bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan konsep dasar kebutuhan...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Konsep Dasar Kebutuhan
1. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia
Manusia memiliki kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi untuk
mempertahankan keseimbangan fisiologis dan psikologis agar dapat
mempertahankan kehidupan dan kesehatan. Kebutuhan dasar ini bersifat
heterogen, artinya pada dasarnya manusia memiliki kebutuhan yang sama,
tetapi karena terdapat perbedaan budaya, kebutuhan itu pun ikut berbeda.
Kebutuhan dasar manusia menurut Abraham Maslow dalam buku
Asmadi (2009) lebih dikenal dengan istilah Hierarki Kebutuhan Dasar
Manusia Maslow. Kebutuhan oksigen menurut Abraham Maslow terdapat
dalam kebutuhan fisiologis (physiologic needs), Karena oksigen (𝑂2)
merupakan kebutuhan yang vital bagi kehidupan manusia. Kebutuhan
oksigen (𝑂2) sangat berperan dalam proses metabolism tubuh. Kebutuhan
oksigen (𝑂2) dalam tubuh harus terpenuhi, apabila kebutuhan oksigen
(𝑂2) dalam tubuh kurang maka akan terjadi kerusakan jaringan otak dan bila
hal tersebut berlangsung lama akan terjadi kematian. Kebutuhan fisiologis
ini mencakup:
a. Kebutuhan oksigen dan pertukaran gas;
b. Kebutuhan cairan dan elektrolit;
c. Kebutuhan makanan;
d. Kebutuhan eliminasi urine dan alvi;
e. Kebutuhan istirahat dan tidur;
f. Kebutuhan aktivitas;
g. Kebutuhan kesehatan temperatur tubuh; dan
h. Kebutuhan seksual.
7
Sumber: Saputra 2014
Gambar 2.1 Kebutuhan Dasar Abraham Masllow
Kebutuhan dasar manusia menurut Virginia Handerson Manusia
mmengalami perkembangan yang dimulai dari proses tumbuh-kembang
dalam rentang kehidupan (life span). Dalam melakukan akikvitas sehari-
hari, individu memulainya dengan bergantung pada orang lain dan belajar
untuk mandiri melalui sebuah proses yang disebut pendewasaan. Proses
tersebut dipengaruhi oleh pola asuh, lingkungan sekitar, dan status
kesehatan individu. Dalam melakukan aktivitas sehari-hari, individu dapat
dikelompokan ke dalam tiga kategori yaitu:
1. Terlambat dalam melakukan aktifitas;
2. Belum mampu melakukan aktifitas; dan
3. Tidak dapat melakukan aktifitas.
Virginia Henderson dalam Potter dan Perry (1997) membagi kebutuhan
dasar manusia ke dalam 14 komponen sebagai berikut:
a. Bernafas secara normal;
b. Makan dan minum yang cukup;
8
c. Eliminasi (buang air besar dan kecil);
d. Bergerak dan mempertahankan postur yang diinginkan;
e. Tidur dan istirahat;
f. Memilih pakaian yang tepat;
g. Mempertahankan suhu tubuh dalam kisaran yang normal dengan
menyesuaikan pakaian yang digunakan dan memodifikasi lingkungan;
h. Menjaga kebersihan diri dan penampilan;
i. Menghindari bahaya dari lingkungan dan menghindari membahayakan
orang lain;
j. berkomunikasi dengan orang lain dalam mengekspresikan emosi,
kebutuhan, kekhwatiran, dan opini;
k. Beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan;
l. Bekerja sedemikian rupa sebagai modal untuk membiayai kebutuhan
hidup;
m. Bermain atau berpartisipasindalam berbagai bentuk rekreasi; dan
n. Belajar, menemukan, atau memuaskan rasa ingin tahu yang mengarah
pada perkembangan yang normal,kesehatan, dan penggunaan fasilitas
kesehatan yang tersedia (Saputra, 2013).
2. Pengertian Oksigen
Kebutuhan oksigen diperlukan untuk proses kehidupan, oksigen
sangat berperan dalam proses metabolism tubuh. Masalah kebutuhan
oksigen merupakan masalah utama dalam pemenuhan kebutuhan dasar
manusia. Hal ini telah terbukti pada seseorang yang kekurangan oksigen
akan mengalami hipoksia dan bisa mengalami kematian. Proses
pemenuhan kebutuhan oksigen dapat dilakukan dengan cara pemberian
oksigen melalui saluran pernafasan, memulihkan dan memperbaiki organ
pernafasan agar berfungsi secara normal serta membebaskan saluran
pernafasan dari sumbatan yang menghalangi masuknya oksigen.
