bab iii f. widayanto sebagai seniman keramik 3.1...
TRANSCRIPT
BAB III
F. WIDAYANTO SEBAGAI SENIMAN KERAMIK
3.1 Biografi F. Widayanto
Fransiskus Widayanto dilahirkan pada tanggal 23 Januari 1953 di Jakarta. Di
lingkungan dunia seni keramik Indonesia nama Widayanto sudah dikenal
masyarakat. Yanto, demikian panggilan akrabnya, dikenal memiliki karakter
kuat pada bahan, torehan yang kuat dengan ciri khas flora dan fauna. Widayanto
lebih banyak dikenal karena dirinya merupakan sosok yang berhasil
memadukan seni dan aspek ekonomi dari seni keramik itu sendiri.
Gb. 3.1
F. Widayanto (sumber : Katalog Fan-tastic lady)
Pada tahun 1974, Yanto melanjutkan sekolahnya di Departemen Seni Rupa ITB,
dan memperoleh gelar kesarjanaannya pada tahun 1981 dari Jurusan keramik
pada Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada
tahun 1982, bersama seorang temannya ia mengadakan pameran di Erasmus
Huis Kedubes Belanda–Jakarta, yang menampilkan lukisan-lukisan dan keramik
karya tugas akhirnya sewaktu kuliah di ITB.
50
Pada tahun 1983, F. Widayanto mendirikan Studio Keramik di kawasan Gadok,
Ciawi, Bogor dengan Bendera Marryan’s Clay Work. Kemudian sekitar tahun
1990 sampai 1996 aktif sebagai pengajar pada Jurusan Keramik IKJ. Pada tahun
1991, mendirikan perusahaan bernama P.T Widayanto Citra Tembikarindo,
studio keramik baru di Tapos, Ciawi, Bogor yang sukses hingga kini. Karya
miliknya telah melanggang buana bahkan menembus batas negara.
Bagi Yanto, dunia keramik telah menjadi pegangan hidupnya. Untuk itu dirinya
dituntut untuk terus menghasilkan produk atau karya baru. Ia sadar bahwa
mengenai trend keramik yang ia buat harus terus dikomunikasikan kepada
masyarakat. Atas dasar itu dirinya harus sering pameran, baik itu produk massal
ataupun karya seni, di dalam maupun di luar negeri.
Yanto tergolong perupa yang cukup produktif menggelar pameran. Ia pernah
menggelar pameran tunggal di Hotel Regent pada 1994, di Museum and Art
Gallery of the Northern Territory di Darwin, Australia (1996). Selain pameran
tunggal, ia juga sering menggelar pameran produk massal di antaranya pada
pameran Made in Indonesia di Singapura tahun 1997, Indonesia Collection
2000 di Singapura. Meski sudah berkarya cukup lama, namun dirinya belum
puas. Yanto mengaku banyak sekali kreativitas yang ingin ia keluarkan.
Menurutnya yang diperlukan untuk sukses adalah evolusi, bukan revolusi.
Keramik menurutnya sulit dikerjakan dan memerlukan proses yang lama, harus
mengenal tanah, mengetahui detil pembuatan dan pembakaran serta apabila
pecah harus diulang. Namun penghargaan orang pada keramik tetap masih
kurang, maka satu-satunya jalan adalah terus membuat dan terus
memperkenalkan dengan cara melakukan pameran rutin. Selain melakukan
pameran-pameran karya keramik yang bersifat keramik seni, Yanto
mengadakan pula pameran produk P.T Widayanto Citra Tembikarindo.
51
Keberhasilannya bisa dilihat dari perusahaannya yang kini mempekerjakan
lebih dari 100 karyawan. Ia memiliki tanah seluas satu hektare di Depok. Di
sana ada rumah contoh berisi sebagian karya-karyanya yang terbuka untuk
umum pada Sabtu dan Minggu. Selain itu ia memiliki lahan seluas 2,5 hektare
di Tapos, Bogor, yang dijadikan tempat kerja (workshop) baginya.
Sebagai usaha bisnis yang ingin tetap langgeng dan terus berkembang, Yanto
sadar sepenuhnya bahwa roda usahanya harus dijalankan dengan prinsip-prinsip
manajemen modern. Karena waktunya lebih banyak dihabiskan di Tapos,
dirinya banyak dibantu oleh manajer keuangan dan staf lain. Selain kantor pusat
di Jl. Setiabudi, Jakarta Pusat, ada pula kantor di Jl.Panglima Polim, Jakarta
Selatan untuk barang jenis sanitary. Ia juga membuka cabang di kota lain, antara
lain Bandung, tetapi prospeknya tidak terlalu bagus. Bicara keuntungan yang
didapat selama ini, Yanto mengaku tidak banyak mengetahui karena semua itu
ia serahkan kepada manajer keuangan. Dengan managemen yang baik, selama
ini perusahaannya tidak pernah meminjam atau mengambil kredit ke bank atau
pihak lain untuk mengembangkan usaha.
