bab iii tahsin dan taqbih

49
BAB III TAHSIN DAN TAQBIH (POLEMIK TENTANG PENENTUAN BAIK {TAHSIN} DAN BURUK {QOBIH}) A. Pendahuluan Pembahasa tahsin dan taqbih merupakan materi yang di bahas ulama kalam. Bahasannya kemudian doperoanjnang oleh ulama ushul dalam materi bahasan hakim, walaupun ada juga yang telah menjadikan keduanya materi ushul fiqh yang khusus : tentang hasan dan qobih. Pembasanannya menimbulkan polemik yang tajam dan menarik, sehingga judul diberi tambahan “polemic tentang baik (hasan) dan buruk (qobih)”. Karena pada awalnya merupakan materi bahasan kalam, maka polemic tentang peentuan baik dan buruk secara tajam tidak memparadoxkan dua mazhab utama ushul fiqh : mutakallimin dan ahnaf, melainkan tetap menjadikan mazhab- mazhab kalam. Mazhab yang di benturkan pendapatnya dalam asy’Ariyyah, Mu’tazillah, dan Maturidiyah. Pendapat hanafiyyah seolah hanya segbagai suplemen yan memperkuat satu dari ketiga kubu tersebut. jika dikelompokkan , tetap saja tyang terlibat adalah mutakalimin (Asy’ Ariyyah, Mu’tazillah, dan Maturidiyah) dan ahnaf (hanafiyyah), walaupun hanafiyyah bukan sebagai kubu yang mandiri. Bahasan yang berpolemik ini antara lain : 1) mengenai pendefinisian dan pembagian hasan dan qobih, 2) bagaimana peran akal dan wahyu dalam menentukan baik dan buruk ? , yang bercabang kepada baik dan buruk sebelum dan setelah datang nya syariat, dan 3) bagaimana implikasidari pemngetahuan manusia tentang baik dan buruk terhadap takllif dan konsekuensi akhirat (pahala dan siksa) ? B. Definisi dan Pembagian baik (hasan) dan buruk (qobih) 1. Definisi Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai hasan (baik atau/kebaikan) dan qobih (buruk atau keburukan). Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan baik adalah segala hal yang selaras dengan tujuan pelakunya. Sementara buruk adalah hal-hal yang bertentangan dengan tujuan pelakunya, dengan pertimbangan terpenuhinya kesenangan atau terhindarnya dari kesusahan. Al-Gozali menambahkan satu istilah, ‘abats , yaitu hal-hal yang tidak sejalan dan tidak pula bertentangan dengant tujuan pelakunya. Dengan definisi seperti ini, perbuatan manusia akan dipersepsikan berbeda berbanding lurus dengan berbedanya pemiiran manusia. Terkadang , satu perbuatan mendatangkan kesenangan bagi seseorang, sedangkan bagi yang lainnya mendatangkan kesengasaraan. Bahkan , akan berbeda dengan perbedaan zaman dan budaya (ahwal) manusia. Sehingga, tidak mungkin ada baik dan buruk yang essensi (dzati) Ulama lainya mendefinisikan baik dan buruk berdsarkan selaras tidaknya dengan tujuan masyarakat. Yang dimaksud masyarakat adalah mayoritas orang yang akan mendapatkan akibat dari suatu perbuatan. Perbuatan dipertimbangakan dngan saut pertimbanga, kepentingan bersama. Kebaialkan adalah segala sesuatu yang mendatangkan kesenangan atau terhindarnya bahaya bagi mayoritas masyarakat. Sebaliknya keburukan adalah segala hal yang mendaytangkan bahaya atau yang merusak kesenangan mayoritas masyarakat, baik terhadap jiwa ataupun harta mereka.

Upload: tresna-mustikasari

Post on 21-Jan-2016

511 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab III Tahsin Dan Taqbih

BAB III TAHSIN DAN TAQBIH (POLEMIK TENTANG PENENTUAN BAIK {TAHSIN} DAN BURUK {QOBIH})A. PendahuluanPembahasa tahsin dan taqbih merupakan materi yang di bahas ulama kalam. Bahasannya kemudian doperoanjnang oleh ulama ushul dalam materi bahasan hakim, walaupun ada juga yang telah menjadikan keduanya materi ushul fiqh yang khusus : tentang hasan dan qobih. Pembasanannya menimbulkan polemik yang tajam dan menarik, sehingga judul diberi tambahan “polemic tentang baik (hasan) dan buruk (qobih)”. Karena pada awalnya merupakan materi bahasan kalam, maka polemic tentang peentuan baik dan buruk secara tajam tidak memparadoxkan dua mazhab utama ushul fiqh : mutakallimin dan ahnaf, melainkan tetap menjadikan mazhab-mazhab kalam. Mazhab yang di benturkan pendapatnya dalam asy’Ariyyah, Mu’tazillah, dan Maturidiyah. Pendapat hanafiyyah seolah hanya segbagai suplemen yan memperkuat satu dari ketiga kubu tersebut. jika dikelompokkan , tetap saja tyang terlibat adalah mutakalimin (Asy’ Ariyyah, Mu’tazillah, dan Maturidiyah) dan ahnaf (hanafiyyah), walaupun hanafiyyah bukan sebagai kubu yang mandiri.Bahasan yang berpolemik ini antara lain : 1) mengenai pendefinisian dan pembagian hasan dan qobih, 2) bagaimana peran akal dan wahyu dalam menentukan baik dan buruk ? , yang bercabang kepada baik dan buruk sebelum dan setelah datang nya syariat, dan 3) bagaimana implikasidari pemngetahuan manusia tentang baik dan buruk terhadap takllif dan konsekuensi akhirat (pahala dan siksa) ? B. Definisi dan Pembagian baik (hasan) dan buruk (qobih)1. DefinisiPara ulama berbeda pendapat dalam memaknai hasan (baik atau/kebaikan) dan qobih (buruk atau keburukan). Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan baik adalah segala hal yang selaras dengan tujuan pelakunya. Sementara buruk adalah hal-hal yang bertentangan dengan tujuan pelakunya, dengan pertimbangan terpenuhinya kesenangan atau terhindarnya dari kesusahan. Al-Gozali menambahkan satu istilah, ‘abats , yaitu hal-hal yang tidak sejalan dan tidak pula bertentangan dengant tujuan pelakunya. Dengan definisi seperti ini, perbuatan manusia akan dipersepsikan berbeda berbanding lurus dengan berbedanya pemiiran manusia. Terkadang , satu perbuatan mendatangkan kesenangan bagi seseorang, sedangkan bagi yang lainnya mendatangkan kesengasaraan. Bahkan , akan berbeda dengan perbedaan zaman dan budaya (ahwal) manusia. Sehingga, tidak mungkin ada baik dan buruk yang essensi (dzati) Ulama lainya mendefinisikan baik dan buruk berdsarkan selaras tidaknya dengan tujuan masyarakat. Yang dimaksud masyarakat adalah mayoritas orang yang akan mendapatkan akibat dari suatu perbuatan. Perbuatan dipertimbangakan dngan saut pertimbanga, kepentingan bersama. Kebaialkan adalah segala sesuatu yang mendatangkan kesenangan atau terhindarnya bahaya bagi mayoritas masyarakat. Sebaliknya keburukan adalah segala hal yang mendaytangkan bahaya atau yang merusak kesenangan mayoritas masyarakat, baik terhadap jiwa ataupun harta mereka.Berdasarkan definisi ini, hukum (baik dan buruk) daspat ditetapkan secara univerasal . jujur, syukur nikmat, memenuhi janji, dan segsala hal yang mendatangkan manfaat bagi mayoritas masyarakat dianggap sebagai baik. Sementara bohong, kufur, mengingkari janji dan semua yang mendatangkan bahaya bagi mayoritas masyarakat dianggap sebagai buruk.Pendapat kedua ini dikritisi oleh pengikut Asy’ariyyah. Mereka tidak setuju jika masyarakat dijadikan acuan untuk baik dan buruk. Menurut mereka, setiap manusia bersepakat atas satu kebaikan , ada saja undur buruk yang dimiliki kebaikan tersebut. Misalnya jujur, perbuatan ini amemang baik tetapi jika mnegkibatkan bahaya besar bagi umat jadilah ia perbuatab buruk. Begitu pula setiap manusia bersepakat tentang keburukan, ada saja unsure baik di dalamnya. Dengan demikian, baik dan buruk

Page 2: Bab III Tahsin Dan Taqbih

yang sejati tidak akan ada. Karenanya mereka berpendapat hanya Sya’ari (Allah dalam kasus yang lain Rasul-Nya) yang dapat menentukan sesuatu itu baik atau pun buruk. Sebagaimana definisi yang dikeukakan Al Syahrastany menurutnya, baik adalah perbuatan yang pelakunya dipuji oleh syara sementara buruk adalah perbuatanyng pelekunya dicela oleh syara. Al Aniby yang dikutif Wahbah Al Zuhaily, mamaparkan alasandari kaum Asy ‘Ariyyah. Menurut Al Aniby , jika baik dan buruk merupakan sifat esensi dari suatu perbuatan, tentunya perbuatan tersebut selamanaya bernilai baik atau selamanaya sbernilai buruk.karena setiap yang esensi tidak berubah. Padahal, bohong umpamanya , terkadang diangap baik jika dilakukan untuk menjaga diri dari tangan orange yanga dzalim. Begitu pula jujur, dalam kasus tersebut dianggap buruk.Aalasan ini, menutrut Al Zuhaialy lemah, karena keburukan essensi tidak bis ahilang oleh kebaikan yang dikandungnya. Buruknya bohong misalnya tidak hilang karena akibat baiknya menjaga jiwa dari orang adzalim. Begitu pula kebaikan essensi tidak hilang kerena akibat buruk yang itimbulkannya, seperti Shalat dilakukan di tempat yang belum ada izin dari pemiliknya (magsubah). Al Zuhgaialy tampaknya ingin menegasakan bahwa kebaikan selalu bernilai baik dan keburukan slu bernilai buruk. Bagaimana oun keadaanya, jika itu kebaiakan atau keburukan essensi. Akibat dari kebaikan dan keburukan tersebut adalah masalah lain, biukan merupakan faktor yang menghilangkan atau menumbuhkan nilai baik dan buruk.Ibnu al thoyib (abi alhusain Muhammad ibn ali ibn al thyoyyib yang seorang penganut mutazilah)dan abu alhusain al bisyri agaknya berusaha msndefinisikan baik dan buruk dengan keluar dari apkah itu dari allah atau bukan,sembari dengan mengaitkan kepada implikasi perbuatan.keduanya dengan redaksi yang sama,berpendat bahwa baik adalah seseuatu yang harus dikerjakan oleh seseorang yang mampu mengerjakanya dan telah memahaminya secara mendalam(baik hukum ataupun akibatnya).dan iya tidak akan mendapatkan siksa dengan perbuatannya itu.adapun yang dimaksud buruk adalah Sesutu yang tidak boleh dilaksanakan oleh seseorang yang mampu mengerjakanya dan memahamimnya secra mendalam dan ia akn mendapatkan siksa dengan perbuatanya itu.Definisi ini terlihat seperti focus kepada komitmen manusia dengan apa yang sudah di pahaminya.Jika seseorang tlah memahaminya keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu baik ketentuan hukum Nya bersumber dari wahyu ataupun akalnya,mau tidak mau ia harus mentaati komitmenya tersebut.Baik ataupun buruk bahka siksa,menurut definisi ini,ditentukan oleh ketaatan oleh komitmennya itu. Jika ia mentaatinya,dianggap baik dan tidak mendapat siksa,sementara jika ia tidak mentaatinya,dianggap buruk dan ia mendapat siksa.2. PembagianMenurut al zuhaily,ulama hanafiyah membagi perbuatan baik kepada empat:a. kebaikan esensi yang harus senantiasa ada:seperti iman.iman mesti ada dalam dada mukallaf walaupun dalam keadaan terpaksa.b. Kebaikan esensial (tetapi tidak harus senantiasa) ada; seperti shalat. Shalat terlarang untuk dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu, bahkan haram bagi wanita yang sedang haid atau nifas.c. Sesuatu yang persepsi baiknya dating dari Allah, seperti zakat dan puasa. Pada esensinya, zakat dianggap tidak baik oleh akal yang terbatas karena mengurangi/menghilangkan harta, begitu pula puasa karena menjauhi kesenangan dan kenikmatan (makan, minum, dan sex).d. Sesuatu yang dianggap baik karena sebab lain yang tidak langsung dari Allah, seperti jihad (membunuh atau melukai manusia dalam perang fisik) dan hudud (menyiksa dan membunuh mu’min karena kesalahannya). Jihad dianggap baik karena untuk tujuan memerangi musuh dan mempertahankan diri. Hudud dianggap baik karena menghukum yang bersalah.Sementara untuk keburukan, ulama hanafiah seperti yang diungkap Jalal al-Din Abd al-Rahman, membaginya juga kepada empat.a. Keburukan esensi yang langgeng (dalam keadaan apapun tetap keburukan); seperti syirik dan zinab. Keburukan esensi yang nilai keburukannya dapat hilang karena kondisi tertentu; misalnya memakan bangkai, yang tidak lagi dianggap buruk ketika keadaan bahaya (makhmasah)c. Keburukan karena hal lain yang disebut buruk karena mengerjakannya; seperti puasa di hari raya, yang disebut buruk karena bertentangan dengan jamuan Allah pada hari raya. Mengerjakan puasa

Page 3: Bab III Tahsin Dan Taqbih

berarti mengerjakan hal yang bertentangan dengan yang diharuskan.d. Keburukan karena hal lain, yang disebut buruk bukan karena mengerjakannya; seperti melakukan jual beli ketika adzan, (jumat). Setelah shalat jumat selesai, jual beli tidak lagi dianggap buruk.Jika Hanafiah membagi baik dan buruk menurut esensi tidaknya kebaikan atau keburukan, Ibn Thayyib dan Qadli Abd al-Jabbar dari mu’tazilah membagi baik dan buruk berdasarkan kualitas baik buruknya serta implikasinya kepada pahala dan siksa. Ia membagi buruk kepada dua : besar dan kecil. Menurut keduanya keburukan yang kecil adalah keburukan yang jika dikerjakan dosa dan celanya lebih kecil daripada pahala dan pujian, sementara keburukan yang besar adalah keburukan yang jika dikerjakan pahalanya lebih kecil daripada dosanya. Keburukan besar dibagi dua berupa kufur dan bukan kufur.Dengan pembagian ini, terlihat Ibn Thayyib dan Qadli Abd al-Jabbar agaknya berpandangan bahwa dalam keburukan mengandung unsure kebaikan yang mengakibatkan pahala. Hal ini dikuatkan pula oleh penjelasan Qadli al-Jabbar tentang hakikat keburukan; menurutnya keburukan adalah perbuatan yang jika dikerjakan oleh orang yang mampu melaksanakannya akan menyebabkan celaan atau siksa dari sebagian seginya. Menurutnya, batasan “Batasan seginya” memberikan pengecualian terhadap keburukan kecil yang pelakunya mendapatkan pahala, tetapi tidak sebesar siksa dosanya yang mendominasi segi-seginya.Selain membagi keburukan berdasarkan kualitas dan implikasinya, Qadli Abd al-Jabbar juga membaginya berdasarkan keadaan darurat. Menurutnya keburukan dibagi dua :a. Keburukan yang berubah keadaannya(menjadi bukan keburukan) karena keadaan terpaksa. Contoh keburukan jenis ini adalah mengucapkan kata-kata kufur yang dibolehkan ketika keadaan terpaksa, dengan syariat tidak disertai dengan keyakinan.b. Keburukan yang tidak berubah keadaannya karena keadaan terpaksa, dengan kata lain, dalam keadaan bagaimanapun tetaplah keburukan. Contohnya membunuh sesame. Dalam keadaan terpaksa, seseorang tetap tidak dibenarkan membunuh; ia harus berpendirian bahwa siksa Allah karena membunuh lebih besar daripada siksa orang yang memaksa.Untuk kebaikan, Ibn Thayyib dan Qadli abd al-jabbar juga membaginya kepada dua : pertama disebut mubah, yang ia definisikan kebaikan yang tidak memiliki sifat yang kuat untuk adanya pujian dan pahala. Kedua, adalah kebaikan yang memiliki sifat yang kuat yang berakibat kepada pujian /pahala, yang berwujud nadh dan wajib menurut Ibn Thayyib; nawafil dan wajibat menurut sang Qadli.

