bab ii.docx

Upload: wannabee-chuby

Post on 09-Oct-2015

21 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB IILANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Teori

2.1.1. Model Pembelajaran Berbasis Masalah2.1.1.1. Hakikat PembelajaranBelajar merupakan aktivitas interaksi aktif individu terhdap lingkungan sehingga terjadi perubahan perilaku. Sementara pembelajaran adalah penyediaan kondisi yang mengakibatkan terjadinya proses belajar pada diri peserta didik. Pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu proses interaksi antara guru dengan siswa, baik interaksi secara langsung seperti kegiatan tatap muka maupun secara tidak langsung, yaitu dengan menggunakan berbagai media pembelajaran. Menurut Sanjaya (2011: 17) pembelajaran adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Proses belajar dalam kelas akan berhasil apabila tiap komponen dalam kelas tersebut dapat saling mendukung untuk mencapai proses pembelajaran yang baik. 2.1.1.2. Hakikat Model PembelajaranSecara khusus, istilah model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan sesuatu kegiatan. Sama halnya dengan pengertian Model pembelajaran, yang dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual berupa pola prosedur sistematik yang dikembangkan berdasarkan teori dan digunakan dalam mengorganisasikan proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan belajar (Sani, 2013). Lebih lanjut Sani menjelaskan bahwa model pembelajaran terkait dengan pemilihan strategi dan pembuatan struktur metode, keterampilan dan aktivitas peserta didik. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Sudirman, yang menyatakan model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran (Sudirman, 2003: 56). Sudirman mengemukakan model pembelajaran memiliki lima unsur yaitu (1) syntax, yaitu langkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system adalah suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of rection, menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memberlakukan, dan merespon pembelajar, (4) support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5) instructional and nurturant affects prestasi belajar yang diperoleh langsung berdasar tujuan yang disasar dan prestasi belajar diluar disasar. Sedangkan menurut Eggen & Kauchak (2012:8), mengartikan model pembelajaran sebagai blue print untuk mengajar.Arrends (1997:7) menyatakan bahwa: The term teaching model refers to a particular approach to instruction that includess its goals, syntax, environment, and management system. Istilah model pembelajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya,sintaksnya, lingkungannya dan sistem pengelolaannya. Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada strategi, metode atau prosedur. Model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi, metode atau prosedur. Ciri-ciri tersebut adalah :1. Rasional teoritis logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya;2. Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai);3. Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil; dan4. Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai (Kardi dan Nur, 2000 : 9).

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, dapat dikatakan bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang dikembangkan dari teori-teori pembelajaran untuk diaplikasikan dalam kegiatan pembelajaran. Model pembelajaran memiliki sintaks atau langkah-langkah sistematis yang mengurutkan aktivitas-aktivitas dalam kegiatan pembelajaran.

2.1.1.3. Hakikat Model Pembelajaran Berbasis MasalahPerubahan cara pandang terhadap siswa sebagai objek menjadi subjek dalam proses pembelajaran menjadi titik tolak banyak ditemukannya berbagai pendekatan pembelajaran yang inovatif.Guru dituntut untuk dapat memilih model pembelajaran yang dapat memacu semangat setiap siswa untuk secara aktif ikut terlibat dalam pengalaman belajar. Salah satu alternatif model pembelajaran yang memungkinkan dikembangkannya keterampilan berpikir siswa (penalaran, komunikasi, dan koneksi) dalam memecahkan masalah adalah model pembelajaran berbasis masalah.

(1) Pengertian Model Pembelajaran Berbasis MasalahPada hakikatnya, model pembelajaran berbasis masalah adalah model pembelajaran yang dasar pelaksanan kegiatan pembelajaran berlandaskan pada masalah. Menurut Tan (2003) pembelajaran berbasis masalah merupakan inovasi dalam pembelajaran karena kemampuan berpikir siswa betul-betul dioptimalisasikan melalui proses kerja kelompok atau tim yang sistematis sehingga siswa dapat memberdayakan, mengasah, menguji dan mengembangkan kemampuan berpikirnya secara berkesinambungan.Menurut Boud dan Feletti (1997) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah inovasi yang paling signifikan dalam pendidikan. Margetson (1994) mengemukakan bahwa kurikulum dengan model pembelajaran berbasis masalah membantu untuk meningkatkan perkembangan keterampilan belajar sepanjang hayat dalam pola pikir yang terbuka, reflektif, kritis dan belajar aktif. Sedangkan menurut Hmelo-Silver, 2004; Serafino & Cichelli, 2005, pembelajaran berbasis masalah adalah seperangkat model mengajar yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, materi dan pengaturan diri. Model pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pola umum atau kerangka konseptual yang dijadikan sebagai dasar dalam melaksanakan proses pembelajaran yang bertumpu pada pemecahan masalah. Gagne (1985:232), mengatakan bahwa pemecahan masalah adalah seperangkat peristiwa di mana orang menggunakan kaidah untuk mencapai tujuan. Dalam proses memecahkan masalah ada sesuatu yang dipelajari dalam arti bahwa kapabilitas individu lebih kurang berubah secara tetap. Menurut Eggen dan Kauchak (2012:307), Model Pembelajaran Berbasis Masalah adalah seperangkat model mengajar yang menggunakan masalah sebagai topik untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, materi, dan pengaturan diri. Sedangkan menurut Arends (2008:41), esensi dari Model Pembelajaran Berbasis Masalah adalah menyuguhkan berbagai situasi bermasalah yang autentik dan bermakna kepada siswa atau mahasiswa yang dapat berfungsi sebagai suatu loncatan untuk menginvestigasi dan penyelidikan. Menurut Sanjaya (2011:214), pada hakikatnya Model Pembelajaran Berbasis Masalah diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah.Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah proses pembelajaran yang bertumpu pada masalah yang bersifat autentik dan bermakna, yang berfungsi sebagai landasan bagi investigasi dan penyelidikan (pemecahan masalah) secara ilmiah oleh siswa. Konstruksi definisi tersebut didasarkan pada pandangan yang dikemukakan oleh Arends. Selain itu, dapat diidentifikasi beberapa pokok dalam definisi tersebut di atas, seperti: (1) proses pembelajaran bertumpu pada masalah tertentu, (2) masalah tersebut harus autentik dan bermakna, (3) masalah tersebut menjadi dasar untuk investigasi dan penyelidikan (pemecahan masalah), (4) menyelesaikan masalah secara ilmiah, (5) siswa bertanggung jawab (berperan) menyelesaikan masalah, (6) peran guru adalah penyedia masalah, memfasilitasi penyelidikan siswa, dan mendukung proses pembelajaran siswa.Sejalan dengan hal di atas, Sanjaya (2011:14), menyebutnya dalam pembelajaran berbasis masalah terdapat tiga hal utama yaitu 1) Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan seragkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam implementasi Model Pembelajaran Berbasis Masalah ada sejumlah kegiatan yang harus dikerjakan siswa atau mahasiswa. Pembelajaran Berbasis Masalah tidak mengharapkan siswa hanya sekadar mendengar, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi siswa atau mahasiswa dituntut aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data dan akhirnya menyimpulkan; 2) aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Pembelajaran Berbasis Masalah menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran; 3) pemecahan masalah menggunakan pendekatan secara ilmiah. Berpikir dan menggunakan metode ilmiah adalah proses berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu; sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah didasarkan pada fakta dan data yang jelas. (2) Karakteristik Pembelajaran Berbasis MasalahMenurut Rusman (2012 : 232), karakteristik pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut:a. Permasalahan menjadi starting point dalam belajar;b. Permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada di dunia nyata yang tidak terstruktur;c. Permasalahan membutuhkan perspektif ganda (multiple perspective);d. Permasalahan, menantang pengetahuan yang dimiliki oleh siswa, sikap dan kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan belajar dan bidang baru dalam belajar;e. Belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama;f. Pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunaannya dan evaluasi sumber informasi merupakan proses yang esensial dalam pembelajaran berbasis masalah;g. Belajar adalah kolaboratif,komunikasi dan kooperatif;h. Pengembangan keterampilan inkuiri dan pemecahan masalah sama pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan;i. Keterbukaan proses dalam pembelajaran berbasis masalah meliputi sistensis dan integrasi dari sebuah proses belajar; danj. Pembelajaran berbasis masalah melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswa dan proses belajar.

