bab ii tinjauan umum tentang pengangkatan anak a ...digilib.uinsgd.ac.id/13516/5/5_bab2.pdf“anak...

32
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK A. Pengertian dan Sejarah Pengangkatan Anak Pengertian pengagkatan anak Secara etimologis yang berkembang di negara Indonesia yaitu merupakan bentuk terjemahan dari bahasa Inggris Adoption atau dalam bahasa Belanda Adoptie. Dalam bahasa latin adopsi berasal dari kata Adoptio yang memiliki arti pengangkatan. 1 Maksud dari pengangkatan anak di sini adalah mengangkat anak untuk dijadikan anak kandung sendiri. Dalam kamus populer, adopsi memiliki arti mengambil anak orang lain untuk dijadikan anak sendiri sehingga memutuskan hubungan antara anak dengan orang tua kandungnya, serta segala urusan perwalian dan waris jatuh kepada orang tua angkat tersebut. 2 Dari pengertian menurut bahasa, dapat difahami bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang kemudian diangkat untuk dijadikan anak kandung. Secara Terminologis para ahli mengemukakan pendapat mengenai pengangkatan anak. Adapun pendapat menurut para ahli adalah sebagai berikut: a. Menurut Surojo Wignjodipuro adopsi atau pengangkatan anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan 1 Andi Hamzah. Kamus Hukum. Jakarta: PT. Ghalia. 1986. hal. 28. 2 Chuzaimah Tahido Yanggo. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1996. hal. 130.

Upload: hoangnhan

Post on 11-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK

A. Pengertian dan Sejarah Pengangkatan Anak

Pengertian pengagkatan anak Secara etimologis yang berkembang di

negara Indonesia yaitu merupakan bentuk terjemahan dari bahasa Inggris Adoption

atau dalam bahasa Belanda Adoptie. Dalam bahasa latin adopsi berasal dari kata

Adoptio yang memiliki arti pengangkatan.1 Maksud dari pengangkatan anak di

sini adalah mengangkat anak untuk dijadikan anak kandung sendiri. Dalam kamus

populer, adopsi memiliki arti mengambil anak orang lain untuk dijadikan anak

sendiri sehingga memutuskan hubungan antara anak dengan orang tua

kandungnya, serta segala urusan perwalian dan waris jatuh kepada orang tua

angkat tersebut.2 Dari pengertian menurut bahasa, dapat difahami bahwa anak

angkat adalah anak orang lain yang kemudian diangkat untuk dijadikan anak

kandung.

Secara Terminologis para ahli mengemukakan pendapat mengenai

pengangkatan anak. Adapun pendapat menurut para ahli adalah sebagai berikut:

a. Menurut Surojo Wignjodipuro adopsi atau pengangkatan anak adalah

suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga

sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan

1 Andi Hamzah. Kamus Hukum. Jakarta: PT. Ghalia. 1986. hal. 28. 2 Chuzaimah Tahido Yanggo. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka

Firdaus. 1996. hal. 130.

anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama,

seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri.3

b. Menurut Mahmud Syaltut, Ia mengemukakan setidaknya ada dua

pengertian pengangkatan anak. Pertama, mengambil anak orang lain untuk

diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang tanpa

diberikan status anak kandung kepadanya. Kedua, mengambil anak

orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai anak

kandung, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang

tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak

lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya.4

c. Menurut Muhammad Ali al-Syais, bahwasannya pengangkatan anak

adalah seseorang mengangkat anak orang lain untuk dijadikan anak

sendiri, dengan mengubah statusnya menjadi anak kandung sehingga

berlakulah seluruh ketentuan hukum yang berlaku atas anak kandung

terhadap anak tersebut.5

d. Pendapat selanjutnya dikemukakan oleh Prof. Imam Sudiyat, S.H., ia

mengatakan bahwa pengangkatan anak atau adopsi adalah perbuatan

memungut seorang anak dari luar ke dalam kerabat, sehingga terjalin suatu

ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis.6

3 Surojo Wignjodipoero. Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung. 1982. hal.

118. 4 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak Prespektif Islam. Jakarta:

Kencana. 2008. hal. 21 5 Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam. Mesir: Matba’ah Ali Shabih wa Awadin. 1372H

/1953 M). jilid 14. hal. 7. 6 Imam Sudiyat. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: LIBERTI Yogyakarta. 1981. cet.II.hal. 102.

e. Kemudian pendapat selanjutnya menurut Hilman Adikusuma, S.H., dalam

bukunya Hukum Perkawinan Adat mengatakan bahwa pengangkatan anak

adalah mengangkat anak orang lain yang dilakukan oleh orang tua angkat

resmi menurut aturan hukum adat setempat dikarenakan tujuan yang

positif, untuk kelangsunggan keturunan atau pemeliharaan harta kekayaan

rumah tangga.7

Tidak berbeda jauh dengan pendapat para ahli, pengertian pengangkatan

anak Menurut Perundang-Undangan RI yang dimaksud dengan anak angkat

menurut perundang-undangan RI adalah sebagai berikut:

a. berdasarkan Pasal 1 angka (9) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak.

“Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan

kekuasaankeluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang

bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak

tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan

putusan atau penetapan pengadilan.”

b. pengangkatan anak berdasarkan Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2006

Tentang Administrasi Kependudukan Pasal 47 ayat (1) memberikan

pengertian bahwa yang dimaksud pengangkatan anak adalah perbuatan

hukum untuk mengalihkan hak anak dari lingkungan kekuasaan keluarga

orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas

perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut kepada

7 iman Hadikusuma. Hukum Perkawinan Adat. Jakarta: Fajar Agung. 1987. hal. 149

lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau

penetapan pengadilan.8

c. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf (h) dinyatakan bahwa anak

angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-

hari, biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari

orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan keputusan

pengadilan.9

Jika dilihat dari sudut pandang sejarah, secara historis adopsi atau

pengangkatan anak sudah dikenal jauh sebelum Islam datang dan berkembang.

Menurut pendapat Mahmud Syaltut menjelaskan, bahwa tradisi pengangkatan

anak sebenarnya dipraktikan oleh masyarakat dan bangsa-bangsa lain sebelum

kedatangan Islam, seperti yang dipraktikan bangsa Yunani, Romawi, India, dan

beberapa bangsa pada zaman kuno. Dikalangan bangsa Arab sebelum ajaran Islam

datang (masa Jahiliyah) istilah pengangkatan anak dikenal dengan istilah At-

Tabani dan sudah ditradisikan secara turun temurun.10

Selain Mahmud Syaltut, Imam Al-Qurtubi (ahli tafsir klasik) menyatakan

bahwa sebelum Rasulullah SAW diangkat menjadi seorang Nabi, Rasululloh SAW

sendiri pernah mengangkat Zaid bin Zaid bin Haritsah menjadi anak angkatnya.

