bab iv hasil dan pembahasan
TRANSCRIPT
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
1. Deskripsi Desa Sarimukti
Berdasarkan Data Profil Desa Sarimukti Tahun 2011, Desa Sarimukti
memiliki empat batas wilayah yang meliputi Desa Nanggeleng, Kecamatan
Cipeundeuy sebagai batas wilayah utara; Desa Rajamandala, Kecamatan Cipatat
sebagai batas wilayah selatan; Desa Kertamukti, Kecamatan Cipatat sebagai
batas timur; dan Sungai Citarum, Kecamatan Cianjur sebagai batas wilayah
sebelah barat. Topografi Desa Sarimukti terdiri atas dataran rendah 478 ha dan
perbukitan 445 ha. Total luas wilayah Desa Sarimukti mencapai ± 923 ha yang
didominasi oleh hutan produksi milik Perhutani seluas 445 ha. Curah hujan
harian yang terdapat di Desa Sarimukti saat dilakukan penelitian (akhir
September – akhir Oktober) terdiri atas curah hujan harian rata-rata sekitar 1500-
2500 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 30 hari, kelembaban rata-rata 6 %
dan suhu rata-rata harian 23,3 oC.
Desa Sarimukti berada pada ketinggian 319 m di atas permukaan laut
(dpl). Jumlah Penduduk terdiri atas 4.994 orang yang terdiri atas 1.505 kepala
keluarga (KK) dengan persentase perkembangan sebesar 3,3% (pada tahun
2011-2012) dan memiliki 13 unit organisasi rukun warga (RW) dan 40 unit
organisasi rukun tetangga (RT). Desa Sarimukti memiliki lokasi bersinggungan
langsung dengan TPAS Sarimukti yang tepatnya di kawasan RW 2 Desa
Sarimukti, yaitu berada pada kawasan batas wilayah utara desa.
37
2. Deskripsi TPAS Sarimukti
TPAS Sarimukti secara administrasi berada di di Blok Gedig, Desa
Sarimukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, yang berada pada
ketinggian rata-rata 316 m dpl. Luas lahan TPAS Sarimukti ± 25 ha, terdiri atas
± 23 ha milik Perhutani dan ± 2 ha milik Pemerintah Kota Bandung. Secara garis
besar penggunaan lahan di TPAS Sarimukti adalah 17 ha untuk lahan
penimbunan dengan sistem controlled landfill, 3.750 m2 digunakan sebagai
tempat pengolahan kompos, 5 ha untuk jalan dan drainase, 2 ha untuk sarana dan
prasarana penunjang dan sisanya sebagai lahan pengembangan landfills. Lahan
penimbunan sampah dibagi dalam 5 zona penimbunan (lahan kerja), 2 zona telah
dilakukan pengurugan, sedangkan sisanya masih dilakukan kegiatan
penimbunan.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan terhadap sampah yang
terdapat di pasar oleh pihak pengelola (yaitu BPSR) diperoleh komposisi dari
jenis sampah tersebut, yaitu 80% sampah organik, 8% sampah kertas, 6%
sampah plastik, 4% sampah logam dan 2% sampah lainnya, sehingga komposisi
dan berat sampah yang masuk ke TPAS Sarimukti dengan volume 120 m3/hari
adalah terdiri dari 96 m3 sampah organik, 8,6 m3 sampah kertas, 7,2 m3 sampah
plastik, 4,8 m3 sampah logam dan 2,4 m3 sampah lainnya. Iklim TPAS Sarimukti
berdasarkan data yang diperoleh dari Stasiun BMG Wilayah II (dalam AMDAL
TPAS Sarimukti 2011) terlihat bahwa suhu udara rata-rata bulanan terukur 16,7-
32,3 C, kelembaban udara terukur antara 64-86%, dengan curah hujan
menunjukkan nilai antara 10-526 mm per bulan.
38
Daerah studi TPAS Sarimukti memiliki 2 satuan geomorfologi yaitu
perbukitan bergelombang (agak curam) dengan kemiringan 15-25% dan satuan
geomorfologi curam dengan kemiringan 25-40% (data geomorfologi dalam
AMDAL TPAS Sarimukti 2011). Berdasarkan Standar Nasional Indonesia
(SNI) 03 - 3241 - 1994 bahwa pemilihan lokasi tempat pembuangan akhir
sampah tidak boleh mempunyai kemiringan lereng melebihi 20%. Apabila
merujuk jangkauan optimum sudut lereng untuk pemanfaatan lahan maka
pemanfaatan lahan untuk TPAS berdasarkan kondisi geomorfologi adalah
kurang tepat karena dengan kemiringan lereng yang relatif bergelombang (agak
curam) dan curam akan memudahkan terjadinya longsoran atau pergerakan dari
material sampah ataupun massa batuan sebagai dasar dari penimbunan sampah,
terutama menuju pemukiman warga Desa Sarimukti yang bersinggungan dengan
tempat kegiatan TPAS, yaitu pemukiman rukun warga (RW) 2 Desa Sarimukti.
B. Kualitas Air Sungai Berkaitan dengan Keberadaan TPAS Sarimukti
Pengukuran parameter kualitas air dilakukan terhadap parameter bau,
warna, rasa, padatan total terlarut (TDS), pH, BOD, COD, DO, Fecal Coliform
dan Total Coliform. Hasil rata-rata pengukuran kualitas air pada seluruh stasiun
penelitian ditunjukkan pada Tabel 1.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa keberadaan TPAS Sarimukti
mengakibatkan bau pada Stasiun II yang merupakan outlet pembuangan lindi
dan Stasiun III yang berjarak ± 1,5 km setelah outlet tersebut.