C. Peran Akal dan wahyu dalam Menentukan Baik (Hasan) dan Buruk (Qabih)

Menurut al-Zuhayly, Mu’tazilah cs (Karramiyah, Khawarij, Syi’ah Ja’fariyah, Barahimah, Tsanawiyah, dll) berpendapat bahwa mengetahui dan menentukan baik dan buruk merupakan kompensi akal (‘aqliyi), bukan kompetensi mutlak syari’at. Menurut mereka, akal mampu mengetahui baik dan buruk, baik tanpa analisa (dlarury), seperti menganggap baik terhadap jujur yang berakibat baik, dan bohon g yang berakibat bahaya; ataupun mengetahui keduanya melalui analisa (nadhar wa tafkir) terlebih dahulu, seperti anggapan baiknya jujur yang mendatangkan bahaya dan bohong yang mendatangkan manfaat untuk orang lain. Bagi mereka, kebaikan dan keburukan (kejahatan) bukanlah hasil samping irasional dan buta dari keimanan, melainkan setiap manusia memiliki kehendak bebas, dapat menguraikan gambaran rasional tentang kebaikan dan keburukan. Hukum Allah menurut mereka akan sejalan dengan baik dan buruk yang dipersepsikan akal ( ما وفق على عقلهم كه Kebaikan .(تدرAllah serupa dengan kebaikan manusia. Akan tetapi sementara manusia bisa saja berbuat keburukan (kejahatan) mengingat keterbatasan pengetahuannya. Syari’at hanya berfungsi sebagai informator (mukhbir), bukannya penetap (mutsbit) hukum. Syari’at hanya menguatkan (mu’akkid) hukum yang diketahui akal tersebut.Menurut Harun Nasution yang mengutip al-Syahrastani, kaum Mu’tazilah satu dalam berpendapat bahwa kewajiban mengetahui dan berterimakasih kepada tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan dan menjauhi yang buruk dapat diketahui oleh akal. Sudah barang tentu, bahwa sebelum mengetahui sesuatu hal adalah wajib, orang harus terlebih dahulu mengetahui hakikat hal itu sendiri.

Page 4: Bab III Tahsin Dan Taqbih

Tegasnya, sebelum mengetahui kewajiban berterimakasih pada Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat, orang harus mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Sebelum mengetahui hal-hal itu, orang tentu tidak dapat menentukan sikap terhadapnya.Tetapi, menurut Jalal al-Din Abd al-Rahman, Mu’tazilah juga mengakui ada kebaikan dan keburukan yang di luar jangkauan akal ( العقل على yang tidak dapat diketahui oleh akal baik secara ,(خفىdlarury maupun melalui analisa; melainkan hanya dapat diketahui dari syari’at, seperti jumlah rakaat dalam shalat. Setelah datangnya syari’at, terisilah kekosongan dan ktidakmampuan akal tersebut.Alasan golongan (akal) ini, seperti diungkap al-syawkany, bahwa jika baik dan buruk tidak dapat diketahui akal sebelum datangnya syari’at, tentunya mustahil pula akal akan memahami baik dan buruk setelah datangnya syari’at , karena akal yang tidak mempunyai kemampuan menentukan baik dan buruk, tidak mampu mencerna dan menggambarkan baik dan buruk dari syari’at tersebut. Hal seperti ini, menurut mereka mustahil. Sehingga, mereka mengharuskan baik dan buruk diketahui (akal) manusia sebelum datangnya syari’at.Argumentasi ini dijawab oleh al-Syawkany sendiri. Menurutnya, mengetahui syari’at bukanlah penggambaran rasional (tashawwur) tentang baik dan buruk. Walaupun sebelum datangnya syari’at kita menggambarkan (mempersepsikan) akibat suatu perbuatan yang akan mendatangkan siksa, pahala, pujian, dan cercaan; kita juga memprepsikan tentang tidak adanya akibat tersebut. Dengan penggambaran rasional seperti itu, tidakla serta merta kita mengetahui syari’at , karena mengetahui syari’at hanya dapat dicapai dengan pembenaran atau pengakuan (tashdiq) terhadap syari’at tersebut.Menurut Asy’ariyah, baik dan buruk merupakan ketentuan syar’iy. Apa yang diperintahkan Allah seperti iman, shalat, haji adalah baik (hasan); sementara kufur, dan hal-hal lain yang dilarang Allah adalah buruk (qabih). Karenanya, seseorang tidak bia mengetahui dan menentukan sesuatu hal itu harus dikerjakan atau ditinggalkannya, sebelum dakwah sampai kepadanya, walaupun akalnya berpersepsi tentang baik atau buruknya hal tersebut. Asumsi madzhab ini seperti pendapat sebagian ulama Akhlak, bahwa penentu baik (khair) dan buruk (syar) adalah qanun.Menurut al-Amidy (pendukung Asy’ariyah), jika semua kebaikan dan keburukan ditentukan oleh akal, tentunya pelaku keburukan atau yang tidak mengerjakan kebaikan akan mendapat siksa, padahal hal ini sangat bertentangan dengan dalil yang jelas dari Al-Quran surat Al-Isra (17) ayat 15 sebagai berikut :ال سو ر نبعث حتى بين معذ نا كا  وماKami bukanlah pengadzab, sehingga kami mengutus seorang RasulAyat yag lainnya, Surat Thaha (20) ayat 134 :Sekiranya kami binasakan mereka dengan adzab sebelum (Al-Quran diturunkan), tentulah mereka berkata, “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau tidak mengutus Rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayatMu sebelum kami menjadi hina dan rendah?”Juga surat An-Nisa (4) ayat 165 :(Mereka kami utus) sebagai Rasul-rasul yang member kabar gembira dan memberikan peringatan, agar tidak ada bagi manusia alas an setelah (diutusnya) Rasul-rasul itu.Kaum Mu’tazilah menunjukkan bantahan terhadap hujjah al-Amidy tersebut. Menurut mereka, penyiksaan yang dimaksud dalam ayat-ayat tersebut bermakna penyiksaan didunia-bukan kelak di akhirat. Dalil yang mereka pakai adalah ayat yang pertama, yakni surat al-Isra (17) ayat 16 :Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (dengan mentaati Allah), tetapi mereka durhaka di negeri itu, maka berlakulah terhadapnya ketentuan Kami, sehingga Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.Menurut mereka, alur (siyaq) ayat tersebut selaras dengan ayat sesudahnya. Ini menunjukkan kekhususan penyiksaan yang dimaksud. Mereka menambahkan, rasul yang dimaksud dalam ayat tersebut sebenarnya adalah akal. Akal merupakan “rasul” yang berada dalam diri manusia (rasul bathin) yang memberikan petunjuk dan peringatan seperti layaknya Rasul (Nabi), karena dalam tradisi Al-Quran, yang dimaksud Rasul adalah “man” (orang atau yang diorangkan) yang menyampaikan wahyu kepada manusia.

Page 5: Bab III Tahsin Dan Taqbih

Walaupun demikian, Asy’ariyah dan mu’tazilah bersepakat mengenai kemampuan akal untuk mengetahui baik dan buruk dalam dua hal. Pertama, akal menetapkan sesuatu yang selarasv dengan tabiat manusia sebagai baik, seperti rasa manis, suara merdu, dan menyelamatkan orang yang tenggelam; dan menetapkan hal-hal yang tidak selaras dengan tabiat buruk, seperti rasa pahit, suara yang memekakan telinga, dan mengambil harta dengan cara tidak benar. Kedua, akal menetapkan hal-hal yang mempunyai sifat utama/lebih sebagai baik, seperti berilmu dan jujur; sementara hal-hal yang bersifat kurang sebagai buruk, seperti bodoh dan bohong.Hampir sama dengan pendapat mu’tazilah, maturidiyah (sebagian dari mereka bermadzhab Hanafiyah) juga berpendapt bahwa baik dan buruk merupakan kompetensi akal, bukan hanya kompetensi mutlak syari’at, melainkan dapat diketahui oleh akal. Dalam perbuatan manusia terdapat karakter yang mendatangkan pengaruh / akibat, yang dengannya baik dan buruk perbuatan tersebut dapat ditentukan. Berdasarkan karakter tersebut, akal dapat menentukan suatu perbuatan itu baik atau buruk. Apa yang dipersepsikan akal sehat sebagai baik adalah baik, begitu pula buruk adalah apa yang dipersepsikan akal sebagai buruk. Tetapi menurut mereka, hokum-hukum Allah tidak harus sejalan dengan pemahaman akal tentang baik dan buruk, karena akal terkadang salah. Sehingga tidak ada jalan lain untuk mengetahui hokum Allah, kecuali melalui Rasulullah dan KitabNya.Mereka berargumentasi, jika baik dan buruk hanya ditentukan syari’at, tentunya sebelum datangnya datangnya syari’at, tidak ada perbedaan (nilai)antara shalat dan zina. Hal ini menurut mereka, tidak bisa diterima. Alasan lainnya, jika hanya syari’at yang menjadi penentu baik dan buruk, tentunya diutusnya Rasul dan datangnya agama menjadi “pengacau dan perusak” alam, serta penyebab adanya kesusahan. Maksudnya, sebelum datangnya syari’at, manusia merdeka dan bebas untuk melakukan apa yang dikehendakinya, tanpa takut akan siksa. Kemudian, setelah Rasul dating, terbagilah perbuatan menjadi halal dan haram, yang akhirnya membagi manusia kepada dua : Mu’min dan kafir, suatu ahli surge, yang lainnya ahli neraka. Itu berarti datangnya Rasul merupakan pengacau dan pembuat kesusahan. Hal ini juga tidak sejalan dengan firman Allah, surat Al-Isra (17) ayat 15seperti diatas.

D. Taklif dan Pengetahuan tentang Baik (Hasan) dan Buruk (Qabih)Dalam pasal ini akan dibahas apakah seseorang yang telah mengetahui hasan dan qabih di-taklif untuk melaksanakan atau meninggalkannya? Juga apakah berimplikasi terhadap pahala dan siksa karena pengetahuannya tersebut?Menurut Abd Wahab Khalaf, Asy’ariyah berpendapat bahwa manusia hanya ditaklif oleh Allah untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu, jika telah sampai kepadanya dakwah Rasul dan Syariat Allah. Seseorang hanya diberi pahala dari pelaksanaan suatu perbuatan atau disiksa karena meninggalkan suatu perbuatan,jika ia telah mengetahui dari Rasul apa yang wajib dikerjakan dan yang wajib ditinggalkan. Perbuatan manusia, sebelum datangnya Rasul, sama sekali tidak terkait oleh hokum; sehingga kafir tidaklah haram, begitu pula iman, tidak wajib.Bagi orang yang tinggal di daerah yang terisolir yang tidak sampai ke daerah tersebut dakwah Rasul, dan orang yang hidup pada masa fatrah (jeda anatara kematian Rasul dan diutusnya Rasul pengganti), mereka tidak ditaklif dan tidak berhak atas pahala dan siksa. Dalil yang dijadikan dasar madzhab ini adalah masih firman Allah, Surat Al-Isra (17) ayat 15 seperti diungkap sebelumnya.Berbeda dengan asy’ariyah, menurut mu’tazilah seperti yang diungkap khalaf, dalam keadaan bagaimanapun manusia ditaklif oleh Alla, baik sudah sampai dakwah Rasulullah dan syari’at Allah kepadanya, atau belum. Bagi yang sudah sampai dakwah, mereka ditaklif oleh ketentuan syari’at ; sedangkan bagi manusia yang dakwah tidak sampai kepadanya, mereka ditaklif oleh Allah untuk mengerjakan sesuatu yang oleh akal mereka dipersepsikan baik. Jika mereka mengerjakannya, mereka mendapatkan pahala. Mereka juga ditaklif oleh Allah untuk meninggalkan sesuatu yang menurut akalnya buruk, dan mendapatkan siksa jika mereka mengerjakannya. Walaupun demikian menurut mereka mungkin saja Allah memberi pengampunan terhadap kesalahan tersebut.Pendahulu Maturidiyah berpendapat bahwa akal-berlaku pula untuk anak kecil yang berakal-dengan sendirinya, terkadang mampu mengetahui hokum Allah, seperti iman, haramnya kufur, dan hal-hal

Page 6: Bab III Tahsin Dan Taqbih

yang tidak pantas dilakukan terhadap Allah. Orang yang tidak beriman dimungkinkan mendapatkan siksa dari Allah- jika belum dimaafkanNya-baik dakwah sudah sampai kepadanya ataupun belum. Mengenai ini, Abu Hanifah berkata “La udzr li ahad fi al-jahl bi khaliqihi lamma yara min al-dalail (tidaklah mengapa bagi seseorang tidak memahami Allah, selama ia belum mengetahui dalil-dalil).” Menurut pengarang Muslim al-Tsubut, yang dimaksud dalail mungkin berarti hasil analisa akal yang matang (ba’da madla muddat al-taammul). Pendapat mereka ini sejalan dengan mu’tazilah, tetapi mereka tidak memberikan kepastian terhadap adanya siksa. Namun generasi akhir maturidiyah mempersyaratkan sampainya dakwah untuk taklifnya seseorang. Menurut mereka, seseorang tidak dimungkinkan (la tu’tabar) mendapatkan pertanggung jawab dari apa yang ia kerjakan atau ia tinggalkan, sebelum datangnya syari’at. Pendapat generasi akhir ini sejalan dengan Asy’ariyah.E. PenutupPolemik agaknya mirip dengan ta’arudl dalam term Ushul ataupun hadits. Karenanya, disini polemic diperlakukan sebagai ta’-pendapat arudl al-hujjah, yang penyelesaiannya menggunakan empat tahapan : 1)jama’;2)tarjih;3)nasikh-mansukh;4)tawaquf. Namun, langkah ketiga tidak mungkin dilakukan karena “al-ijtihad laa yunqadl bi al-ijtihad.”Jama’ berarti mencari “benang merah” dari polemic yang terjadi. Benang-benang merah tersebut antara lain :1. Persepsi baik dan buruk syari’at (Allah dan Rasulnya) diterima oleh semua kubu yang berpolemik2. Semua kubu berpendapat bahwa akal sehat dapat mengetahui baik dan buruk, walaupun mereka berbeda mengenai pengetahuan tersebut merupakan hokum atau hanya sebatas penggambaran rasional (tashawwur);3. Wahyu atau Syari’at, bagi semua kubu merupakan hal utama yang mentaklif manusia, yang berimplikasi kepada pahala atau siksa di akhirat.Jika ditarjih, dari semua kubu yang berpolemik, agaknya pendapat pendahulu maturidiyah-lah yang lebih bijak, karena pendapatnya terkesan menyuarakan pesan wahyu Assy’ariyah dan pesan akal mu’tazilah.Mengenai pendapat khas dari masing-masing kubu, biarlah tetap mengalir dan berkembang. Tawaquf disini, diartikan dengan menghentikan “adu domba” dan penilaian, bukan membekukan pendapat mereka.

Konsep Akhlaq Dalam IslamIslam adalah agama yang sempurna.  Islam mengatur manusia dalam seluruh persoalan hidupnya.  Aturan Islam mencakup aturan yang berhubungan antara manusia dan Sang pencipta (dalam bentuk aturan ibadah dan aqidah), antara manusia dan manusia lain (dalam bentuk mu’amalah dan ‘uqubat) maupun hubungan manusia dengan dirinya sendiri.              Adapun perkara (perbuatan) yang menyangkut hubungan manusia dengan dirinya sendiri, maka Islam telah membahasnya melalui hukum-hukum yang berkaitan dengan sifat-sifat perbuatan, atau yang lebih sering disebut dengan akhlaq.  

Sedangkan benda-benda yang digunakan untuk menyelesaikan perkara yang berhubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, maka Islam menyelesaikannya dengan membahas hukum-hukum yang berkaitan dengan makanan, minuman dan pakaian.  Sebab, ketiga jenis benda inilah yang secara langsung berhubungan dengan aktivitas manusia terhadap dirinya sendiri.             Dalam makalah ini secara khusus akan dibahas hal-hal yang berkenaan dengan akhlaq sebagai bagian dari hukum Islam.  Meski menyangkut perkara yang berhubungan dengan diri manusia sendiri, bukan berarti perkara ini tidak penting.  Sebab, ketika Islam

Page 7: Bab III Tahsin Dan Taqbih

telah menetapkannya sebagai perkara yang diatur oleh Allah SWT, maka apapun bentuk perkara tersebut akan dimintai pertanggung jawaban oleh allah SWT.  Sehingga setiap muslim tidak boleh melalaikannya.

