bab iii kerusak formasi

52
BAB III DASAR-DASAR TEKNIK PRODUKSI DAN KERUSAKAN FORMASI 3.1. Produktivitas Formasi Produktivitas formasi merupakan kemampuan suatu formasi untuk mengalirkan fluida pada kondisi tertentu. Pada umumnya sumur- sumur yang baru diketemukan mempunyai tenaga pendorong alamiah yang mampu mengalirkan fluida hidrokarbon dari reservoir kepermukaan dengan tenaganya sendiri. 3.1.1. Aliran Fluida Dalam Media Berpori Fluida yang mengalir dari formasi produktif ke lubang sumur dipengaruhi oleh bebrapa faktor, yaitu sebagai berikut : 1. Jumlah fasa yang mengalir. 2. Sifat fisik fluida reservoir 3. Sifat fisik batuan reservoir. 4. Konfigurasi disekitar lubang bor, yaitu adanya lubang perforasi, skin, gravelpack, dan rekahan hasil perekahan hdrolik. 5. Kemiringan lubang sumur pada formasi produktif 6. Bentuk daerah pengurasan.

Upload: rahman-el-hasyim-el-diaz-el-shirazy

Post on 29-Nov-2015

59 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

TA Formation DamageIts very usefull draft Final Project for undergraduated Petroleum Engineering for school and study. lets check it out

TRANSCRIPT

BAB III

DASAR-DASAR TEKNIK PRODUKSI DAN KERUSAKAN FORMASI

3.1. Produktivitas Formasi

Produktivitas formasi merupakan kemampuan suatu formasi untuk

mengalirkan fluida pada kondisi tertentu. Pada umumnya sumur- sumur yang baru

diketemukan mempunyai tenaga pendorong alamiah yang mampu mengalirkan

fluida hidrokarbon dari reservoir kepermukaan dengan tenaganya sendiri.

3.1.1. Aliran Fluida Dalam Media Berpori

Fluida yang mengalir dari formasi produktif ke lubang sumur

dipengaruhi oleh bebrapa faktor, yaitu sebagai berikut :

1. Jumlah fasa yang mengalir.

2. Sifat fisik fluida reservoir

3. Sifat fisik batuan reservoir.

4. Konfigurasi disekitar lubang bor, yaitu adanya lubang perforasi, skin,

gravelpack, dan rekahan hasil perekahan hdrolik.

5. Kemiringan lubang sumur pada formasi produktif

6. Bentuk daerah pengurasan.

Keenam faktor tersebut di atas secara ideal harus diwakili dalam setiap

persamaan perhitungan kelakuan aliran fluida dari formasi masuk ke lubang

sumur. Tetapi hingga saat ini belum tersedia suatu persamaan yang praktis untuk

memperhitungkan keenam faktor di atas Sampai saat ini tersedia banyak

persamaan untuk memperkirakan kelakuaan aliran fluida dari formasi ke lubang

sumur, dimana masing-masing persamaan mempunyai anggapan-anggapan

tertentu sesuai dengan teknik pengembangannya. Jadi perlu diperhatikan tentang

anggapan-anggapan tersebut sebelum menggunakan suatu persamaan pada suatu

sumur.

Aliran fluida dalam media berpori telah dikemukakan oleh Darcy dalam

persamaan (2-13). Persamaan tesebut selanjutnya dikembangkan untuk kondisi

aliran radial, dimana dalam satuan lapangan persamaan tersebut berbentuk :

…… ……...…………………….. (3-

1)

dimana :

q = laju produksi, STB/hari

k = permeabilitas efektif minyak, md

h = ketebalan formasi produktif, ft

Pe = tekanan formasi pada jarak re dari sumur, psi

Pwf = tekanan alir dasar sumur, psi.

o = viskositas, cp

Bo = faktor volume formasi, BBL/STB

re = jari-jari pengurasan sumur, ft

rw = jari-jari sumur, ft

Persyaratan yang harus dipenuhi untuk menggunakan persamaan (3-

1)

tersebut adalah :

1. Fluida berfasa tunggal

2. Aliran mantap (steady state)

3. Formasi homogen dan arah alirannya horisontal

4. Fluida incompressible.

Dengan demikian apabila variabel-variabel dari persmaa (3-1)

diketahui, maka laju produksi sumur dapat ditentukan.

3.1.2. Productivity Index

Productivity Index (PI) adalah indeks yang digunakan untuk

menyatakan kemampuan produksi dari suatu sumur pada kondisi tertentu, dimana

PI juga merupakan perbandingan antara laju produksi yang dihasilkan oleh suatu

sumur pada suatu harga tekanan aliran dasar sumur tertentu dengan pressure

drawdown, yaitu selisih antara tekanan statik dasar sumur (Ps) dan tekanan alir

dasar sumur (Pwf), yang secara matematis dapat dituliskan :

J = .............................................………... (3-2)

Dimana :

q = laju produksi, bbl/day

Ps = tekanan statik , psi

Pwf = tekanan alir dasar sumur, psi

Dengan melakukan subtitusi persamaan (3-1) kedalam persamaan (3-2),

maka J dapat pula ditentukan berdasarkan sifat-sifat fisik fluida reservoir, batuan

reservoir, serta geometri sumur dan reservoir, yaitu :

.…………………………………....(3-

3)

Tentunya penggunaan persamaan (3-3) tersebut harus memperhatikan persyaratan

yang harus dipenuhi dalam persmaan (3-1).

Persyaratan pesamaan (3-2) tidak selalu dipenuhi, misalkan yang paling

sering ditemui dalam praktek adalah adanya gas dalam aliran tersbut. Hal ini akan

dijumpai apabila tekanan reservoir dibawah tekanan buble point minyak. Pada

kondisi ini J tidak dapat ditentukan dengan persmaan (3-2) maupun (3-3), dan

haraga J untuk setiap harga Pwf tertentu tidak sama dan selalu berubah.

