bab i_selesai new.docx
DESCRIPTION
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Penderita bernama Tn. M. Zein dengan usia 70 tahun datang ke bagian Anestesi
dari bangsal Bedah RSUD Raden Mattaher Jambi pada tanggal 20 Oktober 2012.
Dari hasil pemeriksaan di Bangsal Bedah ditegakkan diagnosa Retensio Urin ec
BPH. Pada saat pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan pada saat pra
anastesi didapatkan pasien termasuk ASA III-IV dengan Kardiomiopati. Setelah
pemeriksaan, direncanakan akan dilakukan anestesi spinal. Operasi direncanakan
pada tanggal 24 Oktober 2012 jam 10.00 WIB dan akan dilakukan oleh ahli bedah
dr. Hendra Herman Sp.U dengan asisten bedah: Subagio dan ahli anestesi dr.
Sulistiyowati Sp. An dengan asisten anestesi: Hasyim.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. M. Zein
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 70 Tahun
Ruang : Bangsal Bedah
BB : 55 Kg
No.MR : 702154
TMRS : 12 Oktober 2012
Diagnosis : Retensio Urin ec BPH dengan Kardiomiopati
Tindakan : Open Prostatektomi
2.2 Anamnesis ( Pada tanggal 24 Oktober 2012 )
Keluhan Utama :
Sulit buang air kecil ± 1 bulan yang lalu dan sesak nafas.
RPP :
Pasien dibawa ke IGD RSUD Raden Mattaher Jambi pada tanggal 12
Oktober 2012 pukul 03.00 WIB dengan keluhan ± 1 bulan yang lalu
sulit buang air kecil, buang air kecil terputus-putus, pancaran lemah dan
sering buang air kecil terutama pada malam hari, nyeri saat buang air
kecil (+), darah (-).
2
Selain itu pasien juga mengalami sesak nafas sejak ± 1 tahun yang lalu,
sesak juga dirasakan pada malam hari dan saat melakukan aktivitas
ringan, sesak bila berbaring dan berkurang ketika duduk. ± 2 hari yang
lalu pasien sudah tidak bisa bekerja lagi.
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat penyakit darah tinggi (+)
Riwayat penyakit jantung (+)
Riwayat penyakit DM : disangkal
Riwayat penyakit alergi : disangkal
Riwayat penyakit asma : disangkal
Riwayat operasi sebelumnya : disangkal
Riwayat penyakit keluarga :
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa seperti yang
dialami oleh pasien.
Riwayat Sosial:
Pasien dulunya merupakan seorang petani.
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4M6V5 = 15
Vital Sign
TD : 150/90 mmHg
Nadi : 82 kali/menit
3
RR : 28 kali/menit
T : 36,5ºC
Kepala
Mata : Pupil isokor kanan dan kiri, Refleks cahaya (+/+),
Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikhterik (-/-)
THT : Discharge (-), dbn
Mulut : Mukosa tidak anemis, lidah kotor (-), Mallampati I.
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5 + 2 cm H2O,
Gerakan bebas.
Thorax :
Paru
Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-)
Palpasi : Vocal Fremitus normal, kanan kiri sama
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+), ronkhi (+), Wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat linea axillaris anterior sinistra
Palpasi : Thrill teraba, kuat angkat , luas 3 ruas jari
Perkusi : Batas jantung atas ICS II
Batas jantung kanan linea sternalis dekstra
Batas jantung kiri ICS VI linea axillaris anterior sinistra
Pinggang jantung ICS III linea midclavicula sinistra
Auskultasi : BJ I/II iregular, gallop (+), murmur (-)
4
Abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi: BU (+) Normal
Palpasi : Supel, Nyeri Tekan (+) Supra pubik, nyeri lepas (-), massa
(-)
Pekusi : Timpani, asites (-)
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-)
Inferior : Akral hangat, sianosis (-/-), pitting edema (+/+)
Pemeriksaan Rectal Toucher
Rectal Toucher : Tonus sfingter ani (+), ampula rekti kolaps (-),
mukosa licin.
Prostat membesar, konsistensi kenyal, pemukaan rata, pada pukul 12
Sarung tangan : Feses (+), darah (-), lendir (-).
2.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Darah rutin
WBC : 11,1 103/mm3 H (3,5-10,0 103/mm3)
RBC : 5,10 106/mm3 (3,80-5,80 106/mm3)
HGB : 14,4 g/dl (11,0-16,5 g/dl)
HCT : 45,0 % (35,0-50%)
PLT : 122 103/mm3 L (150-390 103/mm3)
PCT : 0,103 % (0,100-0,500 %)
MCV : 88 µm3 (80-97 µm3)
MCH : 28,2 pg (26,5-33,5 pg)
MCHC : 31,9 g/dl (31,5-35,0 g/dl)
RDW : 13,3 % (10,0-15,0 %)
5
MPV : 8,4 µm3 (6,5-11,0 µm3)
PDW : 12,2 % (10,0-18,0 %)
Diff:
% LYM : 11,3 % L (17,0-48,0 %)
% MON : 3,43% L (4,0-10,0 %)
% GRA : 85,4 % H (43,0-76,0 %)
# LYM : 1,2 103/mm3 L (1,2-3,2 103/mm3)
# MON : 0,3 103/mm3 (0,3-0,8 103/mm3)
# GRA : 9,6 103/mm3 H (1,2-6,8 103/mm3)
CT : 3 menit
BT : 2 menit
Kimia Darah Lengkap
Faal Hati
o Protein Total : 7,0 g/dl (6,4-8,4)
o Albumin : 4,1 g/dl (3,5-5,0)
o Globulin : 2,9 g/dl (3,0-3,6)
Faal Ginjal
o Ureum : 73,2 mg/dl (15-39)
o Kreatinin : 1,3 mg/dl (0,6-1,1)
Elektrolit
o Na : 136,5 mmol/L (135-148 mmol/L)
o K : 4,39 mmol/L (3,5-5,3 mmol/L)
o Cl : 109,48 mmol/L (98-110 mmol/L)
6
2. Radiologi
X-Ray Thoraks
Kesan: Jantung Kardiomegali dan Paru Normal
USG Abdomen
7
Kesan: BPH dan Organ lain normal
3. ECHO
Kesan: Kardiomiopati
4. EKG
8
Gambaran EKG: Synus Rhytme dan Left Ventricel hipertrophy
2.5 Diagnosis Pre-Op:
Retensio Urin ec BPH dengan Kardiomiopati
2.6 Penatalaksanaan Awal:
Furosemid 1 x 40 mg
Spironalactan 1 x 25 mg
Lisinopril 1 x 10 mg
Bisoprolol 1 x 2,5 mg
Captopril 3 x 25 mg
2.7 Pra Anestesi
Penentuan Status Fisik : ASA III-IV dengan Kardiomiopati
9
Persiapan Pra Anestesi
- Pasien telah diberikan Informed Consent
- Pasien dipuasakan 6 jam sebelum operasi
- Persiapkan ICU Post.Op
BAB III
LAPORAN ANESTESI
Nama : Tn. M. Zein
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 70 Tahun
Ruang : Bangsal Bedah
BB : 55 Kg
Diagnosis : Retensio Urin ec BPH dengan Kardiomiopati
Tindakan : Open Prostatektomi
10
I. Keterangan Prabedah
1. Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
Nadi : 82 kali/menit
Respirasi : 28 kali/menit
Suhu : 36,5ºC
2. Pemeriksaan Penunjang
Ro-Thorak : Kesan Kardiomegali
USG : Kesan BPH
ECHO : Kesan Kardiomiopati
EKG : Gambaran EKG Synus Rhytme dan Left
Ventricel Hipertrophy.