Sedangkan menurut Egen dan Kauchak (2012: 307), pembelajaran berbasis masalah memiliki tiga karakteristik yaitu: (1) Pelajaran berawal dari satu masalah dan memecahkan masalah adalah tujuan dari masing-masing pelajaran. Dapat diartikan bahwa pembelajaran berbasis masalah bermula dari satu msalah dan memecahkannya adalah fokus pelajarannya; (2) siswa bertanggung jawab untuk menyusun strategi dan memecahkan masalah. Pembelajaran berbasis masalah dapat dilakukan secara berkelompok dalam jumlah yang kecil dengan tujuan setiap siswa bertanggung jawab untuk menyusun strategi dan memecahkan masalah; (3) guru menuntun siswa dengan mengajukan pertanyaan dan memberikan dukungan pengajaran lain saat siswa berusaha untuk memecahkan masalah.(3)Tujuan Model Pembelajaran Berbasis MasalahSeperti yang diketahui bahwa model pembelajaran beragam macam. Antara model yang satu dengan model yang lain berbeda. Perbedaan itu tampak pada tujuan apa yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran dengan model tertentu. Arends, (2008:43) menyebutkan tiga tujuan digunakannya Model Pembelajaran Berbasis Masalah dalam pembelajaran.(a) Keterampilan Berpikir dan Memecahkan Masalah.Arends (2008:43) mulai mendeskripsikan tujuan ini dengan mengajukan pertanyaan. Apa sebenarnya yang terlibat dalam berpikir? Apa sajakah keterampilan berpikir itu? Apa sajakah keterampilan berpikir tingkat tinggi itu? Pertanyaan tersebut mendorong Arends untuk merumuskan pandangannya tentang tujuan ini. Berpikir adalah sebuah proses yang melibatkan operasi-operasi mental, seperti induksi, deduksi, klasifikasi dan penalaran. Berpikir adalah sebuah proses representasi secara simbolis (melalui bahasa) berbagai objek dan kejadian riil dan menggunakan representasi topik ntuk menemukan prinsip-prinsip esensial dari objek dan kejadian tersebut. Represntasi simbolis (abstrak) itu bisanya diperbadingkan dengan operasi-operasi mental yang didasarkan pada fakta dan kasus-kasus tertentu di tingkat konkrit. Berpikir adalah kemampuan untuk menganalisis, mengkritik dan mencapai kesimpulan berdasarkan inferensi atau judgment yang baik. Keterampilan berpikir tingkat tinggi tidak sama dengan ketrampilan yang berhubungan pola-pola perilaku yang lebih rutin. Definisi berpikir tingkat tinggi menurut Lauren dan Resnick dalam Arends (2008:44), seperti: (1) berpikir tingkat tinggi bersifat non-algoritmik. Artinya, jalur tindakan tidak sepenuhnya ditetapkan sebelumnya, (2) berpikir tingkat tinggi cendrung bersifat kompleks. Artinya jalur totalnya tidak visible (secara mental) dilihat dari sudut pandang manapun, (3) berpikir tingkat tinggi sering mendapatkan multiple solutions (banyak solusi) dan bukan solusi tunggal, (4) berpikir tingkat tinggi melibatkan nuanced judgement dan iterpretasi, (5) berpikir tingkat tinggi melibatkan penerapan multiple criteria (banyak kriteria) yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain, (6) berpikir tingkat tinggi sering melibatkan uncer tainty (ketidakpastian). Tidak semua yang berhubungan dengan tugas yang harus ditangani telah diketahui, (7) berpikir tingkat tinggi melibatkan self-regulation proses-proses berpikir, (8) berpikir tingkat tinggi melibatkan imposing meaning (menentukan makna) menentukan struktur dalam sesuatu yang tidak beraturan, (9) berpikir tingkat tinggi bersifat bersifat effortful (membutuhkan banyak usaha). Ada banyak pekerjaan mental yang terlibat dalam elaborasi dan judgement yang dituntut di dalamnya.Pandangan di atas hendak menegaskan bahwa proses berpikir dan keterampilan dibutuhkan orang untuk mengaktifkannya sangat kompleks. Proses untuk memikirkan ide-ide abstrak berbeda dengan yang digunakan untuk memikirkan tentang situasi kehidupan nyata. Oleh karena sifat kompleks dan kontekstualnya keterampilan berpikir tingkat tinggi, maka dalam proses pembelajaran yang bertujuan untuk mengebangkan keterampilan berpikir tingkat siswa atau mahasiswa mentut digunakannya model atau pendekatan yang cocok untuk maksud itu, dan salah satunya yaitu model Problem-Based Learning.(b) Meniru Peran Orang DewasaTujuan dari Pembelajaran Berbasis Masalah yaitu membantu siswa untuk perform diberbagai situasi kehidupan nyata dan mempelajari peran-peran orang dewasa yang penting. Resnick, dalam Arends (2008:44) mengatakan cara pembelajaran di sekolah, sebagaimana dipahami secara tradisional berbeda dalam empat hal dengan kegiatan mental dan pembelajaran yang terjadi di luar sekolah. Perbandingan yang dibuat Resnick disarikan sebagai berikut:1) Pembelajaran di sekolah difokuskan pada kinerja individual, sementara pekerjaan mental diluar sekolah melibatkan kolaborasi dengan orang lain. 2) Pembelajaran di sekolah difokuskan pada proses-proses berpikir tanpa alat bantu, sementara kegiatan mental di luar sekolah biasanya melibatkan alat-alat kognitif, seperti kalkulator dan instrument-instrumen ilmiah lainnya. 3) Pembelajaran di sekolah menggarap berpikir simbolis tentang situasi-situasi hipotesis, sementara kegiatan mental di luar sekolah melibatkan individu secara langsung dengan objek dan situasi konkret. 4) Pembelajaran di sekolah difokuskan pada keterampilan umum, sementara berpikir spesifik tentang situasi nyata mendominasi kegiatan mental di luar sekolah.

Pandangan tersebut menjadi dasar pemikiran yang kuat untuk dilaksanakannya model Pembelajaran Berbasis Masalah di kelas. Bahwa Model Pembelajaran Berbasis Masalah sangat penting untuk menjembatani kesenjangan antara pembelajaran sekolah formal dan kegiatan mental yang lebih praktikal yang terjadi di luar sekolah. Terdapat korelasi yang kuat antara elemen-elemen dalam Model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan kegiatan mental di luar sekolah. Hal itu ditunjukan dengan Model Pembelajaran Berbasis Masalah mendorong terjadinya kolaborasi dan penyelesaian bersama berbagai tugas. Model Pembelajaran Berbasis Masalah mendorong terjadinya observasi dan dialog dengan pihak lain agar siswa secara gradual (bertahap) mampu melaksanakan peran yang diobservasi. Model Pembelajaran Berbasis Masalah melibatkan siswa dalam penelitian yang dipilihnya sendiri, yang memungkinkan mereka untuk menginterpretasikan dan menjelaskan berbagai fenomena nyata dan untuk mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri mengenai fenomena tersebut.(c) Belajar MandiriBelajar mandiri merupakan tujuan akhir dari model pembelajaran berbasis masalah, yaitu untuk membantu siswa atau mahasiswa menjadi pembelajar yang idenpenden, dan self reguleated (mengatur diri). Melalui bimbingan guru, terus mendapatkan motivasi dari guru, mendapat reward (hadiah) ketika bertanya dan mencari solusi untuk mengatasi berbagai masalah nyata, akan menjadi berharga bagi dirinya kelak untuk melaksanakan tugasnya secara mandiri.

