bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum tentang sistem ...eprints.umm.ac.id/39213/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan umum tentang Sistem Peradilan Pidana
1. Pengertian dan konsep Sistem Peradilan Pidana
Istilah criminal justice system pertama kali dikemukakan di
Amerika Serikat oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam
criminal justice science. Criminal justice system muncul seiring
dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak
hukum dan institusi penegakan hukum yang didasarkan pada
pendekatan hukum dan ketertiban yang sangat menggantungkan
keberhasilan penanggulangan kejahatan pada efektivitas dan efisiensi
kerja hanya pada organisasi kepolisian (law enforcement).30
Kegagalan ini dikarenakan pada saat itu kepolisian menghadapi
berbagai kendala dalam penanggulangan kejahatan, baik yang bersifat
operasional maupun prosedur hukum, sehingga kendala tersebut
memberikan hasil yang tidak optimal dalam upaya menekan kenaikan
angka kriminalitas dan mencegah kejahatan yang terjadi, bahkan pada
waktu itu tingkat kejahatan menjadi semakin meningkat, sehingga
berdasarkan hal tersebut penanggulangan kejahatan mulai
menggunakan pendekatan sistem yakni dengan istilah criminal justice
system. Pada umumnya dalam criminal justice system terdapat
30 Romli Atmasasmita, 1996. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)
Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisionalisme. Jakarta. Bina Cipta. Hlm. 9
21
beberapa komponen didalamnya, yaitu kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.31
Lawrence M. Friedman dalam menguraikan konsep dari sistem
hukum beliau melihat dari beberapa aspek (sudut pandang) yakni
substansi, struktur dan budaya hukum.32
Criminal justice system jika
dilihat dari cakupannya akan lebih luas dari hukum acara pidana, hal
ini dikarenakan cakupan materi hukum acara pidana hanya terbatas
pada aspek substansinya saja. Sementara dalam criminal justice
system meliputi substansi, struktur juga budaya hukum. Artinya dalm
suatu sistem, hukum tidak hanya dipandang apa yang diatur secara
eksplisit didalam buku maupun peraturan-peraturan tertulis lainnya,
akan tetapi juga bagaimana konteks dan dalam prakteknya.
Criminal justice system merupakan mekanisme kerja dalam
penanggulangan kejahatan yang menggunakan dasar pendekatan
sistem. Pendekatan sistem yang dimaksud adalah bahwa
penanggulangan kejahatan dilakukan dengan melibatkan sub-sub
sistem didalamnya sebagai suatu kesatuan yang saling berhubungan
dan saling mempengaruhi antara sub-sub sitem tersebut. Melalui
pendekatan sistem ini Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan
Lembaga Pemasyarakatan merupakan sub-sub sitem yang berkaitan
satu sama lain dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
31 Ibid.
32 Lawrence M. Friedman, 2001. American Law an Introduction. Second Edition. Hukum
Amerika sebuah pengantar. Penerjemah wisnu basuki. PT Tata Nusa. Jakarta. Hlm. 9
22
Romington dan Ohlin dalam buku karangan Romli
Atmasasmita, yang berjudul “Sistem Peradilan Pidana Kontemporer”
mengemukakan sebagai berikut :
“Criminal Justice System dapat diartikan pemakaian pendekatan
sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana dan
peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi
antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan
sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri
mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan
secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil
tertentu dengan segala keterbatasannya”.33
Criminal justice system pada dasarnya merupakan suatu open
system. Open system merupakan suatu sistem yang di dalam gerakan
mencapai tujuan baik dalam tujuan jangka pendek (resosialisasi),
jangka menegah (pencegahan kejahatan) maupun jangka panjang
(kesejahteraan sosial) dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan
bidang-bidang kehidupan manusia, maka sistem peradlian pidana
dalam geraknya akan selalu mengalami interface (interaksi,
interkoneksi, interdependensi) dengan lingkungannya dalam
peringkat-peringkat, masyarakat, ekonomi, politik, pendidikan dan
teknologi, serta subsistem-subsistem dari criminal justice system itu
sendiri.
Mardjono Reksodiputro menyatakan bahwa, Sistem Peradilan
Pidana adalah suatu sistem dalam uapaya untuk pengendalian
kejahatan yang didalamnya terdiri dari lembaga-lembaga Kepolisian,
33 Romli Atmasasmita, 2010. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Kencana. Jakarta.
Hlm. 2
23
Kejaksaan, Pengadilan dan Permasyarakatan terpidana.34
Dikemukakan pula oleh Romli Atmasasmita bahwa Criminal justice
system adalah suatu sistem yang ada dalam masyarakat yang memiliki
fungsi untuk menanggulangi kejahatan.35
Menanggulangi dalam hal
ini diartikan sebagai pengendalian kejahatan agar tetap berada dalam
batas-batas toleransi masyarakat. Pengendalian kejahatan agar tetap
dalam batas toleransi masyarakat tidak bermakna bahwa hal ini
memberikan toleransi terhadap suatu tindakan kejahatan atau
membiarkan kejahatan tersebut terjadi. Namun, toleransi tersebut
harus dijakdikan sebagai suatu kesadaran bahwa kejahatan akan tetap
ada selama masih ada manusia di dalam masyarakat. Sehingga dalam
hal ini, dimana ada masyarakat pasti disitu pulan tetap akan ada suatu
tindakan kejahatan yang terjadi. Berbeda dengan apa yang
disampaikan oleh Romli Atmasasmita, Muladi berpendapat bahwa
criminal justice system merupakan suatu jaringan (network) peradilan
yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik
hukum pidana materiil, hukum pidana formil.36
“Adapun tujuan dari criminal justice system menurut Mardjono
Reksodiputro adalah :
a. Mencegah masyarakat menjadi objek/korban.
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga
masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakan dan yang
bersalah dipidana.
34 Op.Cit., Mardjono Reksodiputro. Hlm. 1
35 Op.Cit., Romli Atmasasmita. Hlm. 15
36 Muladi, 2001. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro. Hlm. Viii Dan 18
24
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan
kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya”.37
Dari tujuan tersebut, Mardjono Reksodiputro mengemukakan
bahwa komponen-komponen yang ebrada dalam sistem peradilan
pidana yakni Kepolisian, Kejaksaaan, Pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk
suatu “integrated criminal justice system”. Karena menurutnya
apabila anatar kompenen-komponen terseput tidak terdapat
keterpaduan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, maka akan
diperkirakan terdapat tiga kerugian yang akan terjadi, antara lain
sebagai berikut :
a. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau
kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan
tugas mereka bersama;
b. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah
pokok masing-masing instansi (sebagai subsistem dari
sistem peradilan pidana); dan
c. Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering
kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu
memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem
peradilan pidana.38
37 Mardjono Reksodipoetro, 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak
Hukum Melawan Kejahatan). Dikutip dari Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, 2010. Hlm 3-4.
38 Ibid., Hlm. 3-4
25
“Muladi yang penulis kutip dari Romli Atmasasmita (2010)
menegaskan bahwa makna integrated criminal justice system
adalah sinkronisasi dan keselerasan yang dapat dibedakan
dalam:
a. Sinkronisasi struktural (structural syncronization);
Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan
dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum.
b. Sinkronisasi substansial (substantial syncronization);
Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan
keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam
kaitannya dengan hukum positif.
c. Sinkronisasi kultural (cultural syncronization).
Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselerasan
dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan
falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem
peradilan pidana”.39
Dari beberapa penjelasan yang telah penulis uraikan diatas,
maka criminal justice system tidaklah boleh dipandang sempit. Adnan
Buyung Nasution40
melihat bahwa konsekuensi dari pandangan sempit
terhadap suatu criminal justice system akan menghasilkan sistem
hukum acara pidana yang hanya akan berorientasi pada hukuman
semata. Padahal hakikatnya fungsi dari criminal justice system lebih
dari pada itu, yakni untuk menegakkan keadilan, memberantas
kejahatan dan mencegah kejahatan. Maka hemat penulis meyatakan
bahwa dalam suatu criminal justice system tidak boleh adanya
anggapan bahwa masing-masing komponen bekerja sendiri-sendiri
dan tidak memperhatikan satu sama lain jika ingin membentuk sistem
peradilan pidana yang berintegritas (integrated criminal justice
system). Hal ini sejalan dengan konsep integrated approach dari
39 Ibid., Hlm.6
40 Adnan Buyung Nasution, Dalam makalah pokok-pokok pikiran penyusunan hukum acara
pidana pada tanggal 5-7 Juli 2007. Hlm. 1
26
Hiroshi Ishikawa yang mana meskipun komponen-komponen tersebut
berbeda fungsi dan berdiri sendiri (diversity) tetapi harus mempunyai
satu tujuan dan persepsi yang sama sehingga merupakan suatu
kekuatan yang utuh (unity) yang saling mengikat. Lebih lanjut beliau
memberikan pernyataan terkait yaitu41
:
“criminal justice agencies including the police, prosecution,
judiciary institution should be compared with a chain of gears
and each of them should be precise and tenacious in
maintaining good combination with each other.”
