bab iv analisis putusan mahkamah agung ri no. 368...

28
50 BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 K/AG/1995 A. Analisis Hukum Formil Perkara tentang wasiat wajibah bagi ahli waris nonmuslim ini dalam perjalanannya telah menempuh proses pengadilan dari tingkat pertama dan tingkat banding. Dalam pengadilan tingkat pertama, tergugat menolak putusan PA Jakarta Pusat yang menjatuhkan putusan bahwa anak nonmuslim tidak termasuk sebagai ahli waris serta tidak berhak untuk mendapatkan bagian apapun dari harta peninggalan orang tuanya yang beragama Islam, yaitu putusan No. 377/Pdt.G/1993/PA-Jk, tanggal 4 Nopember 1993. Tergugat menolak putusan ini, kemudian ia mengajukan banding kepada PTA Jakarta dengan telah memenuhi prosedur sebagaimana mestinya. Terhadap permohonan banding pembanding (tergugat asal), PTA berpendapat bahwa sepanjang mengenai penolakan eksepsi turut tergugat II, sepanjang obyek harta yang disengketakan, sepanjang ahli waris yang dianggap sah, pertimbangan PA telah tepat. Akan tetapi, pertimbangan PA mengenai siapa yang bisa memperoleh bagian dari harta peninggalan pewaris muslim H. Sanusi dan Hj. Suyatmi, PTA tidak sependapat dengan pendapat PA yang memutuskan bahwa anak nonmuslim tidak termasuk sebagai ahli waris serta tidak berhak untuk mendapatkan bagian apapun dari harta peninggalan orang tuanya yang beragama Islam. Menurut pendapat PTA, ahli waris nonmuslim (turut tergugat II/ Sri Widyastuti) juga berhak memperoleh bagian dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris muslim (alm. H.

Upload: hacong

Post on 08-Mar-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

50

BAB IV

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 K/AG/1995

A. Analisis Hukum Formil

Perkara tentang wasiat wajibah bagi ahli waris nonmuslim ini dalam

perjalanannya telah menempuh proses pengadilan dari tingkat pertama dan

tingkat banding. Dalam pengadilan tingkat pertama, tergugat menolak putusan

PA Jakarta Pusat yang menjatuhkan putusan bahwa anak nonmuslim tidak

termasuk sebagai ahli waris serta tidak berhak untuk mendapatkan bagian

apapun dari harta peninggalan orang tuanya yang beragama Islam, yaitu

putusan No. 377/Pdt.G/1993/PA-Jk, tanggal 4 Nopember 1993. Tergugat

menolak putusan ini, kemudian ia mengajukan banding kepada PTA Jakarta

dengan telah memenuhi prosedur sebagaimana mestinya.

Terhadap permohonan banding pembanding (tergugat asal), PTA

berpendapat bahwa sepanjang mengenai penolakan eksepsi turut tergugat II,

sepanjang obyek harta yang disengketakan, sepanjang ahli waris yang

dianggap sah, pertimbangan PA telah tepat. Akan tetapi, pertimbangan PA

mengenai siapa yang bisa memperoleh bagian dari harta peninggalan pewaris

muslim H. Sanusi dan Hj. Suyatmi, PTA tidak sependapat dengan pendapat

PA yang memutuskan bahwa anak nonmuslim tidak termasuk sebagai ahli

waris serta tidak berhak untuk mendapatkan bagian apapun dari harta

peninggalan orang tuanya yang beragama Islam. Menurut pendapat PTA, ahli

waris nonmuslim (turut tergugat II/ Sri Widyastuti) juga berhak memperoleh

bagian dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris muslim (alm. H.

Page 2: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

51

Sanusi dan Hj. Suyatmi). Sehingga PTA perlu memberi pertimbangan sendiri.

Sehingga, PTA membatalkan putusan PA No. 377/Pdt.G/1993/PA-Jk.

Pengadilan Tinggi Agama Jakarta menjatuhkan putusan ( yaitu putusan

no. 14/Pdt.G/ 1994/PTA.Jk, tanggal 25 Oktober 1994) bahwa seorang anak

nonmuslim bukan termasuk sebagai ahli waris. Akan tetapi ia tetap memiliki

hak untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan orang tuanya yang

muslim atas dasar Wasiat Wajibah sebesar ¾ bagian warisan seorang ahli

waris muslim. Putusan ini tidak diterima oleh penggugat maupun tergugat,

kemudian penggugat mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi ke MA.

Pemohon kasasi (penggugat asal) mengajukan keberatan-keberatan dalam

memori kasasi, yaitu bahwa PTA telah salah menerapkan hukum karena

memberikan bagian kepada ahli waris nonmuslim dari harta peninggalan

pewaris muslim yang tidak ada ketentuannya dalam UU serta bertentangan

dengan Al Qur’an dan Hadits. Hal mana keberatan-keberatan ini tidak dapat

dibenarkan oleh MA karena PTA Jakarta tidak salah menerapkan hukum. Lagi

pula hal ini mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan

tentang suatu kenyataan yang tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan

tingkat kasasi. Sehingga MA sependapat dengan putusan PTA Jakarta yang

memberikan bagian kepada anak nonmuslim dari harta peninggalan orang

tuanya yang beragama Islam atas dasar Wasiat Wajibah. Akan tetapi mengenai

besar bagian Wasiat Wajibah tersebut, MA tidak sependapat dengan PTA

yang memutuskan bahwa besar bagian Wasiat Wajibah tersebut adalah ¾

besar bagian seorang ahli waris muslim. Menurut pendapat MA, besar bagian

Page 3: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

52

Wasiat Wajibah tersebut bukan ¾ besar bagian seorang ahli waris, melainkan

sebesar bagian seorang ahli waris. Berdasar atas pertimbangan tersebut, MA

menjatuhkan putusan bahwa besar bagian Wasiat Wajibah untuk ahli waris

nonmuslim (turut tergugat II/ Sri Widyastuti) adalah sama dengan besar

bagian ahli waris.

