bab iv pembangunan ekonomi a. umum - bappenas.go.id · bab iv pembangunan ekonomi a. umum secara...

55
BAB IV PEMBANGUNAN EKONOMI A. UMUM Secara keseluruhan pada tahun 2002, perekonomian Indonesia menunjukkan ketahanannya dalam menghadapi berbagai tekanan, baik menghadapi kondisi ekonomi global yang kurang menguntungkan maupun tekanan yang timbul paska tragedi bom Bali. Hal ini tercermin pada stabilitas ekonomi yang semakin mantap dalam tahun 2002. Namun peningkatan stabilitas ekonomi dan kinerja perbankan belum berhasil mempercepat proses pemulihan ekonomi pada tahun 2002. Hal ini terutama terkait dengan pertumbuhan investasi dan ekspor yang kurang menggembirakan. Konsistensi kebijakan moneter dalam mengendalikan berbagai besaran moneter dan kedisiplinan pengelolaan kebijakan fiskal serta didukung oleh beberapa kemajuan yang dicapai dalam restrukturisasi ekonomi selama tahun 2002, telah memberikan iklim yang kondusif bagi stabilitas ekonomi. Kestabilan tersebut antara lain tercermin pada tingkat inflasi yang turun cukup tajam dan nilai tukar rupiah yang menguat secara signifikan dengan pergerakan yang stabil. Terkendalinya nilai tukar dan laju inflasi dalam tahun 2002 memberikan ruang gerak bagi kebijakan moneter untuk secara bertahap menurunkan suku bunga SBI dalam rangka memberikan sinyal yang positif bagi proses pemulihan ekonomi. Sinyal penurunan suku bunga SBI tersebut diikuti dengan penurunan suku bunga simpanan perbankan secara signifikan, namun belum sepenuhnya diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan. Meskipun belum optimal, iklim yang positif melalui penurunan suku bunga ini telah dimanfaatkan oleh perbankan untuk melakukan restrukturisasi kredit, memperkuat struktur permodalan, dan meningkatkan penyaluran kredit, terutama yang berjangka waktu relatif pendek. Di sektor riil, kondisi moneter yang stabil telah memberikan kesempatan kepada dunia usaha untuk melakukan restrukturisasi keuangan secara internal serta membantu masyarakat dalam mempertahankan tingkat konsumsinya. Penurunan suku bunga juga telah mendorong perusahaan yang mempunyai reputasi baik untuk mencari alternatif pembiayaan dari pasar keuangan. Membaiknya stabilitas ekonomi serta berbagai kebijakan perbankan telah mendorong perbaikan kinerja perbankan di tahun 2002. Perbaikan tersebut tercermin dari peningkatan dana pihak ketiga, perbaikan kondisi permodalan (Capital Adequacy Ratio/CAR) serta peningkatan kualitas aset seperti tercermin dalam penurunan rasio Non Performing Loans (NPLs). Dana pihak ketiga meningkat dari Rp797,4 triliun di tahun 2001 menjadi Rp835,8 triliun di tahun 2002. Sementara itu, CAR meningkat dari 20,5 persen menjadi 22,5 persen dan NPLs mengalami perbaikan dari 12,1 persen di tahun 2001 menjadi 8,3 persen pada tahun 2002. IV – 1

Upload: lamduong

Post on 28-Apr-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB IV

PEMBANGUNAN EKONOMI

A. UMUM

Secara keseluruhan pada tahun 2002, perekonomian Indonesia menunjukkan ketahanannya dalam menghadapi berbagai tekanan, baik menghadapi kondisi ekonomi global yang kurang menguntungkan maupun tekanan yang timbul paska tragedi bom Bali. Hal ini tercermin pada stabilitas ekonomi yang semakin mantap dalam tahun 2002. Namun peningkatan stabilitas ekonomi dan kinerja perbankan belum berhasil mempercepat proses pemulihan ekonomi pada tahun 2002. Hal ini terutama terkait dengan pertumbuhan investasi dan ekspor yang kurang menggembirakan.

Konsistensi kebijakan moneter dalam mengendalikan berbagai besaran moneter dan kedisiplinan pengelolaan kebijakan fiskal serta didukung oleh beberapa kemajuan yang dicapai dalam restrukturisasi ekonomi selama tahun 2002, telah memberikan iklim yang kondusif bagi stabilitas ekonomi. Kestabilan tersebut antara lain tercermin pada tingkat inflasi yang turun cukup tajam dan nilai tukar rupiah yang menguat secara signifikan dengan pergerakan yang stabil.

Terkendalinya nilai tukar dan laju inflasi dalam tahun 2002 memberikan ruang gerak bagi kebijakan moneter untuk secara bertahap menurunkan suku bunga SBI dalam rangka memberikan sinyal yang positif bagi proses pemulihan ekonomi. Sinyal penurunan suku bunga SBI tersebut diikuti dengan penurunan suku bunga simpanan perbankan secara signifikan, namun belum sepenuhnya diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan. Meskipun belum optimal, iklim yang positif melalui penurunan suku bunga ini telah dimanfaatkan oleh perbankan untuk melakukan restrukturisasi kredit, memperkuat struktur permodalan, dan meningkatkan penyaluran kredit, terutama yang berjangka waktu relatif pendek. Di sektor riil, kondisi moneter yang stabil telah memberikan kesempatan kepada dunia usaha untuk melakukan restrukturisasi keuangan secara internal serta membantu masyarakat dalam mempertahankan tingkat konsumsinya. Penurunan suku bunga juga telah mendorong perusahaan yang mempunyai reputasi baik untuk mencari alternatif pembiayaan dari pasar keuangan.

Membaiknya stabilitas ekonomi serta berbagai kebijakan perbankan telah mendorong perbaikan kinerja perbankan di tahun 2002. Perbaikan tersebut tercermin dari peningkatan dana pihak ketiga, perbaikan kondisi permodalan (Capital Adequacy Ratio/CAR) serta peningkatan kualitas aset seperti tercermin dalam penurunan rasio Non Performing Loans (NPLs). Dana pihak ketiga meningkat dari Rp797,4 triliun di tahun 2001 menjadi Rp835,8 triliun di tahun 2002. Sementara itu, CAR meningkat dari 20,5 persen menjadi 22,5 persen dan NPLs mengalami perbaikan dari 12,1 persen di tahun 2001 menjadi 8,3 persen pada tahun 2002.

IV – 1

Pemulihan fungsi intermediasi perbankan juga masih terus berlangsung. Hal ini tercermin pada peningkatan penyaluran kredit baru, termasuk kredit untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM), peningkatan Loan to Deposit Ratio (LDR), dan perubahan komposisi aktiva produktif perbankan. Kredit baru meningkat dari Rp62,3 triliun di tahun 2001 menjadi Rp93,0 di tahun 2002, termasuk kredit untuk UKM yang mencapai Rp32,7 triliun atau merupakan 41,1 persen dari total kredit yang disalurkan. Sementara itu, LDR mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya sebesar 33,0 persen menjadi 38,2 persen pada tahun 2002. Sedangkan aktiva produktif mengalami pergeseran dengan porsi kredit meningkat dari 34,8 persen menjadi 40,1 persen dan porsi obligasi mengalami penurunan dari 38,5 persen manjadi 35,2 persen.

Berbagai permasalahan internal dan eksternal masih menghambat pemulihan kegiatan investasi dan ekspor. Di sisi internal, masih dijumpai permasalahan struktural antara lain menyangkut masalah ketidakpastian di bidang hukum, regulasi investasi dan perburuhan, otonomi daerah, peran yang tumpang tindih (penyatuan), serta faktor keamanan dalam negeri yang belum kondusif. Sementara itu, di sisi eksternal juga terdapat kendala berupa ketidakpastian perekonomian global dan meningkatnya persaingan di Asia dalam menarik investasi asing.

Menghadapi tantangan tersebut, dalam rangka terus meningkatkan stabilitas ekonomi dan mendukung pemulihan ekonomi di tahun 2003 dan 2004, pengembangan kebijakan terobosan dan peningkatan efektivitas kebijakan di bidang fiskal, moneter, perbankan, dan kebijakan sektor riil sangat penting. Berikut adalah perkembangan keadaan, permasalahan, dan arah kebijakan di masing-masing bidang/sektor.

Di bidang fiskal, di tahun 2003, upaya menciptakan kesinambungan fiskal ditempuh dengan mengupayakan penerimaan perpajakan menjadi 13,1 persen PDB pada tahun 2003. Selanjutnya, mengendalikan belanja negara dengan menurunkan secara bertahap beban subsidi dari 2,4 persen PDB pada tahun 2002 menjadi 1,3 persen PDB. Langkah yang lain adalah mempertajam prioritas pengeluaran pembangunan, baik dana yang dikelola pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dengan rencana tersebut, defisit APBN pada tahun 2003 diharapkan sekitar 1,8 persen PDB.

Pada tahun 2004, masalah yang dihadapi adalah menurunkan lebih lanjut defisit APBN dan stok hutang pemerintah untuk menciptakan kesinambungan fiskal dalam jangka menengah. Untuk menurunkan defisit ditempuh upaya peningkatan penerimaan negara dan pengendalian belanja negara. Permasalahan yang menonjol dalam pengelolaan utang pemerintah, terutama utang dalam negeri, adalah besarnya utang yang jatuh tempo antara tahun 2004-2009. Agar tidak terlalu memberatkan kondisi keuangan negara, berbagai langkah kebijakan ditempuh untuk menyeimbangkan beban pokok utang yang akan jatuh tempo melalui kegiatan pembiayaan kembali (refinancing), penjadwalan profil jatuh tempo (reprofiling), pembelian kembali (buyback), dan program pertukaran untuk memperpanjang rata-rata jatuh tempo portofolio utang pemerintah.

Sementara itu, upaya penjualan aset program restrukturisasi perbankan juga akan berakhir pada tahun 2004. Hal ini berarti kemampuan keuangan negara untuk membiayai defisit APBN akan semakin terbatas. Disamping itu, upaya melakukan

IV – 2

privatisasi BUMN juga diperkirakan akan mengalami hambatan dengan berkembangnya berbagai permasalahan dalam privatisasi BUMN.

Hal lainnya yang juga diperkirakan akan memberatkan kondisi keuangan negara adalah kemungkinan tidak akan diperolehnya rescheduling pinjaman luar negeri pemerintah pada tahun 2004 yang selama ini dilakukan melalui Paris Club. Di samping itu, perlu dirumuskan kesepakatan kebijakan sebagai pengganti dari Letter of Intent (LOI) yang selama ini dilakukan melalui program IMF. Hal ini dapat menimbulkan kesenjangan pembiayaan defisit (financing gap).

Di bidang moneter, pada tahun 2002, stabilitas moneter terus meningkat. Nilai tukar rupiah terus menguat hingga rata-rata mencapai Rp9.316,00 per dolar AS dari rata-rata sebesar Rp10.255,00 tahun sebelumnya. Disamping itu, pergerakan nilai tukar juga relatif stabil seperti tercermin dari volatilitasnya yang cenderung menurun.

Menguatnya nilai tukar rupiah yang didukung oleh stabilitas politik dan keamanan turut membantu mengendalikan harga rata-rata barang dan jasa. Laju inflasi selama tahun 2002 mencapai 10,0 persen, lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2001 yang mencapai 12,6 persen.

Menurunnya laju inflasi sepanjang tahun 2002 memberi ruang bagi penurunan suku bunga. Secara bertahap suku bunga rata-rata tertimbang SBI 1 dan 3 bulan menurun hingga mencapai 12,9 persen dan 13,1 persen pada akhir tahun 2002, lebih rendah dibandingkan akhir tahun sebelumnya yang masing-masing mencapai 17,6 persen. Penurunan suku bunga ini kemudian diikuti oleh penurunan suku bunga deposito. Pada periode yang sama, suku bunga deposito 1 dan 3 bulan menurun dari 17,62 persen dan 13,12 persen menjadi 12,81 persen dan 13,63 persen pada akhir tahun 2002. Sementara itu suku bunga kredit modal dan kredit investasi hanya menurun dari 19,2 persen dan 17,9 persen menjadi 18,3 persen dan 17,8 persen dalam periode yang sama.

Meskipun secara keseluruhan stabilitas ekonomi dan moneter pada tahun 2002 menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, namun proses pemulihan ekonomi masih berjalan lambat. Perekonomian Indonesia hanya tumbuh 3,7 persen; lebih rendah dari sasaran yang diinginkan yaitu sekitar 4,0 persen. Tidak tercapainya sasaran pertumbuhan ekonomi tahun 2002 disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, melambatnya proses pemulihan ekonomi dunia sebagai akibat merebaknya kasus keuangan dan auditing di beberapa perusahaan besar di AS serta meningkatnya kekuatiran terhadap pecahnya konflik terbuka di Timur Tengah. Kedua, masih rendahnya kepercayaan masyarakat tercermin dari masih lemahnya minat investasi; lambatnya restrukturisasi utang perusahaan; dan belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan.

Dalam tahun 2003 ini, stabilitas ekonomi dan moneter diharapkan terus meningkat. Hingga akhir triwulan I/2003, nilai tukar rupiah relatif stabil dan mencapai Rp8.902,- per dolar AS. Sejalan dengan penguatan nilai tukar rupiah serta lancarnya distribusi barang dan jasa serta terkendalinya jumlah uang beredar maka laju inflasi selama tiga bulan pertama tahun 2003 mencapai 7,12 persen.

IV – 3

Walaupun stabilitas ekonomi dan moneter diperkirakan akan terus membaik, namun masih terdapat berbagai tantangan yang dapat mengganggu proses pemulihan ekonomi di tahun 2004 antara lain: (i) masih rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi akibat dari masih rendahnya minat investasi terutama investasi dalam negeri, lambatnya proses restrukturisasi utang perusahaan; serta belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan, (ii) meningkatnya ketidakpastian politik dan keamanan menjelang Pemilu 2004 yang selanjutnya dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat dan menganggu proses pemulihan ekonomi.

Untuk mengatasi kemungkinan timbulnya permasalahan tersebut serta untuk tetap memelihara stabilitas ekonomi, langkah–langkah kebijakan yang akan ditempuh selama tahun 2004 adalah: (1) Memelihara stabilitas ekonomi melalui koordinasi kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil yang makin baik dan terpadu. Langkah ini ditempuh agar momentum pemulihan ekonomi yang sudah dicapai sampai tahun 2002 ini dan percepatan yang akan didorong tidak terganggu oleh gejolak baru yang dapat membahayakan kepastian usaha pada khususnya dan ketahanan ekonomi pada umumnya; (2) Mengupayakan iklim investasi yang lebih kondusif agar investasi mampu menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan yaitu pertumbuhan ekonomi yang mampu memecahkan masalah-masalah sosial mendasar terutama pengangguran dan kemiskinan.

Sementara itu, neraca pembayaran pada tahun 2003 diperkirakan akan menunjukkan penurunan surplus dibandingkan tahun sebelumnya menjadi sebesar USD 1,5 miliar. Penurunan surplus neraca pembayaran ini terutama disebabkan oleh penurunan surplus transaksi berjalan. Di sisi neraca perdagangan, ekspor dan impor dalam tahun 2003 diperkirakan akan tumbuh masing-masing sebesar 2,1 persen dan 4,4 persen, sehingga surplus neraca perdagangan diperkirakan menurun sekitar USD 0,3 miliar. Selanjutnya, neraca lalu lintas modal pada tahun 2003 diperkirakan akan sedikit membaik, ditunjukkan dari penurunan defisit dari USD 3,6 miliar menjadi sekitar USD 3,0 miliar.

Pada tahun 2004, kemungkinan tidak diperolehnya penjadwalan pembayaran utang luar negeri pemerintah sebagai akibat membaiknya keadaan cadangan devisa dan tidak adanya penarikan dana dari IMF sementara pinjamannya sudah jatuh tempo akibat dihentikannya program IMF, akan mengakibatkan arus modal pemerintah yang keluar lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya. Oleh karena itu, permasalahan utamanya adalah mengupayakan agar arus modal masuk swasta (bersih) dapat ditingkatkan. Hal ini akan terkait dengan upaya meningkatkan investasi.

Selanjutnya, posisi pinjaman luar negeri pemerintah pada bulan Desember 2002 sebesar USD 74,1 milyar atau 6,8 persen lebih besar dari akhir tahun 2001 (USD 69,4 milyar). Kenaikan jumlah pinjaman disebabkan disepakatinya sejumlah proyek pembangunan yang baru pada tahun 2001 sehingga kegiatan meluncur (carry over) pada tahun 2002. Sedangkan utang dalam negeri pada akhir tahun 2002 mencapai Rp647,64 trilyun.

Utang luar negeri pemerintah pada tahun 2004 diperkirakan akan mengalami peningkatan. Selain akan disetujuinya sejumlah proyek baru, pinjaman juga diperlukan untuk menutup financial gap pada tahun yang bersangkutan akibat telah berakhirnya bantuan dari IMF pada bulan November 2003.

IV – 4

Dalam bidang pengembangan lembaga keuangan, berbagai kemajuan telah dihasilkan. Pertama, berkaitan dengan fungsinya sebagai intermediasi keuangan, perbankan telah menunjukkan kemajuan. Pada akhir tahun 2002, penyaluran kredit perbankan telah meningkat sebesar 18,8 persen dari akhir tahun 2001, dan di tahun 2003 diharapkan akan semakin meningkat (sampai dengan bulan Februari 2003, tercatat sebesar 21,14 persen dari Februari 2002).

Kedua, ketahanan perbankan nasional juga memperlihatkan kemajuan memuaskan. Beberapa hal penting yang dapat dicatat disini adalah perkembangan BPR , prudential regulation untuk meningkatkan kualitas perbankan dan transparansi informasi sektor keuangan dalam negeri. Pada akhir Desember 2002, jumlah BPR sebanyak 2.141 dengan kinerja sebagai berikut: antara tahun 2001 – 2002 volume usaha meningkat dari Rp6,473 triliun menjadi Rp9,080 triliun, penghimpunan dana pihak ketiga meningkat dari Rp4,280 triliun menjadi Rp6,126 triliun; LDR meningkat dari 81,0 persen menjadi 84,0 persen dan NPLs berhasil ditekan dari 12,4 persen menjadi 8,7 persen. Dengan diterapkannya prudential regulations, secara umum Capital Adequacy Ratio (CAR) bank terpelihara pada level 8 persen dan NPLs netto secara agregat mencapai 2,1 persen meskipun terdapat beberapa bank yang belum mencapai target yang ditetapkan sebesar 5 persen. Untuk mecapai target NPLs netto tersebut, di tahun 2003 bagi bank-bank yang masih memiliki NPLs netto diatas 5 persen diminta untuk membuat rencana pencapaian target NPLs netto maksimum 5 persen secara jelas dan konkrit didalam business plan-nya. Berkaitan dengan perbankan syariah, telah dihasilkan cetak biru pengembangan syariah dan penyempurnaan Standar Akutansi Perbankan Syariah yang dituangkan dalam Pedoman Akutansi Perbankan Syariah. Selanjutnya, pada tahun 2003 diharapkan perkembangan perbankan syariah akan semakin baik, yang diwujudkan dengan berbagai kegiatan antara lain: a) penyusunan ketentuan pengawasan perbankan syariah berbasis risiko (risk based supervision), prudential regulation dan penilaian tingkat kesehatan perbankan syariah, b) penyempurnaan sistem pelaporan dan pedoman akutansi dan audit perbankan syariah, serta c) Sementara itu penyempurnan infrastruktur akan meliputi pemetaan wilayah-wilayah potensial bagi pengembangan kantor-kantor bank syariah baru guna mendorong pengembangan jaringan kantor bank syariah.

Ketiga, berkaitan dengan pembentukan lembaga pendukung sektor keuangan, sedang diupayakan adanya Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjaminan Simpanan. Pembentukan OJK telah dimulai sejak tahun 2001 dan pada akhir Desember 2002, rancangan Undang-undang OJK telah berhasil diselesaikan dengan pokok-pokok yang memuat hal-hal sebagai berikut: i) indipenden dan akuntabilitas OJK, ii) ruang lingkup pengawasan OJK adalah mencakup seluruh jasa-jasa keuangan termasuk program asuransi social yang telah ada saat ini maupun yang baru akan terbentuk; serta kewenangan bagi OJK untuk memperkarakan kasus ke pengadilan. Ditargetkan pemerintah akan menyampaikan Rancangan Undang-Undang tersebut kepada DPR pada bulan Juni 2003. Disamping itu, telah pula dipersiapkan draft rencana proses transisi unit-unit pengawasan dari institusi-institusi asal menjadi OJK. Upaya harmonisasi UU yang terkait dengan OJK seperti UU Pasar Modal, UU Dana Pensiun, dan UU Asuransi juga telah selesai dilakukan. Diharapkan proses harmonisasi akan selesai pada bulan Juni 2003.

Keempat, pendirian Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) akan didahului dengan pengurangan penjaminan menyeluruh pemerintah (blanket guarantee) secara

IV – 5

bertahap sehingga jenis dan jumlah yang dijamin sesuai dengan skim penjaminan yang lazim berlaku yang dapat dijamin melalui LPS. Sampai dengan akhir tahun 2002, telah diselesaikan rancangan peraturan perundangan tentang: i) pengurangan penjaminan menyeluruh (Keppres) dan ii) penjaminan simpanan yang meliputi skim penjaminan terbatas dan pembentukan lembaga LPS (RUU). Dalam konsep RUU ini diamanatkan penyelenggaraan tugas LPS dalam memberikan penjaminan simpanan nasabah termasuk pelaksanaan resolusi terhadap bank bermasalah dan bertanggung jawab terhadap proses penyelesaian yang ditutup.

Walaupun berbagai kegiatan tengah dilaksanakan di tahun 2003 ini, namun diperkirakan masih ditemui berbagai tantangan di tahun 2004, seperti perlunya: (1) penyempurnaan ketentuan dan peningkatan pengawasan perbankan yang mengacu kepada standar internasional; (2) mendorong ketahanan BPR dengan cara membentuk sumber dana mendorong terlaksananya prinsip-prinsip perbankan syariah; (3) mempersiapkan Lembaga Penjamin Simpanan dan Otoritas Jasa Keuangan berikut harmonisasi perangkat peraturan yang terkait.

Khusus untuk lembaga keuangan bukan bank, problematika yang akan dihadapi pada tahun 2004 adalah terutama ketahanan industri asuransi dan reasuransi dengan akan diberlakukannya peraturan Risk-Based Capital (RBC) minimal 120 persen. Disamping itu, akan dipersiapkan pula kebijakan mengenai exit policy bagi perusahaan asuransi dan reasuransi yang tidak mampu memenuhi ketentuan prudensial. Untuk mendukung kestabilan industri asuransi akan dipersiapkan skema penjaminan polis. Kedua hal tersebut dimaksudkan untuk lebih memberikan perlindungan kepada pemegang polis dalam memperoleh haknya. Hal yang sama akan terjadi di industri jasa-jasa keuangan lainnya, yaitu tantangan terhadap tuntutan masyarakat terhadap peningkatan kualitas jasa keuangan, serta pengawasan yang lebih kompeten dan transparan.

Untuk mencegah terjadinya praktek pencucian uang pada lembaga keuangan non bank, Menteri Keuangan telah menetapkan peraturan mengenai Prinsip Mengenal Nasabah yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 45 Tahun 2003. Kondisi yang diharapkan pada tahun 2004 adalah setiap lembaga keuangan non bank telah menerapkan pedoman prinsip mengenal nasabah dan melaporkan transaksi yang mencurigakan yang terjadi pada setiap sektor.

Untuk menghadapi hambatan di atas, di tahun 2004 kebijakan penguatan lembaga keuangan ditekankan pada: (1) Upaya-upaya penguatan atas pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan secara keseluruhan yaitu pasar modal, perbankan, usaha perasuransian, dana pensiun, usaha jasa pembiayaan dan sektor jasa keuangan lainnya dikembangkan melalui rencana pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu, dalam dalam rangka menjamin perlindungan konsumen terutama dibidang perbankan, dipersiapkan pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Untuk mengelola stabilitas sistem keuangan, pembinaan di bidang jasa keuangan akan diselaraskan melalui penyusunan Indonesia Financial Safety Net (IFSN) yang mengkoordinasikan otoritas kebijakan moneter, otoritas pengawasan lembaga keuangan dan pasar modal, otoritas lembaga penjaminan simpanan dan otoritas kebijakan fiskal; (2) Meningkatkan kesehatan keuangan baik bank dan bukan bank; (3) Meningkatkan akses permodalan pada usaha kecil dan menengah; serta (4) Terus memperkuat prudential regulation untuk lembaga keuangan

IV – 6

Dalam hal proses restrukturisasi utang perusahaan yang ditangani Prakarsa Jakarta dan BPPN menunjukkan beberapa kemajuan. Sampai dengan tanggal 4 April 2003, dari 122 kasus yang terdaftar di Prakarsa Jakarta, 91 kasus telah selesai, 22 kasus dikeluarkan, dan tersisa 31 kasus senilai US$ 10,36 milyar yang diharapkan bisa diselesaikan hingga akhir tahun 2003. Untuk mempercepat pengembalian aset kredit di BPPN kepada swasta dan perbankan nasional, maka sejak akhir Desember 2002, BPPN tidak melakukan restrukturisasi, tetapi dapat langsung melakukan penjualan baik pinjaman yang telah maupun yang tidak direstrukturisasi berdasarkan lelang terbuka. Hingga Maret 2003, restrukturisasi pinjaman di BPPN tercatat 45 kasus telah selesai direstrukturisasi, 13 kasus dalam proses restrukturisasi dan 10 kasus tahap awal restrukturisasi. Mengingat akan berakhirnya masa tugas Prakarsa Jakarta dan BPPN di akhir tahun 2003, diharapkan pada awal tahun 2004 lembaga baru (seperti holding company) dapat segera terbentuk untuk melanjutkan proses restrukturisasi utang perusahaan serta menangani pengalihan kasus-kasus yang tersisa dari BPPN.

