bab ii tinjauan pustaka ii kajian... · baik dibandingkan lansia di negara maju, ... mengetahui...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lansia (Lanjut Usia)
2.1.1 Definisi Lansia
Lansia adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini
dimulai dari umur 60 tahun sampai meninggal, yang ditandai dengan adanya
perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Lansia
merupakan bagian dari proses tumbuh kembang yang perkembangannya dari
anak-anak, dewasa yang akhirnya menjadi tua. Batasan lansia menurut World
Health Organization (WHO) meliputi: (1) usia 60-74 tahun adalah lanjut usia
(elderly), (2) usia 75-90 tahun adalah lanjut usia tua (old), (3) usia >90 tahun
adalah sangat tua (very old) (WHO, 2012).
2.1.2 Karakteristik Lansia
Menurut Keliat (1999) dalam Mariyam dkk (2008), lanjut usia memiliki
beberapa karakteristik diantaranya adalah; Pertama, orang berusia lebih dari 60
tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan); Kedua,
kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari
kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga
kondisi maladaptif; ketiga, lingkungan dan tempat tinggal yang bervariasi.
Adapun ciri-ciri pada lansia sehingga akan berdampak terhadap respon yang
dihadapi,seperti:
9
1. Usia dan Jenis Pekerjaan
Semakin bertambahnya usia seseorang, semakin siap pula dalam menerima
cobaan. Hal ini didukung oleh teori aktivitas yang menyatakan bahwa
hubungan antara sistem sosial dengan individu bertahan stabil pada saat
individu bergerak dari usia pertengahan menuju usia tua (Cox, 1984 dalam
Tamher & Noorkasiani, 2011). Usia adalah lamanya kehidupan yang dihitung
berdasarkan tahun kelahiran sampai dengan ulang tahun terakhir. Oleh sebab
itu, tidak dibutuhkan suatu kompensasi terhadap kehilangan, seperti pensiun
dari peran sosial karena menua. Keterkaitannya dengan jenis pekerjaan juga
membawa dampak yang berarti (Darmojo dkk, 1999 dalam Tamher &
Noorkasiani, 2011).
2. Jenis Kelamin
Perbedaan gender juga dapat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
psikologis lansia, sehingga akan berdampak pada bentuk adaptasi yang
digunakan, menyatakan hasil penelitian mereka yang memaparkan bahwa
ternyata keadaan psikososial lansia di Indonesia secara umum masih lebih
baik dibandingkan lansia di negara maju, antara lain tanda-tanda depresi pria
(pria 43% dan wanita 42%), menunjukkan kelakuan/tabiat buruk (pria 7,3%
dan wanita 3,7%), serta cepat marah irritable (pria 17,2% dan wanita 7,1%).
Jadi dapat diasumsikan bahwa wanita lebih siap dalam menghadapi masalah
dibandingkan laki-laki, karena wanita lebih mampu menghadapi masalah
daripada laki-laki yang cenderung lebih emosional (Darmojo dkk, 1999 dalam
Tamher & Noorkasiani, 2011).
10
3. Gangguan Psikologis
Pada lansia akan mengalami berbagai masalah psikologis yang dapat
mempengaruhi keseimbangan dinamis yang akan menyebabkan risiko jatuh
tinggi. Gangguan-gangguan psikologis seperti gangguan persepsi (halusinasi
dan ilusi), gangguan sensorik dan kognitif, gangguan kesadaran, gangguan
orientasi (kecemasan dan kepribadian), gangguan daya ingat, dan gangguan
fungsi intelektual (konsentrasi, informasi, dan kecerdasan) (Ary, 2012).
2.1.3 Proses Penuaan
Menjadi tua adalah suatu proses natural dan kadang-kadang tidak tampak
mencolok. Penuaan akan terjadi pada semua sistem tubuh manusia dan tidak
semua sistem akan mengalami kemunduran pada waktu yang sama. Meskipun
proses menjadi tua merupakan gambaran yang universal, tidak seorang pun
mengetahui dengan pasti penyebab penuaan atau mengapa manusia menjadi tua
pada usia yang berbeda-beda. Teori penuaan sampai saat ini juga belum ada yang
menerangkan secara keseluruhan tentang fenomena ini (Pudjiastuti & Utomo,
2003).
Adapun faktor yang mempengaruhi penuaan adalah dimana penuaan dapat
terjadi secara fisiologis dan patologis. Perlu hati-hati dalam mengidentifikasi
penuaan. Bila seseorang mengalami penuaan fisiologis (fisiological aging),
diharapkan mereka tua dalam keadaan sehat (healthy aging). Penuaan itu sesuai
dengan kronologis usia (penuaan primer), dipengaruhi oleh faktor endogen,
perubahan dimulai dari sel-jaringan-organ-sistem pada tubuh (Pudjiastuti &
Utomo, 2003).
11
Bila penuaan banyak dipengaruhi oleh faktor eksogen, yaitu lingkungan,
sosial budaya, dan gaya hidup disebut penuaan sekunder. Penuaan itu tidak sesuai
dengan kronologis usia dan patologis. Faktor eksogen juga dapat mempengaruhi
faktor endogen sehingga dikenal dengan faktor risiko. Faktor risiko tersebut yang
menyebabkan terjadinya penuaan patologis (pathological aging) (Pudjiastuti &
Utomo, 2003).
Penuaan sekunder yaitu ketidakmampuan yang disebabkan oleh trauma atau
sakit kronis, mungkin pula terjadi perubahan degeneratif yang timbul karena stres
yang dialami oleh individu. Stres itu dapat mempercepat penuaan dalam waktu
tertentu. Degenerasi akan bertambah apabila terjadi penyakit fisik yang
berinteraksi dengan lansia (Pudjiastuti & Utomo, 2003).