Perjalanan yang ditempuh dalam perkara tentang pembagian harta

peninggalan ahli waris muslim dan nonmuslim dengan No. Reg. 368

K/AG/1995 dalam proses kasasi telah memenuhi prosedur kasasi sebagaimana

ketentuan dalam UU. Yaitu bahwa :

a. Kasasi diajukan oleh pihak yang berhak mengajukan kasasi. Dalam hal ini

kasasi diajukan oleh penggugat, tergugat, turut tergugat I/ terbanding

dengan perantara kuasa hukumnya, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal

26 Mei 1995. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 44 ayat (1) UU

no. 5 Tahun 2004 yaitu bahwa:

Pemeriksaan kasasi hanya dapat diajukan oleh pihak yang berperkara atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.

b. Kasasi diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi yang diperbolehkan.

Dalam hal ini kasasi diajukan pada tanggal 29 Mei 1995, yaitu hari ke-

sepuluh sesudah putusan diberitahukan kepada pihak-pihak yang

bersangkutan. Pengajuan kasasi ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 46

ayat (1) UU no. 5 tahun 2004 yaitu :

Pemeriksaan kasasi hanya dapat diajukan dalam masa tenggang waktu kasasi, yaitu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan diberitahukan kepada yang bersangkutan (ayat 1);

Page 4: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

53

c. Putusan yang dimintakan kasasi adalah putusan PTA yang menurut hukum

dapat dimintakan kasasi. Dalam hal ini putusan PTA tersebut merupakan

putusan yang diberikan pada tingkat terakhir dari pengadilan, yang menurut

hukum dapat dimintakan kasasi. Dan kasasi tersebut hanya diajukan satu

kali. Hal mana sesuai dengan ketentuan pasal 43 UU no. 5 Tahun 2004 :

Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Permohonan kasasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali.

d. Menyampaikan memori kasasi. Dalam hal ini, memori kasasi yang memuat

alasan-alasannya ini diterima di kepaniteraan PA pada tanggal 7 Juni 1995.

Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 47 ayat (1) UU no. 5 Tahun

2004 :

Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi yang memuat alasan-alasannya.

e. Menghadap di kepaniteraan PA yang bersangkutan. Dalam hal ini, kasasi

disampaikan secara lisan pada tanggal 29 Mei 1995 sebagaimana ternyata

dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP.

Berdasarkan keadaan tersebut, dapat dikatakan bahwa kasasi telah

memenuhi prosedur sebagaimana mestinya, sehingga permohonan kasasi

formil dapat diterima.

Dalam putusan disebutkan bahwa :

Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya yang telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama diajukan

Page 5: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

54

dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan undang-undang, maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formil dapat diterima;1 Pernyataan di atas adalah putusan yang menunjukkan bahwa perkara ini

telah berjalan sebagaimana prosedur yang ditentukan oleh UU. Walaupun

dalam amar putusan tidak tercatat mengenai langkah formil yang dilakukan,

perkara ini telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Diterimanya permohonan kasasi ini telah sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan, karena hukum acara yang ditempuh telah sesuai.

Adapun mengenai tidak diterimanya keberatan-keberatan yang diajukan, hal

ini karena pengadilan sebelumnya tidak melakukan kesalahan sebagaimana

dalam pasal 30 ayat (1) UU no 5 tahun 2004. Sehingga hal ini sesuai dengan

ketentuan dalam pasal tersebut :

Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dalam semua lingkungan peradilan karena : a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan

perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Selain itu, dalam pemeriksaan kasasi MA tidak terikat pada alasan yang

diajukan oleh pemohon dan dapat menggunakan alasan-alasan hukum yang

lain. Dan dalam hal ini MA tidak menerima alasan dari pemohon kasasi. Hal

ini sesuai dengan pasal 52 UU no. 5 Tahun 2004 :

Dalam mengambil putusan, Mahkamah Agung tidak terikat pada alasan yang diajukan oleh pemohon kasasi dan dapat memakai alasan-alasan hukum lain.

1 Putusan MA No. 368 K/AG/1995

Page 6: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

55

Dalam pemeriksaan kasasi perkara no. 368 K/AG/1995 ini, MA

memeriksa surat-surat saja dan tidak menggunakan kesaksian para pihak

ataupun saksi-saksi. Hal ini telah sesuai dengan pasal 50 ayat (1) UU no. 5

Tahun 2004 :

Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan surat-surat dan hanya jika dipandang perlu Mahkamah Agung mendengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan pengadilan tingkat pertama atau pengadilan tingkat banding yang memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau para saksi. Setelah pemeriksaan selesai, tahapan terakhir dari proses ini adalah

penyampaian putusan. Putusan ini merupakan hasil dari rapat

permusyawaratan MA yang dilakukan oleh Drs. H. Taufik, SH. selaku ketua

sidang, dan Drs. H. Muhaimin, SH. serta H. Chabib Syarbini, SH. sebagai

hakim-hakim anggota. Hakim-hakim tersebut tidak memiliki hubungan darah

dengan para pihak. Hal ini telah memenuhi ketentuan dalam pasal 41 UU no.

5 tahun 2004, yaitu bahwa jika seorang hakim mempunyai hubungan darah

atau hubungan perkawinan (sekalipun telah bercerai) dengan para pihak,

maka hakim tersebut wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan.

Putusan tersebut disampaikan dalam sidang terbuka oleh ketua sidang

tersebut, dengan dihadiri oleh majlis hakim dan panitera pengganti, dengan

tidak dihadiri oleh kedua belah pihak. Hal ini telah sesuai dengan pasal 40

UU no. 5 Tahun 2004 :

1. Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (orang) hakim.

2. Putusan majlis hakim diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Page 7: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

56

B. Analisis Hukum Materiil

A. Mukti Artho dalam Mencari Keadilan mengatakan bahwa proses

litigasi itu harus memenuhi syarat yuridis. Adapun syarat yuridis tersebut

sekurang-kurangnya telah memenuhi 3 (tiga) faktor, yaitu mempunyai dasar

hukum; memberikan kepastian hukum; dan memberi perlindungan hukum.

Yang dimaksud sebagai dasar hukum di sini adalah dasar hukum formil

maupun materiil. Dasar hukum formil mengandung pengertian bahwa hakim

dalam memeriksa perkara itu harus mengikuti hukum acara yang berlaku.

