bab ii tinjauan pustaka dan metode penelitian

43
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN 2.1 Pengetahuan Dasar Perpajakan 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian atau definisi pajak ada berbagai macam, namun dalam Karya Akhir ini tidak akan diuraikan pengertian manakah diantara yang berbagai macam itu yang lebih tepat daripada yang lain. Akan lebih bermanfaat kiranya bila dilakukan peninjauan dan uraian terhadap hal-hal penting yang dirumuskan dalam beberapa diantara pengertian pajak, yang salah satu pengertian itu dinyatakan oleh Adriani yang berbunyi sebagai berikut: 5 “ Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan- peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.” Dalam definisi ini titik berat diletakkan pada fungsi budgetair dari pajak, sedangkan pajak masih mempunyai fungsi mengatur. Dalam pengertian diatas yang dimaksud dengan tidak mendapat prestasi kembali dari negara ialah prestasi khusus yang erat hubungannya dengan pembayaran iuran itu. Prestasi dari negara, seperti hak untuk mempergunakan jalan-jalan umum, perlindungan dan penjagaan dari polisi atau tentara, sudah barang tentu diperoleh oleh para pembayar pajak itu, tetapi hal tersebut diperoleh tidak secara individual dan tidak ada hubungannya langsung dengan pembayaran itu. Bukti dari pernyataan tersebut adalah orang yang tidak membayar pajak pun dapat pula menikmati fasilitas yang disediakan oleh negara. Sebagai suatu perbandingan akan diuraikan pengertian pajak menurut Soemitro 6 adalah sebagai berikut: 5 Brotodihardjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung, PT Eresco, 1988 halaman. 2. 6 Ibid, halaman. 5. 10 Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Upload: others

Post on 06-Nov-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

BAB IITINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

2.1Pengetahuan Dasar Perpajakan

2.1.1 Pengertian PajakPengertian atau definisi pajak ada berbagai macam, namun dalam Karya

Akhir ini tidak akan diuraikan pengertian manakah diantara yang berbagai

macam itu yang lebih tepat daripada yang lain. Akan lebih bermanfaat kiranya

bila dilakukan peninjauan dan uraian terhadap hal-hal penting yang dirumuskan

dalam beberapa diantara pengertian pajak, yang salah satu pengertian itu

dinyatakan oleh Adriani yang berbunyi sebagai berikut: 5

“ Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”

Dalam definisi ini titik berat diletakkan pada fungsi budgetair dari pajak,

sedangkan pajak masih mempunyai fungsi mengatur. Dalam pengertian diatas

yang dimaksud dengan tidak mendapat prestasi kembali dari negara ialah

prestasi khusus yang erat hubungannya dengan pembayaran iuran itu. Prestasi

dari negara, seperti hak untuk mempergunakan jalan-jalan umum, perlindungan

dan penjagaan dari polisi atau tentara, sudah barang tentu diperoleh oleh para

pembayar pajak itu, tetapi hal tersebut diperoleh tidak secara individual dan tidak

ada hubungannya langsung dengan pembayaran itu. Bukti dari pernyataan

tersebut adalah orang yang tidak membayar pajak pun dapat pula menikmati

fasilitas yang disediakan oleh negara.

Sebagai suatu perbandingan akan diuraikan pengertian pajak menurut

Soemitro6 adalah sebagai berikut:5 Brotodihardjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung, PT Eresco, 1988

halaman. 2.6 Ibid, halaman. 5.

10Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”

Pengertian pajak yang kemudian dipertahankan (sebagai koreksi dari

bagian pertama dari pengertian semula) dapat disimpulkan dari uraian dalam

bukunya yang berjudul Pajak dan Pembangunan, pengertian tersebut kurang

lebih berbunyi sebagai berikut:

Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara

untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplus-nya digunakan untuk public

saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.

Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pajak adalah:

a. dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan

pelaksanaannya;

b. bersifat dapat dipaksakan, sehingga pelanggaran atas peraturan

perpajakan dapat dikenakan sanksi. Artinya jika Wajib Pajak tidak

melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak, maka

pemerintah dapat melakukan upaya paksa dengan mengeluarkan

surat paksa bagi Wajib Pajak agar melunasi utang pajaknya;

c. atas pembayarannya tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi

secara langsung oleh pemerintah;

d. dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah

daerah. Penghasilan negara dari pajak ini akan

dipertanggungjawabkan kepada rakyat, melalui mekanisme kontrol

setiap tahun, yang dikenal dengan nama Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD), karenanya pungutan pajak tidak boleh dilakukan

oleh pihak swasta yang berorientasi mendapat keuntungan;

e. pajak akan digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah,

serta digunakan untuk membiayai public investment jika masih

terdapat surplus setelah digunakan untuk membiayai pengeluaran

pemerintah.

11Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

2.1.2 Kriteria Dalam Pemilihan Struktur PajakDi abad delapanbelas, Smith7 mengidentifikasi aturan perpajakan (canons

of taxation) dalam bukunya, “An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth

of Nations”, yang turut dipertimbangkan saat mengevaluasi struktur pajak

tertentu, yaitu:

a. Equality on Taxation, mensyaratkan bahwa hukum pajak haruslah adil,

merata, dan tidak diskriminasi dalam menetapkan objek pajak, dan

pembebanan kepada masing-masing subjek pajak hendaknya seimbang

dengan kemampuannya. Dalam perkembangannya prinsip keadilan dalam

suatu sistem pajak diukur berdasar prinsip manfaat (benefit principle) yang

diterima oleh masyarakat Wajib Pajak (ability to pay principle).

Berdasar kedua prinsip keadilan dalam pembebanan pajak tersebut,

keadilan pajak diperinci lebih lanjut menjadi keadilan horizontal (horizontal

equity) dan keadilan vertikal (vertical equity). Keadilan horizontal

menganjurkan bahwa terhadap objek pajak yang sama dan terhadap Wajib

Pajak yang mempunyai kemampuan yang sama harus dibebani pajak yang

sama pula, sedangkan keadilan vertikal memandang suatu pembebanan

pajak yang adil bilamana terhadap Wajib Pajak yang mempunyai kekayaan

dan kemampuan lebih besar harus dibebani pajak lebih daripada Wajib

Pajak pada umumnya. Proporsi keadilan pajak yang pertama menghasilkan

kebijakan tarif proporsional (single flat rate), dan proporsi keadilan pajak

yang kedua menghasilkan tarif pajak progresif (differential-progresive rate).

b. Certainty on Taxation, asas kepastian hukum dalam perpajakan

sebenarnya berlaku pula secara universal dalam bidang hukum lainnya.

Aturan hukum pajak harus secara jelas dan pasti mengatur tentang apa

yang menjadi objek pajak, siapa yang menjadi subjek pajak, berapa tarif

yang berlaku, bagaimana cara menghitung dan membayarnya, kapan batas

waktu jatuh tempo pembayaran dan pelaporannya, dan regulasi lain yang

diperlukan, sehingga tidak ada celah dan peluang untuk mengelakkan diri

dari pajak, menyelundupkan pajak, serta tidak mengenal kompromi.

Masalah kepastian hukum dan transparansi dalam regulasi perpajakan

7 Sudjarwadi, Djangkung, “Implikasi Kebijakan Pajak dan Retribusi Daerah Untuk Menunjang Pelaksanaan Otonomi Daerah” , Majalah Berita Pajak, edisi 1496, 2003, halaman. 39.

12Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

menjadi sangat penting bagi seluruh pelaku ekonomi sesuai dengan prinsip

self-assessment dalam perpajakan, dan meningkatkan daya saing

pengusaha nasional dalam forum ekonomi global.

c. Convenient of Payment, menyarankan agar pembayaran pajak dipungut

pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat, yang paling sesuai dan

menyenangkan bagi Wajib Pajak pada umumnya. Dalam perkembangan

praktek administrasi perpajakan, baik di negara maju maupun di negara

berkembang dengan aspek jaminan pengamanan keuangan negara,

dikenal sistem Witholding Tax, Pay as You Earn (PAYE), Pay as You Go,

dan berbagai sistem pengenaan pajak secara final.

d. Efficient of Collection, menyatakan bahwa pemungutan pajak harus

dilakukan dengan cara efisien, dengan biaya administrasi yang hemat bagi

aparat pajak, dan biaya kepatuhan yang murah bagi Wajib Pajak. Prinsip

efisiensi ini juga berlaku umum bagi semua kegiatan pemerintah untuk

pelayanan publik, terlebih lagi untuk para pelaku ekonomi di semua lapisan

dan semua sektor.

Sebagai pengembangan dari asas-asas pemungutan pajak yang

dikanonkan oleh Adam Smith, seorang pakar ilmu keuangan negara, Musgrave8,

memberikan beberapa kriteria tambahan yang melengkapi The Four Maxims-nya

Adam Smith, setelah memperoleh data kajian empiris dari berbagai sistem

keuangan negara modern yang berasaskan negara kesejahteraan (welfare

state), mensyaratkan adanya tujuh kriteria struktur pajak yang baik, yaitu:

a. Hasil penerimaan pajak yang harus cukup besar

Kriteria pemilihan suatu pajak yang dipungut oleh suatu negara di berbagai

tingkat pemerintah harus mampu menghasilkan penerimaan pajak (tax

8 Musgrave A. Richard & Musgrave B. Peggy , Public Finance in Theory and Practice. Singapore, McGraw-Hill Book Company. 1989

13Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

yield) yang cukup besar. Hal ini adalah logis bahwa fungsi utama pajak

adalah fungsi budgeter, untuk menghasilkan uang bagi negara.

b. Distribusi beban pajak harus adil

Penentuan suatu jenis pajak harus mempertimbangkan struktur pajak yang

ada dalam suatu negara secara keseluruhan, merupakan satu kesatuan

sistem yang saling melengkapi sehingga terhindar dari pembebanan pajak

berganda dan juga mampu mengenakan pajak pada setiap warga negara

sesuai dengan kemampuannya.

c. Tax incidence harus tepat

Pemilihan suatu jenis pajak yang baik tidak hanya mengatur subjek pajak,

objek pajak, tarif pajak, dan perbuatan, transaksi, keadaan, atau peristiwa

apa yang menimbulkan utang pajak (taatsbestand), tetapi yang lebih utama

adalah menentukan siapa sebenarnya yang paling material menanggung

beban pajak (tax incidence). Pajak yang baik adalah seminimal mungkin

membebani masyarakat berpenghasilan rendah dan lebih banyak

memberikan beban pajak kepada golongan masyarakat yang lebih kaya.

d. Tidak memberikan efek distorsi pada aktivitas ekonomi.

