bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id ii.pdf · gerakan pernafasan dan peregangan thorak...

20
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanjut Usia (Lansia) Lansia adalah umur untuk populasi orang tua diatas enam puluh tahun yang disepakati oleh United Nation (UN) (World Health Organization, 2015). Lansia merupakan bagian dari proses tumbuh kembang manusia. Penuaan bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan dan fungsi tubuh baik secara fisik maupun psikologis. Penuan alamiah atau fisiologis harus dibedakan dengan penuan patologis, karena penurunan fungsional manusia tidak hanya disebabkan oleh proses penuaan saja (penuaan fisiologis) tetapi bisa disebabkan oleh penyakit atau penuaan patologis (Pudjiastuti dan Utomo, 2003). Perubahan fisiologis normalnya akan terjadi pada setiap lansia. Perubahaan fisiologis akan terjadi pada beberapa sistem dalam tubuh manusia, yaitu sistem kardiovaskular dan respirasi, sistem saraf, sistem indra, sistem integument dan sistem muskuloskeletal (Pudjiastuti dan Utomo, 2003; Ismayadi, 2004; Martono, 2009). Pada sistem kardiovaskular, kemampuan peregangan jantung akan berkurang, karena perubahan jaringan ikat pada penumpukan lipofusin, ventrikel kiri mengalami hipertrofi, dan masa jantung bertambah. Arteri pada lansia akan mengalami penurunan hingga 50% dalam menjalankan fungsinya. Demikian pula

Upload: dangxuyen

Post on 27-May-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lanjut Usia (Lansia)

Lansia adalah umur untuk populasi orang tua diatas enam puluh tahun

yang disepakati oleh United Nation (UN) (World Health Organization, 2015).

Lansia merupakan bagian dari proses tumbuh kembang manusia. Penuaan bukan

suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang

ditandai dengan penurunan kemampuan dan fungsi tubuh baik secara fisik

maupun psikologis. Penuan alamiah atau fisiologis harus dibedakan dengan

penuan patologis, karena penurunan fungsional manusia tidak hanya disebabkan

oleh proses penuaan saja (penuaan fisiologis) tetapi bisa disebabkan oleh penyakit

atau penuaan patologis (Pudjiastuti dan Utomo, 2003).

Perubahan fisiologis normalnya akan terjadi pada setiap lansia.

Perubahaan fisiologis akan terjadi pada beberapa sistem dalam tubuh manusia,

yaitu sistem kardiovaskular dan respirasi, sistem saraf, sistem indra, sistem

integument dan sistem muskuloskeletal (Pudjiastuti dan Utomo, 2003; Ismayadi,

2004; Martono, 2009).

Pada sistem kardiovaskular, kemampuan peregangan jantung akan

berkurang, karena perubahan jaringan ikat pada penumpukan lipofusin, ventrikel

kiri mengalami hipertrofi, dan masa jantung bertambah. Arteri pada lansia akan

mengalami penurunan hingga 50% dalam menjalankan fungsinya. Demikian pula

6

dengan sistem respirasi, sistem respirasi pada lansia mengalami perubahan pada

jaringan ikat paru, kapasitas total paru tetap sedangkan volume cadangan paru

bertambah. Pada lansia untuk mengkompensasi kenaikan ruang rugi paru, volume

tidal menjadi bertambah. Udara ke paru-paru lansia berkurang dan terjadi

perubahan pada sendi, kartilago, dan otot thorak mengakibatkan gangguan pada

gerakan pernafasan dan peregangan thorak (Pudjiastuti dan Utomo, 2003;

Ismayadi, 2004).

Pada sistem saraf lansia akan mengalami penurunan koordinasi dan

kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan

persepsi sensoris, respon motorik pada sisitem saraf pusat dan reseptor

proprioseptif mengalami penurunan. Akson, dendrit dan badan sel saraf banyak

mengalami kematian, sedangkan yang hidup mengalami perubahan. Akson pada

medulla spinalis mengalami penurunan 37%. Dendrit mengalami perubahan

menjadi lebih tipis dan kehilangan kontak antar saraf. Daya hantar saraf menurun

10% sehingga gerakan menjadi lamban. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi

kognitif, koordinasi, kekuatan otot, refleks, proprioseptif keseimbangan,

perubahan postur dan peningkatan reaksi (Pudjiastuti dan Utomo, 2003; Martono,

2009).