Sehubungan dengan perubahan tersebut, maka persamaan J diperluas menjadi :

. ………………………………………………………….(3-4)

Persyaratan berfasa tunggal untuk persamaan (3-2) dapat pula tidak

terpenuhi apabila dalam aliran fluida tersebut terdapat air formasi. Tetapi dalam

praktek, keadaan ini masih dapat dianggap berfasa satu, sehingga persmaan (3-2)

dapat lebih diperjelas dengan memasukkan laju produksi air kedalam persamaan

tersebut :

……………………………………………………….(3-5)

Sesuai dengan persamaan Darcy persmaan (3-1) dan persmaan (3-5) dapat ditulis

kembali dalam bentuk :

……..……..…………..(3-6)

Pada beberapa sumur harga J tetap konstan untuk laju aliran yang

bervariasi, tetapi pada sumur lain untuk laju aliran yang besar harga J tidak

konstan melainkan menurun. Hal ini disebabkan oleh aliran turbulen sebagai

akibat naiknya laju produksi, turunnya permeabilitas akibat terbentuknya gas

bebas karena turrunnya tekanan sumur, turunnya tekanan di bawah Pb

menyebabkan viskositas minyak naik, dan berkurangnya permeabilitas akibat

adanya kompresibilitas batuan.

3.1.3. Inflow Performance Relationship

Indeks produktivitas yang diperoleh dari hasil tes maupun dari

perkiraan, hanya merupakan gambaran secara kualitatif mengenai kemampuan

sumur untuk berproduksi. Dalam kaitannya dengan perencanaan suatu sumur,

ataupun untuk melihat kelakuan suatu sumur untuk berproduksi, maka harga J

tersebut dapat dinayatakan secara grafis, yang disebut dengan grafik kurva IPR.

Berdasarkan definisi J pada persamaan (3-2), untuk suatu saat tertentu dimana Ps

konstan dan J juga konstan, maka variabelnya adalah laju produksi (q) dan

tekanan aliran dasar sumur (Pwf). Persamaan (3-2) dapat diubah menjadi :

……..………………………………..………………… (3-7)

Berdasarkan anggapan di atas, maka garis dari persmaan (3-2) adalah merupakan

garis lurus (Gambar 3.1).

Titik A adalah harga Pwf pada saat q = 0, dan sesuai dengan persmaan

(3-7), maka Pwf = Ps. Sedangkan titik B adalah harga q pada saat Pwf = 0, dan

sesuai dengan persamaan (3-7), maka q = J x Ps , dan harga laju produksi ini

merupakan harga laju produksi maksimum. Harga laju produksi maksimum ini

disebut sebagai potensial sumur, dan merupakan batas laju produksi yang

diperbolehkan dari suatu sumur. Apabila sudut OAB adalah , maka :

….………………………...……………….(3-8)

Dengan demikian J menyatakan 1/kemiringan dari garis kurva IPR.

Gambar 3.1.Kurva IPR Linier4)

Bentuk dari IPR akan linier bila fluida yang mengalir satu fasa, Muskat

menyatakan apabila yang mengalir dalah fluida dua fasa (minyak dan gas), maka

bentuk kurva IPR membentuk kelengkungan (Gambar.3.2) dan harga J tidak lagi

merupakan harga yang konstan, karena kemiringan garis IPR akan berubah secara

kontinyu untuk setiap harga Pwf. Dalam hal ini persamaan (3-2) tidak lagi berlaku,

dan secara umum definisi yang tepat adalah persamaan (3-4). Berdasarkan

pengamatan yang dilakukan oleh vogel terhadap sumur-sumur yang berproduksi

dari reservoir solution gas drive, maka diperoleh suatu hasil disebut

“dimensionless IPR”. Grafik IPR tak berdimensi tersebut dapat dinyatakan dalam

bentuk persmaan :

……………..….………………..(3-9)

Persamaan diatas hanya dapat digunakan untuk Pwf yang lebih kecil dari Pb

Sedangkan bila Ps diatas Pb maka sebagian dari kurva IPR merupakan garis lurus

dan selanjutnya melengkung.

Gambar.3.2Kurva IPR tidak Linear4)

Untuk bagian yang tidak linear, maka persamaan kurva IPR adalah

sebagai berikut :

……………………………(3-10)

dimana :

qo = rate rpoduksi minyak, bbl/hari

qmax = rate produksi mkasimum pada Pwf=0, BOPD

qb = rate produksi pada saat Pwf= Pb, bbl/hari

Pwf = tekanan alir dasar sumur, psi

Pb = tekanan bubble point, psi.

3.2. Problem Kerusakan formasi

Kerusakan formasi merupakan permasalahan yang serius pada sumur,

khususnya sumur-sumur dengan permeabilitas yang rendah.

Penyebab utama timbulnya kerusakan formasi pada sumur adalah adanya

kontak antara formasi dengan fluida dari luar, dimana fluida ini dapat berupa :

fluida injeksi, lumpur pemboran, fluida kerja ulang, fluida untuk proses stimulasi

(treatment fluid), atau juga fluida formasi itu sendiri jika ternyata karakteristik

reservoir tesebut telah berubah.

3.2.1. Kerusakan Sebelum Tahap Produksi

Aktivitas yang dapat menimbulkan kerusakan pada formasi sebelum

sumur memasuki tahap produksi antara lain adalah operasi pemboran,

penyemenan dan komplesi/perforasi.

Pada tahap ini, kerusakan terjadi karena adanya pengaruh invasi dari filtrat

dan invasi partikel padat yang masuk ke pori-pori batuan formasi di sekitar lubang

sumur.

3.2.1.1. Pengaruh Invasi Filtrat Fluida

Invasi filtrat yang terjadi berasal dari fluida yang digunakan pada operasi

seperti pemboran, penyemenan dan fluida komplesi.

Sebab-sebab invasi cairan :

Kelemahan dari formasi tertentu untuk terjadinya kerusakan oleh fluida

asing besarnya tergantung pada kandungan material solid/ padatan di dalamnya,

terutama kandungan claynya. Sebagai contoh formasi “dirty sand” yang

mempunyai kandungan clay tinggi pada umumnya bersifat sangat sensitif

terhadap adanya filtrat dari fresh water base yang digunakan pada saat operasi

pemboran sehingga timbul hidrasi dan swelling pada partikel-partikel clay.

