bab iv gambaran umum lokasi...
TRANSCRIPT
30
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Untuk mengetahui karakteristik dan memperoleh gambaran mengenai daerah
penelitian, maka dalam bab ini akan dikemukakan beberapa hal diantaranya: Letak
keadaan geografis serta demografis kota Salatiga, penduduk Kota Salatiga, kondisi
budaya kota Salatiga, sekilas tentang UKSW, Visi-Misi UKSW, potret etnis di
UKSW serta fenomena konflik yang terjadi.
4.1 Letak dan Keadaan Geografis Serta Demografis Kota Salatiga
Keberadaan Prasasti Plumpungan yang berada di Dukuh Plumpungan, Desa
Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, merupakan tonggak sejarah berdirinya kota
yang saat ini dikenal bernama Salatiga.Prasasti berbentuk batu Endensit dengan
ukuran panjang 170 cm dan lebar 160 cm, yang dipermukaannya bertuliskan dalam
bahasa Jawa Kuno dan Sansekerta “srir astu swasti prajabyah” yang memiliki arti
semoga bahagia, selamatlah rakyat sekalian merupakan cikal bakalnya (Wawasan, 24
Juli 2004).
Salatiga menjadi Daerah Adminitratif Tingkat II setelah Indonesia merdeka.
Saat ini berdasarkan Undang-Undang Otonomi daerah, Salatiga menjadi daerah
otonom dan merupakan salah satu bagian dari wilayah Provinsi Jawa Tengah. Secara
geografis Salatiga terletak di 110 28' 37.79" - 110o 32' 39.79" BT dan luas
keseluruhan wilayah 17,87 Km2.Secara administratif, Kota Salatiga terbagi menjadi 4
kecamatan yaitu; Kecamatan Sidorejo, Kecamatan Argomulyo, Kecamatan
Sidomukti, Kecamatan Tingkir dan terdiri dari 22 kelurahan. Hal ini sesuai dengan
Peraturan Daerah No. 11 tahun 2003 tentang perubahan Desa menjadi Kelurahan.
Secara morfologis Salatiga merupakan daerah yang terletak di daerah
pedalaman kaki Gunung Merbabu dan gunung-gunung kecil lainnya, antara lain
Gajah Mungkur, Telomoyo, dan Payung Rong. Karena letak dan posisi Salatiga yang
berada di tengah-tengah Kabupaten Semarang dengan demikian Kota Salatiga
31
dibatasi beberapa Desa yang berada di wilayah Kabupaten Semarang, adapun batas-
batas tersebut adalah:
1. Sebelah Utara : Kecamatan Pabelan (Desa Pabelan, Desa Pejanten),
dan Kecamatan Tuntang (Desa Kesongo, Desa Watu Agung).
2. Sebelah Selatan : Kecamatan Pabelan (Desa Ujung-ujung, Desa
Sukpharjo, dan Desa Glawan); dan Kecamatan Tengaran (Desa Bener,
Desa Tegal Waton serta Desa Nyamat).
3. Sebelah Timur : Kecamatan Getasan (Desa Sumogawe, Desa
Samirono, dan Desa Jetak) dan Kecamatan Tengaran (Desa Patemon,
Desa Karang Duren).
4. Sebelah Barat : Kecamatan Getasan dan Kecamatan Tuntang
Kabupaten Semarang
33
Salatiga terletak dipersimpangan 3 kota besar di Jawa Tengah yaitu, Semarang,
Solo dan Yogyakarta. Tiga kota besar tersebut boleh dikatakan amat mudah
dijangkau dari Salatiga dengan menempuh jalan darat. Jarak Tempuh Salatiga ke
Kota Semarang sekitar 47 Km, Salatiga ke Solo sekitar 53 Km sedangkan Yogyakarta
sekitar 100 Km. Itulah sebabnya Salatiga adalah sebuah kota yang dihimpit oleh 3
kota besar Semarang, Solo dan Yogyakarta (Joglosemar).
Letak wilayah yang dihimpit oleh tiga kota seperti dijelaskan di atas sangat
berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan sosial ekonomi di Salatiga. Terdapat
tiga jenis industri besar yang bergerak dalam bidang perstekstilan, ban, dan
pemotongan hewan yang ada di kota ini. Begitu pula dengan dunia kewirausahaan
seperti industri kecil dan rumah tangga, tampak dalam berbagai bentuk barang
produksi. Di kota ini industri konveksi mencapai 126 buah. Selain konveksi, industri
kecil lainnya juga ikut meramaikan ekonomi Salatiga adalah industri makanan,
dendeng dan abon rasa manis, asin, dan pedas atau keripik paru misalnya adalah
makanan yang banyak diminati untuk dijadikan oleh-oleh. Berkembangnya sektor
industri ikut memacu kegairahan dunia perdagangan, letaknya di persimpangan jalan
menuju Kota Semarang, Solo, dan Yogyakarta, makin menguntungkan sektor
perdagangan Salatiga.
Berdasarkan letak geografis wilayah, maka Kota Salatiga beriklim tropis.
Musim penghujan antara bulan November – April dipengaruhi oleh musim Barat
sedang musim kemarau antara bulan Mei–Oktober yang dipengaruhi oleh angin
musim Timur. Sedangkan jumlah curah hujan pada tahun 2010 ± 2.252 mm, dengan
jumlah hari hujan 105 hari dan rata-rata curah hujan 21 mm / hari. Suhu udara Kota
Salatiga terendah pada bulan Juli sekitar 23.89°C dan tertinggi pada bulan Oktober
31.80°C. Sedangkan suhu udara tahunan rata-rata 26,25ºC.
