bab ii tinjauan umum tentang good corporate governance … ii.pdf · 2.1.1 pengertian dan konsep...
TRANSCRIPT
34
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG GOOD CORPORATE GOVERNANCE
DAN S ISTEM INFORMASI HUKUM PERUSAHAAN
2.1 Konsep dan Pengaturan Good Corporate Governance Perbankan
2.1.1 Pengertian dan Konsep Good Corporate Governance
GCG tak memiliki definisi tunggal. Komite Cadburry, misalnya, pada tahun
1992 melalui Cadburry Report mengeluarkan definisi tersendiri tentang GCG.
Menurut Komite Cadburry, GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta
kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para
shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini
dimaksudkan pengaturan kewenangan Direktur, manajer, pemegang saham, dan
pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan
tertentu.
Sejumlah negara juga mempunyai definisi tersendiri tentang GCG.
Beberapa negara mendefinisikannya dengan pengertian yang agak mirip walaupun
ada sedikit perbedaan istilah. Kelompok negara maju (OECD), misalnya
mendefinisikan GCG sebagai cara-cara manajemen perusahaan bertanggung jawab
pada shareholder-nya. Para pengambil keputusan di perusahaan haruslah dapat
dipertanggungjawabkan, dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah
bagi shareholders lainnya.1 Karena itu fokus utama di sini terkait dengan proses
1 Iman Sjahputra tunggal dan Amin Widjaja Tunggal, 2002, Membangun Good Corporate
Governance, Harvarindo, Jakarta, h. 2.
35
pengambilan keputusan dari perusahaan yang mengandung nilai-nilai
transparency, responsibility, accountability, dan tentu saja fairness.
Sementara itu, ADB (Asian Development Bank) menjelaskan bahwa GCG
mengandung empat nilai utama yaitu: Accountability, Transparency, Predictability
dan Participation. Pengertian lain datang dari Finance Committee on Corporate
Governance Malaysia. Menurut lembaga tersebut GCG merupakan suatu proses
serta struktur yang digunakan untuk mengarahkan sekaligus mengelola bisnis dan
urusan perusahaan ke arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas
perusahaan. Adapun tujuan akhirnya adalah menaikkan nilai saham dalam jangka
panjang tetapi tetap memperhatikan berbagai kepentingan para stakeholder lainnya.
Di Indonesia, secara harfiah, governance kerap diterjemahkan sebagai
“pengaturan.” Adapun dalam konteks GCG, governance sering juga disebut “tata
pamong”, bagi orang awam masih terdengar janggal di telinga. Istilah tersebut
berasal dari Bahasa Melayu. Namun tampaknya secara umum di kalangan pebisnis,
istilah GCG diartikan tata kelola perusahaan, meskipun masih rancu dengan
terminologi manajemen. Masih diperlukan kajian untuk mencari istilah yang tepat
dalam bahasan Indonesia yang benar.
Lannoo mendefinisikan pengertian dari GCG sebagai berikut:
Corporate governance from this broader perspective: corporate
governance can be defined as the whole system of rights, processes and
controls established internally and externally over the management of a
business entity with the objective of protecting the interests of all the
stakeholders2.
GCG didefinisikan sebagai suatu pola hubungan, sistem, dan proses yang
digunakan oleh organ perusahaan (Direksi, Dewan Komisaris, RUPS) untuk
2 Lutgart Vand Den Berghe, 1999, International Standardization of GCG, Kluwer Academic
Publishers, Netherlands, h.22.
36
memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara
berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan
kepentingan stakeholder lainnya, dengan berlandaskan peraturan
perundangan dan norma yang berlaku.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa GCG merupakan:
1. Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan
komisaris, Direksi, Pemegang Saham dan Para Stakeholder lainnya.
1. Suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian
perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan
yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.
2. Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan,
pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya.
GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien,
transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan GCG
perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan
perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat
sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. Prinsip dasar yang harus
dilaksanakan oleh masing-masing pilar adalah:
1. Negara dan perangkatnya menciptakan peraturan perundang-undangan
yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan,
melaksanakan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum secara
konsisten (consistent law enforcement).
2. Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan GCG sebagai pedoman dasar
pelaksanaan usaha.
37
3. Masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak yang
terkena dampak dari keberadaan perusahaan, menunjukkan kepedulian dan
melakukan kontrol sosial (social control) secara obyektif dan bertanggung
jawab.
GCG (Tata Kelola Perusahaan) adalah suatu subjek yang memiliki banyak
aspek. Salah satu topik utama dalam tata kelola perusahaan adalah menyangkut
masalah akuntabilitas dan tanggung jawab/ mandat, khususnya implementasi
pedoman dan mekanisme untuk memastikan perilaku yang baik dan melindungi
kepentingan pemegang saham. Fokus utama lain adalah efisiensi ekonomi yang
menyatakan bahwa sistem tata kelola perusahaan harus ditujukan untuk
mengoptimalisasi hasil ekonomi, dengan penekanan kuat pada kesejahteraan para
pemegang saham. Ada pula sisi lain yang merupakan subjek dari tata kelola
perusahaan, seperti sudut pandang pemangku kepentingan, yang menunjuk
perhatian dan akuntabilitas lebih terhadap pihak-pihak lain selain pemegang saham,
misalnya karyawan atau lingkungan.
Sampai saat ini para ahli tetap menghadapi kesulitan dalam mendefinisikan
GCG yang dapat mengakomodasikan berbagai kepentingan. Tidak terbentuknya
definisi yang akomodatif bagi semua pihak yang berkepentingan dengan GCG
disebabkan karena cakupan GCG yang lintas sektoral. Definisi CGC menurut Bank
Dunia adalah aturan, standar dan organisasi di bidang ekonomi yang mengatur
perilaku pemilik perusahaan, direktur dan manajer serta perincian dan penjabaran
tugas dan wewenang serta pertanggungjawabannya kepada investor (pemegang
saham dan kreditur). Tujuan utama dari GCG adalah untuk menciptakan sistem
38
pengendaliaan dan keseimbangan (check and balances) untuk mencegah
penyalahgunaan dari sumber daya perusahaan dan tetap mendorong terjadinya
pertumbuhan perusahaan.
Inti dari kebijakan tata kelola perusahaan adalah agar pihak-pihak yang
berperan dalam menjalankan perusahaan memahami dan menjalankan fungsi dan
peran sesuai wewenang dan tanggung jawab. Pihak yang berperan meliputi
pemegang saham, dewan komisaris, komite, direksi, pimpinan unit dan karyawan.
Konsep GCG adalah konsep yang sudah saatnya diimplementasikan dalam
perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia, karena melalui konsep yang
menyangkut struktur perseroan, yang terdiri dari unsur-unsur RUPS, direksi dan
komisaris dapat terjalin hubungan dan mekanisme kerja, pembagian tugas,
kewenangan dan tanggung jawab yang harmonis, baik secara intern maupun ekstern
dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan demi kepentingan shareholders dan
stakeholders.
Praktek bisnis yang sehat adalah penyelenggaraan fungsi organisasi
berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik/GCG dalam rangka pemberian
layanan yang bermutu dan berkesinambungan. GCG adalah konsep untuk
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dengan tujuan untuk menjamin agar
tujuan rumah sakit tercapai dengan penggunaan sumberdaya se-efisien mungkin.
GCG secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan
perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua
stakeholder. Konsep GCG di Indonesia dapat diartikan sebagai konsep pengelolaan
perusahaan yang baik. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini. Pertama,
39
pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar
(akurat) dan tepat waktunya. Kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan
pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu dan trasnparan terhadap
semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikann dan stakeholder.
1.1.2 Sejarah GCG
Bermula dari usulan penyempurnaan peraturan pencatatan pada Bursa Efek
Jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia) yang mengatur mengenai peraturan bagi
emiten yang tercatat di BEJ yang mewajibkan untuk mengangkat komisaris
independent dan membentuk komite audit pada tahun 1998, CG mulai di kenalkan
pada seluruh perusahaan publik di Indonesia. Lembaga keuangan dan perbankan
memainkan peran yang menentukan dalam kebijakan pengembangan
perekonomian bangsa. Oleh karena itu jika dilihat dalam praktik perekonomian
suatu negara, lembaga keuangan senantiasa berperan aktif. Tumbuhnya
perkembangan lembaga keuangan secara baik dan sehat akan mampu mendorong
terhadap perkembangan perekonomian bangsa. Sebaliknya kalau lembaga
keuangan suatu bangsa mengalami krisis, dapat diartikan bahwa perekonomian
suatu bangsa tersebut sedang mengalami keterpurukan. 3
Setelah itu pemerintah Indonesia menandatangani Nota Kesepakatan (Letter
of Intent) dengan International Monetary Fund (IMF) yang mendorong terciptanya
iklim yang lebih kondusif bagi penerapan CG. Pemerintah Indonesia mendirikan
satu lembaga khusus yang bernama Komite Nasional mengenai Kebijakan
3 Budi Agus Riswandi, 2005, Aspek Hukum Internet Banking, Rajawali Pers, Jakarta, h. 1.
40
Corporate Governance (KNKCG) melalui Keputusan Menteri Negara Koordinator
Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri Nomor: KEP-31/M.EKUIN/06/2000.
