bab ii tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab II Tinjauan Pustaka
Pemahaman konseptual tentang kepuasan kerja, motivasi kerja,
dan stres kerja penting sebagai acuan dalam penelitian ini. Temuan-
temuan sebelumnya dan dinamika psikologi yang muncul menuntun
penelitian ini pada penentuan model penelitian yang tepat.
2.1 Kepuasan kerja
2.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja
Terdapat perbedaan pandangan mengenai komprehensifitas teori
kepuasan kerja. Wijono (2012) mengatakan bahwa tidak seorang pun yang
dapat memberikan penjelasan tentang teori kepuasan kerja secara
komprehensif. Di sisi lain, menurut Luthans (2006), Locke memberikan
definisi komprehensif dari kepuasan kerja yang meliputi reaksi atau sikap
kognitif, afektif, dan evaluatif dan menyatakan bahwa kepuasan kerja
adalah “keadaan emosi yang senang astau positif yang berasal dari
penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang”. Menurut Locke
(1976, dalam Judge & Klinger, n.d.) kepuasan kerja adalah “a pleasure or
positive emotional state resulting from the appraisal of one’s or job
experiences”. Locke (1976, dalam Hyun, 2009) mendefinisikan kepuasan
kerja sebagai “the positive emotional state stemming from valuation of a
person’s experience associated with job”. Locke &Luthan (Tella, Ayeni
& Popoola, 2007; Azeem, 2010), tentang definisi kepuasan kerja, yaitu
sebagai “pleasurable or positive emotional state resulting from the
appraisal of ones or job experiences”.
Spector (Murray, 1999) memandang kepuasan kerja sebagai
“a cluster of evaluative feelings about the job”. Sedangkan Wexley &
Yukl (1977, dalam As’ad, 2002) menyebut kepuasan kerja ialah “the way
8
an employee feels about his her job”. Ramayah, Jantan &Tadisina
(Rizwan et al, 2010) menjelaskan “how employees are buoyant to come to
work and how they get enforced to perform their job”. Herzberg et al
mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “the feelings of people toward
their work, or their attitudes” – perasaan orang-orang terhadap
pekerjaannya, atau sikapnya (Tietjen& Myers, 1998).
Ravari et al. (2012) memaparkan beberapa konsep kepuasan kerja
berdasarkan hasil review terhadap 38 artikel kepuasan kerja dalam natur
dan desain kuantitatif, yang diterbitkan antara tahun 1986 dan 2009.
Hasilnya, ia mendefinisikan kepuasan sebagai affect, sikap, ekspektasi,
sistem kepercayaan, dan konstruk multidimensional.
a. Kepuasan sebagai affect
“An individual’s perceptual / emotional reaction to important facets of
work”. Para ahli mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “an affective
(emotional) reaction to one’s job”. Kepuasan kerja adalah suatu reaksi
afektif (emosional) terhadap pekerjaan seseorang. Kepuasan kerja ini
kerap dipengaruhi oleh afektifitas positif dan afektivitas negatif, yang
merupakan variabel kepribadian.
b. Kepuasan sebagai sikap
Sebagai sikap, definisi kepuasan kerja adalah ”a positive (or negative)
evaluative judgment one makes about one’s job or job situation”.
c. Kepuasan sebagai ekspektasi
Sebagai “the evaluation of one’s job and the employing company as
contributing suitably to the attatinment of one’s personal objetives”.
Juga sebagai “the difference between the amount of reward workers
recieve and the amount they believe they should recieve”.
d. Kepuasan sebagai sistem kepercayaan
Values is highlighted by the results of studies suggesting that job
satisfaction decreases when intrinsic work values are not met. Hegney
et al. (2006, dalam Ravari et al. 2012) mendefinisikan bahwa nilai-
nilai sebagai “enduring beliefs that guide the individual’s attitudes,
9
judgements, and behaviors”. Sementara White (Ravari et al.2012)
menyatakan nilai-nilai sebagai “beliefs that are experienced by the
individual as standards that guide how he or she should function”.
e. Kepuasan sebagai konstruk multifacet
Job satisfaction is a complex multidimensional concept. There is no
consensus model for the dimensions of job satisfaction. Disebut
sebagai multifacet construct, artinya facet-facet kepuasan secara
spesifik berhubungan dengan upah, pekerjaan, supervisi, kesempatan
profesional, praktik-praktik organisasional, dan relasi dengan rekan
kerja.
f. Kepuasan sebagai konsep terikat
Various features of the job environment are affecting job satisfaction.
Kepuasan kerja merupakan suatu konsep yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti individual, karakteristik organisasional, mekanika
kerja, dan berbagai faktor lainnya.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, penulis menyimpulkan kepuasan
kerja merupakan reaksi evaluatif individu atas pekerjaannya dengan
melibatkan emosi dan sikap. Reaksi yangpenulis maksudkan adalah
tanggapan afektif individu yang muncul setelah stimulusterkait pekerjaan
terjadi. Stimulus tersebut terkait dengan kebutuhan motivator dan hygiene.
2.1.2 Teori Kepuasan Kerja
Wexley & Yukl(As’ad, 2002), memaparkan beberapa teori
kepuasan kerja,yaitu discrepancy theory, equity theory, dan two factor
theory:
a. Discrepancy theory
Porter (As’ad, 2002) memelopori teori ini dan kemudian
dilanjutkan oleh Locke (As’ad, 2002). Untuk mengukur kepuasan kerja,
Porter menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan
yang dirasakan. Locke menjelaskan bahwa kepuasan kerja seseorang
10
bergantung pada discrepancy antara should be (expectation, needs, atau
values) dengan apa yang menurut perasaannya atau persepsinya telah
diperoleh atau dicapai melalui pekerjaan. Terkait nilai yang dimaksudkan
oleh Locke, Wijono (2012) memperjelasnya, yaitu (1) ketidaksesuaian
yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan individu dengan apa yang
dia terima dalam kenyataannya; dan (2) apa pentingnya pekerjaan yang
diinginkan oleh individu tersebut.
