bab ii tinjauan umum tentang pengangkatan anak a ...digilib.uinsgd.ac.id/13516/5/5_bab2.pdf“anak...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK
A. Pengertian dan Sejarah Pengangkatan Anak
Pengertian pengagkatan anak Secara etimologis yang berkembang di
negara Indonesia yaitu merupakan bentuk terjemahan dari bahasa Inggris Adoption
atau dalam bahasa Belanda Adoptie. Dalam bahasa latin adopsi berasal dari kata
Adoptio yang memiliki arti pengangkatan.1 Maksud dari pengangkatan anak di
sini adalah mengangkat anak untuk dijadikan anak kandung sendiri. Dalam kamus
populer, adopsi memiliki arti mengambil anak orang lain untuk dijadikan anak
sendiri sehingga memutuskan hubungan antara anak dengan orang tua
kandungnya, serta segala urusan perwalian dan waris jatuh kepada orang tua
angkat tersebut.2 Dari pengertian menurut bahasa, dapat difahami bahwa anak
angkat adalah anak orang lain yang kemudian diangkat untuk dijadikan anak
kandung.
Secara Terminologis para ahli mengemukakan pendapat mengenai
pengangkatan anak. Adapun pendapat menurut para ahli adalah sebagai berikut:
a. Menurut Surojo Wignjodipuro adopsi atau pengangkatan anak adalah
suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga
sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan
1 Andi Hamzah. Kamus Hukum. Jakarta: PT. Ghalia. 1986. hal. 28. 2 Chuzaimah Tahido Yanggo. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka
Firdaus. 1996. hal. 130.
anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama,
seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri.3
b. Menurut Mahmud Syaltut, Ia mengemukakan setidaknya ada dua
pengertian pengangkatan anak. Pertama, mengambil anak orang lain untuk
diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang tanpa
diberikan status anak kandung kepadanya. Kedua, mengambil anak
orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai anak
kandung, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang
tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak
lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya.4
c. Menurut Muhammad Ali al-Syais, bahwasannya pengangkatan anak
adalah seseorang mengangkat anak orang lain untuk dijadikan anak
sendiri, dengan mengubah statusnya menjadi anak kandung sehingga
berlakulah seluruh ketentuan hukum yang berlaku atas anak kandung
terhadap anak tersebut.5
d. Pendapat selanjutnya dikemukakan oleh Prof. Imam Sudiyat, S.H., ia
mengatakan bahwa pengangkatan anak atau adopsi adalah perbuatan
memungut seorang anak dari luar ke dalam kerabat, sehingga terjalin suatu
ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis.6
3 Surojo Wignjodipoero. Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung. 1982. hal.
118. 4 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak Prespektif Islam. Jakarta:
Kencana. 2008. hal. 21 5 Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam. Mesir: Matba’ah Ali Shabih wa Awadin. 1372H
/1953 M). jilid 14. hal. 7. 6 Imam Sudiyat. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: LIBERTI Yogyakarta. 1981. cet.II.hal. 102.
e. Kemudian pendapat selanjutnya menurut Hilman Adikusuma, S.H., dalam
bukunya Hukum Perkawinan Adat mengatakan bahwa pengangkatan anak
adalah mengangkat anak orang lain yang dilakukan oleh orang tua angkat
resmi menurut aturan hukum adat setempat dikarenakan tujuan yang
positif, untuk kelangsunggan keturunan atau pemeliharaan harta kekayaan
rumah tangga.7
Tidak berbeda jauh dengan pendapat para ahli, pengertian pengangkatan
anak Menurut Perundang-Undangan RI yang dimaksud dengan anak angkat
menurut perundang-undangan RI adalah sebagai berikut:
a. berdasarkan Pasal 1 angka (9) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.
“Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaankeluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak
tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan
putusan atau penetapan pengadilan.”
b. pengangkatan anak berdasarkan Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2006
Tentang Administrasi Kependudukan Pasal 47 ayat (1) memberikan
pengertian bahwa yang dimaksud pengangkatan anak adalah perbuatan
hukum untuk mengalihkan hak anak dari lingkungan kekuasaan keluarga
orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut kepada
7 iman Hadikusuma. Hukum Perkawinan Adat. Jakarta: Fajar Agung. 1987. hal. 149
lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau
penetapan pengadilan.8
c. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf (h) dinyatakan bahwa anak
angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-
hari, biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari
orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan keputusan
pengadilan.9
Jika dilihat dari sudut pandang sejarah, secara historis adopsi atau
pengangkatan anak sudah dikenal jauh sebelum Islam datang dan berkembang.
Menurut pendapat Mahmud Syaltut menjelaskan, bahwa tradisi pengangkatan
anak sebenarnya dipraktikan oleh masyarakat dan bangsa-bangsa lain sebelum
kedatangan Islam, seperti yang dipraktikan bangsa Yunani, Romawi, India, dan
beberapa bangsa pada zaman kuno. Dikalangan bangsa Arab sebelum ajaran Islam
datang (masa Jahiliyah) istilah pengangkatan anak dikenal dengan istilah At-
Tabani dan sudah ditradisikan secara turun temurun.10
Selain Mahmud Syaltut, Imam Al-Qurtubi (ahli tafsir klasik) menyatakan
bahwa sebelum Rasulullah SAW diangkat menjadi seorang Nabi, Rasululloh SAW
sendiri pernah mengangkat Zaid bin Zaid bin Haritsah menjadi anak angkatnya.
