bab iv hasil penelitian dan pembahasan a. deskripsi … · 2018. 3. 22. · 29 bab iv hasil...

25
29 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian Dari 16 (enam belas) desa di Kecamatan Parakan ada sebuah Desa yang bernama Traji yang terletak di ketinggian 700 m dari permukaan laut dan berjarak 3 km dari ibu kota Kecamatan Parakan, 15 km dari ibu kota Kabupaten Temanggung dan dari pusat pemerintahan ibu kota Propinsi berjarak 100 km. Luas Desa Traji adalah 420, 4760 Ha. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Klimbungan, Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Manden, sebelah Barat berbatasan dengan desa Medari, dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kundi Sari. Suasana Desa Traji sangat ramai karena di lalui jalur utama poros tengah arah Jakarta yang melalui alas roban Kabupaten Kendal. Desa Traji sendiri memiliki 4 (empat) dusun yang terdiri dari 4 (empat) rukun warga (RW), 31 (tiga puluh Satu) rukun tangga (RT). Keadaan penduduk Desa Traji bersifat heterogen. Jumlah penduduk 4. 450 (empat ribu empat ratus lima puluh) jiwa dengan perincian jumlah laki-laki 2.193 (dua ribu seratus sembilan puluh tiga) jiwa (49, 28%) dan perempuan 2.257 (dua ribu dua ratus lima puluh tujuh) jiwa (50,27%). (Data monografi Desa Traji, Kecamatan Parakan, Temanggung, tahun 2016). Suasana pedesaan dengan lingkungan lahan pertanian masih mewarnai Desa Traji. Lahan pertanian di Desa Traji ini berupa lahan basah dengan bantuan sistem irigasi dari sungai dan sendang. Data monografi Desa Traji tahun 2016

Upload: others

Post on 15-Feb-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 29

    BAB IV

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    A. Deskripsi Lokasi Penelitian

    Dari 16 (enam belas) desa di Kecamatan Parakan ada sebuah Desa yang

    bernama Traji yang terletak di ketinggian 700 m dari permukaan laut dan

    berjarak 3 km dari ibu kota Kecamatan Parakan, 15 km dari ibu kota Kabupaten

    Temanggung dan dari pusat pemerintahan ibu kota Propinsi berjarak 100 km.

    Luas Desa Traji adalah 420, 4760 Ha. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa

    Klimbungan, Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Manden, sebelah Barat

    berbatasan dengan desa Medari, dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa

    Kundi Sari. Suasana Desa Traji sangat ramai karena di lalui jalur utama poros

    tengah arah Jakarta yang melalui alas roban Kabupaten Kendal.

    Desa Traji sendiri memiliki 4 (empat) dusun yang terdiri dari 4 (empat)

    rukun warga (RW), 31 (tiga puluh Satu) rukun tangga (RT). Keadaan penduduk

    Desa Traji bersifat heterogen. Jumlah penduduk 4. 450 (empat ribu empat ratus

    lima puluh) jiwa dengan perincian jumlah laki-laki 2.193 (dua ribu seratus

    sembilan puluh tiga) jiwa (49, 28%) dan perempuan 2.257 (dua ribu dua ratus

    lima puluh tujuh) jiwa (50,27%). (Data monografi Desa Traji, Kecamatan

    Parakan, Temanggung, tahun 2016).

    Suasana pedesaan dengan lingkungan lahan pertanian masih mewarnai

    Desa Traji. Lahan pertanian di Desa Traji ini berupa lahan basah dengan bantuan

    sistem irigasi dari sungai dan sendang. Data monografi Desa Traji tahun 2016

  • 30

    menunjukan bahwa luas lahan pertanian di Desa ini adalah 251, 32 Ha (59, 76%

    dari keseluruhan luas Desa Traji) dan untuk tanah kering (pekarangan dan

    tegal/kebun) luasnya 169, 17 Ha (40, 23% dari keseluruhan luas Desa Traji).

    Penduduk usia 10 (sepuluh) tahun ke atas mayoritas bekerja di sektor

    agraris sebagai petani tanaman pangan (padi, umbi-umbian, dan holtikultura)

    berjumlah 733 (tujuh ratus tiga puluh tiga) orang (16, 48%), 4 (empat) orang

    bekerja sebagai peternak ayam petelur, pedaging, kambing, dan budidaya ikan

    air tawar (0,8%), 1.251 (seribu dua ratus lima puluh satu) orang bekerja sebagai

    buruh perkebunan (kopi, cengkeh, kemukus, dan tembakau) (28,11%), 78 (tujuh

    puluh delapan) orang bekerja sebagai buruh bangunan dan

    pertambangan/penggalian sumber daya alam non migas (pasir dan batu)

    (1,75%), 78 (tujuh puluh delapan) orang usaha di bidang swasta (1,75%), 30

    (tiga puluh) orang menjadi karyawan pabrik (0,67%) dan 8 (delapan) orang

    bekerja sebagai pegawai negeri sipil/PNS (0,18%). Untuk sumber air minum

    berasal dari sumur dan mata air yang dikelola Perusahaan Daerah Air Minum

    (PDAM) maupun pengelola swasta yang disalurkan melalui pipa-pipa ke rumah

    warga, dan untuk penerangan Desa Traji sudah terakses oleh Perusahan Listrik

    Negara (PLN).

    Dalam bidang pendidikan masyarakat Desa Traji dapat dikatakan masih

    rendah. Data statistik Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kecamatan

    Parakan tahun 2016 menunjukan jumlah penduduk yang tamat

    PT/universitas/akademi 63 (enam puluh tiga) orang (1,42%), tamat

    SLTA/sederajat 261 (dua ratus enam puluh satu) orang (5,87%), tamat

  • 31

    SLTP/sederajat 593 (lima ratus sembilan puluh tiga) orang (13,33%), tamat

    SD/sederajat 1.793 (seribu tujuh ratus sembilan puluh tiga) orang (40,29%),

    belum tamat SD berjumlah 538 (lima ratus tiga puluh delapan) orang (12,09%)

    dan 542 (lima ratus empat puluh dua) orang sisanya tidak tamat SD karena terdiri

    dari orang-orang tua yang dulunya tidak maju dalam pendidikan (12,18%).

