bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum tentang sistem ...eprints.umm.ac.id/39213/3/bab ii.pdf ·...

49
20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan umum tentang Sistem Peradilan Pidana 1. Pengertian dan konsep Sistem Peradilan Pidana Istilah criminal justice system pertama kali dikemukakan di Amerika Serikat oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam criminal justice science. Criminal justice system muncul seiring dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegakan hukum yang didasarkan pada pendekatan hukum dan ketertiban yang sangat menggantungkan keberhasilan penanggulangan kejahatan pada efektivitas dan efisiensi kerja hanya pada organisasi kepolisian (law enforcement). 30 Kegagalan ini dikarenakan pada saat itu kepolisian menghadapi berbagai kendala dalam penanggulangan kejahatan, baik yang bersifat operasional maupun prosedur hukum, sehingga kendala tersebut memberikan hasil yang tidak optimal dalam upaya menekan kenaikan angka kriminalitas dan mencegah kejahatan yang terjadi, bahkan pada waktu itu tingkat kejahatan menjadi semakin meningkat, sehingga berdasarkan hal tersebut penanggulangan kejahatan mulai menggunakan pendekatan sistem yakni dengan istilah criminal justice system. Pada umumnya dalam criminal justice system terdapat 30 Romli Atmasasmita, 1996. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisionalisme. Jakarta. Bina Cipta. Hlm. 9

Upload: lynhu

Post on 05-Jul-2019

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan umum tentang Sistem Peradilan Pidana

1. Pengertian dan konsep Sistem Peradilan Pidana

Istilah criminal justice system pertama kali dikemukakan di

Amerika Serikat oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam

criminal justice science. Criminal justice system muncul seiring

dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak

hukum dan institusi penegakan hukum yang didasarkan pada

pendekatan hukum dan ketertiban yang sangat menggantungkan

keberhasilan penanggulangan kejahatan pada efektivitas dan efisiensi

kerja hanya pada organisasi kepolisian (law enforcement).30

Kegagalan ini dikarenakan pada saat itu kepolisian menghadapi

berbagai kendala dalam penanggulangan kejahatan, baik yang bersifat

operasional maupun prosedur hukum, sehingga kendala tersebut

memberikan hasil yang tidak optimal dalam upaya menekan kenaikan

angka kriminalitas dan mencegah kejahatan yang terjadi, bahkan pada

waktu itu tingkat kejahatan menjadi semakin meningkat, sehingga

berdasarkan hal tersebut penanggulangan kejahatan mulai

menggunakan pendekatan sistem yakni dengan istilah criminal justice

system. Pada umumnya dalam criminal justice system terdapat

30 Romli Atmasasmita, 1996. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)

Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisionalisme. Jakarta. Bina Cipta. Hlm. 9

21

beberapa komponen didalamnya, yaitu kepolisian, kejaksaan,

pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.31

Lawrence M. Friedman dalam menguraikan konsep dari sistem

hukum beliau melihat dari beberapa aspek (sudut pandang) yakni

substansi, struktur dan budaya hukum.32

Criminal justice system jika

dilihat dari cakupannya akan lebih luas dari hukum acara pidana, hal

ini dikarenakan cakupan materi hukum acara pidana hanya terbatas

pada aspek substansinya saja. Sementara dalam criminal justice

system meliputi substansi, struktur juga budaya hukum. Artinya dalm

suatu sistem, hukum tidak hanya dipandang apa yang diatur secara

eksplisit didalam buku maupun peraturan-peraturan tertulis lainnya,

akan tetapi juga bagaimana konteks dan dalam prakteknya.

Criminal justice system merupakan mekanisme kerja dalam

penanggulangan kejahatan yang menggunakan dasar pendekatan

sistem. Pendekatan sistem yang dimaksud adalah bahwa

penanggulangan kejahatan dilakukan dengan melibatkan sub-sub

sistem didalamnya sebagai suatu kesatuan yang saling berhubungan

dan saling mempengaruhi antara sub-sub sitem tersebut. Melalui

pendekatan sistem ini Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan

Lembaga Pemasyarakatan merupakan sub-sub sitem yang berkaitan

satu sama lain dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

31 Ibid.

32 Lawrence M. Friedman, 2001. American Law an Introduction. Second Edition. Hukum

Amerika sebuah pengantar. Penerjemah wisnu basuki. PT Tata Nusa. Jakarta. Hlm. 9

22

Romington dan Ohlin dalam buku karangan Romli

Atmasasmita, yang berjudul “Sistem Peradilan Pidana Kontemporer”

mengemukakan sebagai berikut :

“Criminal Justice System dapat diartikan pemakaian pendekatan

sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana dan

peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi

antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan

sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri

mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan

secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil

tertentu dengan segala keterbatasannya”.33

Criminal justice system pada dasarnya merupakan suatu open

system. Open system merupakan suatu sistem yang di dalam gerakan

mencapai tujuan baik dalam tujuan jangka pendek (resosialisasi),

jangka menegah (pencegahan kejahatan) maupun jangka panjang

(kesejahteraan sosial) dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan

bidang-bidang kehidupan manusia, maka sistem peradlian pidana

dalam geraknya akan selalu mengalami interface (interaksi,

interkoneksi, interdependensi) dengan lingkungannya dalam

peringkat-peringkat, masyarakat, ekonomi, politik, pendidikan dan

teknologi, serta subsistem-subsistem dari criminal justice system itu

sendiri.

Mardjono Reksodiputro menyatakan bahwa, Sistem Peradilan

Pidana adalah suatu sistem dalam uapaya untuk pengendalian

kejahatan yang didalamnya terdiri dari lembaga-lembaga Kepolisian,

33 Romli Atmasasmita, 2010. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Kencana. Jakarta.

Hlm. 2

23

Kejaksaan, Pengadilan dan Permasyarakatan terpidana.34

Dikemukakan pula oleh Romli Atmasasmita bahwa Criminal justice

system adalah suatu sistem yang ada dalam masyarakat yang memiliki

fungsi untuk menanggulangi kejahatan.35

Menanggulangi dalam hal

ini diartikan sebagai pengendalian kejahatan agar tetap berada dalam

batas-batas toleransi masyarakat. Pengendalian kejahatan agar tetap

dalam batas toleransi masyarakat tidak bermakna bahwa hal ini

memberikan toleransi terhadap suatu tindakan kejahatan atau

membiarkan kejahatan tersebut terjadi. Namun, toleransi tersebut

harus dijakdikan sebagai suatu kesadaran bahwa kejahatan akan tetap

ada selama masih ada manusia di dalam masyarakat. Sehingga dalam

hal ini, dimana ada masyarakat pasti disitu pulan tetap akan ada suatu

tindakan kejahatan yang terjadi. Berbeda dengan apa yang

disampaikan oleh Romli Atmasasmita, Muladi berpendapat bahwa

criminal justice system merupakan suatu jaringan (network) peradilan

yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik

hukum pidana materiil, hukum pidana formil.36

“Adapun tujuan dari criminal justice system menurut Mardjono

Reksodiputro adalah :

a. Mencegah masyarakat menjadi objek/korban.

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga

masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakan dan yang

bersalah dipidana.

34 Op.Cit., Mardjono Reksodiputro. Hlm. 1

35 Op.Cit., Romli Atmasasmita. Hlm. 15

36 Muladi, 2001. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang. Badan Penerbit

Universitas Diponegoro. Hlm. Viii Dan 18

24

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan

kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya”.37

Dari tujuan tersebut, Mardjono Reksodiputro mengemukakan

bahwa komponen-komponen yang ebrada dalam sistem peradilan

pidana yakni Kepolisian, Kejaksaaan, Pengadilan dan Lembaga

Pemasyarakatan diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk

suatu “integrated criminal justice system”. Karena menurutnya

apabila anatar kompenen-komponen terseput tidak terdapat

keterpaduan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, maka akan

diperkirakan terdapat tiga kerugian yang akan terjadi, antara lain

sebagai berikut :

a. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau

kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan

tugas mereka bersama;

b. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah

pokok masing-masing instansi (sebagai subsistem dari

sistem peradilan pidana); dan

c. Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering

kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu

memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem

peradilan pidana.38

37 Mardjono Reksodipoetro, 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak

Hukum Melawan Kejahatan). Dikutip dari Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, 2010. Hlm 3-4.

38 Ibid., Hlm. 3-4

25

“Muladi yang penulis kutip dari Romli Atmasasmita (2010)

menegaskan bahwa makna integrated criminal justice system

adalah sinkronisasi dan keselerasan yang dapat dibedakan

dalam:

a. Sinkronisasi struktural (structural syncronization);

Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan

dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum.

b. Sinkronisasi substansial (substantial syncronization);

Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan

keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam

kaitannya dengan hukum positif.

c. Sinkronisasi kultural (cultural syncronization).

Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselerasan

dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan

falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem

peradilan pidana”.39

Dari beberapa penjelasan yang telah penulis uraikan diatas,

maka criminal justice system tidaklah boleh dipandang sempit. Adnan

Buyung Nasution40

melihat bahwa konsekuensi dari pandangan sempit

terhadap suatu criminal justice system akan menghasilkan sistem

hukum acara pidana yang hanya akan berorientasi pada hukuman

semata. Padahal hakikatnya fungsi dari criminal justice system lebih

dari pada itu, yakni untuk menegakkan keadilan, memberantas

kejahatan dan mencegah kejahatan. Maka hemat penulis meyatakan

bahwa dalam suatu criminal justice system tidak boleh adanya

anggapan bahwa masing-masing komponen bekerja sendiri-sendiri

dan tidak memperhatikan satu sama lain jika ingin membentuk sistem

peradilan pidana yang berintegritas (integrated criminal justice

system). Hal ini sejalan dengan konsep integrated approach dari

39 Ibid., Hlm.6

40 Adnan Buyung Nasution, Dalam makalah pokok-pokok pikiran penyusunan hukum acara

pidana pada tanggal 5-7 Juli 2007. Hlm. 1

26

Hiroshi Ishikawa yang mana meskipun komponen-komponen tersebut

berbeda fungsi dan berdiri sendiri (diversity) tetapi harus mempunyai

satu tujuan dan persepsi yang sama sehingga merupakan suatu

kekuatan yang utuh (unity) yang saling mengikat. Lebih lanjut beliau

memberikan pernyataan terkait yaitu41

:

“criminal justice agencies including the police, prosecution,

judiciary institution should be compared with a chain of gears

and each of them should be precise and tenacious in

maintaining good combination with each other.”

(Terjemahan : Lembaga peradilan pidana termasuk polisi,

penuntut, lembaga peradilan harus dibandingkan dengan rantai

persneling dan masing-masing harus tepat dan gigih dalam

menjaga kombinasi yang baik satu sama lain.)

Romli Atmasasmita dalam bukunya “Sistem Peradilan Pidana

Kontemporer” menyebutkan bahwa dalam sistem peradilan pidana

dikenal tiga bentuk pendekatan yaitu dapat dilihat dari sudut

pendekatan normatif yang memandang keempat aparatur (kepolisian,

kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi

pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga

keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari sistem penegakan hukum semata-mata. Pendekatan manajemen

atau administratif yang memandang keempat aparatur penegak hukum

sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja,

baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal

sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi

tersebut. Sistem yang digunakan adalah sistem administrasi.

41 Op.Cit., Mardjono Reksodipoetro. Hlm. 6-7

27

Pendekatan sosial yang memandang keempat aparatur penegak hukum

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial

sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas

keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak

hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang

dipergunakan adalah sistem sosial. Ketiga bentuk pendekatan tersebut

sekalipun berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Bahkan lebih jauh ketiga pendekatan tersebut saling mempengaruhi

dalam menentukan tolak ukur keberhasilan dalam menanggulangi

kejahatan.42

2. Model Pendekatan dalam Sistem Peradilan Pidana

Dalam sistem peradilan pidana dikenal model-model atau

konsep yang operasional sebagai cara bagaimana menyelesaikan kasus

pidana. Michael King sebagaiamana yang telah penulis kutip dari

Luhut, M.P. Pangaribuan dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara

Pidana dan Hakim Ad Hoc mengidentifikasi 6 model dari sistem

peradilan pidana yang dikenal dengan istilah “Model King”, antara

lain adalah Due process model; Crime control model; Medical model

yaitu diagnosis, prediction, and treatment selection; Bureaucratic

model; Status passage model; and Power model. 43

Masing-masing

model yang dikemukakan oleh King memiliki titik-tolak dan tujuan

yang berbeda. Dalam “Model King” terdapat beberapa model yang

42 Op.Cit., Romli Atmasasmita. Hlm. 7

43 Luhut M.P. Pangaribuan, 2017. Hukum Acara Pidana dan Hakim Ad Hoc. Jakarta. Papas

Sinar Sinanti. Hlm. 45

28

khusus dibentuk hanya untuk hal-hal tertentu pada kasus yang

spesifik.

Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Michael

King, Herbert Pecker salah seorang pakar dalam criminal justice

systme membagi model dalam criminal justice systme menjadi 2 (dua)

model yang berorientasi pada nilai-nilai praktis dalam melaksanakan

mekanisme proses peradilan pidana, dimana harapannya agar kita

dapat memahami suatu anatomi yang normatif dalam hukum pidana,

model yang dikemukakan oleh Herbert L. Packer yaitu Crime Control

Model (yang untuk selanjutnya disebut CCM) dan Due Process Model

(yang untuk selanjutnya disebut DPM).44

Pada hakikatnya menurut

model yang dikemukakan Packer akan mempresentasikan suatu

abstraksi dari dua sistem nilai yang berbeda yang menekankan pada

prioritas operasionalisasi dari ketentuan dalam hukum acara pidana.

Kedua model tersebut tidak menyebutkan mengenai apa

kenyataannya dan apa yang seharusnya dan bukanlah suatu polarisasi

yang absolut, namun sebenarnya kedua model yang diajukan oleh

Packer itu sangat erat hubungannya satu sama lainnya karena DPM itu

sendiri pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap CCM dan

keduanya beroperasi dalam sistem peradilan pidana atau beroperasi

didalam adversary system (sistem perlawanan) yang berlaku di

Amerika. Pada CCM berlaku prinsip presumption of guilt dan “sarana

cepat” dalam pemberantasan kejahatan demi efisiensi. Sedangkan

44 Op.Cit., Romli Atmasasmita. Hlm.8

29

pada DPM berlaku prinsip presumption of innocence.45

Sehingga

dengan kata lain Packer dalam hal ini melihat prioritas

operasionalisasi dari dua sistem nilai yang berbeda yakni “due

process” yaitu sebagai “negative model” dan “crime control” yaitu

sebagai “affirmative model”.

Operasionalisasi kedua model tersebut dilandaskan pada asumsi

yang sama yaitu:

a. Penetapan suatu tindakan yang dikategorikan sebagai tindak

pidana harus lebih dahulu ditetapkan jauh sebelum proses

identifikasi dan kontak dengan seorang tersangka pelaku

kejahatan atau asas “ex post facto law” atau asas undang-

undang tidak berlaku surut;

b. Diakui kewenangan yang terbatas pada aparatur penegak

hukum untuk melakukan tindakan penyidikan dan

penangkapan terhadap seorang tersangka pelaku kejahatan;

c. Seorang pelaku kejahatan adalah subjek hukum yang harus

dilindungi dan berhak atas peradilan yang jujur dan tidak

memihak.46

Selain persamaan dari kedua model tersebut terdapat pula

perbedaan diantara keduanya, berikut merupakan nilai-nilai yang

melandasi perbedaan kedua model yang dikemukakan oleh Packer

antara lain:

45 Op.Cit., Romli Atmasasmita. Hlm.8

46 Ibid., Hlm 7-16

30

a. Nilai-nilai yang melandasi crime control model adalah:

1. Tindakan represif terhadap suatu tindakan kriminal

merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan;

2. Perhatian utama harus ditujukan kepada efisiensi dari

suatu penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka,

menetapkan kesalahannya dan menjamin atau melindungi

hak tersangka dalam proses peradilannya;

3. Proses kriminal penegakan hukum harus dilaksanakan

berlandaskan prinsip cepat (speedy) dan tuntas (finality)

dan model yang dapat mendukung proses penegakan

hukum tersebut adalah harus model administratif dan

menyerupai model manajerial;

4. “asas praduga bersalah” atau “presumption of guilt” akan

menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien; dan

5. Proses penegakan hukum harus menitikberatkan kepada

kualitas temuan fakta administratif, oleh karena temuan

tersebut akan membawa ke arah :

a. Pembebasan seorang tersangka dari penuntutan, atau

b. Kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah atau

“plea of guilty”.47

b. Nilai-nilai yang melandasi due process model adalah:

1. Kemungkinan adanya faktor “kelalaian yang sifatnya

manusiawi” atau “human error” menyebabkan model ini

47 Ibid.

31

menolak “informal fact finding process” sebagai cara

untuk menetapkan secara definitif “factual guilt”

seseorang. Model ini hanya mengutamakan “formal-

adjudicative48

dan adversary fact-findings49

”. Hal ini

berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke

muka pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa

sesudah tersangka memperoleh hak yang penuh untuk

mengajukan pembelaannya;

2. Pencegahan (preventive measures) dan menghapuskan

sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi

peradilan;

3. Menempatkan individu secara utuh dan utama didalam

proses peradilan dan konsep pembatasan wewenang

formal, sangat memperhatikan kombinasi stigma dan

kehilangan kemerdekaan yang dianggap merupakan

pencabutan hak asasi seseorang yang hanya dapat

dilakukan oleh negara;

4. Bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap

kekuasaan, sehingga model ini memegang doktrin legal

guilt. Doktrin ini memiliki konsep pemikiran sebagai

berikut :

48 Formal adjudicative merupakan proses putusan yang melibatkan pendengaran

argumentasi dari pihak-pihak berperkara yang berdasarkan undang-undang

49 Adversarial fact-findings menyandarkan untuk menemukan kebenaran dengan cara

benturan argumentasi dari pihak yang berperkara di pengadilan dengan bukti-bukti pendukung

yang diajukan para pihak tersebut.

