bab ii tinjauan pustaka.pdf

22
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Akses Kredit Masyarakat Miskin Pada Sektor Keuangan Hambatan utama masyarakat miskin ketika mencoba untuk mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan formal adalah adanya permintaan jaminan oleh lembaga keuangan. Dalam proses perolehan pinjaman harus melalui birokrasi yang banyak, sehingga untuk bisa mendapatkan pinjaman membutuhkan biaya transaksi yang tidak sedikit. Hambatan-hambatan tersebut harus diatasi untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat di pedesaankhususnya kelompok masyarakat miskin terhadap akses pada lembaga keuangan. Secara umum, lembaga keuangan formal menunjukkan preferensi tinggi pada daerah perkotaan daripada perdesaan, dengan transaksi skala besar daripada transaksi skala kecil, dan non-pertanian daripada pertanian (Mehrteab, 2004). Lembaga keuangan formal, memiliki sedikit perhatian kepada orang miskin pedesaandalam hal memberikan pinjaman karena alasan sebagai berikut: Petani kecil di pedesaanhidup tersebar di daerah, dengan fasilitas komunikasi yang tidak baik, yang berpengaruh dalam administrasi sehingga untuk dapat mengakses kredit akan sulit. Hal ini juga menghambat pencapaian kreditur karena pasar sekitar pedesaanrelatif kecil. Produksi pertanian tergantung cuaca yang dikaitkan dengan risiko sistemik, seperti kekeringan dan banjir.

Upload: wirda-elsa-hutari

Post on 25-Oct-2015

48 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Akses Kredit Masyarakat Miskin Pada Sektor Keuangan

Hambatan utama masyarakat miskin ketika mencoba untuk mendapatkan

pinjaman dari lembaga keuangan formal adalah adanya permintaan jaminan oleh

lembaga keuangan. Dalam proses perolehan pinjaman harus melalui birokrasi

yang banyak, sehingga untuk bisa mendapatkan pinjaman membutuhkan biaya

transaksi yang tidak sedikit. Hambatan-hambatan tersebut harus diatasi untuk

memberikan kemudahan bagi masyarakat di pedesaankhususnya kelompok

masyarakat miskin terhadap akses pada lembaga keuangan. Secara umum,

lembaga keuangan formal menunjukkan preferensi tinggi pada daerah perkotaan

daripada perdesaan, dengan transaksi skala besar daripada transaksi skala kecil,

dan non-pertanian daripada pertanian (Mehrteab, 2004).

Lembaga keuangan formal, memiliki sedikit perhatian kepada orang

miskin pedesaandalam hal memberikan pinjaman karena alasan sebagai berikut:

Petani kecil di pedesaanhidup tersebar di daerah, dengan fasilitas

komunikasi yang tidak baik, yang berpengaruh dalam administrasi

sehingga untuk dapat mengakses kredit akan sulit. Hal ini juga

menghambat pencapaian kreditur karena pasar sekitar pedesaanrelatif

kecil.

Produksi pertanian tergantung cuaca yang dikaitkan dengan risiko

sistemik, seperti kekeringan dan banjir.

12

Tidak adanya informasi yang standar seperti laporan keuangan atau

sejarah kredit di daerah perdesaan.

Ada kemungkinan bahwa pembayaran kredit dapat dilakukan hanya

sekali, yaitu pada saat musim panen.

Di sisi lain, akses pinjaman informal relatif mudah dan tersedia secara

lokal untuk rumah tangga berpendapatan rendah dengan alasan berikut:

Peminjam informal menggunakan kontrak kredit untuk mengurangi risiko

default.

Peminjam informal memiliki informasi lokal untuk menilai kelayakan

kredit dan kebutuhan rumah tangga (pengetahuan tentang pasar kredit

mikro).

Peminjam informal bersedia untuk menangani pinjaman dalam jumlah

kecil.

Peminjam informal akan mendapatkan keuntungan dari sanksi sosial.

Sanksi-sanksi ini dapat berfungsi sebagai pengganti penegakan hukum.

Peminjam informal menggunakan insentif tertentu untuk melancarkan

pembayaran, seperti meminjamkan kembali kepada peminjam yang segera

melunasi, sehingga dengan secara bertahap akan meningkatkan besaran

pinjaman.

2.2. Program PUAP

Program PUAP dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2007 dan

terlaksana pada tahun 2008. Adapun yang melandasi lahirnya program PUAP oleh

kementerian pertanian ini yaitu perlunya upaya yang sistemik dalam mengurangi

13

kemiskinan dan mengurangi pengangguran di Indonesia (PUAP, 2010).

