bab ii.docx

28
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Hakikat Belajar Konsep Fisika a. Pengertian Belajar Fisika Belajar adalah perubahan yang dialami pembelajar dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulasi dan respon. Belajar diartikan Sanjaya (2009) sebagai suatu proses interaksi dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan tingkah laku yang bersifa positif. Perubahan tersebut dapat terjadi baik dalam aspek pengetahuan, sikap, maupun psikomotorik (hlm.229). Belajar merupakan proses yang menimbulkan terjadinya perubahan tingkah laku dan kecakapan baik pada aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik. Ciri-ciri belajar adalah sebagai berikut: 1) belajar menunjukkan suatu aktivitas yang disadari atau disengaja; 2) belajar merupakan interaksi siswa dengan lingkungannya untuk memperoleh pengetahuan; 3) hasil belajar ditandai adanya perubahan tingkah laku meliputi aspek motorik, aspek afektif dan perubahan kemampuan berpikir (Aunurrahman, 2012). Hasil belajar yang didapatkan tersebut merupakan hasil pengalaman siswa sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan. 7

Upload: bariqul-amalia-nisa

Post on 09-Nov-2015

221 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

BAB II

23

BAB IILANDASAN TEORIA. Tinjauan Pustaka1. Hakikat Belajar Konsep Fisikaa. Pengertian Belajar FisikaBelajar adalah perubahan yang dialami pembelajar dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulasi dan respon. Belajar diartikan Sanjaya (2009) sebagai suatu proses interaksi dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan tingkah laku yang bersifa positif. Perubahan tersebut dapat terjadi baik dalam aspek pengetahuan, sikap, maupun psikomotorik (hlm.229). Belajar merupakan proses yang menimbulkan terjadinya perubahan tingkah laku dan kecakapan baik pada aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik. Ciri-ciri belajar adalah sebagai berikut: 1) belajar menunjukkan suatu aktivitas yang disadari atau disengaja; 2) belajar merupakan interaksi siswa dengan lingkungannya untuk memperoleh pengetahuan; 3) hasil belajar ditandai adanya perubahan tingkah laku meliputi aspek motorik, aspek afektif dan perubahan kemampuan berpikir (Aunurrahman, 2012). Hasil belajar yang didapatkan tersebut merupakan hasil pengalaman siswa sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan.Fisika merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam atau IPA. Oleh karena itu untuk mengetahui hakikat Fisika, terlebih dahulu harus mengetahui definisi tentang IPA. Berikut ini akan dikemukakan pendapat para ahli dalam mendefinisikan IPAMargono dkk (1998:21), IPA meliputi tiga hal yaitu produk, proses dan sikap ilmiah yang ketiganya saling berhubungan..1) Produk IPA adalah semua pengetahuan tentang gejala alam yang telah dikumpulkan melalui obeservasi berupa fakta, konsep, prinsip, hukum dan teori2) Proses IPA atau metode ilmiah yaitu cara kerja yang dilakukan untuk memperoleh hasil-hasil IPA atau produk IPA. Untuk dapat memahami dan memiliki keterampilan dalam proses IPA, diperlukan pengalaman belajar dan berlatih melakukan observasi, berfikir logis dan kritis, melakukan eksperimen, berkomunikasi verbal ataupun nonverbal, dan memecahkan masalah.3) Nilai dan sikap ilmiah sangat diperlukan dalam belajar IPA, yaitu sikap-sikap seperti hasrat ingin tahu, jujur, tekun, teliti, objektif, keterbukaan, mawas diri, komunikatif, dan sebagainya agar dapat mencapai hasil IPA yang sebenarnya.