Sistem penglihatan pada lansia erat kaitannya dengan presbiopi, lensa

mengalami kehilangan elastisitas dan kaku, otot penyangga lensa lemah dan

mengalami kehilangan tonus sehingga daya akomodasi dan ketajaman penglihatan

berkurang (Ismayadi, 2004; Martono, 2009). Pada sistem pendengaran lansia,

mengalami hilangnya sel-sel pada rambut koklear dan reseptor sensoris primer

7

pendengaran. Terjadinya gangguan pendengaran pada lansia disebabkan karena

koagulasi cairan yang terjadi selama otitis media atau tumor seperti kolesteatoma

(Pudjiastuti dan Utomo, 2003; Ismayadi, 2004).

Pada sistem integument lansia yaitu atrofi glandula sebasea dan glandula

sudorifera menyebabkan kulit lansia akan menjadi kering. Selain itu kulit lansia

akan mengalami atrofi, kendur, berkerut, dan berbercak, serta mempunyai pigmen

berwana coklat pada kulit yang dikenal dengan liver spot. Faktor lingkungan

menjadi faktor utama yang menyebabkan perubahan kulit pada lansia, seperti

sinar matahari terutama sinar ultra violet (Pudjiastuti dan Utomo, 2003).

Pada sistem muskuloskeletal, jaringan penghubung (kolagen dan elastin)

yang merupakan protein pendukung jaringan kartilago, tulang, tendon, jaringan

ikat dan kulit mengalami perubahan menjadi cross linking yang tidak teratur.

Selain itu, pada sistem muskuloskeletal juga terjadi penurunan hubungan tarikan

linier pada jaringan kolagen dan penurunan tensile strength serta kekakuan dari

kolagen. Kolagen dan elastin yang merupakan jaringan penghubung mengalami

perubahan kualitatif dan kuantitatif sesuai penuaan. Perubahan jaringan

penghubung tersebut menyebabkan terjadinya penurunan fleksibilitas pada usia

lanjut yang nantinya menimbulkan dampak berupa timbulnya nyeri, penurunan

kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan untuk berdiri dari posisi

duduk, kesulitan jongkok dan kesulitan berjalan. Pada lansia, otot-otot juga akan

mengalami atrofi karena selain berkurangnya aktivitas juga akibat gangguan

metabolik atau denervasi saraf, hal ini dapat diatasi dengan memperbaiki pola

hidup (olahraga atau aktivitas yang terprogram). Dampak yang ditimbulkan akibat

8

dari perubahan morfologis otot tersebut adalah penurunan kekuatan otot,

penurunan fleksibilitas, peningkatan waktu reaksi dan penurunan fungsional otot.

Pada jaringan kartilago akan mengalami granulasi dan mulai melunak yang

nantinya akan menjadi rata. Kemampuan kartilago untuk regenerasi akan

berkurang dan kemampuan degenerasinya akan lebih meningkat. Pada lansia juga

akan mengalami penurunan kepadatan tulang dan bertambahnya jaringan

penghubung, penurunan jumlah dan ukuran serat, dan bertambahnya jaringan

lemak pada otot serta berkurangnnya elastisitas pada fasia, ligamen, dan tendon

yang akan memberikan efek negatif pada lansia (Pudjiastuti dan Utomo, 2003;

Ismayadi, 2004; Martono, 2009).

2.2 Pergelangan Kaki (Ankle)

2.2.1 Anatomi Fungsional Ankle

2.2.1.1 Komponen tulang pada sendi pergelangan kaki

Sendi pergelangan kaki dibentuk oleh 3 artikulasi tulang yaitu bagian

distal tulang tibia, bagian distal tulang fibula, dan tulang talus.