34
Tabel 4.1.
Luas Wilayah Kota SalatigaMenurut Kecamatan dan Kelurahan Tahun 2010
NO KECAMATAN LUAS JUMLAH
HA % RT RW
1
2
3
4
KECAMATAN
SIDOREJO
1. Kelurahan Blotongan
2. Kelurahan Sidorejo Lor
3. Kelurahan Salatiga
4. Kelurahan Bugel
5. Kelurahan Kauman Kidul
6. Kelurahan Pulutan
KECAMATAN TINGKIR
1. Kelurahan Kuto
Winangun
2. Kelurahan Gendongan
3. Kelurahan Kalibening
4. Kelurahan Sidorejo Kidul
5. Kelurahan Tingkir Lor
6. Kelurahan Tingkir
Tengah
KECAMATAN
ARGOMULYO
1. Kelurahan Noborejo
2. Kelurahan Ledok
3. Kelurahan Tegalrejo
4. Kelurahan Kumpulrejo
5. Kelurahan Randuacir
6 .Kelurahan Cebongan
KECAMATAN
SIDOMUKTI
1. Kelurahan Kecandran
2. Kelurahan Dukuh
3. Kelurahan Mangunsari
4. Kelurahan Kalicacing
423,80
271,60
202,00
294,37
195,85
237,10
293,75
68,90
99,60
277,30
177,50
137,80
332,20
187,33
188,40
629,03
377,60
138,10
399,20
377,15
290,77
78,73
1.624,72
1.054,85
1.852,69
1.145,85
28,61
18,58
32,63
20,18
296
78
87
69
23
19
20
277
23
28
9
38
30
149
248
63
55
34
22
32
42
217
39
87
68
23
59
12
14
15
7
5
6
48
8
8
3
5
10
14
55
13
9
10
6
7
10
36
7
14
9
6
Jumlah 5.678,11 100,00 1 .038 1 98
Sumber : Bagian Tata Pemerintahan Setda Kota Salatiga
35
4.1.1. Kependudukan
Dari hasil pendataan Sensus Penduduk 2010 yang dilaksanakan dari tanggal 1
Mei 2010 sampai dengan 31 Mei 2010 tercatat penduduk Kota Salatiga sejumlah
171.067orang terdiri dari 83.721orang laki‐laki dan 87.346orang perempuan. Dilihat
persebaran jumlah penduduk hasil Sensus Penduduk tahun 2000 dan tahun 2010 ini
tidak terlihat pergeseran yang cukup berarti. Semua wilayah Kecamatan /kelurahan
cenderung stabil yaitu tertinggi di Kecamatan Sidorejo sekitar 30,24 % dan terendah
di Kecamatan Sidomukti sekitar 22,66 %.
Wilayah terpadat penduduknya di Salatiga ini juga tidak mengalami perubahan
dengan Sensus penduduk sepuluh tahun yang lalu, demikian juga untuk wilayah yang
paling sedikit kepadatan penduduknya.Wilayah tertinggi kepadatan penduduknya
yaitu Kecamatan Tingkir dengan kepadatan 3.827 jiwa/km², sedangkan yang terendah
yaitu Kecamatan Argomulyo dengan kepadatan 2.170 jiwa/km². Total untuk Kota
Salatiga kepadatan penduduknya berdasarkan hasil sensus kali ini yaitu 3.013
jiwa/kilometer perseginya meningkat dibandingkan dengan kondisi sepuluh tahun
yang lalu yaitu 2.667 jiwa tiap kilometer persegi.
Jumlah penduduk yang bertempat tinggal tidak tetap (tunawisma/ gelandangan)
di Salatiga yang didata pada malam hari tanggal 15 Mei 2010 (pendataan serentak
seluruh Indonesia bersamaan hanya satu malam ) tercatat sebanyak 24 orang terdiri
dari 15 orang laki‐laki dan 9 orang perempuan, terbanyak di Kecamatan Tingkir
sebanyak 15 orang. Jumlah ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan hasil
pendataan penduduk yang bertempat tinggal tidak tetap Sensus Penduduk tahun 2000
di Kota Salatiga terdapat 85 orang, sementara hasil pendataan tunawisma/
gelandangan pada Sensus Penduduk 1990 terdapat 60 orang.
36
Tabel 4.2
Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan Tahun 2010
No Pekerjaan Tahun 2010 No Pekerjaan Tahun 2010
1 Belum Bekerja 14.317 41 Imam Masjid 3
2 Mengurus RT 12.040 42 Pendeta 188
3 Pelajar/Mahasiswa 41.414 43 Pastur 7
4 Pensiunan 4.029 44 Wartawan 19
5 PNS 4.681 45 Ustad/Mubaligh 14
6 TNI 1.398 46 Juru masak 23
7 Polri 473 47 Promotor Acara 1
8 Perdagangan 753 48 Anggota BPK 5
9 Petani 2.921 49 Anggota MK 1
10 Peternak 41 50 Walikota 1
11 Nelayan Perikanan 8 51 Wakil Walikota 1
12 Industri 39 52 Anggota DPRD 1
13 Konstruksi 29 53 Anggota DPRD 17
14 Transportasi 98 54 Dosen 396
15 Karyawan swasta 23.116 55 Guru 4.797
16 karyawan BUMN 484 56 Pilot 5
17 Karyawan BUMD 142 57 Pengacara 23
18 Karyawan Honorer 330 58 Notaris 12
19 Buruh Harian 19.221 59 Arsitek 14
20 Buruh Tani 691 60 Akuntan 6
21 Buruh Nelayan 2 61 Konsultan 7
22 Buruh Peternakan 28 62 Dokter 112
23 Pembantu RT 231 63 Bidan 52
24 Tukang Cukur 13 64 Perawat 115
25 Tukang listrtik 15 65 Apoteker 12
26 Tukang Batu 252 66 Psikiater 4
27 Tukang kayu 78 67 Penyiar TV 1
28 Tukang sol 10 68 Penyiar Radio 1
29 Tukang jahit 270 70 Peneliti 13
30 Tukang Gigi 4 71 Sopir 825
31 Penata Rias 22 72 Pialang 3
32 Panata Busana 2 73 Paranormal 3
33 Penata Rambut 25 74 Pedagang 2.968
34 Mekanik 143 75 Perangkat Desa 12
35 Seniman 67 76 Kepala Desa 1
36 Tabib 8 77 Biarawati 23
37 Perancang Busana 3 79 Lainnya 40
Sumber: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, 2010. Diolah.
