bab ii tinjauan pustaka -...

24
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab II Tinjauan Pustaka Pemahaman konseptual tentang kepuasan kerja, motivasi kerja, dan stres kerja penting sebagai acuan dalam penelitian ini. Temuan- temuan sebelumnya dan dinamika psikologi yang muncul menuntun penelitian ini pada penentuan model penelitian yang tepat. 2.1 Kepuasan kerja 2.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja Terdapat perbedaan pandangan mengenai komprehensifitas teori kepuasan kerja. Wijono (2012) mengatakan bahwa tidak seorang pun yang dapat memberikan penjelasan tentang teori kepuasan kerja secara komprehensif. Di sisi lain, menurut Luthans (2006), Locke memberikan definisi komprehensif dari kepuasan kerja yang meliputi reaksi atau sikap kognitif, afektif, dan evaluatif dan menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah “keadaan emosi yang senang astau positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang”. Menurut Locke (1976, dalam Judge & Klinger, n.d.) kepuasan kerja adalah “a pleasure or positive emotional state resulting from the appraisal of one’s or job experiences”. Locke (1976, dalam Hyun, 2009) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “the positive emotional state stemming from valuation of a person’s experience associated with job”. Locke &Luthan (Tella, Ayeni & Popoola, 2007; Azeem, 2010), tentang definisi kepuasan kerja, yaitu sebagai “pleasurable or positive emotional state resulting from the appraisal of ones or job experiences”. Spector (Murray, 1999) memandang kepuasan kerja sebagai “a cluster of evaluative feelings about the job”. Sedangkan Wexley & Yukl (1977, dalam As’ad, 2002) menyebut kepuasan kerja ialah “the way

Upload: ngothuan

Post on 26-Apr-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab II Tinjauan Pustaka

Pemahaman konseptual tentang kepuasan kerja, motivasi kerja,

dan stres kerja penting sebagai acuan dalam penelitian ini. Temuan-

temuan sebelumnya dan dinamika psikologi yang muncul menuntun

penelitian ini pada penentuan model penelitian yang tepat.

2.1 Kepuasan kerja

2.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja

Terdapat perbedaan pandangan mengenai komprehensifitas teori

kepuasan kerja. Wijono (2012) mengatakan bahwa tidak seorang pun yang

dapat memberikan penjelasan tentang teori kepuasan kerja secara

komprehensif. Di sisi lain, menurut Luthans (2006), Locke memberikan

definisi komprehensif dari kepuasan kerja yang meliputi reaksi atau sikap

kognitif, afektif, dan evaluatif dan menyatakan bahwa kepuasan kerja

adalah “keadaan emosi yang senang astau positif yang berasal dari

penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang”. Menurut Locke

(1976, dalam Judge & Klinger, n.d.) kepuasan kerja adalah “a pleasure or

positive emotional state resulting from the appraisal of one’s or job

experiences”. Locke (1976, dalam Hyun, 2009) mendefinisikan kepuasan

kerja sebagai “the positive emotional state stemming from valuation of a

person’s experience associated with job”. Locke &Luthan (Tella, Ayeni

& Popoola, 2007; Azeem, 2010), tentang definisi kepuasan kerja, yaitu

sebagai “pleasurable or positive emotional state resulting from the

appraisal of ones or job experiences”.

Spector (Murray, 1999) memandang kepuasan kerja sebagai

“a cluster of evaluative feelings about the job”. Sedangkan Wexley &

Yukl (1977, dalam As’ad, 2002) menyebut kepuasan kerja ialah “the way

8

an employee feels about his her job”. Ramayah, Jantan &Tadisina

(Rizwan et al, 2010) menjelaskan “how employees are buoyant to come to

work and how they get enforced to perform their job”. Herzberg et al

mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “the feelings of people toward

their work, or their attitudes” – perasaan orang-orang terhadap

pekerjaannya, atau sikapnya (Tietjen& Myers, 1998).

Ravari et al. (2012) memaparkan beberapa konsep kepuasan kerja

berdasarkan hasil review terhadap 38 artikel kepuasan kerja dalam natur

dan desain kuantitatif, yang diterbitkan antara tahun 1986 dan 2009.

Hasilnya, ia mendefinisikan kepuasan sebagai affect, sikap, ekspektasi,

sistem kepercayaan, dan konstruk multidimensional.

a. Kepuasan sebagai affect

“An individual’s perceptual / emotional reaction to important facets of

work”. Para ahli mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “an affective

(emotional) reaction to one’s job”. Kepuasan kerja adalah suatu reaksi

afektif (emosional) terhadap pekerjaan seseorang. Kepuasan kerja ini

kerap dipengaruhi oleh afektifitas positif dan afektivitas negatif, yang

merupakan variabel kepribadian.

b. Kepuasan sebagai sikap

Sebagai sikap, definisi kepuasan kerja adalah ”a positive (or negative)

evaluative judgment one makes about one’s job or job situation”.

c. Kepuasan sebagai ekspektasi

Sebagai “the evaluation of one’s job and the employing company as

contributing suitably to the attatinment of one’s personal objetives”.

Juga sebagai “the difference between the amount of reward workers

recieve and the amount they believe they should recieve”.

d. Kepuasan sebagai sistem kepercayaan

Values is highlighted by the results of studies suggesting that job

satisfaction decreases when intrinsic work values are not met. Hegney

et al. (2006, dalam Ravari et al. 2012) mendefinisikan bahwa nilai-

nilai sebagai “enduring beliefs that guide the individual’s attitudes,

9

judgements, and behaviors”. Sementara White (Ravari et al.2012)

menyatakan nilai-nilai sebagai “beliefs that are experienced by the

individual as standards that guide how he or she should function”.

e. Kepuasan sebagai konstruk multifacet

Job satisfaction is a complex multidimensional concept. There is no

consensus model for the dimensions of job satisfaction. Disebut

sebagai multifacet construct, artinya facet-facet kepuasan secara

spesifik berhubungan dengan upah, pekerjaan, supervisi, kesempatan

profesional, praktik-praktik organisasional, dan relasi dengan rekan

kerja.

f. Kepuasan sebagai konsep terikat

Various features of the job environment are affecting job satisfaction.

