bab ii tinjauan umum tentang pekerja, perusahaan …

24
20 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN 2.1.Pekerja 2.1.1. Pengertian Pekerja Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut sebagai Undang-undang Ketenagakerjaan pasal 1 angka 3 menyebutkan istilah pekerja sebagai pekerja/buruh, pengertian pekerja/buruh menurut Undang-undang Ketenagakerjaan pasal 1 angka 3 adalah ‘setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain’. Berdasarkan dari pengertian pekerja menurut Undang-undang Ketenagakerjaan pasal 1 angka 3 dapat diartikan bahwa pekerja berhak untuk mendapatkan upah. Pengertian ini agak umum namun maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Penegasan imbalan dalam bentuk lain ini perlu karena upah selama ini diidentika dengan uang, padahal ada pula pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk barang. Dari pengertian pekerja di dalam Undang-undang Ketenagakerjaan jelaslah bahwa yang sudah bekerja dapat disebut pekerja/buruh. Istilah pekerja/buruh yang sekarang disandingkan muncul karena dalam undang- undang yang lahir sebelumnya yakni Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang

Upload: others

Post on 06-Nov-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

20

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN

DAN KEPAILITAN

2.1.Pekerja

2.1.1. Pengertian Pekerja

Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang

selanjutnya disebut sebagai Undang-undang Ketenagakerjaan pasal 1 angka 3

menyebutkan istilah pekerja sebagai pekerja/buruh, pengertian pekerja/buruh menurut

Undang-undang Ketenagakerjaan pasal 1 angka 3 adalah ‘setiap orang yang bekerja

dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain’. Berdasarkan dari pengertian

pekerja menurut Undang-undang Ketenagakerjaan pasal 1 angka 3 dapat diartikan

bahwa pekerja berhak untuk mendapatkan upah. Pengertian ini agak umum namun

maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa

saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum dengan menerima upah atau

imbalan dalam bentuk lain. Penegasan imbalan dalam bentuk lain ini perlu karena

upah selama ini diidentika dengan uang, padahal ada pula pekerja yang menerima

imbalan dalam bentuk barang. Dari pengertian pekerja di dalam Undang-undang

Ketenagakerjaan jelaslah bahwa yang sudah bekerja dapat disebut pekerja/buruh.

Istilah pekerja/buruh yang sekarang disandingkan muncul karena dalam undang-

undang yang lahir sebelumnya yakni Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang

Page 2: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

21

serikat Buruh/Pekerja menyandingkan kedua istilah tersebut. Munculnya istilah

pekerja/buruh yang disejajarkan disebabkan selama ini pemerintah mengkehendaki

agar istilah buruh diganti dengan istilah pekerja karena istilah buruh selain

berkonotasi pekerja kasar juga menggambarkan kelompok yang selalu berlawanan

dengan pihak majikan. Karena itulah pada Orde Baru istilah Serikat Buruh diganti

dengan Serikat Pekerja.

Serikat pekerja pada saat itu sangat sentralistik sehingga mengekang

kebebasan buruh untuk membentuk organisasi atau serikat serta tidak respon terhadap

aspirasi buruh, itulah sebabnya ketika RUU serikat buruh atau pekerja dibahas terjadi

perdebatan yang panjang mengenai istilah ini, dari pemerintah mengkehendaki istilah

pekerja, sementara dari kalangan buruh atau pekerja mengkehendaki istilah buruh

karena trauma pada masa lalu dengan istilah pekerja yang melekat pada istilah serikat

pekerja. Pada saat itu serikat pekerja dikendalikan untuk kepentingan pemerintah,

akhirnya ditempuh jalan tengah dengan mensejajarkan kedua istilah tersebut, akan

tetapi di dalam praktik di lapangan tidak dapat mensejajarkan begitu saja istilah

pekerja dan buruh .