Sedangkan dasar hukum materiil mengandung pengertian bahwa sebuah

putusan hakim harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, pasal-

pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum

tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.2 Hal ini dituangkan dalam

pasal 25 ayat (1) UU no. 4 Tahun 2004 :

Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Kriteria sebagaimana di atas dilakukan agar produk hukum dari suatu

proses litigasi (putusan atau penetapan pengadilan) mampu menyentuh

keadaan ideal. Artinya bahwa putusan tersebut mampu melihat dan

menyelesaikan perkara secara holistik, yakni secara bulat dan utuh sebagai

suatu totalitas, baik secara kwantitatif, kwalitatif maupun komplitatif dari

aspek teoritis maupun praktis. Secara teoritis berarti putusan tersebut dapat

2 A.Mukti Arto, Mencari Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2001,.hlm.

109-110

Page 8: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

57

dipertangungjawabkan. Sedangkan secara praktis putusan tersebut telah

mencapai sasaran.3

Mengacu pada ke tiga komponen syarat yuridis di atas, putusan MA no.

368 K/AG/1995 telah memenuhi ke tiganya. Mengenai dasar hukum yang

dijadikan pertimbangan majlis hakim MA dalam putusan memberian hak

Wasiat Wajibah dalam tersebut adalah pendapat majlis hakim bahwa bagian

Wasiat Wajibah untuk ahli waris nonmuslim itu seharusnya sama dengan

bagian bagian warisan anak perempuan. Adapun mengenai alasan mengapa

majlis hakim berpendapat demikian, hal ini tidak disampaikan.

Pertimbangan hukum ini membuka kemungkinan bagi khalayak yang

membaca putusan ini bertanya-tanya tentang dalil yang digunakan. Dalam

konteks ini adalah dasar hukum yang digunakan dalam menjatuhkan putusan

memberikan hak Wasiat Wajibah kepada ahli waris nonmuslim untuk

mendapatkan bagian dari harta peninggalan pewaris muslim sebesar bagian

ahli waris muslim. Karena sejauh ini ahli waris nonmuslim dalam hubungan

kewarisan dengan pewaris muslim itu tidak memperoleh bagian sama sekali,

baik bagian warisan ataupun bagian wasiat. Karena KHI, sebagai hukum

terapan di lingkungan Peradilan Agama tidak mengenal Wasiat Wajibah bagi

ahli waris nonmuslim. Wasiat Wajibah yang ditentukan dalam KHI adalah

hanya kepada anak angkat dan orang tua angkat saja. Sementara ahli waris

nonmuslim tidak mendapatkan bagian apapun dari harta peninggalan pewaris

muslim. Selain itu, jika ditinjau dari hukum Islam (fiqh) yang juga merupakan

3 Ibid., hlm. 99.

Page 9: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

58

sumber hukum yang bisa digali dalam memutus perkara-perkara yang berada

dalam kompetensi absolut PA, pemberian hak Wasiat Wajibah kepada ahli

waris nonmuslim ini bertentangan dengan Hadits yang berbunyi :

الو دبا عثندة قالحدجن ناب بلم : هسن مل ببيحرش ناس عبع نا ابثندح

إن اهللا قد اعطى كل ذي حق حقه فال وصية : قال سمعت رسول اهللا يقول

4)رواه ابو دود و الترمذي وابن ماجه (لوارث

“Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak akan hak (warisnya), maka tidak boleh berwasiat kepada ahli waris.” (HR. Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah).

Mahkamah Agung berpendapat bahwa ahli waris nonmuslim berhak

memperoleh bagian sebesar bagian ahli waris muslim adalah karena alasan

berikut. Yaitu bahwa pada dasarnya, memang tidak ada ketentuan perundang-

undangan yang secara eksplisit memberikan hak Wasiat Wajibah kepada ahli

waris nonmuslim untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan pewaris

muslim. Tetapi secara implisit terdapat celah-celah yang memungkinkan teks

dalam UU ditafsirkan memiliki ruang untuk memberikan bagian kepada ahli

waris nonmuslim melalui Wasiat Wajibah atau melalui apapun namanya,5

dalam lapangan hukum kewarisan Islam. Antara lain adalah dalam pasal UU

di bawah ini :

Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004:

“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

4 Abu Daud, Sunan Abu Daud, Beirut : Dar Al-Kutub Ilmiyah, Juz 2, 1996, Hlm. 322. 5 Wawancara dengan Habiburrahman, Hakim Agung MA

Page 10: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

59

berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. “ Penjelasan Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004:

Tugas hakim ialah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia. Pasal 11 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 menyebutkan : “Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.” Sebagaimana ketentuan dalam pasal-pasal di atas, bahwa kekuasaan

kehakiman adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila. Dan menjadi tugas hakim selaku pejabat yang berwenang

melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman tersebut untuk menegakkan

hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum

dan mencari dasar serta asas yang menjadi landasannya.

Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.

Indonesia sudah memiliki modal dasar dan pandangan hidup Pancasila yang

belum diaplikasikan secara utuh. Karenanya usaha untuk menangkap

nilai/makna Pancasila dalam tata hukum Indonesia belum juga kunjung tiba.

Belum terlaksananya prinsip Pancasila dalam kehidupan orang seorang, dari

segi hukum, mungkin karena belum diperoleh satu kesatuan pengertian

tentang asas hukum yang bersumberkan Pancasila itu sendiri. Atau

bagaimana hukum Pancasila itu sendiri mesti menampakkan wajahnya.

Page 11: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

60

Namun, satu tujuan yang pasti dimiliki dalam setiap bangunan hukum,

termasuk hukum Pancasila, yaitu keadilan.