3.2 Dasar Pemikiran Berkesenian F. Widayanto
Dasar pemikiran F.Widayanto dalam berkesenian yaitu keselarasan hidup, yang
berarti kehidupan yang berlangsung harus dijalaninya dengan sabar. Sabar
dalam artian selaras merupakan bagian dari proses alam yang tidak
memaksakan keinginan sendiri, seperti pada hasil wawancara dengan penulis
yaitu :
”Dalam membuat keramik kita harus bersabar, karena membuat keramik melalui beberapa tahapan, apalagi dalam proses pembakaran yang belum tentu hasil awal sebelum masuk pembakaran sama dengan hasil akhir setelah proses pembakaran” (wawancara dengan F.Widayanto, 16 April 2007).
52
Penggunaan material sesuai dengan karakteristiknya, dilakukan Yanto sebagai
wujud penghargaan terhadap material dan upaya untuk memahami karakteristik
tiap material yang hendak digunakan. Proses pemahaman terhadap material ini
bukanlah hal yang mudah, perlu kesabaran untuk dapat memahami kelebihan
atau kekurangan suatu material, sehingga dapat dimanfaatkan untuk
mewujudkan ide seniman.
Hal ini tertulis pada penelitian Deni Yana, yaitu :
”F.Widayanto berpendapat bahwa keramik bukan hanya sebatas media untuk mengekspresikan diri, tetapi lebih dari itu melalui keramik ini ia mendapat banyak pelajaran yang akhirnya mempengaruhi dasar pemikirannya dalam berkarya bahkan juga pandangannya terhadap kesenian, dengan kata lain penghargaan terhadap material mencerminkan penghargaan terhadap alam itu sendiri, dan manusiapun merupakan bagian dari proses alam” (Yana, 2004 : 62).
Dasar pemikiran F.Widayanto yang mengemukakan bahwa berkesenian adalah
bekerja, membuatnya tidak terlalu mempermasalahkan apakah karya
keramiknya dimasukkan ke dalam bidang kriya atau seni. Sejak awal, kehadiran
keramik dalam kehidupan masyarakat berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
fisik, hal ini terus melekat sampai sekarang, sehingga masyarakat
menggolongkan karya keramik ke dalam bidang kriya daripada seni. Umumnya
benda fungsional dibuat untuk mencari keuntungan atau dijual, maka anggapan
itupun melekat pada keramik, hal ini terungkap dalam wawancara penulis
dengan Widayanto debagai berikut :
”Melalui bekerja saya mengasah kepekaan terhadap bentuk maupun motif sehingga dapat menguasainya. Melalui kerja keras ini mendorong saya untuk lebih kreatif dalam berkarya” (wawancara dengan F.Widayanto, 16 April 2007).
53
3.3 Konsep Berkarya F. Widayanto
F.Widayanto memperlihatkan nilai-nilai kekriyaan dalam karya-karyanya baik
produk fungsional maupun yang berupa produk non-fungsional. Nilai-nilai ini
dapat dilihat dari penggunaan teknik yang tinggi serta kecenderungan dekoratif
tanpa menghilangkan ekspresi pribadinya.
Hadirnya unsur-unsur budaya tradisi, terutama budaya Jawa pada karya-karya
F. Widayanto menjadi ciri khas seorang seniman, seperti yang dipaparkan oleh
Deni Yana dalam Tesisnya :
”Mengamati karya-karya F.Widayanto mulai dari kriya keramik fungsional sampai pada kriya keramik yang cenderung ke arah seni, terdapat satu ciri khas, yaitu hadirnya unsur-unsur budaya tradisi terutama berasal dari Jawa. Kehadiran unsur tradisi dalam karyanya sekaligus sebagai perwujudan jati dirinya sebagai orang Indonesia” (Yana, 2004 : 64).
Di samping menampilkan konsep budaya tradisi, dalam karya-karya patung,
F.Widayanto banyak memilih tema perempuan dengan bermacam balutan
busana dan berbagai ekspresi, hal ini terungkap dalam wawancara penulis
dengan Widayanto debagai berikut :
”Saya memilih tema perempuan dalam karya-karya saya karena saya tertarik dengan figur perempuan yang bisa melakukan berbagai macam gaya dengan berbagai ekspresi, dan saya tertarik pada dunia fesyen yang saya aplikasikan hanya pada karya-karya saya (wawancara dengan F.Widayanto, 16 April 2007).
Melaui karya-karya yang bertemakan perempuan F.Widayanto tidak hanya
ingin menampilkan sosok perempuan sebatas perupaannya atau penampilan
fisik, melainkan terdapat nilai-nilai yang ingin diutarakan mengenai kejadian-
kejadian yang berlangsung di sekitarnya.
”Saya membuat karya-karya patung keramik dengan tema perempuan dengan berbagai bentuk, karena saya ingin mencoba menginterpretasikan tanggapan saya tentang kejadian yang berlangsung di sekitar saya” (wawancara dengan F.Widayanto, 16 April 2007).
54
3.4 Kriya Keramik F. Widayanto
Keramik dalam kehidupan masyarakat ada yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan hidup, seperti umumya benda-benda fungsional lainnya yang dibuat
untuk tujuan mencari keuntungan. Upaya peningkatan kualitas serta bentuk
merupakan hal yang biasa dilakukan oleh para kriyawan untuk menarik
konsumen, karena ukuran keberhasilan lebih ditentukan oleh laku tidaknya
karya kriya itu di pasaran.
