bab ii tinjauan pustaka dan metode penelitian
TRANSCRIPT
BAB IITINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN
2.1Pengetahuan Dasar Perpajakan
2.1.1 Pengertian PajakPengertian atau definisi pajak ada berbagai macam, namun dalam Karya
Akhir ini tidak akan diuraikan pengertian manakah diantara yang berbagai
macam itu yang lebih tepat daripada yang lain. Akan lebih bermanfaat kiranya
bila dilakukan peninjauan dan uraian terhadap hal-hal penting yang dirumuskan
dalam beberapa diantara pengertian pajak, yang salah satu pengertian itu
dinyatakan oleh Adriani yang berbunyi sebagai berikut: 5
“ Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”
Dalam definisi ini titik berat diletakkan pada fungsi budgetair dari pajak,
sedangkan pajak masih mempunyai fungsi mengatur. Dalam pengertian diatas
yang dimaksud dengan tidak mendapat prestasi kembali dari negara ialah
prestasi khusus yang erat hubungannya dengan pembayaran iuran itu. Prestasi
dari negara, seperti hak untuk mempergunakan jalan-jalan umum, perlindungan
dan penjagaan dari polisi atau tentara, sudah barang tentu diperoleh oleh para
pembayar pajak itu, tetapi hal tersebut diperoleh tidak secara individual dan tidak
ada hubungannya langsung dengan pembayaran itu. Bukti dari pernyataan
tersebut adalah orang yang tidak membayar pajak pun dapat pula menikmati
fasilitas yang disediakan oleh negara.
Sebagai suatu perbandingan akan diuraikan pengertian pajak menurut
Soemitro6 adalah sebagai berikut:5 Brotodihardjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung, PT Eresco, 1988
halaman. 2.6 Ibid, halaman. 5.
10Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
Pengertian pajak yang kemudian dipertahankan (sebagai koreksi dari
bagian pertama dari pengertian semula) dapat disimpulkan dari uraian dalam
bukunya yang berjudul Pajak dan Pembangunan, pengertian tersebut kurang
lebih berbunyi sebagai berikut:
Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara
untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplus-nya digunakan untuk public
saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pajak adalah:
a. dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya;
b. bersifat dapat dipaksakan, sehingga pelanggaran atas peraturan
perpajakan dapat dikenakan sanksi. Artinya jika Wajib Pajak tidak
melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak, maka
pemerintah dapat melakukan upaya paksa dengan mengeluarkan
surat paksa bagi Wajib Pajak agar melunasi utang pajaknya;
c. atas pembayarannya tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
secara langsung oleh pemerintah;
d. dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah. Penghasilan negara dari pajak ini akan
dipertanggungjawabkan kepada rakyat, melalui mekanisme kontrol
setiap tahun, yang dikenal dengan nama Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD), karenanya pungutan pajak tidak boleh dilakukan
oleh pihak swasta yang berorientasi mendapat keuntungan;
e. pajak akan digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah,
serta digunakan untuk membiayai public investment jika masih
terdapat surplus setelah digunakan untuk membiayai pengeluaran
pemerintah.
11Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
2.1.2 Kriteria Dalam Pemilihan Struktur PajakDi abad delapanbelas, Smith7 mengidentifikasi aturan perpajakan (canons
of taxation) dalam bukunya, “An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth
of Nations”, yang turut dipertimbangkan saat mengevaluasi struktur pajak
tertentu, yaitu:
a. Equality on Taxation, mensyaratkan bahwa hukum pajak haruslah adil,
merata, dan tidak diskriminasi dalam menetapkan objek pajak, dan
pembebanan kepada masing-masing subjek pajak hendaknya seimbang
dengan kemampuannya. Dalam perkembangannya prinsip keadilan dalam
suatu sistem pajak diukur berdasar prinsip manfaat (benefit principle) yang
diterima oleh masyarakat Wajib Pajak (ability to pay principle).
Berdasar kedua prinsip keadilan dalam pembebanan pajak tersebut,
keadilan pajak diperinci lebih lanjut menjadi keadilan horizontal (horizontal
equity) dan keadilan vertikal (vertical equity). Keadilan horizontal
menganjurkan bahwa terhadap objek pajak yang sama dan terhadap Wajib
Pajak yang mempunyai kemampuan yang sama harus dibebani pajak yang
sama pula, sedangkan keadilan vertikal memandang suatu pembebanan
pajak yang adil bilamana terhadap Wajib Pajak yang mempunyai kekayaan
dan kemampuan lebih besar harus dibebani pajak lebih daripada Wajib
Pajak pada umumnya. Proporsi keadilan pajak yang pertama menghasilkan
kebijakan tarif proporsional (single flat rate), dan proporsi keadilan pajak
yang kedua menghasilkan tarif pajak progresif (differential-progresive rate).
b. Certainty on Taxation, asas kepastian hukum dalam perpajakan
sebenarnya berlaku pula secara universal dalam bidang hukum lainnya.
Aturan hukum pajak harus secara jelas dan pasti mengatur tentang apa
yang menjadi objek pajak, siapa yang menjadi subjek pajak, berapa tarif
yang berlaku, bagaimana cara menghitung dan membayarnya, kapan batas
waktu jatuh tempo pembayaran dan pelaporannya, dan regulasi lain yang
diperlukan, sehingga tidak ada celah dan peluang untuk mengelakkan diri
dari pajak, menyelundupkan pajak, serta tidak mengenal kompromi.
Masalah kepastian hukum dan transparansi dalam regulasi perpajakan
7 Sudjarwadi, Djangkung, “Implikasi Kebijakan Pajak dan Retribusi Daerah Untuk Menunjang Pelaksanaan Otonomi Daerah” , Majalah Berita Pajak, edisi 1496, 2003, halaman. 39.
12Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
menjadi sangat penting bagi seluruh pelaku ekonomi sesuai dengan prinsip
self-assessment dalam perpajakan, dan meningkatkan daya saing
pengusaha nasional dalam forum ekonomi global.
c. Convenient of Payment, menyarankan agar pembayaran pajak dipungut
pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat, yang paling sesuai dan
menyenangkan bagi Wajib Pajak pada umumnya. Dalam perkembangan
praktek administrasi perpajakan, baik di negara maju maupun di negara
berkembang dengan aspek jaminan pengamanan keuangan negara,
dikenal sistem Witholding Tax, Pay as You Earn (PAYE), Pay as You Go,
dan berbagai sistem pengenaan pajak secara final.
d. Efficient of Collection, menyatakan bahwa pemungutan pajak harus
dilakukan dengan cara efisien, dengan biaya administrasi yang hemat bagi
aparat pajak, dan biaya kepatuhan yang murah bagi Wajib Pajak. Prinsip
efisiensi ini juga berlaku umum bagi semua kegiatan pemerintah untuk
pelayanan publik, terlebih lagi untuk para pelaku ekonomi di semua lapisan
dan semua sektor.
Sebagai pengembangan dari asas-asas pemungutan pajak yang
dikanonkan oleh Adam Smith, seorang pakar ilmu keuangan negara, Musgrave8,
memberikan beberapa kriteria tambahan yang melengkapi The Four Maxims-nya
Adam Smith, setelah memperoleh data kajian empiris dari berbagai sistem
keuangan negara modern yang berasaskan negara kesejahteraan (welfare
state), mensyaratkan adanya tujuh kriteria struktur pajak yang baik, yaitu:
a. Hasil penerimaan pajak yang harus cukup besar
Kriteria pemilihan suatu pajak yang dipungut oleh suatu negara di berbagai
tingkat pemerintah harus mampu menghasilkan penerimaan pajak (tax
8 Musgrave A. Richard & Musgrave B. Peggy , Public Finance in Theory and Practice. Singapore, McGraw-Hill Book Company. 1989
13Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
yield) yang cukup besar. Hal ini adalah logis bahwa fungsi utama pajak
adalah fungsi budgeter, untuk menghasilkan uang bagi negara.
b. Distribusi beban pajak harus adil
Penentuan suatu jenis pajak harus mempertimbangkan struktur pajak yang
ada dalam suatu negara secara keseluruhan, merupakan satu kesatuan
sistem yang saling melengkapi sehingga terhindar dari pembebanan pajak
berganda dan juga mampu mengenakan pajak pada setiap warga negara
sesuai dengan kemampuannya.
c. Tax incidence harus tepat
Pemilihan suatu jenis pajak yang baik tidak hanya mengatur subjek pajak,
objek pajak, tarif pajak, dan perbuatan, transaksi, keadaan, atau peristiwa
apa yang menimbulkan utang pajak (taatsbestand), tetapi yang lebih utama
adalah menentukan siapa sebenarnya yang paling material menanggung
beban pajak (tax incidence). Pajak yang baik adalah seminimal mungkin
membebani masyarakat berpenghasilan rendah dan lebih banyak
memberikan beban pajak kepada golongan masyarakat yang lebih kaya.
d. Tidak memberikan efek distorsi pada aktivitas ekonomi.
Suatu pajak yang baik dapat menghindarkan atau meminimalkan distorsi
terhadap keputusan dalam aktivitas ekonomi, sehingga dapat menunjang
pasar yang efisien. Sifat non distorsi dari suatu pajak selain pemilihan objek
pengenaan pajaknya harus memperhitungkan tingkat elastisitas dari
transaksi kena pajak atau peritiwa kena pajak, juga dengan penentuan tarif
nominal yang sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan dead weight
loss.
e. Menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi
Penerapan suatu pajak yang baik tidak membebani terhadap capital
investment, sehingga mendorong kegiatan investasi langsung baik dari
dalam maupun luar negeri. Pajak atas konsumsi harus diterapkan
sedemikian rupa agar dapat dicegah “lock in effect” dan menunjang
peningkatan transaksi perdagangan semua komoditas yang seimbang
14Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
antara konsumsi dalam negeri dengan transaksi untuk ekspor. Begitu pula
tarif pajak diupayakan tidak mengurangi minat pemilik modal untuk
menyimpan uang di bank dan berinvestasi di bursa atau reksadana.
f. Regulasi yang jelas, sederhana, dan mudah dipahami Wajib Pajak
Penyederhanaan peraturan perundang-undangan perpajakan telah menjadi
kecederungan bagi reformasi perpajakan di seluruh dunia, utamanya di
negara-negara yang sedang berkembang. Peraturan pajak yang sederhana
dan jelas akan mudah dipahami oleh Wajib Pajak dan diharapkan Wajib
Pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik,
sekaligus dapat mencegah terjadinya korupsi dan kolusi dengan aparat
pajak dan pihak ketiga lainnya, sehingga penerimaan pajak dapat berjalan
baik karena mendapat dukungan sukarela masyarakat.
g. Biaya administrasi seefisien mungkin
Dengan peraturan yang jelas dan sederhana, disediakannya seluruh
informasi peraturan perpajakan secara transparan dan dapat diakses oleh
publik akan memungkinkan pelaksanaan pembayaran pajak dengan biaya
minimum.