Suatu pajak yang baik dapat menghindarkan atau meminimalkan distorsi

terhadap keputusan dalam aktivitas ekonomi, sehingga dapat menunjang

pasar yang efisien. Sifat non distorsi dari suatu pajak selain pemilihan objek

pengenaan pajaknya harus memperhitungkan tingkat elastisitas dari

transaksi kena pajak atau peritiwa kena pajak, juga dengan penentuan tarif

nominal yang sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan dead weight

loss.

e. Menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi

Penerapan suatu pajak yang baik tidak membebani terhadap capital

investment, sehingga mendorong kegiatan investasi langsung baik dari

dalam maupun luar negeri. Pajak atas konsumsi harus diterapkan

sedemikian rupa agar dapat dicegah “lock in effect” dan menunjang

peningkatan transaksi perdagangan semua komoditas yang seimbang

14Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

antara konsumsi dalam negeri dengan transaksi untuk ekspor. Begitu pula

tarif pajak diupayakan tidak mengurangi minat pemilik modal untuk

menyimpan uang di bank dan berinvestasi di bursa atau reksadana.

f. Regulasi yang jelas, sederhana, dan mudah dipahami Wajib Pajak

Penyederhanaan peraturan perundang-undangan perpajakan telah menjadi

kecederungan bagi reformasi perpajakan di seluruh dunia, utamanya di

negara-negara yang sedang berkembang. Peraturan pajak yang sederhana

dan jelas akan mudah dipahami oleh Wajib Pajak dan diharapkan Wajib

Pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik,

sekaligus dapat mencegah terjadinya korupsi dan kolusi dengan aparat

pajak dan pihak ketiga lainnya, sehingga penerimaan pajak dapat berjalan

baik karena mendapat dukungan sukarela masyarakat.

g. Biaya administrasi seefisien mungkin

Dengan peraturan yang jelas dan sederhana, disediakannya seluruh

informasi peraturan perpajakan secara transparan dan dapat diakses oleh

publik akan memungkinkan pelaksanaan pembayaran pajak dengan biaya

minimum.

2.1.3 Pengelompokan Pajak9

a. Menurut golongannya

1). Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib

Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang

lain. Secara administrasi, pajak ini berkohir dan dikenakan secara

berulang-ulang pada waktu tertentu (periodik) misalnya setiap

tahun. Contoh pajak langsung ini adalah Pajak Penghasilan dan

Pajak Bumi dan Bangunan.

2). Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat

dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Secara

administrasi, pajak ini tidak berkohir dan tidak dikenakan secara

periodik (berulang-ulang), tetapi dikenakan hanya bila terjadi hal-

9 Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta , PT. Andi, 2003 halaman. 5-6

15Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

hal atau peristiwa yang dikenakan pajak. Contohnya adalah Pajak

Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah.

b. Menurut sifatnya

1). Pajak Subjektif, yaitu pajak yang memperhatikan pertama-tama

keadaan pribadi Wajib Pajak untuk menetapkan pajaknya harus

ditemukan alasan-alasan yang objektif yang berhubungan dengan

keadaan materialnya, yaitu yang disebut daya pikulnya. Contoh

pajak ini adalah Pajak Penghasilan. Hubungan antara pajak dan

Wajib Pajak (subjek pajak) adalah langsung oleh karenanya

besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar tergantung

kepada daya pikulnya, pada pajak-pajak subjektif ini keadaan

pribadi Wajib Pajak sangat mempengaruhi besar kecilnya jumlah

pajak yang terutang. Contohnya adalah Penghasilan Tidak Kena

Pajak (PTKP).

2). Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa

memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contohnya adalah Pajak

Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah.

c. Menurut lembaga pemungutnya

1). Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan

digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contohnya

adalah Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak

Penjualan Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea

Materai.

2). Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah

dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak

daerah terdiri dari pajak propinsi seperti Pajak Kendaraan

Bermotor, Pajak Kendaraan di atas Air, Pajak Bahan Bakar

Kendaraan Bermotor dan pajak kabupaten/kota seperti Pajak

Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak

Penerangan Jalan.

16Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

2.1.4 Teori-teori yang Mendukung Pemungutan Pajak10

Atas dasar apakah negara mempunyai hak untuk memungut pajak?

Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi

pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut

antara lain adalah:

a. Teori Asuransi

Menurut teori ini negara berhak memungut pajak karena negara bertugas

untuk melindungi orang dan segala kepentingannya, keselamatan, dan

keamanan jiwa juga harta bendanya. Pembayaran disamakan dengan

pembayaran premi, seperti halnya perjanjian asuransi, maka untuk

perlindungan diperlukan pembayaran berupa premi. Namun perbandingan

dengan perusahaan asuransi ini dirasa tidak tepat karena dalam hal timbul

kerugian, tidak ada suatu penggantian dari negara dan antara pembayaran

pajak dengan jasa yang diberikan oleh negara tidak terdapat hubungan

yang langsung. Teori ini tetap dipertahankan sekadar untuk memberi dasar

hukum kepada pemungutan pajak saja, tetapi karena pincangnya

persamaan tersebut akhirnya menimbulkan ketidakpuasan ditambah ajaran

bahwa pajak bukanlah retribusi, sehingga lambat laun teori ini mulai

berkurang penganutnya.

b. Teori Kepentingan

Menurut teori ini negara memungut pajak karena negara melindungi

kepentingan jiwa dan harta benda warganya. Teori ini memperhatikan

pembagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduk.

Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan orang masing-

masing dalam tugas-tugas pemerintah (yang bermanfaat baginya),

termasuk juga perlindungan atas jiwa beserta harta bendanya, maka sudah

selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk

menunaikan kewajibannya dibebankan kepada Wajib Pajak.

Terhadap teori ini banyak yang menyanggah karena dalam ajarannya pajak

dikacaukan dengan retribusi. Untuk kepentingan yang lebih besar terhadap

harta benda yang lebih banyak harganya daripada harta si miskin harus 10 Sofiandi, Materi Pokok Pengantar Hukum Pajak, Departemen Keuangan RI, Badan

Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perpajakan, Jakarta, 2003 halaman 38-40.

17Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

membayar pajak lebih besar, padahal mungkin si miskin mempunyai

kepentingan yang lebih besar dalam hal tertentu, misalnya dalam

perlindungan yang termasuk jaminan sosial, sehingga sebagai

konsekuensinya harus membayar pajak lebih banyak, dan inilah suatu hal

yang bertentangan dengan kenyataan. Untuk mengambil tingkat

kepentingan seseorang dalam usaha pemerintah sebagai ukuran, sejak

dahulu belum ada alat pengukurnya, sehingga sulit sekali dapat ditentukan

dengan tegas. Makin lama teori inipun ditinggalkan.

c. Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti

Teori ini berdasarkan atas paham Organische Staatsleer, diajarkan bahwa

justru karena sifat negara inilah maka timbullah hak mutlak untuk

memungut pajak. Orang-orang tidaklah berdiri sendiri tetapi membentuk

persekutuan dan persekutuan itu menjelma menjadi negara serta berhak

atas satu dan lainnya. Sejak berabad-abad hak ini telah diakui dan orang-

orang selalu menyadarinya sebagai kewajiban untuk membuktikan tanda

baktinya terhadap negara dalam bentuk pembayaran pajak.

d. Teori Asas Daya Beli

Teori ini tidak mempersoalkan asal mula negara memungut pajak, namun

hanya melihat kepada efeknya dan dapat memandang efek yang baik itu

sebagai dasar keadilannya. Menurut teori ini fungsi pemungutan pajak

dapat disamakan dengan pompa yang mengambil daya beli dari rumah

tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara dan kemudian

menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara

hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu.

e. Teori Daya Pikul

Teori ini menganut bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada

jasa-jasa yang diberikan negara pada warganya, yaitu perlindungan atas

jiwa dan harta benda. Untuk keperluan ini diperlukan biaya-biaya yang

dipikul oleh orang-orang yang menikmati perlindungan itu berupa pajak.

18Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

Pokok pangkal teori ini adalah asas keadilan, yaitu tekanan pajak harus

sama berat untuk setiap orang. Pajak harus dipikul menurut daya pikulnya

dan sebagai ukuran dapat dipergunakan selain besarnya penghasilan dan

kekayaan juga pengeluaran atau pembelanjaan seseorang. Selain itu,

kekuatan untuk menyerahkan uang kepada negara baru ada setelah

dikurangi dengan kebutuhan minimum yang diperlukan untuk

kehidupannya.

2.1.5 Kedudukan Hukum Pajak11

Hukum Pajak mempunyai kedudukan diantara hukum-hukum sebagai

berikut :

a. Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan

individu lainnya

b. Hukum Publik , mengatur hubungan antara pemerintah dengan

rakyatnya. Hukum ini dapat dirinci lagi sebagai berikut:

• Hukum Tata Negara

• Hukum Tata Usaha / Hukum Administrtatif

• Hukum Pajak

• Hukum Pidana

Dari pengertian tersebut, kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari

hukum publik.

Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku

pemungut pajak dengan rakyat sebagai Wajib Pajak, ada dua macam

hukum pajak 12 yaitu :

• Hukum Pajak Materiil, memuat norma-norma yang menerangkan

antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak

(obyek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subyek pajak), berapa

besar pajak yang dikenakan/tarif, segala sesuatu tentang timbul dan

hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan

Wajib Pajak. 11 Brotodihardjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung, PT Eresco, 1988

halaman 10-1112Waluyo dan Wirawan B. Illyas, Perpajakan Indonesia, Penerbit Salemba Empat, Jakarta,

halaman 6

19Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

Contoh : Undang Undang Pajak Penghasilan, Undang Undang Pajak

Pertambahan Nilai, Undang Undang Pajak Bumi dan

Bangunan dan lainnya

• Hukum Pajak Formil, memuat bentuk/tata-cara untuk mewujudkan

hukum materiil menjadi kenyataan. Hukum ini memuat antara lain:

a). Tata cara penyelenggaraan /prosedur penetapan suatu utang

pajak

b). Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para

Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang

menimbulkan utang pajak.

c). Kewajiban Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan,

pencatatan, pelaporan, sedangkan hak Wajib Pajak mengajukan

permohonan keberatan, pengurangan sanksi administrasi dan

banding.

Contoh : Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan

2.2 Pajak Atas Konsumsi

Sebelum dikenal istilah Pajak Pertambahan Nilai, terlebih dahulu dikenal

istilah Pajak Penjualan. Menurut Musgrave ada persamaan antara pajak

penjualan dan pajak penghasilan, yaitu13:

“Bahwa keduanya dikenakan terhadap arus yang dihasilkan dalam output produksi saat itu. Tetapi Pajak Penghasilan dikenakan pada sisi penjual pada transaksi faktor produksi, sementara pajak penjualan dikenakan disisi penjual dari transaksi produk atau barang/jasa”

Berdasarkan pendapat di atas perbedaan pajak penjualan dengan pajak

penghasilan adalah pada pembebanannya, sama-sama dikenakan pada seorang

13 Musgrave A. Richard & Musgrave B. Peggy , Public Finance in Theory and Practice. Singapore, McGraw-Hill Book Company. 1989, page 423

20Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

Wajib Pajak tetapi dari sisi yang berbeda. Pajak Penghasilan pada saat

diperolehnya pcnghasilan dari tansaksi faktor produksi dan pajak pcnjualan pada

transaksi barang dan jasa.