Karya kriya keramik yang dihasilkan oleh Yanto selain menjadi benda yang
fungsional, juga menjadi curahan ekspresi, sehingga menjadi karya kriya
keramik yang mencerminkan karakter pembuatnya. Benda-benda komersial
untuk kepentingan bisnis yang diproduksi oleh Yanto berupa benda-benda yang
dibutuhkan konsumen, baik fungsional maupun sekedar aksesoris dan penghias
rumah dan kantor.
3.4.1 Aksesoris
Karya kriya keramik sebagai aksesoris perempuan, diantaranya ; kalung, anting,
bros, dan lain sebagainya. Pada karya kriya ini menampilkan motif hias dan
ornamen yang khas Widayanto. Seperti motif hias fauna ; kupu-kupu, katak,
ikan, serta motif hias flora; daun dan lain sebagainya.
Gb. 3.2
Kalung bentuk Kupu-kupu (sumber : Penulis, 2007)
55
3.4.2 Wadah
Berbagai macam kriya keramik yang berfungsi sebagai wadah, Yanto membuat
berbagai macam peralatan, seperti peralatan makan, peralatan minum dan lain
sebagainya. Benda-benda ini diproduksi secara massal, tetapi tetap terjaga
kualitasnya baik dari segi bahan, bentuk dan teknis.
Gb. 3.3 Peralatan Minum
(sumber : www.widayanto.com)
Gb. 3.4 Peralatan Makan
(sumber : www.widayanto.com)
3.4.3 Aksesoris Kamar Mandi
Pada karya kriya keramik ini motif hias dan ornamen tampak mendominasi
pada permukaan karya atau bidang keramik dengan berbagai bentuk dan warna.
menampilkan motif flora dan motif fauna diantaranya bentuk capung, ikan,
kodok dan lain-lain.
Gb. 3.5
Peralatan Mandi (sumber : www.widayanto.com)
56
3.4.4 Aksesoris Interior
Bentuk kriya keramik sebagai aksesoris interior di buat berdasarkan kebutuhan
pemakainya, karya kriya ini dibuat selain mempunyai nilai estetika baik dari
segi bentuk maupun pewarnaan, juga harus mempertimbangkan fungsinya.
Kriya keramik ini berupa kendi, pot bunga, bejana dan sejenisnya.
Gb. 3.6
Aksesoris Interior (sumber : Katalog Produk F.Widayanto)
3.4.5 Perlengkapan kantor
Kriya keramik yang berfungsi sebagai perlengkapan kantor, antara lain berupa
tempat bollponit, jam duduk, asbak, tempat kertas tisue, vas bunga dan lain
sebagainya. Dalam kriya ini motif hias yang menjadi khas Widayanto tetap
muncul, seperti motif hias flora dan fauna khususnya bentuk kupu-kupu.
57
Gb. 3.7
Perlengkapan kantor
(sumber : Katalog Produk F.Widayanto)
3.4.6 Souvenir
Dalam kriya yang dibuat untuk souvenir, Yanto membuat berbagai macam
bentuk, mulai dari bentuk-bentuk fauna seperti bentuk ikan, kura-kura, cicak,
kodok dan lain sebagainya serta bentuk-bentuk flora, seperti daun. Bentuk-
bentuk itu berupa patung kecil, dan hiasan dinding. Karya kriya ini dibuat
dengan pewarnaan yang khas, yaitu warna krem, hijau dan coklat.
Gb. 3.8
Souvenir berbentuk Cicak
(sumber : Penulis, 2007)
58
3.5 Karya-karya Seni Keramik F. Widayanto
Pada awal kehadiran keramik dalam kehidupan masyarakat berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan fisik, hal ini terus melekat sampai sekarang, sehingga
masyarakat menggolongkan karya keramik ke dalam bidang kriya daripada seni.
Umumnya benda fungsional dibuat bertujuan mencari keuntungan atau dijual, maka
anggapan itupun melekat pada keramik.
Pada karya keramik ini ia mencurahkan segenap ekspresi pribadinya. Sentuhan
pribadi F.Widayanto terhadap karya-karya keramiknya dan kemampuannya
memanfaatkan karakteristik keramik baik dari segi teknik maupun bahan membuat
karya keramiknya sulit untuk ditiru secara persis, ini terbukti dari kehalusan serta
pewarnaan karya.
Perkembangan keramik dari segi teknis mendorong munculnya industri keramik di
beberapa daerah di Indonesia. Sedangkan melalui perkembangan teknik,
mengakibatkan industri keramik yang sangat berorientasi pada komersialisme,
maka dari sudut pandang konseptual justru mendorong munculnya keramik
eksperimental, kreatif, dan inovatif.
Kecenderungan F.Widayanto dalam menampilkan kreasi dalam karya-karyanya
terlihat sangat jelas, seperti adanya budaya tradisi dan figur-figur manusia,
diantaranya figur manusia dan laki-laki. Tema perempuan masih menjadi sumber
inspirasi bagi para seniman untuk masa sekarang, seperti pada karya-karya patung
yang dibuat oleh F.Widayanto, kebanyakan berbentuk perempuan.