Bahkan Nabi tidak memanggil Zaid berdasarkan nama ayahnya (Haritsah),
tetapi diganti oleh Rasulullah SAW menjadi Zaid Bin Muhammad. Bahkan
lebih jauh dari itu, pengangkatan Zaid sebagai anaknya diumumkan oleh
8 Mu SY. Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. 2008. Cet. 1, hal. 17 9 Musthofa SY. Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group. 2008. Cet. 1 hal. 21. 10 Muderis Zaini. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2002.
hal.53
Rasulullah Muhammad SAW di depan kaum Quraisy. Nabi Muhammad SAW
juga menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi. Zaid kemudian
dikawinkan dengan Zainab binti Jahsyi, putri Aminah binti Muthallib yang
merupakan bibi nabi Muhammad SAW. Karena hal tersebut, maka para
sahabatpun kemudian memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad.11
Setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, turunlah surat
alAhzab ayat 4 dan 5 yang berbunyi:
ئي أزواجكم جعل وما ما جعل الله لرجل من ق لب ي ف جوفه ت الل رو من هن ظا
لكم عياءكم أب ناءكم أد جعل وما أمهاتكم كم ق ولكم ذ الق ي قول والله بأف وا
و أقسط عند الله ( 4السبيل ) ي هدي وو م لبائهم ادعو م آ ت علموا ل فإ باء
ت عمدت ما ولكن ه ب أخطأت فيما جناح عليكم وليس ومواليكم الدين ف فإخوانكم
ق لوبكم ( 5رحيما ) غفورا الله وكا
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai
ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah
mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar).(4)
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara saudaramu
seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu
11 Nasroen Haroen, dkk.. Ensiklopedi Hukum Islam. jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve. 1996.
hal. 29.
khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.
dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (5)”12
Dalam Surat al-Ahzab tersebut dalam ditemukan beberapa garis besarnya
yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. “Allah tidak menjadikan dua hati dalam dada manusia”. Maksud dari ayat
ini adalah merupakan dasar hidup untuk dijadikan pegangan bagi orang yang
mempunyai aqidah Tauhid. Dalam ungkapan modern ialah bahwa orang yang
pecah tujuan hidupnya atau pecah kumpulan cintanya adalah orang yang
sebagai menghentakkan kayu yang berjupang dua ke dalam bumi, niscaya tidak
akan mau terbenam. Maka tidaklah akan beres berfikir seorang yang dalam
hatinya berkumpul menyembah kepada Allah dengan menyembah kepada
benda. Itu namanya musyrik. Kalau sekali hati telah bulat menyembah
kepada Allah, persembahan kepada kafir dan munafiq atau persembahan
kepada benda mesti ditinggalkan.13
2. “Anak angkatmu bukan anak kandungmu”. Pada saat zaman jahiliyah orang
mengangkat anak orang lain seakan akan/bahkan dijadikannya anaknya
sendiri. Anak yang diangkat itu berhak membangsakan diri kepada orang
yang mengangkatnya itu. Bahkan hal ini terjadi juga pada diri Nabi
Muhammad SAW sendiri. Seorang budak, (hamba sahaya) yang
dihadiahkan oleh isterinya Khadijah untuk merawat beliau, yaitu Zaid anak
Haritsah. Karena saking sayangnya Rasululloh SAW kepada Zaid maka beliau
angkat Zaid menjadi anaknya dan hal ini diketahui umum.14
12 Abdul Aziz ahmad Dkk., ROBBANI Al Quran Per Kata, Tajwid Warna. Jakarta: PT. Surya
Prima Sinrgi. hal. 419 13 Hamka. Tafsir Al Azhar. Surabaya: Pustaka Islam, 1983. Bab. XXI. hal. 226 14 Ibid., hal. 227
3. “Panggilan anak angkatmu menurut nama bapaknya”. Dahulu kala Zaid
adalah budak yang dimerdekakan dan diangkat menjadi anak di zaman
jahiliyah oleh Nabi Muhammad SAW sehingga dipanggilkan Zaid bin
Muhammad. Dengan turunya ayat ini datanglah ketentuan agar Zaid
dipanggil kembai menurut yang sewajarnya, yaitu Zaid bin Haritsah. Selain
kejadian tersebut, Ada juga kejadian seorang anak yang ditinggal mati
ayahnya sewaktu dia masih amat kecil. Lalu ibunya kawin lagi sehingga anak
tersebut diasuh dan dibesarkan oleh ayah tirinya yang sangat menyayangi dia.
Karena kejadian tersebut si anak menaruhkan nama ayah tirinya di ujung
namanya. padahal ayah tirinya itu bukanlah ayahnya yang sebenarnya. Itu
pun salah. Karena walaupun betapa tingginya nilai kasih sayang dan hutang
budi dari oranglain, namun kebenaran tidaklah boleh diubah dengan mulut.
Mengganti nama ayah itu pun satu kedustaan.15
Dari ketentuan-ketentuan diatas penulis kira sudah jelas, bahwa Allah
melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum seperti hal tadi (saling
mewarisi) dan menjadikan anak angka tersebut sebagai anak kandung.
Adapun sejarah Pengangkatan anak di negara-negara Barat berkembang
setelah berakhirnya Perang Dunia II. Saat peperangan yang dahsyat tersebut
banyak terdapat anak yatim piatu yang kehilangan orang tua karena gugur dalam
peperangan. Alasan lain karena banyak pula anak yang lahir di luar perkawinan
yang sah. Karena sistem hukum Barat yang berlaku pada saat itu adalah hukum
Belanda dan berlaku pula di Indonesia, maka pengangkatan anak di Indonesia
selain berdasarkan kepada BW tersebut, juga diatur dalam Staatsblad (Lembaran
15 Ibid., hal. 228
negara) No. 129 Tahun 1917. Dalam lapangan hukum perdata umum,
pengangkatan anak tidak saja berasal dari anak yang jelas asal usulnya, tetapi juga
anak yang lahir diluar perkawinan yang sah (tidak jelas asal usulnya).
B. Pengangkatan Anak Dalam Hukum Islam
1. Dasar hukum pengangkatan anak dalam hukum Islam
a. Al-Quran
ئيالل أزواجكم جعل وما ما جعل الله لرجل من ق لب ي ف جوفه رو تظا
هن لكم عياءكم أب ناءكم أد جعل وما أمهاتكم من كم بأف و ق ولكم ذ ا
و أقسط عند الله ( 4السبيل ) ي هدي وو الق ي قول والله م لبائهم ادعو
م ت علموا ل فإ فيما جناح ليكم ع وليس ومواليكم الدين ف فإخوانكم آباء
ق لوبكم ت عمدت ما ولكن به أخطأت (5رحيما ) غفورا الله وكا
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai
ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah
mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar).(4)
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara saudaramu
seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu
khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.
dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (5)”.16
Para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan asbabun-nuzul (sebab
turunnya ayat) tentang tabanni atau pengangkatan anak ini, akan tetapi para ulama
bersepakat dalam 1 hal yaitu bahwa pengangkatan anak itu haram hukumnya,
karena mengangkat anak itu berarti memutuskan nasab kepada orang tuanya dan
berpindah menjadi nasab orang tua angkatnya. hal tersebut sangat bertentangan
dengan syariat Islam terkecuali jika pengangkatan anak tersebut dilakukan dengan
baik dan tidak bertentangan dengan syariat yang ada dalam Islam dengan hanya
sekedar tujuan memelihara, mengasuh dan mendidik anak tersebut dengan tanpa
memutuskan nasab anak tersebut dengan orang tuanya kandungnya serta demi
perkembangan/kebaikan anak tersebut. Menurut Muhammad Bin Ali Bin
Muhammad Asy-Syaukani menerangkan bahwa orang yang mengaku orangtua dari
seorang anak padahal dia bukan ayah dari anak tersebut, maka hal tersebut hanyalah
omong kosong di mulut belaka, dan janganlah mempengaruhi kepada anak tersebut
sehingga anak tersebut dapat menerima kehadiran orang yang mengaku sebagai
ayahnya itu. Kemudian beliau menambahkan jangan pula menjadikan isterimu
seperti ibumu, dan jangan pula menjadikan seseorang yang bukan anaknya sebagai
anak. Sesungguhnya yang benar adalah mengikuti akan adanya kebenaran Al-
Qur'an. Al-Qur'an menunjukan jalan kepada kebenaran dalam melakukan suatu
perkatataan yang benar dan perkataan yang palsu. Kemudian Allah SWT
16 Abdul Aziz ahmad Dkk., ROBBANI Al Quran Per Kata, Tajwid Warna. Jakarta: PT. Surya
Prima Sinrgi. hal. 419
menjelaskan hal tersebut yang harus dilakukan oleh hambanya yaitu memanggil
anak dari bapak-bapak mereka.17
Menurut Abdurrahman bin Nashir bin Sa'di dalam kitab Taisiru Al-Karim
Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Manan menjelaskan sesungguhnya Allah SWT
akan melaknat hambanya dari perkataan mereka yang tidak memanggil (anak
angkat) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Jika kamu tidak mengetahui
ayah anak tersebut, panggilah mereka sebagai saudaramu se-agama, maka tidak
ada dosa bagimu terhadap sesuatu yang khilaf, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang dan Allah SWT tidak memerintahkan hambanya
yang mengaku keturunan dari seorang anak padahal dia bukan ayah dari anak
tersebut, maka jika hal itu dilakukan semua adalah bohong dan palsu. sesungguhnya
itu adalah perkara-perkara yang munkar dalam syariat.
Sebagaimana Islam menyalahi zihar, begitu juga Islam menyalahi adopsi
atau pengangkatan anak dan menjadikan adopsi haram hukunmya didalam syariat
Islam, karena sesungguhnya didalam adopsi terdapat sesuatu yang menasabkan
anak angkat kepada selain bapak aslinya. Dan adopsi itu termasuk bagian dosa besar
yang di murka dan dilaknat oleh Allah SWT.18
b. Hadis
حدثنا ابو بكر بن ايب شية حدثنا حييئ بن زكرياء بن ايب زا ئدت و ابو معاوية
عن عاصم عن ايب عثما عن سعد و ايب بكرة كلمها يقول مسعته اذناي ووعاد
17 Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani. Fathul Qadir (Al-Jami' Baina Fanni
ArRiwayah Wa Ad-Dirayah Min Ilmi At-Tqfsir). Beirut-Libanon: Daar Al-Ma'rifah. 1997. hal. 326. 18 Muhammad Ali Ash-Shabuny. Rawai'u Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur'an.
Damaskus: Maktabah al-ghazali . 1980. hal. 214.
و يعلم انه غري ابيه فاجلنة عليه قليب حممدا صلعم يقول منادعى اىل غري ابيه و
حرام. رواه مسلم
"Telah meriwayatkan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan
kepada Yahya bin Zakaria bin Abi Zaidah dan Abu Muawiyah dari A'shlm dari Abi
Utsman dari Sa'ad dan Abi Bakroh, kedua-duanya berkata telah mendengar
telinganya dan menangkap dalam hati saya, Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Barang siapa mengaku ketunman dari orang yang bukan ayalmya sendiri, dan dia
mengetahui sesungguhnya dia bukanlah ayalmya, maka surga itu haram baginya.
(HR. Muslim) 19
Muhammad Ali Ash-Shabuny berpendapat dalam kitab Rawahu Al-Bayan
Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur'an: " Tampak dalam ayat itu adalah sesuatu
yang tidak boleh dilanggar, maksud panggilan seseorang pada selain ayahnya,
mungkin hal itu dimaksudkan kepada sesuatu yang mengarahkan untuk zaman
jahiliyyah. Dan jika bukan dalam hal tersebut yaitu sebagaimana panggilan orang
yang lebih besar kepada yang lebih kecil atas dasar mengasihani dan menyayangi,
maka hal itu tidak adanya keharaman.
Syariat telah mengharamkan dan menyalahi aturan tabanni setelah hadirnya
ajaran Islam pada jaman jahiliyyah, sebagai bukti nyata Nabi Muhammad SAW'
telah mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak sebelum beliau menjadi seorang
Nabi, kemudian memanggil dengan panggilan "Zaid bin Muhammad" sampai turun
kepadanya firman Allah yaitu Al Quran surat Al Ahzab ayat 4-5.
Islam memandang bahwa pengangkaitan anak menjadi sebuah pemalsuan
terhadap realita yang sudah ada, suatu pemalsuan yang menjadikan seorang anak
19 Imam Muslim, Kitab Iman, No. 97.
terasing dari lingkungan keluarga aslinya. Anak tersebut dapat bergaul bebas
dengan perempuan dari keluarga baru itu dengan dalih sebagai mahramnya padahal
hakikatnya anak tersebut masih sama yaitu orang asing. Istri dari ayah yang
memungut bukanlah ibunya sendiri, begitu juga anak perempuannya, saudara
perempuannya atau bibinya anak tersebut sebenarnya adalah orang asing dari
semuanya itu. Bahkan Anak angkat ini dapat menerima waris dan menghalangi
keluarga dekat asli yang mestinya berhak menerima. Oleh karena itu tidak sedikit
ditemukan dalam realita keluarga yang sebenarnya merasa dengki terhadap orang
baru (anak angkat) yang bukan dari kalangan mereka ini yang merampas hak milik
mereka dan menghalang pusaka yang telah menjadi harapannya. Hal semacam
ini banyak sekali membangkitkan hal-hal yang buruk, dapat menyalakan api fitnah
dan memutus tali kerukunan kekeluargaan, oleh karena itu alQuran melalui Surat
AL Ahzab ayat 4-5 menghapus aturan jahiliah ini dan diharamkan untuk selama-
lamanya serta dihapusnya seluruh pengaruh-pengaruhnya.
