bab iv analisa hadis tentang doa nabi terhadap …digilib.uinsby.ac.id/1182/9/bab 4.pdf · hubungan...
TRANSCRIPT
73
BAB IV
ANALISA HADIS TENTANG DOA NABI TERHADAP
MUAWIYAH DALAM MUSNAD ABU< DA<WUD AL-T{AYA<LISI
A. Kesahihan Hadis
Kesahihan Hadis Tentang doa nabi terhadap muawiyah dalam musnad
al-t{ayalisi ini akan dikaji dalam dua pembahasan, yaitu kesahihan sanad hadis dan
kesahihan matan hadis. Lantaran sebuah hadis dapat dikatakan sahih apabila
kualitas sanad dan matannya sama-sama bernilai sahih,
1. Kualitas Sanad Hadis
Sebelum melakukan penelitian sanad hadis, akan dilampirkan terlebih
dahulu teks hadis beserta sanadnya dari riwayat Abu> Da>wud al-T{aya>lisi No.
Indeks 2869:
Pada hadis di atas terlihat bahwa hadis ini di temukan beberapa perowi
hadis sebagai berikut:
1) Abu> Da>wud al-T{aya>lisi
2) Hushaim dan Abu ‘Awa>nah
3) Abi> H}amzah al-Qas}s}a>b
4) Ibnu ‘Abba>s
74
Kritik ulama terhadap perawi-perawi tersebut dapat dipaparkan berurutan
berdasarkan mukharr@j al-hadi>th hingga perawi dari kalangan s}ahabi. Kritik
tersebut dikemukakan sebagai berikut:
1) Abu> Da>wud al-T{aya>lisi (133-204 H)1 sebagai Mukharri>j al-Hadi>th
a) Nama lengkapnya: Sulaima>n ibn Da>wud ibn al-Ja>rud al-T{ayalisi.
b) Gurunya antara lain: Shu’bah bin al-Hajja>j bin al-Wardi, Ibra>hi>m bin
Sa’d, Bist}am bin Muslim, Jari>r bin Ha>zim, Jari>r bin Abdul Hami>d,
Ja’far bin Sulaima>n al-D{uba‘y, Habi>b bin Yazi>d, Harb bin Shadda>d,
Harish bin Sulaim, Hasan bin Abi Ja’far (W. 167 H), Hakam bin
‘At}iyyah, Rabi‘ bin S}abih, al-Waddah bin Abdullah, Hushaim bin
Bashi>r bin al-Qa>sim bin Di>na>r, Sufya>n al-Tsauri, Abdullah bin Budail,
‘Abbad bin Manshu>r.
Setelah diketahui bahwa al-T{ayalisi dan Abu ‘Awa>nah (al-Waddah bin
Abdullah) dan Hushaim bin Bashi>r bin al-Qa>sim bin Di>na>r mempunyai
hubungan guru dengan murid, maka dapat dipastikan adanya pertemuan
di antara keduanya.
c) Muridnya antara lain: Ahmad Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin
Asad al-Dzuhaili as-Saibani (W. 241 H), Ibra>hi>m bin Marzu>q al-Bas}ry,
Ahmad bin Sinan al-Qat}a>n, Mahmud bin Ghilan, ‘Abdullah bin al-
Haitham al-‘Abdiy, ‘Abdul Malik bin Marwa>n al-Ahwa>zi, Muhammad
1Jamaluddin Abi Hajjaj Yusuf al-Rozi, Tahdhi>b al-Kama>l fi> Asma>i al-Rija>l, Juz 8
(Beirut: Da>r al-Fikr, 1994), 45; Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdhi>b al-Tahdhi>b, Juz 3
(Beirut: Da>r al-Fikr, 1995), 469
75
bin Bashar Bundar, Muhammad bin Humaid al-Razi, Yu>nus bin Habi>b
al-As}bihani.
d) Lahir dan wafatnya: lahir pada tahun 133 H, dan meninggal pada tahun
204 H. Ulama sepakat menempatkannya pada t}abaqat ke-IX.
e) Kritik ulama kepadanya:
Ibn Hajar: Thiqah, Hafiz}
Amr bin Falas dan Ibnu al-Madani berkata: saya tidak melihat ulama
hadis yang lebih baik hafalannya darinya.
Waqi’ berkata: tidak ada seorangpun yang lebih baik dalam
menghafalkan hadis dari pada Abu> Da>wud, beliau juga berkata
bahwa Abu> Da>wud adalah gunungnya ilmu.
f) Si>ghah al-Tahdi>th yang dipergunakan: Haddathana>
Lambang yang digunakan adalah kata “Haddathana>” kata
tersebut menunjukkan adanya proses penerimaan hadis secara al-sama>’.
Cara demikian ini, merupakan cara yang tinggi nilainya, menurut para
muhaddithin. Dengan demikian, periwayat al-T{ayalisi yang
mengatakan bahwa dia telah menerima riwayat hadis diatas dari Abu
‘Awa>nah dan Hushaim bin Bashi>r bin al-Qa>sim bin Di>na>r dengan cara
atau metode al-sama>’, maka hal seperti itu dapat dipercaya akan
kebenarannya. Semua itu berarti sanad antara al-T{ayalisi dan Abu
‘Awa>nah dalam keadaan bersambung (Muttas}i>l).
76
2) Abu ‘Awa>nah2
a. Nama Lengkapnya: al-Wad}d}a>h bin ‘Abdullah al-Yashkuri, Abu
‘Awa>nah al-Wa>sit}i al-Bazza>z
b. Gurunya antara lain: Ibra>hi>m bin Muhammad bin al-Muntashir, Ibra>hi>m
bin Maisarah al-T}a>ifi, al-Aswad bin Qais, Ayu>b al-Sakhtiyani, Bashar
bin Numair, Buki>r bin al-Akhnas, Ja>bir bin Yazi>d al-Ju‘fi, Abi> Hamzah
al-Qas}a>b, Abi> al-Zubair al-Maki>.