37
Tabel 4.3.
Kepadatan Penduduk per Kecamatan, Tahun 2010
Kecamatan Penduduk
Laki-laki Perempuan Laki-laki +
Perempuan
Sexratio
1 2 3 4 5
Argomulyo 19.902 20.304 40.206 98,02
Tingkir 19.891 20.482 40.373 97,11
Sidomukti 18.839 19.925 38.764 94,55
Sidorejo 25.089 26.635 51.724 94,20
Kota Salatiga 83.721 87.346 171.067 95,85
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2010, diolah.
4.1.2. Kondisi Sosial Budaya
Salatiga merupakan kota yang beragam baik dari segi kebudayaan maupun
agama.Dalam konteks keragaman, yang membuat kota ini menjadi unik adalah
toleransi beragama yang sangat baik ditunjukan dalam kehidupan sehari-hari. Ada
enam agama resmi yang diakui oleh Indonesia dalam Undang-undang yang hidup
berdampingan di kota Salatiga, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong
Hu Cu. Meski terjadi keragaman kepercayaan, akan tetapi kehidupan beragama di
Salatiga sejauh ini belum pernah terdengar persoalan konflik antar agama.
Masyarakatnya hidup berdampingan tanpa mempersoalkan kepercayaan masing-
masing. Pernyataan tersebut berdasarkan pada data-data yang dimiliki oleh
pemerintah Kota Salatiga dan Kepolisian Salatiga yang menunjukan bahwa belum
pernah terjadi konflik antar agama di Kota Salatiga.
Toleransi ini ditunjukan dengan berbaurnya masyarakat yang berlainan agama
dalam setiap kegiatan yang dilakukan baik oleh masyarakat Salatiga maupun melalui
Pemerintah Daerah Kota Salatiga. Pada jumlah penganut, agama Islam menduduki
peringkat pertama dalam kategori jumlah penduduk berdasarkan agama selanjutnya
diikuti oleh pemeluk Kristen Protestant, Kristen Katholik,Budha, Hindu dan Kong Hu
Cu.
38
Kondisi sosial budaya masyarakat Salatiga sangatlah beragam, selain
keragaman agama, juga terdapat keragaman suku, bahasa, dan budaya. Hal tersebut
semakin jelas dengan keberadaan UKSW yang para mahasiswanya beragam dari
suku, ras, bahasa dan agama. Kondisi tersebut tentunya tidak tersebar diseluruh kota
Salatiga, karena sebagian besar keragaman tersebut hanya berada di kecamatan
Sidorejo dimana lokasi UKSW berada. Seperti yang telah di paparkan dalam latar
belakang, bahwa khusus di wilayah Sidorejo terdapat enam agama dan 19 etnis.
Berdasarkan pada tabel di atas, dengan kondisi sosial yang begitu beragam dan
berdasarkan pada catatan kepolisian dan dari hasil penelitian lapangan, terdapat
beberapa konflik yang disebabkan oleh keragaman budaya tersebut. Melihat pada
catatan pemerintah Kota Salatiga dan Kepolisian Kota Salatiga, konflik tersebut
terjadi bukanlah disebabkan oleh masyarakat asli Salatiga, melainkan konflik tersebut
terjadi dilakukan oleh paguyuban etnis mahasiswa UKSW. Berdasarkan pada data
lapangan, konflik yang terjadi yang dilakukan oleh paguyuban etnis mahasiswa
UKSW sebagian besar disebabkan oleh karena perbedaan latar belakang budaya,
suku, ras, karakter dan faktor yang lain. Meski pernah terjadi konflik antar paguyuban
etnis mahasiswa UKSW, dibalik semua itu juga terdapat keakraban antara kelompok
satu dengan kelompok yang lain, sehingga kita dapat mempelajari keragaman budaya
yang ada.
4.2 Sekilas Tentang Universitas Kristen Satya Wacana
Sebelum berganti nama pada tahun 1959, Universitas Kristen Satya Wacana
(UKSW) bernama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Kristen Indonesia (PTPGKI),
yang berdiri tahun 1956. “Satya Wacana” memiliki arti, “Setia Kepada Firman
Tuhan”. Setelah tahun 1959, berada di bawah naungan Yayasan Perguruan Tinggi
Kristen SatyaWacana (YPTKSW) dan didukung oleh 18 Sinode Gereja di pulau
Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, Bali, Nusa Tenggara Timur dan
Nusa Tenggara Barat, PTPGKI resmi berubah nama menjadi UKSW.3 Saat ini
UKSW telah menjadi besar, dan telah memiliki 14 Fakultas, program pasca sarjana
39
serta program doktoral. Jumlah mahasiswa UKSW yang tercatat resmi oleh biro
kemahasiswaan sejumlah 10956 mahasiswa baik progam S1, S2 maupun S3.