Adanya invasi fluida asing juga akan mengendapkan padatan-padatan

sepertigaram-garam yang tidak dapat larut, aspalth atau lilin (wax).

Proses invasi filtrat dalam pemboran terjadi dalam dua fase, yaitu :

a. Dynamic Filtration

Yaitu proses invasi filtrat yang terjadi pada kondisi dinamik di mana

terdapat sirkulasi fluida pemboran dan rotasi rangkaian pipa. Filtrasi pada kondisi

ini paling besar yaitu 70%-90% volume filtratnya, karena pembentukan kerak

lumpur (mud cake) akan hilang akibat adanya erosi dari aliran sirkulasi fluida.

Saat permukaan batuan terlihat untuk pertama kalinya, laju filtrasi akan

sangat tinggi dan kerak lumpur terbentuk dengan cepat. Setelah beberapa waktu

setelah kerak lumpur cukup tebal, filtrasi semakin berkurang dan pembentukan

kerak lumpur berikutnya akan konstan.

b. Static Filtration

Proses filtrasi terjadi dalam kondisi static di mana tidak terdapat sirkulasi

fluida pemboran dan rotasi rangkaian pipa bor. Pada kondisi ini kerak lumpur

terbentuk sempurna sehingga invasi filtrat berikutnya menjadi lebih sedikit.

Filtrasi yang dihasilkan pada kondisi statik relatif lebih kecil dibandingkan pada

kondisi dinamik.

Sementara pada operasi penyemenan , invasi filtrat berasal dari bubur

semen yang digunakan untuk menempelkan casing dengan dinding sumur.

Kelebihan kadar air dalam bubur semen akan menyebabkan invasi filtrat kedalam

formasi semakin banyak pada saat semen kering. Kadar air yang berlebihan

menyebabkan rendahnya viscositas semen dan meskipun memudahkan dalam

pemompaan semen kedalam sumur, tetapi hasilnya kurang baik ditinjau dari segi

kekuatan semen serta mempunyai daya hambat yang rendah.

Dan pada operasi komplesi dan perforasi, proses filtrasi berasal dari fluida

komplesi yang digunakan, kompaksi/penyumbatan akibat operasi perforasi.

Filtrat fluida yang terinvasi ke dalam formasi dapat menimbulkan

pengaruh negatif yang merugikan antara lain:

Pengembangan lempung (clay swelling)

Invasi filtrat kedalam formasi menyebabkan lempung yang ada di formasi

mengembang beberapa kali lipat volumenya, sehingga menimbulkan

penyumbatan pori-pori batuan disekitar sumur.

Water Block

Invasi filtrat yang terus terjadi sebelum tahap produksi akan menyebabkan

harga saturasi air di sekitar lubang sumur meningkat. Dan setelah memasuki

tahap produksi kondisi ini akan menyebabkan aliran minyak ke lubang sumur

terhalang.

Emulsi

Emulsi antara lain terbentuk karena bertemunya dua macam fluida yang dalam

kondisi normal tidak dapat bercampur, dalam hal ini minyak dengan filtrat

fluida. Dengan bertambahnya filtrat akan mendorong emulsi yang sudah ada

semakin jauh dari lubang sumur, sehingga memasuki tahap produksi dapat

menghalangi aliran minyak ke lubang sumur.

Perubahan sifat kebasahan (wettabilitas) batuan.

Kandungan bahan-bahan kimiawi yang ada dalam fluida filtrat seperti

surfactant, dapat menyebabkan terjadinya perubahan sifat kebasahan batuan.

Perubahan sifat kebasahan ini menyebabkan aliran air menjadi lebih mudah

dan sebaliknya minyak menjadi lebih sulit sehingga pada akhirnya akan

menyebabkan produksi air akan meningkat.

Pembentukan endapan scale

Sebelum tahap produksi, endapan scale cendrung terbentuk akibat bertemunya

dua jenis air yang mempunyai kandungan ion yang berbeda. Ion-ion ini akan

bereaksi dan membentuk endapan scale

3.2.1.2. Pengrauh Invasi Partikel Padat

Invasi partikel padat dapat berasal dari material fluida pemboran, bubur

semen, fluida komplesi maupun dari serbuk bor (cutting) yang berukuran sangat

halus. Jenis invasi partikel padat tersebut adalah :

a. Plugging yang berhubungan dengan padatan

Plugging atau sumbatan karena padatan terjadi pada permukaan dari formasi

di lubang perforasi atau di formasinya sendiri. Sedangkan padatan tersebut

dapat berupa material pemberat lumpur bor, material pencegah hilang

sirkulasi, partikel semen pemboran, atau juga cutting dari proses perforasi.

b. Fine migration

Fine migration atau butiran halus yang bergerak dapat terjadi karena penyebab

tersebut di atas. Pada formasi batupasir yang mempunyai kandungan mineral

clay dalam komposisi kimia batuannya, maka butiran halus yang bergerak ini

dapat berasal dari mineral-mineral penyusun clay seperti kaolinit, illit,

smectite maupun chlorite. Timbulnya migrasi clay tersebut akibat terjadi

kontak antara fluida formasi dengan fluida dari luar seperti yang telah

disebutkan diatas, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan salinitas dan

pH air di sekitar clay yang berakibat keseimbangan mineral-mineral clay

dalam batuan formasi terganggu yang mana akan menyebabkan timbulnya

penyumbatan pori-pori batuan (pore filling), swelling, pore lining atau grain

coating sehingga permeabilitas batuan menurun.

3.2.2. Kerusakan Formasi Selama Tahap Produksi

Setelah sumur memasuki tahap produksi, kerusakan disebabkan karena

adanya penyumbatan baik di dalam pori-pori batuan maupun di peralatan bawah

permukaan seperti tubing dan casing.

Penyumbatan yang disebabkan karena terjadinya pengendapan inorganic

yaitu scale, dan pengendapan organic seperti parafin dan asphalt di sekitar lubang

sumur.

