bab iii karakterisasi reservoir - digilib.itb.ac.id · deskripsi batuan inti bor ... berdasarkan...
TRANSCRIPT
34
BAB III
KARAKTERISASI RESERVOIR
Karakterisasi reservoir merupakan suatu proses untuk mengetahui sifat
suatu batuan. Untuk mendapatkan karakteristik suatu reservoir secara lebih baik
maka diperlukan beberapa data yang mendukung antara lain batuan inti bor, data
log tali kawat, data rekaman seismik dan data teknik lainnya. Data batuan inti bor,
data log tali kawat dan data rekaman seismik dikelompokkan sebagai data statik
sedangkan data teknik dikelompokkan sebagai data dinamik.
Di daerah penelitian, terdapat empat sumur yang mempunyai batuan inti
bor dimana interval objek penelitian terdapat pada tiga sumur diantaranya. Selain
itu, terdapat 37 data lubang sumur yang bisa dipakai dari total 39 sumur
pemboran, rekaman seismik 3D, data tes sumur dan data fluida. Data-data tersebut
akan di analisis untuk memberikan pemahaman tentang karakteristik reservoir B
dan C sebagai objek penelitian. Total sumur dan lokasi sumur yang mepunyai
batuan inti bor bisa dilihat pada gambar III.1.
III.1 Deskripsi Batuan Inti Bor dan Hubungannya dengan Log GR
Deskripsi batuan inti bor (core) dilakukan untuk mengetahui fasies batuan
dan batas-batasnya maupun model lingkungan pengendapannya dilihat dari variasi
tekstur sedimen, struktur fisik, biogenik dan komposisi mineralnya. Lokasi batuan
inti bor di lapangan Pungut terletak di beberapa sumur, yaitu Pungut-01 dan
Pungut-37 dibagian utara, Pungut-35 di bagian tengah dan Pungut-36 di bagian
selatan. Dari ke-empat batuan inti bor tersebut, terdapat tiga sumur (Pungut-01,
Pungut-35 dan Pungut-37) yang mempunyai interval core pada reservoir B dan C
sebagai objek penelitian, sedangkan pada sumur Pungut-36 reservoir tersebut
tidak terambil (Tabel III.1).
Tiga batuan inti bor yang mencakup reservoir B dan C ini merupakan data
dasar dalam penentuan fasies maupun lingkungan pengendapan di lapangan
Pungut. Untuk bisa diaplikasikan ke seluruh lapangan, maka deskripsi core yang
telah dilakukan kemudian dikalibrasi dengan pola log GR dari sumur-sumur
35
lainnya untuk mengetahui jenis batuan yang sesuai. Hasilnya kemudian
ditampilkan dalam bentuk model log core.
Gambar III.1 Peta lokasi 39 sumur yang ada di daerah penelitian (Penulis, 2007)
Legenda:
Sumur produksi
Sumur tidak aktif
Sumur injektor
Sumur core
Legenda:
Sumur produksi
Sumur tidak aktif
Sumur injektor
Sumur core
Legenda:
Sumur produksi
Sumur tidak aktif
Sumur injektor
Sumur core
Legenda:
Sumur produksi
Sumur tidak aktif
Sumur injektor
Sumur core
36
Tabel III.1 Daftar sumur, interval core dan reservoir yang dilakukan coring.
Sumur Interval Core (kaki) Interval Reservoir
Pungut-01 2860-2878 B
2889-2910 C
Pungut-35 2799-2825 C
Pungut-36 Tidak ada Tidak ada
Pungut-37 2856-2896 B
2913-2934 C
III.1.1 Deskripsi pada Sumur Pungut-01
Batuan inti bor pada sumur Pungut-01 terletak di bagian paling utara
daerah penelitian. Deskripsi batuan pada core barrel dengan diameter sekitar 1.5
inci ini tidak mudah dilakukan karena kondisi sampel batuan yang tidak begitu
baik (tidak lengkap dan lepas-lepas di beberapa bagian). Hal ini bisa dipahami
mengingat ini adalah sumur pemboran pertama di daerah penelitian. Kondisi core
seperti ini menyebabkan gambaran karakter fisik batuan pada sumur Pungut-01
tidak terekam secara utuh karena hanya tekstur batuannya saja yang bisa diamati
lebih jelas dibandingkan dengan struktur sedimennya. Untuk membantu deskripsi
batuan inti bor pada sumur ini maka digunakan juga hasil deskripsi yang terdapat
pada marked log Pungut-01 dengan harapan semakin menambah informasi yang
akan memperkuat interpretasi fasies sedimen dan lingkungan pengendapannya.
III.1.1.1 Deskripsi Reservoir B
Karakter fisik (tekstur batuan) dari reservoir B pada batuan inti bor sumur
Pungut-01 bisa di amati di kedalaman 2860-2878 kaki. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya bahwa kondisi core pada sumur ini tidak begitu bagus
sehingga kenampakan struktur sedimen tidak bisa dilihat dengan jelas.
37
Deskripsi lebih detil mengenai reservoir B dari bagian bawah ke atas
adalah sebagai berikut:
Interval core kedalaman 2878-2871 kaki
Karakter litologi di bagian bawah reservoir B didominasi oleh batupasir
berwarna abu sampai abu kehijauan, berbutir sedang sampai kasar, terpilah buruk
dan keras. Di beberapa tempat ditemukan pirit dan kehadiran glaukonit sangat
jarang. Besar butir lebih kasar terdapat di bagian atas interval.
Interval core kedalaman 2871-2861 kaki
Karakter litologi di interval bagian atas reservoir B didominasi oleh
batupasir berwarna abu muda, berbutir sedang sampai kasar, terpilah buruk dan
keras. Mineral pirit masih bisa ditemukan sedangkan glaukonit sangat jarang
ditemukan. Batuan berbutir lebih kasar (kerikilan) bisa diamati di bagian bawah
interval ini.
Interval core kedalaman 2861-2859 kaki
Interval kedalaman ini didominasi oleh batupasir berwarna abu muda,
berbutir sedang, terpilah sedang dan keras. Terlihat jejak minyak (trace oil) pada
batuan ini juga ditemukan laminasi batulempung.
III.1.1.2 Deskripsi Reservoir C
Reservoir batupasir C pada batuan inti bor sumur Pungut-01 dapat diamati
secara fisik di kedalaman 2889-2908 kaki. Kenampakan struktur sedimen juga
tidak bisa dilihat dengan jelas karena kondisi core yang kurang bagus. Deskripsi
lebih detil mengenai reservoir C dari bagian bawah ke atas adalah sebagai berikut:
Interval core kedalaman 2908-2903 kaki
Litologi di bagian bawah reservoir C dicirikan oleh batupasir berwarna abu
gelap-kehijauan, berbutir halus-sedang, terpilah sedang dan keras, mengandung
glaukonit, mika dan material karbonan. Laminasi batulempung terlihat dibagian
bawah interval ini, selain itu ditemukan pirit. Di bagian atasnya, terdapat laminasi
batulanau dan batupasir.
38
Interval core kedalaman 2903-2889 kaki
Karakteristik litologi di bagian atas reservoir C masih didominasi oleh
batupasir, berwarna abu kehijauan, berbutir sedang-kasar, terpilah buruk dan
keras, mengandung glaukonit, karbonatan serta terlihat jejak minyak (trace oil
show).
Hasil deskripsi yang dilakukan pada batuan inti bor sumur Pungut-01 ini,
menunjukkan bahwa penentuan asosiasi fasies tidak mudah dilakukan karena
sulitnya melihat struktur sedimen secara jelas. Hal ini disebabkan karena kondisi
batuan inti bor yang tidak bagus ditambah dengan keterbatasan jenis log yang ada
dimana log GR tidak lengkap dan kualitasnya tidak begitu bagus. Dengan
demikian, penentuan fasies pada sumur ini mengacu kepada perubahan besar butir
yang bisa dilihat dan didukung oleh pola log GR-nya.
Berdasarkan pola log GR, interval kedalaman pada reservoir B dan C
dibedakan menjadi Sand bar dan Channel. Batupasir yang mengandung glaukonit
dan karbonatan pada reservoir C menunjukkan bahwa reservoir ini diendapkan
dalam kondisi pengaruh lingkungan laut yang cukup kuat dan lebih dalam.
Berbeda dengan reservoir B di atasnya, dimana kandungan glaukonit sangat
jarang terlihat dan ditemukannya mineral pirit menunjukkan bahwa reservoir ini
diendapkan pada lingkungan yang lebih fresh dan relatif dangkal. Deskripsi lebih
detil batuan inti bor pada sumur Pungut-1 bisa di lihat pada model core log-nya
(lampiran 1).
Pernyataan tersebut diatas didukung juga oleh analisis foraminifera
(biostratigrafi) yang telah dilakukan oleh Darwin Kadar dan Robertson Utama
(1998) terhadap sampel batuan di Pungut-01. hasil analisis terhadap sampel
batuan yang diambil pada Formasi Bekasap di kedalaman 2928 kaki
memperlihatkan kehadiran fosil arenaceous foram sebagai petunjuk bahwa
reservoir ini diendapkan pada lingkungan sekitar Intertidal sampai Inner neritic.
Analisis foraminifera dan nanofosil ini juga memperlihatkan bahwa reservoir
Bekasap ini mempunyai kisaran umur geologi Miosen Bawah (Lower Miocene).
Hasil analisis biostratigrafi pada sumur Pungut-1 yang lebih lengkap bisa dilihat
pada lampiran 4.