Dalam praktik di lapangan tidak semua tenaga kerja dapat dikatakan sebagai

buruh karena buruh sering digolongkan sebagai pekerja kasar, salah satu contohnya

adalah seperti pekerja bangunan, pekerja yang bekerja di pabrik, tukang sapu keliling,

sedangkan orang-orang yang bekerja di kantoran seperti bidang administrasi tidak

ingin dikatakan sebegai buruh karena dianggap sebagai orang yang bekerja kasar dan

Page 3: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

22

tidak berwibawa. Pekerja secara umum dapat diartikan sebagai orang yang bekerja

pada satu perusahaan atau instansi yang mendapat tugas atau pekerjaan serta upah

sebagai imbalannya. Untuk lebih meyankinkan dengan istilah pekerja yang digunakan

secara umum maka perlu untuk memperhatikan konstitusi Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Fundamental Negara, dalam

penjelasan pasal 2 menyatakan ‘yang desebut “golongan-golongan” ialah badan-

badan seperti korporasi, serika pekerja, dan lain-lain badan kolektif’’. Jelas disini

UUD NRI 1945 menggunakan istilah pekerja dan bukan buruh, oleh karena itu,

disepakati penggunaan kata pekerja sebagai pengganti kata buruh, karena mempunyai

dasar hukum yang kuat’.14

Pengertian pekerja dalam hal untuk kepentingan santunan jaminan kecelakaan

kerja dalam perlindungan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) berdasarkan

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja,

pengertian pekerja diperluas (penafsiran ekstensif) yakni termasuk :

1. Magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah

maupun tidak;

2. Mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah

perusahaan;

3. Narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.

14 Zaeni Asyhadie, 2013, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, h. 39.

Page 4: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

23

2.1.2. Hak Pekerja Dalam Perusahaan

Hak pekerja penting untuk dipenuhi oleh perusahaan dalam berlangsungnya

hubungan kerja, karena hak merupakan suatu hal yang mutlak harus didapatkan oleh

pekerja, hak-hak pekerja sudah tersebar diberbagai peraturan perudang-undangan,

hak juga harus diimbangi dengan kewajiban yang dijalankan oleh pekerja, hak-hak

pekerja yaitu sebagai berikut:

1. Dalam pasal 86 ayat 1 Undang-undang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa setiap

pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :

1) Keselamatan dan kesehatan kerja. Untuk mewujudkan perlindungan terhadap

keselamatan kerja, maka pemerintah telah melakukan upaya pembinaan

norma dibidang ketenagakerjaan, atas dasar itu maka dikeluarkanlah Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Walaupun namanya

Undang-undang keselamata kerja, namun cakupan materinya termasuk juga

masalah kesehatan kerja, karena keduanya tidak dapat dipisahkan, jika

keselamatan kerja sudah terlaksana dengan baik maka kesehatan kerja pun

akan tercapai.

2) Moral dan kesusilaan

3) Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai

agama.

2. Pekerja berhak untuk mendapatkan upah, Undang-undang ketenagakerjaan pasal

88 ayat (1) menyatakan ‘setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan

Page 5: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

24

yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’. Berdasarkan

kebijakan tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan untuk

melindungi pekerja/buruh. Kebijakannya adalah adanya upah minimum, upah

kerja lembur, upah tidak masuk kerja karena berhalangan, upah tidak masuk kerja

karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, upah karena menjalankan

hak waktu istirahat kerjanya, bentuk dan cara pembayaran upah, denda dan

potongan upah, hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah, struktur dan

skala pengupahan yang proporsional, upah untuk pembayaran pesangon, dan upah

perhitungan pajak penghasilan

3. Dalam hal perusahaan melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), pekerja

berhak mendapatkan haknya menurut pasal 156 Undang-undang Ketenegakerjaan

yaitu uang pesangon dalam bentuk uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai

akibat PHK yang jumlahnya disesuaikan dengan masa kerja pekerja yang

bersangkutan, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak.

4. Pekerja juga memiliki hak untuk mogok kerja, ‘secara yuridis mogok kerja diakui

sebagai hak dasar pekerja dan serikat pekerja yang dilakukan secara sah, tertib,

dan damai, sebagai akibat gagalnya perundingan’.15

15 Lalu Husni, op cit. h. 163.

Page 6: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

25

2.2. Perusahaan

2.2.1. Pengertian Perusahaan

Pengertian perusahaan menurut Molengraaff adalah ‘keseluruhan perbuatan

yang dilakukan secara terus menerus bertindak ke luar untuk memperoleh

penghasilan dengan memperniagakan atau menyerahkan barang-barang atau

mengadakan perjanjian-perjanjian perniagaan’.16 Perusahaan menurut Abdul R Salim

adalah ‘bidang usaha yang menjalankan kegiatan dibidang perekonomian yaitu

bidang keuangan, industri, dan perdagangan, yang dilakukan secara terus menerus

atau teratur (regelmatig), terang-terangan (openlijk), dan dengan tujuan memperoleh