Masyarakat miskin Indonesia dominan berada di pedesaan dengan mata

pencaharian sebagai petani, baik petani pemilik, penggarap, ataupun buruh tani.

Permasalahan modal menjadi pokok utama untuk dapat menggerakkan

perekonomian di daerah pedesaan. Adapun pada program PUAP ini dapat

digunakan untuk usaha on-farm dan off-farm.

2.2.1. Tujuan, Sasaran, Indikator Keberhasilan PUAP

Tujuan Program PUAP yaitu untuk:

1) Mengurangi kemiskinan dan pengangguran melalui penumbuhan dan

pengembangan kegiatan usaha agribisnis di pedesaansesuai dengan potensi

wilayah.

2) Meningkatkan kemampuan pelaku usaha agribisnis, Pengurus Gapoktan,

Penyuluh dan Penyelia Mitra Tani.

3) Memberdayakan kelembagaan petani dan ekonomi pedesaan untuk

pengembangan kegiatan usaha agribisnis.

4) Meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi petani menjadi jejaring atau

mitra lembaga keuangan dalam rangka akses ke permodalan.

Sasaran dari Program PUAP yaitu:

1) Berkembangnya usaha agribisnis di 10.000 desa miskin yang terjangkau

sesuai dengan potensi pertanian desa.

2) Berkembangnya 10.000 Gapoktan atau Poktan yang dimiliki dan dikelola

oleh petani.

14

3) Meningkatnya kesejahteraan rumah tangga tani miskin, petani atau

peternak (pemilik dan atau penggarap) skala kecil, buruh tani.

4) Berkembangnya usaha agribisnis petani yang mempunyai siklus usaha

harian, mingguan, maupun musiman.

Indikator keberhasilan output antara lain:

1) Tersalurkannya dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) PUAP kepada

petani, buruh tani dan rumah tangga tani miskin anggota Gapoktan sebagai

modal untuk melakukan usaha produktif pertanian.

2) Terlaksananya fasilitasi penguatan kapasitas dan kemampuan sumber daya

manusia pengelola Gapoktan, Penyuluh Pendamping dan Penyelia Mitra

Tani.

Indikator keberhasilan outcome antara lain:

1) Meningkatnya kemampuan Gapoktan dalam memfasilitasi dan mengelola

bantuan modal usaha untuk petani anggota baik pemilik, petani penggarap,

buruh tani maupun rumah tangga tani.

2) Meningkatnya jumlah petani, buruh tani dan rumah tangga tani yang

mendapatkan bantuan modal usaha.

3) Meningkatnya aktivitas kegiatan agribisnis (hulu, budidaya dan hilir) di

pedesaan.

4) Meningkatnya pendapatan petani (pemilik dan atau penggarap), buruh tani

dan rumah tangga tani dalam berusaha tani sesuai dengan potensi daerah.

15

Indikator benefit dan Impact antara lain:

1) Berkembangnya usaha agribisnis dan usaha ekonomi rumah tangga tani di

lokasi desa PUAP.

2) Berfungsinya Gapoktan sebagai lembaga ekonomi petani di pedesaan yang

dimiliki dan dikelola oleh petani.

3) Berkurangnya jumlah petani miskin dan pengangguran di pedesaan.

2.2.2. Pola Dasar dan Strategi Pelaksanaan Puap

Pola Dasar

Pola dasar PUAP dirancang untuk meningkatkan keberhasilan penyaluran

dana BLM PUAP kepada Gapoktan dalam mengembangkan usaha produktif

petani dalam mendukung 4 (empat) sukses Kementerian Pertanian yaitu: 1)

Swasembada dan swasembada berkelanjutan, 2) Diversifikasi pangan, 3) Nilai

tambah, Daya saing dan Ekspor, dan 4) Peningkatan kesejahteraan petani. Untuk

mencapai tujuan tersebut diatas, komponen utama dari pola dasar pengembangan

PUAP adalah 1) Keberadaan Gapoktan, 2) Keberadaan Penyuluh Pendamping dan

Penyelia Mitra Tani sebagai pendamping, 3) Pelatihan bagi petani, pengurus

Gapoktan, dan 4) penyaluran dana BLM kepada petani (pemilik dan atau

penggarap), buruh tani dan rumah tangga tani.