39
III.1.2 Deskripsi pada Sumur Pungut-35
Batuan inti bor pada sumur Pungut-35 merupakan data yang relatif masih
baru dan lokasinya terletak di bagian tengah daerah penelitian. Deskripsi batuan
pada core barrel dengan diameter sekitar 3 inci ini lebih mudah dilakukan karena
kondisi sampel batuan yang masih baik, kompak dan lengkap/menerus. Kondisi
ini memungkinkan karakter fisik batuan maupun struktur sedimen pada sumur ini
bisa digambarkan lebih baik sehingga penentuan fasies dan lingkungan
pengendapan menjadi lebih akurat. Sayangnya, sumur ini hanya mengambil
batuan inti bor pada interval reservoir C saja.
III.1.2.1 Deskripsi Reservoir C
Karakter fisik reservoir batupasir C pada batuan inti bor sumur Pungut-35
dapat diamati di kedamanan 2793-2825 kaki. Selain itu, kenampakan struktur
sedimen juga bisa dilihat dengan jelas karena kondisi core yang cukup bagus.
Deskripsi lebih detil mengenai reservoir C dari bagian bawah ke atas adalah
sebagai berikut:
Interval core kedalaman 2825-2819 kaki
Interval kedalaman paling bawah dari core ini mempunyai litologi
batupasir berwarna abu sampai abu terang, berbutir sedang-kasar, terpilah sedang-
buruk, membulat tanggung. Fragmen mineral kuarsa tersebar merata dengan
intensitas glaukonit makin banyak ke arah bawah. Selain itu ditemukan mud clast
siderit di beberapa tempat (gambar III.2).
Interval core kedalaman 2819-2812 kaki
Interval core di atasnya di dominasi oleh litologi batupasir berwarna abu-
kehijauan, berbutir kasar-sangat kasar, terpilah sedang-baik, membulat tanggung,
karbonatan setempat dan kompak (keras). Struktur sedimen laminasi silang siur
dan ditemukan mineral glaukonit, glosifungites dan batulempung kecoklatan di
bagian bawah.
40
Gambar III.2 Fasies batupasir glaukonit yang memperlihatkan mud clast siderit
pada interval kedalaman 2821-2824 kaki sumur Pungut-35.
Interval core kedalaman 2812-2808 kaki
Litologi pada interval ini berupa batupasir berwarna abu gelap, berbutir
halus-sedang, terpilah baik, kompak, terdapat glosifungites dan mineral kuarsa.
Interval core kedalaman 2808-2800 kaki
Tidak berbeda jauh dengan interval di atasnya, litologi batupasir berwarna
abu-abu masih mendominasi, berbutir halus, terpilah sedang-baik, membulat-
membulat tanggung dan kompak. Intensitas bioturbasi rendah, ditemukan struktur
sedimen flaser, burrow dengan orientasi vertikal dan horisontal. Komposisi
mineral berupa glaukonit dan fragmen mineral kuarsa.
Interval core kedalaman 2800-2795 kaki
Pada interval kedalaman ini, karakter litologi dicirikan oleh batupasir
berwarna abu-abu, berbutir sedang-sangat halus, terpilah sedang-baik, membulat
tanggung, dengan komposisi mineral berupa glaukonit, kuarsa, non karbonatan
dan intensitas bioturbasi rendah.
41
Interval core kedalaman 2795-2793 kaki
Karakter litologi pada interval paling atas ini dicirikan oleh batupasir
berwarna abu-abu, berbutir halus, terpilah baik, kompak dan karbonatan (semen
kalsit).
Interval reservoir batupasir C mempunyai ketebalan reservoir sekitar 32
kaki dengan kadar minyak (oil-stain) berwarna coklat terang sampai kehijauan.
Berdasarkan hasil deskripsi batuan inti bor dengan mengamati tekstur batuan,
struktur sedimen yang berkembang, kehadiran organisme dan dibantu oleh pola
log GR, maka reservoir C di sumur Pungut-35 ini ditafsirkan asosiasi fasiesnya
sebagai Tidal Channel Sand di bagian bawah interval dan Tidal Sand Flat di
bagian atas interval. Hampir mirip dengan reservoir C di sumur Pungut-01,
adanya kandungan glaukonit yang ditemukan hampir di seluruh interval
menunjukkan bahwa reservoir ini diendapkan pada lingkungan yang relatif lebih
dalam dengan pengaruh laut yang cukup kuat. Berdasarkan hal tersebut, maka
lingkungan pengendapan reservoir C diperkirakan terjadi pada lingkungan Inner
neritic atau Shelf. Deskripsi lebih detil batuan inti bor pada sumur Pungut-35 bisa
di lihat pada model core log-nya (lampiran 2).
III.1.3 Deskripsi pada Sumur Pungut-37
Seperti halnya sumur Pungut-35, batuan inti bor pada sumur Pungut-37 ini
merupakan data yang relatif masih baru dimana lokasinya terletak di bagian utara
daerah penelitian. Kualitas conto batuan inti bornya masih bagus, cukup lengkap
dan kompak sehingga deskripsi tekstur maupun struktur sedimen batuan bisa
dilakukan. Kondisi ini menjadikan batuan inti bor di sumur Pungut-37 menjadi
sangat penting untuk mengontrol penentuan fasies sedimen di daerah penelitian
terutama interval reservoir B dan C sebagai objek penelitian.
42
III.1.3.1 Deskripsi Reservoir B
Karakter fisik reservoir B dari Formasi Bekasap ini bisa dilihat pada
batuan inti bor sumur Pungut-37 pada interval 2856-2896 kaki. Kondisi core pada
interval ini cukup bagus, menerus dan kompak sehingga deskripsi batuan lebih
mudah dilakukan. Secara umum, reservoir ini mempunyai karakter litologi
batupasir berwarna abu-abu muda, berbutir halus-sedang, memperlihatkan
laminasi bergelombang (wavy-laminaation), sedikit bioturbasi dan terdapat galian
binatang (burrows).
Interval core kedalaman 2896-2894 kaki
Litologi pada interval ini adalah batupasir berwarna abu-abu muda,
berbutir kasar, terpilah sedang, membulat tanggung, fragmen min. kuarsa tersebar,
karbonatan, kompak dan keras. Terdapat rekahan yang diperkirakan diisi oleh
kalsit dan semen dolomit, juga nodul lempung (siderite) yang umumnya
berasosiasi dengan kontak batulempung di bagian bawah.
Interval core kedalaman 2894-2882 kaki
Interval core ini didominasi oleh batupasir berwarna abu terang sampai
kecoklatan, berbutir sedang-halus, terpilah sedang-baik, membulat tanggung,
fragmen mineral kuarsa, ditemukan juga mineral mika, banyak terdapat burrow
dengan orientasi vertikal dan horisontal (skolithos, planolithes, paleophycus),
struktur sedimen laminasi silang siur, mud drape, semakin ke bawah intensitas
bioturbasi makin banyak, non karbonatan.
Interval core kedalaman 2882-2864 kaki
Batupasir masih mendominasi interval kedalaman ini, berwarna abu gelap
sampai kecoklatan, berbutir sedang-halus, terpilah sedang-baik, membulat
tanggung, fragmen mineral kuarsa dan pirit kadang ditemukan. Terdapat burrrow,
struktur sedimen flaser, wavy dan laminasi silang siur, mengandung karbon.
Struktur sedimen wavy lamination pada batupasir B di sumur Pungut-37
dapat dilihat dengan jelas pada gambar III.3.
43
Gambar III.3 Reservoir batupasir B yang memperlihatkan struktur laminasi
bergelombang (wavy) pada core Pungut-37.
Interval core kedalaman 2864-2861 kaki
Batupasir berwarna abu kecoklatan, berbutir sedang-kasar, terpilah
sedang-buruk, membulat tanggung, struktur sedimen paralel laminasi, burrow
(ophiomorpha), mineral mika dan mengandung karbon.
Interval core kedalaman 2861-2856 kaki
Interval paling atas dari reservoir B ini didominasi oleh batupasir berwarna
abu muda kecoklatan, berbutir kasar, terpilah buruk, menyudut tanggung-
membulat tanggung, fragmen kuarsa, masih ditemukan burrow (ophiomorpha)
dan non karbonatan. Batupasir kerikilan ditemukan pada bagian bawah interval ini
dengan karakteristik kompak dan keras.
Deskripsi batuan inti bor dengan mengamati tekstur batuan, struktur
sedimen, kehadiran organisme dan mineral serta menganalis pola log pada interval
kedalaman 2856-2896 kaki ini, maka reservoir B di sumur Pungut-37 dapat
ditafsirkan sebagai asosiasi fasies Tidal Channel Sand di bagian bawah interval
dan Tidal Sand Bar di bagian atas interval. Biasanya fasies Tidal Sand Bar
mempunyai karakter pola log GR yang coarsening upward (perubahan besar butir
makin kasar ke arah atas).
44
Seperti halnya karakteristik reservoir B yang di amati pada sumur Pungut-
01 sebelumnya, terdapat kemiripan dengan litologi batupasir ini terutama pada
interval bagian atas reservoir B di Pungut-37. Kandungan glaukonit sangat jarang
terlihat dan ditemukannya mineral pirit menunjukkan bahwa reservoir B ini
diendapkan pada lingkungan yang relatif dangkal dan fresh dimana pengaruh
lingkungan laut belum begitu kuat. Berdasarkan hal tersebut, lingkungan
pengendapan reservoir B diperkirakan terjadi pada Intertidal sampai Inner neritic.
