bab ii tinjauan pustaka wilayah pesisir.pdf

14
7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Secara ekologis wilayah pesisir adalah suatu kawasan yang merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan. Wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Wilayah pesisir ke arah daratan, baik yang kering maupun terendam air masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin (Dahuri et al. 1996). Defenisi di atas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, baik di darat maupun di laut dan antara habitat tersebut saling berinteraksi. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir merupakan wilayah yang paling rentan terhadap dampak negatif aktivitas manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung atau tidak langsung berdampak terhadap ekosistem pesisir (Primavera 2006). Wilayah pesisir merupakan kawasan yang mempunyai karakteristik, problem yang unik dan kompleks. Secara ekonomis, wilayah pesisir sebagai sarana pelabuhan dan bisnis komersial, serta mempunyai daya tarik yang besar sebagai tujuan wisata dan tujuan lainnya yang dapat menghasilkan banyak keuntungan finansial (Cicin-Sain and Knecht 1998). Disamping itu, wilayah pesisir dihuni oleh lebih dari setengah penduduk dunia. Hampir dua pertiga dari kota-kota terbesar dunia terletak di wilayah pesisir dan pertumbuhan populasi penduduknya lebih cepat dibanding wilayah lainnya. Hingga saat ini, lebih dari 60% penduduk Indonesia tinggal dan bekerja di wilayah pesisir (meliputi areal 50 km dari garis pantai) dan dua pertiga dari kota-kota di Indonesia berlokasi di wilayah pesisir (Dahuri et al. 1996). Produksi dan jasa dari wilayah pesisir dan laut juga menyediakan berbagai peluang dan kesempatan kerja. Diperkirakan satu dari lima pekerjaan yang ada di Indonesia berhubungan dengn pesisir dan laut. Sekitar 20% dari produk domestik regional bruto (PDRB) berasal dari wilayah pesisir dan laut, melalui kegiatan

Upload: siti-kamariah-muhammad-idrus

Post on 26-Oct-2015

289 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

tentang daerah pesisir, pengertian, pembahasan

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka wilayah pesisir.pdf

7

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Wilayah Pesisir

Secara ekologis wilayah pesisir adalah suatu kawasan yang merupakan

wilayah peralihan antara laut dan daratan. Wilayah pesisir mencakup bagian laut

yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti

sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia

seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Wilayah pesisir ke arah daratan,

baik yang kering maupun terendam air masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti

pasang surut, angin laut dan perembesan air asin (Dahuri et al. 1996). Defenisi di

atas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem

yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, baik di darat

maupun di laut dan antara habitat tersebut saling berinteraksi. Selain mempunyai

potensi yang besar, wilayah pesisir merupakan wilayah yang paling rentan

terhadap dampak negatif aktivitas manusia. Umumnya kegiatan pembangunan

secara langsung atau tidak langsung berdampak terhadap ekosistem pesisir

(Primavera 2006).

Wilayah pesisir merupakan kawasan yang mempunyai karakteristik,

problem yang unik dan kompleks. Secara ekonomis, wilayah pesisir sebagai

sarana pelabuhan dan bisnis komersial, serta mempunyai daya tarik yang besar

sebagai tujuan wisata dan tujuan lainnya yang dapat menghasilkan banyak

keuntungan finansial (Cicin-Sain and Knecht 1998). Disamping itu, wilayah

pesisir dihuni oleh lebih dari setengah penduduk dunia. Hampir dua pertiga dari

kota-kota terbesar dunia terletak di wilayah pesisir dan pertumbuhan populasi

penduduknya lebih cepat dibanding wilayah lainnya. Hingga saat ini, lebih dari

60% penduduk Indonesia tinggal dan bekerja di wilayah pesisir (meliputi areal 50

km dari garis pantai) dan dua pertiga dari kota-kota di Indonesia berlokasi di

wilayah pesisir (Dahuri et al. 1996).

Produksi dan jasa dari wilayah pesisir dan laut juga menyediakan berbagai

peluang dan kesempatan kerja. Diperkirakan satu dari lima pekerjaan yang ada di

Indonesia berhubungan dengn pesisir dan laut. Sekitar 20% dari produk domestik

regional bruto (PDRB) berasal dari wilayah pesisir dan laut, melalui kegiatan

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka wilayah pesisir.pdf

8

ekonomi seperti: perikanan, pariwisata, pertambangan, perhubungan, kehutanan

dan industri (Dahuri et al. 2009).