Esensi hukum adalah keadilan. Dan lembaga hukum merupakan organ

yang bertugas sekaligus berwenang untuk mengejawantahkan keadilan

tersebut ke dalam lapangan sosial. Dan selaku pelaksana penegakan keadilan,

hakim harus mampu menafsirkan keadaan agar ia tidak salah dalam

menjatuhkan putusan dalam menjawab keadilan sosial.6 Oleh karena itu

putusan hakim harus memenuhi rasa keadilan tersebut kepada pihak yang

berperkara maupun masyarakat pada umumnya. Dan keadilan yang dimaksud

adalah keadilan substansial dan bukan hanya keadilan formal. Keadilan

substansial adalah keadilan yang secara riil diterima dan dirasakan, sedangkan

keadilan formal ialah keadilan yang berdasarkan hukum positif semata-mata

yang belum tentu dapat diterima dan dirasakan adil oleh masyarakat.7

Dalam suatu struktur masyarakat, keadilan akan dapat dirasakan apabila

hukum yang diterapkan adalah hukum yang berlaku dalam masyarakat itu

sendiri. Karena hukum itu seperti pakaian yang harus didesain (dipotong dan

dijahit) sesuai dengan ukuran dan selera pemakainya, sehingga dapat dirasa

pantas dan puas. Demikian pula hukum, masyarakat akan merasa pantas dan

puas (adil) apabila memakai hukum yang telah didesain dan dipakai sebagai

suatu pola dan perilaku mereka sehari-hari.8

6 Wawancara dengan Andi Syamsu Alam, Ketua Muda Agama MA RI, tanggal 9 Mei

2005. 7 A. Mukti Arto, op. cit,. hlm. 112. 8 A. Mukti Arto, op. cit., hlm. 93.

Page 12: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

61

Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antarmanusia.

Membicarakan hubungan antarmanusia adalah membicarakan keadilan.

Dengan demikian setiap pembicaraan mengenai hukum, jelas atau samar-

samar, senantiasa merupakan pembicaraan mengenai keadilan pula. Kita tidak

dapat membicarakan hukum hanya sampai pada wujudnya sebagai suatu

bangunan yang formal saja. Akan tetapi kita juga perlu untuk melihatnya

sebagai ekspresi dari cita-cita keadilan masyarakatnya.9 Dan manusia adalah

makhluk sosial serta hukum adalah untuk manusia. Sehingga hukum harus

melihat kondisi sosial manusia yang diperuntukkan tersebut. Dengan kata lain,

hakim tidak boleh mendekati perkara hanya dari segi legal saja, tetapi juga

harus mendekati pula dari sisi sosial. Dalam penyelesaian perkara, hakim

harus mempertimbangkan semua faktor karena dalam proses penyelesaian

perkara terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi proses penyelesaian

perkara tersebut, baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.10

Salah satu tugas hakim dalam menegakkan keadilan adalah dengan

menafsirkan hukum, yang dalam konteks ini adalah aturan perundang-

undangan yang berlaku. Akan tetapi, penafsiran hukum oleh hakim ini

bersifat subyektif dan sangat mungkin terjadi perbedaan penafsiran antara

satu hakim dengan penafsiran hakim yang lain. Sebagaimana sering dikatakan

dalam sebuah ungkapan bahwa “ketika ada sepuluh hakim yang membahas

tentang suatu permasalahan, maka akan ada sepuluh pendapat pula”, termasuk

9 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, Cet. III, 1991, hlm.

159. 10 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:

Rajawali Press, 1986, hlm. 5.

Page 13: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

62

pendapat mengenai pemberian hak Wasiat Wajibah kepada ahli waris

nonmuslim untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan pewaris

muslim.

Adanya hak Wasiat Wajibah bagi ahli waris nonmuslim dapat dikatakan

sebagai bentuk baru pembaharuan hukum kewarisan Islam di Indonesia, untuk

menjawab keadilan masyarakat. Dengan diberikannya hak Wasiat Wajibah

bagi ahli waris nonmuslim sebagai alternatif untuk mendapatkan bagian dari

harta peninggalan, sesungguhnya telah memberikan gambaran positif bahwa

hukum Islam tidaklah ekslusif dan diskriminatif yang seolah-olah telah

menempatkan warga negara nonmuslim sebagai kelas dua di hadapan

hukum.11 Dalam hal ini MA telah mengambil keputusan yang adil dan

manusiawi. Sikap adil dan manusiawi di sini adalah karena Ahli Waris

nonmuslim juga diberi hak untuk memperoleh bagian dari harta peninggalan

orang tuanya atas dasar Wasiat Wajibah agar tidak terjadi goncangan sosial di

antara warga negara yang berbeda agama, karena prinsip keadilan dan asas

kemanusiaan yang universal bahwa manusia seluruhnya sama dipandang dari

sisi kemanusiaannya. Karena perbedaan agama (nonmuslim) sekalipun dalam

pandangan orang Islam sebagai dosa besar (kafir), tetapi bagi penganut agama

lain dipandang sebagai suatu kebenaran sesuai dengan ajaran agama dan

keyakinannya itu. Karena pandangan mengenai kebenaran itu bersifat

11 Abdullah Ahmed Annaim sebagaimana Dikutip Cipto Sembodo “Inklusifisme

Syari’ah” , Mimbar Hukum, 43, Jakarta: Al Hikmah, 1999, Hlm. 49.

Page 14: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

63

subyektif dan bergantung pada rasionalitas masing-masing individu,12 yang

satu sama lain sangat mungkin akan terdapat perbedaan. Yang hal itu patut

serta seharusnya dihargai dan dihormati oleh siapapun. Dan tampaknya

membiarkan ahli waris nonmuslim tidak mendapatkan bagian apapun dari

harta warisan pewaris muslim kurang relevan dengan nilai-nilai dan norma

hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.13

Pemberian hak Wasiat Wajibah kepada ahli waris nonmuslim juga

merupakan terobosan baru dalam lapangan ijtihad hukum waris untuk

memberikan rasa keadilan bagi masyarakat pada umumnya dan para pihak

yang bersengketa pada khususnya. Karena dalam UU yang berlaku, ahli waris

nonmuslim itu bukan merupakan ahli waris sehingga tidak mendapatkan

bagian apapun dari harta warisan (lihat, pasal 171 KHI).

Terobosan baru sebagaimana tindakan MA dalam perkara ini sudah

sepatutnya dilestarikan dalam penerapan pada perkara-perkara selanjutnya.