Discrepancy bisa positif atau negatif. Discrepancy positif terjadi
karena apa yang didapat lebih besar daripada apa yang diharapkan.
Sedangkan discrepancy negatif terjadi karena kenyataan lebih rendah
daripada harapan. Contohnya, seorang karyawan bergabung dalam suatu
perusahaan dengan harapan setelah 3 tahun bekerja ia akan mendapat
kenaikan jabatan. Ternyata baru 2 tahun bekerja, ia dipromosikan.
Karyawan ini kemudian mengalami discrepancy positif. Atau, ia tidak
mendapat promosi setelah 3 tahun bekerja, sehingga ia mengalami
discrepancy negatif. Jadi, sikap karyawan terhadap pekerjaannya
tergantung pada bagaimana ia merasakan discrepancy. Hal ini dikuatkan
oleh Wanous & Lawler (1972), yang dikutip oleh Wexley & Yukl (As’ad,
2002).
b. Equity theory
Teori ini menekankan bahwa orang akan merasa puas atau tidak
puas, tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak.
Dalam As’ad (2002, h. 105) dikatakan bahwa perasaan equity dan inequity
atas suatu situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya
dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat lain.
Wexley & Yukl (As’ad, 2002) memaparkan tiga elemen dari keadilan:
1) Input – Output
Input adalah “anything of value that an employee percieves
that he contributes to his job”. Hal ini menunjukkan bahwa input
11
berkaitan dengan kontribusi. Kontribusi ini dapat berupa
pendidikan, pengalaman, pendidikan, jumlah jam kerja, dan
sebagainya. Sedangkan outcome adalah “anything of value that the
employee percieves he obtains from the job”. Outcome
menunjukkan hasil. Hasil yang dimaksud di sini dapat berupa
pembayaran, bonus, status, kesempatan untuk berprestai, atau
berekspresi.
2) Comparison person
Individu membandingkan dirinya dengan orang lain. Dalam
As’ad (2002) disebutkan bahwa comparison person ialah kepada
orang lain dengan siapa karyawan membandingkan rasio input-
outputs yang dimilikinya. Dilanjutkan bahwa comparison person
ini bisa berupa seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempat
lain, atau bisa pula dengan dirinya sendiri di waktu lampau.
3) Equity – Inequity
As’ad (2002) mengatakan bahwa menurut teori ini setiap
karyawan akan membandingkan ratio input-outcomes dirinya
dengan input-outcomes orang lain. Hal ini berarti perbandingan
yang dianggap adil mengakibatkan kepuasan, dan bila
perbandingan dirasakan tidak adil, baik overcompensation maupun
undercompensation akan menimbulkan ketidapuasan.
c. Teori Dua-Faktor (Two-factor theory)
Herzberg (Tietjen & Myers, 1998) meneliti perasaan karyawan
terhadap pekerjaannya atau sikapnya. Mereka mengajukan tiga
pertanyaan, yaitu (1) How can one specify the attitude of any individual
toward his or her job?; (2) What causes theses attitudes? (3) What are the
consequences of these attitudes?. Berdasarkan penelitian tersebut,
Herzberg (Tietjen & Myers, 1998).mengerucutkan pemahamannya
tentangkepuasan kerja sebagai “the feelings of people toward their work,
12
or their attitudes” – perasaan orang-orang terhadap pekerjaannya, atau
sikapnya.
Herzberg menemukan adanya beberapa hal yang berkaitan dengan
perasaan atau sikap orang dalam bekerja, dan kemudian membaginya
menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, disebut motivator (job
factors), menyebabkan perasaan senang atau sikap yang baik pada
karyawan; kelompok kedua, hygiene factors (extra-job factors),
menyebabkan perasaan tidak senang atau sikap buruk. Kelompok
motivator secara keseluruhan berkaitan secara langsung dengan pekerjaan,
sedangkan hygiene tidak berkaitan secara langsung dengan pekerjaan.
Mendukung hal ini, As’ad (2002) menyatakan bahwa kepuasan kerja dan
ketidakpuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda, demikian menurut
Herzberg. Ini memiliki makna bahwa kedua variabel tersebut bersifat
kontinyu. Herzberg et al. (Tietjen & Myers, 1998) memaparkan motivator
meliputi recognition, achievement, possibility of growth, advancement,
responsibility, dan work it self, sedangkan hygiene factors meliputi salary,
interpersonal relations-supervisor, interpersonal relations-subordinates,
interpersonal relations-peers, supervision – technical, company policy
and administration, working conditions, status, dan job security.
1.1.1.1 d. Opponent-Process Theory
Teori dikemukakan oleh Landy (Munandar, 2006). Ia memberi
tekanan pada keseimbangan emosional (emotional equlibrium).
Menurutnya, suatu emosi yang berlawanan muncul ketika terdapat emosi
tertentu yang sudah ada lebih dulu dalam diri individu. Emosi yang
berlawanan tersebut aktif sebagai akibat mekanisme fisiologis dalam pusat
saraf. Misalnya, seorang karyawan mempresentasikan proyek di depan
penyelianya. Sebelum dan saat sedang presentasi, karyawan tersebut
merasa kuatir ia melakukan kesalahan, sehingga timbul rasa tidak senang
dalam dirinya. Ternyata, ia mendapat sambutan hangat dari penyelianya.
Presentasinya berhasil, sehingga muncul rasa senang dalam dirinya. Jadi,
13
saat ini terdapat dua emosi dalam dirinya, yaitu rasa tidak senang dan rasa
senang. Dalam beberapa waktu kemudian, rasa senang berangsur
menghilang, sehingga tersisa rasa tidak senang. Rasa senang dan tidak
senang dalam waktu yang bersamaan inilah yang menciptakan
pertentangan terkait kepuasan dan ketidakpuasan dalam diri individu.