Strategi PUAP

Strategi dasar PUAP adalah pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan

PUAP, pengoptimalan potensi agribisnis di desa miskin yang terjangkau,

penyediaan fasilitas modal usaha bagi petani kecil, buruh tani dan rumah tangga

tani miskin dan penguatan kelembagaan Gapoktan.

16

Sedangkan strategi Operasional Pengembangan Usaha Agribisnis

Perdesaan (PUAP) adalah:

1) Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan PUAP, dilaksanakan

melalui: a) pelatihan bagi petugas pembina dan pendamping PUAP, b)

rekrutmen dan pelatihan bagi Penyuluh dan PMT, c) pelatihan bagi

pengurus Gapoktan, dan d) pendampingan bagi petani oleh penyuluh dan

PMT.

2) Optimalisasi potensi agribisnis di desa miskin yang terjangkau

dilaksanakan melalui: a) identifikasi potensi desa, b) penentuan usaha

agribisnis (hulu, budidaya dan hilir) unggulan, dan c) penyusunan dan

pelaksanaan RUB berdasarkan usaha agribisnis unggulan.

3) Fasilitasi modal usaha bagi petani kecil, buruh tani dan rumah tangga tani

miskin kepada sumber permodalan dilaksanakan melalui: a) penyaluran

BLM PUAP kepada pelaku agribisnis melalui Gapoktan, b) pembinaan

teknis usaha agribisnis dan alih teknologi, dan c) fasilitasi pengembangan

kemitraan dengan sumber permodalan lainnya.

4) Penguatan kelembagaan Gapoktan dilaksanakan melalui: a) pendampingan

Gapoktan oleh Penyuluh Pendamping, b) pendampingan oleh PMT di

setiap kabupaten atau kota, dan c) fasilitasi peningkatan kapasitas

Gapoktan menjadi lembaga ekonomi yang dimilki dan dikelola petani.

2.2.3. Ruang Lingkup dan Prosedur Penyaluran Dana Kegiatan PUAP

Ruang Lingkup Kegiatan PUAP

Ruang lingkup kegiatan PUAP meliputi: 1) Identifikasi dan verifikasi

17

Desa calon lokasi serta Gapoktan penerima BLM PUAP, 2) Identifikasi, verifikasi

dan penetapan Desa dan Gapoktan penerima BLM PUAP, 3) Pelatihan bagi

fasilitator, penyuluh pendamping, pengurus Gapoktan, 4) Rekrutmen dan

pelatihan bagi PMT, 5) Sosialisasi dan Koordinasi Kegiatan PUAP, 6)

Pendampingan, 7) Penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat, 8) Pembinaan dan

Pengendalian, 9) Pemantauan, evaluasi dan pelaporan.

Prosedur Penyaluran BLM PUAP

1. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Pusat Pembiayaan Pertanian melakukan

proses penyaluran dana BLM PUAP kepada Gapoktan sesuai dengan

persyaratan dan kelengkapan dokumen yang telah ditetapkan.

2. Penyaluran dana BLM – PUAP dilakukan dengan mekanisme Pembayaran

Langsung (LS) ke Rekening Gapoktan.

3. Surat Perintah Membayar (SPM-LS) diajukan ke Kantor Pelayanan

Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta V dengan lampiran :

i. Ringkasan Keputusan MENTERI PERTANIAN tentang

penetapan desa dan Gapoktan.

ii. Rekapitulasi dokumen dari Tim Pembina PUAP Provinsi.

iii. Kwitansi yang sudah ditandatangani Ketua Gapoktan dan

diketahui/disetujui oleh Tim Teknis Kabupaten/Kota dengan

meterai Rp 6.000 (enam ribu rupiah).

4. Penyaluran dana BLM PUAP dari KPPN Jakarta V ke rekening Gapoktan

melalui penerbitan SP2 diatur lebih lanjut oleh Kementerian Keuangan.

18

Sumber: Pedoman PUAP, 2010

Gambar 2.1 Prosedur Penyaluran Dana PUAP

Untuk menjamin pelaksanaan PUAP dapat berjalan sesuai dengan sasaran

dan tujuan, Tim PUAP Pusat membentuk Tim Pengaduan masyarakat untuk

menampung dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat tersebut kepada pihak

yang berwenang, Tim Pembina PUAP Provinsi dan Tim Teknis Kabupaten atau

Kota diharapkan dapat bekerja sama dengan anggota tim untuk melakukan fungsi

pengendalian.