3.5.1 Sumber Inspirasi
Inspirasi Bagi seorang seniman dalam berkarya tidak mengenal batas. Seorang
seniman bisa mengambilnya dari mana saja, baik fenomena alam maupun dari
dalam dirinya sendiri
59
Pada kenyataannya dalam dunia Seni Rupa Indonesia, posisi seniman seringkali
menjadi posisi yang dilematis, di satu pihak ia harus mempertahankan idealisme
berkaryanya, di pihak lain juga dibenturkan dengan kenyataan bahwa untuk
berkarya ia memerlukan biaya. Hal ini menjadi salah satu motivasi mengapa
seniman ini berkarya yang pada akhirnya seorang seniman dalam menjalankan
proses kreasi meskipun pada awalnya hanya mengandalkan berdasarkan intuisinya
dan menganggap bahwa inspirasinya muncul entah dari mana, atau dari kedalaman
ketidaksadarannya, pada kenyataannya inspirasi seniman dibangun melalui kerja
keras dan tujuan terarah dari pemecahan masalah, tetapi inspirasi ini tidak
menunjukkan perbedaan kualitas dari sejumlah orang biasa.
Adanya tema perempuan dalam mitos, legenda dan dongeng dari budaya tradisi
Jawa, serta ketertarikannya untuk mengamati pola kehidupan masyarakat yang
hidup disekelilingnya telah memberikan banyak inspirasi untuk dituangkan ke
dalam bentuk karya dengan medium tanah liat.
3.5.1.1 LORO BLONYO
Pada tahun 1990, Yanto membuat patung keramik yang bertema Loro Blonyo yaitu
figur pengantin Jawa. Dalam tradisi Jawa, Loro Blonyo merupakan perwujudan
dari Dewa Sadono dan Dewi Sri yang dipercayai sebagai simbol kemakmuran dan
kesuburan. Patung-patung keramik ini dibuat lebih dinamis dengan berbagai macam
postur tubuh manusia dari yang ramping sampai yang besar disertai berbagai
ekspresi gerak dan berbagai mimik wajah.
Gb. 3.9
Loro Blonyo (sumber : Katalog Mother and Child, 2000)
60
3.5.1.2 TOPENG
Karya-karya Topeng hadir pada tahun 1990, setelah karya patung Loro Blonyo,
Karya topeng keramik ini merupakan interpretasi yang bebas dari topeng
tradisional, secara visual memperlihatkan karakter individual. Karya-karya keramik
yang bertajuk Topeng ditampilkan dengan berbagai ekspresi dan sangat dekoratif
dengan dipenuhi aksesoris.
Gb. 3.10
Topeng
( Sumber : katalog Mother and Child, 2000)
Gb. 3. 11
Ganesha- Ganeshi
( Sumber : katalog Ganesha- Ganeshi, 1993)
3.5.1.3 GANESHA- GANESHI
Tahun 1993, Yanto membuat patung keramik yang bertajuk Ganesha-Ganeshi
(Gb.3.11), dalam mitologi Hindu Ganesha dikenal sebagai dewa ilmu pengetahuan,
dewa pembasmi kebatilan dan dewa kebijaksanaan. Sosok dari Ganesha dalam
budaya tradisi Hindu, biasanya ditampilkan sebagai sosok yang serius, kaku dan
berwibawa. Namun dalam karya yang bertajuk Ganesha ini, Yanto menampilkan
bentuk yang tidak serius dalam beragam posisi, yang mengesankan kelucuan dan
humor.
61
Dalam karya ini hadir pula sosok Ganeshi, yaitu sosok perempuan berkepala gajah.
Sosok Ganeshi ini merupakan hasil imajinasi seniman, yang berperan sebagai
pasangan dari Ganesha.
3.5.1.4 UKELAN
Artefak terakota Majapahit yang memiliki tata hias rambut dewa-dewi Hindu, telah
menjadi sumber inspirasi untuk menciptakan karya-karya yang bertajuk ukelan
pada tahun 1995. Dalam karya ini “Ukelan” atau gelungan adalah tata rambut yang
biasa dipakai oleh perempuan, walaupun beberapa pria kerap melakukannya. Di sini
peran rambut sangatlah penting bagi perempuan yang tidak hanya untuk
menentukan kecantikan seseorang tetapi juga menunjukkan derajat seorang
perempuan.
Dalam budaya timur rambut sering disebut juga sebagai mahkota perempuan. Figur
perempuan dalam karya Ukelan semuanya berparas perempuan Jawa. Ukelan yang
berhubungan dengan perempuan, status dan identitas pemakainya, memberikan
inspirasi bagi Yanto untuk menghadirkan pemaknaan yang baru, perupaannya pun
disesuaikan dengan keadaan sekarang.
Gb. 3.12
Terakota Majapahit (Sumber : Majapahit Terracotas, 1997)
Gb. 3.13 Ukelan
(Sumber : katalog Mother and Child,2000)
62
3.5.1.5 GOLEKAN
Karya-karya patung yang bertajuk Golekan di tahun 1997 ini terinspirasi oleh
wayang golek Cepak Cirebon yang terbuka bagi pelbagai kreasi. Wayang golek
cepak yang mempunyai bentuk seperti wayang Golek ini, berkembang di
Cirebon sekitar abad ke-15. Wayang cepak ini lebih menekankan pada misi
dakwah. Dalam karya ini Yanto merepresentasikan tanggapannya atas
kehidupan masyarakat yang hidup di sekelilingnya.