Dibalik prospek cerah dari wilayah pesisir dengan laju pertumbuhan

penduduk dan berbagai aktivitas di sekitarnya, menimbulkan berbagai tekanan

terhadap sumberdaya, yang diindikasikan dengan munculnya berbagai problem di

wilayah pesisir. Beberapa kawasan pesisir dan laut di Indonesia, seperti: Pantai

Utara Jawa, Selat Malaka, Teluk Jakarta, Selat Makassar dan lain-lain telah

mengalami kerusakan sampai pada tingkat daya dukung lingkungan yang tidak

mampu lagi ditolelir. Eksploitasi yang berlebihan terhadap ekosistem mangrove

dan terumbu karang akan menghilangkan fungsi ekologisnya seperti peredam

badai dan gelombang, menurunnya jumlah tangkapan dan produksi perikanan

serta terjadinya pencemaran perairan pesisir akan berdampak terhadap hilangnya

beberapa jenis spesies ekonomis penting (Cicin-Sain & Knecht 1998).

Pencemaran merupakan salah satu faktor yang paling penting di antara

penyebab kerusakan wilayah pesisir dan laut (Dahuri et al. 1996). Hal ini

disebabkan karena pencemaran tidak saja merusak habitat atau mematikan

komponen biota perairan, tetapi juga dapat membahayakan kesehatan bahkan

mematikan manusia yang memanfaatkan biota dari wilayah pesisir yang tercemar.

2.2 Daya Dukung Perairan Pesisir

Daya dukung adalah batasan banyaknya organisme hidup dalam jumlah

atau massa yang dapat didukung oleh suatu habitat. Daya dukung lingkungan

sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang

menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa

menyebabkan pencemaran. Jadi, daya dukung adalah ultimate constrait yang

diperhadapkan pada biota oleh adanya keterbatasan lingkungan seperti

ketersediaan makanan, ruang, tempat berpijah, penyakit, siklus predator, cahaya

matahari atau salinitas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

memperkirakan daya dukung suatu kawasan pesisir untuk pengembangan

budidaya adalah faktor kualitas dan kuantitas perairan. Faktor kualitas perairan

berhubungan dengan kualitas fisik, kimia dan biologi perairan, sedangkan faktor

kuantitas berhubungan dengan kemampuan wilayah pesisir untuk melakukan

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka wilayah pesisir.pdf

9

degradasi secara alami terhadap limbah yang masuk kedalam perairan pesisir

tersebut (Widigdo & Suwardi 2002).

Kuantitas atau volume air yang tersedia telah digunakan untuk

menentukan jumlah pakan maksimum tahunan yang dapat diberikan untuk

menentukan daya dukung lahan pada budidaya air tawar di Denmark (Roque

d’Orbcastel et al. 2008). Metode yang sama digunakan oleh Widigdo &

Pariwono (2003) untuk menentukan daya dukung lingkungan kawasan

pertambakan di kabupaten Subang (Jawa barat), Teluk Jakarta (Jakarta) dan

Kabupaten Serang (Banten), Sitorus (2005) in Prasita (2007) di Kabupaten

Subang (Jawa Barat), Prianto et al. (2006) di Kota Dumai (Riau), Prasita (2007) di

Kabupaten Gresik, dan Mustafa dan Tarunamulia (2009) di Kabupaten Barru.

Modifikasi Metode tersebut telah digunakan dalam penelitian yang bertujuan

untuk mengetahui daya dukung perairan dan kapasitas asimilasi alaminya untuk

menampung limbah bagi pengelolaan tambak secara berkelanjutan.

Allison (1981) in Widigdo & Suwardi (2002) menyatakan bahwa

kelayakan perairan umum untuk kegiatan budidaya maka perairan penerima

limbah harus memiliki volume 60–100 kali lipat volume limbah cair yang dibuang

ke perairan tersebut. Jumlah limbah cair maksimum dari kegiatan budidaya yang

masuk ke perairan umum adalah 10% dari total volume air perairan penerima

limbah. Limbah cair maksimum dari kawasan budidaya yang dibuang ke perairan

umum sebesar 10% dari total volume tambak atau kolam, maka volume air

tambak/kolam maksimum adalah 10% volume air perairan umum (air yang masuk

ke perairan pantai).

Daya dukung kawasan untuk perikanan budidaya dipengaruhi oleh

berbagai faktor antara lain : daya dukung lahan, tingkat tekhnologi budidaya yang

diterapkan dan manajemen usaha. Daya dukung lahan budidaya dipengaruhi oleh

gabungan berbagai faktor seperti mutu sumber air (salinitas), arus air di pantai,

pasang surut, ketinggian lahan, dan kondisi tanah pantai.

