bab iv hasil penelitian dan pembahasan a ...etheses.uin-malang.ac.id/772/10/07410003 bab 4.pdf106...
TRANSCRIPT
103
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
1. Deskripsi Desa Pandansari
Desa Pandansari terletak di wilayah administrasi kecamatan Ngantang,
kabupaten Malang. Secara geografis, desa Pandansari termasuk dalam bagian
Malang Barat yang berbatasan langsung dengan Waduk Selorejo. Dan,
berbatasan dengan desa Kaumrejo, desa Pondokagung, dan desa Banturejo.
Desa yang sedang berkembang ini menjadi lokasi PLTA dan Perhutani.
Desa tersebut terdiri dari tujuh dusun dengan 24 RT yaitu Plumbang
(RT 1 sampai RT 7 ), Bales (RT 8 dan RT 9), Munjung (RT 10 dan RT 11),
Sambirejo (Kutut) terdiri dari RT 12 – RT 15, Wonorejo (Pait) terdiri dari RT
16 – RT 18, Klangon (RT 19 dan RT 20) dan Sedawun (RT 21 – RT 24) yang
mana tersebar berjauhan, karena faktor letak sungai yang memisahkan wilayah
pemukiman warga, sungai itu adalah Sungai Sambong (jalur lahar dingin)
memisahkan wilayah Dusun Plumbang dan tiga dusun (Munjung, Kutut, dan
Pait). Dan, sungai Kunto membelah wilayah dusun Munjung, dusun Kutut,
dusun Pait dengan dusun Klangon dan dusun Sedawun.
Desa yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian buruh tani,
peternak, dan pencari pasir dan batu ini bervariasi karakter dan latar belakang
104
pendidikan berbeda-beda. Dibandingkan dusun yang lain, dusun Plumbang
merupakan dusun yang paling maju dari segi pendidikan dan sejahtera
ekonomi, dan Bales masih perlu diperhatikan lagi kesejahteraan ekonominya.
Setelah gunung Kelud meletus (13/2/2014 lalu, banyak warga yang beralih
pekerjaan didominasi mencari pasir dan batu, karena kontur tanah belum stabil
terkena abu vulkanik pasca bencana. Sehingga, banyak ditemui remaja laki-laki
di sungai Sambong, sedangkan remaja perempuan (misalnya di Sambirejo)
paling banyak bekerja pemerah susu.
Desa Pandansari memiliki total jumlah penduduk 3120 jiwa, yang
mana sebagian dari remaja putra maupun putri setelah lulus sekolah (tamat
SD/SMP/SMA) lebih tertarik dan menjadi keistimewaan sendiri bekerja di luar
kota. Berikut tabel merinci jumlah penduduk di masing-masing dusun, yakni:
Tabel. 5
Data Penduduk Desa Pandansari Pra Erupsi Gunung Kelud
No. Nama Dusun Jumlah KK Jenis
Kelamin
Jumlah
Total
Keterangan
1. Klangon 145 L = 210
P = 206
416 Lansia = 30
Balita = 37
2. Sambirejo (Kutut) 239 L = 398
P = 350
748 Lansia = 67
Balita = 79
3. Munjung 186 L = 249
P = 401
650 Lansia = 64
Balita = 37
4. Wonorejo (Pait) 177 L = 297
P = 280
577 Lansia = 64
Balita = 37
5. Sedawun 257 L = 425
P = 473
878 Lansia = 68
Balita = 63
6. Bales 118 L = 212
P = 220
432 Lansia = 41
Balita = 37
7. Plumbang 359/330 (belum 1.076 (belum
105
diketahui) diketahui)
Jumlah total 1.085 3120
Kelompok
rentan:
Lansia = 370
Balita = 296
Bumil = 27
Total : 693
Produktif : 3028
(Source: Sekretaris Desa Pandansari)
Dari tabel di atas hanya diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin,
dan masa perkembangan bayi dan lansia. Untuk agama, pendidikan, masa
perkembangan remaja, dan dewasa belum diklasifikasikan, termasuk jumlah
penduduk remaja yang bekerja di luar daerah. Sebagian besar penduduk desa
Pandansari beragama Islam.
2. Sarana dan Prasarana Desa Pandansari
Terdapat beberapa sarana dan prasarana di desa Pandansari. Sarana
tersebut digunakan untuk kepentingan publik atau kegiatan para warga desa.
Diantaranya ada tempat peribadatan yakni masjid dan balai desa terdapat di
seluruh dusun, kuburan di pinggiran beberapa dusun, tiga sekolah dasar negeri
(SDN Pandansari 02,03, dan 04) dan PAUD/TK, tandon untuk persediaan air
warga karena setiap musim kemarau sering kekeringan.
Kemudian, disamping kantor desa, juga memiliki beberapa organisasi
desa untuk membantu kesejahteraan warga desa Pandansari, seperti Posyandu,
Linmas, Karang Taruna, LPMD, BPD, dan PKK. Organisasi desa yang
106
menaungi karya para pemuda (remaja) ialah Karang Taruna. Karang Taruna
terdapat di semua dusun, hanya saja berdasarkan pengamatan peneliti, masih
perlu diberdayakan lagi untuk meningkatkan partisipasi dan kepedulian
pemuda terutama saat pasca Kelud meletus kemarin. Dengan potensi remaja
desa Pandansari bisa diberdayakan bersama untuk saling menguatkan,
membesarkan dan memberikan energi positif demi menciptakan komunitas
resilien remaja.
