bab iv hasil dan pembahasan 4.1 kondisi...

26
27 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Lahan 4.1.1 Kemiringan Pemetaan lahan potensial budidaya gurame pada parameter kemiringan lahan disusun berdasarkan peta kemiringan lereng yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Majalengka (Lampiran 2). Peta ini menggambarkan kondisi kemiringan lahan di Kabupaten Majalengka yang dibagi ke dalam beberapa kategori yaitu : 1. Kemiringan 0-3% 2. Kemiringan 3-8% 3. Kemiringan 8-15% 4. Kemiringan 15-25% 5. Kemiringan 25-40% 6. Kemiringan >40% Peta diolah menggunakan ArcGIS 9.3 dengan proses digitasi sehingga menghasilkan pemetaan baru berdasarkan parameter kemiringan lahan. Kemiringan lahan berkaitan dengan pengisian air kolam secara gravitasi. Wilayah dengan kemiringan lahan berkategori Sesuai (S1) adalah wilayah yang memiliki kemiringan lahan 3-5%. Kolam yang dibangun pada tanah yang terlalu miring akan memiliki daya tampung air yang sedikit (Susanto 2012). Kemiringan lahan hingga 15% masih bisa diterima sebagai lokasi budidaya gurame, namun kemiringan lahan di atas 15% terlalu curam sehingga tidak bisa digunakan sebagai lahan budidaya gurame (Hossain et al. 2007). Pemetaan berdasarkan parameter kemiringan lahan bisa dilihat pada Gambar 8. Wilayah yang termasuk kategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna coklat. Wilayah yang termasuk kategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna coklat muda, sedangkan wilayah yang termasuk kategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna kuning. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 9.

Upload: nguyendung

Post on 03-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

27

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Lahan

4.1.1 Kemiringan

Pemetaan lahan potensial budidaya gurame pada parameter kemiringan

lahan disusun berdasarkan peta kemiringan lereng yang diperoleh dari BAPPEDA

Kabupaten Majalengka (Lampiran 2). Peta ini menggambarkan kondisi

kemiringan lahan di Kabupaten Majalengka yang dibagi ke dalam beberapa

kategori yaitu :

1. Kemiringan 0-3%

2. Kemiringan 3-8%

3. Kemiringan 8-15%

4. Kemiringan 15-25%

5. Kemiringan 25-40%

6. Kemiringan >40%

Peta diolah menggunakan ArcGIS 9.3 dengan proses digitasi sehingga

menghasilkan pemetaan baru berdasarkan parameter kemiringan lahan.

Kemiringan lahan berkaitan dengan pengisian air kolam secara gravitasi.

Wilayah dengan kemiringan lahan berkategori Sesuai (S1) adalah wilayah yang

memiliki kemiringan lahan 3-5%. Kolam yang dibangun pada tanah yang terlalu

miring akan memiliki daya tampung air yang sedikit (Susanto 2012). Kemiringan

lahan hingga 15% masih bisa diterima sebagai lokasi budidaya gurame, namun

kemiringan lahan di atas 15% terlalu curam sehingga tidak bisa digunakan sebagai

lahan budidaya gurame (Hossain et al. 2007).

Pemetaan berdasarkan parameter kemiringan lahan bisa dilihat pada

Gambar 8. Wilayah yang termasuk kategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna

coklat. Wilayah yang termasuk kategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna

coklat muda, sedangkan wilayah yang termasuk kategori Tidak Sesuai (N)

ditandai dengan warna kuning. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada

Tabel 9.