Terkait dengan program pemulihan perbankan, sampai dengan tahun 2002 telah dicapai berbagai kemajuan sebagai berikut: pada pelaksanaan program rekapitalisasi, sektor perbankan diwajibkan mencatat obligasi pemerintah yang dimiliki dalam portofolio investasi, perdagangan dan yang diagunkan (collateral). Posisi obligasi pemerintah per 31 Desember 2002 adalah sebesar Rp419,4 triliun yang terdiri dari obligasi portofolio perdagangan sebesar Rp99,7 triliun (23,8 persen) dan portofolio investasi sebesar Rp319,6 triliun (76,2 persen).

Selanjutnya, pada tahun 2002 Program Divestasi Perbankan telah melaksanakan program divestasi pada BCA dan Bank Niaga. Sedangkan divestasi Bank Danamon telah dimulai pada bulan Desember 2002. Divestasi Bank Danamon dilakukan berdasarkan persetujuan DPR RI pada tanggal 12 November 2002, di mana diharapkan pada semester pertama 2003 proses divestasi ini dapat dituntaskan.

Dalam rangka penyehatan, BPPN telah melakukan merger terhadap 5 bank (Bank Bali, Universal, Patriot, Prima Express, dan Bank Media) menjadi Permata Bank. Pemerintah (BPPN) memiliki 97,67 persen saham di Bank hasil merger tersebut.

Permasalahan pokok yang dihadapi pada tahun 2004 meliputi: (1) Masih diperlukannya pemantapan struktur keuangan perbankan yang sehat dan memiliki daya saing, (2) Penyelesaian divestasi aset yang berada di bawah pengawasan pemerintah dengan tujuan memaksimalkan nilai penjualan aset tersebut, dan dilakukan secara terbuka dengan mengutamakan kepentingan nasional.

Untuk menghadapi hambatan di atas, maka pada tahun 2004 kebijakan restrukturisasi perbankan adalah sebagai berikut: (1) memantapkan sistem pengawasan perbankan, (2) mengupayakan kepastian permodalan pada sektor perbankan yang disesuaikan dengan resiko pasar, dan (3) mempersiapkan penanganan asset hasil program restrukturisasi perbankan yang belum terselesaikan oleh BPPN.

Selanjutnya, telah disebutkan di atas bahwa proses pemulihan ekonomi di Indonesia sampai saat ini berjalan lambat. Pertumbuhan ekonomi dalam periode 1999-2002, rata-rata sekitar 3,2 persen per tahun, belum cukup untuk dapat

IV – 7

mengembalikan keadaan perekonomian seperti sebelum krisis. Dalam situasi perekonomian dunia yang penuh ketidakpastian, perekonomian domestik harus diperkuat untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi nasional. Meskipun konsumsi masyarakat mempunyai sumbangan terbesar dalam perekonomian nasional, namun tidak akan berkelanjutan apabila tidak ada peningkatan pendapatan. Oleh karena itu, kegiatan investasi harus didorong untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh kegiatan investasi ini akan mampu menjamin kesinambungan pertumbuhan (sustainable growth) serta kesinambungan pembangunan (sustainable development) dengan ikut membantu memecahkan masalah-masalah sosial mendasar seperti penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan.

Hingga saat ini pertumbuhan investasi masih belum memperlihatkan tanda-tanda pemulihan yang memadai yang dibutuhkan untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Dalam tahun 2002 pembentukan modal tetap bruto (PMTB), sebagai pendekatan terhadap realisasi investasi, mengalami penurunan sebesar 0,2 persen. Bahkan minat investasi yang dapat dilihat pada persetujuan nilai dan proyek penanaman modal masih sangat kecil. Dalam tahun 2002 jumlah proyek dan nilai PMDN yang disetujui mencapai 185 dan Rp25,3 triliun atau masing-masing turun sebesar 29,9 persen dan 56,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan untuk PMA jumlah proyek dan nilai yang disetujui mencapai 1.147 dan US$ 9,8 miliar atau masing-masing turun sebesar 14,0 persen dan 35,2 persen.

Dalam mendorong kegiatan investasi beberapa masalah diperkirakan akan dihadapi di tahun 2004, yaitu: (1) Suhu politik yang diperkirakan meningkat seiring dengan penyelenggaraan Pemilu 2004 akan berdampak pada persepsi dan ekspektasi para investor; (2) Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam perijinan investasi yang tidak jelas. Pelaksanaan otonomi daerah yang diterjemahkan dengan pemberian kewenangan pemerintah daerah dalam urusan investasi masih perlu diperjelas. RUU penanaman modal yang masih belum diundangkan juga perlu dipercepat prosesnya; (3) Perlindungan terhadap penanaman modal yang masih lemah. Belum adanya kepastian hukum rendahnya administrasi pajak dan kepabeanan, belum kondusifnya pasar tenaga kerja; dan masih adanya gangguan keamana di beberapa daerah akan menyebabkan arus modal ke luar yang lebih besar daripada arus modal masuk; (4) Proses perijinan yang rumit dan panjang yang menyebabkan tambahan biaya bagi para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia; serta (5) Ketersediaan infrastruktur yang kurang memadai, tidak saja karena minimnya pembangunan infrastruktur baru, tetapi juga terbatasnya dana untuk operasi dan pemeliharaan infrastruktur yang sudah dibangun.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, langkah kebijakan utama yang akan ditempuh adalah: (1) memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha dengan mempercepat proses penyelesaian RUU Penanaman Modal agar segera dapat diundangkan selambatnya sebelum Pemilu tahun 2004; (2) memperjelas kewenangan pusat dan daerah di bidang penanaman modal dengan mempercepat keluarnya peraturan pelaksana; (3) menindaklanjuti penyederhanaan prosedur perizinan investasi melalui pelayanan satu atap (one roof service) sebagaimana yang disetujui Sidang Kabinet tanggal 25 November 2002; (4) meningkatkan perlindungan investasi antara lain melalui pendayagunaan Tim Nasional Pengembangan Ekspor dan Perlindungan Investasi yang diketuai oleh Presiden RI yang merupakan tindak lanjut Sidang Kabinet tanggal 25 November 2002; (5) meningkatkan konsistensi peraturan

IV – 8

perundangan yang terkait dengan penanaman modal melalui sinkronisasi peraturan baik peraturan antar sektor ekonomi maupun antara pemerintah pusat dan daerah; serta (6) menciptakan sistem insentif agar mampu bersaing dengan negara lain untuk menarik investasi pada sektor/bidang usaha dan lokasi tertentu.

Di bidang pasar modal, sampai dengan akhir tahun 2002, penataan kelembagaan pasar modal telah menghasilkan beberapa kemajuan pokok. Berkaitan dengan peningkatan peran pasar modal sebagai sarana penggerak modal masyarakat dan dunia usaha dalam negeri (alternatif diluar jalur pendanaan melalui perbankan), pada tahun 2002 telah menunjukkan peningkatan. Pertama, perkembangan struktur pasar modal Indonesia memperlihatkan adanya peningkatan minat masyarakat dalam melakukan risk sharing melalui pasar saham dan pasar obligasi korporasi. Jumlah perusahaan yang mendaftarkan penjualan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 tercatat 341 emiten dan meningkat sebesar 15 persen menjadi 393 emiten pada 2002. Demikian pula minat emiten obligasi meningkat 11 persen dalam kurun waktu yang sama (dari 91 emiten pada tahun 2000 menjadi 101 emiten tahun 2002). Kedua, pergerakan pasar yang ditunjukkan dengan beberapa indikator utama menunjukkan peningkatan pula. Sebagai contoh, pada tahun 2002, minat obligasi korporasi meningkat sebesar 17 persen, dan minat pasar terhadap reksa dana meningkat pesat sebesar 4,5 kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Walaupun berfluktuasi, namun pada akhir tahun 2002, nilai kapitalisasi pasar baik di Bursa Efek Jakarta maupun Bursa Efek Surabaya berhasil meningkat masing-masing sebesar 12 persen dan 15 persen.

Hasil-hasil tersebut ditunjang oleh hal-hal sebagai berikut: (a) tersedianya fasilitas remote trading di pasar modal Indonesia, (b) terlaksananya perdagangan tanpa warkat (scripless) secara penuh, (c) efisiensi bursa yang ditandai dengan semakin cepatnya waktu penyelesaian transaksi yang semula T+4 berhasil menjadi T+3, (d) tersedianya instrumen investasi baru berbasis syariah, seperti reksa dana syariah, Jakarta Islamic Index (JII) dan obligasi mudharabah sebagai langkah awal bagi perkembangan pasar modal syariah di Indonesia, serta (e) diijinkannya pengelola reksa dana berinvestasi pada efek yang telah dijual dalam Penawaran Umum dan atau dicatatkan di Bursa Efek luar negeri.

Berkaitan dengan peningkataan kepastian hukum dan transaparansi pasar modal, beberapa kemajuan telah berhasil diwujudkan, yaitu: (a) telah tersedia mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu melalui Badan Arbitrase Pasar Modal, yang diharapkan menjadi salah satu mekanisme penyelesaian sengketa secara adil, efektif, dan efisien, dan (b) telah diterapkannya sistem pelaporan elektronik (e-Reporting System) yang diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan penyebaran informasi kepada investor, efisiensi kerja, serta akuntabilitas industri pasar modal secara keseluruhan, dan (c) selama tahun 2002, sebanyak 33 kasus dari 44 kasus pelanggaran di pasar modal dapat diselesaikan.

Berkaitan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang pasar modal mulai diterapkannya standar profesi yaitu melalui Peraturan Bapepam Nomor V.B.1 Tentang Perizinan Wakil Perusahaan Efek. Dengan adanya peraturan ini, maka setiap pemohon izin untuk wakil manajer investasi dan wakil agen penjualan efek reksa dana diwajibkan untuk menyerahkan bukti lulus ujian dari Panitia Standar Profesi yang ditunjuk oleh Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia.

IV – 9

Berkaitan dengan peningkatan akses permodalan pada UKM dan Koperasi melalui pasar modal dapat dilaporkan hasil sebagai berikut. Pemanfaatan pasar modal oleh UKM dan Koperasi (UKMK) sebagai sumber pendanaan masih relatif kecil. Jumlah UKM yang melakukan penawaran umum saham perdana meningkat dari 6 UKM (2000), menjadi 16 UKM (2001), namun berkurang menjadi 8 UKM. Sedangkan koperasi, hingga saat ini baru satu koperasi yang memanfaatkan pasar modal sebagai sumber pendanaannya. Upaya pemerintah untuk meningkatkan akses permodalan ini juga telah diwujudkan melalui Peraturan Bapepam Nomor IX.C.7 Tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum oleh Perusahaan Menengah atau Kecil, yang telah memberikan berbagai keringanan persyaratan, namun tetap memperhatikan prinsip-prinsip mekanisme pasar.

Berkaitan dengan pengembangan pasar sekunder obligasi pemerintah telah diperoleh hasil-hasil sebagai berikut. Pertama, telah ditetapkannya UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara yang menjadi legal basis bagi pengelolaan Surat Utang Negara dan jaminan bagi investor untuk memiliki dan memperdagangkan SUN secara aman dan efisien. Kedua, telah terbentuknya inter dealer market (IDM) yang beranggotakan 15 bank untuk meningkatkan transparansi harga dalam perdagangan SUN. Ketiga, telah diterbitkannya obligasi negara pada bulan Desember 2002 dan April 2003 yang masing-masing sebesar Rp2 triliun dan Rp2,7 triliun yang ditujukan untuk pembiayaan APBN, sekaligus juga telah menambah instrumen yang likuid di pasar modal. Keempat, reprofiling obligasi pemerintah adalah salah satu upaya restrukturisasi portofolio utang negara melalui suatu program penawaran pertukaran (exchange offer) antara obligasi negara yang jatuh tempo periode 2004-2009 dengan obligasi negara seri baru yang jatuh temponya lebih panjang (2010 – 2020). Telah dilaksanakan pada bulan Nopember 2002 sebesar Rp171,8 triliun dan Februari 2003 sebesar Rp7,8 triliun.

Selanjutnya untuk meningkatkan peran pasar modal Indonesia pada tahun 2003 sedang dilaksanakan berbagai terobosan yang fundamental khususnya dalam hal pengawasan dan penertiban operasi pasar. Hasil-hasil yang diharapkan antara lain mencakup: (a) Dimulainya pembahasan Rancangan Perubahan Undang-Undang Pasar Modal di DPR; (b) tersosialisasinya mekanisme pengawasan di bidang pasar modal, terutama pada masa transisi dari Bapepam lama menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK); (c) terjadinya peningkatan transparansi pasar dan penegakan hukum di pasar modal; (d) dimulainya restrukturisasi industri efek; (e) berkembangnya instrumen pasar modal berbasis syariah; serta (f) semakin berkembangnya pasar obligasi pemerintah.

Walaupun berbagai kegiatan tengah dilaksanakan di tahun 2003 ini, namun masih ditemui berbagai hambatan. Hambatan utama adalah: (a) masih rendahnya “capital market habit” baik dikalangan pelaku bisnis maupun pemodal, (b) belum disahkannya amandemen Undang-Undang Pasar Modal mengakibatkan tertundanya pelaksanaan rencana-rencana strategis pengembangan institusi pasar modal seperti demutualisasi bursa dan alternatif trading system, sehingga membawa dampak pada terjadinya spekulasi-spekulasi dikalangan pelaku pasar, (c) trend pelanggaran terhadap peraturan-perundangan di bidang pasar modal yang semakin canggih dan berkembang sangat dinamis, dan (d) aktivitas pasar modal masih terpusat pada kota-kota besar sehingga masih besar potensi investor lokal yang belum tergali secara optimal.

IV – 10

Di tahun 2004, selain hambatan di atas, pasar modal dalam negeri menghadapi berbagai tantangan, yaitu: a) adanya tren globalisasi perdagangan dan perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih; b) dengan diterapkannya remote trading system dan online trading system, batasan wilayah tidak lagi menjadi kendala perdagangan; c) pemberlakuan AFTA pada tahun 2003 mendorong masuknya Perusahaan Efek dari Negara-negara anggota ASEAN ke Pasar Modal Indonesia; dan d) dengan semakin berkembangnya Penyedia Sistem Perdagangan Alternatif (Alternative Trading System/ATS) memperbesar peluang pihak di luar Bursa Efek menyelenggarakan perdagangan efek.

Untuk menghadapi hambatan dan tantangan di atas, di tahun 2004 kebijakan penataan institusi pasar modal ditekankan pada: (a) Mempermudah akses masyarakat terhadap informasi pasar modal dengan mengembangkan sistem informasi terpadu; (b) Mengembangkan instrumen baru pasar modal; (c) Mempercepat proses terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pemegang otoritas pengawas jasa keuangan termasuk pasar modal; (d) Mendorong penerapan good corporate governance secara menyeluruh pada pelaku pasar modal; (e) Meningkatkan minat dunia industri khususnya kelompok usaha kecil menengah dan koperasi (UKMK) untuk memanfaatkan pasar modal sebagai sumber pendanaan; serta f) Mengembangkan Cetak Biru Pasar Sekunder Obligasi Pemerintah.

Dalam restrukturisasi BUMN, melalui langkah-langkah penyehatan BUMN, telah diperoleh beberapa kemajuan sebagai berikut: (1) Nilai omzet penjualan seluruh BUMN tahun 2002 meningkat lebih dari 15 persen dibandingkan tahun 2001, yaitu menjadi Rp242,1 triliun; (2) Total aktiva tahun 2002 mengalami peningkatan lebih dari 16 persen dibandingkan tahun 2001, yaitu menjadi Rp942,8 triliun; (3) Deviden yang diterima Pemerintah meningkat lebih dari 5 persen dibandingkan tahun 2001, yaitu mencapai Rp8,03 triliun; (4) Pajak yang dipungut Pemerintah juga mengalami peningkatan, yaitu lebih dari 33 persen atau menjadi Rp24,1 triliun; (5) BUMN yang sehat mengalami peningkatan, dari 94 BUMN di tahun 2001 menjadi 112 BUMN di tahun 2002; serta (6) BUMN yang tidak sehat menurun menjadi 8 BUMN dari sebelumnnya 10 BUMN di tahun 2001

Sementara itu, dalam pelaksanaan kebijakan privatisasi dari jumlah BUMN yang direncanakan akan diprivatisasi tahun 2002 sebanyak 25 BUMN, dalam pelaksanaannya hanya mampu terjual 4 BUMN, yaitu PT. Indosat Tbk, PT. Telkom Tbk, PT TB Bukit Asam dan PT. Wisma Nusantara Indonesia. Nilai penjualan saham keempat BUMN tersebut mencapai Rp7.954 miliar.

Rendahnya pelaksanaan privatisasi BUMN pada tahun 2002 tersebut antara lain disebabkan: 1) belum adanya persepsi yang sama terhadap kebijakan privatisasi BUMN di antara stakeholder; 2) belum pulihnya kondisi perekonomian nasional sehingga berpengaruh pada minat investor untuk membeli saham yang diprivatisasi; dan 3) terbatasnya kapasitas dan kemampuan SDM yang ada untuk menangani pelaksanaan restrukturisasi dan privatisasi BUMN dalam jumlah yang besar.

Untuk mengatasi permasalahan pelaksanaan restrukturisasi dan privatisasi BUMN di tahun 2002 tersebut, pada tahun 2003 Kementerian BUMN telah dan akan menempuh kebijakan secara aktif antara lain dengan melaksanakan sosialisasi dalam rangka penyamaan persepsi di antara stakeholder terhadap pelaksanaan privatisasi

IV – 11

BUMN dan mengupayakan peningkatan kualitas SDM Kementerian BUMN dalam rangka pelaksanaan restrukturisasi dan privatisasi BUMN.

Sementara itu dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional dan dunia tahun 2004, Kementerian BUMN akan menempuh langkah-langkah kebijakan sebagai berikut: 1) meningkatkan upaya revitalissi bisnis dalam rangka meningkatkan shareholder value BUMN yang ada; 2) meningkatkan efektivitas manajemen BUMN, baik di tingkat komisaris, direksi, maupun karyawan; 3) meningkatkan kualitas operasi, pelayanan dan pendapatan BUMN; 4) menyempurnakan sistem pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN sehingga tercipta tingkat efisiensi yang semakin tinggi; 5)melanjutkan pelaksanaan restrukturisasi dan privatisasi BUMN; 6) meningkatkan sosialisasi tentang privatisasi BUMN di semua level stakeholder; serta 7) meningkatkan kapasitas dan kemampuan SDM di lingkungan Kementerian BUMN melalui pelatihan, baik di dalam maupun di luar negeri. Kegiatan ini diperlukan dalam rangka untuk menangani restrukturisasi dan privatisasi BUMN.

Sementara itu dalam hal pelaksanaan otonomi daerah, pelaksanaan program Implementasi Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah diharapkan dapat mendorong pelaksanaan desentralisasi keuangan yang memungkinkan daerah untuk melaksanakan wewenangnya dengan tetap menjamin kestabilan ekonomi makro. Penyediaan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat merupakan sasaran yang hendak di capai sejalan dengan upaya menurunkan defisit APBN.

Beberapa hal penting yang telah diselesaikan selama 2 tahun pelaksanaan desentralisasi keuangan adalah penyelesaian sebagian besar UU, PP dan Keppres. Dari sisi transfer dana, terdapat kenaikan yang signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001 besarnya transfer dana sekitar Rp81,0 triliun. Pada tahun 2002 meningkat dengan nilai sekitar Rp98,5 triliun dan dalam APBN 2003 sekitar Rp116,9 triliun. Kecenderungan keseimbangan distribusi antar daerah semakin membaik dengan makin meratanya komposisi distribusi dana perimbangan antara kawasan barat dan timur Indonesia. Penyempurnaan formulasi dana alokasi umum (DAU) 2001 dilakukan kearah yang lebih proposional. Untuk dana alokasi khusus (DAK) baru dimanfaatkan untuk kegiatan reboisasi.

Penerimaan lain tentang penerimaan daerah yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri telah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 35/KMK.07/2003. Namun, di samping masalah on-lending itu sendiri, permasalahan pemetaan daerah untuk fasilitas on-lending juga perlu disempurnakan.

Sementara itu, penyusunan rincian daftar kewenangan wajib dan standar pelayanan minimum (SPM) perlu segera diselesaikan oleh departemen/lembaga pemerintah non departemen (LPND) dalam kaitannya sebagai dasar perhitungan kebutuhan anggaran pelayanan publik. Bidang pendidikan dan kesehatan telah memilikii SPM, sementara untuk bidang lingkungan hidup, tenaga kerja dan transmigrasi, sosial dan penanaman modal dalam tahap penyusunan.

Permasalahan yang diperkirakan akan muncul pada tahun 2004 adalah (1) masih lemahnya peraturan perundang-undangan tentang keuangan pusat dan daerah; (2) masih lemahnya perundangan tentang pajak dan retribusi daerah; (3) masih lemahnya pengawasan dan evaluasi terhadap perda-perda mengenai pajak dan

IV – 12

retribusi daerah yang menyalahi ketentuan perundang-undangan dan bertentangan dengan kepentingan umum; (4) kapasitas daerah dan mekanisme dalam pengelolaan keuangan daerah masih perlu ditingkatkan; (5) peningkatan kemandirian keuangan daerah; (6) penyempurnaan formula DAU dan optimalisasi DAK; (7) belum tersusunya penyusunan prosedur dan mekanisme pinjaman daerah; dan (8) belum tersusunnya standar pelayanan minimum (SPM) dan standar analisa biaya (SAB).

Langkah-langkah kebijakan yang akan diambil adalah (1) Menyelesaikan penjabaran undang-undang yang terkait dengan desentralisasi ekonomi, antara lain (a) ketentuan tentang peralihan personil, aset, dan pembiayaan, (b) ketentuan tentang pinjaman daerah, (c) ketentuan tentang akuntabilitas pemerintah daerah dan manajemen keuangan yang mengatur proses anggaran, dan (d) menyeragamkan sistem akuntansi daerah untuk menunjang pelaksanaan audit keuangan pemerintah daerah; (2) Dalam rangka memperkecil resiko ekonomi makro dari pelaksanaan desentralisasi keuangan, akan ditempuh langkah-langkah (a) menyusun peraturan khusus yang mengatur pinjaman daerah dari perbankan, dan (b) menyusun ketentuan yang memastikan bahwa peralihan pembiayaan kepada daerah akan bertahap sejalan dengan peralihan fungsi; serta (3) Mendorong kegiatan koordinasi antar-lembaga yang terkait dengan pelaksanaan desentralisasi ekonomi, seperti kegiatan kelompok kerja yang berada pada Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.

Masalah utama yang dihadapi sektor riil sampai dengan tahun 2003 ini adalah masih belum bergeraknya roda kegiatan sektor ini akibat berbagai permasalahan yang dhadapi seperti maraknya penyeludupan, belum pulihnya kepercayaan investor, dan masih banyaknya hambatan didalam intermediasi perbankan. Meskipun demikian Pemerintah terus berupaya mengatasi permasalahan-permasalahan diatas, terutama yang bersifat mendesak. Beberapa upaya yang patut dicatat adalah (1) penerbitan NPIK (nomor pengenal importir khusus) untuk mendukung pengendalian penyeludupan yang merusak tatanan produksi nasional; (2) penerapan tata niaga impor beberapa komoditi tertentu yang berpotensi menimbulkan konflik dengan kepentingan rakyat banyak; dan (3) pendirian Pusat Solusi Bisnis sebagai salah satu upaya penanganan masalah-masalah mendesak secara lintas sektoral dalam rangka kelangsungan ataupun mendorong peningkatan kinerja sektor produksi dan distribusi.