3. Struktur Perangkat Desa Pandansari
Guna melancarkan roda pemerintahan desa, maka terdapat disusunlah
struktur perangkat Desa Pandansari sebagai berikut:
Tabel. 6
Struktur Perangkat Desa Pandansari
NAMA JABATAN
SITIN KEPALA DESA
YUSNA RISANDI SEKRETARIS DESA
(CARIK)
MARSUDI KUWOWO
AMANU KEBAYAN
LIA NOVI C. KAUR UMUM
SUPRIADI KASUN WONOREJO
107
PARNO KEPETENGAN
HARIYANTO KASUN PLUMBANG
RUMAJI MODIN
JUMALI KASUN KLANGON
LAMADI KASUN SAMBIREJO
NGADIONO KASUN MUNJUNG
IMAM KASUN SEDAWUN
4. Peta Wilayah Desa Pandansari
Gambar. 2 : Penampang desa Pandansari dari pencitraan udara melalui
satelit Google
108
Gambar. 3 : Penampang desa Pandansari jarak jauh dari
pencitraan udara melalui satelit Google
Gambar. 4 : Penampang desa Pandansari skala 1:6000
109
B. Deskripsi Penelitian
Setelah melakukan pengumpulan data, maka langkah selanjutnya
adalah uji validitas dan reliabilitas. Sebelum itu, berikut tabel data responden
yang menjadi sampel penelitian:
Tabel. 7
Data Responden Berdasarkan Asal Dusun
Asal Dusun Jumlah
Responden
1. Plumbang 9
2. Munjung 4
3. Sambirejo 9
4. Wonorejo 4
5. Klangon 2
6. Sedawun 12
7. Bales 0
Total 40
Gambar. 5 : Data Responden Berdasarkan Asal Dusun (dalam
prosentase)
Plumbang 22%
Munjung 10%
Sambirejo 23%
Wonorejo 10%
Klangon 5%
Sedawun 30%
Data Responden Berdasarkan Asal Dusun
110
Tabel. 8
Data Responden Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin
Usia (dalam tahun) Jumlah Jenis
Kelamin
Jumlah
13 7 Perempuan 33
responden 14 9
15 5
16 6
17 4
18 2 Laki-laki 17
responden 19 3
20 1
21 3
Total 40
Gambar.6 : Data Responden Berdasarkan Usia
0 2 4 6 8 10
13 tahun
14 tahun
15 tahun
16 tahun
17 tahun
18 tahun
19 tahun
20 tahun
21 tahun
Jumlah Responden
Usi
a
111
Gambar. 7 : Data Responden Berdasarkan Usia (dalam prosentase)
Gambar. 8 : Data Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
17%
22%
12% 15%
10%
5%
8% 3%
8%
Prosentase Responden Berdasarkan Usia
13 tahun
14 tahun
15 tahun
16 tahun
17 tahun
18 tahun
19 tahun
20 tahun
21 tahun
0
5
10
15
20
25
30
35
Jum
lah
Re
spo
nd
en
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
112
Gambar. 9
Data Responden Berdasarkan Jenis Kelamin (dalam prosentase)
1. Uji Validitas
Validitas atau kesahihan menunjukkan sejauhmana suatu alat ukur
tersebut mengukur sesuatu yang seharusnya diukur, sehingga alat ukur
dikatakan baik apabila dapat berindikasi akurasi dan kecermatan hasil ukur
dari data dan variabel yang diteliti. Menurut Cronbach (dalam Azwar.
2012:10), tujuan sebenarnya tidak untuk melakukan validasi terhadap tes
melainkan melakukan validasi terhadap instrumen data yang diperoleh oleh
suatu prosedur tertentu. Tinggi rendahnya validitas instrumen menunjukkan
sejauhmana data dari variabel dimaksud.
Mengenai batasan penerimaan daya beda aitem, peneliti menggunakan
batas rxy ≥ 0,25, maka aitem yang memiliki daya beda kurang dari rxy ≥ 0,25
menunjukkan aitem tersebut memiliki ukuran yang rendah sehingga perlu
dihilangkan atau gugur.
Laki-laki
17,5%
Perempuan
82,5%
Prosentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
113
a) Skala Spiritualitas
Hasil perhitungan dari uji validitas skala spiritualitas yang terdiri dari 28
aitem dan diujikan kepada 40 responden, menghasilkan 22 aitem yang
valid dan ada 6 aitem yang gugur. Perincian aitem-aitem valid dan
gugurnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel. 9
Hasil Uji Validitas Variabel Skala Spiritualitas
Indikator Deskriptor Aitem-aitem Aitem
Valid
Aitem
Gugur F UF
Prayer
Fulfillment
(Pengamalan
Ibadah)
a. Perasaan gembira atau
bahagia dalam beribadah.
b. Keterlibatan diri dalam
beribadah.
c. Perasaan akan kekuatan
pribadi
d. Keyakinan terhadap Tuhan
e. Perasaan mengambil manfaat
atas ibadah yang dilakukan.
1,3,5,
7,9,12
,14
11,13,
15,17,
19
1, 7, 9,
11, 12,
13, 15,
17, 19
3, 5, 14
Universality
(Universalitas)
a. Keyakinan akan kesatuan
kehidupan dan alam semesta
dengan diri.
b. Keyakinan akan makna
tujuan hidup
c. Tanggungjawab diri pada
alam semesta
d. Kesadaran akan kematian
2,4,6,
8,10
20,22,
24,26,
28
2,4,6,8,
10,20,
22,24,
26
28
Connectedness
(Keterkaitan)
a. Keyakinan terhadap realitas
yang melampaui generasi dan
kelompok tertentu.
b. Komitmen hubungan
interpersonal dengan
kelompoknya.