Adanya perubahan kepuasan secara bervariasi dalam rentang
waktu ke waktu mengakibatkan pengukuran kepuasan kerja perlu
dilakukan secara terus-menerus dan periodik sesuai dengan rentang waktu
secara interval. Menurut Wijono (2012), asumsi ini dibuat untuk
meminimalisir kondisi kepuasan kerja yang dipengaruhi oleh emosi yang
berlawanan sesuai dengan interval rentang waktu kejadiannya.
2.1.3 Aspek Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja memiliki tiga aspek penting, yaitu Nilai (values),
Kepentingan (importance), dan Persepsi (perception). Nilai, yang
dimaksud oleh Locke (Wijono, 2012) di sini meliputi penghargaan,
aktualisasi diri, dan pertumbuhan; Kepentingan, merupakan cara
seseorang menentukan penempatan nilai tersebut dalam dirinya seara kritis
sehingga terkait kepuasan kerja. Orang tidak hanya membedakan nilai-
nilai yang mereka pegang tetapi kepentingan mereka dalam menempatkan
nilai-nilai tersebut, dan perbedaan-perbedaan tersebut secara kritis yang
dapat menentukan tingkat kepuasan kerja; Persepsi, yang dilakukan oleh
individu atas situasi saat ini dan nilai-nilai yang dianutnya, dapat
menentukan kepuasan kerja. Contoh dari ketiga komponen adalah dua
orang melakukan pekerjaan tetap yang sama dalam rentang waktu yang
sama pula, namun mengalami tingkat kepuasan yang berbeda. (h.120)
Locke (Luthans, 2006) mengatakan bahwa pekerjaan itu sendiri,
gaji, promosi, pengawasan, kelompok kerja, dan kondisi kerja
memengaruhi kepuasan kerja. Gaji yang dimaksud dalam konteks ini
adalah berupa uang. Uang membantu seseorang untuk memenuhi
14
kebutuhan dasar, juga kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi. Sebagai
benefit dalam pekerjaan, uang tidak terlalu berpengaruh, menurut Luthans,
karena karyawan tidak mengetahui jumlah pasti benefit yang diterima,
juga karena mereka tidak menyadari nilai moneter yang signifikan.
Meskipun begitu, jika benefit yang disediakan bersifat fleksibel (karyawan
bebas untuk memilih atau tidak memilih), maka benefit dapat
memengaruhi kepuasan kerja.
Promosi pernah menjadi faktor penting dalam menunjang
kepuasan kerja. Namun, dalam paradigma baru (Luthans, 2006)
lingkungan kerja yang positif dan kesempatan untuk berkembang secara
intelektual dan memperluas keahlian dasar menjadi lebih penting daripada
kesempatan promosi. Selain itu, terdapat pula supervisi (pengawasan).
Supervisi berkaitan dengan gaya kepemimpinan. Supervisi dalam konteks
ini terbagi atas supervisi yang berpusat pada karyawan dan supervisi yang
berpusat pada partisipasi. Supervisi yang berpusat pada karyawan
cenderung menggunakan aspek personal dan kepedulian pada karyawan.
Sedangkan dimensi supervisi yang lain cenderung melibatkan karyawan
pada penentuan kebijakan-kebijakan dalam perusahan. Iklim pastisipasi
yang diciptakan penyelia memiliki efek yang lebih penting pada kepuasan
pekerja daripada partisipasi pada kepuasan tertentu.
Kelompok dapat memengaruhi kepuasan kerja individu, namun ini
mungkin bergantung pada personalitas individu itu sendiri. Beberapa
individu dapat mengalami kepuasan pekerjaan jika ia didukung oleh tim,
sedangkan yang lain justru mengalami ketidakpuasan ketika ia harus
berada dalam sebuah tim. Misalnya, seorang entertainer dapat mencapai
kinerja yang optimal karena ia memang nyaman berada dalam situasi kerja
tim. Seorang ahli program komputer justru akan mengalami kepuasan
ketika ia diberi kebebasan untuk bekerja tidak dalam tim. Kondisi kerja
memiliki kecil pengaruhnya terhadap kepuasan kerja (Luthans, 2006),
namun itu hanya akan terjadi jika kondisi kerja benar-benar buruk. Justru
15
Luthans (2006) mengatakan bahwa saat ada keluhan mengenai kondisi
kerja, kadang-kadang hal ini tidak lebih dari manifestasi masalah lain.
Berdasarkan berbagai definisi dan teori tersebut, penulis
menyimpulkanbahwa kepuasan kerja merupakan reaksi evaluatif individu
atas pekerjaannya dengan melibatkan emosi dan sikap. Reaksi yang
penulis maksudkan adalah tanggapan afektif individu yang muncul setelah
stimulus terkait pekerjaan terjadi. Evaluatif adalah penilaian kritis individu
terhadap stimulus tersebut.
2.2 Motivasi Kerja
2.2.1 Pengertian Motivasi Kerja
Echols & Shadly (2003) menerjemahkan istilah motif, motive, dan
motivation. Motif berarti motif atau téma; Motive berarti alasan atau sebab;
dan motivation berarti (peng)alasan, daya batin, dorongan, atau motivasi.
Selain itu, istilah motivasi (motivation) berasal dari kata Latin untuk
movement [bhs Inggris] (movere) (Steers, Mowday & Shapiro, 2004) yang
berarti “menggerakkan” (Steers & Porter, 1975, dalam Wijono, 2012).
Motivasi berasal dari kata Latin movere, yang berarti “bergerak”.