(Terjemahan : Lembaga peradilan pidana termasuk polisi,
penuntut, lembaga peradilan harus dibandingkan dengan rantai
persneling dan masing-masing harus tepat dan gigih dalam
menjaga kombinasi yang baik satu sama lain.)
Romli Atmasasmita dalam bukunya “Sistem Peradilan Pidana
Kontemporer” menyebutkan bahwa dalam sistem peradilan pidana
dikenal tiga bentuk pendekatan yaitu dapat dilihat dari sudut
pendekatan normatif yang memandang keempat aparatur (kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi
pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga
keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari sistem penegakan hukum semata-mata. Pendekatan manajemen
atau administratif yang memandang keempat aparatur penegak hukum
sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja,
baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal
sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi
tersebut. Sistem yang digunakan adalah sistem administrasi.
41 Op.Cit., Mardjono Reksodipoetro. Hlm. 6-7
27
Pendekatan sosial yang memandang keempat aparatur penegak hukum
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial
sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas
keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak
hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang
dipergunakan adalah sistem sosial. Ketiga bentuk pendekatan tersebut
sekalipun berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Bahkan lebih jauh ketiga pendekatan tersebut saling mempengaruhi
dalam menentukan tolak ukur keberhasilan dalam menanggulangi
kejahatan.42
2. Model Pendekatan dalam Sistem Peradilan Pidana
Dalam sistem peradilan pidana dikenal model-model atau
konsep yang operasional sebagai cara bagaimana menyelesaikan kasus
pidana. Michael King sebagaiamana yang telah penulis kutip dari
Luhut, M.P. Pangaribuan dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara
Pidana dan Hakim Ad Hoc mengidentifikasi 6 model dari sistem
peradilan pidana yang dikenal dengan istilah “Model King”, antara
lain adalah Due process model; Crime control model; Medical model
yaitu diagnosis, prediction, and treatment selection; Bureaucratic
model; Status passage model; and Power model. 43
Masing-masing
model yang dikemukakan oleh King memiliki titik-tolak dan tujuan
yang berbeda. Dalam “Model King” terdapat beberapa model yang
42 Op.Cit., Romli Atmasasmita. Hlm. 7
43 Luhut M.P. Pangaribuan, 2017. Hukum Acara Pidana dan Hakim Ad Hoc. Jakarta. Papas
Sinar Sinanti. Hlm. 45
28
khusus dibentuk hanya untuk hal-hal tertentu pada kasus yang
spesifik.
Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Michael
King, Herbert Pecker salah seorang pakar dalam criminal justice
systme membagi model dalam criminal justice systme menjadi 2 (dua)
model yang berorientasi pada nilai-nilai praktis dalam melaksanakan
mekanisme proses peradilan pidana, dimana harapannya agar kita
dapat memahami suatu anatomi yang normatif dalam hukum pidana,
model yang dikemukakan oleh Herbert L. Packer yaitu Crime Control
Model (yang untuk selanjutnya disebut CCM) dan Due Process Model
(yang untuk selanjutnya disebut DPM).44
Pada hakikatnya menurut
model yang dikemukakan Packer akan mempresentasikan suatu
abstraksi dari dua sistem nilai yang berbeda yang menekankan pada
prioritas operasionalisasi dari ketentuan dalam hukum acara pidana.
Kedua model tersebut tidak menyebutkan mengenai apa
kenyataannya dan apa yang seharusnya dan bukanlah suatu polarisasi
yang absolut, namun sebenarnya kedua model yang diajukan oleh
Packer itu sangat erat hubungannya satu sama lainnya karena DPM itu
sendiri pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap CCM dan
keduanya beroperasi dalam sistem peradilan pidana atau beroperasi
didalam adversary system (sistem perlawanan) yang berlaku di
Amerika. Pada CCM berlaku prinsip presumption of guilt dan “sarana
cepat” dalam pemberantasan kejahatan demi efisiensi. Sedangkan
44 Op.Cit., Romli Atmasasmita. Hlm.8
29
pada DPM berlaku prinsip presumption of innocence.45
Sehingga
dengan kata lain Packer dalam hal ini melihat prioritas
operasionalisasi dari dua sistem nilai yang berbeda yakni “due
process” yaitu sebagai “negative model” dan “crime control” yaitu
sebagai “affirmative model”.
Operasionalisasi kedua model tersebut dilandaskan pada asumsi
yang sama yaitu:
a. Penetapan suatu tindakan yang dikategorikan sebagai tindak
pidana harus lebih dahulu ditetapkan jauh sebelum proses
identifikasi dan kontak dengan seorang tersangka pelaku
kejahatan atau asas “ex post facto law” atau asas undang-
undang tidak berlaku surut;
b. Diakui kewenangan yang terbatas pada aparatur penegak
hukum untuk melakukan tindakan penyidikan dan
penangkapan terhadap seorang tersangka pelaku kejahatan;
c. Seorang pelaku kejahatan adalah subjek hukum yang harus
dilindungi dan berhak atas peradilan yang jujur dan tidak
memihak.46
Selain persamaan dari kedua model tersebut terdapat pula
perbedaan diantara keduanya, berikut merupakan nilai-nilai yang
melandasi perbedaan kedua model yang dikemukakan oleh Packer
antara lain:
45 Op.Cit., Romli Atmasasmita. Hlm.8
46 Ibid., Hlm 7-16
30
a. Nilai-nilai yang melandasi crime control model adalah:
1. Tindakan represif terhadap suatu tindakan kriminal
merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan;
2. Perhatian utama harus ditujukan kepada efisiensi dari
suatu penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka,
menetapkan kesalahannya dan menjamin atau melindungi
hak tersangka dalam proses peradilannya;
3. Proses kriminal penegakan hukum harus dilaksanakan
berlandaskan prinsip cepat (speedy) dan tuntas (finality)
dan model yang dapat mendukung proses penegakan
hukum tersebut adalah harus model administratif dan
menyerupai model manajerial;
4. “asas praduga bersalah” atau “presumption of guilt” akan
menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien; dan
5. Proses penegakan hukum harus menitikberatkan kepada
kualitas temuan fakta administratif, oleh karena temuan
tersebut akan membawa ke arah :
a. Pembebasan seorang tersangka dari penuntutan, atau
b. Kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah atau
“plea of guilty”.47
b. Nilai-nilai yang melandasi due process model adalah:
1. Kemungkinan adanya faktor “kelalaian yang sifatnya
manusiawi” atau “human error” menyebabkan model ini
47 Ibid.
31
menolak “informal fact finding process” sebagai cara
untuk menetapkan secara definitif “factual guilt”
seseorang. Model ini hanya mengutamakan “formal-
adjudicative48
dan adversary fact-findings49
”. Hal ini
berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke
muka pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa
sesudah tersangka memperoleh hak yang penuh untuk
mengajukan pembelaannya;
2. Pencegahan (preventive measures) dan menghapuskan
sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi
peradilan;
3. Menempatkan individu secara utuh dan utama didalam
proses peradilan dan konsep pembatasan wewenang
formal, sangat memperhatikan kombinasi stigma dan
kehilangan kemerdekaan yang dianggap merupakan
pencabutan hak asasi seseorang yang hanya dapat
dilakukan oleh negara;
4. Bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap
kekuasaan, sehingga model ini memegang doktrin legal
guilt. Doktrin ini memiliki konsep pemikiran sebagai
berikut :
48 Formal adjudicative merupakan proses putusan yang melibatkan pendengaran
argumentasi dari pihak-pihak berperkara yang berdasarkan undang-undang
49 Adversarial fact-findings menyandarkan untuk menemukan kebenaran dengan cara
benturan argumentasi dari pihak yang berperkara di pengadilan dengan bukti-bukti pendukung
yang diajukan para pihak tersebut.