9
Oksigenasi merupakan proses penambah O2 ke dalam sistem (kimia
atau fisika), Oksigen berupa gas tidak berwarna dan tidak berbau yang
mutlak dibutuhkan dalam proses metabolisme sel. Akibat oksigenisasi
terbentuklah karbondioksida, energi, dan air. Walaupun begitu,
penambahan CO2 yang melaebihi batas normal pada tubuh, akan
memberikan dampak yang cukup bermakna terhadap aktivitas sel. (Andina
dan Yuni, 2017).
3. Anatomi Sistem Pernafasan
Sumber: Potter & Perry 2010
Gambar 2.2 Anatomi Sistem Pernafasan
Anatomi saluran pernafasan terbagi menjadi dua bagian yaitu saluran
pernafasan bagian atas dan saluran pernafasan bagian bawah.
a. Sistem pernafasan atas
1) Hidung
Hidung (nasal) merupakan organ tubuh yang berfungsi
sebagai alat pernafasan (respirasi ) dan indra penciuman (pembau).
Dinding organ hidung dilapisi oleh mukosa yang berfungsi untuk
menyaring, menghangatkan, dan melembabkan udara yang masuk
melalui hidung. Vestibulum merupakan bagian dari rongga hidung
10
yang berambut dan berfungsi menyaring partikel-partikel asing
berukuran besar agar tidak masuk kesaluran pernafasan bagian
bawah.
2) Faring
Faring (tekak) adalah saluran otot selaput kedudukan nya
tegak lurus antara basis krani dan vertebrae servikalis VI. Faring
merupakan saluran yang sama-sama dilalui oleh udara dan
makanan. Faring terbagi menjadi nasofaring dan orofaring yang
kaya akan pasokan jaringan limfe yang menangkap dan
menghancurkan pathogen yang masuk bersamaan dengan udara.
3) Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan jalinan tulang
rawan yang dilengkapi dengan otot, membrane, jaringan ikat, dan
ligamentum. Laring sangat penting untuk mempertahankan
kepatenan jalan nafas bawah dari makanan dan minuman yang
ditelan. Selama menelan pintu masuk ke laring (epiglottis)
menutup, mengarahkan makanan masuk ke esophagus. Epiglottis
terbuka selama bernafas, yang memungkinkan udara bergerak
bebas ke jalan nafas bawah.
b. Sistem pernafasan bawah
1) Trakea (batang tenggorokan)
Trakea (batang tenggorokan) adalah tabung berbentuk pipa
seperti huruf C yang dibentuk oleh tulang-tulang rawan yang
disempurnakan oleh selaput, terletak diantara vertebrae servikalis
VI sampai ke tepi bawah kartilago krikoidea vertebra V. tabung
tulang yang menghubungkan hidung dan mulut ke paru-paru, maka
merupakan bagian penting pada system pernafasan. trakea adalah
tabung berotot kaku terletak di depan kerongkongan, yang sekitar
4,5 inci panjang dan lebar 1 inci. Diameter didalam sekitar 21-27
11
mm, panjang 10-16 c, ada sekitar 15-20 cincin tulang rawan
berbentuk C tidak Lengkap, yang melindung trakea dan menjaga
jalan nafas. Otot-otot trakea yang terhubung ke cincin lengkap dan
kontrak saat batuk, yang mengurangi ukuran lumen trakea untuk
meningkatkan aliran udara.
2) Bronkus dan bronkiolus
Trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri.
Bronkus kanan lebih pendek, lebar, dan lebih vertical daripada kiri.
Bronkus kiri lebih panjang dan langsing dari yang kanan , dan
berjalan dibawah artei pulmonalis sebelum di belah menjadi
beberapa cabang yang berjalan ke lobus atas dan bawah.
Bronkiolus membentuk percabangan bronkiolus terminalis ,
yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus
terminalis ini kemudian menjadi bronkiolus respiratori yang di
anggap menjadi saluran tradisional antara jalan udara transisional
antara jalan udara konduksi dan jalan udara pertukaran gas.
3) Pulmo (paru)
Pulmo (paru) adalah organ utama dalam system pernafasan,
merupakan salah satu organ sistem pernafasan yang berada di
dalam kantong yang dibentuk oleh pleura parietalis dan pleura
viseralis. Kedua paru sangat lunak, elastis dan berada dalam rongga
torak. Sifatnya ringan dan terapung di dalam air (Muttaqin, 2012).