Laboratorium
- WBC : 11,1 x 103 /mm3 H
- RBC : 5,10 x 103 /mm3
- HGB : 14,4 gr/dl
- HCT : 45,0 %
- PLT : 122 103/mm3 L
- PCT : 0,103 %
- BT : 2 menit
- CT : 3 menit
Faal Hati
- Protein Total : 7,0 g/dl (6,4-8,4)
- Albumin : 4,1 g/dl (3,5-5,0)
- Globulin : 2,9 g/dl (3,0-3,6)
11
Faal Ginjal
- Ureum : 73,2 mg/dl (15-39)
- Kreatinin : 1,3 mg/dl (0,6-1,1)
Elektrolit
- Na : 136,5 mmol/L (135-148 mmol/L)
- K : 4,42 mmol/L (3,5-5,3 mmol/L)
- Cl : 109,48 mmol/L (98-110 mmol/L)
Penyakit penyerta : Hipertensi (+), Jantung (+)
Status Fisik : ASA III-IV dengan Kardiomiopati
II. Tindakan Anestesi
1. Metode : Anestesi Regional
Tekhnik anestesi : Spinal
Lokasi penusukan : L3-L4
Analgesi setinggi : Segmen (dermatom) T4-5
Obat anestesi lokal :Bupivacaine HCL 0,5% (hiperbarik) 15 mg
Adjuvant : Clonidine hydrochloride 0,5µg
2. Premedikasi
Injeksi Ranitidine 50 mg
Injeksi Ondancetron 4 mg
3. Medikasi
- Bupivacaine HCL 0,5 % (hipebarik) 15 mg
- Clonidine hydrochloride 0,5 µg
- Tranexamic Acid 500 mg
- Ascorbica Acid 100 mg
4. Obat-obat Emergency
12
- Sulfas Atropin 0,5 mg dalam spuit 3 cc tanpa pengenceran
- Midazolam 5 mg dalam spuit 5 cc tanpa pengenceran
- Efedrin HCL 50 mg dalam spuit 10 cc diencerkan dengan
aquadest sebanyak 9 cc, perbandingannya 1 : 9
- Pethidin 100 mg dalam spuit 10 cc diencerkan dengan aqua
dest sebanyak 8 cc, perbandingannya 2 : 8
5. Jumlah Cairan
Input : Loding Cairan Kristaloid yaitu RL 2 Kolf 1000 ml
Cairan Kristaloid yaitu RL 1 Kolf 500 ml
Cairan Koloid yaitu Fima HES 1 Kolf 500 ml +
Total 2000 cc
Output : ± 500 cc
Perdarahan : ± 690 cc
Kebutuhan Cairan Pasien ini:
BB = 55 Kg
Defisit Cairan Karena Puasa (P)
P = 6 x BB x 2 cc
P = 6 x 55 x 2 cc 660 cc
Maimtenance (M)
M = BB x 2 cc
M = 55 x 2 cc 110 cc
Stress Operasi (O)
O = BB x 8 cc
O = 55 x 8 cc 440 cc
Perdarahan
13
Total = Suction + Kassa + Duk
Total = 240 cc + 250 cc + 200 cc 690 cc
Kebutuhan cairan selama operasi:
Jam I : ½ (P) + M + O
½ (660) + 110 + 440 880 cc
Jam II : ¼ (P) + M + O
¼ (660) + 110 + 440 715 cc
Jam III : ¼ (P) + M + O
¼ (660) + 110 + 440 715 cc
Kebutuhan cairan selama operasi adalah Jam I + Jam II + Jam III +
Perdarahan yaitu 880 cc + 715 cc + 715 cc + 690 cc 3000 cc
III. Keadaan Penderita Selama Operasi
1. Letak penderita : Supine
2. Intubasi : Tidak dilakukan
3. Penyulit waktu Anestesi : -
4. Lama Anestesi : 1 Jam
5. Jumlah Perdarahan : ± 690 cc
IV. Monitoring Perioperatif
Jam Tekanan Darah Nadi RR
10.15 120/80 mmhg 85 20
14
10.30 130/80 mmhg 80 18
10.45 139/70 mmhg 86 18
11.00 140/70 mmhg 86 19
11.15 139/70 mmhg 85 18
V. Ruang Pemulihan
1. Masuk jam : 11.15 WIB
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15 E4M6V5
Tekanan Darah : 120/80 mmhg
Nadi : 85 kali/menit
RR : 20 kali/menit
2. Pernapasan : Oksigenasi 2 liter
Skor Bromage Score
1. Gerakan : 2
Jumlah : 2
Penyulit : (-)
Pindah/pulang : 11.15 WIB ke ICU
VI. Instruksi Anestesi
1. Pasien post op observasi ICU
2. Monitor Keadaan Umum dan Tanda Vital
3. Oksigenisasi O2 5 liter/menit Binasal Canul
4. Cek ulang DR, UR/KR, Elektrolit Post Op.
5. Program analgetik kaltropen 2 Supp Post/8 jam
15
6. Ketorolac 30 mg/8 jam.
7. Ranitidine 50 mg/12 jam.
8. Boleh makan dan minum sedikit demi sedikit jika muntah (-).
9. RL Tutofusin ( 3:1 ) 25 tetes/menit
10. Terapi kardiologis diteruskan.
11. Rawat bersama dr. Hendra Herman Sp.U dan dr. Samsirun Sp.Pd
BAB IV
LAPORAN FOLOW UP ICU
Follow UP tanggal 24 Oktober 2012
S : Tampak lemah, rasa tidak nyaman, nyeri pada daerah luka
operasi.
O : K/U : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15
TD : 156/79 mmHg
N : 125 x/menit
16
RR : 20 x/menit
SpO2 : 96 %
Suhu : 34,8 0c
Terpasang : Tipe Binasal Canul, FiO2 3 l/i
Drain Produksi (+)
Spooling bilas Nacl
A : Post operasi open prostatektomi ec BPH dengan Kardiomiopati
hari ke 1
Hipertensi grade I
Takikardi Kardiomiopati
Hipotermi Pengukuran suhu yang kurang baik
Suhu ruangan yang terlalu dingin
P : IVFD RL + tramadol 100 mg + ketorolac 30 mg = 20 gtt/menit
Ranitidin 2 x 50 mg
Furosemid 1 x 40 mg
Spironalactan 1 x 25 mg
Lisinopril 1 x 10 mg
Bisoprolol 1 x 2,5 mg
Captopril 3 x 25 mg
Gunakan selimut hangat
Minum air hangat
Rl yang di hangatkan
Periksa ulang Darah rutin, UR, KR, Albumin, Elektrolit
Tabel 1 : Follow UP tanggal 24 Oktober 2012
Jam Tekanan
darah
Nadi
(x/i)
RR
(x/i)
Suhu
(0c)
GCS SpO2 Ventilator
17
(mmHg) Tipe FiO2
14.00 160/80 120 14 33,6 15 100 BC 3
15.00 150/80 125 20 33,9 15 97 BC 3
16.00 175/80 125 14 34,2 15 97 BC 3
17.00 160/80 120 20 34,3 15 97 BC 3
18.00 170/80 122 22 34,2 15 97 BC 3
19.00 160/100 123 20 33,9 15 97 BC 3
20.00 160/100 122 20 33,9 15 96 BC 3
21.00 150/100 123 22 34 15 92 BC 3
22.00 145/100 123 22 34,2 15 93 BC 3
23.00 145/100 123 24 34,6 15 95 BC 3
24.00 140/115 123 25 34,6 15 98 BC 3
01.00 130/100 123 23 34,8 15 100 BC 3
02.00 130/90 123 22 34,2 15 100 BC 3
03.00 130/95 123 27 34,3 15 100 BC 3
04.00 130/90 123 25 34,4 15 99 BC 3
05.00 130/100 121 25 34,7 15 99 BC 3
06.00 140/90 120 20 34,2 15 98 BC 3
Jam Intake Output Keseimbangan
RL Analgetik NaCl
Spooling
Urin IWL
14.00 60 300 - 35 +25
15.00 60 300 20 35 +30
16.00 60 300 30 35 +25
17.00 60 300 30 35 +120
18.00 60 300 10 35 +135
19.00 60 300 10 35 +150
20.00 60 300 20 35 +155
21.00 60 300 10 35 +170
22.00 60 300 20 35 +175
23.00 60 300 10 35 +190
24.00 60 300 20 35 +195
01.00 60 300 10 35 +210
18
02.00 60 300 20 35 +215
03.00 60 300 50 35 +190
04.00 60 300 60 35 +155
05.00 60 300 50 35 +130
06.00 60 300 50 35 +105
Follow UP tanggal 25 Oktober 2012
S : Pasien tampak lemah, rasa tidak nyaman, nyeri (+), deuresis (+).
