bab iv hasil dan pembahasan 4.1 gambaran...

40
32 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penentuan lokasi penelitian untuk pengambilan sampel ikan dan air ditentukan berdasarkan kondisi perairan dan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah disesuaikan dengan kebutuhan pada penelitian ini. Penelitian dilakukan di empat lokasi berdasarkan kriteria, tataguna dan pemanfaatan lahan yang berbeda-beda. Stasiun 1 (Situ Cisanti) merupakan sebuah situ buatan yang berfungsi membendung air yang berasal dari mata air alami yang menjadi sumber air untuk Sungai Citarum. Lokasi stasiun 1 ini berada di Gunung Wayang Desa Cibeureum, Kecamatan Kertasari, selatan kota Bandung dengan ketinggian sekitar 2000 meter di atas permukaan laut. Situ Cisanti memiliki ekosistem yang masih alami dan terjaga (Gambar 4.1). Gambar 4.1. Stasiun 1, Situ Cisanti (Sumber: Dokumentasi pribadi) Stasiun 2 adalah aliran Sungai Citarum yang terletak di daerah Majalaya dengan titik koordinat pengambilan sampel S 07º03’02’’, E 107˚45’22’’. Majalaya merupakan kawasan industri yang sebagian besar adalah industri tekstil dan diduga mengandung unsur kromium. Aliran Sungai Citarum dikawasan Majalaya ini mendapat beban cemaran dari saluran pembuangan limbah industri yang berasal dari industri-industri yang ada di daerah ini, hal tersebut nampak dari warna air yang lebih gelap dan suhunya yang lebih tinggi (Gambar 4.2).

Upload: dinhtuong

Post on 20-Aug-2018

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

32

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penentuan lokasi penelitian untuk pengambilan sampel ikan dan air

ditentukan berdasarkan kondisi perairan dan penelitian-penelitian sebelumnya

yang telah disesuaikan dengan kebutuhan pada penelitian ini. Penelitian dilakukan

di empat lokasi berdasarkan kriteria, tataguna dan pemanfaatan lahan yang

berbeda-beda.

Stasiun 1 (Situ Cisanti) merupakan sebuah situ buatan yang berfungsi

membendung air yang berasal dari mata air alami yang menjadi sumber air untuk

Sungai Citarum. Lokasi stasiun 1 ini berada di Gunung Wayang Desa Cibeureum,

Kecamatan Kertasari, selatan kota Bandung dengan ketinggian sekitar 2000 meter

di atas permukaan laut. Situ Cisanti memiliki ekosistem yang masih alami dan

terjaga (Gambar 4.1).

Gambar 4.1. Stasiun 1, Situ Cisanti

(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Stasiun 2 adalah aliran Sungai Citarum yang terletak di daerah Majalaya

dengan titik koordinat pengambilan sampel S 07º03’02’’, E 107˚45’22’’.

Majalaya merupakan kawasan industri yang sebagian besar adalah industri tekstil

dan diduga mengandung unsur kromium. Aliran Sungai Citarum dikawasan

Majalaya ini mendapat beban cemaran dari saluran pembuangan limbah industri

yang berasal dari industri-industri yang ada di daerah ini, hal tersebut nampak dari

warna air yang lebih gelap dan suhunya yang lebih tinggi (Gambar 4.2).

Page 2: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

33

Gambar 4.2. Stasiun 2, Majalaya

(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Stasiun 3 terletak di wilayah Sapan dengan titik koordinat pengambilan

sampel pada S 06º59’16’’, E 107º42’19’’. Stasiun 3 ini merupakan pertemuan tiga

sungai yaitu, sungai Citarik yang membawa air dari daerah industri dan

persawahan, sungai Cikeruh yang mengaliri daerah persawahan dan sungai

Citarum bagian hulu. Air sungai di stasiun ini memiliki beban polutan yang sangat

tinggi akibat pertemuan dua anak sungai tersebut (Gambar 4.3).

Gambar 4.3. Stasiun 3, Sapan

(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Stasiun 4 adalah aliran Sungai Citarum yang terletak di Dayeuhkolot

dengan titik pengambilan sampel pada S 06º59’32’’, E 107º37’52’’. Aliran Sungai

Citarum di daerah ini membawa air dari permukiman penduduk dan industri

(Gambar 4.4).

Page 3: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

34

Gambar 4.4. Stasiun 4, Dayeuhkolot

(Sumber: Dokumentasi pribadi)

4.2 Kualitas Air

Pengambilan titik sampel ditentukan berdasarkan tataguna lahan dan

pemanfaatannya, yakni stasiun 1 terletak di Situ Cisanti dimana ekositemnya

masih alami dan terjaga, stasiun 2 terletak di Majalaya dimana banyak berdiri

industri yang diantaranya banyak industri tekstil, stasiun 3 terletak di daerah

Sapan yang disekitarnya berdiri industri-industri tekstil dan persawahan,

sedangkan stasiun 4 terletak di daerah Dayeuhkolot yang padat penduduk dan

terdapat beberapa industri.

Berdasarkan hasil pemantaun kualitas air dari dua kali pengulangan pada

rentang waktu 2 minggu di bulan Maret 2013 menunjukkan bahwa kandungan

oksigen terlarut (DO) pada beberapa stasiun telah mendekati bahkan ada yang

melebihi baku mutu yang ditetapkan oleh PP No.82 tahun 2001 (Tabel 4.1).

Tabel 4.1. Rata-Rata Kualitas Air Pada Setiap Stasiun

PARAMETER SATUAN BAKU MUTU

STASIUN

II III 1 2 3 4

Fisik Suhu ˚C ± 3 ± 3 23,217±0,755 23,517±1,842 25,00±1,757 24,167±1,305

Kimiawi pH - 6-9 6-9 7,267 7,417 7,050 7,100

DO mg/L 4 3 6,583 4,757 2,283 2,133

Page 4: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

35

4.2.1 Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor fisik perairan yang sangat penting bagi

kehidupan organisme atau biota perairan dikarenakan setiap organisme dan biota

perairan memiliki batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu. Nontji

(1984) dalam Erlangga (2007) secara umum suhu berpengaruh langsung terhadap

biota perairan berupa reaksi enzimatik pada organisme dan tidak berpengaruh

langsung terhadap struktur dan dispersal hewan air.

Hasil pengukuran suhu pada setiap stasiun menunjukkan bahwa kisaran

suhu dialiran Sungai Citarum bagian hulu berada pada rentang 21-26ºC. Suhu

terendah terdapat pada stasiun 1 yaitu Situ Cisanti dan suhu tertinggi pada stasiun

3, yaitu Sapan. Rendahnya suhu di Situ Cisanti berhubungan dengan ketinggian

lokasi yang berada pada daerah pegunungan dengan ketinggian 2000 m di atas

permukaan laut, sedangkan tingginya suhu air di Sapan diperkirakan karena

buangan limbah industri dan keadaan ekosistemnya yang gersang serta merupakan

daratan rendah.

Nybakken (1988) dalam Erlangga (2007) menjelaskan bahwa suhu

merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses

kehidupan dan penyebaran organisme. Kaidah umum menyebutkan bahwa reaksi

kimia dan biologi air (proses fisiologis) akan meningkat 2 kali lipat pada kenaikan

suhu 10ºC, selain itu suhu juga berpengaruh terhadap penyebaran dan komposisi

organisme. Budiman (2012) Kisaran suhu yang baik untuk keberlangsungan hidup

organisme perairan adalah antara 18-30ºC. Berdasarkan hal tersebut, maka suhu

perairan dilokasi penelitian masih dalam batas tolerasi bagi keberlangsungan

hidup organisme air.

4.2.2 Derajat Keasaman (pH)

Menurut Erlangga (2007) derajat keasaman (pH) merupakan parameter

yang sangat penting dalam kualitas air, karena pH mengontrol tipe dan laju

kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Selain itu, ikan dan organisme air

lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai pH,

Page 5: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

36

kita dapat mengetahui apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang

kehidupan organisme perairan.

Nilai pH suatu perairan memiliki ciri yang khusus, adanya keseimbangan

antara asam dan basa dalam air dan yang diukur adalah konsentrasi ion hidrogen,

dengan adanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan pH,

sementara adanya karbonat, hidroksida dan bikarbonat dapat menaikkan kebasaan

air. Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal ini

menunjukkan bahwa kandungan pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu masih

sesuai dengan ambang batas baku mutu air kelas II dan III menurut PP No.82

tahun 2001 yaitu 6-9.

Setiap organisme mempunyai toleransi yang berbeda terhadap pH

maksimal, minimal serta optimal dan sebagai indeks keadaan lingkungan. Nilai

pH air yang normal (netral) yaitu antara 6-8, sedangkan pH air yang tercemar

beragam tergantung dari jenis buangannya. Menurut Effendi (2003) dalam

Budiman (2012) batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi tergantung pada

suhu air, oksigen terlarut, adanya berbagai anion dan kation serta jenis organisme.

Pada kandungan pH yang rendah toksisitas logam dapat mengalami peningkatan.

Dengan demikian pH perairan di lokasi penelitian masih dapat mendukung

kehidupan yang ada di dalamnya.

4.2.3 Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut (DO) menyatakan besarnya konsentrasi oksigen yang

terlarut dalam suatu perairan. Intensitas cahaya dan keberadaan fitoplankton dan

mikroba anaerob dalam perairan dapat mempengaruhi konsentrasi oksigen terlarut

dibadan air tersebut.

Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan nilai DO bervariasi disetiap

stasiun. Nilai DO tertinggi terletak pada stasiun 1 yaitu Situ Cisanti dengan nilai

7,5 mg/L dan DO terendah terletak pada stasiun 3 yaitu Sapan dengan nilai 1,3

mg/L. Nilai DO yang rendah di Sapan dimungkinkan karena banyaknya limbah

yang masuk ke dalam perairan tersebut. Berdasarkan PP No.82 tahun 2001 untuk

Page 6: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

37

baku mutu air kelas II dan III batas minimum kandungan DO berturut-turut adalah

4 mg/L dan 3 mg/L.

4.3 Jenis Ikan Hasil Tangkapan Di Setiap Stasiun

Berdasarkan hasil pengambilan sampel ikan pada empat stasiun yang telah

ditetapkan dengan 3 kali pengulangan dalam rentang waktu 1 minggu disetiap

pengulangan, di peroleh 11 spesies ikan. Ikan-ikan yang tertangkap diantaranya

ikan sapu-sapu, betok, gabus, keting, mujair, nila, lele, sepat dan glosom (Tabel

4.3). Ikan yang didapat selama penelitian memiliki keragaman spesies serta

ukuran panjang dan bobot yang berbeda-beda (Gambar 4.7).

Dari data hasil tangkapan ikan selama penelitian jenis ikan yang paling

banyak tertangkap ialah ikan sapu dan sepat, ikan sapu dan sepat hampir disetiap

stasiun terkecuali di Situ Cisanti dapat ditemukan, hal ini mungkin disebabkan

keadaan ekosistem di Majalaya, Sapan dan Dayeuhkolot sudah mengalami

pergeseran (ketidak seimbangan) sehingga ikan-ikan yang memiliki kemampuan

adaptasi terhadap lingkungan yang mengalami penurunan kualitas yang masih

dapat bertahan hidup dan berkembang biak. Sementara itu, di Situ Cisanti masih

dapat ditemukan ikan dari famili Cyprinidae, hal ini diduga karena spesies dari

famili Cyprinidae dapat bertahan hidup dan berkembang biak di lingkungan

perairan yang masih baik dan terjaga keseimbangan ekosistemnya.

Page 7: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

38

Gambar 4.5. Jenis ikan-ikan yang tertangkap selama penelitian

(Sumber: Dokumentasi pribadi)

ikan betok

(Anabas Testudineus)

ikan mas

(Cyprinus carpio)

ikan glosom

(Aequidens goldsaum)

ikan gabus

(Chana striata)

ikan keting

(Mystus nigriceps)

ikan sepat

(Trichogaster

trichopterus)

ikan mujair

(Oreochromis

mossambicus)

ikan sapu

(Hyposarcus pardalis)

ikan lele

(Clarias sp.)

ikan nila

(Oreochromis niloticus)

ikan paray

(Rasbora argyrotaenia)

Page 8: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

39

T

abel

4.2

. Ik

an H

asil

Tan

gkap

an P

ada

Set

iap S

tasi

un P

enel

itia

n

Sta

siu

n

4

U-3

1

1

2

1 - - - - - - - 5

Ket

eran

gan

: U

-1=

ula

ng

an k

e-1

; U

-2=

ula

ng

an k

e-2

; U

-3=

ula

ng

an k

e-3

U-2

- 1

5 - - - 3 - - - - 9

U-1

2 - - - - - - - - - - 2

3

U-3

2

1

2

1

1 - 1 - - 1 - 8

U-2

1 - 2 - - - 1 - 1 - - 5

U-1

2 - - - - - - - - - - 2

2

U-3

4

2

2 - - - - - - 1

1

10

U-2

2

3

3 - - - - - - - 2

10

U-1

2

1 - - - - - - - - - 3

1

U-3

- - - 1 - 1 - 3 - - - 5

U-2

- - - - - 5 - - - - - 5

U-1

- - - 4 - - - - - - - 4

Jen

is I

kan

Nam

a

lok

al

Sap

u

Bet

ok

Sep

at

Gab

us

Glo

som

Nil

a

Muja

ir

Mas

Par

ay

Lel

e

Ket

ing

tota

l sp

esie

s

Nam

a l

ati

n

Hyp

osa

rcus

pard

ali

s

Anabas

test

udin

eus

Tri

cho

ga

ster

tri

cho

pte

rus

Chana s

tria

ta

Aeq

uid

ens

gold

saum

Ore

och

rom

is n

iloti

cus

Ore

och

rom

is m

oss

am

bic

us

Cyp

rinus

carp

io

Rasb

ora

arg

yrota

enia

Cla

rias

sp.

Mys

tus

nig

rice

ps

Fam

ili

Lori

cari

idae

Anab

anti

dae

Osp

hro

nem

idae

Chan

nid

ae

Cic

hli

dae

Cypri

nid

ae

Cla

rid

ae

Bag

ridae

Page 9: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

40

4.4 Logam Berat

Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh adanya bahan pencemar

yang mengandung logam berat, dapat membahayakan bagi keberlangsungan

hidup dan kehidupan, baik secara langsung (ekosistem perairan) maupun tidak

langsung (manusia). Keberadaan logam berat di lingkungan perairan sangat perlu

diuji keberadaannya baik pada badan perairan tersebut maupun pada organisme

yang mendiaminya. Untuk itu maka pengujian kandungan logam berat pada

penelitian ini dilakukan terhadap air dan ikan sebagai organisme uji.

Logam berat yang diamati adalah kromium (Cr), Cr yang masuk ke dalam

badan perairan sebagai dampak dari aktivitas kehidupan manusia ada dalam

bermacam bentuk. Menurut Yuniarti (2012) secara alamiah kromium merupakan

elemen yang ditemukan dalam konsentrasi yang rendah di batuan, hewan, tanah,

debu vulkanik dan juga gas. Kromium yang terkandung di alam dalam bentuk

senyawa yang berbebeda. Agung (2006) dalam Yuniarti (2012) mengemukakan

bentuk yang paling umum adalah kromium (0), kromium (III) dan kromium (VI).

Wahyuadi (2004) dalam Bramandita (2009) mengemukakan kromium banyak

digunakan oleh berbagai macam industri, salah satunya adalah industri tekstil.

Industri tekstil merupakan industri yang mengolah serat menjadi bahan pakaian

dengan kromium sebagai zat pengoksidasi pada proses penyempurnaan tekstil.

Karena itu pula limbah cair dari industri tekstil mengandung kromium dengan

konsentrasi tinggi. Limbah tersebut dapat membahayakan lingkungan karena

kromium, terutama kromium heksavalen yang merupakan jenis bahan berbahaya

dan beracun (B3).

4.4.1 Kandungan Cr Dalam Air

Kromium (Cr) termasuk salah satu golongan logam berat, logam Cr dapat

terkandung di dalam air limbah yang dihasilkan oleh suatu industri terutama

industri tekstil dari proses pewarnaan. Logam berat dapat masuk ke badan

perairan dari berbagai macam kegiatan baik secara langsung maupun dari hasil

sampingan dari aktivitas lainnya. Masuknya bahan pencemar berupa kandungan

logam berat sangat merugikan bagi kehidupan, baik langsung maupun tidak

Page 10: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

41

langsung. Berdasarkan dampak yang ditimbulkan dari pencemaran oleh logam

berat tersebut terutama di badan perairan, maka sangat diperlukan kisaran

konsentrasi atau nilai ambang batas dari konsentrasi logam berat yang

direkomendasikan untuk masuk dan berada di lingkungan perairan. Hasil analisis

kandungan logam Cr dalam air dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.6.

Tabel 4.3. Hasil Analisis Kandungan Logam Cr Dalam Air

Ulangan Jenis

Logam Satuan

Baku mutu Stasiun

II III 1 2 3 4

1

Cr ppm 0,05 0,05

0,0426 0,0085 0,1223 0,0111

2 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001

Gambar 4.6. Grafik hasil analisis kandungan logam Cr pada sampel air

Dari hasil analisis dalam penelitian ini terlihat bahwa kandungan Cr paling

tinggi terletak pada stasiun 3 yaitu Sapan, sedangkan di stasiun lainya nilai Cr

masih dapat dikatakan di bawah ambang batas baku mutu air untuk kelas II dan III

0,000

0,020

0,040

0,060

0,080

0,100

0,120

0,140

Situ Cisanti (1) Majalaya (2) Sapan (3) Dayeuhkolot (4)

kon

sen

tras

i (p

pm

)

Stasiun Pengamatan

Kandungan Logam Cr pada Sampel Air

logam berat Cr

Page 11: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

42

sesuai PP No.82 tahun 2001. Tingginya kandungan Cr di Sapan diduga karena

terdapat beberapa pabrik tekstil yang dimungkinkan masih membuang limbah

produksinya langsung ke aliran Sungai Citarik, tingginya kandungan Cr di Sapan

juga berkorelasi dengan hasil pemantauan kualitas air pendukungnya yaitu suhu

yang tinggi, DO dan pH yang paling rendah dibandingkan tiga stasiun yang

lainnya.

Logam berat dalam perairan akan lebih rendah dibandingkan dengan

logam berat pada sedimen, hal ini terjadi karena sifat dari bahan logam tersebut.

Sesuai dengan pendapat Hutagalung (1984) dalam Erlangga (2007) bahwa logam

berat yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan mengalami pengendapan,

pengenceran dan dispersi, kemudian diserap oleh organisme yang hidup di

perairan tersebut. Pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi karena

adanya anion karbonat hidroksil dan klorida. Logam berat mempunyai sifat yang

mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan berikatan

dengan partikel-partikel sedimen, sehingga konsentrasi logam berat dalam

sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air. Menurut Wilson (1988) dalam

Erlangga (2007) logam berat yang terlarut dalam air akan berpindah ke dalam

sedimen jika berikatan dengan materi organik bebas atau materi organik yang

melapisi permukaan sedimen dan penyerapan langsung oleh permukaan partikel

sedimen.

