan bangsa asing, dari Spanyol hingga Amerika

Serikat. Sejak tahun 1898, Filipina beralih dari masa jajahan Spanyol ke AS.

Namun berbeda dengan Spanyol, hubungan Filipina dengan AS memiliki hubungan

bilateral yang menarik pada masa penjajahan bahkan pasca kemerdekaan hingga

saat ini. Meskipun hubungan kedua negara tidak serta merta berjalan mulus, namun

kedua negara juga telah banyak terlibat dalam berbagai kerja sama dan perjanjian

dalam bidang ekonomi & perdagangan maupun politik keamanan. Hal-hal tersebut

akan penulis bahas dalam Bab IV ini.

4.1. Dinamika Hubungan Bilateral Filipina-Amerika Serikat

Meskipun hubungan kedua negara telah terjalin selama lebih dari satu abad,

namun pertentangan dan konflik yang terjadi antara kedua pihak tetap tidak dapat

dihindarkan. Untuk itu, dalam memaparkan dinamika hubungan bilateral kedua

negara, penulis kemudian membaginya dalam empat periode. Periode awal

masuknya AS ke Filipina pada tahun 1898-1902, periode kolonisasi AS terhadap

Filipina pada 1902-1946, periode pasca kemerdekaan Filipina 1936-1986, dan pada

periode 1986-2016.

4.1.1. Periode 1898-1902

Tanggal 10 Desember 1898 merupakan sebuah awal baru bagi Filipina.

Pasalnya pada tanggal tersebut Spanyol menyerahkan Filipina ke tangan AS,

melalui perjanjian yang ditandatangani oleh kedua negara. Sebelumnya kedua

negara berperang di Manila Bay dengan kemenangan AS di bawah komando

36

Laksamana angkatan laut AS, George Dewey. William McKinley yang adalah

presiden Amerika Serikat saat itu memerintahkan militer AS untuk mengambil alih

seluruh wilayah Filipina pasca penandatanganan Perjanjian Perdamaian Paris pada

Desember 1898. Pemerintah AS sadar bahwa kedatangan mereka bisa saja memicu

pertentangan dari masyarakat lokal, untuk itu McKinley melalui tentara AS

meyakinkan masyarakat setempat bahwa kehadiran mereka bukan sebagai musuh

melainkan sebagai kawan. Keberadaan para pendeta dan misionaris juga

mendorong kepercayaan masyarakat Filipina terhadap keberadaan AS di

wilayahnya sebagai kawan. Namun salah satu alasan AS dibalik kedatangannya ke

Filipina adalah keinginan AS untuk mencapai pasar dan sumber daya alam Asia

melalui Filipina (Miller, 1982, hal. 13-25).

Keberadaan AS di Filipina tidak sepenuhnya membawa ketenangan dan

rasa aman bagi warga Filipina. Kemunculan kembali gerakan nasionalis yang

mendukung kemerdekaan nasional Filipina secara otomatis membuat militer AS

secara brutal membalas penolakan warga Filipina terkait proyek kolonisasi

Amerika dengan berbagai kekerasan fisik dan berbagai tekanan. Gerakan nasionalis

di Filipina dipimpin oleh Emilio Aguinaldo. Meskipun Aguinaldo telah ditangkap

oleh tentara AS pada Maret 1901, gerakan penolakan terhadap represi AS di

Filipina terus bangkit khususnya di wilayah Luzon Utara dan Tengah. Bangkitnya

gerakan nasionalis kemudian mendorong semakin besarnya tekanan yang datang

dari tentara AS. Perlawanan yang dilakukan oleh gerakan revolusi atau gerakan

nasionalis di Filipina dimulai pada tahun 1896 di bawah bendera Katipunan1

1 Katipunan merupakan sebutan singkat untuk Kataas-taasang, Kagalang-galangang Katipunan ng̃

mg̃á Anak ng̃ Bayan (KKK) yang merupakan sebuah organisasi yang didirikan di Manila pada tahun

1892, dengan tujuan memperjuangkan kemerdekaan bagi Filipina dari bangsa Spanyol. Emilio

Aguinaldo hadir sebagai presiden Katipunan pada musim semi tahun 1897 pada usia tujuh puluh

tujuh tahun. Gerakan ini menguat ketika pada saat itu 200.000 tentara Spanyol ditahan di Kuba dan

Madrid tidak mampu membayar biaya perang di Filipina. Pihak berwenang Spanyol menawarkan

Aguinaldo sebuah deklarasi perdamaian dan memindahkan kepemimpinan revolusioner ke Hong

Kong dengan memberikan jaminan perdamaian sejumlah uang tunai yang tidak disebutkan

nominalnya. Aguinaldo kemudian menggunakan kesempatan ini untuk membeli senjata yang

kemudian dapat diseludupkan kembali ke pejuang revolusi di Filipina. Aguinaldo kemudian

dikembalikan ke Filipina pada tahun 1898 ketika Spanyol menyerah terhadap AS dan menyerahkan

Filipina (Philippines History, The Katipunan Finally Starts a Revolution, 1 Maret 2017,

http://www.philippine-history.org/katipunan.htm, diakses pada 29 September 2017).

37

dengan beranggotakan sekitar 20.000 orang Filipina yang melakukan

pemberontakan melawan represi koloni Spanyol (Constantino, 1975, hal. 161-163).

Bergantinya rezim Spanyol ke rezim AS membangkitkan kembali gerakan

revolusioner KKK dan menciptakan perlawanan terhadap keberadaan bangsa

Amerika di berbagai wilayah di Filipina. Gerakan perlawanan terhadap AS

dipimpin oleh Emilio Aguinaldo sejak 1 November 1899. Tahun 1899-1902

merupakan periode konflik yang memakan korban sekitar 4.234 tentara AS,

200.000 warga sipil Filipina dan warga yang menjadi anggota kelompok

pemberontak, serta 20.000 tentara Filipina (Shackford, 1990, hal.117-119).

Selama kurang lebih empat tahun sejak masuknya AS ke Filipina hingga

peresmian Filipina sebagai negara koloni AS, ada beberapa peristiwa penting yang

perlu diperhatikan. Penulis kemudian mengurutkan peristiwa-peristiwa tersebut ke

dalam bentuk tabel untuk memaparkan hubungan kedua negara pada masa awal

pendudukan AS di Filipina. Hal ini akan mempermudah pembaca untuk memahami

dinamika hubungan Filipina-AS pada periode 1898-1902.