28

Gambar 8. Peta Kemiringan Lahan

Tabel 9. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Kemiringan Lahan

Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%)

Sesuai (S1) 10.718 9,15

Cukup Sesuai (S2) 67.089 57,26

Tidak Sesuai (N) 39.350 33,59

29

4.1.2 Ketinggian

Pemetaan lahan potensial budidaya gurame pada parameter ketinggian

disusun berdasarkan peta ketinggian yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten

Majalengka (Lampiran 3). Peta ini menggambarkan kondisi ketinggian (elevasi)

di Kabupaten Majalengka yang dibagi ke dalam beberapa kategori yaitu :

1. Ketinggian dibawah 25 mdpl

2. Ketinggian 25-50 mdpl

3. Ketinggian 50-100 mdpl

4. Ketinggian 100-500 mdpl

5. Ketinggian 500-1000 mdpl

6. Ketinggian di atas 1000 mdpl

Peta diolah menggunakan ArcGIS 9.3 dengan proses digitasi sehingga

menghasilkan pemetaan baru berdasarkan parameter ketinggian lokasi budidaya

gurame.

Ketinggian lokasi budidaya gurame berpengaruh terhadap kondisi suhu

udara, semakin tinggi lokasi budidaya gurame maka semakin rendah suhu udara

disekitarnya. Suhu udara yang terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan

gurame. Wilayah yang sesuai untuk budidaya gurame adalah wilayah dengan

ketinggian 50-400 m. Wilayah dengan ketinggian dibawah 50 m masih bisa

digunakan sebagai lahan budidaya gurame, namun ketinggian di atas 400 m tidak

sesuai digunakan sebagai lahan budidaya gurame karena suhu udara pada

ketinggian tersebut terlalu rendah untuk budidaya gurame (Bappenas 2000).

Pemetaan berdasarkan parameter ketinggian bisa dilihat pada Gambar 9.

Wilayah yang termasuk kategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna hijau.

Wilayah berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna biru, sedangkan

wilayah berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna coklat. Luas lahan

dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 10.

30

Gambar 9. Peta Ketinggian

Tabel 10. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Ketinggian

Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%)

Sesuai (S1) 34.624 29,55

Cukup Sesuai (S2) 44.240 37,76

Tidak Sesuai (N) 38.293 32,69

31

4.1.3 Penggunaan Lahan

Pemetaan lahan potensial budidaya gurame pada parameter penggunaan

lahan disusun berdasarkan peta rencana pola ruang yang diperoleh dari

BAPPEDA Kabupaten Majalengka (Lampiran 4). Peta ini menggambarkan

rencana penggunaan lahan di Kabupaten Majalengka yang terbagi ke dalam

kawasan industri, pertambangan, pariwisata, perhutanan, konservasi, pemukiman,

pertanian, perikanan dan rawan bencana alam. Peta diolah menggunakan

ArcGIS 9.3 dengan proses digitasi sehingga menghasilkan pemetaan baru

berdasarkan parameter penggunaan lahan.

Penggunaan lahan adalah penggolongan fungsi lahan secara umum berupa

pengkhususan kawasan-kawasan tertentu menurut tujuan penggunaannya. Tidak

semua lahan cocok dijadikan sebagai lokasi budidaya ikan. Kawasan yang

berkategori Sesuai (S1) untuk budidaya gurame adalah kawasan perikanan,

sedangkan kawasan pertanian masih bisa dijadikan lahan budidaya gurame.

Kawasan lainnya yaitu kawasan industri, pertambangan, pariwisata, perhutanan,

konservasi, pemukiman, dan rawan bencana alam tidak bisa digunakan sebagai

lahan budidaya gurame.

Pemetaan berdasarkan parameter penggunaan lahan bisa dilihat pada

Gambar 10. Kawasan berkategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna biru muda.

Kawasan berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna biru tua,

sedangkan kawasan berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna abu-abu.

Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 11.

32

Gambar 10. Peta Penggunaan Lahan

Tabel 11. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Penggunaan Lahan

Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%)

Sesuai (S1) 1.228 1,05

Cukup Sesuai (S2) 43.889 37,46

Tidak Sesuai (N) 72.040 61,49

33

4.2 Kondisi Tanah

4.2.1 Tekstur Tanah

Kegiatan budidaya perikanan di Indonesia umumnya masih menggunakan

sistem budidaya tradisional dan semi intensif, sehingga jenis tanah yang

digunakan untuk membangun kolam harus diperhatikan dengan baik. Tanah yang

digunakan untuk kolam harus mampu menahan massa air sehingga tidak terjadi

kebocoran.