2. Syarat dan tujuan Pengangkatan Anak Dalam Hukum Islam
Dalam hal pengangkatan anak, ada beberapa hal yang harus diketahui. Hal
tersebut berkenaan dengan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh
orang tua angkat. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka ada
syarat-syarat pengangkatan anak yang sesuai dengan hukum Islam. Syarat-syarat
tersebut dapat diuraikan menjadi beberapa hal sebagai berikut:20
20 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjuan Tiga Sistem hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2002. hal. 54.
a. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan
orang tua kandung dan keluarganya.
b. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua
angkat, melainkan tetap sebagai ahi waris dari orang tua kandungnya,
demikian juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari
anak angkatnya.
c. Hubungan kehartabendaan antara anak angkat dengan orang tua
angkatnya hanya diperbolehkan dalam hubungan wasiat dan hibah.
d. Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya
secara langsung kecuali sekadar sebagai tanda pengenal atau alamat.
e. Orang tua angkat tidak dapat berhak sebagai wali dalam perkawinan
terhadap anak angkatnya.
f. Antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat seharusnya samasama
orang yang beragama Islam agar si anak tetap pada agama yang dianutnya.
Sedangkan ulama Yusuf Qardhawi berpendapat bahwasanya pengangkatan
anak dapat dibenarkan apabila seseorang yang melaksanakannya tidak
mempunyai keluarga, lalu ia bermaksud untuk memelihara anak tersebut
dengan memberikannya perlindungan, pendidikan, kasih sayang, mencukupi
kebutuhan sandang dan pangan layaknya anak kandung sendiri. Adapun
berkenaan dengan hal nasab, anak tersebut nasabnya tetap pada ayah
kandungnya karena antara anak angkat dengan orang tua angkat tetap tidak ada
sama sekali hubungan nasab yang dapat mempunyai hak seperti anak kandung.21
21 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Surakarta: Era Intermedia, 2005), hal. 319.
Setelah berbicara tentang syarat pengangkatan anak, selanjutnya berbicara
tentang tujuan dari pengangkatan anak itu sendiri dalam Islam. Walaupun tujuan
dari pengangkatan anak sudah di singgung berdasar pendapat Imam Yusuf
Qardhawi Seseorang dalam mengangkat anak pasti memiliki tujuan yang ingin
dicapai karena pada dasarnya banyak faktor yang mendukung seseorang
melakukan pengangkatan anak, namum lazimnya latar belakang pengangkatan anak
dilakukan oleh orang yang tidak diberikan keturunan. Pengangkatan anak
dilakukan guna memenuhi keinginan manusia untuk menyalurkan kasih
sayangnya kepada anak yang dirasakan akan merupakan kelanjutan hidupnya.22
Pengangkatan anak dikalangan masyarakat Indonesia mempunyai tujuan dan
motivasi diantaranya:
a. Untuk meneruskan keturunan, jika dalam suatu perkawinan tidak
dikaruniai seorang keturunan.
b. Di daerah jawa pengangkatan anak bertujuan sebagai pancingan yakni
dengan mengangkat anak, keluarga yang mengadopsi akan dikaruniai anak
kandung sendiri.23Atau dengan mengangkat anak akan mungkin ketularan
mendapat anak kandung.24
c. Menambah jumlah anggota keluarga, dengan tujuan agar si anak angkat
mendapat pendidikan yang baik, sebagai sebuah misi kemanusiaan dan
pengamalan ajaran agama.25
22 Ahmad Azhar Basyir. Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam. Bandung: PT Al-Ma’arif.
1972 hal. 19. 23 Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975. Jakarta:
Erlangga, 2011. hal. 333. 24 Sudharyo Soimin. Hukum Orang dan Keluarga: Prespektif Hukum Perdata Barat (BW), Hukum
Islam, dan Hukum Adat.Jakarta: Sinar Grafika 2004. hal. 172. 25 B. Sebastian Tafal. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat serta Akibat-Akibat Hukumnya
di Kemudian Hari, Jakarta: Rajawali Pers. 1989. hal. 71.
d. Pengangkatan anak ini dilakukan guna memenuhi insting manusia yang
berkehendak menyalurkan kasih sayangnya kepada anak yang dirasakan
akan merupakan kelanjutan hidupnya.
e. Untuk mensejahterakan anak dan melindunginya dari kekerasan dan
diskriminasi serta memberikan kehidupan yang layak bagi seorang anak
dengan memberikan perhatian dan kasih sayang, tanpa menjadikannya
sebagai anak kandung sendiri diperbolehkan dalam Islam.
Alasan-alasan orang melakukan pengangkatan anak bermacam-macam,
akan tetapi hal yang terpenting adalah: rasa belas kasihan terhadap anak
terlantar atau anak yang karena faktor tertentu orang tuanya tidak mampu
memeliharanya. Tidak mempunyai anak dan ingin mempunyai anak untuk
menjaga dan memeliharanya di hari tua. Untuk mempertahankan ikatan
perkawinan/kebahagiaan keluarga.26
3. Akibat Hukum Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak sudah dikenal dan berkembang pada zaman jahiliyah,
yaitu zaman sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW. Pada zaman tersebut,
apabila seseorang mengangkat anak, maka otomatis nasabnya disambungkan
kepada ayah angkatnya, dan nasab kepada orang tuanya terputus. Bahkan pada
masa itu anak angkat mendapatkan hak waris layaknya anak kandung, dan segala
urusan yang seharusnya menjadi kewajiban ayah kandung, teralihkan kepada ayah
angkatnya.