Kepuasan kerja merupakan suatu konsep yang dipengaruhi oleh

faktor-faktor seperti individual, karakteristik organisasional, mekanika

kerja, dan berbagai faktor lainnya.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, penulis menyimpulkan kepuasan

kerja merupakan reaksi evaluatif individu atas pekerjaannya dengan

melibatkan emosi dan sikap. Reaksi yangpenulis maksudkan adalah

tanggapan afektif individu yang muncul setelah stimulusterkait pekerjaan

terjadi. Stimulus tersebut terkait dengan kebutuhan motivator dan hygiene.

2.1.2 Teori Kepuasan Kerja

Wexley & Yukl(As’ad, 2002), memaparkan beberapa teori

kepuasan kerja,yaitu discrepancy theory, equity theory, dan two factor

theory:

a. Discrepancy theory

Porter (As’ad, 2002) memelopori teori ini dan kemudian

dilanjutkan oleh Locke (As’ad, 2002). Untuk mengukur kepuasan kerja,

Porter menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan

yang dirasakan. Locke menjelaskan bahwa kepuasan kerja seseorang

10

bergantung pada discrepancy antara should be (expectation, needs, atau

values) dengan apa yang menurut perasaannya atau persepsinya telah

diperoleh atau dicapai melalui pekerjaan. Terkait nilai yang dimaksudkan

oleh Locke, Wijono (2012) memperjelasnya, yaitu (1) ketidaksesuaian

yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan individu dengan apa yang

dia terima dalam kenyataannya; dan (2) apa pentingnya pekerjaan yang

diinginkan oleh individu tersebut.

Discrepancy bisa positif atau negatif. Discrepancy positif terjadi

karena apa yang didapat lebih besar daripada apa yang diharapkan.

Sedangkan discrepancy negatif terjadi karena kenyataan lebih rendah

daripada harapan. Contohnya, seorang karyawan bergabung dalam suatu

perusahaan dengan harapan setelah 3 tahun bekerja ia akan mendapat

kenaikan jabatan. Ternyata baru 2 tahun bekerja, ia dipromosikan.

Karyawan ini kemudian mengalami discrepancy positif. Atau, ia tidak

mendapat promosi setelah 3 tahun bekerja, sehingga ia mengalami

discrepancy negatif. Jadi, sikap karyawan terhadap pekerjaannya

tergantung pada bagaimana ia merasakan discrepancy. Hal ini dikuatkan

oleh Wanous & Lawler (1972), yang dikutip oleh Wexley & Yukl (As’ad,

2002).

b. Equity theory

Teori ini menekankan bahwa orang akan merasa puas atau tidak

puas, tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak.

Dalam As’ad (2002, h. 105) dikatakan bahwa perasaan equity dan inequity

atas suatu situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya

dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat lain.

Wexley & Yukl (As’ad, 2002) memaparkan tiga elemen dari keadilan:

1) Input – Output

Input adalah “anything of value that an employee percieves

that he contributes to his job”. Hal ini menunjukkan bahwa input

11

berkaitan dengan kontribusi. Kontribusi ini dapat berupa

pendidikan, pengalaman, pendidikan, jumlah jam kerja, dan

sebagainya. Sedangkan outcome adalah “anything of value that the

employee percieves he obtains from the job”. Outcome

menunjukkan hasil. Hasil yang dimaksud di sini dapat berupa

pembayaran, bonus, status, kesempatan untuk berprestai, atau

berekspresi.

2) Comparison person

Individu membandingkan dirinya dengan orang lain. Dalam

As’ad (2002) disebutkan bahwa comparison person ialah kepada

orang lain dengan siapa karyawan membandingkan rasio input-

outputs yang dimilikinya. Dilanjutkan bahwa comparison person

ini bisa berupa seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempat

lain, atau bisa pula dengan dirinya sendiri di waktu lampau.

3) Equity – Inequity

As’ad (2002) mengatakan bahwa menurut teori ini setiap

karyawan akan membandingkan ratio input-outcomes dirinya

dengan input-outcomes orang lain. Hal ini berarti perbandingan

yang dianggap adil mengakibatkan kepuasan, dan bila

perbandingan dirasakan tidak adil, baik overcompensation maupun

undercompensation akan menimbulkan ketidapuasan.

c. Teori Dua-Faktor (Two-factor theory)

Herzberg (Tietjen & Myers, 1998) meneliti perasaan karyawan

terhadap pekerjaannya atau sikapnya. Mereka mengajukan tiga

pertanyaan, yaitu (1) How can one specify the attitude of any individual

toward his or her job?; (2) What causes theses attitudes? (3) What are the

consequences of these attitudes?. Berdasarkan penelitian tersebut,

Herzberg (Tietjen & Myers, 1998).mengerucutkan pemahamannya

tentangkepuasan kerja sebagai “the feelings of people toward their work,

12

or their attitudes” – perasaan orang-orang terhadap pekerjaannya, atau

sikapnya.

Herzberg menemukan adanya beberapa hal yang berkaitan dengan

perasaan atau sikap orang dalam bekerja, dan kemudian membaginya

menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, disebut motivator (job

factors), menyebabkan perasaan senang atau sikap yang baik pada

karyawan; kelompok kedua, hygiene factors (extra-job factors),

menyebabkan perasaan tidak senang atau sikap buruk. Kelompok

motivator secara keseluruhan berkaitan secara langsung dengan pekerjaan,

sedangkan hygiene tidak berkaitan secara langsung dengan pekerjaan.

Mendukung hal ini, As’ad (2002) menyatakan bahwa kepuasan kerja dan

ketidakpuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda, demikian menurut

Herzberg. Ini memiliki makna bahwa kedua variabel tersebut bersifat

kontinyu. Herzberg et al. (Tietjen & Myers, 1998) memaparkan motivator

meliputi recognition, achievement, possibility of growth, advancement,

responsibility, dan work it self, sedangkan hygiene factors meliputi salary,

interpersonal relations-supervisor, interpersonal relations-subordinates,

interpersonal relations-peers, supervision – technical, company policy

and administration, working conditions, status, dan job security.