Tabel 1. Hasil Analisis Kualitas Air di Seluruh Stasiun Penelitian
ParameterBaku
Mutu
STASIUN
I II III IV V VI
Bau - Tidak Berbau Berbau Berbau Tidak Berbau Tidak Berbau Tidak Berbau
Rasa - Tidak Berasa Berasa Berasa Tidak Berasa Tidak Berasa Tidak Berasa
Warna* - 91,67 ± 14,43 4291,67 ± 72,17 2391,67 ± 1942,35 50 ± 25 91,67 ± 28,87 83,33 ± 38,19
TDS (Total Dissolved
Solid)**1000 290 ± 5,20
15223,33 ±
2053,447501 ± 4680,04 180,33 ± 8,08
565,33 ±
251,98277,67 ± 74,89
pH 6-9 8,23 ± 0,10 8,14 ± 0,06 8,11 ± 0,14 7,38 ± 0,02 7,92 ± 0,32 7,92 ± 0,12
Fecal Coliform*** 100029633,33 ±
22558,89
57800 ±
80387,31142000 ± 97015,46
101533,33 ±
83956,73
57000 ±
48445,85
16933,33 ±
25172,47
Total Coliform*** 500029633,33 ±
22558,89
57800 ±
80387,31
256666,67 ±
125830,57
101533,33 ±
83946,73
57000 ±
48445,85
17666,67 ±
24562,03
Oksigen Terlarut (DO)** 4 7,36 ± 0,69 0,13 ± 0,01 1,57 ± 2,45 7,31 ± 0,84 6,33 ± 2 7,05 ± 0,87
BOD** 3 9,93 ± 5,6611746,67 ±
787,992746,67 ± 220,30 8,17 ± 1,89 234 ± 334,62
27,33 ±
7,37
COD** 25 19,93 ± 10 17273,33 ± 4151,67 ± 262,69 16,60 ± 5,72 376,53 ± 46,53 ± 6
39
40
1106,41 540,53
Timbal (Pb)** 0,03 0,01 0,27 ± 0,23 0,12 ± 0,20 0,01 0,10 ± 0,16 0,07 ± 0,10
Keterangan: * = dalam kolori ; ** = dalam mg/l; *** = dalam MPN/100ml
41
Stasiun I yang merupakan stasiun kontrol dan berada sebelum
pembuangan lindi tidak dihasilkan bau. Stasiun IV yang berada pada Sungai
Cipicung diperoleh hasil yang tidak berbau, hal tersebut dikarenakan tidak
langsung terkena pembuangan lindi meskipun berlokasi di sekitar TPAS
Sarimukti. Pengaruh pembuangan lindi tidak nampak pada Stasiun V dan VI
dikarenakan terjadi pengenceran dari Sungai Cipicung dan Sungai Cimeta.
Daryanto (2009) mengemukakan bahwa kualitas bau air bergantung pada
sumber airnya ataupun masukan yang terintroduksi pada badan sungai melalui
aliran air tanah maupun air permukaan. Darmono (2001) mengemukakan pula
bahwa bau air dapat pula disebabkan oleh beberapa faktor seperti
mikroorganisme akuatik perairan, effluent rumah tangga, industri maupun
tempat pengelolaan sampah. Bau yang dijumpai pada Stasiun II dan III
diindikasikan oleh karena adanya pengaruh aliran permukaan yang mengandung
lindi, yang masuk ke Sungai Cilimus dari TPAS melalui outlet kolam pegelolaan
lindi.
Hasil pengukuran parameter rasa menunjukkan hasil yang selaras dengan
parameter bau, dimana Stasiun II dan III menimbulkan rasa dalam air yang
diukur. Stasiun I dan IV sebagai kontrol diperoleh hasil yang tidak berasa, lalu
pada Stasiun V dan VI diperoleh hasil yang tidak berasa pula. Air yang normal
seharusnya tidak memiliki rasa, air yang berasa dapat terjadi dikarenakan
terdapat penyimpangan yang diakibatkan oleh adanya introduksi bahan asing
atau kontaminan. Fardiaz (1992) dan Wardhana (2001) mengemukakan bahwa
air yang tidak normal umumnya memiliki rasa yang tidak normal dan bau yang
42
tidak normal pula selain itu air yang digunakan untuk kehidupan seharusnya
tidak berasa, berbau, dan berwarna.
Hasil pengukuran parameter warna (Gambar 3) dengan indikator Platinum
Cobalt (Pt.Co) menunjukkan bahwa terdapat perubahan warna sungai pada
Stasiun II dengan nilai warna air sebesar 4291,67 kolori dan Stasiun III sebesar
2391,67 kolori, dimana secara kasat mata ditunjukkan dengan warna hitam
pekat. Perubahan warna air pada dua stasiun tersebut dikarenakan terdapat
pengaruh masukkan lindi dari outlet TPAS Sarimukti.
I II III IV V VI0.00
500.00
1000.00
1500.00
2000.00
2500.00
3000.00
3500.00
4000.00
4500.00
5000.00
Stasiun Pengamatan
War
na
(K
olor
i)
Gambar 3. Warna pada Seluruh Stasiun Pengamatan
Harrison (1994) menyatakan bahwa tingginya nilai kolori pada perairan
yang dikarenakan adanya introduksi lindi terdiri atas berbagai macam bahan
seperti senyawa organik, anorganik, logam berat dan mikroorganisme
berkonsentrasi tinggi pada lindi. Manahan (1984) menyatakan pula bahwa warna
43
sungai yang terkontaminasi lindi umumnya berwarna hitam karena ikatan timbal
dengan -Fe(OH)22-, -MnO2- ataupun dengan -CO2
2- yang terlarut serta terabsorbsi
pada koloid di dalam perairan.