16,18,
21
23,25,
27
16,21,
25, 27
18,23
Jumlah 15 13 22 6
114
b) Skala Resiliensi Pasca Bencana Erupsi Gunung Kelud
Hasil perhitungan uji validitas skala resiliensi pasca bencana erupsi
gunung Kelud yang terdiri dari 28 aitem dan diujikan pada 40 responden,
menghasilkan 21 aitem dterima dan 7 aitem gugur. Perincian aitem-aitem
valid dan tidak valid atau gugur dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel. 10
Hasil Uji Validitas Variabel Resiliensi Pasca Bencana Erupsi Gunung Kelud
Indikator Deskriptor Aitem-aitem Aitem
Valid
Aitem
Gugur F UF
I HAVE
(Dukungan
Eksternal/Exter
nal supports)
a. Memiliki hubungan yang
dilandasi oleh kepercayaan
penuh tanpa syarat
b. Menyesuaikan perilaku
sesuai batasan di rumah
c. Terdorong untuk mandiri
(otonomi)
d. Akses terhadap layanan
kesehatan, pendidikan,
keamanan dan kesejahteraan
1,3,5,7,
9,11,15
10 1,5,7,9,
10, 11,
15
3
I AM (Inner
Strengths)
a. Disayang dan disukai banyak
orang
b. Mencinta, empati, dan
kepedulian pada oranglain
c. Bangga dengan diri sendiri
d. Bertanggungjawab terhadap
perilaku sendiri dan
menerima konsekuensinya
e. Percaya diri, optimistik, dan
penuh harap
2,6,12,
17,21,
23,27
14,
16,
20
12, 14,
16, 17,
23, 27
2,6,20,
21
I CAN
(Interpersonal
and Problem-
a. Keterampilan berkomunikasi
b. Terampil memecahkan
masalah
c. Keterampilan mengelola
perasaan dan impuls-impuls
d. Terampil mengukur
temperamen sendiri dan
4,8,13,
18,19,
22, 25
24,
26,
28
4,8,13,
19, 22,
24, 25,
26
18,28
115
Solving Skills) oranglain
e. Menjalin hubungan-
hubungan yang saling
mempercayai
Jumlah 21 7 21 7
2. Uji Reliabilitas
Untuk menentukan reliabilitas suatu alat ukur agar skala menunjukkan
taraf kepercayaan dan konsisten, maka dapat dilihat dari koefisien reliabilitas.
Dalam aplikasinya, reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx)
yang angkanya berada dalam rentang 0 sampai dengan1,00. Semakin tinggi
reliabilitas mendekati 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitasnya. Sebaliknya
koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0 berarti semakin mendekati
reliabilitasnya. Berikut tabel menerangkan standar koefisien reliabiltas:
Tabel. 11
Standar Koefisien Reliabilitas
Koefisien Reliabiltas Kategori
≥ 0,900 Sangat reliabel
0,700 – 0,900 Reliabel
0,400 – 0,700 Cukup reliabel
0,200 – 0,400 Kurang reliabel
Uji reliabilitas menggunakan program SPSS 16.0 for Windows. Hasil
uji koefisien reliabilitas pada skala spiritualitas adalah 0,876, setelah
menggugurkan aitem tidak valid koefisien reliabilitasnya menjadi 0,910,
116
sedangkan pada skala resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud diperoleh
hasil 0,721, setelah menggugurkan aitem tidak valid koefisien reliabilitasnya
menjadi 0,824.
Skala spiritualitas masuk kategori sangat reliabel, dan skala resiliensi
pasca bencana erupsi gunung Kelud masuk kategori reliabel, dimana (rxx) ≥
1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati 1,00 berarti semakin
tinggi reliabilitas atau tingkat kepercayaannya berikut rangkuman uji
reliabilitas dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Tabel. 12
Koefisien Reliabilitas Spiritualitas dan Resiliensi Pasca Bencana Erupsi
Gunung Kelud
Skala Cronbach’s Alpha Keterangan
Spiritualitas 0,910 Sangat reliabel
Resiliensi pasca bencana
erupsi gunung Kelud
0,824 Reliabel
C. Analisis Deskripsi Data Hasil Penelitian
1. Analisis Data Spiritualitas
Analisis data dilakukan guna menjawab rumusan masalah dan hipotesis
yang diajukan pada bab sebelumnya, sekaligus memenuhi tujuan dari
penelitian ini. Dalam menentukan kriteria analisis data dan besar frekuensi
yang ada dalam setiap penentuan kriteria maka yang harus ditentukan terlebih
dahulu mean (µ) dan standar deviasi (ơ).
117
Berikut cara menghitung nilai mean (µ) dan standar deviasi (ơ) pada
spiritualitas dari yang diterima 22 aitem.
a) Menghitung mean (µ) hipotetik, dengan rumus:
( )
( )
= 55
b) Menghitung standar deviasi (ơ), dengan rumus:
( )
( )
= 5,8
c) Pengkategorian
Setelah mengetahui nilai mean dan standar deviasi dari hasil tersebut,
maka langkah selanjutnya adalah mengetahui tingkat spiritualitas pada
responden. Kriteria pengukuran pada subjek penelitian dibagi menjadi tiga,
yakni tinggi, sedang, dan rendah. Untuk mencari skor kategori diperoleh
dengan pembagian sebagai berikut:
1. Tinggi = X > M + 1 . SD
= X > 55 + 1 . 5,8
= X > 60,8
2. Sedang = M – 1 . SD < X ≤ M + 1 . SD
118
= 55 – 1 . 5,8 < X ≤ 55 + 1 . 5,8
= 49,2 < X ≤ 60,8
3. Rendah = X ≤ 55 – 1 . 5,8
= X ≤ 49,2
d) Prosentase
Nilai kategori tinggi, sedang, dan rendah telah diketahui pada pembahasan
sebelumnya. Maka, akan diketahui prosentasenya dengan rumus :
Dengan demikian, maka analisis hasil prosentase spiritualitas dapat
dijelaskan dengan tabel berikut :
Tabel. 13
Kategori Skor Aitem Spiritualitas
Kategori Interval Nilai Frekuensi Prosentase
Tinggi/Positif X > 60,8 32 80%
Sedang 49,2 < X ≤ 60,8 8 20%
Rendah/Negatif X ≤ 49,2 0 0%
Total 40 100%
119
Gambar. 10 : Prosentase Tingkat Spiritualitas
2. Analisis Data Resiliensi Pasca Bencana Erupsi Gunung Kelud
Guna menentukan kriteria data dan besar frekuensi yang ada dalam
setiap penentuan kriteria maka yang harus ditentukan terlebih dahulu mean
(µ) dan standar deviasi (ơ). Berikut cara menghitung mean (µ) dan standar
deviasi (ơ) pada skala resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud dan yang
diterima sebanyak 21 aitem.
