bab iv analisis praktek srah-srahan dalam...

Download BAB IV ANALISIS PRAKTEK SRAH-SRAHAN DALAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/1/jtptiain-gdl-s1-2005... · pihak yang meminang agar dipenuhi ... atau temon pengantin. Hal

If you can't read please download the document

Upload: ledien

Post on 06-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • BAB IV

    ANALISIS PRAKTEK SRAH-SRAHAN DALAM PERSPEKTIF

    HUKUM ISLAM

    A. Analisis Yuridis Terhadap Srah-Srahan Di Desa Kalimati Kecamatan

    Brebes Kabupaten Brebes

    Masyarakat jawa, atau tepatnya suku bangsa jawa secara antropologi

    budaya adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan

    bahasa jawa dengan berbagai macam dialegnya secara turun-temurun.1

    Masyarakat jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat

    oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, maupun agama. Hal ini dapat

    dilihat dari ciri-ciri masyarakat jawa secara kekerabatan.

    Oleh karena itu, wajar pula kiranya ketika Islam dipahami oleh orang

    jawa, maka nilai-nilai kejawaan tidak sepenuhnya hilang, terlebih lagi salah

    satu teori tentang masuknya Islam ke Indonesia adalah melalui jalur Gujarat

    yang memiliki nuansa mistik sebagaimana kecenderungan orang jawa.

    Secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu

    dengan sebutan kenduren atau slametan. Seperti pada upacara perkawinan

    dilakukan pada saat muda-mudi akan memasuki jenjang berumah tangga.

    Upacara ini ditandai secara khas dengan pelaksanaan syariat Islam

    yakni aqad nikah (ijab qabul) yang dilakukan oleh pihak wali mempelai wanita

    dengan pihak mempelai pria dan disaksikan oleh dua orang saksi. Slametan

    1 M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2002, hlm. 3

    44

  • 45

    yang dilakukan berkaitan dengan upacara perkawinan ini sering pada tahap

    aqad nikah dan tahap sesudah aqad nikah (ngunduh manten, resepsi

    pengantin). Antara upacara aqad nikah dengan resepsi, dari segi waktu

    pelaksanaannya dapat secara berurutan atau secara terpisah. Jika terpisah,

    maka dimungkinkan dilakukan beberapa kali upcara slametan, seperti pada

    saat ngunduh manten, pembukaan nduwe gawe, ditandai dengan slametan

    nggelar klasa, dan pada saat mengakhirinya dilakukan slametan mbalik klasa.

    Srah-srahan yang merupakan upacara adat perkawinan orang jawa,

    mempunyai tempat yang sangat urgen dalam tata kehidupan masyarakat jawa.

    Hal ini disebabkan sifat orang jawa yang begitu kuat memegang tradisi dan

    kepercayaan mereka terhadap kekuatan supranatural membuat mereka takut

    untu meninggalkan suatu tradisi yang sudah ada.

    Srah-srahan dalam perkawianan adat jawa merupakan suatu

    pemberian yang mempunyai kedudukan penting dalam pelaksanaan suatu

    perkawianan dan mempunyai dampak yang sangat berarti dalam kehidupan

    calon suami berdasarkan fungsi srah-srahan baik yang berkaitan dengan diri

    pribadi calon pengantin maupun masyarakat sebagai syarat keabsahan suatu

    perkawinan. Srah-srahan merupakan suatu yang wajib adanya, yang harus

    diupayakan oleh seorang calon suami untuk diberikan kepada pihak calon

    istrinya. Walaupun bentuk suatu barang atau benda yang dijadikan srah-srahan

    sangat sederhana.