Tanah yang baik untuk pembuatan kolam adalah tanah yang memiliki

kandungan liat tinggi. Tanah ini jika digenggam mudah terbentuk, tidak pecah dan

tidak melekat pada tangan. Jenis tanah lain yang masih bisa digunakan untuk

pembuatan kolam adalah tanah berlempung. Tanah lempung memiliki tekstur

yang tidak sekuat tanah liat namun masih sanggup menahan massa air sehingga

dapat dibentuk mejadi kolam yang kokoh. Tanah yang memiliki kandungan pasir

tinggi dan tanah berlumpur tidak sesuai untuk dijadikan kolam karena tidak dapat

menahan massa air kolam (Susanto 2012).

Berdasarkan peta jenis tanah yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten

Majalengka (Lampiran 5), tanah yang terdapat di Kabupaten Majalengka terdiri

dari delapan jenis yaitu Aluvial, Andosol, Glei, Grumosol, Latosol, Litosol,

Podsol Merah Kuning dan Regosol. Setiap jenis tanah memiliki karakteristik yang

berbeda-beda yang dapat dilihat pada Tabel 12.

Berdasarkan data karakteristik tanah pada Tabel 12, tanah yang tergolong

ke dalam kategori Sesuai (S1) adalah tanah berjenis Aluvial, Grumosol dan

Latosol. Jenis tanah yang tergolong kategori Cukup Sesuai (S2) adalah Andosol

dan Podsol Merah Kuning, sedangkan jenis tanah yang tergolong kategori Tidak

Sesuai (N) adalah tanah Glei, Litosol dan Regosol.

Peta kesesuaian lahan budidaya gurame berdasarkan parameter tekstur

tanah dapat dilihat pada Gambar 11. Kawasan berkategori Sesuai (S1) ditandai

dengan warna coklat. Kawasan berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan

warna oranye, sedangkan kawasan berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan

warna krem. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 13.

34

Tabel 12. Karakteristik Berdasarkan Jenis Tanah

Jenis Tanah Tekstur pH Tanah Karbon Organik (%)

Aluvial Tanah endapan,

tekstur liat atau

liat berpasir

Masam hingga

netral

(5 – 6,5)

Kandungan karbon

organik tinggi

(2 – 3)

Andosol Tanah berlempung

dengan tekstur

sedang

Masam hingga

netral

(5,6 – 6,5)

Kandungan karbon

organik tinggi

(2 – 3)

Glei Struktur tanah

berlumpur

Masam

(4,5 – 6)

Kandungan karbon

organik tinggi

(2 – 3)

Grumosol Kandungan liat

tinggi

Agak masam

hingga netral

(6 – 7,6)

Kandungan karbon

organik sedang

(1 – 2)

Latosol Kandungan liat

tinggi

Sangat masam

(4,5 – 6)

Kandungan karbon

organik sedang

(1 – 2)

Litosol tekstur berpasir Sangat masam

(4,5 – 6)

Kandungan karbon

organik sangat

rendah (>0,5)

Podsol Merah

Kuning

Lempung liat

berpasir

Sangat masam

(4,2 - 4,8)

Kandungan karbon

organik sedang

(1 – 2)

Regosol Tekstur berpasir Agak masam

hingga netral

(6 – 7)

Kandungan karbon

organik tinggi

(2 – 3)

Sumber : Ariyanto 2012, Fiantis 2012, Fitriani 2006

35

Gambar 11. Peta Tekstur Tanah

Tabel 13. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Tekstur Tanah

Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%)

Sesuai (S1) 44.605 38,07

Cukup Sesuai (S2) 47.792 40,79

Tidak Sesuai (N) 24.760 21,13

36

4.2.2 pH Tanah

Nilai pH tanah akan berpengaruh terhadap pH air kolam. Tanah yang

memiliki pH 6,5-7,5 sangat berpotensi untuk budidaya perikanan karena

produktivitas perairan pada kisaran pH tersebut berada pada kondisi maksimal.