2.1.3 Pengelompokan Pajak9
a. Menurut golongannya
1). Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib
Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang
lain. Secara administrasi, pajak ini berkohir dan dikenakan secara
berulang-ulang pada waktu tertentu (periodik) misalnya setiap
tahun. Contoh pajak langsung ini adalah Pajak Penghasilan dan
Pajak Bumi dan Bangunan.
2). Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Secara
administrasi, pajak ini tidak berkohir dan tidak dikenakan secara
periodik (berulang-ulang), tetapi dikenakan hanya bila terjadi hal-
9 Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta , PT. Andi, 2003 halaman. 5-6
15Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
hal atau peristiwa yang dikenakan pajak. Contohnya adalah Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah.
b. Menurut sifatnya
1). Pajak Subjektif, yaitu pajak yang memperhatikan pertama-tama
keadaan pribadi Wajib Pajak untuk menetapkan pajaknya harus
ditemukan alasan-alasan yang objektif yang berhubungan dengan
keadaan materialnya, yaitu yang disebut daya pikulnya. Contoh
pajak ini adalah Pajak Penghasilan. Hubungan antara pajak dan
Wajib Pajak (subjek pajak) adalah langsung oleh karenanya
besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar tergantung
kepada daya pikulnya, pada pajak-pajak subjektif ini keadaan
pribadi Wajib Pajak sangat mempengaruhi besar kecilnya jumlah
pajak yang terutang. Contohnya adalah Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP).
2). Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contohnya adalah Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah.
c. Menurut lembaga pemungutnya
1). Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contohnya
adalah Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak
Penjualan Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea
Materai.
2). Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak
daerah terdiri dari pajak propinsi seperti Pajak Kendaraan
Bermotor, Pajak Kendaraan di atas Air, Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor dan pajak kabupaten/kota seperti Pajak
Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak
Penerangan Jalan.
16Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
2.1.4 Teori-teori yang Mendukung Pemungutan Pajak10
Atas dasar apakah negara mempunyai hak untuk memungut pajak?
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi
pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut
antara lain adalah:
a. Teori Asuransi
Menurut teori ini negara berhak memungut pajak karena negara bertugas
untuk melindungi orang dan segala kepentingannya, keselamatan, dan
keamanan jiwa juga harta bendanya. Pembayaran disamakan dengan
pembayaran premi, seperti halnya perjanjian asuransi, maka untuk
perlindungan diperlukan pembayaran berupa premi. Namun perbandingan
dengan perusahaan asuransi ini dirasa tidak tepat karena dalam hal timbul
kerugian, tidak ada suatu penggantian dari negara dan antara pembayaran
pajak dengan jasa yang diberikan oleh negara tidak terdapat hubungan
yang langsung. Teori ini tetap dipertahankan sekadar untuk memberi dasar
hukum kepada pemungutan pajak saja, tetapi karena pincangnya
persamaan tersebut akhirnya menimbulkan ketidakpuasan ditambah ajaran
bahwa pajak bukanlah retribusi, sehingga lambat laun teori ini mulai
berkurang penganutnya.
b. Teori Kepentingan
Menurut teori ini negara memungut pajak karena negara melindungi
kepentingan jiwa dan harta benda warganya. Teori ini memperhatikan
pembagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduk.
Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan orang masing-
masing dalam tugas-tugas pemerintah (yang bermanfaat baginya),
termasuk juga perlindungan atas jiwa beserta harta bendanya, maka sudah
selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk
menunaikan kewajibannya dibebankan kepada Wajib Pajak.
Terhadap teori ini banyak yang menyanggah karena dalam ajarannya pajak
dikacaukan dengan retribusi. Untuk kepentingan yang lebih besar terhadap
harta benda yang lebih banyak harganya daripada harta si miskin harus 10 Sofiandi, Materi Pokok Pengantar Hukum Pajak, Departemen Keuangan RI, Badan
Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perpajakan, Jakarta, 2003 halaman 38-40.
17Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
membayar pajak lebih besar, padahal mungkin si miskin mempunyai
kepentingan yang lebih besar dalam hal tertentu, misalnya dalam
perlindungan yang termasuk jaminan sosial, sehingga sebagai
konsekuensinya harus membayar pajak lebih banyak, dan inilah suatu hal
yang bertentangan dengan kenyataan. Untuk mengambil tingkat
kepentingan seseorang dalam usaha pemerintah sebagai ukuran, sejak
dahulu belum ada alat pengukurnya, sehingga sulit sekali dapat ditentukan
dengan tegas. Makin lama teori inipun ditinggalkan.
c. Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti
Teori ini berdasarkan atas paham Organische Staatsleer, diajarkan bahwa
justru karena sifat negara inilah maka timbullah hak mutlak untuk
memungut pajak. Orang-orang tidaklah berdiri sendiri tetapi membentuk
persekutuan dan persekutuan itu menjelma menjadi negara serta berhak
atas satu dan lainnya. Sejak berabad-abad hak ini telah diakui dan orang-
orang selalu menyadarinya sebagai kewajiban untuk membuktikan tanda
baktinya terhadap negara dalam bentuk pembayaran pajak.
d. Teori Asas Daya Beli
Teori ini tidak mempersoalkan asal mula negara memungut pajak, namun
hanya melihat kepada efeknya dan dapat memandang efek yang baik itu
sebagai dasar keadilannya. Menurut teori ini fungsi pemungutan pajak
dapat disamakan dengan pompa yang mengambil daya beli dari rumah
tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara dan kemudian
menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara
hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu.
e. Teori Daya Pikul
Teori ini menganut bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada
jasa-jasa yang diberikan negara pada warganya, yaitu perlindungan atas
jiwa dan harta benda. Untuk keperluan ini diperlukan biaya-biaya yang
dipikul oleh orang-orang yang menikmati perlindungan itu berupa pajak.
18Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
Pokok pangkal teori ini adalah asas keadilan, yaitu tekanan pajak harus
sama berat untuk setiap orang. Pajak harus dipikul menurut daya pikulnya
dan sebagai ukuran dapat dipergunakan selain besarnya penghasilan dan
kekayaan juga pengeluaran atau pembelanjaan seseorang. Selain itu,
kekuatan untuk menyerahkan uang kepada negara baru ada setelah
dikurangi dengan kebutuhan minimum yang diperlukan untuk
kehidupannya.
2.1.5 Kedudukan Hukum Pajak11
Hukum Pajak mempunyai kedudukan diantara hukum-hukum sebagai
berikut :
a. Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan
individu lainnya
b. Hukum Publik , mengatur hubungan antara pemerintah dengan
rakyatnya. Hukum ini dapat dirinci lagi sebagai berikut:
• Hukum Tata Negara
• Hukum Tata Usaha / Hukum Administrtatif
• Hukum Pajak
• Hukum Pidana
Dari pengertian tersebut, kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari
hukum publik.
Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku
pemungut pajak dengan rakyat sebagai Wajib Pajak, ada dua macam
hukum pajak 12 yaitu :
• Hukum Pajak Materiil, memuat norma-norma yang menerangkan
antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak
(obyek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subyek pajak), berapa
besar pajak yang dikenakan/tarif, segala sesuatu tentang timbul dan
hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan
Wajib Pajak. 11 Brotodihardjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung, PT Eresco, 1988
halaman 10-1112Waluyo dan Wirawan B. Illyas, Perpajakan Indonesia, Penerbit Salemba Empat, Jakarta,
halaman 6
19Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
Contoh : Undang Undang Pajak Penghasilan, Undang Undang Pajak
Pertambahan Nilai, Undang Undang Pajak Bumi dan
Bangunan dan lainnya
• Hukum Pajak Formil, memuat bentuk/tata-cara untuk mewujudkan
hukum materiil menjadi kenyataan. Hukum ini memuat antara lain:
a). Tata cara penyelenggaraan /prosedur penetapan suatu utang
pajak
b). Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para
Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang
menimbulkan utang pajak.
c). Kewajiban Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan,
pencatatan, pelaporan, sedangkan hak Wajib Pajak mengajukan
permohonan keberatan, pengurangan sanksi administrasi dan
banding.
Contoh : Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
2.2 Pajak Atas Konsumsi
Sebelum dikenal istilah Pajak Pertambahan Nilai, terlebih dahulu dikenal
istilah Pajak Penjualan. Menurut Musgrave ada persamaan antara pajak
penjualan dan pajak penghasilan, yaitu13:
“Bahwa keduanya dikenakan terhadap arus yang dihasilkan dalam output produksi saat itu. Tetapi Pajak Penghasilan dikenakan pada sisi penjual pada transaksi faktor produksi, sementara pajak penjualan dikenakan disisi penjual dari transaksi produk atau barang/jasa”
Berdasarkan pendapat di atas perbedaan pajak penjualan dengan pajak
penghasilan adalah pada pembebanannya, sama-sama dikenakan pada seorang
13 Musgrave A. Richard & Musgrave B. Peggy , Public Finance in Theory and Practice. Singapore, McGraw-Hill Book Company. 1989, page 423
20Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
Wajib Pajak tetapi dari sisi yang berbeda. Pajak Penghasilan pada saat
diperolehnya pcnghasilan dari tansaksi faktor produksi dan pajak pcnjualan pada
transaksi barang dan jasa.
Pakar lain yang menyumbangkan pendapatnya adalah Due yang
membedakan pajak atas konsumsi menurut sudut pendekatannya menjadi dua,
yaitu 14:
a.Pendekatan Langsung - pajak atas pengeluaran (expenditure tax), yaitu pajak
yang berlaku bagi seluruh pengeluaran untuk konsumsi yang merupakan hasil
penjumlahan seluruh penghasilan dikurangi pengeluaran untuk tabungan dan
pembelian aktiva.
b.Pendekatan Tidak Langsung atau pendekatan pajak komoditi, yaitu pajak yang
dikenakan atas penjualan komoditi yang dipungut terhadap pengusaha yang
melakukan penjualan. Pajak ini kemudian dialihkan kepada pembeli selaku
pemikul beban pajak.