1.1.1.1 d. Opponent-Process Theory

Teori dikemukakan oleh Landy (Munandar, 2006). Ia memberi

tekanan pada keseimbangan emosional (emotional equlibrium).

Menurutnya, suatu emosi yang berlawanan muncul ketika terdapat emosi

tertentu yang sudah ada lebih dulu dalam diri individu. Emosi yang

berlawanan tersebut aktif sebagai akibat mekanisme fisiologis dalam pusat

saraf. Misalnya, seorang karyawan mempresentasikan proyek di depan

penyelianya. Sebelum dan saat sedang presentasi, karyawan tersebut

merasa kuatir ia melakukan kesalahan, sehingga timbul rasa tidak senang

dalam dirinya. Ternyata, ia mendapat sambutan hangat dari penyelianya.

Presentasinya berhasil, sehingga muncul rasa senang dalam dirinya. Jadi,

13

saat ini terdapat dua emosi dalam dirinya, yaitu rasa tidak senang dan rasa

senang. Dalam beberapa waktu kemudian, rasa senang berangsur

menghilang, sehingga tersisa rasa tidak senang. Rasa senang dan tidak

senang dalam waktu yang bersamaan inilah yang menciptakan

pertentangan terkait kepuasan dan ketidakpuasan dalam diri individu.

Adanya perubahan kepuasan secara bervariasi dalam rentang

waktu ke waktu mengakibatkan pengukuran kepuasan kerja perlu

dilakukan secara terus-menerus dan periodik sesuai dengan rentang waktu

secara interval. Menurut Wijono (2012), asumsi ini dibuat untuk

meminimalisir kondisi kepuasan kerja yang dipengaruhi oleh emosi yang

berlawanan sesuai dengan interval rentang waktu kejadiannya.

2.1.3 Aspek Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja memiliki tiga aspek penting, yaitu Nilai (values),

Kepentingan (importance), dan Persepsi (perception). Nilai, yang

dimaksud oleh Locke (Wijono, 2012) di sini meliputi penghargaan,

aktualisasi diri, dan pertumbuhan; Kepentingan, merupakan cara

seseorang menentukan penempatan nilai tersebut dalam dirinya seara kritis

sehingga terkait kepuasan kerja. Orang tidak hanya membedakan nilai-

nilai yang mereka pegang tetapi kepentingan mereka dalam menempatkan

nilai-nilai tersebut, dan perbedaan-perbedaan tersebut secara kritis yang

dapat menentukan tingkat kepuasan kerja; Persepsi, yang dilakukan oleh

individu atas situasi saat ini dan nilai-nilai yang dianutnya, dapat

menentukan kepuasan kerja. Contoh dari ketiga komponen adalah dua

orang melakukan pekerjaan tetap yang sama dalam rentang waktu yang

sama pula, namun mengalami tingkat kepuasan yang berbeda. (h.120)

Locke (Luthans, 2006) mengatakan bahwa pekerjaan itu sendiri,

gaji, promosi, pengawasan, kelompok kerja, dan kondisi kerja

memengaruhi kepuasan kerja. Gaji yang dimaksud dalam konteks ini

adalah berupa uang. Uang membantu seseorang untuk memenuhi

14

kebutuhan dasar, juga kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi. Sebagai

benefit dalam pekerjaan, uang tidak terlalu berpengaruh, menurut Luthans,

karena karyawan tidak mengetahui jumlah pasti benefit yang diterima,

juga karena mereka tidak menyadari nilai moneter yang signifikan.

Meskipun begitu, jika benefit yang disediakan bersifat fleksibel (karyawan

bebas untuk memilih atau tidak memilih), maka benefit dapat

memengaruhi kepuasan kerja.

Promosi pernah menjadi faktor penting dalam menunjang

kepuasan kerja. Namun, dalam paradigma baru (Luthans, 2006)

lingkungan kerja yang positif dan kesempatan untuk berkembang secara

intelektual dan memperluas keahlian dasar menjadi lebih penting daripada

kesempatan promosi. Selain itu, terdapat pula supervisi (pengawasan).

Supervisi berkaitan dengan gaya kepemimpinan. Supervisi dalam konteks

ini terbagi atas supervisi yang berpusat pada karyawan dan supervisi yang

berpusat pada partisipasi. Supervisi yang berpusat pada karyawan

cenderung menggunakan aspek personal dan kepedulian pada karyawan.

Sedangkan dimensi supervisi yang lain cenderung melibatkan karyawan

pada penentuan kebijakan-kebijakan dalam perusahan. Iklim pastisipasi

yang diciptakan penyelia memiliki efek yang lebih penting pada kepuasan

pekerja daripada partisipasi pada kepuasan tertentu.

Kelompok dapat memengaruhi kepuasan kerja individu, namun ini

mungkin bergantung pada personalitas individu itu sendiri. Beberapa

individu dapat mengalami kepuasan pekerjaan jika ia didukung oleh tim,

sedangkan yang lain justru mengalami ketidakpuasan ketika ia harus

berada dalam sebuah tim. Misalnya, seorang entertainer dapat mencapai

kinerja yang optimal karena ia memang nyaman berada dalam situasi kerja

tim. Seorang ahli program komputer justru akan mengalami kepuasan

ketika ia diberi kebebasan untuk bekerja tidak dalam tim. Kondisi kerja

memiliki kecil pengaruhnya terhadap kepuasan kerja (Luthans, 2006),

namun itu hanya akan terjadi jika kondisi kerja benar-benar buruk. Justru

15

Luthans (2006) mengatakan bahwa saat ada keluhan mengenai kondisi

kerja, kadang-kadang hal ini tidak lebih dari manifestasi masalah lain.

Berdasarkan berbagai definisi dan teori tersebut, penulis

menyimpulkanbahwa kepuasan kerja merupakan reaksi evaluatif individu

atas pekerjaannya dengan melibatkan emosi dan sikap. Reaksi yang

penulis maksudkan adalah tanggapan afektif individu yang muncul setelah

stimulus terkait pekerjaan terjadi. Evaluatif adalah penilaian kritis individu

terhadap stimulus tersebut.