Setelah diketahui bahwa Abu ‘Awa>nah dan Abi> Hamzah al-Qas}a>b
mempunyai hubungan guru dengan murid, maka dapat dipastikan adanya
pertemuan di antara keduanya.
c. Muridnya antara lain: Juba>rah bin al-Mughallis, Haba>n bin Hila>l, Haja>j
Ibnu Minha>l, ‘Abdurrahma>n bin Mahdi, ‘Affa>n bin Muslim, Qutaibah
bin Sa‘i>d al-Balkhi, Yazid bin Zurai‘, Abu> Da>wud al-T}aya>lisi.
d. Wafatnya: 176 H
e. Penilaian Ulama kritikus:
Abu> Zur‘ah: Thiqqah
Abu> Ha>tim: Thiqqah, S}udu>q
f. Si>ghah al-Tahdi>th yang dipergunakan: ‘An
Lambang periwayatan menggunakan huruf ‘an, Meskipun
menggunakan lafz} tersebut, tetapi mempunyai kemungkinan akan adanya
pertemuan antara mereka berdua dengan alasan di antara keduannya
2al-Rozi, Tahdhi>b al-Kama>l, Juz 30..., 442
77
terjadi proses guru dan murid, sehingga sanad antara Abu ‘Awanah dan
Abu Hamzah dalam keadaan bersambung (Muttas}i>l).
3) Hushaim
a. Nama lengkapnya: Hushaim bin Bashi>r bin al-Qa>sim bin Di>na>r al-
Sulami
b. Gurunya antara lain: al-Ajlah bin ‘Abdullah al-Kindi, Isma>‘i>l bin Abi>
Kha>lid, Isma>‘i>l bin Sa>lim al-Asadi, Ash‘ath bin Sawwa>r, Ayu>b al-
Sakhtiya>ni, al-Haja>j bin Abi> Zainab, Hamzah bin Di>na>r, Kha>lid al-
Hadhdha’, Khas}i>b bin Zaid al-Tami>mi, Da>wud bin Abi> Hindun, Sufya>n
bin Husain, Sulaima>n al-A’mash, Sulaima>n al-Taimi, Shu‘bah bin al-
Haja>j, S{alih bin ‘A>mir, Abi> Hamzah al-Qas}ab, Abi> Ha>syim al-Ruma>ni.
Setelah diketahui bahwa Hushaim dan Abi> Hamzah al-Qas}a>b
mempunyai hubungan guru dengan murid, maka dapat dipastikan adanya
pertemuan di antara keduanya.
c. Muridnya antara lain: Ibrahim bin al-Mujashar, Ahmad bin Hanbal,
Ahmad bin Mani>‘ al-Baghawi, Ahmad bin Na>s}ih al-Mis}s}is}i, Isma>‘i>l bin
Sa>lim al-S}a>igh, Buna>n bin Ahmad al-Qat}an, Abu> Da>wud al-T}aya>lisi.
d. Wafatnya: W. 183 H
e. Penilaian Ulama kritikus:
- Abdurrahman bin Abi Hatim: Thiqqah
- Muhammad bin Sa’d: Thiqqah
f. Si>ghah al-Tahdi>th yang dipergunakan: ‘An
78
Lambang periwayatan menggunakan huruf ‘an, Meskipun menggunakan
lafz} tersebut, tetapi mempunyai kemungkinan akan adanya pertemuan
antara mereka berdua dengan alasan di antara keduannya terjadi proses
guru dan murid, sehingga sanad antara Hushaim dan Abu Hamzah dalam
keadaan bersambung (Muttas}i>l).
4) Abu Hamzah3
a. Nama lengkapnya: ‘Imra>n bin Abi ‘At }a>’
b. Gurunya antara lain: Anas bin Ma>lik (W. 68 H), ‘Abdullah bin ‘Aba>s
(W. 68 H), Muhammad bin ‘Ali Ibn al-Hunafiyah, dan Abi>hi Abi> al-
‘At}a’ al-Asadi.
Setelah diketahui bahwa Abi> Hamzah al-Qas}a>b dan ‘Abdullah bin ‘Aba>s
mempunyai hubungan guru dengan murid, maka dapat dipastikan adanya
pertemuan di antara keduanya.
c. Muridnya antara lain: al-Khali>l bin Juwairiyah al-‘Anbari, Sufyan al-
Thauri, Shu‘bah bin al-Hajaj, Hushaim, Abu ‘Awanah al-Wad}d}a>h bin
‘Abdullah, Yunus bin ‘Ubaid.
d. Wafat:
e. Kritik ulama kepadanya:
Ibnu Hibban: Thiqah
Yahya bin Ma‘in: Thiqah
f. Si>ghah al-Tahdi>th yang dipergunakan: ‘An
3al-Rozi, Tahdhi>b al-Kama>l Juz 22..., 342
79
Lambang yang digunakan adalah kata “‘An”. Dalam hal ini
Mayoritas ulama menilainya seperti al-samā’. Cara demikian ini,
merupakan cara yang tinggi nilainya, menurut para muhaddithin.