Tanah yang memiliki pH antara 5,5-6,5 dan 7,5-8,5 masih bisa digunakan untuk

budidaya perikanan, namun tanah dengan nilai pH dibawah 5,5 atau diatas 8,5

tidak bisa digunakan untuk budidaya perikanan karena pada kondisi tersebut

produktivitas perairan mengalami penurunan (Boyd 1990).

Berdasarkan Tabel 9 jenis tanah yang memiliki nilai pH berkategori Sesuai

(S1) adalah Grumosol dan Regosol. Jenis tanah yang memiliki nilai pH

berkategori Cukup Sesuai (S2) adalah Aluvial dan Andosol, sedangkan jenis tanah

yang memiliki nilai pH berkategori Tidak Sesuai (N) adalah tanah Glei, Litosol

dan Regosol.

Peta kesesuaian lahan budidaya gurame berdasarkan parameter pH tanah

dapat dilihat pada Gambar 12. Wilayah berkategori Sesuai (S1) ditandai dengan

warna biru. Wilayah berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna kuing,

sedangkan wilayah berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna oranye.

Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 14.

37

Gambar 12. Peta pH Tanah

Tabel 14. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan pH Tanah

Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%)

Sesuai (S1) 26.783 22,86

Cukup Sesuai (S2) 32.925 28,10

Tidak Sesuai (N) 57.448 49,04

Tanah yang memiliki pH rendah (masam) dapat diperbaiki dengan proses

pengapuran ketika tahap persiapan kolam. Pada tahap pengapuran tanah pada

dasar kolam ditaburi kapur tohor dengan dosis tertentu sehingga tingkat

keasamannya akan bertambah.

38

4.2.3 Kandungan Bahan Organik

Bahan organik pada dasar kolam dapat menjadi sumber makanan bagi

organisme bentos sehingga berpengaruh terhadap kesuburan perairan. Kandungan

bahan organik tanah dapat diketahui melalui persentasi kandungan karbon organik

(Zalina 2011). Tanah dengan kandungan karbon organik 1,5-2,5% sangat

berpotensi untuk budidaya perikanan karena produktivitas perairan pada

konsentrasi karbon organik tersebut berada dalam kondisi maksimal. Tanah

dengan kandungan karbon organik 0,5-1,5% masih bisa digunakan untuk

budidaya perikanan, sedangkan tanah dengan kandungan organik dibawah 0,5%

atau diatas 2,5% tidak bisa digunakan karena kurang berpotensi untuk budidaya

perikanan (Boyd 1990).

Berdasarkan Tabel 9 jenis tanah yang memiliki kandungan karbon

organik berkategori Sesuai (S1) adalah Aluvial, Andosol, Glei dan Regosol. Jenis

tanah yang memiliki nilai pH berkategori Cukup Sesuai (S2) adalah Grumosol

dan Latosol, sedangkan jenis tanah yang memiliki nilai pH berkategori Tidak

Sesuai (N) adalah tanah Litosol.

Peta kesesuaian lahan budidaya gurame berdasarkan parameter kandungan

karbon organik dapat dilihat pada Gambar 13. Wilayah yang berkategori Sesuai

(S1) ditandai dengan warna hijau tua. Wilayah berkategori Cukup Sesuai (S2)

ditandai dengan warna hijau muda, sedangkan wilayah berkategori Tidak Sesuai

(N) ditandai dengan warna abu-abu. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat

pada Tabel 15.

39

Gambar 13. Peta Kandungan Karbon Organik Tanah

Tabel 15. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Kandungan Bahan Organik

Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%)

Sesuai (S1) 56.045 47,84

Cukup Sesuai (S2) 59.472 50,76

Tidak Sesuai (N) 1.640 1,40

Tanah yang memiliki kandungan bahan organik rendah dapat diperbaiki

dengan proses pemupukan pada saat persiapan kolam atau ketika pemeliharaan

ikan. Pupuk yang diberikan biasanya berupa pupuk kandang sehingga bisa

meningkatkan kesuburan perairan. Perlakuan lain yang bisa diterapkan adalah

penggunaan teknologi perikanan yang lebih maju seperti bioflok atau probiotik.