Tabel 4.1

Timeline peristiwa penting pendudukan AS di Filipina 1898-1902.

Tanggal Peristiwa

15 Februari 1898 Sebuah ledakan menenggelamkan kapal perang USS

Maine di Pelabuhan Habana, Kuba.

25 April 1898 Amerika Serikat menyatakan perang atas Spanyol.

1 Mei 1898 Pasukan Angkatan Laut AS yang dipimpin oleh

Komodor George Dewey mengalahkan armada Spanyol

di Teluk Manila.

24 Mei 1898 Jenderal Emilio Aguinaldo menciptakan sebuah

pemerintahan sementara di Filipina.

38

12 Juni 1898 Filipina menyatakan kemerdekaan.

30 Juni 1898 Pasukan sukarelawan militer AS tiba di Filipina

12-13 Agustus 1898 Spanyol dan As menandatangani Protocol of Peace yang

berisi ketentuan untuk menciptakan sebuah perjanjian

damai.

Pasukan Spanyol menyerah kepada militer AS di Manila.

4 Februari 1899 Perlawanan kelompok naisionalis Filipina terhadap

pasukan militer AS.

6 Februari 1899 Senat AS meratifikasi Perjanjian Paris.

12 November 1899 Jenderal Guinaldo menyebarkan tentara Filipina dan

menyatakan perang gerilya melawan pasukan AS.

13 Maret 1901 Pasukan AS menangkap Jenderal Guinaldo.

4 Juli 4 1901 AS membangun sebuah pemerintahan sipil di Filipina.

4 Juli 1902 Presiden Theodore Roosevelt menyatakan berakhirnya

perang Filipina-AS.

(Sumber: The Philippine-American War, 2004, hal. 16)

Pada Juli 1902, Presiden Theodore Roosevelt menunjuk Howard Taft

sebagai Gubernur Sipil Filipina setelah Kongres AS menyetujui Undang-Undang

pada 1 Juli 1902 yang memberi Filipina pemerintahan mandiri yang terbatas.

Walaupun masa jabatannya kurang dari lima tahun, namun ada beberapa kebijakan

Taft yang menarik simpati banyak masyarakat Filipina, khususnya dalam bidang

sosial. Taft meresmikan sebuah program besar untuk mengornanisir sekolah dengan

ribuan guru Amerika yang menjadi sukarelawan untuk melayani di Filipina.

Sekolah-sekolah tersebut mengamanatkan bahasa Inggris sebagai bahasa

pengantar, dan para siswa kemudian diajarkan budaya AS. Sedangkan misionaris

39

Protestan mengajarkan orang-orang Filipina cara membaca Alkitab dan penafsiran

menurut orang Amerika (Nadeau, 2008, hal. 42-45).

4.1.2. Masa Kolonisasi AS di Filipina (1902-1946)

Setelah resmi menjadikan Filipina sebagai koloninya, AS memperluas

sistem hukum di Filipina dengan menambahkan beberapa undang-undang baru

seperti Civil Marriage Code dan Philippine Bill of 1902 yang mencakup ketentuan

umum untuk: (1) perpanjangan Bill of Rights kepada orang-orang Filipina, kecuali

hak juri di pengadilan; (2) pengangkatan dua komisaris warga Filipina di

Washington, D.C; (3) pembentukan majelis Filipina yang elektif, setelah

proklamasi perdamaian dengan jangka waktu dua tahun; (4) retensi Komisi Filipina

(Philippine Commission) sebagai majelis tinggi, dengan majelis Filipina bertindak

sebagai majelis rendah; dan (5) konservasi sumber daya alam Filipina untuk warga

Filipina. Sesuai dengan instruksi Komisi Filipina untuk mendorong warga Filipina

berperan dalam pemerintahan, pada tahun 1899 Gregorio Araneta diangkat menjadi

hakim pertama Mahkamah Agung dan juga sekertaris keuangan. Pada tahun 1912,

separuh hakim di Mahkamah Agung adalah orang Filipina dan pada tahun 1926,

hanya dua dari 55 hakim di Mahkamah Agung berkebangsaan Amerika (Nadeau,

2008, hal. 54-58).

Filipina mulai berkembang secara politik di bawah Amerika Serikat sejak

1906, pada saat James Francis Smith dilantik menjadi Gubernur Sipil AS di

Filipina. Tahun 1907 merupakan awal kemunculan partai politik Filipina, yakni

Partai Nasionalis (Partido Nacionalista –PN) yang didirikan pada Maret 1907,

disusul keberadaan Partai Progresif (Partido Progresista–PP) atau yang

sebelumnya dikenal dengan sebutan Partai Federalis yang mendukung rezim AS di

Filipina (Shackford, 1990, hal, 121-124).

Pada tahun 1913, ketika Partai Demokrat memenangkan kursi kepresidenan

di Amerika Serikat, kebijakan AS bergeser untuk mendukung kemerdekaan

Filipina. Francis B. Harrison menjadi Gubernur Jenderal yang menjabat sejak tahun

1913-1921. Beliau mendapat kepercayaan dan loyalitas dari masyarakat Filipina

40

atas kebijakan Filipinisasi nya, meskipun ditentang oleh kaum pebisnis AS dan

komunitas tentara AS yang menetap di Filipina. Pada tahun 1916, Jones

menerapkan sebuah undang-undang yakni Undang-Undang Jones untuk mengatur

dan mengawasi senat yang terpilih. Semua tindakan yang disahkan oleh legislatif

Filipina harus dilaporkan ke Kongres AS yang memiliki kekuasaan untuk

membatalkan dan mengsahkan kebijakan tersebut. Undang-Undang Jones juga

menyediakan sebuah konstitusi dan menyertakan maksud AS untuk mengakui

kemerdekaan Filipina segera setelah pemerintahan yang stabil terbentuk. Namun

pada saat Partai Republik kembali mengambil alih pemerintahan AS, kebijakan

Filipinisasi Harrison dikritik oleh para elit politik. Mereka berpendapat bahwa

kebijakan tersebut secara tidak langsung telah melemahkan rezim koloni di wilayah

Filipina. Pasalnya, ketika Harrison menjabat pada tahun 1913 sebagai Gubernur

Jenderal, ada sekitar 2.680 warga Amerika yang menjabat di semua cabang

pemerintahan koloni di Filipina. Kemudian pada tahun 1919, jumlah tersebut

berkurang menjadi 614 sementara jumlah partisipan Filipina dalam pemerintahan

meningkat dari 6.033 pada tahun 1912 menjadi 12.240 pada akhir masa jabatan

Harrison tahun 1921 (Shackford, 1990, hal. 121-122).