    Untuk sarana pendidikan terdapat 1 (satu) unit Taman Kanak-Kanak (TK), 2

    (dua) unit (Sekolah Dasar) SD, 1 (satu) unit (Madrasah Ibtidaiyah) MI, 1 (satu)

    unit Sekolah Menengah Pertama (SMP)/1 (satu) unit Madrasah Tsanawiyah

    (MTS) dan 1 (satu) unit Sekolah Menengah Atas (SMA).

    Bidang Kesehatan di Desa Traji terdapat sarana kesehatan 1 (satu) unit

    Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) induk, 5 (lima) unit Pos Pelayanan

    Terpadu (POSYANDU), 4 (empat) unit Poliklinik Desa (POLINDES), 1 (satu)

    orang dokter umum, 4 (empat) orang bidan/perawat/mantri dan 5 (lima) orang

    dukun bayi tradisional.

    Berbagai organisasi kemasyarakatan tumbuh subur di Desa Traji,

    diantaranya yaitu organisasi Majelis Taklim 4 (empat) kelompok dengan

    anggota keseluruhan 60 (enam puluh) orang, Majelis Buddha 1 (satu) kelompok

    dengan jumlah anggota 15 (lima belas) orang, Majelis Gereja 1 (satu) kelompok

    dengan anggota keseluruhan 40 (empat puluh) orang, organisasi Karang Taruna

    4 (empat) dusun dengan jumlah keseluruhan anggota 250 (dua ratus lima puluh)

    orang, organisasi kesenian dengan jumlah 40 (empat puluh) orang untuk

    kesenian kuda lumping dan 40 (empat puluh) orang untuk kesenian karawitan.

  • 32

    Selain berbagai organisasi kemasyarakatan seperti yang dikemukakan

    oleh para informan, jika di Desa Traji berbagai tradisi kebudayaan Jawa juga

    masih lestari. Masyarakat Desa Traji selalu berupaya untuk tetap melestarikan

    kebudayaan Jawa sebagaimana yang telah ditinggalkan masyarakat

    pendahulunya. Berbagai tradisi Jawa masih tetap dilestarikan dan dilaksanakan

    termasuk yang menyangkut siklus kehidupan manusia baik dengan sesama,

    Tuhan/leluhur, maupun alam. Tradisi kebudayaan Jawa dalam proses kehidupan

    dengan sesama yaitu seperti halnya gotong-royong dalam

    menyelesaikan/menghadapi suatu masalah/pekerjaan yang bersifat umum baik

    suka maupun duka. Tradisi kebudayaan Jawa dalam proses kehidupan dengan

    Tuhan yaitu dengan mengadakan suatu upacara keagamaan yang dibalut tradisi

    setempat seperti Muludan (memperingati lahirnya Nabi Muhammad Saw),

    Suran (memperingati datangnya tahun baru Islam Hijriyah/bulan Muharram

    yang bertepatan dengan datangnya bulan baru, bulan Sura dalam penanggalan

    Jawa) dan sebagainya. Tradisi kebudayaan Jawa dalam proses kehidupan dengan

    alam yaitu dengan menggelar tradisi dawuhan (membersihkan aliran irigasi),

    sadranan (selamatan desa), merti desa (bersih desa biasanya diadakan karena

    menyongsong acara-acara tertentu dalam desa) dan lain sebagainya.

    Kondisi daerah Desa Traji yang masih bersifat pedesaan, dengan

    penduduk yang bersifat heterogen ini selaras dengan berbagai bentuk

    kerukunan/kerja sama, organisasi kemasyarakatan, sikap saling gotong-royong

    dalam berkehidupan, kerukunan dalam kehidupan, saling hormat menghormati,

    dan tenggang rasa yang masih tampak kuat keberadaanya. Keadaan ini seperti

  • 33

    apa yang dikemukaan oleh Soerjono Soekanto dalam Yayuk Yuliati dan Mangku

    Poernomo (2003: 32) sebagai community sentiment atau sentimen kelompok.

    Soerjono Soekanto dalam Yayuk Yuliati dan Mangku Poernomo (2003: 32)

    membedakan 3 (tiga) unsur dalam sentimen kelompok yakni, “unsur seperasaan,

    sepenanggungan, dan saling memerlukan”. Seperasaan adalah sikap individu

    yang saling menyelaraskan kepentingannya dalam kelompok sehingga

    kepentingan kelompok merupakan manifestasi/perwujudan sebagai suatu

    pernyataan perasaan atau pendapat kepentingannya. Sepenanggungan

    merupakan perasaan bahwa individu adalah anggota kelompok dimana ia

    mempunyai tanggung jawab yang sama dalam kelompoknya. Sementara saling

    memerlukan adalah kesadaran bahwa ia tergantung dan memerlukan kelompok

    itu dalam menyokong kehidupannya. Kehidupan dalam kemasyarakatan seperti

    ini ada di Desa Traji meliputi semua aktivitas kegiatan dalam semua aspek

    kehidupan, yaitu aktivitas kebersamaan bermasyarakat yang saling merasakan,

    baik yang menyangkut kesedihan maupun kebahagiaan, termasuk dalam

    aktivitas saling bergotong-royong dalam suatu tradisi upacara Suran.

    B. Temuan Hasil Penelitian yang Dihubungkan dengan Kajian Teori

    1. Waktu Pelaksanaan Suran Sendang Sidukun di Desa Traji

    Kebudayaan bagi masyarakat Indonesia merupakan suatu hal yang

    melekat dan sudah mendarah daging. Kebudayaan erat kaitanya dengan

    tradisi yang mengandung ritual dan upacara adat yang biasanya dalam prosesi

    pelaksanaannya sudah dipersiapkan jauh-jauh hari dan bersifat masal dengan

  • 34

    gotong-royong. Hal ini juga diketahui oleh seluruh warga masyarakat dimana

    tradisi kebudayaan itu berkembang dan bahkan telah diketahui oleh

    masyarakat luar desa atau luar kota.

    Salah satunya adalah tradisi Suran, secara historis dan persepsi orang

    Jawa 1 (satu) Sura khususnya dan bulan Sura umumnya merupakan bagian

    yang tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai dan keyakinan orang Jawa,

    terutama pandangan sebagian besar orang Jawa terhadap sifat wingit dan

    sakral bulan Sura. Ada keyakinan bahwa bulan Sura sebagai bulan instropeksi

    diri menjadi pantangan untuk menyelenggarakan hajat seperti perkawinan,

    khitanan, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan upacara siklus kehidupan.