Deskripsi lebih detil batuan inti bor pada sumur Pungut-37 bisa di lihat pada
model core lognya (lampiran 3a).
Berdasarkan deskripsi batuan dan karakter log Gamma Ray, secara umum
reservoir batupasir B terbentuk dalam dua siklus pengendapan yaitu retrograde di
bagian bawah interval yang di ikuti dengan siklus prograde di bagian atas interval
ini.
III.1.3.2 Deskripsi Reservoir C
Karakter fisik reservoir C pada batuan inti bor sumur Pungut-37 dapat
dilihat pada interval kedalaman 2913-2934 kaki. Sama halnya dengan interval
reservoir B di atas, kondisi core pada interval ini mempunyai kualitas cukup
bagus, menerus dan kompak sehingga cukup memudahkan dalam penafsiran
fasies maupun lingkungan pengendapannya. Deskripsi batuan secara lebih detil
mulai dari interval kedalaman paling bawah ke atas, adalah sebagai berikut:
Interval core kedalaman 2934-2928 kaki
Interval paling bawah dari reservoir C ini mempunyai litologi berupa
batupasir berwarna abu muda samapai kehijauan, berbutir sedang-kasar, terpilah
buruk, menyudut tanggung-membulat tanggung, kompak (sementasi baik),
struktur sedimen laminasi silang-siur dengan lapisan tipis mud drape, terdapat
nodul lempung, dengan mineral glaukonit, kuarsa, mika dan karbonatan.
Contoh gambar batupasir glaukonit yang mengandung ophiomorpha bisa
dilihat pada gambar III.4.
45
Gambar III.4 Fasies batupasir glaukonit dengan jejak fosil ophiomorpha dibagian
atas dan lapisan tipis mud drape pada core Pungut-37.
Interval core kedalaman 2928-2922 kaki
Interval di atasnya di dominasi oleh batupasir berwarna abu muda, berbutir
sedang-halus, terpilah sedang-baik, membulat tanggung dan bioturbasi. Jejak
galian binatang (burrow) ditemukan dengan orientasi vertikal dan horisontal
(ophiomorpha, planolithes, paleophycos), struktur sedimen berupa wavy dan
flaser, non karbonatan, mineral glaukonit, mika dan mineral hitam.
Interval core kedalaman 2922-2916 kaki
Litologi batupasir masih mendominasi pada interval kedalaman ini,
berwarna abu kehijauan sampai kecoklatan, berbutir sedang-halus, terpilah
sedang-baik, menyudut-membulat tanggung dengan intensitas bioturbasi rendah.
Struktur sedimen yang berkembang berupa burrow dan flaser, non karbonatan,
dimana intensitas glaukonit makin banyak ke arah atas, dan ditemukan kuarsa,
mika, mineral hitam.
46
Gambar III.5 Karakteristik fasies batupasir glaukonit yang terlihat pada core
Pungut-37.
Interval core kedalaman 2916-2913 kaki
Interval core paling atas dari reservoir C berupa batupasir berwarna abu
kehijauan, berbutir sedang-kasar, terpilah sedang, membulat tanggung dan keras.
Mineral glaukonit masih ditemukan, kuarsa dan sedikit karbonatan.
Hasil deskripsi batuan inti bor pada interval reservoir batupasir C di sumur
Pungut-37 menunjukkan bahwa asosiasi fasies reservoir ini bisa ditafsirkan
sebagai Tidal Channel Sand di bagian bawah interval dan Tidal Sand Flat di
bagian atas interval. Korelasi pola log GR yang cukup baik antara Pungut-37 dan
Pungut-35 memungkinkan kedua sumur tersebut memiliki fasies sedimen yang
sama. Selain itu, tekstur batuan dan adanya kandungan glaukonit pada reservoir C
ini semakin mendukung penafsiran bahwa reservoir ini diendapkan pada
lingkungan dengan pengaruh laut yang cukup kuat dan relatif dalam. Berdasarkan
hal tersebut, maka lingkungan pengendapan reservoir C diperkirakan terjadi pada
Inner neritic atau Shelf. Selengkapnya mengenai deskripsi batuan inti bor pada
sumur Pungut-37 bisa di lihat pada model core lognya (lampiran 3b).
47
III.1.4 Fasies dan Lingkungan Pengendapan
Penafsiran fasies di daerah penelitian mengacu kepada model fasies dan
lingkungan pengendapan menurut Dalrymple (1992) dimana fasies sedimen yang
terbentuk dipengaruhi oleh pasang-surut (tide-dominated Estuarin). Kriteria
penafsiran masing-masing fasies dijelaskan pada bab sebelumnya.
Deskripsi batuan inti bor secara umum yang telah dilakukan pada tiga
sumur dengan interval reservoir B dan C, bisa dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel III.2. Ringkasan hasil deskripsi batuan inti bor pada reservoir B dan C di
daerah penelitian.
Reservoir karakteristik sedimen Litofasies Asosiasi Fasies
B
Batupasir, abu gelap-kecoklatan, berbutir sedang-halus, terpilah sedang-buruk, membulat tanggung, fragmen min. kuarsa, pirit
kadang ditemukan, burrow (ophiomorpha) , struktur sedimen flaser, wavy dan laminasi silang siur, karbonan. Batupasir berbutir
kasar
batupasir ,
flaser, wavy &
karbonan Tidal Sand Bar
Batupasir, abu terang-kecoklatan, berbutir sedang-kasar, terpilah sedang-buruk, membulat tanggung, fragmen min. kuarsa,
mika, burrow (skolithos, planolithes, paleophycus) , struktur sedimen laminasi silang siur, mud drape , bioturbasi, non
karbonatan. Batupa
batupasir
boiturbasi Tidal Channel
Batulanau, abu-abu kehitaman, terpilah baik, non karbonatan, konkresi besi, lentikuler.
batulanau
lentikuler Mud flat
C
Batupasir, abu kehijauan-kecoklatan, berbutir sedang-sangat halus, terpilah baik, menyudut-membulat tanggung, bioturbasi,
burrow, flaser , intensitas glaukonit cukup tinggi, kuarsa dan mika. Batupasir, berbutir kasar terdapat di bagian atas, keras &
batupasir ,
flaser &
bioturbasi Tidal Sand Flat
Batupasir, abu muda-kehijauan, berbutir sedang-kasar, terpilah sedang-buruk, membulat tanggung, bioturbasi, burrow
(ophiomorpha, planolithes, paleophycos), struktur laminasi silang siur, wavy, mudrape. Glaukonit, mika dan mineral hitam.
Batupasir, berbutir
batupasir ,
flaser,
bioturbasi &
karbonatan Tidal Channel
Berdasarkan hasil deskripsi batuan inti bor pada ketiga sumur tersebut
maka secara umum reservoir B dan C dari Formasi Bekasap ini terdiri dari
beberapa asosiasi fasies yaitu Tidal Channel Sand, Tidal Sand Flat dan Tidal Sand
Bar, sedangkan material halus batulempung dan batulanau yang membagi kedua
reservoir ini ditafsirkan sebagai fasies Mud Flat. Lingkungan pengendapan pada
reservoir B dan C diperkirakan terjadi pada lingkungan Intertidal sampai Inner
neritic atau Shelf. Hal ini didukung oleh analisis biostratigrafi terhadap
foraminifera maupun nanofosil pada interval reservoir Bekasap (Kadar dan
Utama, 1998). Hasil analisis biostratigrafi juga memperlihatkan umur batuan
reservoir Bekasap yang ditafsirkan berumur Miosen Bawah (Lower Miocene).
Berdasarkan karakter pola log GR yang bisa diamati, secara garis besar
reservoir B dan C terbagi menjadi dua siklus pengendapan. Siklus pengendapan
reservoir B dimulai dengan siklus retrograde dibagian bawah dan di ikuti siklus
prograde di bagian atasnya. Siklus retrograde ini merupakan pergerakan ke arah
darat sebagai respon dari kondisi transgresif dimana laju akomodasi lebih besar
48
dibandingkan suplai sedimennya. Hal ini terjadi selama naiknya muka air laut
dengan influx sedimen yang rendah. Selanjutnya pada interval bagian atas
reservoir B terjadi pergerakan sedimen ke arah cekungan yang menghasilkan
siklus prograde. Progradasi ini bisa terjadi akibat kenaikan muka air laut yang di
iringi oleh influx sedimen yang tinggi (regresi).
Sedangkan pada siklus pengendapan reservoir C ditafsirkan sebagai dua
siklus yang retrograde. Seperti halnya siklus retrograde pada reservoir B bagian
bawah, siklus pengendapan pada reservoir B ini terjadi akibat laju sedimentasi
yang lebih rendah dibandingkan laju akomodasinya.
Secara keseluruhan, siklus pengendapan kedua reservoir B dan C di daerah
penelitian terjadi dalam kondisi transgresif (Transgresive System Tract).
Berdasarkan penafsiran asosiasi fasies dan lingkungan pengendapan dari
batuan inti bor, maka daerah penelitian diperkirakan terjadi pada lingkungan
transisi (Estuarin) yang dipengaruhi oleh pasang surut (Tide-Dominated Estuary).
Model yang ideal dari Estuarin ini bisa dilihat pada gambar III.6.
Gambar III.6 Penafsiran fasies dan lingkungan pengendapan di daerah penelitian
mengacu pada model ideal Tide-dominated Estuary (Dalrymple, 1992).