Bahkan Nabi tidak memanggil Zaid berdasarkan nama ayahnya (Haritsah),

tetapi diganti oleh Rasulullah SAW menjadi Zaid Bin Muhammad. Bahkan

lebih jauh dari itu, pengangkatan Zaid sebagai anaknya diumumkan oleh

8 Mu SY. Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group. 2008. Cet. 1, hal. 17 9 Musthofa SY. Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group. 2008. Cet. 1 hal. 21. 10 Muderis Zaini. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2002.

hal.53

Rasulullah Muhammad SAW di depan kaum Quraisy. Nabi Muhammad SAW

juga menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi. Zaid kemudian

dikawinkan dengan Zainab binti Jahsyi, putri Aminah binti Muthallib yang

merupakan bibi nabi Muhammad SAW. Karena hal tersebut, maka para

sahabatpun kemudian memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad.11

Setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, turunlah surat

alAhzab ayat 4 dan 5 yang berbunyi:

ئي أزواجكم جعل وما ما جعل الله لرجل من ق لب ي ف جوفه ت الل رو من هن ظا

لكم عياءكم أب ناءكم أد جعل وما أمهاتكم كم ق ولكم ذ الق ي قول والله بأف وا

و أقسط عند الله ( 4السبيل ) ي هدي وو م لبائهم ادعو م آ ت علموا ل فإ باء

ت عمدت ما ولكن ه ب أخطأت فيما جناح عليكم وليس ومواليكم الدين ف فإخوانكم

ق لوبكم ( 5رحيما ) غفورا الله وكا

“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam

rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai

ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu

(sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah

mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar).(4)

Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak

mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui

bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara saudaramu

seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu

11 Nasroen Haroen, dkk.. Ensiklopedi Hukum Islam. jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve. 1996.

hal. 29.

khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.

dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (5)”12

Dalam Surat al-Ahzab tersebut dalam ditemukan beberapa garis besarnya

yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. “Allah tidak menjadikan dua hati dalam dada manusia”. Maksud dari ayat

ini adalah merupakan dasar hidup untuk dijadikan pegangan bagi orang yang

mempunyai aqidah Tauhid. Dalam ungkapan modern ialah bahwa orang yang

pecah tujuan hidupnya atau pecah kumpulan cintanya adalah orang yang

sebagai menghentakkan kayu yang berjupang dua ke dalam bumi, niscaya tidak

akan mau terbenam. Maka tidaklah akan beres berfikir seorang yang dalam

hatinya berkumpul menyembah kepada Allah dengan menyembah kepada

benda. Itu namanya musyrik. Kalau sekali hati telah bulat menyembah

kepada Allah, persembahan kepada kafir dan munafiq atau persembahan

kepada benda mesti ditinggalkan.13

2. “Anak angkatmu bukan anak kandungmu”. Pada saat zaman jahiliyah orang

mengangkat anak orang lain seakan akan/bahkan dijadikannya anaknya

sendiri. Anak yang diangkat itu berhak membangsakan diri kepada orang

yang mengangkatnya itu. Bahkan hal ini terjadi juga pada diri Nabi

Muhammad SAW sendiri. Seorang budak, (hamba sahaya) yang

dihadiahkan oleh isterinya Khadijah untuk merawat beliau, yaitu Zaid anak

Haritsah. Karena saking sayangnya Rasululloh SAW kepada Zaid maka beliau

angkat Zaid menjadi anaknya dan hal ini diketahui umum.14

12 Abdul Aziz ahmad Dkk., ROBBANI Al Quran Per Kata, Tajwid Warna. Jakarta: PT. Surya

Prima Sinrgi. hal. 419 13 Hamka. Tafsir Al Azhar. Surabaya: Pustaka Islam, 1983. Bab. XXI. hal. 226 14 Ibid., hal. 227

3. “Panggilan anak angkatmu menurut nama bapaknya”. Dahulu kala Zaid

adalah budak yang dimerdekakan dan diangkat menjadi anak di zaman

jahiliyah oleh Nabi Muhammad SAW sehingga dipanggilkan Zaid bin

Muhammad. Dengan turunya ayat ini datanglah ketentuan agar Zaid

dipanggil kembai menurut yang sewajarnya, yaitu Zaid bin Haritsah. Selain

kejadian tersebut, Ada juga kejadian seorang anak yang ditinggal mati

ayahnya sewaktu dia masih amat kecil. Lalu ibunya kawin lagi sehingga anak

tersebut diasuh dan dibesarkan oleh ayah tirinya yang sangat menyayangi dia.

Karena kejadian tersebut si anak menaruhkan nama ayah tirinya di ujung

namanya. padahal ayah tirinya itu bukanlah ayahnya yang sebenarnya. Itu

pun salah. Karena walaupun betapa tingginya nilai kasih sayang dan hutang

budi dari oranglain, namun kebenaran tidaklah boleh diubah dengan mulut.

Mengganti nama ayah itu pun satu kedustaan.15

Dari ketentuan-ketentuan diatas penulis kira sudah jelas, bahwa Allah

melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum seperti hal tadi (saling

mewarisi) dan menjadikan anak angka tersebut sebagai anak kandung.

Adapun sejarah Pengangkatan anak di negara-negara Barat berkembang

setelah berakhirnya Perang Dunia II. Saat peperangan yang dahsyat tersebut

banyak terdapat anak yatim piatu yang kehilangan orang tua karena gugur dalam

peperangan. Alasan lain karena banyak pula anak yang lahir di luar perkawinan

yang sah. Karena sistem hukum Barat yang berlaku pada saat itu adalah hukum

Belanda dan berlaku pula di Indonesia, maka pengangkatan anak di Indonesia

selain berdasarkan kepada BW tersebut, juga diatur dalam Staatsblad (Lembaran

15 Ibid., hal. 228

negara) No. 129 Tahun 1917. Dalam lapangan hukum perdata umum,

pengangkatan anak tidak saja berasal dari anak yang jelas asal usulnya, tetapi juga

anak yang lahir diluar perkawinan yang sah (tidak jelas asal usulnya).