A. Tulang tibia

Tulang tibia memiliki bagian proksimal yang lebih besar dan berat dengan

bentuk korpus triangular dan bagian anterior serta batas medialnya terletak lebih

superfisial. Bagian medial dari tulang tibia membentuk malleolus medial (Lippert,

2011). Permukaan lateral dari malleolus medial merupakan artikular facet untuk

tulang talus. Pada sisi lateral dari distal tibia terdapat fibular notch yang

9

berbentuk konkaf triangular, sebagai tempat artikulasi dengan ujung distal fibula

untuk membentuk sendi distal tibiofibular (Neumann, 2010).

B. Tulang fibula

Tulang fibula merupakan tulang panjang dan pipih yang terletak pada lateral

cruris, sejajar dengan tibia. Sebagian besar dari korpusnya merupakan origo dari

otot-otot. Bagian tepi merupakan batas interoseus dengan tepi tajam menghadap

ke medial. Bagian distal dari tulang fibula membentuk malleolus lateral.

Malleolus lateral berfungsi sebagai katrol untuk tendon peroneus longus dan

brevis. Letak malleolus lateral lebih distal daripada malleolus medial. Pada

bagian medial dari malleolus lateral terdapat artikular facet untuk tulang talus

(Neumann, 2010; Lippert 2011).

C. Tulang talus

Tulang talus merupakan dasar mekanika dari aspeks kaki. Tulang talus terdiri

dari korpus, kolumn, dan kaput. Bentuk tulang talus seperti kubah, konveks secara

antero-posterior dan sedikit konkaf secara medial-lateral. Bagian superior dan

kedua sisi korpus berartikulasi dengan tibia dan fibula (Neumann, 2010; Lippert

2011).

2.2.1.2 Persendian regio pergelangan kaki (ankle)

A. Tibiofibular joint

Secara anatomis, tibiofibular joint bagian superior dan inferior terpisah dari

ankle tetapi memiliki peran memberikan gerakan asesori untuk menghasilkan

gerakan yang lebih luas pada ankle sehingga secara fungsional termasuk ke dalam

regio ankle. Tibiofibular superior joint adalah sendi sinovial plane joint yang

10

dibentuk oleh caput fibula dan facet pada bagian postero-lateral dari tepi

condylus tibia. Sedangkan tibiofibular inferior joint adalah sindesmosis dengan

jaringan fibrous (jaringan ikat) antara tibia dan fibula yaitu ligamen interosseous

tibiofibular dan ligamen tibiofibular anterior serta posterior (Anshar dan

Sudaryanto, 2011).

B. Ankle joint

Ankle joint atau talocrural joint termasuk ke dalam sendi sinovial hinge joint

dibentuk oleh malleolus tibia dan malleolus fibula serta talus. Permukaan

superior dan kedua sisi dari talus tertutupi oleh kartilago artikular dan terjepit

diantara malleolus, bagian ini disebut ankle mortise. Ankle mortise merupakan

permukaan yang konkaf, sementara talus merupakan permukaan yang konveks.

Malleolus medial memanjang sampai menutupi sepertiga dari sisi medial,

sedangkan malleolus lateral menutupi seluruh sisi lateral. Jika dilihat dari

superior, posisi malleolus medial lebih ke anterior daripada malleolus lateral.

Korpus dari talus berbentuk seperti baji dengan bagian anterior yang lebih lebar.

Pada gerakan dorsofleksi ankle, bagian anteriornya akan terjepit diantara

malleolus sehingga membatasi gerakannya. Sedangkan pada gerakan plantarfleksi

ankle, bagian posterior yang lebih sempit terjepit diantara malleolus,

memungkinkan pergerakan talus ke lateral karena luas gerak sendi yang lebih

besar daripada dorsofleksi ankle. Karena mobilitas talus pada gerakan

plantarfleksi ankle disertai posisi malleolus medial yang lebih superior, sehingga

memberikan beban tambahan pada ligamen collateral lateral ankle untuk

mempertahankan stabilitas ankle (Anshar dan Sudaryanto, 2011; Lippert, 2011).

11

Ankle joint diperkuat oleh ligamen deltoideum dan ligamen collateral lateral.