Walaupun Abu> H}amzah al-Qas}s}}a>b menggunakan lambang ‘An dalam
periwayatannya tersebut, pernyataan Abu> H}amzah al-Qas}s}}a>b yang
menyatakan bahwa dia menerima hadis dari Ibnu ‘Abba>s dapat
dipercaya, karena terdapat hubungan guru dan murid sehingga dipastikan
terdapat pertemuan di antara keduanya. Dengan demikian, sanad antara
Abu> H}amzah al-Qas}s}}a>b dan Ibnu ‘Abba>s dalam keadaan bersambung
(Muttas}i>l).
5) Ibnu ‘Abba>s4
a. Nama lengkapnya: Abdullah bin 'Abba>s bin 'Abdul Muthallib bin
Ha>syim
b. Gurunya antara lain: Nabi Saw, Ubay bin Ka‘ab, Usamah bin Zaid,
Buraidah bin al-Hus}aib al-Aslami, Tami>m ad-Daryi, Khalid bin al-
Walid, ‘Abdurrahman bin ‘Auf.
c. Muridnya antara lain: Ibrahi>m bin ‘Abdullah bin Ma‘bad bin ‘Abbas, al-
Arqam bin Shurahbi>l al-Awdiy, Isha>q bin Abdullah bin kina>nah, Isma>‘i>l
bin ‘Abdurrahman bin as-Sudi, Bakar bin ‘Abdullah al-Muzani,
tha‘labah bin al-Hakim al-Laith, Habi>b bin Abi Tha>bit, Abu> Hamzah al-
Qas}a>b.
d. wafat: 68 H
4al-Rozi, Tahdhi>b al-Kama>l Juz 15..., 154
80
e. Kritik ulama kepadanya:
Ibn Hajar al-Athqalani: Sahabat
Adz-Zahabi: Sahabat
f. Si>ghah al-Tahdi>th yang dipergunakan: Anna
Ibnu ‘Abba>s adalah seorang Sahabat Rasulullah SAW, sehingga
sehingga kredibilitas periwayatannya tidak diragukan kembali,
Tingkatannya menurut Ibnu hajar adalah Shahabi>, Sedangkan menurut al-
Dhahabi> adalah Shahabi>.
Lambang yang digunakan oleh Ibnu ‘Abba>s adalah kata Anna,
Meskipun demikian, tetapi memungkinkan adanya pertemuan antara Abu
Hurairah dengan Rasulullah dengan alasan terjadi proses guru dan murid,
yang dijelaskan oleh penulis kitab tahdhi>b al-kamal. Sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari
Rasulullah itu dihukumi Muttas}i>l
Berdasarkan dari hasil penelusuran sanad hadis yang tercantum dalam
kitab Musnad al-T}ayalisi tentang doa Nabi terhadap Muawiyah, yang dari
semua perawi terdapat hubungan guru dan murid, dan juga memungkinkan
untuk adanya pertemuan, sehingga tidak diragukan lagi bahwa riwayat tersebut
bersambung (muttasil). Selain itu, setiap perowi yang meriwayatkan hadis
tersebut adalah perawi yang ‘Adil dan D}a>bit}, tidak ada kritikus yang mencela
mereka, Sehingga berdasarkan semua data yang didapat, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa hadis riwayat Abu> Da>wud al-T}aya>lisi ini berkualitas S{ahi>h
lidha>tihi.
81
2. Kualitas Matan Hadis
Penelitian Selanjutnya, agar kritik matan tersebut dapat menentukan
kesahihan suatu matan yang benar-benar mencerminkan keabsahan suatu hadis,
maka tentunya harus dilakukan penelitian terhadap matan sebagaimana
dijelaskan dalam bab II dalam landasan teori, sebagai berikut:
a. Korelasi dengan al-Quran
Secara jelas di dalam ayat al-Quran tidak ditemukan ayat yang
bertentangan dengan hadis di atas. Doa Nabi terhadap Muawiyah bisa jadi
merupakan doa yang baik, karena bahwasannya Allah SWT telah
memerintahkan hamba-Nya melalui kalam-Nya sebagai berikut,
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap
(memasuki) masjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-
lebihan. Sesungguh-nya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.5
Ayat tersebut menunjukkan bahwasannya terdapat perintah untuk
makan dan minum sesukanya asalkan dapat menghindari beberapa hal yakni
berlebih-lebihan dan sombong. Menurut sebagian ulama ayat tersebut
mengandung perintah untuk makan dan minum dari segala sesuatu yang
direzekikan oleh Allah, maksudnya jangan memakan yang diharamkan
karena memakan yang diharamkan merupakan perbuatan yang berlebih-
5Al-Quran, 07:31
82
lebihan, dan juga terdapat larangan untuk makan dan minum yang
dihalalkan dengan tidak berlebih-lebihan.6
b. Korelasi dengan hadis lain
Setelah melakukan penelitian mengenai hadis yang setema dengan
hadis yang diteliti ini, maka dapat ditemukan bahwa terdapat riwayat lain
yang meriwayatkan hadis ini selain al-T}ayalisi sebagaimana yang
desebutkan dalam bab sebelumnya, sehingga untuk mempermudah
penelitian tentang otentitas hadis maka akan dipaparkan hadis dari riwayat
lain, yakni hadis dari riwayat Imam Muslim No. Indeks 2604 sebagaimana
berikut,
7
Dibandingkan dengan hadis dari Abu> Da>wud al-T{aya>lisi
sebagaimana berikut,
6Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir ad-Dimasyki, Tafsir Ibnu Katsir Juz VIII,
(Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000), 291 7Al-Ima>mu Muslim bin al-Hajja>j al-Qushairi al-Naisa>bu>ri>, S{ah}i>h} Muslim, Juz: 8,
(Beirut: Da>rul kutub al-‘Ilmiyah, 1971), 566
83
Dari pemaparan tersebut dapat ditemukan hadis yang berbeda
matannya, di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Da>wud al-
T{aya>lisi lebih ringkas dibanding dengan hadis yang dikeluarkan oleh Imam
Muslim, namun meski terdapat beberapa matn yang berbeda, secara prinsip
mempunyai substansi yang sama tidak ada yang bertentangan. Perbedaan
lafaz} pada matan hadis justru saling melengkapi dan memperjelas satu
dengan yang lain. Seperti halnya pada hadis riwayat imam muslim tidak
disebutkan kebutuhan Nabi mengutus Ibnu Abbas untuk memanggil
Muawiyah, sedangkan di dalam hadis riwayat Abu> Da>wud al-T{aya>lisi
disbutkan bahwasannya kebutuhan Nabi mengutus Ibnu Abbas untuk
memanggil Muawiyah yakni liyaktuba lahu. Perbedaan matan hadis tersebut
menunjukkan terjadinya periwayatan secara makna, menurut ulama hadis
perbedaan lafaz} yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan
sanadnya sama-sama sahih, maka hal itu tetap dapat ditoleransi,8 sehingga
perbedaan tersebut tidak merubah kredibilitas hadis itu, dan juga tidak
merubah substansi pemahaman yang terkandung dalam hadis tersebut.