O : K/U : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15
TD : 150/75 mmHg
N : 120 x/menit
RR : 20 x/menit
SpO2 : 96 %
T : 34,8 0c
Belance cairan: - 1150
Urin : 40-100 cc/jam
Drain : (+)
Spooling : Bilas Nacl
Terpasang : Tipe Binasal Canul, FiO2 3 l/i
Drain Produksi (+) minimal
Spooling bilas Nacl
Hasil Laboratorium :
Darah rutin
WBC : 13,7 103/mm3 H (3,5-10,0 103/mm3)
RBC : 5,23 106/mm3 (3,80-5,80 106/mm3)
HGB : 14,8 g/dl (11,0-16,5 g/dl)
19
HCT : 46,3 % (35,0-50%)
PLT : 148 L 103/mm3 L (150-390 103/mm3)
PCT : 0,123 % (0,100-0,500 %)
MCV : 89 µm3 (80-97 µm3)
MCH : 28,3 pg (26,5-33,5 pg)
MCHC : 32,0 g/dl (31,5-35,0 g/dl)
RDW : 13,3 % (10,0-15,0 %)
MPV : 8,3 µm3 (6,5-11,0 µm3)
PDW : 13,1 % (10,0-18,0 %)
Diff :
% LYM : 8,6 % L (17,0-48,0 %)
% MON : 3,4 % L (4,0-10,0 %)
% GRA : 88,0 % H (43,0-76,0 %)
# LYM : 1,1 103/mm3 L (1,2-3,2 103/mm3)
# MON : 0,4 103/mm3 (0,3-0,8 103/mm3)
# GRA : 12,2 103/mm3 H (1,2-6,8 103/mm3)
Kimia Darah Lengkap
Faal Hati
o Albumin : 4,3 g/dl (3,5-5,0)
Faal Ginjal
o Ureum : 93,4 mg/dl (15-39)
o Kreatinin : 1,8 mg/dl (0,6-1,1)
Elektrolit
o Na : 136,05 mmol/L (135-148 mmol/L)
o K : 4,42 mmol/L (3,5-5,3 mmol/L)
o Cl : 110,16 mmol/L (98-110 mmol/L)
20
A : Post operasi open prostatektomi ec BPH dengan Kardiomiopati
hari ke 2
Hipertensi grade I
Hipotermi Pengukuran suhu yang kurang baik
Ac ruangan yang terlalu dingin
Takikardi Kardiomiopati
P : IVFD RL + tramadol 100 mg + ketorolac 30 mg = 20 gtt/menit
Ketorolac 3 x 30 mg
Ranitidin 2 x 50 mg
Furosemid 1 x 40 mg
Spironalactan 1 x 25 mg
Lisinopril 1 x 10 mg
Bisoprolol 1 x 2,5 mg
Captopril 3 x 25 mg
Gunakan selimut hangat
Minum air hangat
Rl yang di hangatkan
Diet jantung lunak
Tabel 2 : Follow UP tanggal 25 Oktober 2012
Jam Tekanan
darah
(mmHg)
Nadi
(x/i)
RR
(x/i)
Suhu
(0c)
GCS SpO2 Ventilator
Tipe FiO2
07.00 180/80 110 20 34 15 96 BC 5
08.00 140/70 108 20 34 15 96 BC 5
09.00 170/80 118 20 33,8 15 96 BC 5
10.00 180/70 118 16 33,5 15 97 BC 5
11.00 140/60 120 22 33,5 15 98 BC 5
12.00 140/70 118 25 34,2 15 97 BC 5
21
13.00 160/110 120 28 34,2 15 97 BC 5
14.00 160/60 116 24 34,6 15 98 BC 3
15.00 150/75 120 24 34,8 15 96 BC 3
16.00 140/75 120 20 35 15 98 BC 3
17.00 145/75 118 24 34,9 15 98 BC 3
18.00 150/75 120 20 35 15 98 BC 3
19.00 150/90 117 20 35 15 98 BC 3
20.00 150/90 120 20 35 15 98 BC 3
21.00 160/100 120 22 21 15 99 BC 3
22.00 150/80 120 24 36 15 98 BC 3
23.00 150/70 120 20 34 15 97 BC 3
24.00 150/75 125 25 34,8 15 97 BC 3
01.00 150/75 124 20 34 15 96 BC 3
02.00 140/75 126 27 34,9 15 98 BC 3
03.00 140/80 122 20 34 15 96 BC 3
04.00 140/80 122 18 35,6 15 96 BC 3
05.00 140/90 128 25 34,8 15 98 BC 3
06.00 140/75 128 20 34,9 15 97 BC 3
Jam Intake Output Keseimbangan
RL
Analgetik
Diet jantung
lunak
NaCl
Spooling
Urin IWL
07.00 60 300 100 35 -75
08.00 60 300 100 35 -150
09.00 60 300 100 35 -225
10.00 60 300 100 35 -300
11.00 60 300 50 35 -325
12.00 60 30 200 50 35 -330
13.00 60 300 40 35 -343
14.00 60 300 40 35 -360
15.00 60 200 50 35 -385
16.00 60 200 50 35 -410
17.00 60 20 100 100 35 -425
22
18.00 60 200 80 35 -520
19.00 60 100 60 35 -555
20.00 60 100 60 35 -590
21.00 60 20 100 50 35 -595
22.00 60 100 70 35 -640
23.00 60 100 60 35 -675
24.00 60 100 50 35 -700
01.00 60 100 100 35 -775
02.00 60 100 80 35 -830
03.00 60 100 70 35 -975
04.00 60 100 100 35 -1050
05.00 60 100 100 35 -1100
06.00 60 100 100 35 -1150
Follow UP tanggal 26 Oktober 2012
S : Tampak lemah, nyeri (+), deuresis (+)
O : K/U : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15
TD : 140/80 mmHg
N : 120 x/menit
RR : 20 x/menit
SpO2 : 100 %
Suhu : 35,8 0c
23
Belance cairan: - 834
Urin : 40-220 cc/jam
Terpasang : Tipe Binasal Canul, FiO2 3 l/i
Drain Produksi (+)
Spooling bilas Nacl
A : Post operasi open prostatektomi ec kardiomiopati hari ke 3
Hipertensi grade I
Hipotermi Pengukuran suhu yang kurang baik
Ac ruangan yang terlalu dingin
Takikardi Kardiomiopati
P : IVFD RL + tramadol 100 mg + ketorolac 30 mg = 20 gtt/menit
Ranitidin 2 x 50 mg
Furosemid 1 x 40 mg
Spironalactan 1 x 25 mg
Lisinopril 1 x 10 mg
Bisoprolol 1 x 2,5 mg
Amlodipin 1 x 5 mg
Gunakan selimut hangat
Minum air hangat
Rl yang di hangatkan
Diet jantung lunak
Tabel 3 : Follow UP tanggal 26 Oktober 2012
Jam Tekanan
darah
Nadi
(x/i)
RR
(x/i)
Suhu
(0c)
GCS SpO2 Ventilator
Tipe FiO2
24
(mmHg)
07.00 140/80 140 20 34 15 100 BC 3
08.00 150/90 128 20 34,1 15 100 BC 3
09.00 150/90 120 20 34 15 100 BC 3
10.00 145/90 120 20 34,9 15 100 BC 3
11.00 130/80 120 20 33,7 15 100 BC 3
12.00 130/80 120 20 35 15 100 BC 3
13.00 130/80 120 20 34,9 15 100 BC 3
14.00 135/90 120 20 35 15 100 BC 3
15.00 140/80 120 20 35,8 15 100 BC 3
16.00 145/90 122 20 34 15 100 BC 3
17.00 155/100 120 17 34,8 15 100 BC 3
18.00 150/75 120 20 34,8 15 100 BC 3
19.00 150/80 122 20 33,7 15 100 BC 3
20.00 150/75 120 20 34 15 100 BC 3
21.00 150/80 120 20 35,6 15 100 BC 3
22.00 160/80 120 14 35,6 15 100 BC 3
23.00 155/85 120 16 34,5 15 97 BC 3
24.00 155/100 120 20 34,8 15 98 BC 3
01.00 150/100 120 15 34,2 15 97 BC 3
02.00 155/100 120 14 35,3 15 100 BC 3
03.00 150/75 120 18 35,4 15 100 BC 3
04.00 150/80 118 14 34 15 100 BC 3
05.00 150/90 118 20 34,5 15 100 BC 3
06.00 145/90 118 20 35 15 100 BC 3
Jam Intake Output Keseimbangan
RL
Analgetik
Diet jantung
lunak
NaCl
Spooling
Urin IWL
07.00 60 150 34 -124
08.00 60 150 34 -245
09.00 60 30 150 34 -292
10.00 60 50 34 -316
25
11.00 60 50 34 -340
12.00 60 100 50 34 -264
13.00 60 50 34 -288
14.00 60 50 34 -312
15.00 60 40 34 -346
16.00 60 100 40 34 -260
17.00 60 100 50 34 -164
18.00 60 100 100 34 -258
19.00 60 100 50 34 -282
20.00 60 100 50 34 -306
21.00 60 40 34 -290
22.00 60 30 34 -294
23.00 60 30 34 -298
24.00 60 50 34 -322
01.00 60 50 34 -346
02.00 60 80 34 -400
03.00 60 80 34 -454
04.00 60 80 34 -508
05.00 60 80 34 -532
06.00 60 80 34 -586
Follow UP tanggal 27 Oktober 2012
S : Tampak baik, deuresis (+), gelisah (+)
O : K/U : Tampak baik
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15
TD : 140/75 mmHg
N : 120 x/menit
RR : 17 x/menit
SpO2 : 99 %
T : 33,8 0c
Belance cairan: - 834
Urin : 40-220 cc/jam
26
Terpasang : Tipe Bibasal Canul, FiO2 3 l/i
Drain Produksi (+)
Spooling bilas Nacl
A : Post operasi open prostatektomi ec kardiomiopati hari ke 4
Hipertensi grade I
Hipotermi Pengukuran suhu yang kurang baik
Ac ruangan yang terlalu dingin
Takikardi Kardiomiopati
P : IVFD RL + tramadol 100 mg + ketorolac 30 mg = 20 gtt/menit
Ranitidin 2 x 50 mg
Furosemid 1 x 40 mg (diberikan pada pagi hari)
Spironalactan 1 x 25 mg (diberikan pada pagi hari)
Lisinopril 1 x 10 mg
Bisoprolol 1 x 2,5 mg
Amlodipin 1 x 5 mg
Gunakan selimut hangat
Minum air hangat
Rl yang di hangatkan
Tabel 4 :Follow UP tanggal 27 Oktober 2012
Jam Tekanan
darah
(mmHg)
Nadi
(x/i)
RR
(x/i)
Suhu
(0c)
GCS SpO2 Ventilator
Tipe FiO2
07.00 145/100 120 20 35 15 99 BC 3
08.00 140/80 118 20 35 15 99 BC 3
09.00 135/75 118 20 35 15 99 BC 3
10.00 155/90 118 18 34,5 15 99 BC 3
11.00 160/100 108 17 34,2 15 99 BC 3
12.00 155/80 104 16 33,9 15 99 BC 3
27
13.00 140/75 104 17 34 15 99 BC 3
14.00 150/85 108 20 34,1 15 99 BC 3
15.00 140/75 120 17 33,8 15 99 BC 3
16.00 160/100 104 17 34 15 99 BC 3
17.00 150/90 104 17 33,9 15 100 BC 3
18.00 145/75 108 17 34,1 15 100 BC 3
Jam Intake Output Keseimbangan
RL
Analgetik
Oral NaCl
Spooling
Urin IWL
07.00 60 40 34 -14
08.00 60 60 34 -48
09.00 60 50 50 34 -22
10.00 60 150 34 -96
11.00 60 150 34 -220
12.00 60 50 34 -294
13.00 60 160 100 34 -318
14.00 60 150 34 -292
15.00 60 100 34 -566
16.00 60 200 34 -690
17.00 60 50 150 34 -834
18.00 60 220 34 -258
28
BAB V
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Anestesi Regional
4.1.1 Pembagian Anestesi Regional1
Anesthesia regional terbagi atas blok sentral (blok neuroaksial),
yaitu meliputi blok spinal, epidural dan kaudal serta blok perifer misalnya
blok pleksus brakhialis, aksiler, analgesia regional intravena dan lain-lain.