3.2.2.1. Endapan Scale

Scale merupakan kristalisasi dan pengendapan mineral yang berasal dari

hasil reaksi ion-ion yang terkandung dalam air formasi. Pengendapan dapat terjadi

di dalam pori-pori batuan formasi, lubang sumur bahkan peralatan permukaan.

1. Penyebab terbentuknya endapan scale antara lain :

a. Bercampurnya dua jenis air yang berbeda

Dua jenis air yang sebenarnya tidak mempunyai kecenderungan untuk

membentuk scale, bila bercampur kemungkinan membentuk suatu komponen

yang tidak larut. Contoh yang umum adalah pencampuran antara air injeksi

dengan air formasi di bawah sumur, dimana yang satu mempunyai kelarutan

garam-garam barium yang tinggi, sedangkan yang lainnya mengandung

larutan sulfate.

Pencampuran ini akan mengakibatkan pembentukan endapan barium sulfate

(BaSO4) yang dapat menyumbat dan sulit untuk dibersihkan. Endapan

carbonate dan sulfate akan menjadi lebih keras dan makin bertambah apabila

larutan mineralnya dalam keadaan bersentuhan (kontak) dengan permukaan

dalam waktu yang lama.

b. Penurunan Tekanan

Pada saat air formasi mengalir dari reservoir menuju lubang sumur, maka akan

terjadi penurunan tekanan. Penurunan tekanan ini dapat pula terjadi dari dasar

sumur ke permukaan dari well head ke tanki pengumpul. Penurunan tekanan

ini akan menyebabkan terlepasnya CO2 dan ion bikarbonat (HCO3-) dari

larutan.

Dengan terbebaskannya gas CO2 , sehingga akan menyebabkan berkurangnya

kelarutan CaCO3. Hal ini berarti penurunan tekanan pada suatu sistem akan

menyebabkan meningkatnya kemungkinan terbentuknya scale CaCO3.

c. Perubahan Temperatur

Pada saat terjadi perubahan (kenaikan) temperatur, maka akan terjadi

penguapan, sehingga terjadi perubahan kelarutan, dan hal ini akan

mengakibatkan terjadinya pembentukan scale. Temperatur mempunyai

pengaruh pada pembentukan semua tipe scale, karena kelarutan suatu senyawa

kimia sangat tergantung pada temperatur. Misalnya kelarutan CaCO3 akan

berkurang dengan kenaikan temperatur dan kemungkinan terbentuknya scale

CaCO3 semakin besar.

2. Mekanisme Terbentuknya Scale

a. Makin besar pH

Makin besar pH cairan, maka akan mempercepat terbentuknya scale. Scale

biasanya terbentuk pada kondisi basa (pH > 7).

b. Terjadinya agitasi (pengadukan)

Pengadukan atau goncangan akan mempercepat terbentuknya endapan scale.

Scale biasanya terbentuk pada tempat dimana faktor turbulensi besar, seperti

sambungan pipa, valve dan daerah-daerah penyempitan aliran.

c. Kelarutan zat padat

Kelarutan zat padat yang dikandung oleh air sangat berperan dalam

pembentukan scale, sebab bila kelarutan zat padat rendah atau kecil, maka

kemungkinan untuk terbentuknya scale akan semakin besar.

3. Jenis-jenis scale yang terjadi antara lain :

Scale Calcium Sulfate (CaSO4)

Scale Calcium Sulfate terbentuk dari reaksi ion calcium dan ion sulfat

reaksinya sebasgai berikut :

Ca++ + SO4= → CaSO4

Scale Barium Sulfate (BaSO4)

Scale Barium Sulfate dibentuk oleh kombinasi ion Ba++ dan ion SO4=

dengan reaksi sebagai berikut :

Ba++ + SO4= → BaSO4

Scale Kalsium Karbonate (CaCO3)

Scale ini terbentuk dari kombinasi ion kalsium dan ion karbonat atau

bicarbonate, sesuai dengan reaksi :

Ca++ + CO3= → CaCO3

Ca++ + 2(HCO3) → CaCO3 + CO2 + H2O

Perubahan kesetimbangan kimia ini menyebabkan terbentuknya scale

yang dapat menghambat atau menutup pori-pori batuan.

4. Identifikasi Problem Scale

Untuk menentukan kemungkinan terbentuknya scale dapat digunakan

beberapa metode perhitungan, yaitu dengan menentukan nilai Stability Index atau

Scaling Index. Metode yang digunakan adalah Metode Stiff dan Davis.

Metode ini menggunakan parameter ionic strength atau biasa disebut

dengan kekuatan ion () sebagai koreksi terhadap total konsentrasi garam dan

temperatur. Stiff dan Davis menggunakan persamaan berikut :

SI = pH - pHs ……………………………….... (3-11)

pHs = K + pCa + pAlk …………………………...…… (3-12)

Jika Persamaan 3-12 disubstitusikan ke Persamaan 3-11, maka akan dihasilkan

persamaan berikut :

SI = pH - K + pCa + pAlk …………………………... (3-13)

Di mana :

SI = indeks stabilitas scale

pH = pH air sebenarnya

pHs = nilai pH di mana air akan tersaturasi dengan CaCO3

K = konstanta, fungsi dari kadar garam, konsentrasi dan temperatur

pCa = konversi ppm Ca, meg/l

= - ........... ……………….. (3-14)

pAlk = konversi ppm alkalinitas, meg/l

= - ............…….. (3-15)

Total alkalinitas = (CO3-2) + (HCO3-) …...………….. (3-16)

Untuk mengetahui harga K dapat diperoleh dari Gambar 3.3 mengenai

korelasi antara ionic strength dan K pada temperatur yang berbeda-beda. Dan

harga pCa dan pAlk dapat ditentukan dari Gambar 3.4.

Jika nilai SI yang diperoleh berharga positif, maka air cenderung

menimbulkan scale, sementara jika berharga negatif maka air berada di bawah

saturasi CaCO3 dan tidak akan terbentuk scale, tetapi akan bersifat korosif.

Adanya garam yang berbeda-beda akan mempengaruhi harga K yang diperoleh.