Berdasarkan definisi tersebut, IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis tentang gejala alam. IPA meliputi produk, proses dan nilai (sikap ilmiah). IPA sebagai suatu produk berupa fakta, konsep, prinsip, hukum dan teori. IPA sebagai proses yaitu berupa cara kerja untuk memperoleh produk IPA. IPA sebagai nilai (sikap ilmiah) yaitu berupa sikap-sikap ilmiah agar dapat mencapai hasil IPA yang sesungguhnya.Fisika merupakan salah satu dari cabang dari IPA, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang gejala alam berdasarakan atas pengamatan dan pengukuran. Menurut Beiser (1962: v), Physics, like any other science, involves the active of pursuit of knowledge, and it contains many elements besides its basics concepts. Menurut Beiser, seperti pada mata pelajaran lain di IPA, Fisika juga mengembangkan ilmu pengetahuan berdasarakan observasi, sehingga Fisika terdiri dari banyak unsur termasuk konsep-konsepnya yang mendasar.Sementara menurut Brockhaus dan Gerthsen yang dikutip oleh Herbert (1986:3) antara lain:1)Menurut Brockhaus, Fisika adalah pelajaran tentang kejadian dalam alam, yang memungkinkan penelitian dalam percobaan, pengukuran apa yang didapat, penyajian serta matematis dan berdasarkan pengetahuan umum.2)Menurut Gerthsen, Fisika adalah suatu teori yang menerangkan gejala-gejala alam yang sederhana dan berusaha menemukan hubungan antara pernyataan-pernyataan. Prasyarat dasar untuk memecahkan persoalan ialah mengamati gejala-gejala tersebut.

Menurut Brockhaus dan Gerthsen tersebut, Fisika adalah pelajaran yang menerangkan gejala alam yang yang dapat diamati dengan percobaan untuk menemukan hubungan antara gejala-gejala tersebut.Berdasarkan karakteristik fisika, belajar fisika bukan hanya mencari jalan penyelesaian dari persamaan, tetapi juga belajar mendeskripsikan, belajar tentang suatu fenomena, dan memahami sistem fisika. Siswa membutuhkan kognisi yang lebih dari sekedar kognisi. Mereka membutuhkan penegtahuan tentang apa yang diketahui dan tidak diketahui, bagaimana memecahkan masalah, membuat perencanaan pemecahan masalah, membuat tahap-tahap pemecahan masalah, memberi alasan mengapa melakukan pemecahan masalah dengan cara yang ditempuhnya, memonitor proses belajar dan kemajuannya ke arah tujuan saat melaksanakan rencana, serta mengevaluasi apa yang sudah dilakukan.

b. Belajar KonsepBelajar konsep merupakan hasil utama pendidikan. Konsep-konsep merupakan batu-batu dalam berpikir. Konsep-konsep juga merupakan dasar bagi proses-proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi-generalisasi. Untuk memecahkan suatu masalh, seorang siswa harus mengetahui aturan-aturan yang didasarkan pada konsep-konsep yang diperoleh.Sanjaya (2009) berpendapat bahwa belajar konsep yaitu menempatkan objek menjadi satu klasifikasi tertentu. Kemampuan konsep berhubungan dengan kemampuan menjelaskan sesuatu berdasarkan artibut yang dimilikinya (hlm 233). Dahar (1989) mengngkapkan bahwa belajar konsep merupakan hasil utama pendidikan. Konsep-konsep merupakan batu-batu pembangunan (building block) berpikir (hlm.79). konsep menjadi dasar untuk merumuskan masalah, seorang siswa harus mengetahui aturan-aturan itu didasarkan pada konsep-konsep yang diperoleh. Penjelasan teoritis mengenai belajar konsep dapat ditinjau dari dua pendekatan, yaitu :1) Pendekatan perilaku. Perbedaan utama antara belajar konsep dan belajar-belajar yang lainnya adalah dalam belajar konsep, anak yang belajar memberikan satu respon terhadap sejumlah stimulus yang berbeda, jadi bukan memberikan satu respon terhadap satu stimulus. Stimulus-stimulus itu mempunyai satu atau lebih artibut yang sama. Tugas anak atau siswa adalah untuk mengasosasikan satu respon dengan artibut-artinut yang sama diantara stimulus-stimulus itu. Belajar konsep melibatkan perubahan-perubahan kuantitatif.2) Pendekatan kognitif. Pendekatan ini memusatkan pada proses perolehan konsep-konsep, sifat konsep, dan bagaimana konsep itu disajikan dalam struktur kognitif (Dahar, 1989: 82-84).Belajar konsep dapat dipengaruhi beberapa faktor berikut :1) Pola reinforsemen dan umpan balik. Dengan hanya menghadapkan subjek-subjek pada contoh-contoh suatu konsep tanpa memberikan umpan balik, mempunyai sedikit efek pada penampilan mereka.2) Jumlah contoh-contoh positif dan negatif. Konsep-konsep lebih cepat dipelajari dari contoh-contoh positif. Pemberian contoh-conoh yang tidak memiliki artribut-artribut relevan dimiliki konsep, makin sulit konsep itu dipelajari (Dahar, 1989:83)