    Gejala ini berlaku bagi sebagian besar orang Jawa yang masih kental dengan

    budaya tradisi, sedangkan bagi orang Jawa yang memiliki keyakinan agama

    Islam yang kuat atau kalangan santri, bulan Sura dianggap sama dengan bulan

    yang lain.

    Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan maka dapat

    diketahui bahwa pelaksanaan tradisi Suran sendang Sidukun di Desa Traji,

    Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung 1 (satu) kali dalam satu tahun

    yaitu dimulai dari tanggal 1 (satu) hari Sabtu Wage hingga 3 (tiga) hari

    kedepan pada tahun baru Hijriyah bulan Muharram dalam kalender Islam,

    bulan Sura dalam kalender Jawa, di tahun 2016 jatuh pada bulan Oktober

    pada kalender Masehi, tepatnya hari Minggu Kliwon (pasaran Jawa) tanggal

    2 (dua) Oktober 2016. Di samping bulan ini sudah sebagai ketentuan dalam

    pelaksanaan upacara tradisi Suran sendang Sidukun tahun 2016, bulan

  • 35

    Oktober ini juga dimana bulan ketika warga masyarakat Desa Traji yang

    mayoritas bermata pencaharian sebagai petani sedang mengalami fase panen

    tembakau, sehingga acara tradisi Suran sendang Sidukun ini sekaligus

    digunakan oleh warga masyarakat Desa Traji untuk menghaturkan terima

    kasih atas hasil panen tembakaunya kepada Sang Maha Pemberi.

    Menurut pandangan orang Jawa peredaran hari yang mempengaruhi

    jatuhnya 1 (satu) Sura memiliki watak “bawana” (pengaruh tahun Jawa).

    Suranto sebagai informan dan juga sebagai salah satu pemuda pemerhati

    budaya di Kabupaten Temanggung menjelaskan bahwa Di Desa Traji

    Kecamatan Parakan, Temanggung, warga masyarakatnya juga masih

    mempercayai dan menggunakan “petung” (perhitungan) Jawa ini, dalam hal

    ini Suranto mengemukakan urutan tahun Jawa dan watak bawana tersebut,

    1. Bila tanggal satu Sura jatuh pada hari Minggu, disebut tahun Dite-

    Kalaba, yakni tahun Kelabang, wataknya jarang hujan.

    2. Bilamana tanggal satu Sura jatuh pada hari Senin, disebut tahun Soma

    Wrejita, yakni tahun Cacing, wataknya banyak hujan.

    3. Bilamana tanggal satu Sura jatuh pada hari Selasa, disebut tahun

    Anggara Rwejita , yakni tahun Katak, wataknya banyak hujan.

    4. Bilamana tanggal satu Sura jatuh pada hari Rabu, disebut tahun Buda

    Wisaba, yakni tahun Kerbau wataknya banyak hujan.

    5. Bilamana tanggal satu Sura jatuh pada hari Kamis, disebut tahun Resapti

    Mintuna, yakni tahun Mimi wataknya banyak hujan.

  • 36

    6. Bilamana tanggal satu Sura jatuh pada hari Jum’at, disebut tahun Sukra

    Manangkara, yakni tahun Udang wataknya banyak hujan.

    7. Bilamana tanggal satu Sura jatuh pada hari Sabtu, disebut tahun Tumpak

    Menda, yakni tahun Kambing, wataknya jarang hujan.

    (Wawancara/Suranto (24)/28/12/2016)

    Sukirman salah satu informan sekaligus perangkat Desa Traji

    mengungkapkan “bahwa ritual sendang Sidukun ini telah berlangsung sekitar

    200 (dua ratus) tahun. Pada tahun 1964-an desa Traji yang terdiri dari 4

    (empat) RW terjadi perselisihan, 2 (dua) RW ingin tetap melaksanakan tradisi

    Suran dan menggelar pertunjukan wayang kulit, sedangkan 2 (dua) RW lain

    tidak ingin melaksanakan tradisi Suran dan juga tidak ingin menggelar

    wayang kulit dengan alasan kendala cuaca yang buruk, setiap hari intensitas

    curah hujan tinggi juga kala itu karena pengaruh cuaca buruk keadaan

    ekonomi warga Desa Traji mengalami keterpurukan akibat gagal tanam dan

    panen tembakau. Sehingga dampak dari 2 (dua) RW yang tidak melakukan

    tradisi Suran dan menggelar wayang kulit ekonominya semakin turun dan

    kehidupan masyarakatnya buruk, terjadi paceklik pertanian yang lama,

    banyak penyakit yang mewabah dan menjangkit warga masyarakat Desa Traji

    yang mengakibatkan “pakebluk” (kematian masal dengan selang waktu yang

    singkat). Sebaliknya, 2 (dua) RW yang tetap melaksanakan tradisi Suran dan

    menggelar wayang kulit ekonominya naik dan kehidupan masyarakatnya

    baik. Sehingga dengan adanya kejadian itu tradisi upacara Suran sendang

  • 37

    Sidukun tetap dilaksanakan 1 (satu) tahun sekali hingga saat ini”.

    (Wawancara/Sukirman (46)/02/01/2017)

    2. Bentuk Upacara dan Prosesi Pelaksanaan Suran Sendang Sidukun

    Peringatan malam satu Sura di Desa Traji merupakan tradisi

    menyongsong bulan baru Jawa, sekaligus tahun baru Islam Hijriyah, bulan

    Muharram. Tradisi di Desa Traji, Kecamatan Parakan, Kabupaten

    Temanggung ini memang selalu dinanti masyarakat luas, sebab ada yang unik

    dari tradisi di tempat itu. Tak sekadar jamasan pusaka atau membawa

    gunungan berisi hasil bumi seperti ritual Sura pada umumnya. Namun tradisi

    Sura di Desa Traji memiliki keunikan di mana setiap tahun saat peringatan

    Sura, kepala desa dan istri didandani layaknya pengantin. Hal ini memiliki

    makna bahwa kepala desa adalah sebagai pemimpin, di kalangan masyarakat

    Jawa pemimpin identik dengan raja, maka sang kepala desa beserta istri harus

    berpakaian layaknya raja dengan mengenakan pakaian pengantin, karena

    filosofi warga setempat pakaian raja seperti pakaian pengantin adat Jawa.