Dalam air tawar, efek ini dapat diabaikan, tetapi dalam air formasi haruslah

diperhitungkan karena hal ini akan mempengaruhi hasil perhitungan.

Untuk menanggulangi perolehan data yang kurang akurat maka dilakukan

koreksi dengan mensubstitusikan harga tenaga ion atau ionic strength dengan

menggunakan persamaan berikut :

……..……………………... (3-

17)

di mana :

= kekuatan ion (ionic strenth)

C = konsentrasi ion (mol/1000 gr air)

Z = valensi ion.

Gambar 3.3.Harga Konstanta K pada Berbagai Temperatur1)

Harga pCa dan pAlk selain dari grafik dapat pula dengan menggunakan

persamaan berikut :

………………….... (3-18)

…………………… (3-19)

Dalam membuat perhitungan daya larut CaCO3 menurut metode ini harus

diketahui pH, temperatur air dan konsentrasi ion-ion Na+, Ca+2, Mg+2, Cl-, CO3-2,

HCO3- dan SO4

-2.

Gambar 3.4Grafik untuk Menentukan Harga pCa dan pAlk1)

Jadi untuk menghitung Stability Index CaCO3, menurut metode ini harus

diketahui data-data dari konsentrasi ion-ion yang terkandung di dalam air formasi,

pH air dan temperatur.

Dari hasil perhitungan dapat ditentukan :

SI > 0 : air sangat jenuh dengan CaCO3 sehingga scale terbentuk.

SI = 0 : air berada pada titik jenuh.

SI < 0 : air tidak jenuh dan scale CaCO3 tidak mungkin terbentuk.

Hasil yang didapat dari Persamaan (3-13) hanya digunakan sebagai

indikator keberadaan endapan scale. Kelarutan ini secara alamiah dianalisa

dengan menggunakan diagram Stiff. Dalam diagram Stiff ini dibagi dua bagian

yaitu : bagian kiri digunakan untuk memplot konsentrasi kation dan bagian kanan

digunakan untuk memplot konsentrasi anion. Hubungan ini dapat ditunjukkan

dalam Gambar 3.5.

Gambar 3.5.Contoh Hasil Analisa Air Formasi Menggunakan Diagram Stiff 1)

Air yang mengandung CO2 dalam bentuk apapun cenderung membentuk

kerak atau korosi, tergantung pada pH dan temperatur. Hal ini dapat diketahui dari

indeks stabilitas CO2 yang terdapat dalam air sebagai asam arang (H2CO3),

bikarbonat (HCO3) atau karonat (CO3). Jika air terlalu jenuh CO2, maka asam

arang didapati terlarut dalam air. Sedangkan bikarbonat akan didapat dalam air

jika kondisi air mempunyai pH berkisar antara 8,5 - 11.

4. Cara Mencegah Terbentuknya Scale

Menghindari tercampurnya air yang incompatible (tidak boleh campur)

Mengubah komposisi air dengan water dilution (pengencer air ) atau

mengontrol pH

Menghilangkan zat pembentuk scale

Penambahan scale control chemical

5. Cara Mengatasi Problem Scale

Penambahan larutan EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetic)

Acidizing (Penambahan larutan HCl atau HCl:HF )

3.2.2.2. Endapan Parafin

Parafin adalah unsur-unsur pokok yang banyak terkandung dalam minyak

mentah. Jenis kerusakan akibat endapan organik ini umumnya disebabkan oleh

perubahan komposisi hidrokarbon , kandungan wax (lilin) di dalam crude oil,

turunnya temperatur dan tekanan, sehingga minyak makin mengental

(pengendapan parafinik) dan menutup pori-pori batuan. Secara umum rumus

parafin adalah CnH2n+2.

Endapan parafin yang terbentuk merupakan suatu pesenyawaan

hidrokarbon dan hidrogen antara C18H38 hingga C38H78 yang bercampur dengan

material organik dan inorganik lain.

Kelarutan parafin dalam crude oil tergantung pada komposisi kimia

minyak dan temperatur. Pengendapan akan terjadi jika permukaan temperaturnya

lebih rendah daripada crude oil. Viskositas crude oil akan meningkat dengan

adanya kristal parafin dan jika temperatur terus turun crude oil akan menjadi

sangat kental. Temperatur terendah dimana minyak masih dapat mengalir disebut

titik tuang (pour point).

Gambar .3.6. merupakan model dari endapan parafin.

Gambar 3.6.

Pengaruh dari Kristal Modifier pada ndapan Parafin 1)

1. Secara rinci penyebab utamanya adalah :

Turunnya tekanan reservoir

Hilangnya fraksi ringan minyak

Pemindahan panas dari minyak ke dinding pipa dan diteruskan ke tempat

sekitarnya.

Aliran cairan yang tidak tetap dan tidak merata.

Adanya partikel lain yang menjadi inti pengendapan.

Kecepatan aliran dan kekasaran dinding pipa.

Terhentinya aliran fluida

2. Problem endapan organik ini dapat terjadi pada daerah :

Sepanjang zona perforasi

Pada tubing

Flow line

Separator

Di stock tank

3. Cara mengatasi problem parafin

Mekanik (diresrvoir : hydroulic fracturing, di tubing dengan alat scraper

dan cutter dan di flowline dengan alat pigging )

Kombinasi dengan pemakaian solvent (kerosen, kondensate, dan minyak

diesel) dengan cara pemanasan (pemakaian heater treater, steam

stimulation atau thermal recovery seperti injeksi uap)

Pemakaian larutan air + calcium carbide atau acethylene

Acidizing

3.2.2.3. Endapan Asphalt

Fraksi asphalt dalam crude oil didefinisikan sebagai bagian yang

mengendap oleh penambahan pelarut parafin dengan titik didih dan berat molekul

rendah, seperti n-nepthane. Asphalt biasanya terdiri dari molekul kondensat

aromatic dan napthaneic dengan berat molekul berkisar antara beberapa ratus

hingga beberapa ribu. Asphalt juga mengandung sejumlah oksigen, nitrogen dan

sulfur. Material asphalt biasanya lebih merupakan disperse koloid daripada dalam

bentuk larutan. Koloid akan menjadi ganda dengan adanya disperse partikel-

partikel kecil dipermukaan. Resin yang dikenal sebagai malten secara struktur

sama dengan material paraffin, tetapi berat molekulnya lebih rendah.