Tugas pokok KNKCG merumuskan dan menyusun rekomendasi kebijakan nasional
mengenai GCG, serta memprakarsai dan memantau perbaikan di bidang CG di
Indonesia.
Melalui KNKCG muncul pertama kali pedoman Umum GCG di tahun
2001, pedoman CG bidang Perbankan tahun 2004 dan Pedoman Komisaris
Independen dan Pedoman Pembentukan Komite Audit yang Efektif. Pedoman ini
tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat melainkan rujukan bagi dunia usaha
untuk dapat menerapkan GCG serta dapat digunakan sebagai sebuah acuan bagi
sebuah perusahaan untuk melaksanakan GCG.4
Pada tahun 2004 Pemerintah Indonesia memperluas tugas KNKCG melalui
surat keputusan Menteri Koordinator Perekonomian RI No. KEP-
49/M.EKON/II/TAHUN 2004 tentang pemebentukan Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG) yang memperluas cakupan tugas sosialisasi Governance
bukan hanya di sector korporasi tapi juga di sektor pelayanan publik.
KNKG pada tahun 2006 menyempurnakan pedoman CG yang telah di
terbitkan pada tahun 2001 agar sesuai dengan perkembangan. Pada Pedoman GCG
tahun 2001 hal-hal yang dikedepankan adalah mengenai pengungkapan dan
transparansi, sedangkan hal-hal yang disempurnakan pada Pedoman Umum GCG
tahun 2006 adalah:
4 Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006, Pedoman Umum Good Corporate
Governance Indonesia, Jakarta, h.2.
41
1. Memperjelas peran tiga pilar pendukung (Negara, dunia usaha, dan
masyarakat) dalam rangka penciptaan situasi kondusif untuk melaksanakan
GCG.
2. Pedoman pokok pelaksanaan etika bisnis dan pedoman perilaku.
3. Kelengkapan Organ Perusahaan seperti komite penunjang dewan komisaris
(komite audit, komite kebijakan risiko, komite nominasi dan remunerasi,
komite kebijakan corporate governance);
4. Fungsi pengelolaan perusahaan oleh Direksi yang mencakup lima hal dalam
kerangka penerapan GCG yaitu kepengurusan, manajemen risiko,
pengendalian internal, komunikasi, dan tanggung jawab sosial;
5. Kewajiban perusahaan terhadap pemangku kepentingan lain selain
pemegang saham seperti karyawan, mitra bisnis, dan masyarakat serta
pengguna produk dan jasa.;
6. Pernyataan tentang penerapan GCG;
7. Pedoman praktis penerapan Pedoman GCG;
Secara strategis tahapan mengenai implementasi CG di Indonesia melalui
beberapa tahap:
1. Pemberdayaan dewan komisaris agar mekanisme Check and Balance
berjalan secara efektif. Dewan komisaris yang menjalankan prinsip-
prinsip CG dapat secara efektif bekerja sesuai dengan peraturan dan best
practices yang ada dalam dunia bisnis. Independensi komisaris
diperlukan dalam rangka mewujudkan fungsi check and balance sebagai
perwujudan dari asas akuntabilitas dalam perseroan. Saat ini selain
42
pedoman komisari independen dan komite audit yang diterbitkan oleh
KNKG, pihak otoritas Pasar Modal, BUMN, dan Perbankan juga telah
mewajibkan penunjukan komisaris independen.
2. Memperbanyak agen-agen perubahan melalui program sertifikasi
komisaris dan direktur. Melalui institusi pelatihan dan sertifikasi
komisaris dan direktur materi CG disampaikan sebagai sarana untuk
internalisasi prinsip CG dalam mengelola korporasi. Lembaga
Komisaris dan Direktur Indonesia (LKDI) sebagai lembaga pelatihan
dan sertifikasi kedirekturan yang di naungi oleh KNKG telah
menjalankan fungsinya sejak tahun 2001 untuk menciptakan agen-agen
perubahan didalam perusahaan yang konsisten menerapkan prinsip CG.
Selain LKDI tercatat juga IICD dan lembaga-lembaga universitas yang
turut serta dalam upaya menciptakan agen-agen perubahan.
3. Memasukkan asas-asas GCG kedalam pearturan perundangan seperti
UUPT, UUPM, Peraturan Perundangan mengenai BUMN, Peraturan
Perundangan mengenai Perbankan khususnya yang terkait dengan asas
transparansi, akuntabilitas, dan fairness.
4. Penyusunan Pedoman-Pedoman oleh Komite Nasional Kebijakan
Governance.
5. Sosialisasi dan implementasi pedoman-pedoman diantaranya berupa
kewajiban assessment di Perbankan dan BUMN.
Secara keseluruhan penegakan aturan untuk penerapan CG belum ada
sanksi yang memberikan efek jera bagi perusahaan yang tidak menerapkannya,
43
namun di sektor perbankan telah dicoba untuk dimasukkan beberapa hal yang
terkait dengan kewajiban Bank dalam menerapkan CG yang berujung pada sanksi
bagi bank-bank yang tidak mengikuti aturan tersebut.
CG muncul karena terjadi pemisahan antara kepemilikan dengan
pengendalian perusahaan, atau seringkali dikenal dengan istilah masalah keagenan.
Permasalahan keagenan dalam hubungannya antara pemilik modal dengan manajer
adalah bagaimana sulitnya pemilik dalam memastikan bahwa dana yang
ditanamkan tidak diambil alih atau diinvestasikan pada proyek yang tidak
menguntungkan sehingga tidak mendatangkan return.5 CG diperlukan untuk
mengurangi permasalahan keagenan antara pemilik dan manajer. CG terkait dengan
pengambilan keputusan yang efektif yang dibangun melalui kultur organisasi, nilai-
nilai, sistem, berbagai proses, kebijakan-kebijakan dan struktur organisasi yang
bertujuan untuk mencapai bisnis yang menguntungkan, efisien, dan efektif dalam
mengelola resiko dan bertanggung jawab dengan memperhatikan kepentingan
stakeholders.6
CG didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan prosedur yang menjamin
manajer untuk menerapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis nilai. Bassel
Committee on Banking Supervision-Federal Reserve menetapkan bahwa bank
merupakan suatu komponen kritis ekonomi. Mereka menyediakan pembiayaan
5 Macey, J.R. and M. O’Hara, 2003, The Corporate Governance of Banks,Federal Reserve
Bank of New York Economic Policy Review, Vol. 9 No.1, pp. 91-107.
6 Misardi Wilamarta, 2002, Hak Pemegang Saham Minoritas dalam Rangka Good Corporate
Governance Cetakan ke-2,Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,
h. 37.
44
perusahaan komersial, layanan keuangan dasar untuk segmen yang luas dan akses
sistem pembayaran.7 Pentingnya bank ekonomi nasional ditekankan bahwa
perbankan secara universal sebuah industri regulator dan bank memiliki akses ke
jaring pengaman pemerintah. Ini sangat penting, oleh karena itu bank harus
memiliki tata kelola perusahaan yang kuat. Melalui pengelolaan perusahaan yang
baik/ GCG, sejatinya tidak hanya diserahkan semata-mata kepada iktikad baik
Direksi dan Komisaris. Maka dari itu suatu perusahaan harus memberikan insentif
yang memadai bagi komisaris dan direksi untuk mencapai tujuan perusahaan demi
kepentingan perusahaan dan pemegang sahamnya.8
1.1.3 Prinsip-prinsip GCG
Pengelolaan perusahaan yang baik adalah suatu proses dan struktur yang
digunakan untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan
guna meningkatkan nilai perusahaan (corporate value) dalam jangka panjang
dengan memperhatikan kepentingan stakeholders berlandaskan moral, etika, dan
peraturan perundang-undangan dibagi 3 (tiga) aktivitas: menerapkan kebijakan
nasional, menyempurnakan kerangka regulasi, membangun inisiatif sektor swasta.9
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
berfungsi untuk mengatur kegiatan suatu perusahaan yang melingkupi aspek
7 Brigham, E.F. & M.C. Erhardt, 2005, Financial Management Theory and Practice,11th
Edition, South Western, Ohio, p. 190.
8 Ridwan Khairandy dan Camelia Malik, 2007, Good Corporate Governance Perkembangan
Pemikiran dan Implementasinya di Indonesia dalam Perspektif Hukum, Kreasi Total Media,
Yogyakarta, h. 1. 9 Nindyo Pramono, 2006, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, Citra Aditya Bakti, Bandung,
h. 87.
45
organisasi, bisnis, dan budaya perusahaan.10 Undang-undang Nomor 40 Tahun
2007 hadir untuk mengganti Undangundang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas karena dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang
yang baru sehingga menjadi landasan hukum pembangunan sektor ekonomi dan
kerangka hukum bagi pengaturan penerapan prinsip-prinsip pengelolaan
perusahaan yang baik (GCG) pada suatu perusahaan di Indonesia.
Adapun prinsip-prinsip GCG secara umum dikenal dengan singkatan
“TARIF” yakni meliputi:
a. Transparansi (Transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan
proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan
informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.
b. Akuntabilitas (Accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban organisasi sehingga pengelolaan perusahaan
terlaksana secara efektif.
c. Pertanggungjawaban (Responsibility), yaitu kesesuaian di dalam
pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat
d. Kemandirian (Independecy), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan
dikelola secara professional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh
atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan
10 Munir Fuady, 2002, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Citra Aditya
Bakti, Bandung, h. 39.
