bab iii.docx

52
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Ekstraksi Gigi 3.1.1 Pengertian Ekstraksi gigi adalah proses pencabutan gigi dari dalam soket dari tulang alveolar. Ekstraksi gigi dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu teknik sederhana dan teknik pembedahan. Teknik sederhana dilakukan dengan melepaskan gigi dari perlekatan jaringan lunak menggunakan elevator kemudian menggoyangkan dan mengeluarkan gigi di dalam soket dari tulang alveolar menggunakan tang ekstraksi (Howe, 1990) Sedangkan teknik pembedahan dilakukan dengan pembuatan flep, pembuangan tulang disekeliling gigi, menggoyangkan dan mengeluarkan gigi di dalam soket dari tulang alveolar kemudian mengembalikan flep ke tempat semula dengan penjahitan. Teknik sederhana digunakan untuk ekstraksi gigi erupsi yang merupakan indikasi, misalnya gigi berjejal. Ekstraksi gigi dengan teknik pembedahan dilakukan apabila gigi tidak bisa diekstraksi dengan menggunakan teknik sederhana, misalnya gigi ankilosis (Howe, 1990) 3.1.2 Prinsip Ekstraksi Gigi Dalam prakteknya, ekstraksi gigi harus mengikuti prinsip-pr insip yang akan memudahkan dalam proses 6

Upload: joongie-ulzzang

Post on 01-Oct-2015

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

36

BAB IIITINJAUAN PUSTAKA

3.1 Ekstraksi Gigi3.1.1 PengertianEkstraksi gigi adalah proses pencabutan gigi dari dalam soket dari tulang alveolar. Ekstraksi gigi dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu teknik sederhana dan teknik pembedahan. Teknik sederhana dilakukan dengan melepaskan gigi dari perlekatan jaringan lunak menggunakan elevator kemudian menggoyangkan dan mengeluarkan gigi di dalam soket dari tulang alveolar menggunakan tang ekstraksi (Howe, 1990)Sedangkan teknik pembedahan dilakukan dengan pembuatan flep, pembuangan tulang disekeliling gigi, menggoyangkan dan mengeluarkan gigi di dalam soket dari tulang alveolar kemudian mengembalikan flep ke tempat semula dengan penjahitan. Teknik sederhana digunakan untuk ekstraksi gigi erupsi yang merupakan indikasi, misalnya gigi berjejal. Ekstraksi gigi dengan teknik pembedahan dilakukan apabila gigi tidak bisa diekstraksi dengan menggunakan teknik sederhana, misalnya gigi ankilosis (Howe, 1990)

3.1.2 Prinsip Ekstraksi Gigi Dalam prakteknya, ekstraksi gigi harus mengikuti prinsip-pr insip yang akan memudahkan dalam proses ekstraksi gigi dan memperkecil terjadinya komplikasi ekstraksi gigi.a. AsepsisUntuk menghindarkan atau memperkecil bahaya inflamasi, seharusnya bekerja secara asepsis, artinya melakukan pekerjaan dengan menjauhkan segala kemungkinan kontaminasi dari kuman atau menghindari organisme patogen. Asepsis secara praktis merupakan suatu teknik yang digunakan untuk memberantas semua jenis organisme. Tindakan sterilisasi dilakukan pada tim operator, alat-alat yang dipergunakan, kamar operasi, pasien terutama pada daerah pembedahan (Howe, 1990)

b. Pembedahan atraumatikPada saat ekstraksi gigi harus diperhatikan untuk bekerja secara hati-hati, tidak kasar, tidak ceroboh, dengan gerakan pasti, sehingga membuat trauma sekecil mungkin. Tindakan yang kasar menyebabkan trauma jaringan lunak, memudahkan terjadinya inflamasi dan memperlambat penyembuhan. Peralatan yang digunakan haruslah tajam karena dengan peralatan yang tumpul akan memperbesar terjadinya trauma (Howe, 1990)

c. Akses dan lapangan pandang baikAda beberapa faktor yang mempengaruhi akses dan lapangan pandang yang baik selama proses ekstraksi gigi. Faktor-faktor tersebut adalah posisi kursi, posisi kepala pasien, posisi operator, pencahayaan, retraksi dan penyedotan darah atau saliva. Posisi kursi harus diatur untuk mendapatkan akses terbaik dan kenyamanan bagi operator dan pasien. Pada ekstraksi gigi maksila, posisi pasien lebih tinggi dari dataran siku operator dengan posisi sandaran kursi lebih rendah sehingga pasien duduk lebih menyandar dan lengkung maksila tegak lurus dengan lantai.Sedangkan ekstraksi gigi pada mandibula, posisi pasien lebih rendah dari dataran siku operator dengan posisi sandaran kursi tegak dan dataran oklusal terendah sejajar dengan lantai. Pencahayaan harus diatur sedemikian rupa agar daerah operasi dapat terlihat dengan jelas tanpa bayangan hitam yang membuat gelap daerah operasi. Retraksi jaringan juga dibutuhkan untuk mendapatkan lapangan pandang yang jelas. Daerah operasi harus bersih dari saliva dan darah yang dapat mengganggu penglihatan ke daerah tersebut sehingga dibutuhkan penyedotan pada rongga mulut (Howe, 1990)

d. Tata Kerja TeraturBekerja sistematis agar dapat mencapai hasil semaksimal mungkin dengan mengeluarkan tenaga sekecil mungkin. Penting untuk mengetahui cara kerja yang berbeda untuk setiap pembedahan, sehingga dapat menggunakan tekanan terkontrol sesuai dengan urutan tindakan (Howe, 1990)

3.1.3 Indikasi dan Kontraindikasi Pencabutan 3.1.3.1 Indikasi Pencabutan Gigi Gigi mungkin perlu di cabut untuk berbagai alasan, misalnya karena sakit gigi itu sendiri, sakit pada gigi yang mempengaruhi jaringan di sekitarnya, atau letak gigi yang salah. Di bawah ini adalah beberapa contoh indikasi dari pencabutan gigi (Robinson, 2003)1. Karies yang parah Alasan paling umum dan yang dapat diterima secara luas untuk pencabutan gigi adalah karies yang tidak dapat dihilangkan. Sejauh ini gigi yang karies merupakan alasan yang tepat bagi dokter gigi dan pasien untuk dilakukan tindakan pencabutan. (Peterson, 2003)1. Nekrosis pulpa Sebagai dasar pemikiran, yang ke-dua ini berkaitan erat dengan pencabutan gigi adalah adanya nekrosis pulpa atau pulpa irreversibel yang tidak diindikasikan untuk perawatan endodontik. Mungkin dikarenakan jumlah pasien yang menurun atau perawatan endodontik saluran akar yang berliku-liku, kalsifikasi dan tidak dapat diobati dengan tekhnik endodontik standar. Dengan kondisi ini, perawatan endodontik yang telah dilakukan ternyata gagal untuk menghilangkan rasa sakit sehingga diindikasikan untuk pencabutan. (Peterson, 2003)1. Penyakit periodontal yang parahAlasan umum untuk pencabutan gigi adalah adanya penyakit periodontal yang parah. Jika periodontitis dewasa yang parah telah ada selama beberapa waktu, maka akan nampak kehilangan tulang yang berlebihan dan mobilitas gigi yang irreversibel. Dalam situasi seperti ini, gigi yang mengalami mobilitas yang tinggi harus dicabut. (Peterson, 2003)

