bab iv analisis putusan mahkamah agung ri no. 368...
TRANSCRIPT
50
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 K/AG/1995
A. Analisis Hukum Formil
Perkara tentang wasiat wajibah bagi ahli waris nonmuslim ini dalam
perjalanannya telah menempuh proses pengadilan dari tingkat pertama dan
tingkat banding. Dalam pengadilan tingkat pertama, tergugat menolak putusan
PA Jakarta Pusat yang menjatuhkan putusan bahwa anak nonmuslim tidak
termasuk sebagai ahli waris serta tidak berhak untuk mendapatkan bagian
apapun dari harta peninggalan orang tuanya yang beragama Islam, yaitu
putusan No. 377/Pdt.G/1993/PA-Jk, tanggal 4 Nopember 1993. Tergugat
menolak putusan ini, kemudian ia mengajukan banding kepada PTA Jakarta
dengan telah memenuhi prosedur sebagaimana mestinya.
Terhadap permohonan banding pembanding (tergugat asal), PTA
berpendapat bahwa sepanjang mengenai penolakan eksepsi turut tergugat II,
sepanjang obyek harta yang disengketakan, sepanjang ahli waris yang
dianggap sah, pertimbangan PA telah tepat. Akan tetapi, pertimbangan PA
mengenai siapa yang bisa memperoleh bagian dari harta peninggalan pewaris
muslim H. Sanusi dan Hj. Suyatmi, PTA tidak sependapat dengan pendapat
PA yang memutuskan bahwa anak nonmuslim tidak termasuk sebagai ahli
waris serta tidak berhak untuk mendapatkan bagian apapun dari harta
peninggalan orang tuanya yang beragama Islam. Menurut pendapat PTA, ahli
waris nonmuslim (turut tergugat II/ Sri Widyastuti) juga berhak memperoleh
bagian dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris muslim (alm. H.
51
Sanusi dan Hj. Suyatmi). Sehingga PTA perlu memberi pertimbangan sendiri.
Sehingga, PTA membatalkan putusan PA No. 377/Pdt.G/1993/PA-Jk.
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta menjatuhkan putusan ( yaitu putusan
no. 14/Pdt.G/ 1994/PTA.Jk, tanggal 25 Oktober 1994) bahwa seorang anak
nonmuslim bukan termasuk sebagai ahli waris. Akan tetapi ia tetap memiliki
hak untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan orang tuanya yang
muslim atas dasar Wasiat Wajibah sebesar ¾ bagian warisan seorang ahli
waris muslim. Putusan ini tidak diterima oleh penggugat maupun tergugat,
kemudian penggugat mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi ke MA.
Pemohon kasasi (penggugat asal) mengajukan keberatan-keberatan dalam
memori kasasi, yaitu bahwa PTA telah salah menerapkan hukum karena
memberikan bagian kepada ahli waris nonmuslim dari harta peninggalan
pewaris muslim yang tidak ada ketentuannya dalam UU serta bertentangan
dengan Al Qur’an dan Hadits. Hal mana keberatan-keberatan ini tidak dapat
dibenarkan oleh MA karena PTA Jakarta tidak salah menerapkan hukum. Lagi
pula hal ini mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan
tentang suatu kenyataan yang tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan
tingkat kasasi. Sehingga MA sependapat dengan putusan PTA Jakarta yang
memberikan bagian kepada anak nonmuslim dari harta peninggalan orang
tuanya yang beragama Islam atas dasar Wasiat Wajibah. Akan tetapi mengenai
besar bagian Wasiat Wajibah tersebut, MA tidak sependapat dengan PTA
yang memutuskan bahwa besar bagian Wasiat Wajibah tersebut adalah ¾
besar bagian seorang ahli waris muslim. Menurut pendapat MA, besar bagian
52
Wasiat Wajibah tersebut bukan ¾ besar bagian seorang ahli waris, melainkan
sebesar bagian seorang ahli waris. Berdasar atas pertimbangan tersebut, MA
menjatuhkan putusan bahwa besar bagian Wasiat Wajibah untuk ahli waris
nonmuslim (turut tergugat II/ Sri Widyastuti) adalah sama dengan besar
bagian ahli waris.
Perjalanan yang ditempuh dalam perkara tentang pembagian harta
peninggalan ahli waris muslim dan nonmuslim dengan No. Reg. 368
K/AG/1995 dalam proses kasasi telah memenuhi prosedur kasasi sebagaimana
ketentuan dalam UU. Yaitu bahwa :
a. Kasasi diajukan oleh pihak yang berhak mengajukan kasasi. Dalam hal ini
kasasi diajukan oleh penggugat, tergugat, turut tergugat I/ terbanding
dengan perantara kuasa hukumnya, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal
26 Mei 1995. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 44 ayat (1) UU
no. 5 Tahun 2004 yaitu bahwa:
Pemeriksaan kasasi hanya dapat diajukan oleh pihak yang berperkara atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
b. Kasasi diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi yang diperbolehkan.
Dalam hal ini kasasi diajukan pada tanggal 29 Mei 1995, yaitu hari ke-
sepuluh sesudah putusan diberitahukan kepada pihak-pihak yang
bersangkutan. Pengajuan kasasi ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 46
ayat (1) UU no. 5 tahun 2004 yaitu :
Pemeriksaan kasasi hanya dapat diajukan dalam masa tenggang waktu kasasi, yaitu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan diberitahukan kepada yang bersangkutan (ayat 1);
53
c. Putusan yang dimintakan kasasi adalah putusan PTA yang menurut hukum
dapat dimintakan kasasi. Dalam hal ini putusan PTA tersebut merupakan
putusan yang diberikan pada tingkat terakhir dari pengadilan, yang menurut
hukum dapat dimintakan kasasi. Dan kasasi tersebut hanya diajukan satu
kali. Hal mana sesuai dengan ketentuan pasal 43 UU no. 5 Tahun 2004 :
Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Permohonan kasasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali.
d. Menyampaikan memori kasasi. Dalam hal ini, memori kasasi yang memuat
alasan-alasannya ini diterima di kepaniteraan PA pada tanggal 7 Juni 1995.