Partikel asphalt yang terdispersi dapat berukuran sangat kecil dengan

diameter kurang dari 6 nm. Partikel-partikel ini dilewatkan melalui saluran pori

dan jika dalam bentuk disperse asphalt tidak menimbulkan kerusakan pada

formasi. Tetapi dengan adanya resin dipermukaan asphalt yang bercampur dengan

parafin rungan (berat molekul rendah), air, asam atau CO2 dapat menyebabkan

penggumpalan partikel yang makin besar, dan inilah yang dapat menimbulkan

penyumbatan pada pori-pori formasi.

Jika crude oil yang mengandung asphalt kontak dengan asam, maka akan

terbentuk lapisan film yang kaku di permukaan bidang antar minyak-air. Lapisan

ini dapat menjadikan emulsi yang terbentuk stabil.

Penggumpalan asphalt biasanya terjadi disekitar lubang sumur yang terjadi

jika gas alam bercampur dengan crude oil yang berasal dari reservoir yang

berbeda. Temperatur juga mempengaruhi terjadinya penggumpalan asphalt.

Kedua faktor (endapan inorganik dan organik) ini akan menghambat

aliran fluida reservoir ke sumur produksi dan membentuk daerah kerusakan atau

“zona damage”. Penurunan produksi dari sumur minyak tergantung dari

banyaknya dan tempat di mana endapan tersebut terdapat

3.3. Analisa Kerusakan Formasi

Untuk mengidentifikasi adanya indikasi kerusakan pada formasi dapat

dilakukan dengan uji sumur dengan menggunakan beberapa cara yang ada, seperti

Drill Stem Test (DST), Pressure Test, Rate Test dan lain lain. Di sini hanya akan

dibahas mengenai Pressure Test dan Rate Test.

3.3.1. Pressure Test

Prinsipnya adalah mengukur perubahan tekanan terhadap waktu selama

perioda penutupan atau pada perioda pengaliran. Penutupan sumur dimaksudkan

untuk mendapatkan keseimbangan tekanan diseluruh reservoir, perioda

pengaliran dilakukan sebelum atau sesudah perioda penutupan dengan laju

konstan.

Parameter yang diukur adalah tekanan statik (Pws), tekanan aliran dasar

sumur (Pwf), tekanan awal reservoir (Pi), skin factor (S), permeabilitas rata-rata

(k), volume pengurasan (Vd) dan radius pengurasan (re). Sedangkan metoda

pressure test yang umum ada dua macam, yaitu: "Pressure Build-Up" dan

“Pressure Draw-down".

3.3.1.1. Analisa Pressure Build-Up Test

Pressure Build-Up (PBU) test adalah suatu teknik pengujian transien

tekanan yang paling banyak dikenal dan dilakukan. Pada dasarnya pengujian

dilakukan pertama-tama dengan memproduksi sumur selama selang waktu

tertentu dengan laju aliran konstan. Kemudian sumur ditutup pada bagian kepala

sumur di permukaan, sehingga tekanan menjadi naik. Kenaikan tekanan dasar

sumur dicatat sebagai fungsi waktu.

Dari data yang didapat, selain untuk menganalisa identifikasi kerusakan

formasi yang ditandai dengan skin, juga dapat digunakan untuk menentukan harga

permeabilitas formasi, daerah pengurasan dan batas reservoir serta keheterogenan

suatu formasi.

Dasar analisa pressure Build-Up ini diajukan oleh Horner, yang pada

dasarnya adalah dengan memplot tekanan terhadap suatu fungsi waktu. Dari suatu

sejarah produksi suatu sumur, mula-mula sumur diproduksikan dengan laju aliran

tetap sebesar q, selama waktu tp. Kemudian sumur ditutup selama waktu t.

….............. ………………. (3-20)

atau dapat juga ditulis sebagai berikut :

…………. ………………. (3-21)

Persamaan 3-21 memperlihatkan bahwa Pws, shut-in presure BHP, yang

dicatat selama penutupan sumur, apabila diplot terhadap log [(tp+t) / t]

merupakan garis lurus dengan kemiringan :

...........…………………….………………………. (3-22)

Contoh yang ideal dapat dilihat pada Gambar 3.7. Permeabilitas k, dapat

ditentukan dari slope “m”, sedangkan apabila garis ini diekstrapolasi ke harga

“Horner Time” sama dengan satu (eqivalen dengan penutupan sumur yang tak

terhingga lamanya), maka tekanan pada saat ini secara teoritis sama dengan

tekanan awal reservoir tesebut.

Gambar 3.7Contoh Pressure Build-Up yang Ideal14)

Sesaat sumur ditutup, maka akan berlaku hubungan :

…………..……………….. (3-

23)

Pada saat waktu penutupan = t, maka berlaku hubungan :

......………. ………………….... (3-24)

Jika Persamaan 3-23 dan 3-24 dikombinasikan, didapat faktor skin, S yaitu :

(3-

25)

Di dalam industri perminyakan biasanya dipilih t = 1 jam, sehingga Pws pada

Persamaan 3-25 menjadi P1jam. P1jam ini biasanya harus diambil pada garis lurus

ekstrapolasinya. Kemudian faktor log [ (tp + t) / t ] dapat diabaikan, sehingga

didapat persamaan akhir sebagai berikut :

…..……..……………… (3-

26)

Di mana :

S = faktor skin, tanpa dimensi

P1jam = tekanan diperoleh dari kurva build-up tekanan pada t = 1 jam, psi

Pwf = tekanan alir dasar sumur yang tercatat sebelum penutupan, psi

m = kemiringan kurva linier build-up tekanan, psi/cycle

k = permeabilitas efektif rata-rata, mD

= porositas batuan, fraksi

= viskositas fluida, cp

Ct = kompresibilitas total fluida, psi-1

rw = jari-jari sumur, ft

Pernyataan kuantitatif faktor skin yang dihitung dari Persamaan 3-26 adalah

sebagai berikut :

S > 0 (positif) berarti formasi mengalami kerusakan

S = 0 berarti tidak ada perubahan fisik pada formasi

S < 0 berarti formasi telah mengalami perbaikan melalui stimulasi

Skin effect tergantung pada permeabilitas ka dan jari-jari re. Hawkins

menuliskan persamaan untuk menentukan skin effect, sebagai berikut :

…………………...……………………… (3-27)

Di mana :

kf = permeabilitas formasi, mD

ka = permeabilitas di sekitar lubang sumur, mD

Adanya skin effect akan memperbesar kehilangan tekanan (pressure drop).