Menurut Erlangga (2007), kapasitas asimilasi didefinisikan sebagai

kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa

menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai

peruntukannya. Konsentrasi dari partikel polutan yang masuk ke perairan akan

mengalami tiga macam fenomena yaitu pengenceran (dillution), penyebaran

(dispersion) dan reaksi penguraian (decay of reaction). Pengenceran terjadi pada

arah vertikal ketika air limbah sampai di permukaan air. Peristiwa penyebaran

pada permukaan perairan akan tercapai karena gelombang.

Menurut Metclaff and Eddy (1978) dalam Erlangga (2007) tingkat

pencemaran atau pencampuran bahan organik dan anorganik yang masuk ke

dalam perairan sungai, danau, estuari dan laut adalah berbeda karena kondisi

Page 12: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

43

hidrodinamika yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut berkaitan dengan model

percampuran (mixing) dan penyebaran (dispersion) suatu bahan, yang

berhubungan dengan kandungan bahan pencemar, laju penguraian dan laju

reaerasi.

4.4.2 Hubungan Logam Berat Pada Air dengan Parameter Kualitas Air

Lainnya

Menentukan kualitas air terhadap konsentrasi logam dalam air sangat sulit,

karena erat hubungannya dengan partikel tersuspensi yang terlarut di dalamnya.

Logam-logam dalam lingkungan perairan umumnya berada dalam bentuk ion.

Ion-ion itu ada yang merupakan ion-ion bebas, pasangan ion organik, ion-ion

kompleks dan bentuk-bentuk ion lainnya.

Menurut Erlangga (2007) derajat keasaman (pH) akan mempengaruhi

konsentrasi logam berat di perairan, dalam hal ini kelarutan logam berat akan

lebih tinggi pada pH rendah, sehingga menyebabkan toksisitas logam berat

semakin besar. Nilai pH pada aliran Sungai Citarum bagian hulu menunjukkan

bahwa nilai pH 7-7,5. Kenaikan pH pada badan perairan biasanya akan diikuti

dengan semakin kecilnya kelarutan dari senyawa-senyawa logam tersebut.

Umumnya pada pH yang semakin tinggi, maka kestabilan akan bergeser dari

karbonat ke hidroksida. Hidroksida-hidroksida ini mudah sekali membentuk

ikatan permukaan dengan partikel-partikel yang terdapat pada badan perairan.

Lama-kelamaan persenyawaan yang terjadi antara hidroksida dengan partikel-

partikel yang ada di badan perairan akan mengendap dan membentuk lumpur .

Suhu perairan mempengaruhi proses kelarutan akan logam-logam berat

yang masuk ke perairan. Dalam hal ini semakin tinggi suatu suhu perairan

kelarutan logam berat akan semakin tinggi. Pada stasiun 3 yaitu Sapan suhu

perairan menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan tiga stasiun lainnya,

sehingga kelarutan akan bahan pencemar di perairan semakin pekat/tinggi,

sehingga kandungan akan logam Cr di Sapan lebih tinggi dibandingkan di Situ

Cisanti, Majalaya dan Dayeuhkolot. Hal ini sesuai dengan pendapat Darmono

(2001) dalam Erlangga (2007) yang menyatakan bahwa suhu yang tinggi dalam

Page 13: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

44

air menyebabkan laju proses biodegradasi yang dilakukan oleh bakteri pengurai

aerobik menjadi naik dan dapat menguapkan bahan kimia ke udara.

Menurut Tebbut (1992) dalam Erlangga (2007), keberadaan logam berat

yang berlebihan di perairan akan mempengaruhi sistem respirasi organisme

akuatik, sehingga pada saat kandungan oksigen terlarut rendah dan terdapat logam

berat dengan konsentrasi tinggi, organisme akuatik menjadi lebih menderita. Pada

siang hari, ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh proses

fotosintesa yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar dari pada

oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi. Kandungan oksigen terlarut dapat

melebihi kandungan oksigen jenuh, sehingga perairan mengalami supersaturasi.

Sedangkan pada malam hari, tidak ada fotosintesa, tetapi respirasi terus

berlangsung. Pola perubahan kandungan oksigen ini mengakibatkan terjadinya

fluktuasi harian oksigen pada lapisan eufotik perairan. Kandungan oksigen

maksimum terjadi pada sore hari dan minimum pada pagi hari.

Menurut Palar (2004) dalam Erlangga (2007) tingkah laku logam-logam di

dalam badan perairan juga dipengaruhi oleh interaksi yang terjadi antara air

dengan sedimen (endapan). Keadaan ini terutama sekali terjadi pada bagian dasar

dari perairan. Dalam hal ini pada dasar perairan, ion logam dan kompleks-

kompleksnya yang terlarut dengan cepat akan membentuk partikel-partikel yang

lebih besar, apabila terjadi kontak dengan partikulat yang melayang-layang dalam

badan perairan. Partikel-partikel tersebut terbentuk dengan bermacam-macam

bentuk ikatan permukaan.

4.4.3 Kandungan Cr Dalam Organ Insang, Hati dan Ginjal Ikan

Menurut Darmono (1995) dalam Bangun (2005) kebanyakan logam berat

secara biologis terkumpul dalam tubuh organisme, menetap untuk waktu yang

lama dan berfungsi sebagai racun kumulatif. Keberadaan logam berat dalam

perairan akan berpengaruh negatif terhadap kehidupan biota. Logam berat yang

terikat dalam tubuh organisme yaitu pada ikan akan mempengaruhi aktivitas

organisme tersebut.

Page 14: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

45

Darmono (2001) dalam Erlangga (2007) menyebutkan bahwa logam berat

masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan yaitu,

saluran pernafasan, pencernaan dan penetrasi melalui kulit. Di dalam tubuh

hewan, logam diabsorpsi darah berikatan dengan protein darah yang kemudian

didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam yang tertinggi

biasanya dalam organ dektoksifikasi (hati) dan organ ekskresi (ginjal).

Untuk membuktikan adanya akumulasi logam berat pada ikan di aliran

Sungai Citarum, maka dilakukan uji kandungan logam Cr pada ikan gabus di Situ

Cisanti (stasiun 1) dan Sapan (stasiun 3), ikan sapu di Majalaya (stasiun 2) dan

ikan betok di Dayeuhkolot (stasiun 4). Dipilihnya ikan gabus di Situ Cisanti

dikarenakan ikan gabus tergolong ikan karnivora. ikan sapu dipilih untuk uji

kandungan logam Cr di Majalaya dikarenakan ikan sapu mendominasi hasil

tangkapan. ikan gabus di stasiun 3 dan ikan betok di stasiun 4 dipilih untuk uji

kandungan logam Cr pada organ selain karena tergolong ikan karnivora juga

dikarenakan ukuran yang lebih besar dibandingkan jenis ikan lainnya yang

tertangkap dan masih bertahan hidup.

Hasil analisis uji kandungan logam Cr pada organ insang, hati dan ginjal

ikan dalam penelitian ini berkisar antara 2,55 – 76,73 ppm. Konsentrasi logam Cr

tertinggi terdapat pada ikan yang diperoleh dari Situ Cisanti (stasiun 1) dan

kandungan terendah terdapat pada ikan yang diperoleh dari Majalaya (stasiun 2).

Rendahnya nilai kandungan logam Cr di Majalaya hal ini selain didukung karena

kandungan logam Cr pada air di Majalaya yang rendah, juga dikarenakan ikan

sapu adalah ikan pemakan alga atau tergolong pada ikan herbivora. Sedangkan

tingginya kandungan logam Cr pada ikan gabus di Situ Cisanti dikarenakan

kandungan logam Cr pada air yang cukup tinggi walaupun belum melebihi

ambang batas baku mutu kelas II dan III PP N0. 82 tahun 2001 dan ikan gabus

juga tergolong ikan karnivor. Hasil pengamatan terhadap kandungan logam Cr

pada organ ikan yang tertangkap di aliran Sungai Citarum bagian hulu dapat

dilihat pada Lampiran 2 dan Gambar 4.7.

Page 15: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

46

Gambar 4.7. Grafik analisis kandungan logam Cr pada insang, hati dan ginjal ikan

Dilihat dari nilai rerata pada setiap organ nilai kandungaan logam Cr pada

organ insang lebih rendah dibandingkan pada organ hati dan ginjal. Hal ini sesuai

dengan yang dikatakan Darmono (2001) dalam Bangun (2005) bahwa akumulasi

logam yang tertinggi biasanya terdapat dalam organ dektoksifikasi (hati) dan

organ ekskresi (ginjal).

Faktor lain yang dapat mempengaruhi kandungan logam berat dalam tubuh

ikan adalah tingkah laku makan ikan. Ikan yang spesiesnya berbeda umumnya

memiliki pola tingkah laku makan dan penyebaran habitat yang berbeda pula.

Penyebaran habitat dan pola tingkah laku makan ini akan berpengaruh terhadap

interaksi ikan yang bersangkutan terhadap kandungan logam berat yang

tersuspensi di dasar perairan. Lodenius and Malm (1998) dalam Simbolon, dkk

(2010) telah menganalisis dampak penambangan logam berat terhadap ikan di

perairan. Hasilnya menunjukkan bahwa kandungan logam berat tertinggi

ditemukan pada kelompok ikan karnivora, kemudian menyusul pada ikan

pemakan plankton (planktivora) dan omnivora, dan kandungan terendah

ditemukan pada ikan herbivora. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini,

ikan gabus yang tertangkap di Situ Cisanti dan Majalaya, serta ikan betok di

29,06

2,55

9,62 10,6

76,73

7,19

16,14

7,85

28,88

9,54 12,63

18,68

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Situ Cisanti (1) Majalaya (2) Sapan (3) Dayeuhkolot (4)

kon

sen

tras

i (p

pm

)

Stasium Pengamatan

Hasil Analisis Logam Berat Pada Organ Ikan

insang hati ginjal

Page 16: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

47

Dayeuhkolot adalah termasuk ikan karnivor memiliki nilai akumulasi logam Cr

tertinggi pertama, kedua dan ketiga secara berurutan. Akumulasi terendah yaitu

pada ikan sapu di Majalaya (stasiun 2) yang tergolong ikan herbivora.