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 47 ayat (1) UU no. 5 Tahun
2004 :
Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi yang memuat alasan-alasannya.
e. Menghadap di kepaniteraan PA yang bersangkutan. Dalam hal ini, kasasi
disampaikan secara lisan pada tanggal 29 Mei 1995 sebagaimana ternyata
dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP.
Berdasarkan keadaan tersebut, dapat dikatakan bahwa kasasi telah
memenuhi prosedur sebagaimana mestinya, sehingga permohonan kasasi
formil dapat diterima.
Dalam putusan disebutkan bahwa :
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya yang telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama diajukan
54
dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan undang-undang, maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formil dapat diterima;1 Pernyataan di atas adalah putusan yang menunjukkan bahwa perkara ini
telah berjalan sebagaimana prosedur yang ditentukan oleh UU. Walaupun
dalam amar putusan tidak tercatat mengenai langkah formil yang dilakukan,
perkara ini telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Diterimanya permohonan kasasi ini telah sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan, karena hukum acara yang ditempuh telah sesuai.
Adapun mengenai tidak diterimanya keberatan-keberatan yang diajukan, hal
ini karena pengadilan sebelumnya tidak melakukan kesalahan sebagaimana
dalam pasal 30 ayat (1) UU no 5 tahun 2004. Sehingga hal ini sesuai dengan
ketentuan dalam pasal tersebut :
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dalam semua lingkungan peradilan karena : a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Selain itu, dalam pemeriksaan kasasi MA tidak terikat pada alasan yang
diajukan oleh pemohon dan dapat menggunakan alasan-alasan hukum yang
lain. Dan dalam hal ini MA tidak menerima alasan dari pemohon kasasi. Hal
ini sesuai dengan pasal 52 UU no. 5 Tahun 2004 :
Dalam mengambil putusan, Mahkamah Agung tidak terikat pada alasan yang diajukan oleh pemohon kasasi dan dapat memakai alasan-alasan hukum lain.
1 Putusan MA No. 368 K/AG/1995
55
Dalam pemeriksaan kasasi perkara no. 368 K/AG/1995 ini, MA
memeriksa surat-surat saja dan tidak menggunakan kesaksian para pihak
ataupun saksi-saksi. Hal ini telah sesuai dengan pasal 50 ayat (1) UU no. 5
Tahun 2004 :
Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan surat-surat dan hanya jika dipandang perlu Mahkamah Agung mendengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan pengadilan tingkat pertama atau pengadilan tingkat banding yang memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau para saksi. Setelah pemeriksaan selesai, tahapan terakhir dari proses ini adalah
penyampaian putusan. Putusan ini merupakan hasil dari rapat
permusyawaratan MA yang dilakukan oleh Drs. H. Taufik, SH. selaku ketua
sidang, dan Drs. H. Muhaimin, SH. serta H. Chabib Syarbini, SH. sebagai
hakim-hakim anggota. Hakim-hakim tersebut tidak memiliki hubungan darah
dengan para pihak. Hal ini telah memenuhi ketentuan dalam pasal 41 UU no.
5 tahun 2004, yaitu bahwa jika seorang hakim mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan (sekalipun telah bercerai) dengan para pihak,
maka hakim tersebut wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan.
Putusan tersebut disampaikan dalam sidang terbuka oleh ketua sidang
tersebut, dengan dihadiri oleh majlis hakim dan panitera pengganti, dengan
tidak dihadiri oleh kedua belah pihak. Hal ini telah sesuai dengan pasal 40
UU no. 5 Tahun 2004 :
1. Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (orang) hakim.
2. Putusan majlis hakim diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
56
B. Analisis Hukum Materiil
A. Mukti Artho dalam Mencari Keadilan mengatakan bahwa proses
litigasi itu harus memenuhi syarat yuridis. Adapun syarat yuridis tersebut
sekurang-kurangnya telah memenuhi 3 (tiga) faktor, yaitu mempunyai dasar
hukum; memberikan kepastian hukum; dan memberi perlindungan hukum.
Yang dimaksud sebagai dasar hukum di sini adalah dasar hukum formil
maupun materiil. Dasar hukum formil mengandung pengertian bahwa hakim
dalam memeriksa perkara itu harus mengikuti hukum acara yang berlaku.
Sedangkan dasar hukum materiil mengandung pengertian bahwa sebuah
putusan hakim harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, pasal-
pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum
tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.2 Hal ini dituangkan dalam
pasal 25 ayat (1) UU no. 4 Tahun 2004 :
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Kriteria sebagaimana di atas dilakukan agar produk hukum dari suatu
proses litigasi (putusan atau penetapan pengadilan) mampu menyentuh
keadaan ideal. Artinya bahwa putusan tersebut mampu melihat dan
menyelesaikan perkara secara holistik, yakni secara bulat dan utuh sebagai
suatu totalitas, baik secara kwantitatif, kwalitatif maupun komplitatif dari
aspek teoritis maupun praktis. Secara teoritis berarti putusan tersebut dapat
2 A.Mukti Arto, Mencari Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2001,.hlm.
109-110
57
dipertangungjawabkan. Sedangkan secara praktis putusan tersebut telah
mencapai sasaran.3
Mengacu pada ke tiga komponen syarat yuridis di atas, putusan MA no.
