bab iii deskripsi wilayah 3.1 deskripsi umum lokasi ...eprints.umm.ac.id/50387/4/bab iii.pdf ·...
TRANSCRIPT
42
BAB III
DESKRIPSI WILAYAH
3.1 Deskripsi Umum Lokasi Penelitian
3.1.1 Deskripsi Kabupaten Bojonegoro
Kabupaten Bojonegoro memiliki luas sejumlah 230.706 Ha,
dengan jumlah penduduk sebesar 1.176.386 jiwa merupakan bagian
dari wilayah Propinsi Jawa Timur dengan jarak kurang lebih 110 Km
dari ibu kota Propinsi Jawa Timur dan terletak pada 111o 25’ dan
112o 09’ BT serta 6o 59’ dan 7o 37’ LS. Topografi Kabupaten
Bojonegoro menunjukan bahwa disepanjang daerah aliran sungai
Bengawan Solo merupakan daerah dataran rendah, sedangkan di
bagian selatan merupakan dataran tinggi disepanjang Gunung Pandan,
Kramat dan Gajah.
Dari wilayah seluas di atas, sebanyak 40, 15 persen merupakan
hutan negara, sedangkan yang digunakan untuk sawah tercatat sekitar
32, 58 persen. Kabupaten Bojonegoro memiliki perbatasan dengan
daerah lain yaitu:
Utara : Kabupaten Tuban
Timur : Kabupaten Lamongan
Selatan : Kabupaten Madiun, Jombang dan Nganjuk
Barat : Kabupaten Ngawi dan Blora (Jawa Tengah).
(N.N, Kondisi Geografis Kabupaten Bojonegoro. Tersedia dalam
www.bojonegorokab.go.id. Diakses pada 22 Juni 2019.
43
3.1.2 Deskripsi Wilayah Kecamatan Kedewan
Kecamatan Kedewan termasuk wilayah geografis Kabupaten
Bojonegoro yang terdiri dari lima desa dan terletak di sebelah barat pusat
pemerintahan Kabupaten Bojonegoro. Desa tersebut adalah Kawengan,
Wonocolo, Hargomulyo, Kedewan, Beji. Luas wilayah 56,51 Km2 terdiri dari
dataran tinggi di sepanjang Bengawan Solo, yang dihuni oleh 3.316 kepala
keluarga dan berpenduduk 12.619 jiwa.
Adapun batas-batas adminitrasi kecamatan kedewan adalah sebagai
berikut :
Sebelah Utara : Kecamatan Senori Kabupaten Tuban.
Sebelah Timur : Kecamatan Malo Kabupaten Bojonegoro
Sebelah Selatan : Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro.
Sebelah Barat : Kecamatan Cepu Kabupaten Blora.
3.1.3 Deskripsi Wilayah Wonocolo
a. Letak Geografis
Dari Letak Geografis sendiri, Wonocolo salah satu desa
yang ada di Kecamatan Kedewan. Wonocolo ini terletak di dataran
yang tinggi atau dipegunungan yang memiliki luas 140.002 Ha
atau 11,37km2, berjarak 5 km dari Kecamatan Kedewan dan 58km
dari Kota Bojonegoro, dan memiliki sawah 5 hektare dan tanah
yang kering sekitar 1.113Ha.
44
Adapun batas-batas desa Wonocolo sebagai berikut :
Tabel 3.1
Batas Wilayah Desa Wonocolo
Batas Desa/Kelurahan Kecamatan
Sebelah Utara Kaligede Senori-Tuban
Sebelah Selatan Sekaran Kasiman
Sebelah Timur Kawengan Kedewan
Sebelah Barat Kedewan Kedewan Sumber : Daftar Isian Tingkat Potensi dan Tingkat Perkembangan desa dan
kelurahan Wonocolo Tahun 2015.