Pakar lain yang menyumbangkan pendapatnya adalah Due yang

membedakan pajak atas konsumsi menurut sudut pendekatannya menjadi dua,

yaitu 14:

a.Pendekatan Langsung - pajak atas pengeluaran (expenditure tax), yaitu pajak

yang berlaku bagi seluruh pengeluaran untuk konsumsi yang merupakan hasil

penjumlahan seluruh penghasilan dikurangi pengeluaran untuk tabungan dan

pembelian aktiva.

b.Pendekatan Tidak Langsung atau pendekatan pajak komoditi, yaitu pajak yang

dikenakan atas penjualan komoditi yang dipungut terhadap pengusaha yang

melakukan penjualan. Pajak ini kemudian dialihkan kepada pembeli selaku

pemikul beban pajak.

Berdasarkan tingkat pengenaannya, pajak atas konsumsi, khususnya pajak

penjualan, pajak peredaran dan Pajak Pertambahan Nilai, menurut Terra dapat

dibedakan ke dalam dua tingkat pengenaan, yaitu15: Single Stage Tax dan Multi

Stage Tax, yang masih dapat dibedakan menjadi dua lagi, yaitu a dual stage tax

dan an all stage tax. Single Stage Tax, yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang

pengenaannya dilakukan hanya pada salah satu mata rantai jalur produksi atau

jalur distribusi. Distribusi dari suatu barang dilakukan dengan tiga tahap hingga

sampai ke tangan konsumen, yaitu pabrikan, pedagang besar, dan pcdagang

eceran. Dalam hal ini pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (sesuai dengan

kebijakan pemerintah dan peraturannya) dilakukan hanya satu mata rantai saja,

yaitu dapat di pabrikan saja, di pedagang besar saja, atau di pedagang eceran

saja.

Multi Stage Tax, yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang pengenaannya

dilakukan beberapa kali sepanjang mata rantai jalur distribusi (pabrikan,

14 Due, John F., and Friedlaender, Ann F., Government Finance. 7th Edition., Richard D.Irwin, Inc., New York, 1981, page-332

15Terra Ben. Sales Taxation, The Case of Value Added Tax in The European Community, Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer, Netherlands, 1988 page-29.

21Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

pedagang besar, dan pedagang eceran). Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

dalam beberapa tahap (Multi Stage Tax) menyebabkan terjadinya perhitungan

nilai tambah sebagai dasar pengenaan pajak di setiap tahap distribusi. Sesuai

dengan mekanisme yang berlaku, setiap pembelian atau perolehan barang yang

digunakan untuk kegiatan perusahaan, Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan

akan merupakan Pajak masukan (input tax), sedangkan atas barang yang dijual

Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan merupakan Pajak Keluaran (output

tax). Untuk menghindari cascade efftets dalam menghitung Pajak Pertambahan

Nilai yang bersumber dari nilai tambah, Pajak Keluaran dikurangi dengan Pajak

Masukan.

2.3 Pajak Pertambahan NilaiPajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah suatu jenis pajak tidak langsung

yang dikenakan atas nilai tambah(added value) dari suatu barang atau jasa yang

ditransaksikan atau diserahkan. Dalam Undang Undang Pajak Pertambahan

Nilai praktis tidak dijumpai mengenai apa yang dimaksud dengan Pajak

Pertambahan Nilai, yang ada hanyalah menegani tatacara pemungutan Pajak

Pertambahan Nilai. Hakekat dan pengertian Pajak Pertambahan Nilai dapat

dijumpai pada literatur-literatur tentang Pajak Pertambahan Nilai menurut

pengertian yang diberikan oleh para penulisnya, antara lain :

a. Alan A Tait

“ A tax on Value Added is, briefly, a tax levied on business on the value they add to their purchases of raw materials and goods and services16”

dalam bukunya yang lain menyatakan :

“ Value added is the value that a producer (Whether a manufacturer, distributor, advertising agent, hairdresser, farmer, race horse trainer, or circus owner) adds to his raw materials or purchase (other than labour) before selling the new or improved product or services. That is the input (the raw materials, transport, rent, advertasing, and so on) are bought, people are paid wages to work on

16Tait, A Alan , Value Added Tax,Mc, Graw-Hill Company(UK) Limities, Maidenhead Berkshire, England, 1972.page-2

22Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

these input and, when the final good or services is sold, some profits left17 ”

b. Henry J. Aaron

“ Value Added is the differnce between the value of firm’s sales and the value of the purchased material inputs used in producing goods sold.Value adde is also equal to the sum of the wages and salaries, interest payment, and profit before tax earned by a firm18 “

c. Michael Veseth

“ Nilai Tambah adalah ukuaran dari hasil kegiatan ekonom dan penghasilan. Ini digambarkan oleh perbedaan antara nilai pembelian dengan penjualan19 “

d. Ben Terra

“ Sales taxation can be levied in various ways, for example, in a direct way, or in indirect way as a retail sales tax or as a value added tax20 “

2.4 Metode Pengenaan Pajak Pertambahan NilaiDari pengertian diatas terlihat bahwa nilai tambahan bersumber dari

adanya kegiatan ekonomi seperti terjadinya transaksi jual beli barang dan jasa,

sewa menyewa dan lainnya. Dimana hasil akhir dari transaksi tersebut secara

kumulatif akan diperoleh nilai tambah (added value). Secara umum nilai tambah

dapat dirumuskan dengan persamaan yaitu21 :

1. value added = wages + profits

2. value added = output - input

Dalam persaman (1) tersebut terlihat komponen nilai tambah dari sisi

penjumlahan (additive), yaitu upah (wages) dan keuntungan (profits). Dalam

17Tait, Alan A., Value Added Tax International Practice and Problems, IMF, Washington D.C 1988 page-4.

18Aron Henry., VAT-Experinces of some European Countries, Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer, Netherlands, 1982, page-14.

19Veseth, Michael, Public Finance, Reston Publishing Company, Virginia, 1994 page-287.20Terra Ben. Sales Taxation, The Case of Value Added Tax in The European Community,

Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer, Netherlands, 1988 page-4.21 Ros iana, Haula dan Tar igan, Rasin, Perpajakan Teor i dan Apl ikas inya .

PT.Raja Graf indo Persada, Jakar ta ,2005 h lm 215

23Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

suatu perusahaan besarnya komponen nilai tambah umunya telah dapat

diperkirakan, ketika perusahaan hendak menyusun rencana kegiatan dalam satu

tahun akan ditetapkan besarnya upah begi karyawan dan buruh (misalnya

mengikuti dengan upah yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam Upah

Minimum Regional atau juga yang telah ditetapkan dilan Rapat Umum

Pemegang Saham). Hal yang sama juga telah dilakukan atas tingkat keuntungan

(profit margin) yang diharapkan oleh perusahaan akan diperoleh dalam kurun

waktu yang dimaksud, sehingga dalam jangka waktu satu tahun dapat diprediksi

besarnya nilai tambah yang akan dicapai, yang pada akhirnya mempengaruhi

harga jual barang dan jasa.

Didalam persamaan (2) tidak terlihat komponen yang ada dalam nilai

tambah melainkan cukup dengan mengurangkan (substractive) harga akhir

(output) terhadap harga perolehan (input). Untuk memperoleh angka input dan

output ini harus didukung dengan ketersediaan dan tersajinya dokumen

penjualan (output) dan dokumen pembelian/perolehan (input) secara lengkap

untuk setiap kurun waktu

Berdasarkan formula tersebut yang dikaitkan dengan besarnya tarif pajak

yang berlaku, maka terdapat variasi formula dasar untuk menghitung Pajak

Pertambahan Nilai, yaitu22:

a. The Additive MethodDengan cara menghitung pertambahan nilai beli barang/jasa, sedangkan

pencatatan atau pembukuan yang dibutuhkan adalah mengenai gaji/upah

(wages) serta keuntungan /laba (profit) dan biaya.

Untuk metode ini dapat dihitung dengan 2 (dua) macam cara:

1. The Additive Direct/ Account MethodPengenaan pajak dihitung langsung dari penambahan nilainya.

Rumus : Pajak Pertambahan Nilai = tarif (upah + keuntungan)

2. The Additive Indirect Method

22 Tait, A Alan , Value Added Tax,Mc, Graw-Hill Company(UK) Limities, Maidenhead Berkshire, England, 1972.page-4

24Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

Pengenaan pajak dihitung bukan langsung dari penambahan nilainya

tetapi dari komponen pertambahan nilai.

Rumus : Pajak Pertambahan Nilai = tarif (upah) + tarif (keuntungan)

b. The Substractive MethodDengan cara mengurangkan nilai beli barang/jasa terhadap nilai jual

barang/jasa yang komponennya berasal dari barang/jasa tersebut, sedangkan

pencatatan atau pembukuan yang dibutuhkan adalah mengenai pembelian,

penjualan dan persediaan dari barang/jasa.

Untuk metode ini dapat dihitung dengan 2 (dua) macam cara:

1. The Substractive Direct MethodPengenaan pajak dihitung langsung dari selisih nilai jual terhadap nilai

beli. Disebut direct karena masih berdasarkan pembukuan atau catatan.

Rumus : Pajak Pertambahan Nilai = tarif (output - input)

2. The Substractive Indirect Method/ Invoice Method/Credit Method

Pengenaan pajak dihitung dari selisih pajak nilai jual terhadap pajak nilai

beli. Dikatakan substractive indirect method karena penghitungannya

tidak lagi berdasarkan pembukuan atau catatan melainkan berdasarkan

faktur, sehingga disebut juga invoice method. Jadi indirect menjelaskan

penghitungan pertambahan nilai terjadi secara tidak langsung yaitu

dengan mengurangkan nilai faktur pembelian terhadap nilai faktur

penjualan secara berkesinambungan dari suatu periode berikutnya.

Selain itu dikenal dengan nama credit method karena di dalamnya

terdapat mekanisme pengkreditan pajak.

Rumus: Pajak Pertambahan Nilai = tarif (output) – tarif (input)

2.5Karakteristik Pajak Pertambahan NilaiDibanyak negara Pajak Pertambahan Niali (PPN) terpilih sebagai

penggati pajak Penjualan karena memiliki beberapa karekteristik positif. Terra

mengemukakan bahwa :

“ Karakteristik Pajak Pertambahn Nilai secara umu antara lain

25Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

adalah General Tax On Consumption, Indirect Method, Neural, dan Non Cumulative23”

Apabila dikaitkan dengan karakteristik Pajak Pertambahan Nilai yang

berIaku di Indonesia, maka karakteristik positif tersebut diatas dapat dijabarkan

lebih lanjut dengan penjelasan sebagai berikut:

A. General Tax on Consumption

Tujuan akhir Pajak Pertamhahan Nilai sebagai pajak atas konsumsi

adalah mengenakan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi baik yang dilakukan

oleh perseorangan maupun oleh badan baik swasta maupun badan Pemerintah.

Konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pastilah akan mengkonsumsi

barang dan jasa, karena dua hal ini merupakan alat pemuas kebutuhan manusia.

Maka dapatlah dipastikan bahwa Pajak Pertambahan Nilai akan dikenakan pada

setiap kegiatan mengkonsumsi baik konsumsi atas barang maupun jasa. Hal ini

menjelaskan satu hal bahwa Pajak Pertambahan Nilai merupakan pemajakan

pada setiap kegiatan konsumsi tanpa memandang perbedaan barang dan jasa.

B.Indirect Tax

Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tidak Langsung. Karakter ini

memberikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban akhir pajak

(destinataris pajak) dengan pcnanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas

negara berada pada pihak yang berbeda. Pcmikul beban pajak adalah pembeli

Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak, sedangkan penanggung

jawab atas pembayar pajak ke Kas Negara adalah Pengusaha Kena Pajak yang

bertindak selaku penjual Barang Kena Pajak (BKP) atau Pengusaha Jasa Kena

Pajak (JKP). Apabila terjadi penyimpangan pemungutan Pajak Pertambahan

Nilai, fiskus akan meminta pertanggungjawaban kepada penjual Barang Kena

Pajak atau Pengusaha Jasa Kena Pajak tersebut, bukan kepada pembeli,

walaupun pembeli kemungkinan juga berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Sebagai Pajak Tidak Langsung, pengertian Pajak Pertambahan Nilai

dapat dirumuskan berdasarkan dua sudut pandang menurut pendapat Sukardji

23Terra, Ben. Sales Taxation, The Case of Value Added Tax in The European Community, Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer, Netherlands, 1988 page-19.

26Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

sebagai berikut24:

1)Sudut pandang ekonomi, yaitu bahwa beban pajak dialihkan kepada

pihak lain, dalam hal ini pihak yang akan mengkonsumsi barang atau jasa

yang menjadi objek pajak;

2)Sudut pandang yuridis, yaitu bahwa tanggung jawab pembayaran pajak

kepada kas negara tidak berada di tangan pihak yang memikul beban

pajak, dengan kata lain bahwa dalam Pajak Tidak Langsung apabila

pembeli atau penerima jasa telah membayar pajak yang terutang kepada

penjual atau pengusaha jasa, pada hakikatnya sama dengan telah

membayar pajak kepada kas negara.

C. Neutral

Netralitas Pajak Pertambahan Nilai dibentuk oleh 2 faktor utama yang

berperan dalam pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, yaitu:

1)Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi barang ataupun jasa;

2)Dalam pemungutannya Pajak Pertambahan Nilai mengandung prinsip tempat

tujuan.

Dalam mekanisme pemungutannya, Pajak Pertambahan Nilai mengenal 2

prinsip pemungutan, yaitu :

1) Prinsip tempat asal (origin)

2) Prinsip tempat tujuan (destination principle)

Prinsip tempat asal mengandung pengertian bahwa Pajak Pertambahan

Nilai dipungut di tempat asal barang atau jasa yang akan dikonsumsi.

Berdasarkan prinsip tempat tujuan, Pajak Pertambahan Nilai dipungut di tempat

barang atau jasa dikonsumsi. Pajak Pertambahan Nilai dapat dipandang memiliki

sifat netral terlihat dalam hal perdagangan intemasional. Sebagaimana kita

ketahui dalam perdagangan intemasional, komoditi impor akan menanggung

beban pajak yang sama dengan barang yang diproduksi di dalam negeri.

Mengingat barang komoditi impor dan barang yang diproduksi di dalam negeri 24Sukard j i , Untung, Pajak Per tambahan Ni la i Ed is i Rev is i 2005 , , PT.

Rajawal i Pers , Jakar ta 2005, ha laman 20.

27Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

tersebut akan dikonsumsi di dalam negeri, maka akan dikenakan pajak dengan

beban yang sama. Sebaliknya, barang yang diproduksi di dalam negeri dan akan

diekspor tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai di dalam negeri karena akan

dikenakan Pajak Pertambahan Nilai di negara tempat tujuan barang yaitu tempat

barang terscbut dikonsumsi. Mengatasi hal demikian, terhadap barang produksi

dalam negeri yang akan diekspor bukanlah tidak dikenakan Pajak Pertambahan

Nilai sama sekali, melainkan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif

0%. Hal tersebut menunjukkan adanya sifat netral dari Pajak Pertambahan Nilai.

D.Non Cumulative

Karakter ini menunjukkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai menghindari

kemungkinan terjadinya pengenaan pajak berganda seperti yang terjadi dalam

pemungutan Pajak Penjualan. Hal ini karena Pajak Pertambahan Nilai dipungut

hanya atas nilai tambah saja, dan Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar kepada

pemasok pada mata rantai sebelumnya dapat diperhitungkan dengan Pajak

Pertambahan Nilai yang dipungut dari mata rantai jalur distribusi berikutnya.

Dengan sistem tersebut maka pajak atas konsumsi yang dipungut pada mata

rantai sebelumnya tidak dikalkulasikan ke dalam harga jual sehingga harga

barang yang dibayar oleh konsumen akan menjadi lebih rendah bila

dibandingkan apabila atas penyerahan ini dikenakan pajak dengan sifat

kumulatif.

Selain karakteristik tersebut diatas, bila diperhatikan lebih jauh, maka

terlihat bahwa Pajak Pertambahan Nilai ini masih menunjukkan beberapa

karakter tersendiri bila dibandingkan dengan jenis - lainnya yaitu:

1. Pajak Objektif Suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh

faktor objektif, yaitu adanya keadaan, atau peristiwa, atau perbuatan hukum yang

dapat dikenakan pajak yang disebut juga dengan nama obyek pajak. Sebagai

28Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

pajak objektif, timbulnya kewajiban untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai

ditentukan oleh adanya objek pajak. Kondisi subjektif subjek pajak tidak ikut

menentukan. Pajak Pertambahan Nilai tidak membedakan antara konsumen

yang berpenghasilan tinggi dengan berpenghasilan rendah. Sepanjang

konsumen mengkonsumsi barang atau jasa dari jenis yang sama, konsumen

tersebut diperlakukan sama.

2.Multi Stage Tax

Multi Stage Tax adalah karakteristik Pajak Pertambahan Nilai yang

dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun distribusi. Setiap

penyerahan barang yang menjadi objek Pajak Pertambahan Nilai mulai dari

tingkat pabrikan kemudian di tingkat pedagang besar dalam berbagai bentuk

atau nama sampai dcngan tingkat pedagang pengecer dikenakan Pajak

Pertambahan Nilai.

2.6Keunggulan substractive indirect method/invoice method/credit method

dibandingkan dengan sistem lainAdapun keunggulan substractive indirect method/invoice method/credit

method dibandingkan dengan sistem lain, menurut Tait 25.

a. Faktur pajak mengkaitkan pajak terutang dengan transaksi yang

menyebabkan timbulnya hutang pajak

Hal ini menjadikan metode ini paling unggul dibandingkan dengan yang lain

baik dari sudut yuridis maupun dari teknis pemungutan. Kedudukan Faktur

Pajak menjadi sangat penting karena selain sebagai bukti adanya suatu

transaksi, juga sebagai bukti adanya pembayaran pajak yang terhutang.

b. Menciptakan audit trail atau jejak lacak

Faktur pajak menciptakan suatu audit trail atau “jejak lacak” yang baik bagi

fiskus. Memudahkan untuk melakukan pemeriksaan, karena adanya invoice

yang dapat menjadi jejak (audit trail) adanya transaksi pembelian dan

25 Tait, A Alan , Value Added Tax,Mc, Graw-Hill Company(UK) Limities, Maidenhead Berkshire, England, 1972.page-5

29Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

penjualan. Hal ini memaksa tidak saja penjual melainkan juga pembeli untuk

melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik. Selain itu merangsang

Pengusaha Kena Pajak untuk melakukan pembukuan dengan tertib, baik dan

benar. Bila tidak dilakukan maka Pengusaha Kena Pajak akan mengalami

berbagai kendala sehubungan dengan pengkreditan Pajak Masukan atas

Pajak Keluaran sebab Faktur Pajak Masukan merupakan bukti sah atas pajak

yang telah dibayar.

c. Memberikan informasi besarnya pajak pada mata rantai sebelumnya

Dalam sistem yang lain yaitu additive method dan substractive direct method

secara teknik tidak mampu memberikan informasi besarnya pajak pada mata

rantai produksi dan distribusi sebelumnya dan apakah sudah dibayar.

d. Tidak perlu menghitung keuntungan terlebih dahulu

Untuk menghitung pajak tidak perlu menghitung keuntungan terlebih dahulu,

karena penghitungan pajak dilakukan dengan mengurangkan nilai pajak hasil

penjualan terhadap pajak hasil pembelian, sedangkan bila penggunaan

additive direct method (atau account method) dan additive indirect method,

pengusaha harus menghitung dulu jumlah keuntungan. Hal ini tidak mudah.

Itupun pengusaha didalam pembukuannya harus memilah-milah kategori

produk sesuai dengan tarif Pajak Pertambahan Nilainya, serta inputnya

sesuai dengan jumlah pajak yang terhutang.

e. Dalam substractive direct method dihitung dulu pertambahan nilai yang

terjadi.

Dalam substractive direct method atau business transfer tax, terlebih dahulu

harus dihitung pertambahan nilai yang terjadi. Ini dilakukan dengan cara

mengurangkan input terhadap output-nya. Dalam prakteknya para

pengusaha akan kurang menyukai cara ini bila dilakukan setiap bulan, karena

pembelian, penjualan maupun persediaan dalam sebulan dapat berfluktuasi

dengan signifikan. Penggunaan metode ini idealnya menggunakan periode

tahunan. Disamping itu, tarif pajak yang sebaiknya digunakan adalah tarif

tunggal.

30Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

f. Periode penghitungan besarnya pajak lebih fleksibel

Periode penghitungan besarnya pajak yang terhutang tidak saja dapat

dihitung setahun sekali, melainkan triwulan, bulanan, bahkan kalau

dikehendaki seminggu sekali.

g. Tarif pajak yang digunakan tidak saja tarif tunggal, melainkan multi tarif

Lebih fleksibel bila tarifnya berbeda-beda, karena bertumpu pada invoice.