B. Pengangkatan Anak Dalam Hukum Islam

1. Dasar hukum pengangkatan anak dalam hukum Islam

a. Al-Quran

ئيالل أزواجكم جعل وما ما جعل الله لرجل من ق لب ي ف جوفه رو تظا

هن لكم عياءكم أب ناءكم أد جعل وما أمهاتكم من كم بأف و ق ولكم ذ ا

و أقسط عند الله ( 4السبيل ) ي هدي وو الق ي قول والله م لبائهم ادعو

م ت علموا ل فإ فيما جناح ليكم ع وليس ومواليكم الدين ف فإخوانكم آباء

ق لوبكم ت عمدت ما ولكن به أخطأت (5رحيما ) غفورا الله وكا

“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam

rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai

ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu

(sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah

mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar).(4)

Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak

mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui

bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara saudaramu

seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu

khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.

dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (5)”.16

Para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan asbabun-nuzul (sebab

turunnya ayat) tentang tabanni atau pengangkatan anak ini, akan tetapi para ulama

bersepakat dalam 1 hal yaitu bahwa pengangkatan anak itu haram hukumnya,

karena mengangkat anak itu berarti memutuskan nasab kepada orang tuanya dan

berpindah menjadi nasab orang tua angkatnya. hal tersebut sangat bertentangan

dengan syariat Islam terkecuali jika pengangkatan anak tersebut dilakukan dengan

baik dan tidak bertentangan dengan syariat yang ada dalam Islam dengan hanya

sekedar tujuan memelihara, mengasuh dan mendidik anak tersebut dengan tanpa

memutuskan nasab anak tersebut dengan orang tuanya kandungnya serta demi

perkembangan/kebaikan anak tersebut. Menurut Muhammad Bin Ali Bin

Muhammad Asy-Syaukani menerangkan bahwa orang yang mengaku orangtua dari

seorang anak padahal dia bukan ayah dari anak tersebut, maka hal tersebut hanyalah

omong kosong di mulut belaka, dan janganlah mempengaruhi kepada anak tersebut

sehingga anak tersebut dapat menerima kehadiran orang yang mengaku sebagai

ayahnya itu. Kemudian beliau menambahkan jangan pula menjadikan isterimu

seperti ibumu, dan jangan pula menjadikan seseorang yang bukan anaknya sebagai

anak. Sesungguhnya yang benar adalah mengikuti akan adanya kebenaran Al-

Qur'an. Al-Qur'an menunjukan jalan kepada kebenaran dalam melakukan suatu

perkatataan yang benar dan perkataan yang palsu. Kemudian Allah SWT

16 Abdul Aziz ahmad Dkk., ROBBANI Al Quran Per Kata, Tajwid Warna. Jakarta: PT. Surya

Prima Sinrgi. hal. 419

menjelaskan hal tersebut yang harus dilakukan oleh hambanya yaitu memanggil

anak dari bapak-bapak mereka.17

Menurut Abdurrahman bin Nashir bin Sa'di dalam kitab Taisiru Al-Karim

Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Manan menjelaskan sesungguhnya Allah SWT

akan melaknat hambanya dari perkataan mereka yang tidak memanggil (anak

angkat) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Jika kamu tidak mengetahui

ayah anak tersebut, panggilah mereka sebagai saudaramu se-agama, maka tidak

ada dosa bagimu terhadap sesuatu yang khilaf, sesungguhnya Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang dan Allah SWT tidak memerintahkan hambanya

yang mengaku keturunan dari seorang anak padahal dia bukan ayah dari anak

tersebut, maka jika hal itu dilakukan semua adalah bohong dan palsu. sesungguhnya

itu adalah perkara-perkara yang munkar dalam syariat.

Sebagaimana Islam menyalahi zihar, begitu juga Islam menyalahi adopsi

atau pengangkatan anak dan menjadikan adopsi haram hukunmya didalam syariat

Islam, karena sesungguhnya didalam adopsi terdapat sesuatu yang menasabkan

anak angkat kepada selain bapak aslinya. Dan adopsi itu termasuk bagian dosa besar

yang di murka dan dilaknat oleh Allah SWT.18

b. Hadis

حدثنا ابو بكر بن ايب شية حدثنا حييئ بن زكرياء بن ايب زا ئدت و ابو معاوية

عن عاصم عن ايب عثما عن سعد و ايب بكرة كلمها يقول مسعته اذناي ووعاد

17 Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani. Fathul Qadir (Al-Jami' Baina Fanni

ArRiwayah Wa Ad-Dirayah Min Ilmi At-Tqfsir). Beirut-Libanon: Daar Al-Ma'rifah. 1997. hal. 326. 18 Muhammad Ali Ash-Shabuny. Rawai'u Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur'an.

Damaskus: Maktabah al-ghazali . 1980. hal. 214.

و يعلم انه غري ابيه فاجلنة عليه قليب حممدا صلعم يقول منادعى اىل غري ابيه و

حرام. رواه مسلم

"Telah meriwayatkan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan

kepada Yahya bin Zakaria bin Abi Zaidah dan Abu Muawiyah dari A'shlm dari Abi

Utsman dari Sa'ad dan Abi Bakroh, kedua-duanya berkata telah mendengar

telinganya dan menangkap dalam hati saya, Nabi Muhammad SAW bersabda:

"Barang siapa mengaku ketunman dari orang yang bukan ayalmya sendiri, dan dia

mengetahui sesungguhnya dia bukanlah ayalmya, maka surga itu haram baginya.

(HR. Muslim) 19

Muhammad Ali Ash-Shabuny berpendapat dalam kitab Rawahu Al-Bayan

Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur'an: " Tampak dalam ayat itu adalah sesuatu

yang tidak boleh dilanggar, maksud panggilan seseorang pada selain ayahnya,

mungkin hal itu dimaksudkan kepada sesuatu yang mengarahkan untuk zaman

jahiliyyah. Dan jika bukan dalam hal tersebut yaitu sebagaimana panggilan orang

yang lebih besar kepada yang lebih kecil atas dasar mengasihani dan menyayangi,

maka hal itu tidak adanya keharaman.

Syariat telah mengharamkan dan menyalahi aturan tabanni setelah hadirnya

ajaran Islam pada jaman jahiliyyah, sebagai bukti nyata Nabi Muhammad SAW'

telah mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak sebelum beliau menjadi seorang

Nabi, kemudian memanggil dengan panggilan "Zaid bin Muhammad" sampai turun

kepadanya firman Allah yaitu Al Quran surat Al Ahzab ayat 4-5.