Daerah PenelitianDaerah Penelitian
49
III.2 Korelasi antar Sumur
Korelasi antar sumur di daerah penelitian dilakukan dengan pendekatan
stratigrafi sikuen dengan tujuan untuk melihat penyebaran fasies dan arah
sedimentasinya.
III.2.1 Korelasi antar Sumur dengan Data Core
Korelasi antar sumur di daerah penelitian dilakukan dalam beberapa tahap,
yaitu :
1. Korelasi antar sumur yang mempunyai batuan inti bor (core)
2. Korelasi dilakukan dengan pendekatan stratigrafi sikuen sampai ke tingkat
parasekuen yang masing-masing dibatasi oleh suatu flooding surface (FS).
Dalam hal ini pembagian dua siklus pengendapan pada reservoir B dan C
tersebut akan digunakan sebagai marker untuk melakukan korelasi.
Sumur-sumur yang mempunyai batuan inti bor merupakan pengontrol
utama yang dipakai sebagai penampang model dalam melakukan korelasi. Apabila
korelasi antar sumur-sumur tersebut sudah sesuai maka langkah selanjutnya
adalah melakukan korelasi stratigrafi terhadap sumur-sumur terdekatnya.
Untuk mengetahui secara detil penyebaran fasies sedimen di lapangan
Pungut ini maka korelasi dilakukan sampai ke tingkat parasikuen dengan
menetapkan flooding surface (FS) sebagai batasannya. Penentuan batas flooding
surface (FS) ini bisa ditafsirkan dari pola log sumur (GR). Lintasan yang
menghubungkan sumur core Pungut-01, Pungut-37, Pungut-35 dan Pungut-36
kemudian dilakukan korelasi dan dijadikan sebagai lintasan model korelasi.
Berdasarkan lintasan model korelasi yang dibuat, secara keseluruhan
reservoir B dan C dibatasi oleh empat flooding surface yaitu FS_C2, FS_C1,
FS_B2 dan FS_B1. Masing-masing batas flooding surface ini mencerminkan
suatu parasikuen dan juga fasies sedimennya. Dalam hal ini, fasies sedimen yang
termasuk dalam objek penelitian ditafsirkan sebagai fasies Tidal Channel, Tidal
Sand Flat, Tidal Sand Bar dan Mud Flat. Hasil korelasi antar sumur core yang
dijadikan sebagai model penampang korelasi bisa dilihat pada gambar III.7.
50
Gambar III.7 Model korelasi antar sumur yang mempunyai data batuan inti bor (core) dan penyebaran fasiesnya, dengan lintasan berarah
utara-selatan.
51
III.2.2 Korelasi antar Sumur untuk Seluruh Lapangan
Korelasi antar sumur core merupakan model korelasi yang akan dipakai
dalam melakukan korelasi antar sumur untuk seluruh lapangan. Pada awalnya
korelasi antar sumur seluruh lapangan ini dicoba dengan menggunakan data sumur
saja. Untuk lebih mendukung penafsiran yang dilakukan, korelasi antar sumur
kemudian dibantu oleh lintasan seismik yang sesuai.
Beberapa penampang stratigrafi dibuat dengan arah lintasan relatif utara-
selatan dan timur-barat yang dianggap mewakili seluruh daerah penelitian. Empat
buah penampang dengan arah lintasan utara-selatan dan tujuh buah penampang
dengan arah lintasan timur-barat.
III.2.2.1 Lintasan Korelasi Berarah Utara-Selatan
Lintasan korelasi yang berarah relatif utara-selatan diwakili oleh lintasan
2U. Lintasan ini terletak dibagian utara daerah penelitian dan menghubungkan
sumur core Pungut-01 dan Pungut-35. Lintasan korelasi ini di ikat pada flooding
surface FS_B1 sebagai datum reservoir B dan FS_C1 sebagai datum reservoir C.
Hasil korelasi pada lintasan 2U memperlihatkan adanya perubahan fasies
terutama pada fasies Tidal Sand Bar yang dibatasi oleh flooding surface FS_B1
dibagian atas dan FS_B2 dibagian bawah. Fasies Tidal Sand Bar ini terlihat
mengalami penipisan sedimen ke arah selatan (Pungut-31). Sebaliknya fasies
Tidal Channel B yang dibatasi oleh flooding surface FS_B2 dibagian atas dan
material halus dibagian bawah, umumnya tidak mengalami perubahan fasies yang
berarti ke arah utara kecuali pada sumur Pungut-01 fasies tersebut menjadi hilang.
Reservoir batupasir C yang tersusun oleh fasies Tidal Sand Flat di bagian
atas dan fasies Tidal Channel di bagian bawahnya terlihat mempunyai ketebalan
yang relatif hampir sama sepanjang lintasan korelasi. Hal ini diartikan sebagai
tidak adanya perubahan fasies pada lintasan ini.
Berdasarkan pola log GR, lintasan 2U bisa dibedakan menjadi 4 siklus
pengendapan dari kedua reservoir B dan C. Reservoir B mempunyai siklus awal
retrograde yang di ikuti dengan siklus prograde di atasnya. Sedangkan reservoir
C mempunyai dua siklus pengendapan yang retrograde. Lebih detil mengenai
korelasi antar sumur lintasan 2U bisa di lihat pada gambar III.8.
52
Gambar III.8 Korelasi antar sumur dengan lintasan berarah utara-selatan (lintasan 2U) yang menggambarkan distribusi sedimen fasies B1,
B2, C1 dan C2 di bagian utara daerah penelitian.
1U
1S
2U
2S
1U
1S
2U
2S
53
Lintasan korelasi 2S dibuat dengan arah relatif utara-selatan. Lintasan ini
terletak dibagian selatan daerah penelitian dan merupakan kelanjutan dari korelasi
2U disebelah utaranya.
Hasil korelasi pada lintasan 2S memperlihatkan adanya perubahan fasies
pada fasies Tidal Sand Bar (B1) yang dibatasi oleh flooding surface FS_B1
dibagian atas dan FS_B2 dibagian bawah. Dari sumur Pungut-17, fasies ini
terlihat mengalami penipisan sedimen ke arah selatan (Pungut-18) dan
menghilang pada sumur Pungut-20 dan muncul lagi pada sumur Pungut-38 dan
Pungut-19. Fasies Tidal Channel B (B2) yang dibatasi oleh flooding surface
FS_B2 dibagian atas dan material halus dibagian bawah, juga mengalami
perubahan fasies dan tidak berkembang di sumur Pungut-21 dan muncul lagi di
sumur Pungut-08 sampai Pungut-19 di bagian selatannya. Perkembangan yang
cukup tebal dari fasies Tidal Channel B ini terlihat pada sumur Pungut-20.
Adanya perubahan fasies pada reservoir B ini bisa ditafsirkan bahwa arah
sedimentasi pada lintasan ini tidak berasal dari utara-selatan, karena lintasan ini
diperkirakan tegak lurus terhadap arah sedimentasi regional yang terjadi di daerah
penelitian.
Fasies Tidal Sand Flat (C1) yang merupakan bagian dari reservoir
batupasir C dibatasi oleh flooding surface FS_C1 di bagian atas dan FS_C2 di
bagian bawah. Dari penampang lintasan 2S, fasies ini terlihat mengalami
penebalan sedimen ke arah selatan. Sebaliknya fasies Tidal Channel C (C2) yang
dibatasi flooding surface FS_C2 di bagian atas dan material halus dibawahnya
terlihat semakin menipis ke arah selatan.
Berdasarkan pola log GRnya, siklus pengendapan kedua reservoir B dan C
bisa dikenali pada lintasan 2S ini. Pada lintasan ini terdapat 4 siklus pengendapan
dimana reservoir B mempunyai siklus awal retrograde yang di ikuti dengan siklus
prograde di atasnya. Sedangkan reservoir C mempunyai dua siklus pengendapan
yang retrograde. Korelasi antar sumur yang lebih detil pada lintasan 2S bisa di
lihat pada gambar III.9.
54
Gambar III.9 Korelasi antar sumur dengan lintasan berarah utara-selatan (lintasan 2S) yang menggambarkan distribusi sedimen fasies B1,
B2, C1 dan C2 di bagian selatan daerah penelitian.
1U
1S
2U
2S
1U
1S
2U
2S
55
III.2.2.2 Lintasan Korelasi Berarah Timur-Barat
Lintasan korelasi yang berarah relatif timur-barat diwakili oleh lintasan 5.
Lintasan ini terletak dibagian utara daerah penelitian dan menghubungkan sumur
core Pungut-37. Sama halnya dengan lintasan yang lain, lintasan korelasi ini di
ikat pada flooding surface FS_B1 sebagai datum reservoir B dan FS_C1 sebagai
datum reservoir C.
Hasil korelasi pada lintasan 5 umumnya tidak memperlihatkan adanya
perubahan fasies baik pada interval reservoir B maupun reservoir C. Fasies Tidal
Sand Bar (B1) yang dibatasi oleh flooding surface FS_B1 dibagian atas dan
FS_B2 dibagian bawah menunjukan sedimen yang lebih tebal pada sumur Pungut-
37, Pungut-39 dan Pungut-28 dibandingkan sumur sekitarnya. Sebaliknya fasies
Tidal Channel B (B2) yang dibatasi oleh flooding surface FS_B2 dibagian atas
dan material halus dibagian bawah, menunjukan sedimen yang lebih tipis pada
sumur Pungut-37, Pungut-39 dan Pungut-28 tersebut.