(4)Dasar Teori Model Pembelajaran Berbasis MasalahDalam perspektif psikologi belajar, model pembelajaran berbasis masalah berlandaskan pada psikologi kognitif. Fokusnya tidak banyak pada apa yang sedang dikerjakan (perilaku) siswa atau mahasiswa, tetapi lebih pada apa yang sedang mereka pikirkan (kognisi). Untuk memperoleh gambaran yang utuh dan komprehensif tentang dasar teoritis mengenai model Pembelajaran Berbasis Masalah maka dirujuk pandangan tiga tokoh psikologi kognitif, seperti: 1) Dewey dengan teorinya Kelas Berorientasi Masalah; 2) Piaget dan Vygotsky dangan teorinya Konstruktivisme; dan3) Bruner dengan teorinya Discovery Learning (Arends, 2008:46). (1) Kelas Berorientasi Masalah dari DeweyMenurut Arends, (2008:46) bahwa Pembelajaran Berbasis Masalah menemukan akar intelektualnya dalam hasil karya John Dewey yang berjudul Democracy and Educational (1916). Dewey mendeskripsikan pandangannya tentang pendidikan dengan sekolah sebagai cermin masyarakat yang lebih besar dan kelas akan menjadi laboratorium untuk penyelidikan dan pengatasan masalah kehidupan nyata. Pedagogi Dewey mendorong guru untuk melibatkan siswa atau mahasiswa diberbagai proyek berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki berbagai masalah dan intelektual penting. Dewey dan siswa-siswanya, seperti Kilpatrick dalam Arends (2008:46) mengatakan bahwa pembelajaran di sekolah seharusnya purposeful (memiliki maksud yang jelas) dan tidak abstrak dan bahwa pembelajaran yang purposeful itu dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya dengan memerintahkan anak-anak dalam kelompok-kelompok kecil untuk menangani proyek-proyek yang mereka minati, dan mereka pilih sendiri. Visi pembelajaran purposeful dan problem centerid (dipusatkan pada masalah) yang didukung oleh hasrat bawaan siswa atau mahasiswa untuk mengeksplorasi situasi-situasi secara personal berarti baginya jelas berhubungan dengan Pembelajaran Berbasis Masalah kontemporer dengan filosofi dan pedagogi pendidikan Dewey.Menurut Dewey dalam Gagne (1985:231), urutan peristiwa yang terjadi dalam orang memecahkan masalah meliputi: 1) penyajian masalah, yang dapat secara verbal atau dengan cara-cara yang lain, 2) mengidentifikasi masalah atau mengenali sifat-sifat esensial yang berbeda dari situasinya, 3) merumuskan hipotesa bagi pemecahan, 4) melakukan verifikasi hipotesa itu atau hipotesa-hipotesa berikutnya sampai si belajar menemukan satu hipotesa yang berhasil mencapai pemecahan. Lebih lanjut menurut Dewey langkah-langkah ini melibatkan aspek interal dan eksternal dalam proses belajar. Dalam melaksanakan langkah-langkah ini si belajar berlatih menggunakan siasat kognitif yang mengatur tingkah laku berpikirnya sendiri.(b) Konstruktivisme dari Piaget dan VygotskyMenurut Arends (2008:46), psikolog Eropa, Jean Piaget dan Lev Vygotsky mempunyai peran instrumental dalam mengembangkan konsep konstruktivisme yang menjadi sandaran model pembelajaran berbasis masalah. Piaget (Psikolog Swiss) mengembangkan teori perkembangan kognitif anak. Dia menjelaskan bagaimana intelek berkembang pada anak-anak yang masih belia. Piaget membenarkan bahwa anak memiliki sifat bawaan ingin tahu dan terus berusaha memahami dunia disekitarnya. Keingin-tahuan ini, menurut Piaget memotivasi mereka untuk mengkonstruksikan secara aktif representasi-representasi dibenaknya tentang lingkungan yang mereka alami. Ketika umur mereka semakin bertambah dan mendapatkan semakin banyak kapasitas bahasa dan ingatan, representasi mereka tentang dunia menjadi lebih rumit dan abstrak. Akan tetapi diseluruh tahapan perkembangannya, kebutuhan anak untuk memahami lingkungannya memotivasi mereka untuk menginvestigasi dan mengkonstruksikan teori yang menjelaskannya.Menurut Piaget dalam Arends (2008:47), pedagogi yang baik itu adalah : harus melibatkan peyodoran berbagai situasi dimana anak bereksperimen, yang dalam artinya yang paling luas mengujicobakan berbagai hal untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi benda-benda; memanipulasi simbol-simbol; melontarkan pertanyaan dan mencari jawabannya sendiri; merekonsiliasikan apa yang ditemukannya pada suatu waktu dengan apa yang ditemukannya pada waktu yang lain; membandingkan temuan anaknya dengan temuan anak-anak lain. Berdasarkan pandangan Piaget di atas, dapat dikatakan bahwa prespektif kognitif-konstruktivis yang dikemukakan oleh Piaget menjadi landasan dalam pembelajaran berbasis masalah. Model Pembelajaran Berbasis Masalah dibangun menggunakan model berpikir yang sama sebagaimana yang dikatakan oleh Piaget, bahwa pelajar pada umur berapapun terlibat secara aktif dalam proses mendapatkan informasi dan mengonstruksikan pengetahuannya sendiri. Pengetahuan tidak statis tetapi berkembang dan berubah secara konstan selama pelajar mengkonstruksikan pengalaman-pengalaman baru yang memaksa mereka untuk mendasarkan diri pada dan memodifikasi pengetahuan sebelumnya.Sama seperti Piaget, Vygotsky (Psikolog Rusia), dalam Arends (2008:47) percaya bahwa intelek berkembang ketika individu menghadapi pengalaman baru dan membingungkan ketika mereka berusaha mengatasi deskrepansi yang ditimbulkan oleh pengalaman-pengalaman ini. Dalam usaha menemukan pemahaman ini, individu menghubungkan pengalaman baru dengan pengetahuan sebelumnya dan mengkonstruksikan makna baru. Keyakinan Vygotsky berbeda dengan keyakinan Piaget dalam beberapa hal penting. Bila Piaget memfokuskan pada tahapan-tahapan perkembangan intelektual yang dilalui anak terlepas dari konteks atau kulturnya, Vigotsky menekankan aspek belajar. Vygotsky percaya bahwa interaksi dengan orang lain memacu pengkonsentrasian ide-ide baru dan meningkatkan perkembangan intelektual siswa atau mahasiswa.Seanjutnya Arends mencatat bahwa salah satu ide kunci yang menjadi minat Vygotsky pada aspek pembelajaran adalah konsepnya tentang zone of proximal development. Menurut Vygotsky, siswa memiliki dua tingkat perkembangan yang berbeda: tingkat perkembangan dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan menentukan fungsi intelektual individu saat ini dan kemampuannya untuk mempelajari sendiri hal-hal tertentu. Individu juga memiliki perkembangan potensial, yang oleh Vygotsky didefinisikan sebagai tingkat yang dapat difungsikan atau dicapai oleh individu dengan bantuan orang lain. Zona yang terletak di antara tingkat perkembangan dan tingkat perkembangan potensial disebut dengan zone of proximal development.Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan Vygotsky menjadi perspektif baru bagi dunia pendidikan. Bahwa perspektif Vygotsky menjadi landasan model pembelajaran berbasis masalah. Bahwa interaksi dengan lingkungan akan menjadikan proses belajar seseorang menjadi bermakna. Kebermaknaan proses belajar itu terjadi oleh karena siswa atau mahasiswa mengoptimalkan tingkat perkembangan maupun tingkat perkembangan potensialnya. Ini yang disebut oleh Vygotsky sebagai zone of proximal development tempat pembelajaran baru terjadi.(c) Discovery Learning dari BrunerMenurut Arends (2008:48) Jerome Bruner seorang psikolog asal Belanda, membangun fondasi ilmiah yang kuat tentang discovery learning. Model pengajaran ini menekankan pentingnya membantu siswa untuk memahami struktur dan ide-ide kunci suatu disiplin ilmu, kebutuhan akan keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar, dan keyakinan bahwa pembelajaran sejati terjadi melalui penemuan pribadi(personal discovey).Lebih lanjut Arends, mengatakan Bruner juga menawarkan ide yang lain tentang scaffolding. Bruner mendeskripsikan scaffolding sebagai sebuah proses dari pelajar yang dibantu untuk mengatasi masalah tertentu yang berada diluar kapasitas perkembangannya dengan bantuan (scaffolding) guru atau orang yang lebih mampu. Konsep Bruner ini mirip dengan scaffolding dari Vygotsky tentang zone of proximal development. Selain itu menurut Bruner peran dialog menjadi penting. Ia percaya bahwa interaksi di dalam dan di luar sekolah banyak bertanggung jawab atas perolehan bahasa dan perilaku mengatasi masalah anak. Berdasarkan uraian tentang pandangan Bruner seperti di atas, dapat dikatakan bahwa model Pembelajaran Berbasis Masalah kontemporer menyandarkan diri pada teori Jerome Bruner tentang discovery learning, scaffolding dan interaksi. Konsep yang ditawarkan Bruner memberikan sumbangan berarti bagi implementasi Pembelajaran Berbasis Masalah dalam ruang-ruang kelas. Guru yang menggunakan model Pembelajaran Berbasis Masalah yang menekankan keterlibatan siswa secara aktif, orientasi yang induktif dan bukan deduktif, dan penemuan atau pengkonstruksikan pengetahuan oleh siswa sendiri.

(5) Sintaks Model Problem-Based LearningSebagaimana disinggung di muka bahwa model pembelajaran berbasis masalah memiliki tujuan, seperti membantu siswa dalam memecahkan masalah spesifik, memahami materi, mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, melakonkan peran orang dewasa, dan menjadi murid yang mandiri. Untuk membantu siswa atau mahasiswa memenuhi tujuan-tujuan ini, kegiatan Model Pembelajaran Berbasis Masalah terjadi dalam fase-fase.John Dewey, dalam Sanjaya (2011:217), menjelaskan 6 langkah model pembelajaran berbasis masalah, yaitu:1) Merumuskan masalah, yaitu langkah siswa atau mahasiswa menentukan masalah apa yang akan dipecahkan.2) Menganalisis masalah, yaitu langkah siswa atau mahasiswa meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut pandang.3) Merumuskan hipotesis, yaitu langkah siswa atau mahasiswa merumuskan berbagai kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.4) Mengumpulkan data, yaitu langkah siswa atau mahasiswa mencari dan menggambarkan informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah. 5)Menguji hipotesis, yaitu langkah siswa atau mahasiswa mengambil atau merumuskan kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan. 6) Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yaitu langkah siswa atau mahasiswa menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai rumusan hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.