368 K/AG/1995 telah memenuhi ke tiganya. Mengenai dasar hukum yang
dijadikan pertimbangan majlis hakim MA dalam putusan memberian hak
Wasiat Wajibah dalam tersebut adalah pendapat majlis hakim bahwa bagian
Wasiat Wajibah untuk ahli waris nonmuslim itu seharusnya sama dengan
bagian bagian warisan anak perempuan. Adapun mengenai alasan mengapa
majlis hakim berpendapat demikian, hal ini tidak disampaikan.
Pertimbangan hukum ini membuka kemungkinan bagi khalayak yang
membaca putusan ini bertanya-tanya tentang dalil yang digunakan. Dalam
konteks ini adalah dasar hukum yang digunakan dalam menjatuhkan putusan
memberikan hak Wasiat Wajibah kepada ahli waris nonmuslim untuk
mendapatkan bagian dari harta peninggalan pewaris muslim sebesar bagian
ahli waris muslim. Karena sejauh ini ahli waris nonmuslim dalam hubungan
kewarisan dengan pewaris muslim itu tidak memperoleh bagian sama sekali,
baik bagian warisan ataupun bagian wasiat. Karena KHI, sebagai hukum
terapan di lingkungan Peradilan Agama tidak mengenal Wasiat Wajibah bagi
ahli waris nonmuslim. Wasiat Wajibah yang ditentukan dalam KHI adalah
hanya kepada anak angkat dan orang tua angkat saja. Sementara ahli waris
nonmuslim tidak mendapatkan bagian apapun dari harta peninggalan pewaris
muslim. Selain itu, jika ditinjau dari hukum Islam (fiqh) yang juga merupakan
3 Ibid., hlm. 99.
58
sumber hukum yang bisa digali dalam memutus perkara-perkara yang berada
dalam kompetensi absolut PA, pemberian hak Wasiat Wajibah kepada ahli
waris nonmuslim ini bertentangan dengan Hadits yang berbunyi :
الو دبا عثندة قالحدجن ناب بلم : هسن مل ببيحرش ناس عبع نا ابثندح
إن اهللا قد اعطى كل ذي حق حقه فال وصية : قال سمعت رسول اهللا يقول
4)رواه ابو دود و الترمذي وابن ماجه (لوارث
“Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak akan hak (warisnya), maka tidak boleh berwasiat kepada ahli waris.” (HR. Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah).
Mahkamah Agung berpendapat bahwa ahli waris nonmuslim berhak
memperoleh bagian sebesar bagian ahli waris muslim adalah karena alasan
berikut. Yaitu bahwa pada dasarnya, memang tidak ada ketentuan perundang-
undangan yang secara eksplisit memberikan hak Wasiat Wajibah kepada ahli
waris nonmuslim untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan pewaris
muslim. Tetapi secara implisit terdapat celah-celah yang memungkinkan teks
dalam UU ditafsirkan memiliki ruang untuk memberikan bagian kepada ahli
waris nonmuslim melalui Wasiat Wajibah atau melalui apapun namanya,5
dalam lapangan hukum kewarisan Islam. Antara lain adalah dalam pasal UU
di bawah ini :
Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004:
“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
4 Abu Daud, Sunan Abu Daud, Beirut : Dar Al-Kutub Ilmiyah, Juz 2, 1996, Hlm. 322. 5 Wawancara dengan Habiburrahman, Hakim Agung MA
59
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. “ Penjelasan Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004:
Tugas hakim ialah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia. Pasal 11 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 menyebutkan : “Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.” Sebagaimana ketentuan dalam pasal-pasal di atas, bahwa kekuasaan
kehakiman adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila. Dan menjadi tugas hakim selaku pejabat yang berwenang
melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman tersebut untuk menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum
dan mencari dasar serta asas yang menjadi landasannya.
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
Indonesia sudah memiliki modal dasar dan pandangan hidup Pancasila yang
belum diaplikasikan secara utuh. Karenanya usaha untuk menangkap
nilai/makna Pancasila dalam tata hukum Indonesia belum juga kunjung tiba.
Belum terlaksananya prinsip Pancasila dalam kehidupan orang seorang, dari
segi hukum, mungkin karena belum diperoleh satu kesatuan pengertian
tentang asas hukum yang bersumberkan Pancasila itu sendiri. Atau
bagaimana hukum Pancasila itu sendiri mesti menampakkan wajahnya.
60
Namun, satu tujuan yang pasti dimiliki dalam setiap bangunan hukum,
termasuk hukum Pancasila, yaitu keadilan.
Esensi hukum adalah keadilan. Dan lembaga hukum merupakan organ
yang bertugas sekaligus berwenang untuk mengejawantahkan keadilan
tersebut ke dalam lapangan sosial. Dan selaku pelaksana penegakan keadilan,
hakim harus mampu menafsirkan keadaan agar ia tidak salah dalam
menjatuhkan putusan dalam menjawab keadilan sosial.6 Oleh karena itu
putusan hakim harus memenuhi rasa keadilan tersebut kepada pihak yang
berperkara maupun masyarakat pada umumnya. Dan keadilan yang dimaksud
adalah keadilan substansial dan bukan hanya keadilan formal. Keadilan
substansial adalah keadilan yang secara riil diterima dan dirasakan, sedangkan
keadilan formal ialah keadilan yang berdasarkan hukum positif semata-mata
yang belum tentu dapat diterima dan dirasakan adil oleh masyarakat.7
Dalam suatu struktur masyarakat, keadilan akan dapat dirasakan apabila
hukum yang diterapkan adalah hukum yang berlaku dalam masyarakat itu
sendiri. Karena hukum itu seperti pakaian yang harus didesain (dipotong dan
dijahit) sesuai dengan ukuran dan selera pemakainya, sehingga dapat dirasa
pantas dan puas. Demikian pula hukum, masyarakat akan merasa pantas dan
puas (adil) apabila memakai hukum yang telah didesain dan dipakai sebagai
suatu pola dan perilaku mereka sehari-hari.8
6 Wawancara dengan Andi Syamsu Alam, Ketua Muda Agama MA RI, tanggal 9 Mei
2005. 7 A. Mukti Arto, op. cit,. hlm. 112. 8 A. Mukti Arto, op. cit., hlm. 93.