46
perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang
sehat.
e. Kewajaran (Fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam
memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian
dan perundang-undangan yang berlaku.
Dari kelima prinsip-prinsip GCG secara umum tersebut, berdasarkan Forum
Corporate Governance in Indonesia (FCGI) menjabarkan menjadi empat prinsip
dasar GCG yakni fairness, transparency, accountability, and responsibility.11
GCG pada dasarnya merupakan suatu sistem (input, proses, output) dan
seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang
berkepentingan (stakeholders) terutama dalam arti sempit hubungan antara
pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi demi tercapainya tujuan
perusahaan. GCG dimasukkan untuk mengatur hubungan-hubungan ini dan
mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi perusahaan
danuntuk memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki
segera. GCG dalam perbankan, yaitu menciptakan nilai tambah bagi semua pihak
yang berkepentingan (stakeholders) sebagai bentuk pelaksanaan dalam
mewujudkan perbankan yang sehat.12
GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien,
transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan GCG
11 I Nyoman Tjager, dkk, 2002, Corporate Governance-Tantangan dan Kesempatan bagi
Komunitas Bisnis Indonesia, Prenhallindo, Jakarta, h. 19.
12 Priambodo, R. dan E.Supriyatno, 2007, Penerapan Good Corporate Governance Sebagai
Landasan Kinerja Perbankan, Usahawan, Jakarta, h. 30.
47
perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu Negara dan
perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat
sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. Penerapan prinsip-prinsip GCG
tidak terlepas dari ketaatan pengelolaan usaha terhadap sistem manajemen secara
benar dan ketaatan terhadap seluruh atauran hukum yang berlaku, baik terhadap
aturan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan, kebijaksanaan
pemerintah, instrumen hukum Bank Indonesia, serta aturan hukum internal
perbankan.13
Prinsip efisiensi dan penciptaan keuntungan ekonomi dalam kerangka
fungsionalisme ini memang pertama-tama diterapkan dalam prinsip tata kelola
organisasi perusahaan. Namun, prinsip tata kelola berbasis cara pandang fungsional
juga sering diterapkan pada organisasi lain, seperti lembaga pendidikan, lembaga
sosial, dan bahkan lembaga keagamaan.
Pendekatan fungsionalis yang berorientasi pada efisiensi ini sering disebut
seba pendekatan disiplin karena guna menjaga agar efisiensi terus terjaga sehingga
keuntungan ekonomi yang tinggi dapat dicapai maka diperlukan disiplin dan
pengawasan. Penerapan prinsip GCG dalam dunia usaha saat ini merupakan suatu
tuntutan agar perusahaan-perusahaan tersebut dapat tetap eksis dalam persaingan
global. Penerapan GCG dalam suatu perusahaan sendiri mempunyai tujuan-tujuan
strategis. Tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
13 Raffles, Penerapan Good Corporate Governance Dalam Kaitannya Dengan Tata Kelola
dan Pengembangan Kelembagaan Perbankan, e-jurnal: http://online
journal.unja.ac.id/index.php/jih/article/download/67/56, Diakses, 3 maret 2015.
48
a. Untuk dapat mengembangkan dan meningkatkan nilai perusahaan.
b. Untuk dapat mengelola sumber daya dan resiko secara lebih efektif dan
efisien.
c. Untuk dapat meningkatkan disiplin dan tanggung jawab dari organ
perusahaan demi menjaga kepentingan para shareholder dan
stakeholder perusahaan.
d. Untuk meningkatkan kontribusi perusahaan (khusunya perusahaan-
perusahaan pemerintah) terhadap perekonomian nasional.
e. Meningkatkan investasi nasional; dan
f. Mensukseskan program privatisasi perusahaan-perusahaan pemerintah.
1.1.4 Prinsip-prinsip GCG Perbankan
Bank wajib melaksanakan prinsip-prinsip GCG dalam setiap kegiatan
usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi termasuk pada saat
penyusunan visi, misi, rencana strategis, pelaksanaan kebijakan dan langkah-
langkah pengawasan internal. Implementasi prinsip-prinsip umum GCG yang
sering dikenal dengan singkatan TARIF merupakan acuan perusahaan perbankan
dalam penerapan GCG tersebut. Adapun penjelasan dari prinsip tersebut yaitu:
a. Keterbukaan (transparency)14
14 Transparency (keterbukaan) bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi, baik dalam
proses pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan
mengenai perusahaan. Dalam mewujudkan transparansi ini sendiri, perusahaan harus menyediakan
informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan
49
Bank harus menggungkapkan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas,
dan dapat diperbandningkan serta mudah diakses oleh stakeholders sesuai
dengan haknya. Informasi yang harus diungkap tidak terbatas pada hal-hal
yang bertlian dengan visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan,
kondisi keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, pemegang saham
pengendali, cross shareholding, pejabat eksekutif, pengelola resiko (risk
management), sistem pengawasan dan pengendali intern, status kepatuhan,
sistem dan pelaksanaan GCG serta kejadian penting yang dapat
mempengaruhi kondisi bank. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh bank
tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan rahasia bank sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, rahasia jabatan, dan
hak-hak pribadi.
b. Akuntabilitas (accountability)15
perusahaan tersebut. Setiap perusahaan diharapkan pula dapat mempublikasikan informasi
keuangan serta informasi lainnya yang material dan berdampak signifikan pada kinerja perusahaan
secara akurat dan tepat waktu. Selain itu, para investor harus dapat mengakses informasi penting
perusahaan secara mudah pada saat diperlukan. Mas Achmad Daniri, 2014, Lead By GCG, Gagas
Bisnis, Jakarta, h. 11.
15 Accountability (akuntabilitas) Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, sistem dan
pertangungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
Bila prinsip accountability ini diterapkan secara efektif, maka ada kejelasan fungsi, hak, kewajiban,
wewenang, dan tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris, serta direksi. Dengan
50
Bank harus menetapkan tanggung jawab yang jelas dari masing-masing
organ perusahaan yang selaras dengan visi, misi, sasaran usaha dan strategi
perusahaan. Bank harus meyakini bahwa semua organ perusahaan bank
mempunyai kompetensi sesuai dengan tanggung jawab dan memahami
perannya dalam pelaksanaan GCG. Bank harus memastikan terdapat check
and balance system dalam pengelolaan bank. Bank harus memiliki ukuran
kinerja dari semua jajaran bank berdasarkan ukuran-ukuran yang disepakati
konsisten dengan nilai perusahaan (corporate values), sasaran usaha dan
strategi bank serta memiliki rewards and punishment system. Kebijakan
bank harus tertulis dan dikomunikasikan kepada pihak yang berkepentingan
dan yang berhak memperoleh informasi tentang kebijakan tersebut.
c. Tanggung jawab (responsibility)16
Untuk menjaga kelangsungan usaha, bank harus: (1) berpegang pada prinsip
kehati-hatian (prudential banking practices) dan menjamin
dilaksanakannya ketentuan yang berlaku; dan (2) bank harus bertindak
sebagai good corporate citizen (perusahaan yang baik) termasuk peduli
terhadap lingkungan dan melaksanakan tanggung jawab sosial.
adanya kejelasan inilah maka perusahaan akan terhindar dari kondisi agency problem (benturan
kepentingan peran). Ibid, h. 12.
16 Responsibility (Pertanggungjawaban) perusahaan adalah kesesuaian (patuh) di dalam
pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang
berlaku. Peraturan yang berlaku di sini termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan
industrial, perlindungan lingkungan hidup, kesehatan/ keselamatan kerja, standar penggajian, dan
persaingan yang sehat. Ibid.
51
d. Independensi (independency)17
Bank harus menghindari terjadinya dominasi yang tidak wajar oleh
stakeholder manapun dan tidak terpengaruh oleh kepentingan sepihak serta
bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest). Bank dalam
mengambil keputusan harus obyektif dan bebas dari segala tekanan dari
pihak manapun.
e. Kewajaran (fairness)18
Bank harus senantiasa memperhatikan seluruh stakeholders berdasarkan
asas kesetaraan dan kewajaran (equal treatment). Bank harus memberikan
kesempatan kepada seluruh stakeholders untuk memberikan masukan dan
menyampaikan pendapat bagi kepentingan bank serta mempunyai akses
terhadap informasi sesuai dengan prinsip keterbukaan.
Di samping mentaati ketentuan formal dalam peraturan perundang
undangan dan ketentuan dari Otoritas Pengawas Bank, hendaknya bank
melaksanakan pula kebiasaan-kebiasaan perbankan yang sehat (best practises).
Berhubung dengan itu maka:
17 Independency (independensi) yaitu suatu keadaan dimana lembaga dikelola secara
profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Ibid,
h. 14.
18 Fairness (kewajaran) yang secara sederhana dapat didefinisikan sebagai perlakuan yang adil
dan setara didalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta
peraturan perundangan yang berlaku. Ibid.
52
1. Setiap bank harus memiliki code of conduct sebagai pedoman perilaku
yang wajar, patut dan dapat dipercaya dari seluruh jajaran bank. Code
of Conduct memuat sekurang-kurangnya: (a) Pedoman tentang
benturan kepentingan (conflict o.f interest); (b) Kerahasiaan yang harus
dipelihara; (c) Hal-hal yang tergolong penyalahgunaan jabatan; (d)
Integritas dan akurasi data; (e) Pernyataan tahunan (annual disclosure);
(f) Sanksi pelanggaran dan ketidakpatuhan.