Luthans (2006) mengartikan motivasi sebagai proses yang dimulai dengan
defisiensi fisiologis atau psikologis yang menggerakkan perilaku atau
dorongan yang ditujukan untuk tujuan atau insentif. Ia melanjutkan
tentang motivasi bahwa kunci untuk memahami proses motivasi
bergantung pada pengertian dan hubungan antara kebutuhan, dorongan,
dan insentif. Luthan (1998, dalam Tella, Ayeni & Popoola, 2007)
mendefinisikan motivasi sebagai “a proces that starts with a physiological
deficiency or need activates a behaviour or a drive that is aimed at a goal
incentive”.
16
2.2.2 Teori Motivasi Kerja
Beberapa teori terkait motivasi pernah dikemukakan oleh para ahli.
Berikut beberapa teori tentang motivasi isi:
a. Hierarki Kebutuhan
Abraham Maslow mengidentifikasi lima tingkat dalam hierarki
kebutuhan (Luthans, 2006):
1. Kebutuhan fisiologis
Tingkat paling dasar dalam hierarki ini umumnya berhubungan
dengan kebutuhan primer. Menurut teori ini, sekali kebutuhan
dasar terpuaskan, mereka tidak lagi termotivasi.
2. Kebutuhan keamanan
Maslow menekankan keamanan emosi dan fisik. Keseluruhan
organisme mungkin menjadi mekanisme yang mencari keamanan.
3. Kebutuhan cinta
Tingkat kebutuhan yang berhubungan dengan kebutihan afeksi dan
afiliasi.
4. Kebutuhan penghargaan
Tingkat penghargaan mewakili kebutuhan manusia yang lebih
tinggi. Kebutuhan akan kekuasaan, prestasi, dan status dapat
dianggap sebagai bagian dari tingkat ini.
5. Kebutuhan aktualisasi diri
Tingkat ini adalah puncak semua kebutuhan manusia yang rendah,
sedang, dan lebih tinggi. Orang yang memiliki aktualisasi diri
adalah orang yang terpenuhi dan menyadari semua potensinya.
b. ERG(Existence, Relatedness, Growth)
Clayton P. Alderfer setuju dengan kebutuhan seperti hierarki
Maslow, namun hanya melibatkan tiga tahap kebutuhan. Ivancevich,
17
Konopaske & Matteson (2007) memaparkan kebutuhan menurut Alderfer
sebagai berikut:
1. Eksistensi (existence). Kebutuhan yang dipuaskan oleh faktor-
faktor seperti makanan, udara, imbalan, dan kendisi kerja.
2. Hubungan (relatedness). Kebutuhan yang dipuaskan oleh
hubungan sosial dan interpersonal yang berarti.
3. Pertumbuhan (growth). Kebutuhan yang terpuaskan jika individu
membuat kontribusi yang produktif atau kreatif.
Sedangkan menurut Luthans (2006), Alderfer mengidentifikasi tiga
kelompok kebutuhan, yaituEksistensi (exixtence), Hubungan (relatedness),
dan Perkembangan (growth), yang kemudian disebut ERG. Kebutuhan
eksistensi berhubungan dengan kelangsungan hidup (kesejahteraan
fisiologis). Kebutuhan hubungan menekankan pentingnya hubungan sosial
atau hubungan antar pribadi. Kebutuhan perkembangan berhubungan
dengan keinginan intrinsik individu terhadap perkembangan pribadi.
Menurut Luthans (2006), Alderfer tidak berpendapat bahwa
kebutuhan tingkat rendah harus dipenuhi sebelum kebutuhan akan
motivasi pada tingkat lebih tinggi atau bahwa kehilangan bukan satu-
satunya cara mengaktifkan kebutuhan. Pendekatan Alderfer menambahkan
istilah regresi-frustrasi. Saat kebutuhan perkembangan yang berada di
urutan lebih tinggi tertekan atau tidak terpenuhi karena berbagai keadaan,
kemampuan yang rendah, atau faktor lain, maka individu cenderung
mundur kembali ke kebutuhan urutan lebih rendah dan lebih merasa
kebutuhan tersebut. Ivancevic, Konopaske & Matteson (2007)
menambahkan, jika seseorang terus menerus merasa frustrasi dalam usaha
untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan, kebutuhan hubungan langsung
muncul kembali sebagai kekuatan yang termotivasi, menyebabkan
individu mengarahkan ulang usahanya untuk memuaskan kebutuhan
mereka pada tingkat yang rendah.
18
c. Kebutuhan Berprestasi
Teori ini dipelopori oleh David McClelland. McClelland (As’ad,
2002) mengatakan bahwa timbulnya perilaku karena dipengaruhi oleh
kebutuhan- kebutuhan yang ada dalam manusia. Dalam diri manusia
terdapat tiga kebutuhan yang pokok yang mendorong tingkah laku
manusia. Dalam teorinya, McClelland mengemukakan bahwa terdapat tiga
motif yang berpengaruh pada prestasi kerja. Wijono (2012) bahkan
menguatkan bahwa motivasi berprestasi yang dikemukakan oleh
McClelland mempunyai peran penting dalam kaitannya dengan usaha
individu untuk mencapai tingkah laku tertentu dalam merealisasikan
prestasi kerja. As’ad (2002) melanjutkan, ketiga motif itu ialah kekuasaan,
afiliasi, dan berprestasi. Ketiga kebutuhan ini akan selalu muncul dalam
tingkah laku individu, hanya saja kekuatannya tidak sama antara
kebutuhan-kebutuhan itu pada diri seseorang. Ketiga kebutuhan akan
muncul dipengaruhi oleh situasi yang sangat spesifik. Jadi, selain
memengaruhi, motivasi berprestasi juga berorientasi pada realisasi dalam
kerja.
Sementara itu, tiga dimensi motivasi menurut Ivancevich, Konopaske &
Matteson(2007):
1. Arah
Berhubungan dengan apa yang akan seorang individu pilih ketika
ia dihadapkan dengan sejumlah alternatif yang mungkin dilakukan.