Ligamen deltoideum terdiri atas empat ligamen yang mengikat malleolus medial

tibia dengan calcaneus, talus dan navicular yaitu ligamen calcaneotibia, talotibial

anterior, tibionavicular, dan talotibial posterior. Ligamen deltoideum juga

dibantu oleh ligamen spring (ligamen plantar calcaneonavicular) yang

memberikan hubungan horizontal antara os navicular dan proyeksi sustentaculum

tali pada bagian medial calcaneous (Anshar dan Sudaryanto, 2011).

Ligamen collateral lateral terdiri atas tiga ligamen yang menghubungkan

malleolus lateral dangan bagian upper lateral dari colcaneus serta bagian anterior

dan posterior talus, yang terdiri atas ligamen colcaneofibular, talofibular anterior

dan talofibular posterior. Ligamen collateral lateral lebih lemah daripada

ligamen deltoideum (sisi medial), diantara semua ligamen collateral lateral

terdapat ligamen talofibular anterior yang paling lemah (Anshar dan Sudaryanto,

2011).

C. Subtalar joint

Subtalar joint atau talocalcanea joint termasuk kedalam sendi sinovial plane

joint yang dibentuk oleh permukaan inferior talus dan superior calcaneus.

Subtalar joint diperkuat oleh ligamen talocalcanea interosseus, ligamen

talocalcanea posterior, ligamen talocalcanea lateral. Dibantu oleh ligamen

deltoideum (ligamen calcaneotibial dan talotibial posterior) dan ligamen

collateral lateral (ligamen calcaneofibular dan talofibular posterior) (Anshar dan

Sudaryanto, 2011).

12

D. Talonavicular joint

Secara anatomis dan fungsional, talonavicular joint merupakan bagian dari

talocalcaneonavicular joint. Talonavicular jonit diperkuat oleh ligamen

talonavicular dorsal dan ligamen bifurcatum, serta dibantu oleh ligamen

deltoideum (ligamen tibionavicular) (Anshar dan Sudaryanto, 2011).

E. Transversal tarsal joint

Secara fungsional, transversal tarsal joint merupakan gabungan dari 2 sendi

yaitu talonavicular joint (sisi medial) dan calcaneocuboid joint (sisi lateral),

walaupun secara anatomis terpisah. Transversal tarsal joint distabilisasi oleh

ligamen calcaneocuboid (ligamen plantaris yang panjang dan pendek) serta

dibantu oleh ligamen talonavicular dorsal, ligamen bifurcatum dan ligamen

deltoideum (ligamen tibionavicular) (Anshar dan Sudaryanto, 2011).

F. Intertarsal joint dan tarsometatarsal joint

Intertarsal joint dibentuk oleh tulang-tulang tarsal yaitu tulang navicular,

cuneiforme medial, cuneiforme intermediate, dan cuneiforme lateral serta

cuboideum. Intertarsal joint termasuk ke dalam sendi plane joint non-axial.

Tarsometatarsal joint terdiri atas lima sendi yaitu tarsometatarsal I – V, yang

dibentuk oleh ossa tarsalia bagian distal (cuneiforme medial, cuneiforme

intermediate, cuneiforme lateral, cuboideum) dengan basis metatarsal I sampai V.

Tarsometatarsal joint juga termasuk ke dalam sendi plane joint non-axial (Anshar

dan Sudaryanto, 2011).

13

G. Metatarsophalangeal joint

Metatarsalsophalanngeal joint terdiri atas lima sendi yaitu

metatarsalsophalanngeal joint I – V. Metatarsalsophalanngeal joint merupakan

modifikasi condyloid joint. Metatarsalsophalanngeal joint 1 (ibu jari kaki)

berbeda dengan lainnya karena lebih besar dan memiliki 2 tulang sesamoid

diantaranya (Anshar dan Sudaryanto, 2011).

H. Interphalangeal joint

Interphalangeal joint pada kaki termasuk kedalam sendi hinge joint. Pada ibu

jari kaki hanya terdapat interphalangeal joint, sedangkan pada jari II – V terdapat

proximal interphalangeal joint dan distal interphalangeal joint (Anshar dan

Sudaryanto, 2011).