32

a. Seseorang dianggap bersalah apabila penetapan

kesalahannya dilakukan secara prosedural dan

dilakukan oleh mereka yang memiliki kewenangan

untuk tugas tersebut;

b. Penetapan kesalahan seseorang hanya dapat dilakukan

oleh pengadilan yang tidak memihak. Dalam konsep

“legal guilt” terkandung asas praduga tak bersalah atau

presumption of innocence;

5. Gagasan persamaan dimata hukum atau equality before

the law, berarti pemerintah harus menyediakan fasilitas

yang sama untuk setiap orang yang berhadapan dengan

hukum. Tujuan khusus model ini adalah sekurang-

kurangnya melindungi mereka yang faktual tidak bersalah

sama halnya dengan menuntut mereka yang faktual

bersalah;

6. Mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana

(criminal sanction). 50

Selain perbedaan dalam perspektif nilai seperti diatas, kedua

model tersebut berbeda pula pada mekanisme dan tipologi. CCM

menggunakan tipe “affirmative model” yang selalu menekankan pada

eksistensi dan penggunakan kekuasaan pada setiap sudut dari proses

peradilan pidana, dan dalam model ini kekuasaan legislatif sangat

dominan. Sedangkan DPM menggunakan tipe “negative model” yang

50 Ibid.

33

selalu menekankan pembatasan pada kekuasaan formal dan modifikasi

dari penggunaan kekuasaan tersebut. Kekuasaan yang dominan dalam

model ini adalah kekuasaan yudikatif dan selalu mengacu pada

konstitusi.51

B. Tinjauan umum tentang Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

1. Asas dan Model Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Sistem peradilan pidana di Indonesia pada umunya dasar atau

landasan yang digunakan saat ini yakni Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (yang

untuk selanjutnya disebut KUHAP). Dalam KUHAP terdapat asas-

asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat dan

martabat manusia yang ditegakkan, antara lain sebagai berikut:

1. Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA”.52

2. Asas persamaan di depan hukum (equality before the law)

Dalam hukum acara pidana tidak mengenal forum

priviligiatum atau perlakuan yang bersifat khusus, karena

negara Indonesia sebagai negara hukum mengakui bahwa

manusia sama di depan hukum (equality before the law).53

Sebagaimana ditentukan Pasal 4 ayat (1) Undang – Undang

nomor 48 tahun 2009 dan penjelasan umum angka 3 huruf a

51 Op.Cit., Luhut M.P. Pangaribuan. Hlm. 92

52 Lihat penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

53 Lilik Mulyadi, 2012. Hukum Acara Pidana Indonesia Suatu Tinjauan Khusus Terhadap:

Surat Dakwaan, Eksepsi, Dan Putusan Peradilan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hlm. 17

34

KUHAP yaitu “pengadilan mengadili menurut hukum dengan

tidak membeda-bedakan orang”.

3. Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum.

Pada kepala sub paragraf ini telah tegas tertulis

“pemeriksaan pengadilan”, yang berarti pemeriksaan

pendahuluan, penyidikan, dan praperadilan terbuka untuk

umum. Dalam hal ini dapat diperhatikan pula Pasal 153 ayat

(3) dan ayat (4) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :54

Ayat (3)

“untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang

membuka sidang dan menyatakan terbuka

untuk umum kecuali dalam perkara mengenai

kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”

Ayat (4), yaitu “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam

ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan

demi hukum.”

Pada penjelasan ayat (3) dinyatakan cukup jelas, dan

untuk ayat (4) lebih dipertegas lagi, yaitu : “Jaminan yang

diatur dalam ayat (3) di atas diperkuat berlakunya, terbukti

dengan timbulnya akibat hukum jika asas tersebut tidak

dipenuhi.”

4. Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan

selain dari pada yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal

6 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).

5. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila

pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut

54 Andi Hamzah, 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. Hlm. 20

35

undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang

dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas

perbuatan yang didakwakan atas dirinya (Pasal 6 ayat (2) UU

No. 48 Tahun 2009).

6. Asas perintah tertulis dari yang berwenang, artinya segala

tindakan mengenai penangkapan, penahanan, penggeladahan,

penyitaan hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis

oleh pejabat yang berwenang oleh undang-undang (Pasal 7

UU No. 48 Tahun 2009).

7. Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).

Hakikat asas ini cukup fundamental sifatnya dalam

hukum acara pidana. Ketentuan asas “praduga tak bersalah”

eksistensinya tampak pada Pasal 8 ayat (1) Undang –

Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan penjelasannya umum

angka 3 huruf c KUHAP yang menentukan bahwa55

:

“Setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut

dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib

dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan

pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah

memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Dalam praktik peradilan manifestasi asas ini dapat

diuraikan lebih lanjut, selama proses peradilan masih berjalan

(pengadilan negeri, pengadilan tinggi, mahkamah agung) dan

belum memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van

gewijsde), maka terdakwa belum dapat dikategorikan

55 Ibid., Hlm. 14

36

bersalah sebagai pelaku dari tindak pidana sehingga selama

proses peradilan pidana tersebut harus mendapatkan hak-

haknya sebagaimana diatur undang-undang.

8. Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap,

salah tahan dan salah tuntut, mengadili tanpa alasan

berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai

orangnya (error in persona) atau hukum yang diterapkannya

berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 9 ayat

(1) UU No. 48 Tahun 2009).

9. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya

ringan atau lazim disebut contante justitie (Pasal 2 ayat (4) jo

Pasal 4 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009).56

10. Asas memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya, artinya

bahwa setiap orang wajib diberikan kesempatan untuk

memperoleh bantuan hukum pada tiap tingkatan pemeriksaan

guna kepentingan pembelaan57

(Pasal 56 ayat (1) UU No. 48

Tahun 2009).

11. Asas wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum dakwaan,

serta hak-haknya termasuk hak menghubungi dan meminta

bantun penasihat hukum.

56 Lihat huruf e Penjelasan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 24

ayat (4), 26 ayat (4), 27 ayat (4), dan Pasal 28 ayat (4) KUHAP. Demikian pula lihat Pasal-pasal

lainnya yang berkaitan dengan asas ini, yaitu Pasal 60, 102 ayat (1), 106, 107 ayat (3), 110, 138

dan Pasal 140 ayat (1) KUHAP.

57 Masalah bantuan hukum diatur dalam pasal 69 sampai dengan pasal 74 KUHAP.

37

12. Asas hadirnya terdakwa, artinya pengadilan memeriksa,

mengadili, dan memutus perkara pidana dengan hadirnya

terdakwa (Pasal 12 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).

13. Asas pemeriksaan terbuka untuk umum, artinya pengadilan

dalam pemerik-saan perkara terbuka untuk umum, jadi setiap

orang diperbolehkan hadir dan mendegarkan pemeriksaan di

persidangan (Pasal 13 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).

14. Asas pembacaan putusan, yaitu semua putusan pengadilan

hanya sah dan mempunyai kekuataan hukum apabila

diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 13 ayat

(2) UU No. 48 Tahun 2009).

15. Asas pemeriksaan Hakim yang langsung dan lisan

Pada asasnya dalam praktik pemeriksaan perkara

pidana di depan persidangan dilakukan hakim secara

langsung kepada terdakwa dan saksi-saksi serta dilaksanakan

dengan secara lisan dalam bahasa indonesia. Tegasnya

hukum acara pidana indonesia tidak mengenal pemeriksaan

perkara pidana dengan acara mewakilkan dan pemeriksaan

secara tertulis sebagaimana halnya dalam hukum perdata.