Sejak pergantian pemerintahan dari Gubernur Jenderal Wood (1921-1928)

hingga Theodore Roosevelt Jr. (1932-1933), terjadi eskalasi konflik dan

pertentangan dari masyarakat Filipina yang menuntut kemerdekaan terhadap

pemerintahan koloni. Para pemimpin Filipina mendirikan pusat informasi di

Washington D.C dan Manila untuk menyebarluaskan dan memberi informasi yang

akurat terhadap represi yang ditimbulkan pemerintah koloni (Constantino, 1975,

hal. 316). Pada 24 Maret 1934, Presiden Franklin Roosevelt memberlakukan

Undang-Undang Tydings-McDuffe yang juga dikenal sebagai Undang-Undang

Kemerdekaan Filipina. Masyarakat Filipina menerima Undang-Undang Tydings-

Mcduffe karena merasa bahwa undang-undang tersebut merupakan kompromi

terbaik yang bisa didapatkan dalam situasi saat itu. Setahun setelahnya, Philippines

Commonwealth Constitution dihasilkan dengan salah satu aturan penting mengenai

masa jabatan enam tahun bagi presiden, wakil presiden, dan Majelis Nasional yang

41

saat itu disetujui oleh Presiden Franklin Roosevelt. Pada tanggal 4 November 1941,

Presiden Marcos Quezon, yang sudah menjabat selama enam tahun, terpilih

kembali sebagai Presiden Filipina. Sebelum mendeklarasikan kemerdekaannya

yang ditandai dengan ditandatanganinya Treaty of Manila pada 1946, keadaan

sosial dan politik di Filipina tidak stabil dan mengundang banyak gesekan vertikal

maupun horizontal. Kemerdekaan diraih oleh Filipina pada tanggal 4 Juli 1946

melalui Treaty of Manila dan pada tanggal tersebut dikenal sebagai Philippines

Republic Day dan memutuskan tanggal 12 Juni 1946 sebagai Philippines

Independence Day. Hal ini karena pada tanngal 12 Juni 1946 Pemerintahan Filipina

mendeklarasikan kemerdekaan mereka, meskipun pengakuan resmi dari

pemerintah AS baru dilakukan pada penandatanganan Perjanjian Manila pada

tanggal yang sama dengan peringatan hari kemerdekaan AS, 4 Juli di tahun 1946.

4.1.3. Periode Pasca-Kemerdekaan (1946-1986)

Setelah meraih kemerdekaan pada tahun 1946, Filipina mulai menjalankan

pemerintahannya secara berdaulat. Sebagai negara baru yang independen, tidak

mudah bagi Filipina untuk menjalankan pemerintahannya secara internal maupun

eksternal. Setelah Marcos Quezon meninggal dunia pada Agustus 1944, beliau

digantikan oleh Wakil Presiden Sergio Osmena yang menjabat hingga tahun 1946.

Memasuki periode pasca perang, ada beberapa tantangan dan peluang Republik

Filipina yang dihadapi melalui hubungannya dengan Amerika Serikat. Setelah AS

memberikan kemerdekaan kepada Filipina tahun 1945, sebagian besar infrastruktur

yang dibangun oleh AS di negara tersebut dibongkar. Filipina mengalami masa-

masa sulit diawal kemerdekaannya. Wilayah tempat tinggal masyarakat sipil,

fasilitas sosial seperti sekolah dan rumah sakit, hingga krisis persediaan obat-obatan

dan makanan melanda Manila. Biaya hidup melejit 800 persen lebih tinggi

dibandingkan masa sebelum perang (Perang Dunia II). Namun berselang beberapa

bulan setelah memberikan kemerdekaan bagi Filipina, pemerintah AS kemudian

memberikan bantuan kepada Filipina melalui uang sebesar US$ 71.500.000 yang

merupakan akumulasi dari pajak cukai yang dikumpulkan atas impor minyak

kelapa Filipina serta pemberian pinjaman sebesar US$ 75.000.000 dari United

42

States Reconstruction Finance Corporation pada pertengahan 1946 (Nadeau, 2008,

hal. 68).

Setelah menggantikan Presiden Roxas tahun 1947, pada masa pemerintahan

Quirino, Amerika Serikat kembali memberikan bantuan kepada Filipina melalui

desakan terhadap reformasi di pedesaan. AS mengirimkan penasihat CIA, Kolonel

Edward Lansdale dengan bantuan utama dari United States-Republic of the

Philippines Military Group atau Joint United States Military Advisory Group

(JUSMAG) yang dibentuk pada pertengahan 1950 untuk mengendalikan kampanye

kontra pemberontakan masyarakat sipil terhadap HUKs2. Langkah pertama yang

dilakukan oleh AS dalam kerjasama ini adalah pemberian pinjaman kepada tentara

Filipina berupa uang senilai US$ 10.000.000. Kelompok komunis ini kemudian

berhasil dikalahkan pada Oktober 1950 oleh program Ramon Magsaysay melalui

perubahan besar dalam struktur organisasi Arm Forces of the Philippines (AFP)

dengan melancarkan perang psikologi kepada HUKs. Setelah berhasil

melumpuhkan organisasi komunis yang berkembang sejak awal Perang Dunia II

tersebut, pemerintah Filipina menggunakan kesempatan kekalahan HUKs untuk

menyebarkan banyak kebijakan domestik terkait program-program ekonomi yang

intensif terkhusus pada daerah-daerah pedesaan (Moore, 1971, hal. 46-47).