2. Intensitas
Merujuk pada kekuatan dari respon ketika arah dari motivasi telah
dipilih.
3. Ketekunan
Merujuk pada beberapa lama seseorang akan terus memberikan
usaha mereka.
19
McClelland (Wijono, 2012) kemudian menunjukkan tiga dimensi terkait
motivasi kerja:
1. Motif kekuasaan
Motif kekuasaan memberikan peran penting dalam meningkatkan
sebuah organisasi. Motif kekuasaan lebih digunakan oleh
pemimpin untuk memotivasi dan mengarahkan karyawannya agar
mereka menunjukkan prestasi kerja yang baik.
2. Motif afiliasi
Motif afiliasi hubungan interpersonal antara pemimpin dengan
karyawan agar tercipta suasana yang kondusif agar tercapai tujuan
organisasi.
3. Motif berprestasi
Motif berprestasi lebih mengarah kepada kepentingan di masa
depan untuk memeroleh prestasi yang lebih baik dalam bekerja.
Atas dasar teori motivasi kerja yang dikemukakan tersebut, penulis
dalam penelitian ini menggunakan dasar teori kebutuhan berprestasi yang
dijelaskan oleh McClelland (Wijono, 2012) yang terdiri dari tiga dimensi,
yaitu motif keberadaan, motof afiliasi, dan motif berprestasi, karena
dimensi-dimensi tersebut berkaitan erat dengan kondisi karyawan yang
ada di PT Telkom, khususnya di Kupang.
2.3 Stres Kerja
2.3.1 Definisi Stres Kerja
Istilah stres berasal dari kata dalam bahasa Latin, “stringere” yang
berarti “menarik kencang (to draw tight)” (Malik, Safwan, & Sindhu,
2011). Dalam bahasa Inggris, stres disebut “stress”, yang berarti
“ketegangan” atau “tekanan” (Echols & Shadly, 2003). Ketegangan ini
dapat memberi manfaat positif maupun negatif. Terdapat dua kategori dari
bentuk dasar stres, yaitu eustress dan distress. Colligan & Higgins (2005)
menerangkan bahwa eustress bisa dipahami sebagai stres positif atau stres
20
yang baik, sedangkan distress merupakan reaksi stres terhadap stresor
yang dinilai negatif. Eustress dan distress meliputi respon-respon secara
kognitif, perilaku, emosional, dan fisik. Lazarus (2000, dalam Colligan &
Higgins, 2005) menyatakan bahwa “stress comes from any situation or
circumstance that requires behavioral adjustment. Any change, either
good or bad, is stressful, and whether it’s a positive or negative change,
the physiological response is the same”.
Ivancevich, Konopaske & Matteson (2007) mendefinisikan stres
sebagai “suatu respon adaptif, dimoderasi oleh perbedaan individu, yang
merupakan konsekuensi dari setiap tindakan, situasi, atau peristiwa yang
memberikan tuntutan khusus terhadap seseorang”. Lazarus & Folkman’s
(Butler, n.d) mengatakan bahwa stres adalah “aparticular relationship
between the person and the environment that is appraised by the person as
taxing prexceeding his or her resourches and endangering his or her well
being”. Wijono (2012) menyatakan stres kerja sebagai suatu kondisi dari
hasil penghayatan subjektif individu yang dapat berupa interaksi antara
individu dan lingkungan kerja yang dapat mengancam dan memberi
tekanan secara psikologis, fisiologis, dan sikap individu.
Menurut Nykodym & George (1989, dalam Wijono, 2012), secara
umum, stres didefinisikan sebagai rangsangan eksternal yang mengganggu
fungsi mental, fisik, dan kimiawi dalam tubuh seseorang. Dalam kaitannya
dengan organisasi, Hielriegel & Slocum (1986, dalam Wijono, 2012)
menyatakan bahwa stres kerja merupakan umpan balik atas diri karyawan
secara fisiologis maupun psikologis terhadap keinginanan atau permintaan
organisasi. Beehr & Newman (1978, dalam Wijono, 2012) mendefinisikan
stres kerja sebagai suatu keadaan yang timbul dalam interaksi di antara
manusia dan pekerjaan.Mongolis & Kroes (Beehr & Newman, 1978,
dalam Wijono, 2013) memberikan definisi stres kerja sebagai suatu
interaksi antara situasi pekerjaan dan karakteristik pegawai yang
mengganggu kondisi pegawai secara psikologis atau homeostasi fisiologis.
Sedangkan McCormick (Kusumadewi, 2012) mendefinisikan stres kerja
21
merupakan perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan yang dialami
oleh individu dalam bekerja di tempat kerja; perasaan yang tidak
menyenangkan ini dapat mengakibatkan tekanan pada kondisi fisik, psikis
secara subjektif, kognitif maupun perilaku yang dapat membawa dampak
negatif terhadap individu itu sendiri. Dengan demikian, penulis
menyimpulkan stres kerja sebagai perasaan-perasaan tidak menyenangkan
sebagai respon adaptif individu terkait pekerjaan dan lingkungan kerja
organisasional yang termanifestasi pada kondisi fisik, psikologis, kognitif,
dan perilaku individu tersebut.
2.3.2 Teori Stres Kerja
Para ahli Stres dalam mengemukakan berbagai aspek yang
mengindikasikan stres kerja bagi individu, antara lain Mongolis & Kroes
dan McCormick.
Mongolis & Kroes (Wijono, 2013) memaparkan lima aspek terkait stres:
1) Kondisi subjektif dalam jangka waktu yang pendek. Misalnya
bimbang, tekanan dan marah.
2) Kondisi subjektif jangka waktu yang panjang dan respon
psikologis kronis. Misalnya sedih, malas secara umum dan
terasing. Menurut penulis, kondisi ini termanifestasi dalam
perilaku.
3) Pertukaran masalah fisiologis secara mendadak. Misalnya Leader
catecholamine dan tekanan darah.