4.1.2 Anatomi Medula Spinalis
29
Gambar 4.1 Anatomi Medula Spinalis
Columna vertebralis terbagi atas 7 vertebra servikal, 12 vertebra
thorakal, 5 vertebra lumbal, 5 vertebra sacral menyatu pasa dewasa dan 4-5
vertebrae koksigeal menyatu pada dewasa. Prosesus spinosus C2 teraba
langsung di bawah oksipital. Prosesus spinosus C7 menonjol dan disebut
sebagai vertebra prominens. Garis lurus yang menghungkan kedua Krista
iliaka setinggi akan memotong prosesus spinosus vertebra L4 atau antara
L4-L5.1-5
Peredaran darah untuk medulla spinalis di perdarahi oleh a.spinalis
anterior dan a. spinalis posterior. Untuk mencapai cairan serebrospinal
maka jarum suntik akan menembus kulit ke subkutis kemudian ligamentum
supraspinosum ke ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang
epidural, duramater dan ruang subarachnoid.1-5
Medulla spinalis berada dalam kanalis spinalis dikelilingi oleh
cairan serebrospinal, dibungkus meningens ( duramater, lemak dan pleksus
venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi
L3 dan sakus duralis berakhir setinggi S2.1-5
30
Cairan serebrospinalis merupakan ultrafiltrasi dari plasma yang
berasal dari pleksus aryeria koroidalis yang terletak di ventrikel 3-4 dan
lateral. Caitran ini jernih tak berwarna mengisi ruang subaracnoid dengan
jumlah total 100-150 ml, sedangkan yang ada di punggung sekitar 25-45
ml.1-5
4.1.3 Analgesia Spinal
Analgesia spinal (intratekal, intradural,subdural, subarachnoid) ialah
pemberian abat anestetik local ke dalam ruang subarachnoid. Anestesia
spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik local ke dalam ruang
subarachnoid. Tekhnik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.1
4.1.4 Fisiologi Anestesi Spinal
Ada 3 kelas saraf: motorik, sensorik dan otonom. Stimulasi saraf
motorik menyebabkan otot berkontraksi ketika terjadi blok saraf, otot
mengalami kelumpuhan. Saraf sensorik mengirimkan sensasi seperti
sentuhan dan nyeri dari sumsum tulang belakang ke otak, sedangkan sarf
otonom mengontrol caliber pembuluh darah, denyut jantung, kontraksi usus
dan fungsi lainnya yang tidak berhubungan dengan kendali kesadaran.
Umumnya saraf otonom dansensorik terblok sebelum saraf motorik.
Vasodilatasi dan penurunan tekanan darah pun dapat terjadi ketika saraf
otonom di blok.6
4.1.5 Penilaian dan Persiapan Pra Anestesia1
Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat aesthesia
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang
perlu mendapat perhatian khususs, misalnya alergi, mual, muntah, nyeri
31
otot, gatal-gatal atau sesak napas asca bedah sehingga kita dapat
merencanakan anesthesia berikutnya dengan lebih baik.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan rutin lain secara sistemik tentang keadaan umum
tentu tidak boleh dilewakan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi.
Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang azim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologist (ASA)
ASA I Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik dan
biokimia.
ASA II Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang.
ASA III Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas.
ASA IV Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
ASA V Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Masukan oral
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam
dan bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anesthesia. Minum bening, air putih, the menis sampai 3 jam dan
32
untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam
sebelum induksi.
Premedikasi
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia
dengan tujuan untuk memperlancar induksi, rumatan dan bangun dari
anesthesia. Obat peredam kecemasan biasanya diazepam oral 10-15 mg
beberapa jam sebelum indksi. Jika disertai nyeri dapat diberikan petidin 50
mg intramuscular.
Induksi anestesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tida
sadar, sehinggamemungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan.
Induksi anesthesia dapat dikerjakan dengan intravena, inhalasi,
intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anesthesia
langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anesthesia sampai tindakan
pembedahan selesai.
4.1.6 Indikasi dan kontraindikasi
Indikasi: 1
Bedah ekstremitas bawah
Bedah panggul
Tindakan sekitar rectum-perineum
Bedah obsetri-genekologi
Bedah urologi
Bedah abdomen bawah
33
Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatric biasanya
dikombinasi dengan anesthesia umum ringan
Kontraindikasi Absolut: 1
Pasien menolak
Infeksi pada tempat suntikan
Hipovolemia berat, syok
Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
Tekanan intracranial meninggi
Fasilitas resusitasi minim
Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsultan
anesthesia
Kontraindikasi relatif 1
Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
Infeksi sekitar tempat suntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri pinggang kronis
4.1.7 Keuntungan Anestesi Spinal 6
1. Biaya Biaya minimal
2. Kepuasan pasien Pasien sangat senang dengan teknik ini karena
pemulihannya yang cepat dan tidak ada efek samping.
3. Pernapasan Efek samping sedikit pada system pernapasan selama
blockade yang terlalu tinggi dihindari.
4. Jalan napas Control jalan napas tidak terganggu, sehingga
menurunkan resiko penyumbatan saluran napas atau aspirasi isi
34
lambung.keuntungan ini bias hilang jika obat penenang terlalu banyak
diberikan.
5. Relaksasi otot Anesthesia spinal memberikan relaksasi otot yang
sangat baik pada ekstremitas bawah dan perut bawah.
6. Perdarahan Kehilangan darah selama operasi minimal bila
dibandingkan dengan anestesi umum. Hal ini karena penurunan
tekanan darah dan denyut jantung dan peningkatan draenase vena
menyebabkan aliran.
7. Koagulasi
8. Pada umumnya pasca operasi jarang terjadi thrombosis vena dan
emboli paru.
4.1.8 Kekurangan Anestesi Spinal 6
Kekurangan anestesi spinal diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Terkadang akan sulit untuk menemukan ruang dural dan
mendapatkan CSF.
2. Hipotensi dapat terjadi pada saat blockade.
3. Beberapa pasien tidak cocok secara psikologis untuk tetap sadar,
bahkan jika dibius, selama operasi.
4. Ada risiko teoritis bahwa infeksi ke dalam ruang subarachnoid dan
menyebabkan meningitis. Ini seharusnya tidak pernah terjadi jika
peralatan disterilkan dengan benar dan teknik aseptic digunakan.
5. Sakit kepala postural dapat terjadi pasca operasi.
4.1.9 Persiapan Analgisia Spinal 7
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan
pada analgesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung
atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus.
Selain itu perlu diperhatikan hal-hal berikut
35
1. Informed Consent (izin dari pasien) Kita tidak boleh memaksa
pasien untuk menyetujui anestesi spinal
2. Pemeriksaan fisik Tidak ada kelainan spesifik seperti tulang
punggung dan lain-lain.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran Hemoglobin, hematokrit, PT
(protrombin time) dan PTT (partial tromboplastine time)
4.1.10 Peralatan Analgesia Spinal 1
1. Peralatan monitor Tekanan darah, nadi, oksimetri, denyut (pulse
oksimeter) dan EKG
2. Peralatan anetesia/resusitasi umum
3. Jarum spinal Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo
runcing, quincke bobcock) atau jarum spinal denga ujung pensil (pensil
poit whitecare).
4. Anastetik lokal untuk analgesia spinal
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-
1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut
isobarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari css disebut
hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari css
disebut hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis
36
hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan
dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh
dengan mencampur dengan air injeksi.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine (xylobain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik,
dosis 20-100mg (2-5ml)
2. Lidokaine (xylobain, lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis
1.033, sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik,
dosis 5-20mg (1-4ml)
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027,
sifat hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)
4.1.11 Tekhik analgesia spinal
Pasien duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada
garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan
pada meja operasi tanpa dipindahkan lagi dan hanya diperlukan sedikit
perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama
akan menyebabkan menyebarnya obat.1,7
1. Setelah dimonitor tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus
lateral. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang
belakan stabil. Buat pasien membungkuk maksima agar prosesus
spinosus mudah teraba. Posisi lain ialah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka
dengan tulang punggung ialah L4-5. Tentukan tempat tusukan misalnya
L2-3, L3-4 atau L4-5. Tusukan pada L1 dan L-2 atau diatasnya beresiko
trauma terhadap medulla spinalis.
37
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol
4. Beri anestesi local pada tempat tusukan misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3 ml
5. Cara tusukan median atau para median Untuk jarum spinal besar
22G, 23G, atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang
kecil 27G aytau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum biasanya
10cc. Tusukan intoducer sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya kelubang jarum
tersebut. JIka menggunakan jarum tajam irisan jarum harus sejajar
dengan duramater yaitu pada posisi tidur miring “bevel” mengarah
keatas atau kebawah untuk menghindari kebocoran liquor yang dapat
berakibat timbulnya nyeri pasca spinal. Setelah resistensi menghilang
mandarin jarum spinal juga harus dicabut dan dikeluarkan likuor, pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dikeluarkan pelan-pelan (0,5 ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit hanya untuk menyakinkan posisi jarum tetap
baik. Kalau anda yakin posisi jarum spinal pada posisi yang benar dan
likuor tidak keluar putar arah jarum 90% biasanya likuor keluar. Untuk
analgetik spinal kontinu dapat dimasukkan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid dengan anestik hiperbarik. Jarak kulit ligamentum flavum
dewasa lebih kurang 6 cm.