Pada pemerintahan Presiden selanjutnya, yakni Ramon Magsaysay, Carlos

Garcia dan Diosdado Macapagal, hubungan bilateral antara Filipina dan Amerika

Serikat tidak begitu mengalami konflik dan pertentangan kebijakan, karena

pemerintah di era pasca PD II berfokus pada pengembangan dan pertumbuhan

ekonomi domestik melalui kebijakan yang merakyat dan kebijakan-kebijakan yang

mendorong kesejahteraan sosial. Hubungan kedua negara kemudian mulai lebih

terikat satu sama lain melalui pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos yang

dimulai pada tahun 1965. Program restrukturisasi ekonomi, politik dan

2 HUKs merupakan sebuah kelompok dengan tujuan menolak pendudukan Jepang di Filipina

dengan mengusung kebijakan Land Reform. HUKs merupakan singkatan dari Hukbalahap dalam

bahasa Tagalog atau The Nation’s Army Against the Japanese Soldiers. Namun, alih-alih bubar

setelah hengkangnya Jepang dari Filipina, kelompok ini justru gencar melakukan penyerangan

pemerintahan pusat di Manila. Salah satu alasan utama adalah untuk mengubah ideologi dan

sistem pemerintahan Filipina yang menurut kelompok ini mudah diarahkan oleh AS.

43

militeristiknya menyatu dengan kebijakan luar negeri AS saat itu yang mendukung

pengembangan ekonomi berbasis ekspor dan memperkuat militer untuk memerangi

ancaman komunis. Hubungan baik kedua negara sebagai mitra kerja sama diawali

dengan penandatanganan perjanjian Mutual Defense Treaty pada tahun 1951. Salah

satu bentuk realisasinya terlihat pada masa pemerintahan Presiden Marcos.

Meningkatnya penumpukan pasukan militer AS yang memerangi

komunisme, terutama di Vietnam, pemerintah AS kemudian memanfaatkan

Filipina untuk membangun basis militernya. Subic Naval Base dan Clark Air Base

yang berada di wilayah Filipina bahkan dikenal sebagai basis militer AS terbesar di

dunia masa itu. Pangkalan militer AS di Filipina berfungsi sebagai landasan utama

untuk memfasilitasi perang di Vietnam, sementara komunitas warga Filipina di

sekitar basis militer diubah menjadi kawasan istirahat dan rekreasi bagi tentara AS.

Hal tersebut menciptakan ledakan aktivitas ekonomi di Filipina. Melihat kebutuhan

AS yang besar di wilayahnya, khususnya penggunaan lahan untuk kepentingan

perang, pemerintahan Presiden Marcos kemudian mulai menarik biaya sewa untuk

penggunaan lahan sebagai basis militer dan hal-hal yang berkaitan. Bantuan militer

AS ke Filipina naik dari US$ 18.500.000 pada tahun 1972 menjadi US$ 45.300.000

pada tahun 1973. Tidak hanya biaya sewa untuk lahan yang dijadikan basis militer,

namun juga tentara AS memfasilitasi pelatihan militer dan pengalihan peralatan

militer AS yang sudah tidak lagi digunakan kepada Filipina. Meskipun terlilit kasus

yang memperburuk catatan hak asasi manusia di Filipina pada dekade tersebut,

pemerintahan Marcos tetap menerima bantuan keamanan dari pemerintahan AS

yang baru di bawah Presiden Jimmy Carter (1977-1981) sejumlah US$ 500.000.000

(San Juan, 1993, hal. 4-5).

4.1.4. Corason Aquino-Benigno Aquino III (1986-2016)

Posisi Marcos digantikan oleh Corazon Aquino yang mulai menjabat pada

tahun 1986. Pada kepemimpinan Aquino, kontroversi antara pemerintah Republik

Filipina dan Amerika Serikat mengenai kompleks basis militer AS Subic Naval

Base dan Clark Air Base di Filipina terjadi tepatnya pada tahun 1992. Pangkalan

44

tersebut melayani kepentingan kedua negara secara militer, politik dan bagi

Filipina, dalam aspek ekonomi. Pada tanggal 31 Desember 1991, Presiden Corazon

Aquino memerintahkan untuk menutup kedua pangkalan militer milik AS tersebut.

Perintah Aquino tersebut merupakan hasil dari penolakan Senat Filipina atas

perjanjian basis militer AS di Filpina, yang merupakan upaya perpanjangan dari

Military Bases Agreement 1988. Hal ini sehubungan dengan konstitusi Filipina

yang mengharuskan semua basis asing di tanah Filipina harus dihapus kecuali jika

perjanjian baru disetujui untuk mengizinkan basis militer asing tersebut tetap

tinggal (Divis, 1992, hal. 1, 5-6). Penutupan dua basis terbesar AS di dunia ini

membawa kerugian yang tidak sedikit baik bagi Filipina maupun Amerika Serikat.

Kerugian Filipina dapat dilihat dari sisi ekonomi, keamanan dan sosial. Sedangkan

bagi AS, kerugian terbesar adalah pengaruh politiknya tidak hanya di Filipina

namun juga di Asia Pasifik, mengingat basis militer di Filpina adalah basis militer

terbesar AS di dunia.

Meskipun basis militer AS di Filipina telah ditutup, namun hubungan

bilateral kedua negara yang sempat tegang akibat penutupan pada tahun 1991

tersebut masih terjalin. Filipina nampaknya masih sangat bergantung pada AS

khususnya dalam bantuan militer. Pada tahun 1995, Presiden Fidel Ramos kembali

meminta bantuan AS dan mengundang sejumlah besar tentara AS ke wilayah

Filipina. Hal ini dilatar belakangi oleh respon pemerintah Filipina terkait

pembangunan bangunan-bangunan di Mischief Reef yang terletak di wilayah

sengketa, Kepulauan Spratly. Permintaan bantuan AS didasarkan oleh salah satu

poin dalam perjanjian Mutual Defense Treaty 19513. Sejak tahun 1995, hubungan

kedua negara semakin erat, khususnya dalam bidang militer. Pada tahun 1998,

kedua negara menandatangani Visiting Forces Agreement (VFA) dengan tujuan

untuk memfasilitasi pelatihan militer yang dilakukan oleh tentara AS kepada tentara

Filipina. Kebijakan Presiden Estrada ini dilakukan dalam rangka penghematan

biaya militer akibat krisis yang terjadi tahun 1997-1998. Akibat krisis tersebut,

Filipina dan negara ASEAN lainnya menderita kerugian cukup banyak. Di Filipina,

3 Penjelasan mengenai Mutual Defense Treaty 1951 ada pada halaman 49-51.

45

nilai peso turun dan mengakibatkan banyak bank dan perusahaan bangkrut,

sehingga penghematan dalam berbagai bidang perlu dilakukan pemerintah. Namun,

dibandingkan tetangganya yakni Indonesia dan Thailand, ekonomi Filipina lebih

cepat pulih dari berbagai kerugian akibat krisis moneter dunia saat itu.