4. Fisiologi Sistem Pernafasan
Sistem pernafasan atau respirasi berperan dalam menjamin
ketersediaan oksigen untuk kelangsungan metabolisme sel–sel tubuh dan
pertukaran gas. Melalui peran sistem respirasi oksigen di ambil dari
atmosfer, ditransfer masuk ke paru–paru dan terjadi pertukaran gas oksigen
dengan karbondioksida di alveoli, selanjutnya oksigen akan di difusikan
12
untuk masuk ke kapiler darah untuk di manfaatkan oleh sel sel dalam proses
metabolisme.
Pernafasan (respiratori) adalah peristiwa menghirup udara dari luar
yang mengandung oksigen ke dalam tubuh(inspirasi) serta mengeluarkan
udara yang mengandung karbondioksida sisa oksidasi ke luar tubuh
(ekspirasi). Proses pemenuhan kebutuhan oksigenasi tubuh terdiri atas tiga
tahap, yaitu ventilasi, difusi gas, dan transfortasi oksigen (Tarwoto dan
Wartonah, 2010).
a. Ventilasi
Ventilasi adalah proses untuk menggerakan gas ke dalam dan keluar
paru-paru. Ventilasi membutuhkan koordinasi otot paru thoraks yang
elastik dan persyarafan yang utuh. Otot pernafasan inspirasi utama adalah
diafragma. Diafragma dipersarafi oleh saraf frenik, yang keluar dari
medulla spinalis pada vertebra servikal keempat.
b. Difusi gas
Difusi gas adalah bergeraknya gas 𝑜2 dan c𝑜2 atau partikel lain
dari area yang bertekanan tinggi ke arah yang bertekanan rendah. Di
dalam alveoli 𝑂2 melintasi membrane alveoli-kapiler dari alveoli ke
darah karena adanya perbedaan tekanan 𝑃𝑂2 yang tinggi di alveoli dan
tekanan pada kapiler yang lebih rendah.
c. Transfortasi oksigen
Transfortasi oksigen adalah perpindahan gas dari paru ke
jaringan dan dari jaringan ke paru dengan bantuan aliran darah.
Transportasi oksigen di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu curah
jantung (kardiak output), kondisi pembuluh darah, latihan (exercise),
perbandingan sel darah dengan darah secara keseluruhan (hematokrit),
serta eritrosit dan kadar Hb.
13
5. Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Pernafasan
Kebutuhan tubuh terhadap oksigen tidak tetap, dalam waktu tertentu
membutuhkan oksigen dalam jumlah banyak karena suatu sebab. Faktor-
faktor yang mempengaruhi kebutuhan oksigen dalam tubuh antara lain
lingkungan, latihan fisik, emosi, gaya hidup, dan status kesehatan.
a. Lingkungan
Saat berada dilingkungan yang panas, tubuh akan merespon dan
mengakibatkan terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer,
akibatnya darah banyak mengalir ke kulit. keadaan tersebut
mengakibatkan panas banyak dikeluarkan melalui pori–pori kulit.
Respon tersebut mengakibatkan curah jantung meningkat dan kebutuhan
oksigen juga meningkat. Sebaliknya pada lingkungan dingin pembuluh
darah mengalami kontraksi dan terjadi penurunan tekanan darah
sehingga menurunkan kerja jantung dan kebutuhan oksigen juga
menurun.
Selain itu, tempat yang tinggi juga mempengaruhi kebutuhan
oksigen. Semakin tinggi tempat, maka semakin sedikit kandunngan
oksigennya. Sehingga, jika seseorang berada pada tempat yang tinggi,
misalnya pada ketinggian 3000 meter diatas permukaan laut, maka
tekanan alveoli berkurang. Hal tersebut mengindikasikan kandungan
oksigen dalam paru–paru sedikit, sehingga rawan kekurangan oksigen.
b. Latihan Fisik
Latihan fisik atau peningkatan aktivitas dapat meningkatkan
denyut jantung dan respirasi rate sehingga kebutuhan terhadap oksigen
semakain tinggi.
c. Emosi
Emosi merupakan gejolak dalam jiwa yang biasanya diluapkan
melalui bentuk perbuatan yang tidak terkendali. Saat seseorang
14
mengalami emosi, misalnya timbul rasa takut, cemas dan marah, akan
mempercepat denyut jantung sehingga kebutuhan oksigen meningkat.
d. Gaya Hidup
Gaya hidup mempengaruhi status oksigenasi, misalnya pada
seseorang perokok dapat memperburuk penyakit arteri koroner dan
pembuluh darah arteri. Nikotin yang terkandung dalam rokok dapat
menyebabkan vasokontraksi pembuluh darah perifer dan pembuluh
darah koroner. Akibatnya suplai darah kejaringan menurun.