    Gaya pakaiannya pun tidak sembarangan, karena pakaian pengantin yang

    dikenakan kepala desa beserta istri, dan pakaian yang dikenakan oleh peserta

    kirab sudah ditentukan sejak dulu bergaya Yogyakarta. Gaya Yogyakarta

    dipilih berdasarkan latar belakang sejarah Kabupaten Temanggung yang

    tidak lepas dari pengaruh Kerajaan Mataram kala itu. Yang nantinya sang

    kepala desa beserta istri dan para warga masyarakat yang didaulat berbusana

    adat Jawa diarak/dikirabkan bersama gunungan hasil bumi dan sesaji dari

  • 38

    balai desa sampai lokasi sendang Sidukun sejauh 500 m di mana prosesi

    upacara Suran tersebut berlangsung. (Wawancara/Hadi Waluyo

    (54)/06/01/2017)

    Berikut merupakan rangkaian ritual sebelum peringatan malam 1

    (satu) Sura di Desa Traji pada hari Sabtu Wage (pasaran Jawa) tanggal 1 (satu)

    Oktober 2016 dan sebelum-sebelumnya, menurut Suari selaku juru kunci

    sendang Sidukun, sebulan sebelum pelaksanaan ritual, pemerintah desa,

    panitia tradisi 1 (satu) Sura dan sesepuh Desa Traji mengadakan rapat. Pada

    rapat I (pertama) membahas mengenai pelaksanaan pagelaran wayang kulit

    dan biaya yang diperlukan. Pada rapat ke II (kedua) membahas mengenai

    ketua panitia ritual 1 (satu) Sura dan mengumpulkan seksi-seksi, RT, RW,

    perangkat Desa Traji, sesepuh Desa Traji, pemuda, dan pertahanan sipil

    (HANSIP) setempat. Pada rapat ini membahas mengenai sarana prasarana

    upacara termasuk penentuan dalang dan biaya yang mencangkup semuanya,

    ketika sudah sepakat maka ketua panitia membagi bagian kerja ke masing-

    masing RT, dan RT membagi bagian kerja kepada masyarakat dengan cara

    “anda usuk” (gotong-royong) termasuk dalam dana sehingga jika ada lebih

    atau kurangnya biaya dikelola oleh panitia secara gotong-royong.

    Pelaksanaan rapat yang terakhir membahas tentang pemantapan kerja bagi

    semua seksi, dan masing-masing seksi mulai menjalankan tugasnya.

    1 (Satu) hari sebelum ritual sendang Sidukun dan kirap kepala desa

    malam 1 (satu) Sura, masyarakat Traji bergotong-royong membersihkan

    sendang yang berukuran 9 x 25 m dengan kedalaman 2 m yang disebut nawu

  • 39

    sendang, membersihkan pendapa kecil di sebelah sendang yang terdapat

    prasasti bertuliskan huruf Jawa yang berlafalkan "Angayuhsih Kadarmaning

    Gusti Kanthi Manunggaling Cipta" yang berarti “Memelihara/melestarikan

    Tuntunan Yang Maha Kuasa Dengan Menyatukan Diri Dengan Sesama dan

    Alam”, di situ pula terdapat sumber mata air sendang Sidukun yang berbentuk

    sumur dengan diameter 70 cm yang konon ceritanya menurut Suari sumber

    mata air ini merupakan bekas tancapan tongkat dari Ki Ageng Makukuhan

    yang tersohor di Kabupaten Temanggung, beliau seorang pemuka agama

    Islam yang singgah untuk menyapa warga ketika perjalanan syiar agama ke

    arah lereng gunung Sindoro. Air dari sendang ini dianggap bertuah oleh

    masyarakat yang mempercayainya, “tuk” (sumber air) mengairi sendang dan

    sawah penduduk setempat. Menurut informan sekaligus juru kunci sendang,

    Suari, nantinya sesaji malam 1 (satu) Sura akan diletakkan di pendapa dan

    didoakan. Gapura masuk sendang pun ikut dibersihkan, dalam proses ini

    masyarakat membaur saling gotong-royong terutama para laki-laki bekerja di

    komplek sendang dan balai desa, untuk yang perempuan bergotong-royong

    membuat gunungan palawija, perlengkapan sesaji, dan masak di aula balai

    desa yang nantinya akan diarak/dikirabkan bersama dengan kepala desa dan

    diperebutkan, dalam proses ini tidak ada saling kongkiren ataupun membeda-

    bedakan antar individu maupun golongan walaupun tradisi ini bisa dikatakan

    milik umat Islam, tetapi semua golongan baik dari warga Nasrani Majelis

    Gereja, pemuda Gereja dari GKJ Traji, warga Muslim, Majelis Taklim,

    pemuda Masjid Traji, warga Buddhis, Majelis Viharra dan Patria Traji semua

  • 40

    membaur saling gotong-royong ikut andil dalam tradisi ini. Inilah yang

    menjadi suatu daya tarik tersendiri bagi masyarakat luas, bila dilihat dengan

    kenyataan yang terjadi sekarang sangatlah terbalik, di luar sana banyak terjadi

    intoleransi yang tak jarang berujung kekerasan, saling membenci bertikai

    mengatas namakan Tuhan dan golongan yang tidak mendasar. Tetapi di Desa

    Traji itu semua ditampik, karena dengan istilah tradisi semua bersama

    bergotong-royong dalam bentuk material maupun non-material melebur demi

    satu tujuan yang sama “nguri-uri kabudayan Jawi” (melestarikan

    kebudayaan Jawa), bukti nyata bahwa kebudayaan yang kita miliki sekecil

    apapun itu merupakan alat pemersatu bangsa yang mewujudkan perdamaian

    abadi di Desa Traji pada khususnya dan di Bumi Pertiwi pada umumnya.

    Perlengkapan sesaji pun macam-macam mulai dari tumpeng

    “uluwetu” (hasil bumi), ingkung ayam kampung, kepala kambing, jajan

    pasar, bunga mawar merah putih, kemenyan, pisang, ketan/jadah bakar,

    kecipir dan ketupat sumpil yang nantinya akan dijadikan satu dalam tempat

    yang disebut “angsung bulu bekti” (tandu tempat persembahan), untuk

    gunungan hasil bumi dibuat dari aneka ragam palawija yaitu cabai merah,

    hijau besar, aneka kacang-kacangan, aneka umbi-umbian hasil bumi desa

    Traji.