    Dalam hal pemberian srah-srahan tidak ditentukan jumlahnya

    maupun banyaknya barang yang akan diserahkan tergantung pada kemampuan

    45

  • 46

    masing-masing pihak. Perbedaan tingkat sosial dalam masyarakat

    mempengaruhi bentuk maupun jumlah srah-srahan yang dibayarkan menjadi

    hal yang perlu dipertimbangkan karena menyangkut prestise (harga diri)

    seseorang atau keluarganya. Sebagian masyarakat masih mengutamakan srah-

    srahan dari pada lamaran, karena kebanyakan orang jawa sering kali

    mempertanyakan berapa jumlah atau besar srah-srahan yang diberikan oleh

    calon suaminya sehingga srah-srahan terkadang lebih besar jumlahnya dari

    pada lamaran.2

    Srah-srahan dilihat dari kedudukannya dalam perkawinan adat jawa

    di desa Kalimati adalah sebagai sarana diterimanya suatu perkawinan dalam

    masyarakat, karena di dalam srah-srahan mengandung unsur-unsur yang

    dibutuhkan dalam suatu perkawinan. Menurut hukum adat suatu perkawinan

    dianggap sah apabila telah sesuai dengan ketentuan atau aturan-aturan agama

    yang dianut oleh pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan.

    Biasanya pembayaran atau pemberian itu terjadi satu hari sebelum

    perkawinan atau sebelum ijab qabul. Oleh karenanya ia merupakan syarat

    untuk melaksanakan perkawinan.3

    Biasanya pihak wanita adakalanya mengajukan permintaan kepada

    pihak yang meminang agar dipenuhi asok tukon yaitu misalnya meminta

    rantai emas disamping adanya peningset/serahan sebagai tanda cinta kasih

    dan mungkin juga pihak wanita akan meminta pula kembenini atau kain

    untuk nenek yang masih hidup sebagai syarat perkawinan mereka. Jika si

    2 Wawancara dengan Kyai Yasin, Kalimati tanggal 2 Nopember 2004 3 Wawancara dengan Noor Rosin, Kalimati tanggal 4 November 2004

    46

  • 47

    wanita masih mempunyai kakak pria atau wanita, kadang-kadang pihak wanita

    akan meminta uang pelangkah atau bahan pakaian lengkap untuk

    diberikan kepada kakak yang dilangkahi perkawinannya.4

    Berdasarkan waktu penyerahan srah-srahan menunjukkan bahwa

    kedudukannya sangat mempengaruhi lancarnya upacara perkawinan.

    Penyerahan srah-srahan baiasanya dilaksanakan sebelum upacara akad nikah

    atau temon pengantin. Hal ini dimaksudkan agar pihak keluarga mempelai

    wanita dapat mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang.

    Selain sebagai suatu syarat keabsahan perkawinan, srah-srahan

    berdasarkan unsur-unsur yang ada didalamnya juga merupakan pemberian

    hadiah. Unsur-unsur di dalam syaratnya juga merupakan suatu yang

    ditunjukkan untuk menyenangkan pihak-pihak tertentu misalnya unsur

    pemesing yaitu suatu yang diberikan kepada kakek atau nenek dari pihak

    wanita atau pelangkah yaitu yang diberikan kepada kakak calon pengantin

    perempuan yang dilangkahi.

    Dapat dikatakan bahwa srah-srahan mengandung unsur dua makna,

    pertama, dilihat dari kedudukan srah-srahan merupakan syarat keabsahan

    suatu perkawinan di kalangan masyarakat jawa. Kedua, dari segi fungsinya

    srah-srahan merupakan pemberian hadiah untuk menyenangkan semua pihak-

    pihak tertentu secara khusus (calon mempelai perempuan, kakek atau nenek

    dari pihak perempuan secara khusus).

    4 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003,

    hlm. 54

    47

  • 48

    Perkawinan menurut hukum adat berarti suatu ikatan antara seorang

    pria dengan wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan

    dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga

    berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari

    pihak istri dan pihak suami. Terjadinya perkawinan berarti berlakunya ikatan

    kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menjujung hubungan

    kekerabatan yang rukun dan damai.

    Selanjutnya sehubungan dengan azaz-azaz perkawinan yang dianut

    oleh UU No. 1/1974 maka asas perkawinan menurut hukum adat adalah:

    a. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan

    kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia, dan kekal.

    b. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan

    atau kepercayaan tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota

    kerabat

    c. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dengan beberapa wanita sebagai istri

    yang kedudukannya masing-masing ditentukan oleh hukum adat setempat.

    d. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota

    kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami istri yang tidak

    diakui masyarakat adat.

    e. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur

    dan masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur

    perkawinan harus berdasarkan izin orang tua atas keluarga dan kerabat.