Untuk menjaga kelestarian kawasan pesisir dari kerusakan maka menjadi

sangat penting untuk menentukan adanya kawasan penyangga (green belt),

menetapkan atau mempertahankan kawasan lindung. Menurut Kepres Nomor 32

Tahun 1990, penentuan zona lindung untuk sempadan sungai memperhatikan :

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka wilayah pesisir.pdf

10

(1) sekurang-kurangnya 100 m kiri-kanan sungai besar dan 50 m di kiri-kanan

anak sungai yang berada di luar pemukiman; dan (2) untuk sungai di kawasan

pemukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun

jalan inpeksi antara 10–15 m. Kriteria yang dapat dipakai untuk penentuan

kawasan lindung mangrove adalah minimal 130 kali rata-rata perbedaan pasang

tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis surut terendah kea rah darat.

Secara ekologis terdapat saling keterkaitan antara tambak dan mangrove.

Ekosistem mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar

khususnya bahan-bahan organik (Robertson & Phillips 1995; Primavera 2006).

Disamping itu, mangrove berfungsi sebagai kawasan penting untuk breeding

grounds, nursery area dan habitat bagi berbagai biota perairan (Odum 1972;

Widigdo & Suwardi 2002).

2.3 Kualitas Perairan Pesisir

2.3.1 Suhu

Suhu perairan merupakan parameter fisika yang mempengaruhi

sebaran organisme akuatik dan reaksi kimia. Peningkatan suhu perairan secara

langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan organisme suatu

perairan (Wardoyo 1987). Suhu perairan merupakan suatu parameter penting,

karena suhu perairan dapat mempengaruhi parameter fisika dan kimia yang

lain. Di samping itu suhu merupakan faktor lingkungan yang

mempengaruhi laju pertumbuhan dan derajat kelangsungan hidup, serta

meningkatnya laju metabolisme. Suhu suatu perairan dipengaruhi oleh suhu udara

di atasnya. Dengan demikian suhu air dipengaruhi oleh kondisi iklim clan

cuaca saat pengamatan. Menurut Nybakken (1992) suhu perairan di daerah

pesisir mempunyai perbedaan yang nyata di bagian permukaan dan dasar perairan,

dimana suhu di bagian permukaan lebih tinggi daripada di dasar perairan. Suhu

air yang berkisar antara 35 - 40°C, merupakan suhu kritis bagi kehidupan

organisme air, yang dapat menyebabkan kematian.

2.3.2 Salinitas

Salinitas menggambarkan kandungan garam dalam air suatu perairan. Air

laut pada umumnya memiliki salinitas 32 ppt. Salinitas di daerah perairan

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka wilayah pesisir.pdf

11

pesisir bertluktuasi dan dipengaruhi oleh musim, topografi, pasang surut serta

jumlah air tawar yang masuk ke laut. Pasang surut dapat menyebabkan perubahan

salinitas, sewaktu pasang air taut jauh masuk ke arah hulu dan sebaliknya sewaktu

surut garis isohalin bergeser ke arah hilir (Odum 1971). Salinitas perairan

sangat berpengaruh terhadap daya tahan tubuh dan sistem osmoregulasi

organisme perairan. Menurut Nybakken (1992) salinitas di berbagai tempat.

2.3.3 Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut atau dikenal dengan istilah DO (dissolved oksigen)

adalah faktor penting bagi kehidupan makhuk hidup termasuk biota. perairan.

Oksigen adalah salah satu gas yang ditemukan terlarut pada perairan. Kadar

oksigen terlarut di perairan alami bervariasi bergantung pada suhu, salinitas,

turbulensi air dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen berkurang dengan

semakin meningkatnya suhu, ketinggian dan berkurangnya tekanan

atmosfer (Jeffries & Mills 1996 in Effendi 2000)

Welch (1952) in Sulardiono (1997) menyatakan bahwa oksigen terlarut

dalam air umumnya berasal dari difusi oksigen, arus atau aliran air melalui air

hujan dan fotosintesis, sedangkan oksigen terlarut dapat berkurang

disebabkan karena naiknya suhu air, meningkatkan salinitas, proses

respirasi organisme perairan dan proses dekomposisi bahan organik oleh

mikroba. Alaerst & Sartika (1987) menyatakan bahwa kelarutan oksigen dalam

air dapat mencapai 14.6 mg/l pada suhu 0°C dan 7 mg/l pada suhu 35° C pada

tekanan 1 atmosfer.

Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme.

Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung yang

berakibat pada kematian organisme perairan, sedangkan pengaruh yang tidak

langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhimya

dapat membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini disebabkan karena oksigen

terlarut dipergunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang

biak (Rahayu 1991).

Pada perairan yang menerima limbah organik, proses dekomposisi

bahan buangan yang dilakukan oleh bakteri memerlukan oksigen yang cukup.

Apabila jumlah bahan organik melimpah, aktivitas perombakan bakteri

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka wilayah pesisir.pdf

12

memerlukan oksigen yang sangat banyak, sehingga konsentrasi oksigen di

perairan menjadi berkurang, bahkan dalam kondisi tertentu perairan dapat

dalam keadaan tanpa oksigen (anaerob), konsentrasi oksigen kurang dari 1 mg/l

dapat mematikan organisme perairan hanya dalam selang beberapa hari (Swingle

1965 in Sulardiono 1997).

Kondisi kelarutan oksigen yang rendah yang diikuti secara simultan oleh

meningkatnya karbondioksida, penurunan pH air, meningkatnya sama laktat

darah dan menurunnya pH darah ikan, meningkatnya amoniak dan nitrit serta

sejumlah faktor lainnya mengakibatkan adanya kondisi yang disebut sebagai

Low Dissolved Oxygen Syndrome (LODOS) atau dikenal sebagai kondisi

hypoxia. Konsentrasi minimum oksigen terlarut digunakan untuk menduga laju

beban maksimum yang diperkenankan atau daya dukung. Kebutuhan oksigen

juga dikontrol oleh laju pasokan bahan organik. Nutrien diduga mempengaruhi

pasokan oksigen melalui stimulasi produktivitas primer yang pada akhirnya akan

kembali dikonsumsi oleh bakteri dan hewan. Karena itu, ketersediaan oksigen

terlarut dan beban nutrien akan menentukan daya dukung dari suatu perairan

(Widigdo 2000).

2.3.4 Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman atau pH merupakan gambaran jumlah atau lebih

tepatnya aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Secara umum nilai pH

menggambarkan seberapa asam atau basa suatu perairan. Di perairan pesisir atau

laut pH relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya

berkisar antara 7.7–8.4 (Nybakken 1992). Perubahan nilai pH perairan

pesisir yang kecil saja dari nilai alaminya menyebabkan sistem penyangga

perairan tersebut terganggu, sebab air laut sebenarnya mempunyai

kemampuan untuk mencegah perubahan pH. Di dalam perairan, pH

dipengaruhi oleh kapasitas penyangga (buffer) yaitu adanya garam-garam

karbonat dan bikarbonat yang dikandungnya (Boyd 1982).

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka wilayah pesisir.pdf

13

2.3.5 Kecerahan, Kekeruhan dan Padatan Tersuspensi (TSS)

Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya matahari ke

dalam kolom air. Semakin jauh jarak tembus cahaya matahari, semakin luas

daerah yang memungkinkan terjadinya fotosintesa. Kecerahan berbanding

terbalik dengan kekeruhan. Perairan yang kekeruhannya tinggi akan mengurangi

penetrasi cahaya matahari ke dalam kolam air, sehingga membatasi proses

fotosintesa. Besarnya jumlah partikel tersuspensi (TSS) dalam perairan

pesisir, setidaknya pada waktu tertentu dalam setahun, menyebabkan air

menjadi sangat keruh. Kekeruhan tertinggi biasanya terjadi pada saat

aliran sungai maksimum, sedangkan kekeruhan terendah biasanya di dekat

mulut muara (Nybakken 1992).

Menurut Wardoyo (1987) tingkat kecerahan suatu perairan dipengaruhi

oleh inklinasi cahaya dan panjang gelombang air. Semakin dalam intensitas

cahaya menembus air, semakain besar nilai kecerahannya. Kekeruhan berbanding

terbalik dengan tingkat kecerahan. Kecerahan suatu perairan menggambarkan sifat

optik terhadap transmisi cahaya. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air

yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan

oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh organik

dan anorganik baik tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir halus,

bahan anorganik dan bahan organik seperti plankton dan mikroorganisme

lainnya (Davis & Cornwell 1991 in Effendi 2000).

Padatan terlarut menunjukkan tingkat kepekatan padatan dalam suatu

volume air. Sastrawijaya (1991) menyatakan perairan dapat mengandung larutan

yang berupa zat organik dan anorganik. Jika bahan terlarut berupa hara,

maka perairan tersebut akan memiliki produktivitas tinggi, sebaliknya jika

zat terlarut merupakan unsur yang berbahaya (seperti merkuri, timbal) akan

meracuni biota perairan yang tidak jarang dapat mengakibatkan kematian.