32
a. Seseorang dianggap bersalah apabila penetapan
kesalahannya dilakukan secara prosedural dan
dilakukan oleh mereka yang memiliki kewenangan
untuk tugas tersebut;
b. Penetapan kesalahan seseorang hanya dapat dilakukan
oleh pengadilan yang tidak memihak. Dalam konsep
“legal guilt” terkandung asas praduga tak bersalah atau
presumption of innocence;
5. Gagasan persamaan dimata hukum atau equality before
the law, berarti pemerintah harus menyediakan fasilitas
yang sama untuk setiap orang yang berhadapan dengan
hukum. Tujuan khusus model ini adalah sekurang-
kurangnya melindungi mereka yang faktual tidak bersalah
sama halnya dengan menuntut mereka yang faktual
bersalah;
6. Mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana
(criminal sanction). 50
Selain perbedaan dalam perspektif nilai seperti diatas, kedua
model tersebut berbeda pula pada mekanisme dan tipologi. CCM
menggunakan tipe “affirmative model” yang selalu menekankan pada
eksistensi dan penggunakan kekuasaan pada setiap sudut dari proses
peradilan pidana, dan dalam model ini kekuasaan legislatif sangat
dominan. Sedangkan DPM menggunakan tipe “negative model” yang
50 Ibid.
33
selalu menekankan pembatasan pada kekuasaan formal dan modifikasi
dari penggunaan kekuasaan tersebut. Kekuasaan yang dominan dalam
model ini adalah kekuasaan yudikatif dan selalu mengacu pada
konstitusi.51
B. Tinjauan umum tentang Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
1. Asas dan Model Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Sistem peradilan pidana di Indonesia pada umunya dasar atau
landasan yang digunakan saat ini yakni Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (yang
untuk selanjutnya disebut KUHAP). Dalam KUHAP terdapat asas-
asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat dan
martabat manusia yang ditegakkan, antara lain sebagai berikut:
1. Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”.52
2. Asas persamaan di depan hukum (equality before the law)
Dalam hukum acara pidana tidak mengenal forum
priviligiatum atau perlakuan yang bersifat khusus, karena
negara Indonesia sebagai negara hukum mengakui bahwa
manusia sama di depan hukum (equality before the law).53
Sebagaimana ditentukan Pasal 4 ayat (1) Undang – Undang
nomor 48 tahun 2009 dan penjelasan umum angka 3 huruf a
51 Op.Cit., Luhut M.P. Pangaribuan. Hlm. 92
52 Lihat penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
53 Lilik Mulyadi, 2012. Hukum Acara Pidana Indonesia Suatu Tinjauan Khusus Terhadap:
Surat Dakwaan, Eksepsi, Dan Putusan Peradilan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hlm. 17
34
KUHAP yaitu “pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membeda-bedakan orang”.
3. Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum.
Pada kepala sub paragraf ini telah tegas tertulis
“pemeriksaan pengadilan”, yang berarti pemeriksaan
pendahuluan, penyidikan, dan praperadilan terbuka untuk
umum. Dalam hal ini dapat diperhatikan pula Pasal 153 ayat
(3) dan ayat (4) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :54
Ayat (3)
“untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang
membuka sidang dan menyatakan terbuka
untuk umum kecuali dalam perkara mengenai
kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”
Ayat (4), yaitu “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam
ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan
demi hukum.”
Pada penjelasan ayat (3) dinyatakan cukup jelas, dan
untuk ayat (4) lebih dipertegas lagi, yaitu : “Jaminan yang
diatur dalam ayat (3) di atas diperkuat berlakunya, terbukti
dengan timbulnya akibat hukum jika asas tersebut tidak
dipenuhi.”
4. Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan
selain dari pada yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal
6 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).
5. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila
pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut
54 Andi Hamzah, 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. Hlm. 20
35
undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang
dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas
perbuatan yang didakwakan atas dirinya (Pasal 6 ayat (2) UU
No. 48 Tahun 2009).
6. Asas perintah tertulis dari yang berwenang, artinya segala
tindakan mengenai penangkapan, penahanan, penggeladahan,
penyitaan hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis
oleh pejabat yang berwenang oleh undang-undang (Pasal 7
UU No. 48 Tahun 2009).
7. Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
Hakikat asas ini cukup fundamental sifatnya dalam
hukum acara pidana. Ketentuan asas “praduga tak bersalah”
eksistensinya tampak pada Pasal 8 ayat (1) Undang –
Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan penjelasannya umum
angka 3 huruf c KUHAP yang menentukan bahwa55
:
“Setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut
dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib
dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Dalam praktik peradilan manifestasi asas ini dapat
diuraikan lebih lanjut, selama proses peradilan masih berjalan
(pengadilan negeri, pengadilan tinggi, mahkamah agung) dan
belum memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde), maka terdakwa belum dapat dikategorikan
55 Ibid., Hlm. 14
36
bersalah sebagai pelaku dari tindak pidana sehingga selama
proses peradilan pidana tersebut harus mendapatkan hak-
haknya sebagaimana diatur undang-undang.
8. Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap,
salah tahan dan salah tuntut, mengadili tanpa alasan
berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai
orangnya (error in persona) atau hukum yang diterapkannya
berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 9 ayat
(1) UU No. 48 Tahun 2009).
9. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya
ringan atau lazim disebut contante justitie (Pasal 2 ayat (4) jo
Pasal 4 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009).56
10. Asas memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya, artinya
bahwa setiap orang wajib diberikan kesempatan untuk
memperoleh bantuan hukum pada tiap tingkatan pemeriksaan
guna kepentingan pembelaan57
(Pasal 56 ayat (1) UU No. 48
Tahun 2009).
11. Asas wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum dakwaan,
serta hak-haknya termasuk hak menghubungi dan meminta
bantun penasihat hukum.
56 Lihat huruf e Penjelasan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 24
ayat (4), 26 ayat (4), 27 ayat (4), dan Pasal 28 ayat (4) KUHAP. Demikian pula lihat Pasal-pasal
lainnya yang berkaitan dengan asas ini, yaitu Pasal 60, 102 ayat (1), 106, 107 ayat (3), 110, 138
dan Pasal 140 ayat (1) KUHAP.
57 Masalah bantuan hukum diatur dalam pasal 69 sampai dengan pasal 74 KUHAP.
37
12. Asas hadirnya terdakwa, artinya pengadilan memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara pidana dengan hadirnya
terdakwa (Pasal 12 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).
13. Asas pemeriksaan terbuka untuk umum, artinya pengadilan
dalam pemerik-saan perkara terbuka untuk umum, jadi setiap
orang diperbolehkan hadir dan mendegarkan pemeriksaan di
persidangan (Pasal 13 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).
14. Asas pembacaan putusan, yaitu semua putusan pengadilan
hanya sah dan mempunyai kekuataan hukum apabila
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 13 ayat
(2) UU No. 48 Tahun 2009).
15. Asas pemeriksaan Hakim yang langsung dan lisan
Pada asasnya dalam praktik pemeriksaan perkara
pidana di depan persidangan dilakukan hakim secara
langsung kepada terdakwa dan saksi-saksi serta dilaksanakan
dengan secara lisan dalam bahasa indonesia. Tegasnya
hukum acara pidana indonesia tidak mengenal pemeriksaan
perkara pidana dengan acara mewakilkan dan pemeriksaan
secara tertulis sebagaimana halnya dalam hukum perdata.
Implementasi asas ini lebih luas dapat dilihat dari penjelasan
umum angka 3 huruf h, Pasal 153, Pasal 154, serta Pasal 155
KUHAP, dan seterusnya.58
58 Op.Cit., Lilik Mulyadi. Hlm 18
38
16. Asas putusan harus disertai alasan-alasan, artinya segala
putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar
putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum
tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 50
ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).
17. Asas tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali
apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut
undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang
dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas
perbuatan yang didakwakan atas dirinya (Pasal 10 ayat (1)
UU No. 48 Tahun 2009).
18. Asas pengadilan wajib memeriksa, mengadili dan memutus
perkara, artinya pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas (Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).
19. Asas pengawasan pelaksanaan putusan, artinya dalam
menjalankan putusan pidana, Ketua Pengadilan Negeri wajib
mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap (Pasal 55 ayat (1) UU No. 48
Tahun 2009).