a) Menghitung mean (µ) hipotetik, dengan rumus:
( )
( )
= 52,5
b) Menghitung standar deviasi (ơ), dengan rumus:
( )
( )
= 5,7
0% 20%
80%
Prosentase Tingkat Spiritualitas
Rendah
Sedang
Tinggi
120
c) Pengkategorian
Setelah mengetahui nilai mean dan standar deviasi dari hasil tersebut,
maka langkah selanjutnya adalah mengetahui tingkat resiliensi pasca bencana
erupsi gunung Kelud pada responden. Pengkategorian pengukuran pada subjek
penelitian dibagi menjadi tiga, yakni tinggi, sedang, dan rendah. Untuk
mencari skor kategori diperoleh dengan pembagian sebagai berikut:
1. Tinggi = X > M + 1 . SD
= X > 52,5 + 1 . 5,7
= X > 58,2
2. Sedang = M – 1 . SD < X ≤ M + 1 . SD
= 52,5 – 1 . 5,7 < X ≤ 52,5 + 1 . 5,7
= 46,8 < X ≤ 58,2
3. Rendah = X ≤ 52,5 – 1 . 5,7
= X ≤ 46,8
d) Prosentase
Nilai kategori tinggi, sedang, dan rendah telah diketahui pada
pembahasan sebelumnya. Maka, akan diketahui prosentasenya dengan rumus :
121
Dengan demikian, maka analisis hasil prosentase spiritualitas dapat
dijelaskan dengan tabel berikut :
Tabel. 13
Kategori Skor Aitem Resiliensi Pasca Bencana Erupsi Gunung Kelud
Kategori Interval Nilai Frekuensi Prosentase
Tinggi/Positif X > 58,2 34 85%
Sedang 46,8 < X ≤ 58,2 6 15%
Rendah/Negatif X ≤ 46,8 0 0%
Total 40 100%
Gambar. 11 : Prosentase Resiliensi Pasca Bencana Erupsi Gunung
Kelud
D. Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis ini guna mengetahui ada atau tidak adanya hubungan
spiritualitas dengan resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud, maka
dilakukan korelasi aitem total terkoreksi untuk masing-masing aitem yang
ditunjukkan oleh kolom corrected item-total correlation dalam program
85%
15%
Tingkat Resiliensi Pasca Bencana Erupsi Gunung Kelud
Tinggi
Sedang
122
statistik komputer SPSS. Korelasi antara spiritualitas dengan resiliensi pasca
bencana erupsi gunung Kelud dapat diketahui setelah melakukan uji
hipotesis. Guna mengetahui hipotesis pada penelitian ini akan dianalisis
dengan menggunakan product moment. Sedangkan, metode yang digunakan
untuk mengolah data menggunakan metode statistik yang dibantu program
komputer SPSS 16.0 for Windows.
Setelah dilakukan analisis dengan bantuan program SPSS 16.0 for
Windows, diketahui hasil korelasi sebagai berikut:
Tabel. 14
Korelasi Spiritualitas dengan Resiliensi Pasca Bencana Erupsi Gunung
Kelud
Correlations
Spiritualitas Resiliensi
Spiritualitas Pearson
Correlation 1 .608
**
Sig. (2-tailed) .000
N 40 40
Resiliensi Pearson
Correlation .608
** 1
Sig. (2-tailed) .000
N 40 40
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Hasil korelasi antara spiritualitas dengan resiliensi pasca bencana erupsi
gunung Kelud menunjukkan angka sebesar rxy = .603 dengan p = 0,000. Hal
ini menyatakan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara
123
spiritualitas dengan resiliensi survivor remaja pasca bencana erupsi gunung
Kelud .
E. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Tingkat Spiritualitas
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 40 survivor
remaja di desa Pandansari,Ngantang-Malang, dapat diketahui bahwa survivor
remaja di desa Pandansari,Ngantang-Malang mempunyai tingkat spiritualitas
yang tinggi. Dari 40 survivor remaja yang dijadikan sampel penelitian,
diketahui 80% atau 32 survivor remaja mempunyai tingkat spiritualitas yang
tinggi atau baik, 20% atau 8 survivor remaja mempunyai tingkat spiritualitas
sedang, dan 0% atau tidak ada survivor remaja mempunyai tingkat
spiritualitas yang rendah.
Menurut Piedmont, spiritualitas ditunjukkan melalui beberapa aspek,
yang meliputi aspek pengamalan ibadah (prayer fulfillment), keyakinan akan
kesatuan kehidupan alam semesta (nature of life) dengan dirinya
(universality), dan keterkaitan individu yang merupakan bagian dari realitas
yang melampaui generasi dan kelompok tertentu. (connectedness). Dari
ketiga aspek tersebut menunjukkan perilaku spiritual. Hasil penelitian
menunjukkan paling banyak survivor remaja memiliki tingkat spiritualitas
yang tinggi atau baik. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mulai berusaha
keras dalam berkesadaran spiritual, mereka meyakini akan kekuasaan Tuhan
karena peristiwa bencana erupsi gunung Kelud yang telah dialami membuat
124
mereka seketika mengingat akan kematian. Kemudian, berusaha
melaksanakan ibadah berdasarkan kesadaran sendiri, dan mengambil manfaat
beribadah bagi diri sendiri. Mereka mulai mengkritisi dogma-dogma di masa
kanak-kanak melalui proses pencarian dan pemahaman sendiri, hal ini
dipengaruhi oleh komitmen yang dibentuk survivor remaja dengan
kelompoknya yang kebanyakan lebih berkompromi dengan teman sebaya.