Meskipun belum optimal, ekspor non migas masih mencatat peningkatan sekitar 2,8 persen dari tahun 2001, atau meningkat pada tahun 2002 menjadi USD 44,9 miliar dari sekitar USD 43,7 miliar pada tahun 2001. Namun demikian, tingkat utilisasi industri nasional pada tahun 2002 masih mengalami penurunan menjadi sekitar 55 persen bila dibandingkan sekitar 70 persen pada tahun 2000 karena tidak kondusifnya iklim investasi dan beberapa perusahaan induk (principal company) yang memindahkan basis produksinya ke negara-negara pesaing.

Dalam rangka mendorong kegiatan sektor riil, terutama sektor industri dan perdagangan, beberapa kendala dan permasalahan yang diperkirakan masih dihadapi pada tahun 2004 dalam rangka pengembangan kegiatan sektor riil, terutama sektor industri dan perdagangan, meliputi permasalahan dari sisi eksternal (global) ataupun domestik. Permasalahan pokok dari sisi lingkungan eksternal (global) terutama adalah: (1) persaingan global di bidang perdagangan yang semakin tajam dan luas karena dalam pembicaraan di forum terakhir WTO berkembang isu-isu yang mengaitkan perdagangan dengan aspek persaingan usaha, lingkungan dan perburuhan dalam kerangka perjanjian multilateral ke depan yang diperkirakan akan

IV – 13

lebih mempersulit daya saing dan akses pasar negara-negara berkembang; (2) masih banyaknya praktek persaingan tidak sehat di tingkat internasional karena praktik kartel perusahaan multi nasional (MNC) yang belum banyak dapat ditangani serta subsidi terselubung terutama pada negara-negara maju; (3) perubahan pandangan internasional terhadap Indonesia akibat berbagai isu menyangkut terorisme; (4) penerapan peraturan bio-terrorism yang berdampak pada peningkatan biaya produksi dari produk-produk ekspor; dan (5) ketidakpastian kondisi perekonomian global dampak paska perang Irak dan pengaruh SARS akhir-akhir ini.

Sedangkan dari dalam negeri, kendala dan permasalahan pokok yang dapat diidentifikasi terutama adalah: (1) optimalisasi sektor industri dan perdagangan masih membutuhkan penanganan terpadu yang melibatkan pihak-pihak terkait; (2) masih belum membaiknya peringkat daya saing produksi sebagai dampak krisis dan pesatnya perkembangan teknologi; (3) belum bergeraknya sektor riil sebagai sumber pertumbuhan ekonomi karena belum optimalnya perbankan didalam menjalankan fungsi intermediasi yang ditandai dengan tingkat suku bunga yang masih relatif tinggi; (4) belum terbangunnya sistem distribusi nasional sehingga seringkali rentan terhadap stabilitas harga dan kelangkaan pasokan, khususnya bahan kebutuhan pokok; (5) masih tingginya ketergantungan terhadap impor bahan baku dan komponen serta kurangnya jaminan mutu pasokan bahan baku dari dalam negeri; (6) terjadinya relokasi beberapa industri ke negara lain; (7) masih tingginya biaya produksi yang diakibatkan pula oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL), upah, serta komponen biaya tidak langsung seperti retribusi dan pungutan tidak resmi; (8) penerapan standar produk yang belum meluas dan konsisten, termasuk di dalam salah satu upaya penanggulangan penyelundupan; (9) perlindungan konsumen belum optimal; (10) munculnya peraturan-peraturan daerah baru yang sifatnya meningkatkan biaya transaksi dan pada gilirannya menghambat daya saing (khususnya produk dalam negeri) dan perkembangan kegiatan industri dan perdagangan pada umumnya; dan (11) masih rendahnya pemanfaatan pasar dalam negeri dan pemberdayaan produk dalam negeri yang belum maksimal.

Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan pokok di atas, kebijakan di sektor industri dan perdagangan diprioritaskan pada program pengembangan ekspor terutama ekspor nonmigas, baik barang maupun jasa, pada dasarnya merupakan andalan dalam jangka pendek bagi pemulihan ekonomi dan jangka menengah untuk terus meningkatkan perekonomian nasional sekaligus cadangan devisa. Di samping itu, efektivitas dari optimalisasi pemanfaatan pasar dalam negeri akan terwujud seiring dengan peningkatan daya saing dari industri nasional dan semakin kecilnya hambatan distribusi barang dan jasa antar daerah serta sekaligus akan meningkatkan pemberdayaan produk dalam negeri. Sejalan dengan itu, upaya-upaya untuk meningkatkan daya saing produksi nasional akan terus menerus dilaksanakan, baik di pasar dalam negeri maupun pasar ekspor dalam era globalisasi perdagangan dunia. Sementara itu, untuk mewujudkan struktur produksi yang kukuh dan memperkuat struktur distribusi yang efisien maka akan dilaksanakan upaya-upaya penguatan mata rantai seluruh kegiatan produksi mulai dari penyediaan bahan baku, komponen, pengolahan, dan distribusi barang dan jasa yang dihasilkan. Di samping itu juga akan dilakukan upaya-upaya untuk menyerasikan semua peraturan-peraturan daerah agar jaringan produksi dan distribusi lebih terintegrasi dan berdaya-guna.

Pariwisata yang merupakan industri terbesar kedua setelah non-migas dalam menyumbang perolehan devisa, mengalami penurunan kinerja, terutama setelah

IV – 14

terjadinya tragedi bom Bali 12 Oktober 2002. Hal ini mengingat Bali baik langsung maupun tidak langsung telah dianggap sebagai lokomotif industri Pariwisata Nasional. Dampak langsung dari tragedi Bali, adalah menurunnya secara drastis jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Bali dibandingkan dengan tahun 2001, terutama pada bulan-bulan Oktober (turun 15,0 persen), bulan November (55 persen), dan bulan Desember (27 persen). Kondisi tersebut berpengaruh terhadap jumlah wisman secara keseluruhan. Pada tahun 2002, jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia sekitar mengalami penurunan sekitar 2,33 persen dibandingkan jumlah wisman pada tahun tahun 2001. Sedangkan penerimaan devisa turun sekitar 17,19 persen dari tahun 2001.

Tragedi bom Bali tidak hanya berdampak pada turunnya secara drastis jumlah kunjungan wisatawan asing ke Bali, tetapi dampaknya juga dirasakan oleh sektor industri terutama industri kecil dan menengah dan sektor ketegakerjaan mengingat Bali merupakan pasar baik dalam maupun luar negeri bagi industri-industri tersebut dan sebagian besar penduduknya bekerja di industri pariwisata. Sehingga tragedi Bali berpengaruh terhadap perekonomian Bali pada khususnya dan perekonomian Nasional pada umumnya. Oleh karenanya, Pemerintah sangat berkepentingan untuk mengembalikan Bali sebagai motor utama bagi industri pariwisata Nasional. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama tiga, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Polkam, Menko Bidang Perekonomian, dan Menko Bidang Kesra, tanggal 29 Nopember 2002 telah dibentuk Tim Koordinasi Pemulihan Kepariwisataan Nasional.

Hasil upaya yang dilakukan tersebut sampai dengan bulan Desember 2002 menunjukkan perkembangan yang cukup positif. Pada bulan Desember 2002 jumlah wisman yang berkunjung ke Bali meningkat tajam sekali menjadi 68,1 ribu orang atau naik dengan 93,84 persen dari bulan November 2002 yang sebesar 35,1 ribu orang. Meningkatnya jumlah wisatawan asing di Bali berdampak pada meningkatnya jumlah wisman di Indonesia. Jumlah wisman secara keseluruhan sekitar 281,9 ribu orang pada bulan Desember 2002 atau naik 17,58 persen dibanding jumlah wisman bulan November 2002 yang sebesar 239,8 ribu orang.

Kebangkitan industri pariwisata yang belum mantap dihadapkan pada meletusnya perang Irak dan Amerika Serikat dan menybernya virus SARS di wilayah Asia Timur, yang berpotensi menghambat pemulihan industri pariwisata nasional. Sementara itu, sebagai negara bahari, wisata bahari di Indonesia belum dikembangkan secara optimal sehingga relatif ketinggalan dengan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya adalah: belum dikembangkannya daerah tujuan wisata utama selain Bali dan Jakarta, terbatasnya jumlah jalur penerbangan langsung oleh Maskapai Penerbangan Asing ke Indonesia, masih adanya negara yang menerapkan travel advisory ke Indonesia, dan belum kondusifnya iklim yang mendukung pembangunan industri pariwisata.

Dalam tahun 2004, target jumlah kunjungan wisman yang berkunjung ke Indonesia meningkat menjadi 5,1 juta, sedangkan jumlah perolehan devisa ditargetkan sekitar USD 5,0 milyar. Sementara itu, target jumlah kunjungan wisatawan nusantara sekitar 133,45 juta.

Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dan untuk mencapai target yang telah ditetapkan, kebijakan pembangunan industri pariwisata

IV – 15

dalam tahun 2004 tetap diarahkan pada pengembangan industri pariwisata yang berbasis pada potensi sumber daya lokal dan pemberdayaan masyarakat lokal dengan tetap memperhatikan pelestarian lingkungan dan budaya yang ada. Pembangunan industri pariwisata diprioritaskan pada upaya-upaya untuk mengembangkan wisata nusantara, meningkatkan jumlah wisatawan domestik,; memperluas diversifikasi produk wisata yang berdaya saing tinggi, termasuk pengembangan wisata bahari, meningkatkan dan memantapkan citra Indonesia sebagai daerah tujuan wisata berkelas dunia, menciptakan iklim yang kondusif. Mengingat pembangunan industri pariwata bersifat multisektoral, maka dalam penanganannya, perlu dilakukan keterlibatan dari semua pihak yang memerlukan dukungan politik dan sinergi dari berbagai sektor.

Di bidang ketenagakerjaan, meningkatnya jumlah angkatan kerja dari tahun ke tahun yang tidak diimbangi oleh tersedianya kesempatan kerja yang memadai telah menyebabkan jumlah penganggur terus bertambah. Meskipun kondisi perekonomian telah menunjukkan pertumbuhan yang semakin membaik sejak terjadinya krisis ekonomi, tetapi peluang kerja formal yang tersedia masih sangat terbatas. Jumlah angkatan kerja baru pada tahun 2002 bertambah 2,0 juta orang. Sementara jumlah kesempatan kerja baru yang tercipta hanya 0,8 juta orang. Walaupun perekonomian tumbuh sebesar 3,7 persen pada tahun 2002, namun belum dapat menciptakan kesempatan kerja baru yang lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya. Keadaan ini menyebabkan bertambahnya jumlah penganggur terbuka yang mencapai 9,1 juta orang. Dengan demikian tingkat pengangguran terbuka meningkat dibandingkan tahun 2001, yaitu dari 8,1 persen menjadi 9,1 persen. Rendahnya pertumbuhan ekonomi mengakibatkan melemahnya permintaan tenaga kerja yang berakibat menurunnya upah riil yang diterima, terlebih bagi pekerja yang bekerja di sektor yang kurang produktif seperti sektor informal atau sektor pertanian di perdesaan.

Sebagian besar dari angkatan kerja yang mencari pekerjaan adalah kelompok usia muda, antara 15-29 tahun. Dibandingkan tahun 2001, jumlah pencari kerja untuk kelompok usia muda ini meningkat dari 6,0 juta orang menjadi 7,0 juta orang tahun 2002. Meningkatnya jumlah pengangguran usia muda menimbulkan keprihatinan karena dapat memicu berbagai permasalahan sosial baru. Selain itu, jumlah setengah penganggur yaitu pekerja yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu meningkat dari 27,7 juta pada tahun 2001 menjadi 31,1 juta orang.

Permasalahan lain adalah rendahnya keterampilan yang dimiliki oleh para pencari kerja tersebut. Kebanyakan pencari kerja, yaitu sekitar 56 persen, hanya berpendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), sekolah dasar (SD), dan tidak pernah sekolah. Masih rendahnya ketrampilan yang dimiliki oleh para pekerja yang menyebabkan kualitas pekerja tergolong rendah. Program-program pelatihan yang telah dilakukan baik yang diselenggarakan oleh lembaga pelatihan pemerintah maupun swasta, belum dapat meningkatkan ketrampilan pekerja secara keseluruhan. Disamping itu, program pelatihan kerja yang dilaksanakan tidak sepenuhnya didasarkan atas program pelatihan yang mengacu pada standar kompetensi kerja yang dibuat oleh badan atau lembaga yang mewakili asosiasi profesi atau asosiasi industri/perusahaan.

Dengan disahkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, harapan terhadap terbentuknya badan yang direncanakan untuk menangani

IV – 16

standardisasi dan sertifikasi kompetensi tenaga kerja seperti yang digariskan dalam REPETA 2002, dapat terealisir pada tahun 2003 ini. Badan ini diharapkan menjadi lembaga yang dapat mengeluarkan standar dan sertifikasi kompetensi tenaga kerja nasional, agar tenaga kerja Indonesia mempunyai kompetensi dan kemampuan bersaing dalam memasuki pasar kerja, baik pasar kerja domestik maupun internasional. Upaya-upaya perbaikan terhadap pelaksanaan pendidikan dan latihan seperti yang digariskan dalam REPETA 2003 akan terus dilanjutkan pada tahun 2004.

Munculnya berbagai gejolak ketenagakerjaan seperti maraknya berbagai aksi unjuk rasa oleh pekerja yang pada akhirnya merugikan kegiatan ekonomi mewarnai dunia ketengakerjaan setelah proses reformasi. Unjuk rasa biasanya dipicu oleh perselisihan yang berkaitan dengan hubungan industrial. Adanya ketidakpastian sehubungan dengan aturan main perburuhan mulai dapat diperbaiki dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah disahkan oleh DPR. Dengan adanya Undang-undang ini diharapkan tercipta aturan main ketenagakerjaan yang dapat memberikan perlindungan baik terhadap pekerja maupun kepada pemberi kerja. Namun demikian, Undang-undang ini masih perlu diikuti oleh berbagai peraturan lanjutan untuk menjamin berbagai kepentingan pekerja dan pemberi kerja tadi.

Permasalahan yang juga marak selama ini adalah permasalahan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Penyelesaian permasalahan TKI ilegal yang dipulangkan dari Malaysia, hingga saat ini belum seluruhnya dapat diatasi. Upaya pemecahan permasalahan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri seperti diamanatkan REPETA 2003 nampaknya belum dapat terlaksana.

Di samping itu, permasalahan lain yang belum sepenuhnya ditangani adalah masalah kesetaraan kesempatan kerja dan masalah pekerja anak. Masalah kesetaraan kesempatan kerja berkaitan dengan kesempatan dan perlakuan yang sama. Sedangkan masalah pekerja anak sangat erat kaitannya dengan kemiskinan dan tidak adanya kesempatan untuk memperoleh pendidikan.

Langkah-langkah prioritas yang akan dilaksanakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut meliputi: (1) Melaksanakan kebijakan penciptaan kesempatan kerja yang terpadu, termasuk penguatan kapasitas kelembagaan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan program-program ketenagakerjaan; (2) Merumuskan kebijakan nasional dan melaksanakan program aksi penciptaan kesempatan kerja bagi penganggur usia muda, dimana Indonesia merupakan salah satu negara dalam Jaringan Penciptaan Lapangan Kerja bagi Pemuda yang diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa; (3) Menyempurnakan pengelolaan dan pemeliharaan system informasi pasar kerja untuk membantu mempertemukan antara pencari dan penyedia kerja; (4) Mengkaji berbagi potensi kesempatan kerja dalam rangka melakukan upaya-upaya penciptaan kesempatan kerja; (5) Menindaklanjuti pembentukan lembaga standarisasi dan sertifikasi kompetensi pekerja seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; (6) Meningkatkan kualitas dan keefektifan kebijakan, lembaga dan program pelatihan, meliputi dukungan bagi perumusan kerangka kebijakan pelatihan kejuruan dan dirumuskannya pedoman bagi pemerintah daerah; (7) Meninjau kembali relevansi, kualitas, efektivitas dan efisiensi pelatihan kerja yang dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintah maupun swasta. Pelatihan yang dilaksanakan haruslah

IV – 17

dapat bermanfaat bagi pencari kerja atau pekerja yang ingin meningkatkan kemampuannya, serta dapat membantu masyarakat yang membutuhkan pelatihan untuk dapat bekerja mandiri serta pekerja yang membutuhkan pelatihan dalam rangka untuk memperoleh pekerjaan yang lebih produktif, seperti pekerja informal atau pekerja pertanian di perdesaan; (8) Memperkuat kapasitas pemerintah, pekerja, dan pengusaha dalam mengembangkan kebijakan ketenagakerjaan dan melaksanakan program-program untuk meningkatkan ketenangan kerja dan hubungan industrial yang kondusif, meningkatkan pengawasan ketenagakerjaan, meningkatkan produktivitas dan daya saing tenaga kerja; (9) Mengupayakan segera penyelesaian Undang-undang tentang Perselisihan Hubungan Industrial dan menyusun peraturan-peraturan pendukungnya; (10) Menyelesaikan berbagai aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; (11) Menyempurnakan berbagai mekanisme yang berkaitan dengan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, mulai dari seleksi, pembinaan, bimbingan, serta perlindungan yang memadai; serta (12) Penguatan kapasitas kelembagaan termasuk penyadaran tentang prinsip-prinsip mendasar pekerja anak, yang secara khusus dititikberatkan pada penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak.

Sementara itu, dalam pembangunan sektor pertanian, pada tahun 2002, produksi pangan berupa padi mengalami sedikit peningkatan dibanding tahun 2001. Produksi padi tahun 2002 mencapai sebesar 51,40 juta ton atau 1,80 persen lebih tinggi dibanding tahun 2001, yang didorong oleh peningkatan produktivitas sebesar 1,60 persen dan perluasan panen sebesar 0,30 persen. Produksi jagung meningkat sebesar 1,90 persen sedangkan produksi kedele menunjukkan penurunan sebesar 21,10 persen. Penurunan produksi kedele ini disebabkan oleh menurunnya luas panen sebesar 19,50 persen.

Selanjutnya, produksi hasil ternak sebagai pendukung ketahanan pangan juga meningkat. Populasi ternak sapi potong dan sapi perah meningkat masing-masing dari 10,27 juta dan 346.998 pada tahun 2001 menjadi 10,44 juta dan 353.953 pada tahun 2002. Begitu pula, dibanding tahun 2001, produksi ayam ras dan ayam buras masing-masing meningkat sebesar 3,80 persen dan 5,10 persen sedangkan produksi telur dan susu pada tahun 2002 masing-masing meningkat sebesar 6,90 dan 8,60 persen. Produksi hasil perkebunan juga meningkat. Produksi gula, kakao dan kelapa sawit masing-masing meningkat sebesar 1,8 persen, 1,2 persen dan 4,6 persen. Produksi buah-buahan, sayuran dan tanaman hias masing-masing meningkat sebesar 15,2 persen, 10,3 persen dan 38,6 persen.

Selanjutnya, memasuki tahun 2003, bidang pangan dan pertanian menghadapi beberapa permasalahan. Pada awal musim tanam 2003 terjadi keterlambatan tanam yang disebabkan terlambatnya musim hujan. Di samping itu, komoditas pertanian juga mengalami banyak tekanan dari komoditas pertanian yang berasal dari luar negeri akibat dibukanya mekanisme impor dan makin menurunnya tarif bea masuk. Di satu pihak, konsumen diuntungkan dengan masuknya barang impor tersebut namun di lain pihak, petani dirugikan. Persaingan dengan produk impor yang lebih murah, makin meningkatnya harga input dan sarana produksi pertanian di dalam negeri, serta makin terfragmentasinya lahan pertanian telah menekan dan membatasi pendapatan petani sehingga insentif untuk meningkatkan produksi semakin berkurang. Keadaan ini mendorong laju konversi lahan pertanian ke lahan non-pertanian semakin meningkat. Kebijakan harga dasar pembelian gabah oleh pemerintah yang ditujukan untuk memberikan insentif peningkatan produksi padi

IV – 18

juga mengalami tantangan yang cukup berat untuk dapat mempertahankan sumbangan produksi pangan dalam negeri dalam rangka mendukung ketahanan pangan. Rendahnya harga komoditas pertanian dalam negeri ini juga mengurangi insentif petani untuk menerapkan teknologi dalam rangka meningkatkan produksi. Sementara itu, meningkatnya impor gula baik yang melalui jalur resmi maupun tidak resmi telah mengganggu upaya revitalisasi produksi tebu dan industri gula nasional.

Masalah lain yang membatasi pengembangan produk pertanian berdaya saing tinggi dan dapat menguasai pasar dalam negeri adalah kurang lancarnya distribusi dalam negeri, baik tingginya biaya transportasi maupun banyaknya retribusi dan pungutan di sepanjang jalur distribusi. Selain itu, dukungan dari sisi permodalan juga mengurangi perkembangan produksi pertanian. Rendahnya penyerapan dana perkreditan oleh sektor pertanian disebabkan sulitnya petani mengakses dana perkreditan tersebut.

Untuk itu, beberapa langkah pokok yang akan dilakukan dalam tahun 2004 melalui program peningkatan ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis meliputi: (1) penyempurnaan sistem perlindungan bagi sektor pertanian secara umum, terutama bagi komoditas yang dinilai penting dan strategis, untuk dapat meningkatkan daya saing sesuai dengan kemampuan dan peraturan global, termasuk penguatan sistem perdagangan untuk komoditas pertanian dan sistem karantina pertanian; (2) peningkatan produksi dan diversifikasi konsumsi pangan dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan yang terdesentralisasi; (3) peningkatan daya saing dan nilai tambah komoditas unggulan yang didukung oleh pengembangan sistem dan usaha agribisnis, sekaligus untuk mendukung pembangunan daerah; serta (4) penguatan kelembagaan pertanian, baik petani/kelompok-tani, maupun lembaga pendukung seperti bimbingan dan penyuluhan, penyediaan informasi dan layanan teknologi, dalam rangka meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian. Di bidang perikanan, langkah-langkah penting yang akan dilaksanakan pada tahun 2004 mencakup: (1) peningkatan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan pada wilayah-wilayah perairan potensial, serta pembinaan mutu hasil perikanan; (2) pengembangan perikanan budidaya melalui pengelolaan kawasan berbasis kegiatan budidaya; (3) peningkatan nilai tambah hasil perikanan dan pengembangan produk perikanan; (4) pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah ikan melalui pengembangan usaha perikanan skala kecil dan menengah secara terpadu, merata dan berkelanjutan (sistem akua-bisnis); serta (5) pemeliharaan daya dukung dan kualitas ekosistem perairan tawar, laut, dan pesisir.

Di samping itu, diperlukan dukungan dari sektor lain berupa: (1) penyempurnaan sistem perkreditan terutama untuk petani dan pengusaha di bidang pertanian dan perikanan; (2) dukungan sistem dan penyediaan air irigasi; (3) dukungan sarana dan prasarana transportasi; (4) sistem perdagangan dalam negeri dan luar negeri yang memperhatikan kemampuan dan kepentingan petani terutama yang berskala kecil, dan memperhatikan sektor pertanian sebagai penyerap tenaga kerja nasional yang cukup besar; serta (5) penyediaan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan industri pertanian hulu dan hilir yang berdaya saing.

Dalam pembangunan pengairan dan irigasi permasalahan utama yang dihadapi adalah meningkatnya daya rusak air berupa bencana alam kekeringan dan banjir sebagai akibat dari berkurangnya kapasitas penampungan air pada sungai dan bangunan-bangunan penampung air. Fenomena ini akan memperpendek usia danau,

IV – 19

waduk, embung, dan situ sehingga akan mempercepat kelangkaan air terutama di musim kemarau, baik untuk irigasi, air baku industri, rumah tangga, maupun untuk keperluan lainnya.

Di samping itu juga masih ada permasalahan lainnya berupa tingginya tingkat sedimentasi akibat rusaknya daerah tangkapan air (catchment area) di daerah hulu dan makin besarnya perbedaan aliran dasar sungai pada musim hujan dan musim kemarau serta tidak terkendalinya penambangan galian (pasir) di badan sungai sehingga menurunkan fungsi bangunan pengambilan air.

Terjadinya pencemaran air dan sumber air akibat pengolahan limbah industri dan rumah tangga telah menurunkan kualitas air. Ancaman ini makin didorong oleh perubahan fungsi kawasan sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kebutuhan lahan untuk permukiman dan industri.

Kecenderungan peningkatan kebutuhan air yang tidak diikuti dengan kemampuan penyediaannya akan mendorong terjadinya konflik horisontal dan vertikal dalam pemanfaatan air, baik antar jenis pemanfaatan maupun antar daerah terutama pada sumber-sumber air lintas wilayah. Untuk itu perlu pengaturan peran dan wewenang antara kabupaten/kota, propinsi, dan pusat dalam satu kesatuan sistem pengelolaan sungai maupun sumber-sumber air lainnya.