Karena walaupun dalam UU pertimbangan tersebut tidak ada, akan tetapi hal

tersebut telah sejalan dengan rasa keadilan masyarakat.

Dasar hukum lain yang mempunyai penafsiran hukum yang memberi

celah kepada ahli waris nonmuslim untuk memperoleh hak Wasiat Wajibah

untuk menerima bagian dari harta peninggalan pewaris muslim adalah Pasal

171 huruf E KHI :

12 Aliya Harb, Asilah Al-Haqiqah Wa Rahanat Al-Fikr: Muqarabat Naqdiyyah Wa

Sijaliyyah. Terj. Umar Bukhori dan Ghazi Mubarak “Relativitas Kebenaran Agama, Kritik dan Dialog”, Yogyakarta: IRCISOD, Cet. I, 2001, hlm. 157-158.

13 Dede Ibin, Loc.Cit.

Page 15: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

64

“Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tahjiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.” Pemberian untuk kerabat dalam pasal di atas dapat dipahami sebagai

suatu ketentuan bahwa suatu keluarga yang nonmuslim dapat diberi bagian.14

Selain itu, terdapat ketentuan bahwa hakim diwajibkan untuk menggali

hukum dalam menemukan keadilan. Penggalian hukum ini juga memberi

celah kepada hakim untuk menjatuhkan putusan tertentu yang dianggap

memenuhi faktor keadilan. Dan Wasiat Wajibah merupakan penemuan hukum

untuk menjawab problem hubungan muslim-nonmuslim dalam lapangan

hukum kewarisan Islam di Indonesia.

Pada dasarnya hukum memang ditemukan/bukan dibuat.15 Penemuan

hukum bukanlah merupakan sesuatu yang baru karena telah lama dikenal dan

dipraktikkan selama ini oleh hakim, pembentuk UU dan para sarjana hukum.

Dalam literatur Belanda telah banyak ditulis orang mengenai penemuan

hukum (rechtvinding) ini. Tidak jarang sementara sarjana hukum melakukan

proses penemuan hukum secara reflektif, tanpa disadari.16 Yang dimaksud

dengan penemuan hukum ialah proses pembentukan hukum oleh hakim atau

aparat lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan-peraturan hukum

umum pada peristiwa hukum kongkrit. Lebih lanjut dikatakan bahwa hukum

14 Habiburrahman, “Perkara Waris Problematika dan Matematikanya” dalam Suara

Urdilag Mahkamah Agung RI, II, Vol. 6, April,2005, hlm. 54-55. 15 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1988, hlm. 1. 16 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty,

1995, hlm. 78.

Page 16: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

65

adalah proses kongkritisasi atau individualisasi peraturan hukum (das solen)

yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa kongkrit (das sein)

tertentu.17

Di Indonesia hukum perdata menganut asas open sistem (sistem

terbuka). Hakim harus mampu melakukan rechtvinding (penemuan hukum)

agar dapat memberikan pelayanan hukum dan keadilan yang sesuai dengan

kesadaran hukum masyarakat. Oleh karena itu, hakim harus memperhatikan

struktur sosial dan perilaku masyarakat pencari keadilan.18 Hakim sebagai

organ pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan datang

kepadanya untuk memohon keadilan. Sehingga andaikata hakim tersebut tidak

menemukan hukum tertulis, maka ia wajib untuk menggali hukum yang tidak

tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai orang yang bijaksana dan

bertanggung jawab penuh kepada Tuhan YME, diri sendiri, masyarakat,

bangsa dan negara (pasal 16 ayat (1) UU no. 4 tahun 2004). Dan ketika terjadi

sebuah sengketa hukum yang diamanatkan kepada pengadilan, maka menjadi

tugas hakim karena jabatannya untuk menemukan hukumnya (pasal 28 UU

no. 4 Tahun 2004 dan penjelasannya jo pasal 1 dan penjelasannya), yaitu

dengan menggali hukum yang tidak tertulis dari sumbernya yang hidup dalam

masyarakat untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

Penggalian hukum adalah sebuah keniscayaan. Karena masyarakat itu

bergerak, berubah dan terus berkembang (dinamis), sementara teks hukum itu

17 Ibid., Hlm. 78. 18 A. Mukti Arto, op. cit., Hlm. 27.

Page 17: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

66

diam (statis). Dan manakala terjadi kasus hukum dalam masyarakat, sudah

seharusnya produk hukum dari perkara tersebut disesuaikan dengan kondisi,

kebutuhan rasa adil dan kemaslahatan yang diperlukan. Hakim mesti

melakukan terobosan baru karena ketentuan yang ada terkadang tidak sesuai

lagi dengan kondisi sosial yang ada. Hakim selaku yang berwenang harus

menyesuaikan teks-teks/ ketentuan-ketentuan hukum yang ada dengan kondisi

sosial secara nyata, agar rasa adil masyarakat dapat terpenuhi. Karena jiwa

dari UU sebenarnya ialah menciptakan hukum baru bagi kasus kongkrit.19

Karena hukum tujuannya adalah sepenuhnya utilitarian, yaitu keselamatan

hidup manusia, keamanan harta benda dan pemilikan, keamanan dan

ketertiban, kebahagiaan dan kesejahteraan dari masyarakat keseluruhannya,

atau dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat. Norma-normanya

bersifat relatif, bisa diubah dan bergantung pada keadaan. Dalam sistem

hukum yang demikian itu tidak ada yang dianggap abadi atau suci. Dan,

menerapkan hukum secara paksa dengan kaedah yang sudah tertinggal ke

dalam kondisi sosial yang sudah tidak sesuai hanya akan menghancurkan

esensi hukum itu sendiri.

Dengan adanya putusan Wasiat Wajibah bagi ahli waris nonmuslim, MA

telah memerankan dirinya sebagai pembuat UU yang melindungi kepentingan

para pihak, dengan menjatuhkan putusan yang mengikuti norma keadilan

masyarakat.

19 Hans Kelsen, Essays in Legal and Moral Philosophy Terj. Arief Sindunata “Hukum

dan Logika”, Bandung: Alumni, 1982, hlm. 71.