Bahkan, mereka mulai memahami akan keyakinan diri terhadap keterkaitan
diri sendiri dengan alam semesta dan muncul rasa tanggungjawab menjaga
keseimbangan alam semesta, mulai terbentuk pemahaman tujuan hidup
walaupun belum pasti, keyakinan terhadap adanya kehidupan lain setelah
mati merupakan bentuk memaknai lebih mendalam akan asal, tujuan, dan
nasib, terlebih setelah bencana erupsi gunung Kelud. Dan, keterkaitan
individu yang merupakan bagian dari realitas yang melampaui generasi juga
mulai dipahami dengan baik. Mereka mulai bergabung menjadi anggota
kelompok tertentu juga bagian komitmennya (misal: empati dan menghargai
oranglain) juga tinggi karena mereka mengutamakan kelompok dalam
lingkungannya.
Tingginya tingkat spiritualitas pada survivor remaja dipengaruhi oleh
karakter dan inti dari jiwa manusia, yang masing-masing saling berkaitan,
serta pengalaman dari keterkaitan jiwa-jiwa tersebut, sehingga muncul
prinsip-prinsip sumber informasi dan kesadaran diri yang dimiliki oleh
individu tersebut. Pengalaman-pengalaman itu dijalani melalui komunikasi
yang berhubungan dengan Tuhan, alam semesta, dan sesama makhluk.
125
Pengalaman-pengalaman spiritual semacam itu akan memunculkan rasa yang
sebenarnya merupakan bawaan agar diakui hebat dan muncul rasa bersyukur
atas rejeki yang diterima, hasrat hidup untuk hidup bahagia, menerima hidup
dan lebih sensitif dengan lingkungan, dan berpikir menyeluruh bukan parsial.
Piedmont (2001:5-7) mengemukakan bahwa spiritualitas membuka
pintu untuk memperluas pemahaman kita tentang motivasi manusia dan
tujuan kita, sebagai makhluk, mengejar dan berusaha untuk memuaskan diri.
Pemaknaan pribadi dalam konteks kehidupan setelah mati dalam pernyataan
Piedmont bisa diartikan bahwa survivor remaja mulai mempertanyakan
kefanaan diri yang kemudian semakin memberikan pemahaman pada diri
tentang keyakinan terhadap Tuhan, tujuan hidup, dan motivasi serta memilih
sikap dalam hidup. Karena, remaja mengalami tugas perkembangan berpikir
abstrak dan mempertanyakan kembali terhadap dogma-dogma yang diterima
semasa kecil.
Islam menganjurkan agar kita sebagai manusia agar selalu introspeksi
diri dengan mengamalkan ibadah penuh rasa gembira sebagai bukti adanya
hubungan intim dengan Allah SWT, bersikap baik pada alam semesta dan
memiliki hubungan baik dengan sesama manusia, kemudian sadar bahwa ada
kehidupan lain setelah mati tetapi Islam juga tidak menganjurkan manusia
untuk lupa diri terhadap pemaknaan asal, tujuan hidup, dan nasib, yang
menyebabkan lupa bersyukur. Sebagaimana firman Allah:
126
Artinya:
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad) ruh (Al Qur’an) dengan perintah Kami.
Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al
Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi
Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki
dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-
hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau benar- benar
memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS.Asy-
Sura’:52, Al Qur’an Mushaf Aisyah, 2010)
Ayat di atas menegaskan bahwa ruh ditafsirkan para ulama’
sebagai wahyu.yang mana spiritualitas itu diberikan oleh Allah untuk
memahami segala sesuatu yang dikandung Al Qur’an (wahyu),
memantapkan keimanan dan menjadi cahaya petunjuk jalan. (Aman,
2013:26)
Artinya :
“Dan apakah orang yang sudah mati
(hatinya)
kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya
cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat
berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan
127
orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang
sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah
Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang
telah mereka kerjakan.” (QS. Al An’am:122, Al Qur;an
Mushaf Aisyah, 2010)
Ayat tersebut menegaskan bahwa orang mati yang dimaksudkan
adalah orang yang hidup dalam kegelapan, jauh dari cahaya Allah.
Hadirnya ruh di hadapan Allah memang sesuatu yang tidak mungkin,
karena ruh memang dari Allah dan ditiupkan langsung oleh Allah. Ruh
bisa menghadap kepada Allah, kalau pikiran seseorang bisa lepas dari
pengaruh fisik dan dunia. Pada saat itulah, seseorang mencapa
kehusyukkan yang luar biasa. Dan itu disebut dengan mi’raj. (Aman,
2013:29)
Manusia diciptakan di dunia ini bertujuan untuk beribadah pada-Nya.
Sehingga, harus selalu bersama Tuhan dan menerapkan akhlak Tuhan.
Menurut Aman (2013), sebagaimana diperlihatkan dengan usaha, sikap atau
perilaku yakni menemukan kekuatan yang Maha Besar, merasakan
kenikmatan ibadah, menemukan nilai keabadian, menemukan makna dan
keindahan hidup, membangun keharmonisan dan keselarasan diri dengan
alam, menghadirkan intuisi dan menemukan hakikat atau kebenaran yang
tersembunyi, menemukan pemahaman yang menyeluruh sehingga lahir
keridhaan dan keikhlasan, dan mengakses hal-hal yang masih ghaib.
128
2. Tingkat Resiliensi Survivor Remaja Pasca Bencana Erupsi Gunung
Kelud
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 40 survivor
remaja di desa Pandansari,Ngantang-Malang, dapat diketahui bahwa survivor
remaja di desa Pandansari,Ngantang-Malang mempunyai tingkat resiliensi
pasca bencana erupsi gunung Kelud yang tinggi. Dari 40 survivor remaja
yang dijadikan sampel penelitian, diketahui 85% atau 34 survivor remaja
mempunyai tingkat resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud yang tinggi,
dan ada 15% atau 6 survivor remaja mempunyai tingkat resiliensi pasca
bencana erupsi gunung Kelud yang sedang. Sedangkan, pada kriteria rendah
0%, artinya tidak ada survivor remaja mempunyai tingkat resiliensi pasca
bencana erupsi gunung Kelud yang rendah.