40

4.3 Kualitas Air

Sungai di Kabupaten Majalengka berperan sebagai sumber air utama untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat seperti industri, perikanan dan pertanian. Salah

satu sungai besar yang melalui Kabupaten Majalengka adalah Sungai Cimanuk

dengan anak sungai yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Majalengka.

Data kualitas air Kabupaten Majalengka adalah data primer yang diperoleh

melalui pengukuran langsung di lokasi penelitian. Titik pengukuran berjumlah

11 titik yang terletak pada sungai-sungai besar di Kabupaten Majalengka

(Gambar 14). Data hasil pengukuran kualitas air dapat dilihat pada Tabel 16.

Gambar 14. Titik Pengukuran Data Kualitas Air

41

Tabel 16. Data Kualitas Air Sungai Kabupaten Majalengka No Nama

Sungai

Titik

Koordinat

Suhu Air

(ºC)

pH Air DO

(mg/L)

Kecerahan

(cm)

Debit

(m³/detik)

1 Cimanuk

(hulu)

108º 9' 47" BT

6º 45' 58" LS

26,4 8,17 7,7 4 50,608

2 tidak ada

data

108º 10' 3" BT

6º 43' 53" LS

27,0 7,37 4,4 5 tidak ada

data

3 tidak ada

data

108º 11' 50" BT

6º 45' 40" LS

27,0 6,90 5,6 9 tidak ada

data

4 Cideres 108º 12' 10" BT

6º 45' 30" LS

26,4 7,05 5,2 6 4,749

5 Cisambeng 108º 13' 50" BT

6º 44' 30" LS

26,8 7,40 5,2 10 tidak ada

data

6 Cikeruh 108º 16' 50" BT

6º 43' 30" LS

28,2 7,62 7,7 13 10,68

7 Ciwaringin 108º 22' 0" BT

6º 42' 0" LS

27,0 7,40 6,0 15 6,36

C8 Cipondoh 108º 12' 10" BT

6º 49' 40" LS

26,4 7,42 6,4 10 tidak ada

data

9 Cijurei 108º 11' 50" BT

6º 49' 0" LS

26,2 7,81 5,4 8 0,8

10 Cilutung 108º 16' 45" BT

6º 58' 30" LS

25,4 7,46 6,6 27 19,9

11 Cimanuk

(hilir)

108º 13' 30" BT

6º 39' 0" LS

25,7 7,57 4,8 5 141,308

Sumber : Data Primer, BPLH Kabupaten Majalengka 2013

Suhu perairan berpengaruh terhadap proses metabolisme yang berlangsung

dalam tubuh ikan dan secara tidak langsung ikut berpengaruh pula terhadap

tingkat konsumsi ikan terhadap pakan. Pada suhu 29-30°C tingkat konsumsi ikan

terhadap pakan berada dalam kondisi optimal (Gusrina 2008), sehingga perairan

dengan kisaran suhu tersebut digolongkan ke dalam kategori Sesuai (S1). Pada

suhu 24-28°C gurame bisa tumbuh dengan baik (Mahyuddin 2009), sehingga

perairan dengan kisaran suhu tersebut digolongkan ke dalam kategori Cukup

Sesuai (S2). Suhu dibawah 24°C atau diatas 30°C digolongkan ke dalam kategori

42

Tidak Sesuai (N) karena pada suhu tersebut tingkat konsumsi ikan terhadap pakan

mengalami penurunan. Berdasarkan data hasil pengukuran kualitas air, suhu air

sungai di Kabupaten Majalengka berkisar antara 25,4-28,2°C sehingga tergolong

ke dalam kategori Cukup Sesuai (S2).