2. Pembelajar Fisika Kegiatan belajar-mengajar merupakan suatu kegiatan timbal balik (interaksi) Antara guru dan siswa pada saat pelajaran berlangsung dalam rangka untuk mencapai tujuan. Pembelajaran Fisika adalah proses belajar-mengajar yang didalamnya mempelajari alam dan gejala-gejala yang ada didalamnya. Fisika dengan produk meliputi sekumpulan pengetahuan yang terdiri dari fakta-fakta, konsep dan prinsip. Fisika sebagai proses akan meliputi ketrampilan dan sikap yang dimiliki oleh para ilmuwan untuk mencapai produk Fisika. Pembelajaran Fisika memberikan penekanan pada pendekatan proses untuk memperoleh produk dan sikap ilmiah.Pembelajaran Fisika memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan penyelidikan secara sistematis, memahami konsep dan hubungan antar konsep berdasarkan fakta dalam kehidupan sehari-hari, serta mampu berkomunikasi dengan menggunakan terminology dan penyajian ilmiah. Dengan demikian, pembelajaran Fisika memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mencari, mempertanyakan dan mengeksplorasi pengetahuan.

3. Miskonsepsi Fisikaa. Konsepsi Berg (1991 :10) menyatakan bahwa Konsepsi adalah tafsiran perorangan dari suatu konsep ilmu. Misal, inti konsep tekanan adalah bahwa tekanan sebanding dengan gaya yang bekerja dan berbanding terbalik dengan luas penampang benda. Tetapibanyak siswa mempunyai konsep yang berbeda. Semakin luas penampang yang bersentuhan maka tekan yang diteruskan juga semakin besar, sehingga tekanan berbanding lurus dengan luas penampang.b. PrakonsepsiBerg (1991:10) menyatakan bahwa Prakonsepsi adalah konsepsi yang dimiliki siswa sebelum pelajaran walaupun mereka sudah pernah mendapatkan pelajaran formal. Konsep yang dimiliki siswa ini belum tentu benar. Oleh karena itu, perlu adanya perhatian dari guru. Jika tidak, hal ini dapat berkembang menjadi miskonsepsi dan akan mempengaruhi kegiatan belajar mengajar. c. MiskonsepsiMiskonsepsi adalah konsepsi siswa yang bertentangan atau berbeda dengan konsep para ahli (Morgil, 2009). Miskonsepsi dipandang sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda dengan konsep awal yang dipahami oleh siswa dan hubungan hierarkis konsep-konsep yang tidak benar.Miskonsepsi bersifat pribadi dan stabil. Miskonsepsi bersifat pribadi apabila setiap anak melihat dan menginterpretasikan eksperimen itu menurut caranya sendiri. Setiap anak mengonstruksi kebermaknaannya sendiri. Miskonsepsi bersifat stabil apabila gagasan anak yang berbeda dengan gagasan ilmiah ini tetap dipertahankan anak, walaupun guru sudah berusaha memberikan suatu kenyataan yang berlawanan (Dahar, 2006).a. Identifikasi MiskonsepsiMiskonsepsi yang terjadi pada diri siswa bila tidak segera diketahui, diidentifikasi dan diatasi akan mengganggu dalam penguasaan konsep selanjutnya. Cara-cara mengidentifikasi atau mendeteksi salah pengertian mengenai konsep (miskonsepsi) yaitu melalui wawancara, tes diagnostik, peta konsep, praktikum dengan tanya jawab, tes uraian tertulis, interview klinis, dan diskusi kelas (Kose,2008).Pengertian mengenai tes diagnostik Suwarto (2013) adalah sebagai berikut:Tes uraian adalah tes yang terdiri dari butir-butir tes berupa suatu pertanyaan yang menghendaki jawaban yang berupa uraian-uraian yang relatif panjang. Salah pengertian yang dibawa siswa dalam bidang tertentu dapat diketahui dari hasil tes uraian. Setelah itu siswa dapat diwawancarai untuk lebih mendalami mengapa mereka mempunyai gagasan seperti itu (Suwarto, 2013: 124).