4.2.1 Visi-Misi Universitas Kristen Satya Wacana
Dalam Mukadimah, Statuta UKSW (2000) terumuskan dua hal pokok sebagai
tugas UKSW, diantaranya: Pertama, terus menerjemahkan kesaksian Kitab Suci
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam pelayanan jenis dan jenjang pendidikan
tinggi seperti yang diinginkan oleh beberapa cendekiawan Kristen yang
memprakarsai pendiriannya melalui Gereja-Gereja. Kedua, terus membantu
Pemerintah Indonesia dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa dengan
memberikan hak yang sama kepada semua orang yang memenuhi syarat untuk
menikmati pendidikan akademik dan pendidikan profesional agar dapat
mengembangkan dirinya sebagai manusia yang mandiri dalam masyarakat.
Dengan demikian, UKSW didirikan sebagai perwujudan panggilan Gereja-
Gereja di Indonesia untuk melanjutkan dan memberikan kesaksian tentang
pemeliharaan dan pembaharuan Allah terhadap ciptaan-Nya melalui kegiatan
persekutuan (koinonia), pelayanan (diakonia), kesaksian/pemberitaan (kerugma), dan
pengajaran (didache). Prinsip-prinsip pelaksanaan panggilan tersebut adalah: kasih
(agape), keadilan (dikaiosune) dan kebenaran (alethea) (Pasal 4. Statuta UKSW,
2000)4.
Berdasarkan tugas penggilannya itu, dirumuskan dasar-dasar UKSW
sebagaimana termaktub dalam pasal 5 Statuta UKSW tahun 2000, yakni:
1. Souvereinitas (Kedaulatan) Tuhan: yang berarti “Takut akan Tuhan adalah
permulaan pengetahuan” (Amsal 1:7a). pengakuan terhadap Allah sebagai
khalik yang berdaulat di atas langit dan bumi, berarti pula bahwa semua
kedaulatan yang melekat pada jabatan duniawi merupakan pinjaman,
sehingga tiap pendukung dan pemegang kekuasaan di bumi (baik dalam
4Penjelasan lebih lengkap mengenai Sejarah UKSW dapat dibaca dalam Pasal 3 Statuta
UKSW tahun 2000.
40
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun pemerintahan dan
kemiliteran, kemasyarakatan ataupun keagamaan) bertanggung jawab
kepada Tuhan yang berkedaulatan mutlak.
2. Normativitas: yang berarti pengakuan bahwa Tuhan yang berdaulat itu juga
Pengundang-undang tertinggi, yang menitahkan hukum/normaNya kepada
seluruh makhluk dalam lapangan dan hubungan manapun juga.
3. Aktualitas: yang mendorong untuk selalu berorientasi pada keadaan
masyarakat dan negara yang senantiasa berubah, dan pada tantangan sosial
kultural dari negara yang sedang membangun. Di sini bertemu asas
aktualitas persoalan nasional dan kebudayaan bangsa yang berdasarkan
Pancasila.
4. Sosiabilitas: yang menuntut saling keterbukaan dalam Sivitas Akademika
dan keterbukaan Universitas terhadap masyarakat dan negara Indonesia
yang hendak dilayani. Dasar ini mengharapkan supaya insan akademik
jangan menjadi penonton yang pasif dalam proses perubahan yang cepat
dan kompleks yang berwujud pembangunan, tetapi menjadi pelaku yang
kritis-prinsipial dan kreatif-realistis dalam mengabdikan bakat dan
tenaganya sebagai wujud pelayanan kepada sesama manusia, masyarakat,
bangsa, negara, dan dunia.
Dengan dasar Terang Kasih Allah itulah UKSW terus mengupayakan
perwujudan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara yang baik, makmur dan
sejahtera lewat. Upaya untuk mencapai hal itu dirumuskan dalam Visi UKSW seperti
terurai dalam Pasal 7 Statuta UKSW tahun 2000, diantaranya:
1. Menjadi Universitas Scientiarum, untuk pembentukan persekutuan
pengetahuan tingkat tinggi, yang terikat kepada pengajaran kebenaran
(alethea) berdasarkan pada realisme Alkitabiah.
41
2. Menjadi Universitas Magistrorum et scholarium untuk pembentukan
minoritas yang berdaya cipta (creative minority) bagi pembangunan dan
pembaharuan masyarakat dan negara Indonesia.
3. Menjadi pembina kepemimpinan untuk berbagai jabatan dalam
masyarakat (termasuk gereja) yang sedang membangun.
4. Menjadi radar dalam situasi perubahan kebudayaan, politik, moral dan
rohaniah, yang mensinyalir, mencatat, dan mengikuti perubahan-
perubahan itu guna menjadikannya objek atau sasaran pembahasan dan
penelitian.
5. Menjadi pelayan dan lembaga pendidikan pelayanan (diakonia),
sepanjang masa mencakup kritik yang konstruktif serta informatif
kepada gereja dan masyarakat terhadap keadaan masyarakat di mana
masih terdapat kemiskinan, ketidakadilan, ketidakbenaran, dan
ketidakdamaian.