Tidak berbeda dengan fasies sebelumnya, Fasies Tidal Sand Flat (C1)
yang bagian atasnya dibatasi oleh flooding surface FS_C1 dan FS_C2 di batas
bawahnya juga tidak memperlihatkan adanya perubahan fasies. Fasies ini
mempunyai ketebalan sedimen yang relatif sama dari arah timur ke barat. Hal
yang hampir sama terlihat pada fasies Tidal Channel C (C2) dibawahnya, tidak
ada perubahan fasies yang terjadi. Tidak adanya perubahan fasies pada reservoir B
dan C ini bisa ditafsirkan bahwa arah sedimentasi di daerah penelitian umumnya
berasal dari timurlaut-baratdaya.
Berdasarkan pola log GR yang bisa diamati, terdapat 2 siklus pengendapan
yang terjadi pada reservoir B dan 2 siklus pengendapan pada reservoir C. Siklus
pengendapan reservoir B diawali oleh suatu retrograde di interval bawah dan
berubah menjadi siklus prograde di atasnya. Siklus pengendapan reservoir C
memperlihatkan dua siklus pengendapan yang retrograde. Kondisi siklus
pengendapan ini menunjukkan bahwa secara umum pengendapan pada reservoir B
dan C terjadi dalam keadaan transgresif. Korelasi antar sumur yang lebih detil
pada lintasan 5 bisa di lihat pada gambar III.10. korelasi antar sumur untuk
lintasan yang lainnya bisa dilihat pada lampiran.
56
Gambar III.10 Korelasi antar sumur dengan lintasan berarah timur-barat (lintasan 5) yang menggambarkan distribusi sedimen fasies B1,
B2, C1 dan C2 di bagian utara daerah penelitian.
3
4
5
6
7
8
9
3
4
5
6
7
8
9
57
Untuk melihat lebih jelas penyebaran fasies maupun sistem pengendapan
yang terjadi pada reservoir B dan C dari Formasi Bekasap ini, maka di lakukan
juga analisis terhadap penampang atau sayatan seismiknya. Penampang seismik
yang diamati adalah penampang dengan arah lintasan barat-timur yang dianggap
bisa memperlihatkan arah pengendapan dari sedimen karena relatif sejajar dengan
arah sedimentasi regional yang terjadi di lapangan Pungut.
Dalam melakukan korelasi di daerah penelitian tidak hanya melihat
hubungan antar sumur berdasarkan data log (picking marker) tetapi sebaiknya
didukung juga dengan korelasi terhadap seismiknya (picking horison) agar
kesalahan interpretasi bisa dikurangi (gambar III.11).
Selain itu pada penampang seismik tersebut kita bisa melakukan analisis
untuk melihat arah sedimentasi maupun kondisi pengendapan yang
mempengaruhinya. Berdasarkan penampang seismik daerah penelitian (gambar
III.12) yang di-flat-kan pada horison Bekasap B (garis kuning) sebagai objek
penelitian, agak sulit untuk melihat arah sedimentasi pada reservoir B dan C
karena interval seismik yang sempit. Reflektor seismik pada interval ini terlihat
sejajar satu sama lain dan tidak terlihat adanya progradasi menandakan bahwa
reservoir ini diendapkan dalam suatu lingkungan yang relatif datar. Tetapi dengan
melihat reflektor seismiknya yang mengalami perubahan reflektor seismik dari
kuat (warna merah tua) menjadi lemah (warna merah muda) dan terlihat menipis
ke arah timur. Hal ini memungkinkan bahwa daerah ini diendapkan dalam kondisi
transgresif.
Dari ketiga lintasan korelasi berarah utara-selatan dan timur-barat serta
penampang seismik yang dianggap mewakili daerah penelitian bisa ditafsirkan
bahwa arah umum sedimentasi di daerah penelitian berasal dari timurlaut-
baratdaya. Perubahan fasies lebih banyak terjadi pada lintasan korelasi berarah
relatif utara-selatan. Sedangkan dilihat dari siklus pengendapannya berdasarkan
data log, daerah penelitian diperkirakan terjadi dalam kondisi transgresif.
58
Gambar III.11 Penampang seismik arah barat-timur yang melintasi sumur Pungut-24, menggambarkan hubungan picking marker sumur
dan picking horison seismik di daerah penelitian.
Peta indeks
survei seismik
Peta indeks
survei seismik
59
Gambar III.12 Penampang seismik arah barat-timur yang di flat-kan pada horison Bekasap B (garis kuning).
Peta indeks
survei seismik
Basement
Peta indeks
survei seismik
Basement
60
III.2.3 Pemetaan Reservoir
Seperti yang telah diuraikan pada paragraf sebelumnya, reservoir B dan C
masing-masing bisa dipisahkan dalam 2 siklus pengendapan. Untuk melihat
penyebaran tubuh lapisan batupasir penyusun reservoir B dan C ini maka ke
empat reservoir tersebut yang akan dipetakan. Dalam hal ini, pemetaan reservoir
yang akan dilakukan adalah pemetaan geometri dan properti (sifat) reservoir.
III.2.3.1 Pemetaan Geometri
Pemetaan geometri yang dilakukan merupakan pemetaan ketebalan
(isochore) dari masing-masing total ketebalan parasikuen Bekasap B dan C atau
fasies sedimennya. Penentuan geometri reservoir ini dilakukan dengan
menganalisis semua lintasan korelasi di daerah penelitian yang telah dikalibrasi
dengan hasil analisis dan penafsiran dari tiga sumur yang mempunyai batuan inti
bor (core). Untuk menghasilkan interpretasi yang lebih baik, hasil pemetaan
geometri ini kemudian akan digabung dengan peta atribut seismik, dalam hal ini
adalah amplitudo RMS.
III.2.3.1.1 Parasikuen C2
Parasikuen C2 terletak di bagian paling bawah dan merupakan bagian dari
reservoir C Formasi Bekasap. Parasikuen ini dibatasi bagian atasnya oleh suatu
flooding surface yang dinamakan FS_C2 dan bagian bawahnya dibatasi oleh
material halus lapisan batulempung (Mud Flat). Hasil analisis dan penafsiran
batuan inti bor, parasikuen ini didominasi oleh asosiasi fasies Tidal Channel yang
diperkirakan mempunyai lingkungan pengendapan Intertidal-Shelf.
Berdasarkan peta ketebalan batupasir yang telah dibuat pada parasikuen
C2 (Tidal Channel) terlihat bahwa distribusi fasies ini umumnya semakin tebal di
bagian timur dan sebagian kecil di bagian selatan daerah penelitian dengan
ketebalan sekitar 20 sampai 30 kaki. Makin ke arah barat daerah penelitian,
penyebaran fasies ini makin tipis atau tidak berkembang.
Dari pola orientasi reservoirnya, bisa ditafsirkan bahwa tren arah
pengendapan parasikuen C2 yang relatif timurlaut-baratdaya (gambar III.13).
61
Gambar III.13 Peta ketebalan batupasir parasikuen C2 (Tidal Channel) di daerah
penelitian.
62
III.2.3.1.2 Parasikuen C1
Parasikuen C1 diendapkan di atas parasikuen C2 yang juga merupakan
bagian dari reservoir C Formasi Bekasap. Parasikuen ini dibatasi bagian atasnya
oleh suatu flooding surface yang dinamakan FS_C1 dan bagian bawahnya dibatasi
oleh flooding surface FS_C2. Hasil analisis dan penafsiran dari tiga batuan inti
bor, parasikuen ini ditafsirkan sebagai asosiasi fasies Tidal Sand Flat yang
diperkirakan diendapkan pada lingkungan pengendapan Intertidal-Inner Neritic.
Dari peta ketebalan batupasir yang telah dibuat pada parasikuen C1
menunjukkan bahwa penyebaran fasies ini umumnya semakin tebal di bagian
utara dan selatan daerah penelitian dengan ketebalan sekitar 15 sampai 25 kaki.
Sedangkan di bagian tengah daerah penelitian, penyebaran fasies Tidal Sand Flat
ini semakin menipis atau tidak terlalu berkembang.
Berdasarkan pola orientasi dari geometri reservoirnya, terlihat bahwa arah
pengendapan parasikuen C1 menunjukkan tren sedimentasi yang umumnya masih
relatif timurlaut-baratdaya walaupun di bagian tengahnya terlihat relatif utara-
selatan (gambar III.14).
63
Gambar III.14 Peta ketebalan batupasir parasikuen C1 (Tidal Sand Flat) di daerah
penelitian.
64
III.2.3.1.3 Parasikuen B2
Parasikuen B2 diendapkan setelah parasikuen C1 (Tidal Sand Flat) yang
dibatasi dibagian bawah oleh material halus lapisan batulempung atau batulanau
(Mud Flat) sedangkan bagian atasnya dibatasi oleh suatu flooding surface
(FS_B2). Hasil analisis dan penafsiran batuan inti bor di dua sumur (Pungut-01
dan Pungut-37) menunjukkan bahwa parasikuen ini ditafsirkan sebagai asosiasi
fasies Tidal Channel dengan perkiraan lingkungan pengendapan yaitu Intertidal-
Inner Neritic.
Peta ketebalan batupasir pada parasikuen B2 memperlihatkan distribusi
fasies yang umumnya semakin tebal di bagian tengah dan sebagian kecil di bagian
paling utara daerah penelitian dengan ketebalan sekitar 15 sampai 25 kaki. Fasies
ini terlihat yang lebih tipis di bagian utara dan selatan daerah penelitian.
Pola orientasi geometri reservoirnya masih menunjukkan tren arah
pengendapan parasikuen B2 tren yang relatif timurlaut-baratdaya (gambar III.15).