Wawancara dan diskusi merupakan teknik yang telah digunakan secara luas untuk mengidentifikasi miskonsepsi mahasiswa pada berbagai topik. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mengungkap pemahaman siswa terhadap konsep tertentu (Morgil, 2009). Guru dapat memilih beberapa konsep biologi yang diperkirakan sulit dimengerti siswa melalui interview klinis. Siswa diajak untuk mengekspresikan gagasan mereka mengenai konsep-konsep. Latar belakang munculnya miskonsepsi dapat diketahui dan ditanyakan dari mana mereka memperoleh miskonsepsi tersebut.Pengertian peta konsep menurut Dahar (2006) adalah sebagai berikut:Peta konsep adalah suatu alat skematis untuk merepresentasikan suatu rangkaian konsep yang digambarkan dalam suatu kerangka proposisi. Peta konsep mengungkapkan hubungan-hubungan yang berarti antara konsep-konsep dan menekankan gagasan-gagasan pokok. Miskonsepsi dapat diidentifikasi dengan melihat hubungan antara dua konsep apakah benar atau tidak. Miskonsepsi dapat dilihat dalam proposisi yang salah dan tidak adanya hubungan yang lengkap antar konsep (Dahar, 2006: 96).

Mengenai identifikasi miskonsepsi, Suwarto (2013) menyatakan:Siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan mereka tentang konsep yang sudah diajarkan atau yang mau diajarkan melalui kegiatan diskusi dalam kelas. Diskusi dikelas dapat mendeteksi apakah gagasan atau ide mereka tepat atau tidak. Cara diskusi lebih cocok digunakan pada kelas yang besar dan juga sebagai penjajakan awal (Suwarto, 2013: 148).Tes diagnostik dapat digunakan sebagai instrumen untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi miskonsepsi, Suwarto (2013) menyatakan:Tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan siswa, sehingga berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut dapat dilakukan pemberian perlakuan yang tepat. Tes diagnostik menjaring informasi mengenai alasan siswa menjawab salah pada suatu soal. Perhatian lebih dipusatkan pada jawaban yang salah terutama pada konsepsi siswa dan usaha menemukan sebab-sebab siswa sampai memberikan jawaban yang salah itu (Suwarto, 2013: 68).

Tes diagnostik digunakan untuk menilai pemahaman konsep siswa terhadap konsep-konsep kunci pada topik tertentu, secara khusus untuk konsep-konsep yang cenderung dipahami secara salah (Suwarto, 2013). Ciri-ciri tes diagnostik yaitu: topik terbatas dan spesifik, ditujukan untuk mengungkap miskonsepsi, dan menyediakan alat untuk menemukan penyebab kekurangannya.Ada beberapa cara tes diagnostik antara lain tes diagnostik dengan Certainty of Response Index (CRI). Teknik CRI merupakan teknik yang sederhana dan efektif untuk mengukur miskonsepsi yang terjadi. Teknik CRI bisa digunakan untuk membedakan siswa yang tahu konsep, siswa yang tidak tahu konsep dan yang mengalami miskonsepsi. CRI digunakan untuk mengetahui tingkat keyakinan siswa akan jawabannya. CRI digunakan untuk untuk membedakan jawaban siswa yang menjawab karena menerka, siswa yang miskonsepsi, dan siswa yang paham dengan konsep.Siswa diminta untuk menseleksi dan memanfaatkan pengetahuan, konsep atau hukum untuk menjawab soal, kemudian mengisi derajat kepastian mereka dengan memilih opsi skala 6 tingkatan melalui metode CRI. Menurut pendapat Hasan (1999) bahwa opsi dalam CRI itu adalah: 1) nol untuk jawaban tebakan (totally guess answer), 2) satu untuk jawaban hampir menebak (almost guess answer), 3) dua untuk jawaban yang ragu-ragu (not sure), 4) tiga untuk jawaban yang yakin (sure), 5) empat untuk jawaban yang hampir pasti (almost certain), 6) lima untuk jawaban yang pasti (certain) (Fitriana, 2009). Setiap kriteria skala CRI diganti dengan persentase unsur tebakan dalam menjawab pertanyaan (soal) disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1: Pengoperasian Kriteria CRI