Selain itu, untuk mendukung peningkatan produksi pertanian dalam mencapai ketahanan pangan nasional, pembangunan irigasi menghadapi permasalahan utama yang yaitu: (i) menurunnya fungsi jaringan irigasi akibat adanya sekitar 22,4 persen jaringan irigasi yang rusak berat dan ringan; (ii) masih berlangsungnya konversi lahan sawah beririgasi teknis menjadi kawasan non pertanian, terutama di kawasan lumbung padi di pulau Jawa; dan (iii) kurangnya perhatian pemerintah daerah dalam penyediaan dana pengelolaan irigasi.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sektor pengairan perlu dilakukan pengaturan kembali tugas dan fungsi kelembagaan pengairan baik di pusat maupun di daerah serta peningkatan kapasitas masyarakat yang diarahkan untuk mempertahankan efisiensi pemanfaatan jaringan irigasi, pengembangan secara selektif jaringan irigasi dan rawa yang cepat berfungsi untuk mendukung ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis, meningkatkan efektifitas pengendalian daya rusak air, serta meningkatkan penyediaan air baku untuk mendukung upaya pemenuhan kebutuhan air baku perkotaan, perdesaan, industri, dan non pertanian lainnya secara berkelanjutan.

Selanjutnya, upaya untuk mendorong pengembangan usaha kecil, menengah, dan koperasi (UKMK) yang mempunyai peran yang signifikan dalam menggerakkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja tetap menjadi prioritas. Aktivitas ekonomi UKMK yang berjumlah sekitar 41,4 juta unit (99,9 persen dari total jumlah usaha secara nasional) pada tahun 2002 merupakan wujud partisipasi bagian terbesar masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan nasional. Di samping itu, sampai dengan akhir tahun 2002, UKMK mampu menyerap 99,5 persen dari seluruh tenaga kerja nasional yang bekerja, meliputi 88,7 persen di usaha kecil dan 10,8 persen di usaha menengah.

IV – 20

Kontribusi UKMK terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) non-migas pada tahun 2002 mencapai 63,9 persen. Produktivitas UKM meningkat namun masih terdapat kesenjangan produktivitas yang lebar antara UKM dan usaha besar. Apabila diukur berdasarkan perbandingan antara nilai tambah (PDB) non-migas dengan jumlah unit UKM, produktivitas per unit usaha untuk usaha kecil dan usaha menengah masing-masing mencapai Rp16,0 juta dan Rp4,0 milyar sedangkan untuk usaha besar mencapai Rp233,6 milyar.

Upaya penciptaan iklim yang kondusif bagi UKMK pada tahun 2002 sudah menunjukkan kemajuan dibandingkan dengan tahun 2001. Beberapa daerah sudah berupaya menyederhanakan perijinan melalui pengembangan One-Stop Service (pelayanan terpadu) dan merevisi peraturan-peraturan yang menghambat sekaligus berusaha mengurangi dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya. Namun masih banyak daerah lain yang menganggap UKMK sebagai sumber pendapatan asli daerah dengan mengenakan pungutan-pungutan baru bagi UKMK sehingga biaya transaksi UKMK meningkat. Di tingkat nasional, upaya memperkuat landasan hukum bagi UKMK dilakukan dengan penyusunan RUU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah untuk mengganti UU No. 9 Tahun 95 tentang Usaha Kecil dan Inpres No. 10 Tahun 99 tentang Usaha Menengah, dan dilanjutkannya penyelesaian RUU tentang Koperasi sebagai perubahan terhadap UU No. 25 Tahun 92. Upaya-upaya penyempurnaan iklim usaha tersebut dilanjutkan dalam tahun 2003 dan perlu semakin ditingkatkan dalam tahun 2004.

Beberapa upaya dalam rangka peningkatan akses UKMK terhadap sumberdaya produktif pada tahun 2002 juga menunjukkan perkembangan yang positif. Pada pertengahan tahun 2002 telah dimulai upaya pengembangan sistem informasi kredit dan biro kredit, serta fasilitasi penyelesaian hutang UKM melalui penerbitan Keppres No. 56 Tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit UKM. Selain itu, tercatat peningkatan kapasitas perbankan dalam penyaluran kredit kepada UKM, serta peningkatan fasilitasi pembiayaan dari pemerintah dalam bentuk dana bergulir, dan penjaminan kredit bagi 494 UKMK di 17 propinsi. Namun demikian, masih dibutuhkan adanya pemantauan dan evaluasi yang lebih baik terhadap pelaksanaan Keppres Nomor 56/2002, partisipasi perbankan dalam penyaluran kredit, dan pengelolaan dana bergulir sehingga tepat sasaran, transparan dan bertanggung-gugat. Selanjutnya berkenaan dengan Surat Utang Pemerintah (SUP) Nomor SU-005/MK/1999, telah disalurkan sebesar Rp850 milyar bagi pendanaan KKPA-TR dan Kkop-Pangan dari dana SUP yang tersedia sebesar Rp3.097,9 milyar. Dalam rangka mendukung pendanaan kredit kepada usaha mikro dan kecil, pemanfaatan dana SUP direncanakan untuk ditingkatkan yang disertai dengan perbaikan mekanisme dan persyaratan penyalurannya dengan memperhatikan baik aspek kepentingan usaha mikro dan kecil maupun aspek kolektibilitas pengembalian kredit.

Perkembangan akses UKM terhadap sumberdaya produktif non-finansial selama tahun 2002 di antaranya ditandai dengan peningkatan ketersediaan penyedia jasa layanan pengembangan usaha (business development services-BDS) baik yang difasilitasi pemerintah (pusat dan daerah) maupun swasta; dan tumbuhnya klaster/sentra UKM di berbagai daerah. Pengembangan klaster/sentra di berbagai daerah yang diintegrasikan dengan pengembangan BDS juga terkait dengan upaya peningkatan kewirausahaan dan daya saing UKMK. Fasilitasi bagi BDS dan sentra disediakan dalam bentuk dukungan modal awal padanan (matching fund) bergulir, bantuan teknis (pendampingan dan pelatihan), dan pengembangan jaringan BDS.

IV – 21

Pada tahun 2002, telah dikembangkan 332 sentra UKM dan BDS di seluruh Indonesia. Sementara itu, upaya peningkatan perilaku kewirausahaan dan daya saing UKMK terus dilanjutkan dalam tahun 2002, terutama melalui fasilitasi kegiatan pelatihan, magang, serta perkuatan kebijakan dan modul/kurikulum diklat kewirausahaan, pengelolaan usaha dan perkoperasian. Permasalahan internal yang melekat pada UKMK sampai saat ini belum tuntas tertangani, seperti rendahnya kualitas sumber daya manusia dalam hal kemampuan manajemen, organisasi, teknologi, dan pemasaran; lemahnya kompetensi kewirausahaan; dan terbatasnya kapasitas UKM untuk mengakses permodalan, informasi teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Selain itu, tantangan perdagangan bebas yang semakin besar terutama setelah pemberlakuan AFTA pada tahun 2003 membutuhkan perbaikan iklim usaha, terutama di bidang perdagangan dalam negeri dan investasi.

Melihat permasalahan dan tantangan ke depan dan percepatan transformasi struktural dan pertumbuhan ekonomi yang sekaligus menciptakan lapangan kerja, kerangka pemberdayaan UKMK tahun 2004 akan lebih diprioritaskan pada langkah-langkah untuk mempercepat pembenahan kelembagaan termasuk kebijakan dan regulasi yang bersifat lintas sektor dan lintas wilayah terutama yang merupakan disinsentif bagi UKMK, memperluas berkembangnya institusi pendukung seperti teknologi, jaringan pemasaran dan skema pembiayaan. Di samping itu, perhatian yang besar juga ditujukan untuk mengembangkan lebih lanjut UKM orientasi ekspor, UKM dengan kandungan nilai tambah tinggi terutama yang menggunakan sumberdaya alam/lokal, serta usaha menengah yang merupakan supporting industry.

Sejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin, pengembangan usaha skala mikro secara lebih meluas dilakukan dengan meningkatkan kegiatan pelatihan, bantuan teknis, dan meningkatkan akses ke sumberdaya ekonomi termasuk pengembangan lembaga keuangan mikro (LKM). Upaya tersebut juga disertai dengan memberikan kesempatan usaha bagi kelompok masyarakat miskin dan penganggur yang memiliki keterbatasan untuk berpartisipasi dalam arus ekonomi utama, dan berwirausaha secara formal untuk mendapatkan penghasilan yang tetap. Selain itu, untuk memperkuat kedudukan LKM, saat ini sedang dipersiapkan penyusunan RUU tentang LKM.

Pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak saja penting sebagai sumber pertumbuhan dan daya saing ekonomi, tetapi juga sumber perkembangan peradaban. Tingkat kemajuan pembangunan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) ditandai oleh kontribusinya terhadap khasanah perkembangan ilmu pengetahuan yang bersifat universal, dan pengembangan pada aspek yang bersifat terapan, dalam bentuk pemanfaatan produk litbang pada skala produksi dan komersial. Berpijak dari hal tersebut, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional dinilai belum mencapai pada tingkat yang diharapkan.

Sampai dengan tahun ketiga pelaksanaan Propenas telah dilakukan berbagai kegiatan Iptek yang ditujukan untuk mendorong tumbuhnya kegiatan Iptek di industri dan duia usaha. Kegiatan yang dilakukan antara lain dalam bentuk kerjasama pengembangan teknologi terapan antara lembaga Iptek dengan industri, peningkatan kesadaran akan pentingnya perbaikan kualitas dalam proses produksi kepada dunia usaha, penyediaan berbagai insentif dalam rangka pemanfaatan produk litbang oleh industri, serta pengembangan rintisan usaha berbasis produk litbang. Selain itu dalam rangka penyediaan informasi teknologi kepada dunia usaha dan masyarakat telah

IV – 22

dilakukan pemanfaatan sistem jaringan informasi teknologi sebagai infrastruktur pelayanan iptek, penyediaan paket informasi teknologi siap pakai dalam berbagai bentuk media informasi, serta penyediaan informasi peluang usaha berbasis pemanfaatan teknologi. Dalam upaya peningkatan aliran informasi Iptek juga telah dikembangkan unit pelayanan Iptek masyarakat sebagai simpul aliran pemanfaatan Iptek, penyebarluasan bsisi data keahlian SDM Iptek serta keberadaan sarana dan prasana Iptek yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, industri dan dunia usaha. Juga telah dilakukan berbagai promosi teknologi dalam bentuk pameran serta temu bisnis.

Berbagai upaya yang dilakukan dalam mendorong peningkatan kualitas produksi di industri dan dunia usaha tersebut masih menghadapi banyak kendala dalam pelaksanaannya. Disamping masih kuatnya ketergantungan pihak industri dan dunia usaha terhadap produk teknologi asing, juga keberadaan kebijakan dan peraturan operasional yang dapat mendorong tumbuhnya iklim inovasi masih sangat terbatas. Selain itu kurangnya kebijakan dan program yang dapat mensinergikan antara kebijakan di sisi penyedia teknologi (supply side) dan di sisi penguna (demand side) serta mekanismei transaksi antar kedua sisi tersebut menjadi kendala lain dalam peningkatan pertumbuhan iklim inovasi. Kemajuan Iptek dapat berlangsung apabila terdapat pertumbuhan yang selaras antara sisi penyedia dan sisi penggunan yang difasilitasi oleh system transaksi yang efisien. Secara mendasar permasalahan yang dihadapi oleh pembangunan Iptek nasional adalah terjadinya idle capacity dan persaingan dengan teknologi impor pada sisi penyedia, macetnya sistem transaksi, serta belum tumbuhnya sisi pengguna domestik.

Masalah lain pada sisi pengguna adalah belum tumbuhnya persepsi untuk menjadikan teknologi sebagai pendorong dalam sistem produksinya yang perlu dimiliki dan dikembangkan di dalam organisasi mereka. Terdapat indikasi bahwa pihak industri sangat tergantung pada paket teknologi yang diperoleh melalui lisensi dari industri di luar negeri. Beberapa permasalahan yang dapat diindikasikan antara lain adalah belum tumbuhnya kemauan dan kemampuan pihak industri untuk melakukan penelitian dan pengembangan. Hal yang perlu diwaspadai adalah bahwa pola pengembangan teknologi nasional yang saat ini masih bercirikan supply driven, tidak akan tumbuh secara sehat apabila tidak diimbangi oleh pertumbuhan sisi permintaan yang memadai.

Permasalahan pada sisi transaksi adalah belum terbangunnya suatu sistem komunikasi dan hubungan yang terlembaga antara lembaga litbang (termasuk universitas) dan pihak industri. Sebagai akibatnya adalah terjadinya kegagalan pasar karena tidak selarasnya antara produksi yang dihasilkan oleh lembaga litbang dengan apa yang dikehendaki oleh pihak industri yang terutama diakibatkan oleh gagalnya arus informasi timbal-balik diantara mereka.

Berdasarkan kondisi dan permasalahan tersebut kebijakan pembangunan Iptek pada tahun 2004 diarahkan menuju (1) Penguatan interaksi dalam bentuk pelembagaan sistem komunikasi antara lembaga iptek dengan dunia usaha, (2) Pengembangan pola insentif dalam bentuk kemitraan (2) Mendorong tumbuhnya kegiatan litbang di industri, (3) Penyelerasan antara kebijakan iptek dengan kebijakan industri, kebijakan fiscal, dan kebijakan lainnya, (4) penerapan standar mutu yang mengacu pada sistem Measurement Standardization Testing and Quality (MSTQ); (5) Peningkatan aliran informasi iptek antara lembaga iptek dan dunia

IV – 23

usaha, serta (6) Pengembangan indikator BERD (business expenditure on research and development).

Pembangunan bidang sarana dan prasarana selama 3 tahun terakhir mengalami hambatan akibatnya kesenjangan antara penawaran dan permintaan baik secara kuantitas dan kualitas makin melebar. Hal ini akan membahayakan kesinambungan pembangunan jangka menengah dan panjang.

Di sektor energi, krisis penyediaan tenaga listrik secara teknis disebabkan kekurangan penyediaan tenaga listrik terhadap pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik. Rasio elektrifikasi secara nasional pada saat ini baru mencapai 52,1 persen artinya potensi pertumbuhan demand masih akan tinggi. Pada sisi penyediaan, pertumbuhan penambahan kapasitas terpasang pembangkit sangat lambat bahkan sejak tahun 1998 tidak ada lagi investasi baru di sektor tenaga listrik. Disamping itu, kemampuan pemerintah untuk melakukan investasi dan dukungan keuangan dari lembaga donor sangat terbatas. Daerah krisis diluar Jawa-Madura-Bali sampai dengan tahun 2001 terdapat 26 daerah krisis dan 14 daerah krisis pada tahun 2002. Apabila tidak ada penambahan kapasitas pembangkit, sistem kelistrikan JAMALI kemungkinan akan terjadi krisis tahun 2004.

Dalam rangka mempertahankan tingkat jasa pelayanan sarana dan prasarana ketenagalistrikan sesuai amanat Propenas serta untuk mengatasi krisis telah dilakukan rencana tindak antara lain: Repowering PLTU Muara Karang (720 MW), Pembangunan PLTU Tj Jati B (1320 MW) dan pembangunan Transmisi 500 kV jalur selatan untuk sistem JAMALI. Sedangkan untuk sistem di luar JAMALI dilakukan dengan melanjutkan pembangunan proyek pembangkit seperti antara lain: PLTA Renun (41 MW), PLTA Peusangan (42,2 MW), PLTA Musi (70 MW), PLTD tersebar serta melanjutkan pembangunan jaringan transmisi di Sumatera dan berbagai daerah lain. Langkah-langkah jangka pendek juga telah dilakukan seperti sewa pembangkit, relokasi pembangkit dan rehabilitasi pembangkit untuk meningkatkan daya mampu.

Program peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap jasa pelayanan sarana dan prasarana ketenagalistrikan, selain dilakukan dengan perluasan jaringan transmisi dan distribusi yang telah ada, juga akan dilakukan melalui pemanfaatan energi baru dan terbarukan terutama untuk daerah diluar jangkauan pelayanan listrik PLN, yaitu dengan pembangunan microhydro (PLTMH) dan panas bumi (PLTP). Dalam rangka pemanfaatan energi panas bumi, masih diperlukan suatu Geothermal Strategic Plan, yang membahas strategi pemanfaatan sumber panas bumi yang diperkirakan setara dengan 20.000 MW. Selain itu diperlukan pula redifinisi terhadap konsesi area yang sedang, telah dan dalam tahap renegosiasi serta dalam tahap konstruksi. Redefinisi tersebut perlu dipertegas dalam rangka memberi kepastian dan untuk mendorong investor swasta lainnya yang akan mengembangkan energi panas bumi.

Program restrukturisasi dan reformasi di bidang sarana dan prasarana ketenagalistrikan juga terus dilanjutkan untuk menciptakan industri listrik yang lebih efisien serta mendorong peran serta swasta di bisnis listrik. Tumbuhnya investasi di sektor ketenagalistrikan merupakan salah satu upaya untuk mengatasi krisis penyediaan listrik dan sinyal positif bahwa sektor tenaga listrik masih menarik bagi investor. Pertumbuhan investasi berarti juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi

IV – 24

dan meningkatkan pula daya beli masyarakat dan juga kemampuan untuk membayar biaya konsumsi listrik. Untuk meningkatkan iklim investasi di sektor tenaga listrik perlu dilakukan berbagai upaya antara lain: Mengubah Keppres Nomor 7/1998 agar lebih kondusif, meningkatkan Tarif Dasar Listrik mencapai nilai ekonominya, Kepastian regim pajak dan insentif perpajakan bagi investor (tax holiday dll), rasionalisasi kontrak antara PT PLN (Persero) dengan para pengembang listrik swasta dengan pendekatan yang saling menguntungkan, menyiapkan dan merivisi peraturan-peraturan Ketenagalistrikan sejalan dengan UU No. 20 Tahun 2002 serta meningkatkan kondisi keamanan yang lebih kondusif.

Sasaran pokok kebijakan pembangunan prasarana dan sarana transportasi adalah mempertahankan tingkat jasa pelayanan transportasi; melanjutkan restrukturisasi dan reformasi di bidang transportasi untuk meningkatkan efisiensi, akuntabilitas dan kinerja pelayanannya; serta meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap jasa pelayanan sarana dan prasarana transportasi.

Selama terjadinya krisis ekonomi di Indonesia telah terjadi penurunan kualitas pelayanan sarana dan prasarana transportasi, terutama disebabkan menurunya kondisi sarana dan prasarana transportasi dilain pihak terjadi peningkatan biaya operasi yang tidak diimbangi kemampuan daya beli masyarakat. Kondisi prasarana dan sarana yang kurang pemeliharaan telah menyebabkan meningkatnya jumlah panjang jalan yang rusak, terjadi backlog pemeliharaan prasarana dan sarana kereta api, penurunan kondisi sarana transportasi umum, baik di jalan, di angkutan sungai, danau dan penyeberangan serta di angkutan laut dan udara. Adanya kekurangan pendanaan dan terjadinya penundaan dalam pemeliharaan prasarana dan sarana, berdampak pada peningkatan efisiensi serta meningkatnya biaya produksi yang akhirnya berdampak pada peningkatan biaya ekonomi di masa mendatang. Kebijakan untuk mengurangi subsidi BBM dalam tahun 2002 dan 2003 juga berdampak pada kenaikan tarif jasa transportasi, serta berkurangnya kemampuan daya beli masyarakat terutama golongan menengah ke bawah, sehingga diperlukan kebijakan yang terpadu agar kesinambungan pelayanan umum bagi masyarakat menengah kebawah tetap diprioritaskan.

Kebijakan yang bersifat strategis dan komprehensif di bidang tarif, subsidi serta deregulasi sektor transportasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kebijakan jasa transportasi agar tetap terjangkau oleh masyarakat miskin, umumnya masih terbatas. Upaya subsidi pemerintah yang dilaksanakan tahun 2001 dan 2002 diantaranya melalui penyediaan dana kompensasi kenaikan harga BBM untuk angkutan bus umum perkotaan, penyediaan dana Public Service Obligation (PSO) untuk angkutan kereta api kelas ekonomi, serta subsidi operasi angkutan perintis baik untuk angkutan bus, penyeberangan, laut maupun udara perintis.

Berbagai indikasi permasalahan yang masih akan dihadapi dalam tahun 2004 sejalan dengan meningkatnya mobilitas masyarakat adalah peningkatan kebutuhan pelayanan sarana dan prasarana transportasi.

Pada transportasi darat, masalah pemeliharaan prasarana jalan, terutama jalan kabupaten yang masih menghadapi kendala pendanaan, di sisi lain terjadi tingkat kerusakan jalan akibat pelanggaran batas muatan kendaraan di jalan serta kualitas pemeliharaannya, masalah kinerja keselamatan dan kualitas pelayanan angkutan umum di jalan, kejelasan peran Pemerintah Daerah dalam pembinaan dan penyediaan

IV – 25

jasa angkutan umum di perkotaan, masalah “backlog” pemeliharaan prasarana dan sarana kereta api serta manajemen perkeretaapian, aspek kelembagaan, peraturan dan akuntabilitas pelaksanaan skema pendanaan PSO, IMO (Infrastructure Maintenance and Operation) dan TAC (Track Access Charges) perkeretaapian yang perlu disempurnakan, serta restrukturisasi kelembagaan dan peraturannya serta penyelesaian revisi UU jalan dan lalu lintas angkutan jalan (UU No. 13 Tahun 1992), serta UU perkeretaapian (UU No. 14 Tahun 1992).

Untuk transportasi laut, pangsa pasar armada pelayaran nasional baik untuk angkutan dalam negeri maupun ekspor-impor masih sangat rendah. Penyediaan sarana transportasi oleh swasta telah berkembang dengan pesat, namun masih belum didukung dengan ketersediaan fasilitas penunjang yang memadai. Kebijakan membuka pasar bagi kegiatan transportasi udara, serta dampak akibat menurunnya pasar transportasi udara di beberapa negara maju lainnya, telah menimbulkan menurunnya biaya sewa pesawat sebagai komponen utama biaya operasi angkutan udara, sehingga meningkatkan pertumbuhan jasa angkutan udara di dalam negeri serta meningkatkan persaingan yang tajam dan pada gilirannya telah menimbulkan perpindahan permintaan konsumen moda transportasi laut, transportasi jalan dan kereta api kepada jasa transportasi udara, sehinga dapat mengancam pelayanan jasa transportasi darat dan laut khususnya pada lintas yang sama. Masalah yang dihadapi adalah perlunya perubahan strategi dan penataan kembali rute pelayanan yang mengantisipasi persaingan antar moda, penyelarasan dan pola kerjasama pelayanan antar moda, dan di sisi lain perlu diantisipasi agar persaingan yang tajam melalui perang tarif tidak mengorbankan aspek keselamatan dan persyaratan minimal kelaikan pelayanan bagi setiap operator jasa transportasi udara.

Sumber daya kelautan dan perikanan memiliki berbagai potensi sumber daya yang dapat pulih, sumber daya yang tidak dapat pulih, jasa-jasa lingkungan dan potensi ekonomi yang besar. Berbagai sumber daya kelautan dan perikanan tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi nasional. Nilai ekonomi sumber daya kelautan dan perikanan mencapai sekitar Rp821 triliun per tahun. Potensi terbesar dimiliki oleh budidaya laut dengan nilai sebesar Rp467 triliun per tahun, diikuti oleh perikanan tangkap sebesar Rp151 triliun, budidaya air payau/tambak sebesar Rp100 triliun per tahun, budidaya air tawar sebesar Rp52 triliun per tahun, dan perairan umum sebesar Rp11 triliun miliar per tahun. Di samping itu diperkirakan nilai ekonomi bioteknologi kelautan mencapai sekitar Rp40 triliun per tahun, yang berarti masih terbuka peluang untuk peningkatan nilai ekonomi sesuai dengan kemajuan teknologi.

Melihat besarnya potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang ada, sub-sektor kelautan dan perikanan dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang mempunyai daya saing tinggi apabila didukung dengan permodalan dan manajemen profesional. Untuk itu perlu dikembangkan berbagai langkah yang dapat merealisasikan pemanfaatan potensi untuk mempercepat pembangunan, antara lain melalui Gerakan Nasional Pembangunan Kelautan dan Perikanan yang secara serentak dan terpadu di seluruh daerah pada wilayah pesisir, laut dan perairan tawar potensial, seperti intensifikasi pembudidayaan ikan; penataan perijinan penangkapan ikan; pemberdayaan ekonomi nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah ikan; serta Gerakan Nasional Bersih Pantai dan Laut. Gerakan ini memerlukan dukungan sektor-sektor lain secara sinergis dan terkoordinasi, baik di tingkat pusat maupun daerah dan masyarakat.