61
Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antarmanusia.
Membicarakan hubungan antarmanusia adalah membicarakan keadilan.
Dengan demikian setiap pembicaraan mengenai hukum, jelas atau samar-
samar, senantiasa merupakan pembicaraan mengenai keadilan pula. Kita tidak
dapat membicarakan hukum hanya sampai pada wujudnya sebagai suatu
bangunan yang formal saja. Akan tetapi kita juga perlu untuk melihatnya
sebagai ekspresi dari cita-cita keadilan masyarakatnya.9 Dan manusia adalah
makhluk sosial serta hukum adalah untuk manusia. Sehingga hukum harus
melihat kondisi sosial manusia yang diperuntukkan tersebut. Dengan kata lain,
hakim tidak boleh mendekati perkara hanya dari segi legal saja, tetapi juga
harus mendekati pula dari sisi sosial. Dalam penyelesaian perkara, hakim
harus mempertimbangkan semua faktor karena dalam proses penyelesaian
perkara terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi proses penyelesaian
perkara tersebut, baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.10
Salah satu tugas hakim dalam menegakkan keadilan adalah dengan
menafsirkan hukum, yang dalam konteks ini adalah aturan perundang-
undangan yang berlaku. Akan tetapi, penafsiran hukum oleh hakim ini
bersifat subyektif dan sangat mungkin terjadi perbedaan penafsiran antara
satu hakim dengan penafsiran hakim yang lain. Sebagaimana sering dikatakan
dalam sebuah ungkapan bahwa “ketika ada sepuluh hakim yang membahas
tentang suatu permasalahan, maka akan ada sepuluh pendapat pula”, termasuk
9 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, Cet. III, 1991, hlm.
159. 10 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:
Rajawali Press, 1986, hlm. 5.
62
pendapat mengenai pemberian hak Wasiat Wajibah kepada ahli waris
nonmuslim untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan pewaris
muslim.
Adanya hak Wasiat Wajibah bagi ahli waris nonmuslim dapat dikatakan
sebagai bentuk baru pembaharuan hukum kewarisan Islam di Indonesia, untuk
menjawab keadilan masyarakat. Dengan diberikannya hak Wasiat Wajibah
bagi ahli waris nonmuslim sebagai alternatif untuk mendapatkan bagian dari
harta peninggalan, sesungguhnya telah memberikan gambaran positif bahwa
hukum Islam tidaklah ekslusif dan diskriminatif yang seolah-olah telah
menempatkan warga negara nonmuslim sebagai kelas dua di hadapan
hukum.11 Dalam hal ini MA telah mengambil keputusan yang adil dan
manusiawi. Sikap adil dan manusiawi di sini adalah karena Ahli Waris
nonmuslim juga diberi hak untuk memperoleh bagian dari harta peninggalan
orang tuanya atas dasar Wasiat Wajibah agar tidak terjadi goncangan sosial di
antara warga negara yang berbeda agama, karena prinsip keadilan dan asas
kemanusiaan yang universal bahwa manusia seluruhnya sama dipandang dari
sisi kemanusiaannya. Karena perbedaan agama (nonmuslim) sekalipun dalam
pandangan orang Islam sebagai dosa besar (kafir), tetapi bagi penganut agama
lain dipandang sebagai suatu kebenaran sesuai dengan ajaran agama dan
keyakinannya itu. Karena pandangan mengenai kebenaran itu bersifat
11 Abdullah Ahmed Annaim sebagaimana Dikutip Cipto Sembodo “Inklusifisme
Syari’ah” , Mimbar Hukum, 43, Jakarta: Al Hikmah, 1999, Hlm. 49.
63
subyektif dan bergantung pada rasionalitas masing-masing individu,12 yang
satu sama lain sangat mungkin akan terdapat perbedaan. Yang hal itu patut
serta seharusnya dihargai dan dihormati oleh siapapun. Dan tampaknya
membiarkan ahli waris nonmuslim tidak mendapatkan bagian apapun dari
harta warisan pewaris muslim kurang relevan dengan nilai-nilai dan norma
hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.13
Pemberian hak Wasiat Wajibah kepada ahli waris nonmuslim juga
merupakan terobosan baru dalam lapangan ijtihad hukum waris untuk
memberikan rasa keadilan bagi masyarakat pada umumnya dan para pihak
yang bersengketa pada khususnya. Karena dalam UU yang berlaku, ahli waris
nonmuslim itu bukan merupakan ahli waris sehingga tidak mendapatkan
bagian apapun dari harta warisan (lihat, pasal 171 KHI).
Terobosan baru sebagaimana tindakan MA dalam perkara ini sudah
sepatutnya dilestarikan dalam penerapan pada perkara-perkara selanjutnya.
Karena walaupun dalam UU pertimbangan tersebut tidak ada, akan tetapi hal
tersebut telah sejalan dengan rasa keadilan masyarakat.
Dasar hukum lain yang mempunyai penafsiran hukum yang memberi
celah kepada ahli waris nonmuslim untuk memperoleh hak Wasiat Wajibah
untuk menerima bagian dari harta peninggalan pewaris muslim adalah Pasal
171 huruf E KHI :
12 Aliya Harb, Asilah Al-Haqiqah Wa Rahanat Al-Fikr: Muqarabat Naqdiyyah Wa
Sijaliyyah. Terj. Umar Bukhori dan Ghazi Mubarak “Relativitas Kebenaran Agama, Kritik dan Dialog”, Yogyakarta: IRCISOD, Cet. I, 2001, hlm. 157-158.