Gb. 3. 14 Wayang Golek Cepak Cirebon (Sumber : Djuhaeri Sutarman)
Gb. 3. 15 Golekan,” Suri Ning Batuk”.
( Sumber : katalog Golekan, 1997)
3.5.1.6 Mother and Child atau Ibu dan Anak
Kandungan atau muatan dari ketidaksadaran kolektif disebut archetype. Jung juga
menyebutnya image-image dominan, mitologis atau purba, dan sejumlah nama lain,
namun tampaknya istilah arketip yang paling dikenal. Arketip adalah sebuah
kecenderungan yang tidak dipelajari untuk mengalami berbagai hal dengan cara
tertentu.
63
“Arketip tidak memiliki bentuknya sendiri, namun ia bertindak sebagai suatu "prinsip
pengaturan" (organizing principle) terhadap segala sesuatu yang kita lihat atau
lakukan” (Damayanti, 2005 : 75). la bekerja dengan cara seperti naluri. Arketip ibu
merupakan contoh utama yang baik. Semua leluhur kita memiliki ibu. Kita
berkembang dalam sebuah lingkungan yang melibatkan ibu atau pengganti ibu
(mother-substitute). Kita tidak mungkin dapat bertahan tanpa adanya hubungan
pengasuhan selama kita menjadi bayi yang tak berdaya. Ini menjadi penyebab bahwa
kita "dibangun" dalam cara yang merefleksikan lingkungan evolusioner: kita hadir ke
dunia siap untuk membutuhkan ibu, mencarinya, mengenalinya, berhubungan
dengannya.
Ibu dan Anak dalam kehidupan sehari-hari sering diidentikkan dengan hubungan
kasih sayang, dan mempunyai nilai simbolik yang tinggi. Sosok ibu hampir dalam
tiap kebudayaan mempunyai peran penting dalam masyarakat, terutama
berhubungan dengan fungsi reproduksi yaitu dapat melahirkan anak. Karena
fungsinya, posisi ibu sering kali dipakai sebagai simbol kesuburan pada beberapa
kebudayaan. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia sendiri, ibu mempunyai
kedudukan yang tinggi dan dihormati. Sosok ibu mempunyai beragam arti simbolis,
seperti :
- Kasih Sayang
- Tanah Air (Ibu Pertiwi), dan
- Simbol Kesuburan.
Posisi Anak juga mempunyai banyak arti seperti awal kehidupan, anak merupakan
calon penerus suatu generasi yang berperan penting dalam masyarakat, melalui
anak-anak inilah nilai-nilai kebudayaan suatu generasi dapat dilestarikan
keberadaannya. Pada budaya tradisi asing arketip ibu dan anak ada di dalam
penggambaran Bunda Maria dan Nabi Isa yang banyak dibuat dalam bentuk patung
dan lukisan. Dan juga penggambaran tentang ”Madona and Child”.
64
Dalam karya-karya yang bertajuk Ibu dan Anak pada tahun 2000 ini, terlihat adanya
eksplorasi ikatan emosional antara seorang Ibu dan anaknya yang menggambarkan
kehidupan sehari-hari, yaitu adanya kegiatan seorang Ibu dan Anak, seperti;
memeluk, mengendong, dan lain sebagainya.
Gb. 3.16
Mother and Child, “Ngger Alit”.
( Sumber : katalog Mother and Child, 2000)
3.5.1.7 Sanghyang Sri...Nyi Pohaci atau Dewi Sri
Pada tahun 2003, dalam karya Sanghyang Sri...Nyi Pohaci atau sering dikenal
dengan sebutan Dewi Sri terlihat sangat jelas hadirnya suatu mitos. Mitos adalah
hasil kebudayaan yang diturunkan dari generasi ke generasi sebagai sistem
komunikasi atau penyampaian pesan. Salah satu tema yang mengilhami seniman
Indonesia adalah mitologi Dewi Sri, dilatarbelakangi oleh adanya mitos yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat yang hidup di daerah agraris di beberapa
daerah di Indonesia seperti daerah Jawa dan Bali yang meyakini adanya dewi
kesuburan yang bernama Dewi Sri (Dewi Padi) atau Nyai Pohaci yang dipercayai
dapat menjaga sawah dari ancaman bencana alam. Dalam berbagai versi cerita,
puji-pujian kepada Dewi Sri biasanya dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk
65
Gb. 3. 17 Dewi Sri, “Srikalawasti”.
(Sumber : katalog Dewi Sri, 2003)
ritual yang dilaksanakan sebelum dan sesudah panen sebagai bentuk dari rasa
syukur atas kemurahan hati sang Dewi. Di berbagai daerah di Indonesia kesadaran
akan adanya kekuatan alam dengan ungkapan ritual kepada sang Dewi Sri perlahan
lenyap, bahkan sebagian generasi tidak mengenal siapa dewi kesuburan itu dan
pesan simbolis apa dibalik ritual tersebut. Dunia telah dikuasai oleh teknologi,
namun mitos sebagai warisan budaya diciptakan oleh masyarakat masa lalu dengan
maksud menyadarkan manusia agar lebih bijaksana memperlakukan alam.