2.2.4. Gabungan Kelompok Tani

Menurut Departemen Pertanian (2010) mendefinisikan Gabungan

Kelompok Tani (Gapoktan) sebagai kumpulan beberapa kelompok tani yang

bergabung dan bekerjasama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi

19

wilayah. Gapoktan terdiri dari atas kelompok tani yang ada dalam wilayah

administrasi desa.

2.2.4. Kelompok Tani

Menurut Departemen Pertanian (2008), kelompok tani diartikan sebagai

kumpulan orang-orang tani atau petani yang terdiri dari petani dewasa (pria atau

wanita) maupun petani taruna (pemuda atau pemudi), yang terikat secara informal

dalam suatu wilayah atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama, kesamaan

kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumber daya) dan

keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota.

2.2.5. Agribisnis

Menurut Departemen Pertanian (2010), Agribisnis adalah rangkaian

kegiatan usaha pertanian yang terdiri atas 4 (empat) subsistem, yaitu (a) subsistem

hulu yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi (input)

pertanian, (b) subsistem pertanian primer yaitu kegiatan ekonomi yang

menggunakan sarana produksi yang dihasilkan subsistem hulu, (c) subsistem

agribisnis hilir yaitu yang mengolah dan memasarkan komoditas pertanian, dan

(d) subsistem penunjang yaitu kegiatan yang menyediakan jasa penunjang antara

lain permodalan, teknologi dan lain-lain.

Banyak masalah dan kendala yang dihadapi para petani sebagai pelaku

agribisnis. Masalah paling strategis yang dihadapi oleh petani Indonesia yaitu

akses terhadap modal atau kapital. Dengan akses pemodalan, perluasan aset,

diiringi dengan usaha peningkatan produktivitas, maka pendapatan petani akan

cepat mengingkat, ekonomi pedesaanakan maju sehingga Indonesia akan menjadi

20

bangsa mandiri (Nainggolan, 2005). Sebagai negara agraris, keunggulan

komparatif Indonesia adalah agribisnis. Keunggulan komparatif merupakan

fundamental perekonomian yang perlu didayagunakan melalui pembangunan

ekonomi sehingga menjadi keunggulan pesaing. Usaha pertanian Indonesia

merupakan sumber pendapatan dan lapangan kerja bagi sebagian besar

masyarakat.

2.2.6. Konsep Usaha Pertanian Budidaya (on-farm) dan Non-Budaya (off-

farm)

1) Konsep Usaha Pertanian Budidaya (On-Farm)

Salah satu subsistem dalam agribisnis yaitu budidaya (on-farm) atau yang

dikenal dengan proses produksi atau budidaya tanaman yang merupakan proses

usaha bercocok tanam atau budidaya di lahan untuk menghasilkan bahan mentah

(raw material). Bahan segar tersebut dijadikan bahan baku untuk menghasilkan

bahan setengah jadi (work in process) atau barang jadi (finished product) di

industri-industri pertanian atau dikenal dengan nama agroindustri. Di dalam

program PUAP yang menjadi bagian off-farm yaitu budidaya pangan, budidaya

hortikultura, perkebunan, dan peternakan.

2) Konsep Usaha Pertanian Non-Budidaya (Off-Farm)

Agribisnis juga mengedepankan aspek bisnis dan pelaku bisnisnya. Dilihat

dari sudut pandang ini, agribisnis dapat diartikan sebagai kegiatan yang terkait

dengan pertanian yang pengelolaan organisasinya dilakukan secara rasional dan

dirancang untuk mendapatkan nilai tambah komersial yang menghasilkan barang

dan jasa. Oleh karena itu, dalam agribisnis proses transformasi material yang

21

diselenggarakan tidak terbatas pada budidaya, tetapi juga proses pra usahatani,

pascapanen, pengolahan, dan niaga yang secara struktural diperlukan untuk

memperkuat bargaining position dalam interaksi dengan mitra transaksi di pasar.

Kegiatan-kegiatan tersebut disebut sebagai kegiatan off-farm, dalam program

PUAP yaitu Industri Rumah Tangga Pertanian, Pemasaran Hasil Pertanian Skala

Mikro (Bakulan dan lain-lain) dan Usaha Lain Berbasis Pertanian.

2.3. Kredit Pertanian

Menurut Undang-Undang perbankan No.7 tahun 1992 tentang pokok-

pokok perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan berdasarkan persetujuan atau kesapakatan pinjam

meminjam antara pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam

melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan

atau pembagian hasil keuntungan.