Tanah sawah yang tidak luas mengakibatkan Masyarakat tidak
memiliki pekerjaan sampingan selain menjadi Penambang minyak
tradisional. Sawah sebagai penghasilan bahan makanan pokok berupa
beras seharusnya mampu menopang perekonomian masyarakat, namun
struktur tanah didesa Wonocolo adalah tandus dan berkapur sehingga
hanya cocok ditanami oleh pohon-pohon besar dan berkayu. Letak
pemukiman yang dikelilingi oleh hutan pohon jati banyak membantu
kehidupan masyarakat setempat, misalnya mereka dapat memanfaatkan
daun-daun jati yang dijual sebagai bungkus ketika berbelanja, akar-akar
pohon yang sudah mati (rencek) dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar
untuk memasak minyak mentah.
b. Prasarana Umum Desa
Jalan lingkungan yang menghubungkan anatar dukuh didesa
Wonocolo sebagaian sudah diaspal, sebagian sudah dicor dan ada juga
jalan masih makadam. Fasilitas pendidikan yang ada terdiri dari sebuah
Playgroup, TK dan SD untuk melanjutkan sekolah setingkat SMP, anak-
anak desa Wonocolo harus keluar dari desa Wonocolo. SMP nya berada di
45
Kedewan atau di Kasiman, untuk tingkat SMA biasanya anak-anak desa
Wonocolo melanjutkan SMA nya di Kecamatan Kasiman, Kota Cepu atau
Kota Bojonegoro, karena dikecamatan Kedewan tidak tersedia. Fasilitas
kesehatan yang ada didesa Wonocolo yaitu Puskesmas. Pembantu dan
sebuah Balai Pengobatan. Sedangkan Posyandu yang ada sebanyak 2
buah. Sedangkan fasilitas olahraga berupa lapangan sepak bola.
3.2 Gambaran Umum Tentang Penambang Minyak Tradisional
Wonocolo secara administrasi masuk wilayah Kabupaten
Bojonegoro, ±17 Km sebelah Timur Laut Kota Cepu. Sumur-sumur minyak
bumi yang ada di Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Kabupaten
Bojonegoro telah ada sejak Jaman Belanda pada tahun 1894, sumur-sumur
minyak tua di Wonocolo merupakan salah satu saksi penjajahan yang
dilakukan oleh Belanda kepada Indonesia. Sumur-sumur tersebut digunakan
dan dioperasikan fungsinya oleh Belanda sejak pada jaman penjajahan,
Setelah Belanda kalah perang dan sebelum meninggalkan Indonesia,
Belanda menimbun sumur-sumur minyak itu dengan tanah karena Belanda
tidak ingin bangsa Indonesia menggunakan dan menikmati hasil minyak
dari sumur-sumur itu. Akhirnya dengan berbekal peta lama yang memuat
denah dengan lokasi titik-titik sumur minyak, warga dengan bekerja secara
berkelompok dan bersama-sama kemudian mencari, menggali, dan
menambang sumur minyak itu.
Penambangan minyak tradisional yang dilakukan oleh rakyat
Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro tidak bisa lepas
dari sejarah pertambangan Blok Cepu, sejak zaman Belanda pada tahun
46
1894. Pemerintahan Kolonial Belanda masih melakukan penambangan
minyak tradisonal di Wonocolo banyak menggunakan tenaga kerja
penduduk lokal dengan memanfaatkan warga setempat, secara turun
temurun warga setempat melakukan usaha penambangan minyak
tradisional. Setelah ditinggalkan Belanda karena pindah ke Kawengan,
sumur di Wonocolo tersebut ditambang oleh warga sampai sekarang.
Proses pertama yang dilakukan dalam penambangan adalah proses
pembukaan sumur tua. Masyarakat desa yang tergabung dalam kelompok
penambangan melakukan pembukaan sumur secar gotong royong, dalam
kelompok pembukaan sumur terdapat 30-70 Penambang. Proses
pembukaan sumur tua memerlukan waktu yang sangat panjang dari satu
bulan sampai satu tahun bahkan lebih. Pada masa-masa pembukaan inilah
yang dirasakan sangat berat bagi penambang, selain menerima resiko
kegagalan, mereka belum menikmati hasilnya sama sekali. Oleh karena itu
masyarakat Desa Wonocolo yang tergabung dalam kelompok penambang
mengatur jadwal kerja pembukaan sumur tua disesuaikan dengan
kesibukan yang pada umumnya adalah petani.