I. Arkus plantaris

Arkus plantaris terdiri atas arkus longitudinal medial, arkus longitudinal

lateral, dan arkus transversal serta diperkuat oleh :

1. Bentuk tulang dan saling keterketaitan antara tulang satu dengan tulang

lainnya.

2. Ligamen dan aponeurosis plantaris yang merupakan struktur paling penting

dalam mempertahankan arkus.

3. Otot-otot plantaris yaitu otot tibialis posterior, fleksor hallucis longus,

fleksor digittorum longus dan peroneus longus (Anshar dan Sudaryanto,

2011).

14

Gambar 2.1 Struktur Tulang Pembentuk Foot and Ankle (Wolgin, 2012)

2.2.2 Kemampuan Fungsional Ankle

Kemampuan fungsional ankle merupakan kemampuan fisiologis yang

terdapat pada ankle. Regio ankle dan kaki memiliki beberapa sendi dan regio ini

sangat berperan penting dalam melakukan aktivitas seperti : berjalan, berlari, dan

menumpu berat badan saat berdiri. Ankle merupakan pusat titik tumpu berat badan

pada saat tubuh berdiri, berjalan, berlari, dan melakukan aktivitas fisik lainnya.

Biomekanik dari ankle memiliki fungsi sebagai stabilitator dan juga berperan

menjadi lever struktural yang kaku untuk gerakan tubuh saat berjalan atau berlari

(Miller and Alexander, 2003; Anshar dan Sudaryanto, 2011; Sari, 2014).

Kemampuan fungsional ankle pada lansia tidak jauh berbeda dengan

kelompok umur lainnya. Beberapa bentuk aplikasi dari kemampuan fungsional

15

ankle pada lansia meliputi pola jalan, menumpu berat badan saat berdiri dan

aktivitas fisik lainnya. Keseimbangan, kekuatan dan fleksibilitas sangat

diperlukan untuk mempertahankan postur tubuh yang baik pada lansia. Gangguan

kemampuan fungsional ankle pada lansia dapat disebabkan oleh gangguan

musculoskeletal dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis.

Semakin meningkatnya usia seseorang maka akan diikuti dengan penurunan

fungsi sistem tersebut. Penurunan kinerja tersebut secara tidak langsung

mempengaruhi kualitas aktivitas sehari – hari yang dilakukan oleh lansia

(Ismayadi, 2004; Urruela and Egol, 2011; Soliman and Brogan, 2014).

2.2.3 Penurunan Kemampuan Fungsional Ankle pada Lansia

Dalam sistem muskuloskeletal pada lansia terjadi perubahan pada jaringan

penghubung (kolagen dan elastin) menjadi cross linking yang tidak teratur. Cross

linking yang tidak teratur tersebut menyebabkan penurunan fleksibilitas otot

sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk

meningkatkan kekuatan otot, kesulitan untuk berdiri dari posisi duduk, kesulitan

jongkok dan kesulitan berjalan. Hal tersebut menyebabkan penurunan mobilitas

pada lansia yang berpengaruh terhadap kerja otot dan dapat menimbulkan

terjadinya muscle imbalance (Pudjiastuti dan Utomo, 2003; Sari, 2014).

Muscle imbalance menyebabkan otot bekerja menjadi tidak seimbang

dalam mempertahankan kestabilan dan fungsional ankle saat berjalan, berlari,

melompat dan aktivitas lainnya yang melibatkan fungsi pergelangan kaki.

Sehingga otot deep posterior tibia akan bekerja lebih berat saat ankle memasuki

16

fase mid stance ke toe off ketika bejalan dan berlari. Sehingga otot akan cepat

lelah dan beban kontraksi berlebih secara terus menerus (Sari, 2014).