Memasuki tahun 2000an, tantangan global menjadi alasan utama kerekatan

antara Filipina dan Amerika Serikat. Serangan kelompok teroris di AS pada tanggal

9 September 2001 merubah fokus kebijakan luar negeri dan dalam negeri AS. Tidak

hanya di AS, terorisme dan gerakan-gerakan serupa juga berkembang di Filipina

melalui pemberontakan kelompok Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Sulu.

Kebijakan Bush untuk memerangi terorisme juga berdampak pada kerja sama

kedua negara. Pada tahun 2002, Filipina dan AS menandatangani Mutual Logistic

Support Agreement (MLSA). Di bawah pemerintahan Gloria Macapagal Arroyo,

perjanjian kedua pihak direalisasikan melalui pelatihan militer khususnya teknik-

teknik counter-terrrorism serta penyediaan berbagai bantuan berupa teknologi dan

senjata. Hubungan kedua negara khususnya dalam bidang militer kembali

bersinggungan dengan isu sengketa kepulauan Spratly di Laut China Selatan pada

pemerintahan Presiden Benigno Aquino III tahun 2010. Menanggapi posisi China

terkait pendudukan di wilayah sengketa, pemerintah Filipina memilih tindakan

militer dengan bantuan AS. Kebijakan luar negeri Filipina bersinggungan dengan

kebijakan luar negeri AS yang saat itu berada di bawah rezim Presiden Barack

Obama. Kebijakan pivot to Asia Presiden Obama memberikan Filipina, sebagai

mitra kerja sama tradisional, kesempatan untuk bekerja sama mengatasi sengketa

tersebut. Hingga pada tahun 2014, kedua negara menandatangani Enhanced

Defense Cooperation Agreement (EDCA). Perjanjian ini memperbolehkan AS

untuk mengakses fasilitas militer Filipina serta akses wilayah, izin pemerintah

Filipina untuk membangun kembali basis militer dan mempertimbangkan sebuah

basis militer AS permanen di Filipina (Amador III., et.al, 2015, hal. 3).

46

4.2. Bentuk-bentuk Kerja Sama/Agreements antara Filipina-Amerika Serikat

Pasca meraih kemerdekaan pada tahun 1946, Republik Filipina mulai

menghadapi berbagai tantangan politik baik dalam dan luar negeri yang berdampak

pada aspek penting yakni ekonomi dan keamanan. Sebagai negara yang baru

merdeka, tidak mudah bagi Filipina untuk secara mandiri mengatur dan

melaksanakan pemerintahannya secara domestik maupun berperan aktif dalam

ranah politik internasional. Kondisi politik internasional pasca Perang Dunia II

memaksa negara-negara untuk melindungi kedaulatan dan eksistensinya dalam

politik internasional, begitu juga dengan Filipina. Lama berada di bawah koloni

bangsa Amerika ternyata berpengaruh terhadap arah kebijakan dan politik luar

negeri Filipina pasca kemerdekaan. Berdasarkan fakta bahwa AS adalah salah satu

negara pemenang Perang Dunia II dan kedekatannya dengan Filipina, membawa

keuntungan tersendiri bagi Filipina dalam bidang politik, keamanan dan bahkan

ekonomi & perdagangan. Fokus pemerintah Filipina pasca kemerdekaan bersifat

domestic approaches. Tidak bisa dihindari, sebagai negara yang baru merdeka,

pembangunan dalam bidang ekonomi, menetralisir politik domestik serta

kesejahteraan rakyat merupakan hal-hal krusial yang harus diperjuangkan.

Sebagai salah satu instrumen untuk mewadahi kepentingan domestik

Filipina, pemerintah saat itu mengambil beberapa langkah konkrit dalam bentuk

kerja sama luar negeri. Mitra kerja sama pemerintah saat itu, tidak lain dan tidak

bukan, adalah Amerika Serikat. Alasan utama keterlibatan AS dalam pembangunan

Filipina pasca kemerdekaan adalah perluasan ekspansi negara adidaya tersebut ke

Asia pasca menang dalam Perang Dunia II. Dalam dekade terakhir, Filipina

menjadi negara sebagai penerima bantuan luar negeri terbesar AS di Asia Tenggara

dalam dua bidang utama, yakni keamanan dan perkembangan ekonomi. Berikut

penulis memaparkan jumlah bantuan asing AS dalam bidang keamanan dan

ekonomi pembangunan.

47

Tabel 4.2

Jumlah bantuan luar negeri Amerika Serikat kepada negara-negara di Asia

Tenggara tahun 2007-2017

Negara Bantuan Keamanan Bantuan Perkembangan

Ekonomi

Filipina US$ 527,007,683 US$ 90,925,047

Indonesia US$ 244,686,641 US$ 73,774,522

Vietnam US$ 118,316,977 US$ 53,733,734

Malaysia US$ 104,088,984 US$ 3,549,041

Kamboja US$ 65,712,327 US$ 26,457,387

Myanmar US$ 66,090,236 US$ 21,151,866

Laos US$ 68,209,438 US$ 11,409,967

Thailand US$ 65,349,395 US$ 2,718,798

Singapura US$ 10,798,792 US$ 1,656,477

Brunei

Darusalam US$ 520,351 -

Sumber: https://explorer.usaid.gov/cd

Kebijakan luar negeri Filipina yang diimplementasikan dalam kerangka

kerja sama dengan AS dapat dilihat dalam berbagai bidang. Dalam tulisan ini,

penulis membaginya dalam dua bidang penting yakni, bidang politik dan

keamanan; dan bidang ekonomi dan perdagangan. Meskipun hubungan bilateral

tidak terbatas pada ekonomi dan politik & keamanan, namun penulis hanya

mengangkat dua bidang tersebut. Alasan tersebut karena kedua bidang terkait

merupakan bidang penting yang menjadi fondasi kuat kerja sama bilateral kedua

negara dalam bidang lainnya.