    48

  • 49

    f. Perceraian ada yang dibolehkan ada yang tidak dibolehkan percaraian

    antara suami istri dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara

    kedua pihak.

    g. Keseimbangan kedudukan antara suami istri dan istri berdasarkan

    ketentuan hukum adat yang berlaku, ada istri yang berkedudukan sebagai

    ibu rumah tangga dan ada istri yang bukan ibu rumah tangga.5

    Srah-srahan merupakan pola yang umum dilakukan oleh masyarakat

    maksudnya adalah pola yang dapat ditemui pada masyarakat hukum adat yang

    ada di Indonesia ini. Dan merupakan rangkaian perkawinan yang masih

    dilakukan oleh masyarakat Kalimati.

    Walaupun srah-srahan tidak dijelaskan dalam Undang-Undang,

    namun srah-srahan sudah merupakan suatu tradisi yang harus dilakukan pada

    masyarakat tersebut.

    KEDUDUKAN SRAH-SRAHAN DALAM HUKUM ISLAM

    Khitbah di dalam hukum Islam dikenal dengan adanya pinangan

    yang dilakukan sebelum aqad nikah dengan memakai tenggang waktu atau

    pun tidak memakainya.6 Dalam hal ini al Qur'an menegaskan bahwa:

    ): (

    Artinya: Dan tidaklah salah bagi kamu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran yang baik atau kamu

    5 Ibid, hlm. 71 6 Djaman Nur, fikih Munakahat, Semarang : Bina Utama, Cet I, 1993, hal 16.

    49

  • 50

    menyembunyikan (keinginan mengawininya) dalam hatimu (al Baqarah : 235)7

    Ini berarti dalam hukum Islam dianjurkan adanya khitbah sebelum

    melangsungkan perkawinan. Supaya didapatkan ketentraman akan

    benarnya pilihan dari berbagai aspek perempuan yang dikehendaki,

    sehingga tidak ada lagi ganjalan dan keraguan.

    Agama Islam dalam menyikapi budaya jawa yang penuh dengan

    tradisi atau adat kebiasaan. Bahwa Islam menerima adat sepanjang tidak

    menyentuh dalam aqidah, adat atau kebiasaan masyarakat di satu daerah

    yang telah menjadi suatu ketentuan yang harus dilaksanakan dan dianggap

    sebagai aturan atau norma yang harus ditaati, maka adat tersebut dapat

    dikaitkan sebagai suatu hukum Islam yang mengakui keefektifan adat

    istiadat dalam interpretasi hukum.

    Syariat Islam mengakui adat sebagai sumber hukum karena sadar

    akan kenyataan bahwa adat kebiasaan telah memainkan peran penting

    dalam mengatur lalu lintas hubungan dan tertib sosial di kalangan anggota

    masyarakat. Adat kebiasaan berkedudukan pula sebagai hukum yang tidak

    tertulis dan dipatuhi karena dirasakan sesuai dengan rasa kesadaran hukum

    mereka. Adat kebiasaan yang tetap sudah menjadi tradisi dan menyatu

    dengan denyut kehidupan masyarakatnya. Dalam hal ini yang seperti ini

    adalah suatu hal yang sulit untuk mengubahnya karena itu, hal-hal yang

    tidak bertentangan dengan prinsip aqidah, tauhid dan tidak bertentangan

    pula dengan rasa keadilan dan peri kemanusiaan. Syariat Islam bukan saja

    7 Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, Semarang : CV. Toha Putra, tth, hal 57.

    50

  • 51

    membiarkan hukum adat berlangsung terus bahkan menempatkannya

    dalam kerangka hukum Islam itu sendiri.8

    Adat kebiasaan memainkan peranan penting didala sejarah

    perkembangan dan kebangkitan manusia baik didalam kehidupan sosial

    maupun dalam aspek-aspek kebudayaan lainnya. Peranan tersebut banyak

    dipengaruhi oleh dua faktor yang pokok yaitu iklim dan kebangsaan,

    kebiasaan menjadi bertambah kuat kedudukannya dengan perantaraannya

    yang memindahkannya sampai menjadi kepastian didalam kehidupan

    bangsa.9

    Tradisi srah-srahan dalam masyarakat jawa ini berlaku bagi

    orang-orang jawa bahkan suku lain di Indonesia juga memiliki adat yang

    hampir sama dengan srah-srahan namun berbeda dengan istilah nama atau

    penyebutannya. Oleh karena itu srah-srahan dalam perkawinan adat jawa

    di desa Kalimati kecamatan Brebes kabupaten Brebes dapat dikatakan

    sebagai suatu kebiasaan yang baik (urf as sohih).