Untuk additive method hanya dapat dipakai untuk tarif tunggal, sedangkan

untuk substractive direct method akan sulit bila tarifnya berbeda-beda karena

mensyaratkan adanya pemisahan pembukuan atau catatan untuk komoditi

yang tarif pajaknya berbeda-beda.

2.7 Tipe Pajak Pertambahan NilaiBerdasarkan perlakuan terhadap perolehan barang mdal, Pajak

Pertambahan Nilai (Valu Added Tax) dapat dibedakan ke dalam tiga tipe yaitu26 :

A. Consumption Type VAT

Dalam Consumption Type VAT, semua pembelian yang digunakan untuk

produksi termasuk pembelian barang modal dikurangkan dari perhitungan nilai

tambah. Dasar pengenaan pajaknya terbatas pada pembelian untuk kepentingan

konsumsi, sedangkan pembelian barang-barang produksi dan barang modal

dikeluarkan, karena pembelian barang modal dikeluarkan dari dasar pengenaan

pajak, maka tidak terjadi pengenaan pajak lebih dari satu kali terhadap barang

modal. Hal ini memberi sifat netral Pajak Pertambahan ilai terhadap pola

produksi. Dalam hal penghitungan pajak menggunakan credit method, maka

seluruh Pajak Masukan yang dibayar atas pembelian Barang Modal dan bahan

boleh dikreditkan. Pajak Pertambahan Nilai Tipe Konsumsi ini memiliki beberapa

nilai positif, yaitu:

1)Membantu likuiditas perusahaan, karena seluruh Pajak Masukan atas

pcmbelian Barang Kena Pajak yang digunakan dalam proses produksi dapat

segera dikreditkan;

2)Menunjang iklim investasi yang sehat; 26Terra Ben. Sales Taxation, The Case of Value Added Tax in The European Community,

Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer, Netherlands, 1988 page-32.

31Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

3)Mendorong pengusaha secara berkala melakukan regenerasl alat produksi

barang modal tidak dikenakan pajak lebih dari satu kali;

4)Tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda.

B. Net Income Type VAT Dalam Net Income type VAT, pengurangan pembelian barang modal dari

dasar pengenaan Pajak tidak dimungkinkan. Pembelian barang modal hanya

boleh dikurangkan sebesar persentase penyusutan yang ditentukan pada waktu

menghitung hasil bersih dalam rangka penghitungan Pajak Penghasilan,

sehingga Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai akan sama dengan Dasar

Pengenaan Pajak Penghasilan. Sistem ini akan berakibat pengenaan pajak dua

kali terhadap barang modal dan menuntut adanya suatu sistem pembukuan yang

rapi dan teliti dari para pengusaha.

C.Gross Product Type VAT

Dalam Gross Product Type VAT, pembelian barang modal sama sekali

tidak boleh dikurangkan dari dasar pengenaan Pajak. Hal ini mengakibatkan

barang modal dikenakan Pajak dua kali, yaitu pada saat dibeli, kemudian

pemajakan dilakukan melalui hasil produksi yang dijual kepada konsumen.

Beberapa segi negatif yang dimiliki oleh gross product type VAT menurut

Sukardji adalah sebagai berikut27:

1) Barang modal menanggung beban pajak yang cukup berat karena dipajaki

lebih dari satu kali.

2) Menghambat minat pcngusaha mengadakan regenerasi alat-alat produksi.

Pengusaha cenderung memanfaatkan alat produksi yang ada semaksimal

mungkin sehingga menghambat laju perkembangan produksi.

3) Tidak menunjang iklim investasi yang baik.

4) Pengusaha berusaha sedapat mungkin mengurangi pembelian barang

modal.27Sukard j i , Untung, Pajak Per tambahan Ni la i Ed is i Rev is i 2005 , , PT.

Rajawal i Pers , Jakar ta 2005, ha laman 37.

32Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

2.8 Pengkreditan Pajak Pertambahan NilaiDalam credit method, dikenal adanya pajak yang dibayar pada saat

perolehan dan pajak yang dipungut pada saat penjualan barang / jasa kena

pajak. Pajak yang dibayar pada saat memperoleh barang atau jasa kena pajak

dinamakan Pajak Masukan (input tax) apabila barang / jasa kena pajak tersebut

merupakan masukan (input) untuk kegiatan usaha, dan Pajak yang dipungut

pada penyerahan barang atau jasa kena pajak (output) dari penjual kepada

pembeli disebut Pajak Keluaran (output tax)

Setiap pemungutan pajak pertambahan nilai, pengusaha kena pajak

penjual wajib membuat faktur pajak sebagai tanda bukti pemungutan yang

disebut sebagai Faktur Pajak Keluaran, dan pengusaha kena pajak pembeli

yang menerima faktur tersebut Faktur Pajak Masukan.

Sesuai dengan sistem pungutan pajak yang berlaku di Indonesia yaitu

Self assessment system, pengusaha kena pajak dalams setiap Masa Pajak wajib

menghitung jumlah pajak yang terutang, dimana didalam credit method maka

yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak adalah menghitung selisih antara

pajak keluaran yang dipungut dengan pajak masukan yang telah dibayar.

2.9 Faktur PajakFaktur Pajak merupakan dokumen yang sangat penting dalam

pengawasan Pajak Pertambahan Nilai. Dalam hal ini Tait mengemukan hal

sebagai berikut:

“The invoice is the crusial control document of the ussual VAT. it esteblishes the tax liability of supplier and entitlement of the purchaser to a deduction for the VAT charged. Invoice must be carrefully comploted and kept as records. 28 “

Tait juga berpendapat seharusnya ditentukana adanya standar bentuk

dan data- data yang harus ada dalam satu faktur pajak. Data tersebut antara lain

adalah : 29

• nama dan alamat Wajib Pajak yang menerbitkan faktur pajak.• nomor pengukuhan ( VAT registrasion number)

28Tait, A Alan , Value Added Tax,Mc, Graw-Hill Company(UK) Limities, Maidenhead Berkshire, England, 1972.page -279.

29 ibid, page-280

33Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

• nomor seri faktur pajak• tanggal faktur pajak• tanggal penyerahan barang atau jasa ( bila berbeda dengan tanggal

penerbitan faktur)• uraian tentang barang dan jasa yang diserahkan• nilai tagihan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai• tarif dan jumlah Pajak Pertambahan Nilai• nama dan alamat penerima barang dan jasa

Fungsi Faktur PajakPembuatan Faktur Pajak bersifat wajib bagi Pengusaha Kena Pajak,

karena Faktur Pajak adalah bukti yang menjadi sarana pelaksanaan cara

kerja/mekanisme pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai. Orang Pribadi atau

Badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat

Faktur Pajak, ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi pembeli dari

pemungutan pajak yang tidak semestinya.

Faktur Pajak berfungsi sebagai:

a) Bukti pungutan bagi Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang

Kena Pajak atau Jasa Kena Pajakdan bagi Direktorat Jenderal Bea

Cukai karena impor Barang Kena Pajak;

b) Bukti pembayaran pajak, ditinjau dari sisi pembeli Barang Kena Pajak

atau penerima Jasa Kena Pajak atau orang pribadi atau badan yang

mengimpor Barang Kena Pajak;

c) Sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan

Ditinjau dari fungsinya, yang dapat dikatakan bahwa Faktur Pajak

memegang posisi sentral dalam mekanisme Pajak Pertambahan Nilai di

Indonesia berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai.

Faktur Pajak yang dapat digunakan sebagai bukti pungutan pajak dan

sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan disebut dengan Faktur

Pajak Standar. Faktur Pajak Standar harus benar secara formal maupun

material. Faktur Pajak Standar harus diisi secara lengkap, jelas , benar dan

ditandatangani oleh pejabat perusahaan yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena

Pajak untuk menandatanganinya. Faktur Pajak Standar yang tidak sesuai

34Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

dengan ketentuan dapat mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang

tercantum didalamnya tidak dapat dikreditkan.

2.10Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan NilaiAdapun fungsi Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi

Pengusaha Kena Pajak30, adalah:

• Sarana melapor dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah

Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang

terutang;

• Melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;

• Melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan

dan/atau melalui pihak lain dalam suatu Masa Pajak, sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

2.11Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak

Peradilan administrasi dibutuhkan dalam pajak. Hal ini dapat dimengerti,

karena dalam bidang pajak pemerintah mendapat demikian besarnya kekuasaan

untuk melakukan pengawasan secara yudikatif. 31 Peradilan administrasi pajak

yaitu penyelesaian semua macam mengenai pajak-pajak.32 dalam

pelaksanaannya terdapat aparatur pemerintah yang menentukan bahwa suatu

peradilan dapat disebut peradilan administrasi pajak ialah sifat dari para pihak

yang berselisih dan sifat perselisihannya.33 Peradilan pajak diperlukan untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat dalam penyelesaian sengketa pajak yang adil

dengan prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana.

Peradilan administrasi pajak umumnya melibatkan minimal dua pihak

yaitu pihak Wajib Pajak dan pihak aparat pajak (fiskus). Peradilan administrasi

pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu peradilan administrasi tidak murni dan

peradilan administrasi murni.

Peradilan administrasi yang pertama disebut sebagai peradilan

administrasi tidak murni karena dalam peradilan administrasi ini hanya

melibatkan dua pihak yaitu Wajib Pajak dan pihak fiskus tanpa melibatkan pihak

30Waluyo dan Wirawan, Perpajakan Indonesia , Salemba Empat, Jakarta, 1999, hlm 1931Soemitro ,Rochmat, Masalah Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia,

PT Eresco, Bandung 1965, hal. 202.32S.H Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Rajawali Press, Jakarta, 1993, hal. 13433ibid, hal. 48

35Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

ketiga yang independen. Fiskus sebagai pihak yang bersengketa sekaligus

menjadi pihak yang mengambil keputusan dalam perselisihan pajak yang

bersangkutan34

Jenis peradilan administrasi yang kedua adalah peradilan administrasi

murni. Peradilan ini disebut sebagai peradilan administrasi murni karena dalam

peradilan administrasi ini terdapat tiga pihak, yaitu Wajib Pajak, fiskus, dan

Hakim.

Wajib Pajak dan fiskus adalah pihak yang bersengketa, sedangkan Hakim

atau Majelis Hakim adalah pihak yang akan memutuskan sengketa tersebut.35

Ciri khas suatu peradilan murni adalah suatu hubungan segitiga antara pihak dan

badan atau pejabat yang mengadili. Badan atau pejabat yang mengadili perkara

merupakan badan pejabat tertentu dan terpisah. Tertentu36 berarti bahwa badan

atau pejabat tersebut ditentukan oleh undang-undang atau peraturan lain yang

mempunyai tingkatan sama dengan suatu undang-undang, dan diberi wewenang

untuk mengadili suatu perselisihan adrninistrasi. Terpisah37 artinya bahwa badan

atau pejabat yang melakukan pengadilan itu, tidak merupakan juga salah satu

pihak atau termasuk dalam salah satu pihak, maupun dibawah pengaruh salah

satu pihak, sehingga badan atau pejabat yang mengadili perkara berada di atas

para pihak.