Pengertian Akhlaq            Secara bahasa, akhlaq berasal dari kata al-khulq, yang berarti kebiasaan (as-sajiyah) dan tabiat (at-thab’u).  Sedangkan menurut istilah, akhlaq adalah sifat-sifat yang diperintahkan Allah kepada seorang muslim untuk dimiliki tatkala ia melakukan berbagi aktivitasnya.  Sifat-sifat akhlaq ini tampak pada diri seorang muslim tatkala ia melaksanakan berbagai aktivitas –seperti ibadah, muamalah, dan lain sebagainya bila ia melaksanakan ativitas tesebut dengan benar.            Sebagai contoh, sifat khusu’ akan muncul pada saat seseorang malaksanakan sholat (sebagai pelaksanaan perintah Allah dalam QS al-Mukminun : 1-2).  Seorang pengmban da’wah juga akan memiliki sifat lembut tatkala ia melakukan diskusi dengan masyarakat (sebagai pelaksanaan QS Ali Imran : 159).  Atau ia akan besikap berani tatkala mengoreksi penguasa yang dhalim karena Rasulullah SAW pernah bersabda :“Penghulu para syuhada adalah Hamzah dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang dhalim kemudian ia menasihatinya, lantas penguasa itu membunuhnya”.            Seorang muslim pun harus menghiasi diri dengan sifat mendahulukan orang lain, yakni mengutamakan orang lain untuk memperoleh kebaikan dibandingkan diri sendiri.  Dia rela berlapar-lapar demi orang lain. “Mereka mengutamakan (orang Muhajirin) atas (kepentingan) mereka waqlaupun mereka dalam kesusahan” (QS. A-Hasyr : 9).            Kita pun bisa melihat tatkala Ali bin Abi Thalib rela menempati tempat tidur Rasulullah SAW pada malam terjadinya persengkokolan orang-orang musyrik untuk membunuh Rasulullah.  Ia rela mengorbankan dirinya demi Rasulullah SAW.             Seorang penguasa juga harus memiliki sifat adil di tengah-tengah masyarakatnya.  Allah SWT berfirman ;“Apabila kalian menghukum di tengah-tengah manusia maka hendaklah kalian menghukum dengan adil” (TQS. An-Nisaa’ : 58).            Selain yang telah disebutkan di atas, terdapat beberapa sifat akhlaq lainnya yang diperintahkan Allah SWT untuk dimdiliki muslim, seperti menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik (iffah), dermawan, tawadlu’ dan sebaginya.  Di samping itu terdapat pula sifat-sifat akhlaq yang dilarang oleh Allah, seperti berdusta, menghasud, zhalim, menipu, riya, malas, penakut, membicarakan orang lain, dan sebaginya.  Semua sifat tersebut adalah sifat-sifat yang harus dimiliki muslim agar ia mendapatkan kesempurnaan atas perbuatannya.  Adakalanya sifat tersebut khair (baik), syar (buruk),hasan (terpuji) atau qobih (tercela).  Penentuan sifat mana saja yang dikatagorokan pada jenisnya tersebut diserahkan kepada Allah SWT.  Sebab, hanya Allah saja yang mengetahui hakikat manusia.  Sementara, bila penentuannya diserahkan kepada manusia maka ia hanya akan melihat dari sudut “menguntungkan atau nerugikan bagi dirinya”.  Jika menguntungkan bagi dirinya, maka ia akan menganggap baik.  Sebaliknya, jika merugikan ia akan menganggap buruk.

Kekhususan Akhlaq Islam            Meskipun masalah ini telah ditentukan oleh Allah, namun Syari’at Islam tidak banyak membahas masalah ini secara rinci.  Oleh karena itu, tidak ada pembahasan

Page 8: Bab III Tahsin Dan Taqbih

akhlaq secara khusus dalam buku-buku fqh.  Namun untuk memudahkan, berikut ini adalah rincian akhlaq Islam bila dilihat dari kekhususannya.

1. Akhlaq dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari hukum Syara’, seperti ibadah, muamalah, dll.  Seperikhusyu’ yang akan nampak tatala ia melakukan shalat, jujur dan amanah, manunaikan janji akan nampak tatkala ia melakukan aktivitas muamalah, dll.  Jadi akhlaq tidak mungkin dipisahkan dari perintah dan larangan Allah SWT lainnya, sebab ia akan nampak pada saat seseorang melaksanakan aktivitasnya menurut hukum Syara’.

2. Akhlaq tidak didasarkan pada ‘illat (alasan) tertentu, sehingga tidak ada satu pun illat dalam masalah akhlaq.  Jujur, amanah dan menunaikan janji diperintahkan semata-mata karena hukumnya wajib menurut Syara’.  Kewajibannya telah ditentukan dengan nash, bukan karena adanya ‘illat tertentu.

3. Akhlaq juga tidak tunduk pada manfaat materi tertentu (naf’iyah madiyah).  Sebab, seorang yang melakukan hukum akhlaq kadangkala justru mendapat kerugian, bukan keuntungan.  Contohnya, sifat berani dan menantang ketika mengingatkan penguasa yang dhalim adalah sifat pengemban da’wah.  Bisa jadi ia akan mendapatan kedholiman.  Oleh karena itu, pelaksanaan akhlaq tidak boleh karena manfaat materi atau hendak mendapat pujian orang, dsb.

4. Akhlaq sebagaimana aqidah Islam selaras dengan fitrah manusia.  Misalnya, memuliakan tamu dan membantu orang yang sedang membutuhkan selaras dengan naluri mempertahankan diri (gharizah baqa’), khusyu’ dan tawadhu sesuai dengan naluri (garizah tadayyun), dsb.

Apabila akhlaq Islam tersebut dimiliki oleh seorang muslim ketika melakukan perbuatan maka akan memberikan pengaruh, antar lain :

1. Sesunguuhnya akhlaq maupun kewajiban-kewajiban syari’at yang lain akan menjadikan seorang muslim memiliki kepribadian yang unik (syakhsiyah Islamiyyah mumayyizah) tatkala ia berhubungan dengan orang lain.  Sehingga mereka akan percaya dengan perkataan dan perbuatan muslim tersebut.

2. Akhlaq Islam menciptakan rasa cinta kasih dan saling menghormati sesama individu dalam keluarga secara khusus dan di antara individu masyarakat secara umum.

3. orang yang memilki sifat akhlaq akan mendapat pahala di sisi Allah SWT di akhirat.  Orang yang mempunyai akhlaq baik didunia, akan dekat dengan Rasulullah SAW di akhirat sebagaimana sabda Beliau :“Sesungguhnya orang yang lebih aku cintai di antara kamu dan lebih dekat dekat kepadaku tempatnya pada hari kiamat adalah siapa saja diantara kamu yang akhlaqnya paling baik”.Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang apa yang paling banyak mengantarkan orang masuk surga, maka Rasulullah bersabda :“Yang paling bertaqwa dan paling baik akhlaqnya”.

Penutup            Demikianlah pengaturan akhlaq dalam Islam.  Pelaksanaan sifat-sifat ini oleh seorang muslim tentu berbeda dengan orang non muslim.  Sebab, pelaksanaan hukum apapun dalam Islam mengharuskan adanya idrak shilah billah (hubungan dengan Allah) tatala melaksanakan.  Ini dimaksudkan agar pelaksanaan amalnya diterima, tidak sia-sia sebagaimana amalnya orang non muslim.            Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mampu menjalankan seluruh aturan Allah SWT termasuk perkara akhlaq ini.  Aamiin.

Page 9: Bab III Tahsin Dan Taqbih

Standar Nilai dalam Islam (Menimbang Konsep Hasan-Qabîh dan Khayr-Syarr)As-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengangkat persoalan hasan-qabîh dan khayr-syarrdengan penjelasan dan stressing yang berbeda-beda dalam beberapa karyanya. Dalam Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, beliau menjelaskan keduanya dalam konteks kajian analitis atas sifat perbuatan manusia. Dalam hal ini, hasan-qabîh dan khayr-syarr dijelaskan sebagai predikat yang diberikan pada perbuatan manusia, dengan berbagai tolok ukur yang digunakannya.  (Taqiyuddîn an-Nabhâni, MafâhîmHizb at-Tahrîr, Min Mansyûrât Hizb at-Tahrîr,  cet. VI, 2001, hlm.  25-30). Sedangkan dalam as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah al-Juz al-Awwal, persoalan hasan-qabîh ini diangkat sebagai contoh kasus pengaruh polemik kalam dalam kajian usul fikih, yang justru memandulkan produktivitas usul fikih sebagai kaidah berpikir produktif ulama pada abad ke-5 H (An-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah al-Juz al-Awwal, Dâr al-Ummah,  Beirut, cet. V, 1997, hlm.  380).  Sementara dalam as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah al-Juz ats-Tsâlits, persoalan ini diangkat dalam konteks pembahasan al-Hâkim; sumber otoritatif yang berhak mengeluarkan hukum, sebagaimana yang lazim dibahas oleh ulama usul fikih. (An-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah al-Juz ats-Tsâlits, Min Mansyûrât Hizb at-Tahrîr,  cet. I, 1953, hlm.  7-12). Berikut adalah paparannya.

Sejarah Pemikiran

Untuk mendudukkan konteks pembahasan ini, agar fakta pemikiran dan kedudukannya bisa dipahami dengan baik, perlu dilakukan analisis terhadap sejarah pemikiran hasan-qabîh dan khayr-syarr. An-Nabhani memang tidak membahas sejarah pemikiran ini dengan deskriptif, namun—seperti yang beliau tulis dalam as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah—persoalan ini sebenarnya dipicu oleh perdebatan ahli kalam.[1] Dalam pembahasan kalam, konteks hasan-qabîh (terpuji-tercela) dan khayr-syarr (baik-buruk) ini dipergumulkan ketika membahas perbuatan manusia. Bahkan, pergumulan ini sangat bertele-tele dan melelahkan.

Menurut ‘Adhuddin al-Iji (w. 757 H), perdebatan seputar hasan-qabîh (terpuji-tercela) ini berkisar pada tiga konteks: (1) sifat kesempurnaan (al-kamâl) dan kurang (an-naqsh), misalnya berpengatahuan itu hasan, sedangkan bodoh itu qabîh; (2) sesuai dengan tujuan (mulâ’amah al-ghardh) dan tidak (munâfarah), misalnya adil itu hasan, sedangkan zalim itu qabîh; (3) terkait dengan pujian (al-madh) dan pahala (ats-tsawâb), atau celaan (ad-dzamm) dan sanksi (al-‘iqâb), misalnya iman itu hasan, sedangkan kufur itu qabîh.[2]Dalam hal ini, Muktazilah menyatakan bahwa hasan-qabîh bisa ditentukan oleh akal, sebab keduanya merupakan sifat substansial.[3]Pandangan inilah yang dibantah oleh Ahlus Sunnah. Menurutnya, hasan-qabîh harus ditentukan oleh syariat, bukan akal.[4]

Pembahasan tentang siapakah yang berhak menentukan hasan-qabîh, atau al-hâkim bihimâ (yang berhak memutuskan keduanya), atau at-tahsîn wa at-taqbîh (yang berhak menentukan terpuji dan tercela), inilah yang kemudian diangkat dalam pembahasan al-

Tresna, 30/08/13,
baca
Page 10: Bab III Tahsin Dan Taqbih

hâkim(yang berhak mengeluarkan hukum) dalam kajian ushul fikih. Karena umumnya ulama usul fikih itu juga merupakan ulama usuluddin, seperti al-Juwayni (w. 478 H), al-Ghazali (w. 505 H), al-Amidi (w. 631 H) dan ar-Râzi (w. 606 H), maka polemik tersebut juga mereka angkat dalam kajian ushul fikih mereka.[5] Pada titik inilah an-Nabhani menurunkan analisisnya, bahwa ushul fikih tersebut telah berpaling dari kedudukan vitalnya sebagai metode berpikir tasyrî‘, sehingga menjadi kontraproduktif.[6] Meski demikian, pemikiran tersebut masih menyisakan persoalan yang harus diselesaikan. Oleh karena itu, an-Nabhani juga perlu mengangkatnya untuk dipecahkan. Dalam as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah al-Juz ats-Tsâlits, yang secara spesifik membahas ushul fikih, beliau sengaja mengangkatnya ketika membahas al-Hâkim; sumber otoritatif yang berhak mengeluarkan hukum.[7] Namun, catatan yang perlu diberikan, an-Nabhani  tidak membahasnya dalam konteks perdebatan kalam, sebagaimana para ulama ushul fikih yang disebutkan sebelumnya. Sebab, pembahasan beliau lebih sebagai tarjîh atas sejumlah kontroversi yang telah berlangsung, untuk kemudian diadopsi sebagai pandangan beliau dan juga partainya.

Mengurai Masalah

Berdasarkan kajian yang mendalam, an-Nabhani kemudian berkesimpulan, bahwa persoalan hasan-qabîh dan khayr-syarr itu pada dasarnya terkait dengan sifat perbuatan manusia;[8] apakah perbuatan manusia itu dihukumi hasan atau qabîh berdasarkan akal atau syariat? Pada titik ini, an-Nabhani berhasil mengklasifikasikan obyek pembahasan tersebut menjadi tiga: (1) dari aspek mâhiyah (fakta zatnya); misalnya gula manis, hasan; sedangkan tahi pahit, qabîh; (2) aspek sesuai-tidaknya dengan tabiat manusia dan kecenderungan fitrahnya, misalnya menolong orang tenggelam adalah hasan, sedangkan memakan harta orang dengan zalim adalah qabîh; (3) aspek terpuji-tercela dan pahala-dosa, misalnya iman hasan, sedangkan kekufuran itu qabîh. Pada aspek pertama dan kedua, menurutnya, akal manusia bisa memutuskan mana yang hasan dan mana yang qabîh. Namun, pada aspek yang ketiga, ketentuan hasan-qabîhtersebut tidak bisa diserahkan pada akal manusia, melainkan harus diserahkan pada syariat. Pada titik inilah kesimpulan beliau sama dengan ‘Adhuddin al-Iji, meski ada perbedaan dalam penggunaan istilah, baik pada aspek yang pertama maupun yang kedua.[9]

Sebagaimana al-Iji, meski an-Nabhani mengakui kemampuan akal sebagai sumber otoritatif dalam konteks hasan-qabîh pada dua aspek (pertama dan kedua), tidak berarti akal juga bisa dijadikan sebagai sumber otoritatif untuk menghukumi perbuatan manusia, misalnya dengan menganalogikannya dengan kedua aspek di atas. Ini tidak bisa diterima, karena tolok ukur hasan-qabîh pada aspek yang pertama untuk benda, dilihat dari aspek zatnya. Tentu, tolok ukur ini tidak bisa digunakan untuk menentukan perbuatan manusia. Bahkan, untuk menjadi tolok ukur benda pun sesungguhnya tidak bisa—ketika dilihat dari aspek halal dan haramnya. Sebab,  halal dan haram terkait dengan konsekuensi pahala dan dosa. Demikian juga tolok ukur hasan-qabîh pada aspek yang kedua, dilihat dari aspek sesuai dengan tidaknya dengan fitrah manusia. Ini juga tidak bisa digunakan untuk menjadi standar universal bagi umat manusia, karena bisa berubah dan sesuai dengan tendensi masing-masing orang, baik karena faktor waktu maupun tempat. Dari sinilah an-Nabhani berkesimpulan, bahwa satu-satunya tolok ukur universal dan sesuai dengan aspek pahala-

Page 11: Bab III Tahsin Dan Taqbih

dosa dan terpuji-tercela itu hanya satu, yaitu syariat.[10] Pada titik ini pula beliau merumuskan kaidah:

] [ �ه �ب ح �ق ا �م �ب)ي&ح �ال&ق �و �ع ر& الش �ن�ه س �ح م�ا �ن ��ل&ح�س ا

Terpuji adalah apa saja yang dinyatakan terpuji oleh syariat, sedangkan tercela adalah apa saja yang dinyatakan tercela oleh syariat.[11]

Dari sini bisa disimpulkan, bahwa pembahasan mengenai hasan-qabîh ini sesungguhnya dalam rangka mengubah maqâyîs (standar nilai) yang berkembang di tengah masyarakat sebagai akibat dari pengaruh filsafat dan kalam, sekaligus untuk menjernihkan tsaqâfahIslam dari berbagai debu (kotoran) yang masih melekat dalam khazanah klasik pemikiran Islam. Sebab, tsaqâfah ini bagaikan darah bagi tubuh umat; jika darah tersebut kotor, tubuh umat ini pun akan mengidap berbagai penyakit. Akhirnya, tubuh umat yang besar itu tumbang dan  lunglai tak berdaya.