Tingginya tingkat resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud pada
survivor remaja dipengaruhi oleh pembentukan kepercayaan yang mana
bagaimana lingkungan mengembangkan rasa percaya sepenuhnya pada
survivor remaja terhadap orang lain mengenai hidupnya, kebutuhan dan
perasaannya, serta pada diri sendiri terhadap kemampuan, tindakan dan masa
depannya. Kemudian dorongan untuk mandiri (otonomi), yang mana survivor
remaja menyadari akan pentingnya kemandirian karena mulai sadar bahwa
sebenarnya dia terpisah dan berbeda dari lingkungan tempatnya tumbuh yang
nanti akan membentuk kekuatan pada mereka sehingga menentukan tindakan
selanjutnya. Setelah itu, adanya inisiatif menumbuhkan minat survivor remaja
dan masuk ke dalam bagian kelompok tertentu, mengembangkan
129
keterampilan-keterampilan sosial yang berkaitan dengan aktifitas dirinya
ketika di rumah, sekolah, dan bersosialisasi dengan teman sebaya, munculnya
perasaan bangga dengan prestasi yang dicapai, dan mampu memecahkan
masalah sendiri (industri). Serta terbentuknya identitas yang berkaitan dengan
pengembangan pemahaman survivor remaja akan dirinya sendiri, baik
mengenal fisik dan memahami psikologisnya.
Menurut Grotberg, kualitas resiliensi tidak sama pada setiap orang,
sebab kualitas resiliensi seseorang sangat ditentukan oleh salah satunya
intensitas seseorang dalam menghadapi situasi-situasi yang tidak
menyenangkan, serta seberapa besar dukungan sosial dalam pembentukan
resiliensi seseorang tersebut. Ada beberapa sebab terjadinya suatu hal pada
anak-anak dan orang dewasa menghadapi dan mengatasi kesengsaraan hidup
mereka berdasarkan fakta bahwa kenyataan mereka menyarankan mereka
akan dihadapkan pada kemalangan. Inilah beberapa pengalaman realita
orang-orang yang pernah alami. Dari hasil penelitian peneliti lebih melihat
gejala psikologis remaja korban bencana dalam menghadapi situasi yang
tidak menyenangkan (pasca erupsi gunung Kelud) yang menonjol pada
survivor remaja, yang ditunjukkan bahwa remaja korban bencana mampu
memecahkan masalah sendiri dan memiliki keterampilan sosial misalnya
berkomunikasi dengan orang lain, dan memiliki hubungan terpercaya di luar
lingkungan keluarga.
Dalam penelitian menunjukkan bahwa paling banyak survivor remaja
di desa Pandansari, Ngantang-Malang memiliki tingkat resiliensi pasca
130
bencana erupsi gunung Kelud yang tinggi sebesar 85%. Hal ini menunjukkan
bahwa survivor remaja di desa Pandansari, Ngantang-Malang memiliki daya
lentur dan keinginan untuk bangkit dari kondisi tidak menyenangkan yang
tinggi pasca bencana erupsi gunung Kelud.
Pada umumnya, survivor remaja rentan terkena permasalahan
psikologis dan labil emosinya pasca bencana alam yang dialami, hal tersebut
kelihatan pada hasil penelitian ini hanya sesaat saja, selepas sebulan pasca
bencana alam yang terjadi, survivor remaja mulai bangkit kembali. Karena,
survivor remaja di desa Pandansari, Ngantang-Malang memiliki resiliensi
yang tinggi.
Dalam pandangan Islam bahwa setiap manusia pasti akan diberikan
cobaan oleh Allah SWT untuk menguji kekuatan diri dan ketahanannya
ketika menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan. Senjata menghadapi
hal itu dengan bersabar dan bertawakkal, serta terus berikhtiar untuk bangkit
dan menjadi lebih baik lagi. Bencana merupakan kehendak Allah SWT
sebagai salah satu media muhasabah diri dan melatih kesabaran. Sebagaimana
firman-Nya:
Artinya:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira
131
kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-
Baqarah:155, Al Qur;an Mushaf Aisyah, 2010)
Dari ayat di atas menegaskan bahwa dibalik kondisi yang tidak
menyenangkan misalnya erupsi gunung Kelud merupakan kehendak Allah
dan dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Agar manusia mengingat kembali
pada tujuan awal hidup, kekuasaan Tuhan, menambah keyakinan bahwa ada
kehidupan setelah mati, tetap mampu bangkit dan berubah menjadi lebih baik
lagi.
3. Hubungan Spiritualitas dengan Resiliensi Survivor Remaja Pasca
Bencana Erupsi Gunung Kelud
Berdasarkan hasil analisa data yang telah dilakukan, menunjukkan
bahwa adanya hubungan positif yang signifikan antara spiritualitas dengan
resiliensi survivor remaja pasca bencana erupsi gunung Kelud di Desa
Pandansari, Ngantang-Malang. Para survivor remaja memiliki tingkat
resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud yang tinggi karena, didukung
oleh tingkat spiritualitas yang tinggi pula.
Peristiwa bencana erupsi telah menambah atau paling tidak
memunculkan kembali nilai-nilai spiritualitas para penyintas. Penyerahan diri
secara total kepada Tuhan menjadi sumber kekuatan yang besar bagi para
penyintas untuk bangkit tidak terlarut dalam kesedihan, trauma, dan stress
yang menjurus ke arah depresi. (Faturrochman, 2012:180)
Adanya tingkat spiritualitas survivor remaja yang tinggi terdiri dari
beberapa aspek yaitu pengamalan ibadah, universalitas atau hubungan diri
132
sendiri dengan alam semesta, dan keterkaitan diri dengan realitas antar-
generasi dan masa serta komitmen menjaga hubungan interpersonal dengan
oranglain. Hal ini telah dimiliki oleh sebagian besar survivor remaja. Dalam
tahap perkembangan spiritual remaja, sebenarnya survivor remaja belum
menyadari akan pentingnya memiliki spiritualitas yang baik bagi kehidupan,
karena lebih banyak dipengaruhi oleh teman sebaya dan masa
perkembangannya masih mempertanyakan segala dogma yang diterima sejak
kecil, disebabkan mulai mampu berpikir abstrak dan secara mendalam.