Implementasi asas ini lebih luas dapat dilihat dari penjelasan

umum angka 3 huruf h, Pasal 153, Pasal 154, serta Pasal 155

KUHAP, dan seterusnya.58

58 Op.Cit., Lilik Mulyadi. Hlm 18

38

16. Asas putusan harus disertai alasan-alasan, artinya segala

putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar

putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dan peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum

tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 50

ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).

17. Asas tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali

apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut

undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang

dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas

perbuatan yang didakwakan atas dirinya (Pasal 10 ayat (1)

UU No. 48 Tahun 2009).

18. Asas pengadilan wajib memeriksa, mengadili dan memutus

perkara, artinya pengadilan tidak boleh menolak untuk

memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang

diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang

jelas (Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).

19. Asas pengawasan pelaksanaan putusan, artinya dalam

menjalankan putusan pidana, Ketua Pengadilan Negeri wajib

mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap (Pasal 55 ayat (1) UU No. 48

Tahun 2009).

39

Selain asas-asas yang tersurat dalam Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana, terdapat asas-asas yang secara tersirat dalam

KUHAP, yaitu59

:

1. Asas oportunitas dalam penuntutan, artinya meskipun

terdapat bukti cukup untuk mendakwa seorang melanggar

suatu peraturan hukum pidana, namun Penuntut Umum

mempunyai kekuasaan untuk mengenyampingkan perkara

yang sudah terang pembuktiannya dengan tujuan kepentingan

negara atau umum (mendeponeer);

2. Asas kejaksaan sebagai penuntut umum dan polisi sebagai

penyidik, artinya dalam perkara pidana yang penuntutannya

tidak tergantung pada/dari kehendak perseorangan, bahwa

yang memajukan perkara ke muka hakim pidana adalah

pejabat lain dari pejabat penyidik;

3. Asas praperadilan, artinya pemeriksaan dan putusan tentang

sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian

penyidikan, penghentian penuntutan, ganti rugi atau

rehabilitasi bagi seorang yang berperkara pidana-nya

dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan;

4. Asas pemeriksaan secara langsung, artinya dalam

pemeriksaan perkara pidana, Hakim Pidana seberapa boleh

harus boleh berhubungan langsung dengan terdakwa, yang

59 Andi Sofyan, 2013. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Rangkang Education.

Yogyakarta. Hlm. 17.

40

berarti Hakim harus mendengar sendiri terdakwa, tidak cukup

dengan adanya surat-surat pencatatan yang memuat

keterangan-keterangan terdakwa di muka penyidik. Asas ini

berlaku bagi saksi-saksi dan saksi ahli dan dari siapa akan

diperoleh keterangan-keterangan yang perlu yang

memberikan gambaran apa yang benar-benar terjadi;

5. Asas personalitas aktif dan asas personalitas passif, artinya

dimungkinkan tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah

Republik Indonesia dapat diadili menurut hukum pidana

Republik Indonesia.

Berdasarkan penjelasan diatas yang telah penulis uraikan

mengenai asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana yang merupakan pedoman dalam melaksanakan

Sistem Peradilan Pidana, maka dalam konteks penulisan ilmiah ini

penulis hendak membahas masalah kemungkinan pelaksanaan secara

optimal “asas sederhana, cepat dan biaya ringan” yang selama ini

hanya menjadi cita-cita para pencari keadilan dalam perwujudan asas

tersebut.

Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa pengadilan membantu para

pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala

hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan sederhana,

cepat, dan biaya ringan. Lebih tegasnya diatur dalam pasal 4 ayat (2)

Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman

41

yaitu bahwasanya “peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan

biaya ringan.”

Dalam penjelasan pasal 4 ayat (2) Undang-undang No. 48 tahun

2009 tentang kekuasaan kehakiman, disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan sederhana adalah pemeriksaan dilakukan dengan efisien dan

efektif, kemudian yang dimaksud dengan biaya ringan adalah biaya

perkara yang dapat di pikul oleh rakyat, dengan tetap tidak

mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.60

a. Asas Sederhana

Asas menurut KBBI diartikan sebagai suatu dasar (sesuatu yang

menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat, dasar cita-cita

perkumpulan atau organisasi). Sedangkan Sederhana artinya adalah

sedang (dalam arti pertengahan, tidak tinggi, tidak rendah).

Sederhana mengacu pada “complicated” tidaknya penyelesaian

perkara. Maka asas sederhana artinya caranya yang jelas, mudah

dipahami dan tidak berbelit. Yang penting disini ialah agar para

pihak dapat mengemukakan kehendaknya dengan jelas dan pasti

(tidak berubah-ubah) dan penyelesaiannya dilakukan dengan jelas,

terbuka runtut dan pasti, dengan penerapan hukum acara yang

fleksibel demi kepentingan para pihak yang menghendaki acara

yang sederhana.

60 Lihat Penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman

42

b. Asas Cepat

Cepat secara bahasa artinya waktu singkat, dalam waktu singkat

berarti segera, tidak banyak seluk beluknya (tidak banyak pernik).

Cepat atau yang pantas mengacu pada “tempo” cepat atau

lambatnya penyelesaian perkara. Asas cepat dalam proses peradilan

disini artinya penyelesaian perkara memakan waktu tidak terlalu

lama. Makna dari asas cepat yaitu bahwa proses keseluruhan

peradilan dari tahap awal sampai akhir haruslah cepat dimana dapat

dimaknai sebagai efisiensi dan efektivitas dalam hal waktu dan

tidak melebihi batas waktu yang telah ditentukan. Peradilan cepat

juga merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 14

paragraf 3 (c) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan

Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 12

Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil

And Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak

Sipil dan Politik). Dalam konvensi tersebut diatur tentang

persyaratan jaminan minimal dalam pelaksanaan pidana. Dalam

pasal tersebut dinyatakan bahwa “untuk diadili tanpa penundaan”

selanjutnya pada Pasal 9 paragraf 3 Kovenan tersebut juga

mengatur bahwa salah satu tujuan dari prinsip peradilan yang cepat

adalah untuk melindungi hak-hak terdakwa (untuk tidak ditahan

terlalu lama serta memastikan adanya kepastian hukum baginya).61

61 Lihat ketentuan Pasal 9 paragraf 3 UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan

International Covenant On Civil And Political Rights.

43

c. Asas Biaya Ringan

Secara bahasa “biaya” artinya uang yang dikeluarkan untuk

mengadakan (mendirikan, melakukan, dan sebagainya) sesuatu,

ongkos (administrasi, Secara ongkos yang dikeluarkan untuk

pengurusan surat dan sebagainya), biaya perkara seperti

pemanggilan saksi dan materai. Sedangkan ringan disini mengacu

pada banyak atau sedikitnya biaya yang harus dikeluarkan oleh

pencari keadilan dalam menyelesaikan sengketanya di depan

pengadilan.

Sedangkan yang dimaksud dengan biaya ringan dalam peradilan

pidana adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh

masyarakat,62

dalam hal ini penulis berpendapat bahwa masyarakat

yang dimaksud adalah masyarakat dari segala lapisan sehingga

hukum dan keadilan dapat dicapai oleh semua orang. Biaya

hendaknya tidak dimaknai secara sempit mengenai biaya yang ada

dalam proses persidangan yang ditentukan oleh Kepaniteraan

Pengadilan saja, biaya tersebut dapat juga diartikan sebagai biaya

yang dikeluarkan oleh terdakwa dan keluarganya selama menjalani

persidangan, biaya bolak-balik menjalani persidangan dll.

2. Tahap-tahap Proses Peradilan Pidana di Indonesia

62 Lihat penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman.

44

Sistem peradilan pidana dimanifestasikan pada proses peradilan

dari awal sampai akhir yaitu hingga adanya putusan hakim yang

berkekuatan hukum tetap. Di Indonesia proses peradilan pidana

menurut KUHAP dibagi menjadi tahap penyelidikan dan penyidikan,

tahap peradilan, dan tahap pelaksanaan pidana. Berikut merupakan

uraian secara umum proses peradilan pidana Indonesia:

a. Tahap Penyelidikan dan Penyidikan

Adanya suatu proses peradilan pidana dimulai dari

masuknya pengaduan atau laporan atas suatu tindak pidana

di tingkat kepolisian. Pengaduan dalam pasal 1 butir 25

KUHAP merupakan suatu pemberitahuan disertai permintaan

oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang

berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang

telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.63

Sedangkan laporan dalam pasal 1 butir 24 KUHAP

merupakan suatu pemberitahuan yang disampaikan oleh

seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-

undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau

sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.64

Selain adanya pengaduan atau laporan, dimulainya

proses peradilan pidana dapat dikarenakan tertangkap tangan

63 Lihat ketentuan pasal 1 butir 25 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun

1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

64 Lihat ketentuan pasal 1 butir 24 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun

1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

45

yaitu tertangkapnya seseorang pada waktu melakukan tindak

pidana atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak

pidana tersebut dilakukan atau sesaat kemudian diserukan

oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya atau

apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang

diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak

pidana itu yang menunjukkan bahwa ialah pelaku atau turut

melakukan atau membantu melakukan tindak pidana tersebut.