Nilai derajat keasaman (pH) perairan berpengaruh terhadap kondisi

organisme yang hidup pada perairan tersebut. Nilai pH yang terlalu asam atau

terlalu basa dapat menimbulkan kematian bagi ikan dan organisme perairan

lainnya. Nilai pH yang sesuai untuk budidaya perikanan berkisar antara 7-8

(Gusrina 2008). Nilai pH yang masih bisa diterima oleh gurame adalah 6,5

(Mahyuddin 2009), sedangkan nilai pH dibawah 6,5 tidak sesuai untuk budidaya

gurame. Berdasarkan data hasil pengukuran kualitas air, pH air sungai di

Kabupaten Majalengka berada pada kategori Sesuai (S1), kecuali pada titik

pengukuran 1 yang bernilai 8,17 dan titik pengukuran 3 yang bernilai 6,90.

Oksigen dibutuhkan oleh setiap makhluk hidup untuk bernapas. Ikan

mendapatkan oksigen dalam bentuk oksigen terlarut (DO). Kandungan DO yang

optimal untuk budidaya ikan adalah 4-9 mg/L (Gusrina 2008). Gurame memiliki

organ pernapasan tambahan yang disebut labirin sehingga masih bisa hidup pada

perairan dengan kandungan DO hingga 2 mg/L, namun perairan dengan

kandungan DO kurang dari 2 mg/L tidak bisa digunakan untuk budidaya gurame

(Mahyuddin 2009). Berdasarkan data hasil pengukuran kualitas air, kandungan

DO air sungai di Kabupaten Majalengka berada pada kategori Sesuai (S1), yaitu

berkisar antara 4,4-7,7 mg/L.

Kecerahan merupakan ukuran tingkat transparansi perairan yang diukur

dengan alat berupa kepingan yang dinamakan secchi disk. Air yang digunakan

untuk budidaya ikan harus jernih tetapi tetap mengandung plankton. Air yang

terlalu keruh tidak bisa digunakan untuk budidaya karena akan menurunkan daya

pandang ikan, daya ikat oksigen dan selera makan ikan. Nilai kecerahan yang

sesuai untuk budidaya gurame adalah 30-45 cm karena pada nilai tersebut perairan

berada dalam kondisi yang baik. Kecerahan yang masih bisa diterima untuk

budidaya gurame adalah 20-30 cm dan 45-60 cm. Pada kecerahan dibawah 20 cm

air terlalu keruh sehingga tidak baik untuk kondisi ikan, sedangkan pada

43

kecerahan di atas 60 cm air terlalu jernih karena kandungan plankton mengalami

penurunan (Boyd 1990). Berdasarkan data hasil pengukuran kualitas air, nilai

kecerahan air sungai di Kabupaten Majalengka berada pada kategori Tidak Sesuai

(N), yaitu berkisar antara 4-15 cm kecuali pada titik pengukuran 10 yang bernilai

sebesar 27 cm. Hal ini terjadi karena pengukuran kualitas air dilakukan di sungai

besar yang menampung sedimentasi dari sungai-sungai kecil disekitarnya,

sehingga memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi.

Setiap parameter diolah menggunakan ArcGIS 9.3 dengan proses digitasi

sehingga menghasilkan pemetaan kualitas air secara keseluruhan (Gambar 15).

Wilayah yang berkategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna biru muda. Wilayah

berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna hijau, sedangkan wilayah

berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna biru tua. Luas lahan dari

setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 17.

Gambar 15. Peta Kualitas Air

44

Tabel 17. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Kualitas Air

Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%)

Sesuai (S1) 50.621 43,21

Cukup Sesuai (S2) 457 0,39

Tidak Sesuai (N) 66.078 56,40

Kualitas air dapat diperbaiki dengan perlakuan sebagai berikut :

1. Perairan yang memiliki pH rendah dapat diperbaiki dengan proses

pengapuran pada saat persiapan kolam. Pengapuran dapat meningkatkan

nilai pH perairan sehingga dapat mencapai nilai yang optimal.

2. Perairan yang memiliki kandungan DO rendah dapat diperbaiki dengan

perlakuan yang dapat meningkatkan difusi oksigen dengan air seperti

penggunaan kincir air, air terjun buatan, aerasi, dll.

3. Air yang terlalu keruh dapat dijernihkan dengan proses pengendapan

sebelum air digunakan untuk budidaya.