2. Setiap bank harus menetapkan corporate value atau nilai-nilai moral
yang harus dipedomani oleh seluruh aparat bank.
3. Setiap bank harus membentuk corporate culture sejalan dengan visi,
misi dan corporate values dari bank yang bersangkutan.
4. Setiap bank harus mentaati kebiasaan international yang berlaku bagi
bank seperti Unform Customs and Practices (UCP) dan International
Accounting Standard (lAS) serta pedoman corporate governance
dari Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance.
5. Setiap bank dan para bankir harus mentaati kode etik yang
dikeluarkan oleh asosiasi dimana bank atau bankir menjadi
anggotanya.
Disamping memastikan bahwa bank telah dikelola dengan sehat sesuai
dengan prinsip kehati-hatian, dalam melaksanakan tugasnya Otoritas Pengawas
Bank akan memastikan bahwa kaidah-kaidah GCG dilaksanakan dengan baik oleh
bank. Oleh karena itu:
53
1. Manajemen bank harus memastikan bahwa prinsip-prinsip GCG telah
diterapkan dalam visi, misi, struktur organisasi, standar dan prosedur
serta kegiatan usaha bank oleh seluruh jajaran organisas bank.
2. Manajemen bank harus senantiasa melakukan koreksi atas
penyimpangan dan kesalahan yang dilakukannya.
3. Dewan Komisaris dan Direksi harus mentaati Tata Tertib Kerja yang
telah dibuatnya serta memastikan ditaatinya code of conduct oleh
seluruh jajaran organisasi bank.
Pelaksanaan GCG perlu dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan.
Untuk itu dibawah ini dikemukakan pedoman praktis yang dapat dijadikan acuan
oleh bank dalam melaksanakan GCG, yaitu: GCG bisa dilaksanakan melalui
aktivitas penentuan visi, misi dan nilai perusahaan, pengkontruksian struktur
penyelenggaraan perusahaan, pembentukan budaya perusahaan, penetapan sarana
keterbukan untuk umum, penyempurnaan berbagai kebijakan bank sehingga
memenuhi prinsip GCG; Penetapan visi, misi dan nilai-nilai perusahaan
merupakan langkah awal yang harus dilakukan dalam penerapan GCG oleh suatu
bank; Stuktur penyelenggaraan perusahaan bisa ditetapkan secara bertahap dan
terdiri dari kebijakan penyelenggaraan perusahaan yang selain memuat visi dan
misi bank, juga memuat tekad untuk melaksanakan GCG dan pedoman dasar
penyelenggaraan prinsip GCG yaitu keterbukaan, akuntabilitas, tanggung jawab,
independensi, dan kewajaran, pedoman perilaku yang wajar dan dapat dipercaya
dari pimpinan dan karyawan bank, Tata Tertib Kerja Dewan Komisaris dan Tata
Tertib Kerja Direksi yang memuat hak dan kewajiban serta akuntabilitas dari
54
Dewan Komisaris dan Direksi maupun para anggotanya masing-masing,
organisasi yang di dalamnya tercermin adanya resiko penyelenggaraan,
pengendalian kepatuhan internal, kebijakan resiko pengelolaan, audit dan
kepatuhan , kebijakan sumber daya manusia yang jelas dan terbuka, rencana
perusahaan yang menggambarkan arah jangka panjang yang jelas; Pembentukan
budaya perusahaan untuk memperlancar pencapaian visi dan misi serta
implementasi struktur penyelenggaraan perusahaan, dimana budaya perusahaan
terbentuk melalui penetapan prinsip dasar (guiding principles), nilai-nilai (values)
dan norma-norma (norms) yang disepakati serta dilakukan secara konsisten
dengan contoh konkrit dari pimpinan bank, dan budaya perusahaan perlu di
diskusikan secara berkesinambungan dan ditunjang oleh komunikasi sosial;
Pembentukan pola dan sarana keterbukaan sangat diperlukan sebagai bagian
dari akuntabilitas bank kepada pengampu kepentingan (stakeholders), dimana
sarana keterbukaan dapat melalui laporan tahunan (annual report), situs internet
(website), review pelaksanaan GCG dan sarana lainnya.
Agar supaya perbankan dapat melaksanakan GCG secara efektif diperlukan
lingkungan yang kondusif. Untuk itu maka pihak-pihak yang terkait dengan
perbankan perlu memberikan dukungan, misalnya:
a. Pemerintah dan otoritas terkait mengeluarkan peraturan
perundangundangan yang memungkinkan dapat dilaksanakannya GCG
secara efektif.
b. Dilaksanakannya penegakan hukum (law enforcement).
55
c. Penerapan standard akuntansi dan standard audit yang mengacu pada
standard internasional oleh auditor eksternal.
d. Peningkatan peran dari asosiasi-asosiasi perbankan di Indonesia dalam
menunjang dan mensosialisasikan prinsip GCG.
Undang-Undang nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
(selanjutnya disebut dengan UU OJK), menentukan: Untuk mewujudkan
perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkesinambungan dan teratur,
diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terlaksana secara stabil,
adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang
tumbuh secara berkesinambungan dan teratur, dan mampu melindungi kepentingan
konsumen dan masyarakat; diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam
sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel.
UU OJK menjelaskan bahwa dalam rangka mewujudkan perekonomian
nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan
kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta
memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia maka
program pembangunan ekonomi nasional harus dilaksanakan secara komprehensif
dan mampu menggerakkan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki
jangkauan yang luas dan menyentuh ke seluruh sektor riil dari perekonomian
masyarakat Indonesia. Program pembangunan ekonomi nasional juga harus
dilaksanakan secara transparan dan akuntabel yang berpedoman pada prinsip
demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk
56
mencapai tujuan tersebut, program pembangunan ekonomi nasional perlu didukung
oleh tata kelola pemerintahan yang baik yang secara terus menerus melakukan
reformasi terhadap setiap komponen dalam sistem perekonomian nasional. Salah
satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional dimaksud adalah
sistem keuangan dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi
intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional.
Fungsi intermediasi yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga jasa
keuangan, dalam perkembangannya telah memberikan kontribusi yang cukup
signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi
nasional. Berdasarkan hal tersebut, negara selalu memberikan perhatian yang serius
terhadap perkembangan kegiatan sektor jasa keuangan, dengan mengupayakan
terbentuknya pola peraturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi
dan komprehensif.
Sistem keuangan yang beragam, dinamis, dan saling berhubungan antar-
subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan terlahir dari
proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang
teknologi informasi serta inovasi finansial. Selain itu, bertambahnya kompleksitas
transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan
disebabkan oleh adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan
kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi). Dorongan
pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi
semakin diperlukan oleh karena banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor
jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya
57
perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem
keuangan. Oleh karena itu, perlu restrukturisasi struktur pengorganisasian dari
lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor
jasa keuangan yang mencakup sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana
pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Restrukturisasi
dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam
menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih
menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan
terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara
terintegrasi.
Selain pertimbangan-pertimbangan terdahulu, Undang-Undang Bank
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang,
juga memerintahkan pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang
meliputi perbankan, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura dan
perusahaan pembiayaan, serta badan lain yang melaksanakan pengelolaan dana
masyarakat. Badan pengawasan sektor jasa keuangan tersebut di atas pada
hakikatnya merupakan badan yang bersifat bebas dalam melakukan tugasnya dan
posisinya berada di luar pemerintah. Badan ini bertugas menyampaikan laporan
kepada BPK dan DPR.
58
Badan pengawasan sektor jasa keuangan dalam Undang-Undang ini disebut
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Undang-Undang tentang OJK pada dasarnya
memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari badan yang
memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan (JK).
Sedangkan pengaturan mengenai jenis produk JK, cakupan dan batas-batas
kegiatan lembaga JK, kualifikasi dan kriteria lembaga JK, tingkat kesehatan dan
pengaturan prudensial serta ketentuan tentang jasa penunjang sektor JK dan lain
sebagainya yang menyangkut transaksi JK diatur dalam undang-undang sektoral
tersendiri, yaitu Undang-Undang tentang Perbankan, Pasar Modal, Usaha
Perasuransian, Dana Pensiun, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait
dengan sektor JK lainnya. OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan
JK di dalam sektor JK terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel,
serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan
stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan
tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor JK nasional
sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu
menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber daya manusia,
pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor JK, dengan tetap
mempertimbangkan aspek positif globalisasi. OJK dibentuk dan dilandasi dengan
prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas,
pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran.
Secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa
OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup
59
kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya
OJK merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan
keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter.
Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua
otoritas tersebut secara Ex-officio. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam
rangka koordinasi, kerjasama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter,
dan sektor jasa keuangan. Keberadaan
Ex-officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan
nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan
koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara
stabilitas sistem keuangan. Untuk mewujudkan koordinasi, kerjasama, dan
harmonisasi kebijakan yang baik, OJK harus merupakan bagian dari sistem
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berinteraksi secara baik dengan
lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya dalam mencapai tujuan dan
cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tercantum dalam konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Independensi OJK tercermin dalam kepemimpinan OJK.