Pemaparan di atas tentulah dapat dipahami, bahwa tidak ditemukan
dari redaksi hadis lain yang bertentangan terhadap hadis riwayat al-T}aya>lisi
tentang doa Nabi terhadap Muawiyah,
8M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1992), 131
84
c. Korelasi dengan Fakta Sejarah
Melihat fakta sejarah pada masa Nabi di mana hadis tersebut
dilontarkan adalah bahwa penyebab turunnya hadis ini adalah– sebagaimana
yang di riwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwasannya Pada suatu ketika, Ibnu
Abbas sedang bermain bersama anak-anak. Tiba-tiba Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam datang dan Ibnu Abbas langsung bersembunyi di balik
pintu. Kemudian beliau mendekat seraya menepuk pundaknya dari belakang
dan berkata: “Hai Abdullah, pergi dan panggil Mu'awiyah kemari!”, Tak
lama kemudian dia datang untuk menemui Rasul sambil berkata; “Ya
Rasulullah, Mu'awiyah sedang makan.” Setelah itu, Rasulullah
menyuruhnya kembali sambil berkata: “Pergi dan panggil Mu'awiyah untuk
datang kemari!” Kemudian Ibnu Abbas datang menemui Rasulullah dan
berkata: “Ya Rasulullah, Mua'wiyah sedang makan.” Lalu Rasulullah
berkata: “Semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya.”
Di dalam hadis riwayat Abu> Da>wud al-T}aya>lisi menyebutkan
bahwasannya tujuan Rasulullah memanggil Muawiyah yakni untuk
menuliskan wahyu untuknya, dalam hal ini Fakta sejarah menyatakan
bahwasannya Muawiyah merupakan sekretaris atau penulis wahyu untuk
Rasullah dan ungkapan doa Nabi terhadap Muawiyah merupakan ungkapan
yang biasa diungkapkan oleh bangsa Arab.
Penjelasan di atas menunjukkan dapatlah diketahui bahwa hadis
tersebut memang dilontarkan berhubungan dengan konteks yang ada, yakni
sesuai dengan melihat latar belakang masalah yang ada, dengan demikian
85
dapat dikatakan bahwa hadis ini tidak bertentangan dalam pemahamannya
bila melihat terhadap sebab turunnya hadis tersebut.
d. Korelasi dengan Akal
Menurut pandangan akal, tentunya makna yang terkandung dalam
hadis riwayat Abu> Da>wu>d al-T}a>yalisi tentang doa Nabi terhadap Muawiyah
tidaklah bertentangan dengan akal sehat. Bukankah sudah menjadi sebuah
keharusan seorang muslim untuk mendoakan muslim yang lainnya. Begitu
juga Rasulullah SAW yang mendoakan Muawiyah semoga tidak kenyang
perutnya. Dalam hal ini telah dijelaskan pada bab yang lalu bahwasannya
Muawiyah merupakan sahabat Nabi dan juga seorang penulis wahyu. Di
dalam hadis riwayat al-T}ayalisi telah disebutkan bahwasannya kebutuhan
Nabi memanggil Muawiyah yakni untuk menuliskan wahyu untuknya. Bisa
jadi karena kebanyakan makan, sehingga dikhawatirkan akan mengganggu
konsentrasi Muawiyah dalam proses penulisan wahyu, karena Dengan
demikian tidak heran bila Rasulullah mendoakan Muawiyah dengan doa
beliau “Semoga Allah tidak mengenyangkan perut Muawiyah”
Menurut ahli medis terdapat beberapa efek negatif yang
ditimbulkan bagi orang yang banyak makan, di antaranya ialah9:
1. Banyak makan menyebabkan obesitas (kegemukan)
Obesitas merupakan peningkatan massa jaringan lemak pada tubuh
karena asupan energi lebih besar dari pada energi yang dikeluarkan.
Penyebabnya adalah pola makan dan aktivitas fisik. Orang yang
9Abu Idris Carko, http://ackogtg.wordpress.com/2010/10/23/akibat-bila-terlalu-
banyak-makan/ “akibat bila terlalu banyak makan” (Selasa, 13 Mei 2014, 12.03)
86
kelebihan makan, sementara aktivitas fisiknya sedikit, jelas akan
mengalami obesitas. Obesitas adalah sumber berbagai macam penyakit
metabolik. Penyakit-penyakit yang dapat muncul antara lain : diabetes
(penyakit gula), hipertensi (darah tinggi), penyakit jantung,
dislipidemia, stenosis hati, gangguan saluran cerna, gangguan tidur, dan
lain-lain.