39
Selain asas-asas yang tersurat dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana, terdapat asas-asas yang secara tersirat dalam
KUHAP, yaitu59
:
1. Asas oportunitas dalam penuntutan, artinya meskipun
terdapat bukti cukup untuk mendakwa seorang melanggar
suatu peraturan hukum pidana, namun Penuntut Umum
mempunyai kekuasaan untuk mengenyampingkan perkara
yang sudah terang pembuktiannya dengan tujuan kepentingan
negara atau umum (mendeponeer);
2. Asas kejaksaan sebagai penuntut umum dan polisi sebagai
penyidik, artinya dalam perkara pidana yang penuntutannya
tidak tergantung pada/dari kehendak perseorangan, bahwa
yang memajukan perkara ke muka hakim pidana adalah
pejabat lain dari pejabat penyidik;
3. Asas praperadilan, artinya pemeriksaan dan putusan tentang
sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan, penghentian penuntutan, ganti rugi atau
rehabilitasi bagi seorang yang berperkara pidana-nya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan;
4. Asas pemeriksaan secara langsung, artinya dalam
pemeriksaan perkara pidana, Hakim Pidana seberapa boleh
harus boleh berhubungan langsung dengan terdakwa, yang
59 Andi Sofyan, 2013. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Rangkang Education.
Yogyakarta. Hlm. 17.
40
berarti Hakim harus mendengar sendiri terdakwa, tidak cukup
dengan adanya surat-surat pencatatan yang memuat
keterangan-keterangan terdakwa di muka penyidik. Asas ini
berlaku bagi saksi-saksi dan saksi ahli dan dari siapa akan
diperoleh keterangan-keterangan yang perlu yang
memberikan gambaran apa yang benar-benar terjadi;
5. Asas personalitas aktif dan asas personalitas passif, artinya
dimungkinkan tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah
Republik Indonesia dapat diadili menurut hukum pidana
Republik Indonesia.
Berdasarkan penjelasan diatas yang telah penulis uraikan
mengenai asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yang merupakan pedoman dalam melaksanakan
Sistem Peradilan Pidana, maka dalam konteks penulisan ilmiah ini
penulis hendak membahas masalah kemungkinan pelaksanaan secara
optimal “asas sederhana, cepat dan biaya ringan” yang selama ini
hanya menjadi cita-cita para pencari keadilan dalam perwujudan asas
tersebut.
Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa pengadilan membantu para
pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan sederhana,
cepat, dan biaya ringan. Lebih tegasnya diatur dalam pasal 4 ayat (2)
Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
41
yaitu bahwasanya “peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan
biaya ringan.”
Dalam penjelasan pasal 4 ayat (2) Undang-undang No. 48 tahun
2009 tentang kekuasaan kehakiman, disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan sederhana adalah pemeriksaan dilakukan dengan efisien dan
efektif, kemudian yang dimaksud dengan biaya ringan adalah biaya
perkara yang dapat di pikul oleh rakyat, dengan tetap tidak
mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.60
a. Asas Sederhana
Asas menurut KBBI diartikan sebagai suatu dasar (sesuatu yang
menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat, dasar cita-cita
perkumpulan atau organisasi). Sedangkan Sederhana artinya adalah
sedang (dalam arti pertengahan, tidak tinggi, tidak rendah).
Sederhana mengacu pada “complicated” tidaknya penyelesaian
perkara. Maka asas sederhana artinya caranya yang jelas, mudah
dipahami dan tidak berbelit. Yang penting disini ialah agar para
pihak dapat mengemukakan kehendaknya dengan jelas dan pasti
(tidak berubah-ubah) dan penyelesaiannya dilakukan dengan jelas,
terbuka runtut dan pasti, dengan penerapan hukum acara yang
fleksibel demi kepentingan para pihak yang menghendaki acara
yang sederhana.
60 Lihat Penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman
42
b. Asas Cepat
Cepat secara bahasa artinya waktu singkat, dalam waktu singkat
berarti segera, tidak banyak seluk beluknya (tidak banyak pernik).
Cepat atau yang pantas mengacu pada “tempo” cepat atau
lambatnya penyelesaian perkara. Asas cepat dalam proses peradilan
disini artinya penyelesaian perkara memakan waktu tidak terlalu
lama. Makna dari asas cepat yaitu bahwa proses keseluruhan
peradilan dari tahap awal sampai akhir haruslah cepat dimana dapat
dimaknai sebagai efisiensi dan efektivitas dalam hal waktu dan
tidak melebihi batas waktu yang telah ditentukan. Peradilan cepat
juga merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 14
paragraf 3 (c) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 12
Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil
And Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik). Dalam konvensi tersebut diatur tentang
persyaratan jaminan minimal dalam pelaksanaan pidana. Dalam
pasal tersebut dinyatakan bahwa “untuk diadili tanpa penundaan”
selanjutnya pada Pasal 9 paragraf 3 Kovenan tersebut juga
mengatur bahwa salah satu tujuan dari prinsip peradilan yang cepat
adalah untuk melindungi hak-hak terdakwa (untuk tidak ditahan
terlalu lama serta memastikan adanya kepastian hukum baginya).61
61 Lihat ketentuan Pasal 9 paragraf 3 UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant On Civil And Political Rights.
43
c. Asas Biaya Ringan
Secara bahasa “biaya” artinya uang yang dikeluarkan untuk
mengadakan (mendirikan, melakukan, dan sebagainya) sesuatu,
ongkos (administrasi, Secara ongkos yang dikeluarkan untuk
pengurusan surat dan sebagainya), biaya perkara seperti
pemanggilan saksi dan materai. Sedangkan ringan disini mengacu
pada banyak atau sedikitnya biaya yang harus dikeluarkan oleh
pencari keadilan dalam menyelesaikan sengketanya di depan
pengadilan.
Sedangkan yang dimaksud dengan biaya ringan dalam peradilan
pidana adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh
masyarakat,62
dalam hal ini penulis berpendapat bahwa masyarakat
yang dimaksud adalah masyarakat dari segala lapisan sehingga
hukum dan keadilan dapat dicapai oleh semua orang. Biaya
hendaknya tidak dimaknai secara sempit mengenai biaya yang ada
dalam proses persidangan yang ditentukan oleh Kepaniteraan
Pengadilan saja, biaya tersebut dapat juga diartikan sebagai biaya
yang dikeluarkan oleh terdakwa dan keluarganya selama menjalani
persidangan, biaya bolak-balik menjalani persidangan dll.
2. Tahap-tahap Proses Peradilan Pidana di Indonesia
62 Lihat penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
44
Sistem peradilan pidana dimanifestasikan pada proses peradilan
dari awal sampai akhir yaitu hingga adanya putusan hakim yang
berkekuatan hukum tetap. Di Indonesia proses peradilan pidana
menurut KUHAP dibagi menjadi tahap penyelidikan dan penyidikan,
tahap peradilan, dan tahap pelaksanaan pidana. Berikut merupakan
uraian secara umum proses peradilan pidana Indonesia:
a. Tahap Penyelidikan dan Penyidikan
Adanya suatu proses peradilan pidana dimulai dari
masuknya pengaduan atau laporan atas suatu tindak pidana
di tingkat kepolisian. Pengaduan dalam pasal 1 butir 25
KUHAP merupakan suatu pemberitahuan disertai permintaan
oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang
berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang
telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.63
Sedangkan laporan dalam pasal 1 butir 24 KUHAP
merupakan suatu pemberitahuan yang disampaikan oleh
seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-
undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau
sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.64
Selain adanya pengaduan atau laporan, dimulainya
proses peradilan pidana dapat dikarenakan tertangkap tangan
63 Lihat ketentuan pasal 1 butir 25 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
64 Lihat ketentuan pasal 1 butir 24 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
45
yaitu tertangkapnya seseorang pada waktu melakukan tindak
pidana atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak
pidana tersebut dilakukan atau sesaat kemudian diserukan
oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya atau
apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang
diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana itu yang menunjukkan bahwa ialah pelaku atau turut
melakukan atau membantu melakukan tindak pidana tersebut.
Kemudian, tahap selanjutnya yaitu penyelidikan yang
menurut pasal 1 butir 5 KUHAP menyatakan bahwa
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.65
Yang berwenang untuk melakukan
penyelidikan menurut pasal 4 KUHAP adalah setiap pejabat
polisi negara Republik Indonesia.66
Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama
permulaan penyidikan. Namun penyelidikan bukan tindakan
yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan tetapi
penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi
65 Lihat ketentuan Pasal 1 butir 5 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana.
66 Lihat ketentuan Pasal 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana.
46
penyidikan. Menurut Buku Petunjuk Pedoman Pelaksanaan
KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau
metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului
tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat,
pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas
kepada penuntut umum.