Page 18: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

67

Celah-celah tentang penggalian hukum ini terdapat dalam pasal-pasal

berikut :

Pasal 28 (1) UU No. 4 Tahun 2004:

“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memakai nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Pasal 229 KHI menyebutkan bahwa: “Hakim dalam menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.” Dalam GBHN 1998 dikatakan bahwa: “Dalam penerapan hukum, hakim disamping harus memperhatikan hukum yang tertulis (peraturan perundang-undangan) juga harus memperhatikan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat.” Ketentuan dalam pasal-pasal di atas membuka celah kepada hakim untuk

memberikan hak kepada ahli waris nonmuslim untuk mendapatkan bagian

dari harta peninggalan pewaris muslim, atas dasar Wasiat Wajibah ataupun

atas dasar apapun yang lain. Karena dalam menjatuhkan putusan, seorang

hakim diwajibkan untuk bersandar pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat.

Berkaitan dengan nilai dan norma hukum yang hidup dan berkembang

dalam masyarakat Indonesia, dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia

adalah masyarakat yang telah mengadakan kontrak sosial untuk hidup rukun,

damai, saling hormat menghormati dan tidak saling merendahkan harkat dan

martabat kemanusiaan atas dasar apapun. Baik karena perbedaan suku, budaya

maupun agama. Dengan kata lain, masyarakat Indonesia adalah masyarakat

Page 19: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

68

yang sepakat untuk menghargai dan menjunjung tinggi HAM setiap warga

negara lainnya. Kontrak sosial tersebut telah dituangkan dalam konstitusi

negara yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang sarat dengan nilai-nilai keadilan.20

UUD 1945 sebagai penjabaran dari Pancasila tersebut dalam bagian pasal-

pasalnya menguraikan sebagai berikut:

Pasal 28 D ayat (1)_:

“Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Pasal 28 E ayat (1) :

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…” Pasal 28 I ayat (2) :

“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Pasal 28 J ayat (1) :

“Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.” Dalam kondisi normal, dapat dikatakan bahwa norma keadilan

masyarakat Indonesia adalah hidup rukun, damai, saling hormat menghormati

dan tidak saling merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan atas dasar

apapun. Keadaan yang demikian memungkinkan masyarakat menyelesaikan

setiap permasalahan dengan jalan musyawarah dan perdamaian, termasuk

20 Dede Ibin, “Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Nonmuslim”, dalam Mimbar Hukum,

XV, 63, Maret-April, 2004, hlm. 97.

Page 20: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

69

dalam hal pembagian harta warisan. Dan adanya gugatan yang diajukan ke

pengadilan pada umumnya adalah karena para pihak sudah tidak bisa

menyelesaikan permasalahannya secara damai. Dengan kata lain, kondisinya

sudah tidak normal.

Dalam kondisi demikian, menjadi kewenangan hakim untuk

merumuskan hukum demi untuk menghadirkan keadilan di tengah-tengah

masyarakat yang bersengketa.

Menyerahkan perkara ke Pengadilan berarti menyerahkan penyelesaian

permasalahan kepada ijtihad majlis hakim dalam mencapai keadilan. Dan

untuk menghadirkan keadilan ini, hakim menggunakan dasar hukum tertulis

yaitu UU, serta hukum tidak tertulis yaitu nilai-nilai hukum yang hidup dan

berkembang dalam masyarakat.

Di depan Pengadilan, semua orang diperlakukan sama (pasal 5 ayat (1)

UU no. 4 Tahun 2004) karena hal ini merupakan HAM seorang warga negara.

Dan Indonesia telah meratifikasi DUHAM (Deklarasi Universal tentang Hak-

Hak Asasi Manusia) yang berarti Indonesia telah menyepakati dan akan

mengaplikasikan ketentuan-ketentuan dalam DUHAM tersebut ke dalam tata

hukum Indonesia. Ketentuan-ketentuan DUHAM tersebut antara lain:

Bahwa pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak terasingkan dari semua anggota kemanusiaan, keadilan dan perdamaian di dunia. Bahwa mengabaikan dan memandang rendah pada HAM telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan yang bengis yang menimbulkan rasa kemarahan dalam hati nurani ummat manusia, dan terbentuknya suatu dunia di mana manusia akan mengecap kenikmatan aspirasi tertinggi rakyat jelata. (mukadimah DUHAM) 21

21 Peter Baehr, dkk, Instrumen Internasional Pokok-Pokok Hak Asasi Manusia, Jakarta:

Obor Indonesia, 2001, hlm. 279.

Page 21: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

70

Dalam DUHAM, kebebasan beragama adalah termasuk salah satu dari

HAM sebagaimana disebutkan dalam pasal 18 yaitu bahwa:

Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama. Dalam hak ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun yang tersendiri.

Selain itu juga disebutkan dalam pasal 2:

“Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam pernyataan ini dengan tidak ada pengecualian apapun….” Dengan memperhatikan pasal-pasal di atas, jelaslah bahwa kebebasan

beragama merupakan salah satu HAM yang harus dihormati dan dijunjung

tinggi sebagai martabat seorang manusia, serta tidak diperlakukan

diskriminatif atasnya. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan kembali

manakala hendak mengeluarkan putusan bahwa Ahli Waris nonmuslim sama

sekali tidak akan mendapatkan sesuatu apapun dari harta peninggalan pewaris

muslim hanya karena adanya perbedaan agama yang merupakan HAM yang

dilindungi oleh negara. Sebagaimana perlunya dipertimbangkan kembali

untuk mengeluarkan suatu keputusan bahwa seorang warga negara yang

berpindah agama dari agama Islam (murtad) harus dihukum mati, atau

kesaksian warga negara nonmuslim tidak dapat diterima di depan hukum atas

warga negara muslim, sekalipun keputusan hukum tersebut sudah menjadi

kesepakatan mayoritas ulama’ dalam berbagai kitab fikih. Karena

sesungguhnya keputusan tersebut akan dirasakan oleh warga negara

nonmuslim telah menginjak-injak rasa keadilan dan merendahkan martabat

Page 22: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

71

kemanusiaan, bahkan tidak menutup kemungkinan akan dinilai tidak

menghormati HAM yang harus dijunjung tinggi serta telah menjadi

kesepakatan masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional.22

Alasan HAM merupkan celah dari pasal 5 ayat (1) UU no. 4 Tahun 2004

untuk memberikan bagian dari harta peninggalan pewaris muslim kepada ahli

waris nonmuslim.