Stasiun I yang memiliki nilai warna air sebesar 91,67 kolori merupakan
stasiun kontrol yang berada kurang lebih 1 km sebelum outlet TPAS, sedangkan
pada Stasiun IV yang berada di Sungai Cipicung (namun masih berada di sekitar
TPAS Sarimukti) juga merupakan stasiun kontrol diperoleh nilai warna air
sebesar 50 kolori. Effendi (2003) menyatakan bahwa perairan alami tidak
berwarna atau memiliki nilai warna lebih kecil 10 kolori, perairan memiliki
warna kuning kecoklatan seperti daerah rawa-rawa dan umumnya memiliki
rentang nilai warna perairan pada 200 - 300 kolori. Nilai warna air pada Stasiun
V dan VI kembali menyerupai pada Stasiun I yang merupakan kontrol, hal
tersebut dikarenakan telah terjadi degradasi konsentrasi lindi akibat proses
pengenceran yang berasal dari Sungai Cipicung dan Sungai Cimeta.
Hasil pengukuran parameter kualitas air selanjutnya yaitu TDS (Total
Dissolved Solid). Gambar 4 menunjukkan nilai TDS yang tinggi pada Stasiun II
yaitu 15223,33 mg/l dan Stasiun III 7501 mg/l, dimana jumlah tersebut
melampaui baku mutu yang ditentukan yaitu 1000 mg/l berdasarkan PP No.82
Tahun 2001. Sedangkan pada stasiun I, IV, V dan VI diperoleh nilai masing-
masing yaitu 290 mg/l, 180,33 mg/l, 565,33 mg/l dan 277,67 mg/l.
Nilai TDS yang tinggi pada Stasiun II dan III selaras dengan hasil bau dan
warna yang diperoleh karena dipengaruhi oleh lindi yang berasal dari TPAS
Sarimukti. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa peningkatan nilai TDS pada
44
perairan sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan tanah, dan
pengaruh antropogenik (limbah domestik).
I II III IV V VI0.00
2000.00
4000.00
6000.00
8000.00
10000.00
12000.00
14000.00
16000.00
Stasiun Pengamatan
Kon
sen
tras
i TD
S (
mg/
l)
Gambar 4. Residu Terlarut (TDS) pada Seluruh Stasiun Pengamatan
Rendahnya nilai TDS pada stasiun I dan IV dikarenakan kedua stasiun
tersebut belum dipengaruhi oleh keberadaan buangan lindi dari TPAS tersebut.
Sedangkan rendahnya nilai TDS pada stasiun V dan VI dikarenakan terjadi
degradasi konsentrasi lindi akibat proses pengenceran dari Sungai Cipicung dan
Sungai Cimeta.
Hasil pengukuran parameter pH menujukkan derajat kemasaman yang
relatif basa di seluruh stasiun penelitian (Gambar 5), namun pada Stasiun IV
diperoleh nilai pH yang relatif lebih masam jika dibandingkan yang lainnya
yaitu sebesar 7, 38. Stasiun IV belum terintroduksi oleh lindi yang berasal dari
TPAS Sarimukti. Rendahnya nilai pH menunjukkan bahwa aktivitas domestik
seperti contohnya kegiatan pertanian mempengaruhi derajat kemasaman dan
45
konsentrasi ion hidrogen dalam perairan (Khalil et al., 2011). Wardhana (2001)
menyatakan bahwa perairan yang baik bagi kehidupan yaitu yang memiliki pH
berkisar 6 – 7,5, sedangkan menurut Effendi (2003), perairan yang cocok bagi
kehidupan biota akuatik yaitu yang memiliki kisaran pH 7 – 8,5. Berdasarkan
Wardhana (2001) maka pH di lokasi penelitian berada pada batas yang baik bagi
pertumbuhan biota akuatik. Berdasarkan Effendi (2003) maka pH di lokasi
penelitian cocok bagi kehidupan biota akuatik.
I II III IV V VI7.20
7.40
7.60
7.80
8.00
8.20
8.40
Stasiun Pengamatan
pH
(u
nit
)
Gambar 5. pH pada Seluruh Stasiun Pengamatan
Baku Mutu Air Kelas II yang terdapat pada PP No.82 Tahun 2001
menentukan Konsentrasi toleransi terhadap pH untuk peruntukkannya yaitu pada
rentang 6 – 9. Derajat kemasaman pada seluruh stasiun penelitian berdasarkan
PP No.82 Tahun 2001 dapat dinyatakan masih dalam batas toleransi sesuai
peruntukkannya.
Hasil pengukuran parameter oksigen terlarut (DO) pada Gambar 6
menunjukkan bahwa pada Stasiun II dan III yang terkena masukkan lindi
46
didapatkan oksigen terlarut yang rendah yaitu sebesar 0,13 mg/l dan 1,57 mg/l.