Menurut Piaget (121) memandang perkembangan masa remaja secara
gamblang dalam Hurlock (1980) yaitu :
“Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana
individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di
masa anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang
yang lebih tua melainkan berada dalam rangkaian yang
sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Integrasi
dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek
afektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber.
Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok.
Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja
ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam
hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya
merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan
ini.”
Dalam posisi tersebut, survivor remaja berada pada kebimbangan
terhadap keyakinannya selama ini. Akan tetapi, melihat perkembangan
spiritual remaja di pedesaan yang berbeda karena tetap menjaga pemahaman
133
agama disebabkan lingkungan tempat yang ia tinggali mengkondisikan dalam
mempertahankan pemahaman dan tradisi agama yang ada, jadi survivor
remaja mau tidak mau tetap mengikuti norma yang dijalankan di
lingkungannya.. Selain itu, survivor remaja dalam menjalankan mulai dengan
perasaan sukarela dan bahagia dengan ditunjukkan intensitas melibatkan diri
dalam menjalankan ibadah walaupun tidak sesering saat mereka masih kanak-
kanak, perasaan memiliki kekuatan diri setelah beribadah juga mulai
dirasakan, hanya saja perlu adanya peningkatan intensitas hubungan vertikal
melalui kesadaran transendental. Kemudian, universalitas atau keterikatan diri
dengan alam semesta dengan memaknai tujuan hidup, bertanggungjawab
menjaga alam semesta, dan kesadaran akan kematian juga masih butuh proses
pemahaman lagi. Dan, survivor remaja masih perlu meyakinkan diri sendiri
tentang keterkaitan dirinya sendiri dengan generasi dan kelompok tertentu,
dan meningkatkan keterampilan hubungan interpersonal.
Gambaran yang mencerminkan perilaku pasca bencana erupsi gunung
Kelud, beberapa remaja korban bencana laki-laki sepulang sekolah bahkan
setiap hari Minggu banyak yang turun ke sungai Sambong untuk mencari
plonto (batu berukuran sedang). Mereka kebanyakan meniru orangtua atau
teman sebaya mencari sumber penghasilan lain pasca erupsi gunung Kelud
karena kontur lahan pertanian yang dikelola orangtua mereka belum pulih.
Sedangkan, ketika di malam hari, banyak yang begadang di dekat balai dusun
sembari merokok, atau mencari hiburan dengan menonton atraksi jaran
kepang hingga dini hari. Sedangkan, bagi remaja perempuan menjalani
134
aktifitas seperti biasa dan berbeda di setiap dusun. Di dusun Plumbang masih
banyak yang melanjutkan sekolah, di Klangon, Pait, Bales dan Sedawun
sudah banyak yang menjadi ibu rumahtangga dan bekerja di luar desa, di
Kutut banyak yang menjadi buruh ternak susu.
Hasil korelasi antara spiritualitas dengan resiliensi survivor remaja
pasca bencana erupsi gunung Kelud menunjukkan angka rxy = .603 dengan p
= 0,000. Hal tersebut menyatakan bahwa hubungan antara keduanya adalah
positif dan signifikan. Dikatakan positif karena hubungan antara kedua
variabel linier atau searah, jadi jika variabel X-nya tinggi maka variabel Y-
nya tinggi pula yang dalam hal ini jika diketahui tingkat spiritualitasnya
tinggi atau baik maka tingkat resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud
tinggi pula.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa spiritualitas
mempunyai hubungan positif yang signifikan terhadap resiliensi pasca
bencana erupsi gunung Kelud. Artinya, survivor remaja di desa
Pandansari,Ngantang,Malang, memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi
sehingga mengakibatkan resiliensi yang tinggi pula.
Sebagaimana dijelaskan Piedmont, spiritualitas sebagai rangkaian
karakteristik motivasional (motivational trait), kekuatan emosional umum
yang mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku individu.
Jadi, jika survivor remaja hendak meningkatkan spiritualitasnya harus
135
termotivasi atau berasal dari motivasi intrinsik. Motivasi intrinsik datang dari
kemauan diri sendiri tanpa perlu diberikan stimulus eksternal terlebih dahulu.
Spiritualitas yang matang akan mengantarkan seseorang bisa
menempatkan diri pada tempat yang sesuai atau pas dan melakukan apa yang
seharusnya dilaukan, serta mampu menemukan hal-hal yang ajaib. (Aman,
2013:25)
Maka, dapat peneliti katakan bahwa semakin tinggi atau kuat
spiritualitas akan terwujud ke dalam cara berpikir, mengolah rasa, berperilaku
melalui tindakan yang baik. Termasuk dalam kaitannya dengan kemampuan
individu untuk berada di luar pemahaman dirinya akan waktu dan tempat,
serta untuk melihat kehidupan dari perspektif yang lebih luas dan objektif
akan semakin menambah kuatnya resiliensi pasca bencana erupsi Gunung
Kelud.