Kemudian, tahap selanjutnya yaitu penyelidikan yang

menurut pasal 1 butir 5 KUHAP menyatakan bahwa

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai

tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya

dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini.65

Yang berwenang untuk melakukan

penyelidikan menurut pasal 4 KUHAP adalah setiap pejabat

polisi negara Republik Indonesia.66

Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama

permulaan penyidikan. Namun penyelidikan bukan tindakan

yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan tetapi

penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi

65 Lihat ketentuan Pasal 1 butir 5 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana.

66 Lihat ketentuan Pasal 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana.

46

penyidikan. Menurut Buku Petunjuk Pedoman Pelaksanaan

KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau

metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului

tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan,

penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat,

pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas

kepada penuntut umum.

Tahap selanjutnya yaitu penyidikan yaitu dalam

KUHAP pasal 1 penyidikan adalah serangkaian tindakan

penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti

yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidik

dalam hal ini adalah pejabat kepolisian atau pegawai negeri

sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang

melakukan penyidikan. Dalam melaksanakan tugasnya untuk

mencari dan mengumpulkan bukti maka penyidik

mempunyai wewenang sebagaimana diatur dalam pasal 7

ayat (1) KUHAP.67

Sebelum memulai penyidikan, penyidik membuat surat

pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) yang

ditujukan kepada kejaksaan. Berita-berita acara tersebut

dibuat selengkap mungkin karena akan dijadikan berkas

67 Lihat ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun

1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

47

perkara yang nantinya akan diserahkan kepada penuntut

umum (kejaksaan). Apabila oleh penyidik dianggap tindakan

penyidikan telah selesai maka penyidik menyerahkan berkas

perkara (beserta barang bukti) dan tersangka kepada

penuntut umum. Dari sini terlihat bentuk komunikasi antara

penyidik dan penuntut umum dalam suatu perkara, apabila

berkas perkara yang diajukan dinilai oleh penuntut umum

belum memenuhi syarat atau kriteria untuk dimulainya suatu

penuntutan, maka penuntut umum dapat mengembalikan

kepada penyidik untuk diperbaiki.

Penyidik dapat memberikan status kepada seseorang

sebagai tersangka, jika terdapat bukti permulaan yang cukup

dan memberikan petunjuk bahwa orang tersebut patut

disangkakan sebagai orang yang melakukan tindak pidana

tersebut. Bukti permulaan yang dimaksud adalah benda-

benda, keterangan saksi, petunjuk surat dan lainnya yang

dapat memberikan petunjuk pelaku tindak pidana. Dalam

upaya mengumpulkan bukti-bukti dan keterangan yang cukup

oleh penyidik maka dia berwenang untuk melakukan

pengangkapan68

, dan penahanan terhadap seseorang.

b. Tahap Penuntutan

68 Penangkapan menurut pasal 1 angka 20 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan

sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna

kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang

diatur dalam undang-undang ini

48

Jika berkas dari penyidik telah dinyatakan siap untuk

dilakukan penuntutan maka selanjutnya yaitu dimulailah

tahap penuntutan oleh jaksa. Pengertian penuntutan

tercantum pada Pasal 1 butir 7 KUHAP dimana Penuntutan

adalah tindakan penututan umum untuk melimpahkan perkara

pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan

permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di

sidang pengadilan.69

Dalam tahap penuntutan, penuntut umum segera

membuat surat dakwaan berdasarkan hasil penyidikan. Dalam

hal didapati oleh penuntut umum bahwa tidak terdapat cukup

bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa

pidana atau perkara ditutup demi hukum, maka penuntut

umum menghentikan penuntutan yang dituangkan dalam

suatu surat ketetapan. Apabila tersangka be rada dalam

tahanan, sedangkan surat ketetapan telah diterbitkan maka

tersangka harus segera di keluarkan dari tahanan.

Selanjutnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut

dikeluarkan dari tahanan. Selanjutnnya, surat ketetapan yang

dimaksud tersebut dibertahukan kepada tersangka. Turunan

surat ketetapan tersebut disampaikan kepada tersangka atau

69 Lihat ketentuan Pasal 1 butir 7 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana.

49

keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan

negara, penyidik dan hakim. Atas surat ketetapan ini maka

dapat dimohon praperadilan, sebagaimana diatur dalam BAB

X bagian kesatu KUHAP dan apabila kemudian didapati

alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan

terhadap tersangka.

c. Tahap peradilan

Segera setelah tahap penuntutan selesai dan penuntut

umum melimpahkan berkas perkara termasuk surat

dakwaan70

ke pengadilan negeri setempat (sesuai dengan

kompetensi relatifnya). Kemudian Ketua Pengadilan Negeri

(selanjutnya disebut Ketua PN) mempelajarinya, apakah

perkara tersebut masuk wewenangnya atau bukan.71

Maka

setelah itu Ketua PN menetapkan, bahwa PN tersebut

berwenang mengadili, dan PN tersebut tidak berwenang

mengadili,72

apabila Ketua PN menetapkan bahwa

Pengadilan Negeri terssebut berwenang, maka akan dibuat

suatu ketetapan mengenai komposisi majelis hakim yang

akan memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana

tersebut. Pada saat majelis hakim telah ditetapkan,

70 Lihat ketentuan Pasal 143 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana.

71 Lihat ketentuan Pasal 147 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana.

72 Lihat ketentuan Pasal 84 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana.

50

selanjutnya ditetapkan hari sidang. Pemberitahuan hari sidang

disampaikan oleh penuntut umum kepada terdakwa di alat

tempat tinggalnya atau disampaikan di tempat kediaman

terakhir apabila tempat tinggalnya diketahui. Dalam hal ini

surat panggilan memuat tanggal, hari serta jam dan untuk

perkara apa ia dipanggil. Surat panggilan termaksud

disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang

dimulai.

Pertama-tama hakim membuka sidang dan sidang

dinyatakan terbuka untuk umum selanjutnya menanyakan

identitas terdakwa dan sesudah itu penuntut umum

membacakan surat dakwaan yang harus dihadiri oleh

terdakwa, dakwaan memuat uraian tindak pidana yang

didakwakan kepada terdakwa. Atas surat dakwaan oleh

penuntut umum, terdakwa maupun penasehat hukumnya

dapat melakukan perlawanan melalui eksepsi atau tangkisan

atas surat dakwaan penuntut umum. Terdapat dua

kemungkinan atas diajukannya eksepsi dan kemungkinan

tersebut dituangkan dalam putusan sela oleh majelis hakim,

jika eksepsi diterima maka proses persidangan ditutup,

apabila eksepsi ditolak majelis hakim maka agenda

persidangan tetap berlanjut.

Selanjutnya yaitu memasuki agenda pembuktian,

dimana pada tahap ini memiliki peranan terpenting dalam

51

menentukan apakah terdakwa terbukti bersalah atau tidak.

Sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP adalah sistem

pembuktian berdasarkan undang-undang yang negatif

(Negatif wettelijk). Hal ini tercantum dalam Pasal 183

KUHAP.73

Sehingga nyatalah bahwa pembuktian harus

didasarkan pada alat bukti yang disebutkan dalam undang-

undang disertai keyakinan hakim atas alat-alat bukti yang

diajukan dalam persidangan, yang terdiri dari Keterangan

saksi; Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; dan Keterangan

terdakwa.

Pada pembuktian tersangka atau terdakwa tidak

dibebani kewajiban pembuktian.74

Ketentuan ini merupakan

penjelmaan dari asas praduga tidak bersalah (presumption of

innocence) yang merupakan salah satu asas dalam KUHAP.

Selain itu dalam hukum acara pidana juga dikenal asas siapa

yang menyangka/mendakwa diwajibkan membuktikan

kebenaran dari dakwaannya.75

Karena dalam proses

pemeriksaan perkara pidana yang membuat/menyampaikan

dakwaan jaksa penuntut umum, maka yang dibebani

kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa adalah

73 Lihat ketentuan Pasal 183 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana.

74 Lihat ketentuan Pasal 66 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana.

75 HMA Kuffal, 2008. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum. Malang. UMM Press.

Hlm. 146.