    Pada hari H-nya, orang-orang yang sudah diberi wewenang untuk ikut

    kirab berkumpul di balai desa Traji pukul 17.00 WIB. Sebelum berangkat,

    sesepuh melakukan upacara selamatan kecil yang bertujuan untuk memohon

    kepada Sang Pencipta agar dalam pelaksanaan upacara ini selalu diberi

  • 41

    kelancaran dan keselamatan. Setelah upacara selamatan, maka kira-kira pada

    pukul 18.30 WIB rombongan sesaji meninggalkan balai desa Traji menuju ke

    sendang Sidukun dengan berjalan kaki sejauh 500 m yang diawali oleh kepala

    desa berserta istri yang berpakaian pengantin, di belakangnya diiringi

    perangkat desa, sesepuh, putri domas, dan rombongan pembawa sesaji yang

    berpakaian adat Jawa. Perjalanan menuju sendang Sidukun diiringi dengan

    lampu petromak dan alunan musik “galaganjur” (iringan pengantin ketika

    mau disandingkan), setibanya rombongan kirab pengantin di pendapa

    sendang yang sekaligus tempat sesaji, rombongan disambut oleh seksi

    sendang dengan berjabat tangan, selanjutnya dipersilahkan menempati

    tempat yang sebelumnya sudah disediakan yaitu tikar pandan, semua

    rombongan kirab duduk bersila untuk yang laki-laki, dan untuk yang

    perempuan duduk bersimpuh.

    Dilanjutkan dengan acara “kacar-kucur” yaitu menyerupai prosesi

    pemandian calon pengantin menjelang perkawinan. Selanjutnya juru kunci

    sendang Sidukun mulai membakar kemenyan sebagai sarana memohon doa

    kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar masyarakat Desa Traji pada khususnya

    dan semua masyarakat yang hadir pada upacara tradisi tersebut diberi

    keselamatan, kesehatan, murah rejeki, dijauhkan dari mara bahaya. Setelah

    selesai lalu mengambil sesaji yang pokok berupa:

    1. Bucu (nasi) bakar yang dibentuk kerucut 11 (sebelas) buah (yang

    menyimbolkan mikro kosmos dan makro kosmos/penduduk setempat

    menyebutnya Pucuk Mringhyang Maha Agung) alam manusia bawah

  • 42

    dan alam pucuk/atas alam Tuhan/leluhur, sebelas buah, (sewelas dalam

    bahasa Jawa) bilangan sebelas dikandung maksud nyuwun kawelasan

    (minta belas kasihan kepada Sang Pencipta).

    2. Ingkung ayam kampung yang selaput kakinya/ceker tidak dibersihkan

    dengan makna agar masyarakat yang mengikuti upacara Suran sendang

    mudah dalam “ceceker” (mencari rejeki).

    3. Bunga mawar merah putih sebagai sarana untuk menawar/taren

    (komunikasi dengan Sang Pencipta/leluhur).

    4. Pisang yang satu lirang/sisir harus genap jumlahnya dengan makna agar

    bisa menggenapi kekurangan di tahun sebelumnya.

    5. Ketan bakar 7 (tujuh) buah, karena ketan itu teksturnya wulet/lengket

    maka sebagai simbol merekatkan warga masyarakat Desa Traji pada

    khususnya dan seluruh warga masyarakat yang hadir dalam upacara

    tradisi Suran sendang pada umumnya, tujuh buah, bilangan tujuh (pitu

    dalam bahasa Jawa) dimaksudkan nyuwun pitulungan (meminta

    pertolongan kepada Yang Maha Kuasa).

    6. Gembili sebagai perwakilan hasil bumi Desa Traji.

    7. Kecipir dengan bentuk buah bersegi 5 (lima) dengan makna rukun Islam

    ada 5 (lima).

    8. Ketupat sumpil 3 (tiga) buah, makanan yang harus ada ketika prosesi

    kacar-kucur (siraman pada pengantin), bentuk segitiga dari ketupat

    sumpil melambangkan hubungan antar manusia, alam dan

    Tuhan/leluhur. 3 (Tiga) buah, bilangan tiga (telu dalam bahasa Jawa)

  • 43

    dimaksudkan tetulung (saling tolong menolong adanya hubungan antara

    manusi-alam-Tuhan/leluhur untuk saling memberi pertolongan).

    9. Minuman: kopi, teh, air putih, dan santan gurih sebagai persembahan

    kepada roh leluhur.

    10. Kemenyan, dari filosofi kata “menyang” (dalam bahasa Indonesia kata

    menyang bermaksud pergi), kemenyenan difungsikan sebagai sarana

    penghantar ucapan dari umat kepada Sang Pencipta.

    11. Beras kapurata, jajan pasar sebagai simbol murah pangan dan tolak bala.

    12. Tikar pandan sebagai simbol murah sandang, papan.

    13. Kepala kambing sebagai simbol kurban agar dalam tradisi upacara dan

    kehidupan setelahnya tidak ada korban jiwa, selalu diberi keselamatan di

    lingkungan sendang Sidukun.

    Kemudian kepala desa memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa

    agar dirinya dan semua masyarakatnya diberi keselamatan, kesehatan lahir

    batin, rukun, sejahtera, jauh dari mara bahaya dan murah rejeki. Setelah selesai,

    maka kaum/pemuka agama desa membaca doa agar semua cita-cita masyarakat

    Desa Traji dapat terwujud dan dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa,

    selanjutnya dilantunkan kidung macapat tembang Kinanti yang ada dalam

    Serat Wedatama pupuh IV (empat), bait 1 (satu) oleh juru kunci sendang yang

    berbunyi,

    “Mangka kanthining tumuwuh,

    Selami mung awas eling,

    Eling lukitaning alam,

    Dadi wiryaning dumadi,

    Supadi nir ing sangsaya,

    Yeku pangareksaning urip”.

  • 44

    “(Pengetahuan dan pengertian tersebutlah bias tumbuh selama ia senantiasa

    ingat. Ingat akan ilham Tuhan dengan serta memperhatikan hukum-hukum

    alam (sikap lakunya selama hidup sesuai dan menurut kehendak Ilahi). Dengan

    begitu hidupnya akan tidak mengalami kesengsaraan lahir batin, itulah yang

    harus dijaga di dunia ini)”.

    yang intinya adalah untuk ketentraman dan kesejahteraan masyarakat Desa

    Traji yang selaras dengan Tuhan dan alam. Pemilihan dan pelantunan kidung

    macapat tembang Kinanti yang ada dalam Serat Wedatama pupuh IV (empat),

    bait 1 (satu) itu sendiri diyakini pertama kali dilakukan oleh Ki Dalang Garu

    seseorang yang diyakini sebagai dalang yang pertama kali menggelar wayang

    kulit di sendang Sidukun pada malam 1 (satu) Sura.