38
7. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum
flavum dewasa ± 6cm.
8. Penyebaran anastetik lokal tergantung:
1. Faktor utama:
Berat jenis anestetik lokal (barisitas)
Posisi pasien
Dosis dan volume anestetik lokal
2. Faktor tambahan
Ketinggian suntikan
Kecepatan suntikan/barbotase
Ukuran jarum
Keadaan fisik pasien
Tekanan intra abdominal
3. Lama kerja anestetik lokal tergantung:
Jenis anestetia lokal
Besarnya dosis
Ada tidaknya vasokonstriktor
Besarnya penyebaran anestetik lokal.
4.1.12 Komplikasi tindakan anestesi spinal :
39
1. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah
dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid
500ml sebelum tindakan.
2. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat
blok sampai T-2
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total
Komplikasi pasca tindakan:
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urine
5. Meningitis
4.1.13 Kekurangan Anestesi Spinal
Kekurangan anestesi spinal diantaranya adalah sebagai berikut:
Terkadang akan sulit untuk menemukan ruang dural dan
mendapatkan CSF.
Hipotensi dapat terjadi pada saat blockade.
Beberapa pasien tidak cocok secara psikologis untuk tetap sadar,
bahkan jika dibius, selama operasi.
40
Ada risiko teoritis bahwa infeksi ke dalam ruang subarachnoid dan
menyebabkan meningitis. Ini seharusnya tidak pernah terjadi jika
peralatan disterilkan dengan benar dan teknik aseptic digunakan.
Sakit kepala postural dapat terjadi pasca operasi.1,7
4.2 BPH 8
4.2.1 Definisi
BPH terjadi karena proliferasi stroma dan epithelial dari
glandula prostat yang sering didapatkan gejala voiding. Dengan
bertambahnya usia, akan terjadi perubahan testosteron estrogen karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi
estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Hingga sekarang masih
belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hyperplasia prostat;
tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan
proses aging (menjadi tua).
4.2.2 Gejala Klinis
Biasanya gejala–gejala pembesaran prostat jinak, dikenal
sebagai Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS), dan dapat dibedakan
menjadi :
1. Gejala iritatif
Frekuensi Sering miksi. Frekuensi terutama terjadi pada
malam hari ( nokturia ) karena hambatan normal dari korteks
berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama
tidur.
Nokturia Terbangun untuk miksi pada malam hari.
Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang
41
tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi
lebih pendek.
Urgensi Perasaan miksi yang sangat mendesak
Disuria Nyeri pada saat miksi. Urgensi dan disuria jarang
terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidaksatabilan detrusor
sehingga terjadi kontraksi involunter.
2. Gejala obstuktif
Pancaran melemah
Rasa tidak lampias sehabis miksi
Terminal dribbling Menetes setelah miksi. Terminal
dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena
jumlah residu urin yang banyak dalam buli–buli.
Hesitancy Bila mau miksi harus menunggu lama. Terjadi
karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat
melawan resistensi uretra.
Straining Harus mengedan jika miksi.
Intermittency Kencing terputus–putus. Terjadi karena
detrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir
miksi.
Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio
urin dan inkontinen karena overflow.
4.2.3 Diagostik
Diagnostik BPH ditegakkan berdasarkan dengan pemeriksaan
Klinis dan pemeriksaan Penunjang.
Pemeriksaan Klinis
1. Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE )
42
Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, DRE dapat
memberikan gambaran tonus sfingter ani, mukosa rektum, adanya
kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan tentu saja meraba
prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :
Konsistensi pada pembesaran prostat kenyal
Adakah asimetri
Adakah nodul pada prostat
Apakah batas atas dapat diraba dan apabila batas atas
masih dapat diraba biasanya besar prostat diperkirakan <
60 gr.
Pada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari
normal atau normal ( ingat tidak ada korelasi antara besar prostat
dengan obstruksi yang ditimbulkannya ), permukaan licin dan
konsistensi kenyal. Pada akut retensi, buli-buli penuh ( ditemukan
massa supra pubis ) yang nyeri dan pekak pada perkusi.
Derajat berat hipertrofi prostat berdasarkan gambaran klinis
Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin
I Penonjolan prostat, batas atas
mudah diraba
< 50 ml
II Penonjolan prostat jelas, batas atas
dapat dicapai
50 – 100 ml
III Batas atas prostat tidak dapat diraba > 100 ml
IV Retensi urin total
2. Derajat berat obstruksi
43
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan
jumlah sisa urin setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan
mengukur urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin
dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih
setelah miksi. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai
batas untuk indikasi melakukan intervensi pada hipertrofi prostat.
Derajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran
urin pada waktu miksi, yang disebut uroflowmetri. Angka normal
pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal
sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, pancaran menurun
antara 6–8 ml/detik, sedangkan maksimal pancaran menjadi 15
ml/detik atau kurang.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat
adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus
diperhatikan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu,
infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan
hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan
informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan
Prostat Spesifik Antigen ( PSA ) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4
ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4 – 10 ng/ml, hitunglah
Prostate Spesifik Antigen Density ( PSAD ) yaitu PSA serum dibagi
dengan volume prostat. Bila PSAD ≥ 0,15 maka sebaiknya dilakukan
biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml.
2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen,
pielografi intra vena, USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan
ini adalah untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat
44
disfungsi buli - buli dan volume residu urin, dan mencari kelainan patologi
lain, baik yang berhubungan maupun tidak dengan BPH. Dari foto polos
dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau
buli–buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari
keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal.
Dari pielografi intra vena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi
renal, hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance ( gambaran
ureter berbelok-belok di vesica ), indentansi pada dasar buli – buli,
divertikel, residu urin, atau filling defect di vesica.
Cara pencitraan yang lain ialah pemeriksaan USG. Cara pemeriksaan
ini untuk prostat hipertrofi dianggap sebagai pemeriksaan yang baik oleh
karena ketepatannya dalam mendeteksi pembesaran prostat, tidak adanya
bahaya radiasi dan juga relatif murah. Pemeriksaan USG dapat dilakukan
secara trans abdominal atau transrektal (TRUS=Trans Rectal
Ultrasonografi). TRUS dianggap lebih baik untuk pemeriksaan kelenjar
prostat apalagi bila menggunakan transducer yang ’biplane’. Selain untuk
mengetahui adanya pembesaran prostat pemeriksaan USG dapat pula
mendeteksi volume buli, mengukur sisa urin, dan patologi lain seperti
divertikel, tumor buli yang besar, batu buli. TRUS dapat pula mengukur
besarnya prostat yang diperlukan untuk menentukan jenis terapi yang tepat
yaitu apabila besarnya lebih dari 60 gr digolongkan besar sehingga kalau
akan dilakukan operasi dipilih operasi buka. Perkiraan besarnya prostat
dapat pula dilakukan dengan USG suprapubik atau trans urethral tetapi
cara transuretral dianggap terlalu invasif. Pengukuran volume prostat
sering disebut volumetri dan biasanya memakai rumus volume=0,52 x d1 x
d2 x d3, bila kita anggap bahwa bentuk prostatelipsoid dan d adalah jarak
panjang, lebar (pada potongan transversal), dan panjang prostat adalah
potongan sagital. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat,
memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin, batu ginjal, divertikulum
atau tumor buli–buli.
3. Sistoskopi
45
Sistoskopi sebaiknya dilakukan pada anamnesa ditemukan adanya
hematuri atau pada pemeriksaan urin ditemukan adanya mikrohematuri,
untuk mengetahui adanya kemungkinan tumor di dalam vesica atau
sumber perdarahan dari atas yang dapat dilihat apabila darah datang dari
muara ureter, atau adanya batu kecil yang radiolusent di dalam vesica.
Selain itu sistoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar
prostat dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat
penonjolan prostat kedalam uretra.
4. CT – Scan atau MRI
Pencitraan dengan CT–Scaning dan Magnetic Resonance Imaging /
MRI dalam praktek jarang dipakai karena cara pemeriksaan ini mahal dan
keterangan yang diperoleh tidak terlalu banyak dibandingkan cara lain.
4.2.4 Penatalaksanaan
Penderita datang ke dokter bila hipertrofi prostat telah memberikan
keluhan klinis. Derajat berat gejala klinis dibagi menjadi empat gradasi
berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin. WHO
menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang
disebut WHO PSS (WHO Prostate Symptom Score). Skor ini dihitung
berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi.
Terapi nonbedah dilakukan jika WHO PSS tetap di bawah 15. Untuk itu
dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi
bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi. Di
dalam praktek pembagian besar prostat derajat I–IV digunakan untuk
menentukan cara penanganan.
a. Derajat I
Belum memerlukan tindak bedah, diberikan tindakan
konservatif, misalnya dengan penghambat adrenoreseptor alfa seperti
alfazosin, prazosin dan terazosin. Keuntungan obat penghambat
adrenoreseptor alfa ialah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi
46
tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat sedikit pun.