26 Djaja S, Meliala. Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia. Bandung: Tarsito. 1982. hal. 3
Berbeda dengan pengangkatan anak menurut hukum Islam. Seperti
yang telah penulis sebutkan dalam syarat-syarat pengangkatan anak dalam
Islam, dikemukakan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan
darah antara anak dan orang tua kandung, dan anak angkat tidak berkedududkan
sebagai ahli waris dari orang tua angkat, tetapi ahli waris dari orang tua
kandung, demikian juga sebaliknya, orang tua angkat tidak menjadi ahli
waris dari anak angkat. Selanjutnya, anak angkat tidak diperkenankan memakan
nama orang tua angkatnya secara langsung sebagai tanda pengenal atau
alamatnya, dan juga orang tua kandung tidak bertindak sebagai wali dalam
perkawinan anak angkatnya.27
Akibat hukum dari pengangkatan anak dalam Islam bersumber langsung
pada Firman Allah SWT dalam Surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5 seperti yang telah
ditulis sebelumnya. Berdasarkan kedua ayat tersebut, Jumhur ulama menyatakan
bahwa hubungan antara ayah atau ibu angkat dan anak angkanya tidak lebih dari
sekedar hubungan kasih sayang. Hubungan antara ayah atau ibu dan anak
angkatnya tidak memberikan akibat hukum yang berkaitan dengan warisan, nasab
dan tidak saling mengharamkan perkawinan. Apabila ayah atau ibu angkat
meninggal dunia, anak angkat tidak termasuk sebagai ahli waris yang berhak
menerima warisan. Demikian juga dalam hal nasab, anak angkat tidak bisa
memakai nasab ayah atau ibu angkatnya. Kasus Zaid bin Harisah yang dinasabkan
para sahabat kepada Rasulullah dengan panggilan Zaid bin Muhammad dan
telah dianggap para sahabat sebagai anak angkat Nabi Muhammad SAW
dibantah oleh ayat Al Quran surat AL Ahzab ayat 4-5 sehingga Zaid tetap
27 Muderis Zaini, op.cit. hal. 54
dinasabkan kepada ayahnya, Haritsah. Bahkan ayat tersebut juga berguna untuk
membantah anggapan bahwa status anak angkat itu sama dengan anak kandung,
Allah SWT memerintahkan Rasullullah SAW mengawini Zainab binti Jahsy
mantan istri Zaid bin Harisah.28
Pernyataan Allah SWT terdapat dalam surat AlAhzab ayat 37:
وإذ ت قول للذي أن عم الله عليه وأن عمت عليه أمسك عليك زوجك واتق الله
تشاه زيد قضى ف لما وتفي ف ن فسك ما الله مبديه وتشى الناس والله أحق أ
ها ل لكي وجناكهاز وطرا من ضوا على المؤمني حرج ف أزواج أدعيائهم إذا ق يكو
من هن وطرا مفعول الله أمر وكا
“Dan (ingatlah), ketika kamu Berkata kepada orang yang Allah Telah
melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi nikmat
kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang
kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya,
dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu
takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya
(menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan
bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka,
apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada
isterinya.dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.”(Al-Ahzab: 37) 29
Berdasarkan surat Al-Ahzab diatas, dapat diketahui bahwa prinsip-prinsip
pengangkatan anak dalam Islam bertujuan untuk memelihara anak angkat dan
mensejahterakannya. Dalam kasus Zaid bin Haritsah, Nabi Muhammad SAW
28 Nasroen Haroen, op.cit., hal. 84 29 Abdul Aziz ahmad Dkk., ROBBANI Al Quran Per Kata, Tajwid Warna. Jakarta: PT. Surya
Prima Sinrgi. hal. 424
memeliharanya sekaligus membebaskannya dari perbudakan, dan menjadikan
hidup Zaid layak sebagaimana manusia merdeka.
Sedangkan tujuan lainnya adalah sebagai perwujudan dari sikap tolong
menolong kepada sesama manusia. Firman Allah SWT dalam Al-Quran:
و الث على ت عاونوا ول والت قوى الب على وت عاونوا الله وات قوا العدوا
العقاب شديد الله إ
“..Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”.(Al-Maidah: 2) 30
Dengan tidak diperbolehkan menisbatkan ayah kepada anak angkatnya,
mengandung pengertian bahwa pengangkatan anak dalam Islam murni bertujuan
untuk memelihara dan melestarikan keutuhan keluarga dan menjaga asal-usul
seseorang serta dapat memperkuat tali persaudaraan antara orangtua kandung
dengan orang tua yang diangkat. Kemudian jika dilihat di dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 171 huruf (h) dinyatakan bahwa anak angkat adalah anak yang
dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya
beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya
berdasarkan keputusan pengadilan.31
Adapun dalam hal masalah pewarisan, anak angkat hanya berhak
menerima wasiat yang ada kaitannya dengan harta peninggalan orang tua
30 Abdul Aziz ahmad Dkk., ROBBANI Al Quran Per Kata, Tajwid Warna. Jakarta: PT. Surya
Prima Sinrgi. hal. 107 31 Mustofa. Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Jakarta: Kencana Preda Media
Group: 2008. hal. 21
angkatnya, sebagaimana diatur dalam pasal 209 ayat (2) yang berbunyi :
“Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”.32 Wasiat
tersebut dilakukan karena dasar rasa kasih sayang dari orang tua terhadap anak
angkatnya, dan juga rasa terima kasih karena semasa hidup orang tua angkatnya,
anak angkat telah berbuat baik menemani orang tua angkatnya. Maka Islam sama
sekali tidak menutup kemungkinan anak angkat mendapat bagian dari harta
peninggalan orang tua nagkatnya.
Dengan demikian jelas bahwa anak angkat hanya dalam hal
pemeliharaannya dan pendidikannya saja yang beralih dari orang tua kandung
kepada orang tua angkat. Akan tetapi untuk masalah perwalian dalam pernikahan
dan masalah waris, anak angkat tetap saja berhubungan dengan orang tua
kandungnya. Tetapi apabila orang tua angkatnya ingin memberikan warisan
kepada anak angkatnya tersebut, maka yang dapat dilakukan orang tua angkat
adalah dengan hibah atau wasiat yang ditulis atau diucapkan oleh ayah angkatnya
semasa hidupnya.33
C. Pengangkatan Anak Dalam Perundang Undangan Di Indonesia
Praktik pengangkatan anak dalam kehidupan sosial masyarakat telah
menjadi bagian dari budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia telah melakukan pengangkatan anak
dengan cara dan tujuan yang berbeda-beda, sesuai dengan sistem hukum adat
32 Roihan A Rasyid. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum
Nasional. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999. hal. 82 33 Ahmad Kamil dan Fauzan. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak Di Indonesia. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.2008. hal. 102
yang hidup serta berkembang di daerah tersebut. Pemerintah melalui Menteri
Sosial menyatakan bahwa, dalam kenyataan kehidupan sosial tidak semua
orangtua mempunyai kesanggupan dan kemampuan penuh untuk memenuhi
kebutuhan pokok anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak.