e. Status Kesehatan
Pada orang yang mempunyai penyakit jantung ataupun penyakit
pernafasan, dapat mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan
oksigen manunisa. Sebaliknya, pada orang sehat, sistem kardiovaskuler
dan sistem pernafasan berfungsi dengan baik sehingga dapat memenuhi
kebutuhan oksigen tubuh secara adekuat.
f. Usia
Faktor perkembangan merupakan pengaruh yang sangat pening
dalam fungsi pernafasan. Perubahan yang terjadi karena penuaan yang
mempengaruhi sistem pernafasan menjadi sangat penting jika sistem
mengalami gangguan akibat perubahan seperti infeksi, stress fisik, atau
emosional, pembedahan, anastesi atau prosedur lain.
g. Stress
Apabila stress dan stressor dihadapi, baik respons psikologis
maupun fisiologis dapat mempengaruhi oksigenasi. Beberapa orang
dapat mengalami hiperventilasi sebagai respon terhadap stress. Apabila
ini terjadi, 𝑃𝑂2 arteri meningkat dan 𝑃𝐶𝑂2 menurun. Akibatnya, orang
mengalami kunang-kunag, kesemutan pada jari tangan, jari kaki, dan
sekitar mulut.
15
6. Masalah yang terjadi pada Kebutuhan Oksigenasi
Menurut Bararah & Jauhar (2013), terdapat beberapa komplikasi dari pola
napas tidak efektif antara lain:
a. Hipoksemia
Merupakan keadaan di mana terjadi penurunan konsentrasi
oksigen dalam darah arteri (𝑃𝑎𝑂2) atau saturasi 𝑂2arteri (𝑆𝑎𝑂2) di
bawah normal (normal 𝑃𝑎𝑂2 85-100 mmHg, 𝑆𝑎𝑂2 95%). Neonatus,
𝑃𝑎𝑂2 < 50 mmHg atau 𝑆𝑎𝑂2 < 88%, sedangkan dewasa, anak, dan bayi,
𝑃𝑎𝑂2 < 60 mmHg atau 𝑆𝑎𝑂2 < 90%. Keadaan ini disebabkan oleh
gangguan ventilasi, perfusi, difusi, pirau (shunt), atau berada pada
tempat yang kurang oksigen. Keadaan hipoksemia tubuh akan
melakukan kompensasi dengan cara meningkatkan pernapasan,
meningkatkan stroke volume, vasodilatasi pembuluh darah, dan
peningkatan nadi. Tanda dan gejala hipoksemia di antaranya sesak
napas, frekuensi napas cepat, nadi cepat dan dangkal serta sianosis.
b. Hipoksia
Merupakan keadaan kekurangan oksigen di jaringan atau tidak
adekuatnya pemenuhan kebutuhan oksigen seluler akibat defisiensi
oksigen yang diinspirasi atau meningkatnya penggunaan oksigen pada
tingkat seluler. Hipoksia dapat terjadi setelah 4-6 menit ventilasi
berhenti spontan. Penyebab lain hipoksia antara lain:
1) Menuruunya hemoglobin;
2) Berkurangnya konsentrasi oksigen;
3) Ketidakmampuan jaringan mengikat oksigen;
4) Menurunnya difusi oksigen dari alveoli kedalam darah seperti pada
pneumonia;
5) Menurunya perfusi jaringan seperti pada syok; dan
6) Kerusakan atau gangguan ventilasi.
16
Tanda-tanda hipoksia di antaranya kelelahan, kecemasan,
menurunnya kemampuan konsentrasi, nadi meningkat, pernapasan cepat
dan dalam, sianosis, sesak napas, serta jari tabuh (clubbing fugu).
c. Gagal napas
Merupakan keadaan dimana terjadi kegagalan tubuh memenuhi
kebutuhan karena pasien kehilangan kemampuan ventilasi secara
adekuat sehingga terjadi kegagalan pertukaran gas karbondioksida dan
oksigen. Gagal napas ditandai oleh adanya peningkatan karbondioksida
dan penurunan oksigen dalam darah secara signifikan. Gagal napas
disebabkan oleh gangguan sistem saraf pusat yang mengontrol
pernapasan, kelemahan neuromuskular, keracunan obat, gangguan
metabolisme, kelemahan otot pernapasan, dan obstruksi jalan napas.