Penuaan Primer Faktor Endogen
Sel Jaringan Organ Sistem
Penuaan Sehat
Lingkungan Gaya hidup
Penuaan Sekunder Faktor Eksogen
Gambar 2.1
Proses Penuaan Sehat dengan Faktor yang Mempengaruhi
Sumber: Pudjiastuti & Utomo, 2003
12
2.1 Keseimbangan
2.2.1 Definisi Keseimbangan
Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan kesetimbangan
tubuh ketika ditempatkan dalam berbagai posisi (Dellito, 2003). Menurut Ann
Thomson, keseimbangan adalah mampu mempertahankan tubuh dalam posisi
statis atau dinamis, serta menggunakan aktivitas otot yang minimal.
Keseimbangan juga bisa diartikan kemampuan dalam menjaga center of mass
(COM) tubuh agar tetap berada di batas base of support (BOS), dimana
keseimbangan sangat penting bagi seseorang dalam menjalankan aktivitas
fungsional seperti fungsi mobilitas (Sibley dkk, 2011).
Sistem muskuloskleletal dan bidang tumpu akan mendukung berbagai gerakan
di setiap segmen tubuh untuk terciptanya keseimbangan. Adanya kemampuan
menyeimbangkan antara massa tubuh dengan bidang tumpu akan membuat
manusia mampu untuk beraktivitas secara efektif dan efisien. Keseimbangan
terbagi atas 2 kelompok, yaitu keseimbangan statis: kemampuan tubuh untuk
menjaga kesetimbangan pada posisi tetap, sedangkan keseimbangan dinamis
adalah kemampuan untuk mempertahankan kesetimbangan ketika bergerak
(Abrahamova & Hlavacka, 2008).
2.2.2 Fisiologi Keseimbangan
Bagian paling penting dari berbagai komponen fisiologis pada tubuh manusia
dalam melakukan reaksi keseimbangan adalah proprioseptif. Kemampuan untuk
merasakan posisi bagian sendi atau tubuh dalam gerak (Brown dkk, 2006).
Peningkatan keseimbangan dipengaruhi oleh beberapa jenis reseptor sensorik
13
pada kulit, otot, kapsul sendi, dan ligamen yang memberikan tubuh kemampuan
untuk mengenali perubahan lingkungan baik internal maupun eksternal pada
setiap sendi (Riemann dkk, 2002a).
Proprioseptif dihasilkan melalui respon secara simultan, visual, vestibular, dan
sistem sensorimotor, yang masing-masing memiliki peran penting dalam menjaga
stabilitas postural. Paling diperhatikan dalam meningkatkan proprioseptif adalah
fungsi dari sistem sensorimotor meliputi integrasi sensorik, motorik, dan
komponen pengolahan yang terlibat dalam pertahanan homeostasis selama tubuh
bergerak. Sistem sensorimotor mencakup informasi yang diterima melalui
reseptor saraf yang terletak di ligamen, kapsul sendi, tulang rawan, dan geometri
tulang yang terlibat dalam struktur setiap sendi (Riemann dkk, 2002a).
Mechanoreceptors sensorik bertanggung jawab secara kuantitatif terhadap
peristiwa hantaran mekanis yang terjadi dalam jaringan menjadi impuls saraf
(Riemann dkk, 2002b). Mereka yang bertanggung jawab untuk proprioception
yang terletak pada sendi, tendon, ligamen, dan kapsul sendi sementara tekanan
reseptor sensitif terletak di fasia dan kulit (Riemann dkk, 2002a). 4 jenis utama
dari mechanoreceptors yang membantu dalam proprioception yaitu reseptor
ruffini, reseptor pacinian, Golgi-tendonorgan (GTO), dan muscle spindle. Ruffini
dan pacinian reseptor berhubungan dengan sensasi sentuhan dan tekanan pada
umumnya terletak di kulit (Shier dkk, 2004). Reseptor ruffini dianggap sebagai
reseptor statis dan dinamis. Melalui perubahan impuls maka terjadi perubahan
gerak statis dan dinamis pada kulit dan sangat sensitif terhadap peregangan
(Rieman dkk, 2002a). Sementara itu reseptor pacinian mendeteksi tekanan berat
14
untuk mengenali perubahan percepatan dan perlambatan gerak (Shier dkk, 2004).
GTOs berada di persimpangan musculotendinous dan bertanggung jawab untuk
memantau kekuatan kontraksi otot untuk mencegah otot dari kelebihan beban
(Brown dkk, 2006). Terhubung ke satu serat otot dan diinervasi oleh neuron
sensorik, GTOs memiliki ambang batas yang tinggi dan dirangsang oleh
ketegangan otot yang meningkat. Keseimbangan tubuh dipengaruhi oleh sistem
indera yang terdapat di tubuh manusia bekerja secara bersamaan, jika salah satu
sistem mengalami gangguan maka akan terjadi gangguan keseimbangan pada
tubuh (inbalance), sistem indera yang mengatur/mengontrol keseimbangan seperti
visual, vestibular, dan somatosensory (tactile dan proprioceptive) (Shier dkk,
2004).
2.2.3 Komponen Pengontrol Keseimbangan
1. Sistem Informasi Sensoris
Sistem informasi sensoris meliputi visual, vestibular, dan somatosensoris.
a. Visual
Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris. Keseimbangan
akan terus berkembang sesuai umur, mata akan membantu agar tetap fokus
pada titik utama untuk mempertahankan keseimbangan, dan sebagai
monitor tubuh selama melakukan gerak statik atau dinamik. Sistem visual
memberikan informasi mengenai (1) posisi kepala; (2) penyesuaian kepala
untuk mempertahankan penglihatan dan; (3) mengatur arah dan kecepatan
pergerakan kepala karena ketika kepala bergerak, objek sekitar berpindah
dengan arah yang berlawanan (Kisner & Colby, 2007).