Islam memandang bahwa pengangkaitan anak menjadi sebuah pemalsuan

terhadap realita yang sudah ada, suatu pemalsuan yang menjadikan seorang anak

19 Imam Muslim, Kitab Iman, No. 97.

terasing dari lingkungan keluarga aslinya. Anak tersebut dapat bergaul bebas

dengan perempuan dari keluarga baru itu dengan dalih sebagai mahramnya padahal

hakikatnya anak tersebut masih sama yaitu orang asing. Istri dari ayah yang

memungut bukanlah ibunya sendiri, begitu juga anak perempuannya, saudara

perempuannya atau bibinya anak tersebut sebenarnya adalah orang asing dari

semuanya itu. Bahkan Anak angkat ini dapat menerima waris dan menghalangi

keluarga dekat asli yang mestinya berhak menerima. Oleh karena itu tidak sedikit

ditemukan dalam realita keluarga yang sebenarnya merasa dengki terhadap orang

baru (anak angkat) yang bukan dari kalangan mereka ini yang merampas hak milik

mereka dan menghalang pusaka yang telah menjadi harapannya. Hal semacam

ini banyak sekali membangkitkan hal-hal yang buruk, dapat menyalakan api fitnah

dan memutus tali kerukunan kekeluargaan, oleh karena itu alQuran melalui Surat

AL Ahzab ayat 4-5 menghapus aturan jahiliah ini dan diharamkan untuk selama-

lamanya serta dihapusnya seluruh pengaruh-pengaruhnya.

2. Syarat dan tujuan Pengangkatan Anak Dalam Hukum Islam

Dalam hal pengangkatan anak, ada beberapa hal yang harus diketahui. Hal

tersebut berkenaan dengan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh

orang tua angkat. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka ada

syarat-syarat pengangkatan anak yang sesuai dengan hukum Islam. Syarat-syarat

tersebut dapat diuraikan menjadi beberapa hal sebagai berikut:20

20 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjuan Tiga Sistem hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2002. hal. 54.

a. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan

orang tua kandung dan keluarganya.

b. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua

angkat, melainkan tetap sebagai ahi waris dari orang tua kandungnya,

demikian juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari

anak angkatnya.

c. Hubungan kehartabendaan antara anak angkat dengan orang tua

angkatnya hanya diperbolehkan dalam hubungan wasiat dan hibah.

d. Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya

secara langsung kecuali sekadar sebagai tanda pengenal atau alamat.

e. Orang tua angkat tidak dapat berhak sebagai wali dalam perkawinan

terhadap anak angkatnya.

f. Antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat seharusnya samasama

orang yang beragama Islam agar si anak tetap pada agama yang dianutnya.

Sedangkan ulama Yusuf Qardhawi berpendapat bahwasanya pengangkatan

anak dapat dibenarkan apabila seseorang yang melaksanakannya tidak

mempunyai keluarga, lalu ia bermaksud untuk memelihara anak tersebut

dengan memberikannya perlindungan, pendidikan, kasih sayang, mencukupi

kebutuhan sandang dan pangan layaknya anak kandung sendiri. Adapun

berkenaan dengan hal nasab, anak tersebut nasabnya tetap pada ayah

kandungnya karena antara anak angkat dengan orang tua angkat tetap tidak ada

sama sekali hubungan nasab yang dapat mempunyai hak seperti anak kandung.21

21 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Surakarta: Era Intermedia, 2005), hal. 319.

Setelah berbicara tentang syarat pengangkatan anak, selanjutnya berbicara

tentang tujuan dari pengangkatan anak itu sendiri dalam Islam. Walaupun tujuan

dari pengangkatan anak sudah di singgung berdasar pendapat Imam Yusuf

Qardhawi Seseorang dalam mengangkat anak pasti memiliki tujuan yang ingin

dicapai karena pada dasarnya banyak faktor yang mendukung seseorang

melakukan pengangkatan anak, namum lazimnya latar belakang pengangkatan anak

dilakukan oleh orang yang tidak diberikan keturunan. Pengangkatan anak

dilakukan guna memenuhi keinginan manusia untuk menyalurkan kasih

sayangnya kepada anak yang dirasakan akan merupakan kelanjutan hidupnya.22

Pengangkatan anak dikalangan masyarakat Indonesia mempunyai tujuan dan

motivasi diantaranya:

a. Untuk meneruskan keturunan, jika dalam suatu perkawinan tidak

dikaruniai seorang keturunan.

b. Di daerah jawa pengangkatan anak bertujuan sebagai pancingan yakni

dengan mengangkat anak, keluarga yang mengadopsi akan dikaruniai anak

kandung sendiri.23Atau dengan mengangkat anak akan mungkin ketularan

mendapat anak kandung.24

c. Menambah jumlah anggota keluarga, dengan tujuan agar si anak angkat

mendapat pendidikan yang baik, sebagai sebuah misi kemanusiaan dan

pengamalan ajaran agama.25

22 Ahmad Azhar Basyir. Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam. Bandung: PT Al-Ma’arif.

1972 hal. 19. 23 Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975. Jakarta:

Erlangga, 2011. hal. 333. 24 Sudharyo Soimin. Hukum Orang dan Keluarga: Prespektif Hukum Perdata Barat (BW), Hukum

Islam, dan Hukum Adat.Jakarta: Sinar Grafika 2004. hal. 172. 25 B. Sebastian Tafal. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat serta Akibat-Akibat Hukumnya

di Kemudian Hari, Jakarta: Rajawali Pers. 1989. hal. 71.

d. Pengangkatan anak ini dilakukan guna memenuhi insting manusia yang

berkehendak menyalurkan kasih sayangnya kepada anak yang dirasakan

akan merupakan kelanjutan hidupnya.

e. Untuk mensejahterakan anak dan melindunginya dari kekerasan dan

diskriminasi serta memberikan kehidupan yang layak bagi seorang anak

dengan memberikan perhatian dan kasih sayang, tanpa menjadikannya

sebagai anak kandung sendiri diperbolehkan dalam Islam.

Alasan-alasan orang melakukan pengangkatan anak bermacam-macam,

akan tetapi hal yang terpenting adalah: rasa belas kasihan terhadap anak

terlantar atau anak yang karena faktor tertentu orang tuanya tidak mampu

memeliharanya. Tidak mempunyai anak dan ingin mempunyai anak untuk

menjaga dan memeliharanya di hari tua. Untuk mempertahankan ikatan

perkawinan/kebahagiaan keluarga.26

3. Akibat Hukum Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak sudah dikenal dan berkembang pada zaman jahiliyah,

yaitu zaman sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW. Pada zaman tersebut,

apabila seseorang mengangkat anak, maka otomatis nasabnya disambungkan

kepada ayah angkatnya, dan nasab kepada orang tuanya terputus. Bahkan pada

masa itu anak angkat mendapatkan hak waris layaknya anak kandung, dan segala

urusan yang seharusnya menjadi kewajiban ayah kandung, teralihkan kepada ayah

angkatnya.