4) Kesehatan fisik. Misalnya kerusakan gastrointestinal, sakit
jantung, penyakit kelelahan fisik.
5) Menurunnya prestasi.
McCormick (1997, dalam Kusumadewi, 2012) memaparkan aspek-aspek
pekerjaan setelah meneliti stres kerja guru menggunakan kuesioner yang
22
ia kembangkan dalam (Teacher Attribution of Responsibility for Stress
Questionnaire – TARSQ):
1) Subyektif
Perasaan yang hanya dapat dirasakan oleh individu yang
mengalaminya sendiri, misalnya perasaan gelisah, lesu, muram,
merasa lelah, kehilangan kesabaran, merasa harga diri rendah,
merasa tersisih dari rekan kerja.
2) Perilaku
Perilaku individu yang ditampilkan atau dimunculkan sebagai
akibat dari stres. Miesalnya makan berlebihan dan tidak sadar
bahwa bahnayk makanan yang telah dikonsumsi atau malas
makan serta merasa semua makanan terasa menjadi tidak enak
untuk disantap, mudah marah di dalam kelas saat mengajar, pola
tidur yang berubah dan tidak dapat tidur dengan nyenyak.
3) Kognitif
Individu tidak dapat berkonsentrasi dengan baik, tidak dapat
memfokuskan pikirannya pada satu hal, tidak bisa mengambil
keputusan dengan baik. Jelasnya, guru tidak dapat berkonsentrasi
dengan baik saat mengajar atau melakukan tugasnya sabagai
seorang guru, tidak bisa memfokuskan pikirannya pada suatu hal
yang harus dia selesaikan atau berkenaan dengan hal yang
penting.
4) Fisiologis
Aspek yang dilihat dari fisik, seperti denyut jantung meningkat,
gangguan pencernaan, tekanan darah stabil. Aspek fisiologis ini
berhubungan dengan kondisi fisik guru serta kesehatannya dan
23
dapat membawa dampak yang negatif bagi kesehatan individu itu
sendiri.
5) Keorganisasian
Keorganisasian mencakup school domain dan student domain,
yaitu peran manajemen sekolah, beban pekerjaan yang berlebih,
hubungan dengan teman sekerja, dan hubungan guru dengan
murid, serta tuntutan rumah atau kepentingan pribadi.
Pengukuran stres kerja ini penulis menggunakan aspek yang
disampaikan oleh McCormick. Subyek penelitian McCormick berasal dari
dunia edukasi sedangkan subyek penulis dalam penelitian ini adalah
industri komunikasi. Jelas keduanya berbeda karena edukasi pada
umumnya bukan berorientasi profit, sedangkan secara umum industri
telekomunikasi berorientasi profit, namun keduanya sama-sama terbangun
dan beroperasi dalam sistem organisasi. Dengan demikian, penulis
berpendapat bahwa definisi dan aspek stres kerja yang dikemukakan
McCormick dapat penulis gunakan untuk mengukur stres kerja karyawan
PT Telkom Kupang.
2.4 Jenis Kelamin
Jenis kelamin dalam penelitian ini lebih lihat secara konteks
gender. Yeni (Ardiansah, 2003) mengatakan bahwa gender dipahami
sebagai perbedaan laki-laki dan perempuan yang merupakan bentukan
sosial yang melekat walau tidak disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin.
Hal ini sejalan dengan Iswati (2008) yang mengatakan bahwa dalam
perspektif gender perbedaan antara laki-laki dan perempuan merupakan
bentukan sosial, budaya yang sifatnya turun-temurun.
Palmer & Kandasaami (Iswati, 2008) mengelompokkan gender
dalam dua kelompok. Kelompok pertama terdiri atas dua model, yaitu
equity model dan complementary contribution model. Kelompok kedua
24
terdiri dari dua stereotipe, yaitu Sex Role Stereotypes dan Managerial
Stereotypes. Pada kelompok pertama, diasumsikan bahwa laki-laki dan
perempuan sebagai profesional adalah identik sehingga perlu ada satu cara
yang sama dalam mengelola. Laki-laki dan perempuan harus diuraikan
berdasarkan akses yang sama. Sementara asumsi pada kelompok kedua
adalah laki-laki dan perempuan mempunyai kemampuan yang berbeda,
oleh karenanya ada perbedaan dari sisi cara menilai, mengelola, dan
sebagainya.
Diuraikan lebih lanjut dalam Iswati bahwa klasifikasi stereotipe
merupakan proses pengelompokan individu dengan memberikan atribut
karakteristik pada individu berdasarkan anggota kelompok. Pengertian Sex
role stereotypes terkait dengan pandangan umum bahwa laki-laki lebih
berorientasi ada pekerjaan, obyektif, independen, agresif, dan pada
umumnya memiliki kemampuan lebih dibandingkan perempuan
dalampertanggungjawaban manajerial. Sedangkan pada sisi lain,
perempuan dipandang lebih pasif, lembut, berorientasi pada pertimbangan,
lebih sensitif dan lebih rendah posisinya pada pertanggungjawaban dalam
organisasi dibandingkan laki-laki. Ismiwati melajutkan bahwa Managerial
stereotypes memberikan pengertian manajer yang sukses sebagai
seseorang yang memiliki sikap, perilaku dan temperamen yang umumnya
lebih dimiliki laki-laki dibandingkan perempuan.
Selanjutnya, dalam penelitian akan menggunakan istilah “jenis
kelamin” untuk pemakaian gender yang dimaksud.
2.5 Dinamika Psikologi
a. Hubungan Motivasi kerja dan Kepuasan kerja
Dehaloo (2011), dalam disertasinya tentang motivasi kerja dan
kepuasan kerja guru di KwaZulu-Natal, melaporkan hasil penelitiannya
yang dirancang untuk mixed-methods dengan pendekatan eksplanatori.