15
Penglihatan memegang peran penting untuk mengidentifikasi dan
mengatur jarak gerak sesuai lingkungan tempat kita berada. Penglihatan
muncul ketika mata menerima sinar yang berasal dari objek sesuai jarak
pandang. Dengan informasi visual, maka tubuh dapat menyesuaikan ketika
terjadi perubahan bidang pada lingkungan aktivitas sehingga memberikan
kerja otot yang sinergis dalam mempertahankan keseimbangan tubuh
(Kisner & Colby, 2007).
b. Sistem Vestibular
Komponen vestibular merupakan sistem sensoris yang berfungsi
penting dalam keseimbangan, kontrol kepala, dan gerak bola mata.
Reseptor sensoris vestibular berada di dalam telinga yang meliputi canalis
semisirkularis, utrikulus, serta sakulus. Canalis semisirkularis berfungsi
terhadap keseimbangan dinamis (keseimbangan saat bergerak) seperti
ketika berjalan atau dalam keadaan tidak seimbang (tergelincir dan
tersandung), sedangkan fungsi dari utrikulus dan sakulus terletak pada
keseimbangan statis, yaitu berperan terhadap kontrol postur dan monitoring
kepala. Jika terdapat gangguan maka respon otoliths (utrikulus dan sakulus)
begitu lamban pada pergerakan kepala dan kontrol postur (Kisner & Colby,
2007).
Reseptor dari sistem sensoris disebut dengan sistem labyrinth. Sistem
labyrinth mendeteksi perubahan posisi kepala dan percepatan perubahan
sudut. Melalui refleks vestibulo-occular, mereka mengontrol gerak mata,
terutama ketika melihat objek yang bergerak. Mereka meneruskan pesan
16
melalui saraf kranialis VIII ke nucleus vestibular yang berlokasi di batang
otak. Beberapa stimulus tidak menuju nukleus vestibular tetapi ke
cerebelum, formatio reticularis, thalamus dan corteks cerebri (Kisner &
Colby, 2007).
Nucleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor labyrinth,
retikular formasi, dan serebelum. Keluaran (output) dari nukleus vestibular
kemudian menuju ke motor neuron melalui medula spinalis, terutama ke
motor neuron yang menginervasi otot-otot proksimal, kumparan otot pada
leher dan otot-otot punggung (otot-otot postural). Sistem vestibular
bereaksi sangat cepat sehingga membantu mempertahankan keseimbangan
tubuh dengan mengontrol otot-otot postural (Watson dkk, 2008).
c. Somatosensoris
Sistem somatosensoris terdiri atas taktil atau proprioseptif dan persepsi-
kognitif. Informasi proprioseptif disalurkan ke otak melalui kolumna
dorsalis medulla spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif
menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui
lemniskus medialis dan thalamus (Willis, 2007).
Input-input somatosensori terdiri atas aktivitas serabut otot,
proprioseptif, dan reseptor cutaneus pada ekstremitas bagian bawah,
ditambah sensasi vibrasi. (Guccione dkk, 2012; Kisner & Colby 2007).
Input proprioseptif dan kutaneus merupakan informasi sensori yang utama
untuk memelihara keseimbangan (Guccione dkk, 2012).
17
Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian
bergantung pada impuls yang datang dari alat indera dalam dan sekitar
sendi. Alat indera tersebut adalah ujung-ujung saraf yang beradaptasi
lambat di sinovial dan ligamentum. Impuls dari alat indera ini dari reseptor
raba di kulit dan jaringan lain, serta otot di proses di korteks menjadi
kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang (Guccione dkk, 2012).
2. Respon Otot-Otot Postural yang Sinergis
Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak dari
aktivitas kelompok otot yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan
dan kontrol postur. Beberapa kelompok otot baik pada ekstremitas atas maupun
bawah berfungsi mempertahankan postur saat berdiri tegak serta mengatur
keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan. Keseimbangan pada tubuh dalam
berbagai posisi hanya akan dimungkinkan jika respon dari otot-otot postural
bekerja secara sinergis sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik tumpu, gaya
gravitasi, dan aligment tubuh (Kisner & Colby, 2007).
Kerja otot yang sinergi berarti bahwa adanya respon yang tepat (kecepatan
dan kekuatan) suatu otot terhadap otot yang lainnya dalam melakukan fungsi
gerak tertentu (Kisner & Colby, 2007).
3. Kekuatan Otot
Pada saat melakukan aktivitas, kekuatan otot sangat diperlukan. Semua
gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya suatu peningkatan tegangan
otot sebagai respon motorik (Kisner & Colby, 2007).
18
Kekuatan otot dapat digambarkan sebagai kemampuan otot menahan beban
baik berupa beban internal (internal force) maupun beban eksternal (external
force). Kekuatan otot sangat berhubungan dengan sistem neuromuskular yaitu
seberapa besar kemampuan sistem saraf mengaktivasi otot untuk melakukan
kontraksi. Sehingga semakin banyak serabut otot yang teraktivasi, maka semakin
besar pula kekuatan yang dihasilkan otot tersebut (Kisner & Colby, 2007).
Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat untuk
mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya gaya dari luar. Kekuatan otot
tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan otot untuk melawan gaya
gravitasi serta beban eksternal lainnya yang secara berkelanjutan mempengaruhi
posisi tubuh (Kisner & Colby, 2007).
4. Sistem Saraf Pusat (Central Processing)
Pada sistem saraf pusat terdapat central processing. Central processing
berfungsi untuk menentukan titik tumpu tubuh dan alligment gravitasi pada tubuh,
membentuk kontrol postur yang baik, dan mengorganisasikan respon
sensorimotor yang dibutuhkan oleh tubuh (Kisner & Colby, 2007).