keuntungan dan atau laba’.17 Selain dari pendapat sarjana, pengertian perusahaan

dapat ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, menurut Undang-

undang Nomor 3 tahun 1982 tantang Wajib Daftar Perusahaan dijelaskan bahwa

Perusahaan adalah ‘setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang

bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan

dalam wilayah Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau

laba’. Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal

1 angka 6 pengertian perusahaan adalah:

1. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang

perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta

16 Janus Sidabalok, 2012, Hukum Perusahaan Analisis Terhadap Pengaturan Peran

Perusahaan dalam Pembangunan Ekonomi Nasional di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, h.3. 17 Abdul R Salim, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan (Teori dan Contoh Kasus),

Kencana Renada Media Group, Jakarta, h. 100.

Page 7: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

26

maupun milik Negara yang mempekerjakan tenaga kerja atau buruh dengan

membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;

2. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan

mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam

bentuk lain.

Menurut Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial pasal 1 angka 7, perusahaan adalah:

1. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang

perseorangan,milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta

maupun milik Negara yang mempekerjakan pekerja dengan membayar upah

atau imbalan dalam bentuk lain;

2. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan

mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam

bentuk lain.

Di Indonesia peraturan tentang perusahaan tersebar diberbagai perundang-

undangan, baik yang secara langsung mengenai perusahan maupun yang secara tidak

langsung. Pengaturan mengenai perusahaan telah ditemukan sejak masa kolonial

yaitu didalam KUHPerdata dan KUHDagang yang mulai berlaku sejak tahun 1847,

yang mengatur perusahaan secara singkat, peraturan perusahaan seperti itulah yang

diwarisi sampai saat ini. Sementara itu setelah kemerdekaan sudah cukup banyak

Page 8: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

27

peraturan perundang-undangan lain yang dibuat mengenai perusahaan. Posisi

perusahaan disatu sisi sebagai sumber mata pencaharian (penghasilan) bagi

pengusaha, dan disisi lain perusahana adalah bagian dari pembangunan ekonomi

nasional dalam rangka mewujudkan tujuan negara yaitu meningkatkan kesejahtraan

masyarakat. Bagi pelaku usaha, perusahaan dijadikan sebagai sarana untuk

memperoleh keuntungan sebesar-besarnya melalui kegiatan menghasilkan dan atau

memperdagangkan barang atau jasa.

Perusahaan yang dipandang sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi

nasional berperan dalam upaya pemerintah meningkatkan kesejahtraan rakyat. Karena

itu perusahaan mengemban misi pembangunan yaitu memajukan kesejahtraan

masyarakat, melalui pelaksanaan kegiatan usaha yang senantiasa bermanfaat bagi

masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh Sudjono Dirdjosiswoeo, ‘bahwa

sekalipun menjalankan perusahaan adalah urusan masing-masing perusahaan, namun

mau tidak mau harus tunduk terhadap undang-undang yang berlaku’.18 Di Indonesia

tidak ada satu undang-undang yang secara komperhensif mengatur seluruh jenis

perusahaan, karena banyak dimensi hukum dari perusahaan itu.19

Pengaturan perusahaan dapat dirinci dalam 2 (dua) kelompok pengaturan

sebagai berikut :

18 Ibid, h. 23. 19 Ibid, h. 18.

Page 9: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

28

1. Kelompok pengaturan yang berhubungan dengan eksistensi perusahaan

sebagai sebuah entitas hukum, yaitu menyangkut keberadaan perusahaan

sebagai sebuah organisasi bisnis; dan

2. Kelompok pengaturan perusahaan sehubungan dengan kedudukannya sebagai

pelaku ekonomi, yang menyangkut bagaimana perusahaan itu dikelola dan

dijalankan sehingga sesuai dengan pencapaian tujuan pembangunan

nasional.20

Sehubungan dengan eksistensi perusahaan, sejumlah peraturan yang mengatur

perusahaan di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur perusahaan berbentuk

persekutuan perdata ( Maatschap, partnership).