Dari penelusuran di atas dasar hukum yang digunakan, yaitu pendapat

bahwa bagian Wasiat Wajibah untuk ahli waris nonmuslim itu seharusnya

sama dengan bagian bagian warisan anak perempuan itu adalah karena alasan

keadilan yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekarang. Karena

dalam pandangan hakim, masyarakat kita sekarang itu sudah berbeda dengan

dulu. Pada jaman yang lampau itu dengan tegas PA tidak memberikan

warisan kepada ahli waris non muslim karena bersandar pada Hadits. Akan

tetapi perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa hubungan antara umat

di Indonesia in sudah sedemikian rupa keadaannya, sehingga perlu pemikiran

keadilan dikalangan hakim. Oleh karena itu, hakim MA mempunyai pikiran

bahwa mereka memang bukan ahli waris, akan tetapi karena dia punya

hubungan darah yaitu anak dengan orang tua, maka dipertimbangkan bahwa

sangat adil kalau ahli waris itu diberi bagian sejumlah yang diperoleh ahli

waris yang lain. Keadilan untuk anak kandung yang menjadi ahli waris

nonmuslim ini dilogikakan dengan keadilan untuk anak angkat yang

memperoleh bagian Wasiat Wajibah. Alangkah tidak adil kalau anak angkat

22 Dede Ibin, Loc. Cit.

Page 23: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

72

saja diberi Wasiat Wajibah, apalagi itu anak kandung hanya karena pebedaan

akidah saja.23

Pemberian hak wasiat wajibah kepada ahli waris nonmuslim adalah

karena ahli waris nonmuslim itu tidak memperoleh bagian warisan

sebagaimana ahli waris muslim. Karena dalam hukum kewarasan Islam,

berlainan agama merupakan halangan untuk dapat saling mewarisi. Hal ini

didasarkan atas hadits :

عن عمر بن , عن غلي بن حسني, عن إبن شهاب, عن إبن جريج, حدثنا أبو عاصم

اليرث : أن النيب صل اهللا عليه وسلم قال, عن أسامة بن زيد رضي اهللا عنهم, عثمان

24).متفق غليه (املسلم الكافر وال الكافر املسلم

Artinya: “orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam.”

Dalam ke dua Hadits di atas, dinyatakan bahwa antara orang muslim dan

nonmuslim tidak dapat saling mewarisi. Hadits inilah yang dijadikan sebagai

landasan bahwa ahli waris yang nonmuslim sama sekali tidak memperoleh

bagian warisan. Dan hadits ini pulalah yang dijadikan sebagai sandaran

majlis hakim PA untuk tidak memberikan bagian warisan kepada ahli waris

yang beragama non Islam. Karena jika ahli waris yang tidak beragama Islam

ini diberikan bagian warisan, berarti hal ini bertentangan dengan Hadits

yang merupakan sumber hukum dalam hukum Islam.

23 Wawancara dengan Andi Syamsu Alam. 24 Imam Bukhari, Shohih Bukhari, Bairut: Dar al-Kutub Ilmiyah, Juz. 7, Hadits ke–

6764, 1992, hlm. 322.

Page 24: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

73

Majlis hakim MA dalam perkara no. 368 K/AG/1995 memberikan hak

bagian kepada ahli waris nonmuslim dari harta peninggalan pewaris muslim.

Tetapi majlis MA tidak menyatakan bahwa ahli waris nonmuslim adalah

seorang ahli waris serta memperoleh bagian warisan. Akan tetapi

memberikan bagian kepada ahli waris nonmuslim bagian wasiat wajibah.

Hal ini adalah karena dalam pandangan majlis hakim, putusan inilah yang

paling adil.

Dalam hal ini majlis hakim memberikan bagian wasiat wajibah dan

bukan bagian warisan. Sehingga putusan majlis hakim tersebut tidak

bertentangan dengan hadits serta mampu menghadirkan keadilan yang

disesuaikan dengan konteks masyarakat Indonesia sekarang di dalam

hubungan antara masyarakat muslim dan nonmuslim.

Pada dasarnya, ketentuan tentang pemberian hak wasiat wajibah kepada

ahli waris nonmuslim atas harta peninggalan pewaris muslim ini

bertentangan dengan pendapat beberapa Mufassir. Karena beberapa

Mufassir menafsirkan bahwa surat Al-Baqarah : 180 yang merupakan dasar

perintah berwasiat ini bukan merupakan dasar kewajiban berwasiat. Selain

itu, juga tidak ada ketentuan bahwa hakim wajib mengambil sejumlah

tertentu dari harta peninggalan seorang pewaris untuk dialokasikan sebagai

wasiat yang wajib ditunaikan.

Ibnu al-Arabi menafsirkan bahwa surat Al-Baqarah : 180 itu

menunjukkan bahwa hukum wasiat itu tidak wajib. Karena seandainya

hukum wasiat itu wajib, maka perintah wasiat itu tentu ditunjukkan dengan

Page 25: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

74

kata-kata untuk semua muslim, bukan untuk semua orang yang bertakwa.

Dan dalam ayat tersebut Allah hanya menyebutkan dengan kata-kata untuk

semua orang yang bertakwa saja, maka hal yang demikian ini menunjukkan

bahwa hukum wasiat itu tidak wajib.25

Ibnu katsir menafsirkan bahwa surat Al-Baqarah : 180 merupakan ayat

yang menunjukkan tentang kewajiban berwasiat. Akan tetapi kewajiban

berwasiat itu tidak berlaku lagi karena adanya ayat-ayat tentang pembagian

warisan. Sebelum turunnya ayat-ayat waris hukum wasiat memang wajib.