Respon motorik yang juga dihasilkan oleh sistem saraf pusat sesuai untuk
menjaga postur tubuh agar tetap seimbang (Kauffman dkk, 2007). Sistem saraf
pusat menerima input sensorik, menginterpretasikan, dan mengintegrasikan
kemudian menghubungkan pada sistem neuromuskular untuk memberikan output
motorik yang korektif yaitu mampu menciptakan keseimbangan yang baik ketika
dalam keadaan bergerak (dinamis) ataupun keadaan diam (statis). Beberapa
komponen dalam sistem saraf pusat yang terlibat dalam proses kontrol postural
19
yaitu corteks, thalamus, basal ganglia, vestibular nucleus, dan cerebellum
(Guccione dkk, 2012).
5. Range of Motion (ROM)
Luas lingkup gerak sendi yang bisa dilakukan oleh sendi. ROM juga
merupakan ruang gerak suatu kontraksi otot dalam melakukan gerakan, apakah
otot tersebut memendek atau memanjang secara penuh atau tidak sehingga
berpengaruh terhadap keseimbangan (Kisner & Colby, 2007).
2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan
1. Pusat gravitasi (Center of Gravity-COG)
Pusat gravitasi terdapat pada semua objek maupun benda, pusat gravitasi
terletak pada titik tengah benda tersebut. Pusat gravitasi adalah titik utama pada
tubuh yang akan mendistribusikan massa tubuh secara merata. Bila tubuh
selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Gangguan
keseimbangan dapat terjadi oleh karena adanya perubahan postur sebagai
akibat dari perubahan titik pusat gravitasi. Pada manusia, pusat gravitasi
berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat gravitasi manusia
ketika berdiri tegak adalah tepat di atas pinggang diantara depan dan belakang
vertebra sacrum kedua (Bishop & Hay, 2009).
20
Gambar 2.2
Pusat Gravitasi
Sumber: Dhaenkpedro, 2009
Pusat gravitasi pada tubuh sangat penting diperhatikan untuk meningkatkan
keseimbangan. Keseimbangan ini pun dapat diperkuat dengan adanya otot-otot
dari leher serta stabilitator utama (core stability) dan juga otot tungkai yang
merupakan otot yang sangat penting untuk mempertahankan tubuh agar tetap
seimbang. Otot ini sangat penting dilatih dan diperkuat untuk dapat
mempertahankan keseimbangan tubuh (Bishop & Hay, 2009).
2. Garis gravitasi (Line of Gravity-LOG)
Garis gravitasi merupakan garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat
gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi
dengan bidang tumpu akan menentukan derajat stabilitas tubuh (Bishop & Hay,
2009).
21
Gambar 2.3
Garis Gravitasi
Sumber: Dhaenkpedro, 2009
3. Bidang tumpu (Base of Support-BOS)
Bidang tumpu merupakan bagian dari tubuh yang berhubungan dengan
permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada di bidang tumpu, tubuh
dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area
bidang tumpu. Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas.
Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan
satu kaki. Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas
tubuh makin tinggi (Yi, 2009).
22
Gambar 2.4
Bidang Tumpu (Base of Support-BOS)
Sumber: Dhaenkpedro, 2009
2.3 Proses Penurunan Keseimbangan pada Lansia
Penurunan keseimbangan pada lansia disebabkan oleh berbagai macam faktor
diantaranya adalah adanya gangguan pada sistem sensorik, gangguan pada sistem
saraf pusat (SSP) maupun adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal
(Nugroho, 2008). Gangguan pada sistem sensorik meliputi sistem visual,
vestibular dan somatosensoris. Sistem visual merupakan penyumbang utama
untuk menyeimbangkan, memberikan informasi tentang lingkungan, lokasi
seseorang, arah serta kecepatan gerakan seseorang dalam lingkungan. Ketajaman
visual dan kepekaan akan menurun seiring dengan bertambahnya usia. Akibatnya,
lansia cenderung memiliki kemampuan yang kurang untuk menggunakan isyarat
visual untuk mengontrol keseimbangan (Rogers, 2012).
Sistem vestibular salah satu komponennya yaitu mendeteksi gerakan kepala
dalam kaitannya dengan gravitasi, seperti derajat dan arah kemiringan kepala,
komponen lainnya adalah canalis semisirkularis yaitu kanal berisi cairan yang
terdiri dari 3 lingkaran yang diposisikan dalam 3 bidang yang berbeda. Cairan
23
dalam kanal ini memicu reseptor untuk mengirimkan informasi ke otak. Sekitar
usia 40 tahun, neuron vestibular mulai menurun baik dalam jumlah dan ukuran,
sehingga berbagai gangguan muncul termasuk pusing yang akan menyebabkan
gangguan keseimbangan (Rogers, 2012).
Sistem somatosensori memberikan informasi tentang posisi tubuh dan kontak
dari kulit melalui tekanan, getaran, taktil sensori, serta proprioseptor sendi dan
otot. Sensasi kulit melalui sentuhan, getaran dan tekanan sensor penting dalam
semua aktivitas hidup sehari-hari, terutama yang melibatkan gerakan. Sensitivitas
kulit berkurang dengan bertambahnya usia. Kurangnya masukan dari taktil,
tekanan dan getaran reseptor membuatnya sulit untuk berdiri atau berjalan dan
mendeteksi perubahan dalam pergeseran, yang penting dalam menjaga
keseimbangan (Rogers, 2012).
Gangguan pada sistem muskuloskeletal berperan besar terhadap peningkatan
risiko jatuh pada usia lanjut (faktor murni milik lanjut usia). Atrofi otot yang
terjadi pada lansia menyebabkan penurunan kekuatan otot. Kelemahan otot-otot
utamanya otot-otot ekstremitas bawah dapat menyebabkan gangguan
keseimbangan sehingga dapat mengakibatkan kelemahan bergerak, langkah
pendek-pendek, penurunan irama, kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan
cenderung tampak goyah, susah atau terlambat mengantisipasi bila terjadi
gangguan seperti terpeleset dan tersandung. Beberapa indikator ini dapat
meningkatkan risiko jatuh pada lansia (Rogers, 2012).