Kekurangannya ialah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Derajat II
Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya
dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (Trans Urethral
Resection=TUR ). Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar
8%. Kadang derajat dua dapat dicoba dengan pengobatan konservatif.
c. Derajat III
Reseksi endoskopik dapat dikerjakan oleh pembedah yang
cukup berpengalaman. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar
sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam, sebaiknya
dilakukan pembedahan. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui
transvesikal, retropubik atau perineal. Pada operasi melalui kandung
kemih dibuat sayatan perut bagian bawah menurut pfannenstiel ;
kemudian prostat dienukleasi dari dalam simpainya. Keuntungan
teknik ini adalah dapat sekaligus untuk mengangkat batu buli–buli atau
divertikelektomi apabila ada divertikulum yang cukup besar. Cara
pembedahan retropubik menurut milin dikerjakan melalui sayatan kulit
pfannenstiel dengan membuka kandung kemih, kemudian prostat
dienukleasi. Cara ini mempunyai keunggulan yaitu tanpa membuka
kandung kemih sehingga pemasangan kateter tidak lama seperti bila
membuka vesika. Kerugiannya, cara ini tidak dapat dipakai kalau
diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari dalam kandung
kemih. Kedua cara pembedahan terbuka tersebut masih kalah
dibandingkan dengan cara TUR, yaitu morbiditasnya yang lebih lama,
tetapi dapat dikerjakan tanpa memerlukan alat endoskopi yang khusus,
dengan alat bedah baku. Prostatektomi melalui sayatan perineal tidak
dikerjakan lagi.
d. Derajat IV
Tindakan yang pertama harus dikerjakan adalah membebaskan
penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau
47
sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitif dengan TUR atau
pembedahan terbuka. Penderita yang keadaan umumnya tidak
memungkinkan untuk dilakukan pembedahan, dapat diusahakan
pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat
adrenoreseptor alfa. Efek samping obat ini adalah gejala hipotensi,
seperti pusing, lemas, palpitasi dan rasa lemah. Pengobatan konservatif
ialah dengan pemberian obat antiandrogen yang menekan produksi
LH. Kesulitan pengobatan konservatif adalah menetukan berapa lama
obat harus diberikan dan efek samping obat.
Pengobatan lain yang invasif minimal adalah pemanasan
prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat
melalui antena yang dipasang pada ujung kateter. Dengan cara yang
disebut transurethral micro wave thermotherapy (TUMT) ini, diperoleh
hasil perbaikan kira–kira 75 % untuk gejala objektif. Pada
penanggulangan invasif minimal lain, yang disebut transurethral
ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP) digunakan
cahaya laser. Dengan cara ini, diperoleh juga hasil yang cukup
memuaskan. Uretra di daerah prostat dapat juga didilatasi dengan
balon yang dikembangkan didalamnya (Trans Urethral Ballon
Dilatation=TUBD). TUBD ini biasanya memberi perbaikan yang
bersifat sementara.
4.3 KARDIOMIOPATI 9
4.3.1 Definisi
Kardiomiopati merupakan suatu kelompok penyakit yang langsung
mengenai otot jantung atau miokard itu sendiri. Kelompok penyakit ini
tergolong khusus karena kelainan yang ditimbulkannya bukan terjadi
akibat penyakit perikardium, hipertensi, koroner, kelainan kongenital atau
kelainan katup.
48
4.3.2 Patofisiologi
Karena adanya gangguan atau kesusakan miokardium maka
sebagai kompensasi otot jantung hipertrofi dan rongga jantung membesar,
jaringan ikat berproliferasi dan menginfiltrasi otot. Miosit jantung yang
mengalami kerusakan atau kematian membuat miokard kehilangan
fungsinya yang kemudian dapat mengakibatkan terjadinya gagal jantung,
aritmia bahkan kematian mendadak.
4.3.3 Etiologi
Penyebab kardiomiopati saat ini masih belum dapat dijelaskan
secara pasti, tetapi kardiomiopati diduga kuat dipengaruhi oleh faktor
genetik.
4.3.4 Gejala
Beberapa penderita mungkin tidak mengalami gejala atau tanda
kardiomiopati pada tahap awal penyakit kardiomiopati. Tetapi sejalan
dengan berkembangnya penyakit kardiomiopati, gejala kardiomiopati dan
tanda biasanya muncul.
Tanda atau gejala kardiomiopati biasanya meliputi:
Kehabisan nafas sewaktu mengerahkan tenaga atau bahkan
sewaktu istirahat.
Pembengkakan pada kaki dan pergelangan kaki.
Perut kembung berisi air.
Merasa lelah.
Detak jantung tidak beraturan yang dirasakan cepat, bergetar dan
berdebar.
Pusing, kepala ringan dan pingsan.
Kardiomiopati jenis apapun bila tidak diobati, gejalanya akan
memburuk. Pada penderita tertentu tanda dan gejala kardiomiopati cepat
49
sekali memburuk, sedangkan yang lain tidak memburuk dangan waktu
yang lama.
4.3.5 Klasifikasi
Berdasarkan etiologi maka dikenal dua bentuk dasar yaitu
1. Tipe primer
Apabila terdapat penyakit pada otot jantung dengan penyebab yang tida
diketahui. Termasuk didalamnya adalah idiopatik kardiomiopati, familial
kardiomiopati, penyakit eosinofilik endomiokardium dan fibrosis
endomiokardium.
2. Tipe sekunder
Apabila ditemukan penyakit miokardium dengan penyebab yang dapat
diketahui, termasuk bila berhubungan dengan penyakit melibatkan sistem
organ lain.
Berdasarkan klinis dan patologis, maka kardiomiopati dibagi menjadi
dilatasi, restriktif dan hipertropik.
KARDIOMIOPATI DILATASI
Definisi
Merupakan jenis kardiomiopati yang paling banyak ditemukan.
Dengan deskripsi kelainan yang ditemukan: dilatasi ventrikel kanan dan
atau ventrikel kiri, disfungsi kontraktilitas pada salah satu atau kedua
ventrikel.
50
Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ini dapat mengenai segala usia, tetapi
kebanyakan mengenai usia pertengahan dan lebih sering ditemukan pada
pria dibandingkan perempuan.
Insiden
Insiden kejadian dilaporkan 5-8 kasus per 100.000 populasi
pertahun dan kejadian ini terus meningkat jumlahnya.
Etiologi
Etiologi kardiomiopati dilatasi tidak di ketehaui pasti, tapi
kemungkinan besar kelainan ini di sebabkan karena kerusakan miokard
disebabkan oleh produksi berbagai macam toksin, zat metabolic atau
infeksi. Kerusakan karena infeksi viral akut pada miokard yang akhirnya
menyebabkan kardiomiopati dilatasi ini terjadi karenan proses imunologis.
Hal yang banyak di temukan pada populasi pria pada usia pertengahan,
terutama yang berasal dari afrika amerika dibandingankan yang berkulit
putih. Prevalensinya semakin lama semakin meningkat.
Pada kardiomiopati yang disebabkan oleh alcohol, kehamilanm
penyakit tiroid, penggunaan kokain dan keadaan takikardi kronik yang
tidak terkontrol, dikantankan kardiomiopati tersebut bersipat reversible.
51
Obesitas juga akan meninilitasgkatakan resiko gagal jantung , sebagai
mana juga gejala sleep apnea.
Kira-kira 20-40% pasien memilki kelainan familia akibat dari
mutasi genetic. Kelainan tersebut basa terjadi pada sitoskeletal gen (seperi
gen ditrofin dan desmin), kontraktilitas dan mebran sel (seperti lamin A/C)
dan protein-protein lainya. Penyakit ini bersipat geneteik heterogen tetapi
kebanyakan transmisinya secara autosomalm dominan. Walaupun dapat
secara automosal resesif dan x-linked inheritance.
Gejala Klinis
Gejala klinis yang menonjol adalah gejala jantung kongesif yang
timbul secara bertahap pada sebagian besar pasien. Bebrapa pasien
mengalami dilatasi ventrikel kiri dalam beberapa bulan bahkan beberapa
taun sebelum gejala timbul. Pada beberapa kasus sering ditemukan nyeri
dada yang tidak khas, sedangkan nyeri dada tipikal kardiak tidak lazim
ditemukan. Bila terdapat keluhan nyeri dada yang tipikal, dipikirkan
kemungkinan terdapat penyaki jantunng iskemia secara bersamaan. Akibat
dari aritmian dan emboli sitemik kejadian sinkop cukup sering di temukan.
Pada penyakit yang sudah lanjut dapat juga ditemukan nyeri dada akibat
sekunder emboli paru dan nyeri abdomen akibat hepatomegali kongesif.
Keluhan sering timbul secara gradual, bahkan sebagian besar
awalnya asintommatik walaupun telah terjadi dilatasi ventrikel kiri selama
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Gejala-gejala dari kardiomiopati adalah gejala-gejala dari gagal
jantung. Ini termasuk sesak napas dan atau letih waktu kerja fisik atau
waktu berbaring, bangun tengah malam karena kehabisan napas dan
bengkak pada kaki bagian bawah. Gejala-gejala bertambah seiring dengan
kemajuan penyakit. Pasien dengan kardiomiopati dilatasi juga mempunyai
peningkatan kejadian (insiden) sangat tinggi dari aritmia yang mengancam
nyawa, yaitu takikardia bilik dan fibrilasi bilik. Pada pasien-pasien ini,
suatu episode dari syncope (tidak berdaya, lemah, pucat) harus
dipertimbangkan sebagai tanda awal dari kematian mendadak.