65
Gambar III.15 Peta ketebalan batupasir parasikuen B2 (Tidal Channel) di daerah
penelitian.
66
III.2.3.1.4 Parasikuen B1
Parasikuen B1 merupakan parasikuen paling atas yang diendapkan tepat di
atas parasikuen B2 sebagai bagian dari reservoir B Formasi Bekasap. Parasikuen
B1 ini dibatasi oleh suatu flooding surface yang dinamakan FS_B2 dibagian
bawahnya, sedangkan dibagian atas dibatasi oleh flooding surface FS_B1. Hasil
analisis dan penafsiran dari dua batuan inti bor di sumur Pungut-01 dan Pungut-37
menunjukkan bahwa parasikuen ini ditafsirkan sebagai asosiasi fasies Tidal Sand
Bar yang diperkirakan mempunyai lingkungan pengendapan Intertidal-Inner
Neritic.
Peta ketebalan batupasir yang telah dibuat pada parasikuen B1
memperlihatkan adanya penebalan penyebaran fasies di bagian tengah dan
sebagian kecil di bagian utara serta selatan daerah penelitian dengan ketebalan
sekitar 15 sampai 30 kaki. Penyebaran fasies ini kemudian terlihat semakin
menipis ke arah baratdaya daerah penelitian.
Seperti halnya fasies-fasies yang telah dibahas sebelumnya, pola orientasi
geometi reservoirnya masih memperlihatkan arah pengendapan dari parasikuen
B1 ini yang relatif timurlaut-baratdaya (gambar III.16).
67
Gambar III.16 Peta ketebalan batupasir parasikuen B1 (Tidal Sand Bar) di daerah
penelitian.
68
Setelah diperoleh hasil pemetaan terhadap ketebalan batupasir dari masing
masing fasies (parasikuen B1, B2, C1 dan C2) tersebut kemudian hasilnya
digabung dengan peta atribut seismik dalam hal ini terhadap RMS amplitudonya.
Analisis atribut seismik ini bertujuan untuk memperkuat interpretasi terhadap peta
ketebalan masing-masing fasies yang telah dibuat sehingga geometri dan juga
penyebaran lateral fasiesnya lebih jelas terlihat.
Atribut seismik RMS dibuat pada horison Bekasap B dan C sebagai objek
penelitian. Mempertimbangkan ketebalan rata-rata reservoir ini yang berkisar
antara 30-40 kaki maka dilakukan beberapa batasan jendela (windows) mulai dari
50 ms, 10 ms dan 5 ms. Dengan beberapa batasan jendela ini diharapkan geometri
reservoir bisa ditafsirkan lebih baik sehingga bisa diambil batasan atribut seismik
mana yang paling mendekati atau berkorelasi lebih baik.
Hasil dari pengolahan atribut seismik RMS pada windows 10 ms diambil
sebagai korelasi yang paling mendekati karena bisa memperlihatkan suatu pola
geometri dan arah sedimentasi dari reservoir B dan C (gambar III.17). Pada
horison Bekasap B dengan windows 10 ms, ditafsirkan adanya beberapa Channel
yang ditunjukkan oleh harga amplitudo atau frekuensi tinggi (warna merah-
kuning). Sedangkan pada horison Bekasap C, atribut seismik RMS terlihat
menyebar. Dari peta RMS ini terlihat juga bahwa arah sedimentasi relatif
timurlaut-baratdaya.
Peta atribut seismik RMS kemudian digabung dengan peta ketebalan
reservoir untuk melihat hubungan diantara keduanya (gambar III.18). Hasilnya
ternyata cukup memberikan gambaran bahwa ketebalan reservoir yang di picking
dari data sumur akan terlihat pada frekuensi RMS yang berharga tinggi (warna
biru muda) sebagai indikasi litologi batupasir. Korelasi antara peta ketebalan
reservoir dan atribut RMS ini kurang begitu baik dikarenakan kualitas seismik
yang mencakup daerah penelitian tidak begitu bagus. Walaupun demikian, peta
gabungan ini setidaknya memberikan tambahan informasi mengenai geometri dan
perkiraan arah sedimentasi di lapangan Pungut.
69
Gambar III.17 Kenampakan seismik amplitudo RMS pada horison Bekasap B (kiri) dan C (kanan) di daerah penelitian dengan batas
jendela (windows) 10 ms.
Mud Flat
Mud Flat
Channel
Marsh
Sand Flat
Mud Flat
Mud Flat
Channel
Marsh
Sand Flat
Mud Flat
Mud Flat
Channel
Marsh
Sand Flat
Mud Flat
Mud Flat
Channel
Marsh
Sand Flat
70
Gambar III.18 Peta gabungan antara ketebalan reservoir dan atribut seismik amplitudo RMS pada reservoir Bekasap B (kiri) dan C (kanan).
71
III.2.3.2 Pemetaan Properti/Sifat Reservoir
Dalam melakukan pemetaan properti reservoir di daerah penelitian, data
properti yang dimaksud adalah porositas dan permeabilitas. Data porositas dan
permeabilitas ini dihasilkan dari data log sumur yang diolah berdasarkan evaluasi
formasi. Data log olahan ini dikerjakan dengan bantuan perangkat lunak Geolog.
Evaluasi Formasi atau petrofisik merupakan interpretasi log sumur secara
kuantitatif untuk mengetahui sifat atau properti dari reservoir. Hampir semua data
log sumur yang ada di daerah penelitian mempunyai pengukuran yang menerus
dengan resolusi vertikal 0.5 kaki. Log tersebut hanya mengukur sifat/properti
batuan dasar (kandungan radioaktif, resistivitas, densitas bulk) dan tidak
mengukur langsung properti reservoir seperti porositas, permeabilitas, kandungan
batuserpih (volume shale) maupun saturasi fluida. Sehingga untuk mendapatkan
properti reservoir tersebut harus dilakukan kalibrasi dengan menggunakan properti
reservoir yang diukur dari batuan inti bor (core) yang ada.
Interpretasi log sumur secara kuantitatif ini sudah dilakukan oleh peneliti
terdahulu terhadap 37 sumur dari total 39 sumur yang ada. Dua sumur yang tidak
dilakukan evaluasi formasi adalah sumur Pungut-03 dan Pungut-04 karena sumur
tersebut tidak ekonomis (tidak ditemukan minyak) dan tidak mempunyai data log
dasar yang lengkap. Untuk melihat heterogeneitas reservoir di lapangan Pungut,
maka analisis terhadap evaluasi formasinya difokuskan kepada sifat reservoir
yang berhubungan dengan porositas dan permeabilitas. Hasil interpretasi log
sumur ini nantinya akan dipakai sebagai data dasar untuk pemetaan properti
reservoir maupun pemodelan geologi 3D.
Berdasarkan hasil evaluasi formasi yang telah dilakukan terhadap Formasi
Bekasap, reservoir batupasir B dan C sebagai objek penelitian umumnya
mempunyai harga porositas dan permeabilitas yang berbeda dibandingkan dengan
reservoir batupasir A di atasnya atau reservoir batupasir D di bawahnya. Harga
permeabilitas rata-rata pada lapisan B sekitar 208 md sedangkan lapisan C
mempunyai harga permeabilitas lebih kecil (144 md) walaupun harga porositas
kedua reservoir tersebut hampir sama (17-18%). Berbeda dengan lapisan batupasir
A dan D yang mempunyai harga permeabilitas lebih besar (di atas 500 md)
dibandingkan lapisan batupasir B dan C.
72
Berdasarkan pola log pada interval reservoir B dan C di daerah penelitian,
terlihat pola gradasi yang menunjukkan adanya litologi batupasir yang diselingi
oleh batulempung/serpih dengan kisaran harga GR 84-88 GAPI dan volume shale
25-27%. Hampir tidak terlihat pola log blocky pada interval reservoir ini yang
menunjukkan clean sand (batupasir bersih) seperti terlihat pada reservoir
batupasir D dengan harga GR rendah (62 GAPI) dan volume shale lebih rendah
(14 %).
Kondisi reservoir batupasir B dan C tersebut dalam industri perminyakan
termasuk dalam kategori reservoir dengan kualitas rendah sampai sedang (low-
medium quality reservoir) atau di daerah penelitian dikenal sebagai shalysand
reservoir. Karena sifat properti seperti inilah maka kandungan minyak yang ada di
dalamnya akan kurang efektif terambil oleh sumur vertikal. Hasil selengkapnya
mengenai perhitungan dari evaluasi formasi terhadap sifat reservoir Formasi
Bekasap bisa dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel III.2 Ringkasan sifat/properti reservoir dari Formasi Bekasap berdasarkan
hasil perhitungan evaluasi formasi (petrofisik).
reservoir
Gamma
Ray (GAPI)
Volume
shale (%)
Porositas
eff. (%)
Permeabilitas
(md)
Saturasi
air (%)
A 84.4 28.5 17.5 501.5 67.2
B 88.4 26.9 17.6 208.4 87.3
C 84.8 25.2 18.5 144.4 95.4
D1 62.5 13.7 22.2 1511 76.3
Setelah didapatkan data-data properti hasil evaluasi formasi dari masing-
masing reservoir Bekasap B dan C, maka dilakukan pemetaan propertinya
(porositas dan permeabilitas) terhadap masing-masing parasikuen B1, B2, C1 dan
C2.