Pengaruh toksisitas logam pada ikan, pertama akan berpengaruh pada

insang. Insang selain sebagai alat pernafasan ikan, juga digunakan sebagai alat

pengatur. Dinata (2004) dalam Erlangga (2007) mengatakan terdapat beberapa

tekanan antara air dan dalam tubuh ikan (osmoregulasi). Oleh sebab itu, insang

merupakan organ yang penting pada ikan dan sangat peka terhadap pengaruh

toksisitas logam. Dalam hal ini, logam-logam seperti Cd, Pb, Hg, Cu, Zn dan Ni

sangat reaktif terhadap ligan sulfur dan nitrogen, sehingga ikatan logam tersebut

sangat penting bagi fungsi normal metaloenzim dan juga metabolisme terhadap

sel. Di samping adanya gangguan biokimiawi tersebut, perubahan struktur

morfologi insang juga terjadi.

Hasil analisis kandungan logam berat Cr pada organ insang ikan yang

tertangkap di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 2,55 – 29,06 ppm.

Nilai tertinggi di Situ Cisanti dan terendah di Majalaya. Kandungan logam Cr

pada insang memiliki nilai yang lebih kecil bila dibandingkan dengan yang

terdapat di ginjal dan hati. Menurut Darmono dan Arifin, (1989) dalam Bangun

(2005) dibandingkan dengan organ tubuh ikan yang lain, logam berat yang

terakumulasi dalam insang lebih sedikit karena logam berat yang terabsorpsi dan

terakumulasi di insang akan mengalami metabolisme dan akan diekskresikan dari

tubuh bersama sisa metabolisme lainnya.

Pada organ hati kandungan logam Cr yang diperoleh berkisar antara 7,19

– 76,73 ppm. Nilai tertinggi kandungan logam Cr terdapat pada Situ Cisanti dan

terendah di Majalaya. Hal ini diduga karena kandungan Cr yang ada pada badan

air di Majalaya memiliki nilai yang terendah dan ikan sapu yang tergolong ikan

herbivora. Kandungan logam Cr pada hati di Situ Cisanti dan Majalaya memiliki

nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan kandungan Cr yang terkandung pada

ginjal. Hal ini dapat terjadi karena logam berat yang masuk ke dalam hati ikan

akan menyebabkan gangguan fisiologis, sehingga ikan berusaha mengeluarkannya

sebagai bagian dari proses dektoksifikasi. Purwanti (1995) dalam Bangun (2005)

Page 17: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

48

salah satu mekanisme dektoksifikasi adalah mengubah zat menjadi bentuk

senyawa yang mudah dikeluarkan dari dalam tubuh. Akumulasi logam Cr di

dalam hati dapat menyebabkan kerusakan dan gangguan pada organ tersebut.

Logam berat yang masuk ke dalam hati ikan menyebabkan gangguan fisiologis,

sehingga ikan berusaha mengeluarkannya sebagai bagian dari dektoksifikasi.

Ginjal ikan berfungsi untuk filtrasi dan mengekskresikan bahan yang

biasanya tidak dibutuhkan tubuh, termasuk bahan racun seperti logam berat. Hal

ini menyebabkan ginjal sering mengalami kerusakan akibat daya toksik logam.

Kandungan logam Cr dalam ginjal berkisar antara 9,54 – 28,88 ppm kandungan

Cr tertinggi terdapat di Situ Cisanti dan terendah di Majalaya. Tingginya

kandungan logam Cr pada ginjal di Situ Cisanti terjadi karena kandungan logam

Cr di perairan Situ Cisanti juga cukup besar setelah perairan Sapan. Besarnya nilai

kandungan logam Cr pada ginjal, dapat terjadi karena menurut Dinata (2004)

dalam Bangun (2005) ginjal ikan berfungsi untuk filtrasi dan mengekskresikan

bahan yang biasanya tidak dibutuhkan tubuh, termasuk bahan beracun seperti

logam berat. Sehingga banyak bahan beracun seperti logam berat terdapat di

dalam ginjal tersebut.

4.4.4 Batas Aman Konsumsi Logam Cr

Berdasarkan hasil analisis kandungan logam Cr yang dilakukan dalam

penelitian ini pada organ yang meliputi organ insang, hati dan ginjal dari beberapa

jenis ikan yang berbeda di empat stasiun pengamatan, kandungan logam Cr

tertinggi terdapat pada ikan gabus di stasiun 1 (Situ Cisanti) dan terendah pada

ikan sapu di stasiun 2 (Majalaya).

Kandungan logam Cr pada organ insang, hati dan ginjal ikan dalam

penelitian ini cukup besar berkisar antara 2,55 – 76,72 mg/kg dibandingkan

dengan rekomendasi batas aman Cr masuk kedalam tubuh menurut FAO/WHO

adalah 200 µg/Kg/hari atau bila dikonversi menjadi 0,2 mg/kg/hari. Menurut

rekomendasi Miller-Ihli (1992) dalam Jalaluddin dan Ambeng (2005), batas aman

kromium dalam makanan manusia yaitu 50 sampai 200 μg /hari atau 0,05-0,2

ppm/ hari.

Page 18: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

49

The Environmental Protection Agancy (EPA) menetapkan batas aman

kadar Cr (III) dan Cr (VI) dalam air minum sebesar 100 mg/l. The Occupational

Safety and Health Administration (OSHA) menetapkan batas kadar Cr (III) di

udara tempat kerja sebesar 1.000 mh/m3, kadar senyawa Cr (VI) sebesar 52 mg/m

3

bagi pekerja dengan lama kerja 8 jam/hari atau 40 jam/minggu. Menurut EPA,

konsentrasi Cr (VI) di udara yang aman bagi manusia adalah sebesar 0,000008

mg/m3, paparan per oral Cr (VI) sebesar 0.003 mg/kg/hari aman bagi manusia.

Paparan Cr (III) per oral sebesar 1,5 mg/kg/hari aman dan tidak menunjukkan

gejala maupun kelainan pada tikus.

Akumulasi logam berat pada organ insang, hati dan ginjal dapat merubah

struktur jaringan dari organ-organ tersebut. Maka gambaran histopatologi organ

ikan dapat dijadikan indikasi dan memperkuat bukti ada atau tidak adanya

pencemaran.

4.5 Analisis Histopatologi Organ Ikan yang Tertangkap Di Aliran Sungai

Citarum Bagian Hulu

Gambaran histopatologi organ ikan yang tertangkap di aliran Sungai

Citarum bagian hulu ini dapat dijadikan indikasi ada atau tidak adanya

pencemaran. Hal ini disebabkan analisis histopatologi organ insang, hati dan

ginjal ikan akan dapat menunjukkan kerusakan jaringan yang beragam, sehingga

dapat dijadikan indikasi terjadinya pencemaran perairan Sungai Citarum

khususnya bagian hulu oleh logam berat maupun oleh substansi lainnya yang

menyebabkan struktur jaringan mengalami kerusakan.

4.5.1 Organ Insang

Organ insang memiliki peranan yang penting. Insang merupakan salah satu

media pertama jalan masuknya berbagai macam partikel tersuspensi yang ada di

perairan, selain melalui kulit dan sistem pencernaan. Menurut Erlangga (2007)

semakin lama paparan akan suatu bahan pencemar akan berpengaruh pada

kerusakan organ insang ikan yang akan terlihat jelas melalui pengamatan

histologi.

Page 19: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

50

Organ insang pada ikan yang tertangkap di aliran Sungai Citarum bagian

hulu mengindikasikan bahwa lokasi penelitian sudah tercemar. Hal ini terlihat dari

kelainan yang terjadi pada struktur organ insang tersebut. Dalam hal ini pada

insang terjadi MMC, edema, hiperplasia, kongesti dan nekrosis (Tabel 4.4).

Nabib dan Pasaribu (1989) dalam Ersa (2008) menyampaikan bahwa

lapisan epitel insang yang tipis dan berhubungan langsung dengan lingkungan luar

menyebabkan insang berpeluang besar terpapar penyakit. Insang juga berfungsi

sebagai pengatur pertukaran garam dan air serta pengeluaran limbah-limbah yang

mengandung nitrogen. Kerusakan struktur yang ringan sekalipun dapat sangat

mengganggu pengaturan osmosa dan kesulitan pernafasan.

Tabel 4.4. Perubahan Histologi Insang Ikan yang Tertangkap Di Aliran Sungai

Citarum Bagian Hulu

Stasiun Insang Cr (ppm) Keterangan

I MMC (melano

makrofag center)

E (Edema)

H (hiperplasia)

K (kongesti)

N (nekrosis)

29,06

Hiperplasia: pembesaran kelenjar suatu

jaringan atau organ yang disebabkan

oleh bertambahnya jumlah sel

Edema: penimbunan cairan secara

berlebihan di antara sel-sel tubuh atau di

dalam berbagai rongga tubuh

Melano makrofag center: akumulasi

makrofag-makrofag yang berisi

hemosiderin, lipofuchsin dan ceroid

sama seperti pigmen melanin yang

diakibatkan oleh peradangan.

Nekrosis: kematian sel

Kongesti (hipermia): keadaan dimana

terdapat darah secara berlebihan

(peningkatan jumlah darah) di dalam

pembuluh darah pada daerah tertentu.