Sejak awal memang telah diakui bahwa tugas berat itu tidak mungkin terwujud
jika tidak diupayakan pendistribusian fungsi dan peran. Karena itu, hadirnya
Lembaga Kemahasiswaan juga dimaksudkan dalam upaya pencapaian Visi Misi
Universitas. Peran Lembaga Kemahasiswaan adalah turut serta dalam menunjang
profil lulusan UKSW. Dalam terminologi seperti ini, maka persekutuan keluarga
UKSW sebagai “Tubuh Kristus” itu menjadi bermakna. Bahwa filosofi Kristiani yang
menjadi dasarnya telah menempatkan manusia secara sama dihadapan Tuhan
(Imagodei). Notohamijojo (dalam Supardan dan Gultom, 1991) mengatakan bahwa
“idealisme UKSW ada dalam persekutuan semua komponen di UKSW sebagai
Tubuh Kristus”.
Atas dasar pengakuan terhadap semua komponen (subsistem) di UKSW sebagai
persekutuan Tubuh Kristus itulah, maka pada tahun 1984 ditetapkan Skenario Pola
Pembinaan Mahasiswa (SPPM) UKSW yang mengatur penjabaran visi dan misi
UKSW kedalam kegiatan kemahasiswaan yang menghasilkan profil lulusan sesuai
42
dengan ideal UKSW sebagai “Tinggi Iman, Tinggi Ilmu, Tinggi Pengabdian”. Hal ini
terwujud dalam upaya menjadikan UKSW sebagai sebuah keluarga yang creative
minority.
Konsep creative minority dipinjam Notohamidjojo dari buku A Study of
History, buah tangan Arnold J. Toynbee yang bermakna “tumbuh, berkembang dan
hancurnya peradaban ditentukan oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai
pengaruh luar biasa. Karena pengaruh inilah peradaban didukung massa kemudian
berkembang. Sebaliknya peradaban itu dapat hancur bahkan musnah jika kelompok
yang berpengaruh itu pecah. Perpecahan itu dapat menimbulkan konflik yang
merusak semua yang telah dibangun. Kelompok yang berpengaruh itulah yang
disebutnya creative minority. Inilah cita-cita yang dirumuskan oleh bapak
Notohamidjojo oleh UKSW dan lulusannya (Supardan dan Gultom, 1991).
Berdasarkan konsep creative minority inilah SPPM dirumuskan oleh bapak
John Titaley ketika beliau menjabat sebagai Pembantu Rektor III UKSW yang
membawahi urusan kemahasiswaan dan mulai diberlakukan pada tahun 1984. Jika
memperhatikan rumusan SPPM maka setidaknya terdapat dua kompetensi dasar yang
harus dimiliki oleh mahasiswa, yakni humanistik skill dan profesional skill.
Humanistik Skill dimaksudkan sebagai kemampuan menghadirkan diri secara
manusiawi dalam kehidupan bermasyarakat yang turut bertanggung jawab bagi
kelangsungan nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan,sedangkan Profesional
Skill dimaksudkan sebagai kemampuan melaksanakan profesinya dengan berbekal
ilmu pengetahuan akademik yang memadai dalam rangka mengaktualisasikan diri
dalam masyarakat.5Untuk lebih jelas lihat gambar di bawah ini:
5Hasil diskusi dengan beberapa senior LK diantaranya, Prian Antrisa, Yani Rahardja, Elly
Kudubun, dan Krisna Djaya Darumurti, 25 Januari 2012 di Kafetaria UKSW.
43
Bagan 4.1.
Skenario Tentang Profil Lulusan UKSW
Sumber: Data Sekunder dari Kantor BPMU 2010
4.2.2 Fungsi dan Peran Lembaga Kemahasiswaan
Mahasiswa sebagai sasaran dan salah satu pelaku proses pendidikan perlu untuk
dipersiapkan secara baik oleh Perguruan Tinggi yang menaunginya. Mengingat peran
mahasiswa yang cukup strategis baik dalam lingkungan internal kampus maupun
dalam kehidupan masyarakat. Gagasan ini dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk
tindakan melalui suatu lembaga yang dapat menampung aspirasi dan mengkoordinir
kegiatan mahasiswa secara utuh dan bertanggungjawab demi tercapainya tujuan-
tujuan dari suatu pendidikan tinggi.
Lembaga Kemahasiswaan (LK) di UKSW dipahami sebagai wadah keluarga
mahasiswa untuk pembinaan persaudaraan dan sikap intelektual mahasiswa serta
satu-satunya wadah menyalurkan aspirasi yang bertanggung jawab. Dalam rangka
Kadar Sosial
Budaya
Profesional
Skill
Humanistik
Skill
Tujua
n
Fungsi
Asas
Dasar
Penataan Peran
Lembaga
Kemahasiswaan
Peningkatan Peran
Pelayanan
Kerohanian
Kampus
Pengadaan Sarana
Kesejahteraan
Mahasiswa
Pengembangan
Kepribadian
Kristiani
Pengembangan
Penalaran
Lulusan
yg
Bercirikan
Creative
Minority
Integrasi Peran
Asrama Mahasiswa
Kadar
Lingkungan
Kadar
Kewarganegaraan
Kadar Religius
Kadar Solidaritas
sosial
Kadar Keilmuan
Kadar Menejerial
44
menjalankan fungsi dan peran diatas, tujuan-tujuan LK UKSW dirumuskan dalam
Ketentuan Umum Keluarga Mahasiswa (KUKM, 1997: 1)6, sebagai berikut:
1. Menjadi wahana mahasiswa berperan serta dalam pencapaian tujuan
perguruan tinggi pada umumnya dan UKSW pada khususnya
2. Menjadi wahana pembinaan persekutuan dan persaudaraan bagi kesejahteraan
mahasiswa
3. Menjadi wahana pembentukan calon-calon pemimpin yang religius, kritis-
analitis, kreatif-inovatif, obyektif, adaptif, dinamis, terampil dan dedikatif
4. Menjadi saluran aspirasi konstruktif dan bertanggungjawab yang hidup
dikalangan mahasiswa.