Berdasarkan tingkat pengenaannya, pajak atas konsumsi, khususnya pajak
penjualan, pajak peredaran dan Pajak Pertambahan Nilai, menurut Terra dapat
dibedakan ke dalam dua tingkat pengenaan, yaitu15: Single Stage Tax dan Multi
Stage Tax, yang masih dapat dibedakan menjadi dua lagi, yaitu a dual stage tax
dan an all stage tax. Single Stage Tax, yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang
pengenaannya dilakukan hanya pada salah satu mata rantai jalur produksi atau
jalur distribusi. Distribusi dari suatu barang dilakukan dengan tiga tahap hingga
sampai ke tangan konsumen, yaitu pabrikan, pedagang besar, dan pcdagang
eceran. Dalam hal ini pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (sesuai dengan
kebijakan pemerintah dan peraturannya) dilakukan hanya satu mata rantai saja,
yaitu dapat di pabrikan saja, di pedagang besar saja, atau di pedagang eceran
saja.
Multi Stage Tax, yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang pengenaannya
dilakukan beberapa kali sepanjang mata rantai jalur distribusi (pabrikan,
14 Due, John F., and Friedlaender, Ann F., Government Finance. 7th Edition., Richard D.Irwin, Inc., New York, 1981, page-332
15Terra Ben. Sales Taxation, The Case of Value Added Tax in The European Community, Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer, Netherlands, 1988 page-29.
21Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
pedagang besar, dan pedagang eceran). Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
dalam beberapa tahap (Multi Stage Tax) menyebabkan terjadinya perhitungan
nilai tambah sebagai dasar pengenaan pajak di setiap tahap distribusi. Sesuai
dengan mekanisme yang berlaku, setiap pembelian atau perolehan barang yang
digunakan untuk kegiatan perusahaan, Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan
akan merupakan Pajak masukan (input tax), sedangkan atas barang yang dijual
Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan merupakan Pajak Keluaran (output
tax). Untuk menghindari cascade efftets dalam menghitung Pajak Pertambahan
Nilai yang bersumber dari nilai tambah, Pajak Keluaran dikurangi dengan Pajak
Masukan.
2.3 Pajak Pertambahan NilaiPajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah suatu jenis pajak tidak langsung
yang dikenakan atas nilai tambah(added value) dari suatu barang atau jasa yang
ditransaksikan atau diserahkan. Dalam Undang Undang Pajak Pertambahan
Nilai praktis tidak dijumpai mengenai apa yang dimaksud dengan Pajak
Pertambahan Nilai, yang ada hanyalah menegani tatacara pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai. Hakekat dan pengertian Pajak Pertambahan Nilai dapat
dijumpai pada literatur-literatur tentang Pajak Pertambahan Nilai menurut
pengertian yang diberikan oleh para penulisnya, antara lain :
a. Alan A Tait
“ A tax on Value Added is, briefly, a tax levied on business on the value they add to their purchases of raw materials and goods and services16”
dalam bukunya yang lain menyatakan :
“ Value added is the value that a producer (Whether a manufacturer, distributor, advertising agent, hairdresser, farmer, race horse trainer, or circus owner) adds to his raw materials or purchase (other than labour) before selling the new or improved product or services. That is the input (the raw materials, transport, rent, advertasing, and so on) are bought, people are paid wages to work on
16Tait, A Alan , Value Added Tax,Mc, Graw-Hill Company(UK) Limities, Maidenhead Berkshire, England, 1972.page-2
22Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
these input and, when the final good or services is sold, some profits left17 ”
b. Henry J. Aaron
“ Value Added is the differnce between the value of firm’s sales and the value of the purchased material inputs used in producing goods sold.Value adde is also equal to the sum of the wages and salaries, interest payment, and profit before tax earned by a firm18 “
c. Michael Veseth
“ Nilai Tambah adalah ukuaran dari hasil kegiatan ekonom dan penghasilan. Ini digambarkan oleh perbedaan antara nilai pembelian dengan penjualan19 “
d. Ben Terra
“ Sales taxation can be levied in various ways, for example, in a direct way, or in indirect way as a retail sales tax or as a value added tax20 “
2.4 Metode Pengenaan Pajak Pertambahan NilaiDari pengertian diatas terlihat bahwa nilai tambahan bersumber dari
adanya kegiatan ekonomi seperti terjadinya transaksi jual beli barang dan jasa,
sewa menyewa dan lainnya. Dimana hasil akhir dari transaksi tersebut secara
kumulatif akan diperoleh nilai tambah (added value). Secara umum nilai tambah
dapat dirumuskan dengan persamaan yaitu21 :
1. value added = wages + profits
2. value added = output - input
Dalam persaman (1) tersebut terlihat komponen nilai tambah dari sisi
penjumlahan (additive), yaitu upah (wages) dan keuntungan (profits). Dalam
17Tait, Alan A., Value Added Tax International Practice and Problems, IMF, Washington D.C 1988 page-4.
18Aron Henry., VAT-Experinces of some European Countries, Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer, Netherlands, 1982, page-14.
19Veseth, Michael, Public Finance, Reston Publishing Company, Virginia, 1994 page-287.20Terra Ben. Sales Taxation, The Case of Value Added Tax in The European Community,
Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer, Netherlands, 1988 page-4.21 Ros iana, Haula dan Tar igan, Rasin, Perpajakan Teor i dan Apl ikas inya .
PT.Raja Graf indo Persada, Jakar ta ,2005 h lm 215
23Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
suatu perusahaan besarnya komponen nilai tambah umunya telah dapat
diperkirakan, ketika perusahaan hendak menyusun rencana kegiatan dalam satu
tahun akan ditetapkan besarnya upah begi karyawan dan buruh (misalnya
mengikuti dengan upah yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam Upah
Minimum Regional atau juga yang telah ditetapkan dilan Rapat Umum
Pemegang Saham). Hal yang sama juga telah dilakukan atas tingkat keuntungan
(profit margin) yang diharapkan oleh perusahaan akan diperoleh dalam kurun
waktu yang dimaksud, sehingga dalam jangka waktu satu tahun dapat diprediksi
besarnya nilai tambah yang akan dicapai, yang pada akhirnya mempengaruhi
harga jual barang dan jasa.
Didalam persamaan (2) tidak terlihat komponen yang ada dalam nilai
tambah melainkan cukup dengan mengurangkan (substractive) harga akhir
(output) terhadap harga perolehan (input). Untuk memperoleh angka input dan
output ini harus didukung dengan ketersediaan dan tersajinya dokumen
penjualan (output) dan dokumen pembelian/perolehan (input) secara lengkap
untuk setiap kurun waktu
Berdasarkan formula tersebut yang dikaitkan dengan besarnya tarif pajak
yang berlaku, maka terdapat variasi formula dasar untuk menghitung Pajak
Pertambahan Nilai, yaitu22:
a. The Additive MethodDengan cara menghitung pertambahan nilai beli barang/jasa, sedangkan
pencatatan atau pembukuan yang dibutuhkan adalah mengenai gaji/upah
(wages) serta keuntungan /laba (profit) dan biaya.
Untuk metode ini dapat dihitung dengan 2 (dua) macam cara:
1. The Additive Direct/ Account MethodPengenaan pajak dihitung langsung dari penambahan nilainya.
Rumus : Pajak Pertambahan Nilai = tarif (upah + keuntungan)
2. The Additive Indirect Method
22 Tait, A Alan , Value Added Tax,Mc, Graw-Hill Company(UK) Limities, Maidenhead Berkshire, England, 1972.page-4
24Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
Pengenaan pajak dihitung bukan langsung dari penambahan nilainya
tetapi dari komponen pertambahan nilai.
Rumus : Pajak Pertambahan Nilai = tarif (upah) + tarif (keuntungan)
b. The Substractive MethodDengan cara mengurangkan nilai beli barang/jasa terhadap nilai jual
barang/jasa yang komponennya berasal dari barang/jasa tersebut, sedangkan
pencatatan atau pembukuan yang dibutuhkan adalah mengenai pembelian,
penjualan dan persediaan dari barang/jasa.
Untuk metode ini dapat dihitung dengan 2 (dua) macam cara:
1. The Substractive Direct MethodPengenaan pajak dihitung langsung dari selisih nilai jual terhadap nilai
beli. Disebut direct karena masih berdasarkan pembukuan atau catatan.
Rumus : Pajak Pertambahan Nilai = tarif (output - input)
2. The Substractive Indirect Method/ Invoice Method/Credit Method
Pengenaan pajak dihitung dari selisih pajak nilai jual terhadap pajak nilai
beli. Dikatakan substractive indirect method karena penghitungannya
tidak lagi berdasarkan pembukuan atau catatan melainkan berdasarkan
faktur, sehingga disebut juga invoice method. Jadi indirect menjelaskan
penghitungan pertambahan nilai terjadi secara tidak langsung yaitu
dengan mengurangkan nilai faktur pembelian terhadap nilai faktur
penjualan secara berkesinambungan dari suatu periode berikutnya.
Selain itu dikenal dengan nama credit method karena di dalamnya
terdapat mekanisme pengkreditan pajak.
Rumus: Pajak Pertambahan Nilai = tarif (output) – tarif (input)
2.5Karakteristik Pajak Pertambahan NilaiDibanyak negara Pajak Pertambahan Niali (PPN) terpilih sebagai
penggati pajak Penjualan karena memiliki beberapa karekteristik positif. Terra
mengemukakan bahwa :
“ Karakteristik Pajak Pertambahn Nilai secara umu antara lain
25Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
adalah General Tax On Consumption, Indirect Method, Neural, dan Non Cumulative23”
Apabila dikaitkan dengan karakteristik Pajak Pertambahan Nilai yang
berIaku di Indonesia, maka karakteristik positif tersebut diatas dapat dijabarkan
lebih lanjut dengan penjelasan sebagai berikut:
A. General Tax on Consumption
Tujuan akhir Pajak Pertamhahan Nilai sebagai pajak atas konsumsi
adalah mengenakan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi baik yang dilakukan
oleh perseorangan maupun oleh badan baik swasta maupun badan Pemerintah.
Konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pastilah akan mengkonsumsi
barang dan jasa, karena dua hal ini merupakan alat pemuas kebutuhan manusia.
Maka dapatlah dipastikan bahwa Pajak Pertambahan Nilai akan dikenakan pada
setiap kegiatan mengkonsumsi baik konsumsi atas barang maupun jasa. Hal ini
menjelaskan satu hal bahwa Pajak Pertambahan Nilai merupakan pemajakan
pada setiap kegiatan konsumsi tanpa memandang perbedaan barang dan jasa.