Penurunan oksigen terlarut dikarenakan oleh proses dekomposisi (Ayala et al.,
2009). Menurut pendapat Effendi (2003), penurunan oksigen terlarut dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kenaikan pH (basa), tingginya
dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik. Stasiun kontrol
(Stasiun I dan IV) diperoleh oksigen terlarut yang tinggi. Stasiun V dan VI
didapatkan oksigen terlarut yang meningkat.Tingginya oksigen terlarut pada
Stasiun V dan VI tersebut menunjukkan pengaruh lindi telah berkurang secara
gradual karena pengenceran dari Sungai Cipicung dan Sungai Cimeta.
I II III IV V VI0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
Stasiun Pengamatan
Kon
sen
tras
i DO
(m
g/l)
Gambar 6. Oksigen Terlarut (DO) pada Seluruh Stasiun Pengamatan
Hasil pengukuran parameter BOD dan COD (Gambar 7) menunjukkan
terjadi peningkatan nilai BOD dan COD (Stasiun II dan Stasiun III). Konsentrasi
BOD dan COD pada Stasiun I masing-masing 9,93 mg/l dan 19,93 mg/l.
Peningkatan konsentrasi BOD dan COD yang signifikan terjadi pada Stasiun II
masing-masing 11746,67 mg/l dan 17273,33 mg/l. Konsentrasi BOD yang tinggi
tersebut menunjukkan tingginya bahan organik yang harus di dekomposisi oleh
47
mikroorganisme dalam perairan tersebut, termasuk lindi yang berasal dari TPAS
Sarimukti. Effendi (2003) menyatakan bahwa secara tidak langsung BOD
merupakan gambaran banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme
aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air.
I II III IV V VI0.00
2000.00
4000.00
6000.00
8000.00
10000.00
12000.00
14000.00
16000.00
18000.00
20000.00
BOD
COD
Satsiun Pengamatan
Kon
sen
tras
i BO
D d
an C
OD
(m
g/l)
Gambar 7. BOD dan COD pada Seluruh Stasiun Pengamatan
Tingginya konsentrasi COD pada Stasiun II dan III menunjukkan bahwa
terdapat bahan organik yang sukar untuk didegragasikan secara biologis pada
perairan sungai tersebut. Menurut Wardhana (2001) dan Effendi (2003) COD,
jumlah bahan organik yang teroksidasi tinggi secara kimiawi terdiri dari bahan
organik dapat terdegradasi secara biologis (biodegradable) dan yang sukar
terdegradasi secara biologi (non-biodegradable) menjadi CO2 dan H2O (dalam
fasa gas).
48
Hasil analisis konsentrasi BOD dan COD di seluruh stasiun penelitian jika
dibandingkan dengan Baku Mutu Air Kelas II dalam PP No.82 Tahun 2001 telah
melampaui Konsentrasi maksimum yang ditentukan sesuai peruntukannya.
Sesuai pernyataan Effendi (2003) bahwa perairan yang memiliki konsentrasi
BOD dan COD tinggi sebaiknya tidak dipergunakan bagi kepentingan perikanan
dan pertanian ataupun pemanfaatan lainnya seperti MCK. Hasil BOD dan COD
di Stasiun I dan IV sebagai stasiun kontrol didapatkan hasil yang tidak
memenuhi baku mutu. Hal ini karena bahan organik yang berasal dari aktivitas
domestik di sekitarnya.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa parameter timbal (Pb) mengalami
peningkatan signifikan terutama pada Stasiun II dengan konsentrasi sebesar 0,27
mg/l kemudian juga pada Stasiun III sebesar 0,12 mg/l (Gambar 8).
I II III IV V VI0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
Stasiun Pengamatan
Kon
sen
tras
i Pb
(m
g/l)
Gambar 8. Timbal (Pb) pada Seluruh Stasiun Pengamatan
Konsentrasi kelarutan timbal yang didapatkan pada Stasiun II dan III
dikarenakan lindi yang berasal dari TPAS Sarimukti. Hal ini didukung dengan
49
hasil analisa logam pada kolam pengelolaan lindi TPAS Sarimukti yang
diperoleh hasil analisa timbal yang tinggi pula yaitu 0,206 mg/l (Lampiran III).
Keberadaan timbal yang tinggi di TPAS dikarenakan karakteristik sampah yang
mengandung baterai, bahan pelapis kabel, kaleng wadah makanan (yang
mengandung glaze), sisa cat dan sisa oli kendaraan bermotor (Ball, 2003 dan
Environmental European Commission, 2002). Effendi (2003) menyatakan pula
bahwa umumnya Konsentrasi timbal di perairan relatif kecil karena kelarutannya
yang rendah dan ditemukan dalam bentuk tersuspensi, namun toksisitasnya
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jumlah konsentrasinya, kadar oksigen
dan pH.
Degradasi konsentrasi lindi dan konsentrasi Pb yang berasal dari TPAS
Sarimukti selanjutnya terjadi secara gradual pada Stasiun V dan VI dikarenakan
proses pengendapan maupun pengenceran dari Sungai Cipicung dan Cimeta.
Konsentrasi timbal pada Stasiun II, III, V dan Stasiun VI berada pada batas yang
telah melampaui baku mutu. Baku Mutu Air Kelas II dalam PP No.82 Tahun
2001 bahwa Konsentrasi maksimum timbal (Pb) yaitu tidak >0,01 mg/l,
sedangkan hasil pada stasiun penelitian tersebut sangat jauh melampaui
Konsentrasi maksimum yang telah ditentukan. Oleh karena hal tersebut, air pada
stasiun-stasiun tersebut masih dianggap terkontaminasi dan tidak memenuhi
syarat untuk dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Sarimukti yang berada dekat
TPAS dan dilalui Sungai Cilimus (Stasiun II dan III) dan Sungai Cipicung
(Stasiun V), serta Sungai Cimeta (Stasiun VI).