Tahap selanjutnya yaitu penyidikan yaitu dalam
KUHAP pasal 1 penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidik
dalam hal ini adalah pejabat kepolisian atau pegawai negeri
sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
melakukan penyidikan. Dalam melaksanakan tugasnya untuk
mencari dan mengumpulkan bukti maka penyidik
mempunyai wewenang sebagaimana diatur dalam pasal 7
ayat (1) KUHAP.67
Sebelum memulai penyidikan, penyidik membuat surat
pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) yang
ditujukan kepada kejaksaan. Berita-berita acara tersebut
dibuat selengkap mungkin karena akan dijadikan berkas
67 Lihat ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
47
perkara yang nantinya akan diserahkan kepada penuntut
umum (kejaksaan). Apabila oleh penyidik dianggap tindakan
penyidikan telah selesai maka penyidik menyerahkan berkas
perkara (beserta barang bukti) dan tersangka kepada
penuntut umum. Dari sini terlihat bentuk komunikasi antara
penyidik dan penuntut umum dalam suatu perkara, apabila
berkas perkara yang diajukan dinilai oleh penuntut umum
belum memenuhi syarat atau kriteria untuk dimulainya suatu
penuntutan, maka penuntut umum dapat mengembalikan
kepada penyidik untuk diperbaiki.
Penyidik dapat memberikan status kepada seseorang
sebagai tersangka, jika terdapat bukti permulaan yang cukup
dan memberikan petunjuk bahwa orang tersebut patut
disangkakan sebagai orang yang melakukan tindak pidana
tersebut. Bukti permulaan yang dimaksud adalah benda-
benda, keterangan saksi, petunjuk surat dan lainnya yang
dapat memberikan petunjuk pelaku tindak pidana. Dalam
upaya mengumpulkan bukti-bukti dan keterangan yang cukup
oleh penyidik maka dia berwenang untuk melakukan
pengangkapan68
, dan penahanan terhadap seseorang.
b. Tahap Penuntutan
68 Penangkapan menurut pasal 1 angka 20 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna
kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini
48
Jika berkas dari penyidik telah dinyatakan siap untuk
dilakukan penuntutan maka selanjutnya yaitu dimulailah
tahap penuntutan oleh jaksa. Pengertian penuntutan
tercantum pada Pasal 1 butir 7 KUHAP dimana Penuntutan
adalah tindakan penututan umum untuk melimpahkan perkara
pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan.69
Dalam tahap penuntutan, penuntut umum segera
membuat surat dakwaan berdasarkan hasil penyidikan. Dalam
hal didapati oleh penuntut umum bahwa tidak terdapat cukup
bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa
pidana atau perkara ditutup demi hukum, maka penuntut
umum menghentikan penuntutan yang dituangkan dalam
suatu surat ketetapan. Apabila tersangka be rada dalam
tahanan, sedangkan surat ketetapan telah diterbitkan maka
tersangka harus segera di keluarkan dari tahanan.
Selanjutnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut
dikeluarkan dari tahanan. Selanjutnnya, surat ketetapan yang
dimaksud tersebut dibertahukan kepada tersangka. Turunan
surat ketetapan tersebut disampaikan kepada tersangka atau
69 Lihat ketentuan Pasal 1 butir 7 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana.
49
keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan
negara, penyidik dan hakim. Atas surat ketetapan ini maka
dapat dimohon praperadilan, sebagaimana diatur dalam BAB
X bagian kesatu KUHAP dan apabila kemudian didapati
alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan
terhadap tersangka.
c. Tahap peradilan
Segera setelah tahap penuntutan selesai dan penuntut
umum melimpahkan berkas perkara termasuk surat
dakwaan70
ke pengadilan negeri setempat (sesuai dengan
kompetensi relatifnya). Kemudian Ketua Pengadilan Negeri
(selanjutnya disebut Ketua PN) mempelajarinya, apakah
perkara tersebut masuk wewenangnya atau bukan.71
Maka
setelah itu Ketua PN menetapkan, bahwa PN tersebut
berwenang mengadili, dan PN tersebut tidak berwenang
mengadili,72
apabila Ketua PN menetapkan bahwa
Pengadilan Negeri terssebut berwenang, maka akan dibuat
suatu ketetapan mengenai komposisi majelis hakim yang
akan memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana
tersebut. Pada saat majelis hakim telah ditetapkan,
70 Lihat ketentuan Pasal 143 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana.
71 Lihat ketentuan Pasal 147 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana.
72 Lihat ketentuan Pasal 84 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana.
50
selanjutnya ditetapkan hari sidang. Pemberitahuan hari sidang
disampaikan oleh penuntut umum kepada terdakwa di alat
tempat tinggalnya atau disampaikan di tempat kediaman
terakhir apabila tempat tinggalnya diketahui. Dalam hal ini
surat panggilan memuat tanggal, hari serta jam dan untuk
perkara apa ia dipanggil. Surat panggilan termaksud
disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang
dimulai.
Pertama-tama hakim membuka sidang dan sidang
dinyatakan terbuka untuk umum selanjutnya menanyakan
identitas terdakwa dan sesudah itu penuntut umum
membacakan surat dakwaan yang harus dihadiri oleh
terdakwa, dakwaan memuat uraian tindak pidana yang
didakwakan kepada terdakwa. Atas surat dakwaan oleh
penuntut umum, terdakwa maupun penasehat hukumnya
dapat melakukan perlawanan melalui eksepsi atau tangkisan
atas surat dakwaan penuntut umum. Terdapat dua
kemungkinan atas diajukannya eksepsi dan kemungkinan
tersebut dituangkan dalam putusan sela oleh majelis hakim,
jika eksepsi diterima maka proses persidangan ditutup,
apabila eksepsi ditolak majelis hakim maka agenda
persidangan tetap berlanjut.
Selanjutnya yaitu memasuki agenda pembuktian,
dimana pada tahap ini memiliki peranan terpenting dalam
51
menentukan apakah terdakwa terbukti bersalah atau tidak.
Sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP adalah sistem
pembuktian berdasarkan undang-undang yang negatif
(Negatif wettelijk). Hal ini tercantum dalam Pasal 183
KUHAP.73
Sehingga nyatalah bahwa pembuktian harus
didasarkan pada alat bukti yang disebutkan dalam undang-
undang disertai keyakinan hakim atas alat-alat bukti yang
diajukan dalam persidangan, yang terdiri dari Keterangan
saksi; Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; dan Keterangan
terdakwa.
Pada pembuktian tersangka atau terdakwa tidak
dibebani kewajiban pembuktian.74
Ketentuan ini merupakan
penjelmaan dari asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocence) yang merupakan salah satu asas dalam KUHAP.
Selain itu dalam hukum acara pidana juga dikenal asas siapa
yang menyangka/mendakwa diwajibkan membuktikan
kebenaran dari dakwaannya.75
Karena dalam proses
pemeriksaan perkara pidana yang membuat/menyampaikan
dakwaan jaksa penuntut umum, maka yang dibebani
kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa adalah
73 Lihat ketentuan Pasal 183 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana.
74 Lihat ketentuan Pasal 66 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana.
75 HMA Kuffal, 2008. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum. Malang. UMM Press.
Hlm. 146.