48

4.2.1. Politik dan Keamanan

Kerja sama dalam bidang politik dan keamanan – terutama bidang

keamanan – antara Filipina dan AS bermula dan terus menguat sejak

penandatanganan Mutual Defense Treaty (MDT) pada tahun 1951. Bantuan militer

AS ke Filipina yang terus berkembang bertujuan untuk membantu Filipina untuk

mengalihkan fokus tidak hanya pada keamanan domestik namun juga ancaman dari

pihak luar, terutama dalam bidang maritim. Ada beberapa perjanjian dan kerja sama

militer kedua negara yang dianggap sebagai kerja sama yang bernilai penting baik

dari sudut pandang Filipina maupun AS.

4.2.1.1.Mutual Defense Treaty (MDT) 1951

Ketakutan negara-negara pasca Perang Dunia II adalah pendudukan dan

sengketa wilayah dengan negara lain yang dapat mengancam kedaulatannya.

Mutual Defense Treaty 1951 antara Filipina dan AS diciptakan atas alasan tersebut.

Perjanjian tersebut merupakan fondasi kemanan bilateral, meskipun tidak secara

eksplisit mewajibkan AS untuk membela dan mempertahankan kawasan maritim

yang diperdebatkan oleh Filipina dengan negara lain, meskipun pada awal tahun

1990an beberapa pejabat Filipina dan AS menyarankan agar perjanjian tersebut

mewajibkan AS untuk membela Filipina dari berbagai ancaman luar negeri.

Secara inplisit, perjanjian ini merupakan kesepakatan dasar yang

menekankan komitmen bersama untuk menyelesaikan sengketa dan perselisihan

internasional secara damai, terpisah atau bersama-sama mengembangkan kapasitas

untuk melawan serangan yang mengancam integritas teritorial kedua negara – lebih

khususnya Filipina – dari ancaman serangan di Asia Pasifik. Perjanjian ini

didasarkan pada Piagam PBB, di mana penyelesaian perselisihan atau sengketa

dapat melibatkan pihak lain dengan cara-cara damai sehingga perdamaian

internasional tetap terjaga. Berdasarkan Pasal VIII MDT 1951, perjanjian ini

berlaku tanpa batas waktu, namun salah satu pihak dapat membatalkan perjanjian

ini setelah satu tahun pemberitahuan kepada pihak lain. Konsep kerja sama

49

keamanan yang dibangun oleh perjanjian ini dapat dengan mudah dilihat dari Pasal

II hingga Pasal IV:4

ARTICLE II. In order more effectively to achieve the objective of this

Treaty, the Parties separately and jointly by self-help and mutual aid

will maintain and develop their individual and collective capacity to

resist armed attack.

ARTICLE III. The Parties, through their Foreign Ministers or their

deputies, will consult together from time to time regarding the

implementation of this Treaty and whenever in the opinion of either of

them the territorial integrity, political independence or security of

either of the Parties is threatened by external armed attack in the

Pacific.

ARTICLE IV. Each Party recognizes that an armed attack in the

Pacific area on either of the Parties would be dangerous to its own

peace and safety and declares that it would act to meet the common

dangers in accordance with its constitutional processes.

Perjanjian ini yang kemudian menjadi dasar bagi kedua negara dalam

pembentukan kerja sama dalam bidang pertahanan khususnya penyelesaian dan

bantuan militer dalam sengketa wilayah di Filipina pada tahun 1995 dan 2014, saat

penyelesaian sengketa di Kepulauan Spratly antara Filipina dan China.

4.2.1.2.Military Base Agreement (MBA) 1947

Military Base Agreement 1947 merupakan perjanjian antara Filipina dan AS

terkait keberadaan basis militer AS di wilayah kedaulatan Filipina. Perjanjian ini

ditandatangani di Manila pada tanggal 14 Maret 1947 dan kurang dari dua minggu

setelahnya, tentara AS memasuki wilayah yang menjadi kesepakatan untuk

membangun basis militer AS. Ada dua wilayah terbesar yakni wilayah Subic

sebagai basis angkatan laut, dan Clark sebagai basis angkatan udara. Lokasi Subic

Naval Base berada di garis laut yang strategis dengan Laut China Selatan, Selat

Malaka, Selat Sunda dan Lombok. Dari basis angkatan laut di Subic, armada

4 Official Gazette, Agustus 1951, (http://www.officialgazette.gov.ph/1951/08/30/mutual-defense-

treaty-between-the-republic-of-the-philippines-and-the-united-states-of-america-august-30-1951/)

diakses pada tanggal 10 Oktober 2017 pukul 13.00 WIB.

50

angkatan laut AS dapat memberikan bantuan ke negara-negara sekutu yang

bersedia melakukan perjanjian kerja sama pertahanan laut dengan AS. Sedangkan

Clark Air Base berfungsi sebagai markas angkatan udara yang menyediakan

fasilitas perawatan dan perbaikan pesawat AS yang terbang di Pasifik Barat, serta

berfungsi sebagai pusat logistik utama di Samudra Hindia. Dalam sudut pandang

Amerika, salah satu tujuan basis-basis di Filipina adalah untuk menunjukkan tekad

AS dalam melindungi negara-negara regional di Asia dari agresi luar yang mungkin

terjadi, serta memberi kemudahan dalam pendistribusian dukungan logistik kepada

pasukan AS yang dikerahkan dalam operasi di Asia Tenggara dan Samudra Hindia

(Divis, 1992, hal. 13-15). Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa dibalik

keinginan untuk memberikan bagi negara-negara yang membutuhkan bantuan

dalam bidang pertahanan, keberadaan AS di Filipina merupakan pintu gerbang

ekspansi secara militer maupun politik – dalam hal penyebaran ideologi – dan

ekonomi di Asia Tenggara.

Dua basis militer AS di Filipina saat itu diyakini sebagai basis militer

terbesar AS di dunia. Bagi Filipina, basis militer AS membawa beberapa

keuntungan salah satunya, yang sudah di jelaskan pada bagian sebelumnya,

bagaimana basis militer AS di Filipina membawa keuntungan ekonomi yang besar

bagi Filpina. Namun pada tahun 1992, kedua basis militer AS di Filipina harus

ditutup berdasarkan pertimbangan Senat Filipina mengenai keberadaan basis

militer asing di wilayah Filipina. Namun hal tersebut tidak sepenuhnya memutus

ikatan kerja sama antara kedua negara. Beberapa tahun berselang AS kembali

membantu Filipina dalam sengketa laut dengan China, bantuan tersebut didasarkan

pada Mutual Defense Treaty 1951.