Peningkatan produksi salah satunya dapat dicapai dengan adanya

penambahan input yang diikuti dengan penambahan modal, sedangkan modal

dapat bersumber dari modal sendiri atau dari modal pinjaman (kredit).

Berdasarkan kepentingan, jenis kredit dapat dibagi menjadi dua yaitu kredit

konsumsi dan kredit produksi. Kredit konsumsi diberikan kepada peminjam yang

kekurangan dana untuk membiayai konsumsi keluarga. Sedangkan kredit produksi

yaitu kredit yang diberikan kepada peminjam untuk membiayai kegiatan usaha

yang bersifat produktif.

Sektor pertanian pada dasarnya memerlukan empat unsur pokok yang

harus selalu ada, dikenal dengan faktor-faktor produksi yaitu tanah, tenaga kerja,

22

modal, dan pengelolaan manajemen. Tujuan dari kredit pertanian, khususnya

kredit program yaitu untuk melindungi golongan ekonomi lemah. Kredit program

mempunyai tujuan ganda, yaitu selain untuk meningkatkan produksi melalui

introduksi teknologi dalam rangka swasembada pangan juga ditujukan untuk

meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi kemiskinan (Ashari, 2006).

2.4. Asimetrik informasi

Teori informasi asimetris terjadi dalam setiap proses transaksi seperti di

pasar tenaga kerja, keuangan dan asuransi. Pasar-pasar ini tidak seperti pasar

dimana pembeli dan penjual bertemu dan memutuskan harga pada saat itu.

Sebaliknya di pasar kredit, ada periode waktu pada saat pengambilan dan

pembayaran pinjamannya. Menurut Stiglitz (1989) dalam Mehrteab (2004)

kontrak keuangan mencakup unsur-unsur yang menyebabkan masalah mendasar

adverse selection dan moral hazard. Sedangkan menurut Simtowe et.al (2006),

informasi yang tidak sempurna setidaknya menyebabkan empat masalah dalam

pasar kredit, yaitu adverse selection, moral hazard, kurangnya asuransi, dan

kurangnya penegakan hukum.

Berbagai usaha pasar keuangan untuk mencoba mengatasi masalah

informasi asimetris cenderung berbeda-beda. Menurut Floro dan Yotopoulos,

(1991) dalam Mehrteab (2004) lembaga keuangan formal cenderung untuk

menangani masalah pemilihan dan insentif dengan memberlakukan persyaratan

agunan atau pembatasan ketat, atau dengan meminta peminjam untuk memberikan

bukti yang terdokumentasi dengan baik, yang menunjukkan keinginan mereka dan

kemampuan untuk membayar. Lembaga keuangan formal biasanya memberikan

23

kredit kepada perusahaan-perusahaan dan lembaga yang aktif di sektor usaha

formal yang memiliki agunan, sejarah kredit dan menggunakan sistem akuntansi.

Sedangkan untuk masyarakat miskin pedesaantidak bisa memberikan

jaminan, tidak memiliki sejarah kredit, dan administrasi yang kurang sehingga

tidak dapat mengakases pasar kredit formal (Ross dan Savanti, 2005). Sehingga

akses terhadap kredit dari MFI (Micro Finance Institution) menggunakan

mekanisme yang memungkinkan perjanjian kredit dengan menggunakan

mekanisme seperti jaringan sosial, ikatan sosial dan sanksi sosial oleh LKM

dalam mengurangi masalah seleksi, insentif dalam transaksi kredit, yang mungkin

tidak efektif digunakan di lembaga-lembaga keuangan formal.

2.5. Teori Group Lending

Kredit berbasis kelompok atau dikenal dengan group lending diberikan

kepada individu-individu yang tergabung dalam sebuah kelompok sehingga dapat

memiliki akses terhadap layanan keuangan dalam sebuah program. Biasanya

program yang dilakukan ditujukan untuk masyarakat miskin yang tidak memiliki

agunan untuk mendapatkan kredit. Menurut Mehrteab (2004), kredit berbasis

kelompok ini dibuat untuk individu tetapi semua anggota kelompok

bertanggungjawab untuk pembayaran utang (prinsip tanggung renteng),

diberlakukan jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun), pembayaran dilakukan

mingguan atau bulanan. Hal ini dilakukan dalam pertemuan kelompok atau

langsung ke lembaga keuangan mikro. Saat ini, banyak program di seluruh dunia

menggunakan pinjaman berbasis kelompok untuk melanjutkan pinjaman kepada

orang miskin.