Indikasi yang terbaca dari tujuan LK tersebut adalah bahwa keberadaan LK
turut serta dalam menunjang profil lulusan UKSW yang telah terumuskan dalam 7
(tujuh) kadar SPPM di atas. Untuk mencapi rofil lulusan yang bercirikan creative
minority dengan 7 kadar tersebut, struktur program yang dirumuskan dan ditetapkan
LK harus merujuk pada ketujuh kadar SPPM. Penetapan kadar sebagai pedoman
penyusunan struktur program setiap periode kepengurusan LK dilakukan dalam
bentuk skala prioritas yang ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Program
Lembaga Kemahasiswaan (GBHPLK) UKSW oleh Badan Perwakilan Mahasiswa
(BPM) dalam setiap awal periode kepengurusan LK. Berdasarkan GBHPLK itu,
SMU dan SEMA menyusun program kerja tahunan (periode) mereka yang kemudian
ditetapkan dalam Rapat Koordinasi (Rakor), dengan Ketetapan BPMU. Rakor adalah
forum pengambilan keputusan tertinggi di Lembaga Kemahasiswaan.7
Mengingat fungsi dan peran LK UKSW yang cukup strategis baik dalam
lingkungan internal kampus maupun dalam kehidupan masyarakat. Maka, bila fungsi
6 Lihat juga penjelasan tentang Lembaga Kemahasiswaan dan Mahasiswa dalam Statuta
UKSW 2000 Pasal 45 dan KUKM 1997 Pasal 6 dan Pasal 10. 7 Wawancara tanggal 15Februari 2012dengan Giner Masalebu(mantan Ketua BPMU) dan
Danis Gitasari (mantan Sekum BPMU); dan tanggal 18 Februari 2012 dengan Victor Ernis Sitorus
(mantan Ketua SMU)
45
dan peran tersebut dicermati lebih dalam, tersirat adanya lembaga yang berfungsi
sebagai legislatif dan eksekutif, yang bertujuan menjalankan fungsi dan peran demi
tercapainya tujuan bersama. Gagasan ini digambarkan lebih lanjut dalam bentuk
Penataan Peran Lembaga Kemahasiswaan:
Bagan 4.2
Skenario Tentang Penataan Peran LK
Sumber: Data Sekunder dari Kantor BPMU 2010
4.2.3 Potret Etnis Mahasiswa di UKSW
Seperti yang telah dipaparkan pada gambaran di atas, bahwa di lingkungan
UKSW terdapat etnis yang sangat beragam. Mungkin itu juga alasan kenapa UKSW
biasa disebut dengan “Indonesia mini”. Faktanya mungkin karena dalam proses
pendiriannya UKSW didukung oleh sebanyak 18 sinode gereja pendukung yang
terletak di berbagai tempat di Indonesia, itu sebabnya pula potret mahasiswa UKSW
menjadi beragam. Rektor UKSW John A. Titaley dalam kesempatan pidato saat
penerimaan mahasiswa baru tahun 2010/2011 yang juga dimuat dalam laman
www.uksw.edu mengatakan kepada mahasiswa baru demikian, “Selamat datang di
UKSW, kampus Indonesia mini,” pernyataan tersebut tentunya didasarkan pada
keragaman suku, bahasa, budaya dan agama yang ada di UKSW.
Seperti yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, bahwa di UKSW terdapat
mahasiswa yang memiliki latar belakang etnis berbeda-beda. Berdasarkan pada data
Wawasan
Almamat
er
Dosen
Pegawai
Mahasis
wa
Alumni
Penataan Peran
Lembaga
Kemahasiswaan
Perlu
Penyempurnaan
KUKM Penyemprnaan
Struktur Program
LK
Penyempurnaan
Struktur Organisasi
LK
Program LK yang
Integratif dengan
Program Universitas
dan Fakultas
46
Biro Kemahasiswaan UKSW, terdapat 20 etnis yang berada di UKSW. Hal tersebut
tentunya menunjukan keragaman yang ada di UKSW. Namun, hal yang mungkin
perlu dipahami bersama mengenai kondisi etnis mahasiswa di UKSW yang sangat
beragam adalah keseringannya konflik antar paguyuban etnis mahasiswa. Selain itu,
berdasarkan pada pengamatan penulis selama berkuliah di UKSW sejak tahun 2007,
kebiasaan yang dilakukan oleh mahasiswa UKSW adalah bergerombol sesuai dengan
etnis atau sesuai dengan daerah asal. Bahkan, menurut penelitian sebelumnya juga
dikatakan bahwa kebiasaan mahasiswa UKSW bergerombol sesuai dengan etnis
mereka masing-masing juga tidak menutup kemungkinan untuk menjadi penyebab
terjadinya konflik antar paguyuban etnis mahasiswa. Itu sebabnya pada latar belakang
di atas dikatakan bahwa keberagaman yang sangat multikultural hendaknya harus
termanajemen dengan baik, karena jika tidak maka tidak luput untuk terjadinya
konflik antar kelompok.