    Pada saat ritual upacara ini lokasi sendang Sidukun telah dipenuhi

    ribuan orang yang berkumpul mengikuti prosesi ritual upacara. Beberapa saat

    kemudian setelah semua doa selesai dipanjatkan seksi sendang mulai

    membagi-bagikan sesaji yang berupa (bucu bakar, ingkung ayam kampung,

    bunga mawar merah putih, pisang, ketan bakar, gembili, kecipir, ketupat

    sumpil, minuman: teh, kopi, air putih, santan, beras kapurata/beras kuning,

    tikar pandan, kepala kambing, jajanan pasar seperti apem, pasung) dan

    gunungan berisi hasil bumi berupa palawija dengan cara ditaburkan kepada

    semua pengunjung, dibuat dengan cara rebutan, banyak pengunjung yang

    menceburkan diri ke sendang demi mendapatkan sesaji atau gunungan yang

    dibagikan. Bagi yang percaya, maka hal itu seperti merebut rejeki, orang Jawa

    menyebutnya “ngalap berkah” (mencari berkah dari mengambil sisa sesaji

    upacara tradisi). Nantinya hasil ngalap berkah ini akan di bawa pulang dan

  • 45

    diletakkan di sawah agar hasil panennya melimpah, tanahnya subur, diletakkan

    di warung agar dagangannya laku dan lain sebagainya.

    Para pengunjung juga antri mendapatkan pembagian air dari mata air

    sendang yang dilayani oleh seksi sendang dan juru kunci sendang Sidukun.

    Dalam pengambilan air tersebut pelayanannya satu persatu hingga 3 (tiga) hari

    3 (tiga) malam. Sebelumnya pengunjung ditanya apa maksud dan

    keperluannya, maka seksi sendang berdoa agar permohonan dari pengunjung

    terkabul lalu pengunjung baru di berikan air tersebut. Setelah selesai

    mengambil air para pengunjung pergi dan memberikan uang dalam kotak kas

    seikhlasnya. (Wawancara/Suari (63)/12/01/2017)

    Adi Pamungkas sebagai informan sekaligus pemuda Desa Traji

    mengatakan bahwa air sendang Sidukun sampai kini diyakini mempunyai tuah

    untuk menyembuhkan penyakit, menyuburkan lahan pertanian/perkebunan,

    melariskan dagangan, dan menjaga jabatan atau pangkat seseorang.

    (Wawancara/Adi Pamungkas (22)/15/01/2017)

    Dari pendapa seksi pengeras suara bekerja keras untuk menasehati

    kepada semua pengunjung agar berhati-hati karena tidak jarang banyak anak

    yang terpisah dari orang tuanya, banyak pengunjung yang kehilangan barang

    berharga ketika berdesakan dan memberi pengarahan ketika prosesi ritual

    berlangsung. Seksi keamanan juga berperan penting untuk mengamankan

    jalanya ritual dari kirab hingga prosesi “ngalap berkah” (mencari berkah dari

    mengambil sisa sesaji upacara tradisi) supaya tidak terjadi kisruh, dan seksi

    dokumentasi bertugas mendokumentasikan prosesi ritual tradisi tersebut.

  • 46

    Setelah prosesi upacara ritual selesai pukul 21.00 WIB, maka kepala

    desa, istri beserta rombongan meninggalkan lokasi sendang Sidukun.

    Rombongan pulang ke balai desa Traji, dalam perjalanan pulang ibu kepala

    desa membeli jajanan di setiap penjual yang berjajar menjajakan dagangannya

    di sepanjang jalan Desa Traji dengan menggunakan uang koin Rp. 500. 00 yang

    dibeli pun beragam, semua yang dijajakan di pinggir jalan ketika tradisi Suran

    sendang ini digelar dibeli semua oleh ibu kepala desa, ada makanan, mainan,

    bahkan pakaian, bagi pedagang yang percaya jualannya akan laris jika koin Rp.

    500. 00 itu disimpan. Sesampainya di balai desa dilanjutkan dengan acara

    malam tirakatan, dalam pandangan orang Jawa, bulan Sura adalah bulan yang

    penuh keprihatinan. Pergantian tahun baru Jawa dianggap masa gawat dan

    genting. Oleh karena itu cara menghadapinya juga dilakukan dengan berbagai

    macam laku ritual dan berlangsung di tempat tertentu yang dianggap akan

    memberi berkah atau tuah. Malam 1 (satu) Sura oleh masyarakat Jawa diyakini

    sebagai waktu yang tepat untuk menjalankan laku ritual agar dalam hidupnya

    mendapat keselamatan. Ketidakpastian hidup merupakan dasar pertimbangan

    manusia untuk senantiasa mawas diri dan seraya memohon perlindungan atau

    pertolongan kepada Sang Pencipta melalui caranya sendiri-sendiri yang

    bersifat spiritual. Laku spiritual, yaitu berupa kegiatan tirakatan, dilakukan

    secara individu atau secara kelompok masal seperti yang dilakukan di balai

    desa Traji.

    Sedangkan siangnya tanggal 2 (dua) diadakan kesenian rakyat yang

    berkembang di sekitar Desa Traji seperti kuda lumping, lengger, topeng ireng,

  • 47

    bangilun, dolalak, serta pasar malam selama 1 (satu minggu), dan selanjutnya

    pada hari Minggu Kliwon (pasaran Jawa) tanggal 2 (dua) Oktober 2016

    diadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk dengan lakon yang telah

    disepakati bersama, kebetulan pada peringatan Suran sendang Sidukun tahun

    2016 mengusung lakon “banjaran”, lakon banjaran dipilih karena ada

    keterkaitan nilai spiritual 1 (satu) Sura dengan laku prihatin, tradisi upacara,

    dan mawas diri guna mencapai keseimbangan hidup mikro kosmos dan makro

    kosmos. Karena jika tidak menggelar wayang kulit dipercaya oleh warga

    masyarakat desa Traji akan mendatangkan bencana, disamping itu ajaran

    budaya Jawa sebagaimana tercermin dalam laku prihatin 1 (satu) Sura dan nilai

    etika moral dalam wayang, tampaknya tetap mendasari etika hidup orang Jawa,

    artinya laku ritual (prihatin) dan etika moral wayang masih relevan dengan

    kondisi kebutuhan hidup masyarakat Jawa pada zaman sekarang ini.