13 Dede Ibin, Loc.Cit.
64
“Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tahjiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.” Pemberian untuk kerabat dalam pasal di atas dapat dipahami sebagai
suatu ketentuan bahwa suatu keluarga yang nonmuslim dapat diberi bagian.14
Selain itu, terdapat ketentuan bahwa hakim diwajibkan untuk menggali
hukum dalam menemukan keadilan. Penggalian hukum ini juga memberi
celah kepada hakim untuk menjatuhkan putusan tertentu yang dianggap
memenuhi faktor keadilan. Dan Wasiat Wajibah merupakan penemuan hukum
untuk menjawab problem hubungan muslim-nonmuslim dalam lapangan
hukum kewarisan Islam di Indonesia.
Pada dasarnya hukum memang ditemukan/bukan dibuat.15 Penemuan
hukum bukanlah merupakan sesuatu yang baru karena telah lama dikenal dan
dipraktikkan selama ini oleh hakim, pembentuk UU dan para sarjana hukum.
Dalam literatur Belanda telah banyak ditulis orang mengenai penemuan
hukum (rechtvinding) ini. Tidak jarang sementara sarjana hukum melakukan
proses penemuan hukum secara reflektif, tanpa disadari.16 Yang dimaksud
dengan penemuan hukum ialah proses pembentukan hukum oleh hakim atau
aparat lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan-peraturan hukum
umum pada peristiwa hukum kongkrit. Lebih lanjut dikatakan bahwa hukum
14 Habiburrahman, “Perkara Waris Problematika dan Matematikanya” dalam Suara
Urdilag Mahkamah Agung RI, II, Vol. 6, April,2005, hlm. 54-55. 15 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1988, hlm. 1. 16 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty,
1995, hlm. 78.
65
adalah proses kongkritisasi atau individualisasi peraturan hukum (das solen)
yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa kongkrit (das sein)
tertentu.17
Di Indonesia hukum perdata menganut asas open sistem (sistem
terbuka). Hakim harus mampu melakukan rechtvinding (penemuan hukum)
agar dapat memberikan pelayanan hukum dan keadilan yang sesuai dengan
kesadaran hukum masyarakat. Oleh karena itu, hakim harus memperhatikan
struktur sosial dan perilaku masyarakat pencari keadilan.18 Hakim sebagai
organ pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan datang
kepadanya untuk memohon keadilan. Sehingga andaikata hakim tersebut tidak
menemukan hukum tertulis, maka ia wajib untuk menggali hukum yang tidak
tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai orang yang bijaksana dan
bertanggung jawab penuh kepada Tuhan YME, diri sendiri, masyarakat,
bangsa dan negara (pasal 16 ayat (1) UU no. 4 tahun 2004). Dan ketika terjadi
sebuah sengketa hukum yang diamanatkan kepada pengadilan, maka menjadi
tugas hakim karena jabatannya untuk menemukan hukumnya (pasal 28 UU
no. 4 Tahun 2004 dan penjelasannya jo pasal 1 dan penjelasannya), yaitu
dengan menggali hukum yang tidak tertulis dari sumbernya yang hidup dalam
masyarakat untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Penggalian hukum adalah sebuah keniscayaan. Karena masyarakat itu
bergerak, berubah dan terus berkembang (dinamis), sementara teks hukum itu
17 Ibid., Hlm. 78. 18 A. Mukti Arto, op. cit., Hlm. 27.
66
diam (statis). Dan manakala terjadi kasus hukum dalam masyarakat, sudah
seharusnya produk hukum dari perkara tersebut disesuaikan dengan kondisi,
kebutuhan rasa adil dan kemaslahatan yang diperlukan. Hakim mesti
melakukan terobosan baru karena ketentuan yang ada terkadang tidak sesuai
lagi dengan kondisi sosial yang ada. Hakim selaku yang berwenang harus
menyesuaikan teks-teks/ ketentuan-ketentuan hukum yang ada dengan kondisi
sosial secara nyata, agar rasa adil masyarakat dapat terpenuhi. Karena jiwa
dari UU sebenarnya ialah menciptakan hukum baru bagi kasus kongkrit.19
Karena hukum tujuannya adalah sepenuhnya utilitarian, yaitu keselamatan
hidup manusia, keamanan harta benda dan pemilikan, keamanan dan
ketertiban, kebahagiaan dan kesejahteraan dari masyarakat keseluruhannya,
atau dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat. Norma-normanya
bersifat relatif, bisa diubah dan bergantung pada keadaan. Dalam sistem
hukum yang demikian itu tidak ada yang dianggap abadi atau suci. Dan,
menerapkan hukum secara paksa dengan kaedah yang sudah tertinggal ke
dalam kondisi sosial yang sudah tidak sesuai hanya akan menghancurkan
esensi hukum itu sendiri.
Dengan adanya putusan Wasiat Wajibah bagi ahli waris nonmuslim, MA
telah memerankan dirinya sebagai pembuat UU yang melindungi kepentingan
para pihak, dengan menjatuhkan putusan yang mengikuti norma keadilan
masyarakat.
19 Hans Kelsen, Essays in Legal and Moral Philosophy Terj. Arief Sindunata “Hukum
dan Logika”, Bandung: Alumni, 1982, hlm. 71.