1. Alasan orthodontik Pasien yang akan menjalani perawatan ortodonsi sering membutuhkan pencabutan gigi untuk memberikan ruang untuk keselarasan gigi. Gigi yang paling sering diekstraksi adalah premolar satu rahang atas dan bawah, tapi premolar ke-dua dan gigi insisivus juga kadang-kadang memerlukan pencabutan dengan alasan yang sama. (Peterson, 2003)1. Gigi yang mengalami malposisi Gigi yang mengalami malposisi dapat diindikasikan untuk pencabutan dalam situasi yang parah. Jika gigi mengalami trauma jaringan lunak dan tidak dapat ditangani oleh perawatan ortodonsi, gigi tersebut harus diekstraksi. Contoh umum ini adalah molar ketiga rahang atas yang keluar kearah bukal yang parah dan menyebabkan ulserasi dan trauma jaringan lunak di pipi. Dalam situasi gigi yang mengalami malposisi ini dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pencabutan. (Peterson, 2003)1. Gigi yang retak Indikasi ini jelas untuk dilakukan pencabutan gigi karena gigi yang telah retak. Pencabutan gigi yang retak bisa sangat sakit dan rumit dengan tekhnik yang lebih konservatif. Bahkan prosedur restoratif endodontik dan kompleks tidak dapat mengurangi rasa sakit akibat gigi yang retak tersebut. (Peterson, 2003)1. Pra-prostetik ekstraksiKadang-kadang, gigi mengganggu desain dan penempatan yang tepat dari peralatan prostetik seperti gigitiruan penuh, gigitiruan sebagian lepasan atau gigitiruan cekat. Ketika hal ini terjadi, pencabutan sangat diperlukan (Peterson, 2003). 1. Gigi impaksi Gigi yang impaksi harus dipertimbangkan untuk dilakukan pencabutan. Jika terdapat sebagian gigi yang impaksi maka oklusi fungsional tidak akan optimal karena ruang yang tidak memadai, maka harus dilakukan bedah pengangkatan gigi impaksi tersebut. Namun, jika dalam mengeluarkan gigi yang impaksi terdapat kontraindikasi seperti pada kasus kompromi medis, impaksi tulang penuh pada pasien yang berusia diatas 35 tahun atau pada pasien dengan usia lanjut, maka gigi impaksi tersebut dapat dibiarkan.1. Supernumary gigi Gigi yang mengalami supernumary biasanya merupakan gigi impaksi yang harus dicabut. Gigi supernumary dapat mengganggu erupsi gigi dan memiliki potensi untuk menyebabkan resorpsi gigi tersebut. (Peterson, 2003)1. Gigi yang terkait dengan lesi patologis Gigi yang terkait dengan lesi patologis mungkin memerlukan pencabutan. Dalam beberapa situasi, gigi dapat dipertahankan dan terapi terapi endodontik dapat dilakukan. Namun, jika mempertahankan gigi dengan operasi lengkap pengangkatan lesi, gigi tersebut harus dicabut. (Peterson, 2003)1. Terapi pra-radiasi Pasien yang menerima terapi radiasi untuk berbagai tumor oral harus memiliki pertimbangan yang serius terhadap gigi untuk dilakukan pencabutan. (Peterson, 2003)1. Gigi yang mengalami fraktur rahang Pasien yang mempertahankan fraktur mandibula atau proses alveolar kadang-kadang harus merelakan giginya untuk dicabut. Dalam sebagian besar kondisi gigi yang terlibat dalam garis fraktur dapat dipertahankan, tetapi jika gigi terluka maka pencabutan mungkin diperlukan untuk mencegah infeksi. (Peterson, 2003)

1. Estetik Terkadang pasien memerlukan pencabutan gigi untuk alasan estetik. Contoh kondisi seperti ini adalah yang berwarna karena tetracycline atau fluorosis, atau mungkin malposisi yang berlebihan sangat menonjol. Meskipun ada tekhnik lain seperti bonding yang dapat meringankan masalah pewarnaan dan prosedur ortodonsi atau osteotomy dapat digunakan untuk memperbaiki tonjolan yang parah, namun pasien lebih memilih untuk rekonstruksi ekstraksi dan prostetik. (Peterson, 2003)1. Ekonomis Indikasi terakhir untuk pencabutan gigi adalah faktor ekonomi. Semua indikasi untuk ekstraksi yang telah disebutkan diatas dapat menjadi kuat jika pasien tidak mau atau tidak mampu secara finansial untuk mendukung keputusan dalam mempertahankan gigi tersebut. Ketidakmampuan pasien untuk membayar prosedur tersebut memungkinkan untuk dilakukan pencabutan gigi. (Peterson, 2003)

3.1.3.2 Kontraindikasi Pencabutan Gigi 1. Kontaindikasi sistemik Kelainan jantung Kelainan darah. Pasien yang mengidap kelainan darah seperti leukemia, haemoragic purpura, hemophilia dan anemia Diabetes melitus tidak terkontrol sangat mempengaruhi penyembuhan luka. Pasien dengan penyakit ginjal (nephritis) pada kasus ini bila dilakukan ekstraksi gigi akan menyebabkan keadaan akut Penyakit hepar (hepatitis). Pasien dengan penyakit syphilis, karena pada saat itu daya tahan terutama tubuh sangat rendah sehingga mudah terjadi infeksi dan penyembuhan akan memakan waktu yang lama. Alergi pada anastesi local Rahang yang baru saja telah diradiasi, pada keadaan ini suplai darah menurun sehingga rasa sakit hebat dan bisa fatal. Toxic goiter Kehamilan. pada trimester ke-dua karena obat-obatan pada saat itu mempunyai efek rendah terhadap janin. Psychosis dan neurosis pasien yang mempunyai mental yang tidak stabil karena dapat berpengaruh pada saat dilakukan ekstraksi gigi Terapi dengan antikoagulan.

1. Kontraindikasi lokal Radang akut. Keradangan akut dengan cellulitis, terlebih dahulu keradangannya harus dikontrol untuk mencegah penyebaran yang lebih luas. Jadi tidak boleh langsung dicabut. Infeksi akut. Pericoronitis akut, penyakit ini sering terjadi pada saat M3 RB erupsi terlebih dahulu Malignancy oral. Adanya keganasan (kanker, tumor dll), dikhawatirkan pencabutan akan menyebabkan pertumbuhan lebih cepat dari keganasan itu. Sehingga luka bekas ekstraksi gigi sulit sembuh. Jadi keganasannya harus diatasi terlebih dahulu. Gigi yang masih dapat dirawat/dipertahankan dengan perawatan konservasi, endodontik dan sebagainya (Pederson, 1996)

3.1.4 Komplikasi pasca ekstraksiKomplikasi akibat pencabutan gigi dapat terjadi oleh berbagai sebab dan bervariasi pula dalam akibat yang ditimbulkannya. Komplikasi tersebut kadang-kadang tidak dapat dihindarkan tanpa memandang operator, kesempurnaan persiapan dan ket erampilan operator. Pada situasi perawatan tertentu sekalipun persiapan pra operasi telah direncanakan sebaik mungkin untuk mencegah atau mengatasi kemungkinan timbulnya kesulitan melalui hasil diagnosis secara cermat dan operator telah melaksanakan prinsip-prinsip bedah dengan baik selama pencabutan gigi.1. Macam-macam komplikasia. Komplikasi local Komplikasi lokal saat pencabutan gigi. Komplikasi lokal setelah pencabutan gigi.b. Komplikasi sistemik.