Oleh karena itu, dengan maksud yang sama, konteks pembahasan khayr dan syarr itu juga sengaja beliau angkat ke permukaan. Al-Quran dan as-Sunnah telah menggunakan kedua istilah ini. Masing-masing dalam konteks sifat perbuatan manusia, baik yang bisa dipilih maupun tidak. Dalam hal ini, Allah menyatakan:

ب5وا [ ت�ح) أ�ن& ى �و�ع�س ل�ك�م& ي&ر= �خ �و �و�ه ي&ئ@ا �ش ه�وا �ت�ك&ر أ�ن& ى �و�ع�س ل�ك�م& ه= ك�ر& �و �و�ه �ت�ال ال&ق) �ع�ل�ي&ك�م � ك�ت)ب �ت�ع&ل�م�ون �ال �ن&ت�م& أ �و �ي�ع&ل�م �الله �و ل�ك�م& Nر �ش �و�ه�و ي&ئ@ا �]ش

Diwajibkan atas kalian berperang, sementara berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Padahal boleh jadi kalian membenci sesuatu, sementara ia amat baik bagi kalian; boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui. (QS al-Baqarah ]02[: 216).

Pada ayat di atas, Allah Swt.  menggunakan istilah khayr dan syarr dalam konteks like and dislike (suka dan tidak suka)— ketika suka, orang akan melakukan (iqdâm);  ketika tidak suka, dia pun akan meninggalkan (ihjâm); atau suka karena manfaat dan tidak suka karena membawa madarat. Jadi,  penggunaan khayr dan syarr dalam konteks seperti ini dikoreksi oleh Allah, seraya menyatakan:

] �ي�ع&ل�م �الله �و ل�ك�م& Nر �ش �و �و�ه ي&ئ@ا �ش ب5وا ت�ح) أ�ن& ى �و�ع�س ل�ك�م& ي&ر= �خ �و �و�ه ي&ئ@ا �ش ه�وا �ت�ك&ر أ�ن& ى � و�ع�س �ت�ع&ل�م�ون �ال �ن&ت�م& أ �]و

Page 12: Bab III Tahsin Dan Taqbih

Padahal boleh jadi kalian membenci sesuatu, sementara ia amat baik bagi kalian; boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui. (QS al-Baqarah ]02[: 216).

Orang tidak suka berperang karena bisa membawa kematian dan menurut akal itu merupakan keburukan. Demikian sebaliknya. Inilah yang dikoreksi oleh Allah. Allah menegaskan, bahwa: Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui. Oleh karena itu, penilaian tentang khayr dan syarr tidak boleh diserahkan kepada manusia; di samping karena kadangkala manusia membenci sesuatu yang sejatinya khayr dan menyukai sesuatu yang sejatinya syarr. Walhasil, penilaian terhadap khayr dan syarr jelas tidak bisa diserahkan kepada akal manusia, dengan pertimbangan like and dislike manusia, namun harus diserahkan pada like and dislike (ridha dan murka) Allah. Dari sinilah kemudian an-Nabhani merumuskan kaidah:

] [ �الله �ط�ه �خ س&�أ ا �م ر5 و�الش �الله �اه �ض ر&

�أ ا �م �ي&ر ��ل&خ ا

Kebaikan adalah apa saja yang diridhai oleh Allah, sedangkan keburukan adalah apa saja yang dimurkai (dibenci) oleh Allah.[12]

Pada titik inilah an-Nabhâni menjelaskan, bahwa konteks pembahasan khayr-syarr serta hasan-qabîh adalah dua konteks yang berbeda; meski keduanya merupakan standar perbuatan dan masing-masing terkait dengan sifat perbuatan. Hanya saja, konteks masing-masing tetap berbeda, yang lahir karena perspektif atau sudut pandang yang berbeda. Jadi, perbuatan dinilai khayr atau syarrdilihat dari aspek ridha-tidaknya Allah terhadap perbuatan itu dan dinilai hasan atau qabîh dilihat dari aspek pahala dan dosa. Allah ridha terhadap perbuatan manusia jika perbuatan itu sesuai dengan perintah dan larangan-Nya. Sebaliknya, Allah murka terhadap perbuatan manusia jika perbuatan itu bertentangan dengan perintah dan larangan-Nya. Perintah dan larangan Allah itu terangkum dalam ketentuan hukum syariat.

Dari sini bisa disimpulkan, bahwa perbuatan manusia itu juga bisa dikatakan khayr atau syarr ketika perbuatan itu sesuai atau tidak dengan perintah dan larangan Allah, dan dikatakan hasan atau qabîh ketika perbuatan itu dinyatakan hasan atau qabîh oleh syariat melalui hukum-hukumnya. Dengan demikian, tidak bisa dikatakan bahwa perbuatan manusia itu bisa bernilai hasan, tetapi pada pada saat yang sama bernilai syarr. Misalnya, shalat orang yang riya; tidak bisa dikatakan bahwa shalatnya hasan, sedangkan riya-nya itusyarr. Sebab, masing-masing adalah perbuatan yang terpisah: shalat adalah perbuatan fisik, sedangkan riya adalah perbuatan hati; masing-masing mempunyai standar yang berbeda; shalat tetap hasan (dilihat dari aspek pahala dan

Page 13: Bab III Tahsin Dan Taqbih

dosa) dan tetap khayr (dilihat dari aspek mendapat ridha atau tidak), sementara riya (baik dalam shalat maupun di luar shalat) tetap statusnya syarr sekaligus qabîh—tinggal dari mana melihatnya. Jika tidak, bisa saja orang mengatakan bahwa mencuri itu bisa qabîh dan khayr jika niatnya baik untuk membantu fakir miskin. Tentu tidak bisa dikatakan demikian. Sebab, mencuri—dilihat dari aspek pahala-dosa atau ridha-murka Allah—statusnya qabîh dan syarr. Sebaliknya,  membantu fakir miskin—dilihat dari aspek pahala-dosa atau ridha-murka Allah— statusnya tetaphasan dan khayr, tinggal dilihat dari mana.

Kesimpulan

            Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa pembahasan khayr-syarr serta hasan-qabîh tersebut berkaitan dengan sifat perbuatan manusia; dilihat bahwa sifat itu tidak include di dalam zatnya, yang oleh para filosof disebut sifat substansial, yang tetap dan tidak berubah. Namun, konteks pembahasan tersebut berkaitan dengan sifat; dilihat dari segi bahwa sifat itu adalah bentukan, yang dibentuk oleh faktor eksternal, yang oleh para filosof disebut sifat aksidental, yang tidak tetap dan berubah sesuai dengan keadaan. Adapun faktor eksternal yang menentukan sifat perbuatan itu tidak lain adalah ridha Allah serta perintah dan larangan-Nya. Artinya, perbuatan itu dinilai khayr dan syarr jika dibangun berdasarkan ridha-murka Allah, serta dinilai hasan dan qabîh jika dibangun berdasarkan ketentuan syariat.

Dari sini bisa disimpulkan, bahwa perbedaan antara khayr-syarr dan hasan-qabîh tidak lain hanya terletak pada perbedaan sudut pandang. Artinya, jika dilihat dari sudut pandang ridha-murka Allah maka disebut khayr atau syarr; jika dilihat dari sudut pandang pahala-dosa atau terpuji-tercela maka disebut hasan atau qabîh. Namun, masing-masing bertemu pada satu perbuatan manusia sehingga satu perbuatan bisa dinilai hasan dan khayr sekaligus atau qabîh dan syarr, tinggal dari mana melihatnya. Wallâh a‘lam. ][

[1]    Taqiyuddîn an-Nabhani, op. cit., juz I, hlm.  380-381.

[2]   ‘Adhuddin al-Iji, al-Mawâqif fî ‘Ilm al-Kalâm, ‘Alam al-Kitab, Beirut, t.t., hlm.  323-324.

[3]    ‘Adhuddin al-Ijî, ibid, hlm.  323-324; al-Amidi, Ghâyah al-Marâm, ed. Hasan Mahmud ‘Abd al-Lathif, al-Majlis al-

A’la li as-Syu’un al-Islamiyyah, Kairo, 1391, hlm. 234 dan seterusnya.

[4]    Al-Baghdadi, Kitâb Ushûluddîn, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. III, 1981, hlm. 24-28; Al-Amidi, Ghâyah al-

Marâm, hlm. 234 dan seterusnya.

Page 14: Bab III Tahsin Dan Taqbih

[5]    ‘Adhuddin al-Iji, ibid, hlm.  323-324; al-Amidi, Ghâyah al-Marâm, ed. Hasan Mahmûd ‘Abd al-Lathif, al-Majlis al-

A’la li as-Syu’un al-Islâmiyyah, Kaero, 1391, hlm. 234 dan seterusnya.

[6]    Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., juz I, hlm.  380.

[7] Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah al-Juz ats-Tsâlits, Min Mansyurat Hizb at-Tahrir,  cet. I,

1953, hlm.  7-12.

[8]    Taqiyuddin an-Nabhani, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, hlm.  30.

[9]Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, juz III, hlm.  7-12;  Taqiyuddin an-Nabhani, Mafâhîm Hizb

at-Tahrîr, hlm.  28-30; ‘Adhuddin al-Iji, al-Mawâqif fî ‘Ilm al-Kalâm, hlm. 323-324.

[10]Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, juz III, hlm.  7-12;  Taqiyuddin an-

Nabhani, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, hlm.  28-30; ‘Adhuddin al-Iji, al-Mawâqif fî ‘Ilm al-Kalâm, hlm. 323-324.

[11]   Taqiyuddin an-Nabhani, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, hlm.  27-28;

[12]   Taqiyuddin an-Nabhani, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, hlm.  26;

MAKNA HASAN DAN KHAIR DALAM MU’JAM MUFRAAT ALFADZ ALQUR’AN

MAKNA HASAN DAN KHAIR

DALAM MU’JAM MUFRAAT ALFADZ ALQUR’AN.

A. HA – SIN – NUN حسن

kata حسن ialah suatu ibarat dari setiap kebaikan yang disenangi. Dan ia terbagi dalam tiga macam : 1. Kebaikan dalam pandangan akal. 2. kebaikan dalam pandangan ‘hawa’. 3. Kebaikan dalam pandangan panca indra. Kebaikan itu disebut sebaigai setiap kenikmatan yang didapati manusia dalam dirinya, raganya dan yang lainnya. Sedangkan keburukan (السيئة) lawan kata dari kebaikan ( yang mana keduanya merupakan dari lafadz musytarak sama dengan kata hewan yang ,(حسنmengandung banyak makna seperti kuda, manusia dll. Dan mengenai ini Allah berfirman ( إن و

الله عند من هذه يقولوا حسنة تصبهم ) atau yang subur/khosbun, berhasil/dzofaro sebagainya. (سيئة وإنتصبهم ) atau sesuatu sempit/doqun, gagal/khaiybah. Dan Allah berfirman ( تهم جاء فإذا

هذه لنا قلوا الحسنة ) dan dalam Firman Allah ( الله فمن حسنة من ماأصابك ) artinya ini dari segi pahala. ( سيـئة من ماأصابك ) artinya ini dari segi azab. Ada perbedaan antara kata الحسنة, الحسن , dan الحسنى. Kata al-Husnu itu berarti kebaikan yang bersifat ‘materi dan imateri’, begitu juga kata al-Hasanah jika ia menjadi sifat, dan jika menjadi isim maka diketahui bersifat imateri, sedangkan kata al-Husnaa hanya bersifat imateri dan tidak materi.

Kata Husnu ini lebih banyak diketahui dalam kebaikan yang sifatnya umum, seperti laki-laki baik itu orang baik, perempuan baik itu orang baik bahkan dalam al-Qur’an banyak menceritakan kata-lata Husnu dari segi kebaikan yang bisa dilihat dengan pandangan hati, dalam hal ini Allah berfirman

Page 15: Bab III Tahsin Dan Taqbih

أحسنة فيتبعون القول يستمعون الذين artinya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat subhat. Sebagai mana sabda Rasul “Apbila kamu ragu dalam satu hal maka tinggalkanlah” dan katakanlah kepada manusia perkataan yang baik atau kalimat yang baik, firman-Nya اإلنسان ووصينا

حسنـا بوالديه dan الحسنيين إحدى إال بنا تربصون هل قل Dan firman Allah حكما الله نت أحسن ومن يوقنون لقوم . katanya kebaikan itu hanya ditetapkan pada orang-oarang yang yakin dan orang-

orang yang tidak yakin tidak dikhususkan/ditetapkan?.

Maksudnya kebaikan itu jelas dan ia mengetahuinya, demikian jelas bagi orang-orang yang mensucikan dirinya dan mengetahui hikmah Allah tanpa kejahilan (kebodohan). Kata إحسن (kebaikan) itu ada dua perspektif. Pertama kebaikan (اإلنعام)kepada orang lain, seperti contoh berbuat baik kepada si fulan. Kedua kebaikan (اإلحسن) pada diri sendiri yaitu jika ia mengetahui yang baik atau berbuat dengan perbuatan yang baik, hal ini selaras dengan ungkapan Amirul Mu’minin “Manusia itu amrupakan buah dari kabaikan yang ia lakukan” artinya mereka itu dinisbatkan kepada apa yang mereka ketahui dan perbuatan-perbuatan baik yang mereka lakukan.

Firman Allah ( خلقه شيئ كل أحسن الذي ) dan kata ihsan itu lebih umum dari kata in’am sebagaimana Allah berfirman ( ألنفسكم أحسنتم أحسنتم إن ) dan Firman Allah ( يأمربالعدل الله إن Maka kata Ihsan berada diatas kata Adlu (keadilan), yang mana keadilan itu adalah .(واإلحسانmencurahkan kewajibannya danmengambil haknya, sedangkan Ihsan mencurahkan kewajibannya lebihbanyak dibanding mengambil haknya. Kata Ihsan lebih tinggi kedudukannya dibanding kata Adlu. Menuntut keadilan adalah merupakan kewajiban sedangkan Ihsan sunnah dan dianjurkan. Dalam hal ini Allah berfirman ( محسن وهو لله وجهه أسلم ممن دينا أحسن ومن ) dan dalam firman-Nya ( بإحسان إليه وأداء ) untuk itu Allah memberi pahala yang besar kepada orang-orang yang berbuat kebaikan (al-Muhsinin). Sesuai dengan firman Allah ( المحسنين مع الله إن ) dan ( الله إن

المحسنين يحب ) dan ( حسنة الدنيا هذه فى أحسنوا للذين , سبيل من المحسنين على وما ) .

B. KHA - YA - RA خير) (

الخير : خير (yang baik) itu adalah setiap sesuatu yang diinginkan seperti akal umpamanya, keadilan, keutamaan dan sesuatu yang bermenfaat. Lawannya katanya adalah الشر (yang jahat). Ketahuilah bahwasanya yang baik itu ada dua macam: pertama baik yang bersifat mutlak, yaitu suatu kebaikan yang disenangi oleh tiap-tiap hal dan juga tiap-tiap orang seperti surga sebagaimana yang digambarkan Nabi dalam hadisnya: “tidak ada yang baik dengan yang baik setelahnya neraka, dan tidak ada yang jahat dengan yang jahat setelahnya surga”, dan kedua baik dan jahat yang berhubungan, yaitu baik menurut seseorang dan buruk menurut yang lainnya, contohnya seperti harta boleh jadi ia baik menurut Zaid tapi buruk menurut Umar. Untuk itu Allah SWT menjelaskan dua hal ini dalam firman-Nya (jika ia meninggalkan harta yang banyak. Qs. al-Baqarah: 180) dan dalam surat lain (Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Qs. al-Mukminun 55-56). Firman Allah (jika ia meninggalkan harta yang banyak. Qs. al-Baqarah: 180) maksudnya adalah harta. Sebagian ulama berpendapat: tidaklah harta itu dikatakan baik kecuali apabila ia banyak berada dalam kebaikan, sebagaimana yang diriwayatkan bahwasanya ketika Khalifah Ali ra. berada dalam kerabatnya ia berkata: apakah saya tidak berwasiat hai amirul mukminin? Lalu ia menjawab: tidak, sebab Allah mengajarkan dalam firman-Nya: (jika ia meninggalkan harta yang banyak. Qs. al-Baqarah: 180) dan kamu tidak memiliki harta yang banyak,

Page 16: Bab III Tahsin Dan Taqbih

dalam hal ini Allah berfirman: (dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta. Qs. al-‘Adiyat: 8) maksudnya adalah harta yang banyak. Dan sebagian ulama berpendapat: Sesungguhya yang disebutkan harta di sini berupa kebaikan adalah merupakan peringatan dalam arti yang halus yang mana maksudnya adalah suatu wasiat dikatakan baik apabila di dalamnya terdapat kumpulan harta yang baik, mengenai hal ini Allah berfirman: (Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak. Qs. al-Baqarah: 215) dan firman-Nya: (Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah) Ia mengetahuinya) dan firman-Nya: (hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka. Qs. al-Nur: 33) dikatakan maksudnya adalah harta dari pandangan mereka, dikatakan jika kamu ketahui kalau kebebasan mereka itu akan mendatangkan menfaat kepadamu dan kepada mereka.