24

Ukuran keberhasilan program pinjaman kelompok dapat dilihat dari

tingkat pengembalian. Diantara program yang berhasil adalah program yang

dilaksanakan oleh Grameen bank (Bangladesh) dan Bancosol (Banco Solidario)

Bolivia, yang menunjukkan tingkat pengembalian yang tinggi dan dapat

menjangkau jutaan masyarakat miskin. Adapun beberapa contoh lain yaitu: a)

Bank Desa, model Keuangan Mikro dari Amerika Latin pada tahun 1980, b)

koperasi kredit atau credit unions dimana kredit koperasi sebagai lembaga

keuangan berasal dari Jerman di abad kesembilan belas.

Ada beberapa kontribusi positif yang didapat jika menggunakan sistem

group lending yaitu: 1) mengurangi masalah adverse selection, bahwa ketika

dalam pembentukan anggota kelompok ada beberapa yang harus diperhatikan

yaitu mengenai kelayakan kredit dengan bantuan jaringan sosial, sehingga

mencegah kredit yang tidak bertanggungjawab serta yang berisiko. 2) mengurangi

masalah moral hazard, dimana setelah anggota telah menerima pinjaman maka

masing-masing anggota harus saling memantau satu sama lain untuk memastikan

bahwa anggota menggunakan dana kredit untuk proyek yang aman, sehingga akan

menjamin pembayaran kredit. 3) tekanan antar anggota kelompok, yang

dihasilkan mekanisme kelompok sehingga masing-masing anggota dapat

mengurangi moral hazard dan melakukan pembayaran tepat waktu. Anggota

diwajibkan untuk saling memantau untuk menjamin akses kredit di masa yang

akan datang jika ada anggota yang tidak bersedia membayar maka anggota lain

dapat menggunakan tekanan sesama anggota dan sanksi sosial (Mehrteab, 2004).

25

Menurut Nuryartono (2011), group lending tidak dapat dihindarkan dari

permasalahan asymetric information yang dapat menyebabkan adanya moral

hazard dan adverse selection. Untuk mengatasi masalah tersebut dapat digunakan

skema pembiayaan tanggung jawab terbatas (joint liabilities) yang ditunjukkan

oleh Gambar 2.2.

Sumber Simtowe et.al (2006) dalam Nuryartono (2011)

Gambar 2.2 Skema Pembiayaan dengan Model Joint Liabilities

Skema pada gambar 2.2, ini menjelaskan hubungan antara permasalahan

yang timbul pada setiap kredit yang disalurkan dengan solusi teoritis yang

diajukan dalam periode waktu tertentu. Pada tanggung jawab bersama, tahap

pertama adalah tahapan yang dilalui sebelum pengadaan kontrak. Tahapan

tersebut menyakup seleksi anggota. Masalah yang timbul pada tahapan ini adalah

adverse selection. Masalah tersebut dapat diatasi dengan mengadakan seleksi

secara ketat terhadap pemilihan anggota dalam kelompok. Tahap kedua yaitu pada

26

periode investasi, para peminjam dihadapkan pada masalah ex-ante moral hazard.

Hal ini terjadi ketika peminjam memutuskan untuk berinvestasi dalam proyek

yang berisiko atau menyalahgunakan dana. Sehingga yang harus dilakukan

menurut solusi teoritis yaitu dengan pengawasan yang dilakukan antara anggota

dan petugas dari lembaga keuangan mikro.

Tahap ketiga mengenai hasil investasi dari dana yang telah diberikan,

investasi ini mungkin gagal karena beberapa alasan atau diakibatkan oleh hal-hal

yang diluar kendali peminjam. Masalah yang dihadapi pada tahap ini adalah

tanggungjawab terbatas. Berdasarkan kewajiban dan tanggung jawab pinjaman

bersama maka setiap anggota yang tidak mengalami kesulitan dapat membantu

membayar anggota lain yang mengalami kegagalan bayar (intra-group asuransi).

Masalah terakhir adalah berkaitan dengan ex-post moral hazard. Hal ini terjadi

ketika usaha telah dilakukan dan keuntungan hasil investasi telah terwujud, bila

peminjam menemukan jalan untuk menyimpangkan dana yang seharusnya untuk

pembayaran pinjaman tetapi ditujukan untuk tujuan lain. Dalam kewajiban

pinjaman bersama, untuk menerapkan tekanan sesama dan sanksi sosial dapat

memecahkan masalah ex-post moral hazard.