2. Jenis komplikasi yang dapat terjadia. Kegagalan dari : Pemberian anastetikum. Mencabut gigi dengan tang atau elevator.b. Fraktur dari : Mahkota gigi yang akan dicabut. Akar gigi yang akan dicabut Tulang alveolar. Tuberositas maxilla. Gigi sebelahnya/gigi antagonis. Mandibula.c. Dislokasi dari : Gigi sebelahnya. Sendi temporo mandibula.d. Berpindah akar gigi : Masuk ke jaringan lunak Masuk ke dalam sinus maxillaris.e. Perdarahan berlebihan : Selama pencabutan gigi. Setelah pencabutan gigi selesai.f. Kerusakan dari : Gusi Bibir. Saraf alveolaris inferior/cabangnya. Saraf lingualis. Lidah dan dasar mulut.g. Rasa sakit pasca pencabutan gigi karena Kerusakan dari jaringan keras dan jaringan lunak Dry socket . Osteomyelitis akut dari mandibula. Arthritis traumatik dari senditemporo mandibula.h. Pembengkakan pasca operasi : Edema. Hematoma. Infeksi. Trismus. Terjadinya fistula oro antral. Sinkop. Terhentinya respirasi. Terhentinya jantung. Keadaan darurat akibat anastesi.

3.2 AnastesiAnastesi (pembiusan) bersal dari bahasa yunani. An = tidak, tanpa dan aesthtesos = persepsi, kemampuan merasa. Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Latief, dkk, 2001).3.2.1 Anastesi LokalAnastesi lokal atau anastesi regional merupakan penggunaan obat analgesik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara (reversible). Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya dan dalam keadaan penderita tetap sadar. Tujuan anastesi adalah untuk menghalau, atau menghilangkan rasa sakit dibagian tertentu, daripada harus melakukan pembiusan total. Syarat-syarat Anastesi lokal yang baika. Tidak mengiritasi jaringanb. Toksisitas sistemisnya kecilc. Tidak merusak jaringan saraf secara permanend. Efektif melalui penggunaan suntikan atau topikal pada mukosae. Mulai kerjanya harus sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu yang cukup lama.f. Larut dan stabil dalam air serta stabil pada pemanasan.g. Tidak menimbulkan alergi (Karakata, 1996).

Berdasarkan area yang teranestesi, anestesi lokal dapat dibedakan menjadi :1. Nerve BlockLarutan anestesi lokal disuntikkan pada atau disekitar batang saraf utama, sehingga mampu menganestesi daerah yang luas yang mendapat inervasi dari percabangan saraf utama tersebut. Teknik ini sering digunakan di rongga mulut khususnya di rahang bawah. Kerugian dari teknik ini adalah bahwa biasanya pembuluh darah letaknya berdekatan dengan batang saraf, maka kemungkinan terjadi penetrasi pembuluh darah cukup besar. Contoh : inferior alveolar nerve block.2. Field BlockLarutan anestesi lokal disuntikkan pada atau disekitar cabang saraf terminal dengan tujuan untuk memblokir semua persarafan sebelah distal dari tempat injeksi cairan anestesi. Efek anestesi meliputi darah yang terbatas (tidak seluas pada teknik nerve block) contoh : injeksi di sekitar apeks akar gigi rahang atas.

3. Lokal infiltrasiLarutan anestesi lokal dituntikkan di sekitar ujung-ujung saraf terminal sehingga efek anestesi hanya terbatas pada tempat difusi cairan anestesi tepat pada area yang akan dilakukan instrumentasi. Teknik ini terbatas hanya untuk anestesi jaringan lunak.4. Topikal anesthesiaTeknik ini dilakukan dengan cara mengoleskan larutan anestesi pada permukaan mukosa atau kulit dengan tujuan untuk meniadakan stimulasi pada ujung-ujung saraf bebas (free nerve endings). Anestesi topikal dapat digunakan pada tempat yang akan diinjeksi untuk mengurangi rasa sakit akibat insersi jarum. Beberapa cara pemberian anastesi lokal, khusus dibidang kedokteran gigi yaitu :1. Anestesi TopicalAnestesi topical digunakan hanya untuk menghilangkan rasa sakit di permukaan saja karena hanya mengenai ujung-ujung serabut-serabut saraf dan berlaku untuk beberapa menit saja. Anestesi topikal juga dapat digunakan pada tempat yang akan diinjeksi untuk mengurangi rasa sakit akibat insersi jarum. Teknik ini dilakukan dengancara mengoleskan larutan anestesi pada permukaan mukosa atau kulit dengan tujuan untuk meniadakan stimulasi pada ujung-ujung saraf bebas (free nerve endings). a. Secara FisisTopikal anestesi secara fisis adalah mendapatkan anestesi dengan pembekuan. Bahan anestesi yang digunakan adalah khoretil yang berwujud zat cair, mempunyai titik didih sangat rendah dan cepat menguap. Waktu menguap zat ini berasal dari panas sel-sel jaringan dan syaraf-syaraf di sekitarnya, sehingga menyebabkan sel-sel syaraf tersebut membeku. Akibatnya syaraf tidak dapat lagi menerima rangsangan sakit sehingga rasa sakit tidak diteruskan ke pusat (sentrum) dari permukaan. Hasil dari anestesi ini tidak dalam, hanya kira-kira 5 mm dan cepat hilang. Indikasi topikal anestesi secara fisis antara lain : Mencabut gigi permanen yang amat goyah Insisi abses Mencabut gigi susu yang sudah goyahTeknik topikal anestesi secara fisis :Khoretil yang digunakan adalah khoretil spray. Permukaan yang akan dianestesi sebelumnya dikeringkan dengan kapas kemudian diberi yodium tinctur 3-5%. Setelah itu, khoretil disemprotkan ke permukaan dari dekat terlebih dahulu, kemudian jarak penyemprotan diperbesar seperti air mancur. Hal ini bertujuan agar tempat di sekitar permukaan menjadi beku. Tanda permukaan telah membeku adalah permukaan tersebut tampak memutih dan merupakan tanda untuk memulai pencabutan atau insisi. Setelah ini, operator harus bertindak cepat karena anestesi ini tidak berlangsung lama.Harus diingat ketika menyemprotkan khoretil, jangan sampai mengenai mata karena khoretil dapat merusak mata. Instruksikan pada pasien untuk menutup mata saat penyemprotan. Tidak boleh pula menyemprotkan khoretil terlalu banyak karena memungkinkan terjadinya pembiusan umum. Saat insisi harus menggunakan skalpel/pisau yang tajam, karena permukaan yang telah memutih setelah disemprotkan oleh khoretil menjadi keras. Untuk memudahkan insisi, penyemprotan khoretil pada sekeliling permukaan yang akan diinsisi.