d. Perubahan pola nafas
Pada keadaan normal, frekuensi pernafasan pada orang dewasa
sekitar 18-22 x/menit, dengan irama teratur, serta inspirasi lebih panjang
dari ekspirasi. Pernafasan normal disebut eupnea. Perubahan pola nafas
dapat berupa:
1) Dispnea, yaitu kesulitan bernafasan, misalnya pada pasien dengan
asma;
2) Apnea, yaitu tidak bernafas, berhenti bernafas;
3) Takipnea, yaitu pernafasan lebih cepat dari normal dengan frekuensi
lebih dari 24 x/menit;
4) Bradipnea, yaitu pernafasan lebih lambat (kurang) dari normal
dengan frekuensi kurang dari 16 x/menit;
5) Kussmaul, yaitu pernafasan dengan panjang ekspirasi dan inspirasi
sama, sehingga pernafasan menjadi lambat dan dalam, misalnya
pada penyakit diabetes militus dan uremia;
6) Cheyne-stoke, merupakan pernafasan cepat dan dalam kemudian
berangsur-angsur dangkal dan diikuti priode apnea yang berlubang
17
secara teratur. Misalnya pada keracunan obat bius, penyakit
jantung, dan penyakit ginjal;
7) Stridor, merupakan pernafasan bising yang terjadi karena
penyempitan pada saluran pernafasan. Pola ini biasanya ditemukan
pada kasus spasme trackea atau obstruksi laring; dan
8) Biot, adalah pernafasan dalam dan dangkal disertai masa apnea
dengan priode yang tidak teratur, misalnya pada penyakit
meningitis.
7. Perubahan Fungsi Pernafasan
a. Hiperventilasi, merupakan suatu kondisi ventilasi yang berlebih, yang
dibutuhkan untuk mengeliminasi karbondioksida normal di vena, yang
diproduksi melalui metabolisme seluler. Hiperventilasi dapat disebabkan
oleh ansietas, infeksi obat-obatan, ketidakseimbangan asam-basa, dan
hipoksia yang dikaitkan dengan embolus paru atau syok.
b. Hipoventilasi, terjadi ketika ventilasi alveolar tidak adekuat untuk
memenuhi kebutuhan oksigen tubuh mengeliminasi karbondioksida
secara adekuat. Apabila ventilasi alveolar menurun, maka 𝑃𝑎𝐶𝑂2 akan
meningkat dan mengakibatkan depresi susunan saraf pusat.
8. Metode Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi
a. Metode pemenuhan kebutuhan oksigen
Menurut (Tarwoto dan Wartonah 2010) kebutuhan oksigen dapat
dipenuhi dengan beberapa metode, antara lain inhalasi oksigen
(pemberian oksigen), fisioterapi dada, nafas dalam dan batuk efektif,
serta penghisapan lendir.
1) Inhalasi oksigen (pemberian oksigen)
Terdapat dua system inhalasi oksigen yaitu system aliran darah
rendah dan system aliran darah tinggi.
18
a) Sistem aliran rendah
Sistem aliran darah rendah ditujukan pada klien yang
memerlukan oksigen dan masih mampu bernafas sendiri dengan
pola pernafasan yang normal. Sistem ini diberikan untuk
menambah konsentrasi udara ruangan. Pemberian oksigen
diantaranya dengan menggunakan nasal kanul, sungkup muka
sederhana, sungkup muka dengan kantong rebreathing dan
sungkup muka dengan kantong nonreabreathing.
(1) Nasal kanul
Dapat memberikan oksigen dengan aliran 1-6 liter/menit dan
konsentrasi oksigen sebesar 24%-44%.
(2) Sungkup muka sederhana
Aliran oksigen yang diberikan melalui alat ini sekitar 5-8
liter/menit dengan konsentrasi 40%-60%.
(3) Sungkup muka dengan kantong rebreathing
Konsentrasi oksigen yang diberikan lebih tinggi dari sungkup
muka sederhana yaitu 60%-80% dengan aliran oksigen 8-12
liter/menit.
(4) Sungkup muka dengan kantong nonrebreathing
Memberikan konsentrasi oksigen sampai 99% dengan aliran
yang sama pada kantong rebreathing.
b) Sistem aliran tinggi (high flow oxygen system)
Penggunaan teknik ini menjadikan konsentrasi oksigen
lebih stabil dan tidak dipengaruhi tipe pernafasan, sehingga dapat
menambah konsentrasi oksigen lebih cepat. Misalnya melalui
sungkup muka dengan ventury. Tujuan utama inhalasi dengan
sistem aliran darah tinggi ini adalah untuk mengoreksi hipoksia
dan asidema, hipoksemia, hiperkapnia, dan hipotensi. untuk
menghindari kerusakan otak irreversible atau kematian.
19
(1) Fisioterapi dada
Merupakan suatu rangkaian tindakan keperawatan yang
terdiri atas perkusi, vibrasi, dan postural drainage. Tujuan dari
tindakan ini yaitu melepaskan secret yang melekat pada
dinding bronkus.