B.Indirect Tax
Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tidak Langsung. Karakter ini
memberikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban akhir pajak
(destinataris pajak) dengan pcnanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas
negara berada pada pihak yang berbeda. Pcmikul beban pajak adalah pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak, sedangkan penanggung
jawab atas pembayar pajak ke Kas Negara adalah Pengusaha Kena Pajak yang
bertindak selaku penjual Barang Kena Pajak (BKP) atau Pengusaha Jasa Kena
Pajak (JKP). Apabila terjadi penyimpangan pemungutan Pajak Pertambahan
Nilai, fiskus akan meminta pertanggungjawaban kepada penjual Barang Kena
Pajak atau Pengusaha Jasa Kena Pajak tersebut, bukan kepada pembeli,
walaupun pembeli kemungkinan juga berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Sebagai Pajak Tidak Langsung, pengertian Pajak Pertambahan Nilai
dapat dirumuskan berdasarkan dua sudut pandang menurut pendapat Sukardji
23Terra, Ben. Sales Taxation, The Case of Value Added Tax in The European Community, Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer, Netherlands, 1988 page-19.
26Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
sebagai berikut24:
1)Sudut pandang ekonomi, yaitu bahwa beban pajak dialihkan kepada
pihak lain, dalam hal ini pihak yang akan mengkonsumsi barang atau jasa
yang menjadi objek pajak;
2)Sudut pandang yuridis, yaitu bahwa tanggung jawab pembayaran pajak
kepada kas negara tidak berada di tangan pihak yang memikul beban
pajak, dengan kata lain bahwa dalam Pajak Tidak Langsung apabila
pembeli atau penerima jasa telah membayar pajak yang terutang kepada
penjual atau pengusaha jasa, pada hakikatnya sama dengan telah
membayar pajak kepada kas negara.
C. Neutral
Netralitas Pajak Pertambahan Nilai dibentuk oleh 2 faktor utama yang
berperan dalam pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, yaitu:
1)Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi barang ataupun jasa;
2)Dalam pemungutannya Pajak Pertambahan Nilai mengandung prinsip tempat
tujuan.
Dalam mekanisme pemungutannya, Pajak Pertambahan Nilai mengenal 2
prinsip pemungutan, yaitu :
1) Prinsip tempat asal (origin)
2) Prinsip tempat tujuan (destination principle)
Prinsip tempat asal mengandung pengertian bahwa Pajak Pertambahan
Nilai dipungut di tempat asal barang atau jasa yang akan dikonsumsi.
Berdasarkan prinsip tempat tujuan, Pajak Pertambahan Nilai dipungut di tempat
barang atau jasa dikonsumsi. Pajak Pertambahan Nilai dapat dipandang memiliki
sifat netral terlihat dalam hal perdagangan intemasional. Sebagaimana kita
ketahui dalam perdagangan intemasional, komoditi impor akan menanggung
beban pajak yang sama dengan barang yang diproduksi di dalam negeri.
Mengingat barang komoditi impor dan barang yang diproduksi di dalam negeri 24Sukard j i , Untung, Pajak Per tambahan Ni la i Ed is i Rev is i 2005 , , PT.
Rajawal i Pers , Jakar ta 2005, ha laman 20.
27Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
tersebut akan dikonsumsi di dalam negeri, maka akan dikenakan pajak dengan
beban yang sama. Sebaliknya, barang yang diproduksi di dalam negeri dan akan
diekspor tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai di dalam negeri karena akan
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai di negara tempat tujuan barang yaitu tempat
barang terscbut dikonsumsi. Mengatasi hal demikian, terhadap barang produksi
dalam negeri yang akan diekspor bukanlah tidak dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai sama sekali, melainkan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif
0%. Hal tersebut menunjukkan adanya sifat netral dari Pajak Pertambahan Nilai.
D.Non Cumulative
Karakter ini menunjukkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai menghindari
kemungkinan terjadinya pengenaan pajak berganda seperti yang terjadi dalam
pemungutan Pajak Penjualan. Hal ini karena Pajak Pertambahan Nilai dipungut
hanya atas nilai tambah saja, dan Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar kepada
pemasok pada mata rantai sebelumnya dapat diperhitungkan dengan Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut dari mata rantai jalur distribusi berikutnya.
Dengan sistem tersebut maka pajak atas konsumsi yang dipungut pada mata
rantai sebelumnya tidak dikalkulasikan ke dalam harga jual sehingga harga
barang yang dibayar oleh konsumen akan menjadi lebih rendah bila
dibandingkan apabila atas penyerahan ini dikenakan pajak dengan sifat
kumulatif.
Selain karakteristik tersebut diatas, bila diperhatikan lebih jauh, maka
terlihat bahwa Pajak Pertambahan Nilai ini masih menunjukkan beberapa
karakter tersendiri bila dibandingkan dengan jenis - lainnya yaitu:
1. Pajak Objektif Suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh
faktor objektif, yaitu adanya keadaan, atau peristiwa, atau perbuatan hukum yang
dapat dikenakan pajak yang disebut juga dengan nama obyek pajak. Sebagai
28Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
pajak objektif, timbulnya kewajiban untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai
ditentukan oleh adanya objek pajak. Kondisi subjektif subjek pajak tidak ikut
menentukan. Pajak Pertambahan Nilai tidak membedakan antara konsumen
yang berpenghasilan tinggi dengan berpenghasilan rendah. Sepanjang
konsumen mengkonsumsi barang atau jasa dari jenis yang sama, konsumen
tersebut diperlakukan sama.
2.Multi Stage Tax
Multi Stage Tax adalah karakteristik Pajak Pertambahan Nilai yang
dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun distribusi. Setiap
penyerahan barang yang menjadi objek Pajak Pertambahan Nilai mulai dari
tingkat pabrikan kemudian di tingkat pedagang besar dalam berbagai bentuk
atau nama sampai dcngan tingkat pedagang pengecer dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai.
2.6Keunggulan substractive indirect method/invoice method/credit method
dibandingkan dengan sistem lainAdapun keunggulan substractive indirect method/invoice method/credit
method dibandingkan dengan sistem lain, menurut Tait 25.
a. Faktur pajak mengkaitkan pajak terutang dengan transaksi yang
menyebabkan timbulnya hutang pajak
Hal ini menjadikan metode ini paling unggul dibandingkan dengan yang lain
baik dari sudut yuridis maupun dari teknis pemungutan. Kedudukan Faktur
Pajak menjadi sangat penting karena selain sebagai bukti adanya suatu
transaksi, juga sebagai bukti adanya pembayaran pajak yang terhutang.
b. Menciptakan audit trail atau jejak lacak
Faktur pajak menciptakan suatu audit trail atau “jejak lacak” yang baik bagi
fiskus. Memudahkan untuk melakukan pemeriksaan, karena adanya invoice
yang dapat menjadi jejak (audit trail) adanya transaksi pembelian dan
25 Tait, A Alan , Value Added Tax,Mc, Graw-Hill Company(UK) Limities, Maidenhead Berkshire, England, 1972.page-5
29Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
penjualan. Hal ini memaksa tidak saja penjual melainkan juga pembeli untuk
melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik. Selain itu merangsang
Pengusaha Kena Pajak untuk melakukan pembukuan dengan tertib, baik dan
benar. Bila tidak dilakukan maka Pengusaha Kena Pajak akan mengalami
berbagai kendala sehubungan dengan pengkreditan Pajak Masukan atas
Pajak Keluaran sebab Faktur Pajak Masukan merupakan bukti sah atas pajak
yang telah dibayar.
c. Memberikan informasi besarnya pajak pada mata rantai sebelumnya
Dalam sistem yang lain yaitu additive method dan substractive direct method
secara teknik tidak mampu memberikan informasi besarnya pajak pada mata
rantai produksi dan distribusi sebelumnya dan apakah sudah dibayar.
d. Tidak perlu menghitung keuntungan terlebih dahulu
Untuk menghitung pajak tidak perlu menghitung keuntungan terlebih dahulu,
karena penghitungan pajak dilakukan dengan mengurangkan nilai pajak hasil
penjualan terhadap pajak hasil pembelian, sedangkan bila penggunaan
additive direct method (atau account method) dan additive indirect method,
pengusaha harus menghitung dulu jumlah keuntungan. Hal ini tidak mudah.
Itupun pengusaha didalam pembukuannya harus memilah-milah kategori
produk sesuai dengan tarif Pajak Pertambahan Nilainya, serta inputnya
sesuai dengan jumlah pajak yang terhutang.
e. Dalam substractive direct method dihitung dulu pertambahan nilai yang
terjadi.
Dalam substractive direct method atau business transfer tax, terlebih dahulu
harus dihitung pertambahan nilai yang terjadi. Ini dilakukan dengan cara
mengurangkan input terhadap output-nya. Dalam prakteknya para
pengusaha akan kurang menyukai cara ini bila dilakukan setiap bulan, karena
pembelian, penjualan maupun persediaan dalam sebulan dapat berfluktuasi
dengan signifikan. Penggunaan metode ini idealnya menggunakan periode
tahunan. Disamping itu, tarif pajak yang sebaiknya digunakan adalah tarif
tunggal.
30Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
f. Periode penghitungan besarnya pajak lebih fleksibel
Periode penghitungan besarnya pajak yang terhutang tidak saja dapat
dihitung setahun sekali, melainkan triwulan, bulanan, bahkan kalau
dikehendaki seminggu sekali.
g. Tarif pajak yang digunakan tidak saja tarif tunggal, melainkan multi tarif
Lebih fleksibel bila tarifnya berbeda-beda, karena bertumpu pada invoice.
Untuk additive method hanya dapat dipakai untuk tarif tunggal, sedangkan
untuk substractive direct method akan sulit bila tarifnya berbeda-beda karena
mensyaratkan adanya pemisahan pembukuan atau catatan untuk komoditi
yang tarif pajaknya berbeda-beda.