Menurut David Johonson & Johonson, dalam Sanjaya (2011:217), ada lima langkah model pembelajaran berbasis masalah melalui kegiatan kelompok, yaitu:1)Mendefinisikan masalah, yaitu merumuskan masalah dari peristiwa tertentu yang mengandung isu konflik, sehingga siswa atau mahasiswa menjadi jelas masalah apa yang akan di kaji. Dalam kegiatan ini guru meminta pendapat dan penjelasan siswa atau mahasiswa tentang isu-isu hangat yang menarik untuk dipecahkan.2) Mendiagnosis masalah, yaitu menentukan sebab-sebab terjadinya masalah, serta menganalisis berbagai topik baik yang meghambat maupun topik yang dapat mendukung dalam penyelesaian masalah. Kegiatan ini dilakukan dengan diskusi kelompok kecil, sehingga pada akhirnya siswa atau mahasiswa dapat mengurutkan tindakan-tindakan preoritas yang dapat dilakukan sesuai dengan jenis penghambat yang diperkirakan.3) Merumuskan strategi, yaitu menguji setiap tindakan yang telah dirumuskan melalui diskusi kelas. Pada tahapan ini setiap siswa atau mahasiswa di dorong untuk berpikir mengemukakan pendapat dan argumentasi tentang kemungkinan setiap tindakan yang dapat dilakukan.4) Menentukan dan menerapkan strategi pilihan, yaitu mengambil keputusan tentang strategi mana yang dapat dilakukan. 5) Melakukan evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil. Evaluasi proses adalah evaluasi terhadap seluruh pelaksanaan kegiatan; sedangkan evalausi hasil adalah evaluasi terhadap akibat dari penerapan strategi yang ditetapkan. Fase pembelajaran Model Pembelajaran Berbasis Masalah menurut Eggen & Kauchak (2012:311), yaitu:1) Mereview dan menyajikan masalah. Mereview pengetahuan awal yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah dan kemudian menyajikan masalah yang spesifik dan konkret untuk dipecahkan.2) Menyusun startegi, yaitu siswa atau mahasiswa menyusun statergi untuk memecahkan masalah dan guru memberi mereka umpan balik soal strategi itu. 3) Menerapkan strategi, siswa atau mahaisswa menerapkan strategi mereka, guru secara cermat memonitor upaya mereka, dan memberikan umpan balik. 4) Membahas dan mengevaluasi hasil. Guru membimbing diskusi tentang uyapa siswa atau mahasiswa dan hasil yang mereka dapatkan. Selanjutnya, Eggen & Kauchak (2012:328), mengatakan bahwa fase yang dikemukakan di atas, masih umum dalam Model Pembelajaran Berbasis Masalah karena itu Eggen & Kauchak menawarkan fase lain dan lebih spesifik dari model pembelajaran berbasis masalah, seperti yang tampak pada tabel berikut ini.

Tabel 2.1 Sintaks Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Eggen & Kauchak)FASEDESKRIPSI

Fase 1:Mengidentifikasi pertanyaan Guru atau siswa atau mahasiswa mengidentifikasi satu pertanyaan yang akan coba di jawab oleh siswa atau mahasiswa. Menarik perhatian siswa atau mahasiswa dan menarik mereka kedalam pelajaran. Memberikan opic untuk pelajaran.

Fase 2:Membuat hipotesisSiswa atau mahasiswa membuat hipotesis dan yang berusaha menjawab pertanyaan. Memberikan kerangka referensi untuk mengumpulkan data.

Fase 3:Mengumpulkan dan menganalisis dataSiswa atau mahasiswa mengumpulkan data terkait dengan hipotesis dan menyusun serta menampilkannya supaya data itu biasa dianalisis. Memberi siswa atau mahasiswa pengalaman menguji hipotesis dengan bukti.

Fase 4:Menilai hipotesis dan membuat generalisasiGuru memandu diskusi tentang hasil dan sejauhmana hasil-hasil itu mendukung hipotesis juga siswa atau mahasiswa melakukan generalisasi terhadap hasil berdasarkan asesmen terhadap hipotesis. Memberi siswa atau mahasiswa pengalaman tambahan untuk menggunakan metode ilmiah. Mengembangkan kemampuan untuk membuat kesimpulan berdasarkan bukti. Mendorong pengalihan penerapan (transfer) ke situasi-situasi baru.

Sumber: Eggen & Kauchak (2012:328).Selain itu, Arends (2008:57), mengemukakan 5 fase untuk sintaks model pembelajaran berbasis masalah pada tabel berikut ini.

Tabel 2.2 Sintaks Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Arends)FASEPERILAKU GURU

Fase 1:Memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada siswa atau mahasiswaGuru membahas tujuan pembelajaran, mendeskripsikan berbagai kebutuhan opicle penting, dan memotivasi siswa atau mahasiswa untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah

Fase 2:Menggorganisasikan siswa atau mahasiswa untuk meneliti.Guru membantu siswa atau mahasiswa untuk mendefinisikan dan menggorganisasikan tugas-tugas belajar yang terkait dengan permasalahannya.

Fase 3:Membantu investigasi mandiri dan kelompok.

Guru mendorong siswa atau mahasiswa untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan mencari penjelasan dan solusi.

Fase 4:Mengembangkan dan mempresentasikan artefak dan exhibit.Guru membantu siswa atau mahasiswa dalam merancang dan menyiapkan artefak-artefak yang tepat, serta laporan, rekaman video, model-model, dan membantu mereka untuk menyampaikannya kepada orang lain.

Fase 5:Menganalsis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah. Guru membantu siswa atau mahasiswa untuk melakukan refleksi terhadap investigasinya dan proses-proses yang mereka gunakan.

Sumber: Arends (2008:57).Berdasarkan pandangan ahli seperti di atas, dan dengan mempertimbangkan karakteristik dari model pembelajaran berbasis masalah, maka untuk kepentingan penelitian ini, penulis memodifikasi sintaks yang ditawarkan oleh Eggen & Kauchak (2012:328) dan Arends (2008:57), seperti tampak pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.3 Sintaks Model Pembelajaran Berbasis MasalahFASEDESKRIPSI

Fase 1:Mengidentifikasi MasalahGuru membimbing siswa untuk menyadari adanya kesenjangan atau gap yang dialami oleh manusia atau lingkungan masyarakat. Menarik perhatian siswa untuk masuk dalam kegiatan pembelajaran. Memberikan untuk menangkap adanya gap yang dialami oleh manusia atau lingkungan masyarakat.

Fase 2:Merumuskan MasalahGuru dan siswa merumuskan masalah yang akan di jawab oleh siswa Menentukan prioritas masalah, dan merumuskan masalah secara jelas, dan spesifik untuk dapat dipecahkan.

Fase 3:Merumuskan hipotesisSiswa membuat hipotesis dan berusaha menjawab hipotesis itu. Memberikan kerangka referensi untuk mengumpulkan data.

Fase 4:Mengumpulkan dan menganalisis dataSiswa mengumpulkan data terkait dengan hipotesis dan menyusun serta menampilkannya agar data tersebut dapat dianalisis. Memberi siswa pengalaman menguji hipotesis dengan bukti.

Fase 5:Menilai hipotesis dan membuat generalisasiGuru memandu diskusi tentang hasil dan sejauhmana hasil-hasil itu mendukung hipotesis juga murid melakukan generalisasi terhadap hasil berdasarkan asesmen terhadap hipotesis. Memberi siswa pengalaman tambahan untuk menggunakan metode ilmiah. Mengembangkan kemampuan untuk membuat kesimpulan berdasarkan bukti. Mendorong pengalihan penerapan (transfer) ke situasi-situasi baru.

Adaptasi, dari Eggen & Kauchak (2012:328) & Arends (2008:57).

(6) Keunggulan dan kelemahan Model Pembelajaran Berbasis MasalahSetiap model pembelajaran memiliki keunggulan dan kelemahan. Berikut dikemukakan keunggulan dan kelemahan Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk dipertimbangkan ketika ingin menggunakan model in idalam proses pembelajaran. Menurut Sanjaya (2011:220), Model Pembelajaran Berbasis Masalah memiliki keunggulan sebagai berikut: 1) pemecahan masalah (problem solving) merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran; 2) pemecahan masalah (problem solving) dapat menantang kemampuan siswa atau mahasiswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa; 3) pemecahan masalah (problem solving) dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa atau mahasiswa; 4) pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu siswa atau mahasiswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata; 5) pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu siswa ataumahasiswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dengan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Di samping itu, pemecahan masalah itu juga dapat mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajar; 6) melalui pemecahan masalah (problem solving) memperlihatkan kepada siswa atau mahasiswa bahwa setiap mata pelajaran (mata kuliah) pada dasarnya merupakan cara berpikir, dan sesuatu yang harus dimengerti oleh siswa atau mahasiswa, bukan hanya sekadar belajar dari guru atau dari buku-buku saja; 7) pemecahan masalah (problem solving) dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa atau mahasiswa; 8) pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan kemampuan siswa atau mahasiswa untuk berpikir kristis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru; 9) pemecahan masalah (problem solving) dapat memberikan kesempatan pada siswa atau mahasiswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata; 10) pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan minat siswa atau mahaiswa untuk secara terus menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal berakhir. Selain memiliki keunggulan, Model Pembelajaran Berbasis Masalah juga memiliki kelemahan, diantaranya: 1) Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan enggan untuk mencoba; 2) Keberhasilan model pembelajaran berbasis masalah, membutuhkan cukup waktu untuk persiapan; 3) Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.