52

jaksa penuntut umum (burden of proof is always on the

prosecutor). Akan tetapi menurut ketentuan yang diatur

dalam KUHAP dan dalam praktek proses peradilan perkara

pidana pada umumnya majelis hakim dalam sidang

pengadilan secara aktif juga membuktikan kesalahan

terdakwa berdasarkan surat dakwaan yang dibuat oleh

penuntut umum.76

Setelah tahap pembuktian, selanjutnya yaitu masuk

pada pernyataan surat tuntutan oleh penuntut umum yang

berisikan hal-hal yang ada selama persidangan (tahap

pembuktian) dikaitkan dengan apa yang didakwakan kepada

terdakwa dan berisi kesimpulan jumlah atau ketentuan

mengenai ancaman pidana yang dituntutkan kepada

terdakwa. Atas surat tuntutan tersebut, terdakwa atau

penasihat hukumnya diberikan pilihan untuk mengajukan

perlawanan melalui nota pembelaan (pledoi). Setelah melalui

proses diatas, maka majelis hakim akan mengadakan rapat

pemusyawaratan majelis hakim untuk menentukan putusan

yang dijatuhkan kepada terdakwa berdasarkan apa yang telah

terjadi dan terbukti selama persidangan. Putusan pengadilan

adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang

pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas

atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta

76 Ibid., Hlm. 147

53

menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1 butir 11

KUHAP).77

C. Tinjauan umum tentang Sistem Peradilan Pidana di Amerika Serikat

Pasal III ayat (1) konstitusi Amerika menyebutkan, kekuasaan

pengadilan di Amerika Serikat ditetapkan oleh satu Mahkamah Agung

dan dalam peradilan bawahan seperti yang dibentuk oleh kongres dari

waktu ke waktu. Mahkamah Agung adalah satu-satunya pengadilan

federal yang diberikan mandat oleh konstitusi. Semua pengadilan lainnya

dibentuk oleh Undang-undang Kongres. Sistem pengadilan di Amerika

Serikat adalah ganda. Satu pihak adalah peradilan federal yang

ditetapkan oleh kongres dan di pihak lainnya sistem peradilan negara

bagian yang dibentuk oleh badan pembuat Undang-undang berdasarkan

atas Undang-undang Dasar Negara bagian masing-masing.78

Setiap

negara-negara bagian di Amerika Serikat memiliki konstitusi sendiri,

struktur pemerintah sendiri, kitab undang-undang sendiri, dan sistem

pengadilan sendiri. Konstitusi Amerika Serikat juga membentuk cabang

yudisial dari pemerintah federal dan merinci kekuasaan dari pengadilan

federal. Pengadilan-pengadilan federal memiliki kekuasaan peradilan

yang eklusif atas kasus-kasus jenis tertentu, misalnya kasus yang

menyangkut undang-undang federal, persengkataan antara negara-negara

77 Lihat ketentuan Pasal 1 butir 11 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun

1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

78 Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007. Sistem Peradilan Pidana. Jakarta. Restu Agung.

Hlm. 153

54

bagian, dan kasus-kasus yang menyangkut negara asing. Di dalam

bidang-bidang tertentu lainnya, pengadilan-pengadilan federal barbagi

pakai kekuasaan peradilan dengan pengadilan-pengadilan negeri.

Misalnya, pengadilan federal dan pengadilan negeri keduanya boleh

memutuskan kasus-kasus yang menyangkut pihak-pihak bersengketa

yang bertempat tinggal di negara bagian yang berbeda. Pengadilan-

pengadilan negeri memiliki kekuasaan peradilan ekslusif atas kasus-

kasus yang umumnya sangat luas.79

Pihak-pihak yang bersengketa mempunyai hak untuk diadili oleh

juri dalam semua kasus kriminal dan kasus-kasus sipil umumnya. Juri

biasanya terdiridari sebuah panel berjumlah dua belas orang warga

negara yang mendengarkan kesaksian dan mengaplikasikan undang-

undang, yang dinyatakan oleh hakim,dalam usaha mencapai keputusan

bersama berdasarkan bukti-bukti yang dibeberkan pada saat juri

memastikannya dengan melihat pada kesaksian dalam sidang peradilan.

Walaupun demikian, persengketaan hukum di Amerika Serikat pada

umumnya dapat diselesaikan sebelum kasus tersebut mencapai juri.

Kasus-kasus tersebut diselesaikan lewat mosi hukum atau ikhtiar

pembayaran, bukan melalui sidang pengadilan.80

Sistem Peradilan yang berlaku di Amerika Serikat, baik materil

maupun formal dikenal sebagai adversary system atau accusatorial

system dengan ciri-ciri, adanya perlindungan terhadap hak asasi

79 Ibid.

80 Wildya. Sistem Peradilan Pidana di Amerika Serikat. https://www.slideshare.net. Di

akses pada tanggal 22 Maret 2017

55

seseorang (terdakwa) yang dilandaskan pada klausula “due process of

law”,81

klausul tersebut secara tegas dicantumkan dalam konstitusi

Amerika Serikat.82

Adversary system dalam sistem peradilan pidana menganut prinsip

sebagai berikut :

a. Prosedur peradilan pidana harus merupakan suatu “sengketa”

(dispute) antara kedua belah pihak (tertuduh dan penuntut umum)

dalam kedudukan (secara teoritis) yang sama dimuka pengadilan;

b. Tujuan utama prosedur sebagaimana dimaksud pada huruf a diatas

ialah menyelesaikan “sengketa” yang timbul disebabkan timbulnya

kejahatan;

c. Penggunaan cara pengajuan sanggahan atau pernyataan

(“pleadings”) dan adanya lembaga jaminan dan perundingan

bukan hanya merupakan suatu keharusan, melainkan justru

merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan cara

demikian justru memperkuat eksistensi suatu “konteks” antar

pihak yang berperkara dan secara akurat memberikan batas aturan

permainan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana;

d. Para pihak atau kontestan memiliki fungsi yang otonom dan jelas;

peranan penuntut umum ialah melakukan penuntutan sedangkan

peranan tertuduh ialah menolak atau menyanggah tuduhan.

81 Due process of law merupakan suatu proses atau prosedur formal yang adil, logis dan

layak yang harus dijalankan oleh orang berwenang dengan cara tidak bertentangan dengan hukum

82 Romli Atmasasmita, 2009. Sistem Peradilan Pidana, perspektif eksistensialisme dan

abolisme. Bandung. Binacipta. Hlm .10.

56

Penuntut umum bertujuan menetapkan fakta mana saja yang akan

dibuktikannya disertai bukti yang menunjang fakta tersebut.

Tertuduh bertugas menentukan fakta -fakta mana saja yang akan

diajukan di persidangan yang akan dapat menguntungkan

kedudukannya dengan menyampaikan bukti-bukti lain sebagai

penunjang fakta dimaksud. 83

Sistem pembuktian “Adversary System” ditujukan untuk

mengurangi kemungkinan dituntutnya seseorang yang nyata-nyata tidak

bersalah, sekalipun resiko kemungkinan seseorang yang benar-benar

bersalah dapat terhindar dari penjatuhan hukuman. Dalam menangani

perkara pidana, pihak yang menjadi penggugat adalah negara, yang

mewakili si korban dan kepentingan masyarakat, dan tergugat adalah

tertuduh. Si tertuduh biasanya diwakili oleh pembela (defense attorney),

sedang negara diwakili oleh penuntut umum (prosecuting attorney).84

Pihak yang bertugas menemukan kebenaran atas fakta dan tidak

memihak biasanya diwakili oleh para juri. Dalam pada itu pihak yang

bertugas menerapkan hukum yang berlaku dan juga tidak memihak ialah

hakim. Dalam hal seorang tertuduh menolak diadili oleh juri, maka

hakim juga bertugas sebagai penemu kebenaran atas fakta yang diajukan

dalam persidangan.85

83 Op.Cit., Romli Atmasasmita. Hlm. 120

84 Ibid.

85 Ibid.

57

Sistem hukum acara pidana di Amerika Serikat terdapat beberapa

tahap proses penanganan perkara pidana di mulai dari penyidikan,

penuntutan, pemeriksaan dalam sidang, penetapan hukuman dan

pelaksanaan hukumannya. Dalam proses sidang, masih diawali dengan

arraignment86

dan preliminary hearing87

, pada saat itu terdakwa harus

hadir dalam memberikan pembelaan. Dakwaan digelar dalam sidang

terbuka dan biasanya diawali dengan membacakan dakwaan secara resmi

dan terdakwa diharuskan untuk mendengar apa yang didakwakan

terhadapnya. Selain itu juga terdakwa diberitahukan atas hak

hukumannya untuk meminta perlindungan hukum dan diminta juga untuk

menjawab atas dakwaan dengan hadir dalam pembelaan.88

Pembelaan bisa dilakukan dalam beberapa bentuk. Terdakwa bisa

didakwa bersalah atau dikurangai kesalahannya. Walaupun pembelanya

tidak pernah memberitahukan kliennya bagaimana mengaku, pembela

dapat menasehatinya. Jika terdapat bukti bahwa kasus yang menimpanya

begitu kuat terdakwa bersalah, maka dalam sidang pengadilan tersebut

pembela dapat berusaha atas nama terdakwa tawar-menawar dengan

jaksa penuntut umum untuk menerima pembelaan sebagai pengurangan

dakwaan menghemat waktu dan uang untuk datang ke pengadilan. Kalau

sudah ada kesepakatan tawar-menawar, penuntut, pembela dan terdakwa

86 Arraignment adalah sidang di depan hakim atau wakilnya yang terjadi beberapa hari

setelah seseorang ditahan, dimana tuduhan terhadap tersangka dibacakan dan tersangka dtanyai

sikapnya, apakah bersalah atau tidak

87 Preliminary hearing process dimana penyidik akan menghadap pengadilan untuk

memperoleh penilaian hakim apakah telah terdapat alasan kuat untuk percaya bahwa tersangka

tertentu merupakan pelaku suatu tindak pidana dan mempunyai cukup alasan untuk ditahan.