2.2 Motivasi Kerja

2.2.1 Pengertian Motivasi Kerja

Echols & Shadly (2003) menerjemahkan istilah motif, motive, dan

motivation. Motif berarti motif atau téma; Motive berarti alasan atau sebab;

dan motivation berarti (peng)alasan, daya batin, dorongan, atau motivasi.

Selain itu, istilah motivasi (motivation) berasal dari kata Latin untuk

movement [bhs Inggris] (movere) (Steers, Mowday & Shapiro, 2004) yang

berarti “menggerakkan” (Steers & Porter, 1975, dalam Wijono, 2012).

Motivasi berasal dari kata Latin movere, yang berarti “bergerak”.

Luthans (2006) mengartikan motivasi sebagai proses yang dimulai dengan

defisiensi fisiologis atau psikologis yang menggerakkan perilaku atau

dorongan yang ditujukan untuk tujuan atau insentif. Ia melanjutkan

tentang motivasi bahwa kunci untuk memahami proses motivasi

bergantung pada pengertian dan hubungan antara kebutuhan, dorongan,

dan insentif. Luthan (1998, dalam Tella, Ayeni & Popoola, 2007)

mendefinisikan motivasi sebagai “a proces that starts with a physiological

deficiency or need activates a behaviour or a drive that is aimed at a goal

incentive”.

16

2.2.2 Teori Motivasi Kerja

Beberapa teori terkait motivasi pernah dikemukakan oleh para ahli.

Berikut beberapa teori tentang motivasi isi:

a. Hierarki Kebutuhan

Abraham Maslow mengidentifikasi lima tingkat dalam hierarki

kebutuhan (Luthans, 2006):

1. Kebutuhan fisiologis

Tingkat paling dasar dalam hierarki ini umumnya berhubungan

dengan kebutuhan primer. Menurut teori ini, sekali kebutuhan

dasar terpuaskan, mereka tidak lagi termotivasi.

2. Kebutuhan keamanan

Maslow menekankan keamanan emosi dan fisik. Keseluruhan

organisme mungkin menjadi mekanisme yang mencari keamanan.

3. Kebutuhan cinta

Tingkat kebutuhan yang berhubungan dengan kebutihan afeksi dan

afiliasi.

4. Kebutuhan penghargaan

Tingkat penghargaan mewakili kebutuhan manusia yang lebih

tinggi. Kebutuhan akan kekuasaan, prestasi, dan status dapat

dianggap sebagai bagian dari tingkat ini.

5. Kebutuhan aktualisasi diri

Tingkat ini adalah puncak semua kebutuhan manusia yang rendah,

sedang, dan lebih tinggi. Orang yang memiliki aktualisasi diri

adalah orang yang terpenuhi dan menyadari semua potensinya.

b. ERG(Existence, Relatedness, Growth)

Clayton P. Alderfer setuju dengan kebutuhan seperti hierarki

Maslow, namun hanya melibatkan tiga tahap kebutuhan. Ivancevich,

17

Konopaske & Matteson (2007) memaparkan kebutuhan menurut Alderfer

sebagai berikut:

1. Eksistensi (existence). Kebutuhan yang dipuaskan oleh faktor-

faktor seperti makanan, udara, imbalan, dan kendisi kerja.

2. Hubungan (relatedness). Kebutuhan yang dipuaskan oleh

hubungan sosial dan interpersonal yang berarti.

3. Pertumbuhan (growth). Kebutuhan yang terpuaskan jika individu

membuat kontribusi yang produktif atau kreatif.

Sedangkan menurut Luthans (2006), Alderfer mengidentifikasi tiga

kelompok kebutuhan, yaituEksistensi (exixtence), Hubungan (relatedness),

dan Perkembangan (growth), yang kemudian disebut ERG. Kebutuhan

eksistensi berhubungan dengan kelangsungan hidup (kesejahteraan

fisiologis). Kebutuhan hubungan menekankan pentingnya hubungan sosial

atau hubungan antar pribadi. Kebutuhan perkembangan berhubungan

dengan keinginan intrinsik individu terhadap perkembangan pribadi.

Menurut Luthans (2006), Alderfer tidak berpendapat bahwa

kebutuhan tingkat rendah harus dipenuhi sebelum kebutuhan akan

motivasi pada tingkat lebih tinggi atau bahwa kehilangan bukan satu-

satunya cara mengaktifkan kebutuhan. Pendekatan Alderfer menambahkan

istilah regresi-frustrasi. Saat kebutuhan perkembangan yang berada di

urutan lebih tinggi tertekan atau tidak terpenuhi karena berbagai keadaan,

kemampuan yang rendah, atau faktor lain, maka individu cenderung

mundur kembali ke kebutuhan urutan lebih rendah dan lebih merasa

kebutuhan tersebut. Ivancevic, Konopaske & Matteson (2007)

menambahkan, jika seseorang terus menerus merasa frustrasi dalam usaha

untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan, kebutuhan hubungan langsung

muncul kembali sebagai kekuatan yang termotivasi, menyebabkan

individu mengarahkan ulang usahanya untuk memuaskan kebutuhan

mereka pada tingkat yang rendah.

18

c. Kebutuhan Berprestasi

Teori ini dipelopori oleh David McClelland. McClelland (As’ad,

2002) mengatakan bahwa timbulnya perilaku karena dipengaruhi oleh

kebutuhan- kebutuhan yang ada dalam manusia. Dalam diri manusia

terdapat tiga kebutuhan yang pokok yang mendorong tingkah laku

manusia. Dalam teorinya, McClelland mengemukakan bahwa terdapat tiga

motif yang berpengaruh pada prestasi kerja. Wijono (2012) bahkan

menguatkan bahwa motivasi berprestasi yang dikemukakan oleh

McClelland mempunyai peran penting dalam kaitannya dengan usaha

individu untuk mencapai tingkah laku tertentu dalam merealisasikan

prestasi kerja. As’ad (2002) melanjutkan, ketiga motif itu ialah kekuasaan,

afiliasi, dan berprestasi. Ketiga kebutuhan ini akan selalu muncul dalam

tingkah laku individu, hanya saja kekuatannya tidak sama antara

kebutuhan-kebutuhan itu pada diri seseorang. Ketiga kebutuhan akan

muncul dipengaruhi oleh situasi yang sangat spesifik. Jadi, selain

memengaruhi, motivasi berprestasi juga berorientasi pada realisasi dalam

kerja.