Sosok Dewi Sri ini sering divisualisasikan dalam berbagai bentuk yang biasanya
sebagai perempuan jelita, bisa terbang dan selalu tersenyum anggun. Dewi Sri juga
dikenal dengan berbagai nama, di Jawa dan di Bali, ia dikenal dengan Dewi Sri
sedangkan di tanah Priangan ia dihormati sebagai Sang Hyang Sri Nyi Pohaci dan
dipercaya sebagai Ibu tumbuh-tumbuhan, Dewi Kehidupan dan Dewi Kesuburan.
66
Gb. 3.18 Fan-Tastic Lady, “Wara Tejamaya”.
(Sumber : katalog Fan-Tastic Lady, 2005)
3.5.1.8 Fan – Tastic Lady
Keadaan masyarakat perkotaan besar masa kini dimana manusia berlomba merias
dan mempercantik diri agar Iebih dan lebih rupawan, menjadi sumber inspirasi
karya-karya yang bertajuk Fan–Tastic Lady pada tahun 2005.
Perempuan berkipas yang berarti perempuan pembawa kesejukan, mempunyai
bentuk yang lebih dinamis, menantang, lincah dan fashionable bahkan secara visual
ada yang sedikit nakal. Karya-karya ini mempunyai sensasi dengan dandanan yang
sangat berani bahkan ada yang sedang mengipasi buah dadanya karena korset
ketatnya. Patung-patung Fan-Tastic Lady ini tidak lagi berdiri statis seperti karya
yang bertajuk Dewi Sri.
Karya-karya ini bersifat universal, dikarenakan dalam karya ini tidak hanya
bergaya etnik lokal tapi juga bisa oriental dan kebarat-baratan dandanannya. Semua
figur menawan, sensual, menggoda, kemayu hingga centil namun modis dan penuh
percaya diri. Perempuan bergairah pembawa kesejukan ini juga berhiaskan anting,
giwang, tusuk sanggul dan tentu saja kipas yang beragam rancangan.
67
3.5.1.9 “Narcissus Narcissus”, Pria-pria Metroseksual
Tahun 2007, tema yang diangkat diilhami oleh karakter Narcissus, tokoh legenda
Yunani dari ribuan tahun sebelum Masehi. Narcissus adalah seorang pemuda yang
dianugrahi berbagai kelebihan sebagai laki-laki, seperti ; paras sangat tampan,
bertubuh atletis dan cerdas. Oleh karena itu banyak perempuan yang tertarik dan
jatuh hati kepadanya, tetapi ia menolak semua perempuan itu. Kemudian Narcissus
dihukum oleh Aprodite karena kesombongannya, hidup di tempat yang jauh dari
sungai. Saat menyusuri rimba Narcissus melihat kedung, dalam kedung itu ada
bayangan seseorang yang sangat tampan, yang harus dicintainya, ternyata bayangan
itu merupakan bayangan dirinya. Narcissus terus menatap bayangan itu dan tak
henti bersolek, semakin elok ia semakin jatuh cinta pada bayangannya. Meski
melewati delapan dasa warsa ia tidak pernah meninggalkan bayangan yang sangat
dicintainya, segala tantangan dihadapi sampai akhirnya ia tergolek tak berdaya.
Dalam karya patung keramik yang bertajuk Narcissus, bentuk utamanya diambil
dari figur laki-laki. Sebutan narsis pada laki-laki yang menjadi tema karya patung
ini mengartikan figur laki-laki yang sangat mencintai dirinya, manifestasi dari lelaki
yang pesolek atau suka merias diri. Kata narsis dalam kamus ilmiah populer,
berarti: ”Cinta diri yang berlebihan” (Satrio A, 2005 :397).
Kehidupan laki-laki yang mempunyai sifat narsis atau disebut juga pria
Metroseksual, merupakan kecenderungan dari kehidupan perkotaan, sebagai salah
satu akibat sebagian kelompok yang mengadopsi gaya hidup hedonis.
Dalam patung-patung keramik F. Widayanto, sosok Narcissus dibuat lebih feminin,
hal ini nampak dari bentuk laki-laki dengan berbagai macam gaya yang sensual.
Karya-karya ini merepsentasikan gaya hidup laki-laki kosmopolitan di tahun 2007,
seperti pada penuturannya dalam wawancara dengan penulis :
68
“ Melalui karya-karya Narcissus, saya mencoba merepresentasikan kehidupan kaum laki-laki perkotaan di masa sekarang yang cenderung narsis” (wawancara dengan F.Widayanto, 16 April 2007).
Gb. 3. 19 “Narcissus Narcissus”
(Sumber : Visual art , 2007 edisi 19)
Pria-pria Metroseksual atau pesolek memang tidak jauh dari fashion. Maka
Widayanto pun menerjemahkan seorang pesolek itu dengan patung-patung yang
penuh hiasan. Hiasan-hiasan ini diantaranya kristal Swarovski yang ditaburkan
pada pakaian si patung dengan memadukan unsur budaya Jawa, Barat, dan Timur
Tengah.