Remaja dengan kebutuhan khusus memiliki ketertarikan yang sama
sebagai remaja tanpa kebutuhan khusus. Mereka menginginkan berada di atas
segalanya untuk diterima sebagai seseorang dan bukan sebagai sosok tak
berdaya. Rasa harga diri orang-orang muda lebih dari sekedar perasaan yang
baik atau rasa membanggakan diri; inilah hasil yang sedang diterima satu
sama lain, dikenal sebagai orang yang baik, terhormat dan penuh kasih
sayang. (Grotberg, 2004:7)
Pengalaman traumatis karena gunung meletus telah menggoncangkan
dan melemahkan pertahanan individu dalam menghadapi tantangan dan
136
kesulitan hidup sehari-hari. Apalagi kondisi trauma, kondisi fisik dan mental,
aspek kepribadian masing-masing survivor tidak sama. (Adami, 2006:2)
Sesuai dengan yang dikemukakan Wagnild (2011), walaupun dalam
hidup manusia seringkali tidak memiliki kuasa atas kejadian yang terjadi pada
dirinya seperti : kecelakaan, bencana alam, kriminalitas, hingga penyakit
yang mengarah pada kematian, tetapi setiap individu dapat memilih
bagaimana cara menghadapi kejadian tersebut. Kemampuan individu memilih
untuk bangkit dan beradaptasi dengan kondisinya ini disebut resiliensi.
(dalam Rosyani, C.Rizky.2012:5)
Bangsa ini tidak menghendaki kalau rakyat korban bencana terjebak
dalam frustasi atau gangguan kejiwaan (mental disorder) akut akibat gagal
memaknai penderitaan pasca bencana. (Mahpur&Habib, 2006:172-173)
Memiliki resiliensi begitu penting, karena hal itu merupakan kapasitas
manusia untuk menghadapi, mengatasi dan menjadi lebih kuat atau mampu
berubah atas kemalangan atau kesengsaraan dalam hidup. (Grotberg, 1995:3)
Senada dengan pendapat Corner yang mengatakan bahwa untuk
mengatasi, stress, depresi, dan kecemasan dibutuhkan sikap resilien. Setiap
individu mempunyai kemampuan untuk tangguh (resilien) secara alami, tetapi
hal tersebut harus dipelihara dan diasah. Jika tidak dipelihara, maka
kemampuan tersebut akan hilang. (dalam Dewi dkk, 2004:103)
137
Faktor yang mempunyai pengaruh pada tinggi rendahnya tingkat
resiliensi survivor remaja salah satunya spiritualitas, dalam hal ini survivor
remaja memiliki spiritualitas yang tinggi.
Menurut Jackson (2004:15), remaja harus memiliki kemampuan untuk
tetap positif memandang masa depan dan bersikap realistis dalam
perencanaannya. (dalam Pasudewi, 2012:15)
Menurut Grotberg (2004:17), resiliensi dipandang pentingnya
meningkatkan kesejahteraan anak-anak dan keluarga ketika seorang anak atau
remaja memiliki kebutuhan spesial. Dengan menguji kebutuhan ayah sebagai
pemberi perhatian, stres dalam pemberian perhatian, dan remaja dengan
kebutuhan khusus, peran resiliensi dapat dipandang sebagai bagian kritis
dalam mengatasi permasalahan yang lekat dalam sebuah anggota keluarga
dengan kebutuhan khusus.
Resiliensi menjadi penting untuk dimiliki karena individu tidak dapat
menghindari tantangan dan masalah, namun individu yang resilien dapat
kembali berfungsi dengan baik setelah masalah berlalu. (dalam Sidabutar,
2011:3)
Grotberg (2004:12-13) menjelaskan tanda atau gejala pembentuk
resiliensi dalam diri individu yang mampu beresilien berdasarkan hasil
penelitiannya. Pertama, I HAVE representasi dari dukungan eksternal,
ditandai dengan adanya kepercayaan penuh tanpa syarat dari anggota
keluarga maupun di luar keluarga pada dirinya, membatasi perilakunya,
138
orang-orang yang mendukungnya menjadi independen, memiliki panutan
yang baik, akses kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial dan keamanan
yang dibutuhkannya, dan keseimbangan dalam keluarga dan komunitas.
Kedua, I AM merupakan representasi kekuatan internal dalam diri individu,
yang ditandai dengan menjadi seseorang yang disukai oranglain, secara
umum tetap tenang dan alami, peraih prestasi yang merencanakan masa
depan, seseorang yang hormat dengan diri sendiri dan oranglain, empati dan
peduli satu sama lain, bertanggungjawab atas perilaku diri sendiri dan
menerima segala konsekuensi, percaya diri, optimis, dapat diandalkan,
dengan keyakinan agama. Ketiga, I CAN, merupakan representasi
kemampuan interpersonal dan penyelesaian masalah yang ditandai dengan
melahirkan ide-ide baru atau cara untuk melakukan segala hal, tuntas dalam
menyelesaikan tugas, humoris dalam hidup dan menggunakannya untuk
mengurangi ketegangan, kecepatan berpikir dan perasaan dalam
berkomunikasi dengan oranglain, menyelesaikan masalah dalam beberapa
segi seperti akademik, hubungan pekerjaan, pribadi dan sosial. Mengatur
perilaku diri meliputi perasaan, gerak, tindakan. Dan meminta pertolongan
saat dibutuhkan.
Pada dasarnya, seperti yang dikemukakan Grotberg (2001) tentang
sumber-sumber resiliensi salah satunya ialah I AM, yang mana merupakan
pengembangan kekuatan batin mencakup intensitas beribadah yang lebih
sering sehingga menunjukkan religiusitas yang tinggi. (Pasudewi, 2012:19)
139
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ajaran Islam bahwasannya
setiap individu memiliki daya lentur (resiliensi) ketika menghadapi
permasalahan atau kondisi yang tidak menyenangkan. Seperti dalam firman
Allah SWT sebagai berikut:
Artinya :
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu
mengikutinya secara bergiliran, di muka dan di belakangnya,
mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya, Allah
tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri, dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada
yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra;du:11, Al Qur’an Mushaf Aisyah)
Ayat tersebut menegaskan bahwa dengan mendekatkan diri pada
Allah SWT dan sadar akan hikmah permasalahan hidup, maka Allah SWT
akan mengubah nasib nya. Jadi, ketika mengalami bencana alam tidak serta
merta menganggap hidup tidak ada artinya lagi, mencoba melihat lingkungan
sekitar dan keluarga maka akan semakin yakin pada takdir-Nya.