26 Djaja S, Meliala. Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia. Bandung: Tarsito. 1982. hal. 3

Berbeda dengan pengangkatan anak menurut hukum Islam. Seperti

yang telah penulis sebutkan dalam syarat-syarat pengangkatan anak dalam

Islam, dikemukakan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan

darah antara anak dan orang tua kandung, dan anak angkat tidak berkedududkan

sebagai ahli waris dari orang tua angkat, tetapi ahli waris dari orang tua

kandung, demikian juga sebaliknya, orang tua angkat tidak menjadi ahli

waris dari anak angkat. Selanjutnya, anak angkat tidak diperkenankan memakan

nama orang tua angkatnya secara langsung sebagai tanda pengenal atau

alamatnya, dan juga orang tua kandung tidak bertindak sebagai wali dalam

perkawinan anak angkatnya.27

Akibat hukum dari pengangkatan anak dalam Islam bersumber langsung

pada Firman Allah SWT dalam Surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5 seperti yang telah

ditulis sebelumnya. Berdasarkan kedua ayat tersebut, Jumhur ulama menyatakan

bahwa hubungan antara ayah atau ibu angkat dan anak angkanya tidak lebih dari

sekedar hubungan kasih sayang. Hubungan antara ayah atau ibu dan anak

angkatnya tidak memberikan akibat hukum yang berkaitan dengan warisan, nasab

dan tidak saling mengharamkan perkawinan. Apabila ayah atau ibu angkat

meninggal dunia, anak angkat tidak termasuk sebagai ahli waris yang berhak

menerima warisan. Demikian juga dalam hal nasab, anak angkat tidak bisa

memakai nasab ayah atau ibu angkatnya. Kasus Zaid bin Harisah yang dinasabkan

para sahabat kepada Rasulullah dengan panggilan Zaid bin Muhammad dan

telah dianggap para sahabat sebagai anak angkat Nabi Muhammad SAW

dibantah oleh ayat Al Quran surat AL Ahzab ayat 4-5 sehingga Zaid tetap

27 Muderis Zaini, op.cit. hal. 54

dinasabkan kepada ayahnya, Haritsah. Bahkan ayat tersebut juga berguna untuk

membantah anggapan bahwa status anak angkat itu sama dengan anak kandung,

Allah SWT memerintahkan Rasullullah SAW mengawini Zainab binti Jahsy

mantan istri Zaid bin Harisah.28

Pernyataan Allah SWT terdapat dalam surat AlAhzab ayat 37:

وإذ ت قول للذي أن عم الله عليه وأن عمت عليه أمسك عليك زوجك واتق الله

تشاه زيد قضى ف لما وتفي ف ن فسك ما الله مبديه وتشى الناس والله أحق أ

ها ل لكي وجناكهاز وطرا من ضوا على المؤمني حرج ف أزواج أدعيائهم إذا ق يكو

من هن وطرا مفعول الله أمر وكا

“Dan (ingatlah), ketika kamu Berkata kepada orang yang Allah Telah

melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi nikmat

kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang

kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya,

dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu

takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya

(menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan

bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka,

apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada

isterinya.dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.”(Al-Ahzab: 37) 29

Berdasarkan surat Al-Ahzab diatas, dapat diketahui bahwa prinsip-prinsip

pengangkatan anak dalam Islam bertujuan untuk memelihara anak angkat dan

mensejahterakannya. Dalam kasus Zaid bin Haritsah, Nabi Muhammad SAW

28 Nasroen Haroen, op.cit., hal. 84 29 Abdul Aziz ahmad Dkk., ROBBANI Al Quran Per Kata, Tajwid Warna. Jakarta: PT. Surya

Prima Sinrgi. hal. 424

memeliharanya sekaligus membebaskannya dari perbudakan, dan menjadikan

hidup Zaid layak sebagaimana manusia merdeka.

Sedangkan tujuan lainnya adalah sebagai perwujudan dari sikap tolong

menolong kepada sesama manusia. Firman Allah SWT dalam Al-Quran:

و الث على ت عاونوا ول والت قوى الب على وت عاونوا الله وات قوا العدوا

العقاب شديد الله إ

“..Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan

jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah

kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”.(Al-Maidah: 2) 30

Dengan tidak diperbolehkan menisbatkan ayah kepada anak angkatnya,

mengandung pengertian bahwa pengangkatan anak dalam Islam murni bertujuan

untuk memelihara dan melestarikan keutuhan keluarga dan menjaga asal-usul

seseorang serta dapat memperkuat tali persaudaraan antara orangtua kandung

dengan orang tua yang diangkat. Kemudian jika dilihat di dalam Kompilasi Hukum

Islam pasal 171 huruf (h) dinyatakan bahwa anak angkat adalah anak yang

dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya

beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya

berdasarkan keputusan pengadilan.31

Adapun dalam hal masalah pewarisan, anak angkat hanya berhak

menerima wasiat yang ada kaitannya dengan harta peninggalan orang tua

30 Abdul Aziz ahmad Dkk., ROBBANI Al Quran Per Kata, Tajwid Warna. Jakarta: PT. Surya

Prima Sinrgi. hal. 107 31 Mustofa. Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Jakarta: Kencana Preda Media

Group: 2008. hal. 21

angkatnya, sebagaimana diatur dalam pasal 209 ayat (2) yang berbunyi :

“Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah

sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”.32 Wasiat

tersebut dilakukan karena dasar rasa kasih sayang dari orang tua terhadap anak

angkatnya, dan juga rasa terima kasih karena semasa hidup orang tua angkatnya,

anak angkat telah berbuat baik menemani orang tua angkatnya. Maka Islam sama

sekali tidak menutup kemungkinan anak angkat mendapat bagian dari harta

peninggalan orang tua nagkatnya.

Dengan demikian jelas bahwa anak angkat hanya dalam hal

pemeliharaannya dan pendidikannya saja yang beralih dari orang tua kandung

kepada orang tua angkat. Akan tetapi untuk masalah perwalian dalam pernikahan

dan masalah waris, anak angkat tetap saja berhubungan dengan orang tua

kandungnya. Tetapi apabila orang tua angkatnya ingin memberikan warisan

kepada anak angkatnya tersebut, maka yang dapat dilakukan orang tua angkat

adalah dengan hibah atau wasiat yang ditulis atau diucapkan oleh ayah angkatnya

semasa hidupnya.33

C. Pengangkatan Anak Dalam Perundang Undangan Di Indonesia

Praktik pengangkatan anak dalam kehidupan sosial masyarakat telah

menjadi bagian dari budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia telah melakukan pengangkatan anak

dengan cara dan tujuan yang berbeda-beda, sesuai dengan sistem hukum adat

32 Roihan A Rasyid. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum

Nasional. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999. hal. 82 33 Ahmad Kamil dan Fauzan. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak Di Indonesia. Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada.2008. hal. 102

yang hidup serta berkembang di daerah tersebut. Pemerintah melalui Menteri

Sosial menyatakan bahwa, dalam kenyataan kehidupan sosial tidak semua

orangtua mempunyai kesanggupan dan kemampuan penuh untuk memenuhi

kebutuhan pokok anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak.