67
Celah-celah tentang penggalian hukum ini terdapat dalam pasal-pasal
berikut :
Pasal 28 (1) UU No. 4 Tahun 2004:
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memakai nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Pasal 229 KHI menyebutkan bahwa: “Hakim dalam menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.” Dalam GBHN 1998 dikatakan bahwa: “Dalam penerapan hukum, hakim disamping harus memperhatikan hukum yang tertulis (peraturan perundang-undangan) juga harus memperhatikan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat.” Ketentuan dalam pasal-pasal di atas membuka celah kepada hakim untuk
memberikan hak kepada ahli waris nonmuslim untuk mendapatkan bagian
dari harta peninggalan pewaris muslim, atas dasar Wasiat Wajibah ataupun
atas dasar apapun yang lain. Karena dalam menjatuhkan putusan, seorang
hakim diwajibkan untuk bersandar pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Berkaitan dengan nilai dan norma hukum yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat Indonesia, dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang telah mengadakan kontrak sosial untuk hidup rukun,
damai, saling hormat menghormati dan tidak saling merendahkan harkat dan
martabat kemanusiaan atas dasar apapun. Baik karena perbedaan suku, budaya
maupun agama. Dengan kata lain, masyarakat Indonesia adalah masyarakat
68
yang sepakat untuk menghargai dan menjunjung tinggi HAM setiap warga
negara lainnya. Kontrak sosial tersebut telah dituangkan dalam konstitusi
negara yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang sarat dengan nilai-nilai keadilan.20
UUD 1945 sebagai penjabaran dari Pancasila tersebut dalam bagian pasal-
pasalnya menguraikan sebagai berikut:
Pasal 28 D ayat (1)_:
“Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Pasal 28 E ayat (1) :
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…” Pasal 28 I ayat (2) :
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Pasal 28 J ayat (1) :
“Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.” Dalam kondisi normal, dapat dikatakan bahwa norma keadilan
masyarakat Indonesia adalah hidup rukun, damai, saling hormat menghormati
dan tidak saling merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan atas dasar
apapun. Keadaan yang demikian memungkinkan masyarakat menyelesaikan
setiap permasalahan dengan jalan musyawarah dan perdamaian, termasuk
20 Dede Ibin, “Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Nonmuslim”, dalam Mimbar Hukum,
XV, 63, Maret-April, 2004, hlm. 97.
69
dalam hal pembagian harta warisan. Dan adanya gugatan yang diajukan ke
pengadilan pada umumnya adalah karena para pihak sudah tidak bisa
menyelesaikan permasalahannya secara damai. Dengan kata lain, kondisinya
sudah tidak normal.
Dalam kondisi demikian, menjadi kewenangan hakim untuk
merumuskan hukum demi untuk menghadirkan keadilan di tengah-tengah
masyarakat yang bersengketa.
Menyerahkan perkara ke Pengadilan berarti menyerahkan penyelesaian
permasalahan kepada ijtihad majlis hakim dalam mencapai keadilan. Dan
untuk menghadirkan keadilan ini, hakim menggunakan dasar hukum tertulis
yaitu UU, serta hukum tidak tertulis yaitu nilai-nilai hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.
Di depan Pengadilan, semua orang diperlakukan sama (pasal 5 ayat (1)
UU no. 4 Tahun 2004) karena hal ini merupakan HAM seorang warga negara.
Dan Indonesia telah meratifikasi DUHAM (Deklarasi Universal tentang Hak-
Hak Asasi Manusia) yang berarti Indonesia telah menyepakati dan akan
mengaplikasikan ketentuan-ketentuan dalam DUHAM tersebut ke dalam tata
hukum Indonesia. Ketentuan-ketentuan DUHAM tersebut antara lain:
Bahwa pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak terasingkan dari semua anggota kemanusiaan, keadilan dan perdamaian di dunia. Bahwa mengabaikan dan memandang rendah pada HAM telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan yang bengis yang menimbulkan rasa kemarahan dalam hati nurani ummat manusia, dan terbentuknya suatu dunia di mana manusia akan mengecap kenikmatan aspirasi tertinggi rakyat jelata. (mukadimah DUHAM) 21
21 Peter Baehr, dkk, Instrumen Internasional Pokok-Pokok Hak Asasi Manusia, Jakarta:
Obor Indonesia, 2001, hlm. 279.
70
Dalam DUHAM, kebebasan beragama adalah termasuk salah satu dari
HAM sebagaimana disebutkan dalam pasal 18 yaitu bahwa:
Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama. Dalam hak ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun yang tersendiri.
Selain itu juga disebutkan dalam pasal 2:
“Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam pernyataan ini dengan tidak ada pengecualian apapun….” Dengan memperhatikan pasal-pasal di atas, jelaslah bahwa kebebasan
beragama merupakan salah satu HAM yang harus dihormati dan dijunjung
tinggi sebagai martabat seorang manusia, serta tidak diperlakukan
diskriminatif atasnya. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan kembali
manakala hendak mengeluarkan putusan bahwa Ahli Waris nonmuslim sama
sekali tidak akan mendapatkan sesuatu apapun dari harta peninggalan pewaris
muslim hanya karena adanya perbedaan agama yang merupakan HAM yang
dilindungi oleh negara. Sebagaimana perlunya dipertimbangkan kembali
untuk mengeluarkan suatu keputusan bahwa seorang warga negara yang
berpindah agama dari agama Islam (murtad) harus dihukum mati, atau
kesaksian warga negara nonmuslim tidak dapat diterima di depan hukum atas
warga negara muslim, sekalipun keputusan hukum tersebut sudah menjadi
kesepakatan mayoritas ulama’ dalam berbagai kitab fikih. Karena
sesungguhnya keputusan tersebut akan dirasakan oleh warga negara
nonmuslim telah menginjak-injak rasa keadilan dan merendahkan martabat
71
kemanusiaan, bahkan tidak menutup kemungkinan akan dinilai tidak
menghormati HAM yang harus dijunjung tinggi serta telah menjadi
kesepakatan masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional.22
Alasan HAM merupkan celah dari pasal 5 ayat (1) UU no. 4 Tahun 2004
untuk memberikan bagian dari harta peninggalan pewaris muslim kepada ahli
waris nonmuslim.