Sumur tua yang ada di Desa Wonocolo sebenarnya banyak yang
sudah dibor sebelum tahun 1969. Penambang berpendapat bahwa jumlah
sumur tua di Desa Wonocolo mencapai ratusan tetapi sumur tua tersebut
tidak dapat diketemukan keseluruhannya walapun sudah dilakukan
pencarian, karena pipa pipa baja sebagai penanda sudah tidak ada, sebagian
lainnya ditemukan karena adanya tanda khusus di sekitar sumur biasanya
ada bekas cor-coran semen, cesing penutup sumur ada juga yang
47
menyembul dipermukaan tanah. Meski menyengsarakan rakyat Indonesia
namun penjajah Belanda ada baiknya juga, karena sumur minyak yang
penah dibor tidak langsung secra permanen, tetapi hanya ditutup dengan
tutup semen cor sehingga masih dapat dikenali bahwa itu sumur bekas
pengeboran pada zaman Belanda.
3.2.1 Lokasi
3.1 Gambar
Lokasi Penambangan Minyak Tradisional
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Lokasi penambangan minyak tradisional yang ada di Desa
Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro disinilah
para penambang minyak tradisional mengeksplorasi minyak
mentah dan memasak minyak mentah tersebut, para penambang
minyak tradisional merupakan penduduk lokal atau masyarakat
setempat. Hampir semua penduduk lokal bekerja sebagai
penambang.
48
3.2.2 Kondisi Ekosistem
a. Sungai
Keberadaan sungai akibat aktifitas penambangan sumur
minyak tua atau minyak mentah yang ditengarai dari sumur
minyak tua di Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro,
Jawa Timur mencemari sungai yang bermuara di Bengawan
Solo.
Sungai tersebut berada di perbatasan antara Desa
Batokan, Kecamatan Kasiman, Kabupaten Bojonegoro dengan
Kelurahan Ngelo, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Jawa
Tengah. Lantung itu mengalir bercampur dengan aliran sungai
sehingga menjadikan warna air berubah kecokelatan dan
menimbulkan bau tak sedap. Namun hingga saat ini belum ada
pihak terkait yang bisa dimintai keterangan terkait tercemarnya
air sungai oleh lantung yang diduga berasal dari penambangan
sumur minyak tua tersebut.
b. Tanah
Jenis tanah yang berada di Desa Wonocolo merupakan
jenis tanah kapur. Para Petani di Desa Wonocolo berbeda
dengan petani pada umumnya, karena struktur tanah di Desa
Wonocolo adalah tanah kapur yang tidak cocok digunakan
untuk lahan pertanian, maka yang dimaksudkan petani disini
adalah penduduk yang bekerja dengan memanfaatkan hasil
49
hutan seperti ranting kayu, akar pohon yang sudah mati yang
dipergunakan untuk membantu proses penyulingan minyak
mentah.
c. Udara
Produksi minyak bumi yang dilakukan secara
tradisional tanpa adanya pengelolaan sesuai standart
operasional procedure akan menimbulkan dampak di
lingkungan sekitar. Menurut Pertamina (2012), eksploitasi
produksi minyak bumi melibatkan aspek kegiatan yang
beresiko terjadi pencemaran. Eksploitasi dalam membongkar
permukaan bebatuan atau tanah dengan kegiatan proses
pengambilan bijih dan peleburan serta penyulingan minyak
dapat menyebabkan hamburan dan penimbunan sejumlah besar
logam seperti HG, Cd, Pb dan As ke saluran pembuangan
disekitarnya (Nur, 2013).
Minyak bumi serta turunannya merupakan salah satu
contoh dari hidrokarbon yang banyak digunakan oleh manusia
dan berpotensi mencemari lingkungan (Notodarmojo 2005).
Menurut Hadi (2004), minyak bumi mengandung senyawa
belerang 0-6%, nitrogen 0-0.5%, dan oksigen 0-3.5%, dimana
senyawa belerang yang ada dapat menyebabkan korosi dan
pencemaran udara.