Sementara itu, tiga dimensi motivasi menurut Ivancevich, Konopaske &

Matteson(2007):

1. Arah

Berhubungan dengan apa yang akan seorang individu pilih ketika

ia dihadapkan dengan sejumlah alternatif yang mungkin dilakukan.

2. Intensitas

Merujuk pada kekuatan dari respon ketika arah dari motivasi telah

dipilih.

3. Ketekunan

Merujuk pada beberapa lama seseorang akan terus memberikan

usaha mereka.

19

McClelland (Wijono, 2012) kemudian menunjukkan tiga dimensi terkait

motivasi kerja:

1. Motif kekuasaan

Motif kekuasaan memberikan peran penting dalam meningkatkan

sebuah organisasi. Motif kekuasaan lebih digunakan oleh

pemimpin untuk memotivasi dan mengarahkan karyawannya agar

mereka menunjukkan prestasi kerja yang baik.

2. Motif afiliasi

Motif afiliasi hubungan interpersonal antara pemimpin dengan

karyawan agar tercipta suasana yang kondusif agar tercapai tujuan

organisasi.

3. Motif berprestasi

Motif berprestasi lebih mengarah kepada kepentingan di masa

depan untuk memeroleh prestasi yang lebih baik dalam bekerja.

Atas dasar teori motivasi kerja yang dikemukakan tersebut, penulis

dalam penelitian ini menggunakan dasar teori kebutuhan berprestasi yang

dijelaskan oleh McClelland (Wijono, 2012) yang terdiri dari tiga dimensi,

yaitu motif keberadaan, motof afiliasi, dan motif berprestasi, karena

dimensi-dimensi tersebut berkaitan erat dengan kondisi karyawan yang

ada di PT Telkom, khususnya di Kupang.

2.3 Stres Kerja

2.3.1 Definisi Stres Kerja

Istilah stres berasal dari kata dalam bahasa Latin, “stringere” yang

berarti “menarik kencang (to draw tight)” (Malik, Safwan, & Sindhu,

2011). Dalam bahasa Inggris, stres disebut “stress”, yang berarti

“ketegangan” atau “tekanan” (Echols & Shadly, 2003). Ketegangan ini

dapat memberi manfaat positif maupun negatif. Terdapat dua kategori dari

bentuk dasar stres, yaitu eustress dan distress. Colligan & Higgins (2005)

menerangkan bahwa eustress bisa dipahami sebagai stres positif atau stres

20

yang baik, sedangkan distress merupakan reaksi stres terhadap stresor

yang dinilai negatif. Eustress dan distress meliputi respon-respon secara

kognitif, perilaku, emosional, dan fisik. Lazarus (2000, dalam Colligan &

Higgins, 2005) menyatakan bahwa “stress comes from any situation or

circumstance that requires behavioral adjustment. Any change, either

good or bad, is stressful, and whether it’s a positive or negative change,

the physiological response is the same”.

Ivancevich, Konopaske & Matteson (2007) mendefinisikan stres

sebagai “suatu respon adaptif, dimoderasi oleh perbedaan individu, yang

merupakan konsekuensi dari setiap tindakan, situasi, atau peristiwa yang

memberikan tuntutan khusus terhadap seseorang”. Lazarus & Folkman’s

(Butler, n.d) mengatakan bahwa stres adalah “aparticular relationship

between the person and the environment that is appraised by the person as

taxing prexceeding his or her resourches and endangering his or her well

being”. Wijono (2012) menyatakan stres kerja sebagai suatu kondisi dari

hasil penghayatan subjektif individu yang dapat berupa interaksi antara

individu dan lingkungan kerja yang dapat mengancam dan memberi

tekanan secara psikologis, fisiologis, dan sikap individu.

Menurut Nykodym & George (1989, dalam Wijono, 2012), secara

umum, stres didefinisikan sebagai rangsangan eksternal yang mengganggu

fungsi mental, fisik, dan kimiawi dalam tubuh seseorang. Dalam kaitannya

dengan organisasi, Hielriegel & Slocum (1986, dalam Wijono, 2012)

menyatakan bahwa stres kerja merupakan umpan balik atas diri karyawan

secara fisiologis maupun psikologis terhadap keinginanan atau permintaan

organisasi. Beehr & Newman (1978, dalam Wijono, 2012) mendefinisikan

stres kerja sebagai suatu keadaan yang timbul dalam interaksi di antara

manusia dan pekerjaan.Mongolis & Kroes (Beehr & Newman, 1978,

dalam Wijono, 2013) memberikan definisi stres kerja sebagai suatu

interaksi antara situasi pekerjaan dan karakteristik pegawai yang

mengganggu kondisi pegawai secara psikologis atau homeostasi fisiologis.

Sedangkan McCormick (Kusumadewi, 2012) mendefinisikan stres kerja

21

merupakan perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan yang dialami

oleh individu dalam bekerja di tempat kerja; perasaan yang tidak

menyenangkan ini dapat mengakibatkan tekanan pada kondisi fisik, psikis

secara subjektif, kognitif maupun perilaku yang dapat membawa dampak

negatif terhadap individu itu sendiri. Dengan demikian, penulis

menyimpulkan stres kerja sebagai perasaan-perasaan tidak menyenangkan

sebagai respon adaptif individu terkait pekerjaan dan lingkungan kerja

organisasional yang termanifestasi pada kondisi fisik, psikologis, kognitif,

dan perilaku individu tersebut.