Dari penelusuran di atas dasar hukum yang digunakan, yaitu pendapat
bahwa bagian Wasiat Wajibah untuk ahli waris nonmuslim itu seharusnya
sama dengan bagian bagian warisan anak perempuan itu adalah karena alasan
keadilan yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekarang. Karena
dalam pandangan hakim, masyarakat kita sekarang itu sudah berbeda dengan
dulu. Pada jaman yang lampau itu dengan tegas PA tidak memberikan
warisan kepada ahli waris non muslim karena bersandar pada Hadits. Akan
tetapi perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa hubungan antara umat
di Indonesia in sudah sedemikian rupa keadaannya, sehingga perlu pemikiran
keadilan dikalangan hakim. Oleh karena itu, hakim MA mempunyai pikiran
bahwa mereka memang bukan ahli waris, akan tetapi karena dia punya
hubungan darah yaitu anak dengan orang tua, maka dipertimbangkan bahwa
sangat adil kalau ahli waris itu diberi bagian sejumlah yang diperoleh ahli
waris yang lain. Keadilan untuk anak kandung yang menjadi ahli waris
nonmuslim ini dilogikakan dengan keadilan untuk anak angkat yang
memperoleh bagian Wasiat Wajibah. Alangkah tidak adil kalau anak angkat
22 Dede Ibin, Loc. Cit.
72
saja diberi Wasiat Wajibah, apalagi itu anak kandung hanya karena pebedaan
akidah saja.23
Pemberian hak wasiat wajibah kepada ahli waris nonmuslim adalah
karena ahli waris nonmuslim itu tidak memperoleh bagian warisan
sebagaimana ahli waris muslim. Karena dalam hukum kewarasan Islam,
berlainan agama merupakan halangan untuk dapat saling mewarisi. Hal ini
didasarkan atas hadits :
عن عمر بن , عن غلي بن حسني, عن إبن شهاب, عن إبن جريج, حدثنا أبو عاصم
اليرث : أن النيب صل اهللا عليه وسلم قال, عن أسامة بن زيد رضي اهللا عنهم, عثمان
24).متفق غليه (املسلم الكافر وال الكافر املسلم
Artinya: “orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam.”
Dalam ke dua Hadits di atas, dinyatakan bahwa antara orang muslim dan
nonmuslim tidak dapat saling mewarisi. Hadits inilah yang dijadikan sebagai
landasan bahwa ahli waris yang nonmuslim sama sekali tidak memperoleh
bagian warisan. Dan hadits ini pulalah yang dijadikan sebagai sandaran
majlis hakim PA untuk tidak memberikan bagian warisan kepada ahli waris
yang beragama non Islam. Karena jika ahli waris yang tidak beragama Islam
ini diberikan bagian warisan, berarti hal ini bertentangan dengan Hadits
yang merupakan sumber hukum dalam hukum Islam.
23 Wawancara dengan Andi Syamsu Alam. 24 Imam Bukhari, Shohih Bukhari, Bairut: Dar al-Kutub Ilmiyah, Juz. 7, Hadits ke–
6764, 1992, hlm. 322.
73
Majlis hakim MA dalam perkara no. 368 K/AG/1995 memberikan hak
bagian kepada ahli waris nonmuslim dari harta peninggalan pewaris muslim.
Tetapi majlis MA tidak menyatakan bahwa ahli waris nonmuslim adalah
seorang ahli waris serta memperoleh bagian warisan. Akan tetapi
memberikan bagian kepada ahli waris nonmuslim bagian wasiat wajibah.
Hal ini adalah karena dalam pandangan majlis hakim, putusan inilah yang
paling adil.
Dalam hal ini majlis hakim memberikan bagian wasiat wajibah dan
bukan bagian warisan. Sehingga putusan majlis hakim tersebut tidak
bertentangan dengan hadits serta mampu menghadirkan keadilan yang
disesuaikan dengan konteks masyarakat Indonesia sekarang di dalam
hubungan antara masyarakat muslim dan nonmuslim.
Pada dasarnya, ketentuan tentang pemberian hak wasiat wajibah kepada
ahli waris nonmuslim atas harta peninggalan pewaris muslim ini
bertentangan dengan pendapat beberapa Mufassir. Karena beberapa
Mufassir menafsirkan bahwa surat Al-Baqarah : 180 yang merupakan dasar
perintah berwasiat ini bukan merupakan dasar kewajiban berwasiat. Selain
itu, juga tidak ada ketentuan bahwa hakim wajib mengambil sejumlah
tertentu dari harta peninggalan seorang pewaris untuk dialokasikan sebagai
wasiat yang wajib ditunaikan.
Ibnu al-Arabi menafsirkan bahwa surat Al-Baqarah : 180 itu
menunjukkan bahwa hukum wasiat itu tidak wajib. Karena seandainya
hukum wasiat itu wajib, maka perintah wasiat itu tentu ditunjukkan dengan
74
kata-kata untuk semua muslim, bukan untuk semua orang yang bertakwa.
Dan dalam ayat tersebut Allah hanya menyebutkan dengan kata-kata untuk
semua orang yang bertakwa saja, maka hal yang demikian ini menunjukkan
bahwa hukum wasiat itu tidak wajib.25
Ibnu katsir menafsirkan bahwa surat Al-Baqarah : 180 merupakan ayat
yang menunjukkan tentang kewajiban berwasiat. Akan tetapi kewajiban
berwasiat itu tidak berlaku lagi karena adanya ayat-ayat tentang pembagian
warisan. Sebelum turunnya ayat-ayat waris hukum wasiat memang wajib.