IV – 26

Pencapaian hasil pembangunan sub sektor kelautan dan perikanan mengalami kenaikan secara bertahap yaitu: (1) produksi perikanan mencapai 5,5 juta ton pada tahun 2002 atau meningkat dari tahun 1999-2002 rata-rata sebesar 4,26 persen per tahun, (2) konsumsi ikan mencapai 23,63 kg/kap/tahun pada tahun 2002 atau meningkat rata-rata sebesar 4,5 persen per tahun dalam periode 1999-2002, (3) pada tahun 2002 kontribusi bidang perikanan terhadap PDB nasional mencapai Rp38,07 triliun atau 3,04 persen dari PDB nasional. Kontribusi ini meningkat sedikit dibandingkan dengan kontribusi pada tahun 2001 sebesar 2,35 persen dari PDB nasional. Dilihat dari pertumbuhannya, pertumbuhan sub sektor perikanan 13,7 persen lebih tinggi dari sub sektor peternakan, perkebunan, tanaman pangan dan kehutanan, dan (4) nilai ekspor hasil perikanan mencapai Rp16,1 triliun pada tahun 2002, dengan volume sebesar 0,51 juta ton.

Meskipun di beberapa wilayah penangkapan (fishing ground) perairan laut Indonesia telah terdapat gejala penangkapan berlebihan, namun masih terbuka peluang untuk pengembangan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eklusif Indonesia (ZEEI) dan laut bebas. Tingkat pemanfaatan sumber daya ikan laut sekitar 80 persen dari potensi lestari. Selama ini peluang tersebut ternyata banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak berhak melalui praktek kegiatan pencurian ikan, penangkapan yang tidak sesuai dengan ketentuan, penangkapan di luar wilayah yang dimuat dalam perijinan, penangkapan di perairan yang belum ada pengaturannya, dan tidak melaporkan hasil tangkap (illegal, unregulated, and unreported fishing/IUU), yang diperkirakan merugikan negara sekitar Rp13,6 triliun per tahun. Upaya yang akan dilakukan dalam penanggulangan IUU fishing, antara lain: pembenahan dan penyempurnaan perizinan, penguatan pengawasan dan pengamanan di laut, peningkatan efisiensi dan efektivitas kredibilitas peradilan, dan penguatan armada perikanan nasional dalam pendayagunaan sumber daya kelautan yang ada. Selain itu terdapat pula kegiatan pencurian pasir laut yang cenderung merusak lingkungan dan merugikan negara sebesar Rp30 triliun setiap tahunnya. Sementara itu, dalam bidang perikanan budidaya masih dijumpai kasus-kasus pelanggaran hukum seperti terjadinya perampokan pada usaha budidaya mutiara di NTB, NTT, Maluku (Kepulauan Aru), Maluku Utara (Ternate), Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah (Banggai Kepulauan) dan penjarahan usaha budidaya udang di pertambakan, yang mengakibatkan kerugian besar bagi para pengusaha dan perekonomian daerah.

Langkah penting dalam upaya pengendalian dan pengawasan di laut dan pantai adalah pembenahan kelembagaan dan penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana di bidang perikanan dan kelautan. Disamping itu, di tingkat operasional dilakukan pengendalian dan pengawasan melalui penerapan sistem monitoring, controlling dan surveillance (MCS). Vessel monitoring system (VMS) yang merupakan salah satu sub-sistem MCS telah mulai diterapkan bagi kapal-kapal ikan yang beroperasi di laut. Dukungan ini diharapkan dapat memantau dan mengontrol kapal-kapal besar penangkap ikan yang illegal, baik yang beroperasi di perairan Indonesia maupun di kawasan ZEEI. Sistem pengawasan berbasis masyarakat (SISWASMAS) yang merupakan partisipasi aktif dari masyarakat sebagai komplemen kegiatan pengawasan perlu terus dikembangkan. Faktor pendukung lain yang membantu efektifitas pengawasan dan pengendalian adalah penyelesaian pemetaan batas wilayah perairan Indonesia dengan cepat dan tepat. Prioritas diberikan untuk penyelesaian dan penuntasan pembuatan peta batas laut dengan negara tetangga, terutama dengan negara Timor Leste. Meskipun sebagian

IV – 27

besar batas wilayah dengan negara tetangga telah disepakati tetapi masih ada beberapa spot wilayah laut dan wilayah ZEEI yang belum disepakati dengan negara seperti: Vietnam, Singapura, Filipina, Malaysia, Thailand, Palau, PNG, India, dan Australia. Kesepakatan wilayah ZEEI sangat penting untuk bidang perikanan karena berkaitan langsung dengan upaya untuk menghilangkan IUU fishing di lokasi tersebut dan melindungi nelayan Indonesia di wilayah ZEE yang masih dalam persengketaan. Untuk itu, penyelesaian wilayah ZEEI diprioritaskan dengan negara Vietnam, Filipina, Singapura dan Malaysia.

Untuk mengatasi gejala penangkapan ikan berlebihan (over fishing), dilakukan upaya restrukturisasi usaha penangkapan. Sedangkan untuk mengatasi aktivitas penangkapan lain yang merusak dan tidak memenuhi kaidah pembangunan berkelanjutan, dilakukan upaya-upaya peningkatan kualitas sumber daya pesisir melaui konservasi dan rehabilitasi ekosistem dan keanekaragaman hayati laut; serta melaksanakan pengkayaan stok ikan di laut melalui usaha peningkatan populasi ikan (restocking) dan penertiban penangkapan induk ikan dan benih alam. Upaya-upaya tersebut dilakukan dengan tujuan menjaga, memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan dan produktivitas sumber daya pesisir dan laut, sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Dalam rangka mendorong perubahan orientasi pembangunan ke arah pengembangan sumber daya kelautan dan perikanan perlu dilakukan valuasi ekonomi potensi yang ada. Kuantifikasi dari potensi sumber daya kelautan dan perikanan ini dapat membuka wawasan bagi para pengambil kebijakan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat pemerintah daerah dan masyarakat lokal untuk mengembangkan nilai tambah dari sumber daya kelautan dan perikanan. Dengan demikian pilihan prioritas pembangunan akan lebih tepat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah laut, pesisir, pulau-pulau kecil dan perairan tawar.

Permasalahan-permasalahan lain yang mungkin timbul dalam pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan antara lain disebabkan oleh: (1) terbatasnya data dan informasi sumber daya pesisir, laut, pulau-pulau kecil dan perairan tawar (2) kurangnya pendekatan terintegrasi dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil dan perairan tawar (3) kurangnya transparansi dalam alokasi sumber daya, (4) masih rendahnya kapasitas masyarakat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang lestari, dan (5) masih rendahnya penguasaan dan pemanfaatan IPTEK dalam pendayagunaan sumber daya kelautan dan perikanan.

Oleh karena itu, untuk mengurangi kerusakan sumber daya dan kualitas lingkungan yang ada, serta dalam rangka mempercepat pembangunan di wilayah pesisir dan laut salah satu upaya yang harus dilakukan adalah pembenahan tata ruang wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil agar dapat meminimalkan konflik yang terjadi di lapangan. Kegiatan penting lainnya adalah peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang didasarkan atas kerjasama antara pusat dan daerah, dan antar daerah itu sendiri yang didukung dengan peningkatan terhadap ketersediaan data/informasi kelautan dan perikanan. Selain itu perlu dilakukan pula peningkatan kapasitas masyarakat nelayan, karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan rendahnya penguasaan teknologi para nelayan berakibat pada rendahnya perolehan hasil usaha perikanan yang dilakukan. Data yang ada menunjukkan bahwa sebagian besar

IV – 28

armada kapal nelayan hanya memiliki teknologi sederhana dan tradisional, dan hanya sekitar 5,15 persen dari keseluruhan armada nelayan mempunyai kemampuan di atas 30 GT.

Langkah-langkah prioritas yang merupakan upaya untuk mencapai misi pembangunan bidang kelautan dan perikanan adalah: (1) meningkatkan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan dan masyarakat pesisir lainnya; (2) memperbesar peran sub sektor kelautan dan perikanan dalam pertumbuhan perekonomian; (3) meningkatkan konsumsi ikan per kapita sebagai bagian dari upaya untuk peningkatan kecerdasan bangsa; (4) memelihara dan meningkatkan daya dukung serta kualitas lingkungan perairan laut, pesisir, pulau-pulau kecil, dan perairan tawar (5) meningkatkan pemupukan jiwa (etos kerja) bahari terutama pada masyarakat pesisir serta meningkatkan pemahaman peran laut di masyarakat sebagai pemersatu bangsa.

Sasaran pembangunan sub sektor kelautan dan perikanan yang akan dicapai pada tahun 2004 adalah: (1) produksi perikanan mencapai 7,04 juta ton terdiri dari: perikanan tangkap sebesar 5,12 juta ton dan perikanan budidaya sebesar 1,92 juta ton, (2) konsumsi ikan mencapai 25,66 kg/kapita/tahun atau total konsumsi sebesar 5,76 juta ton, dan (3) nilai ekspor hasil perikanan mencapai Rp38,8 triliun terdiri dari perikanan budidaya Rp22,6 triliun, dan perikanan tangkap Rp16,2 triliun.

Di sektor kehutanan, permasalahan yang dihadapi saat ini semakin kompleks, antara lain karena adanya tekanan terhadap keberlanjutan ekosistem hutan Indonesia yang menyebabkan kondisi dan potensi sumber daya hutan semakin menurun, serta kehidupan masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar hutan semakin memprihatinkan. Disamping itu, permasalahan menjadi semakin kompleks dengan adanya perubahan sistem sosial dan politik yang mengharuskan pembangunan kehutanan berubah paradigmanya.

Dalam rangka perubahan paradigma ini, pembangunan kehutanan ke depan dilakukan berdasarkan tiga pendekatan utama, yaitu pendekatan ekologi, pendekatan sosial, dan pendekatan ekonomi yang dilakukan secara seimbang. Pembangunan kehutanan dilaksanakan atas dasar etika pembangunan yang menjamin keberlanjutan ekosistem dan fungsi sumber daya hutan, yang menghargai keterkaitan dan saling ketergantungan antara sumber daya hutan, masyarakat luas dan komunitas yang mengelilinginya, serta yang bersifat akomodatif dan partisipatif terhadap berbagai pihak yang berkaitan dengan keberlanjutan ekosistem hutan. Untuk itu pada tahun 2002 telah dicanangkan era rehabilitasi dan konservasi selama sepuluh sampai dua puluh tahun ke depan.

Dalam rangka pelaksanaan paradigma baru pembangunan kehutanan, beberapa hasil yang telah dicapai di tahun 2002 adalah sebagai berikut: (1) di bidang pemberantasan penebangan liar telah dilakukan kampanye dan penyebarluasan informasi/materi kebijakan di 9 taman nasional, kajian citra satelit dan pemanfaatan data radar, pelaksanaan sosialisasi perlindungan hutan kepada masyarakat dan pemerintah daerah, fasilitasi pembentukan kelompok masyarakat yang berperan dalam perlindungan hutan, serta pengembangan hutan kemasyarakatan di dalam dan sekitar hutan; (2) di bidang penanggulangan masalah kebakaran hutan, antara lain telah dilakukan pembentukan Brigade Kebakaran Hutan Manggala Agni di 5 propinsi, kampanye dan penyebarluasan informasi/kebijaksanaan penanggulangan

IV – 29

kebakaran hutan melalui media cetak dan elektronik, serta pembentukan, penguatan, dan pengembangan kelembagaan masyarakat tani hutan dengan membentuk kelompok usaha produktif yang berbasis kehutanan sebanyak 50 kelompok di 50 kabupaten; (3) di bidang restrukturisasi sektor kehutanan antara lain telah dilakukan fasilitasi penyelesaian restrukturisasi industri kehutanan bermasalah yang berada dalam penanganan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), peningkatan efisiensi manajemen industri kehutanan, penyempurnaan tata usaha pengelolaan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR), serta pengawasan pelaksanaannya; disamping itu juga telah diadakan kesepakatan antara Menteri Kehutanan dengan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, tentang kewenangan pembinaan industri pengolah hasil hutan, percepatan restrukturisasi industri pulp/kertas di BPPN, pembentukan Badan Pengendali Kelestarian Bahan Baku dan Badan Pemasaran Bersama; (4) di bidang rehabilitasi dan konservasi hutan antara lain telah dilakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (MP-RHL) Nasional dan Daerah, pengembangan hutan kemasyarakatan seluas 19.000 ha, pengembangan Hutan Rakyat di 9 propinsi, dan pengembangan model pengelolaan hutan rakyat terpadu di 7 Kabupaten; (5) di bidang desentralisasi kehutanan telah dilakukan penguatan proses desentralisasi yang meliputi penyusunan kebijakan, peraturan perundang-undangan dan ketentuan lainnya sebagai pelaksanaan UU No. 41 Tahun 1999 serta penerapan dan penegakan hukum dalam pelaksanaan pengurusan hutan. Dalam rangka itu telah ditetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan serta PP Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi. Kedua PP tersebut secara substantif dimaksudkan untuk mengharmoniskan kewenangan yang dimandatkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Meskipun banyak hal telah dilakukan, masalah pencurian kayu, kebakaran hutan, restrukturisasi industri kehutanan, rehabilitasi hutan dan lahan kritis serta upaya desentralisasi kewenangan masih akan terus dihadapi pada tahun 2004. Permasalahan yang berkaitan dengan pencurian kayu adalah masih lemahnya penegakan hukum yang belum berjalan secara tegas, konsisten dan konsekuen. Banyak kasus yang terungkap tidak sampai diajukan ke pengadilan, atau hanya mendapatkan keputusan hukum yang sangat ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera pada pelaku. Koordinasi penanggulangan pencurian kayu masih lemah karena adanya perbedaan persepsi antarinstansi serta jalur birokrasi yang panjang dalam melaksanakan operasi penegakan hukum. Demikian juga dana operasional untuk pemberantasan pencurian kayu masih menjadi kendala bagi semua instansi yang terlibat. Selain itu, kemiskinan masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar hutan menjadi masalah penting yang harus diselesaikan, karena masyarakat miskin tersebut secara sengaja telah dilibatkan dalam penebangan kayu secara illegal oleh para pencuri kayu. Oleh karena itu, Keputusan Presiden (Keppres) yang mengatur penanganan pencurian kayu sangat mendesak untuk diselesaikan sebagai payung hukum dalam menanggulangi permasalahan dana dan koordinasi.

Kebakaran hutan dan lahan masih akan menjadi permasalahan yang penting dan mengancam kelestarian hutan, sementara penanganannya belum berjalan dengan baik. Hal ini berkaitan dengan kurang disiplinnya pengusaha dan masyarakat dalam pembukaan lahan dengan sistem tebang bakar. Disamping itu, peta identifikasi

IV – 30

kawasan rawan bencana khususnya kebakaran hutan juga masih belum memadai. Beberapa hal lain yang telah dilakukan namun masih perlu ditingkatkan dalam tahun 2004 adalah pengendalian kebakaran, peningkatan peranserta dan pemberdayaan masyarakat, serta penggalangan kerjasama dan pemantapan koordinasi di lapangan.

Beberapa hal yang masih menjadi permasalahan dalam restrukturisasi industri kehutanan adalah masih belum seimbangnya antara pasokan bahan baku kayu yang berasal dari pengelolaan hutan lestari dengan kapasitas industri kehutanan. Disamping itu, juga masih banyak perusahaan kehutanan yang belum dapat membayar hutangnya tepat waktu karena kondisi perekonomian nasional yang tidak kondusif serta kurang efisiennya manajemen perusahaan itu sendiri. Sampai dengan tahun 2003 masih tercatat lebih dari 100 perusahaan debitur yang meliputi industri kayu lapis, sawmill, pulp dan industri pendukungnya serta perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) berada di bawah penanganan BPPN.

Sejak berlakunya otonomi daerah, kondisi hutan cenderung semakin tertekan karena belum adanya kesepahaman antara pemerintah pusat dan daerah dalam kewenangan pengelolaan sumber daya hutan. Bahkan sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 telah keluar Perda-Perda yang bertentangan dengan peraturan perundangan diatasnya. Disamping itu, masih banyak Peraturan Daerah yang hanya mementingkan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa memperhatikan kelestarian hutan. Banyak juga Peraturan Daerah yang tidak sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999 dan peraturan pelaksanaannya. Oleh karena itu, perlu adanya perumusan kembali konsep desentralisasi di bidang kehutanan, sehingga diperoleh persamaan pemahaman dan persepsi antara aparat penyelenggara pemerintahan.

Menghadapi permasalahan kerusakan hutan dan luasnya lahan kritis pada saat ini, rehabilitasi dan konservasi menjadi kegiatan yang sangat penting untuk terus dilakukan. Namun demikian masih ada beberapa masalah penting yang belum dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya yang menyebabkan kondisi hutan yang ada semakin kritis, yaitu lemahnya pengawasan, penegakan hukum dan pengelolaan hutan yang tidak lestari. Pengelolaan hutan dalam bentuk HPH masih menekankan pada pengelolaan hutan yang berbasis kayu dan belum memperhatikan keseimbangan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat lokal. Disamping itu, penguasaan lahan dan kebijakan pengalokasian sumber daya hutan belum sepenuhnya memperhatikan hak adat/ulayat sehingga menimbulkan banyaknya perambahan dan okupasi lahan hutan terutama di kawasan-kawasan konservasi.

Dengan memperhatikan permasalahan yang diperkirakan masih akan dihadapi dalam tahun 2004 yang akan datang, beberapa sasaran yang akan dicapai dalam pembangunan dan pengelolaan hutan dan lahan adalah (1) Terwujudnya kepastian hukum dan status kawasan hutan; (2) Terjaganya fungsi hutan dari kegiatan-kegiatan illegal seperti penebangan liar, perambahan hutan, kebakaran hutan, konversi hutan untuk penggunaan lain, melalui upaya-upaya pencegahan, penanganan dan penegakan hukum yang tegas; (3) Terpulihkannya kondisi hutan yang saat ini sedang mengalami degradasi melalui upaya-upaya rehabilitasi hutan dan lahan secara optimal; (4) Terwujudnya konservasi sumber daya hutan; (5) Optimalisasi manfaat hasil hutan yang meliputi hasil hutan kayu, non kayu, jasa lingkungan, ekowisata, pengembangan dana alternatif (Clean Development Mechanism/CDM dan Debt-for-Nature Swap/DNS); (6) Optimalisasi manfaat sosial

IV – 31

hutan dengan fokus pada pengembangan unit-unit hutan kemasyarakatan termasuk pengembangan hutan rakyat dan aneka usaha kehutanan; serta (7) Tercapainya penguatan kelembagaan kehutanan yang meliputi sumber daya manusia, organisasi, sarana/prasarana, ilmu pengetahuan dan teknologi, peraturan perundangan, serta perencanaan, pengawasan dan pengendalian.

Selanjutnya, sektor sumber daya mineral dan pertambangan sedang menghadapi permasalahan keterbatasan pengembangan karena kebijakan nasional dan peraturan daerah/setempat yang secara langsung ataupun tak langsung belum memberikan dukungannya. Pada situasi saat ini, persoalan kerusakan lingkungan di sekitar areal penambangan juga merupakan permasalahan sentral yang harus segera mendapat perhatian. Laju produksi dari pertambangan migas telah mengalami penurunan yang semakin cepat. Sebaliknya upaya peningkatan cadangan migas belum memberikan hasil yang berarti sedangkan telah terjadi peningkatan konsumsi BBM di dalam negeri. Selain itu persoalan tumpang tindih penggunaan lahan antara pertambangan dan kehutanan masih tetap menjadi permasalahan klasik yang belum sepenuhnya dapat diselesaikan. Dari sisi produksi dan permintaan bahan baku pertambangan, masih terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Disatu sisi kebutuhan industri terhadap bahan tambang cukup tinggi, akan tetapi di lain pihak pemenuhannya masih rendah. Hal tersebut terjadi karena masih adanya perbedaan dalam hal kualitas, kuantitas, teknologi proses pengolahan, maupun jenis komoditas tambang antara kebutuhan dan produksi mineral yang ada. Iklim investasi yang agak kurang baik yang disebabkan karena kelesuan ekonomi secara nasional ikut mempengaruhi investasi di sektor pertambangan. Berkurangnya investasi merupakan salah satu penyebab adanya perbedaan antara penyediaan dan kebutuhan komoditas tambang. Di samping itu, terbatasnya lapangan pekerjaan telah mendorong masyarakat untuk melakukan penambangan tanpa izin (illegal mining) yang merambah wilayah kontrak karya, yang pada gilirannya, menurunkan minat investasi asing.

Untuk itu, kegiatan pada bidang sumber daya mineral dan pertambangan dilakukan untuk menunjang upaya pencarian cadangan-cadangan tambang baru, menjaga keseimbangan lingkungan dan pembinaan pada pertambangan yang sudah beroperasi agar memenuhi kaidah penambangan yang baik, serta peningkatan teknologi proses hasil tambang agar sesuai dengan kebutuhan dalam negeri. Untuk meningkatkan investasi, upaya pembenahan peraturan dan perundangan sektor pertambangan terus dilakukan untuk memberikan kepastian usaha. Selain itu dikaji pula insentif finansial dan non finansial yang dapat diberikan pada kegiatan usaha pertambangan.

Kebijakan prioritas yang akan ditempuh dalam pembangunan bidang sumber daya mineral dan pertambangan pada tahun 2004 adalah: (1) mempertajam dan mengintensifkan inventarisasi potensi sumber daya mineral, (2) mengembangkan sumber daya pertambangan yang berwawasan lingkungan, serta mendorong upaya pemanfaatannya agar lebih maksimal, (3) peningkatan penegakan hukum dalam upaya mencegah perusakan lingkungan, serta meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana alam geologi, (4) melanjutkan proses penyusunan undang-undang pertambangan umum dengan secara lebih ketat dilakukan monitoring dan pembahasan dengan pihak yang berkaitan, (5) meningkatkan kemitraan dengan industri, dan masyarakat untuk menjawab tantangan kebutuhan industri dan masyarakat terhadap hasil tambang, serta (6) meningkatkan transparansi kebijakan

IV – 32

dan peraturan perundang-undangan yang mampu menarik penanaman modal dalam usaha pertambangan.

Sebagaimana pelaksanaan Repeta-repeta sebelumnya, kunci daripada upaya untuk memecahkan berbagai permasalahan tersebut di atas dan mencapai pemulihan ekonomi adalah terciptanya kepercayaan masyarakat, baik dalam dan luar negeri, terhadap pelaksanaan program-program pembangunan. Untuk itu program-program tersebut dilaksanakan secara transparan, akuntabel dan konsisten untuk kepentingan masyarakat luas. Sesuai dengan PROPENAS, program-program tersebut berorientasi kepada pengembangan sistem ekonomi kerakyatan serta berbasis sumber daya nasional/lokal. Dalam situasi yang demikian berat, baik dalam pembiayaan maupun pelaksanaan program-program pembangunan, perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan langkah-langkah terobosan.

Menghadapi perkembangan keadaan tersebut dan perkiraan permasalahan yang akan dihadapi pada tahun 2004 serta dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber daya yang terbatas, maka langkah-langkah pembangunan di bidang ekonomi pada tahun 2004 akan lebih terfokus kepada upaya untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dengan penekanan pada pembangunan sarana dan prasarana ekonomi yang meliputi: (1) meningkatkan langkah-langkah untuk penanggulangan kemiskinan dan menjamin ketahanan pangan; (2) terus mewujudkan stabilitas ekonomi dan keuangan, yang antara lain diupayakan dengan mewujudkan kesinambungan fiskal serta pemantapan ketahanan sektor keuangan; (3) menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan investasi guna mendorong perkembangan sektor riil serta meningkatkan ekspor non-migas dan parawisata; (4) memperluas kesempatan kerja untuk mengimbangi pertambahan tenaga kerja; (5) menyediakan sarana dan prasarana yang memadai dengan mengikutsertakan sektor swasta dan masyarakat pengguna sepanjang dapat dibenarkan oleh asas manfaat dan keadilan; serta (6) pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan.

Langkah-langkah tersebut pada akhirnya akan mendorong kegiatan produksi, terutama ekspor, dan investasi yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi tingkat pengangguran serta kemiskinan.

B. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN

Sesuai PROPENAS 2000–2004, prioritas pembangunan ekonomi dalam tahun 2004 tetap diarahkan kepada upaya untuk mempercepat pemulihan ekonomi disertai dengan upaya untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran yang meningkat pesat selama krisis. Bersamaan dengan itu, pembangunan ekonomi secara bertahap diarahkan untuk meletakkan landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan berlandaskan sistem ekonomi kerakyatan.