3.6 Teknik Pembuatan Karya
Pembuatan keramik pada umumnya melalui beberapa tahapan, prosesnya dimulai
dengan pengolahan bahan baku atau tanah, menjadi tanah liat yang plastis yang
siap dipergunakan, proses pembentukan benda keramik, membentuk tanah tersebut
sesuai gambar dengan teknik pilin, pinching. Setelah membentuk global diperhalus
dengan butsir atau sudip, kemudian setelah bentuk sempurna karya tersebut
69
dikeringkan dengan sinar matahari yang tidak langsung atau diangin-anginkan.
Kemudian proses pembakaran keramik, setelah kering betul karya dihaluskan
dengan cara dihampelas dan diberi warna pada bagian tertentu, kemudian dibakar.
Proses pembakaran cukup panjang, dengan demikian membutuhkan kesabaran bagi
pembuatnya untuk menantikan hasil akhir. Seringkali setelah keluar dari tungku
bakar terjadi kegagalan, misalnya pecah, warna tidak sesuai, atau retak-retak.
Kegagalan inilah yang justru mendorong pembuat keramik untuk mempelajari
secara lebih mendalam mengenai proses-proses sebelumnya.
Keunikan ataupun kekhasan sebuah karya keramik tidak hanya ditentukan oleh
perupaan saja, tetapi didukung oleh kemampuan untuk memanfaatkan teknik
pewarnaan maupun teknik pembakarannya. Pengemasan karya sebagai hasil akhir
proses. Setelah jadi tinggal pemberian ornamen-ornamen hias bahan lain secara
direkatkan.
Pengetahuan material keramik dan penguasaan teknik sangat penting bagi seniman
maupun kriyawan, karena dengan penguasaan teknik inilah seorang seniman dapat
dengan bebas mengungkapkan ekspresi emosi maupun estetisnya ke dalam bentuk
yang diinginkannya.
‘Seniman begitu mengenal bahannya sehingga ia telah mengetahui apa yang dapat ia capai dengan bahan tersebut, dan bagaimana cara yang paling tepat untuk memanipulasi bahan dalam mewujudkan sumber ide. Ia akan mengenal potensi dan keterbatasan bahannya, sehingga antara ide dan teknik tidak lagi terjadi saling tarik menarik, melainkan suatu kerja sama yang akrab yang akan menghasilkan karya yang diinginkan. Inilah yang disebut dengan sentuhan-sentuhan pribadi seorang seniman, yang berbeda satu dari lainnya karena pengalaman dan kerja sama dengan bahan bagi setiap seniman tentu tidak sama” (Hildawati Soemantri dalam Rudy Badil , 1993 : 74 ) .
F.Widayanto, dengan kemampuan yang tinggi terhadap pengetahuan bahan dan
penguasaan teknik keramik, membuatnya leluasa untuk mewujudkan ide ke dalam
karya-karya keramiknya. Dalam pembuatan karya seni keramiknya yang umumnya
diwujudkan dalam bentuk figur, F.Widayanto membuatnya secara khusus, dalam
70
arti keterlibatan F.Widayanto lebih tinggi dibandingkan dengan ketika ia membuat
kriya desain keramiknya. Ketika ia membuat karya patung keramik, walaupun tetap
dibantu oleh pengrajin, keterlibatan F.Widayanto lebih tinggi, mulai dari membuat
sketsa figur yang akan dibuat, kemudian bersama dengan pengrajinnya ia membuat
bentuk dasar tersebut selesai dibuat dengan sentuhan akhir tangan F.Widayanto,
selanjutnya ia menghiasi figur yang dibentuk dengan ornamen yang menjadi ciri
khasnya secara langsung. Dalam karya patung keramik, dibutuhkan kepekaan dan
kualitas yang tinggi, sentuhan tangan dan ekspresi pribadi F.Widayanto secara
langsung mutlak diperlukan untuk menonjolkan ciri personalnya. Walaupun dalam
proses selanjutnya seperti pengglasiran dan pembakaran karyanya Yanto
menyerahkan kepada pengrajin yang telah terlatih dengan acuan dan arahannya.
Ketika membuat benda kriya desain berupa barang-barang baik yang fungsional dan
non fungsional untuk keperluan bisnis, Yanto biasanya hanya membuat desain,
kemudian pembuatannya diserahkan kepada para pegawainya, walaupun dalam
prosesnya Yanto yang menentukan standar kualitasnya.