Dikatakan baik dan jahat (keduanya) itu ada dua persepektif, pertama: keduanya disebut sebagai nama, sebagaimana dalam firman-Nya: (Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan. Qs. Ali Imran: 104). Dan kedua: keduanya disebut sebagai sifat, yang mana keduanya ditentukan dalam perbuatan lebih (أفعل) darinya, di antaranya seperti: خيرمن هذا

وأفضل ذاك (ini lebih baik dan lebih utama dari pada itu), lihat firman-Nya: (Kami datangkan yang lebih (خير ) baik dari padanya. Qs. al-Baqarah: 106) dan firman-Nya: (Dan berpuasa lebih baik bagimu. Qs. al-Baqarah: 184) maka kata خير di sini boleh disebut sebagai nama dan boleh juga disebut sebagai kata yang mengandung arti lebih, dan juga firman-Nya: (Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Qs. al-Baqarah: 197) ditentukan pada perbuatan lebih ,darinya. Kebaikan itu kadang-kadang berhadapan dengan kejahatan dan kemudharatan (أفعل)seperti firman Allah: (Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu. Qs. al-An’am: 17).

Dan firman-Nya: (Di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang baik- baik lagi cantik-cantik. Qs. al-Rahman: 70) katanya aslinya adalah خيرات lalu diringankan. الخيرات النساء من فالخيرات , dikatakan laki-laki itu baik dn perempuan itu baik ( خيرة وهذه الرجال خير وهذا خيرة خيروامرأة رجل

atau perempuan-perempuan itu adalah ( المختارات) dan maksudnya adalah yang terpilih النساءorang-orang terpilih tidak ada hina bagi mereka. Baik yang utama itu adalah yang dikhususkan dengan kebaikan. Dikatakan kebersihan itu pilihan dan keindahan itu pilihan ( خيار خياروجمل ناقة ), hamba itu berbuat baik kepada Allah maka ia berbuat kepada-Nya atau ia meminta kebaikan dari Allah maka ia memuja-Nya, dan aku menyuruh memilih sifulan dalam hal ini maka aku pun memilihnya. Pilihan keadaan yang ditujukan untuk المستخيروالمختار seperti والجلسة القعدة untuk keadaan yang berdiri dan yang duduk. Dan pilihan (ikhtiyar) itu adalah meminta sesuatu yang dia pilih dan ia perbuat. Dan kadang dikatakan: ketika manusia melihatnya baik dan jika tidak baik. Dan firman-Nya: (Dan sesungguhnya telah Kami pilih mereka dengan pengetahuan (Kami) atas bangsa-bangsa. Qs. al-Dukhan: 32) boleh ini sebagai isyarat adanya pilihan Allah kepada mereka atau boleh juga ia merupakan isyarat keutamaan mereka di banding yang lainnya. Dan المختار dalam pandangan ahli kalam adalah setiap perbuatan yang dilakukan manusia bukan dengan jalan yang dilarang. Ungkapan mereka: dia yang dipilih ( مختار هو ) dalam hal ini, bukanlah mereka inginkan maksudnya dengan ungkapan: sifulan itu mendapat pilihan (ikhtiyar) sesungguhnya pilihan (ikhtiyar) itu adalah mengambil apa yang ia lihai baik, dan yang dipilih (mukhtar) kadang-kadang disebut untuk subjek dan objek.[1]

Page 17: Bab III Tahsin Dan Taqbih

[1]Imam Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfazil Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 163-164

Ihsan yang baikApa sih sebenarnya makna ‘ihsan’ itu? Kita sering sekali mendengar kata ini, atau membicarakannya pada orang lain. Tapi sebenarnya apa ya maknanya?

Kenapa sangat penting membahas arti kata ‘ihsan’? Karena sebagaimana diajarkan Jibril as. dan Rasulullah Saw (dalam hadits Bukhari 1 : 47), ‘Ihsan’ adalah salah satu dari tiga komponen yangmembentuk ad-diin kita, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Jika satu komponen saja tidak ada, atau tidak paham, maka kita belum ber-diin dengan sempurna.

Jika kita sudah paham makna ‘ihsan’, kita juga akan bisa meraba maksud makna kata-kata turunannya seperti ‘hasan’, ‘ahsan’, ‘muhsin’, ‘hasanah’, dan lain sebagainya.

Umumnya kita secara awam mengartikan kata ‘ihsan’, ‘hasan’, ‘ahsan’ dan semua kata yangberkaitan, dihubungkan dengan kata ‘baik’ sebagaimana tertulis di kamus bahasa Arab. Jika ‘ihsan’di sana diartikan ‘baik’, maka ‘muhsin’ adalah ‘orang yang baik’, atau ‘orang yang suka berbuat baik’, dan seterusnya. Oke, itu tidak salah sih. Tapi apa bedanya ‘ihsan’ atau ‘hasan’, dengan ‘khair’ (baik)? Masalahnya, istilah Arab dalam Qur’an itu sama sekali bukan bahasa Arab sehari-hari, sehingga beresiko tidak akurat, kabur atau terlalu umum jika diterjemahkan melalui kamus bahasa Arab sehari-hari.

Contoh, Q. S. Al-Baqarah [2] : 195:

“Innallaha yuhibbul-muhsiniin.”

Sesungguhnya Allah mencintai Al-Muhsiniin.

Jika ‘Al-muhsiniin’ diterjemahkan menjadi ‘orang-orang yang berbuat baik’ sesuai kamus bahasa Arab sehari-hari, maka artinya menjadi ’sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuatbaik.’ Bener? Bener sih, nggak salah juga. Tapi kurang presisi, kurang akurat jadinya. Terlalu umum. ‘Berbuat baik’ itu sebaik apa? Koruptor, jika habis korupsi berbuat baik, apa iya jadi dicintai Allah? Pelacur, pezina,

Page 18: Bab III Tahsin Dan Taqbih

perampok, juga banyak yang baik, atau berbuat baik. Apa iya mereka dicintai Allah? Segampang itu?

Atau kita deh, yang merasa diri kita sebagai orang baik. Apa kita dicintai Allah, seperti cinta Allah pada para kekasih-Nya? Kok kita yang merasa sebagai ‘orang baik’ ini mau khusyu’ saja susah, kalau berdoa jarang makbul, hehe… Kok ya masih berani merasa diri menjadi bagian dari para muhsiniinsih… hehehe. Atau kadang-kadang kalau kebetulan pas baca ayat tentang ‘orang-orang yang berbuatbaik’ pasti ngerasanya Qur’an lagi bicara tentang kita, hehehehe….

Contoh lain, sebuah hadits:

‘Dari Abu Darda`, Nabi Saw bersabda “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam mizan (timbangan kebajikan pada hari kiamat) selain dari husnul khuluq(diterjemahkan: akhlak yang baik).” (H.R. Abu Daud 4799 dan Tirmizi 2002 - Hadits hasan shahih).

‘Husnul Khuluq’, jika diterjemahkan menjadi ‘akhlak yang baik’, ya benar sih (‘husn’ = baik). Tapi sebaik apa? Koruptor atau perampok di contoh tadi, masak iya jika gemar korupsi atau gemar merampok tapi berakhlak baik, maka timbangan kebaikannya di hari kiamat nanti menjadi paling berat? Coba tanya ke nurani kita sendiri.

Jadi ihsan, hasan, muhsin, dan sebagainya itu walaupun memang hubungannya dengan ‘baik’, tapi jika konteksnya adalah kualitas sebuah sikap, maka ‘ihsan’ itu baik yang sekualitas apa? ‘Baik’ yangseberapa baik?

Kalau kita kembali ke hadits Bukhari 1 : 47 yang paling atas tadi, di sana Jibril as. dan Rasulullah Saw. mengajarkan makna ihsan pada para sahabatnya. Hadits ini adalah hadits yang terkenal sekali, dan saya yakin sahabat sekalian sudah pernah membacanya. Jadi disini haditsnya saya ringkas saja, karena aslinya hadits tersebut sangat panjang.

Jadi ketika itu, Rasulullah saw sedang bersama para sahabatnya. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang sangat tampan yang tidak mereka kenal wajahnya. Ia berpakaian sangat bersih, seperti bukan orang yang baru tiba dari perjalanan, walaupun dari wajahnya para sahabat tahu bahwa ia bukanlah penduduk sekitar. Lalu lelaki itu bertanya pada Rasulullah Saw., “Apakah iman itu?” Rasulullah menjawab dengan menyebutkan rukun iman.

Page 19: Bab III Tahsin Dan Taqbih

Lelaki itu bertanya lagi, “Apakah Islam itu?” Dan Rasulullah pun menjawab dengan menyebutkan rukun Islam. Pada pertanyaan yang ketiga, lelaki itu bertanya, “Apakah ihsan itu?”

Jawab Rasulullah,

“Anta’budallah ka annaka taraah, fa’illam takun taraah, fa’innahu yaraak.”

“Engkau mengabdi kepada Allah seperti engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

Setelah ini ada beberapa dialog lagi, kemudian lelaki itu pergi. Ketika para sahabat mencarinya dan tidak berhasil menemukannya, dengan keheranan mereka menyampaikannya pada Rasulullah karena lelaki itu menghilang demikian cepat. Jawab Rasulullah, “Dia Jibril, yang datang untuk mengajarkan manusia (para sahabatnya) tentang diin mereka.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari.

Nah, itulah ‘ihsan’. Ihsan kualitas yang pertama, adalah sebuah kualitas pengabdian seperti ketika kita telah melihat-Nya. Sedangkan ihsan kualitas yang kedua, adalah sekualitas ketika kita telah merasakan sepenuhnya bahwa Dia melihat kita, meskipun kita tidak (belum) melihat-Nya.

Jika kita telah melihat-Nya, mana bisa kita tidak mencintai-Nya? Mana bisa kita tidak takjub kepada-Nya? Mana bisa kita tidak rindu kepada-Nya, tidak ingin tunduk kepada-Nya? Dia yang tak terbatas, Mahaindah, Mahatinggi, Mahapengasih, Mahapenyayang. Mana bisa kita tidak takjub kepada-Nya dan tidak mencintai-Nya, jika sudah mengenal-Nya? Bayangkan, bagaimana kira-kira kualitas pengabdian dari seseorang yang sudah merasa takjub kepada-Nya. Itu Ihsan dalam kualitasnya yang pertama.

Kalau pun kita belum melihat-Nya, ihsan kualitas kedua adalah ketika dalam setiap nafas kita, setiap saat, sepanjang jasad ini masih bernafas dan jantung masih berdetak, tidak sesaat pun diri kita pernah lepas dari kesadaran bahwa Dia melihat kita. Kesadaran yang tidak pernah putus, biar kita sedang dalam saat orgasme sekalipun. Kita ‘tenggelam’ dalam sebuah pemahaman bahwa kita ada dalam pengawasan-Nya, penjagaan-Nya, perlindungan-Nya, tuntunan-Nya. Padahal Dia adalah dzatyang tidak mengantuk, tidak tidur, dan tidak lalai.

Nah, seseorang dengan kualitas ihsan yang seperti ini, masih mungkinkah dia bermaksiat? Masih mungkinkah dia berkeluh kesah,

Page 20: Bab III Tahsin Dan Taqbih

tidak bersyukur? Mana bisa dia bertindak tidak santun dan sembarangan? Apa bisa orang yang sudah ada dalam penjagaan-Nya dan perlindungan-Nya sepenuhnya seperti ini, menjadi murung dan tidak bahagia? Kira-kira, bagaimana akhlaq dari orangyang ada di ihsan kualitas kedua ini?

Jadi kenapa Allah mencintai para Al-Muhsiniin, seperti disebut di Al-Baqarah [2] : 195 tadi? Jelas, karena mereka memiliki kualitas pengabdian yang seperti itu, lebih dari sekedar ‘orang baik’ atau ’suka berbuat baik’. Dan, Ihsan atau hasan lebih dari sekedar khair (baik).

Sekarang pun lebih jelas makna hadits dari Abu Daud dan Tirmidzi tadi, bahwa ‘tidak ada yang lebih berat dalam mizan, selain husnul-khuluq (akhlaq yang ihsan)’. Tentu saja, karena husnul-khuluqadalah akhlaq yang terbangun dalam diri seseorang karena seseorang melihat-Nya, atau setidaknya akhlaq yang terbangun adalah karena dia telah sepenuhnya ‘tenggelam’ dalam kesadaran bahwa Allah melihatnya. Husnul-khuluq bukan sekedar ‘akhlaq yang baik’.

Nah, dari arti ‘ihsan’ yang diajarkan Jibril as. dan Rasulullah Saw, kita sudah bisa memahami makna kata ‘muhsin’ dan ‘husn’ dengan sedikit lebih presisi lagi, bukan sekedar bermakna makna ‘baik’ dalam pengertian umum. Sekarang, kita bisa juga meraba makna kata-kata turunannya dalam Al-Qur’an, misalnya ‘ahsan’, ‘hasan’, ‘hasanah’, dan seterusnya.

Jadi kalau Qur’an menyebut ‘orang-orang yang ihsan‘ atau muhsiniin, itu kita bukan? Lha monggokita tanya ke nurani kita masing-masing.

Oh ya, kita sekarang jadi lebih mengerti makna dari kalimat “kematian yang ‘husnul-khatimah’” kan? (‘khatam’ : akhir, selesai, penutup)

Semoga kita dijadikan-Nya termasuk kedalam Al-Muhsiniin dan diberi-Nya kematian yang husnul-khatimah.

Demikian kutipan yang saya ambil dari beberapa kutipan semoga dapat bermanfaat ya.. :-)

baik dan buruk dalam perspektif islam

Page 21: Bab III Tahsin Dan Taqbih

1.Baik dan Buruk dalam perspektif Islam

Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk Al-

Qur’an dan Al-Hadits.

1)      Menurut aliran Ahlusunnah Wal Jama’ah

Aliran ini berpendapat bahwa ketentuan baik dan buruk sudah ada ketentuan dalam Al-

Qur’an dan Hadits. Untuk menentukan hal yang baik dan buruk, aliran ini mendahulukan

nash lalu akal.

2)      Menurut aliran Tasawwuf

Aliran tasawwuf adalah suat paham yang mementingkan kehidupan spiritual dari pada

materi. Menurut ahli tasawwuf, nilai baik dapat diukur dari perasaan bahagia. Begitupula

dengan nilai buruk, yang ditandai dengan hal-hal yang menyengsarakan. kebaikan dan

keburukan menurut panilaian ahli tasawwuf adalah terkait dengan kehidupan ukhrowi,

jika kebaikan diperoleh di dunia, maka kebaikan tersebut harus menjadi penyebab untuk

memperoleh kebaikan di akhirat.[1]

Jika kita perhatikan Al-Qur’an atau Al-Hadits dapat dijumpai berbagai istilah yang

mengacu kepada baik dan ada pula yang mengacu kepada yang buruk. Diantara istilah

yang mengacu kepada yang baik adalah :

a)      Al-hasanah

b)      Thayyibah

c)      Khair

d)     Mahmudah

e)      Karimah

f)       Al-birr1. Al-hasanah sebagaimana dikemukakan oleh Al-Raghib Al-Asfahani adalah suatu

istilah yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang baik.

2. Seperti kita jumpai pada ayat yang berbunyi

Artinya :

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang

baik”. (QS. Al-Nahl, 16:125)

 

Al-hasanah terbagi menjadi 3 bagian, pertama hasanah dari segi akal, kedua dari segi

hawa nafsu atau keinginan dan hasanah dari segi pancaindera.1. Adapun kata at-tayyibah khusus digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang

memberikan kelezatan kepada pancaindera dan jiwa seperti makan dan sebagainya.[2] Hal ini misalnya terdapat pada ayat yang berbunyi:

“Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-baik

yang kami berikan kepadamu.”.