b. Secara KhemisBahan yang biasanya digunakan pada topikal anestesi sacara khemis adalah cocain 2%. Obat-obat lain yang dipergunakan seperti Pantocain dan Benzocain. Pemakaian cocain dalam kedokteran gigi sebagian besar digunakan secara anestesi tekanan (pressure aneaesthesi).Teknik anestesi topikal secara khemis :Bersihkan kavitas pada gigi yang karies dari sisa-sisa makanan kemudian bersihkan dengan alkohol. Ambil sedikit kapas/tampon ukuran kecil lalu masukkan ke dalam larutan cocain 2%, kemudian tekankan ke dalam kavitas gigi yang telah dibersihkan sebelumnya selama beberapa saat.Cocain mempunyai sifat melumpuhkan ujung-ujung syaraf tertentu, sehingga kapas yang telah tercampur dengan cocain tersebut ditekankan akan langsung mengenai ujung syaraf yang menyebabkan kelumpuhan pada syaraf tersebut sehingga tidak dapat menerima rangsangan sakit. Topikal anestesi secara kimia biasanya dipergunakan bila infiltrasi anestesi atau blok anestesi masih menimbulkan rasa sakit pada pulpa. Sebagai contoh, dalam kasus pengambilan urat syaraf (ekstirpasi) secara vital, bila tidak dilakukan topikal anestesi secara khemis untuk mematikan urat syaraf pada pulpa, maka walaupun sudah dilakukan infiltrasi anestesi atau blok anestesi tidak dapat melumpuhkan sampai ke ujung-ujung syaraf sehingga akan menimbulkan rasa sakit. 2. Anestesi InfiltrasiInfiltrasi anestesi diperoleh dengan memberikan suntikkan di bawah mukosa pada ujung-ujung saraf terminal sehingga efek anestesi hanya terbatas pada tempat difusi cairan anestesi tepat pada area yang akan dilakukan instrumentasi. Berdasarkan tempat insersi jarum, teknik injeksi anestesi lokal dapat dibedakan menjadi :a. Soft tissue anestesi Submucosal injectionIstilah ini diterapkan bila larutan didepositkan tepat di balik membran mukosa. Walupun cenderung tidak menimbulkan anastesi pada pulpa gigi suntikan ini sering digunakan untuk menganastesi saraf bukal panjang sebelum pencabutan molar bawah atau operasi jaringan lunak (Howe, 1994).Jarum diinsersikan dan cairan anestesi dideponir ke dalam jaringan di bawah mukosa sehingga larutan anestesi mengadakan difusi pada tempat tersebut.

Gambar 1.1 Submucosal injectionIndikasi submukus infiltrasi anestesi : Untuk melumpuhkan serabut syaraf, misalnya serabut-serabut syaraf atau nervus buksinatorius yang tidak dapat dicapai dengan mandibular anesthesi. Untuk melakukan eksisi gingiva yang menutupi gigi Untuk melakukan insisi (membuat jalan keluar nanah) dari abses/gingiva polip/tumor jinak yang kecil Untuk ekstirpasi gingiva polip dan fibroma Untuk mengambil bagian tulang alveolar yang menonjol (alveolektomi) Deep infiltrasi anestesi (Pleksus anesthesi)Deep infiltrasi anestesi hanya dapat dilakukan bila tulang kompakta atau seluruh struktur kompakta bagian bukal dan labial tipis. Anestesi pun tidak dapat dilakukan bila adanya peradangan karena anesthetikum tidak dapat merembes mencapai urat syaraf yang lebih dalam, sebab diblokir oleh cairan yang terdapat di radang. Indikasi deep infiltrasi anestesi : Untuk mencabut gigi anterior rahang bawah Untuk mencabut semua gigi maksila Untuk mencabut gigi desidui yang persisten Menurut cara penyuntikannya, Deep infiltrasi anestesi dibagi menjadi 4, antara lain : Paraperiosteal injectionJarum diinsersikan sampai mendekati atau menyentuh periosteum, dan setelah diinjeksikan larutan anestesi mengadakan difusi menembus periosteum dan porositas tulang alveolar. Interseptal injectionTeknik ini merupakan modifikasi dari teknik intraosseous, dilakukan untuk mempermudah pelaksanaan injeksi intraosseous dimana jarum disuntikkan ke dalam tulang alveolar bagian interseptal diantara kedua gigi yang akan dianestesi. Teknik ini kadang-kadang digunakan bila anestesi yang menyeluruh sulit diperoleh atau bila dipasang gigi geligi tiruan imediat serta bila tekhnik supraperiosteal tidak mungkin digunakan. Tekhnik ini hanya dapat digunakan setelah diperoleh anestesi superficial.

Gambar 1.2 Interseptal injection

Intraperiodontal injectionJarum diinsersikan pada sulkus gingival dengen bevel mengarah menjauhi gigi. Jarum kemudian didorong ke membrane periodontal bersudut 30 terhadap sumbu panjang gigi. Jarum ditahan dengan jari untuk mencegah pembengkokan dan didorong ke penetrasi maksimal sehingga terletak antara akar-akar gigi dan tulang interkrestal.Jarum diinjeksikan langsung pada periodontal membran dari akar gigi yang bersangkutan.

Gambar 1.3 Intraperiodontal injection Pappilary InjectionTeknik ini sebenarnya termasuk teknik submukosa yang dilakukan pada papila interdental yang melekat dengan periosteum. Teknik ini diindikasikan terutama pada gingivectomy,yang memerlukan baik efek anestesi maupun efek hemostatis dari obat anestesi.b. Bony tissue anestesi (Intraosseous injection)Injeksi dilakukan ke dalam struktur tulang, setelah terlebih dahulu dibuat suatu jalan masuk dengan bantuan bur. Suntikan ini larutan didepositkan pada tulang medularis. Setelah suntikan supraperiosteal diberikan dengan cara biasa, dibuat insisi kecil melalui mukoperiosteum pada daerah suntikan yang sudah ditentukan untuk mendapat jalan masuk bur dan reamer kecil pada perawatan endodontic. Dewasa ini, tekhnik suntikan ini sudah sangat jarang digunakan.