Kenyataan yang demikian mengakibatkan anak menjadi terlantar baik secara
rohani, jasmani, maupun sosial. Sambil menunggu dikeluarkannya Undang-
Undang Pengangkatan Anak, telah ditetapkan beberapa kebijaksanaan.34 Hal ini
menunjukkan bahwa sejak tahun 1984 proses ke arah lahirnya Undang-Undang
yang khusus membahas pengangkatan anak telah sedang berjalan, dan yang
mengatur ketertiban praktik pengangkatan anak dilakukan dengan beberapa
peraturan kebijakan-kebijakan pemerintah dan lembaga yudikatif, seperti Surat
Edaran Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung, dan lain-lain.
Mahkamah Agung sendiri sebagai penanggung jawab atas pembinaan
teknis peradilan mengakui bahwa peraturan perundang-undangan dalam bidang
pengangkatan anak Warga Negara Indonesia, terutama pengangkatan anak Warga
Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing tidaklah mencukupi, namun ada
beberapa peraturan hukum yang dapat dijadikan rujukan bagi hakim dalam
menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman tentang pengangkatan anak,
misalnya:35
1. Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 mengatur
masalah adopsi yang merupakan kelengkapan dari KUHPerdata/BW yang ada,
dan khusus berlaku bagi golongan masyarakat keturunan Tionghoa.
34 Republik Indonesia. Keputusan Menteri Sosial Nomor 41 Tahun 1984, tentang Petunjuk
Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, Bagian I, Umum. 35 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam. Jakarta:
Kencana 2008. hal. 204-205
2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979, tentang
Pengangkatan Anak yang mengatur prosedur hukum mengajukan
permohonan pengesahan dan/atau permohonan pengangkatan anak,
memeriksa dan mengadilinya oleh pengadilan.
3. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun
1979, yang mulai berlaku sejak tanggal 30 September 1983.
4. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, yang mulai berlaku
sejak tanggal 14 Juni 1984.
5. Bab VIII, Bagian Kedua dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,
tentang Perlindungan Anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 22 Oktober
2002.
6. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 3 Tahun 2005, tentang
Pengangkatan Anak, berlaku mulai Februari 2005, setelah terjadinya
bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami yang melanda Aceh
dan Nias, yang menimbulkan masalah sosial berupa banyaknya anak-anak
yang kehilangan orangtuanya dan adanya keinginan sukarelawan asing
untuk mengangkatnya sebagai anak angkat oleh LSM dan Badan Sosial
Keagamaan lainnya yang sangat membahayakan akidah agama anak
tersebut.
7. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, tentang Perubahan Atas
UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada
Pasal 49 huruf a, angka 20 menyatakan bahwa, Pengadilan Agama bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: “… penetapan
asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan
hukum Islam.”
8. Yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktik peradilan telah diikuti oleh
hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara yang
sama, secara berulang-ulang, dalam waktu yang lama sampai sekarang.
Berdasarkan hasil pengamatan Mahkamah Agung RI, menemukan fakta
bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang prosedur, tata cara
menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan permohonan
pengangkatan anak dipandang belum mencukupi, maka Mahkamah Agung
sebagai lembaga tertinggi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kekuasaan
kehakiman di Indonesia, memandang perlu mengeluarkan surat edaran yang
menyempurnakan surat edaran sebelumnya yang mengatur prosedur dan
syaratsyarat pengajuan permohonan pengangkatan anak.
1. prosedur dan syarat-syarat pengangkatan anak
prosedur dan syarat-syarat pengangkatan anak secara teknis telah diatur
dalam SEMA Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA Nomor 2
Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak. Dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak
disebutkan mengenai prosedur pengangkatan anak antar WNI yang dalam Pasal 19
menyebutkan bahwa: “Pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai
dengan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan.”36 Dalam
SEMA No. 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan SEMA No. 2 Tahun 1979
Tentang Pengangkatan Anak, ada beberapa tahap dan persyaratan pengangkatan
anak antar warga Negara Indonesia. Prosedur pengangkatn anak antar warga
Negara Indonesia yang tahap dan persyaratannya sebagai berikut:37
a. Syarat dan Bentuk Surat Permohonan
1) Sifat surat permohonan bersifat voluntair.
2) Permohonan pengangkatan anak hanya dapat diterima apabila
ternyata telah ada urgensi yang memadai, misalnya ada ketentuan
undang-undangnya.
3) Permohonan pengangkatan anak dapat dilakukan secara lisan atau
tertulis berdasarkan ketentuan hukum acara yang berlaku.
4) Surat permohonan pengangkatan anak dapat ditandatangani oleh
pemohon sendiri, atau oleh kuasa hukumnya.
5) Surat permohonan pengangkatan anak diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama. Pemohon yang
beragama Islam yang bermaksud mengajukan permohonan
pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam, maka
permohonannya diajukan kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal pemohon.
36 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Peraturan
Pemerintah RI Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, hal. 8 37 Andi Syamsu dan Fauzan. op.cit. hal. 210
b. Isi Surat Permohonan Pengangkatan Anak
1) Bagian dasar hukum permohonan pengangkatan anak harus secara jelas
diuraikan motivasi yang mendorong niat untuk mengajukan
permohonan pengangkatan anak.
2) Harus diuraikan secara jelas bahwa permohonan pengangkatan anak,
terutama didorong oleh motivasi untuk kebaikan dan/atau kepentingan
calon anak angkat, didukung dengan uraian yang memberikan kesan
bahwa calon orang tua angkat benar-benar memiliki kemampuan dari
berbagai aspek bagi masa depan anak angkat menjadi lebih baik.
3) Isi petitum permohonan pengangkatan anak bersifat tunggal, yaitu hanya
memohon agar si anak ditetapkan sebagai anak angkat dari pemohon,
tanpa ditambahkan permintaan lain, seperti ditetapkan sebagai ahli
warisnya.
c. Syarat-Syarat Permohonan Pengangkatan Anak Antar WNI38
Syarat bagi calon orang tua angkat/pemohon, berlaku ketentuan sebagai
berikut:
1. Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antar orang tua kandung
dengan orang tua angkat (private adoption) diperbolehkan.
2. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang yang tidak terkait dalam
perkawinan sah/belum menikah diperbolehkan.
3. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh
calon anak angkat.39
38 Andi Syamsu dan Fauzan. op.cit., hal. 211. 39 Kumpulan Perundangan Perlindungan Hak Asasi Anak. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. 2006.
hal.89
Sedangkan Syarat bagi calon anak angkat adalah 40
1. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
2. Merupakan anak terlantar atau diterlantarkan.
3. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak.
4. Memerlukan perlindungan khusus.
5. Dalam hal calon anak angkat berada dalam asuhan suatu yayasan
sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa
yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan
anak.
6. Calon anak angkat yang berada dalam asuhan yayasan sosial, maka
harus punya izin tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk
bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.
2. Perbandingan Penetapan Pengadilan Negeri Dengan Penetapan Pengadilan
Agama tentang pengangkatan anak.
Dalam hal perbandingan penetapan pengadilan, penulis mengambil dari dua
sudut pandang. Yaitu sudut pandang sumber hukum yang dijadikan landasan dalam
penetapan terebut serta akibat hukum yang timbul dari dijadikannya landasan
hukum tersebut. Adapaun perbedaan tersebut akan penulis uraikan sebagai berikut:
a) Perbedaan sumber Hukum/landasan
Dalam penetapan pengadilan yang dikeluarkan oleh pengadilan agama
Nomor 261/Pdt.P/2016/PA.Grt tentang pertimbangan hukumnya yang dijadikan
landasan hukumnya adalah
40 Rusli Pandika. Hukum Pengangkatan Anak. Jakarta: Sinar Grafika 2012. hal. 113.
1. Al Quran Surat Al Maidah ayat 32
نا على بن إسرائيل أنه من ق تل ن فسا بغري ن فس أو فساد ف لك كتب من أجل ذ
يعا ا أحيا الناس ج ا فكأن يعا ومن أحيا ا ق تل الناس ج جاءت هم ولقد الرض فكأن
ث بالب ي نات رسلنا هم كثريا إ لك ب عد من ولمسرف الرض ف ذ
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang
kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan
yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh
melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (Q.S Al Maidah : 32) 41
2. Al Quran surat Al Maidah ayat 2
ث على ت عاونوا ول وت عاونوا على الب والت قوى ال الله وات قوا والعدوا
العقاب شديد الله إ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
41 Abdul Aziz ahmad Dkk., ROBBANI Al Quran Per Kata, Tajwid Warna. Jakarta: PT. Surya
Prima Sinrgi. hal. 114
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Q.S Al Maidah
:2) 42
3. Al Quran surat Al Ahzab ayat 4-5
ئي أزواجكم جعل وما ما جعل الله لرجل من ق لب ي ف جوفه الل رو هن تظا من
لكم عياءكم أب ناءكم أد جعل وما أمهاتكم كم ق ولكم ذ ي قول له وال بأف وا
و أقسط عند الله ( 4السبيل ) ي هدي وو الق م لبائهم ادعو المو ت ع ل فإ
م ولكن به خطأت أ فيما جناح عليكم وليس ومواليكم الدين ف فإخوانكم آباء
ق لوبكم ت عمدت ما (5رحيما ) غفورا الله وكا
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai
ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah
mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar).(4)
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara saudaramu
seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang
kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (5)”. 43
42 Abdul Aziz ahmad Dkk., ROBBANI Al Quran Per Kata, Tajwid Warna. Jakarta: PT. Surya
Prima Sinrgi. hal. 107 43 Abdul Aziz ahmad Dkk., ROBBANI Al Quran Per Kata, Tajwid Warna. Jakarta: PT. Surya
Prima Sinrgi. hal. 419
4. Ketentuan pasal 171 huruf (f) kompilasi Hukum Islam, dapat diartikan bahwa
pengangkatan anak pada dasarnya adalah pengalihan tanggung jawab
pemeliharaan (biaya hidup sehari-hari) biaya pendidikan dan sebagainya dari
orangtua asal ke orangtua angkatnya.
5. Ketentuan ayat (1) dan (2) pasal 209 kompilasi hukum Islam menentukan
bahwa antara anak angkat dan orangtua angkat mempunyaihubungan
keperdataan saling mewasiati yang banyaknyatidak boleh lebih dari 1/3 bagian,
atau wasiat wajibah bila diantara mereka tidak berwasiat, tetapi tidak saling
mearisi.
6. Pengangkatan anak adalah manifestasi dari “hifdzu al-nafs” (memelihara jiwa)
dan “hifdzu al-din” (memelihara agama) dengan tetap mempertahankan ”
hifdzu al-nisbi” (memelihara keturunan) yang antara ketiganya saling
berkaitan, serta mengembangkan sikap “ta’awun” (tolong menolong) antara
sesama, dikatakan demikian, karena pengangkatan anak hanya dapat dilakukan
demi kepentingan anak yang terbaik, antar orangtua angkat dan anak angkat
harus seagama, dan karena pengangkatan anak tidak boleh memutuskan
hubungan nasab antara anak angkat dengan orangtua kandungnya.
Sedangkan dalam penetapan yang dikeluarkan pengadilan negeri Nomor
64/PDT/P/2017/PN.Grt. dalam perimbangan hukumnya adalah :
1. Undang-undang nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak pasal 1 butir
1 dan 12 ayat (1)
2. Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
a. pasal 1 butir 1.
b. Pasal 1 butir 9.
c. Pasal 39 ayat (1), (2) dan (3)
d. Pasal 40 ayat (1) dan (2)
3. Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan
pasal 47 ayat (2)
4. Peraturan pemerintah nomor 54 tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan
anak pasal 20 ayat (1) dan (2)
b) Perbedaan Akibat Hukum/Tentang Hukumnya dalam penetapan
Berbicara mengenai akibat hukum yang terdapat dalam perkara nomor
261/Pdt.P/2016/PA.Grt., tidak terlihat jelas adanya akiibat secara pasti bahwa anak
angkat akan berpindah status kepada orang tua angkat baik mengenai harta warisan
dan lain sebagainya, sebagaimana yang tertera dalam hukum barat. Pengangkatan
anak yang terdapat dalam perkara nomor: 261/Pdt.P/2016/PA.Grt tersebut
statusnya tetap akan menjadi anak dari orang tua yang telah melahirkannya.