2.6. Model Probit

Model probit adalah jenis regresi yang digunakan untuk menganalisis

variabel binominal. Menurut Juanda (2008), model probit ialah model yang

prediksi nilai Y (dependen) berada dalam selang (0;1) untuk semua nilai peubah

bebas X. Adapun fungsi peluang kumulatif (cumulative probability function), F2

.

Sebaran peluangnya dapat direpsentasikan dalam bentuk

27

Pi = F (a + β Xi) = F (Zi)……………………………………………. (persamaan 1)

Model peluang probit berkaitan dengan penggunaan transformasi fungsi

peluang kumulatif, diasumsikan bahwa ada suatu indeks Zi yang bernilai kontinu

secara teoritis, yang ditentukan oleh nilai peubah penjelas X sehingga dapat

ditulis:

Zi = a + β Xi……………………………………………………….....(persamaan 2)

Model probit mengasumsikan bahwa Z merupakan peubah acak yang

menyebar normal sehingga peluang bahwa Z lebih kecil (atau sama dengan) Zi

dapat dihitung dari fungsi peluang normal kumulatif. Fungsi peluang normal baku

kumulatif dapat dituliskan dalam rumus:

Pi = F (Zi) = ds………………………………………(persamaan 3)

dimana s adalah suatu peubah acak menyebar normal dengan nilai tengah 0 dan

ragam 1. Dengan rumus transformasi di atas, peubah Pi akan bernilai dalam

selang (0:1). Pi menggambarkan peluang individu berkarakteristik Xi memilih

pilihan-1. Karena nilai peluang diukur berdasarkan luas daerah dibawah kurva

normal baku dari -~ sampai Zi, maka peluang pilihan-1 makin tinggi jika nilai

indeks Zi makin tinggi. Untuk menduga indeks Zi, kita menggunakan kebalikan

(inverse) dari fungsi normal baku kumulatif.

Zi = F-1

(Pi) = a + β Xi ………………………………………………(persamaan 4)

28

2.7. Penelitian Terlebih dahulu

Simtowe dan Zeller (2006) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor

yang memengaruhi moral hazard dalam group lending programs di Malawi

menunjukkan bahwa mesikpun group lending dengan joint liability telah

dipraktekkan untuk lebih dari empat dekade, ketidakinginan untuk membayar

cicilan kredit tetap saja menjadi alasan utama terjadinya gagal bayar di Malawi.

Beberapa faktor yang diduga menjadi sumber terjadinya perilaku moral hazard

diantaranya adalah peer-selection, peer-monitoring, social ties, peer-presure,

dynamic incentives dan pencocokan masalah.

Pada screening khususnya dalam peer selection signifikan dan

berpengaruh negatif terhadap indikasi terjadinya moral hazard. Peer monitoring,

pada anggota sudah bergabung dengan perusahaan signifikan dan berpengaruh

negatif, faktor anggota kelompok yang tidak mengetahui susunan kelompok

signifikan dan bepengaruh positif pada indikasi moral hazard. Pada social ties,

jumlah desa asal anggota berpengaruh signifikan dan bersifat positif terhadap

indikasi moral hazard. Pada peer-presurre, adanya desakan sebelum jatuh tempo

berpengaruh signifikan dan bersifat negatif terhadap indikasi moral hazard.

Hermes, Lensink dan Teki (2003) dalam Nuryartono (2011), melakukan

studi mengenai dampak pengawasan serta ikatan sosial terhadap perilaku moral

hazard di dalam group lending programs di Eritrea, Afrika. Temuan empiris

menyatakan bahwa peer monitoring yang dilakukan oleh pemimpin kelompok dan

ikatan sosial dari pemimpin kelompok membantu mengurangi perilaku moral

hazard dari suatu kelompok. Sebaliknya, peer monitoring dan ikatan sosial yang

29

dilakukan oleh anggota kelompok lain tidak berkaitan dalam mengurangi

terjadinya perilaku moral hazard di dalam kelompok tersebut. Adapun salah satu

alasan penting yang mendukung temuan diatas adalah karena keteraturan dalam

hubungan dan jarak yang pendek antara pemimpin kelompok dan anggota

kelompok membantu mengurangi penyalahgunaan kredit oleh anggota individu

suatu kelompok. Selain itu, rupanya anggota kelompok hanya merasa tertekan

untuk berperilaku secara bijaksana ketika pemimpin kelompoknya melakukan

pemantauan. Hal ini terjadi karena pemimpin kelompok tersebut dianggap lebih

memiliki peran terhadap sanksi moral hazard atas perilaku anggota kelompoknya.