SkalaCRIKriteria

0Jika dalam menjawab soal 100% ditebak

1Jika dalam menjawab soal persentase unsur tebakan antara 75-99%

2Jika dalam menjawab soal persentase unsur tebakan antara 50-74%

3Jika dalam menjawab soal persentase unsur tebakan antara 25-49%

4Jika dalam menjawab soal persentase unsur tebakan antara 1-24%

5Jika dalam menjawab soal tidak ada unsur tebakan sama sekali (0%)

(Tayubi: 2005)

Keyakinan yang tinggi akan kebenaran konsepnya telah teruji (justified) dengan baik jika jawaban responden benar dengan nilai CRI yang tinggi. Indikator miskonsepsi terjadi jika jawaban responden salah dengan nilai CRI yang tinggi. Siswa yang tahu konsep,miskonsepsi, dan tidak tahu konsep dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2: Matriks untuk Membedakan Siswa yang Tahu Konsep, Miskonsepsi, dan Tidak Tahu Konsep

Kriteria JawabanCRI rendah (2,5)

Jawaban BenarTidak tahu konsep (lucky guess)Menguasai konsep (Tahu Konsep)

Jawaban SalahTidak tahu konsepMiskonsepsi

(Hakim, Liliasari dan Kadarohman, 2012)

Mengidentifikasi miskonsepsi siswa dapat dilakukan dengan tes objektif beralasan. Data hasil tes objektif beralasan pada siswa diklasifikasikan berdasarkan kriteria pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3: Kriteria Pengelompokan Tingkat Pemahaman dan Miskonsepsi Siswa

Tingkat pemahamanKriteria

Tidak PahamJawaban tidak tepat dan tidak jelasJawaban mengulangi pertanyaanKosong, tidak menjawab

MiskonsepsiJawaban ada tetapi mengandung innformasi yang tidak logis atau tidak tepatJawaban menunjukkan pemahaman konsep tetapi juga membuat pernyataan yang menunjukkan ketidakpahaman

PahamJawaban meliputi semua komponen dari jawaban yang benarJawaban meliputi sekurang-kurangnya satu komponen dari jawaban yang tepat tapi tidak meliputi semua komponen

(Adisendjaja: 2007)

CRI yang dikembangkan oleh Hasan (1999), kemudian dimodifikasi oleh Hakim (2012) untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa dalam menjawab soal pilihan ganda beralasan disertai CRI berdasarkan kriteria pada Tabel 2.4

Tabel 2.4: Hubungan CRI Berdasarkan Jawaban yang DiberikanJawabanAlasanNilai CRIDeskripsi

BenarBenar>2,5Mengetahui konsep dengan baik

BenarBenar2,5Miskonsepsi

BenarSalah2,5Miskonsepsi

SalahBenar2,5Miskonsepsi

SalahSalahF; arah gaya gesek pada benda yang ditumpuk berlawanan dengan gaya; pada gerak jatuh bebas, benda yang lebih berat akan jatuh terlebih dahulu; gaya berat dan gaya normal adalah pasangan gaya aksi dan reaksi.3. Penelitian yang dilakukan Rahmat Afrianto (2011) berjudul Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model Team Game Tournament (TGT) Dengan Bantuan Media Animasi Untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Dan Kemampuan Kognitif Siswa Pada Materi Bunyi Kelas VIII SMP Kasatriyan 1 Surakarta Tahun Pelajaran 2010/2011. Hasil penelitiannya menunjukkan pembelajaran kooperatif TGT (Teams Game Tournaments) menggunakan roda impian (Wheel of fortune) berbantuan media flash dilengkapi LKS dapat meningkatkan aktivitas belajar dan kemampuan kognitif siswa pada materi pokok Bunyi.