52
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik jantung dapat ditemukan tanda-tanda
sebagai berikut:
Prekordium bergeser kearah kiri.
Implus pada ventrikel kanan.
Impuls apikal bergeser kelateral yang menunjukkan dilatasi
ventrikel kiri.
Gelombang presistolik pada palpasi, serta pada auskultasi terdengar
presistolik gallop (S4).
Split pada bunyi jantung kedua
Gallop entrikular (S3) terdengar bila terjadi dekompensasi jantung.
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan radiologi dada akan terlihat pembesaran jantung
akibat dilatasi ventrikel kiri, walaupun seringkali terjadi pembesaran pada
seluruh ruang jantung. Pada lapangan paru akan terlihat gambaran
hipertensi pulmonal serta edema alveolar dan interstitial.
Elektrokardiografi akan menunjukkan gambaran sinus taikardi atau
fibrilasi atrial, aritma ventrikel, abnormalitas atrium kiri, abnormalitas
segmen ST yang tidak spesifik dan kadang-kadang tampak gambaran
gangguan konduksi intraventrikular dan low voltage.
sedangkan dari pemeriksaan ekokardiografi dan ventrikulografi
radionuklir menunjukkan dilatasi ventrikel dan sedikit penebalan dinding
jantung bahkan normal atau menipis, gangguan fungsi sistolik dengan
penurunan fraksi ejeksi. Dapat pula ditemukan peningkatan kadar brain
natriuretic peptide dalam sirkulasi akan membantu diagnostik pasien
dengan gejala sesak nafas yang tidak jelas etiologinya.
Pemeriksaan kateterisasi jantung dan angiografi koroner seringkali
dibutuhkan untuk dapat menyingkirkan penyakit jantung iskemia. pada
angiografi akan terlihat dilatasi, hipokinetik difus dari ventrikel kiri dan
regurgitasi mitral dalam derajat yang bervariasi.
53
Modalitas pemeriksaan lain seperti biopsi endomiokardial
transversa tidak diperlukan untuk kardiomiopati dilatasi yang familial atau
idiopatik. tetapi pemeriksaan dibutuhkan untuk diagnostik kardiomiopati
sekunder seperti amiloidosis dan miokard akut.
Pengobatan
pengobatan yang diberikan berdasarkan gambaran klinis yang
timbul seperti diuretika untuk mengurangi gejala, ACE Inhibitor, dan
penghambat beta. igoksin merupakan pilihan pengobatan lini kedua,
dimana dosis optimal yang akan dicapai adalah bila kadar dalam serum
mencapai 0,5-0,8 ng/mL.
Prognosis
Prognosis kardiomiopati ini sangat buruk, survival rate umumnya
hanya 5 – 6 tahun
KARDIOMIOPATI HIPERTROFIK
Definisi
Kardiomiopati hipertrofik adalah hipertrofi ventrikel tanpa
penyakit jantung atau sistemik lain yang dapat menyebabkan hipertrofi
ventrikel ini. Kardiomiopati hipertrofik Ada 2 macam/bentuk yaitu :
1. Hipertrofi yang simetris atau kosentris dan
2. Hipertrofi septal asimetris.
54
Etiologi
Penyebab dari penyakit ini tidak di ketahui diduga penyebabnya
karena katekokelamin, kelainan pembuluh darah coroner kecil, kelainan
yang menyebabkan iskemik miocard, kelainan konduksi atrioventrikular
dan kelainan kolagen. Penyakit ini dapat ditemukan pada pria dan wanita
dalam frekuensi kejadian relative sama dan mengenai semua umur.
Gejala
Gejala yang terjadi pada penyakit ini antara lain terdapat ganguan
irama jantung, sering berdebar-debar, pusing sampai sinkop, tekanan darah
sistolik menurun dan ada juga kasus penyakit kardiohepertropik yang tidak
bergelaja alias asimtomamtik.
Orang tua dengan penyakit kardiomiopati hipertropik sering mengeluh
sesak napas akibat gagal jantung dan angina pectoris yang menggagu
disertai fibrilasi atrium.
Pada kasus-kaus yang lanjut biasanya ditemukan pergeseran atau
kekakuan katup mitral sehingga menimbulkan gejala stenosis.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan pembesaran jantung
ringan. pada apeks teraba getaran jantung sistolik dan kuat angkat. bunyi
55
jantung ke-4 biasanya terdengar. terdengar bising sistolik yang mengeras
pada tindakan valsafa.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang radiology (rongen thorax) menunjukan
pembesaran jantung mulai ringan sampai berat, dan EKG ditemukan
hipertrofi ventrikel kiri (kompleks QRS yang sangat tinggi), kelainan
segmen ST dan gelombang T, gelombang Q yang abnormal dan aritmia
atrial dan vebtrikular. Ekokardiografi ditemukan pengecilan rongga
ventrikel kiri, penebalan septum ventrikel dibandingkan dengan dinding
posterior ventrikel kiri dengan rasio > 1,5 : 1, penurunan derajat
penutupan katup mitral, SAM katup mitral, obstruksi jalur keluar ventrikel
kiri, imobilitas relatif septum ventrikel dengan kontraksi yang hebat
dinding posterior. Dengan ekokardiografi 2 D dapat dibedakan 3 jenis
hipertrofi ventrikel kiri, yaitu hipertrofi septum saja (41%), hipertrofi
septum disertai hipertrofi dinding lateral (53%) dan hipertrofi apikal distal
(6%). Pemeriksaan lain yaitu radionuklir akan ditemukan ventrikel kiri
mengecil atau normal. Fungsi sistolik menguat dan hipertrofi septal
asimetrik. Sedang pada MRI berbagai jenis hipertrofi apical ventrikel kiri
dapat dibedakan.
Pengobatan
Penatalaksanaan ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan
mencegah terjadinya kematian mendadak. Obat-obatan yang dipakai
meliputi penyekat beta (beta bloker), penghambat saluran kalsium
(kalsium antagonis), anti aritmia dan obat profilaksis endokarditis infektif.
Miomektomi juga dapat dilakukan pada keadaan tertentu yaitu bila
gejalanya tidak membaik dengan terapi obat, pembedahan ini tidak
mengurangi resiko kematian tetapi hanya mengurangi gejala saja.
56
Prognosis
Prognosis kardiomiopati ini cukup baik, dimana angka mortalitasnya
hanya 1% hingga 4% per tahun. Sebagian dapat berubah menjadi menjadi
kardiomiopati kongestif sekalipun sudah dilakukan miomektomi.
KARDIOMIOPATI RESTRIKTIF
Etiologi
Penyebabb penyakit kardiomiopati rstriktip sampai saat ini belum di
ketahui, namun sering ditemukan pada amiloidosis, hemokromatosi,
deposisi glikogen, fibrosis endomiokradial, eosinofilia, fibroelastosis, dan
lain-lain.
Gejala Klinis
Pasien biasanya mengeluh lemas dan sesak napas, ditemukan
tanda-tanda gagal jantung sebelah kanan, serta biasanya ditemukan gejala
penyakit sistemik seperti amiloidosis, hemokromatosis.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis ditemukan adanya pembesaran jantung
sedang. terdengar bunyi jantung ke-3 atau ke-4 dan adanya regurgitasi
mitral atau trikuspid.
57
Pemeriksaan Penunjang
Kardiomegali disertai dengan hipertensi polmunal dapat
ditemukan pada foto thorax, EKG ditemukan low voltage, gelombang P
yang prominen, voltage QRS selalu normal, segmen ST yang depresi dan
gelombang T yang inverse. Pemeriksaan ekokardiogram memperlihatkan
adanya pembesaran kedua atrium sedangkan kedua ventrikel normal
dengan fungsi sistolik yang berubah-ubah. Dimensi end diastolik
ventrikel kiri dan kanan normal. Shortening fraction ventrikel
kiri biasanya normal atau berkurang. Terdapat regurgitasi mitral
dan trikuspid mid-diastolik pada sebagian besar penderita, karena
tekanan diastolik ventrikel melebihi tekanan atrium pada puncak rapid
filling wave. Kelainan systemic venous flow berupa aliran ke atrium
sewaktu sistole menurun atau menghilang dan terjadi pada saat
diastole.
Pengobatan
Pengobatan pada umumnya sukar diberikan, karena tidak efisien
dan tergantung pada penyakit yang menyertainya, obat antiaritmia dapat
diberkan bila terdapat gangguan aritmia karena hal ini yang banyak
menyebabkan kematian mendadak. Bila gangguan konduksi yang berat
alat pacu jantung dapat diberikan.
Prognosis
Prognosis umumnya jelek. Pengobatan ditujukan untuk
menghilangkan edema dengan pemberian diuretik. Obat-obat
calcium channel blocking agent dapat digunakan untuk
meningkatkan diastolic compliance. Managemen terakhir berupa
transplantasi jantung.
BAB VI
58
PEMBAHASAN
Pada kasus diatas, pasien bernama Tn. M. Zein dengan diagnosa Retensio
Urin ec BPH dengan Kardiomiopati dilakukan operasi tanggal 24 Oktober 2012
oleh ahli bedah dr. Hendra Herman Sp.U dengan asisten bedah Subagio dan ahli
anestesi dr. Sulistiyowati Sp.An dengan asisten anestesi Hasyim. Dari hasil
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien termasuk ASA III-IV
dengan Kardiomiopati.