50
Hasil pengukuran parameter Fecal Coliform dan Total Coliform
ditujukkan pada Gambar 9. Jumlah Fecal Coliform dan Total Coliform pada
stasiun kontrol (Stasiun I dan IV) diperoleh hasil yang tinggi. Lalu mengalami
peningkatan pada Stasiun II dan III kemudian terjadi penurunan di Stasiun V dan
VI.
I II III IV V VI0.00
50000.00
100000.00
150000.00
200000.00
250000.00
300000.00
Fecal Coliform
Total Coliform
Stasiun Pengamatan
Fec
al C
olif
orm
dan
Tot
al C
olif
orm
(MP
N/1
00m
l)
Gambar 9. Fecal Coliform dan Total Coliform pada Seluruh Stasiun Pengamatan
Tingginya Fecal Coliform dan Total Coliform pada stasiun kontrol
tersebut karena adanya aktivitas domestik, pertanian maupun peternakan
disekitarnya (Dimambro et al., 2007). Stasiun II dan III terjadi peningkatan
karena berdekatan dan terkena langsung masukkan lindi dari TPAS. Penurunan
pada Stasiun V dan VI terjadi karena jumlah limbah yang mulai berkurang
akibat pengeceran dan jarak tempat tinggal masyarakat yang jauh dengan kedua
stasiun tersebut.
51
Menurut Fardiaz (1992) dan Yu (2000), jumlah Fecal Coliform dan Total
Coliform yang tinggi dapat terjadi akibat tingginya kontaminasi bakteria
patogenik yang berasal dari saluran pencernaan manusia maupun hewan dan
agen patogenik lainnya yang berasal dari bahan limbah pencemar seperti limbah
pembuangan sampah. Menurut Baku Mutu Air Kelas II pada PP No.82 Tahun
2001, batas jumlah maksimum yang diperbolehkan terkandung dalam perairan
yaitu 1000/100 ml untuk Fecal Coliform dan 5000/100 ml untuk Total Coliform,
sehingga jumlah bakteri patogen pada stasiun tersebut melampaui ketentuan
yang dipersyaratkan dan telah mengalami kontaminasi mikroorganisme
patogenik.
Hasil pengukuran parameter kualitas air Sungai Cilimus. Cipicung dan
Sungai Cimeta dapat pula ditentukan status mutunya dengan menggunakan
Metode Storet. Metode ini digunakan untuk mengetahui parameter-parameter
yang telah memenuhi ataupun yang melampaui baku mutu air yang telah
ditentukan oleh peraturan yang berlaku. Prinsip dasar dari Metode Storet adalah
dengan membandingkan antara data kualitas air yang ditentukan sesuai dengan
peruntukkannya (Baku Mutu Air Kelas II dalam PP No.82 Tahun 2001).
Penilaian dilakukan berdasarkan sistem nilai dari US EPA (United States
Environmental Protection Agency) dengan diklasifikasikan atas 4 kelas, yaitu :
1) Kelas A : baik sekali, skor = 0 → memenuhi baku mutu
2) Kelas B : baik, skor = -1 s/d -10 → cemar ringan
3) Kelas C : sedang, skor = -11 s/d -30 → cemar sedang
4) Kelas D : buruk, skor >= -31 → cemar berat
52
Berdasarkan hasil perhitungan dengan Metode Storet terhadap keenam
stasiun penelitian tersebut (Lampiran IX) diperoleh hasil skor pada setiap stasiun
yaitu : Stasiun I = -42 (Cemar Berat); Stasiun II = -70 (Cemar Berat); Stasiun III
= -71 (Cemar Berat); Stasiun IV = - 37 (Cemar Berat); Stasiun V = -57 (Cemar
Berat); dan Stasiun VI = -55 (Cemar Berat).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa secara umum perairan Sungai Cilimus,
Cipicung dan Sungai Cimeta telah mengalami pencemaran yang terlampau
tinggi, terutama pada Stasiun II dan III yang terintroduksi langsung bahan
pencemar lindi. Pencemaran pada Stasiun I yang tinggi merupakan hulu sungai
diakibatkan oleh tingginya aktivitas manusia pada kawasan tersebut
sebagaimana yang terjadi pada Stasiun IV. Sedangkan pada Stasiun V dan VI
memiliki tingkat cemaran yang tinggi meskipun tidak setinggi pada Stasiun II
dan III dikarenakan kelarutan bahan pencemar telah mengalami degradasi dan
pengenceran secara gradual dari Sungai Cipicung (Stasiun V) dan Sungai
Cimeta (Stasiun VI).
C. Perilaku Kesehatan Masyarakat Berkaitan dengan Keberadaan TPAS Sarimukti
a. Pengetahuan
Pengetahuan yang rendah berkenaan dengan pengetahuan tentang
kesehatan terhadap keberadaan TPAS Sarimukti diperoleh bahwa sebesar 63%
responden memiliki pengetahuan yang rendah dan hanya 37% responden yang
memiliki pengetahuan sedang (Lampiran VI dan Gambar 10). Rendah dan
sedangnya pengetahuan responden menunjukkan pula bahwa sebagian besar
53
masyarakat Desa Sarimukti yang berada di dekat TPAS dan yang memanfaatkan
air sungai yang terkontaminasi memiliki pengetahuan yang rendah mengenai
kesehatan dan sampah yang masih pada tingkat tahu (know) (Notoatmodjo,
2003), tetapi belum menuju pada kesadaran (awareness) dalam mengadopsi
perilaku baru untuk memperbaiki maupun meningkatkan kondisi yang berkaitan
dengan kesehatan mereka yang berkenaan dengan keberadaan TPAS Sarimukti.