Pertambahan kehilangan tekanan (Pskin), oleh van Everdingen dituliskan sebagai

berikut :

…………….……………………………….. (3-28)

Gambar 3.8. menunjukkan hasil analisa test pressure buildup dengan

memperhitungkan efek kerusakan formasi setelah sumur diproduksikan.

Gambar 3.8Grafik Analisa Test Pressure Buildup

dengan Memperhitungkan Kerusakan Formasi14)

Kehilangan tekanan pada daerah skin menurunkan efisiensi aliran (flow

efficiency), dan didefinisikan sebagai berikut :

…………….………………………... (3-29)

atau :

..…….. ………………………………. (3-30)

Di mana :

PI = indeks produktivitas, STB/d/psi

P* = tekanan reservoir mula-mula, psi

Pwf = tekanan alir dasar sumur, psi

Pskin = drop tekanan yang terjadi akibat efek skin, psi.

Berdasarkan harga FE yang diperoleh, dapat diketahui kondisi

permeabilitas formasi di sekitar lubang sumur, yaitu :

FE < 1 menunjukkan bahwa permeabilitas formasi di sekitar lubang sumur

mengecil akibat adanya kerusakan.

FE > 1 menunjukkan bahwa permeabilitas di sekitar lubang sumur

telahdiperbaiki dan harganya lebih besar dari harga semula.

3.3.1.2. Analisa Pressure Drawdown Test

Pressure Drawdown (PDD) selain digunakan untuk menentukan faktor

skin, juga digunakan untuk menghitung harga permeabilitas formasi dan volume

pori-pori pada daerah pengurasan. Uji PDD dilakukan pada saat laju aliran dibuat

konstan dan ulah tekanan sumur selama pengaliran diukur. Hasil plot antara

tekanan alir sumur (Pwf) versus waktu alir (t), seperti terlihat dalam Gambar 3.9.

Prinsipnya sumur ditutup terlebih dahulu untuk beberapa lama agar

tekanan merata di seluruh reservoir. Kemudian sumur dibuka dan dicatat ulah

tekanan alir dasar sumur selama periode pengaliran pada laju alir konstan, jadi

prosesnya merupakan kebalikan dari uji PBU. Pengujian ini baik untuk sumur-

sumur baru yang memang ditutup karena kegiatan kerja ulang (workover),

komplesi ulang atau sebagai pengganti PBU yang kurang memuaskan.

Penurunan tekanan alir dasar sumur selama pengujian pada laju alir

konstan dibagi menjadi tiga periode,yaitu : periode transien (transient period),

transien lanjut (late-transient period) dan semi mantap (semi-steady period).

Gambar 3.9Skema Hasil Uji Drawdown Tekanan14)

Menurut Odeh dan Nabor, pembagian daerah aliran pada kurva uji PDD

dipengaruhi oleh perubahan kondisi aliran terhadap besaran permeabilitas,

viskositas, kompresibilitas dan jari-jari pengurasan (re) berdasarkan parameter

waktu, yaitu sebagai berikut :

………………………..………………………. (3-31)

Pada periode transien :

………………………..…………………………. (3-32)

Pada periode transien lanjut :

……………..….………………… (3-33)

Pada periode semi mantap :

.............…………………….…….……………… (3-

34)

A. Analisa PDD Periode Transien

Untuk reservoir tidak terbatas (infinite-acting reservoir), maka persamaan

yang digunakan adalah :

.......……….. (3-

35)

Plot antara Pwf versus log t membentuk garis lurus, seperti ditunjukkan

dalam Gambar 3.10. dengan kemiringan kurva (m) sama seperti Persamaan 3-22.

Kerusakan formasi dinyatakan dengan faktor skin (S) sebagai berikut :

......……….……………….. (3-36)

Gambar 3.10Hasil Plot Semilog Uji PDD Periode Transien14)

B. Analisa PDD Periode Transien Lanjut

Setelah periode waktu alir, t = ( Ct re2) / (0,00264 k), mengalami

gangguan akibat pengaruh daerah pengurasan, sehingga kurva yang dihasilkan

tidak linier. Untuk laju alir konstan maka tekanan reservoir rata-rata dinyatakan

sebagai berikut :

…….………………………………. (3-

37)

Untuk menentukan tekanan alir dasar sumur dapat digunakan persamaan berikut :

..…….……….. (3-38)

Jika diplot antara log versus t, seperti terlihat pada Gambar 3.11, maka

kurva linier yang dihasilkan mempunyai kemiringan garis () sebesar :

..................………………………………… (3-39)

dan memiliki titik potong dengan sumbu tegak, b sebesar :

……………………………………………… (3-40)

Persamaan 3-28 dapat ditulis kembali dalam bentuk sederhana sebagai berikut :

……………….………………………. (3-41)

Karena harga P biasanya tidak diketahui, maka penentuannya dilakukan

secara coba-coba sampai diperoleh kurva yang linier.