4.2.1.3.Visiting Forces Agreement (VFA) 1998

Memasuki akhir 1990an negara-negara diperhadapkan dengan krisis

ekonomi yang mempengaruhi situasi politik dan keaman domestik. Kebangkitan

gerakan-gerakan separatis di Mindanao membuat pemerintah Filipina mengambil

kebijakan militer untuk menekan perluasan doktrin-doktrin yang disebarkan oleh

51

kelompok MILF yang berkembang menjadi kelompok teror Abu Sayyaf Group

(AFG). Untuk itu pemerintah Filipina, lagi-lagi, bekerja sama dengan AS dalam

Visiting Forces Agreement untuk penyediaan latihan militer. Perjanjian ini

memungkinkan pasukan AS dan Filpina untuk melakukan pelatihan militer

bersama (Albert, 2016, hal. 2). Sebagai bukti nyata, perjanjian ini melahirkan

beberapa pelatihan militer bersama yakni Balikatan, The Joint Special Operations

Task Force–Philippines, dan Cooperation Afloat Readiness and Trainng (CARAT)

and Amphibious Landing Exercise (PHIBLEX):

Balikatan merupakan pelatihan militer gabungan yang paling

komprehensif di antara pelatihan gabungan militer lainnya. Dengan

tujuan untuk mengembangkan kesiapan tempur Filipina, latihan ini

semakin diarahkan untuk membangun kapasitas Filipina untuk

mempertahankan diri dalam sengketa teritori dalam beberapa dekade

terakhir. Pada awal pembentukkan, Balikatan berperan penting dalam

pendistribusian tentara yang tergabung dalam AFP untuk melawan

kelompok teror dan pemberontak di Mindanao. Pada bulan Mei 2014,

Balikatan pertama setelah penandatanganan Enhanced Defense

Cooperation Agreement antara Filipina dan AS diadakan dan

melibatkan 3.000 tentara AFP dan 2.500 tentara AS. Pelatihan dilakukan

di sejumlah wilayah dengan melibatkan manuver angkatan laut, udara

dan darat serta pelatihan dalam bantuan kemanusiaan seperti

penaggulangan korban massal (Lum & Dolven, 2014, hal. 13).

JSOTF-P didirikan pada tahun 2002, saat Presiden Arroyo dan Bush (Jr)

menyetujui pengerahan personil militer AS untuk melatih dan

membantu AFP melawan ASG dan merupakan bagian dari Operation

Enduring Freedom dalam memerangi terorisme. Sesuai dengan

larangan Konstitusi Filipina mengenai pasukan tempur asing yang

beroperasi di dalam negeri dan atas alasan kedaulatan, kedua negara

kemudian bersepakat bahwa pasukan AS hanya akan memainkan peran

bawahan, yang bergerak atas arahan AFP. Operasi yang didasarkan pada

52

upaya counter-terrorism ini berjalan bersama dengan bantuan

pembangunan, dan telah membantu mengurangi jumlah anggota ASG

(Farris, 2009, hal. 29-31). Meskipun dalam beberapa tahun terakhir

aktivitas kelompok ini terus berkembang, namun demikian juga dengan

upaya yang dilakukan oleh pemerintah Filipina melalui AFP di Sulu.

Latihan militer gabungan lainnya adalah CARAT dan PHIBLEX. Pada

bulan Juni 2013, angkatan laut AS dan AFP melibatkan kurang lebih

1.000 tentara dalam latihan gabungan di kawasan Scarborough dan

Second Thomas, yang mana menjadi wilayah sengketa antara Filipina

dengan China. Pelatihan yang direncanakan sejak 2010 baru berjalan

pada tahun 2013 melalui partisipasi sekitar 2.300 marinir Filipina dan

AS (Lum & Dolven, 2014, hal. 15).

4.2.1.4.Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA) 2014

Selama kunjungan Presiden Obama, di bawah kepemimpinan Presiden

Benigno Aquino III kedua negara menandatangani Enhanced Defense Cooperation

Agreement pada tahun 2014. Perjanjian ini memungkinkan akses AS yang lebih

besar ke fasilitas militer Filpina, serta peningkatan kerja sama di bidang bantuan

kemanusiaan dan bantuan bencana alam. EDCA juga diharapkan dapat membantu

dan melengkapi modernisasi angkatan bersenjata di Filipina. Hubungan pertahanan

yang ditingkatkan antara Filipina dan AS, serta merta mengundang keinginan

negara Asia Tenggara lainnya untuk bekerja sama dengan AS. Hal ini merupakan

respon dari pergeseran lingkungan geopolitik di kawasan ini. Vietnam dan AS

misalnya telah secara resmi mengumumkan kerjasama pertahanan pada Juni 2015,

sementara Singapura menyambut baik penggunaan wilayah lautnya sebagai

wilayah rotasi US Navy Pasific Fleet (Amador III, et.al., 2015, hal.3).

4.2.2. Ekonomi dan Perdagangan

Secara ekonomi, kerja sama kedua negara – sebagai negara berdaulat – telah

berlangsung pasca kemerdekaan Filipina. Pada bagian sebelumnya, penulis telah

53

memaparkan bantuan-bantuan AS yang berupa bantuan dana kepada Filipina.

Seiring berjalannya waktu, sebagai negara yang berdaulat, Filipina sudah mampu

menentukan arah kebijakan luar negerinya terutama tekait kerja sama dengan

Filipina. Selain bantuan-bantuan finansial yang diberikan AS kepada Filipina, ada

dua kerangka kerja sama dan perjanjian penting kedua negara dalam bidang

ekonomi khususnya perdagangan. Bantuan finansial yang difasilitasi oleh AS

hampir dirasakan masyarakat Filipina pada setiap masa kepemimpinan di negara

yang saat ini dipimpin oleh Duterte tersebut. Kerja sama perdagangan tersebut

adalah Bell Trade Act dan Trade and Invvesment Framework Agreement (TIFA).

4.2.2.1.Bell Trade Act 1946

Bell Trade Act yang juga dikenal dengan Philippine Trade Act 1946

merupakan undang-undang yang disahkan oleh Kongres AS yang mencakup

ketentuan-ketentuan yang mengikat ekonomi Filipina dengan Amerika Serikat.