Padatan tersuspensi dan kekeruhan memiliki korelasi positif yaitu semakin tinggi

nilai padatan tersuspensi maka semakin tinggi nilai kekeruhan. Akan tetapi

tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan

(Effendi 2000).

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka wilayah pesisir.pdf

14

2.3.6 Kebutuhan Oksigen Biologis (BOD5

BOD

)

5 (biological oxygen demand) yang merupakan gambaran secara tak

langsung kadar bahan organik adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh

mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida

dan air (Davis & Cornwell 1991 in Effendi 2000). Menurut Boyd (1982) nilai

BOD5 menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi selama proses respirasi

oleh mikroba aerob yang terdapat pada botol BOD5 yang diinkubasi pada

suhu sekitar 20° C selama 5 hari dalam keadaan tanpa cahaya.

BOD5 juga memberikan gambaran seberapa besar oksigen yang

diperlukan dalam proses dekomposisi secara biologis (biodegradable) di

perairan. Dengan demikian semakin t inggi nilai BOD5

2.3.7 Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD)

maka akan

memberikan gambaran semakin besarnya bahan organik yang akan

terdekomposisi dengan menggunakan sejumlah oksigen di perairan. Tingginya

aktivitas dekomposisi mengakibatkan banyaknya jumlah bahan organik yang

juga dapat berakibat lebih lanjut pada timbulnya bahan-bahan beracun dan

berbau sebagai hasil sampingan dari proses dekomposisi, seperti amonia dan

hidrogen sulfida. Hal tersebut mengakibatkan menurunnya oksigen terlarut

dalam air yang dapat menyebabkan terganggunya proses metabolisme biota

perairan. Limbah ikan dan udang yang terbuang ke perairan akan

mengalami proses dekomposisi (degradasi) yang dilakukan oleh

bakteri. Salah satu kebutuhan utama dalam mendekomposisi limbah

yang dapat diukur adalah oksigen. Sehubungan dengan hal tersebut

Huisman (1987) in Widigdo et al. (2000) menyatakan bahwa untuk

mendekomposisi 1 kg bahan organik diperlukan oksigen sebesar 1.067

kg.

Nilai COD (chemical oxygen demand) menggambarkan jumlah total

oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi secara kimia bahan organik, baik

yang bisa didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar

didegradasi biologi (non-biodegradable), menjadi CO2 dan H2S. Pada prosedur

penentuan COD, oksigen yang dikonsumi setara dengan jumlah dikromat yang

diperlukan dalam mengoksidasi air sampel (Boyd 1989). Nilai COD juga dapat

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka wilayah pesisir.pdf

15

memberikan indikasi kemungkinan adanya pencemaran limbah industri di dalam

perairan, bila nilai COD jauh lebih besar dari nilai BOD (Alaerst & Santika 1987)

2.3.8 Nitrogen (Amonia, Nitrit, Nitrat) dan Fosfat

Nitrogen dalam perairan dapat berbentuk senyawa amonia, nitri, nitrat dan

senyawa bentuk lain. Senyawa tersebut berasal dari limbah pertanian, pemukiman

dan industri (Alaerst & Santika 1987). Secara alami senyawa amonia di perairan

berasal dari hasil metabolisme hewan dan hasil proses dekomposisi bahan

organik oleh bakteri. Jika kadar amonia di perairan terdapat dalam jumlah

yang terlalu tinggi, lebih besar dart 1.1 mg/l pada suhu 25°C dan pH 7.5 dapat

diduga adanya pencemaran.

Amonia (NH3) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air.

Sumber amonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan

urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air. Senyawa ini

berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang

telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah

amonifikasi (Effendi 2000). Amonia yang terukur di perairan berupa amonia

total (NH3 dan NH4). Kadar amonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0.1

mg/l dan kadar amonia bebas yang tidak terionisasi (NH3) pada perairan tawar

sebaiknya tidak melebihi 0.02 mg/l. Kadar amonia bebas melebihi 0.2 mg/l

bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan (Sawyer & Mc Carty 1978 in Effendi

2000).

Nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di

perairan alami, kadarnya lebih kecil daripada nitrat karena nitrit bersifat tidak

stabil jika terdapat oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan (intermediate)

antara amonia dan nitrat (nitrifikasi) dan antara nitrat dan gas nitrogen

(denitrifikasi) (Effendi 2000). Kadar NO2 di perairan alami sekitar 0.001

mg/l dan sebaiknya tidak melebihi 0.06 mg/l. kadar nitrit melebihi 0.05 mg/l

dapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang sensitif (Moore 1991 in

Effendi 2000)

Nitrat (NO3) merupakan salah satu senyawa yang penting dalam sintesa

protein hewan dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat

menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan organisme (fitoplankton,

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka wilayah pesisir.pdf

16

tumbuhan air), apabila didukung oleh nutrien (nitrogen) terlarut (Alaerst &

Santika 1987).

Fosfat merupakan komponen yang penting bagi

2.4 Limbah di Perairan

kesuburan perairan.

Fosfat dalam air dapat berupa bahan padat atau bahan terlarut. Fosfat padat dapat

terbentuk sebagai suspensi garam-garam yang ticlak larut (Sastrawijaya 1991).

Fosfat yang diserap oleh organisme nabati berada dalam bentuk ortophosphat

yang merepresentasikan nutrien fosfor (P) terlarut dan merupakan

bioavailable phosphorus. Ketersediaan kedua nutrien ini merupakan

gambaran tingkat kesuburan perairan, yang merupakan faktor paling penting

bila perairan hendak dimanfaatkan untuk keperluan perikanan. Konsentrasi

fosfat dalam perairan alami pada umumnya tidak melebihi 0.1 mg/l.

Menurut Wardoyo (1987) kandungan fosfat yang melebihi normal akan

meningkatkan kesuburan perairan dan merangsang pertumbuhan fitoplankton.

Pengertian kualitas lingkungan (perairan) adalah faktor

biofisika-kimia yang mempengaruhi kehidupan organisme perairan dalam

ekosistemnya. Menurut Wardoyo (1987) perairan yang ideal adalah perairan yang

dapat mendukung kehidupan organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya.

Menurut Boyd (1982) kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan

lingkungan perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air

yang nilainya dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu. Pencemaran

didefenisikan sebagai dampak negatif yang berbahaya bagi kehidupan biota,

sumberdaya, kenyamanan ekosistem, serta kesehatan manusia dan nilai guna

lainnya dari suatu ekosistem (Dahuri 2003).

Berdasarkan sumbernya, bahan pencemaran dapat dikategorikan menjadi

dua golongan yaitu dari alam dan kegiatan manusia. Pencemaran yang berasal

dari alam, seperti sedimentasi akibat terjadinya abrasi pantai dan erosi. Menurut

Sutamihardja (1992), pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan manusia di

antaranya adalah penggalian dan pengelolaan sumberdaya melalui

pertambangan, perindustrian dan pertanian (termasuk Perikanan).

Selanjutnya dinyatakan bahwa sumber pencemaran menjadi dua golongan yaitu :

1) limbah bahan organik yang berupa pengkayaan hara yang relatif tinggi,

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka wilayah pesisir.pdf

17

sehingga terbentuk komunitas biotik yang berlebih (blooming) dan 2) zat-zat

kimia toksik yang dapat menurunkan kelimpahan biota perairan dan mematikan

kehidupannya.

2.5 Potensi Limbah Perikanan Budidaya

Masuknya bahan pencemar ke dalam perairan dapat

mempengaruhi kualitas perairan, apabila bahan yang masuk ke perairan

melebihi kapasitas asimilasinya, maka daya dukung lingkungan akan menurun,

sehingga menurun pula nilai guna dan fungsi perairan bagi peruntukan lainnya

(Dahuri & Arumsyah 1994). Nilai kisaran parameter kualitas air yang terukur

dari lingkungan perairan pantai secara langsung dipengaruhi oleh proses

hidrodinamika, misalnya pasang surut, gerakan ombak, pengenceran oleh air

tawar dan sebagainya.

Kegiatan budidaya dapat menghasilkan limbah budidaya yang terbuang ke

lingkungan perairan dan secara nyata dapat mempengaruhi kualitas lingkungan

pesisir (Johnsen et al. 1993). Secara langsung dan tidak langsung dampak

pencemar terhadap lingkungan perairan yaitu menurunnya populasi organisme

dan kerusakan habitat lingkungan perairan sebagai media hidupnya. Dalam

kegiatan perikanan budidaya, penurunan kandungan oksigen terlarut yang

merupakan faktor pembatas bagi kehidupan biota perairan, terjadinya eutrofikasi

akibat pengayaan nutrien (N dan P), yang mengakibatkan terganggunya proses

ekologis perairan serta nilai guna perairan (Karydis 2005)

Kemampuan perairan pesisir dalam mengencerkan limbah selain

ditentukan oleh jumlah beban limbah yang masuk, juga ditentukan oleh faktor-

faktor yang mendukung kemampuan asimilasi perairan tersebut, yaitu faktor

hidro-oseanografi (arus, pasang surut, batimetri) dan volume air penerima limbah.