Secara orang perseorangan, pimpinan OJK memiliki kepastian masa jabatan dan
tidak dapat diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam
Undang-Undang ini. Di samping itu, untuk mendapatkan pimpinan OJK yang tepat,
Undang-Undang ini mengatur mekanisme seleksi yang transparan, akuntabel, dan
melibatkan partisipasi publik melalui suatu panitia seleksi yang unsur-unsurnya
terdiri atas Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat sektor jasa keuangan. OJK
menyelenggarakan fungsi dan wewenangnya berdasarkan pada: asas independensi,
60
yakni independen dalam pengambilan keputusan dan penyelenggaraan fungsi,
tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku; asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang
memprioritaskan dasar aturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap
kebijakan pelaksanaan OJK; asas kepentingan umum, yaitu asas yang membela dan
melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan
umum; asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk mendapatkan informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
pelaksanaan OJK, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi
dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan; asas profesionalitas, yakni asas yang
mengutamakan keahlian dalam penyelenggaraan fungsi dan wewenang OJK,
dengan tetap berdasarkan pada kode etik dan aturan perundang-undangan; asas
integritas, yaitu asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap
aktivitas dan keputusan yang diambil dalam pelaksanaan OJK; dan asas
akuntabilitas, yakni asas yang mengatur setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap
kegiatan pelaksanaan OJK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
OJK harus memiliki struktur dengan prinsip “checks and balances”. Hal ini
dituangkan dengan melakukan pemisahan yang tegas antara fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan. Fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan
serta pengawasan dilakukan oleh Dewan Komisioner melalui pembagian tugas
yang tegas demi pencapaian tujuan OJK. Tugas anggota Dewan Komisioner
termasuk bidang tugas terkait kode etik, pengawasan internal melalui mekanisme
61
dewan audit, edukasi dan perlindungan konsumen, serta fungsi, tugas, dan
wewenang pengawasan untuk sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
SE BI Nomor 9/12/DPNP tersebut menentukan bahwa Pelaksanaan GCG
pada industri perbankan harus senantiasa berlandaskan pada lima prinsip dasar
yaitu: transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability),
pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran
(fairness). Bank harus mengacu pada berbagai ketentuan dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang terkait dengan pelaksanaan GCG dalam menerapkan
kelima prinsip dasar tersebut di atas.
Bank harus menyelenggarakan prinsip-prinsip GCG dalam setiap kegiatan
usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. Dalam pelaksanaan GCG
tersebut, diperlukan keberadaan Komisaris Independen dan Pihak Independen.
Keberadaan pihak-pihak independen tersebut, diharapkan dapat menciptakan check
and balance, menghindari benturan kepentingan (conflict of interest) dalam
pelaksanaan tugasnya serta melindungi kepentingan stakeholders khususnya
pemilik dana dan pemegang saham minoritas. Untuk mendukung independensi
dalam pelaksanaan tugas, perlu kejelasan pengaturan mengenai masa tunggu
(cooling off) bagi pihak-pihak yang akan menjadi pihak-pihak independen.
Dalam mengimplementasikan prinsip transparansi (transparency)
sebagaimana termaksud di atas, Bank diwajibkan untuk menyampaikan Laporan
Pelaksanaan GCG. Keberadaan laporan dimaksud, diperlukan untuk mengedukasi
62
serta meningkatkan check and balance stakeholders Bank dan persaingan melalui
mekanisme pasar.
Dalam upaya perbaikan dan peningkatan kualitas pelaksanaan GCG, Bank
diwajibkan secara berkala melakukan self assessment secara komprehensif terhadap
kecukupan pelaksanaan GCG, sehingga apabila masih terdapat kekurangan dalam
pengimplementasiannya, Bank dapat segera menetapkan rencana tindak (action
plan) yang meliputi tindakan korektif (corrective action) yang diperlukan.
Cakupan penerapan prinsip-prinsip GCG dimaksud paling kurang harus
diwujudkan dalam:
1. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi;
2. kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang
menjalankan fungsi pengendalian intern bank;
3. penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan auditor eksternal;
4. penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern;
5. penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar;
6. rencana strategis Bank;
7. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank.
Mengingat tujuan pelaksanaan GCG adalah untuk memberikan nilai
perusahaan yang maksimal bagi para Stakeholder maka prinsip-prinsip GCG
tersebut harus juga diwujudkan dalam hubungan Bank dengan para
Stakeholder. Adapun struktur organisasi GCG secara garis besar adalah terdiri dari:
1. Rapat Umum Pemegang Saham
2. Dewan Komisaris
63
3. Direksi
4. Komite-Komite dibawah Dewan Komisaris
5. Satuan Kerja Kepatuhan
6. Satuan Kerja Audit Intern
7. Audit Ekstern
8. Satuan Kerja Manajemen Risiko
9. Aspek Transparansi Kondisi Bank
10. Stakeholders
Berdasarkan hal tersebut, secara umum struktur organisasi GCG pada bank
dapat digambarkan dalam struktur sebagai berikut:
1. RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham)
RUPS adalah organ yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Bank dan
memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi dan Komisaris
dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas
dan Anggaran Dasar Bank yang berlaku. RUPS merupakan forum dimana Direksi
dan Komisaris melaporkan dan bertanggungjawab atas kinerja mereka terhadap
Pemegang Saham.
2. Dewan Komisaris
Jumlah anggota dewan Komisaris paling banyak sama dengan jumlah
anggota Direksi. Paling kurang 1 (satu) orang anggota dewan Komisaris wajib
berdomisili di Indonesia.
64
Dewan Komisaris terdiri dari Komisaris dan Komisaris Independen dan paling
kurang 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah anggota dewan Komisaris adalah
Komisaris Independen.
2. Direksi
Direksi dipimpin oleh Direktur Utama dan wajib berasal dari pihak yang
independen terhadap pemegang saham pengendali. Penilaian independensi
didasarkan pada keterkaitan yang bersangkutan pada kepengurusan, kepemilikan
dan/atau hubungan keuangan, serta hubungan keluarga dengan pemegang saham
pengendali.
Setiap usulan penggantian dan/atau pengangkatan anggota Direksi oleh
Dewan Komisaris kepada RUPS, harus memperhatikan rekomendasi Komite
Remunerasi dan Nominasi.
Mayoritas anggota Direksi paling kurang memiliki pengalaman 5 (lima) tahun di
bidang operasional sebagai Pejabat Eksekutif bank (tidak termasuk Bank
Perkreditan Rakyat).
Setiap anggota Direksi harus memenuhi persyaratan telah lulus Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).
3. Komite – Komite
Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung
jawabnya, Dewan Komisaris dibantu oleh sekurang-kurangnya:
a. Komite Audit;
65
b. Komite Pemantau Risiko;
c. Komite Remunerasi dan Nominasi.
Komite tersebut wajib menyusun pedoman dan tata tertib kerja komite.
4. Fungsi Kepatuhan
Bank wajib memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya yang
berlaku.
Dalam rangka memastikan kepatuhan, Bank wajib menunjuk seorang Direktur
Kepatuhan dengan berpedoman pada persyaratan dan tata cara sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Penugasan Direktur Kepatuhan
(Compliance Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern
Bank Umum.
1. Satuan Kerja Kepatuhan
Dalam rangka membantu pelaksanaan fungsi Direktur
Kepatuhan secara efektif, Bank membentuk satuan kerja kepatuhan
(compliance unit) yang independen terhadap satuan kerja operasional.
Dalam melaksanakan tugasnya tersebut Direktur Kepatuhan
wajib mencegah direksi Bank agar tidak menempuh kebijakan dan/atau
menetapkan keputusan yang menyimpang dari peraturan Bank
Indonesia dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
Direktur Kepatuhan wajib melaporkan pelaksanaan tugas dan tanggung
jawabnya secara berkala kepada Direktur Utama dengan tembusan
kepada Dewan Komisaris.
66
2. Fungsi Audit Intern
Dalam rangka pelaksanaan fungsi audit intern secara efektif,
Bank wajib membentuk Satuan Kerja Audit Intern yang independen
terhadap satuan kerja operasional. Dalam melaksanakan tugasnya
SKAI menyampaikan laporan kepada Direktur Utama dan Dewan
Komisaris dengan tembusan kepada Direktur Kepatuhan. Pemimpin
SKAI diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Utama Bank dengan
persetujuan Dewan Komisaris.
3. Fungsi Audit Ekstern
1. Bank wajib menunjuk Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik
yang terdaftar di Bank Indonesia dalam pelaksanaan audit laporan
keuangan Bank.
2. Penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik wajib
terlebih dahulu memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang
Saham berdasarkan calon yang diajukan oleh dewan Komisaris
sesuai rekomendasi Komite Audit.
3. Audit dan penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik
wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang
Transparansi Kondisi Keuangan Bank.
5. Penerapan Manajemen Risiko
Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif, yang disesuaikan
dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta Bank dengan
67
berpedoman pada persyaratan dan tata cara sebagaimana ditetapkan dalam
ketentuan Bank Indonesia tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
1. Satuan Kerja Manajemen Risiko & Komite Manajemen Risiko
Dalam kaitan dengan pengembangan struktur organisasi yang ada, Bank
wajib membentuk Komite Manajemen Risiko (Risk Management
Committee) dan Satuan Kerja Manajemen Risiko (Risk Management
Unit).