Merdekanya Filipina pada tahun 1946, membuat perekonomian negara ini tidak

dapat dihindari dari kehancuran oleh Perang Dunia II. Bell Act menetapkan kuota

atas ekspor Filipina ke AS, mematok harga peso Filipina ke dolar AS pada

perbandingan 2:1, dan memberikan perdagangan bebas antara kedua negara selama

delapan tahun, diikuti dengan penerapan tarif secara bertahap untuk 20 tahun

kedepan dengan tarif 5%.5 Bell Trade Act juga mewajibkan Konstitusi Filipina di

revisi untuk menyediakan akses yang setara kepada warga AS di Filipina terhadap

sumber daya alam yang ada di negara tersebut serta memperbolehkan AS untuk

mengimpor berbagai produk dari Filipina tanpa pajak import. Namun setelah

banyak menuai protes dari kelompok nasionalis Filipina, Bell Act kemudian

digantikan dengan Laurel-Langley Agreement yang bertujuan untuk mengontrol

nilai tukar peso, memperpenjang kuota impor gula, dan memperpanjang jangka

waktu pengurangan kuota lainnya dan secara progresif menerapkan biaya untuk

barang-barang Filipina yang diekspor ke AS (Nadeau, 2008, hal. 68-69).

5 Encyclopedia Britannica. Bell Trade Act 1946 (https://www.britannica.com/event/Bell-Trade-

Act) diakses pada tanggal 11 Oktober 2017 pukul 15.00 WIB.

54

4.2.2.2.Trade and Invvesment Framework Agreement (TIFA) 1989

TIFA merupakan kerangka kerja sama ekonomi bilateral yang disetujui

Filipina dan AS di tahun 1989. Melalui perjanjian ini kedua negara sepakat untuk

bekerja sama dan mendorong perdagangan bebas, adil, dan seimbang antara kedua

negara, termasuk penghapusan hambatan perdagangan dan merangsang

peningkatan perdagangan. Di bawah TIFA, kedua negara juga menandatangani

kesepakatan tentang protokol jaminan bea cukai dan perdagangan (2010), kerja

sama untuk menghentikan pengiriman tekstil dan pakaian jadi yang ilegal (2006),

penerapan komitmen akses minimum oleh Filipina (1998). Selama dekade terakhir,

perdagangan dua arah antara Filipina dan AS tumbuh lebih dari 25%. Pada tahun

2016, ekspor AS ke Filipina meningkat 9% menjadi US$ 8.3 miliar, dengan

kategori ekspor teratas seperti mesin listrik, mesin, sereal, pesawat terbang, dan

tepung kedelai. Layanan ekspor AS ke Filipina meningkat lebih dari 60% sejak

2006 dan sekarang berjumlah US$ 2,5 miliar. Pada tahun 2016, Filipina merupakan

pasar ekspor barang terbesar ke-31 AS. Sementara investasi langsung luar negeri

(Foreign Direct Investment/FDI) AS di Filipina adalah US$ 4.7 miliar pada tahun

2015 dan investasi Filipina di AS sejumlah US$1,2 miliar tahun 2015.6

Untuk mempermudah pembaca memahami bentuk kerja sama antara

Filipina dan Amerika Serikat hingga pemerintahan Benigno Aquino III –

pemerintahan sebelum Duterte – maka penulis merangkumnya dalam bentuk tabel

di bawah ini.

6 Office of the United States Trade Representative (https://ustr.gov/countries-regions/southeast-

asia-pacific/philippines) diakses pada tanggal 11 Oktober 2017 pukul 15.30 WIB.

55

Tabel 4.3

Bentuk-bentuk kerja sama antara Filipina dan Amerika Serikat (1946-2015)

Tahun Presiden Filipina Presiden Amerika Serikat Bidang Penguatan Kerja Sama

1946 Sergio Osmena

Harry Truman

Ekonomi

1947 Manuel Roxas Militer dan Keamanan

1950-1951 Elpidio Quirino Militer dan Keamanan

1953 Ramon Magsaysay

Pembangunan pasca PD II 1957 Carlos Garcia Dwight Eisenhower

1961 Diosdado Macapagal

1965 Ferdinand Marcos

Lyndon Johnson Militer dan Keamanan

1972-1973 Jimmy Carter

1989 Corazon Aquino Ronald Reagan Ekonomi

1995 Fidel Ramos Bill Clinton

Militer dan Keamanan

1998 Joseph Estrada Militer dan Keamanan

2002 Gloria Macapagal-

Arroyo Geoge Bush Jr. Militer dan Keamanan

2014 Benigno Aquino III Barrack Obama Militer dan Keamanan

Selama lebih dari seratus tahun hubungan antara Filipina dan Amerika

Serikat mengalami dinamika. Pasca merdeka dari kolonisasi bangsa AS pada tahun

1946, hubungan kedua negara semakin berkembang ke arah kerja sama bilateral

antara negara berdaulat. Setiap kepemimpinan presiden Filipina mengusung

kebijakan yang berbeda atas hubungan bilateral dengan Amerika Serikat. Namun

selama kurang lebih 70 tahun pasca kemerdekaan Filipina, hubungan kedua negara

terjalin dengan baik melalui kerja sama di bidang pertahanan dan keamanan,

ekonomi dan perdagangan, dan berbagai bantuan di bidang sosial. Penulis melihat

bahwa hubungan bilateral Filipina dan AS juga memiliki sifat ketergantungan.

Filipina bergantung pada AS dalam bidang keamanan, ekonomi, dan bantuan-

bantuan sosial, sedangkan AS bergantung pada Filipina untuk menyebarkan

pengaruh politik AS di Asia Pasifik.

56

Namun berbeda dengan kepemimpinan Presiden Duterte yang dimulai pada

tahun 2016. Beliau melihat bahwa ketergantungan Filipina terhadap AS selama 70

tahun sebagai negara yang merdeka bukanlah hal yang harus dipertahankan.

Berbeda dengan kepemimpinan presiden-presiden sebelumnya yang mendekatkan

diri dengan AS melalui berbagai kerja sama bilateral, pada tahun 2016 Duterte

memilih untuk mengurangi pengaruh dan ketergantungan Filipina kepada Amerika

Serikat.