(Q.S. Al-Baqarah, 2:57)

Page 22: Bab III Tahsin Dan Taqbih

1. Selanjutnya kata al-khair digunakan utnuk menunjukkan sesuatu yang baik oleh seluruh umat manusia, seperti berakal, adil, keutamaan dan segala sesuatu yang bermanfaat misalnya terdapat pada ayat yang berbunyi:

`“Barangsiapa yang melakukan kebaikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya

Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 158)1. Adapun kata al-mahmudah digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang utama

sebagai akibat dari melakukan sesuatu yang disukai oleh Allah SWT. dengan demikian kata al-mahmudah lebih menujukkan pada kebaikan yang bersifat batin dan spiritual.[3] Misalnya dinyatakan dalam ayat yang berbunyi :

“Dan dari sebagian malam hendaknya engkau bertahajjud mudah-mudahan Allah akan

mengangkat derajatmu pada tempat yang terpuji”. (Q.S Al-Isra, 17: 79)

 1. Selanjutnya kata al-karimah digunakan untuk menunjukkan pada perbuatan dan

akhlaq yang terpuji yang ditampakkan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Selanjutnya kata al-karimah biasanya digunakan untuk menunjukkan perbuatan terpuji yang sekalanya besar, seperti menafkahkan harta di jalan Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua dan sebagainya.

 

“Dan janganlah kamu mengucapkan kata “uf-cis” kepada kedua orang tua, dan

janganlah membentaknya, dan ucapkanlah pada keduanya ucapan yang mulia”.(Q.S.

Al-Isra, 17: 23)1. Adapun kata al-birr digunakan untuk menunjukkan pada upaya memperluas atau

memperbanyak melakukan perbuatan yang baik. Terkadang digunakan sebagai sifat Allah, dan terkadang juga untuk sifat manusia. Jika kata tersebut digunakan untuk sifat Allah, maka maksudnya adalah bahwa Allah memberikan balasan pahala yang besar, dan jika digunakan untuk manusia maka yang dimaksud adalah keta’atannya.[4] Sebagaimana firman Allah SWT:

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan

tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-

malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada

kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan

pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba

sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati

janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan

dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka

Itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah, 2: 177).

[1] Drs. Mahjuddin. Mpdi. 2010. Akhlaq Tasawwuf, Kalam Mulia: Jakarta.

[2] Drs. Mahjuddin. Mpdi. 2010. Akhlaq Tasawwuf, Kalam Mulia: Jakarta.

[3] Muhammad Al Baqir. 1994. Membentuk Akhlak Mulia. Karisma: Bandung

[4] Muhammad Al Baqir. 1994. Membentuk Akhlak Mulia. Karisma: Bandung

2.1 Pengertian Perilaku Baik dan Buruk

Page 23: Bab III Tahsin Dan Taqbih

Dalam Islam perbuatan baik dan buruk itu sering di sebutkan dengan ’amar ma’ruf nahi munkar’[1] (Perbuatan yang baik dan dan perbuatan yang buruk) yang dilakukan manusia dalam selurah kehidupannya. Manusia itu dikatakan berbuat baik apabila dia dapat melaksanakan ajaran agama secara’’ kaffah’’(keseluruhan) dan manusia di katakan berbuat yang tidak baik apabila ia melakukan perbuatan yang menyimpang dari ketentuan yang telah di perintahkan oleh Allah SWT. Pada dasarnya tugas dan tanggung jawab manusia adalah untuk mengabdi kepadaNya, dalam peroses pengabdiannya manusia harus mengetahui atau memiliki dasar yang hakiki untuk di jadikan landasan yang utama dalam hidupnya agar dalam menjalani kehidupan dunia ini lebih bermakna, adapun landasan yang dimaksudkan adalah sumber-sumber ajaran Islam yang mengatur semua aspek kehidupan manusia, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT, sesama manusia sesama alam atau lingkungannya.

Mengabdikan diri dalam Islam erat kaitannya dengan pendidikan akhlak, kemudian konsep mengabdikan diri dalam Al-Qur’an dikaitkan dengan taqwa dan taqwa itu sendiri berarti melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya, perintah Allah itu berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang baik sedangkan yang berkaitan larangan adalah dengan perbuatan-perbuatan yang tidak baik .

Dengan demikain akan menjadi jelas bahwa kebaikan dan keburukan dalam ajaran Islam merupakan dua bahasa yang berbeda akan tetapi memiliki keterkaitan antara keduanya, yaitu kalau tidak berbuat baik maka berbuat buruk, maka manusia tinggal memilih pada posisi mana ia harus berbuat karena kebaikan dan keburukan itu sudah jelas di atur dalam ajaran agama . Sebenarnya makna kebaikan dan keburukan itu sudah sangat jelas bagi setiap orang dan tidak perlu diberikan definisi, yang penting di sini adalah penggolongan pengaplikasian kedua makna itu sehingga menjadi jelas hubungan pembahasan kebaikan dan keburukan perspektif akal dengan bagian yang mana dari penggunaan makna-makna tersebut.

Dengan menelusuri item-item penggunaan dua kata tersebut, maka kita dapat mengidentifikasi empat penggunaan asli[2] dari makna keduanya: Pertama,Terkadang kebaikan dan keburukan bermakna kesempurnaan (kamâl) dan kekurangan (naqsh) yang berhubungan dengan jiwa manusia. Dalam pengaplikasian ini, termasuk seluruh perbuatan manusia, apakah perbuatan itu berdasarkan ikhtiar manusia ataukah di luar ikhtiar manusia seperti sifat dasar manusia. Sebagai contoh dikatakan, ”Pengetahuan itu ialah suatu kebaikan” atau ‘’Belajar ilmu pengetahuan merupakan sebuah perbuatan baik,’’ dan juga dikatakan, “Kebodohan itu adalah suatu keburukan” atau “Meninggalkan pencarian ilmu merupakan suatu perbuatan buruk”; pengetahuan dan mencari ilmu pengetahuan merupakan sifat kesempurnaan bagi jiwa manusia, sementera kebodohan dan meninggalkan pencarian ilmu merupakan kekurangan baginya. Berdasarkan hal tersebut, maka sifat-sifat seperti berani dan dermawan merupakan bagian dari sifat-sifat baik, sementara sifat penakut dan kikir termasuk dari sifat-sifat jelek. Yakni, yang menjadi tolak ukur adalah kesempurnaan dan ketidak sempurnaan pada jiwa manusia. Kedua,Terkadang aplikasi makna kebaikan dan keburukan berdasarkan kemaslahatan dan ke-mafsadah-an (tak berfaedah) sebuah perbuatan atau sesuatu, dan terkadang maslahat dan mafsadah berhubungan dengan unsur individu atau berhubungan dengan unsur masyarakat. Sebagai contoh, setiap peserta yang menang dalam pertandingan adalah maslahat baginya (bagi peserta yang menang itu), akan tetapi kontradiksi dengan kemaslahatan para peserta lain yang kalah dalam pertandingan. Sebaliknya, menyebarkan keadilan dalam masyarakat merupakan suatu perkara yang dapat dipandang sebagai maslahat bagi seluruh masyarakat. Ketiga,

Page 24: Bab III Tahsin Dan Taqbih

Aplikasi dari makna baik dan buruk adalah pada tinjauan kesesuaian dan ketidaksesuaian dengan perbuatan ikhtiar manusia. Aplikasi ini, perbuatan yang menurut akal manusia layak untuk dilakukan dan pelakunya mendapatkan pujian, maka perbuatan tersebut adalah perbuatan yang baik. Sebaliknya, perbuatan yang semestinya ditinggalkan dan pelaku perbuatan tersebut menjadi tercela, maka perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan yang buruk. Berdasarkan pandangan ini, “Keadilan itu adalah sebuah kebaikan” dan ‘’Kezaliman itu ialah sebuah keburukan”, yaitu akal memandang keadilan itu adalah layak dan baik serta pelakunya (orang adil) berhak mendapatkan pujian dan sanjungan, sementara kezaliman itu merupakan perbuatan yang tidak layak dan orang yang melakukannya seharusnya mendapatkan celaan.

Perlu diketahui bahwa akal yang dimaksud di sini adalah akal praktis, yang obyeknya adalah perbuatan ikhtiar manusia dari segi kelayakan (keharusan) untuk dilaksanakan atau kelayakan (keharusan) untuk ditinggalkan etika kita mencoba memikirkan pengaplikasian ketiga makna tersebut maka akan sangat jelas perbedaannya. Perbuatan-perbuatan pelaku selain manusia dan bahkan perbuatan-perbuatan Tuhan.Dengan demikian perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena di antara perbuatan-perbuatan manusia terdapat perbuatan-perbuatan jahat.[3]

2.2 Ayat-ayat Tentang Perbuatan Baik dan Buruk

Adapun lafadz al-hasanah dan as-sayyiah dalam Al-Qur’an memiliki berberapa makna, seperti yang di jelaskan dalam QS. Ali-Imron :120,

كم كيد هم شيئا إن� حوا بها وإن تصبروا وتتقوا ال يضر� �ف�ر� إن تمسسكم حسنة تسؤهم وإن تصبكم سيئة� ي  الله بما يعملون

Artinya:

” Jika kamu memperoleh kebaikan , (niscaya) mereka bersedih hati, tetapi jika kamu tertimpa bencana , mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, tipu daya mereka tidak akan menyusahkan kamu sedikitpun. Sungguh, Allah maha meliputi segala apa yang mereka kerjakan.”

QS. At-Taubah:50,

�وا و�هم فرحون إن تصبك حسنة تسؤهم وإن تصبك مصيبة يقولوا قد أخذ نا أمرنا من قبل ويتول

Artinya:

“Jika engkau (Muhammad) mendapat kebaikan, mereka tidak senang ; tetapi jika engkau ditimpa bencana , mereka berkata ,”Sungguh sejak semula kami telah berhati-hati (tidak pergi berperang),” dan mereka berpaling dengan (perasaan) gembira.”

QS. Al-A’raf:164

�كم   وإذ قا لت أم�ة منهم لم تعظو ن قوما الله مهلكهم أو معذ� بهم عذابا شديدا قالوا معذرة إلى رب�قون ولعلهم يت

Artinya:

Page 25: Bab III Tahsin Dan Taqbih

“Dan (ingatlah) ketika suatu umat diantara mereka berkata, “mengapa kamu menasehati kaum yang akan dibinasakan atau diazab Allah dengan azab yang sangat keras?” Mereka menjawab, “ Agar kami mempunyai alasan (lepas tanggung jawab) kepada tuhanmu[4], dan agar mereka bertaqwa.”

QS. Asy-Syura:48.

� رحمة فرح بها � إذا أذ قنا اإلنسان منا � البالغ وإنا فإن أعرضوا فما أرسلناك عليهم حفيظا إن عليك إالفإن� اإلنسان كفور  وإن تصبهم سيئة بما قد�مت أيديهم

Artinya:

“ jika mereka berpaling, maka (ingatlah) kami tidak mengutus engkau sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Dan sungguh , apabila kami merasakan kepada manusia suatu rahmat dari kami , dia menyambutnya dengan gembira; tetapi jika meraka ditimpa kesusahan karena perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar), sungguh, manusia itu sangat ingkar (kepada nikmat).”

�منوا التبطلوا صدقتكم بلمن� واألذى, كا لذي� ينفق� ما له رئاءالناس وال يؤمن بالله واليوم �ذين ا يأ يها الاألخر, فمثله كمثل صفوان عليه تراب فأصا به وا بل� فتركه صلد�ا, ال يقدرون على شيئ مما كسبوا,

�ذين ينفقون أموالهم ابتغاء مرضات الله وتثبيتا م�ن انفسهم   والله ال يهدى القوم الكا فرين. و مثل ال

, والله� بما يعملون بصير� �تت� اكلها ضعفين. فإن لم يصبها وا بل فطل� �ة بربوة  اصا بها وابل فأ .كمثل جن

Artinya:

”Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak pahala sedekahmu, dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanyakarena riya’ (pamer) kepada manusia , sedang dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Perumpamaannya (orang itu)dengan sebuah batu yang licin, di atasnya ada debu. Kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi.merekavtidak memperoleh sesuatu apapun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. Dan Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya untuk mencari ridha allah dan untuk memperteguh jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggin yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buah-buahan dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka embun (pun memadai). Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 264-265).

Dengan demikian dalam ayat tersebut secara pasti mengandung makna bahwa al hasanah dan as sayyiah berarti segala kenikimatan dan musibah demikian pula yang dikatakan oleh para Mufassir, oleh sebab itu As-Sadiy menyatakan bahwa al Hasanah adalah kemakmuran sedangkan as Sayyiah adalah kemudhadaratan yang terjadi pada harta mereka .

2.3 Perilaku Baik Dan Buruk Menurut Beberapa Aliran Teologi Islam

Page 26: Bab III Tahsin Dan Taqbih

Di dalam teologi Islam terdapat beberapa aliran yang mengkaji masalah perbuatan baik dan perbuatan buruk,[5] yaitu: (a) aliran Mu’tazilah; (b) aliran qadariyah; (c) aliran jabariyah; (d) aliran Ays’ariyah (ahli sunnah wal jama’ah); (e) aliran Al-Maturidi. Untuk dapat mengetahui lebih jelasnya bagaimana dari beberapa aliran tersebut berpendapat tentang perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia, diantaranya sebagai berikut:

1. Pandangan Mu’tazilah

Pada dasarnya mu’tazilah adalah merupakan aliran yang mengetengahkan pendapatnya-pendapatnya yang rasionalistis tentang berbagai macam masalah, sungguh menurut mereka akallah yang sangat berperan ketimbang wahyu, salah satu pendapatnya yang rasionalistis adalah pandangannya tentang perbuatan baik dan pebuatan buruk manusia. Pada prinsipnya, masalah ini berkaitan erat dengan prinsip keadilan di mana Tuhan Maha adil yang menunjukkan kesempurnaan pada segala hal. Pada manusia ajaran ini bertujuan ingin menunjukkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia karena alam semesta ini diciptakan untuk kepentingan manusia.

Aliran Mu'tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu'tazilah menganut faham qodariyah atau free will.[6] Menurut Al-Juba'i dan Abd Aljabbra, Manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya antara yang baik dan burukkepada Tuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (al-istita'ah) untuk mewujudkan kehendak terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Untuk memperkuat paham tersebut, kaum mu’tazilah membawa argumen-argumen rasional dan ayat-ayat Al-Qur’an. Ringkasan argumen-argumen rasional yang dimajukan oleh Abd al-Jabbar umpamanya, adalah sebagai berikut: manusia dalam berterima kasih atas kebaikan-kebaikan yang diterimanya, menyatakan terima kasihnya kepada manusia yang berbuat kebaikan itu. Demikian pula dalam melahirkan perasaan tidak senang atas perbuatan-perbuatan tidak baik yang diterimanya manusia menyatakan rasa tidak senangnya kepada orang yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tidak baik itu. Sekiranya perbuatan-perbuatan baik atau buruk adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, tentunya rasa terima kasih dan rasa tidak senang itu akan ditujukan manusia kepada Tuhan dan bukan kepada manusia.[7] Selain itu, untuk membela fahamnya, aliran Mu'tazilah mengungkapkan ayat berikut:

۷ألذى أحسن كل شێ خلقه (السجدة :

Artinya:

"Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya". (QS. As-Sajdah: 7).

Qs. Al-Kahfi ayat 29

, � � د£قها را ¥ أعتدنا للظلمين نارا أحاط بهم س� �ء فليكفر إنا �ء فليؤ من وم�ن� شا وقل الحق¦ من� ربكم� فمن شا� �ءت مرتفقا �ء  كالمهل£ يشو£ى الوجوه�, بئسالشراب وسا .وإن يستغيثوا بما

Page 27: Bab III Tahsin Dan Taqbih

Artinya:

“Dan katakanlah:”Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir)biarlah ia kafir.” Sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang yang dzalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”.

Disamping argumentasi naqliah di atas, aliran Mu'tazilah mengemukakan argumentasi berikut ini:

a. Kalau Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri tidak mempunyai perbuatan, batAllah taklif syar'i. hal ini karena syariat adalah ungkapan perintah dan larangan yang merupakan thalap pemenuhan thalap tidak terlepas dari kemampuan, kebebasan, dan pilihan.

b. Kalau manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya.Runtuhlah teori pahal dan hukuman yang muncul dari konsep faham al-wa'dwaal-wa'id(janji dan ancaman). Hal ini karma perbuatan itu menjadi tidak dapat di sandarkan kepadanya secara mutlak sehingga bersekoensi pujian atau celaan.

c. Kalau manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan, pengutusan para nabi tidak ada gunanya sama skali.