Pasien masuk ke kamar operasi pukul 10.00 WIB. Tahapan anestesi
dimulai dengan pemberian cairan IV line di metacarpal sinistra dengan RL
sebanyak 2 Kolf, hal ini dilakukan untuk mencegah komplikasi tindakan dari
anastesi spinal yaitu hipotensi.
Secara teori hidrasi dilakukan dengan cara pemberian cairan kristaloid
yaitu sebanyak 10-15 ml/kgBB 30 menit sebelumnya. Berarti sekitar 800-1200 ml
(± 2 kolf). Kemudian diberikan obat premedikasi yaitu Ranitidine 50 mg dan
Ondancentron 4 mg drip bersama larutan RL. Pemberian Ranitidine tujuannya
adalah untuk mencegah pneumonitis asam. Sedangkan Ondancentron diberikan
tujuannya untuk mengurangi mual dan muntah pasca pembedahan. Setelah itu
hidupkan monitor, pasang tensimeter dan saturasi O2. Tentukan tekanan darah
basal dan nadi dasar pasien.
Pukul 10.15 WIB pada pasien ini dilakukan anestesi spinal, dimana
tekhnik anestesi spinal yaitu pemberian obat anestesi lokal keruang subarachnoid.
Anestesi spinal mulai dilakukan dengan posisi pasien duduk tegak dengan kepala
menunduk hingga prossesus spinosus mudah teraba. Aseptik dan antiseptik
dengan betadine. Setelah itu dicari perpotongan garis yang menghubungkan kedua
crista iliaca dengan tulang punggung yaitu antara vertebral lumbal 3-4, lalu
ditentukan tempat tusukan pada garis tengah. Dengan jarum spinoken 27 G
ditusukkan kearah median, barbutase positif dengan keluarnya LCS (jernih)
kemudian dipasang spuit 5 cc yang berisi obat anestesi yaitu Bupivacaine HCL
59
0,5% (hiperbarik) 15 mg dan Clonidine hydrochloride 0,5 µg yang dimasukkan
secara berlahan-lahan.
Induksi menggunakan Bupivacaine HCL dan dikombinasikan dengan
Clonidine hydrochloride. Bupivacaine HCL merupakan anestesi lokal golongan
amida. Obat anestesi regional bekerja dengan menghilangkan rasa sakit atau
sensasi pada daerah tertentu dari tubuh. Cara kerjanya yaitu memblok proses
konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat reversibel.
Clonidine hydrochloride merupakan suatu agonis andrenoseptor α2
diketahui dapat menstimulasi reseptor adrenergik α2 presinaps dan menghambat
pengeluaran norepinefrin disentral maupun perifer. Stimulasi reseptor α2 dipusat
vasomotor medulla oblongata mengakibatkan clonidine memiliki efek
antihipertensi.
Tranexamic Acid dan Ascorbica Acid juga diberikan pada pasien ini
dimana tujuannya adalah untuk membantu pembekuan darah.
Pada pasien ini diberikan cairan infus RL sebanyak 3 kolf sebagai cairan
fisiologis untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang. Fima HES sebanyak
1 kolf juga diberikan untuk mempertahankan circulating blood volume. Pada
pasien ini dipuasakan ± 6 jam, maka kebutuhan pada pasien ini adalah
BB = 55 Kg
Defisit Cairan Karena Puasa (P)
P = 6 x BB x 2 cc
P = 6 x 55 x 2 cc 660 cc
Maintenance (M)
M = BB x 2 cc
M = 55 x 2 cc 110 cc
Stress Operasi (O)
O = BB x 8 cc
O = 55 x 8 cc 440 cc
60
Perdarahan
Total = Suction + Kassa + Duk
Total = 240 cc + 250 cc + 200 cc 690 cc
Jadi kebutuhan cairan selama 1 jam pertama ½ (P) + M + O + P yaitu
½ (660) + 110 + 440 + 690
1570 cc
Pada pasien ini diberikan cairan Kristaloid yaitu RL 3 kolf (1500 cc),
dimana 2 Kolf sebelumnya di lakukan loding cairan, dan cairan Koloid yaitu
Fima HES 1 Kolf (500 cc) berarti cairan yang telah masuk sebanyak 2000 cc.
Dimana pada pasien ini lamanya waktu operasi selama 1 jam sehingga pada
pasien ini mendapatkan cairan pengganti sebanyak 1570 cc. Jadi pada pasien ini
kebutuhan cairan telah tercukupi.
Untuk analgetik diberikan Tramadol 100 mg yang merupakan analgetik
sentral dengan afinitas rendah pada reseptor dan kelemahan analgesinya 10-20%
dibanding morfin. Tramadol dapat diberikan dengan dosis 50-100 mg dan dapat
diulag 4-6 jam dengan dosis maksimal 400 mg perhari, berdasarkan teori tersebut
pemberian sudah tepat. Ketorolak 30 mg diindikasikan untuk penatalaksanaan
jangka pendek terhadap nyeri akut, sedang, berat setelah pembedahan. Dosis awal
10 mg diikuti denga 10-30 mg tiap 4-6 jam bila diperlukan, serta pemberian
ketoprofen suppositoria 200 mg yang juga berperanan sebagai analgetik dan
antiinflamasi non steroid.
Pukul 11.15 pasien di bawa ke ICU. Saran dari bagian anastesi yaitu
Pasien post op observasi ICU, monitor keadaan umum dan tanda vital,
oksigenisasi O2 5 liter/menit Binasal Canul, cek ulang DR, UR/KR, Elektrolit Post
Op, program analgetik kaltropen 2 Supp Post/8 jam, ketorolac 30 mg/8 jam,
ranitidine 50 mg/12 jam, boleh makan dan minum sedikit demi sedikit jika
muntah (-), terapi kardiologis diteruskan, RL tutofusin (3:1) 25 tetes/menit,
rawat bersama dr. Hendra Herman Sp.U dan dr. Samsirun Sp.Pd
61
Pengelolaan pasien di ICU meliputi tindakan resusitasi yang meliputi
dukungan hidup untuk fungsi-fungsi vital seperti : Airway (fungsi jalan napas),
Breathing (fungsi pernapasan), Circulation (fungsi sirkulasi), Brain (fungsi otak)
dan fungsi organ lain, dilanjutkan dengan diagnosis dan terapi definitif.
Pada pasien ini fungsi sirkulasi harus mendapatkan perhatian yang paling
khusus sesuai dengan komplikasi yang telah diterangkan diatas. Otak pada pasien
ini tidak mengalami gangguan dilihat dari kesadaran pasien yang baik dan
kemampuan pasien menjawab pertanyaan saat anamnesis.
Penatalaksanaan pada pasien ini sesuai dengan literatur yang ada. Pada hari
pertama, kedua, dan ketiga pasien post operasi open prostatektomi ec BPH dengan
kardiomiopati dimana pemberian cairan pada pasien ini perlu pengawasan yang
ketat serta di berikan diet jantung lunak :
Maintenance cairan adalah : (10 kg x 4 ml) + (10 kg x 2 ml) + (35 kg x 1ml)
= 95 ml/jam. Harus diperhatikan Output (urin minimal 2,75-55 ml/jam).
Serta pematauan terhadap hemodinamik. Pemilihan terapi cairan pada
pasien ini dapat diberikan kristaloid (misalnya Ringer laktat).
Diet diberikan berupa 1-1,5 liter cairan/hari selama 1-2 hari pertama. Diet
ini sangat rendah energi dan semua zat gizi, sehingga sebaiknya hanya
diberikan selama 1-2 hari.
Pasca bedah sekitar 10-16 jam akan timbul nyeri yang bersifat ringan
sampai sedang maka dapat diberikan analgetik golongan AINS (anti
inflamasi non steroid) misalnya ketorolak 10-30 mg iv atau im dapat
diulang 4-6 jam. Serta dapat ditambahkan tramadol, tramadol adalah
analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu. Dapat diberikan
secara im atau iv dengan dosis 50-100 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam.
Digunakan antibiotik spektrum luas infeksi pada bakteri aerob dan anaerob
gram negatif dan positif, profilaksis bedah, serta sepsis. Misalnya tripenem
metronidazole yang dapat diulang setiap 8 jam.
Penatalaksanaan pada pasien ini untuk hipertensi grade I dan kardiomiopati
di gunkan Furosemid 40 mg, Spironalactan 25 mg, Lisinopril 10 mg,
Bisoprolol 2,5 mg, Captopril 25 mg.
62
Follow up hari ke-2 dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
peningkatan WBC : 13,7 103/mm3, % LYM : 8,6 % L, % GRA : 88,0 %, # GRA :
12,2 103/mm3, Ureum : 93,4 mg/dl, Cl : 110,16 mmol/L, pada pasien ini
kemungkinan terjadinya infeksi post operasi. Juga terjadi peningkatan Ureum :
93,4 mg/dl (15-39), Kreatinin : 1,8 mg/dl (0,6-1,1) dan oliguria.
Follow up hari ke 4 dari hasil pemeriksaan fisik diperoleh Keadaan Umum:
Tampak membaik, Kesadaran: Compos mentis, GCS: 15, Tekanan Darah : 140/80
mmHg, Nadi : 120 x/menit, RR : 20 x/menit, T : 34,8 0c, pasien boleh pindah ke
ruang perawatan dan dirawat di zaal Bedah.
63