2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang mengatur perusahaan berbentuk

Persekutuan Firma (Fa), dan Persekutuan Komanditer (CV),

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Perbatas (PT),

mengatur perusahaan berbentuk PT sebagai pengganti ketentuan tentang PT

sebagaimana yang terdapat didalam KUH Dagang. Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1995 ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun

2007 tentang Perseroan Terbatas.

4. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoprasian,

mengatur tentang badan usaha berbentuk koperasi, mengganti peraturan

20 Ibid.

Page 10: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

29

Belanda tentang koperasi. Undang –Undang Nomor 12 Tahun 1967 kemudian

diganti dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian.

5. Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) yang didalamnya menetapkan ada 2 (duan) bentuk BUMN yaitu

Perusahaan Perseorangan (Persero) dan Perusahaan Umum (Perum).

6. Sementara itu mengenai Usaha Perorangan belum mendapat pengaturan dari

undang-undang. Kebiasaanlah yang menjadi dasarnya.

2.2.2. Kewajiban Perusahaan dalam Pembayaran Upah pekerja

Sebagai perusahan yang memberikan lapangan pekerjaan bagi pekerja baik laki-

laki maupun perempun wajib melakukan perjanjian kerja terlebih dahulu, karena hal

tersebut merupakan dasar untuk timbulnya hak dan kewajiban di dalam berjalananya

perusahaan. Perjanjian kerja selalu memuat hal penting yang diinginkan oleh pekerja

salah satunya yaitu pemberian upah bagi pekerja, upah merupaka hak pekerja yang

berbentuk uang atau barang yang wajib diserahkan oleh perusahaan kepada pekerja

sesuai dengan perjanjian kerja yang dilakukan oleh pekerja dengan perusahaan.

Kewajiban perusahaan dalam pembayaran upah pekerja tercantum di dalam

berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu:

1. Tercantum dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 pasal 28D ayat (2) menyatakan ‘setiap orang berhak untuk bekerja

Page 11: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

30

serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan

kerja’.

2. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan

menyatakan kewajiban perusahaan dalam pemberian upah pekerja yaitu:

a. Pasal 11 menyatakan ‘setiap pekerja/buruh berhak memperoleh upah yang

sama untuk pekerjaan yang sama nilainya’.

b. Pasal 18 ayat (1) menyatakan ‘pengusaha wajib membayar upah pada waktu

yang telah diperjanjikan anatara pengusaha dengan Pekerja/buruh’.

c. Pasal 29 menyatakan ‘Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh

yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena

melaksanakan tugas serikat pekerja/ serikat buruh sebagaimana dimaksud

dalam pasal 24 ayat (4) c, sebesar upah yang biasa diterima oleh

pekerja/buruh’.

d. Pasal 30 menyatakan ‘pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh

yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena

melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 24 ayat (4) huruf d, sebesar upah yang biasa diterima oleh

pekerja/buruh’.

e. Pasal 31 menyatakan ‘pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh yang

tidak masuk kerja dan/atau tidak melaksanakan pekerjaan karena menjalankan

hak waktu istirahat kerjanya sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (5),

sebesar upah yang biasa diterima oleh pekerja/buruh’.

Page 12: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

31

Kewajiban perusahaan dalam pemberian upah kerja secara umum telah jelas

tercantum di dalam peraturan perundang-undangan, yang artinya bahwa hak pekerja

dalam mendapatkan upah kerja telah dijamin berdasarkan dasar hukum yang kuat dan

berhak mempertahankan hal tersebut. Sama halnya ketika perusahaan tempat bekerja

mengalami permasalahan hingga berujung terjadinya kepailitan suatu perusahaan

maka hak pekerja untuk mendapatkan haknya yaitu berupa upah tetap dijamin oleh

peraturan perundang-undangan,

Jadi suatu perusahaan dalam kondisi baik maupun dalam kondisi buruk, hak

pekerja berupa upah yang sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati oleh

kedua belah pihak wajib untuk dibayarkan oleh perusahaan kepada pekerja, kecuali

dalam hal pekerja tidak melakukan pekerjaannya dengan baik tanpa alasan apapun,

karena berlaku asas No Work No Pay.