Akan tetapi setelah turunnya ayat-ayat waris, maka ketentuan dalam ayat-

ayat waris itulah yang dipegang.26

Imam Jalalain juga menafsirkan bahwa kewajiban berwasiat itu tidak

ada. Bahkan menurut mereka berwasiat kepada karib kerabat itu tidak

diperbolehkan. Karena hal tersebut bertentangan dengan Hadits yang

melarang berwasiat kepada ahli waris. Dan ayat tentang perintah wasiat

mansukh oleh Hadits tersebut.27

Pendapat yang berbeda dengan pendapat di atas adalah pendapat Imam

Maraghi yang menyatakan bahwa wasiat itu berdasarkan atas kebiasaan

yang berlaku di masyarakat serta kemampuan ekonomi seseorang, dengan

ketentuan tidak boleh lebih dari sepertiga.28 Dengan bersandar pada

kebiasaan masyarakat, maka pada masyarakat yang tidak mempersoalkan

25 Ibnu Al-Arabi, Ahkam Al-Qur’an, Cet. I, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1988,

hlm. 104. 26 Isma’il Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim, Cet. V, Beirut: Dar Al-Ma’rifah,

1992, Hlm. 217. 27 Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, Beirut :

Dar Al-Kutub Ilmiyah, Cet. II, 1992, hlm. 34. 28 Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir Maraghi, Dar Al-Fikr, Juz I, 1991, Hlm. 64-65.

Page 26: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

75

dikotomi muslim dan nonmuslim, wasiat kepada ahli waris nonmuslim dapat

dijalankan.

Dalam ilmu Ushul Fiqh, salah satu kaidah ushuliyah adalah al-‘adah

mukhakkamah. Sehingga jika tradisi dalam suatu masyarakat itu

memberikan bagian kepada ahli waris nonmuslim, maka secara hukum ahli

waris nonmuslim juga memperoleh bagian. Dan nampaknya, inilah yang

dijadikan pertimbangan oleh majlis hakim MA dalam menjatuhkan putusan

memberikan hak wasiat wajibah kepada ahli waris nonmuslim untuk

memperoleh bagian dari harta peninggalan pewaris muslim sebesar bagian

warisan seorang pewaris muslim.

M Qurasish Shihab berpendapat bahwa sebelum adanya hak waris,

hukum berwasiat adalah wajib. Dan setelah adanya hak waris, kewajiban

berwasiat tidak berlaku lagi. Akan tetapi menurutnya, wasiat bisa diberikan

kepada orang tua jika mereka tidak memperoleh bagian dalam warisan.29

Dan logikanya, apabila berwasiat kepada orang tua bisa dilakukan jika

mereka tidak memperoleh bagian warisan, maka wasiat kepada ahli waris

nonmuslim juga bisa dilakukan. Karena dalam hal ini posisi mereka sama,

yaitu sama-sama sebagai ahli waris yang tidak memperoleh bagian warisan.

Logika majlis hakim yang memberikan hak wasiat wajibah kepada ahli

waris nonmuslim ini juga senada dengan pemikiran M Quraish Shihab.

Karena dalam hal ini orang tua dan anak memiliki posisi yang sama yaitu

posisi sebagai ahli waris.

29 M Qurasish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,

Jakarta : Lentera Hati, Vol. I, 2002, Hlm. 398.

Page 27: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

76

Penafsiran tentang wasiat sebagai upaya penyelamatan hak juga

dinyatakan oleh Oemar Bakri. Menurutnya, di dalam Islam telah ada hukum

warisan. Di dalam warisan itu sudah ditentukan siapa yang akan

mendapatkan bagian serta berapa jumlahnya. Akan tetapi sekiranya ada yang

tidak mendapatkan bagian atau bagian yang di dapat itu kurang dari yang

semestinya, maka wasiat dapat meratakan pembagian harta yang

ditinggalkan. Jadi, wasiat ini merupakan suatu jalan untuk pemerataan,

sehingga akan menimbulkan rukun dan damai antara semua keluarga.30

Berdasarkan pendapat para Mufassir di atas, pendapat MA tentang hak

Wasiat wajibah untuk ahli waris nonmuslim ini bertentangan dengan

pendapat sebagian Mufassir, tetapi juga sejalan dengan pendapat beberapa

Mufassir yang lain.

Pendapat MA tersebut juga bertentengan dengan pendapat jumhur ulama

serta pendapat imam madzhab yang menyatakan bahwa tidak ada ketentuan

tentang kewajiban berwasiat kepada kerabat, sekalipun pada kerabat yang

tidak memperoleh bagian warisan. Karena kewajiban berwasiat itu mansukh

oleh ayat-ayat warisan serta Hadits tentang larangan berwasiat.31 Akan

tetapi, pendapat ini sama dengan pendapat Ibnu Hazm yaitu bahwa kerabat

yang tidak mewarisi itu wajib diberi wasiat.32

Pemberian hak wasiat wajibah bagi ahli waris nonmuslim dalam konteks

masyarakat yang plural merupakan suatu jalan pemeratan agar tidak terjadi

goncangan sosial antara warga yang berbeda agama. Sehingga diharapkan

30 Oemar Bakri, Tafsir Rahmat, Mutiara, Hlm. 53. 31 Alyasa Abubakar, Op. Cit, hlm. 191. 32 Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz IX, Beirut: Dar Al-Alaq, tt, Hlm. 314.

Page 28: BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1... · dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP. Berdasarkan

77

akan mampu mewujudkan kedamaian antara warga muslim dan nomuslim.

Ini merupakan hikmah yang terkandung dalam putusan pemberian hak

wasiat wajibah kepada ahli waris nonmuslim.

Majis hakim dalam mengggunakan Wasiat Wajibah untuk memberikan

hak bagian tertentu kepada ahli waris nonmuslim ini menganut hukum Wasiat

Wajibah di Mesir. Majlis hakim melakukan ittiba’ dengan hukum Wasiat di

Mesir karena dianggap bahwa hukum tersebut bisa diterapkan di Indonesia.

Dan al’adah al-muhakkamah dalam pandangan hakim tentang kasus ini

adalah memberikan hak bagian kepada ahli waris nonmuslim sebesar bagian

ahli waris muslim, dalam tiap jurai yang sama.33

33 Ibid.