Gambar 1.4 Bony tissue anestesi (Intraosseous injection)Alat dan bahan yang digunakan untuk anestesi infiltrasi pada gigi sulung saat pencabutan antara lain :a. SyringeSyringe adalah peralatan anestesi lokal yang paling sering digunakan pada praktek gigi. Terdiri dari kotak logam dan plugger yang disatukan melalui mekanisme hinge spring.b. CartridgeBiasanya terbuat dari kaca bebas alkali dan pirogen untuk mengindari pecah dan kontaminasi dari larutan. Sebagaian besar cartridge mengandung 2,2 ml atau 1,8 ml larutan anestesi lokal. Cartridge dengan kedua ukuran tersebut dapat dipasang pada syringe standart namun umumnya larutan anestesi sebesar 1,8 ml sudah cukup untuk prosedur perawatan gigi rutin.c. JarumPemilihan jarum harus disesuaikan dengan kedalaman anastesi yang akan dilakukan. Jarum suntik pada kedokteran gigi tersedia dalam 3 ukuran (sesuai standar American Dental Association = ADA) ; panjang (32 mm), pendek (20 mm, dan superpendek (10 mm).Jarum suntik yang pendek yang digunakan untuk anestesi infiltrasi biasanya mempunyai panjang 2 atau 2,5 cm. Jarum yang digunakan harus dapat melakukan penetrasi dengan kedalaman yang diperlukan sebelum seluruh jarum dimasukan ke dalam jaringan. Tindakan pengamanan ini akan membuat jarum tidak masuk ke jaringan, sehingga bila terjadi fraktur pada hub, potongan jarum dapat ditarik keluar dengan tang atau sonde.Petunjuk: Dalam pelaksanaan anastesi lokal pada gigi, dokter gigi harus menggunakan syringe sesuai standar ADA. Jarum pendek dapat digunakan untuk beberapa injeksi pada jaringan lunak yang tipis, jarum panjang digunakan untuk injeksi yang lebih dalam. Jarum cenderung tidak dipenetrasikan lebih dalam untuk mencegah patahnya jarum. Jarum yang digunakan harus tajam dan lurus dengan bevel yang relatif pendek, dipasangkan pada syringe. Gunakan jarum sekali pakai (disposable) untuk menjamin ketajaman dan sterilisasinya. Penggunaan jarum berulang dapat sebagai transfer penyakit.3. Anestesi Blok1. Field BlokLarutan anestesi lokal disuntikkan pada atau disekitar cabang saraf terminal dengan tujuan untuk memblokir semua persarafan sebelah distal dari tempat injeksi cairan anestesi. Efek anestesi meliputi darah yang terbatas (tidak seluas pada teknik nerve block) contoh : injeksi di sekitar apeks akar gigi rahang atas.1. Nerve blokLarutan anestesi lokal disuntikkan pada atau disekitar batang saraf utama, sehingga mampu menganestesi daerah yang luas yang mendapat inervasi dari percabangan saraf utama tersebut. Teknik ini sering digunakan di rongga mulut khususnya di rahang bawah. Kerugian dari teknik ini adalah bahwa biasanya pembuluh darah letaknya berdekatan dengan batang saraf, maka kemungkinan terjadi penetrasi pembuluh darah cukup besar. Contoh : inferior alveolar nerve block. Teknik-teknik anastesi blok pada maksila :a. Injeksi ZigomatikDasar pemikiran: N.alveolaris superior posterior bisa di blok sebelum masuk ke maksila di atas molar ketiga.Titik suntikan terletak pada lipatan mukosa tertinggi diatas akar distobukal molar kedua atas. Arahkan jarum ke atas dan ke dalam dengan kedalaman kurang lebih 20 mm. ujung jarum harus tetap menempel pada periosteum untuk menghindari masuknya jarum ke dalam plexus venosus pterygoideus.Perlu diingat bahwa injeksi zigomatik ini biasanya tidak dapat menganestesi akar mesiobukal molar pertama atas. Karen itu, apabila gigi tersebut perlu dianestesi untuk prosedur operatif atau ekstraksi, harus dilakukan injeksi supraperiosteal yaitu di atas premolar kedua. Untuk ekstraksi satu atau semua gigi molar, lakukanlah injeksi n.palatinus major.Injeksi ini mempengaruhi daerah yang diinervasi oleh n. Alveolaris superior posterior, yaitu molar ketiga dan kedua, akar distobukal dan akar palatal molar pertama, tetapi tidak berlaku untuk mukoperiosteum palatum. Pada saat bersamaan, cabang-cabang n. Buccalis yang menginervasi jaringan di bagian bukal gigi-gigi molar juga akan teranestesi. Injeksi ini biasanya cukup untuk semua prosedur operatif pada gigi-gigi molar kedua dan ketiga.

b. Injeksi InfraorbitalDasar pemikiran: injeksi ini diindikasikan apabila suatu inflamasi atau infeksi merupakan kontraindikasi untuk injeksi supraperiosteal, misalnya pada operasi untuk membuka antrum, atau ekstrasi beberapa gigi sekaligus. Beberapa operator lebih menyukai teknik ini daripada injeksi supraperiosteal untuk alveolektomi, pngangkatan gigi impaksi atau kista. Biasanya tidak diindikasikan untuk dentistry operatif.

Gambar 1.5 Injeksi InfraorbitalAnestetikum dideponir ke dalam canalis infraorbitalis dengan maksud agar cabang-cabang n.infraorbitalis berikut ini teranestesi, yaitu: n. Aleveolaris superior medius dan anterior.Pertama-tama tentukan letak foramen infraorbitale dengan cara palpasi. Foramen ini terletak tepat dibawah crista infraorbitalis pada garis vertikal yang menghubungkan pupil mata apabila pasien memandang lurus ke depan. Tarik pipi, posisi jari yang mempalpasi jangna dirubah dan tusukkan jarum dari seberang gigi premolar ke dua, kira-kira 5 mm ke luar dari permukaan bukal. Arahkan jarum sejajar dengan aksis panjang gigi premolar kedua sampai jarum dirasakan masuk kedalam foramen infraorbitale di bawah jari yang mempalpasi foramen ini. Kurang lebih 2 cc anestetikum dideponir perlahan-lahan.Beberapa operator menyukai pendekatan dari arah garis median, dalam hal ini, bagian yang di tusuk adalah pada titik refleksi tertinggi dari membran mukosa antara incisivus sentral dan lateral. Dengan cara ini, jarum tidak perlu melalui otot-otot wajah.Untuk memperkecil resiko masuknya jarum ke dalam orbita, klinisi pemula sebaiknya mengukur dulu jarak dariforamen infraorbitale ke ujung tonjol bukal gigi premolar ke dua atas. Kemudian ukuran ini dipindahkan ke jarum. Apabila ditransfer pada siringe jarak tersebut sampai pada titik perbatasan antara bagian yang runcing dengan bagian yang bergigi. Pada waktu jarum diinsersikan sejajar dengan aksis gigi premolar kedua, ujungnya akan terletak tepat pada foramen infraorbitale jika garis batas tepat setinggi ujung bukal bonjol gigi premolar kedua. Jika foramen diraba perlahan, pulsasi pembuluh darah kadang bisa dirasakan.c. Injeksi N. NasopalatinusTitik suntikan terletak sepanjang papilla incisivus yang berlokasi pada garis tengah rahang, di posterior gigi insicivus sentral. Ujung jarum diarahkan ke atas pada garis tengah menuju canalis palatina anterior. Walaupun anestesi topikal bisa digunakan untuk membantu mengurangi rasa sakit pada daerah titik suntikan, anestesi ini mutlak harus digunakan untuk injeksi nasopalatinus. Di anjurkan juga untuk melakukan anestesi permulaan pada jarigan yang akan dilalui jarum.

Gambar 1.6 Injeksi N. NasopalatinusInjeksi ini menganestesi mukoperosteum sepertiga anterior palatum yaitu dari kaninus satu ke kaninus yang lain. Meskipun demikian bila diperlukan anestesi daerah kaninus, injeksi ini biasanya lebih dapat diandalkan daripada injeksi palatuna sebagian pada daerah kuspid dengan maksud menganestesi setiap cabang n.palatinus major yang bersitumpang.d. Injeksi Nervus Palatinus MajorInervasi jaringan lunak duapertiga posterior palatum berasal dari n. Palatinus major (n. Palatinus anterior) dan n. Palatinus medius. N. Palatinus major keluar dari palatum durum melalui foramen palatina major dan berjalan ke depan kurang lbih di pertengahan antara crista alveolaris dan linea media (garis tengah rahang). Menginervasi mukoperiosteum palatum sampai ke daerah caninus serta beranastomosis dengan cabang-cabang n. Nasopalatinus. Untuk ekstraksi atau prosedur operasi perlu dilakukan anestesi n.palatinus major. Tentukan titik tengah garis kayal yang ditarik antara tepi gingiva molar ketiga atas di sepanjang akar palatalnya terhadap garis tengah rahang. Injeksikan anestetikum sedikit mesial dari titik tersebut dari sisi kontralateral.