Akibat keadaan lansia yang mengalami penurunan mobilitas menyebabkan

terjadinya keterbatasan gerakan kaki. Gerakan ankle yang terbatas dapat

mengganggu aktivitas yang membutuhkan gerakan ankle yang cukup luas,

sehingga mengalami kesulitan disaat akan memasuki fase mid-stance saat

berjalan, akibatnya gerakan menjadi tidak efisien dan tidak efektif yang

berdampak terhadap penurunan kemampuan fungsional ankle (Saydah, 2013; Sari,

2014).

2.3 Latihan Calf Raises

Latihan calf raises adalah latihan penguatan otot-otot kaki bagian bawah

sekitar regio ankle khususnya calf muscle yang menggunakan beban tubuh

sendiri. Dengan menggunakan beban tubuh sendiri, latihan ini dapat

memaksimalkan kekuatan dari otot sehingga pada otot terjadi peningkatan tonus

otot yang mempengaruhi peningkatan kekuatan otot. Selain itu latihan calf raises

juga mengaktivasi propioceptif, maka dengan latihan ini akan menghasilkan suatu

performance yang lebih baik. Latihan calf raises ditujukan untuk memulihkan

berbagai gerak sendi dan fleksibilitas otot, meningkatkan kekuatan otot dan daya

tahan serta meningkatkan stabilisasi pada ankle, sehingga ankle lebih stabil dan

mencegah terjadinya cedera berulang (He´bert-Losier et al., 2009; Saydah, 2013;

Sari, 2014).

17

Gambar 2.2 Calf Muscle (Malone, 2011)

Latihan calf raises bertujuan untuk menciptakan lengthening dari tendon

achilles dan calf muscle sehingga dapat melepas abnormal crosslink yang

berdampak pada berkurangnya nyeri dan meningkatnya stabilisasi ankle serta

fleksibilitas ankle sehingga terjadinya peningkatan berjalan (Saydah, 2013; Sari,

2014).

Latihan calf raises dilakukan dengan cara, menyiapkan blok atau tangga

terlebih dahulu untuk melakukan standing calf raises. Berdiri dipinggir blok atau

tangga tersebut dengan tangan berpegangan pada tembok. Gerakan pada latihan

calf raises terdiri dari gerakan plantarfleksi dan dorsofleksi ankle. Pada saat

melakukan gerakan plantarfleksi ankle, saat itu ankle sedang mengangkat beban

berat badan sehingga akan terjadi kontraksi konsentrik pada tendon achilles dan

pada otot-otot penggerak plantarfleksi ankle yaitu otot gastrocnemius dan soleus,

yang dibantu oleh otot tibialis posterior, fleksor hallucis longus, fleksor digitorum

longus, serta otot peroneus longus dan brevis (Radford, 2006; He´bert-Losier et

al., 2009; Anshar dan Sudaryanto, 2011; Sari, 2014).

Sedangkan pada otot-otot penggerak dorsofleksi ankle yaitu otot tibialis

anterior, ekstensor hallucis longus, ekstensor digitorum longus, (juga ekstensor

18

jari-jari kaki), dan peroneus tertius akan terjadi kontraksi eksentrik. Saat ankle

kembali kearah gerakan dorsofleksi ankle, maka terjadi kontraksi eksentrik pada

tendon achilles serta pada otot-otot pengerak plantarfleksi ankle. Dan terjadi

kontraksi konsentrik pada otot-otot penggerak dorsofleksi ankle. Latihan ini

bertujuan untuk menciptakan kontraksi eksentrik dari calf muscle sehingga dapat

melepas abnormal crosslink dan dapat menyebabkan fleksibilitas dari jaringan

tersebut membaik. Selain itu, latihan ini juga dapat meningkatkan kekuatan otot

lower leg baik otot-otot penggerak plantarfleksi ankle maupun otot-otot

penggerak dorsofleksi ankle yang berperan dalam gerakan-gerakan ankle saat

berjalan, melompat dan lari, sehingga dapat memaksimalkan fungsional ankle

(Radford, 2006; He´bert-Losier et al., 2009; Anshar & Sudaryanto, 2011).