Ajaran tentang keadilan terkait erat dengan perbuatan manusia. Menurut mu’tazilah manusia melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan baik secara langsung atau tidak.[8] Perbuatan apa saja yang dilahirkan adalah perbuatan manusia itu sendiri kecuali dalam mempersepsi warna, bau, dan sesuatu lainnya yang dialaminya tidak diketahui manusia. Pemahaman dan pengetahuan yang timbul dengan selain melalui informasi dan instruksi itu diciptakan sendiri oleh Allah dan bukan perbuatan manusia. Kalau dilihat pendapat ini memang Allah maha adil atas segala makhluknya karena alam ini berserta isinya diciptakan untuk manusia, tapi dalam masalah perbuatan sudah pasti ada campur tangan Tuhan karena apapun yang dikerjakan oleh manusia bukan karena kehendaknya sendiri akan tetapi ada yang menggerakkan sehingga ia berbuat .

Kalau manusia berbuat baik dan buruk sudah pasti ada konsekwensi logis yang harus diterima, karena konsep ajaran Islam yang dijelaskan oleh wahyu bahwa kebenaran dan kesesatan itu sudah jelas, jadi manusia tinggal memilih mana perbuatan menurut kehendaknya yang harus dilaksanakan, akan tetapi didalam masalah pemberian ganjaran Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan wajib memberikan ganjaran kepada seseorang yang berbuat baik dan memberi hukuman kepeda seseorang yang berbuat salah. Asy’ari berkata urusan ganjaran dan hukuman itu terserah kepada Allah semata-mata .

Akal memang merupakan media yang paling istimewa yang diberikan Tuhan kepada manusia.[9] Anugerah akal inilah yang menjadi ukuran seseorang untuk menerima taklif dalam syariat Islam. Akal ditinjau dari sudut pandang fungsi dan tugasnya dapat dibagi menjadi dua bagian, berurusan dengan penerapan universal dan berkaitan dengan urusan partikular. Dengan akal universalnya manusia dapat menungkapkan bahwa setelah menciptakan manusia, Tuhan menurunkan kitab dan mengutus nabi untuk memberikan penjelasan dari apa yang terkandung di dalam kitab tersebut.

Page 28: Bab III Tahsin Dan Taqbih

Karena dalam pandangan akal (universal), sangat tidak fair Tuhan menciptakan manusia lalu membiarkannya tanpa petunjuk visual dan eksternal yang dapat mengantarkannya meraih kesempurnaan insaniah. Dengan akal universal, ia mampu dengan lantang mengatakan bahwa dua hal yang kontradiktif tidak akan pernah bersatu pada ruang dan waktu yang bersamaan.Atau menerapkan segala yang universal lebih besar dari yang partikular. Dibalik fungsi universal ini, akal dalam beberapa hal tertentu akal tidak mampu menerapkan secara pasti sejarah nabi diutus, menikah dengan beberapa orang, usia berapa ,dan juga hukum-hukum praktis, seperti jumlah rakaat, bagaimana melaksanakan shalat dan sebagainya. Ia perlu bimbingan seorang Nabi yang bertugas memaparkan secara elaboratif masalah-masalah partikular ini. Maksudnya adalah untuk menjelaskan perkara dan fungsi akal sehingga tidak secara general memandang akal sebagai media tunggal dalam beragama, akan tetapi harus melalui dua sumber naql (Qur’an dan hadis) dan aqli (akal).

2. Pandangan Qadariyah

Ada hal yang berbeda dengan paham Qadariyah dimana aliran ini mengatakan bahwa dalam masalah perbuatan baik dan buruk manusia, manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya dan mereka menolak adanya qada’ dan qadar.[10] Menurut paham ini perbuatan manusia merupakan hasil usaha manusia itu sendiri dan bukan perbuatan Tuhan, artinya manusia mempunyai kemampuan untuk mengerjakan dan meninggalkan suatu perbuatan tanpa campur tangan kehendak dan kekuasaan Tuhan.

Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalin bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya.[11] Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai kemampuan dan dengan kemampuan itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya. Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Dianatara dalil yang digunakan untuk mendukung faham ini ialah:

QS. Al-Kahfi :29

فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر

Artinya:

”Maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.”

QS. Ar-Ra’d 11

�روا ما بأنفسهم   حتى� يغي �ر ما بقوم ,إن الله ال يغي

Artinya:

“ Sesenguuhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

QS. Ali-Imran 165

Page 29: Bab III Tahsin Dan Taqbih

�يها, قلتم انى¥ هذا , قل هوا من عند انفسكم, ان الله على كل   أولما اصا بتكم مصيبة قد اصبتم مثل

.شيئ  قدير�

Artinya:

“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan badar) kamu berkata: ‘Dari mana datangnya (kekalahan) ini?’ katakanlah: ‘itu dari (kesalahan) dirimu sendiri’. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

QS. An-Nisa 111

�ما يكسبه على نفسه ومن يكسب اثما فإن

Artinya:

“Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri.”

Dalam menanggapi masalah ini Abd Jabbar[12]mengemukakan bahwa perbuatan manusia bukanlah diciptakan oleh Tuhan akan tetapi pada manusia, manusia sendirilah yang mewujudkannya . Keterangan-keterangan telah jelas mengatakan bahwa kehendak untuk berbuat adalah kehendak manusia, tetapi tidak jelas apakah daya untuk mewujudkan perbuatan itu daya manusia sendiri ataukah bukan dan dalam hubungannya dengan ini perlu kiranya di tegaskan bahwa dalam menlaksanakan perbuatan itu harus ada kemauan atau kehendak dan daya untuk meleksanakan kehendak itu dan barulah perbuatan itu dilaksanakan. Karena manusia bebas, merdeka, dan memiliki kemampuan untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya, maka ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya di hadapan Allah SWT., jika ia banyak berbuat kebaikan, maka ia akan mendapat balasan berupa nikmat dan karunia yang besar dan sebaliknya apabila ia lebih banyak melakukan perbuatan yang tidak baik maka ia akan mendapatkan ganjarannya Karen perbuatan itu sendiri diwujudkan oleh manusia itu sendiri dan merupakan suatu kewajaran apabila Tuhan menyiksa atau memberikan pahala .

3. Pandangan Jabariyah

Paham jabariyah merupakan pecahan dari aliran Qadariyah dimana manusia mewujudkan perbuatannya sendiri tanpa campur tangan Tuhan, akan tetapai dalam paham aliran jabariyah maka manusia tidak berkuasa atas perbutannya, yang menentukan perbuatan itu adalah kehendak Allah . Dalam paham Jabariyah , perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan sering digambarkan bagai bulu ayam yang diikat dengan tali digantungkan di udara,[13] ke mana angin itu bertiup, maka ia akan terbang ia tidak mampu menentukan perbuatannya sendiri, akan tetapi terserah angin dan apabila perbuatan manusia itu diumpamakan seperti ayam , maka angin itu adalah Tuhan yang menetukan ke arah mana dan bagaimana perbuatan itu dilakukan.

Dalam paham ini manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun di setiap perbuatannya meskipun perbuatan yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya. Para Ulama Pengikut aliran Jabariyah, berpendapat bahwa semua perbuatan yang dilakukan oleh manusia merupakan kehendak dan ketetapan Allah. Manusia tidak mempunyai peran atas segala

Page 30: Bab III Tahsin Dan Taqbih

perbuatannya. Perbuatan baik dan kejahatan yang dilakukan oleh manusia merupakan Qodrat dan Iradat (kekuasaan atau kehendak) Allah SWT. Ulama aliran Jabariyah mengesampingkan usaha dan ikhtiar manusia. Dengan kata lain manusia tidak mempunyai peran apa-apa atas kehendak dan perbuatannya, semuanya berdasarkan Qadha dan Qadar Allah. Kalau semua perbuatan manusia merupakan ketetapan dan kehendakan Allah mengapa manusia harus diberi pahala jika menjalani suatu kebaikan.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran:

تلك حدودالله ومن يطع الله ورسوله يدخله جنات تجرى من تحتها األنهار خالدين فيها وذلك الفوز

اخالد�ا فيها وله عذاب� م�هين� .العظيم, ومن يعص الله� ورسوله� ويتعد¥ حدوده� يدخله� نار�

Artinya:

"Barangsiapa ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya, Niscaya Allah memasukannya ke dalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, Niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan". (QS: An-Nisa’:13-14)

Dilihat dari sisi lain pendapat ' Ulama Jabariyah kurang kuat karena, untuk apa pula Allah memberi petunjuk, kabar gembira dan memberikan peringatan melalui para Rasul-Nya agar manusia dapat mengerti antara haq dan yang bathil sebagaimana firman Allah SWT.

�ذين كفروا بالباطل ليدحضوا به الحق� واتخذ�واايتى� رين ومنذرين ويجادل ال � مبش� وما نرسل المرسلين إالوما أنذرواهزو�ا

Artinya:

"Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan; tetapi orang kafir membantah dengan (cara) yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak (kebenaran), dan mereka menjadikan ayat-ayatKu dan apa yang diperingatkan terhadap mereka sebagai olok-olokan.” " (QS:18: Al-Kahfi: 56)

Dari beberapa Kutipan Ayat suci Al-Quran diatas maka pendapat ulama Jabariyah menjadi lemah[14]. Sementara itu Yusuf Al Qardhawi memandang bahwa aliran Jabariyah hanya memandang satu sifat kekuasaan Allah dan tidak memandang keadilan dan kebijaksanaan-Nya. Sehingga semua perbuatan yang dilakukan disandarkan pada takdir Allah. Dengan kata lain aliran Jabariyah menafikan fungsi dan peran Rasul Allah serta ancaman yang akan diberikan kepada pelanggar (durhaka) tatanan nilai Ilahiyah (syari'ah agama) dan pahala bagi para pelaksana (bertaqwa) tatanan nilai Ilahiyah (sayri'ah agama). Hal ini menurut Jalaluddin Ar-Rumi bahwa: Sekiranya manusia dalam keadaan terkekang seperti pendapat aliran Jabariyah, maka tidak mungkin jika dia dibebani perintah dan larangan, atau disuruh untuk menjalankan syari'at dan hukum Islam. Karena sesungguhnya Al-Qur'an itu berisikan perintah dan larangan.

Paham jabariyah merupakan paham yang di lontarkan oleh Jaham bin Shofwan[15], tokoh utama Jabariyah yang ekstrim sebab dalam paham tersebut manusia tidak punya andil sama sekali dalam

Page 31: Bab III Tahsin Dan Taqbih

menentukan perbuatannya semua ditentukan oleh Tuhan, di samping paham ini ada paham kelompok Jabariyah yang di anggap moderat. Menurut paham Jabariayah yang moderat perbuatan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh Tuhan, tetapi manusia punya andil juga dalam mewujudkan perbuatannya seolah-olah ada kerja sama Tuhan dengan manusia dalam mewujudkan perbuatannya sehingga manusia tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatanya. Kalau dilihat dari pendapat diatas bahwa disatu sisi perbuatan manusia itu di tentukan oleh Tuhan dan disisi lain perbuatan manusia itu tidak sepenuhnya campur tangan Tuhan akan tetapi manusia juga punya andil untuk mewujudkan perbuatanya, dalam hal ini Asy’ari membantah pernyataan ini lewat argumentasinya.

Dalam faham Al-Jabariyah, terdapat dua kelompok,[16] yaitu ekstrim dan moderat, diantaranya ialah sebagai berikut:

a) Aliran ekstrin, di antara tokohnya ialah Jahm bin Shofwan berpendapat bahwa manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang leterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya, yaitu:

i. Surga dan Neraka tidak kekal[17], dan yang kekal hanya Allah;

ii. Iman, ma’rifat atau membenarkan dengan hati;

iii. Kalam Tuhan adalah Makhluk. Allah tidak serupa dengan manusia.

Dapat disimpulkan bahwa menurut faham ini manusia tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana yang dimilki oleh faham Qadariyah.

b) Aliran Moderat ialah Tuhan menciptakan perbuatan Manusia, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk, akan tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tokoh yang berfaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar mengatakan[18] bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akirat. Sedangkan Adh-Dhirar (tokoh lainnya) berpendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.[19]

4. Pandangan Asy’ariyah (ahli sunnah wal jama’ah)

Berbicara tentang aliran Asy’ari pada dasarnya merupakan pecahan dari aliran Mu’tazilah yang mendewakan akal, rasionalistis dan filosofis . Dimana Asy’ariyah menganut paham ini selama 40 tahun, namun setelah itu menyatakan dirinya keluar dan mengembangkan ajaran yang merupakan counter terhadap gagasan Mu’tazilah yang kemudian dikenal dengan Asy’ariyah. Pandangan Asy’ariyah mengenai perbuatan baik dan buruk, sungguh sangatlah berbeda dengan aliran-aliran yang lain, aliran ini sangat menolak keras bahwa perbuatan baik dan buruk yang berasal dari akal, Asy’ariyah mengemukakan argumentasinya untuk membenarkan atas konsep kebaikan dan keburukan yang berasal dari akal, yaitu jika akal yang menetukan kebaikan dan keburukan, maka tidak akan pernah perbuatan buruk itu menjadi baik. Oleh al-Asy’ari juga diartikan bahwa manusia tak bisa menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia supaya menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu.[20]

Page 32: Bab III Tahsin Dan Taqbih

Di dalam menyikapi masalah ini, sangatlah jelas bahwa kemampuan akal dalam menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan tidak memiliki independensi sama sekali, dan meyakini bahwa yang ada hanyalah baik dan buruk yang ditentukan agama. Dengan demikian perbuatan dikatakan baik menurut Asy’ariyah, apabila dihukumi oleh syariat adalah baik dan perbuatan dikatakan buruk, jika dikatakan oleh syariat ialah buruk . Kalau manusia dalam konteks ini tidak mampu mendeteksi dan menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan, bahkan yang menjadi syarat keutamaan suatu perbuatan tersebut adalah kebergantungannya pada perintah dan larangan Tuhan . Masalah perbuatan baik dan buruk yang dilakukan oleh manusia aliran Asy’ariyah berada pada posisi tengah antara aliran Jabariyah dengan Mu’tazilah. Menurut Mu’tazilah manusia itulah yang mengerjakan perbuatannya dengan sesuatu kekuasaan yang diberikan Tuhan kepadanya, begitu pula dengan Jabariyah manusia tidak berkuasa mengadakan atau menciptakan atau memperoleh sesuatu, bahkan ia ibarat bulu yang bergerak menurut arah angin yang meniupnya, maka datanglah Asy’ari yang mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh sesuatu perbuatan.[21]

Berdasarkan pendapat di atas Asy’ariyah juga mengatakan: "Akal tidak dapat menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan, dan kewajiban mengetahui yang baik dan yang buruk hanya diketahui lewat wahyu dan tidak dapat menentukan apakah suatu perbuatan mendatangkan pahala atau siksa . Dengan demikian kalau dianalisa pendapat Asy’ariyah perbuatan baik dan buruk dalam arti yang sebenarnya adalah yang bersifat syar’i (wahyu) bukan aqli, artinya suatu perbuatan hanya bisa dipandang baik, jika terdapat dalil syar’i yang menunjukkan bahwa perbuatan itu baik dan demikian pula suatu perbuatan hanya dapat dipandang buruk jika terdapat dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan itu buruk.[22]

Selain itu juga, dalam aliran ini berpendapat bahwa seorang yang melakukan dosa besar, tidaklah mengeluarkan si pelaku dari iman yaitu Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’[23]. Allah berfirman:

� عظيما � يغفر أن يشرك به£ ويغفر ما دون ذ�لك لمن يشاء, ومن يشرك� با الله£ فقد افترى إثما .إن� الله� ال

Artinya:

“sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari syirik itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah , maka sungguh ia telah berbuat dosa besar.” (An-Nisa’: 48)

Menurut Imam Asy’Ari[24] aliran ini berijma’ bahwasanya orang yang beriman kepada Allah SWT dan beriman kepada semua yang diserukan oleh Nabi SAW , maka suatu kemaksiatan tidak akan dapat mengeluarkannya dari keimanan dan tak ada yang bisa menghapus Imannya kecuali kekufuran.

5. Pandangan Al-Maturidi

Al-Maturidi menyebut bahwa kebebasan manusia dalam berbuat adalah kekuasaan yang diciptakan oleh manusia itu sendiri.. Mengenai soal kehendak, menurut al Maturidi manusialah yang menentukan pemakaiannya, baik untuk perilaku kebaikan maupun untuk perilaku kejahatan. Karena salah atau benarnya seseorang dalam memakai kemampuan dan kebebasannya maka manusia diberi hukuman atau upah. . Manusia tentu tidak dapat mengadakan pilihan, kalau ia tidak bebas, tetapi berada di bawah paksaan kemampuan yang lebih kuat dari dirinya. Di dalam

Page 33: Bab III Tahsin Dan Taqbih

pendapat aliran maturidilah, baik golongan Samarkand maupun golongan Buhhara kemauan manusia adalah sebenarnya kemauan Tuhan. Ini berarti bahwa perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Tuhan dan bukan atas kehendak manusia.