2.7 Tipe Pajak Pertambahan NilaiBerdasarkan perlakuan terhadap perolehan barang mdal, Pajak
Pertambahan Nilai (Valu Added Tax) dapat dibedakan ke dalam tiga tipe yaitu26 :
A. Consumption Type VAT
Dalam Consumption Type VAT, semua pembelian yang digunakan untuk
produksi termasuk pembelian barang modal dikurangkan dari perhitungan nilai
tambah. Dasar pengenaan pajaknya terbatas pada pembelian untuk kepentingan
konsumsi, sedangkan pembelian barang-barang produksi dan barang modal
dikeluarkan, karena pembelian barang modal dikeluarkan dari dasar pengenaan
pajak, maka tidak terjadi pengenaan pajak lebih dari satu kali terhadap barang
modal. Hal ini memberi sifat netral Pajak Pertambahan ilai terhadap pola
produksi. Dalam hal penghitungan pajak menggunakan credit method, maka
seluruh Pajak Masukan yang dibayar atas pembelian Barang Modal dan bahan
boleh dikreditkan. Pajak Pertambahan Nilai Tipe Konsumsi ini memiliki beberapa
nilai positif, yaitu:
1)Membantu likuiditas perusahaan, karena seluruh Pajak Masukan atas
pcmbelian Barang Kena Pajak yang digunakan dalam proses produksi dapat
segera dikreditkan;
2)Menunjang iklim investasi yang sehat; 26Terra Ben. Sales Taxation, The Case of Value Added Tax in The European Community,
Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer, Netherlands, 1988 page-32.
31Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
3)Mendorong pengusaha secara berkala melakukan regenerasl alat produksi
barang modal tidak dikenakan pajak lebih dari satu kali;
4)Tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda.
B. Net Income Type VAT Dalam Net Income type VAT, pengurangan pembelian barang modal dari
dasar pengenaan Pajak tidak dimungkinkan. Pembelian barang modal hanya
boleh dikurangkan sebesar persentase penyusutan yang ditentukan pada waktu
menghitung hasil bersih dalam rangka penghitungan Pajak Penghasilan,
sehingga Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai akan sama dengan Dasar
Pengenaan Pajak Penghasilan. Sistem ini akan berakibat pengenaan pajak dua
kali terhadap barang modal dan menuntut adanya suatu sistem pembukuan yang
rapi dan teliti dari para pengusaha.
C.Gross Product Type VAT
Dalam Gross Product Type VAT, pembelian barang modal sama sekali
tidak boleh dikurangkan dari dasar pengenaan Pajak. Hal ini mengakibatkan
barang modal dikenakan Pajak dua kali, yaitu pada saat dibeli, kemudian
pemajakan dilakukan melalui hasil produksi yang dijual kepada konsumen.
Beberapa segi negatif yang dimiliki oleh gross product type VAT menurut
Sukardji adalah sebagai berikut27:
1) Barang modal menanggung beban pajak yang cukup berat karena dipajaki
lebih dari satu kali.
2) Menghambat minat pcngusaha mengadakan regenerasi alat-alat produksi.
Pengusaha cenderung memanfaatkan alat produksi yang ada semaksimal
mungkin sehingga menghambat laju perkembangan produksi.
3) Tidak menunjang iklim investasi yang baik.
4) Pengusaha berusaha sedapat mungkin mengurangi pembelian barang
modal.27Sukard j i , Untung, Pajak Per tambahan Ni la i Ed is i Rev is i 2005 , , PT.
Rajawal i Pers , Jakar ta 2005, ha laman 37.
32Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
2.8 Pengkreditan Pajak Pertambahan NilaiDalam credit method, dikenal adanya pajak yang dibayar pada saat
perolehan dan pajak yang dipungut pada saat penjualan barang / jasa kena
pajak. Pajak yang dibayar pada saat memperoleh barang atau jasa kena pajak
dinamakan Pajak Masukan (input tax) apabila barang / jasa kena pajak tersebut
merupakan masukan (input) untuk kegiatan usaha, dan Pajak yang dipungut
pada penyerahan barang atau jasa kena pajak (output) dari penjual kepada
pembeli disebut Pajak Keluaran (output tax)
Setiap pemungutan pajak pertambahan nilai, pengusaha kena pajak
penjual wajib membuat faktur pajak sebagai tanda bukti pemungutan yang
disebut sebagai Faktur Pajak Keluaran, dan pengusaha kena pajak pembeli
yang menerima faktur tersebut Faktur Pajak Masukan.
Sesuai dengan sistem pungutan pajak yang berlaku di Indonesia yaitu
Self assessment system, pengusaha kena pajak dalams setiap Masa Pajak wajib
menghitung jumlah pajak yang terutang, dimana didalam credit method maka
yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak adalah menghitung selisih antara
pajak keluaran yang dipungut dengan pajak masukan yang telah dibayar.
2.9 Faktur PajakFaktur Pajak merupakan dokumen yang sangat penting dalam
pengawasan Pajak Pertambahan Nilai. Dalam hal ini Tait mengemukan hal
sebagai berikut:
“The invoice is the crusial control document of the ussual VAT. it esteblishes the tax liability of supplier and entitlement of the purchaser to a deduction for the VAT charged. Invoice must be carrefully comploted and kept as records. 28 “
Tait juga berpendapat seharusnya ditentukana adanya standar bentuk
dan data- data yang harus ada dalam satu faktur pajak. Data tersebut antara lain
adalah : 29
• nama dan alamat Wajib Pajak yang menerbitkan faktur pajak.• nomor pengukuhan ( VAT registrasion number)
28Tait, A Alan , Value Added Tax,Mc, Graw-Hill Company(UK) Limities, Maidenhead Berkshire, England, 1972.page -279.
29 ibid, page-280
33Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
• nomor seri faktur pajak• tanggal faktur pajak• tanggal penyerahan barang atau jasa ( bila berbeda dengan tanggal
penerbitan faktur)• uraian tentang barang dan jasa yang diserahkan• nilai tagihan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai• tarif dan jumlah Pajak Pertambahan Nilai• nama dan alamat penerima barang dan jasa
Fungsi Faktur PajakPembuatan Faktur Pajak bersifat wajib bagi Pengusaha Kena Pajak,
karena Faktur Pajak adalah bukti yang menjadi sarana pelaksanaan cara
kerja/mekanisme pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai. Orang Pribadi atau
Badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat
Faktur Pajak, ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi pembeli dari
pemungutan pajak yang tidak semestinya.
Faktur Pajak berfungsi sebagai:
a) Bukti pungutan bagi Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajakdan bagi Direktorat Jenderal Bea
Cukai karena impor Barang Kena Pajak;
b) Bukti pembayaran pajak, ditinjau dari sisi pembeli Barang Kena Pajak
atau penerima Jasa Kena Pajak atau orang pribadi atau badan yang
mengimpor Barang Kena Pajak;
c) Sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan
Ditinjau dari fungsinya, yang dapat dikatakan bahwa Faktur Pajak
memegang posisi sentral dalam mekanisme Pajak Pertambahan Nilai di
Indonesia berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai.
Faktur Pajak yang dapat digunakan sebagai bukti pungutan pajak dan
sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan disebut dengan Faktur
Pajak Standar. Faktur Pajak Standar harus benar secara formal maupun
material. Faktur Pajak Standar harus diisi secara lengkap, jelas , benar dan
ditandatangani oleh pejabat perusahaan yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena
Pajak untuk menandatanganinya. Faktur Pajak Standar yang tidak sesuai
34Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
dengan ketentuan dapat mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang
tercantum didalamnya tidak dapat dikreditkan.
2.10Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan NilaiAdapun fungsi Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi
Pengusaha Kena Pajak30, adalah:
• Sarana melapor dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
terutang;
• Melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
• Melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
dan/atau melalui pihak lain dalam suatu Masa Pajak, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
2.11Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak
Peradilan administrasi dibutuhkan dalam pajak. Hal ini dapat dimengerti,
karena dalam bidang pajak pemerintah mendapat demikian besarnya kekuasaan
untuk melakukan pengawasan secara yudikatif. 31 Peradilan administrasi pajak
yaitu penyelesaian semua macam mengenai pajak-pajak.32 dalam
pelaksanaannya terdapat aparatur pemerintah yang menentukan bahwa suatu
peradilan dapat disebut peradilan administrasi pajak ialah sifat dari para pihak
yang berselisih dan sifat perselisihannya.33 Peradilan pajak diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam penyelesaian sengketa pajak yang adil
dengan prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana.
Peradilan administrasi pajak umumnya melibatkan minimal dua pihak
yaitu pihak Wajib Pajak dan pihak aparat pajak (fiskus). Peradilan administrasi
pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu peradilan administrasi tidak murni dan
peradilan administrasi murni.
Peradilan administrasi yang pertama disebut sebagai peradilan
administrasi tidak murni karena dalam peradilan administrasi ini hanya
melibatkan dua pihak yaitu Wajib Pajak dan pihak fiskus tanpa melibatkan pihak
30Waluyo dan Wirawan, Perpajakan Indonesia , Salemba Empat, Jakarta, 1999, hlm 1931Soemitro ,Rochmat, Masalah Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia,
PT Eresco, Bandung 1965, hal. 202.32S.H Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Rajawali Press, Jakarta, 1993, hal. 13433ibid, hal. 48
35Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
ketiga yang independen. Fiskus sebagai pihak yang bersengketa sekaligus
menjadi pihak yang mengambil keputusan dalam perselisihan pajak yang
bersangkutan34
Jenis peradilan administrasi yang kedua adalah peradilan administrasi
murni. Peradilan ini disebut sebagai peradilan administrasi murni karena dalam
peradilan administrasi ini terdapat tiga pihak, yaitu Wajib Pajak, fiskus, dan
Hakim.
Wajib Pajak dan fiskus adalah pihak yang bersengketa, sedangkan Hakim
atau Majelis Hakim adalah pihak yang akan memutuskan sengketa tersebut.35
Ciri khas suatu peradilan murni adalah suatu hubungan segitiga antara pihak dan
badan atau pejabat yang mengadili. Badan atau pejabat yang mengadili perkara
merupakan badan pejabat tertentu dan terpisah. Tertentu36 berarti bahwa badan
atau pejabat tersebut ditentukan oleh undang-undang atau peraturan lain yang
mempunyai tingkatan sama dengan suatu undang-undang, dan diberi wewenang
untuk mengadili suatu perselisihan adrninistrasi. Terpisah37 artinya bahwa badan
atau pejabat yang melakukan pengadilan itu, tidak merupakan juga salah satu
pihak atau termasuk dalam salah satu pihak, maupun dibawah pengaruh salah
satu pihak, sehingga badan atau pejabat yang mengadili perkara berada di atas
para pihak.
Peradilan administrasi murni. memiliki syarat sebagai berikut:38
a. Merupakan hukum publik;
b. Sengketa hukum yang konkret;
c. Dua belah pihak yang bersengketa;
d. Aparatur yang melakukan peradilan administrasi.