Apabila limbah yang masuk ke lingkungan perairan pesisir melampaui kapasitas

asimilasi atau kemampuan daya dukung maka akan berdampak terhadap

berubahnya fungsi ekologis perairan pesisir tersebut. Salah satu penyebab

penurunan kualitas lingkungan perairan pesisir adalah buangan limbah budidaya

selama operasional. Buangan limbah tersebut mengandung bahan organik, nutrien

dan pestisida dengan konsentrasi tinggi sebagai konsekuensi dari masukan

akuainput dalam budidaya (Johnsen et al. 1993; McDonal et al. 1996; Boyd et al.

Page 12: BAB II Tinjauan Pustaka wilayah pesisir.pdf

18

1999; Horowitz & Horowitz 2000; Montoya & Velasco 2000; Lin & Yi 2003).

Pada budidaya secara komersial, sebanyak 30% dari total pakan yang diberikan

tidak dikonsumsi oleh ikan dan sekitar 25-30% pakan yang dikonsumsi tersebut

akan diekskresikan (Mc Donal et al. 1996). Hasil ekskresi dan feases akan

meningkatkan nutrien anorganik dan organik yang masuk kedalam ekosistem

perairan. Dampaknya cenderung memperburuk pertukaran air dari perairan

pesisir ke dalam tambak terutama jika kegiatan budidaya terkonsentrasi pada satu

lokasi.

Limbah yang berasal dari tambak di sepanjang pesisir pantai akan

langsung masuk ke laut dan akan berdampak pada penurunan kualitas perairan.

Limbah tersebut akan mengalami proses dekomposisi oleh bakteri, dimana

oksigen merupakan komponen yang sangat dibutuhkan dalam proses dekomposisi

limbah (Widigdo 2000). Hasil monitoring yang dilakukan Primavera (1994) in

Widigdo et al. (2000) menyebutkan bahwa pada tambak udang intensif 15% dari

pakan yang diberikan akan larut dalam air, sementara 85% yang dimakan

sebagian besar juga akan dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk limbah.

Hanya 17% dari pakan yang diberikan dikonversikan menjadi daging udang,

sementara 45% terbuang dalam bentuk ekskresi (metabolism, kelebihan nutrien),

pergantian kulit (moulting) dan pemeliharaan (energi) dan 20% dari pakan akan

dikembalikan dalam bentuk limbah padat berupa feases.

Buangan limbah budidaya dapat mendegradasi lingkungan perairan

apabila limbah tersebut mengandung konsentrasi P terlarut 0.1 mg/l, cenderung

dapat menimbulkan proses eutrofikasi (Alabaster 1982 in Kibria et al. 1996).

Terdapat empat jenis dampak lingkungan yang spesifik dari budidaya intensif

yaitu hipernutrifikasi, pengayaan bentik, BOD5 dan perubahan bakterial (Gowen

et al. 1990 in Silvert 1992). Selanjutnya Barg (1992) menyatakan bahwa limbah

nutrien dan bahan organik dalam bentuk terlarut maupun partikel, berasal dari

pakan yang tidak termakan dan ekskresi, umumnya dikarakterisasi oleh

peningkatan jumlah bahan tersuspensi (TSS), BOD5, COD dan kandungan C, N,

dan P. Sayangnya, sebagian besar informasi yang tersedia tentang limbah yang

dilepaskan dari kegiatan budidaya tambak masih kurang.

Page 13: BAB II Tinjauan Pustaka wilayah pesisir.pdf

19

Laju pergantian air oleh arus dan pasang surut sangat berperan di dalam

proses pembuangan limbah dan memasok oksigen (Barg 1992). Dinamika arus

dan kedalaman air yang menerima beban limbah menentukan tingkat pengenceran

atau penyebaran areal sedimentasi dari pembuangan limbah dan dampaknya

terhadap ekologi sekitar lokasi budidaya (Silvert 1992; Buschmann et al. 1996).