Gambar 1.7 Injeksi Nervus Palatinus MajorKarena hanya bagian n.palatinus major yang keluar dari foramen palatinum majus (foramen palatinum posterior) yang akan dianestesi, jarum tidak perlu diteruskan sampai masuk ke foramen. Injeksi ke foramen atau deponir anestetikum dalam jumlah besar pada orifisium foramen akan menyebabkan teranestesinya n.palatinus medius sehingga palatum molle menjadi keras. Keadaan ini akan menyebabkan timbulnyagagging.Injeksi ini menganestesi mukoperosteum palatum dari tuber maxillae sampai ke regio kaninus dan dari garis tengah ke crista gingiva pada sisi bersangkutan.a. Injeksi Sebagian Nervus PalatinusN. palatinus major bisa diblok pada sembarang titik di perjalanannya dari foramen palatinum major ke arah depan. Jadi, anestesi mukoperiosteum palatum didapatkan dari titik injeksi ke depan, ke regio kaninus.Injeksi ini biasanya hanya untuk ekstraksi gigi atau pembedahan. Injeksi ini digunakan bersama dengan injeksi supraperiosteal atau zigomatik.Kadang-kadang bila injeksi upraperiosteal dan zigomatik digunakan untuk prosedur dentistry operatif pada regio premolar atau molar atas, gigi tersebut masih tetap terasa sakit. Disini, anestesi bila dilengkapi dengan mendeponir sedikit anestetikum di dekat gigi tersebut sepanjang perjalanan n.palatinus major. Teknik-teknik anastesi blok pada mandibula :a. Injeksi MentalisNervus mentalis merupakan cabang dari N.Alveolaris Inferior yang berupa cabang sensoris yang berjalan keluar melalui foramen mentale untuk menginervasi kulit dagu, kulit dan membrana mukosa labium oris inferior.

Teknik Anestesi Blok N.Mentalis: Tentukan letak apeks gigi-gigi premolar bawah.

Gambar 1.8 Injeksi MentalisTariklah pipi ke arah bukal dari gigi premolar. Masukkan jarum ke dalam membrana mukosa di antara kedua gigi premolar kurang lebih 10 mm eksternal dari permukaan bukal mandibula. Posisi syringe membentuk sudut 45 derajat terhadap permukaan bukal mandibula, mengarah ke apeks akar premolar kedua. Tusukkan jarum tersebut sampai menyentuh tulang. Kurang lebih cc anestetikum dideponir, ditunggu sebentar kemudian ujung jarum digerakkan tanpa menarik jarum keluar, sampai terasa masuk ke dalam foramen, dan deponirkan kembali cc anestetikum dengan hati-hati.Selama pencarian foramen dengan jarum, jagalah agar jarum tetap membentuk sudut 45o terhadap permukaan bukal mandibula untuk menghindari melesetnya jarum ke balik periosteum dan untuk memperbesar kemungkinan masuknya jarum ke foramen. Injeksi ini dapat menganestesi gigi premolar dan kaninus untuk prosedur operatif. Untuk menganestesi gigi insisivus, serabut saraf yang bersitumpang dari sisi yang lain juga harus di blok. Untuk ekstraksi harus dilakukan injeksi lingual.

b. Injeksi N. BucalisTeknik Injeksi N.Buccalis: Nervus buccal tidak dapat dianestesi dengan menggunakan teknik anaestesi blok nervus alveolaris inferior. Nervus buccal menginervasi jaringan dan buccal periosteum sampai ke molar, jadi jika jaringan halus tersebut diberikan perawatan, maka harus dilakukan injeksi nervus buccal. Injeksi tambahan tidak perlu dilakukan ketika melakukan pengobatan untuk satu gigi. Jarum panjang dengan ukuran 25 gauge digunakan (karena injeksi ini biasanya dilakukan bersamaan dengan injeksi blok nervus alveolaris inferior, jadi jarum yang sama dapat digunakan setelah anestetikum terisi).

Gambar 1.9 Injeksi N. BucalisJarum disuntikan pada membran mukosa bagian disto bucal sampai pada molar terakhir dengan bevel menghadap ke arah tulang setelah jaringan telah diolesi dengan antiseptik. Jika jaringan tertarik kencang, pasien lebih merasa nyaman. Masukkan jarum 2 atau 4 mm secara perlahan-lahan dan lakukan aspirasi.4 Setelah melakukan aspirasi dan hasilnya negatif, maka depositkan anestetikum sebanyak 2 cc secara perlahan-lahan.

Masukkan jarum pada lipatan mukosa pada suatu titik tepat di depan gigi molar pertama. Perlahan-lahan tusukkan jarum sejajar dengan corpus mandibulae, dengan bevel mengarah ke bawah, ke suatu titik sejauh molar ketiga, anestetikum dideponir perlahan-lahan seperti pada waktu memasukkan jarum melalui jaringan.

Pasien harus berada dalam posisi semisupine. Operator yang menggunakan tangan kanan berada dalam posisi searah dengan jarum jam delapan sedangkan operator yang kidal berada pada posisi searah dengan jarum jam empat. Injeksi ini menganestesi jaringan bukal pada area molar bawah. Bersama dengan injeksi lingual, jika diindikasikan, dapat melengkapi blok n.alveolaris inferior untuk ekstraksi semua gigi pada sisi yang diinjeksi. In jeksi ini tidak selalu diindikasikan dalam pembuatan preparasi kavitas kecuali jika kavitas bukal dibuat sampai di bawah tepi gingival.

a. Injeksi N. LingualisDasar pemikiran: karena jaringan lunak pada permukaan lingual mandibula tidak teranestesi dengan injeksi foramen mentale dan juga oleh injeksi mandibular, maka jika gigi premolar dan gigi anterior akan dicabut, diperlukan deposisi anestetikum pada aspek lingual yaitu n. Lingualis.N. lingualis terletak di anterior n. Alveolaris inferior antara m. Pterygoideus medialis dan ramus mandibula. N. Lingualis berjalan ke depan dan berhubungan erat dengan akar molar ketiga, masuk ke dasar mulut, melinta antara m. Mylohyoideus dan m. Hyoglossus untuk mensuplai duapertiga anterior lidah. Cabang-cabang n. Lingualis menginervasi dasar mulut, dan mukoperiosteum lingual dan dari mandibula.

Teknik: suntikan jarum pada mukoperiosteuml lingual setinggi setengah panjang akar gigi yang dianestesi. Karena posisi gigi insisivus, sulit untuk mencapai daerah ini dengan jarum yang lurus. Untuk mengatasi masalah ini, bisa digunakan hub yang bengkok atau jarum yang dibengkokan dengan cara menekannya antara ibu jari dan jari lain. Deposisikan sedikit anestesi perlahan-lahan ke dalam mukoperiosteum. Jangna menggunakan penekanan. Anestesi biasanya timbul terlalu cepat.