73
Pemetaan properti reservoir dicoba dengan melakukan dua pendekatan
yaitu metode statistik biasa menggunakan perangkat lunak ZMAP dan metode
geostatistik yang menggunakan perangkat lunak Gocad. Kelebihan melakukan
pemetaan properti dengan analisis geostatistik adalah dipertimbangkannya model
geometri reservoir dan hubungan spatial sehingga model peta yang dibangun lebih
mendekati.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, parasikuen B1 merupakan bagian
dari reservoir B pada Formasi Bekasap. Parasikuen B1 yang ditafsirkan sebagai
fasies Tidal Sand Bar dibuat peta properti porositas dan permeabilitasnya.
Berdasarkan gambar III.19 sebelah kiri, terlihat adanya penyebaran porositas di
daerah penelitian. Porositas dengan kisaran 16 – 22 % merupakan nilai porositas
yang paling besar pada fasies ini dan umumnya menempati daerah di bagian
tengah, sebagian kecil di bagian utara dan selatan. Sedangkan porositas dibawah
16 % menempati daerah utara dan selatan lapangan Pungut.
Peta permeabilitas pada gambar III.19 sebelah kanan, memperlihatkan
kisaran nilai permeabilitas yang juga bervariasi. Permeabilitas dengan kisaran
nilai 200 sampai 400 md tersebar di daerah utara dan selatan penelitian.
Sedangkan nilai permeabilitas dibawah 200 md tersebar hampir di bagian tengah
daerah penelitian.
Dari kedua peta porositas dan permeabilitas pada fasies Tidal Sand Bar
tersebut, secara umum korelasi antara porositas dan permeabilitasnya cukup baik
dimana porositas yang tinggi mempunyai nilai permeabilitas yang besar walaupun
di beberapa tempat kondisi ini tidak selamanya ideal.
74
Gambar III.19 Peta penyebaran porositas (kiri) dan permeabilitas (kanan) rata-rata pada parasikuen B1 (fasies Tidal Sand Bar).
75
Parasikuen B2 berdasarkan analisis batuan inti bor ditafsirkan sebagai
fasies Tidal Channel. Gambar III.16 memperlihatkan peta properti dari porositas
dan permeabilitas dari fasies ini. Berdasarkan peta porositas yang telah dibuat
(gambar III.20 sebelah kiri), porositas dengan kisaran 16 – 22 % merupakan nilai
porositas yang dominan pada fasies ini dan umumnya tersebar di bagian tengah
dan selatan daerah penelitian. Sedangkan porositas dengan nilai dibawah 16 %
tersebar setempat di bagian utara dan sebagian kecil bagian tengah lapangan
Pungut.
Dari peta permeabilitas pada gambar III.20 sebelah kanan, memperlihatkan
kisaran nilai permeabilitas yang juga bervariasi. Permeabilitas dengan kisaran
nilai 200 sampai 400 md tersebar setempat-setempat di bagian tengah dan selatan
daerah penelitian. Sedangkan nilai permeabilitas dibawah 200 md terlihat cukup
mendominasi daerah penelitian terutama di bagian utara dan tengah.
Berdasarkan kedua peta properti porositas dan permeabilitas pada fasies
Tidal Channel Sand ini memperlihatkan korelasi yang cukup baik antara porositas
dan permeabilitas dibandingkan dengan fasies Tidal Sand Bar di atasnya. Nilai
porositas yang tinggi tersebar di daerah yang hampir sama dengan nilai
permeabilitas yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan erat antara
kualitas suatu reservoir dengan fasies sedimen atau lingkungan pengendapan.
76
Gambar III.20 Peta penyebaran porositas (kiri) dan permeabilitas (kanan) rata-rata pada parasikuen B2 (fasies Tidal Channel).
77
Parasikuen C1 merupakan bagian dari reservoir C dan ditafsirkan sebagai
fasies Tidal Sand Flat. Secara posisi stratigrafi, fasies ini diendapkan dibagian
bawah fasies Tidal Channel (parasikuen B2) dengan dibatasi oleh material halus
batulempung dan batulanau (Mud Flat).
Peta porositas dan permeabilitas dari fasies ini ditunjukkan oleh gambar
III.17. Berdasarkan peta porositas yang telah dibuat (gambar III.21 sebelah kiri),
bisa dilihat bahwa nilai porositas yang dominan berkisar antara 16 – 22 %.
Porositas tertinggi terdapat di daerah selatan penelitian dengan nilai 22 %.
Umumnya porositas yang cukup tinggi ini tersebar di bagian utara dan selatan
daerah penelitian. Sedangkan porositas dengan kisaran nilai 10 - 16 % tersebar di
bagian tengah dan sebagian kecil di bagian utara lapangan Pungut.
Dari peta permeabilitas pada gambar III.21 sebelah kanan, dapat diketahui
bahwa nilai permeabilitas dibawah 200 md cukup mendominasi fasies ini. Nilai
permeabilitas paling besar hanya sekitar 200 md yang tersebar setempat di bagian
barat (tengah) daerah penelitian. Sedangkan nilai permeabilitas antara 100 - 200
md tersebar di bagian selatan daerah penelitian.
Korelasi yang cukup baik antara properti porositas dan permeabilitas
masih bisa dilihat pada properti fasies Tidal Sand Flat ini. Rendahnya nilai
permeabilitas di daerah ini cukup beralasan karena fasies ini umumnya tersusun
dari batupasir halus.
78
Gambar III.21 Peta penyebaran porositas (kiri) dan permeabilitas (kanan) rata-rata pada parasikuen C1 (fasies Tidal Sand Flat).
79
Parasikuen C2 juga merupakan bagian dari reservoir C dan ditafsirkan
sebagai fasies Tidal Channel. Secara posisi stratigrafi, fasies ini diendapkan tepat
di bagian bawah fasies Tidal Sand Flat (parasikuen C1).
Penyebaran porositas dan permeabilitas dari fasies ini ditunjukkan oleh
peta properti (gambar III.22). Dari peta porositas yang telah dibuat (gambar III.18
sebelah kiri), terlihat adanya variasi nilai porositas yang umumnya tersebar dari
bagian tengah sampai ke selatan daerah penelitian dengan kisaran nilai 16 – 22 %.
Porositas tertinggi terdapat di daerah selatan penelitian dengan nilai 23 %. Kisaran
porositas yang lebih rendah (12 - 16 %) tersebar di bagian utara, barat dan
sebagian kecil di bagian timur lapangan Pungut.
Berdasarkan peta permeabilitasnya (gambar III.22 sebelah kanan), nilai
permeabilitas antara 100 md sampai 400 md mengikuti tren yang sama dengan
peta porositasnya yaitu tersebar di bagian tengah dan selatan daerah penelitian.
Nilai permeabilitas paling besar terlihat di bagian selatan sekitar 390 md (sumur
Pungut-26). Sedangkan nilai permeabilitas di bawah 100 md hampir melingkupi
seluruh daerah penelitian.
Seperti halnya fasies Tidal Channel (parasikuen B2), korelasi yang cukup baik
antara properti porositas dan permeabilitas juga diperlihatkan pada fasies Tidal
Channel parasikuen C2 ini. Nilai porositas yang tinggi tersebar di daerah yang
hampir sama dengan nilai permeabilitas yang besar begitu juga sebaliknya dengan
nilai properti yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa baik buruknya
kualitas suatu reservoir dikontrol salahsatunya oleh fasies sedimen atau
lingkungan pengendapannya.
80
Gambar III.22 Peta penyebaran porositas (kiri) dan permeabilitas (kanan) rata-rata pada parasikuen C2 (fasies Tidal Channel).
81
Hasil pemetaan properti reservoir dari ke empat fasies tersebut di atas
kemudian dibandingkan juga dengan hasil pemetaan properti reservoir yang
dibuat menggunakan metode pendekatan geostatistik dengan aplikasi perangkat
lunak Gocad.
Di daerah penelitian, pemetaan terhadap properti porositas dan
permeabilitas reservoir yang sudah dilakukan dalam Gocad oleh peneliti
terdahulu (BATM-Usakti, 2003) adalah pemetaan terhadap reservoirnya saja yaitu
reservoir B dan C dari Formasi Bekasap dan tidak membagi lagi reservoir tersebut
dalam suatu parasikuen seperti yang dilakukan pada penelitian ini.
Oleh karena itu, selain melakukan pemetaan properti terhadap masing-
masing parasikuen (B1, B2, C1 dan C2) maka dilakukan juga pemetaan terhadap
reservoir B dan C dengan menggunakan aplikasi Zmap agar bisa dibandingkan
secara lebih sesuai dengan pemetaan properti yang telah dilakukan sebelumnya
dengan menggunakan aplikasi Gocad (lampiran 14).
Berdasarkan hasil perbandingan antara peta properti dua dimensi (Zmap)
dan peta properti tiga dimensi dengan analisis geostatistik (Gocad) terhadap
reservoir B dan C di daerah penelitian, secara umum kedua metode pemetaan
tersebut memperlihatkan hasil yang saling mendukung satu sama lain di lihat dari
kisaran harga masing-masing properti maupun tren dari penyebaran properti
reservoir tersebut. Pemetaan properti dengan menggunakan metode statistik
(Zmap) mempunyai keterbatasan dalam melakukan ekstrapolasi data karena hanya
dikontrol oleh data sumur. Sedangkan pemetaan properti dengan menggunakan
metode analisis geostatistik mampu mengurangi keterbatasan dengan
mempertimbangkan hubungan spatial (spatial relationship), karena selain
dikontrol oleh data sumur yang ada juga dimasukkan unsur pendukung lain seperti
geometri reservoir maupun seismik atributnya sehingga hasilnya lebih baik.