Sedangkan tidak diperoleh hasil reponden yang memiliki pengetahuan tinggi
atau 0%, dimana hal ini dikarenakan bahwa berdasarkan hasil data umum pada
kuesioner mengenai pendidikan responden diperoleh bahwa umumnya
merupakan lulusan Sekolah Dasar. Faktor lain yang mempengaruhi yaitu bahwa
masyarakat tidak memperoleh informasi yang cukup mengenai dampak negatif
yang mungkin di alami oleh warga yang bertempat tinggal di sekitar TPAS baik
itu mengenai dampak sampah itu sendiri ataupun penyakit dan kondisi sosial
ekonomi dari pihak yang terkait.
Rendah Sedang Tinggi0
10
20
30
40
50
60
70 63
37
Persentase (%)
Pengetahuan
Per
sent
ase
(%)
Gambar 10. Pengetahuan Masyarakat Desa Sarimukti Terhadap Keberadaan TPAS Sarimukti
54
b. Sikap
Sikap masyarakat Desa Sarimukti secara umum yaitu bersikap netral
berkenaan dengan sikap tentang kesehatan terhadap keberadaan TPAS Sarimukti
dimana diperoleh hasil kuesioner sebesar 74% responden bersikap netral dan
hanya 26% responden yang bersikap positif (Lampiran VI dan Gambar 11).
Sikap netral yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sarimukti terhadap
keberadaan TPAS Sarimukti cenderung dikarenakan masyarakat tidak
menginginkan terjadi masalah sosial diantara mereka dengan pihak pemerintah
setempat, pemerintah daerah, pengelola TPAS, kepolisian dan media, meskipun
dalam internal activity seperti berfikir, persepsi dan emosi tidak menyetujui
keberadaan dari TPAS tersebut. Pengetahuan dalam perilaku pada hakikatnya
adalah suatu aktivitas daripada manusia itu sendiri dalam mencari informasi atau
sekedar tahu sehingga memiliki bentangan yang luas hingga pada kegiatan
internal seperti berfikir, persepsi dan emosi (Notoatmodjo, 2003).
Negatif Netral Positif0
10
20
30
40
50
60
70
80 74
26 Persentase (%)
Sikap
Per
sent
ase
(%)
Gambar 11. Sikap Masyarakat Desa Sarimukti Terhadap Keberadaan TPAS Sarimukti
55
Netralitas masyarakat tersebut pada kenyataannya dipengaruhi pula oleh
rendahnya pengetahuan yang dimiliki sehingga masyarakat tersebut
berkecenderungan terdapat keterbatasan dalam mengungkapkan pernyataan dan
persepsi yang mereka miliki. Sedangkan, sikap positif yang dilakukan oleh
sebagian masyarakat Desa Sarimukti menunjukkan bahwa pada dasarnya
masyarakat berkeinginan untuk menerima dan merespon hal-hal yang dapat
meningkatkan ataupun memperbaiki kondisi kesehatan mereka, keinginan tersebut
di dorong oleh faktor sosial ekonomi dan kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan
akibat dampak yang dialami dengan keberadaan TPAS Sarimukti. Notoatmodjo
(2003) mengatakan bahwa menerima dan kemudian merespon dari adanya
stimulus ataupun objek yang mempengaruhi merupakan indikasi dari adanya
sikap, meskipun bentuk dari respon tersebut baik ataupun salah.
Sikap negatif responden tidak didapatkan karena merupakan sikap yang
tidak merespon ataupun yang paling dasar yaitu tidak menerima keberadaan
TPAS Sarimukti sedangkan pada kenyataannya mereka memberikan suatu respon
terhadap pertanyaan yang berkaitan dengan keberadaan TPAS. Sebagaimana yag
dikemukakan oleh Notoatmodjo (2003) bahwa menerima yang merupakan
tingkatan awal dari suatu sikap dipengaruhi oleh bentuk emosi untuk mau dan
memperhatikan terhadap adanya suatu stimulus. Selaras itu dinyatakan oleh
Allport (1954) dalam Notoatmodjo bahwa, sikap yang utuh ditentukan oleh
keyakinan, berpikir, pengetahuan dan emosi serta kecenderungan untuk bertindak.
Maka sikap negatif merupakan sikap yang diawali oleh tidak menerima sesuatu
hal karena didasarkan oleh emosi, keyakinan dan kecenderungan untuk bertindak
56
yang tidak sesuai mengenai suatu stimulus ataupun objek yang mempengaruhi
pembentukan sikap mereka.
c. Tindakan
Tindakan masyarakat Desa Sarimukti umumnya bertindak netral
berkenaan dengan tindakan tentang peningkatan dan perbaikan kesehatan
terhadap keberadaan TPAS Sarimukti, dimana diperoleh hasil kuesioner sebesar
94% responden bertindak netral dan hanya 6% responden yang bertindak aktif
(Lampiran VI dan Gambar 12). Hal ini dikarenakan masyarakat Desa Sarimukti
yang berada disekitar TPAS Sarimukti cenderung kurang melakukan tindakan
dalam peningkatan maupun perbaikan kondisi keehatannya karena kurang
tersedianya sarana untuk memotivasi terhadap kondisi kesehatan, fasilitas dan
pelayanan berkenaan dengan keberadaan TPAS Sarimukti meskipun secara
persepsi, motivasi dan emosi tidak menginginkan dampak negatif yang telah
dialami dan akan terjadi dikemudian hari.