Proses pembuatan keramik F.Widayanto secara umum yang dipaparkan oleh Deni
Yana dalam penelitiannya, adalah sebagai berikut :
“Tanah liat yang digunakan oleh F. Widayanto dalam berkreasi adalah jenis tanah liat batuan (Stoneware) yang memiliki titik matang sekitar 1250 C. Tanah liat tersebut berasal dari kampung Selakopi, desa Lembursawah kecamatan Cibadak-Sukabumi (Jawa Barat). Menurut F. Widayanto benda keramik dari tanah liat tersebut berkesan akrab, hangat, dan tidak menciptakan jarak dengan pemakainya. Tidak seperti porselen yang dingin, bersih, dan menuntuk pemakainnya memperlakukan secara halus. Ketika masih berupa bahan mentah tanah liat tersebut berwarna krem kekuningan, namun setelah dilakukan pembakaran hingga mencapai titik matangnya warna tersebut berubah menjadi keabu-abuan dengan kekerasan dan tekstur menyerupai batu. Dengan butirannya yang halus, tanah liat tersebut setelah diolah memiliki keplastisan yang cukup tinggi dan tidak cepat kering sehingga memudahkan F.Widayanto dalam mewujudkan bentuk sesuai dengan imajinasinya” (Yana, 2004 : 89).
Proses pengolahan tanah atau bahan baku yang biasanya sudah dalam bentuk
tepung halus dan kering, untuk mencapai kehalusan yang optimal biasanya disaring
kembali, kemudian tepung tanah liat hasil-hasil saringan tersebut dicampur dengan
71
air dan selanjutnya dipadatkan dengan cara diinjak-injak dengan kaki kemudian
digemblong untuk mendapatkan tanah liat yang siap dipakai, biasanya tanah ini
terbebas dari gelembung udara dan benda lain, seperti karikil yang dapat
menimbulkan kegagalan baik dalam proses pembentukan maupun pembakaran.
Dalam mewujudkan karya seninya, berupa figur perempuan, ia menggunakan
gabungan teknik Pijat (Pinching), Pilin (Coiling), Lempeng (Slab) serta sesekali
untuk kebutuhan tertentu ia menggunakan pelarik untuk membuat bentuk dasar
yang cenderung membulat. Ketika sebagian air plastisitasnya mulai menguap dan
bentuk dasar tersebut sudah mulai sedikit mengeras dilakukanlah pengurangan
dengan cara mengerok dan penambahan dengan cara penempelan hingga mencapai
bentuk sesuai dengan yang direncanakan.
“Selanjutnya dilakukanlah penghalusan permukaan bentuk dasar tersebut dengan menggunakan Sponge atau kain halus basah dan jadilah bentuk dasar yang siap untuk dihias oleh F. Widayanto dengan segala macam ornamenya yang khas. Teknik Toreh (Incised) adalah teknik yang dipilih oleh F.Widayanto dalam mendekorasi bentuk-bentuk dasar figur karyanya dengan menggunakan jarum besi yang telah disiapkan besar kecilnya sesuai dengan ukuran gambar yang ingin ditampilkannya. Setelah selesai proses pembentukan dan dekorasi tersebut, dilakukanlah proses pengeringan dengan jangka waktu rata-rata satu bulan bahkan lebih karena hal ini tergantung juga kondisi cuaca” (Yana, 2004 : 90).
. Setelah dipastikan cukup proses pengeringannya, karya-karya keramik tersebut
kemudian disusun di dalam tungku pembakaran, dan setelah dirasakan cukup aman
secara teknis barulah mulai dilakukan proses pembakaran tahap satu dengan standar
yang telah ditentukan tahapan kenaikan suhunya hingga mencapai suhu kurang
lebih 900 ºC sampai dengan 950 ºC. Biasanya untuk membakar karya seni yang
ukuran tingginya hingga mencapai hampir satu meter diperlukan waktu kurang
lebih 24 jam. Adapun waktu untuk proses pendinginannya biasanya diperlukan
waktu yang kurang lebih sama dengan lama bakarnya yakni 24 jam.
Tahapan selanjutnya benda-benda hasil kreasi F.Widayanto yang telah dibakar
tersebut kemudian masuk kedalam proses pewarnaan dengan menggunakan Glasir.
72
Garis-garis hasil torehan dalam proses dekorasi dengan cara mengisi garis-garis
tersebut dengan cairan Glasir yang bewarna gelap dengan menggunakan kuas dan
setelah kering lelehan glasir di sekitar garis tersebut kemudian dihapus dengan
menggunakan sponge kering. Hal ini dilakukan untuk memunculkan garis yang
kuat dan tegas pada ornamen yang ditampilkan. Dalam karya-karyanya terlihat
kematangan F.Widayanto baik secara teknis mapun kepekaannya yang tinggi dalam
mengkombinasikan warna glasir sehingga mampu menampilkan waran-warna yang
harmonis.
Setelah pewarnaan dianggap selesai, proses selanjutnya dilakukanlah pembakaran
tahap dua (Pembakaran Glasir) hingga mencapai suhu sekitar 1250 C sesuai dengan
titik matang tanah batuan (Stoneware) dan glasirnya, dengan lama bakar berkisar
dari 12 hingga 24 jam, dan baru tiga hari kemudian hasilnya dapat dibongkar dari
tungku pembakaran.
Tahapan yang terakhir dalam proses pembuatan karya, yaitu pengemasan karya.
Setelah melalui proses pembentukan dan pembakaran, F.Widayanto kemudian
melengkapi karya dengan aksesoris non-keramik yang telah dipersiapkan
sebelumnya berupa subang, kalung, hiasan rambut, sayap, kipas dan lain-lain. Hal
ini dilakukan sebagai usaha F.Widayanto untuk mempercantik karya-karya seni
keramiknya.
73