1. Menanggulangi Kemiskinan dan Memenuhi Kebutuhan Pokok Masyarakat

1.1 Program Penyediaan Kebutuhan Pokok untuk Keluarga Miskin

Kegiatan pokok program yang diarahkan untuk menjalankan pilar kebijakan pemberdayaan masyarakat dan perlindungan sosial dalam tahun 2004 ini adalah: (1)

IV – 33

Penyediaan dan pencadangan bahan pokok secara terus-menerus; (2) Pengendalian harga bahan pokok; (3) Penyediaan dan perbaikan pelayanan dasar terutama kesehatan dan pendidikan serta prasarana dan sarana dasar lainnya; (4) Perluasan jaringan pelayanan dalam penyediaan kebutuhan pokok dengan melibatkan swasta dan dunia usaha; serta (5) Penyediaan dan perbaikan lingkungan perumahan termasuk air bersih.

1.2 Program Pengembangan Budaya Usaha Masyarakat Miskin

Kegiatan pokok program yang diarahkan untuk menjalankan pilar kebijakan perluasan kesempatan kerja dan berusaha, pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kapasitas dan kemampuan dalam tahun 2004 ini adalah: (1) Meningkatkan kapasitas usaha masyarakat miskin melalui peningkatan skill, modal, teknologi, informasi, dan legal; (2) Mengembangkan pendidikan dan latihan keterampilan usaha, organisasi, jaringan produksi-pasar, dan mengakses lembaga permodalan; (3) Pendampingan usaha, kebiasaan hidup produktif, dan jaringan melalui bimbingan dan konsultasi; (4) Penciptaan jaringan kerja sama dan kemitraan usaha yang didukung oleh organisasi masyarakat setempat, pemerintah daerah, swasta dan perguruan tinggi; (5) Penyediaan kemudahan akses terhadap sumber daya produktif yang difasilitasi oleh pemerintah, sektor swasta dan organisasi kemasyarakatan; (6) Penyediaan prasarana dan sarana usaha ekonomi produktif; dan (7) Pembukaan permukiman dan pengembangan masyarakat transmigrasi untuk petani dan buruh tani serta pengungsi yang tidak memiliki lahan pertanian atau lahan produksi.

1.3 Program Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah: (1) Memperkuat peran dan kapasitas kelembagaan tingkat propinsi dan kabupaten dalam strategi pengembangan usaha kecil dan menengah, dan perbaikan terhadap layanan pendukung, dengan titik berat pada pengembangan usaha mandiri dan sektor informal; (2) Pemberdayaan tenaga kerja penganggur dan setengah penganggur, dengan mengidentifikasi prospek dan potensi kesempatan kerja di daerah; (3) Implementasi secara efektif program-program penciptaan lapangan kerja, termasuk pengembangan kewirausahaan dan pengembangan keterampilan dengan memperhatikan pemberdayaan sumber daya setempat yang dapat diperbaharui dan berkesinambungan; (4) Memprakasai program-program aksi percontohan di wilayah yang dilanda krisis; (5) Penyebarluasan informasi kesempatan kerja dan persediaan angkatan kerja dalam rangka mewujudkan Negara kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja; serta (6) Pembangunan sistem informasi ketenagakerjaan.

1.4 Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah: (1) Menindaklanjuti pembentukan lembaga standarisasi dan sertifikasi kompetensi tenaga kerja yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; (2) Meningkatkan akses, kesempatan dan perlakuan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja; (3) Meningkatkan kualitas, relevansi dan kesesuaian sistem pelatihan kerja dengan kebutuhan pasar kerja serta mengembangkan pelatihan kerja untuk mendukung pengelolaan sumberdaya alam di daerah; (4) Meningkatkan pembinaan

IV – 34

dan pemberdayaan lembaga pelatihan kerja, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta, dan perusahaan; serta (5) Memasyarakatkan nilai dan budaya produktif serta mengembangkan sistem dan metoda peningkatan produktivitas.

1.5 Program Perlindungan dan Pengembangan Lembaga Tenaga Kerja

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah: (1) Mengembangkan sistem hubungan industrial dan meningkatkan kualitas kelembagaan ketenagakerjaan; (2) Sosialisasi peraturan perundang-undangan di bidang hubungan industrial dan implementasi konvensi ILO; (3) Pengawasan terhadap hak-hak dasar pekerja antara lain meliputi bidang pengupahan, jaminan sosial tenaga kerja, anak yang terpaksa bekerja, dan pekerja perempuan; (4) Meningkatkan kualitas lembaga dan personil keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan higiena perusahaan dan kesehatan kerja (hiperkes); serta (5) Meningkatkan kualitas tenaga pengawas terhadap pelaksanaan pengiriman TKI ke luar negeri, sejak pra-penempatan, selama penempatan, dan purna penempatan, termasuk kualitas lembaga penempatan

1.6 Program Pengembangan Sistem Jaminan Sosial

Kegiatan pokok program yang mendukung pilar kebijakan Perlindungan Sosial dalam penanggulangan kemiskinan ini dalam tahun 2004 adalah: (1) Mengembangkan kerangka kebijakan sistem jaminan sosial yang meliputi aspek kelembagaan, cakupan pelayanan, pendanaan dan hukum; (2) Menyerasikan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan sistem jaminan sosial di berbagai sektor pembangunan; (3) Mengembangkan bentuk-bentuk jaminan sosial yang berbasis masyarakat/nilai-nilai kearifan lokal; serta (4) Melakukan sosialisasi konsep sistem jaminan sosial di tingkat nasional dan daerah sebagai perlindungan bagi masyarakat miskin dan rentan.

1.7 Program Asuransi Sosial

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah: (1) Menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang melindungi pengguna jasa asuransi sosial; (2) Melakukan langkah-langkah restrukturisasi guna meningkatkan kesehatan dan kinerja perusahaan asuransi sosial; serta (3) Mengembangkan konsep sistem asuransi sosial yang terpadu dan efisien guna memberikan manfaat yang maksimal bagi peserta asuransi sosial.

1.8 Program Pengembangan Agribisnis

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah: (1) Mengembangkan usaha agribisnis berbasis komoditas unggulan melalui: a) Pengembangan kawasan agribisnis komoditas komersial, b) Peningkatan fasilitasi berkembangnya usaha agribisnis berbasis teknologi terpadu, dan c) Penguatan kelembagaan petani dan kemampuan kewirausahaannya; (2) Mendukung peningkatan kapasitas produksi pangan termasuk ternak melalui optimalisasi pendayagunaan lahan tidur/terlantar dan lahan kering, optimalisasi pemanfaatan irigasi, dan peningkatan produktivitas ternak; (3) Mengembangkan industri dan menyempurnakan sistem perbenihan/perbibitan nasional; (4) Meningkatkan akses pelaku agribisnis terhadap permodalan, sarana dan prasarana agribisnis, serta informasi pasar; (5) Meningkatkan desentralisasi

IV – 35

penyuluhan melalui: a) peningkatan fungsi, kelembagaan dan kemampuan SDM penyuluhan pertanian dan b) penguatan lembaga penyuluhan di daerah; (6) Meningkatkan penyediaan teknologi strategis, spesifik lokasi dan ramah lingkungan; (7) Mengembangkan lembaga usaha dan kemitraan agribisnis, termasuk di bidang kelautan dan perikanan; (8) Memacu pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil, budidaya laut, air payau dan air tawar di pedesaan; (9) Mengembangkan dan merehabilitasi sarana dan prasarana penangkapan ikan; (10) Mengembangkan balai/loka budidaya dan pembenihan serta Laboratorium Pengelolaan Kesehatan Ikan dan Lingkungan; (11) Meningkatkan pembinaan investasi dan pengembangan kelembagaan pemasaran hasil pertanian dan perikanan; (12) Memfasilitasi usaha agribisnis/agroindustri berbasis gender; (13) Meningkatkan perlindungan dan pengawasan komoditi pertanian melalui: a) penyusunan kebijakan perlindungan untuk sektor pertanian dan perikanan, b) penyempurnaan standar mutu komoditas pertanian dan perikanan, c) penguatan kelembagaan karantina dalam pengawasan, dan (d) penguatan pengelolaan plasma nutfah pertanian; (14) Memfasilitasi berkembangnya industri pengolahan untuk meningkatkan kualitas dan nilai tambah produk pertanian; (15) Memfasilitasi penyelesaian konflik di wilayah perkebunan; (16) Meningkatkan optimalisasi perkebunan rakyat, memfasilitasi pengembangan areal kebun baru, dan mendukung upaya-upaya rehabilitasi lahan kritis dengan komoditas perkebunan; (17) Meningkatkan pemberdayaan petani yang berada di bawah garis kemiskinan; serta (18) Meningkatkan koordinasi kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan agribisnis di tingkat pusat, pusat-daerah, dan di daerah.

1.9 Program Peningkatan Ketahanan Pangan

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah: (1) Mengamankan ketersediaan pangan terutama dari dalam negeri melalui: a) Peningkatan produksi pangan pokok (padi dan palawija) melalui intensifikasi dan ekstensifikasi, dan produksi hasil ternak dengan lebih melibatkan peran daerah; b) Peningkatan upaya pengamanan gejolak harga bahan pangan; dan c) Penyempurnaan peraturan di bidang pangan termasuk pemberian subsidi secara selektif dan tepat sasaran, sistem distribusi dan pemasaran serta pengawasan terhadap impor bahan pangan yang dapat merugikan petani, agar pendapatan petani terus meningkat; (2) Meningkatkan penyediaan air irigasi bagi produksi bahan pangan dengan lebih melibatkan peran daerah; (3) Meningkatkan diversifikasi pangan melalui: a) peningkatan produksi pangan non beras, primer dan olahan, b) sosialisasi norma pola pangan harapan (PPH), dan c) fasilitasi pengembangan kelembagaan bisnis pangan berbasis sumberdaya lokal dengan makin melibatkan peran dunia usaha; (4) Meningkatkan efisiensi sistem dan jaringan distribusi pangan nasional yang menjamin ketersediaan dan keterjangkauan pangan sampai di tingkat rumah tangga; (5) Peningkatan sarana dan teknologi pemuliaan untuk menghasilkan benih/bibit yang unggul dan bermutu; (6) Mengembangkan kemandirian pangan masyarakat melalui: a) peningkatan peran pemerintah daerah dan masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan terutama di wilayahnya, b) memfasilitasi berfungsinya kembali lembaga cadangan pangan masyarakat, seperti lumbung pangan desa, dan c) memfasilitasi sistem pengamanan harga dan cadangan pangan lokal; (7) Meningkatkan kemampuan sistem antisipasi dini, mitigasi, dan penanggulangan kerawanan pangan, termasuk dampak akibat bencana alam dan masalah sosial; (8) Mendorong pengarusutamaan gender dalam meningkatkan ketahanan pangan dan perbaikan gizi masyarakat; (9) Menyusun dan

IV – 36

mensosialisasikan peraturan pendukung Undang-Undang Pangan dan penerapan PP Ketahanan Pangan; (10) Meningkatkan mutu dan pengembangan produk serta nilai tambah hasil perikanan; (11) Mengembangkan intensifikasi dan ekstensifikasi budidaya yang meliputi budidaya laut, air payau dan air tawar; (12) Menyediakan bantuan pendanaan dari Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang memperoleh subsidi bunga dari pemerintah; serta (13) Meningkatkan koordinasi kebijakan dan pelaksanaan pembangunan pangan di tingkat pusat, antara pusat-daerah, dan di daerah.

1.10 Program Pengembangan dan Pengelolaan Pengairan

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah: (1) Melanjutkan pengaturan kembali tugas, wewenang, dan tanggung jawab pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten/kota untuk mendorong kemandirian pengelolaan irigasi oleh organisasi petani pengelola irigasi; (2) Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan organisasi petani pengelola irigasi; (3) Menyerahkan kewenangan pengelolaan jaringan irigasi secara demokratis kepada organisasi petani pengelola irigasi; (4) Menerapkan pola pembiayaan pengelolaan irigasi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2001 tentang Irigasi untuk mendukung kesinambungan terselenggaranya kegiatan operasi dan pemeliharaan, rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi guna memantapkan fungsi layanan prasarana irigasi secara berkelanjutan; (5) Mendorong terselenggaranya kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi yang dilaksanakan secara mandiri oleh organisasi petani pengelola irigasi; (6) Meningkatkan peran pemerintah daerah dalam koordinasi dan penyediaan dana pengelolaan irigasi; (7) Melaksanakan rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi/rawa pada lahan-lahan pertanian produktif terutama daerah-daerah lumbung pangan dan tambak rakyat untuk mendukung ketahanan pangan; (8) Mempercepat penyelesaian pembangunan jaringan irigasi baru dan membangun prasarana irigasi baru secara selektif terutama pada daerah-daerah yang lahannya telah siap ditanami; (9) Membuka lahan sawah baru untuk mengoptimalkan fungsi jaringan irigasi yang sudah dibangun; (10) Meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemanfaatan jaringan irigasi/rawa untuk pengembangan pertanian, pertambakan, dan perdesaan dalam rangka mendukung peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani; (11) Meningkatkan upaya perlindungan lahan pertanian beririgasi terhadap kecenderungan terjadinya konversi (alih fungsi) lahan; serta (12) Melaksanakan rehabilitasi, peningkatan, dan pembangunan prasarana air baku untuk mendukung upaya pemenuhan kebutuhan air baku perkotaan, perdesaan, industri, dan non pertanian lainnya.

2. Mengembangkan Usaha Skala Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi

2.1 Program Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif

Program ini bertujuan membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, serta menjamin kepastian usaha dengan memperhatikan kaidah efisiensi ekonomi sebagai prasyarat utama untuk berkembangnya pengusaha kecil, menengah dan koperasi (PKMK). Sasaran yang ingin dicapai dalam tahun 2004 adalah (1) menurunnya biaya transaksi; (2) meningkatnya konsistensi pelaksanaan kebijakan dan peraturan yang

IV – 37

mendukung kesempatan dan kepastian berusaha bagi PKMK; dan (3) meningkatnya skala usaha dan kontribusi PKMK dalam kegiatan ekonomi.

Untuk mencapai sasaran tersebut, kegiatan program ini diprioritaskan pada (1) Penyelesaian landasan hukum bagi usaha kecil, menengah, dan koperasi (UKMK) terutama RUU tentang usaha mikro, kecil dan menengah dan UU tentang Koperasi; (2) Pemantauan, evaluasi dan penyempurnaan kebijakan/peraturan terkait pengembangan UKMK, serta fasilitasi penyederhanaan prosedur perijinan di tingkat nasional dan daerah; dan (3) Peningkatan kapasitas dan partisipasi lintas pelaku (stakeholder) dalam pengembangan UKMK di tingkat nasional dan daerah dalam hal koordinasi kebijakan dan program pembangunan, termasuk dalam perencanaan, pelaksanaan, serta pengendalian.

2.2 Program Peningkatan Akses kepada Sumberdaya Produktif

Program ini bertujuan meningkatkan kemampuan PKMK dalam memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia. Adapun sasaran program ini pada tahun 2004 adalah (1) meningkatnya fungsi intermediasi perbankan dan lembaga pembiayaan non-bank dalam penyaluran kredit kepada UKMK; (2) efektivitas penanganan kredit UKMK yang bermasalah; (3) meningkatnya ketersediaan dan kapasitas lembaga penyedia layanan pengembangan usaha (Business Development Service—BDS) untuk meningkatkan akses dan kapasitas PKMK dalam aspek sumber daya manusia, teknis produksi, pengelolaan, pembiayaan, pasar, teknologi, dan informasi melalui pendekatan sentra/klaster; dan (4) meningkatnya kegiatan skala UKMK sebagai usaha yang layak.

Prioritas kegiatan program ini pada tahun 2004 adalah: (1) Perkuatan infrastruktur kelembagaan perbankan dalam penyaluran kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk menyangkut peraturan perundangan serta ketentuan lainnya, dan pelatihan kepada staf bank umum dan BPR dalam pembiayaan UMKM; (2) Peningkatan penyaluran kredit oleh perbankan dan lembaga non-bank kepada UKMK melalui penyaluran pinjaman yang bersumber dari Surat Utang Pemerintah Nomor SU-005/MK/1999, peningkatan efektivitas penyaluran kredit bank umum dan BPR sesuai dengan business plan masing-masing, pengembangan Sistem Informasi Kredit (credit information system) dan sistem penilaian kredit (credit scoring techniques), fasilitasi pengembangan skim penjaminan kredit UKMK di tingkat lokal; (3) Perluasan sumber permodalan UKMK melalui perkuatan lembaga-lembaga keuangan mikro (LKM) dan KSP/USP-Koperasi, perluasan peran modal ventura, penyediaan kredit ekspor, kredit investasi, pasar modal dan perluasan peran lembaga keuangan syariah; (4) Perkuatan lembaga keuangan yang mendukung pengembangan sentra UKM melalui penyediaan modal awal (seed capital) dan/atau modal padanan (matching fund); (5) Penyiapan RUU tentang LKM; (6) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan restrukturisasi hutang UKMK; (7) Peningkatan kapasitas dan kualitas layanan BDS, termasuk BDS finansial, melalui pendekatan sentra/klaster yang disertai dengan (i) pengawasan, pemantauan dan evaluasi atas kinerja BDS maupun efektivitas sistem insentif yang disediakan bagi BDS; (ii) perluasan jaringan pendukung usaha dalam pengembangan sistem pelayanan informasi usaha, pelatihan, konsultasi teknologi, promosi, pemasaran, disain dan manajemen mutu; serta (iii) pengembangan UKM melalui pendekatan klaster.

IV – 38

2.3 Program Pengembangan Kewirausahaan dan PKMK Berkeunggulan Kompetitif

Program ini bertujuan untuk mengembangkan perilaku kewirausahaan serta meningkatkan daya saing UKMK. Sasaran program ini tahun 2004 adalah (1) meningkatnya pengetahuan serta kapasitas wirausaha PKMK; (2) meningkatnya produktivitas PKMK; dan (3) meningkatnya skala usaha PKMK dalam kegiatan ekonomi khususnya produksi dan pemasaran.

Sasaran-sasaran tersebut dicapai melalui kegiatan yang diprioritaskan pada: (1) Pengembangan sistem insentif untuk mendorong tumbuhnya wirausaha baru melalui inkubator bisnis dan teknologi, insentif pajak, modal awal/modal pandanan (seed capital/matching fund), kemudahan perijinan, serta peningkatan kualitas materi pendidikan kewirausahaan; (2) Pengembangan UKMK berorientasi ekspor dan/atau berbasis teknologi yang didukung penyediaan modal awal/modal pandanan (seed capital/matching fund), bergulir, penyederhanaan prosedur ekspor, penyediaan bimbingan teknis, serta fasilitasi kerjasama usaha dan pendampingan hukum; (3) Pengembangan insentif bagi peningkatan efisiensi dan nilai tambah pemasaran melalui modernisasi sistem distribusi dan pemasaran produk-produk UKMK; dan (4) Revitalisasi kelembagaan koperasi melalui peningkatan pengelolaan, akuntabilitas dan pendidikan anggota koperasi.

3. Menciptakan Stabilitas Ekonomi dan Keuangan

3.1 Program Peningkatan Koordinasi Pemeliharaan Stabilitas Ekonomi

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah: (1) Melakukan koordinasi secara rutin antar instansi yang terkait dengan upaya pemeliharaan stabilitas ekonomi; (2) Menyusun kebijakan ekonomi makro dengan lembaga-lembaga terkait untuk memelihara stabilitas ekonomi serta mendorong pemulihan kegiatan investasi; serta (3) Mendorong instansi terkait dalam memperlancar penyediaan dan distribusi barang dan jasa terutama barang-barang kebutuhan pokok rakyat banyak.

3.2 Peningkatan Efektivitas Pengelolaan Keuangan Negara

3.2.1 Program Peningkatan Penerimaan Negara

Dalam tahun 2004, program peningkatan penerimaan negara di sektor pajak pada dasarnya dilakukan melalui langkah administratif yang bertujuan untuk membentuk masyarakat yang sadar dan peduli pajak serta administrasi perpajakan yang lebih efisien dan efektif melalui langkah kebijakan dengan memperhatikan dinamika/perkembangan situasi perekonomian, khususnya perkembangan dunia usaha. Langkah administratif yang pertama akan dijalankan pada dasarnya adalah melanjutkan dan melakukan penajaman program-program ekstensifikasi dan intensifikasi yang telah dikembangkan dalam REPETA yang lalu, baik atas PPh, PPN, PBB dan jenis pajak lainnya.

IV – 39

Langkah administratif yang kedua adalah konsolidasi administrasi perpajakan yang meliputi: (1) modernisasi administrai perpajakan yaitu membangun landasan administrasi perpajakan yang modern pada bidang-bidang: (a) kelembagaan, (b) peraturan perpajakan, dan (c) teknologi informasi dengan melaksanakan penyempurnaan e-filling, e-registration serta e-payment system, termasuk digitalisasi Peta Obyek Pajak PBB dalam rangka membentuk smart mapping (peta yang dapat berbicara); (2) optimalisasi penegakan hukum melalui tindak penagihan tunggakan, peningkatan efektifitas pemeriksaan, pelaksanaan pencegahan, penyanderaan (gizjeling) dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, (3) peningkatan koordinasi dengan instansi pemerintah lainnya.

Di bidang kebijakan, perubahan ketentuan perpajakan dibatasi pada hal-hal yang tidak menimbulkan dampak distorsi ekonomi maupun beban kepada masyarakat yang kurang mampu, bahkan dilaksanakan untuk mendorong keadilan dalam pengenaan pajak. Langkah kebijakan di bidang perpajakan yang akan dilaksanakan adalah peningkatan Nilai Obyek Pajak untuk dasar perhitungan PBB.

Di bidang kepabeanan dan cukai program peningkatan penerimaan negara akan diupayakan melalui : (1) Melanjutkan reformasi kebijakan kepabeanan dalam rangka memfasilitasi perdagangan melalui pengembangan sistem informasi kepabeanan dengan tahap-tahap perluasan dan pengembangan On-line Transaction Processing (OLTP), Online Analitical Processing (OLAP), dan Executive Information System (EIS), serta penyempurnaan situs Ditjen Bea dan Cukai; (2) Melanjutkan reformasi kebijakan kepabeanan dalam rangka pemberantasan penyeludupan dan under valuation melalui peningkatan kualitas penerapan manajemen resiko, pengembangan program penagihan tunggakan bea masuk serta pungutan dalam rangka impor bersama Ditjen Pajak; (3) Melanjutkan reformasi kebijakan kepabeanan dalam rangka peningkatan integritas; (4) Penerapan Excise Service System (ESS); (5) Penyempurnaan strata tarif dan harga jual eceran (HJE) barang kena cukai; (6) Peningkatan sistem pengawasan dalam rangka penegakan hukum kepabeanan dan cukai serta perlindungan masyarakat melalui penyediaan sarana dan prasarana pengawasan, serta peningkatan pengetahuan dan keahlian SDM di bidang pengawasan; (7) Peningkatan pelaksanaan verifikasi dan audit melalui penetapan kriteria dokumen impor, ekspor dan cukai yang memperoleh prioritas utama, pelaksanaan audit secara reguler maupun insidentil serta audit bersama Ditjen Bea dan Cukai, Ditjen Pajak dan instansi pemeriksa fungsional, pemantauan pelaksanaan tindak lanjut temuan hasil audit serta pengkajian dan penyempurnaan sistem dan prosedur kegiatan verifikasi dan audit.

Selanjutnya, program peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan lainnya akan diupayakan melalui: (1) Meningkatkan penerimaan sumber daya alam (SDA), terutama SDA perikanan, pertambangan umum dengan memperhatikan kelestarian SDA tersebut beserta lingkungan hidup sekitarnya; (2) Meningkatkan efektivitas penyetoran penjualan migas ke rekening Departemen Keuangan melalui perencanaan penerimaan migas, monitoring pelaksanaan penyetoran, melakukan tindaklanjut penagihan kekurangan setoran penerimaan negara, dan monitoring Indonesia Crude Price (ICP), harga gas, dan lifting serta pengawasan perhitungan penerimaan Negara; (3) Melakukan inventarisasi dan penetapan tarif PNBP Departemen/Lembaga serta melakukan evaluasi atas penetapan tarif yang berlaku; (4) Meningkatkan penagihan dan post audit bersama BPKP terhadap eksportir yang belum melaksanakan pembayaran pajak ekspor; (5) Mengoptimalkan penerimaan

IV – 40

negara dari penerimaan bukan pajak termasuk penerimaan dari pengembalian pinjaman serta mengintegrasikan Rekening Dana Investasi (RDI) ke dalam APBN secara bertahap; (6) melanjutkan perbaikan dan pengelolaan RDI, RPD dan SLA, khususnya mengenai pengadministrasian pinjaman; serta (7) Melanjutkan komputerisasi penatausahaan pinjaman RDI, RDP dan SLA untuk memberikan kemudahan, kecepatan dan ketepatan administrasi pinjaman dan restrukturisasi pinjaman, serta proyeksi penerimaan negara dari pengembalian pinjaman.