2. Banyak makan menyebabkan kolesterol darah tinggi
Kolesterol dibutuhkan untuk fungsi tubuh yang normal dan merupakan
sumber kalori tubuh. Hepar (hati) memproduksi kolesterol yang cukup
untuk kebutuhan tubuh sehingga pada dasarnya kita tidak perlu
mengkonsumsi kolesterol. Bila kadar kolesterol darah tinggi, prinsip
utama mengatasinya adalah dengan mengatur pola makan,
mempertahankan berat badan normal, mengurangi kadar lemak darah,
dan melakukan aktivitas fisik yang cukup.
Orang yang kelebihan berat badan cenderung kolesterolnya tinggi
karena mengalami resistensi insulin yang menyebabkan perubahan
metabolisme lemak. Kolesterol adalah lemak dalam darah, bukan lemak
yang berada di bawah kulit. Jadi, bisa saja orang yang berbadan kurus
kolesterolnya tinggi.
Kadar kolesterol total normal adalah 200 mg/dl. Bila kadar berlebih,
akan terjadi penumpukan endapan lemak dalam pembuluh darah,
kemudian menjadi plak. Plak menyebabkan penebalan dan hilangnya
elastisitas dinding pembuluh darah. Ini dinamakan aterosklerosis. Plak
87
aterosklerosis merupakan penyebab penyakit jantung koroner dan
stroke.
3. Banyak makan menyebabkan mudah lupa (pikun)
Studi yang dilakukan di Mount Sinai School of Medicine menunjukan
bahwa penderita penyakit Alzheimer (penyakit utama penyebab
kepikunan) mengalami peningkatan kadar peptid beta amyloid. Peptid
ini menyebabkan pembentukan plak di otak (ciri utama penyakit
Alzheimer) serta mengaktifkan SIRT 1 (kelompok protein yang
mempengaruhi sejumlah fungsi tubuh seperti metabolisme dan aging).
Studi ini menunjukan bahwa peptid beta amyloid di otak dapat
dikurangi dengan membatasi asupan kalori. Sebaliknya, makanan tinggi
kalori dan lemak jenuh tampak meningkatkan kadar peptid beta
amyloid.
B. Ke-hujjah-an Hadis
Suatu hadis dapat dijadikan sebagai hujjah apabila telah memenuhi
syarat kesahihan sanad dan matan hadis. Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa
hadis yang diriwayatkan oleh al-T}ayalisi termasuk kategori hadis sahih, karena
telah memenuhi kriteria kesahihan sanad dan matan hadis, yaitu Sanadnya
bersambung dan memungkinkan adanya pertemuan, mulai dari perowi pertama
sampai perowi terakhir, diriwayatkan oleh Perowi yang adil dan dhabit}, tidak
mengandung Shadh, tidak mengandung Illat, tidak bertentangan dengan al-Quran,
tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih sahih, tidak bertentangan dengan
88
Akal dan juga tidak bertentangan dengan fakta sejarah. Dengan demikian,
berdasarkan dari hasil penelitian tersebut, maka hadis tersebut termasuk hadis
maqbu>l ma’mu>lun bihi dan dapat dijadikan sebagai hujah.
C. Pemaknaan Hadis
Ulama telah membuat berbagai metode dalam mencoba memahami hadis,
untuk mendapatkan pemahaman yang komprehansif, akan tetapi dalam penelitian ini
tidak memakai setiap metode yang dipakai oleh ulama pada umumnya, karena
pemaknaan ini hanya terbatas pada pemaknaan lafaz} La> as}ba’allahu Bat}nahu yang
terdapat pada teks hadis. Sebelum melangkah lebih jauh dalam analisis pemaknaan
hadis, akan ditampilkan hadis riwayat al-T}aya>lisi terlebih dahulu, agar pemaknaan
lebih mudah, sebagai berikut:
Menceritakan kepada kami Hsha>m dan Abu ‘Awa>nah dari Abi> Hamzah al-
Qas}a>b dari Ibnu ‘Abba>s: Bahwasannya Rasulullah saw mengutus Ibnu Abbas
kepada Muawiyah untuk menuliskannya, kemudian berkata sesungghnya
Muawiyah sedang makan, kemudian Rasul mengutusnya kembali, kemudian
Ibnu Abbas berkata sesungguhnya ia sedang makan, kemudian Rasulullah saw
bersabda semoga Allah tidak mengenyangkan perut Muawiyah.
Sepintas, Hadis riwayat al-T}ayalisi, Menunjukkan bahwa Nabi mendoakan
buruk kepada Muawiyah. dari sini, apakah yang dimaksud hadis tersebut benar-
benar nabi mendoakan Muawiyah dengan maksud buruk, sehingga berindikasi bahwa
doa Nabi la> as}ba’allahu bat}nahu merupakan doa buruk bagi Muawiyah. Dalam hal ini
penulis mencoba memaknai hadis dengan melakukan pendekatan-pendekatan,
89
sebagaimana yang dilakukan oleh Yusuf al-Qardawi dalam memaknai hadis. Setelah
menganalisa lebih lanjut dari berbagai teori ilmu ma’ani, kiranya yang mencocoki
pemaknaan dalam penelitian ini adalah, memahami as sunnah sesuai petunjuk al-
Quran.