Hal yang sama juga ditemukan oleh Nuryartono, Effendi dan Wawan

(2009) dalam Nuryartono (2011) terhadap salah satu lembaga keuangan mikro

yang mengindikasikan bahwa adanya ikatan sosial (modal sosial) yang kuat

melalui penyaluran kelompok mampu mengurangi gagal bayar baik secara

individu maupun kelompok itu sendiri.

Kugler dan Opples (2005) dalam Nuryartono (2011) secara empiris

menggali serta memeriksa profil resiko dari peminjam individu dan menghasilkan

heterogenitas kelompok untuk mengidentifikasi peran kontribusi perorangan

terhadap proyek investasi di Cotonou. Bukti empiris menunjukkan bahwa

sementara diversifikasi di dalam kelompok memudahkan pengelompokkan resiko,

hal ini juga meningkatkan ekspektasi gagal bayar untuk peminjam dengan resiko

rendah. Agunan akan membantu meniadakan dan mengurangi potensi negatif

spillovers dari gagal bayar kelompok, hal ini disebabkan oleh anggota kelompok

yang memiliki proyek dengan resiko lebih tinggi. Kugler dan Opples (2005)

30

dalam Nuryartono (2011) juga menemukan bahwa joint liability merupakan salah

satu mekanisme untuk pembagian resiko (risk sharing) bagi rumah tangga miskin

yang sulit untuk menyediakan agunan dan tidak memiliki asuransi. Sehingga

mekanisme joint liability di dalam group lending programs adalah kondusif

terhadap ketentuan asuransi selama terdapat mekanisme bagi investor (anggota)

yang memiliki resiko tinggi untuk mengkompensasi anggota yang memiliki resiko

rendah.

2.8. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan permasalahan dan tujuan, maka secara garis besar kerangka

pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.3. Kerangka pemikiran

penelitian ini berawal dari program pemerintah yang dikeluarkan oleh

Kementerian Pertanian Indonesia yaitu Program PUAP. Program ini dijalankan

pada tahun 2008 ditujukan untuk petani (pemilik, penggarap, buruh dan rumah

tangga) miskin yang memiliki keunggulan komoditi dengan tujuan mengurangi

kemiskinan dan pengangguran di pedesaan. Program PUAP terdiri dari tiga

fasilitas yaitu modal usaha, penyuluhan dan pelatihan, serta teknologi. Penelitian

ini berfokus pada pemberian dana program PUAP. Program ini menggunakan

sistem kredit kelompok untuk menyalurkan dana PUAP.

Kabupaten Cianjur dipilih sebagai lokasi penelitian, karena paling banyak

mendapatkan dana Program PUAP tahun 2009. Kabupaten Cianjur memberikan

kebijakan skema pemberdayaan dana PUAP sepenuhnya kepada masing-masing

Gapoktan yang ada setiap desa, sehingga kemungkinan besar setiap Gapoktan

memiliki mekanisme kredit yang berbeda-beda. Setelah itu, menganalisis

31

penyebab indikasi moral hazard pada pelaksanaan program PUAP di Wilayah

Utara Kabupaten Cianjur.

Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian

2.9. Hipotesis

1. Peer selection (seleksi anggota) atau mengenal calon anggota sebelum

bergabung dalam kelompok signifikan dan berpengaruh negatif terhadap

indikasi moral hazard.

PROGRAM PUAP

Modal / Dana PUAP Teknologi Pelatihan atau

Penyuluhan dan

Pendampingan

Mekanisme Sistem kredit kelompok

Penyebab Moral

hazard

Mengurangi kemiskinan

dan pengangguran di

perdesaan

Gapoktan Kabupaten Cianjur PUAP

2009

Indikator penyebab

adanya insiden

Moral hazard:

- Peer monitoring

- Peer selection

- Sosial Ekonomi

32

2. Peer monitoring, ketua kelompok memantau atau bertanggungjawab untuk

mengunjungi masing-masing anggota signifikan dan berpengaruh negatif

pada indikasi moral hazard.

3. Peer monitoring, saling mengunjungi atau memantau diantara anggota

kelompok berpengaruh signifikan dan berpengaruh negatif terhadap

indikasi moral hazard.

4. Sosial ekonomi, pekerjaan utama sebagai petani berpengaruh signifikan

dan berpengaruh positif terhadap indikasi moral hazard.