88 The Federal of Criminal Procedure Rule 11

58

akan mengahadapi hakim dan meminta hakim untuk menerima

pengakuan bersalah untuk menurunkan tuntutan. Mereka harus meyakini

hakim bahwa terdakwa mempunyai inisiatif sendiri terhadap permohonan

itu bahwa pengakuan dilakukan secara sukarela sehingga bisa

meringankan hukuman terdakwa daripada mengikuti sidang, kemudian

dinyatakan bersalah. Jika hakim puas bahwa pengakuan itu dilakukan

secara sukarela dan atas keinginan terdakwa, hakim bisa menerima

pengakuan tersebut. Pengakuan bersalah terhadap pidana yang

didakwakan disidang terbuka, tidak perlu diterima hakim jika hakim

percaya bahwa terdakwa dipaksa untuk mengaku, juga tidak mengerti arti

pengakuannya atau memang benar-benar tidak bersalah. Perlu

dikemukakan bahwa berdasarkan atas hukum beberapa negera bagian,

sidang diperlukan dan pengakuan bersalah terhadap kasus besar bisa

tidak diterima. Proses tersebut di atas dikenal dengan nama “Plea

Bargaining System”.89

D. Tinjauan umum tentang Plea Bargaining System

Istilah Plea Bargaining masih asing terdengar di telinga para

penggiat peradilan atau masyarakat hukum Indonesia. Konsep ini

memungkinkan terjadi negosiasi tentang jenis kejahatan yang akan

didakwakan dan ancaman hukuman yang akan diberikan dimuka

persidangan. Sehingga pengakuan bersalah secara sukarela dari terdakwa

menjadi patokan bagi penuntut umum untuk menentukan ancaman

pidana yang akan di ajukan dimuka sidang.

89 Op. Cit., Abdussalam dan DPM Sitompul. Hlm. 4

59

Dalam praktek peradilan pidana Plea Bargaining berlaku di negara

Common Law, khususnya di Amerika Serikat. Plea Bargaining diketahui

sebagai praktek penanganan perkara pidana, dimana antara pihak

penuntut umum (jaksa) dan terdakwa atau penasehat hukumnya telah

terjadi perundingan atau negosiasi tentang jenis kejahatan yang akan

didakwakan dan ancaman hukuman yang akan dituntut dimuka

persidangan kelak. Pengakuan bersalah secara sukarela dari terdakwa

menjadi patokan bagi penuntut umum untuk menentukan ancaman

pidana yang akan diajukan di muka sidang. Maka dengan adanya konsep

ini, sebuah peradilan pidana yang seharusnya memerlukan proses yang

cukup panjang, menjadi lebih efisien dan cepat. Hakim dalam sistem ini

hanya menjatuhkan pidana sebagaimana hasil perundingan yang telah

disepakati oleh penunut umum dan terdakwa. Konsep Plea Bargaining

juga diberlakukan di negara-negara Civil Law, seperti Jerman, Perancis,

Rusia, Georgia, Belanda dan negara lainnya.

Pengertian Plea Bargaining dalam Black’s Law Dictionary adalah:

“A negotiated agreement between a prosecutors and a criminal

defendant whereby the defendant pleads guilty to lesse ofense or to

one of multiple charges in exchange for some concession by the

prosecutor, more lenient sentence or dismissal of the other

charges.” 90

(Terjemahan: suatu kesepakatan perundingan antara penuntut

umum dan terdakwa dimana terdakawa mengaku bersalah atas

tindak pidana tertentu atau atas lebih dari satu tuntutan dengan

90 Aby Maulana, 2014. Konsep Pengakuan Bersalah Terdakwa pada “Jalur Khusus”

Menurut RUU KUHAP dan Perbandingannya dengan Praktek Plea Bargaining di beberapa

negara. Jakarta. Jurnal Hukum Staatrechts. Vol. 1 No.1. Universitas Muhammadiyah Jakarta. Hlm

45

60

imbalan dari penuntut umum, untuk menuntut hukuman ringan atau

membebaskan dari tuntutan atas tindak pidana lainnya).

Timothy Lynch menyatakan pandangannya tentang Plea

Bargaining, bahwa: “Plea Bargaining consists of an agreement

(formal or informal) between the defendant and the prosecutor. He

prosecutor typically agrees to a reduced prison sentence in return

for the defendant’s waiver of his constitutional right against non

self incrimination and his right to trial.” 91

(Terjemahan : Plea Bargaining terdiri dari kesepakatan (formal

maupun informal) antara terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum.

Jaksa Penuntut Umum biasanya setuju dengan mengurangi

hukuman penjara yang dalam hal ini mengesampingkan hak

konstitusional non self incrimination dan hak untuk diadili dari

terdakwa).

Dengan demikian, dalam mekanisme Plea Bargaining System,

apabila telah terjadi kesepakatan antara penuntut umum dengan tersangka

atau terdakwa, maka akan dapat mengesampingkan hak terdakwa atas

Non Self in Crimination dan berimplikasi adanya pemberhentian proses

peradilan selanjutnya.

Dalam praktiknya, jaksa dan terdakwa melakukan negosiasi atau

tawar-menawar setidaknya dalam tiga bentuk, diantaranya:

1. Charge Bargaining (negosiasi pasal yang didakwakan), yaitu jaksa

menawarkan untuk menurunkan jenis tindak pidana yang

didakwakan;

2. Fact Bargaining (negosiasi fakta hukum), yaitu jaksa hanya akan

menyampaikan fakta-fakta yang meringankan terdakwa; dan

91 Ibid., Hlm. 45

61

3. Sentencing Bargaining (negosiasi hukuman), yaitu negosiasi antara

jaksa denganterdakwa mengenai hukuman yang akan diterima

terdakwa. Hukuman tersebut umumnya lebih ringan. 92

Alschuler mengemukakan, bahwa pada awalnya Plea Bargaining

ini muncul pada pertengahan abad ke-19, dan kemudian dikenal dalam

bentuknya seperti sekarang ini. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-

20, sistem ini sangat berperan dalam mengatasi kesulitan menangani

perkara pidana. Bahkan pada sekitar tahun 1930, pengadilan di Amerika

Serikat sangat bergantung pada sistem ini.93

Praktik tersebut dilakukan

karena meningkatnya jumlah kasus yang ditangani penegak hukum, serta

proses persidangan yang lama terlebih jika terdakwa mengajukan upaya

hukum.94

Plea Bargaining baru mendapat pengakuan pada tahun 1970

ketika pengadilan memutuskan kasus Brady vs United States.95

Plea bargaining di AS dilakukan oleh jaksa dan terdakwa atau

pengacara. Negoasiasi diantara keduanya dilakukan dapat dilakukan

melalui telepon, di kantor kejaksaan, atau di ruang sidang.96

Namun,

negosiasi keduanya dilakukan tanpa keterlibatan hakim.97

Kesepakatan

antar keduanya dapat berupa:

92 Choky Ramadhan. Jalur Khusus dan Plea Bargaining. http://kuhap.or.id. Diakses pada

tanggal 12 Maret 2017

93 Albert Alschuler, 1979. Plea Bargaining and its History. Columbia. Journal Articles.

Vol. 79 No.1. Unniversity of Chicago Law School. Hlm 8

94Ibid., Hlm. 8

95 Ibid., Hlm. 7

96 Ibid., Hlm. 22

97 Federal Rules of Criminal Procedure 11C Sub 1(C)

62

1. Jaksa tidak mendakwa atau mendakwa lebih ringan tindak pidana

kepada terdakwa;