Kenyataan yang demikian mengakibatkan anak menjadi terlantar baik secara

rohani, jasmani, maupun sosial. Sambil menunggu dikeluarkannya Undang-

Undang Pengangkatan Anak, telah ditetapkan beberapa kebijaksanaan.34 Hal ini

menunjukkan bahwa sejak tahun 1984 proses ke arah lahirnya Undang-Undang

yang khusus membahas pengangkatan anak telah sedang berjalan, dan yang

mengatur ketertiban praktik pengangkatan anak dilakukan dengan beberapa

peraturan kebijakan-kebijakan pemerintah dan lembaga yudikatif, seperti Surat

Edaran Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung, dan lain-lain.

Mahkamah Agung sendiri sebagai penanggung jawab atas pembinaan

teknis peradilan mengakui bahwa peraturan perundang-undangan dalam bidang

pengangkatan anak Warga Negara Indonesia, terutama pengangkatan anak Warga

Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing tidaklah mencukupi, namun ada

beberapa peraturan hukum yang dapat dijadikan rujukan bagi hakim dalam

menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman tentang pengangkatan anak,

misalnya:35

1. Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 mengatur

masalah adopsi yang merupakan kelengkapan dari KUHPerdata/BW yang ada,

dan khusus berlaku bagi golongan masyarakat keturunan Tionghoa.

34 Republik Indonesia. Keputusan Menteri Sosial Nomor 41 Tahun 1984, tentang Petunjuk

Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, Bagian I, Umum. 35 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam. Jakarta:

Kencana 2008. hal. 204-205

2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979, tentang

Pengangkatan Anak yang mengatur prosedur hukum mengajukan

permohonan pengesahan dan/atau permohonan pengangkatan anak,

memeriksa dan mengadilinya oleh pengadilan.

3. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983 tentang

Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun

1979, yang mulai berlaku sejak tanggal 30 September 1983.

4. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, yang mulai berlaku

sejak tanggal 14 Juni 1984.

5. Bab VIII, Bagian Kedua dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,

tentang Perlindungan Anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 22 Oktober

2002.

6. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 3 Tahun 2005, tentang

Pengangkatan Anak, berlaku mulai Februari 2005, setelah terjadinya

bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami yang melanda Aceh

dan Nias, yang menimbulkan masalah sosial berupa banyaknya anak-anak

yang kehilangan orangtuanya dan adanya keinginan sukarelawan asing

untuk mengangkatnya sebagai anak angkat oleh LSM dan Badan Sosial

Keagamaan lainnya yang sangat membahayakan akidah agama anak

tersebut.

7. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, tentang Perubahan Atas

UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada

Pasal 49 huruf a, angka 20 menyatakan bahwa, Pengadilan Agama bertugas

dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat

pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: “… penetapan

asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan

hukum Islam.”

8. Yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktik peradilan telah diikuti oleh

hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara yang

sama, secara berulang-ulang, dalam waktu yang lama sampai sekarang.

Berdasarkan hasil pengamatan Mahkamah Agung RI, menemukan fakta

bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang prosedur, tata cara

menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan permohonan

pengangkatan anak dipandang belum mencukupi, maka Mahkamah Agung

sebagai lembaga tertinggi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kekuasaan

kehakiman di Indonesia, memandang perlu mengeluarkan surat edaran yang

menyempurnakan surat edaran sebelumnya yang mengatur prosedur dan

syaratsyarat pengajuan permohonan pengangkatan anak.

1. prosedur dan syarat-syarat pengangkatan anak

prosedur dan syarat-syarat pengangkatan anak secara teknis telah diatur

dalam SEMA Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA Nomor 2

Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak. Dalam Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak

disebutkan mengenai prosedur pengangkatan anak antar WNI yang dalam Pasal 19

menyebutkan bahwa: “Pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai

dengan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan.”36 Dalam

SEMA No. 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan SEMA No. 2 Tahun 1979

Tentang Pengangkatan Anak, ada beberapa tahap dan persyaratan pengangkatan

anak antar warga Negara Indonesia. Prosedur pengangkatn anak antar warga

Negara Indonesia yang tahap dan persyaratannya sebagai berikut:37

a. Syarat dan Bentuk Surat Permohonan

1) Sifat surat permohonan bersifat voluntair.

2) Permohonan pengangkatan anak hanya dapat diterima apabila

ternyata telah ada urgensi yang memadai, misalnya ada ketentuan

undang-undangnya.

3) Permohonan pengangkatan anak dapat dilakukan secara lisan atau

tertulis berdasarkan ketentuan hukum acara yang berlaku.

4) Surat permohonan pengangkatan anak dapat ditandatangani oleh

pemohon sendiri, atau oleh kuasa hukumnya.

5) Surat permohonan pengangkatan anak diajukan kepada Ketua

Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama. Pemohon yang

beragama Islam yang bermaksud mengajukan permohonan

pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam, maka

permohonannya diajukan kepada Pengadilan Agama yang

mewilayahi tempat tinggal pemohon.

36 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Peraturan

Pemerintah RI Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, hal. 8 37 Andi Syamsu dan Fauzan. op.cit. hal. 210

b. Isi Surat Permohonan Pengangkatan Anak

1) Bagian dasar hukum permohonan pengangkatan anak harus secara jelas

diuraikan motivasi yang mendorong niat untuk mengajukan

permohonan pengangkatan anak.

2) Harus diuraikan secara jelas bahwa permohonan pengangkatan anak,

terutama didorong oleh motivasi untuk kebaikan dan/atau kepentingan

calon anak angkat, didukung dengan uraian yang memberikan kesan

bahwa calon orang tua angkat benar-benar memiliki kemampuan dari

berbagai aspek bagi masa depan anak angkat menjadi lebih baik.

3) Isi petitum permohonan pengangkatan anak bersifat tunggal, yaitu hanya

memohon agar si anak ditetapkan sebagai anak angkat dari pemohon,

tanpa ditambahkan permintaan lain, seperti ditetapkan sebagai ahli

warisnya.

c. Syarat-Syarat Permohonan Pengangkatan Anak Antar WNI38

Syarat bagi calon orang tua angkat/pemohon, berlaku ketentuan sebagai

berikut:

1. Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antar orang tua kandung

dengan orang tua angkat (private adoption) diperbolehkan.

2. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang yang tidak terkait dalam

perkawinan sah/belum menikah diperbolehkan.

3. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh

calon anak angkat.39

38 Andi Syamsu dan Fauzan. op.cit., hal. 211. 39 Kumpulan Perundangan Perlindungan Hak Asasi Anak. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. 2006.

hal.89

Sedangkan Syarat bagi calon anak angkat adalah 40

1. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

2. Merupakan anak terlantar atau diterlantarkan.

3. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak.

4. Memerlukan perlindungan khusus.

5. Dalam hal calon anak angkat berada dalam asuhan suatu yayasan

sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa

yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan

anak.

6. Calon anak angkat yang berada dalam asuhan yayasan sosial, maka

harus punya izin tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk

bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.

2. Perbandingan Penetapan Pengadilan Negeri Dengan Penetapan Pengadilan

Agama tentang pengangkatan anak.

Dalam hal perbandingan penetapan pengadilan, penulis mengambil dari dua

sudut pandang. Yaitu sudut pandang sumber hukum yang dijadikan landasan dalam

penetapan terebut serta akibat hukum yang timbul dari dijadikannya landasan

hukum tersebut. Adapaun perbedaan tersebut akan penulis uraikan sebagai berikut:

a) Perbedaan sumber Hukum/landasan

Dalam penetapan pengadilan yang dikeluarkan oleh pengadilan agama

Nomor 261/Pdt.P/2016/PA.Grt tentang pertimbangan hukumnya yang dijadikan

landasan hukumnya adalah

40 Rusli Pandika. Hukum Pengangkatan Anak. Jakarta: Sinar Grafika 2012. hal. 113.

1. Al Quran Surat Al Maidah ayat 32

نا على بن إسرائيل أنه من ق تل ن فسا بغري ن فس أو فساد ف لك كتب من أجل ذ

يعا ا أحيا الناس ج ا فكأن يعا ومن أحيا ا ق تل الناس ج جاءت هم ولقد الرض فكأن

ث بالب ي نات رسلنا هم كثريا إ لك ب عد من ولمسرف الرض ف ذ

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:

barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu

(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi,

maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa

yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah

memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang

kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan

yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh

melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (Q.S Al Maidah : 32) 41

2. Al Quran surat Al Maidah ayat 2

ث على ت عاونوا ول وت عاونوا على الب والت قوى ال الله وات قوا والعدوا

العقاب شديد الله إ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan

jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah

41 Abdul Aziz ahmad Dkk., ROBBANI Al Quran Per Kata, Tajwid Warna. Jakarta: PT. Surya

Prima Sinrgi. hal. 114

kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Q.S Al Maidah

:2) 42

3. Al Quran surat Al Ahzab ayat 4-5

ئي أزواجكم جعل وما ما جعل الله لرجل من ق لب ي ف جوفه الل رو هن تظا من

لكم عياءكم أب ناءكم أد جعل وما أمهاتكم كم ق ولكم ذ ي قول له وال بأف وا

و أقسط عند الله ( 4السبيل ) ي هدي وو الق م لبائهم ادعو المو ت ع ل فإ

م ولكن به خطأت أ فيما جناح عليكم وليس ومواليكم الدين ف فإخوانكم آباء

ق لوبكم ت عمدت ما (5رحيما ) غفورا الله وكا

“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam

rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai

ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu

(sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah

mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar).(4)

Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak

mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui

bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara saudaramu

seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang

kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh

hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (5)”. 43

42 Abdul Aziz ahmad Dkk., ROBBANI Al Quran Per Kata, Tajwid Warna. Jakarta: PT. Surya

Prima Sinrgi. hal. 107 43 Abdul Aziz ahmad Dkk., ROBBANI Al Quran Per Kata, Tajwid Warna. Jakarta: PT. Surya

Prima Sinrgi. hal. 419

4. Ketentuan pasal 171 huruf (f) kompilasi Hukum Islam, dapat diartikan bahwa

pengangkatan anak pada dasarnya adalah pengalihan tanggung jawab

pemeliharaan (biaya hidup sehari-hari) biaya pendidikan dan sebagainya dari

orangtua asal ke orangtua angkatnya.

5. Ketentuan ayat (1) dan (2) pasal 209 kompilasi hukum Islam menentukan

bahwa antara anak angkat dan orangtua angkat mempunyaihubungan

keperdataan saling mewasiati yang banyaknyatidak boleh lebih dari 1/3 bagian,

atau wasiat wajibah bila diantara mereka tidak berwasiat, tetapi tidak saling

mearisi.

6. Pengangkatan anak adalah manifestasi dari “hifdzu al-nafs” (memelihara jiwa)

dan “hifdzu al-din” (memelihara agama) dengan tetap mempertahankan ”

hifdzu al-nisbi” (memelihara keturunan) yang antara ketiganya saling

berkaitan, serta mengembangkan sikap “ta’awun” (tolong menolong) antara

sesama, dikatakan demikian, karena pengangkatan anak hanya dapat dilakukan

demi kepentingan anak yang terbaik, antar orangtua angkat dan anak angkat

harus seagama, dan karena pengangkatan anak tidak boleh memutuskan

hubungan nasab antara anak angkat dengan orangtua kandungnya.

Sedangkan dalam penetapan yang dikeluarkan pengadilan negeri Nomor

64/PDT/P/2017/PN.Grt. dalam perimbangan hukumnya adalah :

1. Undang-undang nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak pasal 1 butir

1 dan 12 ayat (1)

2. Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

a. pasal 1 butir 1.

b. Pasal 1 butir 9.

c. Pasal 39 ayat (1), (2) dan (3)

d. Pasal 40 ayat (1) dan (2)

3. Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan

pasal 47 ayat (2)

4. Peraturan pemerintah nomor 54 tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan

anak pasal 20 ayat (1) dan (2)

b) Perbedaan Akibat Hukum/Tentang Hukumnya dalam penetapan

Berbicara mengenai akibat hukum yang terdapat dalam perkara nomor

261/Pdt.P/2016/PA.Grt., tidak terlihat jelas adanya akiibat secara pasti bahwa anak

angkat akan berpindah status kepada orang tua angkat baik mengenai harta warisan

dan lain sebagainya, sebagaimana yang tertera dalam hukum barat. Pengangkatan

anak yang terdapat dalam perkara nomor: 261/Pdt.P/2016/PA.Grt tersebut

statusnya tetap akan menjadi anak dari orang tua yang telah melahirkannya.