Akan tetapi setelah turunnya ayat-ayat waris, maka ketentuan dalam ayat-
ayat waris itulah yang dipegang.26
Imam Jalalain juga menafsirkan bahwa kewajiban berwasiat itu tidak
ada. Bahkan menurut mereka berwasiat kepada karib kerabat itu tidak
diperbolehkan. Karena hal tersebut bertentangan dengan Hadits yang
melarang berwasiat kepada ahli waris. Dan ayat tentang perintah wasiat
mansukh oleh Hadits tersebut.27
Pendapat yang berbeda dengan pendapat di atas adalah pendapat Imam
Maraghi yang menyatakan bahwa wasiat itu berdasarkan atas kebiasaan
yang berlaku di masyarakat serta kemampuan ekonomi seseorang, dengan
ketentuan tidak boleh lebih dari sepertiga.28 Dengan bersandar pada
kebiasaan masyarakat, maka pada masyarakat yang tidak mempersoalkan
25 Ibnu Al-Arabi, Ahkam Al-Qur’an, Cet. I, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1988,
hlm. 104. 26 Isma’il Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim, Cet. V, Beirut: Dar Al-Ma’rifah,
1992, Hlm. 217. 27 Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, Beirut :
Dar Al-Kutub Ilmiyah, Cet. II, 1992, hlm. 34. 28 Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir Maraghi, Dar Al-Fikr, Juz I, 1991, Hlm. 64-65.
75
dikotomi muslim dan nonmuslim, wasiat kepada ahli waris nonmuslim dapat
dijalankan.
Dalam ilmu Ushul Fiqh, salah satu kaidah ushuliyah adalah al-‘adah
mukhakkamah. Sehingga jika tradisi dalam suatu masyarakat itu
memberikan bagian kepada ahli waris nonmuslim, maka secara hukum ahli
waris nonmuslim juga memperoleh bagian. Dan nampaknya, inilah yang
dijadikan pertimbangan oleh majlis hakim MA dalam menjatuhkan putusan
memberikan hak wasiat wajibah kepada ahli waris nonmuslim untuk
memperoleh bagian dari harta peninggalan pewaris muslim sebesar bagian
warisan seorang pewaris muslim.
M Qurasish Shihab berpendapat bahwa sebelum adanya hak waris,
hukum berwasiat adalah wajib. Dan setelah adanya hak waris, kewajiban
berwasiat tidak berlaku lagi. Akan tetapi menurutnya, wasiat bisa diberikan
kepada orang tua jika mereka tidak memperoleh bagian dalam warisan.29
Dan logikanya, apabila berwasiat kepada orang tua bisa dilakukan jika
mereka tidak memperoleh bagian warisan, maka wasiat kepada ahli waris
nonmuslim juga bisa dilakukan. Karena dalam hal ini posisi mereka sama,
yaitu sama-sama sebagai ahli waris yang tidak memperoleh bagian warisan.
Logika majlis hakim yang memberikan hak wasiat wajibah kepada ahli
waris nonmuslim ini juga senada dengan pemikiran M Quraish Shihab.
Karena dalam hal ini orang tua dan anak memiliki posisi yang sama yaitu
posisi sebagai ahli waris.
29 M Qurasish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Jakarta : Lentera Hati, Vol. I, 2002, Hlm. 398.
76
Penafsiran tentang wasiat sebagai upaya penyelamatan hak juga
dinyatakan oleh Oemar Bakri. Menurutnya, di dalam Islam telah ada hukum
warisan. Di dalam warisan itu sudah ditentukan siapa yang akan
mendapatkan bagian serta berapa jumlahnya. Akan tetapi sekiranya ada yang
tidak mendapatkan bagian atau bagian yang di dapat itu kurang dari yang
semestinya, maka wasiat dapat meratakan pembagian harta yang
ditinggalkan. Jadi, wasiat ini merupakan suatu jalan untuk pemerataan,
sehingga akan menimbulkan rukun dan damai antara semua keluarga.30
Berdasarkan pendapat para Mufassir di atas, pendapat MA tentang hak
Wasiat wajibah untuk ahli waris nonmuslim ini bertentangan dengan
pendapat sebagian Mufassir, tetapi juga sejalan dengan pendapat beberapa
Mufassir yang lain.
Pendapat MA tersebut juga bertentengan dengan pendapat jumhur ulama
serta pendapat imam madzhab yang menyatakan bahwa tidak ada ketentuan
tentang kewajiban berwasiat kepada kerabat, sekalipun pada kerabat yang
tidak memperoleh bagian warisan. Karena kewajiban berwasiat itu mansukh
oleh ayat-ayat warisan serta Hadits tentang larangan berwasiat.31 Akan
tetapi, pendapat ini sama dengan pendapat Ibnu Hazm yaitu bahwa kerabat
yang tidak mewarisi itu wajib diberi wasiat.32
Pemberian hak wasiat wajibah bagi ahli waris nonmuslim dalam konteks
masyarakat yang plural merupakan suatu jalan pemeratan agar tidak terjadi
goncangan sosial antara warga yang berbeda agama. Sehingga diharapkan
30 Oemar Bakri, Tafsir Rahmat, Mutiara, Hlm. 53. 31 Alyasa Abubakar, Op. Cit, hlm. 191. 32 Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz IX, Beirut: Dar Al-Alaq, tt, Hlm. 314.
77
akan mampu mewujudkan kedamaian antara warga muslim dan nomuslim.
Ini merupakan hikmah yang terkandung dalam putusan pemberian hak
wasiat wajibah kepada ahli waris nonmuslim.
Majis hakim dalam mengggunakan Wasiat Wajibah untuk memberikan
hak bagian tertentu kepada ahli waris nonmuslim ini menganut hukum Wasiat
Wajibah di Mesir. Majlis hakim melakukan ittiba’ dengan hukum Wasiat di
Mesir karena dianggap bahwa hukum tersebut bisa diterapkan di Indonesia.
Dan al’adah al-muhakkamah dalam pandangan hakim tentang kasus ini
adalah memberikan hak bagian kepada ahli waris nonmuslim sebesar bagian
ahli waris muslim, dalam tiap jurai yang sama.33
33 Ibid.