Kualitas udara yang berada di Desa Woncolo berupa
logam berat yang diemisikan ke udara berbentuk partikel-
50
partikel kecil yang disebabkan oleh pemuaian dengan suhu
tinggi. Sifat logam serta perpindahannya ke udara bergantung
pada sifat fisik dan kimia yang dimiliki oleh masing-masing
logam, ukuran partikel, perubahan angin dan kecepatan angin
serta kondisi cuaca. Logam berat yang berbentuk partikel
sebagian akan menempel pada tanaman, salah satunya pada
bagian daun, partikel tersebut akan terserap ke dalam ruang
stomata (Dahlan, 2003). Pencemaran logam berat oleh gas yang
dihasilkan kegiatan pertambangan selain dapat berpengaruh
terhadap kehidupan hewan dan manusia juga dapat
mempengaruhi fisiologis tanaman secara langsung.
Kemampuan masing-masing tanaman dalam menyesuaikan
lingkungannya terhadap pencemaran yaitu berbeda-beda
sehingga dapat menyebabkan perbedaan tingkat kepekaan.
Menurut Solichatun (2007), salah satu cara pemantauan
pencemaran udara adalah dengan menggunakan tanaman
bioindikator yang umumnya adalah tanaman yang dalam suatu
ekosistem berinteraksi dengan lingkungan dengan
menunjukkan perubahan pada morfologi, anatomi, biokimia
maupun fisiologi. Perubahan yang terlihat dapat berupa
nekrosis, klorosis, perubahan bentuk daun, atau yang dapat
secara cepat terlihat dan terukur mendeteksi keberadaan
polutan di dalam jaringan tanaman.
3.2.3 Kondisi Sosial
51
a. Mata Pencaharian
Tabel 3.2
Jumlah Penduduk Kerja (10 Tahun keatas) menurut Jenis
Usaha ditiap Desa dalam Wilayah Kecamatan Kedewan
Tahun 2009
Mata Pencaharian Desa Wonocolo
Karyawan/ABRI 13
Tani 229
Pedagang 37
Pertambangan 130
Buruh Tani 72
Pertukangan 28
Industri 12
Lainnya 58
Jumlah 579
“Sumber BPS Kecamatan Kedewan”
Dilihat dari tabel diatas yang ada di Desa Wonocolo
selain menambang kehidupan masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan tercermin dari aktifitas warga dan keberadaan
masyarakat Wonocolo untuk memenuhi kebutuhan sehari hari.
Dalam tabel diatas jumlah penambang ada 130 orang dibagi 6
kelompok, 1 kelompok penambang terdiri 25 orang dan jumlah
pengepul terdiri dari 6 pengepul. Dampak ekonomi yang
terlihat dari adanya penambangan tidak begitu munonjol karena
hasil yang diperoleh oleh warga sebagai penambang harus
diserahkan ke PT. Pertamina dengan harga yang mengikuti
kebijakan Pertamina melalui KUD Sumber Pangan sebagai
mitra Pertamina dalam melakukan eksplorasi penambangan
minyak pada sumur-sumur tua.
b. Tradisi
52
Kebudayaan di Indonesia yang beraneka khususnya
yang ada di Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Kabupaten
Bojonegoro, adat atau tradisi kebudayaan yang masih ada
hingga saat ini di desa maupun di perkampungan, apalagi
daerah yang adat istiadatnya masih kental.
Tradisi yang berada di Wonocolo adalah tradisi
manganan atau sedekah bumi atau bisa disebut nyaderan yang
pelaksanaannya dengan nenek moyang yang dulunya menganut
kepercayaan animisme dan dinamisme, ada juga yang
mengakulturasi antara kebudayaan nenek moyang dengan
ajaran islam. Manganan sendiri ini merupakan adat yang
dilakukan masyarakat Wonocolo dengan sesaji yang ditaruh ke
punden. Sebagai tradisi peninggalan nenek moyang ditengah-
tengah keadaan manusia yang sudah modern dan bagaimana
perkembangan tradisi manganan sebagai tradisi yang kental
oleh masyrakat Wonocolo.