2.1.2. Pembelajaran Konvensional2.1.2.1. Hakikat pembelajaran konvensionalSalah satu model pembelajaran yang masih berlaku dan masih banyak digunakan oleh guru adalah model pembelajaran konvensional. Menurut Nugraheni (2007) model pembelajaran konvensional (MPK) merupakan suatu istilah dalam pembelajaran yang lazim diterapkan dalam pembelajaran sehari-hari.Pendapat senada juga disampaikan Sutikno (2006), bahwa MPK merupakan model pembelajaran yang biasa dilakukan guru dalam dalam proses belajar mengajar dikelas. Dengan pembelajaran bersifat linear dan dirancang dari sub-sub konsep secara terpisah menuju konsep-konsep yang lebih kompleks (Nugraheni, 2007). Pembelajaran linear berarti bahwa satu langkah mengikuti langkah yang lain, dimana langkah kedua tidak bisa dilakukan sebelum langkah pertama dikerjakan. Pembelajaran konvensional didasarkan atas asumsi bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa.Pada suasana pembelajaran seperti ini, kelas cenderung teaching centered sehingga siswa menjadi pasif.Pendekatan konvensional merupakan pendekatan pembelajaran yang biasa dilakukan guru dalam proses belajar mengajar di dalam kelas. Kegiatan konvensional mengarah pada aktivitas meniru atau mengkopi, dimana proses pembelajaran menyebabkan siswa melakukan pengulangan dan informasi baru disajikan dalam bentuk laporan, kuis dan tes (Jakson dalam Muliarsa, 2006). Pada pembelajaran ini, proses pembelajaran lebih sering diarahkan pada aliran informasi atau transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Konsep yang diterima siswa hampir semuanya berasal dari apa yang disampaikan oleh guru. Guru menganggap belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran. Proses pembelajaran cenderung hanya mengantarkan siswa untuk mencapai tujuan untuk mengejar target kurikulum, sehingga proses pembelajaran dikelas memiliki ciri-ciri sebagai berikut.1. Guru aktif tapi siswa pasif2. Pembelajaran berpusat pada guru (teacher oriented)3. Transfer pengetahuan dari guru pada siswa4. Pembelajaran bersifat mekanistikAkibat dari pembelajaran tersebut siswa menjadi terbiasa menerima apa saja yang diberikan oleh guru tanpa mau berusaha menemukan sendiri konsep-konsep yang sedang dipelajari. Guru akan merasa bangga ketika anak didiknya mampu menyebutkan kembali secara lisan sebagai besar informasi yang terdapat dalam teks atau yang diberikan oleh guru. Penekanan pembelajaran adalah diperoleh kemampuan mengingat (memorizing) dan bukan kemampuan memahami (understanding).Pembelajaran yang dilakukan oleh guru berpegang pada teori tingkah laku (behavioristik). Teori ini didasarkan asumsi bahwa peserta didik (siswa/mahasiswa) adalah manusia pasif yang tugasnya hanya mendengar, mencatat dan menghafal serta hanya melakukan respon terhadap stimulus yang dating dari luar (stimulus-response). Siswa akan belajar apabila dilakukan pembelajaran oleh guru secara sengaja, teratur dan berkelanjutan. Tanpa pembelajaran yang disengaja dan berkelanjutan siswa tidak mungkin melakukan kegiatan belajar (Sujana, 2005). Belajar merupakan perubahan tingka laku yang muncul sebagai respon individu terhadap stimulus yangt dating dari luar.Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran konvensional tidak cocok dalam kegiatan belajar mengajar dikelas karena pembelajaran konvensional berpusat pada guru sehingga siswa/mahasiswa kurang memahami apa yang disampaikan oleh guru tersebut; selain itu pembelajaran konvensional kurang membelajarkan siswa/mahasiswa untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya sehingga peserta didik (siswa/mahasiswa) sangat pasif dalam mengikuti kegiatan pembelajaran dikelas.

2.1.2.2. Tahap-tahap Pembelajaran KonvensionalPembelajaran konvensional masih berrtumpu pada belajar hafalan, yang mentolerir respon-respon yang bersifat konvergen, menekankan informs konsep, latihan soal dan teks, serta penilaiannya masih bersifat tradisional dengan paper and pencil test yang hanya menuntut satu jawaban benar. Adapun kegiatan guru dalam proses pembelajaran yang berorientasi pembelajaran konvensional adalah sebagai berikut (diadaptasi dari Brook & Brook, 1993) :1. Guru menyampaikan atau mentransfer ilmu pengetahuan dan umumnya mengharapkan siswa mengidentifikasi, meniru informasi yang disampaikan. Ketika terjadi diskusi dalam kelompok umumnya dipimpin oleh guru2. Guru menyajikan informasi yang ada dalam buku atau teks3. Ketika sebuah pembelajaran dirancang kedalam sebuah kelas mewajibkan siswa untuk bekerja dalam sebuah kelompok kecil dalam melakukan percobaan dan menyelesikan soal-soal di LKS yang telah disediakan4. Guru jarang memperhatikan proses siswa dalam menyelesaikan masalah. Ketika siswa dihadapkan pada sebuah permasalahan, guru jarang menilai bagaimana cara atau berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah.5. Guru menyuruh siswa untuk merangkum kembali materi pelajaran yang telah dibahas sebelumnya sebagai gambaran siiswa dalam memahami isi materi pelajaran. Dengan pola pembelajaran diatas, guru akan mengontrol secara penuh materi pelajaran serta metode penyampaiannya. Akibatnya, proses pembelajaran dikelas menjadi mengikuti langkah-langkah, aturan-aturan serta contoh-contoh yang diberikan oleh guru. Berikut ini akan disajikan sintak pendekatan konvensional.

Tabel 2.4 Sintak Model Pembelajaran KonvensionalNo Fase-faseAktivitas guruAktivitas siswa

1

Apresiasi Menyampaikan pokok bahasan atau materi yang akan diberikanMendengarkan informasi yang disampaikan dan menerima materi baru

2

Kegiatan inti Mendemonstrasikan keterampilan atau menyajikan materi yang diberikanMemperhatikan penjelasan guru

Memberi contoh yang relevaan dengan materi yang diberikanMencatat soal

Menyelesaikan soal yang ada dalam LKSMenyelesaikan soal yang ada dalam LKS

3Penutup Memberikan pekerjaan rumahMencatat pekerjaan rumah

2.1.2.3. Perbandingan Model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Model Pembelajaran KonvensionalDalam proses pembelajaran, model pembelajaran berbasis masalah sangatlah berbeda dengan model pembelajaran konvensional yang selama ini digunakan. Secara garis besar perbedaan antara Model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan model pembelajaran konvensional yang didapat dari Depdiknas (2002) dan Nurhadi dan Senduk (2003) adalah sebagai berikut.

Tabel 2.5 Perbedaan Model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Model Pembelajaran KonvensiohalNoUraianPembelajaran berbasis masalahPembelajaran konvensional

1Peran guruGuru berperan sebagai model pembelajaran yang melatih, mempresentasikan situasi masalah, berpartisipasi dalam proses pembelajaran sebagai pengantar untuk penyelidikan dan menilai kegiatan pembelajaranGuru berperan sebagai pendidik yang memberikan pengetahuan, latihan terbimbing, dan mengadakan evaluasi terhadap siswa

2Peran siswaSiswa berperan secara aktif dalam menyatukan situasi kompleks,menyelidiki dan memecahkan masalahSiswa diibaratkan seperti botol kosong yang siap menerima pengetahuan. Siswa kurang aktif hanya berperan sebagai pengikut yang menunggu untuk diberi petunjuk.

3Fokus kognitifSiswa mensintesis dan membangun pengetahuannnya sendiri melalui pemecahan masalah dengan cara yang sesuai dengan kondisi yang mereka ajukan.Siswa mengcopy, mempraktekkan pengetahuan yang diterima dan menerapkannya dalam situasi tes

4Fokus metakognitifGuru sebagai pelatih dan model juga diperlukan siswa. Siswa membangun strategi untuk memungkinkan mengatur pembelajaran mereka sendiri.Siswa berperan sebagai pembelajar yang pasif dan kemampuan belajar adalah tanggung jawab dari siswa sendiri.