    Adapun status hukum dalam srah-srahan menurut masyarakat

    Kalimati kecamatan Brebes kabupaten Brebes adalah merupakan syarat

    keabsahan suatu perkawinan hal itu dibolehkan dalam hukum Islam.

    Sesuai dengan kaidah :

    10

    8 Nourouzaman Shidiqi, Fiqh Islam Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka

    Pelajar, Cet. I, 1997, hlm. 123 9 Ibid hlm. 124 10 Kamal Mukhtar,dkk, Ushul Fiqh,Yogyakarta: PT Dana Bakti, Wakaf,1995 hlm. 150

    51

  • 52

    Dengan demikian srah-srahan dalam perkawinan adat jawa

    berdasarkan fungsi kedudukannya yang masih dipertahankan dan

    dilaksanakan oleh sebagian masyarakat jawa, selama tidak merugikan salah

    satu pihak dan sesuai dengan tujuan syara maka hukumnya adalah mubah

    (boleh).

    B. Analisis Soiologis Terhadap Srah-Srahan di Desa Kalimati

    Kecematan Brebes Kabupaten Brebes

    Fenomena srah-srahan di desa Kalimati yang menganut sistem

    patriarki dapatlah dipahami sebagai konsekuensi logis dari pihak perempuan

    yang mempunyai posisi kedua dari laki-laki, bagian harta warisnya juga

    separoh bagian laki-laki, sehingga wajar jika posisi yang lemah ini harus

    dilindungi dan bentuk srah-srahan dalam konteks ini lebih bernuansa

    mengangkat keadilan dan martabat perempuan.

    Dari sinilah nampaknya titik perbedan istilah srah-srahan di desa

    Kalimati dengan desa atau daerah lainnya. Srah-srahan merupakan bagian

    yang penting dalam perkawinan dalam desa Kalimati, dan bahkan hampir bisa

    dikatakan menjadi salah satu syarat dalam suatu perkawinan. Tidak ada srah-

    srahan, ya tidak ada perkawinan. Ungkap salah seorang warga Kalimati

    ketika diwawancarai penulis menujukkan betepa pentingnya srah-srahan

    dalam perkawinan.

    Dalam praktek pelaksanaan srah-srahan, pihak laki-laki memberikan

    sesuatu kepada perempuan selain sebagai bentuk penghormatan kepada

    perempuan juga merupakan bentuk tanggung jawab seorang suami kepada

    52

  • 53

    istrinya. Proses tanggung jawab yang berupa pemberian dalam srah-srahan

    ini akan dilanjutkan dalam kehidupan rumah tangga nantinya, dimana suami

    mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istrinya. Tanggung

    jawab dalam rumah tangga selanjutnya tidak sebatas tanggung jawab dalam

    hal materi, pemberian nafkah dan keperluan hidup lainnya, yaitu tempat

    tinggal, pakaian dan sebagainya. Namun juga mencakup immateri, nafkah

    batin, kasih sayang terhadap istri.11

    Srah-srahan dibebankan kepada pihak laki-laki disamping sebagai

    tanggung jawab atau kewajibannya suami juga berimplikasi sebaliknya, yaitu

    timbal balik tanggung jawab dan kewajiban bagi perempuan (istri), yaitu

    berbakti secara lahir dan batin kepada suami serta siap untuk mengatur

    keperluan dalam rumah tangga.

    Srah-srahan dibebankan kepada pihak laki-laki disamping sebagai

    tanggung jawab atau kewajibannya suami juga berimplikasi sebaliknya, yaitu

    timbal balik tanggung jawab dan kewajiban bagi perempuan (istri), yaitu

    berbakti secara lahir dan batin kepada suami serta siap untuk mengatur

    keperluan dalam rumah tangga.