Untuk memahami hadis tersebut dengan benar agar terhindar dari
penyimpangan, pemalsuan, serta takwil yang buruk, hendaknya hadis tersebut
dipahami berdasarkan petunjuk al-Quran yang sudah pasti kebenarannya dan
keadilannya. Dalam hal ini hadis tersebut akan disesuaikan dengan ayat al-quran
berikut ini,
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki)
masjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Ayat tersebut terdapat seruan untuk memakan makanan yang halal, enak,
bermanfaat lagi bergizi, berdampak baik serta meminum apa saja yang disukai
selama tidak memabukkan, tidak mengganggu kesehatan dan tidak berlebihan.
Karena sesungguhnya Allah SWT tidak melimpahkan rahmat dan ganjaran bagi
orang yang berlebih-lebihan dalam hal apapun.10
Makna israf merupakan tindakan
melampaui batas dan mengharamkan yang halal.11
Perintah makan dan minum yang tidak berlebih-lebihan yakni tidak
melampaui batas, merupakan tuntunan yang harus disesuaikan dengan kondisi
10
Quraish Shihab, Tafsir al-Misba>h; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.
5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 75 11
Sayyid Quthb, Fi Zilalil-Quran, Jilid 4, (Jakarta: Gema Insani Pres, 2002), 305
90
orang. Hal ini dikarenakan bahwa kadar tertentu yang dinilai cukup untuk
seseorang, boleh jadi telah dinilai cukup untuk orang lain. Atas dasar tersebut,
dapat dikatakan bahwasannya penggalan ayat tersebut mengajarkan sikap
proporsional dalam makan dan minum.12
Dalam konteks berlebih-lebihan ditemukan pesan Nabi saw: “Tidak ada
wadah yang dipenuhkan manusia lebih buruk dari perut. Cukuplah bagi putra-
putri adam beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun harus
memenuhkan perut, maka hendaklah sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk
minumannya dan sepertiga untuk pernafasannya.” (HR. Al-Tirmidzi, Ibn Ma>jah
dan Ibn Hibban melalui miqdam Ibn Ma ‘dikarib). Ditemukan juga pesan yang
menyatakan: ‘Termasuk berlebih-lebihan bila anda makan apa yang tidak tertuju
kepadanya.13
Sikap Muawiyah Dalam hadis tersebut sangatlah berlebih-lebihan,
dikarenakan Muawiyah yang tetap saja melanjutkan makannya dari pada
memenuhi perintah rasulnya yang kebutuhannya yakni untuk menulis wahyu,
sebagaimana yang telah disebutkan pada bab III bahwasannya Muawiyah
merupakan penulis wahyu. padahal hal ini telah disebutkan di dalam firman Allah
Ta’ala sebagai berikut;
Hai orang-orang yang beriman, perkenankanlah seruan Allah dan
seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi
12
Shihab, Tafsir al-Misba>h..., 76 13
Ibid
91
kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi
antara manusia dan hatinya dan Sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan
dikumpulkan. 14
Ayat ini terdapat tuntutan untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya agar
manusia tidak bergabung dengan orang-orang kafir dan tidak dibangkitkan
bersama mereka.15
Ayat di atas juga menjelaskan bahwasannya manusia dituntut
untuk membuktikan pengakuan beriman dengan memperkenankan dengan
sungguh-sungguh seruan Allah dan Rasul apabila Rasul menyeru siapapun kepada
ajakan apapun.16
Makna kalimat idha> da’a>kum (apabila dia menyeru kamu) bahwasannya
redaksinya berbentuk tunggal (dia). Padahal kalimat sebelumnya menunjukkan
kepada dua pihak yaitu Allah dan Rasul. Dapat dikatakan bahwasannya seruan
Rasul saw sama dengan seruan Allah SWT demikian juga sebaliknya karena
tujuan kedua seruan sama sehingga ia sebenarnya hanya satu.
Ibnu ‘Asyu>r dan T{aba’t}aba‘i berpendapat bahwa yang dimaksud oleh kata
dia ialah Raasulullah saw. Agaknya pendapat ini lebih tepat, apalagi jika dikaitkan
dengan hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi melalui Abu> Hurairah bahwa
suatu ketika Ubay Ibnu Ka’ab yang sedang shalat dipanggil oleh Rasul, Ubay
sekedar menoleh dan melanjutkan shalatnya walau dengan mempercepatnya. Lalu
ia menghadap kepada Rasul saw sambil mengucap salam. Nabi saw menjawab
salamnya lalu bersabda: “Hai Ubay, apa yang menghalangimu sehingga tidak
memperkenankan panggilanku?” Ubay menjawab: “Aku sedang shalat” Nabi saw
14
Al-Quran, 8:24 15
Shihab, Tafsir al-Misba>h..., Vol. 5, 410 16
Ibid..., 411
92
menegurnya: “Tidakkah engkau mendapatkan pada wahyu yang diwahyukan
kepadaku ‘perkenankanlah Allah dan Rasul jika dia mengajak kamu kepada apa
yang menghidupkan kamu?” Ubay menjawab: “Aku mendapatkan yang demikian,
karena itu aku tidak akan mengulangi lagi (kesalahanku tidak memenuhi
panggilanmu walaupun aku sedang shalat).17
Kasus serupa terjadi juga pada sahabat Nabi yang lain Hudzaifah al-
Yamani. Ini menunjukkan bahwa kata dia yang dimaksud ialah Rasul SAW di sisi
lain, ini juga menunjukkan bahwa terdapat kekhususan bagi Rasul SAW yang
harus mendapat perhatian umatnya. Hal ini dikarenakan memperkenankan seruan
Allah tidak dapat dipahami kecuali dalam arti majaz bukan hakiki. Ia hanya dapat
dipahami dalam arti menaati perintah-Nya tidak dalam arti benar-benar secara
hakiki mendengar dengan telinga seruannya tersebut. Berbeda dengan Rasul SAW
ketika turunnya ayat ini seseorang dapat mendengar seruannya dalam arti hakiki,
dan dalam saat yang sama kini sebagian kaum muslimin pada masa Nabi SAW
hidup, kata tersebut juga dapat dipahami juga dalam arti majaz yakni menaati
perintah beliau.18
Jelas adanya bahwasannya ayat tersebut menuntut kaum muslimin untuk
memenuhi seruan Rasulnya. Telah disebutkan dalam sebuah hadis sebagaimana
berikut,
17
Ibid.., 412 18
Ibid...,413
93
19
Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan
kepada kami Ismail bin Ulayyah. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah
menceritakan kepada kami Syaiban bin Abu Syaibah telah menceritakan
kepada kami Abdul Warits keduanya dari Abdul Aziz dari Anas dia berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah seorang hamba
beriman (dan dalam hadits Abdul warits 'seorang laki-laki) hingga aku lebih
dia cintai daripada keluarga dan hartanya serta manusia semuanya'."