Peningkatan penerimaan Negara juga akan ditempuh dengan mengefektifkan koordinasi antara Ditjen Bea dan Cukai, Ditjen Pajak dan Itjen Departemen Keuangan dalam peningkatan penerimaan Negara dan sekaligus pelayanan pada wajib pajak besar dan pemeriksaan sport chek atas pengeluaran barang impor di pelabuhan.

Membangun dan mengembangkan sistem informasi penerimaan negara yang terpadu untuk mendukung pelaksanaan operasional, dan formulasi kebijakan serta pengambilan keuputusan.

3.2.2 Program Peningkatan Efektivitas Pengeluaran Negara

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah: (1) Menyelesaikan RUU Pengelolaan Kekayaan Negara; (2) Menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah sebagai petunjuk pelaksanaan UU Keuangan Negara, Perbendaharaan Negara, Pemeriksaan dan Tanggung Jawab Negara dan Pengelolaan Kekayaan Negara; (3) Melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan pemerintah daerah dalam rangka penyempurnaan pengelolaan keuangan daerah; (4) Menghapuskan subsidi secara bertahap, terutama subsidi yang kurang tepat sasaran (untargeted subsidy); (5) Memperbaiki kesejahteraan pegawai negeri dengan tetap mempertimbangkan kemampuan keuangan negara dalam batas-batas anggaran negara yang terjaga kesinambungannya; (6) Mempertajam prioritas dan mengoptimalkan alokasi anggaran pembangunan, baik yang dikelola pemerintah pusat maupun daerah melalui upaya pemberian pelayanan dan pelaksanaan kegiatan yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing tingkatan pemerintahan, baik yang ada di pusat maupun di daerah; (7) Menyediakan harga satuan (unit cost) untuk pengadaan barang dan jasa yang menjadi beban APBN; (8) Menyusun standar akuntansi pemerintah berbasiskan akrual dan menyempurnakan sistem akuntansi pemerintah; (9) Mempercepat penyelesaian dan meningkatkan kualitas laporan keuangan pemerintah pusat; (10) Meningkatkan sarana dan prasarana aparatur negara dalam rangka meningkatkan profesionalisme pengelola keuangan negara dan mendukung pelaksanaan regorganisasi Departemen Keuangan; (11) Membangun dan mengembangkan sistem informasi pengeluaran negara yang terpadu untuk mendukung pelaksanaan operasional, dan formulasi kebijakan serta pengambilan keputusan; serta (12) Meningkatkan efektivitas pengeluaran negara sehingga realisasi anggaran dapat dicapai secara optimal dan tepat sasaran dengan biaya seefisien mungkin.

3.2.3 Program Pengelolan Utang Pemerintah

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah: (1) Melanjutkan upaya untuk meningkatkan kinerja pemanfaatan utang luar negeri pemerintah, termasuk upaya percepatan pencairan pinjaman proyek dan program luar negeri melalui

IV – 41

peningkatan kualitas kebijakan yang mendorong optimaslisasi pelaksanaan pinjaman luar negeri, meningkatkan kualitas komunikasi interdep dan negosiasi dengan lender, meningkatkan transparansi penggunaan pinjaman luar negeri antara lain dengan memperbaiki sistem pengadaan barang dan jasa dengan sistem fiduciary control yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, mengupayakan persyaratan terbaik dalam peminjaman baru, dan menyusun sistem penetapan skala prioritas terhadap proyek-proyek yang layak dan pantas dibiayai dengan peminjaman luar negeri; (2) Menetapkan RUU pinjaman dan hibah luar negeri dan menyusun rancangan peraturan pelaksanaannya; (3) Menyusun dan menerapkan rancangan peraturan pemerintah tentang tata cara penerusan pinjaman luar negeri kepada Pemda; (4) Mengembangkan kerangka hukum dan kelembagaan yang dibutuhkan bagi berkembangnya pasar surat utang negara yang likuid, efisien, dan transparan untuk memfasilitasi pembiayaan kembali sebagian surat utang negara yang jatuh tempo; (5) Melakukan upaya-upaya pengurangan beban utang luar negeri antara lain dengan melakukan negosiasi secara bilateral dan/atau melalui forum CGI misalnya dan memanfaatkan mekanisme konversi utang (debt conversion) seperti melalui Debt to Nature Swaps (DNS) dan debt swap untuk pendidikan; (6) Mengembangkan berbagai langkah terobosan alternatif pendanaan pembangunan dari dalam negeri, antara lain melalui upaya peningkatan pemanfaatan sumber daya alam nasional seoptimal mungkin, seperti pencegahan pencurian kekayaan alam/tambang nasional serta upaya penegakan hukum yang diperlukan; (7) Meningkatkan kemampuan manajemen utang dalam negeri dan luar negeri, termasuk restrukturisasi portofolio utang dan pengembangan sistem koordinasi kerja unit pengelolaan utang; (8) Melanjutkan penanganan hukum terhadap debitur dan eks pemegang saham bank yang tidak kooperatif dalam rangka peningkatan tingkat pengembalian utang negara; serta (9) Meningkatkan infrastruktur dan kelembagaan yang dibutuhkan bagi peningkatan kapasitas pemerintah dalam menyelenggarakan pengelolaan surat utang negara.

3.3 Pengembangan Lembaga Keuangan

3.3.1 Program Pengembangan Lembaga Keuangan

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah: (1) Melanjutkan langkah penyelesaian dan penyempurnaan peraturan perundangan yang sejalan dengan konsep Indonesia Financial Safety Net (IFSN) yang mengkoordinasikan otoritas kebijakan moneter, otoritas pengawasan lembaga keuangan dan pasar modal, otoritas lembaga penjaminan simpanan, dan otoritas kebijakan fiskal; (2) Melanjutkan penyempurnaan ketentuan dan peningkatan pengawasan perbankan yang mengacu kepada standar internasional; (3) Mendorong ketahanan BPR dengan cara membentuk sumber dana murah bagi BPR. Salah satu alternatifnya adalah dengan cara mengadakan program kemitraan antara bank umum dengan BPR untuk terlaksananya channeling/re-lending penyaluran kredit dari bank umum kepada BPR; (4) Mendorong terlaksananya prinsip-prinsip perbankan syariah yang telah dituangkan dalam Cetak Biru Perbankan Syariah tahun 2002; (5) Menyusun legalitas Lembaga Penjamin Simpanan; (6) Mempersiapkan langkah-langkah pengalihan tugas-tugas penjaminan kepada LPS; (7) Melanjutkan upaya-upaya dalam rangka pengesahan RUU OJK dan mempersiapkan peraturan pelaksanaan OJK; (8) Mempersiapkan cetak biru infrastruktur OJK (struktur, SDM dan teknologi informasi); (9) Menerapkan bagian utama cetak biru infrastruktur OJK; (10) Harmonisasi UU Pasar Modal, UU Dana Pensiun, UU Usaha Perasuransian, UU

IV – 42

Perbankan dengan RUU OJK; (11) Mempersiapkan transisi pengalihan tugas OJK; (12) Melengkapi peraturan perundang-undangan di bidang asuransi dan harmonisasi dengan peraturan perundangan di bidang jasa keuangan lainnya; (13) Melengkapi peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun dan harmonisasi dengan peraturan perundangan di bidang jasa keuangan lainnya; (14) Menyusun RUU Akuntan publik dan melengkapi peraturan perundang-undangan di bidang profesi Penilai Publik; serta (15) Mengembangkan metoda pengawasan secara RBC (risk-based capital) untuk industri usaha perasuransian.

3.4 Percepatan Restrukturisasi Perbankan dan Dunia Usaha

3.4.1 Program Restrukturisasi Perbankan

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah: (1) Pemantapan sistem pengawasan perbankan berdasarkan Master Plan yang dirinci dalam Rencana Kegiatan (Detailed Action Plan) oleh Bank Indonesia, sebagaimana diisyaratkan standar internasional yang meliputi: persyaratan/ketentuan dalam pendirian dan pemberian ijin sektor perbankan, koordinasi antar otoritas pengawas, manajemen resiko bagi perbankan, pengawasan berbasis resiko pasar, pengukuran CAMEL yang memasukan unsur sensitivitas terhadap resiko pasar dan peningkatan upaya penerapan pengawasan berdasarkan konsolidasi perusahaan afiliasi; (2) Melanjutkan upaya membentuk struktur perbankan yang sehat dan memiliki daya saing yang tinggi; (3) Adanya kepastian dalam pengaturan ketahanan permodalan bank yang disesuaikan dengan resiko yang dihadapi; serta (4) Mempersiapkan penanganan asset hasil program restrukturisasi perbankan yang belum terselesaikan oleh BPPN.

3.4.2 Program Penyelesaian dan Pemantauan Utang Perusahaan

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah: (1) Pengalihan dan penangangan aset-aset tersisa yang sebelumnya dikelola oleh BPPN kepada lembaga lain yang dimiliki pemerintah antara lain seperti perusahaan induk (holding company) dan perusahaan patungan; (2) Melakukan tindakan hukum terhadap obligor / debitur non kooperatif yang berhutang kepada negara; (3) Melanjutkan upaya peningkatan kapasitas pengadilan niaga yang efisien dan transparan; (4) Memperkuat kemampuan pemantauan pinjaman luar negeri swasta; (5) Meningkatkan pengawasan dan pembenahan terhadap manajemen perusahaan yang sebelumnya dikelola BPPN dalam rangka mengoptimalkan pengembalian uang negara dari debitur termasuk pemegang saham Bank-bank; (6) Melanjutkan penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang pengurusan piutang negara dan lelang; serta (7) Melanjutkan penyempurnaan sistem informasi di bidang pengurusan piutang negara dan lelang dan menyiapkan sistem informasi komputerisasi di bidang pengelolaan barang jaminan.

3.5 Pelaksanaan Desentralisasi Ekonomi

3.5.1 Program Implementasi Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 dengan penekanan pada penajaman tujuan ekualisasi dana perimbangan dan pengendalian pinjaman daerah, serta penyempurnaan kelembagaan melalui: (1) Pembahasan penyempurnaan

IV – 43

pelaksanaan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah; (2) Pembahasan penyempurnaan UU No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; (3) Melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap perda-perda mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta menyampaikan rekomendasi atas pembatalan perda-perda yang menyalahi ketentuan perundang-undangan dan bertentangan dengan kepentingan umum; (4) Pembahasan penyempurnaan data dasar formula dan perhitungan DAU serta mengupayakan penurunan proporsi faktor penyeimbang dalam perhitungan alokasi DAU; (5) Menyiapkan arah kebijakan pengalokasian DAK Non-DR dan pembahasan penyempurnaan pedoman umum DAK (Dana Reboisasi dan Non Dana Reboisasi), serta melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan DAK; (6) Melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak; (7) Pembahasan penyusunan petunjuk pelaksanaan penerusan pinjaman luar negeri Pemerintah kepada Daerah; (8) Pembahasan penyusunan Standar Pelayanan Minimum (SPM) dan Standar Analisis Biaya (SAB) oleh Departemen/LPND terkait; serta (9) Mengembangkan sistem informasi keuangan daerah.

4. Memacu Peningkatan Daya Saing

4.1 Program Pengembangan Ekspor

Tujuan dari program ini adalah mendukung upaya peningkatan daya saing global produk Indonesia serta meningkatkan peranan ekspor dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Untuk mencapai tujuan tersebut, kegiatan pokok program ini pada tahun anggaran 2004 adalah: (1) Memperluas akses dan peningkatan pangsa pasar, baik untuk negara-negara tujuan ekspor yang sudah ada, maupun untuk negara-negara tujuan ekspor baru (terutama pasar negara-negara non-kuota dan/atau pasar negara-negara berkembang di kawasan Asia, Afrika, dan Timur Tengah); (2) Melakukan penataan kelembagaan ekspor dalam negeri dan pembukaan kantor promosi dan/atau trading house di beberapa negara/kawasan tujuan ekspor utama; (3) Menyelaraskan dan menyederhanakan prosedur dan fasilitasi ekspor dan impor guna mempercepat pelayanan ekspor produk barang jadi dan menjaga kesinambungan kesediaan komoditi impor untuk kebutuhan pokok dan impor bahan baku/penolong bagi dunia usaha; (4) Menyelenggarakan kegiatan pembentukan kantor perwakilan pengembangan ekspor di beberapa daerah potensial dalam rangka pelaksanaan desentralisasi; (5) Melakukan penjajagan berbagai alternatif fasilitasi perdagangan luar negeri baru, bilateral maupun multilateral; (6) Menerapkan secara bertahap dan konsisten hasil perjanjian perdagangan internasional baik bilateral maupun multilateral (AFTA, WTO, APEC) dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional; (7) Meningkatkan kinerja sistem informasi manajemen promosi ekspor dan perdagangan internasional yang mandiri, profesional, dan mudah diakses oleh dunia usaha terutama oleh pelaku usaha kecil dan menengah; serta (8) Sosialisasi dan implementasi berbagai skim kerjasama usaha perdagangan antara lain, counter trade (imbal dagang) dengan negara mitra dagang potensial.

IV – 44

4.2 Program Penataan dan Penguatan Basis Produksi dan Distribusi

Program in bertujuan untuk membangun struktur industri dalam negeri yang kukuh dan berdaya saing global, didukung oleh seluruh basis kegiatan produksi dan distribusi. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah: (1) Revitalisasi dan pengembangan industri yang mendorong pemulihan perolehan devisa dan penyerapan tenaga kerja; (2) Peningkatan peran industri kecil dalam mendukung revitalisasi dan pengembangan industri; (3) Peningkatan sumberdaya dan sarana pendukung kegiatan sektor produksi; (4) Penerapan sistem mutu dan standardisasi (nasional dan internasional) produk barang dan jasa, melalui: penataan sistem kelembagaan (pedoman, peralatan dan SDM) standardisasi dan kemetrologian agar secara aktif mendukung akreditasi dan sertifikasi barang dan jasa; (5) Penataan sistem dan penguatan kelembagaan standardisasi dan kemetrologian dalam mendukung akreditasi dan sertifikasi barang dan jasa; (6) Perkuatan infrastruktur sistem distribusi antara lain melalui: (a) kegiatan percontohan pengembangan pusat distribusi regional; dan (b) Perluasan kegiatan percontohan sistem tanda resi gudang (warehouse receipt system/WRS) di beberapa daerah produksi potensial; serta (7) Kampanye pemberdayaan dan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri.

4.3 Program Penguatan Pranata Iklim Kompetitif dan Non-Diskriminatif

Tujuan program ini adalah untuk mendorong penataan perangkat hukum dan instrumen kebijakan yang lebih adil sesuai tuntutan pasar yang memungkinkan dunia usaha dan masyarakat luas berperanserta aktif dalam mewujudkan pengembangan industri berdasarkan keunggulan kompetitif. Kegiatan pokok program ini pada tahun anggaran 2004 adalah: (1) Penyusunan naskah akademik perundangan-undangan tentang imbal dagang; (2) Penyusunan materi akademik sistem distribusi nasional guna meningkatkan efisiensi dan kelancaran distribusi barang dan jasa; (3) Penyempurnaan undang-undang metrologi legal dan peraturan pelaksanaannya; (4) Mengidentifikasi dan mengevaluasi berbagai peraturan dan prosedur penyelenggaraan kegiatan industri dan perdagangan, baik di pusat maupun di daerah, terutama dalam rangka pembagian tugas dan kewenangan antara pusat dan daerah dan sekaligus menyiapkan rancangan teknis petunjuk pelaksanaannya guna mendukung pelaksanaan otonomi daerah; (5) Mengembangkan jaringan kerjasama internasional dalam rangka saling pengakuan standar antar negara; (6) Melakukan penataan mekanisme penetapan tarif dan hambatan non-tarif dalam rangka pelaksanaan perjanjian internasional (bilateral, multilateral, dan regional); (7) Melakukan penguatan mekanisme pelaksanaan persaingan usaha dan perlindungan konsumen; (8) Penyempurnaan dan pemasyarakatan berbagai perangkat peraturan di bidang Bursa Berjangka dan Lembaga Kliring Perdagangan Berjangka Komoditi melalui pengkajian penyempurnaan UU No. 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi dalam rangka merespon kebutuhan dunia usaha antara lain untuk menentukan komoditi yang akan diperdagangkan di bursa komoditi; serta (9) Melakukan upaya pengendalian impor barang dalam rangka perlindungan konsumen melalui perumusan berbagai regulasi teknis di bidang standardisasi dan kemetrologian.

IV – 45

4.4 Program Penguatan Institusi Pasar

Program ini bertujuan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan usaha yang kompetitif sehingga meningkatkan daya saing nasional. Kegiatan pokok program ini pada tahun anggaran 2004 adalah: (1) Melakukan penguatan kemampuan kelembagaan persaingan usaha, perlindungan konsumen, pengawas berjangka komoditi, dan pengelolaan penanaman modal yang mencakup peningkatan kemampuan sumber daya manusia, serta penyusunan sistem dan prosedur pengawasan barang beredar; (2) Melakukan penguatan sistem informasi manajemen pasar barang dan jasa dalam rangka menyediakan dan memperluas akses masyarakat terhadap kebutuhan barang dan jasa dari dalam negeri dan luar negeri; (3) Meningkatkan penyelenggaraan perlindungan konsumen; (4) Melakukan pengawasan barang beredar yang mencakup pengawasan terhadap persediaan, harga, dan kualitas barang beredar di dalam negeri; (5) Mempersiapkan materi rancangan undang-undang e-commerce dan skim-skim usaha perdagangan lainnya; serta (6) Mempersiapkan RUU sistem tanda resi gudang (WRS) yang merupakan instrumen untuk mengatasi resiko harga dan mempermudah akses pembiayaan (modal kerja) bagi dunia usaha di sektor produksi.

4.5 Program Pengembangan Pariwisata

Program pengembangan pariwisata tahun anggaran 2004 ditujukan untuk mendukung upaya pemulihan dan peningkatan peran industri pariwisata dalam pembangunan ekonomi nasional melalui kegiatan-kegiatan: (1) Memantapkan kebijakan dan strategi pembangunan pariwisata nasional yang berwawasan lingkungan dan berbasis kerakyatan; (2) Menyusun grand strategy pengembangan produk pariwisata nasional; (3) Memperluas diversifikasi dan meningkatkan daya saing daerah tujuan wisata dan produk pariwisata melalui: a) mengembangkan wisata nusantara, b) revitalisasi program nasional sadar wisata, c) mengembangkan wisata bahari, dan d) pengelolaan industri pariwisata yang bertanggungjawab; (4) Memantapkan strategi pemasaran pariwisata, termasuk pengembangan riset serta analisis pasar pariwisata; (5) Mengembangkan dan memantapkan promosi pariwisata di dalam maupun di luar negeri, melalui berbagai media seperti website, media cetak, media elektronik, dan melalui kemitraan dengan lembaga dalam maupun luar negeri; (6) Mengembangkan dan memperkuat data base dan jaringan sistem informasi kepariwisataan; (7) Mengembangkan sekaligus memantapkan koordinasi dan jaringan kerja antarsektor, antarlembaga, antarwilayah, antarnegara dan antar pelaku pariwisata; (8) Meningkatkan profesionalisme dan daya saing sumber daya manusia pariwisata yang bertaraf internasional melalui: a) fasilitasi pengembangan lembaga pendidikan dan pelatihan kepariwisataan; b) pengembangan dan pematapan standarisasi, akreditasi dan sertifikasi kompetensi SDM Pariwisata; (9) Mengembangkan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan dan peraturan perundangan di bidang pariwisata antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah; (10) Meningkatkan peran serta masyarakat dan UKM dalam pembangunan industri pariwisata; serta (11) Menyelesaikan dan mensosialisasikan RUU kepariwisataan pengganti UU No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan.

IV – 46

4.6 Program Peningkatan Iptek Dunia Usaha

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah (1) memperkuat interaksi antara lembaga litbang dengan dunia usaha dan industri dan sistem pendukung lainnya (2) mendorong tumbuhnya kegiatan litbang di dunia usaha, dan (3) meningkatkan jenis dan kualitas pelayan jasa teknologi sesuai kompetensi lembaga Iptek dan kebutuhan dunia usaha, industri dan masyarakat. Dalam rangka memperkuat interaksi antara lembaga litbang dengan dunia usaha dan industri dan sistem pendukung adalah (a) menumbuhkan kesadaran dunia usaha akan pentingnya iptek sebagai sumber daya saing (b) kerjasama penelitian antara lembaga dengan industri, (c) mendorong peningkatan jumlah perusahaan yang berbasis teknologi dengan menerapkan progran entrepreneurship, program spin-off dan membuat mekanismenya, (d) mengembangkan sistem komunikasi antara lembaga Iptek dan dunia usaha. Upaya untuk mendorong tumbuhnya kegiatan litbang di dunia usaha dilakukan (a) perumusan kebjakan intervensi selektif pemerinrtah didasarkan produk perundang-undangan yang ada, (b) pengembangan pola insentif dalam bentuk kemitraan lembaga litbang dan industri, sosialisasi standar mutu terhadap IKM, asuransi teknologi, korporasi usaha berbasis produk litbang, dan (c) melakukan promosi kegiatan riset di dunia usaha. Selain itu dalam rangka meningkatkan jenis dan kualitas pelayan jasa teknologi sesuai kompetensi lembaga Iptek dan kebutuhan dunia usaha, industri dan masyarakat dilakukan melalui (a) penyediaan jasa konsultasi dan asistensi teknis, (b) penyediaan jasa pengukuran, standardisasi, testing dan mutu, (c) penyediaan jasa pelatihan teknologi tepat guna, (d) perbaikan mekanisme pelayanan jasa teknologi, (e) penyediaan paket teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi produksi optimal, (f) sosialisasi tentang aspek QCD (Quality, Cost and Delivery), serta (g) penyediaan data dan informasi dasar sebagai bahan perencanaan pembangunan.

4.7 Program Diseminasi Informasi Teknologi

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah (1) menyediakan informasi teknologi kepada dunia usaha dan masyarakat, dan (2) meningkatkan aliran informasi iptek antara masyarakat ilmiah dan dunia usaha, serta masyarakat luas. Dalam rangka menyediakan informasi teknologi kepada dunia usaha dan masyarakat adalah: (a) mendorong pemanfaatan jaringan informasi sebagai infrastruktur pelayanan iptek, (b) penyediaan informasi paket teknologi siap pakai dalam berbagai bentuk media informasi, (c) penyediaan informasi peluang usaha berbasis pemanfaatan iptek, (d) perbaikan jaringan kerja kelembagaan dalam penyebaran informasi iptek, (e) promosi kegiatan lemabag iptek dalambentuk temus bisnis, dan (f) penyediaan sistem informasi HKI. Upaya meningkatkan aliran informasi iptek antara masyarakat ilmiah dan dunia usaha, serta masyarakat luas dilakukan melalui (a) pengembangan unit pelayanan iptek masyarakat sebagai simpul aliran pemanfaatan iptek, (b) peningkatan jurnal ilmiah yang terakreditasi secara baik, (c) penyelenggaraan forum komunikasi ilmiah, (d) membuat san emnyebarluaskan basis data keahlian SDM peneliti dan sarana prasarana iptek, (e) melakukan pameran teknologi untuk meningkatkan transaksi layanan teknologi antara lembaga iptek dengan dunia usaha, serta (f) melembagakan sistem komunikasi antara masyarakat ilmiah dan dunia usaha. Di samping itu, kegiatan pokok program lainnya adalah melakukan perencanaan, persiapan, pengumpulan/pencacahan, pengolahan, penyajian, analisis dan penyebarluasan data statistik dasar, sektoral, dan khusus

IV – 47

melalui kegiatan, antara lain: pelaksanaan Sensus Pertanian (ST) 2004, Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 2004, Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2004, serta persiapan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2005 dan persiapan Sensus Ekonomi (SE) 2006.

5. Meningkatkan Investasi

5.1 Program Peningkatan Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah: (1) Menciptakan iklim investasi yang lebih kompetitif; (2) Memperjelas kewenangan pusat dan daerah dalam perijinan penanaman modal; (3) Melakukan pemberdayaan usaha di bidang penanaman modal; (4) Meningkatkan perlindungan para investor; (5) Menyederhanakan prosedur perijinan penanaman modal; (6) Mengembangkan sistem informasi dan data realisasi kegiatan investasi; (7) Meningkatkan promosi dan kerjasama di bidang investasi; serta (8) Memperkuat kelembagaan dan profesionalisme aparat di bidang investasi termasuk sarana dan prasarana penunjangnya.