Dalam paham al Maturidi, mereka berpendapat bahwa kebebasan di sini bukanlah kebebasan untuk berbuat sesuatu yang tidak disukai Tuhan. Dengan perkataan lain kebebasan kehendak manusia hanya merupakan kebebasan dalam memilih antara apa yang disukai dan apa yang tak disukai Tuhan. Kebebasan serupa ini lebih kecil dari kebebasan dalam menentukan kehendak yang terdapat dalam aliran mu’tazilah.

Perbedaan lain yang terdapat pada paham al-Maturidi dan Mu’tazilah ialah bahwa daya untuk berbuat diciptakan tidak sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatan yang bersangkutan. Kemampuan yang demikian kelihatannya lebih kecil dari kemampuan yang ada pada paham mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam paham al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam paham dan persepsi mu’tazilah[25]. Meskipun Aliran ini mempunyai paham yang hampir sama dengan aliran Mu’tazilah dalam batasan iman. Bagi kaum Maturidiah, iman lebih dari sekedar tashdiq , iman adalah ma’rifat. Batasan iman yang demikian itu sejajar dengan pandangan aliran Maturidiah yang menyatakan bahwa akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk ciptaan Allah SWT. yang memiliki sifat kesempurnaan bila di bandingkan dengan makhluk lainnya dan sifat kesempurnaan itu menghasilkan beraneka ragam manfaat diambil oleh manusia sebagai khalifah di bumi, diantara sifat kesempurnaan yang di miliki oleh manusia ialah akal yang dapat digunakan untuk membuktikan kebenaran dari apa yang telah di turunkan oleh Allah SWT. Namun perlu di ingat bahwa peran akal sangatlah terbatas bila di bandingkan dengan wahyu karena itu sangatlah tidak rasional apabila manusia apabila manusia mendewakan akalnya bila dibandingakan dengan wahyu sebab dalam ajaran Islam dengan tegas dikatakan bahwa manusia itu diberikan ilmu pengetahuan melainkan sedikit .

Dalam masalah perbuatan baik dan buruk manusia merupakan kajian yang sangat sentral dalam dunia sejarah teologi Islam dimana semua aliran atau firqah memunculkan berbagai macam pendapat yang berbeda-beda yang dapat diambil sebagai landasan berfikir untuk memperkuat argumentasinya dalam upaya untuk memperkuat aliran-aliran mereka, namun dalam tulisan makalah ini hanya membahas sebagian aliran-aliran dari sekian banyak aliran yang berkembang dalam teologi Islam yang dapat diambil sebagai bahan perbandingan untuk mengkajinya lebih lanjut.

Adapun dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang menerangkan/ menjelaskan tentang perbuatan baik dan buruk oleh manusia seperti yang di jelaskan dalam QS. 3:120, QS.9:50, QS.7:164 dan QS.42:48.

Di antara aliran-aliran teologi Islam yang membahas tentang perbuatan baik dan buruk manusia ialah aliran Mu’tazilah, dimana aliran ini terkenal dengan pendapat rasionalnya, mereka mengatakan

Page 34: Bab III Tahsin Dan Taqbih

bahwa masalah perbuatan baik dan buruk manusia yang terkenal dengan perinsip keadilan sedangkan ajaran tentang keadilan ini terkait erat dengan dengan perbuatan manusia, jadi manusia menurut Mu’tazilah melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri tanpa campur tangan Tuhan . Kemudian Qadariyah mengatakan bahwa dalam masalah perbuatan baik dan buruk manusia, manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya dan mereka menolak adanya qada’ dan qadar. Menurut paham ini perbuatan manusia merupakan hasil usaha manusia itu sendiri dan bukan perbuatan Tuhan artinya manusia mempunyai kemampuan untuk mengerjakan dan meninggalkan suatu perbuatan tanpa campur tangan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Sementara jabariyah mengatakan bahwa manusia mewujudkan perbuatannya sendiri tanpa campur tangan Tuhan akan tetapai dalam paham aliran jabariayah maka manusia tidak berkuasa atas perbutannya, yang menetukan perbuatan itu adalah kehendak Allah. Sedangkan Asy’ariyah dalam menampilkan pendapatnya tentang perbuatan baik dan buruk ia berada pada posisi tengah mereka mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh sesuatu perbuatan .

Page 35: Bab III Tahsin Dan Taqbih

DAFTAR PUSTAKA

Ibn Taimiyyah Syaikh, 2008, Misteri Kebaikan Dan Keburukan, Bandung:Pustaka Hidayah

Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa/dan/Perbandingan (Cet. 5;Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia UI: Press, 1986),

Nasution, Harun;2010;teologi islam, aliran-aliran sejarah analisa perbandingan; Jakarta: UI Press, hlmn 104

Alkhumais, Muhammad bin abdurrahman;2006;Pokok-pokok Akidah salaf yang diikrarkan Imam syafi’i;Jakarta:Darul Haq

Ismail Abul Hasan al-Asy’ari, 1999, Prinsip-prinsip dasar Aliran-Aliran Theology Islam,Bandug:Pustaka Setia,

http://zullihi.blogspot.com/2010/01/perbuatan-baik-dan-buruk-menurut.html

http: //free will dan predestination. Htm

Bangunan Islam adalah bangunan yang sempurna dan utuh. Islam dibangun bukan hanya untuk pemeluknya tetapi juga rahmatan lil’alamin. Bangunan Islam yang sempurna janganlah dinodai oleh pemeluknya dengan menampilkan sebagian-sebagian dari norma-norma ajaran Islam. Kalau hal itu dilakukan maka akibatnya akan fatal, yaitu satu sisi akan menampilkan Islam yang garang, keras, terroris, karena ia mengedepankan ayat : ” Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”…Dan pada sisi yang lain menampilkan Islam dengan jalan liberal bahkan permisif sehingga tidak dapat membedakan mana muslim dan mana non muslim, mana yang berada pada jalan haq dan mana yang berada dalam kesesatan.Sebagai rahmatan lil alamin, Islam memiliki seperangkap alat untuk mengkomunikasikan dan mengejawantahkan ajarannya yang ditujukan bagi umat manusia secara keseluruhan yang di bangun atas dasar moral, etika, akhlak.Kata al-birr ( adalah satu dari sekian banyak kata yang merupakan ungkapan etika (البر�keagamaan dalam al-Qur’an. Jika etika dipahami sebagai teori tentang baik dan buruk, konsep etika keagamaan dalam al-Qur’an selain terekspresi melalui kata al-birr juga terekspresi melalui kata-kata salihat, ma ‘ruf, hasan, tayyib, dan halal. Semua kata ini mengandung makna baik (good). Lawannya adalah kata-kata fasad, munkar, sharr, sayyiah, khabith, haram, dan dosa yang mengandung makna buruk (bad). Kemudian, Fazlur Rahman berpendapat bahwa konsep kunci etika al-Qur’an terungkap dalam istilah-istilah iman. Islam, dan takwa.Kata al-birr memiliki makna yang strategis bagi upaya pengembangan kesalehan sosial dalam Islam. Hal ini dapat dilihat dari maknanya yang tidak saja berdimensi kebaikan vertikal (the act of rendering religious service to God), tetapi juga berdimensi horizontal (

Page 36: Bab III Tahsin Dan Taqbih

emphasis to justice and social life). Ungkapan haji mabrur yang sangat populer itu berasal dari kata al-birr. Tetapi, tampaknya kita jarang, bahkan mungkin tidak pernah mengidentifikasikan makna haji mabrur melalui makna al-birr, Oleh karena itu, wajar jika implementasi kesalehan sosial ibadah haji terasa kurang terwujud sebagaimana mestinya.Implementasi kesalehan sosial dengan menghayati makna al-birr dapat ditelusuri melalui makna kata tersebut sebagaimana terungkap dalam Q.S. al-Baqarah (II) ayat 177 sebagai berikut.Artinya :”Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.Kata al-birr terdapat dalam 6 surat, masing-masing da¬lam surat al-Baqarah (II) ayat 44, 177 dan 189, Ali-Imran (III) ayat 92, al-Maidah (V) ayat 2, dan al-Mujadilah (LVIII) ayat 9. Variasi-variasi yang lain dari kata ini, seperti barran (ا ( dan abrar ,( (تبروا ’tabarru ,) بر� terdapat dalam surat Al-Mumtahanah (LX) ayat 8, al-Tur (LII) ayat 28, Maryam (ابرار(XIX) ayat 5, al~Infithaar (LXXXH) ayat 13, at-Mutaffifin (LXXXIII) ayat 18 dan 22, dan surat al-Baqarah (II) ayat 224. Keseluruhannya berjumlah 18 ayat. Ke-18 ayat tersebut terdiri atas 7 kata al-birr yang terdapat dalam surat al-Baqarah (4 kata), surat Ali-Imran, al-Maidah, dan al-Mujadilah (masing-masing 1 kata); 2 kata tabarru yang terdapat dalam surat al-Baqarah (II) ayat 224 dan Al-Mumtahanah (LX) ayat 8; 2 kata barran ا yang ( (بر�terdapat dalam surat Maryam (XIX) ayat 14 dan 32; 6 kata abrar yang terdapat di surat Ali-Imran (III) ayat 193 dan 198, al-Infithaar (LXXXII) ayat 13, al-Mutaffifiin (LXXXIII) ayat 18 dan 22; dan kata bararah yang terdapat dalam surat ‘Abasa (LXXX) ayat 16.Al-birr berasal dari kata: - �را- ب يبر yang bermakna berbakti dan sopan, dan juga برbermakna taat, baik, dan be¬nar. Memahami secara tegas makna kata al-birr memang agak sulit. Tetapi, bukan berarti tidak dapat ditelusuri maknanya sama sekali. Bahkan, kata ini merupakan salah satu istilah moral al-Qur’an yang paling eksklusif. Sebab, banyak istilah lain dalam al-Qur’an yang memiliki makna baik, seperti hasan, khair, salihat, ma ‘ruf, dan tayyib. Namun, sekalipun memiliki makna yang hampir sama, semuanya mempunyai kekhasan sendiri-sendiri. Hal ini dapat dilihat dari sisi semantik ataupun konteks kalimat penggunaan kata-kata tersebut.Toshishiko Isutzu mengatakan bahwa kata al-birr terse¬but sangat variatif. Terjemahan kata ini dalam bahasa Inggris adalah piety (kesalehan), righteousness (kebajikan, kebenaran, keadilan), dan kindness (kebaikan). Kata ai-birr sangat mirip dengan kata salih, tetapi memiliki kekhasan makna pada dua unsur, yakni berbuat baik dan adil kepada sesama manusia dan ketaatan kepada Tuhan.Dari ayat 177 surat al-Baqarah ini kita dapat mengidentifikasi kekhasan makna al-birr, yaitu beriman kepada Allah, hari kemudian, para malaikat, kitab-kitab, para nabi, mendirikan salat, dan menunaikan zakat sebagai wujud ke¬baikan vertikal (kepada

Page 37: Bab III Tahsin Dan Taqbih

Allah). Sementara itu, sebagai ke-baikan horizontal (kepada sesama manusia) terwujud dalam perbuatan memberikan harta yang dicintai kepada kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang membutuhkan), orang yang meminta-minta, memerdekakan hamba sahaya, orang-orang yang sabar, baik da¬lam keadaan sempit, menderita, maupun dalam peperangan. Jika kita perhatikan ayat ini, makna al-birr memiliki implikasi teologis dan sosial yang sangat konkret. Implementasi kesalehan sosial al-Qur’an tergambar jelas dalam ayat ini. Dari ayat ini diperoleh gambaran ideal transformasi moral al-Qur’an bagi setiap muslim dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah kehidupan sosialnya. Bahkan selain ayat 177 dari surat al-Baqarah tersebut, beberapa ayat yang laia selalu mengaitkannya dengan makna yang berdimensi sosial atau kehidupan praktis manusia. Misalnya, dalam surat al-Baqarah ayat 189, Ali-Imran ayat 92, dan al Mursalat ayat 9.Kekhasan kata al-birr yang lain adalah adanya koneksi {hubungan) yang sangat eksplisit dengan kata taqwa. Hal ini dapat dilihat pada al-Baqarah ayat 177 dan 189, al-Maidah ayat 2, dan al-Fusyiyat ayat 9. Hubungan al-birr dan taqwa tidak dapat dipisahkan karena jika dicermati al~birr merupakan wujud konkret taqwa. Al-birr menjadi simbol orang-orang yang benar {alladhina sadaqu/true believers) dan muttaqin (truly “Godfearing”).Hubungan al~birr dengan infaq menjadi kekhasan berikutnya. Hal ini dapat dilihat dalam surat Ali-Imran ayat 92 sebagai berikut.Artinya- ” Kamu sekali-kali tidak sampai kepada keba¬jikan (yang sempurna), sebelum kamu menajkahkan sebagian harta yang kamu cintai dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”Kata al-birr juga terkait dengan perbuatan baik kepada kedua orang tua (Q.S. Maryam: 14 dan 32) dan keadilan (al~qist). Al-qist bersinonim dengan al-birr. Keduanya merupakan kata yang komprehensif bagi seluruh perbuatan yang didasari oleh cinta (love) dan kebajikan (righteousness) serta merupakan perbuatan yang distimulasi oleh rasa takwa.. Sebagaimana Isutzu, Pickthall juga mengartikannya dengan righteousness. Sementara itu, al-Qur ‘an dan Terjemahnya mengartikannya sebagai kebajikan.Setelah menyimak beberapa ayat al-Qur’an, ada ibrah yang sangat baik untuk kita ambil hikmahnya, yakni betapa kebajikan tidak diukur dengan simbol-simbol formal fisikal, seperti arah timur-barat dan perubahan cara masuk rumah setelah pulang ihram. Substansi kebajikan dalam al-Qur’an, yang menggunakan kata al-birr, terwujud dalam kebajikan ritual dan sosial. Dengan demikian, ada makna yang komprehensif dan integral antara dua dimensi, yaitu duniawi dan ukhrawi.Hikmah Iain dari makna al-birr adalah beberapa aspek sosial moral yang begitu integral bagi ibadah dalam Islam. Tampaknya ini menjadi tugas kita untuk mengubah orientasi ibadah, yang selama ini memiliki orientasi eskatologis ke arah yang lebih konkret empiris pada pembentukan tatanan sosial yang bermoral. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Fazlur Rahman bahwa tujuan pokok (the basic elan) al-Qur’an adalah membentuk tata sosial yang bermoral. Ibadah ritual, seperti salat, zakat, puasa, dan haji dilakukan untuk membentuk moral, bukan sekadar untuk cari pahala. Oleh karena itu, sangat ironis ketika seseorang yang telah menjalankan salat, zakat, puasa, dan haji masih me¬miliki penampilan moral yang tidak terpuji di tengah-tengah kehidupan sosialnya. Lebih parah lagi jika orang ter¬sebut berani mengandalkan jumlah pahala yang akan diterimanya di akhirat kelak dengan ibadahnya itu.

Page 38: Bab III Tahsin Dan Taqbih

Dengan memahami makna al-birr ini pula kita akan memahami nilai-nilai ajaran al-Qur ‘an yang substanstif, bebas dari simbol-simbol formal. Pemahaman substantif akan lebih bermakna dalam membentuk komunitas muslim yang berkualitas daripada muslim yang hanya mementingkan simbol dan ibadah-ibadah formal yang tidak memberi bekas pada pelakunya. Dengan demikian, Islam akan lebih diamalkan dalam berbagai situasi. Berbeda dengan kecenderungan verbalistik yang relatif kurang akomodatif terhadap budaya, pemahaman substansi akan lebih akomodatif dan lebih fleksibel dalam mengamalkan ajaran al-Qur’an ketika berhadapan dengan situasi budaya yang makin kompleks. Demikian juga implikasi politik yang akan terjadi, jika orientasi moral mampu tercipta melalui pemahaman makna al-birr sehingga dapat membentuk komunitas bermoral yang akan mampu menampilkan nilai-nilai al-Qur’an dalam budaya masyarakat. Dari sini tujuan-tujuan politik akan dapat dicapai secara hakiki daripada capaian politik yang hanya terekspresi dalam simbol-simbol formal, yang seringkali hanyalah pencapaian politik semu (Zaenul Arifin dan Komarudin, 2002).