4.4 Kondisi Infrastruktur

4.4.1 Jarak dari Jalan

Berdasarkan peta rencana jaringan jalan yang diperoleh dari BAPPEDA

Kabupaten Majalengka (Lampiran 6), jalan di Kabupaten Majalengka terdiri dari

jalan arteri, jalan kolektor dan jalan lokal yang telah menjangkau ke setiap desa.

Lahan yang sesuai untuk budidaya gurame tidak boleh terlalu jauh dari jalan agar

tidak menyulitkan transportasi. Lokasi lahan maksimal berjarak 500 m dari jalan.

Jarak yang masih bisa diterima adalah 1000 m dari jalan (Hossain et al. 2007).

Metode geoprocessing yang digunakan untuk mengolah peta jaringan jalan

adalah metode buffering. Hasil buffering adalah pemetaan wilayah yang berjarak

500 dan 1000 m dari jalan (Gambar 16). Wilayah yang berkategori Sesuai (S1)

ditandai dengan warna hitam. Wilayah yang berkategori Cukup Sesuai (S2)

ditandai dengan warna merah muda, sedangkan wilayah berkategori Tidak Sesuai

(N) ditandai dengan warna abu-abu. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat

pada Tabel 18.

45

Gambar 16. Hasil Buffering Peta Jaringan Jalan

Tabel 18. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Jaringan Jalan

Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%)

Sesuai (S1) 98.904 84,42

Cukup Sesuai (S2) 16.118 13,76

Tidak Sesuai (N) 2.135 1,82

46

4.4.2 Kepadatan Penduduk

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka (2012)

Jumlah penduduk Kabupaten Majalengka adalah 1.171.478 jiwa yang tersebar di

26 kecamatan. Kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan tertinggi adalah

Kecamatan Jatiwangi dengan kepadatan 2.071 jiwa/km², sedangkan kecamatan

dengan kepadatan terendah adalah Kecamatan Kertajati dengan kepadatan

penduduk 305 jiwa/km² (Tabel 19). Data diolah menggunakan ArcGis 9.3 dengan

proses digitasi menghasilkan pemetaan kepadatan penduduk Kabupaten

Majalengka yang dapat dilihat pada Gambar 17.

Wilayah berkategori Sesuai (S1) mempunyai kepadatan penduduk di

bawah 1000 jiwa/km². Wilayah berkategori Cukup Sesuai (S2) mempunyai

kepadatan penduduk berkisar antara 1000-1500 jiwa/km. Wilayah berkategori

Tidak Sesuai (N) mempunyai kepadatan penduduk diatas 1500 jiwa/km² (Hossain

et al. 2007). Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 20.

47

Tabel 19. Data Kepadatan Penduduk Kabupaten Majalengka

No Kecamatan Kepadatan Penduduk (jiwa/km²)

1 Lemahsugih 731

2 Bantarujeg 644

3 Malausma 911

4 Cikijing 1380

5 Cingambul 971

6 Talaja 999

7 Banjaran 571

8 Argapura 554

9 Maja 747

10 Majalengka 1217

11 Cigasong 1421

12 Sukahaji 1224

13 Sindang 600

14 Rajagaluh 1207

15 Sindangwangi 957

16 Leuwimunding 1709

17 Palasah 1182

18 Jatiwangi 2071

19 Dawuan 1885

20 Kasokandel 1464

21 Panyingkiran 1294

22 Kadipaten 1991

23 Kertajati 305

24 Jatitujuh 690

25 Ligung 903

26 Sumberjaya 1739

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka 2012

48

Gambar 17. Peta Kepadatan Penduduk

Tabel 20. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Kepadatan Penduduk

Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%)

Sesuai (S1) 76.615 65,39

Cukup Sesuai (S2) 26.358 22,50

Tidak Sesuai (N) 14.184 12,11

49

4.4.3 Jarak ke Sumber Listrik

Peta jaringan listrik Kabupaten Majalengka diperoleh dari PLN Kabupaten

Majalengka. Lahan yang sesuai untuk budidaya gurame tidak boleh terlalu jauh

dari sumber listrik. Lokasi lahan maksimal berjarak 200 m dari sumber listrik,

sedangkan jarak yang masih bisa diterima adalah 500 m dari sumber listrik

(Hossain et al. 2007).