2. Pengendalian Interen
Pengendalian intern merupakan suatu mekanisme pengawasan yang
ditetapkan oleh manajemen Bank secara berkesinambungan (on going
basis), guna:
1. menjaga dan mengamankan harta kekayaan Bank;
2. menjamin tersedianya laporan yang lebih akurat;
3. meningkatkan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku;
4. mengurangi dampak keuangan/kerugian, penyimpangan
termasuk kecurangan/fraud, dan pelanggaran aspek kehati-
hatian;
5. meningkatkan efektivitas organisasi dan meningkatkan efisiensi
biaya.
6. Penyediaan Dana Kepada Pihak Terkait Dan Penyediaan Dana Besar
Dalam rangka menghindari kegagalan usaha Bank sebagai akibat
konsentrasi penyediaan dana dan meningkatkan independensi pengurus Bank
terhadap potensi intervensi dari pihak terkait, Bank wajib menerapkan prinsip
68
kehati-hatian dalam penyediaan dana antara lain dengan menerapkan
penyebaran/diversifikasi portofolio penyediaan dana yang diberikan.
Pelaksanaan penyediaan dana kepada pihak terkait dan/atau penyediaan
dana besar (large exposures) wajib berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia
tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Dalam rangka penerapan
prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko Bank wajib memiliki pedoman
kebijakan dan prosedur tertulis tentang Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait dan
atau Penyediaan Dana besar (large exposures).
1. Penyediaan Dana Kepada Pihak Terkait
Bank dilarang memberikan Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait yang
bertentangan dengan prosedur umum Penyediaan Dana yang berlaku.
Bank dilarang memberikan Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait
tanpa persetujuan Dewan Komisaris Bank.
Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan mengenai
transaksi antara Bank dengan Pihak-pihak yang Mempunyai Hubungan
Istimewa, pemberian penyediaan dana, komitmen maupun fasilitas lain
yang dapat dipersamakan dengan itu dari setiap perusahaan yang berada
dalam satu kelompok usaha dengan Bank kepada debitur yang telah
memperoleh penyediaan dana dari Bank. Laporan tersebut wajib
disampaikan sesuai dengan jadwal dan batas waktu penyampaian
Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan.
2. Penyediaan Dana Besar
69
Bank dilarang membuat suatu perikatan atau perjanjian atau
menetapkan persyaratan yang mewajibkan Bank untuk memberikan
Penyediaan Dana yang akan mengakibatkan terjadinya Pelanggaran
BMPK, dan memberikan Penyediaan Dana yang mengakibatkan
Pelanggaran BMPK. Penyediaan Dana ini mencakup bentuk perikatan
atau perjanjian atau persyaratan yang ditetapkan untuk yang tercatat di
neraca maupun rekening administratif.
7. Rencana Strategis Bank
1. Bank wajib menyusun rencana strategis dalam bentuk rencana korporasi
(corporate plan) / rencana jangka panjang dan rencana bisnis (business
plan) / rencana jangka pendek.
2. Penyampaian rencana korporasi (corporate plan) dan perubahannya
kepada Bank Indonesia berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia
tentang Bank Umum.
3. Penyusunan dan penyampaian rencana bisnis (business plan)
berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Rencana Bisnis
Bank Umum.
4. Rencana korporasi /rencana jangka panjang Bank merupakan cerminan
dari visi Bank.
8. Aspek Transparansi Kondisi Bank
Dalam rangka pelaksanaan transparansi kondisi keuangan dan
nonkeuangan, Bank wajib menyusun dan menyajikan laporan dengan tata cara,
70
jenis dan cakupan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang
Transparansi Kondisi Keuangan Bank. Selain hal tersebut, bank wajib
melaksanakan transparansi informasi mengenai produk dan penggunaan data
nasabah Bank dengan berpedoman pada persyaratan dan tata cara sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Transparansi Informasi Produk
Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. Namun demikian, dalam aktivitas
transparansi dan pengungkapan (disclosure) kondisi Bank harus tetap
memperhatikan dan mematuhi ketentuan tentang rahasia bank.
Transparansi Kondisi Keuangan dan Non-keuangan Dalam rangka
peningkatan transparansi kondisi keuangan, Bank wajib menyusun dan menyajikan
laporan keuangan dengan bentuk dan cakupan sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi
Nasabah Bank wajib menerapkan transparansi informasi mengenai Produk Bank
dan penggunaan Data Pribadi Nasabah. Informasi mengenai karakteristik Produk
Bank tersebut sekurang-kurangnya meliputi: Nama Produk Bank; Jenis Produk
Bank; Manfaat dan risiko yang melekat pada Produk Bank; Persyaratan dan tata
cara penggunaan Produk Bank; Biaya-biaya yang melekat pada Produk Bank;
Perhitungan bunga atau bagi hasil dan margin keuntungan; Jangka waktu
berlakunya Produk Bank; dan Penerbit (issuer/originator) Produk Bank.
Dalam Penggunaan Data Pribadi Nasabah, Bank wajib meminta persetujuan
tertulis dari Nasabah dalam hal Bank akan memberikan dan atau menyebarluaskan
Data Pribadi Nasabah kepada Pihak Lain untuk tujuan komersial, kecuali
71
ditetapkan lain oleh peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Dalam
permintaan persetujuan tersebut Bank wajib terlebih dahulu menjelaskan tujuan dan
konsekuensi dari pemberian dan atau penyebarluasan Data Pribadi Nasabah kepada
Pihak Lain.
9. Hubungan Dengan Stakeholders
Bank memiliki sensitivitas untuk melakukan hubungan secara positif
dengan financial maupun non-financial stakeholders, termasuk dengan pegawai
Perseroan, masyarakat setempat, kepentingan lingkungan hidup, regulator (Bank
Indonesia, Bapepam, BEJ dan BES) dan pemerintah. Pengaruh dari external
stakeholders tidak boleh mengacaukan kegiatan operasi yang sudah direncanakan
oleh Perseroan, sehingga diperlukan adanya penelitian yang cermat atas pengaruh
positif dan negatif dari external stakeholders tersebut.
2.1.5 Pengaturan GCG Perbankan
Pelaksanaan GCG sangat diperlukan untuk membangun kepercayaan
masyarakat dan dunia internasional sebagai syarat mutlak bagi dunia perbankan
untuk berkembang dengan baik dan sehat. Oleh karena itu Bank for International
Sattlement (BIS) sebagai lembaga yang mengkaji terus menerus prinsip kehati-
hatian yang harus dianut oleh perbankan, telah pula mengeluarkan Pedoman
Pelaksanaan GCG bagi dunia perbankan secara internasional. Pedoman serupa
dikeluarkan pula oleh lembaga-lembaga internasional lainnya.
Di Indonesia terdapat beberapa peraturan yang telah dikeluarkan berkaitan
dengan penerapan prinsip GCG antara lain PBI No. 8/4/PBI/2006 yang
72
disempurnakan dengan PBI No. 8/14/PBI/2006 tentang “Pelaksanaan GCG bagi
Bank Umum”, yang menunjukkan keseriusan Bank Indonesia dalam meminta
pengurus perbankan agar taat untuk menerapkan manajemen risiko guna
melindungi kepentingan para pemangku kepentingan (stakeholder). Pada Pasal 2
PBI menjelasakan bahwa bank wajib melaksanakan prinsip-prinsip GCG dalam
setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. Hal
tersebut mengharuskan setiap perusahaan perbankan untuk wajib tunduk pada
ketentuan GCG. Banyaknya ketentuan yang mengatur sektor perbankan dalam
rangka melindungi kepentingan masyarakat menjadikan sektor perbankan sebagai
sektor yang “highly regulated”. Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang No. 40 tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas menjelaskan bahwa Perseroan terbatas wajib
tunduk pada prinsip GCG.
Menurut OECD CG adalah sistem yang dipergunakan untuk mengarahkan
dan mengendalikan kegiatan bisnis perusahaan. CG yang mengatur pembagian
tugas, hak dan kewajiban mereka yang berkepentingan terhadap kehidupan
perusahaan, termasuk pemegang saham, Dewan Pengurus, para manajer, dan semua
anggota stakeholders non-pemegang saham. Dengan pembagian tugas, hak, dan
kewajiban serta ketentuan dan prosedur pengambilan keputusan penting, maka
perusahaan mempunyai pegangan bagaimana menentukan sasaran usaha
(corporate objectives) dan strategi untuk mencapai sasaran tersebut.19
19 Antonius Alijoyo dan Subarto Zaini, 2004, Komisaris Independen, Penggerak Praktik GCG
di Perusahaan. Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta, h. 35..
73
Kebutuhan untuk menerapkan prinsip-prinsip GCG dirasakan sangat kuat
dalam industri perbankan. Situasi eksternal dan internal perbankan semakin
kompleks. Risiko kegiatan usaha perbankan kian beragam. Keadaan tersebut
semakin meningkatkan kebutuhan akan praktik tata kelola perusahaan yang sehat
(GCG) di bidang perbankan.