II H (hiperplasia)

K (kongesti) 2,55

III E (edema)

H (hiperplasia)

K (kongesti)

9,62

IV E (edema) 10,62

Page 20: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

51

Gambar 4.8. Analisis histopatologi insang ikan gabus pada stasiun 1 (Situ

Cisanti), gambar A, (H) hiperplasia pada lamela sekunder; gambar B, (K) kongesti

pada lamela primer: gambar C, (N) nekrosis pada lamela sekunder (pembesaran

100x)

Gambar 4.9. Analisis histopatologi insang ikan nila pada stasiun 1 (Situ Cisanti),

gambar A, (H) hiperplasia; gambar B, (MMC) melano makrofag center; gambar

C, (E) edema pada lamela sekunder, (K) kongesti pada lamela primer (pembesaran

400x)

Gambar 4.10. Analisis histopatologi insang ikan mas pada stasiun 1 (Situ Cisanti),

(K) kongesti pada lamela primer (pembesaran 100x)

Gambar 4.11. Analisis histopatologi insang ikan betok pada stasiun 2 (Majalaya),

(H) hiperplasia (pembesaran 400x)

Page 21: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

52

Gambar 4.12. Analisis histopatologi insang ikan keting pada stasiun 2

(Majalaya), (K) kongesti (pembesaran 100x)

Gambar 4.13. Analisis histopatologi insang ikan sapu pada stasiun 3 (Sapan), (E)

edema pada bagian epitel (pembesaran 400x)

Gambar 4.14. Analisis histopatologi insang ikan sapu pada stasiun 3 (Sapan), (H)

hiperplasia lamela sekunder (pembesaran 100x)

Gambar 4.15. Analisis histopatologi insang ikan glosom pada stasiun 3 (Sapan),

gambar A, (H) hiperplasia; gambar B, (K) kongesti (pembesaran 100x)

Page 22: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

53

Gambar 4.16. Analisis histopatologi insang ikan sapu pada stasiun 4

(Dayeuhkolot). (E) edema pada lamela sekunder (pembesaran 400x)

Berdasarkan hasil analisis histopatolgi insang ikan gabus dan ikan nila di

Situ Cisanti, ikan betok di Majalaya dan ikan sapu di Sapan jaringan insang

mengalami pembengkakan/perlekatan lamela atau dinamakan hiperplasia

(Gambar 4.8 (A), Gambar 4.9 (B), Gambar 4.11 dan Gambar 15(A)). Menurut

Ersa (2008) hiperplasia sel dapat terjadi bersamaan dengan peningkatan sel-sel

penghasil mukus yang berfungsi melapisi permukaan insang. Pada keadaan

normal mukus yang dihasilkan berupa glikoprotein basa yang berfungsi sebagai

pelindung pertama, dengan adanya gangguan berupa parasit atau zat toksik maka

terjadi proliferasi sel-sel penghasil mukus sebagai bentuk reaksi pertahanan.

Bentuk tidak normal dari sel-sel lamela ini juga dapat terjadi akibat reaksi

terhadap gangguan kimia misalnya perubahan pH yang menjadi lebih asam di

perairan sehingga terjadi penumpukan gas karbondioksida (CO2), amonia (NH3)

dan zat-zat atau gas lain sisa metabolisme. Selain bersumber dari hasil

metabolisme, cemaran pada air juga dapat berasal dari lingkungan perairan seperti

sampah atau buangan industri.

Edema nampak pada hasil analisis hitopatologis insang ikan nila di Situ

Cisanti, ikan sapu di Sapan dan di Dayeuhkolot (Gambar 4.9 (C), Gambar 4.13

dan Gambar 4.16). Menurut Hibiya and Fumio (1995) dalam Ersa (2008) edema

adalah suatu akumulasi cairan yang abnormal di dalam rongga-rongga tubuh atau

di dalam ruang-ruang interstitial dari jaringan dan organ yang dapat

mengakibatkan kebengkakan. Edema mengindikasikan adanya suatu

ketidakseimbangan tekanan hidrostatik atau kesalahan pada tekanan osmotis

darah, peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler, limfe, obstruksi atau

Page 23: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

54

disfungsi ginjal. Kondisi-kondisi ini dapat dihubungkan dengan bahan-bahan

toksik kimia, virus, bakteri dan penyakit parasitik.

Hasil analisis histopatologi insang ikan gabus, nila dan mas di Situ Cisanti,

ikan keting di Majalaya dan ikan glosom di Sapan, menunjukkan lamela primer

ikan mengalami pembendungan atau kongesti (Gambar 4.8 (B), Gambar 4.9 (C),

Gambar 4.10, Gambar 4.12, dan Gambar 4.15 (B))). Kongesti dapat ditandai

dengan adanya penumpukan sel-sel darah merah yang sangat padat pada

pembuluh darah. Hal ini menunjukkan kondisi tidak normal dari insang ikan.

Terjadinya kongesti diakibatkan antara lain trauma fisik, adanya parasit atau

gangguan sistem peredaran darahnya.

Selain hiperplasia dan edema, pada ikan gabus di Situ Cisanti hasil pada

insang terdapat nekrosis (Gambar 4.8 (C)). Nekrosis secara histopatologis ditandai

dengan terlihatnya batas-batas sel tidak jelas atau bahkan menghilang. Menurut

Plumb (1994) dalam Ersa (2008), nekrosis adalah kematian sel-sel atau jaringan

yang menyertai degenerasi sel pada setiap kehidupan hewan dan merupakan tahap

akhir degenerasi yang irreversibel. Sel yang baru mengalami nekrosis akan

mengalami pembengkakan. Nekrosis dapat disebabkan oleh trauma, agen-agen

biologis (virus, bakteri, jamur dan parasit), agen-agen kimia atau terjadinya

gangguan terhadap penyediaan darah pada suatu daerah khusus. Kausa nekrosa

hati dapat dibagi dalam kausa toksopatik dan kausa trofopatik. Kerusakan-

kerusakan toksopatik disebabkan karena pengaruh langsung agen yang bersifat

toksik (zat-zat kimiawi atau toksin kuman-kuman). Juhryyah (2008)

mengemukakan kerusakan trofopatik disebabkan oleh kekurangan langsung atau

tidak langsung faktor-faktor yang penting untuk kehidupan sel-sel.

Pada ikan nila di Situ Cisanti hasil analisis histopatologi juga

menunjukkan adanya MMC atau melano makrofag center (Gambar 4.9 (B)).

Menurut Agius and Robert (1981) dalam Ersa (2008) melano makrofag center

(MMC) adalah kumpulan-kumpulan dari makrofag yang berisi hemosiderin,

lipofuchsin dan ceroid sama seperti pigmen melanin. MMC banyak ditemukan di

dalam jaringan limfoid kebanyakan teleost yang diakibatan oleh peradangan.

Page 24: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

55

Hoole, et al. (2001) dalam Susanto (2008) mengatakan bahwa kondisi

seperti hiperplasia sel-sel epitel, peningkatan sel-sel penghasil mukus,

pembendungan, edema dan infiltrasi sel-sel radang akan mengurangi efisiensi

difusi gas dan dapat berakibat fatal atau kematian.

4.5.2 Organ Hati

Purwanti (1995) dalam Bangun (2005) mengatakan logam berat yang

masuk ke dalam hati ikan menyebabkan gangguan fisiologis, sehingga ikan

berusaha mengeluarkannya sebagai bagian dari dektoksifikasi. Di samping adanya

gangguan fisiologis pada hati akibat adanya akumulasi logam berat, kerusakan

organ juga dapat terjadi seperti melano makrofag center (MMC), kongesti,

degenerasi dan nekrosis (Tabel 4.5).

Tabel 4.5. Perubahan Histologi Hati Ikan yang Tertangkap Di Aliran Sungai

Citarum Bagian Hulu

Stasiun Hati Cr

(ppm) Keterangan

I MMC (melano makrofag center)

N (nekrosis) 76,73

Melano makrofag center:

akumulasi makrofag-

makrofag yang berisi

hemosiderin, lipofuchsin dan

ceroid sama seperti pigmen

melanin yang diakibatkan oleh

peradangan

Nekrosis: kematian sel

Kongesti (hipermia):

keadaan dimana terdapat

darah secara berlebihan

(peningkatan jumlah darah) di

dalam pembuluh darah pada

daerah tertentu.