(2) Nafas dalam
Merupakan bentuk latihan yang terdiri atas pernafasaan
abdominal (diafragma) dan purse lips breathing.
(3) Batuk efektif
Adalah latihan batuk untuk mengeluarkan secret.
(4) Suctioning (penghisapan lendir)
Merupakan suatu metode untuk melepaskan sekresi yang
berlebihan pada jalan nafas. Suctioning dapat diterapkan pada
oral, nasofaringeal, tracheal, serta endotracheal. Tujuan
tindakan ini adalah untuk membuat jalan nafas yang paten
dengan menjaga kebersihannya dari sekresi yang berlebihan
(Tarwoto dan Wartonah2010).
9. Konsep Pola Nafas Tidak Efektif
a. Pengertian pola nafas tidak efektif
Pola nafas tidak efektif adalah ventilasi atau pertukaran
udara inspirasi dan atau ekspirasi tidak adekuat (Santoso, 2006).
Pola napas tidak efektif suatu keadaan dimana inspirasi dan atau
ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat (PPNI, 2016).
b. Etiologi pola nafas tidak efektif
Menurut buku Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI) tahun 2017, penyebab pola nafas tidak efektif antara lain
sebagai berikut:
20
1) Depresi pusat pernafasan;
2) Hambatan upaya nafas (misalnya, nyeri saat bernafas,
kellemahan otot pernafasan);
3) Deformitas dinding dada;
4) Deformitas dinding dada;
5) Gangguan neuromuscular;
6) Gangguan neurologis (misalnya, elektroensefalogram (EEG)
positif, cedera kepala, gangguan kejang);
7) Imaturitas neurologis;
8) Penurunan energy;
9) Obesitas;
10) Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru;
11) Sindrom hipoventilasi;
12) Kerusakan inervasi diafragma (kerusakan saraf C5 ke atas);
13) Cedera pada medulla spinalis;
14) Efek agen farmakologis; dan
15) Kecemasan.
c. Manifestasi klinis pola nafas tidak efektif
Menurut PPNI (2016), data minor untuk masalah pola
napas tidak efektif yaitu: pernapasan pursed-lip, pernapasan
cuping hidung, diameter thoraks anterior–posterior meningkat,
ventilasi semenit menurun, kapasitas vital menurun, tekanan
ekspirasi menurun, tekanan inspirasi menurun dan ekskursi dada
berubah. Sedangkan, data mayor untuk masalah pola nafas tidak
efektif antara lain;
1) Penggunaan otot bantu pernapasan
2) Fase ekspirasi yang memanjang
3) Pola napas abnormal
21
B. Tinjauan Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan.
Pengkajian harus dilakukan secara komperhensif terkait dengan aspek
biologis, psikologis, sosial, maupun spiritual. Tujuan pengkajian adalah
untuk mengumpulkan informasi dan membuat data dasar pasien. Metode
utama yang dapat digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara,
observasi, dan pemeriksaan fisik serta diagnostik (Asmadi, 2008).
Pengkajian adalah proses sistematis berupa pengumpulan, verifikasi, dan
komunikasi data tentang klien. Fase dari pengkajian meliputi:
pengumpulan data dan analisa data.
a. Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan proses yang berisikan status kesehatan
pasien, kemampuan pasien untuk mengelola kesehatan dan
perawatannya juga hasil konsultasi dari medis atau profesi kesehatan
lainnya (Hidayat, A. A, 2009).
1) Data biografi
a) Identitas pasien
Meliputi pengkajian nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, suku atau bangsa, tanggal masuk RS,
tanggal pengkajian, no medrek, diagnosa medis, alamat klien.
b) Identitas Penanggung jawab
Meliputi pengkajian nama, umur, pendidikan, pekerjaan,
hubungan dengan klien dan alamat.
2) Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
Merupakan keluhan pasien pada saat masuk RS, Selain itu
mengungkapkan hal-hal yang menyebabkan pasien membutuhkan
22
pertolongan sehingga pasien dibawa ke RS dan menceritakan
kapan pasien mengalami gangguan kebutuhan oksigen.
b) Riwayat kesehatan sekarang
Mengungkapkan keluhan yang paling sering dirasakan oleh pasien
saat pengkajian dengan menggunakan metode PQRST. Metode ini
meliputi hal-hal:
P: Provokatif/paliatif, yaitu apa yang membuat terjadinya
timbulnya keluhan, hal-hal apa yang memperingan dan
memperberat keadaan atau keluhan pasien tersebut yang
dikemabangkan dari keluhan utama.
Q: Quality/Quantity, seberapa berat keluhan terasa, bagaimana
rasanya, berapa sering terjadinya.