Pasif Netral Aktif0
102030405060708090
100 94
6
Persentase (%)
Tindakan
Per
sent
ase
(%)
Gambar 12. Tindakan Masyarakat Desa Sarimukti Terhadap Keberadaan TPAS Sarimukti
57
Notoatmodjo (2006) menjelaskan bahwa tindakan seorang individu
maupun kelompok individu tidak akan terjadi jika tidak terdapat dorongan atau
motivasi oleh faktor pendorong seperti fasilitas dan sarana yang akan
mempengaruhi tindakannya, dalam hal ini promosi kesehatannya. Tindakan
dalam upayanya memelihara, mempertahankan dan meningkatkan kondisi
kesehatannya serta memperoleh kesembuhan merupakan suatu bentuk perilaku
kesehatan (Sarwono, 2007).
Tindakan negatif terhadap keberdaan TPAS Sarimukti tidak diperoleh
karena masyarakat berfikir mengenai terlalu tingginya resiko yang akan diterima
jika tidak melakukan penentangan terhadap pihak terkait dan juga rendahnya
fasilitas komunikasi yang layak bagi kegiatan mediasi antara masyarakat dan
pihak terkait tersebut.
Perilaku kesehatan masyarakat yang terbentuk diawali oleh upaya
memperoleh pengetahuan lalu membentuk suatu sikap dan kemudian jika
individu tersebut memiliki motivasi tertentu kemudian menghasilkan tindakan
(praktik) yang berasal dari suatu respons masyarakat terhadap stimulus
lingkungan yang mempengaruhi kesehatannya.
Perilaku kesehatan yang terbentuk dalam masyarakat Desa Sarimukti
mengenai keberadaan TPAS Sarimukti berdasarkan hasil crosstabulation atau
tabulasi silang (Lampiran X) diperoleh sebanyak 57 orang atau 96,6% responden
yang memiliki pengetahuan rendah lebih bertindak netral dan hanya 2 orang atau
3,4% responden berpengetahuan rendah lebih bertindak positif. Sedangkan
sebanyak 31 orang atau 88,6% yang memiliki pengetahuan sedang lebih
58
bertindak netral namun hanya 4 orang atau 11,4% responden yang
berpengetahuan sedang lebih bertindak positif.
Hasil tabulasi silang tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar
masyarakat hanya memiliki pengetahuan yang sebagaian besar berpengetahuan
rendah meskipun terdapat beberapa masyarakat yang telah memperoleh sedikit
informasi melaui media cetak maupun sarana informasi lainnya terhadap
keberadaan TPAS Sarimukti dan cenderung membatasi besarnya pengetahuan,
bentuk sikap dan kemudian tindakan mereka sebagai upaya untuk memperbaiki
kondisi kesehatannya, selain itu masyarakat kurang memberikan respon dalam
bentuk tindakan (praktik), hal tersebut hanya akan dilakukan jika terdapat
stimulus dan motivasi dalam perbaikan kondisi kesehatannya, sebagai contoh
yaitu seperti partisipasi mereka dalam penyediaan air bersih dan partisipasi
dalam puskesmas gratis yang dilakukan oleh pihak pengelola TPAS, pemerintah
daerah dan puskesmas setempat. Berdasarkan pendapat Notoatmodjo (2006),
perilaku kesehatan merupakan upaya peningkatan dan perbaikan kondisi
kesehatan secara internal maupun eksternal terhadap sakit dan penyakit,
kesehatan lingkungannya, dan pelayanan dan fasilitas kesehatan yang
mempengaruhinya. Perwujudan perilaku kesehatan dalam bentuk tindakan yang
nyata terhadap suatu kondisi tertentu yang dimulai pada tingkatan persepsi dan
kemudian memberikan suatu respon terpimpin (Guided Respons) jika terdapat
dorongan atau motivasi yang menyertainya.
Hasil tabulasi silang antara sikap dengan tindakan (Lampiran X) diperoleh
bahwa 66 orang atau 94,3% responden yang memiliki sikap netral akan lebih
59
bertindak netral. Sedangkan 22 orang atau 91,7% responden memiliki sikap
positif dan bertindak netral, namun hanya 2 orang atau 8,3% responden yang
memiliki sikap positif dengan tindakan yang lebih positif. Sikap netral terhadap
keberadaan TPAS Sarimukti dengan tindakannya yang netral tersebut
berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa responden tersebut terjadi
karena sebagian besar masyarakat merasa tidak memiliki kemampuan yang
cukup secara sosial-ekonomi untuk merubah keadaan yang ada di lingkungan
mereka dan sangat mengharapkan terhadap peran dari pihak pemerintah
setempat untuk dapat menyalurkan aspirasi mereka dan sangat mengharapkan
terhadap peran dari pihak pemerintah setempat untuk dapat menyalurkan aspirasi
mereka. Kurang aktif dan interaktifnya pemerintah setempat dengan masyarakat
yang dipimpinnya mengakibatkan kurangnya pertukaran informasi dan
penyuluhan mengenai kesehatan lingkungan yang ada dengan adanya
keberadaan TPAS Sarimukti tersebut. Selain itu, kurangnya motivasi dan ikatan
emosional antara pemerintah setempat, pemerintah daerah serta pihak pengelola
TPAS Sarimukti dimana kurang perduli dengan keadaan lingkungan yang ada di
kawasan tersebut dan hanya sebatas birokrasi serta pemenuhan kompensasi
dampak.