5Peranan siswa dalamSebagai pemegang kendali dalam situasi, mempelajari kejadian-kejadian yang berhubungan dengan pengalaman pribadi siswaSiswa mempelajari hal-hal diluar dari pengalaman pribadi siswa

6Peran dari masalah yang dipecahkanMasalah disajikan dengan tidak terstruktur dan dipresentasikan sebagai suatu situasi sesegera setelah masalah yang menarik didefenisikanMasalah terstruktur dengan baik dan dipresentasikan sebagai suatu tantangan untuk diingat

Perbedaan Model Pembelajaran Berbasis Masalah dan model pembelajaran konvensional seperti dikemukakan diatas, memberikan informasi bahwa pembelajaran berbasis masalah tampil dengan sejumlah keunggulan dibandingkan dengan pembelajaran konvensional yang dilakukan selama ini.Dengan melihat keunggulan-keunggulan dan karakteristik Model Pembelajaran Berbasis Masalah, maka dalam penerapannya di kelas diharapkan siswa dapat mempelajari materi pelajaran yang disajikan oleh guru melalui konteks kehidupan mereka dan mereka dapat menemukan arti di dalam proses pembelajaran, sehingga pembelajaran lebih berarti dan menyenangkan bagi siswa. Disamping itu siswa juga akan merasakan manfaat langsung dari materi yang sedang dipelajari. Dengan demikian diharapkan hasil belajar siswa akan lebih baik dan lebih siap menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan siswa/mahasiswa.

2.1.3. Asesmen (Penilaian)2.1.3.1. Hakikat AsesmenSaat ini, ada beragam definisi tentang asesmen. Beberapa pandangan ahli tentang asesmen seperti yang dikutip oleh Dantes (2008), antara lain, menurut Salvia dan Ysseldike (1994) asesmen adalah suatu proses mengumpulkan data dengan tujuan agar dapat dilakukan keputusan mengenai suatu objek. Popham (1975) mengatakan bahwa asesmen adalah suatu upaya formal untuk menentukan status objek dalam berbagai aspek yang dinilai. Nitko (1996) mengatakan bahwa asesmen merupakan suatu proses mendapatkan data yang digunakan untuk pengambilan keputusan mengenai pebelajar, program pendidikan, dan kebijakan pendidikan. Jika dikatakan mengases kompetensi pebelajar, maka itu berarti pengumpulan informasi untuk dapat ditentukan sejauhmana seorang pebelajar telah mencapai suatu target belajar.Ahli lain seperti Hana (Suryanto, dkk, 2009:1.7) mengatakan bahwa, asesmen merupakan kegiatan untukmengumpulkan informasi hasil belajar mahasiswa yang diperoleh dari berbagai jenis tagihan dan mengolah informasi tersebut untuk menilai hasil belajar dan perkembangan hasil belajar mahasiswa.Sejalan dengan di atas, Suwandi (2011:15) memandang asesmen dikelas sebagai proses pengumpulan dan penggunaan informasi serta hasil belajar mahasiswa yang dilakukan oleh pendidik untuk menetapkan tingkat pencapaian dan penguasaan mahasiswa terhadap tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, yaitu standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator pencapaian belajar yang terdapat dalam kurikulum. Proses yang dilakukan melalui langkah-langkah perencanaan, penyusunan alat penilaian, pengumpulan informasi melalui sejumlah bukti yang menunjukan pencapaian hasil belajar mahasiswa, pengelolaan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar mahasiswa. Mengacu pada uraian di atas, Marhaeni (2005:43) merangkum tiga unsur pokok yang terdapat dalam pengertian asesmen, yaitu: (1) asesmen bersifat formal, artinya adanya suatu upaya sengaja untuk menentukan status pebelajar dalam variabel-variabel yang menjadi fokus, (2) asesmen terfokus pada variabel-variabel tertentu, yang berarti adanya variasi pada pebelajar dalam hal kemampuan, keterampilan, maupun sikap, dan (3) dalam asesmen ada keputusan mengenai status pebelajar, yaitu sejauhmana pebelajar telah menunjukkan perkembangan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan perlu tidaknya dilakukan program khusus.Dalam situasi tertentu, asesmen berbasis kelas sering disebut sebagai asesmen berbasis kompetensi. Dantes (2008:3) mengatakan bahwa, asesmen berbasis kompetensi adalahasesmen yang dilakukan untuk mengetahui kompetensi seseorang. Kompetensi adalah atribut individu peserta didik, oleh karena itu asesmen berbasis kompetensi bersifat individual; sehingga ia disebut asesmen disertai kelas. Untuk memastikan bahwa yang diases tersebut benar-benar adalah kompetensi riil individu (peserta didik) tersebut, maka asesmen harus dilakukan secara otentik (nyata, riil seperti kehidupan sehari-hari). Asesmen otentik bersifat on-going atau berkelanjutan, oleh karena itu asesmen harus dilakukan kepada proses dan produk belajar. Dengan demikian, asesmen berbasis kompetensi memiliki sifat otentik, berkelanjutan, dan individual.Senada dengan itu, Marhaeni (2007), mengemukakan asesmen otentik memiliki sifat-sifat: (1) asesmen bebasis kompetensi yaitu asesmen yang mampu memantau kompetensi seorang. Asesmen otentik pada dasarnya adalah asesmen kinerja, yaitu suatu unjuk kerja yang ditunjukkan sebagai akibat dari suatu proses belajar yang komprehensif. Kompetensi adalah atribut individu peserta didik, oleh karena itu asesmen kompetensi bersifat individual; (2) individual.artinya, kompetensi tidak dapat disamaratakan pada semua orang, tetapi bersifat personal. Oleh karena itu, asesmen adalah cara-cara yang digunakan untuk memantau kemampuan peserta didik cenderung tidak dapat secara akurat mengukur kompetensi setiap individu; (3) berpusat pada peserta didik karena direncanakan, dilakukan, dan dinilai oleh didik sendiri; mengungkapkan seoptimal mungkin kelebihan setiap individu, dan juga kekurangannya (untuk dilakukan perbaikan). Asesmen otentik bersifat tak terstruktur dan open-ended, dalam arti, percepatan penyelesaian tugas-tugas otentik tidak bersifat uniformed dan klasikal, juga kinerja yang dihasilkan tidak harus sama antar individu di suatu kelompok. Untuk memastikan bahwa yang diases tersebut benar-benar adalah kompetensi riil individu (peserta didik) tersebut, maka asesmen harus dilakukan secara; (4) otentik (nyata, riil seperti kehidupan sehari-hari) dan sesuai dengan proses pembelajaran yang dilakukan, sehingga asesmen otentik berlangsung secara; (5) terintegrasi dengan proses pembelajaran. Asesmen otentik bersifat (6) on-going atau berkelanjutan, oleh karena itu asesmen harus dilakukan secara langsung pada saat proses dan produk belajar. Dengan demikian, asesmen otentik memiliki sifat berpusat padasubjek didik, terintegrasi dengan pembelajaran, otentik, berkelanjutan, dan individual. Sifat asesmen otentik yang komprehensif juga dapat membentuk unsur-unsur metakognisi dalam diri didik seperti risk-taking, kreatif, mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi dan divergen, tanggungjawab terhadap tugas dan karya, dan rasa kepemilikan (ownership).Implementasi dari informasi di atas, tampak terasa dalam proses penilaian. Namun, dalam penilaian ada beberapa prinsip yang perlu mendapat perhatian, diantaranya adalah sebagai berikut (Depdiknas, 2007).(1) Sahih, berarti penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur; (2) Objektif, berarti penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai; (3) Adil, berarti penilaian tidak menguntungkan atau merugikan mahasiswa karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender; (4) Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran; (5) Terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan; (6) Menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian oleh pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan mahasiswa; (7) Sistematis, berarti penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah baku; (8) Beracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan; dan (9) Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya.

Mengacu pada uraian di atas, dapat dipahami bahwa asesmen mutlak dilaksanakan dalam proses pembelajaran di kelas. Adanya asesmen dalam proses pembelajaran, disamping menjaring segala informasi tentangmahasiswa, dan evaluasi program yang sedang berlangsung.

2.1.3.2. Manfaat Asesmen Berbasis KelasBeberapa hal yang merupakan manfaat atau kegunaan asesmen berbasis kelas dalam seluruh proses pendidikan, seperti:(1) memberi penjelasan secara lengkap tentang target pembelajaran yang dapat dijelaskan; sebelum pendidik melakukan asesmen terhadap mahasiswa terlebih dulu harus mengetahui bagaimana tingkat pengetahuan mahasiswa, informasi yang dibutuhkan tentang pengetahuan, keterampilan, dan performa mahasiswa.Pengetahuan, keterampilan dan performa mahasiswa yang dibutuhkan dalam pembelajaran disebut dengan target atau hasil pembelajaran; (2) kebutuhan masing-masing mahasiswa, bila mungkin pendidik dapat menggunakan beberapa indikator keberhasilan untuk setiap taget pembelajaran;masing-masing target pembelajaran memerlukan pemilihan teknik asesmen yang berbeda; (3) setiap targetpembelajaran, pemilihan teknik asesmen harus didasarkan pada kebutuhan praktis di lapangan dan efisiensi (Poerwanti, dkk, 2008:4).