Jika harga intersep garis (b) diketahui, maka harga permeabilitas formasi

dapat dihitung sebagai berikut :

.................................…………………………. (3-42)

Selanjutnya dihitung besarnya volume pori-pori (Vp) daerah pengurasan

berdasarkan pada kemiringan kurva (), sebagai berikut :

………………....………………………………. (3-43)

Jika perubahan tekanan reservoir rata-rata diabaikan selama pengujian

maka (Pwf - ) akan diketahui besarnya, dan faktor skin (S) dihitung sebagai

berikut :

....…………………………………. (3-44)

Adapun besarnya drop tekanan sepanjang zona skin ditentukan dengan

menggunakan persamaan sebagai berikut :

.............................….…………………………… (3-

45)

Gambar 3.11Hasil Plot Uji PDD Periode Transien Lanjut14)

C. Analisa PDD Periode Semi Mantap

Kondisi semi mantap tercapai pada aliran periode transien lanjut sampai

pengujian selesai dilakukan, dan ulah tekanan sumur diberikan dalam persamaan :

....……………… (3-46)

Dari persamaan 3-46 jika dilakukan plot semilog antara Pwf versus t, maka

didapatkan hubungan linier dengan kemiringan kurva (L) sebagai berikut :

……… ………………………………… (3-47)

Dari harga kemiringan kurva (L) dapat dihitung besarnya volume

pengurasan (dalam barrel) sebagai berikut :

.............………………………………………… (3-

48)

3.3.2. Rate Test

Pada prinsipnya mengukur perubahan tekanan terhadap waktu pada

kondisi sumur yang mengalir dengan rate yang bervariasi, perioda penutupan

sumur tidak dilakukan. Analisa tekanan pada rate test juga akan menghasilkan

tekanan statik reservoir, permeabilitas rrata-rata dan skin factor.

Pada dasarnya metoda ini khusus untuk mengamati performance sumur,

dimana karena alasan ekonomis tidak mungkin ditutup atau untuk memberi

kesempatan pada tekanan dasar sumur mencapai keseimbangannya sebelum

dilaksanakan Pressure Draw-down test.

3.3.2.1. Multiple Rate Flow Test

Multiple rate flow test adalah tes pada sebuah sumur yang dilakukan

dengan laju aliran yang bervariasi.

Suatu multiple rate flow test dapat berupa :

a. Laju aliran yang bervariasi tanpa kontrol.

b. Sederetan laju aliran yang masing - masing tetap besarnya.

c. Laju aliran dengan perubahan yang kontinyu pada tekanan sumur tetap.

Pengukuran laju aliran dan tekanan yang teliti merupakan sesuatu hal

yang penting untuk berhasilnya analisa pada setiap transient well test. Pada

multiple rate flow test, pengukuran laju aliran lebih kritis dibandingkan dengan

pengukuran pada test yang konvensional atau pada test dengan laju aliran yang

tetap, seperti drawdown dan buildup. Keuntungan-keuntungan daripada multiple

rate flow test adalah sebagai berikut :

1. Dapat memberikan data transient test sementara produksi masih

berlangsung.

2. Dapat mengurangi pengaruh perubahan-perubahan wellbore storage dan

segregasi fasa.

3. Dapat memberikan hasil yang baik, sementara pengujian draw-down dan

build-up tidak dapat dilakukan.

Persamaan yang dikembangkan untuk multiple rate flow adalah berasal

dari persamaan aliran radial untuk infinite-acting dengan cairan yang slightly

compressible. Persamaan aliran untuk infinite-acting reservoir dapat dituliskan

sebagai berikut :

= m’ q (log t + S) .……………………………………… (3-49)

dimana :

m’ = 162,6 q µ B / k h ...………………………………………… (3-50)

dan

S = log. . .

, , .k

C rS

t w 2 3 23 0 869

..………………………. (3-

51)

Gambar 3.12. merupakan skematis dari suatu sumur yang berproduksi

dengan aliran yang berubah-ubah. Untuk penyelesaian persoalan seperti ini tidak

berarti bahwa produksi sumur seperti pada Gambar 3.12. tersebut tidak kontinyu.

Dalam hal ini laju aliran yang kontinyu dapat diperlakukan sebagai sederetan dari

selang laju aliran diskrit yang tetap pada setiap selangnya. Pendekatan ini akan

semakin teliti dengan semakin kecil interval waktu produksi. Jika suatu

multiple-rate test mempunyai N variable laju aliran (q1, q2, ... qn), maka

menggunakan prinsip superposisi, persamaan (3-40) dituliskan menjadi,

P P

q nm

q q

qt t bi wf j j

jj

n

.

'( )

log( ) '11

1

.. ……………… (3-

52)

dimana :

m’ = 162,6 q µ B / k h

b’ = m’ log. . .

, , .k

C rS

t w 2 3 23 0 869

Gambar 3.12. Data Tekanan dan Produksi Multiple Rate Flow Test.14)

3.4.3.2. Two Rate Flow Test

Two rate flow test adalah merupakan multiple rate flow test yang terdiri

dari hanya dua harga laju aliran (rate flow) (Gambar 3.34). Test ini dapat

digunakan untuk menentukan permeabilitas (k) dan skin factor (S), sementara

sumurnya masih terus terproduksi.

Gambar 3.13. Skema Plot Data Two Rate Flow Test.14)

Persamaan untuk two-rate flow test ini dapat diperoleh dari Persamaan

(3-52), untuk n = 2 :

P P Pq B

kh

q

qt

q q

qt ti wf i

162 6 2 1

2

2 1

21

, . . .log.

( )log( )

+ log. . .

, , .k

C rS

t w 23 23 0 869

……….….….. (3-

53)

Jika dituliskan t1 = tp1 dan t - tp1 = t, maka Persamaan (3-53) menjadi,

P mq

qt

t t

tPwf

p

2

1

1log. log int . …………….………… (3-54)

dimana :

m = 162,6 q µ B / k h ...………………………….…………. (3-55)

dan

P P mq

q

k

C rSi

t w

int log. . .

, , .

2

12

3 23 0 869

….…….… (3-56)

Dalam test ini, laju aliran ke dua, q2, harus benar-benar dijaga tetap dan

dalam penggunaan persamaan (3-54) diasumsi bahwa q1 adalah laju aliran yang

tetap, sehingga t1 dapat dihitung dengan persamaan :

tV

qp

11

24 ..……………………………………….…………. (3-57)

dimana :

Vp = volume kumulatip yang diproduksi sejak awal q1.