2.3.Kepailitan

2.3.1. Pengertian Kepailitan

Membahas mengenai kepailitan maka akan timbul pertanyaan, apakah

sebenarnya yang dimaksud dengan kepailitan itu? Arti yang orisinil dari bangkrut

atau pailit adalah ‘seorang pedagang yang bersembunyi atau melakukan tindakan

tertentu yang cendrung untuk mengelabuhi pihak kreditornya. 21 Dalam

Ensklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan bahwa yang disebut

21 Munir Fuady, 2005, Hukum Kepailitan dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, h.8.

Page 13: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

32

dengan pailit atau bangkrut, antara lain adalah ‘seseorang yang oleh suatu

pengadilan dinyarakan bankrupt, dan yang aktivanya atau warisannya telah

diperuntukkan untuk membayar hutang-hutangnya’. 22 Menurut Retnowulan

Sutantio kepailitan adalah “eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan

hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atau semua

harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit,

maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua

kreditor, yang dilakukan dengan pengawasan pihak berwajib”. 23 Berdasarkan

pengertian kepailitan menurut Retnowulan Sutantio dapat disimpulkan bahwa

kepailitan dimaksudkan untuk mencegah penyitaan dan eksekusi yang dimintakan

oleh kreditor secara perorangan, dan kepailitan hanya mengenai harta benda

debitor, bukan pribadi, yang artinya ia tetap cakap untuk melakukan perbuatan

hukum di luar hukum kekayaan.

Selain dari pengertian kepailitan menurut pendapat para sarjana, dalam pasal 1

angka 1 Undang-undang Undang-Undang Kepailitan dan PKPU memberikan

pengertian kepailitan adalah ‘sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang

pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dan dibawah pengawasan

Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini’. Pada prinsipnya,

22 Ibid. 23 Retnowulan Sutantio, 1996, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan, Seri Varia

Yustisia, h.85.

Page 14: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

33

pengaturan masalah kepailitan merupakan suatu perwujudan dari pasal 1131 dan

pasal 1132 KUHPerdata.

Pasal 1131 menyatakan ‘segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak

maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada

dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan’.

Pasal 1132 menyatakan “kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama

bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-

benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya

piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-

alasan yang sah untuk didahulukan”. Asas yang terkandung dalam kedua pasal

tersebut adalah :

1. “Setiap kreditor berhak atas setiap bagian kekayaan debitor untuk

pembayaran piutangnya. Jadi apabila debitor tidak membayar utangnya

dengan sukarela atau tidak membayar walaupun telah ada putusan

pengadilan yang menghukumnya untuk melunasi utangnya, atau karena

tidak mampu untuk membayar seluruh utangnya, maka semua harta

bendanya disita untuk dijual dan hasil penjualan itu dibagi-bagikan antara

semua kredito menurut perimbangan besar kecilnya piutang masing-

masing kreditor, kecuali apabila diantara para kreditor ada alasan-alasan

yang sah untuk didahulukan.

Page 15: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

34

2. Semua kreditor memiliki hak yang sama tanpa memperhatikan siapa yang

lebih dahulu menjadi kreditor bagi debitor yang bersangkutan”.24

Setelah memahami pengertian kepailitan, maka sayarat untuk mengajukan

permohonan kepailitan penting untuk dipahami. Untuk dapat mengajukan

permohonan kepailitan tercantum dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor

37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

menyatakan ‘debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak

membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,

dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik yang permohonannya sendiri

maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya’. Dapat ditarik kesimpulan

bahwa suatu perusahaan dapat dinyarakan pailit apabila terdapat utang minimal

satu utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, adanya debitor, adanya

kreditor, kreditor lebih dari satu.

2.3.2. Harta Pailit

Pengertian terhadap harta pailit tidak terdapat penjeleskan secara khusus apa

yang dimaksud dengan harta pailit, akan tetapi terdapat peraturan yang menyinggung

mengenai harta pailit, dalam pasal 16 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU

menyatakan ‘kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau

pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun

24 Kartono, 1985, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, PT Pradnyana Paramita, Jakarta,,

h.9.