Degenerasi: kehilangan

struktur normal sel

Degenerasi hidropis:

sitoplasma menyerupai sel

II MMC (melano makrofag center)

D (degenerasi)

K (kongesti)

7,19

III D(degenerasi)

K (kongesti)

N (nekrosis)

16,14

IV MMC (melano makrofag center)

Dh (degenerasi hidropis)

D (degenerasi)

N (nekrosis)

7,85

Page 25: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

56

Gambar 4.17. Analisis histopatologi hati ikan gabus pada stasiun 1 (Situ Cisanti),

(MMC) melano makrofag center pada hati dan hepatopankreas (pembesaran 100x)

Gambar 4.18. Analisis histopatologi hati ikan nila pada stasiun 1 (Situ Cisanti),

gambar A, (S) sinusoid, (N) nekrosis; gambar B, (MMC) melano makrofag center

pada pankreas (pembesaran 1000x)

Gambar 4.19. Analisis histopatologi hati ikan betok pada stasiun 2 (Majalaya),

gambar A, (K) kongesti; gambar B, (MMC) melano makrofag center di hati;

gambar C, MMC) melano makrofag center di pankreas; gambar D, (MMC)

melano makrofag center di hati, (S) sinusoid, (Vc) vena centralis (pembesaran

400x)

Page 26: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

57

Gambar 4.20. Analisis histopatologi hati ikan sapu pada stasiun 2 (Majalaya),

gambar A, (D) degenerasi; gambar B, (MMC) melano makrofag center

(pembesaran 100x)

Gambar 4.21. Analisis histopatologi hati ikan keting pada stasiun 2 (Majalaya),

(K) kongesti (pembesaran 100x)

Gambar 4.22. Analisis histopatologi hati ikan sapu pada stasiun 3 (Sapan), (N)

nekrosis (pembesaran 400x)

Gambar 4.23. Analisis histopatologi hati ikan sapu pada stasiun 3 (Sapan), (D)

degenerasi (pembesaran 100x)

Page 27: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

58

Gambar 4.24. Analisis histopatologi hati ikan glosom pada stasiun 3 (Sapan), (D)

degenerasi, (K) kongesti, (S) sinusoid, (Vc) vena centralis (pembesaran 100x)

Gambar 4.25. Analisis histopatologi hati ikan gabus pada stasiun 4 (Dayeuhkolot),

gambar A, degenerasi hidropis; gambar B, (MMC) melano makrofag center di

hati, (N) nekrosis (pembesaran 400x)

Gambar 4.26. Analisis histopatologi hati ikan sapu pada stasiun 4 (Dayeuhkolot),

(D) degenerasi (pembesaran 100x)

Gambar 4.27. Analisis histopatologi hati ikan betok pada stasiun 4 (Dayeuhkolot),

(MMC) melano makrofag center (pembesaran 100x)

Menurut Jubb and Peter (1970) dalam Juhryyah (2008) hati adalah organ

yang sangat sensitif terhadap adanya zat toksik yang masuk. Hal ini berhubungan

dengan fungsi metabolik di dalam sel hati. Zat toksik yang masuk dapat

Page 28: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

59

menyebabkan serangkaian perubahan irreversibel. Hasil analisis histopatologi

jaringan hati pada ikan nila di Situ Cisanti, ikan sapu di Sapan dan ikan gabus di

Dayeuhkolot menunjukkan terjadinya nekrosis atau kematian sel (Gambar 4.18

(A), Gambar 4.22 dan Gambar 4.25 (B)). Nekrosis secara histopatologis ditandai

dengan terlihatnya batas-batas sel tidak jelas atau bahkan menghilang. Menurut

Plumb (1994) dalam Ersa (2008), nekrosis adalah kematian sel-sel atau jaringan

yang menyertai degenerasi sel pada setiap kehidupan hewan dan merupakan tahap

akhir degenerasi yang irreversibel. Sel yang baru mengalami nekrosis akan

mengalami pembengkakan. Sitoplasma sel yang nekrosis akan memiliki warna

yang lebih merah, namun warna inti tidak jelas bahkan tidak terwarnai sama

sekali. Nekrosis dapat disebabkan oleh trauma, agen-agen biologis (virus, bakteri,

jamur dan parasit), agen-agen kimia atau terjadinya gangguan terhadap

penyediaan darah pada suatu daerah khusus. Kausa nekrosa hati dapat dibagi

dalam kausa toksopatik dan kausa trofopatik. Kerusakan-kerusakan toksopatik

disebabkan karena pengaruh langsung agen yang bersifat toksik (zat-zat kimiawi

atau toksin kuman-kuman). Menurut Juhryyah (2008) kerusakan trofopatik

disebabkan oleh kekurangan langsung atau tidak langsung faktor-faktor yang

penting untuk kehidupan sel-sel.

Pada ikan gabus dan nila di Situ Cisanti, ikan betok dan ikan sapu di

Majalaya dan ikan gabus dan betok di Dayeuhkolot dari hasil analisis

histopatologi hati menunjukkan adanya melano makrofag center (MMC) baik di

hati (Gambar 4.17, Gambar 4.19 (B), Gambar 4.20 (B), Gambar 4.25 dan Gambar

4.27), maupun di hepatopankreas (Gambar 4.18 (B) dan Gambar 4.19 (C)).

Melano makrofag center (MMC) adalah kumpulan-kumpulan dari makrofag,

(Agius and Robert, 1981 dalam Ersa, 2008) yang berisi hemosiderin, lipofuchsin

dan ceroid sama seperti pigmen melanin. MMC banyak ditemukan di dalam

jaringan limfoid kebanyakan teleost yang diakibatan oleh peradangan.

Selain mengalami nekrosis dan MMC, hasil analisis histopatologi hati ikan

betok dan keting di Majalaya serta ikan glosom di Sapan, juga menunjukkan

jaringan hati mengalami kongesti (Gambar 4.19 (A), Gambar 4.21 dan Gambar

4.24). Kongesti adalah perubahan yang ditemukan pada interstisium. Kongesti

Page 29: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

60

pada jaringan hati dapat ditandai dengan adanya penumpukan sel-sel darah merah

yang sangat padat pada pembuluh darah. Hal ini menunjukkan kondisi tidak

normal dari hati ikan. Saleh (1979) dalam Juhryyah (2008) kongesti adalah suatu

keadaan yang disertai meningkatnya volume darah dalam pembuluh darah yang

melebar pada suatu alat atau bagian tubuh. Harada, et al. (1999) dalam Juhryyah

(2008) menjelaskan bahwa zat toksik dapat mengganggu sistem sirkulasi sehingga

sel-sel kekurangan oksigen dan zat-zat makanan. Terjadinya kongesti diakibatkan

antara lain karena trauma fisik adanya parasit atau gangguan sistem peredaran

darahnya.

Pada hasil analisis histopatologis hati ikan sapu di Majalaya, ikan sapu dan

glosom di Sapan, dan ikan sapu di Dayeuhkolot dinyatakan bahwa jaringan

mengalami degenerasi (Gambar 4.20, Gambar 4.23 dan Gambar 4.24). Degenerasi

dalam patologi dapat didefinisikan secara luas sebagai kehilangan struktur dan

fungsi normal, biasanya progresif, yang tidak ditimbulkan oleh induksi radang dan

neoplasia. Spector (1993) dalam Juhryyah (2008) degenerasi sel sering diartikan

sebagai kehilangan struktur normal sel sebelum kematian sel. Menurut Harada, et

al. (1999) dalam Juhryyah (2008), perubahan ini merupakan tanda awal kerusakan

sel yang disebabkan oleh toksin.

Hasil analisis histopatologi hati ikan gabus di Dayeuhkolot mengalami

degenerasi hidropis (Gambar 4.25 (A)). Menurut Jones, et al. (1997) dalam

Juhryyah ( 2008) degenerasi hidropis adalah terjadinya peningkatan jumlah air di

dalam sel yang menyebabkan sitoplasma dan organel sel tampak membengkak

dan bervakuola. Ada faktor yang mengganggu kemampuan membran sel untuk

melakukan transport aktif ion natrium keluar sel yang berakibat masuknya air

dalam jumlah yang berlebihan ke dalam. Paparan zat toksik menyebabkan

hilangnya pengaturan volume pada bagian-bagian sel. Menurut Price and

Lorraine (2006) dalam Juhryyah (2008) untuk mempertahankan kekonstanan

lingkungan internalnya, suatu sel harus menggunakan energi metabolik untuk

memompa ion natrium keluar dari sel. Underwood (1992) dalam Juhayyah (2008)

degenerasi hidropis umumnya disebabkan oleh gangguan metabolisme seperti

hipoksia atau keracunan bahan kimia. Rusmiati dan Lestari (2004) dalam

Page 30: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

61

Juhryyah (2008) gangguan metabolisme sel biasanya didahului oleh berkurangnya

oksigen karena pengaruh senyawa toksik ke dalam tubuh.

Menurut Darmono (1995) dalam Damayanti (2010) tingkat kerusakan hati

dibagi menjadi tiga yaitu ringan, sedang dan berat. Pembengkakan termasuk

dalam kerusakan ringan. Tingkat kerusakan sedang yaitu kongesti dan hemoragi,

sedangkan tingkat berat adalah nekrosis.

4.5.3 Organ Ginjal

Menurut Dinata (2004) dalam Bangun (2005) ginjal ikan merupakan organ

yang berfungsi untuk filtrasi dan mengekskresikan bahan yang biasanya tidak

dibutuhkan tubuh, termasuk bahan beracun seperti logam. Sehingga banyak bahan

beracun seperti logam berat terdapat di dalam ginjal tersebut. Organ ginjal pada

ikan yang terdapat dan tertangkap di aliran Sungai Citarum bagian Hulu

mengindikasikan bahwa lokasi penelitian sudah tercemar. Hal ini terlihat dari

kelainan yang terjadi pada struktur sel ginjal ikan-ikan yang tertangkap. Dalam

hal ini pada ginjal terjadi melano makrofag center (MMC), edema, degenerasi,

kongesti dan nekrosis (Tabel 4.6).

Page 31: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

62

Tabel 4.6. Perubahan Histologi Ginjal Ikan yang Tertangkap Di Aliran Sungai

Citarum Bagian Hulu

Stasiun Ginjal Cr

(ppm) Keterangan

I MMC (melano makrofag

center)

E (edema)

D (degenerasi)

K (kongesti)

N (Nekrosis)

28,88

Melano makrofag center:

akumulasi makrofag-makrofag

yang berisi hemosiderin,

lipofuchsin dan ceroid sama

seperti pigmen melanin. MMC

diakibatkan oleh peradangan

Nekrosis: kematian sel

Kongesti (hipermia): keadaan

dimana terdapat darah secara

berlebihan (peningkatan jumlah

darah) di dalam pembuluh

darah pada daerah tertentu.

Edema: penimbunan cairan

secara berlebihan di antara sel-

sel tubuh atau di dalam

berbagai rongga tubuh.

Degenerasi: kehilangan

struktur normal sel.