34Suandy, Erly. Hukum Pajak. Salemba Empat, Jakarta, 2002, halaman. 8435Ibid halaman 8536Sunindhia, Y.W., Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi., R ineka Cipta,
1992 halaman 143.37ibid halaman 14338Muhsin, Muslih, "Badan Penyelesaian Sengketa Pajak Setelah Berubah Menjadi
Pengadilan Pajak:, makalah disampaikan pada Sosialisasi Undang-undang Pengadilan Pajak sebagai Pengganti Undangundang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak., Jakar ta , Apr i l 2002 hal.5.
36Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
Basah mempunyai pendapat bahwa Peradilan administrasi murni, disamping
harus memenuhi unsur-unsur peradilan dan unsur-unsur khusus, juga wajib
memiliki ciri khas berupa39:
a. Hubungan segitiga antara para pihak dan badan atau pejabat yang
mengadili.
b. Badan atau pejabat yang mengadili perkara merupakan badan atau pejabat
tertentu dan terpisah.
2.12Asas-asas Peradilan Administrasi PajakAsas bukanlah merupakan peraturan yang konkret yang berlaku,
melainkan suatu hal teoritis yang merupakan sesuatu yang melandasi,
mendasari, serta mendukung suatu peraturan, baik berupa falsafah, prinsip, atau
dasar. 40 Asas inilah yang memberi warna pada suatu hal, khususnya dalam
bidang hukum pajak. Asas-asas peradilan pajak yang dihimpun oleh Tim Kerja
Proyek Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Badan Pembinaan Hukum
Nasional pada tahun 1987,antara lain terdiri dari: 41
a. Asas kebebasan mencari keadilan:Bahwa setiap orang sesuai dengan hak asasinya, mempunyai hak
seluas-luasnya untuk mencari keadilan. Jadi apabila terjadi Wajib Pajak
merasa diperlakukan tidak baik atau tidak adil, ia selalu mempunyai hak untuk
mencari keadilan melalui saluran-saluran hukum yang khusus disediakan oleh
undang-undang.
b.Asas kesamaan di hadapan pengadilan:Bahwa setiap Wajib Pajak yang bersengketa di pengadian mempunyai
kedudukan yang sama. Pengadilan tidak boleh memperlakukan para pihak
secara berlainan, walaupun salah satu pihaknya adalah negara, yang diwakili
oleh pemerintah (Direktur Jenderal Pajak) sebagai fiskus.
c.Asas perlindungan para pihak:
39Sunindhia, Y.W., Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi., R ineka Cipta, 1992 halaman. 142.
40Soemitro ,Rochmat , Asas-asas Hukum Perpajakan, BPHN Departemen Kehakiman (Bandung: Rineka Cipta, I991), hal. ix.
41Ibid hal. 41-60
37Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
Para pihak yang bersengketa harus diberikan perlindungan yang sama,
jika para pihak kurang mengerti akan hak-haknya, maka pihak-pihak yang
berkepentingan harus diberi tahu mengenai hal itu. Kalau salah satu pihak
haknya dilanggar oleh pihak lain, hal ini juga harus diberitahukan. Jadi dalam
pengadilan yang sifatnya kekeluargaan, pengadilan harus bertindak aktif.
d.Asas netralitas, tidak berat sebelah:Hakim merupakan pejabat negara yang harus berdiri di atas para pihak,
artinya Hakim tidak boleh memihak kepada salah satu pihak dan juga Hakim
harus tidak setingkat dengan para pihak melainkan, karena ilmu yang
dimilikinya, Hakim lebih tinggi dari para pihak, ditinjau dari segi ilmu
penyelesaian sengketa. Hal tersebut memberikan kepercayaan kepada para
pihak, bahwa perkara akan dapat diselesaikan secara tuntas.
e. Asas masalah bersifat hukum:Masalah-masalah yang dibawa ke muka pengadilan (pajak) murni ialah
masalah yang bersifat hukum, yang tunduk pada hukum tertentu hingga dapat
diselesaikan (rechtsvragen).
f. Asas kekeluargaan dan kegotongroyongan dalam Pemutusan sengketa;
Pada dasarnya banyak aengketa yang tidak perlu diselesaikan di
pengadilan. Dalam perpajakan dikenal adanya lembaga Keberatan yang
termasuk dalam administrasi pajak, yang tidak hanya mempermasalahkan
aspek. hukumnya tapi juga aspek kebijakannya. Lembaga ini bersifat non-
formal, sehingga banyak hal dapat diselesaikan berdasarkan kekeluargaan,
berdasarkan saling pengertian dan kepercayaan .
g.Asas objektivitas penilaian;Penilaian oleh Hakim harus diadakan secara konsekuen, netral dalam
bertindak, objektif, tidak dipengaruhi oleh sifat-sifat subjektif yang mudah
dipengaruhi dari luar atau pun pihak-pihak lain.
38Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
h. Asas keterbukaan untuk umum (openbaarheid);Setiap pengadilan, termasuk Badan Peradilan Pajak pada asasnya
mempunyai sifat terbuka bagi setiap orang, dalam arti bahwa sidang tidak
tertutup inelainkan terbuka bagi setiap orang, dan dapat dihadiri oleh siapa
pun. Maksud keterbukaan ini ialah untuk lebih mendorong kenetralan Hakim,
abjektivitas Hakim, dan juga mendorong Hakim bersikap lebih hati-hati dalam
penilaian dan pengambilan putusan.
i. Asas mengikat para pihak;Putusan Badan Peradilan Pajak mempunyai daya mengikat para pihak
yaitu waijb pajak dan Direktur Jenderal Pajak. Putusan harus dilaksanakan
sesuai dengan cara yang lazim bahkan bila perlu dapat dipaksakan.
j. Asas beban bukti;Lazimnya dalam peradilan berlaku adagium "Siapa yang mendakwa,
wajib membuktikan". Jadi, kalau Wajib Pajak yang menuntut supaya pajaknya
diturunkan maka ia harus membuktikan, apa sebabnya pajaknya harus
diturunkan. Tetapi adagium ini tidak selalu berlaku karena Hakim sering
memutuskan bahwa yang harus membuktikan ialah pihak yang lebih mudah
memberikan bukti, disebut de meest gerede partij. Dalam pajak berlaku
ketentuan bahwa apabila Wajib Pajak memenuhi segala kewajibannya, yaitu:
1. memasukkan surat pemberitahuan dengan benar,
2. memberi keterangan tentang surat pemberitahuannya apabila diminta,
3. mengadakan pembukuan yang diharuskan,
4. menunjukkan bukti-bukti yang diminta.
Dan ternyata kemudian Direktur Jenderal Pajak menetapkan pajak bagi
Wajib Pajak yang terutang, menyimpang dari data yang dimasukkan dalam
surat pemberitahuan Wajib Pajak, maka Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala
Inspeksi Pajak wajib membuktikan bahwa data yang diberitahukan oleh Wajib
Pajak tidak benar, dan yang benar ialah ketetapan yang dikeluarkan oleh
Direktur Jenderal Pajak. Akan tetapi jika ternyata bahwa Wajib Pajak tidak
memenuhi salah satu dari kewajibannya di atas, maka Wajib Pajaklah yang
harus membuktikan bahwa ketetapan yang dikeluarkan Direktur Jenderal
39Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
Pajak (yang menyimpang dari data yang diberikan oleh Wajib Pajak) itulah
yang salah, dan bahwa utang pajak yang dihitung oleh Wajib Pajak sendiri
itulah yang benar.
k.Asas motivasi/ beralasan putusan;
Setiap putusan pengadilan harus memberikan landasan hukum yang kuat
dan harus beralasan. Maksudnya adalah agar pihak yang merasa belum puas
atas putusan itu, dapat membantah alasan yang digunakan untuk menolak
permohonan/ tuntutan.
l. Asas patuh putusan:Putusan Badan Peradilan Pajak merupakan sarana untuk mengakhiri
sengketa pajak. Tidak akan ada artinya jika putusan tidak mempunyai daya
ikat. Menjadi suatu kewajiban bagi para pihak untuk mematuhi putusan Hakim
kecuali jika masih ada saluran hukum lanjutan yang dapat digunakan untuk
menentang putusan Hakim yang bersangkutan.
m. Asas naik banding;Banding dalam pajak dilaksanakan oleh Badan 'Peradilan Pajak, yang
pada hakekatnya merupakan penyelesaian tingkat pertama dari sengketa
pajak, yang setaraf denqan pengadilan tingkat pertama pada pengadilan
umum.
n. Asas ne b.is in idem;asas ini terdapat dalam pengadilan pada umumnya, 'berlaku juga
terhadap sengketa pajak.
o. Asas presumption of innocence.bahwa penyelidikan dan penyidikan perpajakan serta pemeriksaan
persidangan haruslah menjunjung tinggi praduga tak bersalah serta itikad baik
dari Wajib Pajak dalam melakukan penghitungan, pengisian dan pembayaran
pajaknya. Asas ini penting karena Wajib Pajak di satu sisi adalah pihak lemah
yang ingin mencari keadilan.
40Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
2.13Penafsiran dalam Hukum Pajak42
Didalam memahami suatu ketentuan Undang-undang, agar jelas
diperlukan suatu penafsiran. Penafsiran hukum ialah suatu upaya yang pada
dasarnya menerang, menerangkan, menjelaskan, menegaskan baik dalam arti
memperluas ataupun membatasi atau mempersempit pengertian hukum yang
ada dalam rangka penggunaanya untuk memecahkan masalah atau persoalan
yang sedang dihadapi.
Cara-cara penafsiran hanya merupakan alat untuk mencoba mengetahui
dan menyalami arti kaedah-kaedah hukum.
Macam-macam penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum
• penafsiran subjektif dilakukan dengan cara mengusut apa yang dimaksud
dengan kaidah hukum yang diucapkan dengan cara menyelidiki
sejarahnya.
• penafsiran objektif dilakukan dengan menelaah arti kaidah itu menurut
pemakaian bahasa yang lazim dipergunakannya, jadi terlepas dari
maksud yang dikandung oleh pembuatnya haruslah dicari gambaran-
gambaran yang didapat pada obyek yang terkena kaidah hukum.
• penafsiran secara historis yaitu mengetahui maksud dan pembuat
undang- undang.
• penafsiran menurut ilmu tata bahasa yaitu mengadakan kupasan
berdasarkan bunyi kata undang-undang itu.
• penafsiran secara sistematis yaitu dilakukan dengan melihat adanya
hubungan antara masing masing Pasal , maupun antara undang-uandang
yang satu dengan undang yang lain. Jadi penafsiran ini ialah suatu cara
yang berdasarkan atas kenyataan bahwa undang-undang merupakan
suatu sistem.