C. Kerangka BerpikirSetiap siswa memiliki konsepsi-konsepsi sendiri yang telah mereka dapatkan dari pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Saat pembelajaran berlangsung seringkali ada perbedaan antara konsep yang telah tertanam dalam diri siswa dengan konsep para ahli. Suatu konsep yang berbeda dengan konsep para ahli inilah dinamakan miskonsepsi atau salah konsep. Jika kesalahan konsep ini tidak segera ditangani, maka dapat menghambat proses penerimaan konsep/materi selanjutnya. Oleh karena itu, masalah ini perlu segera ditangani dengan cara melakukan diagnostik terhadap miskonsepsi dapat dilakukan dengan cara memberikan tes diagnostik.Kualitas belajar siswa dipengaruhi oleh faktor intern dan ekstern. Salah satu faktor ekstern yang perlu diperhatikan diantaranya adalah pemilihan media pembelajaran yang tepat dan efektif serta dapat menumbuhkan keaktifan dan antusias siwa dalam pembelajaran. Media pembelajaran yang baik adalah media yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran, materi yang disampaikan, kondisi siswa, dan sarana yang tersedia, sehingga dapat dilihat apakah media yang diterapkan efektif.Dalam proses pembelajaran Fisika di SMA Negeri 1 Bulu Sukoharjo. Pada pembelajaran Fisika guru masih menggunakan metode ceramah yang berimplikasi pada media pembelajaran yang tidak variatif dan inovatif, sehingga siswa tidak ikut terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Akibat dari kebiasaan tersebut siswa menjadi tidak terbiasa memecahkan masalah yang diberikan kepada mereka dengan pola pikir ilmiah yakni pemecahan masalah dengan langkah-langkah metode ilmiah. Hal ini berdampak pada rendahnya partisipasi siswa dalam pembelajaran, kerjasama dalam kelompok tidak optimal, kegiatan belajar mengajar tidak efisien dan pada akhirnya hasil belajar menjadi rendah. Jadi pembelajaran dengan metode ceramah yang berimplikasi pada penggunaan media pembelajaran yang tidak variatif dan inovatif berdampak terhadap kemampuan kognitif siswa yang meliputi kognitif proses dan kognitif produk.Elastisitas Benda merupakan salah satu materi pokok dalam pelajaran Fisika bagi siswa kelas X MIA 1 SMA Negeri 1 Bulu Sukoharjo. Materi ini memerlukan daya pemahaman dan hafalan sehingga akan lebih menyenangkan jika dibuat permainan karena dengan adanya permainan tersebut siswa akan termotivasi untuk berkompetisi menjadi pemenang sehingga antusias siswa dalam pembelajaran akan meningkat. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat menyajikan suatu permainan akademik dengan sistem turnamen. Model pembelajaran yang menggunakan permainan adalah model pembelajaran tipe TGT. Model pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah proses pembelajaran kooperatif dalam kelompok-kelompok kecil dengan fasilitator melibatkan teman sejawat yang memiliki kriteria tertentu sehingga para siswa merasa lebih fair, saling kerjasama, senang, dan terjadi konstruksi pengetahuan yang lebih kuat diantara mereka. Diskusi dalam bentuk kelompok-kelompok kecil ini sangat efektif untuk memudahkan siswa dalam memahami materi dan memecahkan suatu permasalahan. Selain itu, pada pembelajaran kooperatif TGT menambah dimensi belajar sambil bermain. Dengan belajar sambil bermain diharapkan siswa lebih bersemangat untuk belajar yang akhirnya berdampak positif terhadap keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran.Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti dan guru bermaksud menerapkan sebuah model pembelajaran yang inovatif yaitu model pembelajaran kooperatif tipe TGT untuk dapat mereduksi miskonsepsi siswa. Skema kerangka berpikir dapat dilihat pada Gambar 2.5.Konsep awal dengan konsep ahliSiswa Memiliki Konsep awal

Melancarkan proses penerimaan konsep baruAda konsep awal yang berbeda dengan konsep ahliTingginya pencapaian hasil belajarMenghambat proses penerimaan konsep baru

Perlu diagnosis letak kesalahan

Miskonsepsi pada diri siswa

Dibutuhkan alat diagnostik

Rendahnya pencapaian hasil belajar

Instrumen tes diagnostik

Gambar 2.5. Kerangka Berpikir Penelitian

D. Hipotesis TindakanBerdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka berpikir di atas, dapat dikemukakan hipotesis tindakan sebagai berikut: Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat mereduksi miskonsepsi siswa kelas X MIA 1 SMA Negeri 1 Bulu Sukoharjo Tahun Pelajaran 2014/2015 pada materi pokok Elastisitas Benda sesuai yang telah ditargetkan dalam penelitian.

7