5.2 Program Penataan Institusi Pasar Modal

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah: (1) Melanjutkan proses restrukturisasi sebagai lembaga independen (OJK) dalam rangka mewujudkan sinergi antara institusi pasar modal dan lembaga keuangan lainnya; (2) Melakukan sosialisasi mengenai tugas pokok dan fungsi OJK sebagai lembaga independen; (3) Melanjutkan upaya yang mengarah pada pengesahan amandemen Undang-Undang tentang Pasar Modal; (4) Melakukan penyempurnaan terhadap peraturan Bapepam untuk disesuaikan dengan perubahan Undang-Undang tentang Pasar Modal; (5) Meningkatkan pemberdayaan pelaku pasar modal; (6) Mengembangkan pasar modal syariah di Indonesia dengan meluncurkan produk-produk yang berbasis syariah; (7) Melanjutkan proses restrukturisasi industri efek; (8) Menyempurnakan sistem e-reporting di pasar modal Indonesia; (9) Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dalam hal pengembangan standar pengawasan dan regulasi di bidang pasar modal; (10) Mendorong peran UKMK dalam pasar modal, antara lain melalui cara-cara: (a) Upaya memberikan kemudahan bagi UKMK untuk melakukan penawaran saham di pasar modal, (b) Menunjuk Bursa Efek Surabaya sebagai bursa yang melayani listing UKMK, dan (c) Sosialisasi secara aktif untuk mendorong UKMK memanfaatkan pasar modal sebagai sumber pendanaan; (11) Mengembangkan pasar sekunder obligasi negara, melalui cara-cara sebagai berikut: (a) Mengembangkan pasar Repo untuk meningkatkan likuiditas surat utang negara, (b) Menerbitkan surat-surat utang negara yang diharapkan dapat menjadi benchmark, baik dengan jangka pendek, menengah, maupun panjang, (c) Memperbesar investor base, terutama institusional investor seperti dana pensiun dan perusahaan asuransi, dan (d) Memantapkan efisiensi dan efektifitas sistem kliring, setelmen, dan registrasi dengan target untuk meningkatkan transaksi yang bersifat DVP dan penggunaan RTGS; serta (e) Memantapkan regulatory framework yang sudah ada dengan terus melakukan evaluasi dan memperhatikan perkembangan pasar.

IV – 48

5.3 Program Restrukturisasi Perusahaan Negara

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah: (1) melanjutkan upaya restrukturisasi, privatisasi dan likuidasi BUMN dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai tambah BUMN serta mengamankan anggaran negara; (2) melaksanakan sosialisasi kebijakan pembinaan BUMN terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah; (3) melanjutkan upaya peningkatan pelayanan BUMN; (4) mengembangkan sistem pembinaan BUMN; (5) Melanjutkan upaya sosialisasi berkaitan dengan program-program Kementrian BUMN, seperti program privatisasi BUMN incorporate dan penerapan Good Corporate Governance; (6) melaksanakan pengembangan BUMN on-line yang telah dibangun guna mengembangkan jaringan komunikasi melalui internet; serta (7) melanjutkan upaya peningkatan kapasitas SDM Kementerian BUMN, termasuk peningkatan dan pengembangan kemampuan dan wawasan SDM.

6. Menyediakan Sarana dan Prasarana Penunjang Pembangunan Ekonomi

6.1 Program Mempertahankan Tingkat Jasa Pelayanan Sarana dan Prasarana

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 meliputi: Pertama, di subsektor energi, adalah (1) Perumusan kebijakan perencanaan ketenagalistrikan nasional; (2) Rehabilitasi dan pembangunan pembangkit listrik dan jaringan penyalurannya; (3) Penanggulangan krisis penyediaan tenaga listrik; (4) Peningkatan rasio elektrifikasi dan rasio desa dilistriki; (5) Peningkatan pemanfaatan gas bumi melalui perluasan jaringan transmisi dan distribusi gas bumi; serta (6) Peningkatan kapasitas dan kehandalan pemrosesan minyak bumi beserta sistem distribusinya. Kedua, di subsektor pos dan telekomunikasi, adalah membangun/merehabilitasi sarana dan prasarana pos dan telekomunikasi serta melaksanakan standarisasi terhadap penyelenggaraan jasa pos dan telekomunikasi. Ketiga, di subsektor komunikasi dan informatika, adalah (1) Mengembangkan konsep kebijakan infrastruktur jaringan komunikasi dan informasi; (2) Mengembangkan kebijakan dan petunjuk pelaksanaan E-Government; (3) Menyusun peta potensi usaha teknologi informasi nasional; serta (4) Mendorong peran aktif usaha teknologi informasi nasional dalam rangka mengisi pasar teknologi informasi dalam negeri. Keempat, di subsektor penyiaran, adalah (1) Merehabilitasi jaringan transmisi dan prasarananya serta (2) Meningkatkan kualitas dan kuantitas siaran radio dan televisi.

6.2 Program Melanjutkan Restrukturisasi dan Reformasi di Bidang Sarana dan Prasarana

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 meliputi: Pertama, di subsektor energi, adalah (1) Penyusunan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; (2) Pengkajian keekonomian energi alternatif untuk subsitusi minyak tanah pasca penghapusan subsidi BBM serta pengkajian biaya-biaya eksternalitas dalam industri energi; (3) Melanjutkan rasionalisasi Tarif Dasar Listrik (TDL) dan harga BBM mencapai tingkat keekonomiannya; (4) Pengembangan dan penyebarluasan informasi ketenagalistrikan, energi terbarukan (ET) dan konservasi energi (KE); (5) Melanjutkan penciptaan iklim investasi penyediaan tenaga listrik yang kompetitif

IV – 49

dan transparan; (6) Pengembangan dan penyempurnaan usulan kerangka pengaturan investasi; (7) Perumusan Standar Nasional Indonesia dan pemberlakuan SNI sebagai standar wajib; (8) Mendorong pelaksanaan sertifikasi tenaga teknik; (9) Peningkatan kualitas dan kuantitas Usaha Penunjang Tenaga Listrik; (10) Penyusunan pedoman fasilitasi penyelesaian perselisihan/sengketa antar Pelaku Usaha Tenaga Listrik; (11) Penyusunan peraturan pelaksanaan UU Ketenagalistrikan dan UU Pemanfaatan Energi; (12) Penyusunan sistem pengaturan segmen usaha penyediaan tenaga listrik yang monopoli alamiah; (13) Penyiapan pembentukan Badan Pelaksana Pembangunan Ketenagalistrikan Sosial (BPPKS) serta penetapan kriteria sumber dan penerima Dana Pembangunan Sarana Penyediaan Tenaga Listrik (DPSPT); (14) Penyiapan penerapan kompetisi pasar tenaga listrik; (15) Penyiapan penerapan tarif regional, serta (16) Menyempurnakan regulasi industri dan usaha penunjang tenaga listrik, EBT dan konservasi energi. Kedua, di subsektor pos dan telekomunikasi, adalah (1) Menyusun RUU tentang pos; (2) Menyusun peraturan/kebijakan Universal Service Obligation (USO) bagi penyelenggara telekomunikasi, serta (3) menghapus hak eksklusivitas PT.Telkom dan PT.Indosat. Ketiga, di subsektor komunikasi, informatika dan penyiaran, adalah (1) Melengkapi perangkat regulasi dibidang penyiaran; (2) Mempercepat restrukturisasi kelembagaan di bidang penyiaran; serta (3) Membentuk Komite Penyiaran Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran.

6.3 Program Peningkatan Aksesibilitas Masyarakat Terhadap Jasa Pelayanan Sarana dan Prasarana

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 meliputi: Pertama, di subsektor energi, adalah (1) Melakukan pemantauan system distribusi BBM; (2) Pengembangan energi perdesaan dan pemanfaatan potensi energi setempat (surya, angin dan PLTMH) pada daerah terpencil; (3) Penyusunan kebijakan energy mix dan pedoman community development (CD). Kedua, di subsektor pos dan telekomunikasi, adalah: (1) Meningkatkan kapasitas pelayanan (USO) jasa pos dan telekomunikasi untuk daerah perbatasan, terpencil dan belum berkembang. Ketiga, di subsektor komunikasi, informatika dan penyiaran adalah (1) Menambah jumlah sarana dan prasarana dibidang penyiaran dan informatika; serta (2) Meningkatkan efisiensi melalui sistem informasi manajemen terpadu dan penggunaan teknologi digital dalam penyiaran.

6.4 Program Pembangunan Sarana dan Prasarana Transportasi

Kebijakan pokok dalam program pengembangan sarana dan prasarana transportasi antara lain adalah: (1) Dalam rangka mempertahankan tingkat pelayanan, akan dilaksanakan rehabilitasi berbagai sarana dan prasarana transportasi untuk mempertahankan fungsi sarana dan prasarana yang ada, terutama pada ruas jalan nasional dan jalan propinsi; (2) Dalam rangka melanjutkan restrukturisasi dan reformasi di bidang sarana dan prasarana transportasi, untuk meningkatkan efisiensi, akuntabilitas dan transparansi, diperlukan kebijakan mekanisme penetapan harga serta penyempurnaan berbagai peraturan perundang-undangan dan kelembagaan yang terkait dengan penyediaan jasa pelayanan sarana dan prasarana transportasi agar dapat meningkatkan peran serta swasta; peningkatan keterpaduan sistem transportasi nasional dengan sistem transportasi regional dan sistem transportasi wilayah serta keterpaduan antar moda yang didukung dengan pelaksanaan otonomi dan pelimpahan wewenang disertai akuntabilitas secara jelas kepada daerah untuk

IV – 50

kepentingan bersama-sama, baik kepentingan daerah, kepentingan antar wilayah, maupun kepentingan nasional dengan tetap mengutamakan efisiensi, kompetisi yang sehat dan kemampuan daya saing baik secara nasional maupun internasional; serta (3) Untuk meningkatkan aksesibilitas pelayanan transportasi dilaksanakan pembangunan sarana dan prasarana serta transportasi perintis, terutama di daerah-daerah yang terjadi kesenjangan pelayanan paling tinggi, daerah-daerah yang mempunyai potensi perekonomian, daerah-daerah terpencil serta daerah perbatasan. Perhatian khusus diberikan kepada upaya pengembangan sarana dan prasarana transportasi di perdesaan untuk menggerakkan perekonomian rakyat, serta peningkatan aksesibilitas pelayanan transportasi untuk menjangkau wilayah yang lebih luas.

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah: (1) Menyelenggarakan rehabilitasi transportasi jalan untuk mempertahankan fungsi jaringan jalan yang ada; (2) Meningkatkan/membangun transportasi jalan untuk meningkatkan mutu pelayanan pengguna transportasi jalan sesuai dengan pertambahan kebutuhan termasuk untuk memperluas dan meningkatkan pelayanan pada kawasan terisolir dan perbatasan; (3) Mengembangkan lalu lintas angkutan jalan untuk mendukung pengembangan aksesibilitas, peningkatan keselamatan dan sistem lalu lintas angkutan jalan yang lancar, terpadu, aman, dan nyaman; (4) Menyelenggarakan rehabilitasi dan pemeliharaan transportasi kereta api untuk.mempertahankan tingkat pelayanan jasa transportasi kereta api; (5) Mengembangkan transportasi kereta api untuk meningkatkan kinerja keselamatan angkutan dan sistem pelayanan angkutan kereta api umum massal secara cepat, murah, aman, dan nyaman, serta jangkauan pelayanan angkutan kereta api baik untuk penumpang kelas ekonomi maupun untuk menunjang pembukaan dan pengoperasian lintas-lintas pelayanan yang baru; (6) Mengembangkan transportasi sungai, danau dan penyeberangan melalui peningkatan keselamatan, pengembangan rehabilitasi dan pemeliharaan angkutan sungai, danau dan penyeberangan yang menghubungkan kesatuan wilayah nusantara serta untuk menghubungkan sistem jaringan transportasi darat yang terputus melalui penyediaan sistem jaringan pelayanan angkutan sungai, danau dan penyeberangan secara terpadu termasuk penyediaan angkutan perintis di daerah yang terpencil; (7) Melakukan rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana transportasi laut untuk mempertahankan kelancaran pelayanan jasa transportasi laut; (8) Mengembangkan prasarana transportasi laut untuk meningkatkan kapasitas penyediaan jasa transportasi laut dan memberikan jasa pelayanan transportasi laut bagi masyarakat daerah-daerah terpencil; (9) Melakukan rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana transportasi udara untuk menjamin kelancaran operasi transportasi udara, mempertahankan tingkat pelayanan jasa transportasi udara, kenyamanan dan keselamatan penerbangan; (10) Mengembangkan prasarana transportasi udara untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan transportasi udara, kenyamanan dan keselamatan penerbangan dan menyediakan jasa pelayanan penerbangan pada daerah terpencil dan pedalaman terutama yang belum dilayani moda transportasi lain; (11) Mengembangkan meteorologi dan geofisika untuk meningkatkan kemampuan dalam peramalan dan penyediaan informasi klimatologi dan geofisika; (12) Mengembangkan pencarian dan penyelamatan untuk meningkatkan kemampuan tindak awal dalam penanganan musibah; (13) Melakukan reformasi dan restrukturisasi di bidang penyelenggaraan transportasi, meteorologi dan geofisika agar penyelenggaraannya dapat lebih efisien, efektif, transparan, terjangkau dan akuntabel; serta (14) Melakukan penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan bidang transportasi, meteorologi dan geofisika;

IV – 51

serta (15) Meningkatkan sarana dan prasarana aparatur negara, kualitas sumber daya manusia.

7. Memanfaatkan Kekayaan Sumber Daya Alam Secara Berkelanjutan

7.1 Program Pengembangan Kelautan

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah: (1) Mengembangkan Sistem Informasi Kelautan dan Perikanan (SIKPT), (2) Mengembangkan statistik perikanan tangkap dan perikanan budidaya, (3) Mengembangkan basis data potensi sumber daya kelautan dan perikanan, serta sarana dan prasarana riset sumber daya kelautan dan perikanan, (4) Mengembangkan sistem dan menyiapkan data dasar dan informasi spatial tentang wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil, (5) Mengelola kawasan perairan umum dan laut melalui pengembangan perikanan berbasis budidaya (culture based fisheries) dalam rangka pengkayaan stok dan peningkatan produktivitas, (6) Memberdayakan masyarakat nelayan, pembudidaya dan pengolah ikan melalui korporasi, implementasi teknologi tepat guna, pemberdayaan perempuan dan korporasi lembaga keuangan berbasis masyarakat, (7) Meningkatkan pelayanan dan pengendalian perijinan usaha, (8) Mengembangkan usaha perikanan tangkap skala kecil, (9) Meningkatkan mutu dan nilai tambah hasil perikanan, (10) Mengembangkan sarana dan prasarana perikanan tangkap (kapal perikanan, alat tangkap, Pangkalan Pendaratan Ikan dan Pelabuhan Perikanan), (11) Mengembangkan Balai/Loka budidaya dan pembenihan untuk mendukung sistem perbenihan nasional, (12) Mengembangkan produktifitas usaha budidaya laut, air payau dan air tawar, (13) Membangun, merehabilitasi dan menata jaringan irigasi tambak dan prasarana pendukung lainnya, (14) Merevitalisasi industri tambak udang, (15) Menguatkan sistem perkarantinaan ikan, (16) Mendayagunakan benda-benda berharga asal muatan kapal tenggelam, (17) Menerapkan sistem MCS dalam pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan beserta dukungan sarana prasarananya dan sub sistem pendukungnya, (18) Memperkuat pengawasan dan pengendalian IUU Fishing dan budidaya ikan yang merugikan melalui operasionalisasi pengawasan terpadu, (19) Meningkatkan pengawasan dan pengendalian perusakan dan pencemaran ekosistem laut dan pantai, (20) Mengembangkan sistem pengawasan dan pengendalian jasa kelautan, (21) Mengembangkan Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat (SISWASMAS), (22) Menata dan melaksanakan penegakan hukum dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan, (23) Menyelesaikan batas laut dengan negara tetangga serta memelihara dan mengawasi titik koordinat di laut yang telah ditetapkan dalam perjanjian dengan negara tetangga, (24) Memfasilitasi pengelolaan pesisir terpadu dan menerapkan model pendayagunaan sumber daya pesisir terpadu, (25) Memfasilitasi pengelolaan dan mendorong pengembangan kawasan konservasi laut daerah, (26) Mengelola Taman Nasional Laut, (27) Melakukan upaya-upaya konservasi dan pengelolaan keanekaragaman hayati laut dan perairan tawar, (28) Menyusun model rehabilitasi dan pengkayaan ekosistem pesisir, pengendalian pencemaran, dan mitigasi bencana, (29) Menyusun rencana dan memfasilitasi pengelolaan dan pendayagunaan (termasuk investasi) pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, (30) Membangun dan mengembangkan Laboratorium Pengelolaan Kesehatan Ikan dan Lingkungan untuk menanggulangi dan mencegah wabah penyakit, (31) Mengintegrasikan IPTEK kelautan dan perikanan dalam kurikulum

IV – 52

formal, (32) Meneliti dan mengkaji kebijakan sub sektor kelautan dan perikanan, potensi wilayah dan sumber daya kelautan dan perikanan, teknologi pemanfaatan/pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, serta pasca panen dan sosial ekonomi kelautan dan perikanan, (33) Mengembangkan sistem perencanaan, pengendalian dan peningkatan kerjasama luar negeri, (34) Mengembangkan diklat dan membangun kelembagaan penyuluhan kelautan dan perikanan, (35) Melanjutkan dan mengembangkan kampanye dan advokasi program-program kelautan dan perikanan, (36) Melaksanakan pendidikan dan pelatihan struktural dan fungsional, (37) Menyusun rencana tata ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil, (38) Merevisi dan menyusun peraturan perundangan di bidang kelautan dan perikanan dan penegakan hukum bagi para pelanggarnya, (39) Memfasilitasi penyusunan peraturan tentang pengendalian, pengawasan dan pemanfaatan sumber daya kelautan di perairan perbatasan (40) Membina asosiasi bidang kelautan dan perikanan yang didukung dengan pengembangan jaringan usaha, pembinaan invesasi, dan kelembagaan pemasaran, (41) Mengembangkan sentra kelautan dan perikanan terpadu, dan pola kemitraan usaha yang didukung dengan kerjasama lembaga pembiayaan dan pemasaran, (42) Menyerasikan kerjasama pusat dan daerah dalam pembangunan kelautan dan perikanan, (43) Mengembangkan kelembagaan kerjasama pengelolaan sumber daya ikan, teluk dan selat, gugus kepulauan, danau, perairan umum, laut dan pesisir, (44) Memperkuat kelembagaan masyarakat melalui inventarisasi dan revitalisasi hukum adat, norma, dan budaya masyarakat kelautan dan perikanan, serta fasilitasi otonomi khusus Papua dan NAD, serta (45) Melaksanakan kesepakatan-kesepakatan regional dan internasional di bidang kelautan dan perikanan.

7.2 Program Pengembangan dan Pengelolaan Hutan dan Lahan

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah: (1) Mengembangkan Social Forestry; (2) Membangun hutan tanaman; (3) Melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan secara optimal melalui partisipasi aktif masyarakat; (4) Melanjutkan proses National Forest Program (NFP) dan penyusunan rencana kehutanan lainnya serta pengendaliannya; (5) Melanjutkan penyelesaian pemantapan dan pengukuhan kawasan hutan; (6) Melakukan kegiatan perpetaan kehutanan menggunakan teknologi penginderaan jauh di seluruh Indonesia; (7) Melaksanakan optimalisasi penerimaan negara bukan pajak dan dana reboisasi (PSDH, DR, dll); (8) Melaksanakan penataan pemanfaatan hutan pada kawasan hutan produksi; (9) Mengembangkan kerjasama dan kemitraan pengelolaan hutan dengan masyarakat disekitar hutan; (10) Melaksanakan penilaian (audit) kinerja pengelolaan hutan lestari pada unit manajemen (HPH/HPHT); melakukan evaluasi dan/atau restrukturisasi industri primer hasil hutan kayu (IPHHK); (11) Melanjutkan upaya pemberantasan pencurian kayu dan perambahan hutan dan penanggulangan kebakaran hutan; (12) Melanjutkan penyusunan data potensi sumber daya hutan (SDH) dan Neraca Sumber Daya Hutan Nasional (NSDHN); (13) Mengembangkan kriteria, standar dan indikator dalam proses sertifikasi pengelolaan hutan lestari; (14) Menerapkan neraca sumber daya hutan di tingkat Nasional; (15) Meningkatkan pengelolaan dan pembinaan kawasan konservasi di seluruh Indonesia; (16) Melaksanakan konservasi jenis in-situ dan ex-situ; (17) Meningkatkan efisiensi dalam pembalakan dan industri primer hasil hutan kayu; (18) Optimalisasi fungsi dan pemanfaatan sumber daya hutan melalui peningkatan nilai riil hasil hutan, pemanfaatan hutan non kayu dan jasa lingkungan; (19) Melaksanakan penertiban peredaran hasil hutan; (20)

IV – 53

Mengembangkan sistem pengawasan peredaran hasil hutan; (21) Melanjutkan pelaksanaan penegakan hukum yang konsisten; (22) Melanjutkan koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan di bidang kehutanan sebagai pelaksanaan UU No. 41 Tahun 1999, yang selaras dengan otonomi daerah; (23) Menyiapkan penerbitan Keppres yang mengatur pendanaan dan koordinasi penanganan pencurian kayu; (24) Menyusun aturan pembatasan alih fungsi hutan untuk kegiatan non-hutan; (25) Melaksanakan penelitian dan pengembangan pengelolaan hutan secara lestari; (26) Mengembangkan profesionalisme sumber daya manusia kehutanan melalui pendidikan dan latihan; (27) Melanjutkan restrukturisasi kelembagaan kehutanan; (28) Mengembangkan peluang usaha dan investasi dalam pengelolaan hutan lestari, ekowisata dan jasa lingkungan; (29) Menyelenggarakan penyuluhan dan pendampingan masyarakat dalam pengelolaan hutan; serta (30) Meningkatkan upaya pengawasan dan pengendalian pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan hutan.

7.3 Program Pengembangan dan Pengelolaan Sumber-sumber Air

Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2004 adalah: (1) Melanjutkan penyempurnaan dan penerapan peraturan perundang-undangan di bidang pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air serta water resources sector adjustment program (WATSAP) dalam kerangka implementasi kebijakan nasional pengembangan sumber daya air; (2) Melanjutkan pengaturan kembali peran dan tanggung jawab pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota, swasta, dan masyarakat dalam pengembangan, pengelolaan, dan pelestarian air dan sumber-sumber air; (3) Membentuk wadah koordinasi di tingkat nasional dan propinsi untuk memadukan kebijakan-kebijakan di bidang pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air; (4) Menyiapkan dan memfasilitasi pembentukan lembaga/institusi korporasi pengelolaan wilayah sungai secara terpadu dalam konsepsi satu kesatuan pengelolaan wilayah sungai mulai dari hulu sampai hilir; (5) Melaksanakan operasi dan pemeliharaan, rehabilitasi, peningkatan serta pembangunan waduk/embung/situ; (6) Mengembangkan dan mengelola daya tampung waduk, danau, situ, telaga, embung, serta bangunan penampung air lainnya sebagai sumber-sumber air; (7) Meningkatkan pemanfaatan potensi kawasan dan potensi air waduk, danau, situ, telaga, embung, dan bangunan penampung air lainnya, termasuk untuk pengembangan wisata tirta; (8) Melakukan operasi dan pemeliharaan serta perbaikan alur sungai; (9) Melaksanakan rehabilitasi dan pembangunan prasarana pengendalian banjir dan prasarana perlindungan pantai terhadap abrasi pantai untuk melindungi kawasan pertanian produktif dan kawasan strategis lainnya; (10) Memanfaatkan teknologi hujan buatan dan modifikasi cuaca dalam rangka mendukung upaya penanggulangan kekeringan; (11) Mengendalikan pencemaran air permukaan di daerah tangkapan air dan badan-badan sungai melalui pengaturan dan penegakkan hukum; serta (12) Menyelenggarakan konservasi air tanah dan air permukaan secara terpadu.

7.4 Program Pemanfaatan Sumber Daya Mineral

Kegiatan pokok program ini yang mencakup komoditi tambang mineral maupun migas dalam tahun 2004 adalah: (1) Mempersiapkan dan menyelesaikan peraturan dan perundang-undangan yang memadai untuk pemanfaatan sumber daya mineral yang berkelanjutan; (2) Meningkatkan produksi dan ekspor hasil dari sumber daya mineral melalui intensifikasi pencarian sumber daya mineral, pelaksanaan promosi/penawaran investasi wilayah kerja minyak dan gas bumi, pemasaran LNG, serta penelitian dan pengembangan teknologi pengolahan sumber daya mineral; (3)

IV – 54

Meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya mineral; (4) Menyediakan sarana dan prasarana teknologi yang didukung oleh pusat-pusat penelitian dan pengembangan pertambangan dan geologi dalam negeri; serta (5) Menciptakan pola pengusahaan pertambangan yang berwawasan lingkungan.

IV – 55