• penafsiran secara sosiologis dilakukan dengan mempelajari hubungannya
dengan masyarakat yang melingkupinya, serta perkembangan dinamis
didalm masyrakat tersebut.
• penafsiran menurut analogi, penafsiran ini hampir sama dengan
penafsiran secara ekstensif (luas), yaitu mencari penyelesaian dengan
menetapkan terlebih dahulu rasio suatu peraturan hukum, barulah
42 Sofiandi, D.S, Pengantar Hukum Pajak , Salemba Empat, Jakarta, 2003, hlm 19-21
41Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
memperlakukan pokok asas yang merupakan intisarinya terhadap suatu
perkara baru. Cara penafsiran menurut kiasan ini menyatakan cara
berlakunya suatu kaidah hukum atas suatu perkara, yang sebetulnya
tidak diliputi oleh kaidah itu, dan berada diluarnya. Adapun caranya
dimulai dengan memasukkan suatu aturan ke dalam aturan umum, dan
dari peraturan umum itu kemudian ditarik lagi kesimpulannya, hingga
sampai pada perkara khusus itu.
Scholten dalam bukunya Hanleiding tot de Boefeing van het Ned. Burgerijk
Recht : Algemen Dell menjelaskan bahwa dalam penafsiran undang- undang
pajak ada beberapa cara yaitu43 :
• Umum
setelah diuraikan berbagai macam penafsiran hukum demikian pula
dengan penafsiran pada hukum pajak. Dalam kenyataannya perbedaan
penafsiran itu terjadi karena adanya corak dalam pemungutan pajak.
Orang-orang yang yang sebagai individu harus membayar pajak maka
akan mengganggap pajak sebagai beban karena merupakan suatu
pengurangan dalam kebebasan mempergunakan haknya masing-masing.
sedangkan pihak aparat pajak (fiskus) terhadap peraturan-peraturan
pajak tentunya akan mempergunakan segala penafsiran yang
diperkenankan.
• Analogi
Para Sarjana hingga saat ini masih bersengketa tentang penafsiran
menurut analogi dalam hukum pajak, sekalipun pada waktu- waktu akhir
ini kebanyakan di antara para sarjana banyak yang berpendapat bahwa
interpretasi semacam ini harus tidak dipergunakan bagi undang-undang
pajak. Hal ini terkait dengan Pasal 23 (2) UUD 1945 dimana tidaklah
sekali-kali diperkenankan memungut pajak, bea dan cukai untuk
keperluan kas negara selain berdasarkan undang-undang.
• Penafsiran otentik
43 Brotodihardjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung, PT Eresco, 1988 halaman 152
42Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
Penafsiran ini dilakukan oleh pembuat undang-undang dengan
memaksakan tafsiran mengenai arti istilah yang dipergunakan di dalam
undang-undang atau peraturan lain yang dibuatnya, dengan maksud
supaya tafsiran ini diturut oleh umum.
• Penafsiran secara ketat
Dengan cara ini dalam melakukan penafsiran pajak maka yang dapat
dikenakan pajak ialah perbuatan-perbuatan yang dengan nyata-nyata
disebutkan dalam undang-undangnya, sehingga perbuatan yang sejenis
dengan itu atau hanya menyerupai yang dengan nyata-nyata disebutkan
tidak dapat dikenakan pajak.
• Ajaran Pengadilan.
Dalam penafsiran menurut ajaran peradilan ini tidak diperbolehkan
adanya penafsiran menurut analogi umtuk dipergunakan dalam hukum
pajak. Salah satu contohnya adalah putusan diPengadilan Pajak, dimana
ada suami istri dari cina yang menikah, dan karenanya masih tunduk
dengan hukum adat-adat yang menyatakan bahwa tidak terdapat
percampuran dalam harta kekayaan suami istri tersebut. Setelah
dilakukan pemeriksaan terhadap pembukuan suami istri tersebut
diketahui bahwa sang istri memiliki penghasilan bunga sehingga
dikenakan pajak, sang suami mengajukan keberatan dengan alasan
bahwa menurut hukum adat cina tidak terdapat persatuan harta antara
suami dan istrinya, dan hal ini dapat dipersamakan dengan keadaan
pisah harta. dan ia menyatakan bahwa pembuat undang-undang telah
menyatakan bahwa suami hanya dikenakan pajak atas jumlah
pendapatannya ditambah dengan jumlah pendapatan istrinya dalam hal
suami istri tersebut satu kesatuan ekonomis. karena tidak ada kesatuan
yang dimaksud – menurut pendapat suami istri tersebut tidak dapat
dikenakan pajak atas dasar jumlah pendapat itu. Tetapi hal ini ditolak oleh
majelis dengan pertimbangan sebagai berikut yaitu jika pembuat memang
menghendaki demikian maka akan menyatakannya dalam undang-
undang dan karena ia hanya mengecualikan saja hal yang tertentu –
Pasal 140 Kitab Undang- undang Hukum Perdata yang menyatakan
43Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
dalam hal suami istri tidak merupakan kesatuan ekonomis, maka
pengecualian ini tidak dapat di perluas hingga hal- hal diluarnya. Dengan
demikian maka pendapatan istri tidak dapat dipandang terpisah dari
pendapatan suaminya.
2.14Sengketa dan Sanksi AdministrasiTiap perselisihan atau sengketa, mesti ada sesuatu pokok persoalan
yang menjadi sebab perbedaan pendapat antara satu pihak dengan pihak lain.
Perselisihan itu terdapat dimana-mana, dikalangan keluarga ataupun lingkungan
masyarakat sendiri sehingga setiap komunitas mencari bentuk penyelesaian
sendiri agar tidak tidak merambah kepersoalan yang lebih meluas. Dalam
perpajakan juga tidak terkecuali, sengketa pajak merupakan perbedaan
pendapat antara wajib pajak dengan pemungut pajak (pemerintah) atas
ketetapan pajak (beschikking) yang telah dikeluarkan.
Peran penting pada pemberian sanksi didalam hukum administrasi
memenuhi hukum pidana. Kebanyakan system perizinan menurut perundang-
undangan memuat ketentuan penting yang melarang para warga bertindak tanpa
izin. Bagi para pembuat peraturan penting untuk tidak hanya melarang tindakan-
tindakan yang tanpa disertai izin, tetapi juga terhadap tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dapat dikaitkan pada
suatu izin, termasuk sanksi-sanksi hukum administrasi yang khas antara lain:44
a. Paksaan pemerintah (Bestuursdwang);
b. Penarikan kembali keputusaan (keputusan) yang menggunakan (izin,
pembayaran, subsidi);
c. Pengenaan denda administratif;
d. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).
Paksaan pemerintah / bestuursdwang dapat diuraikan sebagai tindakan-
tindakan yang nyata dari penguasa guna mengakhiri suatu keadaan yang
dilarang oleh suatu kaidah hokum administrasi atau melakukan apa yang
seharusnya ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan dengan undang-
undang. Beda paksaan pemerintah dengan sanksi-sanksi yang lain (yakni b,c,
dan d) bestuursdwang merupakan tindakan penguasa dengan dengan cara amat
44 Hadjon, Philipus M, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 1994, hal 245-247.
44Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
langsung, sedangkan sanksi yang lain lebih berperan secara tidak langsung.
Pengetrapan sanksi yang tidak langsung adalah denda administrasi yang dikenal
pada hukum pajak.
Perbedaan antara sanksi administrasi dan sanksi pidana dapat dilihat dari
tujuan pengenaan sanksi itu sendiri. Sanksi Administrasi ditujukan kepada
perbuatan pelanggarannya, sedangkan sanksi pidana ditujukan kepada
pelanggar dengan memberi hukuman berupa nestapa. Sanksi administrasi
dimaksudkan agar perbuatan pelanggaran itu dihentikan. Sifat sanksi adalah
reparatoir artinya memulihkan pada keadaan semula. Disamping itu perbedaan
antara sanksi pidana dan sanksi administrasi ialah tindakan penegakan
hukumnya.
2.15Upaya Penyelesaian SengketaPeradilan pajak, adalah suatu proses dalam hukum pajak yang
bermaksud memberikan keadilan dalam hal sengketa pajak, baik kepada Wajib
Pajak maupun kepada pemungut pajak, sesuai dengan ketentuan undang-
undang/hukum positif. Proses itu merupakan perbuatan yang harus dilakukan
oleh Wajib Pajak maupun oleh pemungut pajak dihadapan suatu instansi
(administrasi atau pengadilan), yang berwenang mengambil keputusan untuk
mengakhiri sengketa tersebut.
Menurut Soemitra45 penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh instansi
administrasi yang masih termasuk dalam organisasi Direktorat Jenderal Pajak,
lazimnya disebut peradilan administrasi tidak murni, seperti peradilan yang
dilakukan oleh hakim Doleansi pada Kantor Pelayanan Pajak, yang memutuskan
surat keberatan.
Dalam peradilan mengenai sengketa pajak yang dilakukan oleh suatu
instansi yang ada diluar struktur organisasi Direktorat Jenderal Pajak, jadi oleh
instansi pengadilan yang berdiri sendiri atau Badan Peradilan Pajak yang
sekarang yang bernama Pengadilan Pajak. Badan Peradilan Pajak sering disebut
juga Peradilan Administrasi Murni karena dalam persengketaan ini dilakukan oleh
dua pihak dan satu pihak yang menengahi.
45 Soemitra, Rachmat, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Refika Aditama, 1998, Bandung, hal. 164
45Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
2.16Pendekatan KeadilanKeadilan itu selamanya selalu bersifat nisbi atau relatif, hal ini dalam
kenyataannya hampir tidak mungkin adanya keadilan yang bersifat mutlak dalam
arti bisa diterima secara penuh oleh semua orang. Tiap–tiap orang mempunyai
pandangan sendiri-sendiri pengertian apa yang dimaksud adil bagi dirinya
sehingga menguntungkan bagi dirinya sendiri. Jadi adil bagi seseorang belum
tentu adil bagi orang lain sehingga dapat dibuktikan bahwa keadilan itu
selamanya bersifat relatif atau nisbi, karena dalam kenyataannya hampir selalu
berbeda menurut orang, tempat dan waktu.