Tabel 4.4
Nama-nama Etnis dan Jumlahnya yang ada di UKSW
No Etnis Jumlah No Etnis Jumlah
1 Papua 164 11 Dayak 471
2 Jawa (Jateng,
Jatim, Jabar)
6954 12 Ambon 427
3 Sumba 296 13 Ternate 34
4 Lampung 47 14 Timor (Rete,
Alor. Sabu,
Flores)
105
5 Minahasa 217 15 Bali 37
6 Toraja 218 16 Sangir 8
7 TiongHoa 1484 17 Poso 97
8 Minangkabau 6 18 Batak (Toba,
Simalungun,
Karo)
311
9 Aceh 1 19 Timor Leste
(LN)
61
10 Nias 16 20 Bugis 2
Total keseluruhan 10956
Sumber: Data Biro Kemahasiswaan Januari 2012, diolah.
47
Jika melihat pada tabel di atas, terdapat 20 etnis besar yang berada di UKSW,
dan juga masih ada beberapa anak-anak suku yang lainnya. Berdasarkan pada data di
lapangan yang diperoleh, dari setiap masing-masing etnis mahasiswa di atas, hampir
semuanya memiliki paguyuban yang mewadahi anggotanya etnis seperti yang ada
pada tabel berikut:
Tabel 4.5
Etnis dan nama organisasi etnis
NO ETNIS ORGANISASI NO ETNIS ORGANISASI
1 Papua HIMPAR 11 Minangkabau AKC
2 Lampung KEMPLANG 12 Batak IGMK, KS
3 Timor
(Kupang,
Flores, Sabu,
Alor, Rote)
IKMASTI 13 Nias IKAONI
4 Sumba PERWASUS 14 Toraja PKMST
5 Kalimantan IKMAL,
PERKASA
15 Tiong Hoa
6 Ambon HIPMMA 16 Jawa THE JAVA
7 Poso IKMAPOS 17 Bali PKMBS
8 Ternate KEMAMORA 18 Timor Leste
9 Minahasa PINAESAAN 19 Aceh
10 Sangir SANGIHE 20 Bugis
Selain nampak dalam kehidupan sehari-hari, keragaman budaya yang ada di
UKSW juga nampak dalam kegiatan Ekspo Budaya yang diselenggarakan oleh
Lembaga Kemahasiswaa UKSW pada setiap tahun sekali. Pada kegiatan Ekspo
Budaya tersebut akan nampak jelas keragaman yang dimiliki oleh UKSW, karena
setiap paguyuban etnis mahasiswa diberikan kesempatan untuk menampilkan rumah
adat, tarian, dan kesenian yang dimiliki oleh masing masing etnis. Menurut
keterangan Viktor Sitorus mantan ketua Senat Mahasiswa UKSW, kegiatan Ekspo
Budaya merupakan salah satu upaya LK dalam meminimalisir terjadinya konflik dan
bertujuan agar setiap mahasiswa dapat memahami keragaman yang ada, namun
48
berdasarkan pada pengamatan penulis, terkadang diakhir acara Ekspo Budaya justru
muncul konflik antar paguyuban etnis mahasiswa.
4.2.4 Fenomena Konflik Etnis Mahasiswa di UKSW
Melihat pada data jumlah etnis mahasiswa yang ada di UKSW, tentunya kita
dapat berpendapat bahwa kehidupan yang ada di UKSW sangatlah
majemuk/multikultural. Itu alasannya di atas dikatakan bahwa kemajemukan tersebut
sangat butuh pengelolaan, karena jika tidak, yang terjadi adalah konflik antar
kelompok. Berdasarkan pada data yang diperoleh dari kepolisian resort kota Salatiga,
terdapat beberapa konflik yang dilakukan oleh kelompok etnis mahasiswa dari tahun
2008-2011 yang diantaranya:
Tabel 4.6
Data Konflik Etnis Mahasiswa Dalam Empat Tahun Terakhir
Tahun Konflik
2008 Ambon VS Sumba
2009 Ambon VS Sumba
2009 Ambon VS Kupang
2010 Ambon VS Jawa
2010 Ambon VS Sumba (personal)
2011 Ambon VS warga Kemiri
2011 Sumba VS warga Margosari
2011 Ternate VS Ternate
Sumber: Data Kepolisian Resort Kota Salatiga Januari 2012, diolah.
Melihat data yang diperoleh dari kepolisian tersebut, dalam setiap tahunnya
terjadi konflik antar kelompok etnis mahasiswa yang proses penyelesaiannya
menempuh jalur hukum. Bahkan, berdasarkan pada data lapangan yang diperoleh
juga terjadi konflik antar etnis yang tidak sampai jalur hukum, itu artinya, tingkat
konflik antar paguyuban mahasiswa UKSW cukup tinggi. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya konflik antar paguyuban etnis mahasiswa tersebut, seperti
dikarenakan minuman beralkohol, pacar, pandangan mata, baku senggol, dan
sebagian besar konflik yang terjadi kebanyakan berawal dari persoalan pribadi
merambah menjadi persoalan paguyuban. Seperti yang diungkapkan oleh Rusdiani
49
Umbu Riada, pengurus dari paguyuban etnis mahasiswa Sumba yang mengatakan
bahwa,
“Yang buat konflik sebetulnya bukan etnis, tapi personal. Tapi
pada akhirnya membawa nama etnis. Setahu saya yang pernah
konflik yang sampai tawuran itu ada 3 kali, saya lupa tahunnya.