Terdapat hadis lain yang telah menceritakan tentang kecintaan sahabat
kepada Rasulnya, di mana seruan Rasulnya ia utamakan daripada melanjutkan
kegiatan bersama istrinya, sebagaimana berikut,
Dan dari Rofi’ bin Khadiej, ia berkata: Aku pernah dipanggil Rasulullah
SAW, padahal aku sedang di atas perut istriku, lalu aku berdiri dan aku belum
mengeluarkan mani, kemudian aku mandi, lalu ia bersabda: “kamu tidak
wajib mandi, sebab mandi itu karena keluar mani.” Rafi’ berkata: kemudian
Rasulullah SAW sesudah itu memerintahkan kami mandi. HR Ahmad.20
Hadis di atas menceritakan bahwasannya Rafi’ selaku sahabat Nabi
tersebut lebih mementingkan seruan Rasulnya daripada meneruskan kegiatannya
bersama istrinya. Hal ini menunjukkan bahwasannya Rafi’ merupakan sahabat
Rasul yang taat kepada Rasul-Nya. Berbeda dengan Muawiyah ketika dia
dipanggil oleh Rasul untuk menuliskan sesuatu untuknya, Muawiyah lebih
19
Imam an-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘ala Muslim, Jilid I (tk : Mu’assisah al-
Qurt}ubah, 1994), 58 20
Muammal Hamidy, Imron AM dkk, Terjemahan Nailul Authar; Himpunan
Hadis-hadis hukum, Jilid: 1, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2001), 189
94
memilih untuk meneruskan makannya dari pada memenuhi seruan Rasul-Nya,
sehingga menjadikan Nabi mendoakan Muawiyah La> As}ba’alla>hu bat}nahu.
Nabi merupakan manusia biasa, sehingga tidak menutup kemungkinan
untuk berbuat layaknya manusia lainnya.21
Sebagaimana dijelaskan di dalam kitab
syarh al-Nawa>wi bahwasannya Nabi telah memohon kepada Tuhannya, dengan
berkata, bahwa sesungguhnya Nabi hanyalah manusia biasa, dia ridho atau rela
seperti halnya manusia ridho atau rela, Nabi marah, seperti halnya manusia
marah.22
maka siapapun dari umatnya yang beliau doakan keburukan bagi
umatnya, padahal umatnya tidak berhak untuk didoakan, maka doa tersebut akan
menjadi pembersih dosa-dosa umat yang didoakan tersebut dan akan menjadi
penyuci baginya serta akan menjadi suatu qurbah yang akan mendekatkan dia
kepada Allah pada hari kiamat kelak.
Terdapat juga di dalam hadis Nabi yang lain, bahwasannya telah penulis
paparkan dalam bab II terkait orang-orang yang didoakan Nabi salah satunya
yakni hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, sebagaimana berikut:
21
Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi, Asbabul Wurud 1; Latar Belakang
Timbulnya Hadis-Hadis Rasul, ter. Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim, (Jakarta: Kalam
Mulia, 1997), 318 22
Imam an-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘..., 135
95
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb, Telah menceritakan
kepada kami Jarir dari Al A’masy dari Abu Adh Dhuha dari Masruq dari
‘Aisyah dia berkata; “Pada suatu hari, ada dua orang yang bertamu kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Kemudian kedua orang tersebut
membicarakan sesuatu yang tidak saya ketahui kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, hingga membuat beliau marah. Tak lama kemudian, saya
mendengar Rasulullah melaknat dan mencaci mereka. Setelah kedua laki-laki
itu keluar, saya pun bertanya kepada beliau; Ya Rasululah, sepertinya dua
orang laki-Iaki tadi tidak memperoleh kebaikan, sebagaimana yang diperoleh
oleh orang lain. RasuluIIah balik bertanya: Apa maksudnya ya Aisyah?
Aisyah menjawab; Maksud saya, engkau telah melaknat dan mencaci-maki
kedua orang tersebut. Lalu Rasulullah bersabda: Hai Aisyah, tidak tahukah
kamu apa yang pernah saya syaratkan kepada Tuhanku? Sesungguhnya aku
telah memohon: Ya Allah, aku hanyalah seorang manusia. Jika ada seorang
muslim yang aku laknat atau aku maki, maka jadikanlah hal tersebut sebagai
pelebur dosa dan pahala baginya. Telah menceritakannya kepada kami Abu
Bakr bin Abu Syaibah dan Abu Kuraib keduanya berkata; Telah
menceritakan kepada kami Abu Muawiyah; Demikian juga diriwayatkan dari
jalur lainnya, Dan telah menceritakannya kepada kami Ali bin Hujr As Sa'idi
dan Ishaq bin Ibrahim serta Ali bin Khasyram -secara keseluruhan- dari Isa
bin Yunus keduanya dari Al A’masy melalui jalur ini yang serupa dengan
Hadis Jarir dan dia berkata; di dalam Hadits 'Isa; keduanya lalu berpaling dari
Rasulullah, hingga akhirnya beliau memakinya dan melaknatnya serta
mengusir keduanya.