    Dengan adanya sistem srah-srahan dalam perkawinan di desa

    Kalimati juga menunjukkan bahwa masyarakat tersebut menganut sistem

    patriarki (patrilineal), yaitu sistem sosial yang mendasarkan sebagai urusan,

    khususnya masalah interaksi dalam rumah tangga berdasarkan faktor

    keturunan dari pihak laki-laki (ayah). Pihak laki-laki dianggap sebagai pihak

    11 Tanggung Jawab dalam istilah hukum perkawinan Indonesia lebih dikenal dengan istilah hak dan kewajiban istri, dalam kompilasi hukum Islam di atur dalam Bab XII pasal 77 sampai dengan 84.

    53

  • 54

    yang memegang peranan dalam kehidupan rumah tangga dan interaksi sosial

    lainnya, sedangkan perempuan hanya bersifat membantu.

    Implikasi lain dari model masyarakat patriarki adalah dalam hal

    pembagian harta waris, dimana laki-laki adalah dua kali lipat bagian

    perempuan atau bagian perempuan itu separoh bagian laki-laki.

    Fenomena srah-srahan di desa Kalimati yang menganut sistem

    patriarki dapatlah dipahami sebagai konsekuensi logis dari pihak perempuan

    menempati posisi kedua dari laki-laki, bagian harta warisnya juga separoh

    bagian laki-laki, sehingga wajar bila posisi yang lemah ini harus dilindungi

    dan bentuk srah-srahan dalam konteks ini lebih bernuansa mengangkat

    keadilan dan martabat perempuan.

    Fenomena srah-srahan dalam proses perkawinan di desa Kalimati

    kecamatan Brebes kabupaten Brebes merupakan suatu adat atau tata cara yang

    bersifat lokal. Maksudnya, srah-srahan dalam perkawinan itu belum tentu

    dijumpai di daerah lain.

    Secara umum tradisi dalam masyarakat kita jika ada seorang pria

    hendak memperistri wanita, maka sang pria memberikan sesuatu benda atau

    uang kepada pihak calon pengantin wanita. Tidak ada ukuran standar

    mengenai bentuk dan ukuran pemberian tersebut, apakah itu berupa perhiasan

    (emas), uang tunai, perlengkapan rumah tangga, buah-buahan dan sebagainya.

    Bentuk-bentuk pemberian tersebut bersifat tidak mengikat, baik dalam ukuran

    dan jenisnya, dan bahkan jika tidak ada pemberian pun tidak menyebabkan

    terganggunya proses perkawinan.

    54

  • 55

    Posisi srah-srahan di desa Kalimati merupakan norma masyarakat.

    Norma-norma dalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang

    berbeda-beda. Srah-srahan dalam masyarakat Kalimati merupakan kebiasaan

    (folk ways), yang dalam ilmu sosial mempunyai kekuatan mengikat yang lebih

    besar dari pada cara (usage). Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang

    diulang-ulang dalam bentuk yang sama, merupakan bukti bahwa orang banyak

    menyukai perbuatan tersebut.12

    Dengan adanya sistem srah-srahan dalam perkawinan di desa

    Kalimati menunjukkan bahwa masyarakat tersebut menganut sistem patriarki

    (patrilenial), yaitu sistem sosial yang mendasarkan berbagai urusan, khususnya

    masalah interaksi dalam rumah tangga berdasarkan factor keturunan dari pihak

    laki-laki (ayah). Pihak laki-laki dianggap sebagai pihak yang memegang

    perenan yang signifikan dalam kehidupan rumah tangga dan interaksi sosial

    lainnya, misalnya laki-laki dianggap lebih kuat, lebih pintar, dan lebih mampu

    dari perempuan. Oleh karenanya laki-laki dibebani tanggung jawab dan

    pelaksanaan utama, sedangkan perempuan hanya bersifat membantu.