Saya kurang tahu, tapi yang saya tahu seperti kalo pas main bola
terus kena sikut. Yang kedua terkadang masalah individu seperti
pacar. Kadang juga gara-gara muka tidak baku enak dan pada
akhirnya berlanjut berkelahi. Kalau minuman, yang saya tahu,
kalo pas sudah mabok kita mulai ngomong konflik yang sudah
terjadi. Nah jadi pada akhirnya membuat situasi jadi panas”8.
Latar belakang budaya yang berbeda-beda juga bisa menjadi salah satu faktor
terjadinya konflik, karena saling tidak bisa menerima perbedaan budaya, dan
kurangnya toleransi maka dapat memicu terjadinya konflik. Kurangnya kesadaran
akan kepelbagaian, yang ada di UKSW cenderung menimbulkan konflik, entah itu
konflik pribadi ataupun konflik kelompok. Kebiasaan mengkonsumsi minuman keras
dan tingkat emosi yang tinggi juga merupakan faktor pendukung terjadinya konflik
antar mahasiswa. Seperti yang diungkapkan oleh Richard Mayopu ketua etnis
mahasiswa Timor,
“Jadi waktu ada syukuran wisuda pada bulan Juli, Nah yang
namanya orang luar jawa itu kan kalau syukuran pasti identik
dengan minum-minuman keras dan dugem. Nah ada salah seorang
entah itu dari etnis Kupang atau Ambon itu ngomong kata-kata
kasar ke etnis yang lain. Nah, kenapa individu yang ngomong
kasar tadi tidak diketahui asal etnisnya, karena wajah, gaya
bicara, bentuk tubuh antara etnis Kupang dengan Ambon itu
sama, serta situasi yang ramai pula maka jadi tidak jelas berbicara
apa. Dari situlah konflik dimulai. mungkin individu yang dikatai
tadi emosi hati masih dalam keadaan yang buruk atau dalam
keadaan tidak sadar akibat pengaruh minum-minuman keras tadi.
Sebelum terjadi konflik itu sebenarnya antara orang Kupang dan
Ambon itu sudah mempunyai pandangan tersendiri kepada etnis
lain. Seperti orang Kupang menganggap orang Ambon suka main
cewek dan orang Kupang tidak suka. Karena bagi mereka
8Wawancara dengan pengurus Sekretaris Persatuan Warga Sumba di Salatiga (PERWASUS)
periode 2011-2012, pada 6 Maret 2012 di Kafetaria-UKSW.
50
perempuan merupakan sebuah sosok yang mereka jaga baik-baik.
Sedangkan orang Ambon menganggap orang Kupang itu
eksklusif. Nah, lanjut ke konflik waktu syukuran wisuda
itu.Setelah syukuran selesai mereka melanjutkan konflik di
pemancingan Domas dan sempat terjadi baku hantam, antara
individu anak Ambon dengan individu anak Kupang.Namun pada
bulan november saat ada pertandingan Futsal, tepatnya pertanian
futsal. Terjadi konflik di polres Salatiga, kemudian dilerai dan
pada hari yang sama pula, malam harinya konflik dimulai
lagi.Letaknya di samping BBnet, Ambon ada yang hidungnya
patah. Setelah kejadian itu konflik tensi menurun. Selang 1 tahun,
waktu expo budaya. Dimana esensi expo yang hanya
mengenalkan budaya dari masing-masing daerah, tapi bagi
mereka expo budaya merupakan ajang gagah-gagahan dimana
kalau stan mereka dikunjungi banyak orang berarti dia yang
menang. Anak Kupang tikam anak Ambon, hampir meninggal.
Menurut Ardi expo tahun ini juga rentan konflik”9.
Jika melihat beberapa data yang diperoleh di lapangan, memang sebagian besar
konflik yang terjadi antar kelompok etnis mahasiswa sebenarnya bukan merupakan
masalah paguyuban etnis mahasiswa, melainkan bermula dari persoalan individu.
Seperti yang telah dikatakan oleh Kuman di atas, persoalan konflik antar kelompok
bukanlah bermula dari persoalan kelompok, melainkan persoalan pribadi. Kelompok
menjadi ikut campur karena sebagaian dari kelompok yang terlibat merasa bahwa
mereka berasal dari tempat yang sama, ada perasaan kekerabatan yang menyebabkan
persoalan individu tersebut menjadi persoalan kelompok. Seperti juga yang telah
dikatakan oleh IPDA Sulitiyono SH,
“Faktor pendorong terbesarnya adalah faktor kontrol emosi yang
tidak bisa. Emosi yang sangat tinggi, nanti kalo sudah emosi
mereka tidak mau menyelesaikan secara perorangan atau individu
namun kembali kepada kelompok. Kalau sudah timbul kelompok
akhirnya tidak bisa menyelesaikan sendiri lagi. Nah ini
masalahnya. Minuman keras hanya salah satunya, tetapi tidak
selalu itu. Baik itu futsal, ada sepak bola, ada kegiatan dies
natalis. Dies natalis itu kan kegiatan ceremonial, tapi akhirnya
timbul seperti itu, hanya karna istilahnya pandangan mata. Lha
9Wawancara dengan mantan ketua Etnis Kupang (Ikmasti) pada 3 Maret 2012 di halaman
FISKOM-UKSW.
51
akhirnya dipukul. Begitu dipukul, na ini akan mengadu
kekolompoknya. Nah semestinya harus disikapi, kalo ini masalah
perorangan ya kelompok jangan menyikapi”.