2.3.2 Teori Stres Kerja

Para ahli Stres dalam mengemukakan berbagai aspek yang

mengindikasikan stres kerja bagi individu, antara lain Mongolis & Kroes

dan McCormick.

Mongolis & Kroes (Wijono, 2013) memaparkan lima aspek terkait stres:

1) Kondisi subjektif dalam jangka waktu yang pendek. Misalnya

bimbang, tekanan dan marah.

2) Kondisi subjektif jangka waktu yang panjang dan respon

psikologis kronis. Misalnya sedih, malas secara umum dan

terasing. Menurut penulis, kondisi ini termanifestasi dalam

perilaku.

3) Pertukaran masalah fisiologis secara mendadak. Misalnya Leader

catecholamine dan tekanan darah.

4) Kesehatan fisik. Misalnya kerusakan gastrointestinal, sakit

jantung, penyakit kelelahan fisik.

5) Menurunnya prestasi.

McCormick (1997, dalam Kusumadewi, 2012) memaparkan aspek-aspek

pekerjaan setelah meneliti stres kerja guru menggunakan kuesioner yang

22

ia kembangkan dalam (Teacher Attribution of Responsibility for Stress

Questionnaire – TARSQ):

1) Subyektif

Perasaan yang hanya dapat dirasakan oleh individu yang

mengalaminya sendiri, misalnya perasaan gelisah, lesu, muram,

merasa lelah, kehilangan kesabaran, merasa harga diri rendah,

merasa tersisih dari rekan kerja.

2) Perilaku

Perilaku individu yang ditampilkan atau dimunculkan sebagai

akibat dari stres. Miesalnya makan berlebihan dan tidak sadar

bahwa bahnayk makanan yang telah dikonsumsi atau malas

makan serta merasa semua makanan terasa menjadi tidak enak

untuk disantap, mudah marah di dalam kelas saat mengajar, pola

tidur yang berubah dan tidak dapat tidur dengan nyenyak.

3) Kognitif

Individu tidak dapat berkonsentrasi dengan baik, tidak dapat

memfokuskan pikirannya pada satu hal, tidak bisa mengambil

keputusan dengan baik. Jelasnya, guru tidak dapat berkonsentrasi

dengan baik saat mengajar atau melakukan tugasnya sabagai

seorang guru, tidak bisa memfokuskan pikirannya pada suatu hal

yang harus dia selesaikan atau berkenaan dengan hal yang

penting.

4) Fisiologis

Aspek yang dilihat dari fisik, seperti denyut jantung meningkat,

gangguan pencernaan, tekanan darah stabil. Aspek fisiologis ini

berhubungan dengan kondisi fisik guru serta kesehatannya dan

23

dapat membawa dampak yang negatif bagi kesehatan individu itu

sendiri.

5) Keorganisasian

Keorganisasian mencakup school domain dan student domain,

yaitu peran manajemen sekolah, beban pekerjaan yang berlebih,

hubungan dengan teman sekerja, dan hubungan guru dengan

murid, serta tuntutan rumah atau kepentingan pribadi.

Pengukuran stres kerja ini penulis menggunakan aspek yang

disampaikan oleh McCormick. Subyek penelitian McCormick berasal dari

dunia edukasi sedangkan subyek penulis dalam penelitian ini adalah

industri komunikasi. Jelas keduanya berbeda karena edukasi pada

umumnya bukan berorientasi profit, sedangkan secara umum industri

telekomunikasi berorientasi profit, namun keduanya sama-sama terbangun

dan beroperasi dalam sistem organisasi. Dengan demikian, penulis

berpendapat bahwa definisi dan aspek stres kerja yang dikemukakan

McCormick dapat penulis gunakan untuk mengukur stres kerja karyawan

PT Telkom Kupang.

2.4 Jenis Kelamin

Jenis kelamin dalam penelitian ini lebih lihat secara konteks

gender. Yeni (Ardiansah, 2003) mengatakan bahwa gender dipahami

sebagai perbedaan laki-laki dan perempuan yang merupakan bentukan

sosial yang melekat walau tidak disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin.

Hal ini sejalan dengan Iswati (2008) yang mengatakan bahwa dalam

perspektif gender perbedaan antara laki-laki dan perempuan merupakan

bentukan sosial, budaya yang sifatnya turun-temurun.

Palmer & Kandasaami (Iswati, 2008) mengelompokkan gender

dalam dua kelompok. Kelompok pertama terdiri atas dua model, yaitu

equity model dan complementary contribution model. Kelompok kedua

24

terdiri dari dua stereotipe, yaitu Sex Role Stereotypes dan Managerial

Stereotypes. Pada kelompok pertama, diasumsikan bahwa laki-laki dan

perempuan sebagai profesional adalah identik sehingga perlu ada satu cara

yang sama dalam mengelola. Laki-laki dan perempuan harus diuraikan

berdasarkan akses yang sama. Sementara asumsi pada kelompok kedua

adalah laki-laki dan perempuan mempunyai kemampuan yang berbeda,

oleh karenanya ada perbedaan dari sisi cara menilai, mengelola, dan

sebagainya.

Diuraikan lebih lanjut dalam Iswati bahwa klasifikasi stereotipe

merupakan proses pengelompokan individu dengan memberikan atribut

karakteristik pada individu berdasarkan anggota kelompok. Pengertian Sex

role stereotypes terkait dengan pandangan umum bahwa laki-laki lebih

berorientasi ada pekerjaan, obyektif, independen, agresif, dan pada

umumnya memiliki kemampuan lebih dibandingkan perempuan

dalampertanggungjawaban manajerial. Sedangkan pada sisi lain,

perempuan dipandang lebih pasif, lembut, berorientasi pada pertimbangan,

lebih sensitif dan lebih rendah posisinya pada pertanggungjawaban dalam

organisasi dibandingkan laki-laki. Ismiwati melajutkan bahwa Managerial

stereotypes memberikan pengertian manajer yang sukses sebagai

seseorang yang memiliki sikap, perilaku dan temperamen yang umumnya

lebih dimiliki laki-laki dibandingkan perempuan.

Selanjutnya, dalam penelitian akan menggunakan istilah “jenis

kelamin” untuk pemakaian gender yang dimaksud.