II MMC (melano makrofag

center)

E (edema)

D (degenerasi)

N (nekrosis)

9,54

III MMC (melano makrofag

center)

E (edema)

K (kongesti)

N (nekrosis)

12,63

IV MMC (melano makrofag

center)

E (edema)

D (degenerasi)

N (nekrosis)

18,68

Page 32: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

63

Gambar 4.28 Analisis histopatologi ginjal ikan gabus pada stasiun 1 (Situ

Cisanti), gambar A, (K) Kongesti; gambar B, (E) edema pada tubulus, (N)

nekrosis (pembesaran 100x)

Gambar 4.29. Analisis histopatologi ginjal ikan nila pada stasiun 1 (Situ Cisanti),

gambar A, (K) kongesti; gambar B, (MMC) melano makrofag center, (E) edema

pada tubulus (pembesaran 400x)

Gambar 4.30 Analisis histopatologi ginjal ikan mas pada stasiun 1 (Situ Cisanti),

(N) nekrosis, (E) edema pada tubulus, (K) kongesti, (MMC) melano makrofag

center, (D) degenerasi (pembesaran 100x)

Gambar 4.31. Analisis histopatologi ginjal ikan betok pada stasiun 2 (Majalaya),

gambar A, (N) nekrosis, (D) degenerasi; gambar B, (N) nekrosis, (E) edema pada

tubulus, (Pd) pembuluh darah (pembesaran 400x)

Page 33: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

64

Gambar 4.32. Analisis histopatologi ginjal ikan keting pada stasiun 2 (Majalaya),

N (nekrosis), (MMC) melano makrofag center (pembesaran 100x)

Gambar 4.33. Analisis histopatologi ginjal ikan sapu pada stasiun 3 (Sapan),

(MMC) melano makrofag center, (E) edema (pembesaran 400x)

Gambar 4.34. Analisis histopatologi ginjal ikan sapu pada stasiun 3 (Sapan),

gambar A, (K) kongesti; gambar B, (N) nekrosis, (E) edema pada tubulus

(pembesaran 100x)

Gambar 4.35. Analisis histopatologi ginjal ikan gabus pada stasiun 4

(Dayeuhkolot), (N) nekrosis, (E) edema, (MMC) melano makrofag center

(pembesaran 400x)

Page 34: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

65

Gambar 4.36. Analisis histopatologi ginjal ikan sapu pada stasiun 4

(Dayeuhkolot), (E) edema pada tubulus (pembesaran 100x)

Pada ikan gabus, ikan nila dan ikan mas di Situ Cisanti, serta ikan sapu di

Sapan analisis histopatologi menunjukkan adanya pembendungan sel darah atau

kongesti (Gambar 4.28 (A), Gambar 4.29 (A), Gambar 4.30 dan Gambar 4.34).

Menurut Saleh (1979) dalam Juhryyah (2008) kongesti adalah suatu keadaan yang

disertai meningkatnya volume darah dalam pembuluh darah yang melebar pada

suatu alat atau bagian tubuh. Harada, et al. (1999) dalam Juhryyah (2008)

menjelaskan bahwa zat toksik dapat mengganggu sistem sirkulasi sehingga sel-sel

kekurangan oksigen dan zat-zat makanan. Terjadinya kongesti diakibatkan antara

lain karena trauma fisik adanya parasit atau gangguan sistem peredaran darahnya.

Pada ikan gabus, ikan nila dan ikan mas di Situ Cisanti, ikan betok di

Majalaya, ikan sapu di Sapan dan ikan gabus juga ikan sapu di Dayeuhkolot hasil

analisis histopatologis ginjal menunjukkan adanya edema pada tubulus (Gambar

4.28 (B), Gambar 4.29 (B), Gambar 4.30, Gambar 4.31 (B), Gambar 4.35 dan

Gambar 4.36). Menurut Saleh (1979) dalam Juhryyah (2008) edema adalah

meningkatnya volume cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler disertai dengan

penimbunan cairan ini di dalam sela-sela jaringan dan rongga serosa. Edema dapat

bersifat lokal atau umum. Menurut Jones, et al. (1997) dalam Juhryyah (2008),

secara mikroskopis tampak ruang antar sel-sel yang berdekatan, serabut-serabut

dan struktur lainnya membesar. Warna cairan merah muda atau homogen, sedikit

lebih merah, bergantung pada banyaknya protein. Menurut Juhryyah (2008)

edema terjadi akibat adanya gangguan keseimbangan normal antara kompartemen

cairan darah, interstisium dan limfatik.

Selain kongesti, edema dan nekrosis pada ikan nila dan ikan mas di situ

Cisanti, ikan keting di Majalaya, ikan sapu di Sapan dan ikan gabus di

Page 35: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

66

Dayeuhkolot hasil analisis histopatologi menunjukkan adanya melano makrofag

center (MMC) atau kumpulan-kumpulan sel makrofag yang berisi hemosiderin,

lipofuchsin dan ceroid sama seperti pigmen melanin (Gambar 4.29, Gambar 4.30

dan gambar 4.30). MMC banyak ditemukan di dalam jaringan limfoid kebanyakan

teleost yang diakibatan oleh peradangan. Fungsi melanin di dalam jaringan tidak

jelas. Hal ini mungkin didasarkan atas material radikal bebas yang stabil dari

melanin dan kemampuannya untuk menetralkan reaksi radikal bebas. Ellis (1981)

dalam Ersa (2008), menyatakan bahwa melanin pada organ viscera dapat sebagai

alat perlindungan dari kerusakan akibat radikal bebas.

4.6 Hubungan Kulitas Air, Logam Cr Pada Air , Logam Cr Pada Organ

dan Kerusakan Pada Organ

Adanya pencemaran yang mengandung logam berat pada badan air dapat

membahayakan keberlangsungan hidup dan kehidupan baik secara langsung

(ekosistem perairan) maupun tidak langsung (manusia). Keberadaan logam berat

dalam perairan akan berpengaruh negatif terhadap kehidupan biota. Logam berat

yang terikat dalam tubuh organisme tersebut akan mempengaruhi aktivitas

organisme tersebut.

Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian dimasing-masing

stasiun dapat digambarkan hubungan dari parameter kualitas air, logam Cr pada

air, logam Cr pada organ dan kerusakan yang ditimbulkan serta kaitanya dengan

batas aman konsumsi manusia (Tabel 4.7).

Page 36: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

67

Tabel 4.7. Hubungan Kulitas Air, Kandungan Cr Pada Air dan Organ serta

Kerusakan yang Ditimbulkan

Parameter Satuan Standar Stasiun Pengamatan

II III 1 2 3 4

Kualitas

air

fisik Suhu ˚C ± 3 ± 3 23,217±

0,755

23,517±

1,842

25,00±1

,757

24,167±

1,305

kimia DO mg/L 4 3 6,583 4,757 2,283 2,133

pH - 6-9 6-9 7,267 7,417 7,050 7,100

Logam Cr

Air

ppm

0,05 0,05 0,0426 0,0085 0,1223 0,0111

Insang

- -

29,08 2,55 9,62 10,6

Hati 76,73 7,19 16,14 7,85

Ginjal 28,88 9,54 12,63 18,68

Batas aman Logam Cr

masuk tubuh mg/kg/hari 0,05-0,2

Tidak

aman

Tidak

aman

Tidak

aman

Tidak

aman

Organ

Insang

Perubahan struktur jaringan

(kerusakan)

MMC

E

H

K

N

H

K

E

H

K

E

Tingkat kerusakan +++ ++ ++ +

Hati

Perubahan struktur jaringan

(kerusakan)

MMC

N

MMC

D

K

D

K

N

MMC

D

Dh

N

Tingkat kerusakan +++ ++ +++ +++

Ginjal

Perubahan struktur jaringan

(kerusakan)

MMC

E

D

K

N

MMC

E

D

N

MMC

E

K

N

MMC

E

D

N

Tingkat kerusakan +++ +++ +++ +++

Keterangan:

MMC= melano makrofag center

E= edema

H= hiperplasia

K= kongesti

D= degenerasi

Dh= degenerasi hidropis

N= nekrosis

+= ringan

++= sedang

+++= berat

Standar kualitas air= PP No.82 tahun 2001

Standar batas aman konsumsi logam Cr=

FHO/WHO dan Miller-Ihli (1992) dalam,

Jalaluddin dan Ambeng (2005)

Tingkat kerusakan= metode tandjung 1982,

Ressang (1986) dan Sudiono (2003),

Darmono (1995)

Page 37: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

68

Situ Cisanti (stasiun 1) memliki suhu terendah dibandingkan dengan tiga

stasiun pengamatan lainnya. Rendahnya suhu pada stasiun ini berhubungan

dengan ketinggian lokasi yang berada pada daerah pegunungan dengan ketinggian

2000 m di atas permukaan laut dan terjaganya ekosistem dan hutan disekeliling

danau. Selain suhu yang rendah, kandungan oksigen terlarut (DO) pada stasiun ini

merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya dan nilai pH yang

netral, serta kandungan logam Cr yang masih dibawah ambang batas baku mutu

air kelas II dan III menurut PP No.82 tahun 2001. Dengan demikian dapat

dinyatakan kualitas air di Situ Cisanti masih dalam batas toleransi bagi

keberlangsungan hidup organisme air.