24
2.4 Pelatihan Core Stability Exercise
2.4.1 Definisi
Core Stability adalah kemampuan mengontrol posisi dan gerak dari trunk
sampai pelvic yang digunakan untuk melakukan gerakan secara optimal. Aktivitas
core stability akan memelihara postur yang baik dalam melakukan gerak serta
menjadi dasar untuk semua gerakan pada lengan dan tungkai. Menurut Kibler,
2006, peningkatan pola aktivasi core stability juga menghasilkan peningkatan
level aktivasi pada ekstremitas sehingga mengembangkan kapabilitas untuk
menggerakkan ekstremitas. Core stability merupakan komponen penting dalam
memberikan kekuatan lokal dan keseimbangan untuk memaksimalkan aktivitas
secara efisien (Ahmadi dkk, 2012).
2.4.2 Aktivasi Otot-Otot Core
Otot core yang terlibat diantaranya adalah otot quadratus lumborum fungsi
utamanya sebagai stabilisator saat aktivasi dari bidang frontal. Aktivasi otot
quadratus lumborum terjadi pada gabungan gerakan fleksi, ekstensi dan lateral
fleksi saat menopang spine pada bidang gerak. Otot-otot pelvic floor dan
abdominal diperlukan untuk meningkatkan tekanan intra abdominal dan
memberikan rigiditas cylinder untuk menopang trunk, menurunkan beban pada
otot-otot spine dan meningkatkan stabilitas trunk. Kontribusi diafragma pada
tekanan intra abdominal penting dalam menginervasi gerakan-gerakan dari
ekstremitas, sehingga trunk menjadi stabil (Hopkins, 2009).
Otot abdominal terdiri dari otot tranversus abdominalis, internal obliques,
external obliques dan rectus abdominalis. Kontraksi tranversus abdominalis
25
meningkatkan tekanan intra abdominal dan tekanan fascia thorakolumbal.
Kontraksi otot abdominal menghasilkan sebuah rigid cylinder yang meningkatkan
kekakuan (stiffness) dari lumbar spine. Otot oblique abdominal dan rectus
abdominalis mengaktivasi pola yang spesifik dengan berperan penting terhadap
gerakan anggota gerak bawah, sekaligus memberikan postural support sebelum
anggota gerak bawah bergerak. Oleh karena itu, kontraksi yang meningkatkan
tekanan intra abdominal terjadi sebelum inisiasi gerakan segmen yang besar pada
anggota gerak atas (Hopkins, 2009).
Spine (core of the body) terjadi stabilisasi sebelum adanya gerakan-gerakan
pada anggota gerak yang terjadi untuk membuat angggota gerak menjadi lebih
stabil dalam melakukan gerakan dan aktivitas otot. Pada sebagian kecil, short
muscle seperti otot multifidus memberikan stabilisasi otot-otot pada single joint
maupun multiple joint yang berfungsi untuk bekerja lebih efisien dalam
mengontrol gerakan spine. Secara klinis dapat dilihat bahwa dengan hanya sebuah
peningkatan kecil dalam mengaktifkan otot multifidus dan abdominal membuat
segmen spinal menjadi stiffness. Pola aktivasi sinergis yang meliputi otot-otot
abdominalis, diaphragma dan pelvic floor memberikan base of support pada
seluruh trunk dan otot spinalis. Dalam membentuk base of support yang baik juga
dipengaruhi gabungan struktur hip dan pelvic dari keduanya (Fredericson dkk,
2005).
Hip dan pelvic terdapat gabungan otot-otot besar pada daerah crosssectional.
Seperti halnya otot gluteus merupakan stabilisator dari trunk sampai ke dasar kaki
dan menyediakan power untuk gerakan melangkah ke depan. Area hip atau trunk
26
juga mengkontribusi sekitar 50% energi kinetik dan force sepenuhnya untuk
gerakan mengayun (Fredericson dkk, 2005).
2.4.3 Mekanisme Core Stability Exercise
Fascia thorakolumbar adalah struktur penting yang mempengaruhi core
stability. Fascia thorakolumbar menghubungan ekstremitas bawah (melalui m.
gluteus maximus) ke ekstremitas atas (melalui m. latisimus dorsi). Core dalam
hubungan ini termasuk dalam intergritas rangkaian kinetik seperti melangkah
(Suadnyana, 2014).
Core Stability merupakan co-activation dari otot-otot bagian dalam dari
lower trunk untuk mengontrol perpindahan berat badan dan melangkah selama
proses berjalan. Inisiasi awalan dalam persiapan bergerak selalu didasari dari
adanya tonus postural, seperti ko-aktivasi dari abdominal dan multifidus untuk
stabilisasi trunk dan kepala selama inisiasi tubuh atau fasilitasi anggota gerak saat
beraktivitas (Suadnyana, 2014).
Aktivasi core stability dipengaruhi fungsi ventromedial system yaitu sistem
untuk menangani daerah-daerah proksimal sebagai stabilisasi dimana banyak otot
anti gravitasi yang tidak bekerja. Retikulospinalis dan vestibulo sistem
berkontribusi dalam stabilisasi midline, kontrol postur dan tonus. Sehingga
membuat stabilisasi pada core untuk integrasi dari bagian proksimal dan distal.
Mekanisme otot-otot besar dalam core pusat (centre of core) membuat sebuah
rigid cylinder dan sebuah gerakan besar dalam gangguan inersia tubuh yang
berlawanan ketika masih dalam keadaan yang stabil dalam mobilisasi distal. Core
pusat juga merupakan tempat motor terbanyak dari perkembangan tekanan dalam
27
core tengah (central core), terdapat sedikit perubahan dalam rotasi mengitari
pusat core (pusat tubuh/central core) untuk memberikan perubahan besar dalam
rotasi di bagian-bagian distal. Perpindahan saat melangkah merupakan bagian dari
aktivasi otot-otot core yang saling bersinergis (Suadnyana, 2014).