    (Wawancara/Sulasmono (69)/14/01/2017)

    Menurut Hadi Waluyo selaku informan sekaligus kepala desa Traji

    sejarah pagelaran wayang kulit pada malam 1 (satu) Sura di sendang Sidukun

    bermula dari masyarakat Desa Traji yang mendengar suara pagelaran wayang

    kulit yang berasal dari sendang Sidukun, tapi ketika dihampiri di sana tidak ada

    apa-apa. Keesokkan harinya seseorang bertamu ke rumah kepala desa Traji

    yang menceritakan bahwa tadi malam orang tersebut melakukan pagelaran

    wayang kulit di sendang Sidukun. Orang tersebut bernama Ki Dalang Garu

    yang berasal dari Dusun Bringin Desa Tegalsari Parakan. Ki Dalang Garu tidak

    merasakan tadi malam ditanggap oleh “danyang” (makhluk halus) untuk

  • 48

    melakukan pagelaran wayang kulit di sendang Sidukun sebab yang menyuruh

    seperti orang biasa. Tempat yang digunakan untuk pagelaran wayang kulit juga

    biasa seperti pada umumnya dan penontonnya pun juga banyak, serta

    disekitarnya juga banyak deretan pedagang. Tetapi Ki Dalang Garu memiliki

    firasat yang aneh karena setelah selesainya pagelaran wayang tersebut, upah

    yang diberikan dari yang punya hajat kepada Ki Dalang Garu hanya berupa

    kunyit satu “irik” (nampan dari bambu). Ki Dalang Garu merasa bingung

    dengan pemberian tersebut sehingga beliau hanya mengambil 3 “rempang”

    (siung) kunyit. Sepulangnya menggelar wayang kulit, Ki Dalang Garu diberi

    pesan oleh orang yang punya hajat tersebut agar tidak menoleh ke belakang

    selama 7 (tujuh) langkah dari tempat pagelaran. Setelah tujuh langkah Ki

    Dalang Garu teringat bahwa “blencong” (lampu layar untuk pagelaran

    wayang) miliknya tertinggal, kemudian beliau menoleh, tetapi blencong

    tersebut sudah tergantung di pohon beringin. Ki Dalang Garu dikejutkan lagi

    karena upah yang diberikan berupa kunyit berubah menjadi emas, setelah

    mendengar cerita dari Ki Dalang Garu, maka kepala desa mengambil

    kesimpulan dan menentukan bahwa setiap 1 (satu) Sura harus diadakan upacara

    ritual sesaji selamatan sendang Sidukun, tirakatan, dan pagelaran wayang kulit,

    cerita ini berkembang ketika daerah Temanggung termasuk Desa Traji Parakan

    masih dalam kekuasaan/pengaruh Kerajaan Mataram. (Wawancara/Hadi

    Waluyo (54)/17/01/2017)

    Orientasi pada nilai budaya pewayangan ini adalah bahwa

    pertunjukan wayang merupakan pencerminan permasalahan kehidupan sehari-

  • 49

    hari manusia yang bersifat universal. Dalam kaitannya dengan bulan Sura,

    pertunjukan wayang dimaksudkan untuk memberi suatu gambaran bagaimana

    dinamika perilaku sehari-hari orang Jawa. Melalui gambaran sistem budaya ini,

    diharapkan pertunjukan wayang kulit pada malam 1 (satu) Sura dapat dipahami

    sebagai bentuk ekspresi individual dan kolektif orang Jawa dalam menghadapi

    ketidakpastian hidup, utamanya dalam menjaga kesimbangan mikro kosmos

    dan makro kosmos.

    Setelah semua upacara ritual satu Sura selesai, maka tugas ketua

    panitia mengadakan rapat pembubaran yang menghadirkan seksi-seksi panitia,

    kepala desa, perangkat desa, ketua RW, ketua RT seluruh warga desa, pemuda,

    dan para sesepuh desa untuk menyimpulkan hasil kerja kepanitiaan, keluar

    masuknya dana sehingga masyarakat tahu. Yang nantinya dana tersebut akan

    disimpan untuk pelaksanaan upacara tradisi Suran sendang Sidukun tahun

    depan. (Wawancara/Suari (63)/17/01/2017)

    3. Arti Penting Tradisi Suran Sendang Sidukun Bagi Kehidupan Masyarakat

    Desa Traji

    Bagi masyarakat Desa Traji tradisi Suran sendang Sidukun yang telah

    berjalan sejak dahulu ini merupakan aktivitas yang dianggap penting, karena

    merupakan adat kebiasaan tahunan masyarakat dalam berkehidupan.

    Berkehidupan bagi masyarakat Desa Traji tidak hanya sebatas interaksi dengan

    sesama manusia tetapi juga berelasi dengan alam, dan Tuhan/leluhur. Hal ini

    menjadi kebiasaan yang rutin dilaksanakan oleh masyarakat tiap tahunnya.

  • 50

    Apabila tradisi Suran sendang Sidukun dilaksanakan dan telah menjadi

    kebiasaan tentunya di dalam sistem kemasyarakatan juga terdapat berbagai hal,

    baik yang disadari maupun yang tidak, yang diketahui dan dipahami oleh setiap

    masyarakat sebagai upaya pelestarian, termasuk di dalamnya adalah nilai sosial

    kemasyarakatan gotong-royong.

    Meskipun dalam perjalanannya tradisi Suran sendang Sidukun ini

    banyak yang menganggap tidak sesuai dengan syariat Islam oleh beberapa

    kalangan yang tidak menyukainya, namun demikian tradisi Suran sendang

    Sidukun sudah menjadi kesepakatan bersama dan tetap ada dalam kehidupan

    masyarakat Desa Traji. Pemahaman tentang “kesepakatan” menimbulkan suatu

    bentuk yang disebut adat, walaupun adat ini hanya berupa lisan atau tersirat

    tetapi tidak ada warga masyarakat yang berani merubah atau melanggar

    keberadaan tradisi tersebut. Bahkan dengan adanya adat secara tidak langsung

    menjaga situs atau tempat di mana tradisi itu dilangsungkan karena pengaruh

    dari kepercayaan orang Jawa tentang suatu benda dan tempat yang

    dikeramatkan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Riyanto selaku sekertaris

    desa Traji, “yang namanya Suran sendang Sidukun itu sudah menjadi adat yang

    tidak bisa diganti keberadaannya karena kami percaya tradisi ini menyangkut

    dengan hajat hidup warga Desa Traji, kami merasa jika tradisi ini dalam 1 (satu)

    tahun sekali tidak dilaksanakan itu ada yang kurang, bahkan merasa berdosa”,

    orang Jawa tidak bisa lepas dari suatu kebiasaan yang menyangkut dengan alam,

    leluhur, dan Sang Pencipta, itulah salah satu keluhuran orang Jawa. Jadi tradisi

    semacam ini perlu dilestarikan.