Kandungan logam Cr pada air di Situ Cisanti walaupun masih memenuhi

standar akan tetapi hanya berbeda tipis dengan ambang batas, ini dimungkinkan

adanya sumber kromium yang berasal dari alam seperi dari tumbuhan, tanah dan

batuan vulkanik, hal tersebut berdampak pada tingginya akumulasi logam Cr pada

organ insang, hati dan ginjal ikan yang tertangkap di Situ Cisanti. Akumulasi

logam Cr pada ikan di Situ Cisanti merupakan akumulasi yang tertinggi

dibandingkan tiga stasiun lainnya yaitu, pada insang 29,06 ppm, hati 76,73 ppm

dan ginjal 28,88 ppm dengan akumulasi rata-rata 44,89 ppm. Bila dibandingkan

dengan rekomendasi batas aman Cr masuk kedalam tubuh menurut FAO/WHO

yaitu 200 µg/Kg/hari atau bila dikonversi menjadi 0,2 mg/Kg/hari dan menurut

rekomendasi Miller-Ihli (1992) dalam, Jalaluddin dan Ambeng (2005) batas aman

kromium dalam makanan manusia yaitu 50 sampai 200 μg/hari atau 0,05 – 0,2

ppm/hari dapat dinyatakan kandungan logam Cr pada organ ikan dari Situ Cisanti

sudah melebihi batas aman konsumsi.

Akumulasi logam berat pada organ insang, hati dan ginjal dapat merubah

struktur jaringan dari organ-organ tersebut. Kandungan logam Cr pada organ

insang ikan di Situ Cisanti yaitu 29,06 ppm menunjukkan adanya tingkat

kerusakan yang berat hal ini ditandai dengan adanya perubahan struktur jaringan

berupa MMC, edema, hiperplasia, kongesti dan nekrosis. Pada organ hati ikan di

Situ Cisanti kandungan logam Cr 76,72 ppm tingkat kerusakan tergolong berat

dengan ditandai adanya MMC dan nekrosis. Kandungan logam Cr pada organ

Page 38: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

69

ginjal ikan di Situ Cisanti yaitu 28,88 ppm menunjukkan tingkat kerusakan yang

tergolong berat dikarenakan adanya perubahan struktur berupa MMC, edema,

kongesti, degenerasi dan nekrosis.

Stasiun 2 (Majalaya) memiliki kualitas air yang masih memenuhi standar

baku mutu air untuk kelas II dan III menurut PP No.82 tahun 2001 dilihat dari

parameter suhu, DO, pH dan logam Cr pada air. Dari keempat parameter yang

diamati dapat dinyatakan kualitas air di stasiun pengamatan 2 (Majalaya) masih

dalam batas toleransi bagi keberlangsungan hidup organisme air, namun bila

dibandingkan dengan stasiun pengamatan 1 (Situ Cisanti) kandungan oksigen

terlarut (DO) cukup jauh berbeda, namun masih memenuhi batas minimal untuk

baku mutu air kelas II dan III menurut PP No.82 tahun 2001.

Kandungan logam Cr pada air di Majalaya adalah yang terendah, hal ini

berdampak pula pada rendahnya kandungan logam Cr pada organ ikan yang

tertangkap di stasiun ini. Rendahnya kandungan logam Cr pada Organ ikan di

Majalaya juga dikarenakan volume dan arus air di aliran Sungai Citarum yang

berada di wilayah pengamatan ini cukup besar dan kencang sehingga

dimungkinkan logam Cr yang masuk kedalam jaringan tubuh baik melalui

pernafasan, penetrasi kulit dan makanan tidak terlalu besar. Akumuluasi logan Cr

pada organ ikan di Majalaya yaitu, di insang 2,55 ppm, di hati 7,19 dan di ginjal

9,54 ppm. Meskipun kandungan logam Cr di Majalaya ini terendah dengan rata-

rata 6,34 ppm bila dibandingkan dengan rekomendasi batas aman Cr masuk

kedalam tubuh yaitu 0,2 mg/kg/per hari (FAO/WHO) dan batas aman kromium

dalam makanan manusia yaitu 0,05–0,2 ppm/hari (Miller-Ihli, 1992 dalam

Jalaluddin dan Ambeng, 2005) sudah melebihi, sehingga dapat dinyatakan

kandungan logam Cr pada organ ikan dari Majalaya sudah melebihi batas aman

konsumsi.

Akumulasi logam berat pada organ insang, hati dan ginjal dapat merubah

struktur jaringan dari organ-organ tersebut. Kandungan logam Cr pada organ

insang ikan di Majalaya yaitu 2,55 ppm menunjukkan adanya tingkat kerusakan

yang sedang hal ini ditandai dengan adanya perubahan struktur jaringan berupa

hiperplasia dan kongesti. Pada organ hati ikan di Majalaya kandungan logam Cr

Page 39: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

70

7,19 ppm tingkat kerusakan tergolong sedang dengan ditandai adanya MMC,

kongesti dan degenerasi, hal ini dapat terjadi karena logam berat yang masuk ke

dalam hati ikan menyebabkan gangguan fisiologis, sehingga ikan berusaha

mengeluarkannya sebagai bagian dari proses dektoksifikasi. Kandungan logam Cr

pada organ ginjal ikan di Majalaya yaitu 9,54 ppm menunjukkan tingkat

kerusakan yang tergolong berat dikarenakan adanya perubahan struktur berupa

edema, MMC, degenerasi dan nekrosis.

Kualitas air pada stasiun 3 (Sapan) ditinjau dari parameter suhu, DO dan

kandungan logam Cr pada air telah melebihi ambang batas baku mutu air kelas II

dan kelas III menurut PP No. 82 tahun 2001, sehingga dengan demikian dapat

dinyatakan kualitas air di Sapan kurang mendukung untuk keberlangsungan hidup

organisme air, sesuai dengan cerita masyarakat disekitar lokasi pengamatan ini,

bahwa sering terjadi ikan mati secara bersamaan dalam jumlah yang banyak

(mabuk). Kualitas air yang buruk di Sapan ini dimungkinkan karena industri-

industri (tekstil) yang berdiri di sekitar wilayah Sapan masih membuang limbah

berbahayanya secara langsung ke aliran sungai Citarik.

Kandungan logam Cr pada air di Sapan adalah yang tertinggi dan sudah

melebihi ambang batas standar, tingginya kandungan logam Cr pada air juga

menyebabkan akumulasi logam Cr pada organ ikan di Stasiun ini. Kandungan

logam Cr pada organ ikan di Sapan bukan yang paling tinggi namun kedua

tertinggi setelah Situ Cisanti (stasiun 1) yaitu pada insang 9,62 ppm, hati 16,14

ppm dan ginjal 12,63 ppm dengan rata-rata 12,80 ppm bila dibandingkan dengan

rekomendasi batas aman Cr masuk kedalam tubuh yaitu 0,2 mg/kg/hari

(FAO/WHO) dan batas aman kromium dalam makanan manusia yaitu 0,05 –0,2

ppm/hari (Miller-Ihli 1992 dalam Jalaluddin dan Ambeng, 2005), dapat

dinyatakan kandungan logam Cr pada organ ikan dari wilayah Sapan sudah

melebihi batas aman konsumsi.

Akumulasi logam berat pada organ insang, hati dan ginjal dapat merubah

struktur jaringan dari organ-organ tersebut. Pada ikan di Sapan dengan kandungan

logam Cr di insang 9,62 ppm menunjukkan adanya tingkat kerusakan yang sedang

hal ini ditandai dengan adanya perubahan struktur jaringan berupa edema,

Page 40: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090072_4_6570.pdf · Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal

71

hiperplasia dan kongesti, di hati dengan kandungan logam Cr 16,14 ppm tingkat

kerusakan tergolong berat dengan di tandai adanya degenerasi, kongesti dan

nekrosis dan di ginjal dengan kandungan logam Cr 12,63 ppm menunjukkan

tingkat kerusakan yang tergolong berat dikarenakan adanya perubahan struktur

berupa MMC, edema, kongesti dan nekrosis.

Pada stasiun pengamatan 4 (Dayeuhkolot) ditinjau dari parameter

kandungan oksigen terlarut (DO) kualitas air distasiun ini telah melebihi baku

mutu kelas II dan III menurut PP No.82 tahun 2001. Namun, kandungan logam Cr

di air, suhu dan pH di Dayeuhkolot masih dalam batas aman baku mutu.

Kandungan logam Cr pada air di Dayeuhkolot masih di bawah batas baku

mutu kelas II dan III menurut PP No.82 tahun 2001, akan tetapi logam Cr sudah

terakumulasi cukup tinggi di organ ikan yaitu, 10,60 ppm di insang, 7,85 ppm di

hati dan 18,68 ppm di ginjal. Kandungan Cr pada organ ikan di Dayeuhkolot

cukup tinggi dengan rata-rata 12,38 ppm namun masih lebih rendah dibandingkan

ikan di Situ Cisanti (stasiun 1) dan Sapan (stasiun 3) dan lebih tinggi

dibandingkan ikan di Majalaya (stasiun 2) serta lebih tinggi dibandingkan

rekomendasi batas aman Cr masuk kedalam tubuh yaitu 0,2 mg/kg/hari

(FAO/WHO) dan batas aman kromium dalam makanan manusia yaitu 0,05-0,2

ppm/hari (Miller-Ihli, 1992 dalam Jalaluddin dan Ambeng, 2005), sehingga dapat

dinyatakan kandungan logam Cr pada organ ikan dari wilayah Dayeuhkolot sudah

melebihi batas aman konsumsi.

Akumulasi logam berat pada organ insang, hati dan ginjal dapat merubah

struktur jaringan dari organ-organ tersebut. Pada ikan di Dayeuhkolot dengan

kandungan logam Cr di insang 10,60 ppm menunjukkan adanya tingkat kerusakan

yang tergolong masih ringan hal ini ditandai dengan adanya edema, di hati dengan

kandungan logam Cr 7,85 ppm tingkat kerusakan tergolong berat dengan di tandai

adanya MMC, degenerasi hidropis dan nekrosis. Di ginjal dengan kandungan

logam Cr 18,68 ppm menunjukkan tingkat kerusakan yang tergolong berat

dikarenakan adanya perubahan struktur berupa MMC, edema, degenerasi dan

nekrosis.