Pandangan para ahli hukum (Purbacaraka dan Soekanto dalam bukunya
Perihal Kaidah Hukum) keadilan adalah keserasian antara kepastian hukum dan
kesebandingan hukum. Dengan kepastian hukum saja (tanpa kesebandingan
hukum) keadilan tidak mungkin terlaksana. Misal setiap orang yang melakukan
pembunuhan pasti dihukum, akibatnya A yang melakukan pembunuhan dengan
maksud merampok dihukum sama berat dengan B yang membunuh karena
pembelaan diri hal tersebut tentunya tidak adil. Begitu halnya dengan sebaliknya,
yaitu hanya ada kesebandingan hukum tanpa adanya kepastian hukum. Keadilan
lebih menjadi tidak mungkin lagi untuk dicapai, mengingat pelaksanaan dan
penerapan hukum semuanya berjalan serba mengambang tanpa adanya
kepastian, sehingga hal tersebut akan membuka kemungkinan bagi orang-orang
yang tidak bertanggung jawab untuk sengaja melakukan penyelewengan. Jadi
dalam segala bidang penerapan hukum, kepastian hukum dan kesebandingan
hukum itu harus selalu ada secara bersamaan dan membentuk suatu integritas
yang serasi yang dalam untuk mencapai pengertian keadilan.
Halim membagi beberapa definisi hukum tentang konsepsi dan hakikat
keadilan yaitu :46
a. Keadilan sebagai kesamarataan kesempatan bagi setiap orang untuk
memperoleh dan menggunakan haknya selaras dengan kewajiban masing-
masing.
b. Keadilan sebagai kesamarataan dalam pembebanan kewajiban terhadap
setiap orang yang diselaraskan dengan haknya masing-masing.
c. Keadilan sebagai kesamarataan pembebanan kadar tangung jawab pada
setiap orang.
46 Halim , Ridwan, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia, Jakarta 1984
46Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
d. Keadilan sebagai kesamarataan dalam pengenaan sanksi atas kesalahan
yang sama atau semacam jenisnya, motifnya, latar belakangnya, serta akibat
kerugiannya.
e. Keadilan sebagai kesamarataan dalam mendapat penilaian, penghargaan
dan kehormatan bagi tiap orang yang memiliki latar belakang prestasi,
potensi dan nama baik yang sama
f. Keadilan sebagai kesamarataan hak bagi tiap warga untuk mendapat
perhatian dari pemerintah
g. Keadilan sebagai kesamarataan dalam kebebasan berpikir, berpendapat dan
bertindak sepanjang tidak merugikan orang lain.
h. Keadilan sebagai kesamarataan dalam kedudukan tiap orang dimuka hukum
tanpa memandang latar belakang suku, agama, golongan dan lain-lain
i. Keadilan sebagai kesama-rataan nasib dalam bernegara
j. Keadilan adalah keserasian antara proteksi hukum dan restriksi hukum.
2.17Kerangka PemikiranDalam setiap transaksi ekonomi baik atas barang maupun jasa kena
pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak, berdasarkan Substractive
Indirect Method / Invoice Method / Credit Method dianjurkan atau diwajibkan
untuk membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan tersebut. Faktur Pajak
disini sebagai bukti pungut pajak, hal ini juga berfungsi sebagai salah satu alat
pendukung transaksi dan alat pengkreditan antar Faktur Pajak Masukan dan
Faktur Pajak Keluaran.
Timbulnya sengketa pajak pada dasarnya disebabkan karena adanya
koreksi yang dilakukan oleh fiskus yang tidak disetujui oleh Wajib Pajak, dalam
hal ini sengketa yang berkaitan dengan faktur pajak tidak lengkap atau cacat
disebabkan dari hasil pengujian secara fisik atas kondisi faktur pajak apakah
sudah sesuai dengan yang dipersyaratkan didalam Undang Undang Pajak
Pertambahan Nilai, sehingga bagi pengusaha kena pajak yang berperan sebagai
pembeli didalam suatu transaksi barang atau jasa kena pajak yang menerima
Faktur Pajak yang tidak sesuai dengan Undang Undang Pajak Pertambahan
Nilai akan menerima akibatnya, yaitu atas faktur pajak cacat yang telah dilakukan
pengkreditan terhadap faktur pajak keluarannya akan terkena koreksi yang
47Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
berakibat menjadi kurang bayar ditambah sanksi administrasi berupa bunga atau
sanksi administrasi berupa denda kenaikan 100% dari kurang bayar. Bila dilihat
dari siapa yang mempunyai kesalahan terbesar antara yang menjalankan
transaksi, maka jawabnya adalah pembuat faktur pajak, sedangkan kerugian
terbesar ditanggung oleh pembeli yaitu berupa kurang bayar atas faktur pajak
yang sudah diperhitungkan tidak bisa dikreditkan serta ditambah sanksi
administrasi berupa denda bunga atau denda kenaikan 100%.
Persengketaan akibat dari Faktur Pajak cacat diselesaikan dengan
pengajuan permohonan keberatan tentunya didahului dengan persyaratan formal
keberatan. Bila pada keputusan keberatan tidak memuaskan atau tidak sesuai
dengan harapan keadilan maka pihak Wajib Pajak bisa mengajukan permohonan
banding di Badan Peradilan Pajak yaitu Pengadilan Pajak, tentunya ditingkat
banding juga terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan formal. Terakhir dari
usaha Wajib Pajak adalah mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali ke
Mahkamah Agung.
Dalam permasalahan Faktur Pajak cacat ini bukan hanya Wajib Pajak
yang menderita kerugian terbesar akan tetapi negara juga dapat menderita
kerugian yang besar pula, hal ini dapat terjadi apabila pada tingkat keputusan
keberatan, pengadilan pajak sampai dengan peninjauan kembali ke Mahkamah
Agung apabila keberatan / banding /gugatan / peninjauan kembali Wajib Pajak
dikabulkan maka untuk kelebihan pembayaran yang telah dibayarkan oleh Wajib
Pajak wajib dikembalikan ditambah imbalan bunga dimana imbalan bunga
tersebutlah yang merupakan kerugian bagi negara.
Hasil pemeriksaan oleh fiskus, keputusan keberatan sampai dengan
keputusan Badan Peradilan Pajak dalam menanggapi permasalahan Faktur
Pajak cacat masing-masing beda sedangkan hukum materinya satu atau sama,
dan akan tetapi dapat menimbulkan kerugian baik bagi Pengusaha Kena Pajak
maupun bagi negara sehingga hal tersebut perlu dilakukan suatu pengkajian
ilmiah.
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
48Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
Pengusaha Kena Pajak
Direktorat Jenderal Pajak Hasil
Pemeriksaan
Koreksi Faktur Pajak
Pemeriksaanan
Keberatan
Banding ke Pengadilan Pajak
Peninjauan Kembali Mahkamah Agung
Sengketa
sengketa
sengketa
Kerugian Negara
Dikabulkan
Dikabulkan
49Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
Dikabulkan
2.18Metode Penelitian2.18.1 Pendekatan Penelitian
Dalam menganalisis dan membahas permasalahan yang dikemukakan
pada pokok permasalahan, penulis menggunakan metode kualitatif. Maksud
metode ini bersifat diskriptif analisis artinya pembahasan lebih diarahkan pada
penguraian dan penggambaran kondisi atas objek yang diteliti yang berkaitan
dengan faktur pajak cacat dan mekanisme pengkreditan pajak masukan
terhadap pajak keluaran dan dibandingkan dengan kasus kasus yang telah
diputus oleh Badan Peradilan Pajak.
Pemilihan tipe ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam
membahas tesis pembahasan lebih diarahkan pada penguraian dan
penggambaran kondisi atas objek yang diteliti yang berkaitan dengan Faktur
Pajak cacat dan mekanisme pengkreditan pajak masukan terhadap pajak
keluaran, khususnya mengenai faktur pajak cacat sesuai Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai yang berlaku di Indonesia.
2.18.2 Jenis PenelitianJenis penelitian yang dipakai adalah analisa deskriptif. Menurut Moleong
didalam bukunya Metedologi Penelitian Kulitatif (2008) menjelaskan metode
deskriptis analitis adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
50Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian secara holistik dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode kualitatif
2.18.3 Metode dan Strategi Penelitian.
A. Teknik pengumpulan DataPengumpulan data dalam penulisan tesis ini paling utama
melalui studi kepustakaan (library research) dengan membaca
Putusan Badan Peradilan Pajak yang berkaitan dengan Faktur Pajak
cacat beserta hasil pemeriksaan oleh fiscus, uraian pemandangan atas
keputusan keberatannya, literature, berbagai paper dan penulisan,
majalah, artikel di media masa, bahan-bahan kuliah dan peraturan
perpajakan tentang pengenaan Pajak Pertambahan Nilai baik secara
umum maupun khusus yang berkaitan dengan Faktur Pajak Cacat. Hal
itu dilakukan untuk mendapatkan kerangka teori dalam penentuan arah
dan tujuan penelitian serta mencari konsep-konsep dan bahan-bahan
yang sesuai dengan permasalahan dalam tesis ini.
B. Studi Kepustakaan Penelitian ini dilakukan dengan membaca dan mengkajii berbagai
literatur sebagai kajian pustaka yaitu berupa buku buku karya ilmilah,
peraturan-peraturan, putusan-putusan, buletin, jurnal dan lain
sebagainya yang berkaitan dengan pokok permasalahan
2.18.4 Teknik Analisis DataAnalisis data yang dilakukan dengan menngunakan comparing
methods dengan model ideal types yaitu model yang digunakan untuk
perbandingan antara kenyataan dengan teori ideal47
Proses analisis data48 diawali dengan pengumpulan data melalui
pengumpulan data putusan dan kajian pustaka kemudian dituangkan secara
tertulis (transkrip data) yang selanjutnya disederhanakan dengan pembentukan
47 Neuman, W. Lawrence Social Research Method : Qualitative and Quantitative Approach 3rd, Boston : Allyn and Bacon 1991, hal 450.
48Prasetya Irwan, Penelitin Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta : DIA Fisip UI 2006, hal. 63
51Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.
Pengumpulan Data Mentah
Penyimpulan Sementara
Pembuatan Koding
Triangulasi Penyimpulan Akhir
Pengumpulan Data Mentah
Transkrip Data
kategorasi data. Setelah itu dilakukan penyimpulan sementara kemudian
dilakukan proses triangulasi data yaitu proses check dan recheck antara suatu
sumber data dengan sumber yang lainnya. Proses analisis ini diakhiri dengan
kesimpulan akhir.
Gambar 2.2
Proses Analisis Data
2.18.5 Keterbatasan PenelitianBatasan atau ruang lingkup penelitian ditujukan kepada keberadaan
Faktur Pajak tidak lengkap atau cacat yang tidak sesuai dengan Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai, sehingga akan berakibat mekanisme rantai
pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran jadi terputus.
52Tinjauan sengketa..., Febriansyah, FISIP UI, 2008.