Peradilan administrasi murni. memiliki syarat sebagai berikut:38

a. Merupakan hukum publik;

b. Sengketa hukum yang konkret;

c. Dua belah pihak yang bersengketa;

d. Aparatur yang melakukan peradilan administrasi.

34Suandy, Erly. Hukum Pajak. Salemba Empat, Jakarta, 2002, halaman. 8435Ibid halaman 8536Sunindhia, Y.W., Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi., R ineka Cipta,

1992 halaman 143.37ibid halaman 14338Muhsin, Muslih, "Badan Penyelesaian Sengketa Pajak Setelah Berubah Menjadi

Pengadilan Pajak:, makalah disampaikan pada Sosialisasi Undang-undang Pengadilan Pajak sebagai Pengganti Undangundang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak., Jakar ta , Apr i l 2002 hal.5.

36Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

Basah mempunyai pendapat bahwa Peradilan administrasi murni, disamping

harus memenuhi unsur-unsur peradilan dan unsur-unsur khusus, juga wajib

memiliki ciri khas berupa39:

a. Hubungan segitiga antara para pihak dan badan atau pejabat yang

mengadili.

b. Badan atau pejabat yang mengadili perkara merupakan badan atau pejabat

tertentu dan terpisah.

2.12Asas-asas Peradilan Administrasi PajakAsas bukanlah merupakan peraturan yang konkret yang berlaku,

melainkan suatu hal teoritis yang merupakan sesuatu yang melandasi,

mendasari, serta mendukung suatu peraturan, baik berupa falsafah, prinsip, atau

dasar. 40 Asas inilah yang memberi warna pada suatu hal, khususnya dalam

bidang hukum pajak. Asas-asas peradilan pajak yang dihimpun oleh Tim Kerja

Proyek Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Badan Pembinaan Hukum

Nasional pada tahun 1987,antara lain terdiri dari: 41

a. Asas kebebasan mencari keadilan:Bahwa setiap orang sesuai dengan hak asasinya, mempunyai hak

seluas-luasnya untuk mencari keadilan. Jadi apabila terjadi Wajib Pajak

merasa diperlakukan tidak baik atau tidak adil, ia selalu mempunyai hak untuk

mencari keadilan melalui saluran-saluran hukum yang khusus disediakan oleh

undang-undang.

b.Asas kesamaan di hadapan pengadilan:Bahwa setiap Wajib Pajak yang bersengketa di pengadian mempunyai

kedudukan yang sama. Pengadilan tidak boleh memperlakukan para pihak

secara berlainan, walaupun salah satu pihaknya adalah negara, yang diwakili

oleh pemerintah (Direktur Jenderal Pajak) sebagai fiskus.

c.Asas perlindungan para pihak:

39Sunindhia, Y.W., Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi., R ineka Cipta, 1992 halaman. 142.

40Soemitro ,Rochmat , Asas-asas Hukum Perpajakan, BPHN Departemen Kehakiman (Bandung: Rineka Cipta, I991), hal. ix.

41Ibid hal. 41-60

37Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

Para pihak yang bersengketa harus diberikan perlindungan yang sama,

jika para pihak kurang mengerti akan hak-haknya, maka pihak-pihak yang

berkepentingan harus diberi tahu mengenai hal itu. Kalau salah satu pihak

haknya dilanggar oleh pihak lain, hal ini juga harus diberitahukan. Jadi dalam

pengadilan yang sifatnya kekeluargaan, pengadilan harus bertindak aktif.

d.Asas netralitas, tidak berat sebelah:Hakim merupakan pejabat negara yang harus berdiri di atas para pihak,

artinya Hakim tidak boleh memihak kepada salah satu pihak dan juga Hakim

harus tidak setingkat dengan para pihak melainkan, karena ilmu yang

dimilikinya, Hakim lebih tinggi dari para pihak, ditinjau dari segi ilmu

penyelesaian sengketa. Hal tersebut memberikan kepercayaan kepada para

pihak, bahwa perkara akan dapat diselesaikan secara tuntas.

e. Asas masalah bersifat hukum:Masalah-masalah yang dibawa ke muka pengadilan (pajak) murni ialah

masalah yang bersifat hukum, yang tunduk pada hukum tertentu hingga dapat

diselesaikan (rechtsvragen).

f. Asas kekeluargaan dan kegotongroyongan dalam Pemutusan sengketa;

Pada dasarnya banyak aengketa yang tidak perlu diselesaikan di

pengadilan. Dalam perpajakan dikenal adanya lembaga Keberatan yang

termasuk dalam administrasi pajak, yang tidak hanya mempermasalahkan

aspek. hukumnya tapi juga aspek kebijakannya. Lembaga ini bersifat non-

formal, sehingga banyak hal dapat diselesaikan berdasarkan kekeluargaan,

berdasarkan saling pengertian dan kepercayaan .

g.Asas objektivitas penilaian;Penilaian oleh Hakim harus diadakan secara konsekuen, netral dalam

bertindak, objektif, tidak dipengaruhi oleh sifat-sifat subjektif yang mudah

dipengaruhi dari luar atau pun pihak-pihak lain.

38Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

h. Asas keterbukaan untuk umum (openbaarheid);Setiap pengadilan, termasuk Badan Peradilan Pajak pada asasnya

mempunyai sifat terbuka bagi setiap orang, dalam arti bahwa sidang tidak

tertutup inelainkan terbuka bagi setiap orang, dan dapat dihadiri oleh siapa

pun. Maksud keterbukaan ini ialah untuk lebih mendorong kenetralan Hakim,

abjektivitas Hakim, dan juga mendorong Hakim bersikap lebih hati-hati dalam

penilaian dan pengambilan putusan.

i. Asas mengikat para pihak;Putusan Badan Peradilan Pajak mempunyai daya mengikat para pihak

yaitu waijb pajak dan Direktur Jenderal Pajak. Putusan harus dilaksanakan

sesuai dengan cara yang lazim bahkan bila perlu dapat dipaksakan.

j. Asas beban bukti;Lazimnya dalam peradilan berlaku adagium "Siapa yang mendakwa,

wajib membuktikan". Jadi, kalau Wajib Pajak yang menuntut supaya pajaknya

diturunkan maka ia harus membuktikan, apa sebabnya pajaknya harus

diturunkan. Tetapi adagium ini tidak selalu berlaku karena Hakim sering

memutuskan bahwa yang harus membuktikan ialah pihak yang lebih mudah

memberikan bukti, disebut de meest gerede partij. Dalam pajak berlaku

ketentuan bahwa apabila Wajib Pajak memenuhi segala kewajibannya, yaitu:

1. memasukkan surat pemberitahuan dengan benar,

2. memberi keterangan tentang surat pemberitahuannya apabila diminta,

3. mengadakan pembukuan yang diharuskan,

4. menunjukkan bukti-bukti yang diminta.

Dan ternyata kemudian Direktur Jenderal Pajak menetapkan pajak bagi

Wajib Pajak yang terutang, menyimpang dari data yang dimasukkan dalam

surat pemberitahuan Wajib Pajak, maka Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala

Inspeksi Pajak wajib membuktikan bahwa data yang diberitahukan oleh Wajib

Pajak tidak benar, dan yang benar ialah ketetapan yang dikeluarkan oleh

Direktur Jenderal Pajak. Akan tetapi jika ternyata bahwa Wajib Pajak tidak

memenuhi salah satu dari kewajibannya di atas, maka Wajib Pajaklah yang

harus membuktikan bahwa ketetapan yang dikeluarkan Direktur Jenderal

39Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

Pajak (yang menyimpang dari data yang diberikan oleh Wajib Pajak) itulah

yang salah, dan bahwa utang pajak yang dihitung oleh Wajib Pajak sendiri

itulah yang benar.

k.Asas motivasi/ beralasan putusan;

Setiap putusan pengadilan harus memberikan landasan hukum yang kuat

dan harus beralasan. Maksudnya adalah agar pihak yang merasa belum puas

atas putusan itu, dapat membantah alasan yang digunakan untuk menolak

permohonan/ tuntutan.

l. Asas patuh putusan:Putusan Badan Peradilan Pajak merupakan sarana untuk mengakhiri

sengketa pajak. Tidak akan ada artinya jika putusan tidak mempunyai daya

ikat. Menjadi suatu kewajiban bagi para pihak untuk mematuhi putusan Hakim

kecuali jika masih ada saluran hukum lanjutan yang dapat digunakan untuk

menentang putusan Hakim yang bersangkutan.

m. Asas naik banding;Banding dalam pajak dilaksanakan oleh Badan 'Peradilan Pajak, yang

pada hakekatnya merupakan penyelesaian tingkat pertama dari sengketa

pajak, yang setaraf denqan pengadilan tingkat pertama pada pengadilan

umum.

n. Asas ne b.is in idem;asas ini terdapat dalam pengadilan pada umumnya, 'berlaku juga

terhadap sengketa pajak.

o. Asas presumption of innocence.bahwa penyelidikan dan penyidikan perpajakan serta pemeriksaan

persidangan haruslah menjunjung tinggi praduga tak bersalah serta itikad baik

dari Wajib Pajak dalam melakukan penghitungan, pengisian dan pembayaran

pajaknya. Asas ini penting karena Wajib Pajak di satu sisi adalah pihak lemah

yang ingin mencari keadilan.

40Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

2.13Penafsiran dalam Hukum Pajak42

Didalam memahami suatu ketentuan Undang-undang, agar jelas

diperlukan suatu penafsiran. Penafsiran hukum ialah suatu upaya yang pada

dasarnya menerang, menerangkan, menjelaskan, menegaskan baik dalam arti

memperluas ataupun membatasi atau mempersempit pengertian hukum yang

ada dalam rangka penggunaanya untuk memecahkan masalah atau persoalan

yang sedang dihadapi.

Cara-cara penafsiran hanya merupakan alat untuk mencoba mengetahui

dan menyalami arti kaedah-kaedah hukum.

Macam-macam penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum

• penafsiran subjektif dilakukan dengan cara mengusut apa yang dimaksud

dengan kaidah hukum yang diucapkan dengan cara menyelidiki

sejarahnya.

• penafsiran objektif dilakukan dengan menelaah arti kaidah itu menurut

pemakaian bahasa yang lazim dipergunakannya, jadi terlepas dari

maksud yang dikandung oleh pembuatnya haruslah dicari gambaran-

gambaran yang didapat pada obyek yang terkena kaidah hukum.

• penafsiran secara historis yaitu mengetahui maksud dan pembuat

undang- undang.

• penafsiran menurut ilmu tata bahasa yaitu mengadakan kupasan

berdasarkan bunyi kata undang-undang itu.