Aktivasi otot-otot core digunakan untuk menghasilkan rotasi spine. Core
stability dan kekuatan adalah komponen yang penting untuk memaksimalkan
efisiensi keseimbangan dan fungsi pada gerakan upper dan lower ekstremitas.
Core stability adalah gambaran latihan untuk otot-otot abdominal dan pelvic
region. Latihan core stability berfungsi meningkatkan keseimbangan dengan
peningkatan kekuatan otot-otot khususnya otot area lumbal spine (Kahle, 2009).
Sehingga core stability yang baik akan menstabilkan segmen vertebra kemudian
gerak ekstremitas secara dynamic akan lebih efisien. Dinamik kontrol postural
berperan dalam tugas fungsional yang berguna untuk gerakan fungsional.
Aktivitas dinamik menyebabkan COG berpindah sebagai respon terhadap
aktivitas muskular. Kontrol dinamik penting dalam banyak fungsi juga
membutuhkan integrasi proprioceptif, ROM dan kekuatan karena keseimbangan
dinamis penting dalam kehidupan sehari-hari (Suadnyana, 2014).
Dalam melakukan gerakan core stability exercise terdapat beberapa macam
latihan diantaranya adalah :
a) Seated Abdominal Contraction
Posisi tubuh duduk pada kursi, usahakan punggung tidak menempel pada
sandaran belakang kursi kemudian kaki menempel pada lantai. Posisi kepala
lurus ke depan dan letakkan tangan di bawah pusar. Tarik nafas panjang
28
rasakan jalannya nafas dari perut hingga masuk ke tulang belakang, tahan 5
hingga 10 detik kemudian hembuskan serta ulangi 10 kali. Latihan ini
merupakan latihan awal core stability untuk lansia yang berguna untuk
penguatan otot-otot abdominal dan tulang belakang (Suadnyana, 2014).
b) Seated Oblique Twist
Posisi duduk pada kursi, punggung menempel pada sandaran belakang
kursi kemudian posisi kaki menempel pada lantai. Posisi jari-jari tangan
berada di belakang kepala lalu putar tubuh ke arah kanan dan kiri. Posisi
punggung dan kepala tetap tegak. Gerakan yang dilakukan harus konstan.
Latihan ini tidak mengutamakan kecepatan, tetap pelan dan konstan ulangi 10
kali. Latihan ini merupakan penguatan pada otot-otot punggung (m.erector
spine, latissimus dorsi, dan seratus posterior), m.intercostalis, dan m.quadratus
lumborum (Suadnyana, 2014).
c) Leg Lifts
Posisi berbaring terlentang dengan posisi kaki lurus santai kemudian tekuk
kaki sebelah kiri sedangkan kaki kanan diangkat sekitar 5 inchi dari lantai,
tahan hingga 3 hitungan dan ulangi pada sisi kaki yang berlawanan. Ulangi
lima kali di setiap sisi. Target latihan ini adalah otot perut bagian bawah dan
panggul (Suadnyana, 2014).
d) Bridge exercise
Gerakan pada bridge exercise dilakukan dengan posisi tidur terlentang dan
tumit menumpu menahan berat badan lalu tangan diletakan di samping atau di
atas tubuh lalu mulai mengangkat pantat pertahankan 15-60 detik.
29
Latihan ini ditujukan untuk penguatan m. gluteus maximus, m. hamstring,
m.erector spine dan m.multifidus. Latihan ini untuk meningkatkan core dan
stabilisasi tulang belakang. Pertahankan posisi selama 15-60 detik dengan
tetap mempertahankan posisi (Suadnyana, 2014).
e) Lying Spinal Rotation
Posisi berbaring dengan punggung menempel pada lantai dan kedua
tungkai diluruskan ke arah luar sejajar bahu. Buang nafas dan angkat lutut kiri
ke arah dada dan silangkan lutut kiri ke arah atas tubuh sisi sebelah kanan.
Tengokkan kepala ke sisi kiri, atau sisi yang berlawanan, saat rileks dalam
posisi stretch lalu tahan posisi stretch selama 30 detik, rileks, dan lakukan
gerakan pada sisi yang lain. Latihan ini bertujuan untuk penguluran otot psoas
mayor (Suadnyana, 2014).
2.4.4 Teknik Aplikasi
a) Memberikan penjelasan tentang teknik melakukan latihan core stability.
b) Sampel diinstruksikan untuk melakukan latihan-latihan core stability yang
sebelumnya diperagakan oleh peneliti, lalu tahan sampai waktu yang
ditentukan oleh peneliti.
c) Stopwatch digunakan oleh terapis untuk mengukur lamanya sampel
mampu mempertahankan gerakan tersebut. Jika sampel jatuh atau berhenti
maka stopwatch juga diberhentikan dan latihan diulang kembali sampai
terciptanya suatu tahanan yang bagus. Terapis mencatat setiap perubahan
yang ada saat latihan yang digunakan sebagai evaluasi untuk setiap kali
latihan.
30
d) Latihan ini dilakukan sebanyak 2 set dan setiap set dilakukan latihan
selama 10 menit dengan 5 jenis gerakan, dan setiap gerakan dilakukan
selama 2 menit serta diselingi istirahat selama 1 menit dengan intensitas
mudah, dan dilakukan tiga kali seminggu.
e) Dosis
Frekuensi : 3x seminggu
Intensitas : 2 set latihan
Time : 10 menit latihan (intermitten)
Latihan : 1 menit/gerakan
Rest : 1 menit
(Suadnyana, 2014)
2.5 Pelatihan Balance Strategy Exercise
2.5.1 Definisi
Pelatihan Balance Strategy Exercise adalah serangkaian gerakan yang
dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan keseimbangan dinamis melalui
stretching maupun strengthening (Kloos & Heiss, 2007). Menurut Jowir, 2009
balance exercise adalah latihan khusus untuk membantu meningkatkan kekuatan
otot pada anggota gerak bawah dan sistem vertibular atau keseimbangan tubuh.