Hadis Nabi tentang doa Nabi terhadap Muawiyah tidaklah mengurangi
kemaksuman Nabi, dikarenakan di dalam syarh al-Nawa>wi ‘ala Muslim
bahwasanya apa-apa yang didoakan oleh rasul dan lain sebagainya tidaklah
bermaksud untuk menghina dan mengutuknya, akan tetapi hal tersebut terjadi
karena faktor budaya orang arab yang mayoritas berbicara secara spontan tanpa
ada maksud apa2, seperti contoh ungkapan “perlihatkan sumpahmu” atau “leherku
seperti gelang, atau dalam sebagian hadits disebutkan ungkapan tidak baik seperti
contoh “umurmu tidak akan bertahan lama”, atau seperti hadis yang penulis bahas
terkait hadis tentang doa Nabi terhadap Muawiyah disebutkan “semoga allah tidak
96
pernah mengenyangkan perutnya” dan ungkapan lainnya yang tidak bermasud
mendoakan keburukan. kemudian nabi takut akan terjadi sesuatu atas apa yang
beliau doakan karena didengar oleh allah, maka kemudian Nabi memohon kepada
Allah agar supaya doa-doa spontan yang tidak baik itu, digantikan dengan rahmat,
penghapus dosa, lebih dekat dengan Allah, penyucian diri, dan pahala bagi
mereka.23
Hal tersebut terjadi sangat jarang sekali pada masa-masa itu, karena
rosulullah bukanlah pribadi yang buruk, dan tidak suka membuat keburukan, juga
beliau bukanlah pribadi yang suka mengutuk, juga bukanlah pribadi yang suka
membalas dendam karena masalah pribadi.
Rasulullah marah, seperti halnya manusia biasa marah. Pernah dikatakan
bahwa apakah benar bahwa salah satu alasan seseorang menghina yang lain
adalah karena dia sedang marah. Jawabannya adalah, seperti yang dinyatakan oleh
Imam Al-Maziry, dengan berkata: ada kemungkinan bahwa rosulullah ingin dari
doa-doanya, hinaannya, atau pukulannya tersebut adalah sesuatu yang dipilihnya
lantaran dua hal; pertama, memang hal tersebutlah yg beliau kehendaki, dan kedua
menggantinya dengan sesuatu yang lain, maka dari hal tersebut menjadikan nabi
marah karena Allah, terhadap dua hal pilihannya tersebut, lalu kemudia dia
menghina kaumnya, mengutuknya, dan memukulnya, namun demikian, hal
tersebut tidak melanggar hukum syariat.
Adapun sabda atau doa Rasul yang berbunyi “Semoga Allah tidak pernah
mengenyangkan perutnya” merupakan istilah yang telah dikemukakan
23
Ibid..., 136
97
sebelumnya, yang mana doa atau ucapan tersebut bukanlah merupakan maksud
yang diinginkan kejadiannya oleh Rasul, serta tidak terdapat maksud tertentu agar
doa atau ucapan tersebut dikabul atau diterima oleh Allah, walaupun secara
implisit, ucapan tadi mengandung unsur doa, namun kemungkinan besar ucapan
tersebut hanyalah dalam konteks sebatas berandai-andai belaka, yang secara
realita, sangat mustahil untuk dikabul oleh Allah. Karena pada konteks ucapan
tersebut, Rasul hanya menginginkan ucapan tersebut terjadi atau dijawab seketika
pada waktu beliau berdoa. Adapun inti dari doa yang diucapkan Rasul tadi
hanyalah menginginkan objek yang didoakan rasul agar lapar, ketakutan, atau
makanannya rusak, maka dari definisi ini, sebagian sahabat dan ahli hadits
memasukkannya dalam konteks keutamaan-keutamaan yang dimiliki oleh sabahat
Muawiyah, yang mana tidaklah termasuk dalam kategori doa untuk keburukan
umatnya, sebagaimana yang telah disebutkan dalam salah satu hadits yang
berbunyi “Ya Allah barang siapa yang aku doakan buruk dari umatku, sedangkan
mereka tidak berhak atas doa buruk tersebut, maka jadikanlah doa tersebut
sebagai penyuci, pembersih dosanya, dan jadikanlah dengannya kedekatan nanti
di hari kiamat.24
Selepas peristiwa ini Muawiyah tidak pernah kenyang seberapapun banyak
dan seringnya ia makan. Ibnu Katsir dalam Al Bidayah menyebutkan kalau
Muawiyah makan sampai tujuh kali dalam sehari. Bisa dibayangkan jika
seseorang terjebak dalam keadaan seperti ini maka semakin lama tubuhnya akan
semakin gemuk dan perutnya semakin lama akan semakin besar. Fakta sejarah
24
al-Naisa>bu>ri>, S{ah}i>h} Muslim..., 567
98
membuktikan memang begitulah kondisi Muawiyah bahkan karena tubuhnya
yang seperti itu, ia mengalami kesulitan untuk menyampaikan khutbah di hadapan
kaum muslimin. Sehingga masyhur dalam sejarah kalau Muawiyah adalah orang
yang pertama kali menyampaikan khutbah sambil duduk karena tubuhnya yang
kegemukan dan perutnya yang besar.25
25
Lihat Bab III hal. 60