2.5 Potensi Limbah Tambak

Salah satu penyebab pencemaran dalam kegiatan budidaya tambak,

terutama untuk budidaya tambak intensif dan semi intensif adalah melimpahnya

buangan limbah cair organik yang dibuang ke sungai, perairan pantai atau

langsung ke laut (Widigdo 2000). Limbah tambak dapat bersumber dari sisa

pakan, sisa hasil metabolisme (urine dan faeces), bangkai, dan mikroorganisme

lainnya (Poernomo 1992; Sumagaysay & Diego 2003). Limbah organik

terakumulasi dalam bentuk sedimen yang tertahan dan mengendap di dasar

tambak atau terikat pada dinding pematang. Limbah organik banyak mengandung

nutrien (Nitrogen-N dan fosfor-P) yang dapat menimbulkan eutrofikasi (Dahuri et

al 2001). Batas daya tahan (holding capacity) pada lingkungan budidaya dicapai

ketika pertumbuhan ikan terhenti walaupun makanan tersedia, rendahnya suplai

oksigen terlarut dan tingginya buangan metabolisme karena input nutrien yang

tinggi (Helper & Pruginin 1981 in Sumagaysay & Diego 2003). Pada biomassa

ikan yang lebih tinggi, holding capacity lebih dipengaruhi oleh kualitas air seperti

ammonia (N-total), kelarutan oksigen (DO), kebutuhan oksigen biologis (BOD5

2.6 Dampak Limbah Budidaya Terhadap Ekosistem

)

dan padatan tersuspensi (TSS) (Sumagaysay 1998).

Ekosistem pesisir dan laut juga merupakan tempat penampung limbah dari

berbagai aktivitas manusia di sekitarnya. Sebagai tempat penampung limbah,

ekosistem ini memiliki kemampuan yang terbatas tergantung pada volume dan

jenis limbah yang masuk. Apabila limbah tersebut melampaui batas kemampuan

asimilasi wilayah pesisir dan laut, maka akan terjadi kerusakan lingkungan di

kawasan pesisir (Bengen 2000). Salah satu contoh kerusakan kawasan pesisir

akibat limbah buangan aktivitas manusia adalah kawasan pantai utara Pulau Jawa.

Page 14: BAB II Tinjauan Pustaka wilayah pesisir.pdf

20

Pengayaan perairan pantai dengan nutrien, khususnya nitrogen dan fosfor

menyebabkan peningkatan pertumbuhan alga dan tanaman air. Hal ini akan

menyebabkan terganggunya keseimbangan lingkungan perairan pantai. Ketika

nutrien masuk ke dalam perairan pantai, alga dan fitoplankton yang

pertumbuhannya dibatasi oleh suplai nitrogen dan fosfor akan meningkat aktivitas

fotosintesisnya. Pada umumnya fitoplankton akan mengalami blooming dan jenis

yang ada berubah menjadi jenis yang tidak diinginkan dalam jumlah sangat besar.

Fenomena ini disebut sebagai red tide yang berbahaya bagi ikan dan kerang

(Dahuri et al. 2001).

Potensi dampak negatif kandungan nutrien (Nitrogen dan fosfor) yang

masuk ke perairan pantai, dapat dicegah dengan memprediksi kemampuan

perairan pantai melakukan pengenceran terhadap limbah nutrien tersebut. Untuk

menghitung kemampuan perairan pesisir dalam mengencerkan limbah tambak

dapat digunakan rumusan hasil kegiatan Penyusunan Kriteria Eko-Biologis

(Widigdo 2000).

2.7 Analisis Usaha Budidaya Tambak

Pada semua usaha termasuk budidaya tambak, keuntungan menjadi tujuan

utama. Analisis finansial digunakan untuk mengetahui keuntungan yang

diperoleh. Menurut Kadariah et al. (1978) keuntungan adalah total penerimaan

atau total revenue (TR) dikurangi total biaya atau total cost (TC). Usaha tambak

memerlukan modal yang besar dengan resiko yang besar pula. Oleh karena itu

diperlukan suatu analisis kelayakan usaha, untuk mengevaluasi apakah usaha

tersebut layak atau tidak diusahakan dengan mengetahui besar manfaat dan besar

biaya dari setiap unit yang dianalisis.

Komponen biaya dalam analisis usaha budidaya tambak dibedakan

menjadi: (1) biaya investasi, yang terdiri dari pengadaan lahan tambak,

pembersihan lahan, konstruksi tambak, pengadaan peralatan; (2) Biaya

operasional; (3) Biaya cicilan modal dan (4) biaya bunga modal. Komponen

penerimaan yaitu nilai penjualan hasil budidaya tambak (Kadariah et al. 1978).

Analisis finansial adalah analisis terhadap biaya dan manfaat dalam suatu usaha

yang dilihat dari sudut badan atau orang yang menanam modalnya atau yang

berkepentingan langsung terhadap usaha tersebut.