Untuk sejarah manganan ini sendiri berasal dari orang
terdahulu, khususnya masyarakat petani yang bersyukur atas
nikmat yang diberikan oleh Allah SWT atas hasil panen yang ia
miliki. Ciri khas manganan ini sendiri adalah diadakan
ditempat dimana berkeramat , ini bertujuan untuk pelaksanaan
tradisi manganan dengan mengucapakan rasa syukur atas
karunia Tuhan dari hasil panen dan memohon untuk panen
selanjutnya bisa melimpah.
53
Akan tetapi saat ini masyarakat Wonocolo menganut
ajaran Islam yang melarang menyembah Tuhan selain Allah
SWT, jadi sekarang tradisi ini diselipkan dengan pembacaan
do’a kepada Allah SWT, karena nenek moyang dulu mengantu
ajaran animisme dan dinamisme. Penyelengaraan manganan ini
sendiri ini berbeda DesaWonocolo sendiri melakukan
manganan ditempat keramat, dimana tempat ini merupakan
makam nenek moyang dulu dengan meletakkan sesaji lalu ada
tokoh desa yang memimpin ritual yang mengucap mantra
dalam bahasa daerah yang bermakna untuk memohon
keselamatan desa dan keberkahan desa, setelah itu dilanjutkan
oleh pementasan Wayang atau tayub.
Adat kebudayaan merupakan identitas disetiap wilayah
dan daerah, secara tidak langsung adat atau tradisi ini sendiri
mencerminkan bagaimana situasi dan kondisi daerah itu
sendiri. Hal ini merupakan manganan sebagai salah satu
budaya yang sampai saat ini masih dilaestaraikan adalah
cerminan identitas Desa Wonocolo.
3.2.4 Kondisi Politik
a. Pemerintah Kabupaten Bojonegoro
Fokus kebijakan tata kelola penambangan kawasan
sumur tua Wonocolo selama ini terbatas pada aspek formal
kelembagaan ekonomi dan prinsip tata kelola pertambangan
54
yang baik (good mining governance). Kebijakan penataan
penambangan dan pelaku penambang belum memperhatikan
hubungan sosial kultural yang hidup dalam masyarakat.
Kebijakan tata kelola pelaku penambang belum mengadopsi
rantai produksi tradisional yang sudah berjalan di Wonocolo.
Penambangan minyak secara tradisional di kawasan
sumur tua di Wonocolo telah berlangsung sejak lama. Peralihan
kekuasaan dari pemerintah kolonial Belanda telah
meninggalkan teknologi perminyakan yang penggunaannya
kemudian dikembangkan oleh masyarakat Wonocolo.
Pengelolaan minyak secara mandiri yang awalnya kekuasaan
berpusat di Kepala desa, kemudian melahirkan aktor-aktor kuat
lokal yang sentral dalam pengelolaan dan penataan sarana
produksi minyak mentah secara tradisional. Walaupun
demikian, sejak dikeluarkannya Permen No. 1 Tahun 2008,
Keberadaan KUD Bogo Sasono yang dibentuk oleh paguyuban
penambang kemudian berperan sebagai lembaga ekonomi
formal yang melakukan proses angkut hasil minyak mentah ke
Pertamina. Sejak 2017, Melalui BUMD, selain menjalankan
perannya sebagai lembaga ekonomi formal dalam proses
angkat angkut minyak di Wonocolo.
Pemerintah daerah juga menerapkan tata kelola
pertambangan yang baik, yang selama ini dianggap belum
dilakukan dalam rantai produksi minyak mentah di Wonocolo.
55
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran BUMD belum
bisa secara maksimal ‘merangkul’ semua penambang di
kawasan sumur minyak tua. Hal ini dikarenakan Pemda melalui
BUMD kurang memperhatikan kondisi sosial ekonomi yang
terbentuk di Wonocolo, dimana jaringan-jaringan hubungan
produksi ekonomi dalam aktivitas penambangan sumur-sumur
tua bekerja dalam hubungan sosial tradisional yang berkaitan
dengan ketergantungan dan penguasaan oleh aktor kuat lokal.