Hal ini menunjukan pemanfaatan asesmen berbasis kelas di samping sebagai bagian integral, didasarkan pada tujuan secara utuh dan memiliki kepastian kriteria keberhasilan, juga menggambarkan proses dan hasil yang sesungguhnya.

2.1.3.3. Tujuan dan Fungsi Asesmen Berbasis KelasSecara rinci tujuan dan fungsi asesmen berbasis kelas dijabarkan sebagai berikut (Poerwanti, dkk, 2008:16 & Suwandi, 2011: 19): 1) guru dapat mengetahui tingkat pencapai kompetensi yang dipersyaratkan selama dan setelah proses pembelajaran berlangsung; 2) guru juga akan bisa langsung memberikan umpan balik kepada mahasiswa; pendidik secara terus menerus dapat melakukan pemantauan kemajuan belajar yang dicapai setiap mahasiswa, sekaligus pendidik dapat mendiagnosis kesulitan belajar yang dialami mahasiswa; 3) sebagai umpan balik bagi pendidik untuk memperbaiki metode, pendekatan, kegiatan, dan sumber belajar yang digunakan, sesuai dengan kebutuhan materi dan juga kebutuhan mahasiswa; 4) landasan untuk memilih alternatif jenis dan pendekatan penilaian mana yang tepat untuk digunakan pada materi tertentu dan pada mata pelajaran tertentu; dan 5) sebagai bahan informasi kepada masyarakat tentang efektivitas pendidikan.Dengan demikian, dapat dipahami bahwa, asesmen berbasis kelas dirancang dengan tujuan mendapatkan informasi baik tentang mahasiswa maupun program pendidikan yang sedang digunakan.

2.1.4. Asesmen Kinerja2.1.4.1. Pengertian Asesmen KinerjaKoyan (2011:79) mengartikan asesmen kinerja sebagai suatu prosedur dengan jalan memberi tugas-tugas untuk memperoleh informasi tentang seberapa baik peserta didik telah belajar.Selain itu, Dantes (2008:3) mengatakan bahwa, asesmen kinerja sebagai suatu prosedur yang menggunakan berbagai bentuk tugas-tugas untuk memperoleh informasi tentang apa dan sejauhmana yang telah dilakukan dalam suatu program. Dalam hal ini, mahasiswa diberi tugas tertentu, sebagai bentuk atau cara memperoleh informasi/data yang nantinya dijadikan bahan pengambilan keputusan tentang perubahan/hasil belajar mahasiswa. Pemantauan didasarkan pada kinerja (performance) yang ditunjukkan dalam menyelesaikan suatu tugas atau permasalahan yang diberikan. Hasil yang diperoleh merupakan suatu hasil dari unjuk kerja tersebut. Pada sisi lain, asesmen kinerja adalah penelusuran produk dalam proses. Artinya, hasil-hasil kerja yang ditunjukkan dalam proses pelaksanaan program itu digunakan sebagai basis untuk dilakukan suatu pemantauan mengenai perkembangan dari satu pencapaian program tersebut. Asesmen kinerja merupakan asesmen yang dilakukan dengan mengamati kegiatan mahasiswa dalam melakukan sesuatu untuk menilai ketercapaian kompetensi yang menuntut mahasiswa melakukan tugas tertentu seperti: praktek, presentasi, diskusi, bermain peran, berpuisi (Jihad, 2008:99). Dengan demikian, asesmen kinerja adalah suatu penilaian yang meminta peserta didik untuk mendiskusikan, memperesentasikan, dan mengaplikasikan pengetahuan ke dalam berbagai macam konteks sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Teori/konsep di atas, tampaknya memperkuat alasan penggunaan asesmen kinerja didasarkan atas empat asumsi pokok yaitu:(1) Asesmen kinerja didasarkan partisipasi aktif mahasiswa, (2) tugas-tugas yang diberikan atau dikerjakan mahasiswa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan proses pembelajaran, (3) asesmen tidak hanya untuk mengetahui posisi mahasiswa, tetapi untuk memperbaiki proses pembelajaran itu sendiri dan (4) dengan mengetahui lebih dahulu kriteriayang akan digunakan untuk mengukkur dan menilai keberhasilan proses pembelajaran (J. A.Wangsatorntanakun dalam Asmawi Zainul, 2001).

Alasan lain asesmen kinerja digunakan dalam dunia pendidikan adalah karena adanya ketidakpuasan terhadap penggunaan tes-tes baku yang dianggap tidak mampu menampilkan kemampuan mahasiswa secara menyeluruh.Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan tes baku adalah tes-tes yang secara tradisional digunakan untuk mengukur perkembangan pembelajaran. Tes memiliki pengertian yang lebih sempit daripada asesmen. Tes umumnya menunjukan kepada kumpulan butir soal atau pertanyaan yang dirancang khusus untuk dikenakan kepada satu atau lebih mahasiswa dalam kondisi khusus (wiersma & jurs, 1990). Tes-tes tersebut kebanyakan berbentuk tes objektif dimana hanya ada satu pilihan jawaban yang benar. Tes-tes tersebut dikembangkan dalam format pilihan ganda, dimana satu butir tes disediakan tiga hingga lima kemungkinan pilihan jawaban.Karakteristik utama pada asesmen kinerja adalah tidak hanya mengukur hasil belajar (achievement), secara lebih luas tentang proses belajar. Keterlibatan diri, inisiatif diri, evaluasi diri dan dampak langsung yang terjadi pada diri mahasiswa. Jadi, yang diharapkan pelaksanaan asesmen kinerja dapat membantu mahasiswa belajar sekaligus panduan bagi pendidik untuk mengukur seluruh aspek kemampuan mahasiswa .Untuk mengevaluasi apakah asesmen kinerja (performance assessment) tersebut sudah dianggap berkualitas, harus diperhatikan tujuh hal yang dibuat oleh Popham (1995). Ketujuh hal adalah sebagai berikut.1) Generalbility, artinya apakah kinerja tes (student performance) dalam melakukan tugas yang diberikan sudah memadai untuk digeneralisasikan tugas-tugas yang diberikan dalam rangka penilaian kinerja tersebut atau semakin dapat dibandingkan dengan tugas yang lainnya maka semakin baik tugas tersebut. Hal ini terutama dalam kondisi bila mahasiswa diberi tugas-tugas yang berlainan. 2) Authenticity, artinya apakah tugas yang diberikan tersebut sudah serupa dengan apa yang sering dihadapinya dalam praktek kehidupan sehari-hari.3) Multiple focy, artinya apakah tugas yang diberikan kepada tes sudah mengukur lebih dari satu kemampuan yang diinginkan.4) Teachability, tugas yang diberikan merupakan tugas yang hasilnya semakin baik karena ada usaha mengajar pendidik di kelas.5) Fairness,artinya apakah tugas yang diberikan dalam penilaian keterampilan sudah adil (fair) untuk semua peseta didik. Jadi tugas-tugas tersebut harus dipikirkan tidak bias untuk semua kelompok jenis kelamin, suku bangsa, agama, dan status ekonomi.6) Feasibility, artinya apakah tugas-tugas yang diberikan dalam penilain keterampilan atau penilaian kinerja memang relevan untuk dapat dilaksanakan mengingat faktor-faktor seperti biaya, tempat, waktu dan peralatannya sangat terbatas.7) Scorability, artinya apakah tugas yang diberikan nanti dapat diskor dengan akurat dan reabel. Dengan demikian, asesmen kinerja yang dibuat harus mampu mengungkapkan seluruh aspek dalam diri mahasiswa. Skor yang diberikan harus mewakili seluruh aspek dalam diri mahasiswa yang diberi tes. Pendidikhendaknya melakukan asesmen berbasis kelas (ABK) untuk menguji kompetensi mencakup dua hal yaitu hasil dan proses belajar. Proses belajar, yaitu seluruh pengalaman belajar yang dilaksanakan sedangkan hasil belajar yaitu ketercapaian setiap kemampuan dasar, baik kognitif, afektif maupun psikomotor yang diperoleh mahasiswa selama mengikuti kegiatan pembelajaran tertentu. Dari proses diperoleh potret/profil kemampuan mahasiswa dalam mencapai sejumlah standar kompetensi dan kompetensi dasar yang tercantum dalam kurikulum.Mengacu pada uraian di atas, meneliti asesmen kinerja dalam penelitian ini menggunakan konsep yang jelaskan oleh Dantes, Koyan, Jihad dan Wangsatorntanakun dalam Asmawi Zainul, bahwa asesmen kinerja adalah suatu prosedur yang terencana dalam bentuk tugas seperti: diskusi, presentasi, mengkomunikasikan ide, dan pemecahan masalah ketika atau dalam proses maupun akhir pembelajaran untuk mendapatkan informasi sejauh mana pemahaman mereka sebagai persiapan dalam mencapai prestasi belajar kelak. Pada asesmen kinerja, terdapat tiga komponen utama yaitu, tugas kinerja (kinerja task), rubrik performasi (performance rubrik), dan cara penilaian (skoring guide). Tugas kinerja adalah suatu tugas yang berisi, standar tugas, deskripsi tugas, dan kondisi penilaian tugas. Cara penilaian kinerja ada tiga, yaitu (1) holistic: yaitu pemberian skor berdasarkan impresi penilai secara umum terhadap performansi, (2) analitic scoring; yaitu pemberian skor terhadap asfek-asfek yang berkontribusi terhadap suatu performansi, dan (3) primary traits scoring; yaitu pemberian skor berdasarkan beberapa unsur dominan dari suatu perfomansi.