R: Regional/Radiasi, lokasi keluhan tersebut dirasakan atau
ditemukan, apakah juga penyebaran ke area lain, daerah atau
area penyebarannya.
S: Severity of Scale, intensitas keluhan dinyatakan dengan
keluhan ringan, sedang, dan berat.
T: Timing, kapan keluhan mulai ditemukan atau dirasakan, berapa
sering dirasakan atau terjadi, apakah secara bertahap, apakah
keluhan berulang-ulang, bila berulang dalam selang waktu
berawal lama hal itu untuk menetukan waktu dan durasi.
c) Riwayat kesehatan dahulu
Untuk mendapatkan profil penyakit, cedera atau operasi yang
dialami individu sebelumnya.
(1) Penyakit, operasi atau cidera sebelumnya
(a) gejala, perjalanan, terminasi;
(b) Kekambuhan komplikasi;
(c) Insiden penyakit pada anggota keluarga lain atau
komunitas;
23
(d) Respon emosi pada hospitalisasi sebelumnya; dan
(e) Kejadian dan sifat cidera.
(2) Alergi
(a) Hay fever, asma, atau eksema; dan
(b) Reaksi tak umum terhadap makanan, obat, binatang,
tanaman atau produk rumah tangga.
(3) Obat-obatan
Nama, dosis, jadwal, durasi dan alasan pemberian.
(4) Kebiasaan
(a) Pola perilaku
Menggigit kuku, menghisap ibu jari, pika, ritual, seperti
“selimut pengaman“, gerakan tidak umum
(membenturkan kepala, memanjat), tempat tantram.
(b) Aktivasi kehidupan sehari-hari
Jam tidur dan bangun, durasi tidur malam/siang, usia
toilet training, pola defekasi dan berkemih, tipe latihan
(c) Penggunaan/penyalahgunaan obat, alkohol, kopi (kafein)
atau tembakau.
(d) Disposisi umum, respon terhadap frustasi
3) Pemeriksaan fisik
Dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi
terhadap berbagai sistem tubuh. Untuk mendapatkan informasi
tentang masalah kesehatan yang potensial.
a) Keadaan umum
Keadaan umum meliputi penampilan umum, postur tubuh, gaya
bicara, mimik wajah.
b) Tanda-tanda vital
Bertujuan untuk mengetahui keadaan tekanan darah, nadi,
pernafasan, suhu tubuh.
24
c) Kulit
Kaji keadaan kulit mengenai tekstur, kelembaban, turgor, warna
dan fungsi perabaan, pruritus, perubahan warna lain, jerawat,
erupsi, kering berlebih, selain itu perlu dikaji apakah ada sianosis.
d) Kepala
Kaji cedera lain seperti memar pada kepala, periksa kebersihan
dan keutuhan rambut.
e) Mata
Periksa mata untuk mengetahui ada tidaknya nyeri tekan, kaji
reflek cahaya, edema kelopak mata.
f) Hidung
Perdarahan hidung (epitaksis), kaji cairan yang keluar dari hidung,
ada tidaknya sumbatan.
g) Telinga
Kaji ada tidaknya sakit telinga, rabas, bukti kehilangan
pendengaran.
h) Mulut
Pernafasan mulut, perdarahan gusi, kaedaan gigi, jumlah gigi, kaji
kelembaban mukosa, warna mukosa bibir.
i) Tenggorokan
Sakit tenggorokan, kaji adanya kemerahan atau edema, kaji ada
tidaknya kesulitan dalam menelan, tersedak, serak atau
ketidakteraturan suara lain.
j) Leher
Kaji nyeri, keterbatasan gerak, kekakuan, kesulitan menahan
kepala lurus, pembesaran tiroid, pembesaran nodus atau massa
lain.
25
k) Dada
Kaji kesimetrisan bentuk dada, pembesaran payudara, pembesaran
nodus remaja, tanyakan tentang pemeriksaan payudara.
(1) Inspeksi dada
Pada Pemeriksaan ini pemeriksa melihat gerakan dinding
dada, bandingkan kesimetrisan dinding dada kiri dan kanan.
Lihat adanya bekas luka, bekas operasi, atau adanya lesi.
Perhatikan warna kulit daerah dada. Kaji pola pernafasan
pasien, perhatikan adanya retraksi interkosta, dan penggunaan
otot bantu nafas.