Sementara itu, inisiasi pariwisata berbasis tambang
yang dikembangkan oleh warga lokal, didukung oleh Pertamina
dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, sejauh ini mampu
membangun komunikasi dan menggalang dukungan bagi
pengembangan pariwisata dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
kertas kebijakan ini akan memberikan rekomendasi ke
Pemerintah Daerah untuk mengambil fungsi yang lebih
minimal dan berperan sebagai fasilitator yang tugas utamanya
adalah memudahkan warga dalam mendorong pembangunan
dan pengelolaan kawasan sumur minyak tua di Wonocolo.
b. Kebijakan Penambangan
Kebijakan mencakup deskripsi tentang kebijakan dan
bagaiamana ia berkembang dalam hubungannya dengan
kebijakan sebelumnya (Parsons, 2008). Berbagai kebijakan
yang berkaitan tentang pengelolaan sumur tua diterapkan untuk
56
dapat melihat bagaimana implementasi dan implikasi
dilapangan dapat membantu dalam penyusunan strategi
kebijakan dalam pengelolaan sumur tua.
a. Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
Pada tanggal 23 Nopember 2001 telah diundangkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi. Pasal 4 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa
penguasaan atas migas tetap berada pada Negara, namun
pelaksanaanya diselengarakan oleh pemerintah sebagai
pemegang kuasa pertambangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1
angka , kuasa pertambangan adalah wewenang yang diberikan
negara kepada pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan
Eksplorasi dan Eksploitasi Pertamina sesuai dengan Undang-
Undang tersebut berperan sebagai pelaksana usaha mulai hulu
sampai hilir.
Secara khusus persoalan sumur tua diatur dalam
Permen ESDM no. 01 tahun 2008 tentang Pengusahaan
Pertambangan Minyak Bumi pada sumur tua yang memberikan
peluang kepada KUD atau BUMD untuk mengelola sumur tua
setelah menjalin perjanjian kerjasama dengan kontraktor yang
diketahui oleh Badan Pelaksana dalam Permen tersebut juga
disebutkan bahwa semua produksi dari sumur tua harus
diserahkan kepada kontraktor dengan mutu dan spesifikasi
57
tertentu. Kedua hal tersebut sulit dilaksanakan saat ini karena
kemampuan yang terbatas dari penambang tradisional dalam
hal mutu hasil minyak mentah yang diproduksi.
b. Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi
Usaha hilir minyak bumi meliputi pengolahan,
pemurnian, pengangkutan, penyimpanan dan niaga seperti yang
ditentukan oleh Undang-Undang no. 22 tahun 2001 pada pasal
23. Dalam undang-undang tersebut disebutkan Pertamina
merupakan pelaksana usaha dari kegiatan sesuai yang
disebutkan pasal 23.
Penyulingan yang dilakukan oleh masyarakat pada
kasus pengelolaan sumur tua di Desa Wonocolo pada dasarnya
merupakan usaha pengolahan seperti yang disebutkan pada
Undang-Undang no. 22 tahun 2001. Usaha ini secara kebijakan
hanya bisa dilakukan oleh Pertamina sebagai kuasa
pertambangan di wilayah blok Cepu, oleh karena itu semua
uasha penyulingan/pengolahan minyak mentah hasil
pertambangan rakyat di Desa Wonocolo merupakan kegiatan
Ilegal.
Distrusi/pengangkutan dan niaga/perdagangan minyak
olahan juga merupakan kegiatan usaha hilir dari pertambangan
minyak bumi yang telah diatur dalam pasal 23 Undang-Undang
no. 22 tahun 2001. Usaha hilir ini juga menetapkan bahwa
58
Pertamina merupakan pelaksana usahanya. Masalah yang
terjadi bukan masalah kegiatan pengangkutan dan
perdagangannya saja akan tetapi masalah standart mutu minyak
hasil olahan yang dilakukan secara tradisional ini belum pernah
dilakukan pengujian, jika ternyata standar mutunya tidak sesuai
dengan standart mutu yang telah ditetapkan oleh pemerintah
hal ini akan merugikan konsumen dan jika hal tersebut terjadi
maka Pertamina sebagai badan uasaha yang berwenang akan
menjadi pihak yang dirugikan.