Page 16: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

35

terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali’. Berdasarkan

pasal 16 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU tersebut dapat dianalisis

mengenai apa yang dimaksud dengan Harta Pailit, bahwa terjadinya pengurusan dan

pemberesan oleh kurator merupakan tanda bahwa debitor sudah diputus pailit

dan/atau PKPU, artinya adanya harta pailit disebabkan oleh putusan pailit dan/atau

PKPU terhadap debitor pailit. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa harta pailit

merupakan harta milik debitor pailit yang timbul setelah adanya putusan pailit oleh

pengadilan niaga.

Menyinggung mengenai harta pailit, menurut pasal 21 Undang-undang

Kepailitan dan PKPU menyatakan ‘kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada

saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama

kepailitan’. Ketentuan pasal 21 Undang-undang Kepailitan dan PKPU tersebut yang

menyinggung mengani harta pailit sejalan dengan ketentuan pasal 1131 KUHPerdata

yang menyatakan ‘seluruh harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun yang

tidak bergerak, dikemudian hari menjadi tanggungan (agunan) bagi seluruh utang

debitor’. ‘Harta kekayaan debitor bukan saja terbatas pada harta kekayaan berupa

barang-barang tetap seperti tanah, tetapi juga barang-barang bergerak seperti

perhiasan, mobil, mesin-mesin dan bangunan’.25 Termasuk ‘bila di dalamnya barang-

barang yang berada di dalam penguasaan orang lain, yang terhadap barang-barang itu

25 Adrian Sutedi, 2009, Hukum Kepailitan, Ghalia Indonesia, Bogor, h.50.

Page 17: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

36

dibitor memiliki hak, seperti barang-barang debitor yang disewa oleh pihak lain atau

yang dikuasai oleh orang lain secara melawan hukum atau tanpa hak’.26

Mengenai ketentuan pasal 21 Undang-undang Kepailitan dan PKPU tidak

berlaku terhadap beberapa harta debitor pailit, yang disebutkan dalam pasal 22

Undang-undang Kepailitan dan PKPU, yaitu

a. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitor

sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang

dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang

dipergunakan oleh debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30

(tiga puluh) hari bagi debitor dan keluarganya yang terdapat di tempat itu;

b. Segala sesuatu yang diperoleh debitor dan pekerjaannya sendiri sebagai

penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu

atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas; atau

c. Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban

member nafkah menurut undang-undang.

Pailitnya debitor tidak terlepas dari harta bersama suami istri, bagi yang tunduk

terhadap KUHPerdata pasal 119 ayat (1) mengenal asas bahwa mulai saat perkawinan

dilangsungkan, berlaku percampuran atau persatuan harta kekayaan antara suami dan

istri, sepanjang tidak diperjanjikan lain dalam suatu perjanjian antara suami dan istri.

26 Ibid.

Page 18: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

37

Menurut pasal 62 Undang-undang Kepailitan dan PKPU mengenai harta kekayaan

suami atau istri ketika terjadinya kepailitan menyatakan:

(1) Dalam hal suami atau istri dinyatakan pailit maka istri atau suaminya berhak

mengambil kembali semua benda bergerak dan tidak bergerak yang

merupakan harta bawaan dari istri atau suami dan harta yang diperoleh

masing-masing sebagai hadiah atau warisan.

(2) Jika benda milik istri atau suami telah dijual oleh suami atau istri dan

harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan belum tercampur dalam

harta pailit, maka istri atau suami berhak mengambil kembali uang hasil

penjualan tersebut.

(3) Untuk tagihan yang bersifat pribadi terhadap istri atau suami maka kreditor

terhadap tagihan harta pailit adalah suami atau istri.

Dalam hal debitor pailit telah melaksanakan perkawinan dengan persatuan harta

menurut ketentuan pasal 241, pasal 62, pasal 63 Undang-undang Kepailitan dan

PKPU, maka menurut pasal 64 ayat (1) ‘kepailitan suami atau istri yang kawin dalam

suatu persatuan harta, diperlakukan sebagai kepailitan persatuan harta tersebut’ dalam

artian bagi perbuatan hukum yang mengakibatkan terikatnya harta persatuan tersebut,

tidak perlu diindahkan siapakah diantara suami atau istri itu yang melakukan

perbuatan hukum itu. Dengan kata lain, baik utang itu dibuat oleh suami ataupun oleh

istri, maka utang yang menjadi beban harta persatuan dapat dinyatakan pailit bila

salah satu diantara mereka dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga.