Dalam fase kuantitatif, kuesioner melibatkan 100 responden dari lima
25
sekolah. Fase kualitatif melibatkan studi fenomenologikal dengan
mewawancarai 16 guru dari sekolah-sekolah. Hong & Waheed (2011)
menguji hubungan antara motivasi karyawan di industri retail dan tingkat
kepuasan kerjanya menggunakan teori higiene dan motivator Herzberg.
Dari penelitian ini ditemukan hubungan motivasi karyawan dengan
kepuasan kerja.
Suryana, Haerani, & Taba (n.d.) pada suatu kesempatan
melaporkan bahwa motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kepuasan kerja dalam penelitiannya yang melibatkan seluruh
populasi berjumlah 764 orang. Begitu pula disampaikan oleh Nalendra
(2008) bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan motivasi kerja
terhadap kepuasan kerja. Kurnia(n.d.) juga melaporkan motivasi kerja
berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja. Astuti &
Sudharma (n.d.), peneliti dari Universitas Udayana, melaporkan bahwa
motivasi seluruh karyawan pada hotel Bakung’s Beach Cottages Kuta Bali
yang berjumlah 59 orang berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kepuasan kerjanya. Dilanjutkan oleh Kartika &Kaihatu (2010), peneliti
dari Universitas Kristen Petra, melaporkan bahwa kepuasan kerja secara
signifikan dipengaruhi oleh motivasi karyawan restoran di Pakuwon Food
Festival Surabaya. Namun, Handayani (2012) justru melaporkan bahwa
motivasi tidak memengaruhi kepuasan kerja.
b. Hubungan Stres kerja dan Kepuasan kerja
Berbagai penelitian menunjukkan pengaruh stres kerja secara
positif dan maupun secara negatif (Klassen, Usher & Bong, 2010; Obiora
& Iwuoha, 2013) terhadap kepuasan kerja. Henny (2007) meneliti
hubungan stres kerja dengan kepuasan kerja karyawan bagian Customer
care pada PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Bekasi. Penelitian tersebut
bersifat eksplanatori dengan menggunakan pemilihan lokasi secara
purposif. Sampel 74 orang diambil dari bagian Customer care
menggunakan complete enumeration. Pengolahan dan analisis data
26
menggunakan Rank Spearman & Chi-square (SPSS 12.0 for Windows dan
Misrosoft Excel 2003). Ia menemukan stress kerja dan kepuasan kerja
berhubungan secara negatif signifikan dan tingkat korelasi yang rendah.
Kayastha & Kayastha (2012) pernah meneliti hubungan antara
stres kerja dan kepuasan kerja guru di Nepal. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa terdapat hubungan signifikan antara penyebab stres
kerja dan kepuasan kerja. Mark & Smith (2012), pernah meneliti pengaruh
stres kerja terhadap kesehatan mental dan kepuasan kerja karyawan
universitas, dengan melibatkan 307 sampel. Pengukuran ini menggunakan
aspek-aspek seperti stres, karakteristik pekerjaan, coping dan gaya
atribusi, kepuasan kerja, kecemasan dan depresi. Mereka menyimpulkan
bahwa gaya coping positif dapat memengaruhi kepuasan kerja.
Cheng & Ren (2010) pernah melakukan penelitian korelasional
antara stres kerja dan kepuasan kerja guru sekolah dasar di Taiwan.
Penelitian ini melibatkan 153 guru. Dari total 138 kuesioner yang kembali,
diperoleh 90.19% respon. Instrumen penelitian ini menggunakan the self-
report questionnaire yang diadaptasi dari instrumen yang dikembangkan
oleh He & Zhang (1990, dalam Cheng & Ren, 2010; dan He (1988, dalam
Chang & Ren, 2010). Komponen dalam kuesioner ini meliputi demografi,
pengukuran stres kerja (menggunakan 5-point skala Likert), dan ukuran
kepuasan kerja (menggunakan 5-point skala Likert). Teknik analisis data
menggunakan SPSS dengan koefisien Cronbach’s alpha untuk stres dan
kepuasan kerja adalah .89 dan .87. Multipel regresi digunakan untuk
memprediksi kepuasan kerja berdasarkan variabel demografik dan ukuran
stres. Transkripsi data menggunakan koding dan tabulasi.
Ahsan, Abdullah & Fie (2009) menyelidiki hubungan antara stres
kerja dan kepuasan kerja para akademisi universitas menggunakan
determinan stres kerja yang meliputi peran manajemen, hubungan dengan
orang lain, tekanan kerja, homework interface, ambiguitas peran, tekanan
pelaksanaan. Hasilnya menunjukkan stres kerja berhubungan secara
27
negatif signifikan dengan kepuasan kerja. Begitu pula Handayani (2012)
melaporkan bahwa konflik peran tidak memengaruhi kepuasan kerja.
Dhania (2010) melaporkan bahwa stres kerja tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap kepuasan kerja.
Sementara, Tunjungsari (2011) melaporkan adanya pengaruh stres
kerja terhadap kepuasan kerja dalam tingkat hubungan sedang (34,3%)
pada 81 sampel dari 410 karyawan PT. Pos Indonesia (Persero) Bandung.