Gambar 2.3 Latihan Calf Raises (Artamon, 2015)

19

Manfaat pemberian latihan calf raises pada ankle (Saydah, 2013; Sari, 2014) :

1. Meningkatkan fungsional, stabilitas serta keseimbangan ankle

2. Meningkatkan fungsi sensorimotor dan propioceptif

3. Mempertahankan kekuatan otot ankle

4. Meningkatkan fleksibilitas ankle

5. Membentuk dan mengencangkan otot-otot tungkai bawah

6. Memelihara sistem sirkulasi

Prosedur pemberian latihan calf raises (Saydah, 2013; Sari, 2014) :

1. Sebelum melakukan latihan calf raises, pasien terlebih dahulu diberikan

penjelasan tentang bagaimana cara melakukan latihan calf raises dengan

benar dan manfaat atau tujuan dari latihan ini.

2. Kemudian siapkan blok kayu atau gunakan anak tangga sebagai tempat

untuk melakukan latihan calf raises.

3. Terapis memberikan contoh gerakan latihan calf raises yang akan

dilakukan.

4. Kemudian terapis yang bertugas berdiri disamping pasien memberikan

instruksi untuk memulai latihan sesuai dengan yang telah dijelaskan

sebelumnya dan mengawasi pasien selama melakukan gerakan latihan calf

raises.

20

Dosis pemberian latihan calf raises :

Tabel 2.1 Program Pemberian Latihan Calf Raises

Minggu Ke- Frekuensi Intensitas

Repitisi

1 3 x Seminggu Kontraksi selama 3 detik dan

relaksasi selama 6 detik

10 x 3 set

2 3 x Seminggu Kontraksi selama 3 detik dan

relaksasi selama 6 detik

15 x 3 set

3 3 x Seminggu Kontraksi selama 3 detik dan

relaksasi selama 6 detik

15 x 3 set

(Sari, 2015)

2.4 Pengaruh Pemberian Latihan Calf Raises terhadap Kemampuan

Fungsional Ankle pada Lansia

Kemampuan fungsional ankle merupakan kemampuan fisiologis yang

terdapat pada ankle. Pada lansia mengalami penurunan mobilitas yang

menyebabkan terjadinya keterbatasan gerakan kaki karena dalam sistem

musculoskeletal pada lansia terjadi perubahan pada jaringan penghubung (kolagen

dan elastin) menjadi cross linking yang tidak teratur dan terjadi muscle imbalance.

Cross linking yang tidak teratur tersebut menyebabkan penurunan fleksibilitas

otot. Muscle imbalance menyebabkan otot bekerja menjadi tidak seimbang dalam

mempertahankan kestabilan dan fungsional ankle saat berjalan, berlari, melompat

dan aktivitas lainnya yang melibatkan fungsi pergelangan kaki (Miller and

Alexander, 2003; Pudjiastuti dan Utomo, 2003; Saydah, 2013; Sari, 2014).

Pemberian latihan calf raises akan menciptakan lengthening dari tendon

achilles dan calf muscle sehingga dapat melepas abnormal crosslink,

meningkatkan kekuatan otot lower leg baik otot-otot penggerak plantarfleksi

21

ankle maupun otot-otot penggerak dorsofleksi ankle, meningkatkan stabilisasi

ankle serta fleksibilitas ankle (Saydah, 2013; Sari, 2014).

Pada saat melakukan gerakan latihan calf raises terjadi kontraksi

konsentrik dan eksentrik pada tendon achilles serta pada otot-otot penggerak

plantarfleksi ankle maupun otot-otot penggerak dorsofleksi ankle. Pada kontraksi

eksentrik yaitu gerakan dorsofleksi ankle saat melawan beban terjadi aktivitas

kontraktil. Serat-serat otot-otot plantarfleksor ankle yaitu otot gastrocnemius dan

soleus, yang dibantu oleh otot tibialis posterior, fleksor hallucis longus, fleksor

digitorum longus, serta otot peroneus longus dan brevis serta termasuk tendon

achilles tetap berkontraksi melawan peregangan, dan ketegangan ini menahan

berat badan yang menyebabkan terjadinya lengthening dari tendon achilles atau

calf muscle (Radford, 2006; Anshar dan Sudaryanto, 2011).