Pembentukan perilaku kesehatan merupakan suatu respon yang nampak
(overt behavior) terhadap faktor yang mempengaruhinya dengan diindikasikan
oleh tindakan terhadap perbaikan, penjagaan maupun peningkatan kondisi
kesehatannya dengan diawali oleh proses pencarian informasi dan ilmu sebagai
proses pengetahuan yang kemudian terbentuk suatu sikap yang terinternalisasi.
60
Berdasarkan hubungan silang antara pengetahuan dan sikap masyarakat Desa
Sarimukti dengan tindakannya terhadap keberadaan TPAS Sarimukti
menunjukkan bahwa perilaku masyarakat yang berinteraksi langsung dengan
TPAS Sarimukti lebih bertindak netral dikarenakan keterbatasan pengetahuan
mereka terhadap upaya penjagaan, perbaikan dan peningkatan kondisi kesehatan
mereka akibat keberadaan TPAS Sarimukti.
Selaras dengan keterbatasan pengetahuannya tersebut sikap yang terbentuk
lebih pada sikap yang netral, berdasarkan hasil wawancara terhadap Ketua RW 2
Desa Sarimukti (Bapak Amad) yang merupakan kawasan terdekat dengan TPAS
Sarimukti menyatakan bahwa kegiatan mediasi dan komunikasi antara
masyarakat dengan pihak-pihak yang terkait sangat terbatas dan tidak berjalan
dengan baik sehingga alur persepsi masyarakat terhadap dampak keberadaan
TPAS Sarimukti dengan upaya pengurangan dampak yang dilakukan oleh pihak
terkait cenderung tidak efektif. Akibat dari hal tersebut yaitu masyarakat
cenderung tidak bersikap negatif untuk tidak menimbulkan masalah dengan
pihak terkait namun tidak pula bersikap positif karena dampak yang diterima
kenyataannya masih dirasakan oleh mereka terutama kondisi kesehatan mereka
akibat dampak yang dihasilkan oleh TPAS Sarimukti tersebut. Hal tersebut
selaras dengan pendapat Scott (1989) yang menyatakan bahwa aksioma
“dahulukan selamat” merupakan suatu konsekuensi logis dari suatu
ketergantungan ekologis masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah dimana
mengandung preferensi relatif bagi kepastian subsistensi diatas keadaan
ekonomi yang sangat tinggi saat ini. Oleh karena itu, masyarakat Desa Sarimukti
61
cenderung berperilaku netral dengan mencari opsi-opsi yang relevan dengan
kondisi mereka meskipun dampak yang dihadapi secara faktual sangat tidak
menguntungkan baik dari kondisi kesehatan maupun keberlanjutan keadaan
sosial ekonominya dan politik yang mempengaruhi (Beranek, 1992).
D. Hubungan antara Kualitas Air Sungai dan Perilaku Kesehatan Masyarakat Berkaitan Keberadaan TPAS Sarimukti
Kualitas air pada Sungai Cilimus, Cipicung dan Sungai Cimeta yang
tercemar dalam kondisi yang berat dipengaruhi oleh introduksi lindi yang
dihasilkan oleh TPAS Sarimukti. Sedangkan pada stasiun kontrol yang berada
pada Sungai Cilimus dan Cipicung yang belum terkena masukkan lindi telah
mengalami pencemaran karena kegiatan domestik yang dilakukan oleh
masyarakat Desa Sarimukti.
Pengetahuan masyarakat yang rendah dan sikapnya yang tidak menolak
maupun menerima keberadaan TPAS Sarimukti tersebut berpengaruh pada
perilaku kesehatan masyarakat dalam memanfaatkan air sungai yang tercemar
berat tersebut. Perilaku kesehatan masyarakat terhadap dampak pencemaran air
sungai yang mereka manfaatkan untuk kegiatan MCK sehari-hari cenderung
dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi dan rendahnya pengetahuan mengenai
bahaya, dampak serta upaya penjagaan maupun peningkatan kesehatan terhadap
keberadaan TPAS. Meskipun sebagian besar masyarakat bersikap tidak
menyetujui keberadaan TPAS Sarimukti yang mempengaruhi kualitas air sungai
yang mereka manfaatkan namun mereka tidak dapat pula menolak keberadaan
TPAS tersebut dikarenakan faktor internal (seperti tingkat pendidikan, jenis
62
pekerjaan, biaya dan waktu) dan faktor eksternal seperti tekanan pihak pengelola,
rendahnya proses mediasi dan kurangnya sarana maupun prasarana untuk
mengurangi beban dampak yang dihasilkan oleh keberadaan TPAS.
Kualitas air sungai yang tercemar berat oleh lindi dan berdampak pada
kesehatan masyarakat nampak dengan timbulnya penyakit seperti diare dan
dermatitis yang dialami oleh masyarakat Desa Sarimukti (Lampiran II), dimana
hal tersebut tidak selaras dengan perilaku masyarakat terhadap penjagaan dan
peningkatan kondisi kesehatannya dengan masih memanfaatkan air sungai
tersebut untuk kegiatan MCK. Rendahnya ketersediaan air yang memadai untuk
memenuhi kegiatan tersebut dan jauhnya jarak lokasi sumber air lain merupakan
faktor pendorong lain yang mempengaruhi pemilihan masyarakat dalam
memanfaatkan air sungai yang telah tercemar lindi dari TPAS Sarimukti tersebut.