Liana (n.d.) menemukan pada 52 (populasi) karyawan bank di Kota
Malang terdapat efek signifikan antara stres kerja terhadap kepuasan kerja.
c. Hubungan Jenis Kelamin dan Kepuasan Kerja
Pada suatu kesempatan Suartini & Marlina (n. d.) meneliti
hubungan faktor-faktor demografi, termasuk gender, dengan kepuasan
kerja, dan perbedaan kepuasan kerja yang melibatkan 106 responden dari
205 populasi. Mereka melaporkan bahwa gender sangat memengaruhi
kepuasan kerja dengan tingkat hubungan yang signifikan. Sementara itu,
Aydin, Usyal &Sarier (2012) setelah meneliti pengaruh gender pada
kepuasan kerja para guru melaporkan bahwa pengaruh ini lebih dirasakan
oleh guru laki-laki. Namun, Iswati (2008) pernah melaporkan bahwa
gender tidak berpengaruh pada kepuasan kerja.
d. Hubungan Motivasi kerja, stres kerja, jenis kelamin, dan kepuasan
kerja
Penelitian motivasi dan stres secara simultan terkait kepuasan kerja
pernah dilakukan. Kakkos, Trivellas &Fillipou (2010), dalam suatu
konferensi internasional melaporkan hasil penelitiannya tentang hubungan
motivasi kerja, stres kerja, dan kepuasan kerja karyawan dalam industri
perbankan, berdasarkan 143 sampel yang terdiri dari bank swasta (n=71)
dan bank umum (n=72) di Yunani. Informasi demografis yang digunakan
meliputi gender, usia, pengalaman kerja, posisi, dan latar belakang
pendidikan. Dalam penelitian itu mereka menemukan adanya pengaruh
28
positif antara motivasi dan kepuasan kerja, dan hubungan negatif antara
stres dan kepuasan kerja. Penemuannya ini direkomendasikan untuk aksi
praktis, seperti kebijakan HR, praktisi perbankan, atau pengembang
perilaku yang berorientasi pada human capital. Selain itu, Dehaloo (2011)
melaporkan dalam disertasinya bahwa dibandingkan dengan guru wanita,
guru laki-laki merasa lebih puas dengan kebijakan sekolah, hubungan
interpersonal, dan organisasi sekolah.
Tabel 2.1 Deksripsi Penelitian Terdahulu Kepuasan Kerja
Keterangan: MK = Motivasi Kerja; SK = Stes Kerja; KK = Kepuasan Kerja;JK – Jenis Kelamin
Sifat MK – KK SK – KK JK – KK Positif Kakkos, Trivellas,
& Fillipou (2010) Dehaloo (2011) Suryana, Haerani,
& Taba (n.d.) Nalendra (2008) Kartika &Kaihatu
(2010)
Kayastha & Kayastha (2012)
Tunjungsari (2011) Liana (n.d.) Mark & Smith
(2012) Klassen, Usher &
Bong (2010)
Suartini & Marlina (n. d.) Dehaloo (2011) Pujisari (2010) Yusof, Misiran & Harun.
(2014) Kifle & Desta (2012) Aydin, Usyal &Sarier
(2012) Negatif Handayani
(2012) Kakkos, Trivellas,
& Fillipou (2010) Henny (2007) Ahsan, Abdullah
&Fie (2009) Handayani (2012) Dhania (2010) Obiora & Iwuoha
(2013)
Iswati, 2008
29
2.6 Landasan Teori
Karyawan sebagai anggota organisasi, yang adalah sumber daya
manusia, merupakan salah satu penentu tercapainya kesuksesan
organisasi. Karyawan yang merasa puas dengan isi pekerjaan maupun
lingkungan kerjanya dapat terlibat dalam upaya mencapai tujuan
perusahaan (organisasi). Hal ini sesuai dengan pendapat Pushpakumari
(2008) bahwa kepuasan kerja karyawan menghasilkan kinerja, yang
kemudian didukung oleh Tan & Waheed (2011) yang mengatakan bahwa
kepuasan kerja membawa keberhasilan perusahaan.
Dalam berbagai literatur ditemukan bahwa kepuasan kerja
berhubungan secara positif dengan motivasi kerja dan stres kerja. Namun,
ada juga laporan yang menunjukkan hubungan negatif. Kepuasan kerja
karyawan dapat ditentukan oleh kemampuannya memenuhi dan
meningkatkan motivasinya dalam bekerja dan mengendalikan stres diri
selama bekerja. Ternyata, dalam kaitannya dengan kepuasan kerja, ada
laporan yang mengatakan bahwa motivasi dan stres juga ditentukan oleh
perbedaan gender. Hal ini dikuatkan oleh Smith, Scoot, & Hulin (Hughes
et al, 2012) yang melaporkan bahwa mayoritas pria dan wanita dalam
setengah abad terakhir menyatakan secara konsisten menyatakan kesukaan
terhadap pekerjaannya. Seseorang dapat dikatakan mengalami kepuasan
kerja saat ia menyukai pekerjaannya.
Dalam kerangka gender, laki-laki dan perempuan sebagai
profesional, perlu dipahami dan diperlakukan secara identik (equity),
termasuk dalam upaya pencapaian dan pemenuhan kepuasan kerja.
Namun, penelitian menunjukkan bahwa ternyata ada perbedaan dalam
tingkat kepuasan kerja.
Dinamika ini menunjukkan pentingnya penelitian motivasi kerja
dan stres kerja dalam hubungannya dengan kepuasan kerja, yang
dimoderatori oleh jenis kelamin.
30
2.7 Model Penelitian
Gambar 2.1 Model Hubungan Variabel Bebas dan Varabel Terikat
Model penelitian di atas menunjukkan penelitian ini meneliti
hubungan motivasi kerja dan stres kerja dengan kepuasan kerja. Selain itu,
akan diselidiki pula pengaruh interaksi motivasi kerja dan jenis kelamin
terhadap kepuasan kerja, dan pengaruh interkasi stres kerja dengan
kepuasan kerja. Selanjutnya, akan menyelediki perbedaan kepuasan kerja
ditinjau dari jenis kelamin.
2.8 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini dibuat berdasarkan teori-teori dan penelitian yang
telah dipaparkan:
H1 : Ada pengaruh motivasi kerja dan stres kerja secara simultan
terhadap kepuasan kerja
H2 : Ada perbedaan kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin
Motivasi Kerja (X1) Kepuasan Kerja (Y)
Stres Kerja (X2)
Jenis Kelamin