Page 19: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

38

2.3.3. Pihak-pihak dalam proses kepailitan

Pihak-pihak yang terlibat dalam proses kepailitan yaitu terdiri dari pihak

pemohon pailit, debitor pailit, hakim niaga, hakim pengawas, kurator, panitia

kreditor , dan pengurus. Dari semua pihak-pihak dalam proses kepailitan tersebut

akan dibahas satu persatu guna memahami lebih dalam dan mudah dimengerti,

adapun pembahasannya sebagai berikut :

1. Pihak Pemohon Pailit

Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak pemohon

pailit, yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke

pengadilan, yang dalam perkara biasa disebut sebagai pihak penggugat. Menurut

pasal 2 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang maka yang dapat menjadi pemohon dalam suatu

perkara pailit adalah :

1. Pihak debitor sendiri

2. Salah satu atau lebih dari pihak kreditor

3. Pihak kejaksaan jika menyangkut kepentingan umum

4. Pihak Bank Indonesia jika debitornya adalah suatu bank

5. Pihak Badan Pengawas Pasar Modal jika debitornya adalah suatu

perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, serta

lembaga penyimpanan dan penyelesaian

Page 20: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

39

6. Menteri Keuangan jika debitor perusahaan asuransi, reasuransi, dana

pensiun, atau BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik

2. Pihak debitor pailit

Pihak debitor pailit adalah pihak yang memohon atau dimohonkan ke pengadilan

yang berwenang. Dapat dikatakan sebagai debitor pailit adalah debitor yang

mempunyai 2 atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya 1 utang yang telah

jatuh waktu dan dapat ditagih. Pihak debitor yang dapat dinyatakan pailit adalah :

1. Kepailita terhadap debitor yang menikah

Menurut pasal 3 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, permohonan

pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor yang menikah, harus atas

persetujuan suami dan isterinya, apabila diantara mereka terdapat

pencampuran harta.

2. Kepailitan terhadap Badan Hukum

Selain manusia, maka badan hukum sebagai subyek hukum yang

mempunyai kekayaan terpisah dari kekayaan peseroan juga dapat

dinyatakan pailit. Dengan pernyataan pailit, organ badan hukum tersebut

akan kehilangan hak untuk mengurus kekayaan badan hukum.

3. Kepailitan terhadap penanggung (Borg)

Menurut ketentuan pasal 1820 KUHPerdata, penanggung adalah pihak

ketiga yang mengikatkan diri pada kreditor untuk memenuhi perikatannya

debitor manakala debitor sendiri tidak memenuhinya lagi. Perjanjian

Page 21: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

40

penanggungan ini bersifat accessoir, artinya perjanjian penanggungan baru

ada karena ada perikatan pokoknya yaitu perjanjian utang piutang.

Penganggung baru berkewajiban memenuhi perikatan debitor apababila

debitor tidak dapat memenuhinya kecuali penanggung telah melepaskan

hak istimewa yang dipunyainya seperti diatur dalam pasal 1832

KUHPerdata.

Apabila penanggung telah melepaskan hak istimewanya untuk

menuntut suapaya benda-benda siberutang lebih dahulu disita dan dijual,

dalam hal ini apabila dibitor tidak memenuhi kewajibannya pada kreditor,

kreditor dapat langsung menuntut pada penanggung. Disini yang terjadi

adalah bahwa penanggung telah mengikatkan dirinya bersama-sama

dengan si berutang utama secara tanggung menanggung. Jadi kedudukan

penanggung dan debitor adalah sama-sama sebagai debitor bagi

kreditornya. Kreditor dapat menagih pada siapa saja baik debitor maupun

penanggungnya.