2.1.5. Hasil Belajar SiswaHasil belajar menurut Sudjana (2000) merupakan suatu kompetensi atau kecakapan yang dapat dicapai oleh siswa setelah melalui kegiatan pembelajaran yang dirancang/dilaksanakan oleh guru di sekolah dan kelas tertentu.Selain itu Sudjana (2000:39-40) mengemukakan bahwa:hasil belajar siswa dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor yaitu : 1) faktor intern, dan 2) faktor ekstern. Faktor intern meliputi : motivasi belajar, minat dan perhatian siswa terhadap mata pelajaran tersebut, sikap dan kebiasaan dalam belajar, ketekunan belajar, keadaan sosial ekonomi orang tua, faktor fisik dan faktor psikis siswa. Sedangkan faktor ekstern mencakup aspek kualitas pembelajaran yang meliputi faktor kemampuan guru, karakteristik kelas dan karakteristik sekolah.Dalam setiap proses pembelajaran perlu selalu diketahui hasil belajar siswa-siswanya. Tugas inilah yang merupakan salah satu tugas seorang guru dalam usahanya untuk memantau hasil belajar yang mesti dicapai siswa. Hal ini sangat penting artinya baik bagi siswa itu sendiri maupun bagi guru karena lewat rekaman hasil belajar itu maka dapat melakukan tindakan-tindakan baru atau khusus untuk memberikan umpan balik dan mengadakan perbaikan-perbaikan jika dipandang masih diperlukan. Bagi siswa sendiri sangat berarti karena dapat dijadikan refleksi terhadap apa yang telah dijalani dan apa yang mesti dilakukan seterusnya. Menurut Abdurrahman (1999), hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap. Dalam kegiatan pembelajaran, guru menetapkan indikator pembelajaran. Siswa yang berhasil dalam pembelajaran adalah siswa yang yang berhasil mencapai tujuan pembelajaran dan indikator pembelajaran. Menurut Benjamin S Bloom membagi hasil belajar menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik (Bloom, et al, 1966:7). Masing-masing ranah terdiri dari beberapa tingkatan. Menurut Bloom ranah kognitif, berkenan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam tingkatan, yaitu: (1) pengetahuan, (2) pemahaman, (3) aplikasi atau penerapan, (4) analisis, (5) sintesis, dan (6) kemampuan mengevaluasi. Keller (dalam Abdurrahman, 1999) menyebutkan bahwa hasil belajar adalah prestasi aktual yang ditampilkan oleh anak sedangkan usaha adalah perbuatan yang terarah pada penyelesaian tugas-tugas belajar. Ini berarti bahwa besarnya usaha adalah indikator dari adanya motivasi; sedangkan hasil belajar dipengaruhi oleh besarnya usaha yang dilakukan oleh anak. Hasil belajar juga dipengaruhi oleh intelegensia dan penguasaan awal anak tentang materi yang akan dipelajari. ini berarti guru perlu menetapkan tujuan belajar sesuai dengan kapasitas intelegensia anak, dan pencapaian tujuan belajar perlu menggunakan bahan apersepsi yaitu bahan yang telah dikuasai anak sebagai batu loncatan untuk menguasai bahan pelajaran baru. Hasil belajar juga dipengaruhi oleh adanya kesempatan yang diberikan kepada anak. Ini berarti bahwa guru perlu menyusun rancangan dan pengelolaan pembelajaran yang memungkinkan anak bebas untuk melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya. Hasil belajar merupakan bagian terpenting dalam pembelajaran. Sudjana (2009: 3) mendefinisikan hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang lebih luas mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dimyati dan Mudjiono (2006: 3-4) juga menyebutkan hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya pengajaran dari puncak proses belajar. Benjamin S. Bloom (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 26-27) menyebutkan enam jenis perilaku ranah kognitif, sebagai berikut: a. Pengetahuan, mencapai kemampuan ingatan tentang hal yang telah dipelajari dan tersimpan dalam ingatan. Pengetahuan itu berkenaan dengan fakta, peristiwa, pengertian kaidah, teori, prinsip, atau metode. b. Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap arti dan makna tentang hal yang dipelajari. c. Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode dan kaidah untuk menghadapi masalah yang nyata dan baru. Misalnya, menggunakan prinsip. d. Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik. Misalnya mengurangi masalah menjadi bagian yang telah kecil. e. Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru. Misalnya kemampuan menyusun suatu program. f. Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal berdasarkan kriteria tertentu. misalnya, kemampuan menilai hasil ulangan.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah pencapaian bentuk perubahan tingkah laku yang cenderung menetap dari ranah kognitif, afektif dan psikomotor yang menjadi milik siswa yang dilakukannya dalam waktu tertentu, yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Untuk mengetahui apakah pembelajaran berhasil atau tidak, terlebih dahulu harus ditetapkan apa yang menjadi kriteria keberhasilan pembelajaran. Mengingat pembelajaran adalah suatu proses untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan, maka ada dua kriteria umum. Menurut Sujana, 2004 (dalam Asep Jihad dan Abdul Haris, 2008), kedua kriteria tersebut adalah:1) Kriteria ditinjau dari sudut prosesnyaKriteria dari sudut prosesnya menekankan kepada pembelajaran sebagai suatu proses yang merupakan interaksi dinamis sehingga siswa sebagai subyek mampu mengembangkan potensinya melalui belajar sendiri. Untuk mengukur keberhasilan pembelajaran dari sudut prosesnya dapat dikaji melalui beberapa persoalan dibawah ini: (1) Apakah pembelajaran direncanakan terlebih dahulu oleh guru dengan melibatkan siswa secara sistematis?; (2) Apakah kegiatan siswa belajar dimotivasi guru sehingga ia melakukan kegiatan belajar dengan penuh kesabaran, kesungguhan dan tanpa paksaan untuk memperoleh tingkat penguasaan, kemampuan serta sikap yang dikehendaki dari pembelajaran itu?; (3) Apakah guru memakai multi media?; (4) Apakah siswa mempunyai kesempatan untuk mengontrol dan menilai sendiri hasil belajar yang dicapainya?; (5) Apakah proses pembelajaran dapat melibatkan semua siswa dalam kelas?; (6) Apakah suasana pembelajaran cukup menyenangkan dan merangsang siswa untuk belajar?; (7) Apakah kelas memiliki sarana pembelajaran yang cukup sehingga menjadi laboratorium belajar?2) Kriteria ditinjau dari hasilnyaBerikut beberapa persoalan yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan keberhasilan pembelajaran ditinjau dari segi hasil atau produk yang dicapai siswa: (1) Apakah hasil belajar yang diperoleh siswa dari proses pembelajaran Nampak dalam bentuk perubahan tingkah laku secara menyeluruh? (2) Apakah hasil belajar yang diperoleh siswa dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa? (3) Apakah hasil belajar yang diperoleh siswa tahan lama diingat dan mengendap dalam pikirannya, serta cukup mempengaruhi perilaku dirinya? (4) Apakah yakin bahwa perubahan yang ditunjukkan oleh siswa merupakan akibat dari proses pengajaran?

2.1.6. Motivasi Berprestasi

2.2. Kajian Hasil Penelitian yang RelevanBeberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah memiliki keunggulan dalam meningkatkan hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. 1) Penelitian yang dilakukan oleh Mahardika (2011) pada SMA Negeri 1 Singaraja. Penelitian eksperimental yang dilakukan terhadap 106 orang siswa ini menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis antara siswa yang belajar dengan PBL dengan siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional.2) Penelitian yang dilakukan oleh Sadia (2009) mengenai pengembangan model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa SMP dan SMA di Kabupaten Buleleng juga menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang belajar Fisika dengan model Problem Based Learning lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. Bahkan jika dibandingkan dengan model pembelajaran lain seperti Sains Teknologi Masyarakat, Learning Cycle Model, dan pembelajaran kontekstual, model Problem Based Learning lebih efektif meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Hal ini ditunjukkan dalam hasil analisis ANAVA yang diperoleh F = 8,045 (p