• penafsiran secara sistematis yaitu dilakukan dengan melihat adanya

hubungan antara masing masing Pasal , maupun antara undang-uandang

yang satu dengan undang yang lain. Jadi penafsiran ini ialah suatu cara

yang berdasarkan atas kenyataan bahwa undang-undang merupakan

suatu sistem.

• penafsiran secara sosiologis dilakukan dengan mempelajari hubungannya

dengan masyarakat yang melingkupinya, serta perkembangan dinamis

didalm masyrakat tersebut.

• penafsiran menurut analogi, penafsiran ini hampir sama dengan

penafsiran secara ekstensif (luas), yaitu mencari penyelesaian dengan

menetapkan terlebih dahulu rasio suatu peraturan hukum, barulah

42 Sofiandi, D.S, Pengantar Hukum Pajak , Salemba Empat, Jakarta, 2003, hlm 19-21

41Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

memperlakukan pokok asas yang merupakan intisarinya terhadap suatu

perkara baru. Cara penafsiran menurut kiasan ini menyatakan cara

berlakunya suatu kaidah hukum atas suatu perkara, yang sebetulnya

tidak diliputi oleh kaidah itu, dan berada diluarnya. Adapun caranya

dimulai dengan memasukkan suatu aturan ke dalam aturan umum, dan

dari peraturan umum itu kemudian ditarik lagi kesimpulannya, hingga

sampai pada perkara khusus itu.

Scholten dalam bukunya Hanleiding tot de Boefeing van het Ned. Burgerijk

Recht : Algemen Dell menjelaskan bahwa dalam penafsiran undang- undang

pajak ada beberapa cara yaitu43 :

• Umum

setelah diuraikan berbagai macam penafsiran hukum demikian pula

dengan penafsiran pada hukum pajak. Dalam kenyataannya perbedaan

penafsiran itu terjadi karena adanya corak dalam pemungutan pajak.

Orang-orang yang yang sebagai individu harus membayar pajak maka

akan mengganggap pajak sebagai beban karena merupakan suatu

pengurangan dalam kebebasan mempergunakan haknya masing-masing.

sedangkan pihak aparat pajak (fiskus) terhadap peraturan-peraturan

pajak tentunya akan mempergunakan segala penafsiran yang

diperkenankan.

• Analogi

Para Sarjana hingga saat ini masih bersengketa tentang penafsiran

menurut analogi dalam hukum pajak, sekalipun pada waktu- waktu akhir

ini kebanyakan di antara para sarjana banyak yang berpendapat bahwa

interpretasi semacam ini harus tidak dipergunakan bagi undang-undang

pajak. Hal ini terkait dengan Pasal 23 (2) UUD 1945 dimana tidaklah

sekali-kali diperkenankan memungut pajak, bea dan cukai untuk

keperluan kas negara selain berdasarkan undang-undang.

• Penafsiran otentik

43 Brotodihardjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung, PT Eresco, 1988 halaman 152

42Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

Penafsiran ini dilakukan oleh pembuat undang-undang dengan

memaksakan tafsiran mengenai arti istilah yang dipergunakan di dalam

undang-undang atau peraturan lain yang dibuatnya, dengan maksud

supaya tafsiran ini diturut oleh umum.

• Penafsiran secara ketat

Dengan cara ini dalam melakukan penafsiran pajak maka yang dapat

dikenakan pajak ialah perbuatan-perbuatan yang dengan nyata-nyata

disebutkan dalam undang-undangnya, sehingga perbuatan yang sejenis

dengan itu atau hanya menyerupai yang dengan nyata-nyata disebutkan

tidak dapat dikenakan pajak.

• Ajaran Pengadilan.

Dalam penafsiran menurut ajaran peradilan ini tidak diperbolehkan

adanya penafsiran menurut analogi umtuk dipergunakan dalam hukum

pajak. Salah satu contohnya adalah putusan diPengadilan Pajak, dimana

ada suami istri dari cina yang menikah, dan karenanya masih tunduk

dengan hukum adat-adat yang menyatakan bahwa tidak terdapat

percampuran dalam harta kekayaan suami istri tersebut. Setelah

dilakukan pemeriksaan terhadap pembukuan suami istri tersebut

diketahui bahwa sang istri memiliki penghasilan bunga sehingga

dikenakan pajak, sang suami mengajukan keberatan dengan alasan

bahwa menurut hukum adat cina tidak terdapat persatuan harta antara

suami dan istrinya, dan hal ini dapat dipersamakan dengan keadaan

pisah harta. dan ia menyatakan bahwa pembuat undang-undang telah

menyatakan bahwa suami hanya dikenakan pajak atas jumlah

pendapatannya ditambah dengan jumlah pendapatan istrinya dalam hal

suami istri tersebut satu kesatuan ekonomis. karena tidak ada kesatuan

yang dimaksud – menurut pendapat suami istri tersebut tidak dapat

dikenakan pajak atas dasar jumlah pendapat itu. Tetapi hal ini ditolak oleh

majelis dengan pertimbangan sebagai berikut yaitu jika pembuat memang

menghendaki demikian maka akan menyatakannya dalam undang-

undang dan karena ia hanya mengecualikan saja hal yang tertentu –

Pasal 140 Kitab Undang- undang Hukum Perdata yang menyatakan

43Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

dalam hal suami istri tidak merupakan kesatuan ekonomis, maka

pengecualian ini tidak dapat di perluas hingga hal- hal diluarnya. Dengan

demikian maka pendapatan istri tidak dapat dipandang terpisah dari

pendapatan suaminya.

2.14Sengketa dan Sanksi AdministrasiTiap perselisihan atau sengketa, mesti ada sesuatu pokok persoalan

yang menjadi sebab perbedaan pendapat antara satu pihak dengan pihak lain.

Perselisihan itu terdapat dimana-mana, dikalangan keluarga ataupun lingkungan

masyarakat sendiri sehingga setiap komunitas mencari bentuk penyelesaian

sendiri agar tidak tidak merambah kepersoalan yang lebih meluas. Dalam

perpajakan juga tidak terkecuali, sengketa pajak merupakan perbedaan

pendapat antara wajib pajak dengan pemungut pajak (pemerintah) atas

ketetapan pajak (beschikking) yang telah dikeluarkan.

Peran penting pada pemberian sanksi didalam hukum administrasi

memenuhi hukum pidana. Kebanyakan system perizinan menurut perundang-

undangan memuat ketentuan penting yang melarang para warga bertindak tanpa

izin. Bagi para pembuat peraturan penting untuk tidak hanya melarang tindakan-

tindakan yang tanpa disertai izin, tetapi juga terhadap tindakan-tindakan yang

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dapat dikaitkan pada

suatu izin, termasuk sanksi-sanksi hukum administrasi yang khas antara lain:44

a. Paksaan pemerintah (Bestuursdwang);

b. Penarikan kembali keputusaan (keputusan) yang menggunakan (izin,

pembayaran, subsidi);

c. Pengenaan denda administratif;

d. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).

Paksaan pemerintah / bestuursdwang dapat diuraikan sebagai tindakan-

tindakan yang nyata dari penguasa guna mengakhiri suatu keadaan yang

dilarang oleh suatu kaidah hokum administrasi atau melakukan apa yang

seharusnya ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan dengan undang-

undang. Beda paksaan pemerintah dengan sanksi-sanksi yang lain (yakni b,c,

dan d) bestuursdwang merupakan tindakan penguasa dengan dengan cara amat

44 Hadjon, Philipus M, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 1994, hal 245-247.

44Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

langsung, sedangkan sanksi yang lain lebih berperan secara tidak langsung.

Pengetrapan sanksi yang tidak langsung adalah denda administrasi yang dikenal

pada hukum pajak.

Perbedaan antara sanksi administrasi dan sanksi pidana dapat dilihat dari

tujuan pengenaan sanksi itu sendiri. Sanksi Administrasi ditujukan kepada

perbuatan pelanggarannya, sedangkan sanksi pidana ditujukan kepada

pelanggar dengan memberi hukuman berupa nestapa. Sanksi administrasi

dimaksudkan agar perbuatan pelanggaran itu dihentikan. Sifat sanksi adalah

reparatoir artinya memulihkan pada keadaan semula. Disamping itu perbedaan

antara sanksi pidana dan sanksi administrasi ialah tindakan penegakan

hukumnya.

2.15Upaya Penyelesaian SengketaPeradilan pajak, adalah suatu proses dalam hukum pajak yang

bermaksud memberikan keadilan dalam hal sengketa pajak, baik kepada Wajib

Pajak maupun kepada pemungut pajak, sesuai dengan ketentuan undang-

undang/hukum positif. Proses itu merupakan perbuatan yang harus dilakukan

oleh Wajib Pajak maupun oleh pemungut pajak dihadapan suatu instansi

(administrasi atau pengadilan), yang berwenang mengambil keputusan untuk

mengakhiri sengketa tersebut.

Menurut Soemitra45 penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh instansi

administrasi yang masih termasuk dalam organisasi Direktorat Jenderal Pajak,

lazimnya disebut peradilan administrasi tidak murni, seperti peradilan yang

dilakukan oleh hakim Doleansi pada Kantor Pelayanan Pajak, yang memutuskan

surat keberatan.

Dalam peradilan mengenai sengketa pajak yang dilakukan oleh suatu

instansi yang ada diluar struktur organisasi Direktorat Jenderal Pajak, jadi oleh

instansi pengadilan yang berdiri sendiri atau Badan Peradilan Pajak yang

sekarang yang bernama Pengadilan Pajak. Badan Peradilan Pajak sering disebut

juga Peradilan Administrasi Murni karena dalam persengketaan ini dilakukan oleh

dua pihak dan satu pihak yang menengahi.

45 Soemitra, Rachmat, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Refika Aditama, 1998, Bandung, hal. 164

45Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

2.16Pendekatan KeadilanKeadilan itu selamanya selalu bersifat nisbi atau relatif, hal ini dalam

kenyataannya hampir tidak mungkin adanya keadilan yang bersifat mutlak dalam

arti bisa diterima secara penuh oleh semua orang. Tiap–tiap orang mempunyai

pandangan sendiri-sendiri pengertian apa yang dimaksud adil bagi dirinya

sehingga menguntungkan bagi dirinya sendiri. Jadi adil bagi seseorang belum

tentu adil bagi orang lain sehingga dapat dibuktikan bahwa keadilan itu

selamanya bersifat relatif atau nisbi, karena dalam kenyataannya hampir selalu

berbeda menurut orang, tempat dan waktu.