2.5 Dinamika Psikologi

a. Hubungan Motivasi kerja dan Kepuasan kerja

Dehaloo (2011), dalam disertasinya tentang motivasi kerja dan

kepuasan kerja guru di KwaZulu-Natal, melaporkan hasil penelitiannya

yang dirancang untuk mixed-methods dengan pendekatan eksplanatori.

Dalam fase kuantitatif, kuesioner melibatkan 100 responden dari lima

25

sekolah. Fase kualitatif melibatkan studi fenomenologikal dengan

mewawancarai 16 guru dari sekolah-sekolah. Hong & Waheed (2011)

menguji hubungan antara motivasi karyawan di industri retail dan tingkat

kepuasan kerjanya menggunakan teori higiene dan motivator Herzberg.

Dari penelitian ini ditemukan hubungan motivasi karyawan dengan

kepuasan kerja.

Suryana, Haerani, & Taba (n.d.) pada suatu kesempatan

melaporkan bahwa motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan

terhadap kepuasan kerja dalam penelitiannya yang melibatkan seluruh

populasi berjumlah 764 orang. Begitu pula disampaikan oleh Nalendra

(2008) bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan motivasi kerja

terhadap kepuasan kerja. Kurnia(n.d.) juga melaporkan motivasi kerja

berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja. Astuti &

Sudharma (n.d.), peneliti dari Universitas Udayana, melaporkan bahwa

motivasi seluruh karyawan pada hotel Bakung’s Beach Cottages Kuta Bali

yang berjumlah 59 orang berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kepuasan kerjanya. Dilanjutkan oleh Kartika &Kaihatu (2010), peneliti

dari Universitas Kristen Petra, melaporkan bahwa kepuasan kerja secara

signifikan dipengaruhi oleh motivasi karyawan restoran di Pakuwon Food

Festival Surabaya. Namun, Handayani (2012) justru melaporkan bahwa

motivasi tidak memengaruhi kepuasan kerja.

b. Hubungan Stres kerja dan Kepuasan kerja

Berbagai penelitian menunjukkan pengaruh stres kerja secara

positif dan maupun secara negatif (Klassen, Usher & Bong, 2010; Obiora

& Iwuoha, 2013) terhadap kepuasan kerja. Henny (2007) meneliti

hubungan stres kerja dengan kepuasan kerja karyawan bagian Customer

care pada PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Bekasi. Penelitian tersebut

bersifat eksplanatori dengan menggunakan pemilihan lokasi secara

purposif. Sampel 74 orang diambil dari bagian Customer care

menggunakan complete enumeration. Pengolahan dan analisis data

26

menggunakan Rank Spearman & Chi-square (SPSS 12.0 for Windows dan

Misrosoft Excel 2003). Ia menemukan stress kerja dan kepuasan kerja

berhubungan secara negatif signifikan dan tingkat korelasi yang rendah.

Kayastha & Kayastha (2012) pernah meneliti hubungan antara

stres kerja dan kepuasan kerja guru di Nepal. Hasil penelitian ini

menunjukan bahwa terdapat hubungan signifikan antara penyebab stres

kerja dan kepuasan kerja. Mark & Smith (2012), pernah meneliti pengaruh

stres kerja terhadap kesehatan mental dan kepuasan kerja karyawan

universitas, dengan melibatkan 307 sampel. Pengukuran ini menggunakan

aspek-aspek seperti stres, karakteristik pekerjaan, coping dan gaya

atribusi, kepuasan kerja, kecemasan dan depresi. Mereka menyimpulkan

bahwa gaya coping positif dapat memengaruhi kepuasan kerja.

Cheng & Ren (2010) pernah melakukan penelitian korelasional

antara stres kerja dan kepuasan kerja guru sekolah dasar di Taiwan.

Penelitian ini melibatkan 153 guru. Dari total 138 kuesioner yang kembali,

diperoleh 90.19% respon. Instrumen penelitian ini menggunakan the self-

report questionnaire yang diadaptasi dari instrumen yang dikembangkan

oleh He & Zhang (1990, dalam Cheng & Ren, 2010; dan He (1988, dalam

Chang & Ren, 2010). Komponen dalam kuesioner ini meliputi demografi,

pengukuran stres kerja (menggunakan 5-point skala Likert), dan ukuran

kepuasan kerja (menggunakan 5-point skala Likert). Teknik analisis data

menggunakan SPSS dengan koefisien Cronbach’s alpha untuk stres dan

kepuasan kerja adalah .89 dan .87. Multipel regresi digunakan untuk

memprediksi kepuasan kerja berdasarkan variabel demografik dan ukuran

stres. Transkripsi data menggunakan koding dan tabulasi.

Ahsan, Abdullah & Fie (2009) menyelidiki hubungan antara stres

kerja dan kepuasan kerja para akademisi universitas menggunakan

determinan stres kerja yang meliputi peran manajemen, hubungan dengan

orang lain, tekanan kerja, homework interface, ambiguitas peran, tekanan

pelaksanaan. Hasilnya menunjukkan stres kerja berhubungan secara

27

negatif signifikan dengan kepuasan kerja. Begitu pula Handayani (2012)

melaporkan bahwa konflik peran tidak memengaruhi kepuasan kerja.

Dhania (2010) melaporkan bahwa stres kerja tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap kepuasan kerja.

Sementara, Tunjungsari (2011) melaporkan adanya pengaruh stres

kerja terhadap kepuasan kerja dalam tingkat hubungan sedang (34,3%)

pada 81 sampel dari 410 karyawan PT. Pos Indonesia (Persero) Bandung.