    Fenomena srah-srahan di desa Kalimati yang menganut sistem

    patriarki dapatlah dipahami sebagai konsekuensi logis dari pihak perempuan

    yang mempunyai posisi kedua dari laki-laki, bagian harta warisnya juga

    separoh bagian laki-laki, sehingga wajar jika posisi yang lemah ini harus

    dilindungi dan bentuk srah-srahan dalam konteks ini lebih bernuansa

    mengangkat keadilan dan martabat perempuan.

    12 Soerjono Soekanto, Sosiologi, Suatu Pengantar, CV. Rajawali, Jakarta, 1982, Edisi

    Baru, hlm. 194-195

    55

  • 56

    Dari sinilah nampaknya titik perbedan istilah srah-srahan di desa

    Kalimati dengan desa atau daerah lainnya. Srah-srahan merupakan bagian

    yang penting dalam perkawinan dalam desa Kalimati, dan bahkan hampir bisa

    dikatakan menjadi salah satu syarat dalam suatu perkawinan. Tidak ada srah-

    srahan, ya tidak ada perkawinan. Maksudnya apabila tidak ada srah-srahan

    maka perkawinananyan dilaksanakan diluar daerah. Ungkap bapak H.Abas

    warga Kalimati ketika diwawancarai penulis menujukkan betapa pentingnya

    srah-srahan dalam perkawinan padahal semua itu hanya menjaga gengsi.13

    Dalam praktek pelaksanaan srah-srahan, pihak laki-laki memberikan

    sesuatu kepada perempuan selain sebagai bentuk penghormatan kepada

    perempuan juga merupakan bentuk tanggung jawab seorang suami kepada

    istrinya. Proses tanggung jawab yang berupa pemberian dalam srah-srahan

    ini akan dilanjutkan dalam kehidupan rumah tangga nantinya, dimana suami

    mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istrinya. Tanggung

    jawab dalam rumah tangga selanjutnya tidak sebatas tanggung jawab dalam

    hal materi, pemberian nafkah dan keperluan hidup lainnya, yaitu tempat

    tinggal, pakaian dan sebagainya. Namun juga mencakup immateri, nafkah

    batin, kasih sayang terhadap istri.14

    Srah-srahan dibebankan kepada pihak laki-laki disamping sebagai

    tanggung jawab atau kewajibannya suami juga berimplikasi sebaliknya, yaitu

    timbal balik tanggung jawab dan kewajiban bagi perempuan (istri), yaitu

    13 Wawancara dengan bapak H. Abas pada tanggal 16 oktober 2004 14 Tanggung Jawab dalam istilah hukum perkawinan Indonesia lebih dikenal dengan

    istilah hak dan kewajiban istri, dalam kompilasi hukum Islam di atur dalam Bab XII pasal 77 sampai dengan 84.

    56

  • 57

    berbakti secara lahir dan batin kepada suami serta siap untuk mengatur

    keperluan dalam rumah tangga.

    Dengan adanya sistem srah-srahan dalam perkawinan di desa

    Kalimati juga menunjukkan bahwa masyarakat tersebut menganut sistem

    patriarki (patrilineal), yaitu sistem sosial yang mendasarkan sebagai urusan,

    khususnya masalah interaksi dalam rumah tangga berdasarkan faktor

    keturunan dari pihak laki-laki (ayah). Pihak laki-laki dianggap sebagai pihak

    yang memegang peranan dalam kehidupan rumah tangga dan interaksi sosial

    lainnya, sedangkan perempuan hanya bersifat membantu.

    Implikasi lain dari model masyarakat patriarki adalah dalam hal

    pembagian harta waris, dimana laki-laki adalah dua kali lipat bagian

    perempuan atau bagian perempuan itu separoh bagian laki-laki.

    Fenomena srah-srahan di desa Kalimati yang menganut sistem

    patriarki dapatlah dipahami sebagai konsekuensi logis dari pihak perempuan

    menempati posisi kedua dari laki-laki, bagian harta warisnya juga separoh

    bagian laki-laki, sehingga wajar bila posisi yang lemah ini harus dilindungi

    dan bentuk srah-srahan dalam konteks ini lebih bernuansa mengangkat

    keadilan dan martabat perempuan.

    57

    KEDUDUKAN SRAH-SRAHAN DALAM HUKUM ISLAM