Jika dilihat secara fisik dan psikis seorang anak dengan orang tua itu tidak dapat

dibedakan, sebab hal itu sudah termasuk sunnatullah yang tidak mungkin dapat

dirubah oleh apapun. Di samping penetapan mengenai hal penisbatan nasab orang

tua angkat kepada orang tua angkat, perkara nomor 261/Pdt.P/2016/PA.Grt juga

menetapkan si anak angkat tidak akan mendapatkan harta warisan dari orang tua

angkatnya, sebab anak angkat tidak mempunyai hubungan darah atau perkawinan

dan kerabat yang sebenarnya yang menyebabkan si anak tersebut tidak

mendapatkannya. Hanya saja menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 209

menjelaskan bahwa anak angkat yang tidak menerima wasiat akan mendapatkan

wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya,

begitu pula sebaliknya orang tua angkat yang tidak menerima wasiat akan

mendapatkan wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak

angkatnya.

Begitu juga akibat hukum yang terdapat dalam perkara Nomor:

64/PDT/P/2017/PN.Grt, tidak terliliat jelas adanya akibat secara pasti bahwa anak

angkat akan berpindah status kepada orang tua angkat baik mengenai harta warisan,

perwalian dan lain sebagainya, bahkan wasiat wajibah pun yang terdapat dalarn

KHI tidak disebutkan dalam penetapan ini.

Searah dengan penetapan perkara nomor 261/Pdt.P/2016/PA.Grt, bahwa

perkara nomor: 64/PDT/P/2017/PN.Grt juga tidak terlihat jelas adanya sesuatu

yang merujuk kepada hukum barat (BW), Pengadilan Negeri Garut merujuk kepada

undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak baik mengenai

status anak kepada orang tua, hak waris, perwalian dan lain sebagainya. Mengenai

status anak dengan orang tua kandungnya sebagaimana telah dijelaskan dalam

undang-undang nomor: 23 tahun 2002 bahwa pengangkatan anak tidak

mengakibatkan putusnya hubungan darah dengan orang tua kandungnya, jadi jelas

bahwa anak tersebut statusnya tetap anak dari orang tua yang telah melahirkannya.

Disamping itu pula tidak terlihat jelas dalam perkara nomor:

64/PDT/P/2017/PN.Grt adanya masalah wasiat wajibah sebagaimana yang tertera

dalarn perkara nomor 261/Pdt.P/2016/PA.Grt yang merujuk kepada kompilasi

hukum Islam (KHI).

Baik penetapan perkara nomor 261/Pdt.P/2016/PA.Grt di Pengadilan

Agama maupun perkara nomor: 64/PDT/P/2017/PN.Grt di Pengadilan Negeri

Garut tidak lebih pengangkatan anak dengan tujuan memelihara, mengasuh dan

memberikan pendidikan anak agar si anak tersebut dapat berkembang dengan baik

dan ha! ini sama dengan konsep hadhanah atau pemeliharaan anak. Dan berkaitan

dengan hal ini bahwa pengangkatan anak baik di Pengadilan Agama maupun

Pengadilan Negeri, semua ini sangat berhubungan dengan adanya tujuan dalam

konsep hukum Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan hukum Islam adalah

untuk kebahagiaan hidup manusia didunia dan akhirat, yaitu dengan jalan

mengambil segala yang bemtanfaat dan mencegah yang madharat. Adapun diantara

tujuan hukum Islam (maqashidus syariah) yaitu:

1. Memelihara agama (hifdzu al-din), dalam pengangkatan anak yang terpenting

dan paling utama adalah menjaga agama si anak tersebut, sebab agama adalah

merupakan pedoman hidup manusia, dan di dalam agama Islam selain dari

komponen-komponen aqidah yang merupakan pegangan hidup setiap muslim

serta akhlak yang merupakan sikap hidup seorang muslim juga terdapat syariah

yang merupakanjalan hidup seorang muslim.

2. Memelihara jiwa (hifdzu al-nafs), dalam pengangkatan anak menjaga jiwa

seorang anakjuga harus diperhatikan dan dipertimbangkan, sebab jika jiwa

seorang anak tidak dijaga kerap kali si anak akan mengalami jiwa yang mudah

sakit yang dapat menghambat pertumbuhan serta perkembangan anak tersebut.

3. Memelihara akal (hifdzu al-aqli), al-aqli ini sangat dipentingkan pula dalam

konsep hukum Islam, sebab dengan mempergunakan akal seorang anak akan

dapat berfikir tentang Allah, alam semesta dan dirinya. Dengan akal seorang

anak dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu,

memelihara akal seorang anak harus diarahkan pada hal-hal atau sesuatu yang

bemanfaat bagi kepentingan hidup anak tersebut.

4. Memelihara keturunan (hifdzu al-nisbi). di dalam pengangkatan anak

keturunan adalah merupakan hal yang tidak boleh dirubah dan secara khusus

diciptakan oleh Allah SWT untuk memelihara kemurnian darah dan

kemashlahatan keturunan, hal ini tercermin dalam hubungan darah yang

menjadi syarat untuk dapat saling mewarisi.

5. Memelihara (hifdzu al-maal), harta adalah pemberian Allah kepada manusia,

agar manusia dapat mempertahankan hidup dan melangsungkan

kehidupannya. Oleh karena itu, Islam sangat melindungi hak manusia untuk

memperoleh harta dengan cara-cara yang halal dan sah serta melindungi

kepentingan harta seseorang.

Semua tujuan hukum Islam (maqashidus-syariah) tersebut sebagaimana telah

dijelaskan diatas adalah bersifat primer artinya bahwa tujuan tersebut adalah yang

pokok dan harus dipelihara oleh setiap orang. Kemudian disamping tujuan hukum

Islam (maqashidus syariah), pengangkatan anak juga berhubimgan dengan adanya

mashlahah mursalah. Pada dasarnya pengangkatan anak tidak dikenal dalam

ajaran Islam, sebab mengangkat anak dianggap telah memutuskan nasab

seseorang. Akan tetapi, jika anak tersebut tidak diadopsi khawatir anak tersebut

tidak dapat melangsungkan hidupnya. Oleh karena itu, solusi yang tepat adalah

dengan mengangkat anak tanpa memutuskan nasab seseorang, akan tetapi yang

menjadi tujuan utama pengangkatan anak ini adalah tidak lebih hanya mengasuh,

merawat, mendidik dan membiayai atau mencukupi kebutuhan hidup dan

pendidikan anak tersebut sehingga anak tersebut dapat berkembang baik jasmani

maupun rohani semua itu demi kemaslahatan anak tersebut.