52
jaksa penuntut umum (burden of proof is always on the
prosecutor). Akan tetapi menurut ketentuan yang diatur
dalam KUHAP dan dalam praktek proses peradilan perkara
pidana pada umumnya majelis hakim dalam sidang
pengadilan secara aktif juga membuktikan kesalahan
terdakwa berdasarkan surat dakwaan yang dibuat oleh
penuntut umum.76
Setelah tahap pembuktian, selanjutnya yaitu masuk
pada pernyataan surat tuntutan oleh penuntut umum yang
berisikan hal-hal yang ada selama persidangan (tahap
pembuktian) dikaitkan dengan apa yang didakwakan kepada
terdakwa dan berisi kesimpulan jumlah atau ketentuan
mengenai ancaman pidana yang dituntutkan kepada
terdakwa. Atas surat tuntutan tersebut, terdakwa atau
penasihat hukumnya diberikan pilihan untuk mengajukan
perlawanan melalui nota pembelaan (pledoi). Setelah melalui
proses diatas, maka majelis hakim akan mengadakan rapat
pemusyawaratan majelis hakim untuk menentukan putusan
yang dijatuhkan kepada terdakwa berdasarkan apa yang telah
terjadi dan terbukti selama persidangan. Putusan pengadilan
adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta
76 Ibid., Hlm. 147
53
menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1 butir 11
KUHAP).77
C. Tinjauan umum tentang Sistem Peradilan Pidana di Amerika Serikat
Pasal III ayat (1) konstitusi Amerika menyebutkan, kekuasaan
pengadilan di Amerika Serikat ditetapkan oleh satu Mahkamah Agung
dan dalam peradilan bawahan seperti yang dibentuk oleh kongres dari
waktu ke waktu. Mahkamah Agung adalah satu-satunya pengadilan
federal yang diberikan mandat oleh konstitusi. Semua pengadilan lainnya
dibentuk oleh Undang-undang Kongres. Sistem pengadilan di Amerika
Serikat adalah ganda. Satu pihak adalah peradilan federal yang
ditetapkan oleh kongres dan di pihak lainnya sistem peradilan negara
bagian yang dibentuk oleh badan pembuat Undang-undang berdasarkan
atas Undang-undang Dasar Negara bagian masing-masing.78
Setiap
negara-negara bagian di Amerika Serikat memiliki konstitusi sendiri,
struktur pemerintah sendiri, kitab undang-undang sendiri, dan sistem
pengadilan sendiri. Konstitusi Amerika Serikat juga membentuk cabang
yudisial dari pemerintah federal dan merinci kekuasaan dari pengadilan
federal. Pengadilan-pengadilan federal memiliki kekuasaan peradilan
yang eklusif atas kasus-kasus jenis tertentu, misalnya kasus yang
menyangkut undang-undang federal, persengkataan antara negara-negara
77 Lihat ketentuan Pasal 1 butir 11 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
78 Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007. Sistem Peradilan Pidana. Jakarta. Restu Agung.
Hlm. 153
54
bagian, dan kasus-kasus yang menyangkut negara asing. Di dalam
bidang-bidang tertentu lainnya, pengadilan-pengadilan federal barbagi
pakai kekuasaan peradilan dengan pengadilan-pengadilan negeri.
Misalnya, pengadilan federal dan pengadilan negeri keduanya boleh
memutuskan kasus-kasus yang menyangkut pihak-pihak bersengketa
yang bertempat tinggal di negara bagian yang berbeda. Pengadilan-
pengadilan negeri memiliki kekuasaan peradilan ekslusif atas kasus-
kasus yang umumnya sangat luas.79
Pihak-pihak yang bersengketa mempunyai hak untuk diadili oleh
juri dalam semua kasus kriminal dan kasus-kasus sipil umumnya. Juri
biasanya terdiridari sebuah panel berjumlah dua belas orang warga
negara yang mendengarkan kesaksian dan mengaplikasikan undang-
undang, yang dinyatakan oleh hakim,dalam usaha mencapai keputusan
bersama berdasarkan bukti-bukti yang dibeberkan pada saat juri
memastikannya dengan melihat pada kesaksian dalam sidang peradilan.
Walaupun demikian, persengketaan hukum di Amerika Serikat pada
umumnya dapat diselesaikan sebelum kasus tersebut mencapai juri.
Kasus-kasus tersebut diselesaikan lewat mosi hukum atau ikhtiar
pembayaran, bukan melalui sidang pengadilan.80
Sistem Peradilan yang berlaku di Amerika Serikat, baik materil
maupun formal dikenal sebagai adversary system atau accusatorial
system dengan ciri-ciri, adanya perlindungan terhadap hak asasi
79 Ibid.
80 Wildya. Sistem Peradilan Pidana di Amerika Serikat. https://www.slideshare.net. Di
akses pada tanggal 22 Maret 2017
55
seseorang (terdakwa) yang dilandaskan pada klausula “due process of
law”,81
klausul tersebut secara tegas dicantumkan dalam konstitusi
Amerika Serikat.82
Adversary system dalam sistem peradilan pidana menganut prinsip
sebagai berikut :
a. Prosedur peradilan pidana harus merupakan suatu “sengketa”
(dispute) antara kedua belah pihak (tertuduh dan penuntut umum)
dalam kedudukan (secara teoritis) yang sama dimuka pengadilan;
b. Tujuan utama prosedur sebagaimana dimaksud pada huruf a diatas
ialah menyelesaikan “sengketa” yang timbul disebabkan timbulnya
kejahatan;
c. Penggunaan cara pengajuan sanggahan atau pernyataan
(“pleadings”) dan adanya lembaga jaminan dan perundingan
bukan hanya merupakan suatu keharusan, melainkan justru
merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan cara
demikian justru memperkuat eksistensi suatu “konteks” antar
pihak yang berperkara dan secara akurat memberikan batas aturan
permainan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana;
d. Para pihak atau kontestan memiliki fungsi yang otonom dan jelas;
peranan penuntut umum ialah melakukan penuntutan sedangkan
peranan tertuduh ialah menolak atau menyanggah tuduhan.
81 Due process of law merupakan suatu proses atau prosedur formal yang adil, logis dan
layak yang harus dijalankan oleh orang berwenang dengan cara tidak bertentangan dengan hukum
82 Romli Atmasasmita, 2009. Sistem Peradilan Pidana, perspektif eksistensialisme dan
abolisme. Bandung. Binacipta. Hlm .10.
56
Penuntut umum bertujuan menetapkan fakta mana saja yang akan
dibuktikannya disertai bukti yang menunjang fakta tersebut.
Tertuduh bertugas menentukan fakta -fakta mana saja yang akan
diajukan di persidangan yang akan dapat menguntungkan
kedudukannya dengan menyampaikan bukti-bukti lain sebagai
penunjang fakta dimaksud. 83
Sistem pembuktian “Adversary System” ditujukan untuk
mengurangi kemungkinan dituntutnya seseorang yang nyata-nyata tidak
bersalah, sekalipun resiko kemungkinan seseorang yang benar-benar
bersalah dapat terhindar dari penjatuhan hukuman. Dalam menangani
perkara pidana, pihak yang menjadi penggugat adalah negara, yang
mewakili si korban dan kepentingan masyarakat, dan tergugat adalah
tertuduh. Si tertuduh biasanya diwakili oleh pembela (defense attorney),
sedang negara diwakili oleh penuntut umum (prosecuting attorney).84
Pihak yang bertugas menemukan kebenaran atas fakta dan tidak
memihak biasanya diwakili oleh para juri. Dalam pada itu pihak yang
bertugas menerapkan hukum yang berlaku dan juga tidak memihak ialah
hakim. Dalam hal seorang tertuduh menolak diadili oleh juri, maka
hakim juga bertugas sebagai penemu kebenaran atas fakta yang diajukan
dalam persidangan.85
83 Op.Cit., Romli Atmasasmita. Hlm. 120
84 Ibid.
85 Ibid.
57
Sistem hukum acara pidana di Amerika Serikat terdapat beberapa
tahap proses penanganan perkara pidana di mulai dari penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan dalam sidang, penetapan hukuman dan
pelaksanaan hukumannya. Dalam proses sidang, masih diawali dengan
arraignment86
dan preliminary hearing87
, pada saat itu terdakwa harus
hadir dalam memberikan pembelaan. Dakwaan digelar dalam sidang
terbuka dan biasanya diawali dengan membacakan dakwaan secara resmi
dan terdakwa diharuskan untuk mendengar apa yang didakwakan
terhadapnya. Selain itu juga terdakwa diberitahukan atas hak
hukumannya untuk meminta perlindungan hukum dan diminta juga untuk
menjawab atas dakwaan dengan hadir dalam pembelaan.88
Pembelaan bisa dilakukan dalam beberapa bentuk. Terdakwa bisa
didakwa bersalah atau dikurangai kesalahannya. Walaupun pembelanya
tidak pernah memberitahukan kliennya bagaimana mengaku, pembela
dapat menasehatinya. Jika terdapat bukti bahwa kasus yang menimpanya
begitu kuat terdakwa bersalah, maka dalam sidang pengadilan tersebut
pembela dapat berusaha atas nama terdakwa tawar-menawar dengan
jaksa penuntut umum untuk menerima pembelaan sebagai pengurangan
dakwaan menghemat waktu dan uang untuk datang ke pengadilan. Kalau
sudah ada kesepakatan tawar-menawar, penuntut, pembela dan terdakwa
86 Arraignment adalah sidang di depan hakim atau wakilnya yang terjadi beberapa hari
setelah seseorang ditahan, dimana tuduhan terhadap tersangka dibacakan dan tersangka dtanyai
sikapnya, apakah bersalah atau tidak
87 Preliminary hearing process dimana penyidik akan menghadap pengadilan untuk
memperoleh penilaian hakim apakah telah terdapat alasan kuat untuk percaya bahwa tersangka
tertentu merupakan pelaku suatu tindak pidana dan mempunyai cukup alasan untuk ditahan.