Selama kontraksi eksentrik, kekuatan otot yang dihasilkan dari otot lebih

tinggi bila dibandingkan dengan kontraksi isometrik dan kontraksi konsentrik. Hal

ini terjadi karena selama kontraksi eksentrik ketegangan yang dihasilkan dari

sliding myofilament meningkat sehingga terjadi peningkatan pada elastisitas

serabut otot yang berdampak pada terlepasnya abnormal crosslink. Selain itu,

pada kontraksi eksentrik pembuluh darah dalam keadaan yang bebas sehingga

memungkinkan nutrisi dan suplai oksigen menjadi tercukupi. Hal ini dapat

mempengaruhi kemampuan fungsional ankle dimana kemampuan fungsional

ankle tersebut akan dapat meningkat dengan pemberian latihan calf raises

(Radford, 2006; Anshar dan Sudaryanto, 2011).

22

2.5 Foot and Ankle Ability Measure (FAAM)

FAAM terdiri dari 2 sub skala yaitu sub-skala fungsi dalam kehidupan

sehari-hari atau activities daily living (ADL) dan sub-skala sports.

Pada sub-skala fungsi dalam kehidupan sehari-hari atau activities daily living

(ADL) terdapat 21 item yaitu :

A1 Berdiri

A2 Berjalan diatas tanah rata

A3 Berjalan diatas tanah rata tanpa sepatu

A4 Berjalan menanjak

A5 Berjalan menurun

A6 Naik tangga

A7 Turun tangga

A8 Berjalan diatas tanah tidak rata

A9 Jalan ditempat

A10 Jongkok

A11 Melangkah dengan jari-jari kaki

A12 Berjalan perlahan

A13 Berjalan 5 menit atau kurang

A14 Berjalan kurang lebih selama 10 menit

A15 Berjalan selama 15 menit atau lebih

A16 Pekerjaan rumah

A17 Aktivitas kehidupan sehari-hari

A18 Perawatan diri

A19 Saat sedang bekerja (berdiri, berjalan)

23

A20 Pekerjaan berat (mendorong/ menarik,mendaki, mengangkat)

A21 Aktivitas rekreasional

Sedangkan pada sub-skala sports terdapat 8 item yaitu :

S1 Berlari

S2 Melompat

S3 Menapak

S4 Memulai dan berhenti dengan cepat

S5 Pergerakan menyilang

S6 Aktivitas dengan efek rendah

S7 Kemampuan untuk menunjukkan aktivitas dengan teknik normal

S8 Kemampuan untuk mengikuti olahraga yang disukai

Pengisian form FAAM, baik pada sub-skala fungsi dalam kehidupan sehari-hari

atau activities daily living (ADL) dan pada sub-skala sports dapat dilakukan

dengan memberi rentang skor 0-4 (Martin et al., 2005) :

0 : Unable to do (tidak dapat melakukan aktivitas dimaksud).

1 : Extreme difficulty (dapat melakukan aktivitas dimaksud dengan bantuan di

2 sisi tubuh).

2 : Moderate difficulty (dapat melakukan aktivitas dimaksud dengan bantuan

di 1 sisi tubuh).

3 : Slight difficulty (dapat melakukan aktivitas dimaksud dengan mandiri tapi

terkadang perlu bantuan).

4 : No difficulty at all (dapat melakukan aktivitas dimaksud dengan mandiri).

24

Penghitungan nilai skor pada FAAM dilakukan dengan cara :

1. Pada sub-skala fungsi dalam kehidupan sehari-hari atau activities daily living

(ADL)

2. Pada sub-skala sports

Keterangan :

- : sampai dengan

Nilai skor akhir untuk masing-masing sub-skala adalah 0-100 dengan pembagian

sebagai berikut :

0-25 : Severely abnormal (fungsional ankle sangat tidak berfungsi normal).

26-50 : Abnormal (fungsional ankle tidak berfungsi normal).

51-75 : Nearly normal (fungsional ankle mendekati fungsi normal).

76-100 : Normal (fungsional ankle normal) (Martin et al., 2005).