2. Jaksa merekomendasikan hakim hukuman yang akan dijatuhkan;

3. Jaksa sepakat dengan terdakwa untuk penjatuhan hukuman

tertentu.98

Hakim tidak terikat untuk menjatuhkan putusan sesuai

dengan kesepakatan antara jaksa dengan terdakwa atau

pengacaranya.99

Plea bargaining di AS dilakukan oleh jaksa dan terdakwa atau

pengacara. Negosiasi diantara keduanya dilakukan dapat dilakukan

melalui telepon, di kantor kejaksaan, atau di ruang sidang. Namun,

negosiasi keduanya dilakukan tanpa keterlibatan hakim.100

Kesepakatan

antar keduanya dapat berupa:

1. Jaksa tidak mendakwa atau mendakwa lebih ringan tindak pidana

kepada terdakwa;

2. Jaksa merekomendasikan hakim hukuman yang akan dijatuhkan;

3. Jaksa sepakat dengan terdakwa untuk penjatuhan hukuman

tertentu.101

Hakim tidak terikat untuk menjatuhkan putusan sesuai

dengan kesepakatan antara jaksa dengan terdakwa atau

pengacaranya.102

98 Federal Rules of Criminal Procedure 11C Sub 1(A) (B) (C)

99 Federal Rules of Criminal Procedure 11C Sub 3(A)

100 Federal Rules of Criminal Procedure 11C Sub 1(C)

101 Federal Rules of Criminal Procedure 11C Sub 1(A) (B) (C)

102 Federal Rules of Criminal Procedure 11C Sub 3(A)

63

Dalam Federal Rules of Criminal Procedure rule 11 sub (d)

melarang pengadilan untuk menerima pengakuan bersalah tanpa terlebih

dahulu mendengar keterangan si terdakwa mengenai apakah pengakuan

yang ia buat dilakukan secara sukarela dan bukan dikarenakan tekanan

atau paksaan atau janji lain yang diberikan penuntut umum diluar yang

terdapat dalam Plea Agreement. Untuk melindungi dari kesewenang-

wenangan aparat dalam melakukan Plea Bargaining ditentukan juga

bahwa pengadilan tidak akan memberikan putusan terkait pengakuan

bersalah sebelum adanya penyelidikan yang cukup bahwa ada dasar

faktual (factual basis) dalam melakukan Plea Bargaining. Apabila

ketentuan ini dilanggar maka Plea Agreement yang sudah dibuat tidak

dapat diterima oleh pengadilan dan proses peradilan dilanjutkan ke

tahapan persidangan. Selanjutnya mekanisme yang diatur dalam Federal

Rules of Criminal Procedure rule 11 sub (f) mengenai Plea Bargaining

secara implisit mengakui pengecualian terhadap prinsip shown beyond

reasonable doubt dan digantikan dengan prinsip adequate Factual

Adequate Basis Ketentuan ini menjadi salah satu kelemahan Plea

Bargaining karena tidak ada yang bisa menjamin pengakuan yang

diberikan oleh si terdakwa dilakukan apakah benar-benar karena ia

bersalah atau justru karena tekanan-tekanan aparat atau janji yang

diberikan oleh aparat meskipun sebenarnya ia tidak bersalah. Prinsip

Factual Adequate Basis ini tentu dapat meningkatkan resiko menghukum

seseorang yang tidak bersalah.103

103 Langbein, 1979. Understanding the Short History of Plea Bargaining. Yale Law

64

E. Tinjauan umum tentang Pembaharuan Hukum Pidana

Pembaharuan Hukum Pidana Pada dasarnya merupakan bagian dari

kebijakan hukum pidana.104

Sebagai bagian dari kebijakan hukum

pidana, maka pembaharuan hukum pidana hakikatnya bertujuan untuk

menjadikan hukum pidana lebih baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada

dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, pembaharuan hukum

pidana dilakukan agar hukum pidana yang berlaku sesuai dengan nilai-

nilai masyarakat Indonesia.105

Menyitir dari Barda Nawawi Arief, bahwa pembaharuan hukum

pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang

pada hakekatnya hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan

atau “policy” (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik

hukum pidana, politik kriminal dan politik sosial). Didalam setiap

kebijkan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. oleh karena itu

pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan

nilai. Selanjutnya, beliau menyimpulkan sebagai berikut:106

1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan :

a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum

pidana pada hakekatnya merupakan merupakan bagian dari

Achool. Rev. 261. Yale Law School Legal Scholarship Repository. Hlm 267

104 Barda Nawawi arief dalam Tongat, 2010. Hukum Pidana Indonesia : Dalam Prespektif

Pembaharuan. Malang. UMM Press. Hlm. 19

105 Ibid., Hlm. 20-21

106 Barda Nawawi Arief, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung :

Penerbit PT.Citra Aditya Bakti. Hlm. 31

65

upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk

masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai / menunjang

tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dll.)

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum

pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya

perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan

kejahatan).

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan

hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya

memperbaharui substansi hukum (legal substansi dalam rangka

lebih mengefektifkan penegakan hukum)

2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan

upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi

dan re-evaluasi) nilai-nilai sosio - politik, sosio – filosofik, dan

sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan

normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan.

Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana, apabila

orientasi nilai dari hukum pidana yang dicitacitakan (misal

KUHAP baru) sama saja dengan orientas nilai dari hukum pidana

lama warisan penjajah ( KUHAP lama atau HIR ).

Menurut Jay A Sigler tersebut, Barda Nawawi Arief

mengatakan bahwa pembahruan hukum pidana pada hakikatnya

66

mengandung makna:107

“Suatu upaya untuk melakukan reorientasi

dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentra

sosial politik, sosial filosofis, dan sosio-kultural masyarakat

indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal,

dan kebijakan penegakan hukum di indonesia”.

Kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana

(penal reform) di Indonesia sejalan dengan hasil dari Kongres PBB

tahun 1976 tentang pencegahan kejahatan dan perlakuan kepada

pelaku kejahatan. Dalam kongres tersebut dinyatakan bahwa

hukum pidana yang ada selama ini di berbagai negara yang sering

berasal dari hukum asing dari zaman kolonial yang pada umumnya

telah asing dan tidak adil (obsolete and unjustice) serta ketinggalan

zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded and unreal)

karena tidak berakar dan pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada

diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif

terhadap kebutuhan sosial masa kini.108

Dalam Penjelasan Umum RUU KUHAP juga ditegaskan

bahwa Penyusunan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) Nasional untuk menggantikan KUHAP peninggalan

pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya

merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum

107 Yesmil Anwar dan Adang, 2008. Pembaharuan Hukum Pidana. Jakarta: Gramedia.

Hlm. 20

108 Barda Nawawi Arief, 2009. RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi

Sistem Hukum Pidana Indonesia. Semarang. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Hlm. 29

67

nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar

dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang,

sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran

hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.

Berdasarkan atas landasan yang terkandung dalam konsideran.

Adapun urgensi pembaharuan hukum pidana yang

dikemukakan oleh Sudarto,109

1. Alasan yang bersifat politik

Adalah wajar yang bahwa negara Republik Indonesia

memiliki KUHP yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri.

Ini merupakan kebanggan nasional yang inherent dengan

kedudukan sebagi negara yang telah melepaskan diri dari

penjajahan. Oleh karena itu tugas dari pembentukan undang-

undang adalah menasionalkan semua peraturan perundang-

undangan warisan kolonial,dan ini harus didasarkan kepada

pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.

2. Alasan yang bersifat sosiologis

Urgensi pembentukan hukum (pembaharuan hukum)

(pidana) nasional didasarkan pada keharusan, bahwa hukum

nasional itu harus disasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat Indonesia sendiri. Hukum nasional haruslah

mencerminkan kultur Indonesia.

109 Op Cit., Tongat. Hlm. 25

68

Suatu KUHAP adalah pencerminan dari nilai-nilai

kebudayaan suatu bangsa, karena ia memuat perbuatan-

perbuatan itu suatu sanksi yang bersifat negatif berupa pidana.

Ukuran untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang itu

tentunnya bergantung pada pandangan kolektif yang terdapat

dalam masyarakat tentang apa yang baik yang benar dan

sebaliknya.

3. Alasan yang bersifat praktis

Alasan ini mengisyaratkan, bahwa hukum nasional itu

harus dapat dipahami oleh masyarakat sendiri. Alasan ini

didasarkan pada kenyataan bahwa hukum pidana yang sekarang

berlaku di Indonesia secara resmi menggunakan bahasa

Belanda, sementara dalam perkembangannya sangat sedikit

masyarakat (termasuk penegak hukum) yang mempunyai

kemampuan berbahasa Belanda.