3.2.2 Macam-macam Obat Anastesi LokalBahan anestesi lokal merupakan salah satu bahan yang paling sering digunakan dalam kedokteran gigi, bahkan menjadi bahan yang mutlak digunakan dalam praktek dokter gigi sehari-hari. Bahan anestesi lokal digunakan untuk menghilangkan rasa sakit yang timbul akibat prosedur kedokteran gigi yang dilakukan. Bahan anestesi lokal terbagi atas dua golongan yaitu ester dan amida. Jenis bahan anestesi yang termasuk dalam golongan ester diantaranya yaitu kokain, prokain, 2-kloroprokain, tetrakain dan benzokain sedangkan yang termasuk dalam golongan amida diantaranya yaitu lidokain, mepivakain, bupivakain, prilokain, etidokain dan artikain (Gaffen, 2009). Golongan Ester :1. ProkainProkain adalah ester aminobenzoat untuk infiltrasi, blok, spinal, epidural, merupakan obat standart untuk perbandingan potensi dan toksisitas terhadap jenis obat-obat anestetik local lain. Untuk infiltrasi: larutan 0,25-0,5%, Blok Msaraf : 1-2%, Dosis 15 mg/kg BB dan lama kerja 30-60 menit.Prokain disintesis dan diperkenalkan dengan nama dagang novokain. Sebagai anestetik lokal, prokain pernah digunakan untuk anestesi infiltrasi, anestesi blok saraf, anestesi spinal, anestesi epidural, dan anestesi kaudal. Namun karena potensinya rendah, mula kerja lambat, serta masa kerja pendek maka penggunaannya sekarang hanya terbatas pada anestesi infiltrasi dan kadang- kadang untuk anestesi blok saraf. Di dalam tubuh prokain akan dihidrolisis menjadi PABA yang dapat menghambat kerja sulfonamik (Malamed SF, 1997) Gambar 1.10 ProkainPemberian prokain dengan anestesi infiltrasi maximum dosis 400 mg dengan durasi 30-50, dosis 800 mg, durasi 30-45,Pemberian dengan anestesi epidural dosis 300-900, durasi 30-90, onset 5-15 mnt,Pemberian dengan anestesi spinal : preparatic 10%, durasi 30-45 menit (Malamed SF, 1997)1. KokainHanya dijumpai dalam bentuk topical semprot 4% untuk mukosa jalan napas atas.Lama kerja 2-30 menit. Contoh: Fentanil. Farmakodinamik: Kokain atau benzoilmetilekgonin didapat dari daun erythroxylon coca. Efek kokain yang paling penting yaitu menghambat hantaran saraf, bila digunakan secara lokal. Efek sistemik yang paling mencolok yaitu rangsangan susunan saraf pusat. Efek anestetik lokal: Efek lokal kokain yang terpenting yaitu kemampuannya untuk memblokade konduksi saraf. Atas dasar efek ini, pada suatu masa kokain pernah digunakan secara luas untuk tindakan di bidang oftalmologi, tetapi kokain ini dapat menyebabkan terkelupasnya epitel kornea. Maka penggunaan kokain sekarang sangat dibatasi untuk pemakaian topikal, khususnya untuk anestesi saluran nafas atas. Kokain sering menyebabkan keracunan akut. Diperkirakan besarnya dosis fatal adalah 1,2 gram. Sekarang ini, kokain dalam bentuk larutan kokain hidroklorida digunakan terutama sebagai anestetik topikal, dapat diabsorbsi dari segala tempat, termasuk selaput lendir. Pada pemberian oral kokain tidak efektif karena di dalam usus sebagian besar mengalami hidrolisis (Malamed SF, 1997)

Gambar 1.11 Kokain1. TetrakainTetrakain adalah derivat asam para-aminobenzoat. Pada pemberian intravena, zat ini 10 kali lebih aktif dan lebih toksik daripada prokain. Obat ini digunakan untuk segala macam anestesia, untuk pemakaian topilak pada mata digunakan larutan tetrakain 0.5%, untuk hidung dan tenggorok larutan 2%. Pada anestesia spinal, dosis total 10-20mg. Tetrakain memerlukan dosis yang besar dan mula kerjanya lambat, dimetabolisme lambat sehingga berpotensi toksik. Namun bila diperlukan masa kerja yang panjang anestesia spinal, digunakan tetrakain (Malamed SF, 1997)1. BenzokainAbsorbsi lambat karena sukar larut dalam air sehingga relatif tidak toksik. Benzokain dapat digunakan langsung pada luka dengan ulserasi secara topikal dan menimbulkan anestesia yang cukup lama. Sediaannya berupa salep dan supposutoria (Malamed SF, 1997)

Golongan Amida :1. LidokainLidokain (Xylocaine/Lignocaine) adalah obat anestesi lokal kuat yang digunakan secara luas dengan pemberian topikal dan suntikan. Lidokain disintesa sebagai anestesi lokal amida oleh Lofgren pada tahun 1943. Ia menimbulkan hambatan hantaran yang lebih cepat, lebih kuat, lebih lama dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh prokain. Tidak seperti prokain, lidokain lebih efektif digunakan secara topikal dan merupakan obat anti disritmik jantung dengan efektifitas yang tinggi. Untuk alasan ini, lidokain merupakan standar pembanding semua obat anestesi lokal yang lain (Malamed SF, 1997)

Gambar 1.12 LidokainSebagai obat anestesi lokal lidokain dapat diberikan dosis 3-4 mg/kgBB. Dosis maksimalnya 4,5 mg/kgBB dan tidak boleh diulang dalam waktu 2 jam. Lidokain menyebabkan penurunan tekanan intrakranial (tergantung dosis) yang disebabkan oleh efek sekunder peningkatan resistensi vaskuler otak dan penurunan aliran darah otak (Malamed SF, 1997).1. MepivakainAnestetik lokal golongan amida ini sifat farmakologiknya mirip lidokain. Mepivakain ini digunakan untuk anestesia infiltrasi, blokade saraf regional dan anestesia spinal. Sediaan untuk suntikan berupa larutan 1 ; 1,5 dan 2%. Mepivakain lebih toksik terhadap neonatus dan karenanya tidak digunakan untuk anestesia obstetrik. Pada orang dewasa indeks terapinya lebih tinggi daripada lidokain. Mula kerjanya hampir sama dengan lidokain, tetapi lama kerjanya lebih panjang sekitar 20%. Mepivakain tidak efektif sebagai anestetik topikal. Dosis maksimum konsentrasi sekitar 1% - 2 % (Malamed SF, 1997)

Gambar 1.13 Mepivakain

1. BupivakainStruktur mirip dengan lidokain, kecuali gugus yang mengandung amin dan butyl piperidin. Merupakan anestetik lokal yang mempunyai masa kerja yang panjang, dengan efek blockade terhadap sensorik lebih besar daripada motorik. Karena efek ini bupivakain lebih popular digunakan untuk memperpanjang analgesia selama persalinan dan masa pascapembedahan. Suatu penelitian menunjukan bahwa bupivakain dapat mengurangi dosis penggunaan morfin dalam mengontrol nyeri pada pascapembedahan Caesar. Pada dosis efektif yang sebanding, bupivakain lebih kardiotoksik daripada lidokain. Lidokain dan bupivakain, keduanya menghambat saluran Na+jantung (cardiac Na+channels)selama sistolik (Malamed SF, 1997)