  • 51

    Di Desa Traji juga terdapat pemahaman tentang toleransi dalam

    berkehidupan khususnya dalam melestarikan tradisi. Pertimbangan tersebut

    yang pertama yaitu, tidak memandang agama ataupun kepercayaan, profesi,

    jabatan, dan status sosial kaya atau miskin seseorang dalam partisipasinya ikut

    melestarikan tradisi, yang kedua mengutamakan kepentingan bersama.

    Seperti yang dikemukaan Riyanto:

    Meskipun itu kepala desa, kepala dinas, petani atau karyawan pabrik,

    pemeluk kepercayaan Islam, Kristen, Khatolik, Buddha, Hindu, Kejawen

    tidak menjadi suatu alasan untuk tidak berkarya mengabdi kepada leluhur,

    semua itu sama.....tidak ada yang beda diantara kita. Status sosial hanya

    masalah keduniawian, Tuhan juga tidak menciptakan agama..... yang

    menggolongkan ini agama A, B, C, D itu kan manusianya sendiri, Tuhan

    hanya menuntun umatnya kejalan yang benar melalui beberapa ajaran. Kita

    berada dalam satu tempat yang sama, dengan tujuan yang sama “nguri-uri

    kabudayan Jawi” (melestarikan kebudayaan Jawa).

    Dengan dua pertimbangan ini maka di Desa Traji status sosial,

    agama/kepercayaan tidak menjadi halangan dan alasan untuk bersatu padu

    dalam bertradisi memberi sumbah sih kepada desa, alam, dan Tuhan/leluhur.

    Dengan sistem “anda usuk” (gotong-royong) maka tidak ada kesenjangan dalam

    hal apapun karena ditanggung bersama baik tenaga maupun dana.

    (Wawancara/Riyanto (38)/21/01/2017)

    4. Pemaknaan Nilai Gotong-Royong Pada Tradisi Suran Sendang Sidukun

    Sistem “anda usuk” (gotong-royong) yang berjalan di masyarakat Desa

    Traji pada khususnya dan di Jawa pada umumnya ini merupakan salah satu

    contoh yang dapat menambah bukti pembenaran dari pernyataan Durkheim.

    Dimana Durkheim dalam Scott (1981: 255-256) menjelaskan bahwa paham

  • 52

    sepadan dalam kebersamaan ini merupakan suatu prinsip moral umum yang

    terdapat pada semua kebudayaan. Bentuk saling bantu membantu berupa

    gotong-royong di Jawa merupakan contoh kebiasaan yang sangat teratur.

    Kebiasaan ini ada kaitannya dengan “resiprositas” (timbal balik), yaitu prinsip

    moral yang mendasari kegiatan sosial di desa baik dengan sesama manusia,

    alam, leluhur ataupun Tuhan secara suka rela. Masyarakat Jawa percaya bahwa

    apa yang kita perbuat dalam upacara adat tradisi itu akan mendapat pertukaraan

    yang sepadan/timbal balik dari alam, leluhur, dan Tuhan. Hal inilah yang

    menjadi suatu bentuk keyakinan yang membawa masyarakat untuk tetap

    melaksanakan tradisi dalam bentuk gotong-royong.

    Secara tidak langsung kegiatan gotong-royong dalam tradisi Suran

    sendang Sidukun yang dilakukan oleh warga sebenarnya tersimpan pamrih dari

    setiap individu yang melakukannya, berharap apa yang dilakukan tersebut akan

    mendapat balasan dari leluhur dan Sang Pencipta.

    Datangnya tahun baru Islam Hijriyah, bulan Muharram atau bulan Sura

    dalam kalender Jawa merupakan undangan secara simbolik dalam bentuk waktu

    pelaksanaannya kepada masyarakat Desa Traji untuk melakukan gotong-royong.

    Menurut Riyanto jika sudah mendekati bulan Sura secara tidak sadar masyarakat

    batinya sudah terikat untuk segera berbenah dalam segala hal menyambut bulan

    Sura, bahkan dalam kenyataannya perayaan Suran sendang Sidukun ini lebih

    meriah dari memperingati hari raya Idul Fitri. (Wawancara/Riyanto

    (38)/03/02/2017)

  • 53

    Kekerasan simbolis dalam hal pelaksanaan tradisi Suran sendang

    Sidukun terwujud dalam bentuk keharusan untuk bergotong-royong, tanpa

    memperdulikan pekerjaan ataupun kegiatan pribadi masyarakat Desa Traji.

    Artinya mereka tetap harus datang walaupun dalam keadaan mempunyai

    kesibukan pribadi. Seperti yang dituturkan Riyanto, semua warga masyarakat

    dari laki-laki, perempuan, tua, muda, pelajar atau pekerja tetap harus ikut andil

    dalam kegiatan gotong-royong melaksanakan tradisi Suran sendang Sidukun,

    bahkan warga Desa Traji yang bekerja atau sedang menempuh pendidikan di

    luar kota pun diusahakan sebisa mungkin pulang guna melaksanakan gotong-

    royong dan mengikuti tradisi Suran sendang Sidukun. Maka masyarakat sendiri

    yang harus pandai-pandai mengatur waktu. Hal ini disamping sebagai suatu

    bentuk pelestariaan tradisi budaya juga sebagai sarana pengenalan dini kepada

    para kaum muda, kaum pelajar untuk tetap setia menjaga tradisi leluhur Desa

    Traji. Seperti inilah yang harus diterima oleh masyarakat Desa Traji sebagai

    kebenaran dan tidak pernah lagi kita pertanyakan sebab-sebabnya, apalagi

    kebenarannya karena sudah menjadi adat istiadat dan tradisi.

    Sanksi bagi mereka yang tidak konsisten dalam pelaksanaan gotong-

    royong dalam sistem tradisi Suran sendang Sidukun ini sifatnya intrinsik yang

    tidak kelihatan, kasat mata, tidak berupa sanksi yang diberikan secara langsung

    maupun tertulis, namun menyakitkan.