Jika dilihat secara fisik dan psikis seorang anak dengan orang tua itu tidak dapat
dibedakan, sebab hal itu sudah termasuk sunnatullah yang tidak mungkin dapat
dirubah oleh apapun. Di samping penetapan mengenai hal penisbatan nasab orang
tua angkat kepada orang tua angkat, perkara nomor 261/Pdt.P/2016/PA.Grt juga
menetapkan si anak angkat tidak akan mendapatkan harta warisan dari orang tua
angkatnya, sebab anak angkat tidak mempunyai hubungan darah atau perkawinan
dan kerabat yang sebenarnya yang menyebabkan si anak tersebut tidak
mendapatkannya. Hanya saja menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 209
menjelaskan bahwa anak angkat yang tidak menerima wasiat akan mendapatkan
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya,
begitu pula sebaliknya orang tua angkat yang tidak menerima wasiat akan
mendapatkan wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak
angkatnya.
Begitu juga akibat hukum yang terdapat dalam perkara Nomor:
64/PDT/P/2017/PN.Grt, tidak terliliat jelas adanya akibat secara pasti bahwa anak
angkat akan berpindah status kepada orang tua angkat baik mengenai harta warisan,
perwalian dan lain sebagainya, bahkan wasiat wajibah pun yang terdapat dalarn
KHI tidak disebutkan dalam penetapan ini.
Searah dengan penetapan perkara nomor 261/Pdt.P/2016/PA.Grt, bahwa
perkara nomor: 64/PDT/P/2017/PN.Grt juga tidak terlihat jelas adanya sesuatu
yang merujuk kepada hukum barat (BW), Pengadilan Negeri Garut merujuk kepada
undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak baik mengenai
status anak kepada orang tua, hak waris, perwalian dan lain sebagainya. Mengenai
status anak dengan orang tua kandungnya sebagaimana telah dijelaskan dalam
undang-undang nomor: 23 tahun 2002 bahwa pengangkatan anak tidak
mengakibatkan putusnya hubungan darah dengan orang tua kandungnya, jadi jelas
bahwa anak tersebut statusnya tetap anak dari orang tua yang telah melahirkannya.
Disamping itu pula tidak terlihat jelas dalam perkara nomor:
64/PDT/P/2017/PN.Grt adanya masalah wasiat wajibah sebagaimana yang tertera
dalarn perkara nomor 261/Pdt.P/2016/PA.Grt yang merujuk kepada kompilasi
hukum Islam (KHI).
Baik penetapan perkara nomor 261/Pdt.P/2016/PA.Grt di Pengadilan
Agama maupun perkara nomor: 64/PDT/P/2017/PN.Grt di Pengadilan Negeri
Garut tidak lebih pengangkatan anak dengan tujuan memelihara, mengasuh dan
memberikan pendidikan anak agar si anak tersebut dapat berkembang dengan baik
dan ha! ini sama dengan konsep hadhanah atau pemeliharaan anak. Dan berkaitan
dengan hal ini bahwa pengangkatan anak baik di Pengadilan Agama maupun
Pengadilan Negeri, semua ini sangat berhubungan dengan adanya tujuan dalam
konsep hukum Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan hukum Islam adalah
untuk kebahagiaan hidup manusia didunia dan akhirat, yaitu dengan jalan
mengambil segala yang bemtanfaat dan mencegah yang madharat. Adapun diantara
tujuan hukum Islam (maqashidus syariah) yaitu:
1. Memelihara agama (hifdzu al-din), dalam pengangkatan anak yang terpenting
dan paling utama adalah menjaga agama si anak tersebut, sebab agama adalah
merupakan pedoman hidup manusia, dan di dalam agama Islam selain dari
komponen-komponen aqidah yang merupakan pegangan hidup setiap muslim
serta akhlak yang merupakan sikap hidup seorang muslim juga terdapat syariah
yang merupakanjalan hidup seorang muslim.
2. Memelihara jiwa (hifdzu al-nafs), dalam pengangkatan anak menjaga jiwa
seorang anakjuga harus diperhatikan dan dipertimbangkan, sebab jika jiwa
seorang anak tidak dijaga kerap kali si anak akan mengalami jiwa yang mudah
sakit yang dapat menghambat pertumbuhan serta perkembangan anak tersebut.
3. Memelihara akal (hifdzu al-aqli), al-aqli ini sangat dipentingkan pula dalam
konsep hukum Islam, sebab dengan mempergunakan akal seorang anak akan
dapat berfikir tentang Allah, alam semesta dan dirinya. Dengan akal seorang
anak dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu,
memelihara akal seorang anak harus diarahkan pada hal-hal atau sesuatu yang
bemanfaat bagi kepentingan hidup anak tersebut.
4. Memelihara keturunan (hifdzu al-nisbi). di dalam pengangkatan anak
keturunan adalah merupakan hal yang tidak boleh dirubah dan secara khusus
diciptakan oleh Allah SWT untuk memelihara kemurnian darah dan
kemashlahatan keturunan, hal ini tercermin dalam hubungan darah yang
menjadi syarat untuk dapat saling mewarisi.
5. Memelihara (hifdzu al-maal), harta adalah pemberian Allah kepada manusia,
agar manusia dapat mempertahankan hidup dan melangsungkan
kehidupannya. Oleh karena itu, Islam sangat melindungi hak manusia untuk
memperoleh harta dengan cara-cara yang halal dan sah serta melindungi
kepentingan harta seseorang.
Semua tujuan hukum Islam (maqashidus-syariah) tersebut sebagaimana telah
dijelaskan diatas adalah bersifat primer artinya bahwa tujuan tersebut adalah yang
pokok dan harus dipelihara oleh setiap orang. Kemudian disamping tujuan hukum
Islam (maqashidus syariah), pengangkatan anak juga berhubimgan dengan adanya
mashlahah mursalah. Pada dasarnya pengangkatan anak tidak dikenal dalam
ajaran Islam, sebab mengangkat anak dianggap telah memutuskan nasab
seseorang. Akan tetapi, jika anak tersebut tidak diadopsi khawatir anak tersebut
tidak dapat melangsungkan hidupnya. Oleh karena itu, solusi yang tepat adalah
dengan mengangkat anak tanpa memutuskan nasab seseorang, akan tetapi yang
menjadi tujuan utama pengangkatan anak ini adalah tidak lebih hanya mengasuh,
merawat, mendidik dan membiayai atau mencukupi kebutuhan hidup dan
pendidikan anak tersebut sehingga anak tersebut dapat berkembang baik jasmani
maupun rohani semua itu demi kemaslahatan anak tersebut.