Pelaksanaan GCG sangat diperlukan untuk membangun kepercayaan
masyarakat dan dunia internasional sebagai syarat mutlak bagi dunia perbankan
untuk berkembang dengan baik dan sehat. Oleh karena itu Bank for International
Sattlement (BIS) sebagai lembaga yang mengkaji terus menerus prinsip kehati-
hatian yang harus dianut oleh perbankan, telah pula mengeluarkan Pedoman
Pelaksanaan GCG bagi dunia perbankan secara internasional. Pedoman serupa
dikeluarkan pula oleh lembaga-lembaga internasional lainnya.
2.1 Sistem Informasi Hukum Perusahaan
2.2.1 Pengertian Sistem Informasi Hukum Perusahaan
Secara umum Sistem informasi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem di
dalam suatu organisasi yang merupakan kombinasi dari orang-orang, fasilitas,
teknologi, media prosedur-prosedur dan pengendalian yang ditujukan untuk
mendapatkan jalur komunikasi penting, memproses tipe transaksi rutin tertentu,
memberi sinyal kepada manajemen dan yang lainnya terhadap kejadian-kejadian
internal dan eksternal yang penting dan menyediakan suatu dasar informasi untuk
pengambilan keputusan.
Sistem adalah suatu susunan yang teratur dari kegiatan yang saling
berkaitan dan susunan prosedur yang saling berhubungan, yang melaksanakan dan
74
mempermudah kegiatan-kegiatan utama suatu organisasi. Infomasi adalah data
yang telah diproses/diolah sehingga memiliki arti atau manfaat yang berguna.
Informasi pun memunyai umur, yang dimaksud umur di sini adalah kapan atau
sampai kapan sebuah informasi memiliki nilai/arti bagi penggunanya. Adanya
acuan pada titik waktu tertentu dan pernyataan suatu perubahan pada suatu
waktu. Kualitas Informasi tergantung dari 3 hal, yaitu informasi harus:
1. Akurat, berarti informasi harus bebas dari kesalahan-kesalahan dan
tidak bisa atau menyesatkan. Akurat juga berarti informasi harus jelas
mencerminkan maksudnya.
2. Tepat pada waktunya, berarti informasi yang datang pada penerima
tidak boleh terlambat.
3. Relevan, berarti informasi tersebut mempunyai manfaat untuk
pemakainya. Relevansi informasi untuk tiap-tiap orang satu dengan
yang lainnya berbeda.
Sistem informasi adalah kumpulan informasi di dalam sebuah basis data
menggunakan model dan media teknologi informasi digunakan di dalam
pengambilan keputusan bisnis sebuah organisasi. Di dalam suatu organisasi,
informasi merupakan sesuatu yang penting di dalam mendukung proses
pengambilan keputusan oleh pihak manajemen. Sistem ini memanfaatkan
perangkat keras dan perangkat lunak komputer, prosedur manual, model
manajemen dan basis data. Dari definisi di atas terdapat beberapa kata kunci yakni
1) berbasis komputer dan sistem manusia dan mesin, 2) Sistem basis data
terintegrasi, dan 3) Mendukung operasi.
75
1. Berbasis komputer dan sistem manusia dan mesin
Berbasis computer yakni perancang harus memahami pengetahuan
komputer dan pemrosesan informasi.
Sistem manusia mesin yakni ada interaksi antara manusia sebagai
pengelola dan mesin sebagai alat untuk memroses informasi. Ada proses
manual yang harus dilakukan manusia dan ada proses yang terotomasi
oleh mesin. Oleh karena itu diperlukan suatu prosedur/manual sistem.
2. Sistem basis data terintegrasi
Adanya penggunaan basis data secara bersama-sama (sharing) dalam
sebuah database manajement system.
3. Mendukung operasi
Informasi yang diolah dan dihasilkan digunakan untuk mendukung
operasi organisasi.
Sistem informasi memiliki komponen berupa subsistem yang merupakan
elemen elemen yang lebih kecil yang membentuk sistem informasi tersebut
misalnya bagian input, proses, output. Tanpa ketiga itu sistem informasi tidak dapat
berjalan dengan baik.
1. Input: sekumpulan data yang akan diolah menjadi sebuah informasi
yang nantinya akan kita sajikan bagi masyarakat.
2. Proses: suatu kegiatan dimana pengolah seluruh data yang ada untuk
menghasilkan suatu informasi.
3. Output: informasi-informasi yang dapat dengan mudah di peroleh, di
mengerti dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
76
Adapun yang dimaksud dengan komponen fisik pada Sistem Informasi
yakni:
1. Perangkat keras komputer: CPU, storage, perangkat input/output,
terminal untuk interaksi, media komunikasi data.
2. Perangkat lunak komputer: perangkat lunak sistem (sistem operasi dan
utilitinya), perangkat lunak umum aplikasi (bahasa pemrograman),
perangkat lunak aplikasi (aplikasi akuntansi dll).
4. Basis data: penyimpanan data pada media penyimpan komputer.
5. Prosedur: langkah-langkah penggunaan sistem.
6. Personil: yang mengoperasikan sistem, menyediakan masukan,
mengkonsumsi keluaran dan melakukan aktivitas manual yang
mendukung sistem.
Suatu sistem informasi di buat untuk suatu keperluan tertentu atau untuk
memenuhi permintaan penggunaan tertentu, maka struktur dan cara kerja sistem
informasi berbeda-beda bergantung kepada keperluan dan permintaan yang harus
dipenuhi, oleh karena kepentingan yang harus di layani sangat beraneka ragam,
maka sistem informasipun semakin beraneka ragam.
Sistem informasi merupakan suatu sistem di dalam suatu organisasi yang
mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi harian yang mendukung fungsi
organisasi yang bersifat manajerial dalam kegiatan strategi dari suatu organisasi
untuk dapat menyediakan kepada pihak luar tertentu dengan laporan–laporan yang
diperlukan.20
20 Tata Sutabri, 2005, Sistem Informasi Manajemen, Andi, Yogyakarta, h. 36.
77
Menurut Robert A. Leitch sistem informasi adalah suatu sistem di dalam
suatu organisasi yang mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi harian,
mendukung operasi, bersifat manajerial dan kegiatan strategi dari suatu organisasi
dan menyediakan pihak luar tertentu dengan laporan-laporan yang diperlukan.
Menurut O’Brien, sistem informasi adalah suatu kombinasi terartur
apapun dari people (orang), hardware (perangkat keras), software (piranti lunak),
computer networks and data communications (jaringan komunikasi), dan database
(basis data) yang mengumpulkan, mengubah dan menyebarkan informasi di dalam
suatu bentuk organisasi.21
Menurut Tafri D. Muhyuzir Sistem Informasi adalah data yang
dikumpulkan, dikelompokkan dan diolah sedemikian rupa sehingga menjadi
sebuah satu kesatuan informasi yang saling terkait dan saling mendukung sehingga
menjadi suatu informasi yang berharga bagi yang menerimanya. Atau dalam
pengertian lainnya, Sistem Informasi merupakan kumpulan elemen yang saling
berhubungan satu sama lain yang membentuk satu kesatuan untuk
mengintegrasikan data, memproses dan menyimpan serta mendistribusikan
informasi.
Suatu sistem informasi pada dasarnya terbentuk melalui suatu kelompok
kegiatan operasi yang tetap, yaitu: Mengumpulkan data; Mengelompokkan data;
Menghitung; Menganalisa dan Menyajikan laporan. Sasaran yang ingin dicapai
dengan adanya sistem informasi adalah:
21 James A. O’Brein, 2005, Pengantar Sistem Informasi, Salemba, Jakarta, h. 5.
78
1. Meningkatkan penyelesaian tugas.
2. Pemakai harus lebih produktif agar menghasilkan keluaran yang memiliki
mutu yang tinggi.
3. Meningkatkan efektifitas secara keseluruhan.
4. Sistem harus mudah dan sering digunakan.
5. Meningkatkan efektifitas ekonomi.
6. Keuntungan yang diperoleh dari sistem harus lebih besar dari biaya yang
dikeluarkan.
Sistem informasi dapat diartikan sebagai sebuah sistem yang terintegrasi
secara optimal dan berbasis komputer yang dapat menghimpun dan menyajikan
berbagai jenis data yang akurat untuk berbagai macam kebutuhan. Sistem Informasi
Berbasis Komputer atau Computer Based Information System (CBIS) merupakan
sistem pengolahan suatu data menjadi sebuah informasi yang berkualitas dan dapat
dipergunakan sebagai alat bantu yang mendukung pengambilan keputusan,
koordinasi dan kendali serta visualisasi dan analisis. Beberapa istilah yang terkait
dengan CBIS antara lain adalah data, informasi, sistem, sistem informasi dan basis
komputer. 22
Dengan integrasi yang dimiliki antar subsistemnya, sistem informasi akan
mampu menyediakan informasi yang berkualitas, tepat, cepat dan akurat sesuai
dengan manajemen yang membutuhkannya. Secara teori, penerapan sebuah Sistem
Informasi memang tidak harus menggunakan komputer dalam kegiatannya. Tetapi
22 Fatta, H. A., 2007. Analisis dan perancangan sistem informasi untuk keunggulan bersaing
perusahaan dan organisasi modern, Andi, Yogyakarta, h. 56.