Pandangan para ahli hukum (Purbacaraka dan Soekanto dalam bukunya

Perihal Kaidah Hukum) keadilan adalah keserasian antara kepastian hukum dan

kesebandingan hukum. Dengan kepastian hukum saja (tanpa kesebandingan

hukum) keadilan tidak mungkin terlaksana. Misal setiap orang yang melakukan

pembunuhan pasti dihukum, akibatnya A yang melakukan pembunuhan dengan

maksud merampok dihukum sama berat dengan B yang membunuh karena

pembelaan diri hal tersebut tentunya tidak adil. Begitu halnya dengan sebaliknya,

yaitu hanya ada kesebandingan hukum tanpa adanya kepastian hukum. Keadilan

lebih menjadi tidak mungkin lagi untuk dicapai, mengingat pelaksanaan dan

penerapan hukum semuanya berjalan serba mengambang tanpa adanya

kepastian, sehingga hal tersebut akan membuka kemungkinan bagi orang-orang

yang tidak bertanggung jawab untuk sengaja melakukan penyelewengan. Jadi

dalam segala bidang penerapan hukum, kepastian hukum dan kesebandingan

hukum itu harus selalu ada secara bersamaan dan membentuk suatu integritas

yang serasi yang dalam untuk mencapai pengertian keadilan.

Halim membagi beberapa definisi hukum tentang konsepsi dan hakikat

keadilan yaitu :46

a. Keadilan sebagai kesamarataan kesempatan bagi setiap orang untuk

memperoleh dan menggunakan haknya selaras dengan kewajiban masing-

masing.

b. Keadilan sebagai kesamarataan dalam pembebanan kewajiban terhadap

setiap orang yang diselaraskan dengan haknya masing-masing.

c. Keadilan sebagai kesamarataan pembebanan kadar tangung jawab pada

setiap orang.

46 Halim , Ridwan, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia, Jakarta 1984

46Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

d. Keadilan sebagai kesamarataan dalam pengenaan sanksi atas kesalahan

yang sama atau semacam jenisnya, motifnya, latar belakangnya, serta akibat

kerugiannya.

e. Keadilan sebagai kesamarataan dalam mendapat penilaian, penghargaan

dan kehormatan bagi tiap orang yang memiliki latar belakang prestasi,

potensi dan nama baik yang sama

f. Keadilan sebagai kesamarataan hak bagi tiap warga untuk mendapat

perhatian dari pemerintah

g. Keadilan sebagai kesamarataan dalam kebebasan berpikir, berpendapat dan

bertindak sepanjang tidak merugikan orang lain.

h. Keadilan sebagai kesamarataan dalam kedudukan tiap orang dimuka hukum

tanpa memandang latar belakang suku, agama, golongan dan lain-lain

i. Keadilan sebagai kesama-rataan nasib dalam bernegara

j. Keadilan adalah keserasian antara proteksi hukum dan restriksi hukum.

2.17Kerangka PemikiranDalam setiap transaksi ekonomi baik atas barang maupun jasa kena

pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak, berdasarkan Substractive

Indirect Method / Invoice Method / Credit Method dianjurkan atau diwajibkan

untuk membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan tersebut. Faktur Pajak

disini sebagai bukti pungut pajak, hal ini juga berfungsi sebagai salah satu alat

pendukung transaksi dan alat pengkreditan antar Faktur Pajak Masukan dan

Faktur Pajak Keluaran.

Timbulnya sengketa pajak pada dasarnya disebabkan karena adanya

koreksi yang dilakukan oleh fiskus yang tidak disetujui oleh Wajib Pajak, dalam

hal ini sengketa yang berkaitan dengan faktur pajak tidak lengkap atau cacat

disebabkan dari hasil pengujian secara fisik atas kondisi faktur pajak apakah

sudah sesuai dengan yang dipersyaratkan didalam Undang Undang Pajak

Pertambahan Nilai, sehingga bagi pengusaha kena pajak yang berperan sebagai

pembeli didalam suatu transaksi barang atau jasa kena pajak yang menerima

Faktur Pajak yang tidak sesuai dengan Undang Undang Pajak Pertambahan

Nilai akan menerima akibatnya, yaitu atas faktur pajak cacat yang telah dilakukan

pengkreditan terhadap faktur pajak keluarannya akan terkena koreksi yang

47Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

berakibat menjadi kurang bayar ditambah sanksi administrasi berupa bunga atau

sanksi administrasi berupa denda kenaikan 100% dari kurang bayar. Bila dilihat

dari siapa yang mempunyai kesalahan terbesar antara yang menjalankan

transaksi, maka jawabnya adalah pembuat faktur pajak, sedangkan kerugian

terbesar ditanggung oleh pembeli yaitu berupa kurang bayar atas faktur pajak

yang sudah diperhitungkan tidak bisa dikreditkan serta ditambah sanksi

administrasi berupa denda bunga atau denda kenaikan 100%.

Persengketaan akibat dari Faktur Pajak cacat diselesaikan dengan

pengajuan permohonan keberatan tentunya didahului dengan persyaratan formal

keberatan. Bila pada keputusan keberatan tidak memuaskan atau tidak sesuai

dengan harapan keadilan maka pihak Wajib Pajak bisa mengajukan permohonan

banding di Badan Peradilan Pajak yaitu Pengadilan Pajak, tentunya ditingkat

banding juga terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan formal. Terakhir dari

usaha Wajib Pajak adalah mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali ke

Mahkamah Agung.

Dalam permasalahan Faktur Pajak cacat ini bukan hanya Wajib Pajak

yang menderita kerugian terbesar akan tetapi negara juga dapat menderita

kerugian yang besar pula, hal ini dapat terjadi apabila pada tingkat keputusan

keberatan, pengadilan pajak sampai dengan peninjauan kembali ke Mahkamah

Agung apabila keberatan / banding /gugatan / peninjauan kembali Wajib Pajak

dikabulkan maka untuk kelebihan pembayaran yang telah dibayarkan oleh Wajib

Pajak wajib dikembalikan ditambah imbalan bunga dimana imbalan bunga

tersebutlah yang merupakan kerugian bagi negara.

Hasil pemeriksaan oleh fiskus, keputusan keberatan sampai dengan

keputusan Badan Peradilan Pajak dalam menanggapi permasalahan Faktur

Pajak cacat masing-masing beda sedangkan hukum materinya satu atau sama,

dan akan tetapi dapat menimbulkan kerugian baik bagi Pengusaha Kena Pajak

maupun bagi negara sehingga hal tersebut perlu dilakukan suatu pengkajian

ilmiah.

Gambar 2.1

Kerangka Pemikiran

48Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

Pengusaha Kena Pajak

Direktorat Jenderal Pajak Hasil

Pemeriksaan

Koreksi Faktur Pajak

Pemeriksaanan

Keberatan

Banding ke Pengadilan Pajak

Peninjauan Kembali Mahkamah Agung

Sengketa

sengketa

sengketa

Kerugian Negara

Dikabulkan

Dikabulkan

49Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

Dikabulkan

2.18Metode Penelitian2.18.1 Pendekatan Penelitian

Dalam menganalisis dan membahas permasalahan yang dikemukakan

pada pokok permasalahan, penulis menggunakan metode kualitatif. Maksud

metode ini bersifat diskriptif analisis artinya pembahasan lebih diarahkan pada

penguraian dan penggambaran kondisi atas objek yang diteliti yang berkaitan

dengan faktur pajak cacat dan mekanisme pengkreditan pajak masukan

terhadap pajak keluaran dan dibandingkan dengan kasus kasus yang telah

diputus oleh Badan Peradilan Pajak.

Pemilihan tipe ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam

membahas tesis pembahasan lebih diarahkan pada penguraian dan

penggambaran kondisi atas objek yang diteliti yang berkaitan dengan Faktur

Pajak cacat dan mekanisme pengkreditan pajak masukan terhadap pajak

keluaran, khususnya mengenai faktur pajak cacat sesuai Undang-Undang Pajak

Pertambahan Nilai yang berlaku di Indonesia.

2.18.2 Jenis PenelitianJenis penelitian yang dipakai adalah analisa deskriptif. Menurut Moleong

didalam bukunya Metedologi Penelitian Kulitatif (2008) menjelaskan metode

deskriptis analitis adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena

50Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian secara holistik dan dengan cara

deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang

alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode kualitatif

2.18.3 Metode dan Strategi Penelitian.

A. Teknik pengumpulan DataPengumpulan data dalam penulisan tesis ini paling utama

melalui studi kepustakaan (library research) dengan membaca

Putusan Badan Peradilan Pajak yang berkaitan dengan Faktur Pajak

cacat beserta hasil pemeriksaan oleh fiscus, uraian pemandangan atas

keputusan keberatannya, literature, berbagai paper dan penulisan,

majalah, artikel di media masa, bahan-bahan kuliah dan peraturan

perpajakan tentang pengenaan Pajak Pertambahan Nilai baik secara

umum maupun khusus yang berkaitan dengan Faktur Pajak Cacat. Hal

itu dilakukan untuk mendapatkan kerangka teori dalam penentuan arah

dan tujuan penelitian serta mencari konsep-konsep dan bahan-bahan

yang sesuai dengan permasalahan dalam tesis ini.

B. Studi Kepustakaan Penelitian ini dilakukan dengan membaca dan mengkajii berbagai

literatur sebagai kajian pustaka yaitu berupa buku buku karya ilmilah,

peraturan-peraturan, putusan-putusan, buletin, jurnal dan lain

sebagainya yang berkaitan dengan pokok permasalahan

2.18.4 Teknik Analisis DataAnalisis data yang dilakukan dengan menngunakan comparing

methods dengan model ideal types yaitu model yang digunakan untuk

perbandingan antara kenyataan dengan teori ideal47

Proses analisis data48 diawali dengan pengumpulan data melalui

pengumpulan data putusan dan kajian pustaka kemudian dituangkan secara

tertulis (transkrip data) yang selanjutnya disederhanakan dengan pembentukan

47 Neuman, W. Lawrence Social Research Method : Qualitative and Quantitative Approach 3rd, Boston : Allyn and Bacon 1991, hal 450.

48Prasetya Irwan, Penelitin Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta : DIA Fisip UI 2006, hal. 63

51Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

Pengumpulan Data Mentah

Penyimpulan Sementara

Pembuatan Koding

Triangulasi Penyimpulan Akhir

Pengumpulan Data Mentah

Transkrip Data

kategorasi data. Setelah itu dilakukan penyimpulan sementara kemudian

dilakukan proses triangulasi data yaitu proses check dan recheck antara suatu

sumber data dengan sumber yang lainnya. Proses analisis ini diakhiri dengan

kesimpulan akhir.

Gambar 2.2

Proses Analisis Data

2.18.5 Keterbatasan PenelitianBatasan atau ruang lingkup penelitian ditujukan kepada keberadaan

Faktur Pajak tidak lengkap atau cacat yang tidak sesuai dengan Undang-Undang

Pajak Pertambahan Nilai, sehingga akan berakibat mekanisme rantai

pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran jadi terputus.

52Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.