Ada beberapa gerakan yang digunakan dalam balance exercise, diantaranya
plantar flexion, hip flexion, knee flexion, and side leg raise. Gerakan-gerakan ini
berfungsi untuk meningkatkan kekuatan otot pada anggota tubuh bagian bawah
31
(lower exercise) yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan keseimbangan
dinamis pada lansia (Kusnanto dkk, 2007).
Dalam gerakan balance exercise dimana terdapat gerakan pada ekstremitas
bawah tubuh. Gerakan plantar fleksi didapatkan gerakan yang mengkontraksikan
otot gastrocnemius dan soleus, pada gerakan knee fleksi ada penguluran pada grup
otot hamstring, sedangkan hip fleksi lebih pada latihan kontraksi secara aktif
untuk otot-otot gluteus maximus, sedangkan side leg rise untuk mengkontraksikan
otot tensor facia latae (Masitoh, 2013).
2.5.2 Teknik dan Aplikasi Balance Strategy Exercise
Adapun dalam melakukan gerakan balance strategy exercise terdapat
beberapa macam latihan diantaranya yaitu:
1) Latihan strategi pergelangan kaki (ankle strategy exercise)
Ankle strategy exercise menekankan pada kontrol goyangan postural dari
ankle dan kaki. Ankle strategy exercise berfungsi untuk menjaga pusat gravitasi
tubuh, yaitu ketika membangkitkan putaran pergelangan kaki terhadap
permukaan penyangga dan menetralkan sendi lutut dan sendi panggul untuk
menstabilkan sendi proksimal. Saat latihan kepala dan panggul bergerak
dengan arah dan waktu yang sama dengan gerakan bagian tubuh lainnya di atas
kaki. Pada goyangan ke depan, respon sinergis otot normal pada latihan ini
mengaktifkan otot gastrocnemius, hamstring dan otot-otot ekstensor batang
tubuh. Pada respon goyangan ke belakang, mengaktivasi otot tibialis anterior,
otot quadricep diikuti otot abdominal. Ankle strategy umumnya digunakan
untuk mengontrol gerakan bergoyang ketika berdiri tegak atau bergoyang
32
melalui rentang gerakan yang sangat kecil dan digunakan pada tingkat bawah
sadar untuk mengembalikan keseimbangan setelah cidera kecil atau dorongan.
Faktor-faktor yang mampu membatasi kemampuan untuk menggunakan latihan
ini yaitu efektif memerlukan jangkauan gerak yang memadai dan kekuatan
sendi pada pergelangan kaki, permukaan alas yang luas, adanya tingkat sensasi
yang baik pada kaki dan pergelangan kaki. Gerakan ankle strategy exercise
dimulai dengan memindahkan berat tubuh ke bagian depan pergelangan kaki
dan ditahan selama 10 detik, kemudian dipindahkan ke bagian kanan
pergelangan kaki, tahan selama 10 detik, lalu pindahkan ke bagian belakang,
tahan selama 10 detik, serta ke bagian kiri pergelangan kaki, tahan selama 10
detik. Pelatihan ini digunakan pada perubahan bidang tumpu yang cukup kecil
dan bertujuan untuk mengaktivasi otot-otot ekstremitas bawah yang melewati:
otot paha, lutut, kaki, dan telapak kaki (Yuliana, 2014). Ankle strategy exercise
dijabarkan melalui Gambar 2.5.
Gambar 2.5
Ankle Strategy Exercise
Sumber: Yuliana, 2014
33
2) Latihan strategi pinggul (hip strategy exercise)
Hip strategy exercise menggambarkan kontrol goyangan postural dari
pelvis dan trunkus. Kepala dan pinggul dengan arah yang berlawanan. Hip
strategy exercise mengandalkan gerakan batang tubuh yang cepat untuk
membangkitkan gaya gesek/gerakan horizontal melawan landasan penyangga
untuk menggerakkan pusat gravitasi. Dalam hal ini bila permukaan landasan
penyangga digerakkan ke belakang, subjek miring ke depan pada sendi panggul
dengan mengaktifkan otot-otot abdominal dan otot quadricep, tibialis anterior.
Strategi ini diobservasi bila goyangan besar, cepat dan mendekati batas
stabilitas, atau jika berdiri pada permukaan sempit dan tidak stabil untuk
memberikan pengimbangan tekanan. Pelatihan ini dimulai dengan
mencondongkan tubuh ke bagian depan dan ditahan selama 10 detik, kemudian
berat tubuh dibawa ke belakang dan ditahan selama 10 detik. Pelatihan ini
bertujuan untuk mempertahankan pusat gravitasi tubuh terhadap bidang tumpu
ketika tubuh mendapatkan guncangan akibat bidang tumpu yang tidak stabil
(Yuliana, 2014). Hip strategy exercise dijabarkan melalui Gambar 2.6.
34
Gambar 2.6
Hip Strategy Exercise
Sumber: Yuliana, 2014
3) Latihan strategi melangkah (stepping strategy exercise)
Stepping strategy exercise menggambarkan tahapan dengan kaki atau
menjangkau dengan lengan dan mencoba untuk memperbaiki landasan
penyangga baru dengan mengaktifkan anggota gerak bila titik berat melampaui
landasan penyangga semula. Strategi melangkah dilakukan sebagai upaya
dalam merespon gangguan yang menyebabkan subjek goyang melebihi batas
stabilitas. Dalam keadaan demikian, melangkah yang harus dilakukan untuk
mendapatkan kembali keseimbangan. Pelatihan ini dimulai dengan posisi kaki
kanan berada di depan kaki kiri berhimpitan satu sama lain dan dipertahankan
posisi selama 10 detik, kemudian lakukan latihan berjalan dengan kaki
berhimpitan satu sama lainnya. Pelatihan ini bertujuan untuk menjaga
keseimbangan dinamis saat berjalan (Yuliana, 2014). Stepping strategy
exercise dijabarkan melalui Gambar 2.7.