Liana (n.d.) menemukan pada 52 (populasi) karyawan bank di Kota

Malang terdapat efek signifikan antara stres kerja terhadap kepuasan kerja.

c. Hubungan Jenis Kelamin dan Kepuasan Kerja

Pada suatu kesempatan Suartini & Marlina (n. d.) meneliti

hubungan faktor-faktor demografi, termasuk gender, dengan kepuasan

kerja, dan perbedaan kepuasan kerja yang melibatkan 106 responden dari

205 populasi. Mereka melaporkan bahwa gender sangat memengaruhi

kepuasan kerja dengan tingkat hubungan yang signifikan. Sementara itu,

Aydin, Usyal &Sarier (2012) setelah meneliti pengaruh gender pada

kepuasan kerja para guru melaporkan bahwa pengaruh ini lebih dirasakan

oleh guru laki-laki. Namun, Iswati (2008) pernah melaporkan bahwa

gender tidak berpengaruh pada kepuasan kerja.

d. Hubungan Motivasi kerja, stres kerja, jenis kelamin, dan kepuasan

kerja

Penelitian motivasi dan stres secara simultan terkait kepuasan kerja

pernah dilakukan. Kakkos, Trivellas &Fillipou (2010), dalam suatu

konferensi internasional melaporkan hasil penelitiannya tentang hubungan

motivasi kerja, stres kerja, dan kepuasan kerja karyawan dalam industri

perbankan, berdasarkan 143 sampel yang terdiri dari bank swasta (n=71)

dan bank umum (n=72) di Yunani. Informasi demografis yang digunakan

meliputi gender, usia, pengalaman kerja, posisi, dan latar belakang

pendidikan. Dalam penelitian itu mereka menemukan adanya pengaruh

28

positif antara motivasi dan kepuasan kerja, dan hubungan negatif antara

stres dan kepuasan kerja. Penemuannya ini direkomendasikan untuk aksi

praktis, seperti kebijakan HR, praktisi perbankan, atau pengembang

perilaku yang berorientasi pada human capital. Selain itu, Dehaloo (2011)

melaporkan dalam disertasinya bahwa dibandingkan dengan guru wanita,

guru laki-laki merasa lebih puas dengan kebijakan sekolah, hubungan

interpersonal, dan organisasi sekolah.

Tabel 2.1 Deksripsi Penelitian Terdahulu Kepuasan Kerja

Keterangan: MK = Motivasi Kerja; SK = Stes Kerja; KK = Kepuasan Kerja;JK – Jenis Kelamin

Sifat MK – KK SK – KK JK – KK Positif Kakkos, Trivellas,

& Fillipou (2010) Dehaloo (2011) Suryana, Haerani,

& Taba (n.d.) Nalendra (2008) Kartika &Kaihatu

(2010)

Kayastha & Kayastha (2012)

Tunjungsari (2011) Liana (n.d.) Mark & Smith

(2012) Klassen, Usher &

Bong (2010)

Suartini & Marlina (n. d.) Dehaloo (2011) Pujisari (2010) Yusof, Misiran & Harun.

(2014) Kifle & Desta (2012) Aydin, Usyal &Sarier

(2012) Negatif Handayani

(2012) Kakkos, Trivellas,

& Fillipou (2010) Henny (2007) Ahsan, Abdullah

&Fie (2009) Handayani (2012) Dhania (2010) Obiora & Iwuoha

(2013)

Iswati, 2008

29

2.6 Landasan Teori

Karyawan sebagai anggota organisasi, yang adalah sumber daya

manusia, merupakan salah satu penentu tercapainya kesuksesan

organisasi. Karyawan yang merasa puas dengan isi pekerjaan maupun

lingkungan kerjanya dapat terlibat dalam upaya mencapai tujuan

perusahaan (organisasi). Hal ini sesuai dengan pendapat Pushpakumari

(2008) bahwa kepuasan kerja karyawan menghasilkan kinerja, yang

kemudian didukung oleh Tan & Waheed (2011) yang mengatakan bahwa

kepuasan kerja membawa keberhasilan perusahaan.

Dalam berbagai literatur ditemukan bahwa kepuasan kerja

berhubungan secara positif dengan motivasi kerja dan stres kerja. Namun,

ada juga laporan yang menunjukkan hubungan negatif. Kepuasan kerja

karyawan dapat ditentukan oleh kemampuannya memenuhi dan

meningkatkan motivasinya dalam bekerja dan mengendalikan stres diri

selama bekerja. Ternyata, dalam kaitannya dengan kepuasan kerja, ada

laporan yang mengatakan bahwa motivasi dan stres juga ditentukan oleh

perbedaan gender. Hal ini dikuatkan oleh Smith, Scoot, & Hulin (Hughes

et al, 2012) yang melaporkan bahwa mayoritas pria dan wanita dalam

setengah abad terakhir menyatakan secara konsisten menyatakan kesukaan

terhadap pekerjaannya. Seseorang dapat dikatakan mengalami kepuasan

kerja saat ia menyukai pekerjaannya.

Dalam kerangka gender, laki-laki dan perempuan sebagai

profesional, perlu dipahami dan diperlakukan secara identik (equity),

termasuk dalam upaya pencapaian dan pemenuhan kepuasan kerja.

Namun, penelitian menunjukkan bahwa ternyata ada perbedaan dalam

tingkat kepuasan kerja.

Dinamika ini menunjukkan pentingnya penelitian motivasi kerja

dan stres kerja dalam hubungannya dengan kepuasan kerja, yang

dimoderatori oleh jenis kelamin.

30

2.7 Model Penelitian

Gambar 2.1 Model Hubungan Variabel Bebas dan Varabel Terikat

Model penelitian di atas menunjukkan penelitian ini meneliti

hubungan motivasi kerja dan stres kerja dengan kepuasan kerja. Selain itu,

akan diselidiki pula pengaruh interaksi motivasi kerja dan jenis kelamin

terhadap kepuasan kerja, dan pengaruh interkasi stres kerja dengan

kepuasan kerja. Selanjutnya, akan menyelediki perbedaan kepuasan kerja

ditinjau dari jenis kelamin.

2.8 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini dibuat berdasarkan teori-teori dan penelitian yang

telah dipaparkan:

H1 : Ada pengaruh motivasi kerja dan stres kerja secara simultan

terhadap kepuasan kerja

H2 : Ada perbedaan kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin

Motivasi Kerja (X1) Kepuasan Kerja (Y)

Stres Kerja (X2)

Jenis Kelamin