79
pada prakteknya tidak mungkin sistem informasi yang sangat kompleks itu dapat
berjalan dengan baik jika tanpa adanya komputer. Sistem Informasi yang akurat dan
efektif, dalam kenyataannya selalu berhubungan dengan istilah “computer-based”
atau pengolahan informasi yang berbasis pada komputer. Sistem informasi yang
tepat, tentunya akan menghasilkan informasi yang cepat, akurat dan dapat
dipercaya. Informasi yang cepat, akurat dan dapat dipercaya tersebut sangat
diperlukan dalam rangka pengambilan keputusan keputusan strategis perusahaan
untuk dapat semakin maju dan bersaing di bidang bisnis.
SIH-P atau Corporate Legal Information System (LIS-C) adalah suatu
SIHyang dikembangkan dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan dan
penyelenggaraan usaha perusahaan. Sistem ini merupakan instrumen GCG yang
dibuat dalam rangka penyelenggaraan tata kelola perusahaan dan penyelenggaraan
usaha secara lebih baik, khususnya berkenaan dengan performance perusahaan
dalam penetapan dan pelaksaan kebijakan perusahaan secara lebih baik.
2.2.2 Sistem Informasi Hukum Perusahaan Sebagai Bentuk Pelaksanaan
Prinsip Akuntabilitas
Dalam penjelasan PBI 8/4/2006 akuntabilitas (accountability) yaitu
kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban organ bank sehingga
pengelolaannya berjalan secara efektif. Berdasarkan Keputusan Menteri Badan
Usaha Milik Negara Nomor: Kep-117/M-Mbu/2002 Tentang Penerapan Praktek
GCG Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dijelaskan bahwa CG adalah suatu
proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan
keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang
80
saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder
lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika.
Bank Indonesia mensinyalir bahwa salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya kesulitan usaha bank adalah adanya kelemahan dalam pelaksanaan
pengendalian intern bank, diantaranya:23
1. kurangnya mekanisme pengawasan, tidak jelasnya akuntabilitas
pengurus bank, dan gagalnya pengembangan budaya pengendalian
intern;
2. kurang memadainya pelaksanaan identifikasi dan penilaian atas risiko
dari kegiatan operasional bank;
3. kurang lancarnya komunikasi dan informasi bagi pengambil keputusan;
4. kurang efektifnya program audit intern dan kegiatan pemantauan
lainnya;
5. kurangnya komitmen manajemen bank untuk melakukan proses
pengendalian intern dan menerapkan sanksi terhadap pelanggaran
ketentuan, kebijakan, dan prosedur bank.
SIH-P yang baik yakni terorganisir, terstruktur, lengkap dan sistematis
merupakan landasan bagi penetapan kebijakan perusahaan yang adil dan terbuka
(fair), transparan (transparent), akuntabel (accountable), valid (sah), cepat, dan
benar secara hukum serta teknis manajemen sehingga secara cepat meningkatkan
citra performa perusahaan ke posisi terbaik dan tertinggi diantara para pesaingusaha
23 Jimmy E. Elias, 2004, Peranan Manajemen Risiko Strategik Dalam Mendukung Good
Corporate Governance, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23, No. 3, h. 12.
81
sejenis. SIH-P dengan cara demikian menjadi umpan utama bagi kepercayaan pasar
(akuntabilitas eksternal perusahaan) yang lebih baik dalam rangka penguasaan
pasar secara lebih sempurna. Korelasi positif, logis, dan paralel antara SIH-P
dengan penetapan kebijakan perusahaan, kualitas kebijakan perusahaan (hukum,
teknis, dan substantif), pelaksanaan kebijakan perusahaan, performance
perusahaan, citra perusahaan, kepercayaan pasar, penguasaan pasar, likwiditas
perusahaan, tujuan perusahaan, dan keberlanjutan usaha, digambarkan sebagai
berikut :
82
CORPORATE
POLICY [PROCESS] LIKWIDITAS
TUJUAN
PERUSAHAAN
CORPORATE
IMAGE
MARKET TRUST SIH-P
POLICY
PERFORMANCE MARKET
OCCUPATION
83
SIH-P yang buruk akan mengubah performance perusahaan, internal maupun
eksternal menjadi buruk, maka SIH-P memiliki fungsi:
1. Mencegah performance perusahaan yang buruk atau memburuknya
performance perusahaan;
2. Memperbaiki performance perusahaan yang buruk dan membangun
performance perusahaan;
3. Memelihara performance perusahaan dengan cara memperbaiki dan
mengendalikan potensi serta sebab-sebab perusak performance perusahaan;
dan
4. Meningkatkan performance perusahaan.
Dengan adanya fungsi SIH-P yang sedemikian rupa dalam rangka
meningkatkan performance perusahaan maka dengan dimilikinya SIH-P memiliki
tujuan yakni:
1. ketersediaan bank data hukum yang lengkap;
2. pelayanan informasi hokum yang cepat dan akurat dalam fungsi penetapan dan
penyelenggaraan kebijakan perusahaan;
3. penyelenggaraan tata kelola perusahaan secara lebih baik;
4. penyelenggaraan usaha yang lebih baik;
5. memelihara performance perusahaan dan citra perusahaan secara lebih baik;
6. memelihara dan meningkatkan likwiditas perusahaan; dan
84
7. mewujudkan tujuan-tujuan perusahaan secara lebih baik, benar, dan sah
menurut hukum.
2.2.3 Dasar Hukum Penyelenggaraan Sistem Informasi Hukum Perusahaan
Perbankan
PBI 8/14/PBI/2006 Jo. PBI 8/4/PBI/2006 tentang pelaksanaan GCG bagi bank
umum sangat normatif dan tidak memuat konstruksi teknis bagaimana cara
melaksanakan GCG agar tujuan GCG tercapai, apa yang harus dikerjakan, dan
prasyarat apakah yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar prinsip dan tujuan GCG
dapat dilaksanakan/dicapai. Dalam PBI GCG tidak menentukan bagaimana cara/teknik
mewujudkan tujuan GCG tersebut. Pada Pasal 61 ayat 1 dimana Bank wajib menyusun
laporan pelaksanaan GCG pada setiap akhir tahun buku, yang dimana salah satu isi dari
laporan tersebut memuat jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi dan upaya
penyelesaian oleh Bank, serta jumlah permasalahan hukum dan upaya penyelesaian
oleh Bank sebagaimana dimaksud PBI Pasal 61 ayat 2 huruf (h) dan huruf (i).
SIH-P merupakan SIH yang mencakup dasar hukum pendirian perusahaan,
sistem hukum kelembagaan (keorganisasian dan tata kerja) perusahaan, sistem hukum
pengelolaan (pemimpinan-leading/chairing/directing, pengendalian, dan kimponen
kelembagaan sistem perudahaan dalam gerak menuju tujuan perusahaan), sistem
hukum penyelenggaraan usaha, dan sistem hukum penyelesaian masslah-masalah
hukum perusahaan.
85
SIH-P sebagai instrumen kebijakan salah satunya dalam perumusan kebijakan
yang sah (valid) sesuai dengan hukum, berdasar pada hukum; kebijakan yang terukur
secara hukum (sesuai substansi, lingkup substansi kewenangan, dan prosedur);
kebijakan yang demokratis; kebijakan yang adil sesuai dengan dasar dan konteks
(dasar-dasar/fakta obyektif); kebijakan yang terbuka, berdasar fakta obyektif, jauh dari
kesan like/dislike yang subyektif dengan harapan terciptanya kebijakan yang akuntabel
sehingga performance perusahaan yang profesional.
Dengan ketersediaan bank informasi yang lengkap, akurat, dan fungsional
sesuai dengan fungsi-fungsi yang diemban seluruh komponen kelembagaan
perusahaan, yang dengan didukung pelayanan informasi hukum yang cepat dan akurat
dalam pengembanan posisi dan fungsi masing-masing organ perusahaan dan
komponen kelembagaan perusahaan, maka pengembanan posisi dan fungsi
pengambilan kebijakan/keputusan perusahaan, internal dan eksternal oleh seluruh
organ dan komponen perusahaan yang mengemban fungsi pengambilan keputusan
dapat berjalan secara baik sesuai dengan kegunaan SIH-P.
2.1.4 Model Sistem Informasi Hukum Perusahaan Perbankan
Penyampaian laporan pelaksanaaa GCG oleh bank wajib dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan PBI Pasal 62 ayat 1, dan bagi bank yang telah memiliki homepage
wajib menginformasikan laporan pelaksanaan GCG paling lambat 5 bulan setelah
tahun buku terakhir sebagaimana dimaksud pada Pasal 62 ayat 2. Jika bank terlambat
86
dalam menyampaikan laporan pelaksanaan GCG akan dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan PBI Pasal 75.
SIH-P yang teroganisir, terstruktur, sestematis, lengkap, dan up to date
merupakan hal yang menunjang tecapainya GCG yang baik bagi perusahaan dimana
dalam menyelenggarakan penyediaan dan pelayanan informasi hukum yang cepat dan
akurat sangat mempengaruhi performance perusahaan. Maka dari itu dibutuhkan suatu
model SIH-P yang terintegrasi dengan memperhatikan beberapa tahapan perancangan
model SIH-P yakni:
a. Identifikasi karakter perusahaan yang berfungsi sebagai bahan kendali dalam
perancangan model;
b. Pemetaan posisi the existing yang berfungsi sebagai evaluasi posisi the existing,
pemetaan the existing, dan sebagai bahan kendali pemetaan kebutuhan model;
c. Identifikasi dan pemetaan kebutuhan model;
d. Perancangan model;dan
Pengembangan model.