88 The Federal of Criminal Procedure Rule 11
58
akan mengahadapi hakim dan meminta hakim untuk menerima
pengakuan bersalah untuk menurunkan tuntutan. Mereka harus meyakini
hakim bahwa terdakwa mempunyai inisiatif sendiri terhadap permohonan
itu bahwa pengakuan dilakukan secara sukarela sehingga bisa
meringankan hukuman terdakwa daripada mengikuti sidang, kemudian
dinyatakan bersalah. Jika hakim puas bahwa pengakuan itu dilakukan
secara sukarela dan atas keinginan terdakwa, hakim bisa menerima
pengakuan tersebut. Pengakuan bersalah terhadap pidana yang
didakwakan disidang terbuka, tidak perlu diterima hakim jika hakim
percaya bahwa terdakwa dipaksa untuk mengaku, juga tidak mengerti arti
pengakuannya atau memang benar-benar tidak bersalah. Perlu
dikemukakan bahwa berdasarkan atas hukum beberapa negera bagian,
sidang diperlukan dan pengakuan bersalah terhadap kasus besar bisa
tidak diterima. Proses tersebut di atas dikenal dengan nama “Plea
Bargaining System”.89
D. Tinjauan umum tentang Plea Bargaining System
Istilah Plea Bargaining masih asing terdengar di telinga para
penggiat peradilan atau masyarakat hukum Indonesia. Konsep ini
memungkinkan terjadi negosiasi tentang jenis kejahatan yang akan
didakwakan dan ancaman hukuman yang akan diberikan dimuka
persidangan. Sehingga pengakuan bersalah secara sukarela dari terdakwa
menjadi patokan bagi penuntut umum untuk menentukan ancaman
pidana yang akan di ajukan dimuka sidang.
89 Op. Cit., Abdussalam dan DPM Sitompul. Hlm. 4
59
Dalam praktek peradilan pidana Plea Bargaining berlaku di negara
Common Law, khususnya di Amerika Serikat. Plea Bargaining diketahui
sebagai praktek penanganan perkara pidana, dimana antara pihak
penuntut umum (jaksa) dan terdakwa atau penasehat hukumnya telah
terjadi perundingan atau negosiasi tentang jenis kejahatan yang akan
didakwakan dan ancaman hukuman yang akan dituntut dimuka
persidangan kelak. Pengakuan bersalah secara sukarela dari terdakwa
menjadi patokan bagi penuntut umum untuk menentukan ancaman
pidana yang akan diajukan di muka sidang. Maka dengan adanya konsep
ini, sebuah peradilan pidana yang seharusnya memerlukan proses yang
cukup panjang, menjadi lebih efisien dan cepat. Hakim dalam sistem ini
hanya menjatuhkan pidana sebagaimana hasil perundingan yang telah
disepakati oleh penunut umum dan terdakwa. Konsep Plea Bargaining
juga diberlakukan di negara-negara Civil Law, seperti Jerman, Perancis,
Rusia, Georgia, Belanda dan negara lainnya.
Pengertian Plea Bargaining dalam Black’s Law Dictionary adalah:
“A negotiated agreement between a prosecutors and a criminal
defendant whereby the defendant pleads guilty to lesse ofense or to
one of multiple charges in exchange for some concession by the
prosecutor, more lenient sentence or dismissal of the other
charges.” 90
(Terjemahan: suatu kesepakatan perundingan antara penuntut
umum dan terdakwa dimana terdakawa mengaku bersalah atas
tindak pidana tertentu atau atas lebih dari satu tuntutan dengan
90 Aby Maulana, 2014. Konsep Pengakuan Bersalah Terdakwa pada “Jalur Khusus”
Menurut RUU KUHAP dan Perbandingannya dengan Praktek Plea Bargaining di beberapa
negara. Jakarta. Jurnal Hukum Staatrechts. Vol. 1 No.1. Universitas Muhammadiyah Jakarta. Hlm
45
60
imbalan dari penuntut umum, untuk menuntut hukuman ringan atau
membebaskan dari tuntutan atas tindak pidana lainnya).
Timothy Lynch menyatakan pandangannya tentang Plea
Bargaining, bahwa: “Plea Bargaining consists of an agreement
(formal or informal) between the defendant and the prosecutor. He
prosecutor typically agrees to a reduced prison sentence in return
for the defendant’s waiver of his constitutional right against non
self incrimination and his right to trial.” 91
(Terjemahan : Plea Bargaining terdiri dari kesepakatan (formal
maupun informal) antara terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum.
Jaksa Penuntut Umum biasanya setuju dengan mengurangi
hukuman penjara yang dalam hal ini mengesampingkan hak
konstitusional non self incrimination dan hak untuk diadili dari
terdakwa).
Dengan demikian, dalam mekanisme Plea Bargaining System,
apabila telah terjadi kesepakatan antara penuntut umum dengan tersangka
atau terdakwa, maka akan dapat mengesampingkan hak terdakwa atas
Non Self in Crimination dan berimplikasi adanya pemberhentian proses
peradilan selanjutnya.
Dalam praktiknya, jaksa dan terdakwa melakukan negosiasi atau
tawar-menawar setidaknya dalam tiga bentuk, diantaranya:
1. Charge Bargaining (negosiasi pasal yang didakwakan), yaitu jaksa
menawarkan untuk menurunkan jenis tindak pidana yang
didakwakan;
2. Fact Bargaining (negosiasi fakta hukum), yaitu jaksa hanya akan
menyampaikan fakta-fakta yang meringankan terdakwa; dan
91 Ibid., Hlm. 45
61
3. Sentencing Bargaining (negosiasi hukuman), yaitu negosiasi antara
jaksa denganterdakwa mengenai hukuman yang akan diterima
terdakwa. Hukuman tersebut umumnya lebih ringan. 92
Alschuler mengemukakan, bahwa pada awalnya Plea Bargaining
ini muncul pada pertengahan abad ke-19, dan kemudian dikenal dalam
bentuknya seperti sekarang ini. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-
20, sistem ini sangat berperan dalam mengatasi kesulitan menangani
perkara pidana. Bahkan pada sekitar tahun 1930, pengadilan di Amerika
Serikat sangat bergantung pada sistem ini.93
Praktik tersebut dilakukan
karena meningkatnya jumlah kasus yang ditangani penegak hukum, serta
proses persidangan yang lama terlebih jika terdakwa mengajukan upaya
hukum.94
Plea Bargaining baru mendapat pengakuan pada tahun 1970
ketika pengadilan memutuskan kasus Brady vs United States.95
Plea bargaining di AS dilakukan oleh jaksa dan terdakwa atau
pengacara. Negoasiasi diantara keduanya dilakukan dapat dilakukan
melalui telepon, di kantor kejaksaan, atau di ruang sidang.96
Namun,
negosiasi keduanya dilakukan tanpa keterlibatan hakim.97
Kesepakatan
antar keduanya dapat berupa:
92 Choky Ramadhan. Jalur Khusus dan Plea Bargaining. http://kuhap.or.id. Diakses pada
tanggal 12 Maret 2017
93 Albert Alschuler, 1979. Plea Bargaining and its History. Columbia. Journal Articles.
Vol. 79 No.1. Unniversity of Chicago Law School. Hlm 8
94Ibid., Hlm. 8
95 Ibid., Hlm. 7
96 Ibid., Hlm. 22
97 Federal Rules of Criminal Procedure 11C Sub 1(C)
62
1. Jaksa tidak mendakwa atau mendakwa lebih ringan tindak pidana
kepada terdakwa;
2. Jaksa merekomendasikan hakim hukuman yang akan dijatuhkan;
3. Jaksa sepakat dengan terdakwa untuk penjatuhan hukuman
tertentu.98
Hakim tidak terikat untuk menjatuhkan putusan sesuai
dengan kesepakatan antara jaksa dengan terdakwa atau
pengacaranya.99
Plea bargaining di AS dilakukan oleh jaksa dan terdakwa atau
pengacara. Negosiasi diantara keduanya dilakukan dapat dilakukan
melalui telepon, di kantor kejaksaan, atau di ruang sidang. Namun,
negosiasi keduanya dilakukan tanpa keterlibatan hakim.100
Kesepakatan
antar keduanya dapat berupa:
1. Jaksa tidak mendakwa atau mendakwa lebih ringan tindak pidana
kepada terdakwa;
2. Jaksa merekomendasikan hakim hukuman yang akan dijatuhkan;
3. Jaksa sepakat dengan terdakwa untuk penjatuhan hukuman
tertentu.101
Hakim tidak terikat untuk menjatuhkan putusan sesuai
dengan kesepakatan antara jaksa dengan terdakwa atau
pengacaranya.102
98 Federal Rules of Criminal Procedure 11C Sub 1(A) (B) (C)
99 Federal Rules of Criminal Procedure 11C Sub 3(A)
100 Federal Rules of Criminal Procedure 11C Sub 1(C)
101 Federal Rules of Criminal Procedure 11C Sub 1(A) (B) (C)
102 Federal Rules of Criminal Procedure 11C Sub 3(A)
63
Dalam Federal Rules of Criminal Procedure rule 11 sub (d)
melarang pengadilan untuk menerima pengakuan bersalah tanpa terlebih
dahulu mendengar keterangan si terdakwa mengenai apakah pengakuan
yang ia buat dilakukan secara sukarela dan bukan dikarenakan tekanan
atau paksaan atau janji lain yang diberikan penuntut umum diluar yang
terdapat dalam Plea Agreement. Untuk melindungi dari kesewenang-
wenangan aparat dalam melakukan Plea Bargaining ditentukan juga
bahwa pengadilan tidak akan memberikan putusan terkait pengakuan
bersalah sebelum adanya penyelidikan yang cukup bahwa ada dasar
faktual (factual basis) dalam melakukan Plea Bargaining. Apabila
ketentuan ini dilanggar maka Plea Agreement yang sudah dibuat tidak
dapat diterima oleh pengadilan dan proses peradilan dilanjutkan ke
tahapan persidangan. Selanjutnya mekanisme yang diatur dalam Federal
Rules of Criminal Procedure rule 11 sub (f) mengenai Plea Bargaining
secara implisit mengakui pengecualian terhadap prinsip shown beyond
reasonable doubt dan digantikan dengan prinsip adequate Factual
Adequate Basis Ketentuan ini menjadi salah satu kelemahan Plea
Bargaining karena tidak ada yang bisa menjamin pengakuan yang
diberikan oleh si terdakwa dilakukan apakah benar-benar karena ia
bersalah atau justru karena tekanan-tekanan aparat atau janji yang
diberikan oleh aparat meskipun sebenarnya ia tidak bersalah. Prinsip
Factual Adequate Basis ini tentu dapat meningkatkan resiko menghukum
seseorang yang tidak bersalah.103
103 Langbein, 1979. Understanding the Short History of Plea Bargaining. Yale Law
64
E. Tinjauan umum tentang Pembaharuan Hukum Pidana
Pembaharuan Hukum Pidana Pada dasarnya merupakan bagian dari
kebijakan hukum pidana.104
Sebagai bagian dari kebijakan hukum
pidana, maka pembaharuan hukum pidana hakikatnya bertujuan untuk
menjadikan hukum pidana lebih baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada
dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, pembaharuan hukum
pidana dilakukan agar hukum pidana yang berlaku sesuai dengan nilai-
nilai masyarakat Indonesia.105
Menyitir dari Barda Nawawi Arief, bahwa pembaharuan hukum
pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang
pada hakekatnya hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan
atau “policy” (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik
hukum pidana, politik kriminal dan politik sosial). Didalam setiap
kebijkan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. oleh karena itu
pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan
nilai. Selanjutnya, beliau menyimpulkan sebagai berikut:106
1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan :
a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum
pidana pada hakekatnya merupakan merupakan bagian dari
Achool. Rev. 261. Yale Law School Legal Scholarship Repository. Hlm 267
104 Barda Nawawi arief dalam Tongat, 2010. Hukum Pidana Indonesia : Dalam Prespektif
Pembaharuan. Malang. UMM Press. Hlm. 19
105 Ibid., Hlm. 20-21
106 Barda Nawawi Arief, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung :
Penerbit PT.Citra Aditya Bakti. Hlm. 31
65
upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk
masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai / menunjang
tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dll.)
b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya
perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan
kejahatan).
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan
hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya
memperbaharui substansi hukum (legal substansi dalam rangka
lebih mengefektifkan penegakan hukum)
2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan
upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi
dan re-evaluasi) nilai-nilai sosio - politik, sosio – filosofik, dan
sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan
normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan.
Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana, apabila
orientasi nilai dari hukum pidana yang dicitacitakan (misal
KUHAP baru) sama saja dengan orientas nilai dari hukum pidana
lama warisan penjajah ( KUHAP lama atau HIR ).
Menurut Jay A Sigler tersebut, Barda Nawawi Arief
mengatakan bahwa pembahruan hukum pidana pada hakikatnya
66
mengandung makna:107
“Suatu upaya untuk melakukan reorientasi
dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentra
sosial politik, sosial filosofis, dan sosio-kultural masyarakat
indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal,
dan kebijakan penegakan hukum di indonesia”.
Kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana
(penal reform) di Indonesia sejalan dengan hasil dari Kongres PBB
tahun 1976 tentang pencegahan kejahatan dan perlakuan kepada
pelaku kejahatan. Dalam kongres tersebut dinyatakan bahwa
hukum pidana yang ada selama ini di berbagai negara yang sering
berasal dari hukum asing dari zaman kolonial yang pada umumnya
telah asing dan tidak adil (obsolete and unjustice) serta ketinggalan
zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded and unreal)
karena tidak berakar dan pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada
diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif
terhadap kebutuhan sosial masa kini.108
Dalam Penjelasan Umum RUU KUHAP juga ditegaskan
bahwa Penyusunan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) Nasional untuk menggantikan KUHAP peninggalan
pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya
merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum
107 Yesmil Anwar dan Adang, 2008. Pembaharuan Hukum Pidana. Jakarta: Gramedia.
Hlm. 20
108 Barda Nawawi Arief, 2009. RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi
Sistem Hukum Pidana Indonesia. Semarang. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Hlm. 29
67
nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar
dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang,
sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran
hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.
Berdasarkan atas landasan yang terkandung dalam konsideran.
Adapun urgensi pembaharuan hukum pidana yang
dikemukakan oleh Sudarto,109
1. Alasan yang bersifat politik
Adalah wajar yang bahwa negara Republik Indonesia
memiliki KUHP yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri.
Ini merupakan kebanggan nasional yang inherent dengan
kedudukan sebagi negara yang telah melepaskan diri dari
penjajahan. Oleh karena itu tugas dari pembentukan undang-
undang adalah menasionalkan semua peraturan perundang-
undangan warisan kolonial,dan ini harus didasarkan kepada
pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
2. Alasan yang bersifat sosiologis
Urgensi pembentukan hukum (pembaharuan hukum)
(pidana) nasional didasarkan pada keharusan, bahwa hukum
nasional itu harus disasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat Indonesia sendiri. Hukum nasional haruslah
mencerminkan kultur Indonesia.
109 Op Cit., Tongat. Hlm. 25
68
Suatu KUHAP adalah pencerminan dari nilai-nilai
kebudayaan suatu bangsa, karena ia memuat perbuatan-
perbuatan itu suatu sanksi yang bersifat negatif berupa pidana.
Ukuran untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang itu
tentunnya bergantung pada pandangan kolektif yang terdapat
dalam masyarakat tentang apa yang baik yang benar dan
sebaliknya.
3. Alasan yang bersifat praktis
Alasan ini mengisyaratkan, bahwa hukum nasional itu
harus dapat dipahami oleh masyarakat sendiri. Alasan ini
didasarkan pada kenyataan bahwa hukum pidana yang sekarang
berlaku di Indonesia secara resmi menggunakan bahasa
Belanda, sementara dalam perkembangannya sangat sedikit
masyarakat (termasuk penegak hukum) yang mempunyai
kemampuan berbahasa Belanda.