Metode geoprocessing yang digunakan untuk mengolah peta jaringan

listrik adalah metode buffering. Hasil buffering adalah pemetaan wilayah yang

berjarak 200 dan 500 m dari sumber listrik (Gambar 18). Wilayah yang

berkategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna merah. Wilayah yang berkategori

Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna hijau, sedangkan wilayah berkategori

Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna biru tua. Luas lahan dari setiap kategori

dapat dilihat pada Tabel 21.

Gambar 18. Hasil Buffering Peta Jaringan Listrik

50

Tabel 21. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Jaringan Listrik

Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%)

Sesuai (S1) 24.773 21,14

Cukup Sesuai (S2) 31.841 27,18

Tidak Sesuai (N) 60.542 51,68

4.5 Lahan Potensial Budidaya Gurame

Data dari setiap parameter diolah dengan metode overlay menggunakan

ArcGis 9.3 sehingga menghasilkan sebuah pemetaan lahan potensial budidaya

gurame. Interval kelas lahan potensial budidaya gurame ditentukan berdasarkan

rumus interval kelas (Selamat 2007 dalam Nurdin et al. 2008). Perhitungan rumus

selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8.

Hasil akhir overlay adalah peta kesesuaian lahan budidaya gurame yang

dapat dilihat pada Gambar 19. Wilayah berkategori Sesuai (S1) ditandai dengan

warna biru. Wilayah berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna

kuning, sedangkan wilayah berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna

merah. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 22.

51

Gambar 19. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Gurame

Tabel 22. Luas Lahan Setiap Kategori Kesesuaian

Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%)

Sesuai (S1) 13.265 11,32

Cukup Sesuai (S2) 36.738 31,36

Tidak Sesuai (N) 67.153 57,32

Berdasarkan SNI 01-7241-2006 tingkat optimal padat tebar gurame pada

tahap pembesaran adalah 5-7 ekor/m² dengan sintasan berkisar antara 85-95%.

Jika lahan berkategori Sesuai (S1) dimanfaatkan seluruhnya untuk budidaya

gurame, maka lahan tersebut dapat menghasilkan produksi gurame sebanyak

289.531 ton/tahun pada tingkat kepadatan 5 ekor/m² dan sintasan sebesar 85%.

52

4.6 Pengamatan Lapangan

Pengamatan lapangan (ground check) dilakukan pada akhir penelitian

sebagai tahap evaluasi. Pengamatan dilakukan pada 3 titik yang mewakili setiap

kelas kesesuaian lahan budidaya gurame. Kelas Sesuai (S1) diwakili oleh titik 1

yang berlokasi di Kecamatan Panyingkiran. Kelas Cukup Sesuai (S2) diwakili

oleh titik 2 yang berlokasi di Kecamatan Leuwimunding. Kelas Tidak Sesuai (N)

diwakili oleh titik 3 yang berlokasi di Kecamatan Kadipaten. Data hasil

pengamatan lapangan dapat dilihat pada Tabel 23. Foto dokumentasi pengamatan

lapangan dapat dilihat pada Lampiran 9, sedangkan peralatan yang digunakan

pada saat pengamatan lapangan dapat dilihat pada Lampiran 10.

Tabel 23. Data Kualitas Air Pada Pengamatan Lapangan No Lokasi

Pengamatan

Titik Koordinat Suhu Air

(ºC)

pH Air DO

(mg/L)

Kecerahan

(cm)

1 Kecamatan

Panyingkiran

108º 11' 42" BT

6º 48' 51" LS

26,4 7,21 5,8 25

2 Kecamatan

Leuwimunding

108º 20' 20" BT

6º 45' 1" LS

27 7,86 6,3 30

3 Kecamatan

Kadipaten

108º 9' 30" BT

6º 44' 53" LS

26,8 7,52 5,4 4