Contoh pemetaan properti menggunakan metode geostatistik bisa dilihat pada
gambar III.23 dan III.24.
82
Gambar III.23 Peta 3D penyebaran porositas (kiri) dan permeabilitas (kanan) rata-rata reservoir B dengan metode geostatistik (Gocad).
Peta penyebaran
permeabilitas rata-rata
Reservoir B
Peta penyebaran
porositas rata-rata
Reservoir B
Peta penyebaran
permeabilitas rata-rata
Reservoir B
Peta penyebaran
permeabilitas rata-rata
Reservoir B
Peta penyebaran
porositas rata-rata
Reservoir B
Peta penyebaran
porositas rata-rata
Reservoir B
83
Gambar III.24 Peta 3D penyebaran porositas (kiri) dan permeabilitas (kanan) rata-rata reservoir C dengan metode geostatistik (Gocad).
Peta penyebaran
porositas rata-rata
Reservoir C
Peta penyebaran
permeabilitas rata-rata
Reservoir C
Peta penyebaran
porositas rata-rata
Reservoir C
Peta penyebaran
porositas rata-rata
Reservoir C
Peta penyebaran
permeabilitas rata-rata
Reservoir C
Peta penyebaran
permeabilitas rata-rata
Reservoir C
84
III.3 Validasi dengan Data Dinamik
Data dinamik merupakan data teknik yang dipakai untuk mendukung atau
mem-validasi hasil analisis yang dilakukan pada data statik di daerah penelitian.
Salahsatu data dinamik yang dipakai untuk mendukung karakterisasi dari reservoir
B dan C Formasi Bekasap ini adalah data produksi. Data produksi ini diambil dari
data tes sumur yang kemudian dihitung ulang untuk mendapatkan data kapasitas
deliverability dari suatu reservoir. Data deliverability yang dimaksud adalah data
permeabilitas. Agar data permeabilitas tersebut mencerminkan kualitas reservoir
yang bersangkutan maka data produksi yang diambil adalah data produksi yang
berasal dari satu interval reservoir (single zone test) bukan dari data produksi yang
diambil dari beberapa interval reservoir (commingled).
Untuk melihat kemampuan reservoir dalam mengalirkan fluida (minyak)
ke permukaan maka bisa dilihat dari laju fluida pada saat pengambilan data tes
sumur (swab test). Di daerah penelitian, kemampuan laju fluida reservoir Formasi
Bekasap bisa dikelompokan menjadi tiga yaitu :
1. Laju fluida < 400 BFPD sebagai low rate reservoir
2. Laju fluida 400 - 1500 BFPD sebagai medium rate reservoir
3. Laju fluida > 1500 BFPD sebagai high rate reservoir.
Klasifikasi di atas tentunya berbeda di tempat lain karena tergantung dari
karakteristik reservoir dan juga kondisi ekonomik lapangan minyaknya.
Berdasarkan hasil perhitungan permeabilitas dari data produksi di
beberapa lokasi yang diambil dari tes sumur pada satu interval reservoir (single
zone reservoir) B dan C (tabel III.2 dan tabel III.3), menunjukkan bahwa data
permeabilitas aktual pada reservoir B mempunyai nilai permeabilitas rata-rata 258
md sedangkan pada reservoir C mempunyai nilai permeabilitas rata-rata lebih
kecil yaitu 174 md. Nilai permeabilitas terendah pada reservoir B adalah 73 md
sedangkan nilai tertinggi 630 md. Nilai permeabilitas terendah pada reservoir C
adalah 69 md sedangkan nilai tertinggi 334 md.
Melihat hasil perhitungan tersebut, maka reservoir B dan C di daerah
penelitian dikategorikan sebagai low rate reservoir. Hal ini semakin mendukung
pernyataan bahwa reservoir B dan C di Formasi Bekasap merupakan low-medium
85
quality reservoir.
Tabel III.3 dan III.4 dibawah menampilkan data produksi dan perhitungan
estimasi permeabilitas di daerah penelitian pada interval reservoir B dan C.
Perhitungan permeabilitas yang dilakukan tersebut di asumsikan adalah benar
sehingga tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut.
Tabel III.3 Data produksi dan perhitungan estimasi permeabilitas pada interval
reservoir B di daerah penelitian, dengan asumsi nilai faktor volume
formasi minyak (Bo) = 1.15 rstb/stb dan viskositas minyak µo 1.6 cp.
Well Date BFPD BOPD WC SFL WFL PI h Rw Re Estimated OCUM
Upper Bottom (%) (ft) (ft) BBL/Psi (ft) (Inc) (In) K (mD) (MSTB)
Pungut # 01 31-Aug-01 2862 2877 389 97 75 2039 2284 3.67 14 852 3.5 374 1984
Pungut # 02 15-Oct-99 2718 2728 475 95 80 1620 2221 1.83 10 16452 3.5 401 1964
Pungut # 12 6-Jan-95 2792 2800 290 15 95 2190 2517 2.05 18 10968 3.5 238 561
Pungut # 13 6-Aug-83 2692 2702 648 642 1 1621 2076 3.29 38 6216 3.5 168 381
1-Sep-06 2720 2826 576 115 80 1077 1690 2.17 38 6216 3.5 111
Pungut # 14 19-Jul-86 2736 2876 984 197 80 638 1077 5.18 23 8340 3.5 455 126
Pungut # 16 3-May-90 2740 2760 324 19 94 1568 2417 0.88 23 5136 3.5 73 157
Pungut # 22 2-May-95 2780 2786 274 137 50 2313 2532 2.89 17 14196 3.5 367 888
Pungut # 23 27-Sep-99 2783 2789 486 0 100 1534 2311 1.44 17 10548 3.5 177
Pungut # 27 10-Jun-99 2798 2818 691 21 97 212 2098 0.85 7 11472 3.5 254 239
Pungut # 28 5-Sep-88 2736 3110 389 156 60 1793 2189 2.27 15 5604 3.5 290 122
19-Apr-97 2736 3060 874 0 100 1112 1901 2.56 15 5604 3.5 327
Pungut # 31 18-May-86 2662 2698 768 8 99 39 1886 0.96 17 5496 3.5 108 129
26-Jun-92 2662 2668 365 4 99 1594 2332 1.14 17 5496 3.5 128
Pungut # 17 10-Oct-98 2678 2706 461 300 35 726 1948 0.87 16 7548 3.5 109 164
Pungut # 18 6-Feb-03 2670 2708 194 49 75 1439 2367 0.48 4 10560 3.5 251 116
Pungut # 19 6-Aug-94 2672 2678 622 56 91 648 1003 4.05 13 8424 3.5 630 239
Pungut # 26 9-Sep-00 2746 2756 331 10 97 1221 2235 0.75 8 8940 3.5 192 166
Interval
Tabel III.4 Data produksi dan perhitungan estimasi permeabilitas pada interval
reservoir C di daerah penelitian, dengan asumsi nilai faktor volume
formasi minyak (Bo) = 1.15 rstb/stb dan viskositas minyak µo 1.6 cp.
Well Date BFPD BOPD WC SFL WFL PI h Rw Re Estimated OCUM
Upper Bottom (%) (ft) (ft) BBL/Psi (ft) (Inc) (In) K (mD) (MSTB)
Pungut # 02 19-Mar-95 2805 2811 739 0 100 1086 1660 2.97 22 13572 3.5 290 423
Pungut # 10 1-Oct-92 2828 2838 113 107 5 1364 2514 0.23 6 4464 3.5 70 13
Pungut # 12 6-Jan-95 2818 2838 110 83 25 2094 2486 0.65 13 21624 3.5 113 635
Pungut # 13 19-Feb-91 2750 2768 91 78 15 2063 2431 0.57 13 1428 3.5 69 322
Pungut # 16 3-May-90 2798 2808 970 0 100 1268 2467 1.87 12 13404 3.5 334 225
Pungut # 27 10-Jun-99 2860 2868 461 0 100 1474 2382 1.17 10 7344 3.5 233 56
2-Mar-99 2860 2868 389 194 50 1344 2189 1.06 10 7344 3.5 211
Pungut # 28 17-Mar-88 2790 2806 324 6 98 1586 2389 0.93 11 5412 3.5 162 34
19-Apr-97 2790 2806 487 0 100 1362 2312 1.18 11 5412 3.5 205
Pungut # 11 3-Nov-98 2746 2770 528 5 99 0 1617 0.75 12 6888 3.5 124 59
Pungut # 19 27-May-92 2784 2796 451 90 80 957 1707 1.39 28 6636 3.5 97 129
Pungut # 26 9-Sep-00 2830 2846 582 17 97 853 1537 1.97 23 13680 3.5 184 449
Interval
86
Validasi dengan menggunakan data produksi ini tentunya mempunyai
beberapa kelemahan karena salahsatunya tergantung dari kualitas pengambilan
data tes sumur yang telah dilakukan. Akibat dari tidak terjaganya kualitas
pengambilan sampel air/minyak ini akan menyebabkan anomali data yang tidak
sesuai. Akan lebih baik jika dilakukan beberapa metode validasi data dinamik
yang lebih kuantitatif untuk menjelaskan kualitas dari suatu reservoir, tetapi
karena keterbatasan data dan waktu yang tersedia maka validasi dengan data
produksi ini dianggap cukup mewakili untuk mengetahui karakteristik dari
reservoir B dan C dari Formasi Bekasap di daerah penelitian.