Gambar 1.14 BupivakainNamun bupivakain terdisosiasi jauh lebih lambat daripada lidokain selama diastolic, sehingga ada fraksi yang cukup besar tetap terhambat pada akhirdiastolik. Manifestasi klinik berupa aritma ventrikuler yang berat dan depresi miokard. Keadaan ini dapat terjadi pada pemberian bupivakain dosis besar. Toksisitas jantung yang disebabkan oleh bupivakain sulit diatasi dan bertambah berat dengan adanya asidosis, hiperkarbia, dan hipoksemia. Ropivakain juga merupakan anestetik lokal yang mempunyai masa kerja panjang, ddengan toksisitas terhadap jantung lebih rendah daripada bupivakain pada dosis efektif yang sebanding, namun sedikit kurang kuat dalam menimbulkan anestesia dibandingkan bupivakain.Larutan bupivakain hidroklorida tersedia dalam konsentrasi 0,25% untuk anestesia infiltrasi dan 0,5% untuk suntikan paravertebral. Tanpa epinefrin, dosis maksimum untuk anestesia infiltrasi adalah sekitar 2 mg/KgBB (Malamed SF, 1997)Secara kimia dan farmakologis mirip lidokain. Toksisitas setaraf dengan tetrakain. Untuk infiltrasi dan blok saraf perifer dipakai larutan 0,25-0,75%. Dosis maksimal 200mg. Duration 3-8 jam. Konsentrasi efektif minimal 0,125%. Mula kerja lebih lambat dibanding lidokain. Setelah suntikan kaudal, epidural atau infiltrasi, kadar plasma puncak dicapai dalam 45 menit. Kemudian menurun perlahan-lahan dalam 3-8 jam. Untuk anesthesia spinal 0,5% volum antara 2-4 ml iso atau hiperbarik. Untuk blok sensorik epidural 0,375% dan pembedahan 0,75% (Malamed SF, 1997)

1. PrilokainWalaupun merupakan devirat toluidin, agen anestesi lokal tipe amida ini pada dasarnya mempunyai formula kimiawi dan farmakologi yang mirip dengan lignokain dan mepivakain.Anestetik lokal golongan amida ini efek farmakologiknya mirip lidokain, tetapi mula kerja dan masa kerjanya lebih lama daripada lidokain. Prilokain juga menimbulkan kantuk seperti lidokain. Sifat toksik yang unik ialah prilokain dapat menimbulkan methemoglobinemia, hal ini disebabkan oleh kedua metabolit prilokain yaitu orto-toluidin dan nitroso- toluidin (Malamed SF, 1997)Walaupun methemoglobinemia ini mudah diatasi dengan pemberian biru-metilen intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB larutan 1 %dalam waktu 5 menit; namun efek terapeutiknya hanya berlangsung sebentar, sebab biru metilen sudah mengalami bersihan, sebelum semua methemoglobin sempat diubah menjadi Hb (Malamed SF, 1997)Anestetik ini digunakan untuk berbagai macam anestesia disuntikan dengan sediaan berkadar 1,0; 2,0 dan 3,0%.Prilokain umumnya dipasarkan dalam bentuk garam hidroklorida dengan nama dagangCitanestdan dapat digunakan untuk mendapat anestesi infiltrasi dan regional. Namun prilokain biasanya tidak dapat digunakan untuk mendapat efek anestesi topikal.Prilokain biasanya menimbulkan aksi yang lebih cepat daripada lignokain namun anastesi yang ditimbulkannya tidaklah terlalu dalam. Prilokain juga kurang mempunyai efek vasodilator bila dibanding dengan lignokain dan biasanya termetabolisme dengan lebih cepat. Obat ini kurang toksik dibandingkan dengan lignokain tetapi dosis total yang dipergunakan sebaiknya tidak lebih dari 400 mg.Salah satu produk pemecahan prilokain adalah ortotoluidin yang dapat menimbulkan metahaemoglobin (Malamed SF, 1997)

Metahaemoglobin yang cukup besar hanya dapat terjadi bila dosis obat yang dipergunakan lebih dari 400 mg. metahaemoglobin 1 % terjadi pada penggunaan dosis 400 mg, dan biasanya diperlukan tingkatan metahaemoglobin lebih dari 20 % agar terjadi simtom seperti sianosis bibir dan membrane mukosa atau kadang-kadang depresi respirasi (Malamed SF, 1997)

3.2.3 Persyarafan Gigi

Gambar 1.15 Persyarafan GigiNervus sensoris pada rahang dan gigi berasal dari cabang nervus cranial ke V atau yang lebih dikenal dengan nervus trigeminus pada maksila dan mandibula. Persyarafan pada daerah orofacial, selain saraf trigeminnal meliputi saraf cranial lainnya, seperti saraf cranial ke-VII, ke-XI, ke-XII (Nelson, 2010)a. Nervus maksilaCabang nervus maksila nervus trigeminus mempersyarafi gigi-gigi pada maksila , palatum, dan gingiva maksila. Selanjutnya cabang maksila akan bercabang lagi menjadi nervus alveolaris superior. Nervus alveolaris superior ini kemudian bercabang lagi menjadi tiga yaitu nervus alveolaris superior anterior mensyarafi gingiva dan gigi anterior. Nervus alveorlaris superior media mensyarafi gingiva, P, dan M1 mesial. Nervus alveolaris superior posterior mensyarafi gingiva, M1 distal, M2, serta M3 (Nelson, 2010)

b. Nervus MandibulaCabang awal yang menuju ke mandibula adalah nervus alveolaris inferior. Nervus alveolaris inverior terus berjalan menuju rongga pada mandibula di bawah gigi molar sampai ke tingkat foramen mental. Cabang pada gigi ini tidaklah merupakan sebuah cabang besar, tapi merupakan dua atau tiga cabang yang lebih besar yang membentuk plexus dimana cabang pada inferior ini memasuki tiap akar gigi. Selain cabang tersebut, ada juga cabang lain yang berkontribusi pada pesrayaran mandibula. Nervus buccal, meskipun distribusi utamanya pada persyarafannya pada mukosa pipi, syaraf ini juga memiliki cabang yang biasanya didistribusikan ke area kecil pada gingiva buccal di area molar pertama. Namun, dalam beberapa kasus, distribusi ini memanjang dari caninus sampai molar ketiga. Nervus lingualis, karena terletak di dasar mulut, dan memiliki cabang mukosa pada beberapa area mukosa lidah dan gingiva. Nervus mylohyoid, terkadang dapat melanjutkan perjalanannya pada permukaan bawah otot mylohyoid dan memasuki mandibula melalui foramen kecil pada kedua sisi midline. Pada beberapa individu, nervus ini berkontribusi pada persarafan dari insisivus sentral dan ligament periodontal (Nelson, 2010)

3.3 Kegoyangan GigiKegoyangan gigi merupakan salah satu gejala penyakit periodontal yang ditandai dengan hilangnya perlekatan serta kerusakan tulang vertikal (Strassler, 2004). Kegoyangan dapat disebabkan adanya kerusakan tulang yang mendukung gigi, trauma dari oklusi, dan adanya perluasan peradangan dari gingiva ke jaringan pendukung yang lebih dalam, serta proses patologik rahang (Suwandi (2010).Menurut Fedi dkk. (2000), kegoyangan gigi diklasifikasikan menjadi tiga derajat. Derajat 1 yaitu kegoyangan sedikit lebih besar dari normal. Derajat 2 yaitu kegoyangan sekitar 1 mm, dan derajat 3 yaitu kegoyangan > 1 mm pada segala arah dan/atau gigi dapat ditekan ke arah apikal.

6