4. Kepailitan terhadap harta warisan

Menurut pasal 197 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, harta

kekayaan orang yang meninggal dunia harus dinyatakan dalam keadaan

pailit, bila seseorang atau beberapa kreditor mengajukan permohonan dan

menguraikan secara singkat pernyataan bahwa orang yang meninggal

tersebut berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya,

ataupun pada saat meninggal, harta peninggalannya tidak cukup untuk

Page 22: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

41

membayar utang-utangnya. Permohonan kepailitan terhadap harta warisan

ini dapat diajukan hanya oleh satu orang kreditor, melalui pengadilan niaga

dalam wilayah hukum tempat meninggalnya debitor yang bersangkutan.27

3. Hakim Niaga

Perkara kepailitan diperiksa oleh hakim majelis (tidak boleh oleh hakim

tunggal), baik untuk tingakt pertama maupun tingkat kasasi.

4. Hakim Pengawas

Untuk mengawasi pelaksanaan permberesan harta pailit, maka dalam

keputusan kepailitan, pengadilan niaga harus mengangkat seorang hakim

pengawas di samping pengangkatan kurator. Dahulu untuk hakim pengawas

disebut dengan “Hakim Komisaris”. Dalam Undang-undang Nomor 37 tahun

2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

ditegaskan bahwa hakim pengawas bertugas dan berwenang mengawasi

pengurusan dan pemberesan harta pailit. Istilah mengawasi di sini sebenarnya

kurang tepat, karena pengawasan adalah bersifat pasif hanya mengawasi satu

kegiatan saja, dalam hal ini kegiatan pengurusan dan pemberesan harta pailit.

Keberadaan hakim pengawas sangat penting serta sangan diperlukan dalam

proses pengurusan dan pemberesa harta pailit, hal ini mengingat tugas dan

tanggung jawab kurator yang sedemikian berat terlebih jika debitor pailit itu

27 Bernadetter Waluyo, 1999, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang, Mandar Maju, Bandung, h.29.

Page 23: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

42

suatu perseroan terbatas. Disamping itu pula hakim pengawas dapat berfungsi

sebagai pengawas tugas-tugas kurator itu sendiri. Karena itu kurator dan

hakim pengawas merupakan dua variabel yang penting dalam pelaksanaan

pengurusan dan pemberesan harta pailit.

5. Kurator

Kurator merupakan salah satu pihak yang memegang peranan dalam

suatu proses perkara kepailitan, dan karena peranannya yang besar dan

tugasnya yang berat tidak sembarangan orang dapat menjadi pihak kurator.

Dalam setiap putusan pailit oleh pengadilan, maka didalamnya terdapat

pengangkatan kurator yang ditunjuk untuk melakukan pengurusan dan

pengalihan harta pailit di bawah pengawasan hakim pengawas. Segera setelah

debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka sipailit demi hukum tidak

berwenang melakukan pengurusan dan atau pengalihan terhadap harta

kekayaannya yang sudah menjadi harta pailit. Kuratorlah yang melakukan

segala tindakan hukum baik pengurusan maupun pengalihan terhadap harta

pilit, di bawah pengawasan hakim pengawas. Dari proposisi ini maka tampak

bahwa kurator sangat menentukan terselesaikannya pemberesan harta pailit.

Karena itu, Undang-undang sangat ketat dan rinci sekali memberikan

kewenanga apa yang dimiliki oleh kurator serta tugas apa saja yang harus

dilakukan oleh kurator.

Page 24: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN …

43

6. Panitia Kreditor

Salah satu pihak dalam proses kepailitan adalah panitia kreditor. Pada

prinsipnya, suatu panitia kreditor adalah pihak yang mewakili pihak kreditor,

sehingga panitia kreditor tentu akan memperjuangkan segala kepentingan

hukum dari pihak kreditor. Ada dua macam panitia kreditor yang ditentukan

dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, yaitu :

1. Panitia kreditor sementara (yang ditunjuk dalam putusan pernyataan

pailit); dan

2. Panitia kreditor tetap, yakni yang dibentuk oleh hakim pengawas

apabila dalam putusan pailit tidak diangkat panitia kreditor sementara.

7. Pengurus

Pengurus hanya dikenal dalam proses penundaan pembayaran, tetapi tidak

dikenal dalam proses kepailitan. Yang dapat menjadi pengurus adalah :

1. Perorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus

yang dibutuhkan dalam rangka mengurus harta debitor pailit dan

2. Telah terdaftara dalam departemen yang berwenang.