35
Gambar 2.7
Stepping Strategy Exercise
Sumber: Yuliana, 2014
2.5.3 Mekanisme Balance Strategy Exercise
Dalam mempertahankan keseimbangan postural, lansia membutuhkan
informasi tentang posisi tubuh terhadap kondisi lingkungan sekitarnya yang
didapat dari reseptor sensoris perifer yang terdapat pada sistem visual, vestibular
dan proprioseptif. Dari ketiga jenis reseptor ini, vestibular memiliki kontribusi
yang paling besar dalam mempertahankan keseimbangan, disusul oleh visual dan
proprioseptif. Kondisi lingkungan di sekitar lansia dapat berada dalam keadaan
stabil maupun tidak stabil. Keadaan yang mampu menyebabkan kondisi
lingkungan sekitar menjadi tidak stabil misalnya gerakan objek yang cepat,
permukaan lantai yang bergerak (Kusnanto dkk, 2007).
Systematical review yang dikemukakan oleh Horak (2006) dan metaanalisis
Sibley dkk (2015) menyatakan bahwa terdapat 6 dasar penyusun sistem kontrol
postural, meliputi: (1) kendala biomekanik, terkait kekuatan otot dan limit of
stability yaitu kemampuan seseorang dalam menggerakkan pusat gravitasi tubuh
dan mengontrol keseimbangan tanpa merubah bidang tumpu, (2) strategi gerakan
berupa feedback yaitu respon postural otomatis berupa respon protektif dan
36
korektif terkait adanya perturbance atau gangguan dan feedforward yaitu
pengaturan sistem saraf pusat dalam mengatur respon postural saat mengantisipasi
perpindahan posisi tertentu, (3) strategi sensoris meliputi: sensory integration,
yaitu kemampuan seseorang dalam mengintegrasikan input sensoris yang
membawa informasi terkait perubahan posisi tubuh yang berasal dari input visual,
vestibular, dan somatosensoris, serta sensory re-weighting, yaitu kemampuan
untuk meningkatkan nilai sensorik bergantung pada seberapa penting konteks
sensori dalam menjaga stabilitas, (4) orientasi ruang, yaitu kemampuan untuk
mengarahkan bagian tubuh sehubungan dengan gravitasi, bidang tumpu, sistem
visual, dan sumber internal, (5) kontrol dinamik, dan (6) proses kognitif terkait
perhatian dan proses pembelajaran (Satria, 2015).
Bentuk latihan ini telah dirangkai untuk memungkinkan memberikan efek
pada sistem visual, vestibular, somatosensoris, maupun muskularnya. Ketika otot
sedang berkontraksi, sintesis protein kontraktil otot berlangsung jauh lebih cepat
dari penghancurannya sehingga menghasilkan filamen aktin dan miosin yang
bertambah banyak secara progresif dalam miofibril. Kemudian miofibril itu
sendiri akan memecah di dalam setiap serat otot untuk membentuk miofibril baru.
Peningkatan jumlah miofibril tambahan yang menyebabkan serat otot menjadi
hipertropi. Dalam serat otot yang mengalami hipertropi terjadi peningkatan
komponen sistem metabolisme fosfagen, termasuk ATP dan fosfokreatin. Hal ini
mengakibatkan peningkatan kemampuan sistem metabolik aerob dan anaerob
yang dapat meningkatkan energi dan kekuatan otot. Peningkatan kekuatan otot
37
inilah yang membuat lansia semakin kuat dalam menopang tubuh dan melakukan
gerakan (Suadnyana, 2013).
2.6 Tes Pengukuran Keseimbangan Dinamis
2.6.1 Definisi
Pengukuran dinamis menggunakan timed up and go test (TUGT) untuk
menilai keseimbangan dinamis dan menggunakan jatuh sebagai strategi untuk
pencegahan kepada pasien geriatri. Tes objektif keseimbangan dan status
fungsional harus dimasukkan secara komprehensif terhadap penilaian risiko jatuh.
Berdasarkan literatur penelitian, TUGT adalah tes yang memiliki tujuan, valid,
dan dapat diandalkan (Jacobs & Fox, 2008).
TUGT ini memiliki tujuan yaitu mengukur keseimbangan dalam berbagai
posisi, mengukur mobilitas, dan pergerakan lansia. Dengan menggunakan alat
seperti lakban hitam/selotip, stopwatch, dan kursi. Tes ini dilakukan oleh pasien
yang memakai alas kaki biasa, menggunakan alat bantu, jika ada, dan berjalan di
kecepatan yang nyaman dan aman (Jacobs & Fox, 2008).
2.6.2 Pelaksanaan TUGT
Adapun langkah-langkah untuk melakukan TUGT adalah sebagai berikut:
1) Posisi awal lansia duduk bersandar pada kursi dengan lengan berada pada
penyangga lengan kursi. Lansia mengenakan alas kaki yang biasa dipakai.
2) Fisioterapis memberi aba-aba “mulai” lansia berdiri dari kursi, boleh
menggunakan tangan untuk mendorong berdiri jika lansia menghendaki.
38
3) Lansia terus berjalan sesuai dengan kemampuannya menempuh jarak 3 meter,
kemudian berbalik dan berjalan kembali menuju kursi.
4) Sesampainya di depan kursi lansia berbalik dan duduk kembali bersandar.
5) Waktu dihitung sejak aba-aba “mulai” hingga lansia duduk bersandar kembali.
6) Lansia tidak diperbolehkan mencoba atau berlatih lebih dulu, stopwatch mulai
menghitung setelah pemberian aba-aba mulai dan berhenti menghitung saat
subjek kembali pada posisi awal atau duduk.
7) Fisioterapis mencatat waktu yang ditempuh lansia
(Podsiadlo & Richardson, 1991).
Gambar 2.8
Prosedur Pelaksanaan TUGT Sumber: Sumarno, 2014