(2) Palpasi dada
Pada Pemeriksaan ini yang pertama dilakukan oleh pemeriksa
yaitu, meletakan tangan di atas kedua dinding dada. Rasakan
kesimetrisan pengembangan dinding dada saat inspirasi dan
ekspirasi. Selanjutnya, rasakan adanya massa dan krepitasi
(jika terjadi fraktur). Setelah itu, lakukan Pemeriksaan taktil
fremitus dengan cara letakan tangan diatas dada, lalu minta
pasien mengatakan “tujuh tujuh” atau “Sembilan Sembilan”.
Lakukan Pemeriksaan disemua lapang paru. Prinsip
Pemeriksaan adalah getaran suara akan merambat melalui
udara yang ada dalam paru–paru (vibrasi) dan saat bicara,
getaran ini akan terasa dari luar dinding dada.
(3) Perkusi paru
Suara perkusi normal adalah suara perkusi sonor, yaitu suara
seperti bunyi “dug-dug”. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
mengetuk pada seluruh lapang paru pada ruang interkosta
(dilakukan di antara dua kosta atau ICS ). Pada area jantung
akan menghasilkan bunyi peka (ICS 3–5, sebelah kiri
26
sternum). Hasil perkusi juga akan terdengar pekak pada
daerah hepar dan daerah payudara.
(4) Auskultasi
Auskultasi dilakukan dengan cara sebagai berikut:
(1) Anjurkan pasien untuk bernafas normal. Setelah beberapa
saat, letakan stetoskop pada ICS 2 kanan, minta pasien
bernafas panjang;
(2) Bandingkan suara yang terdengar di lapang paru kiri dan
kanan; dan
(3) Dengar apakah ada suara nafas tambahan di semua
lapang paru.
Suara nafas normal sebagai berikut :
(a) Vasikuler: suara ini terdengar halus. Biasa didengar
di lapang paru. Suara ini dihasilkan oleh perputaran
udara dalam alveoli (inspirasi > ekspirasi);
(b) Bronkovasikuler: suara ini biasa didengar di ICS 1
dan 2 kiri dan kanan. Suara ini dihasilkan dari
perputaran udara dari saluran yang besar menuju
saluran yang lebih kecil (inspirasi= ekspirasi); dan
(c) Bronkhial: suaranya terdengar kerasa dan karas.
suara ini dihasilkan dari perputaran udara melalui
trakea (ekspirasi > inspirasi).
l) Kardiovaskuler
Kaji warna konjungtiva, ada tidaknya sianosis, warna bibir,
adanya peningkatan tekanan vena jugularis, kaji bunyi jantung
pada dada, pengukuran tekanan darah, dan frekuensi nadi.
m) Adbomen
Kaji bentuk adbomen, keadaan luka, kaji tanda-tanda infeksi,
perkusi area abdomen.
27
n) Punggung dan bokong
Kaji bentuk punggung dan bokong, kaji ekstremitas: CRT, turgor
kulit, kekuatan otot, refleks bisep, trisep, refleks patela, dan
achiles.
o) Genitalia
Kaji kebersihan genitalia, kebiasaan BAK
p) Anus
Kaji BAB dan keadaan di area anus.
q) Sistem persyarafan
Kaji adanya penurunan sensasi sensori, nyeri penurunan refleks,
nyeri kepala, fungsi syaraf kranial dan fungsi serebral, kejang,
tremor.
r) Riwayat nutrisi
Untuk mendapatkan informasi tentang keadekuatan masukan diet
dan pola makan.
s) Riwayat medis keluarga
Untuk mengidentifikasi adanya sifat genetik atau penyakit yang
memiliki kecendrungan familiar. untuk mengkaji kebiasaan
keluarga dan terpapar penyakit menular yang dapat
mempengaruhi anggota keluarga.
t) Pola aktivitas sehari-hari
Mengungkapkan pola aktivitas pasien sebelum sakit dan sesudah
sakit. Yang meliputi nutrisi, eliminasi, personal hygene, istirahat
tidur, aktivitas dan gaya hidup.
(1) Data psikologis
Kemungkinan klien memperlihatkan kecemasan terhadap
penyakitnya, hal ini diakibatkan karena proses penyakit
yang lama dan kurangnya pengetahuan tentang prosedur
tindakan yang akan dilakukan. Kaji ungkapan pasien tentang
28
ketidakmampuan koping, perasaan negatif tentang tubuh
serta konsep diri klien
(2) Data sosial
Perlu dikaji tentang keyakinan pasien tentang
kesembuhannya dihubungkan dengan agama yang dianut
pasien dan bagaimana persepsi pasien terhadap penyakitnya,
bagaiman aktifitas pasien selama menjalani perawatan di
rumah sakit dan siapa yang menjadi pendorong atau pemberi
motivasi untuk kesembuhan.
(3) Riwayat seksual
Untuk mendapatkan informasi tentang masalah dan atau
aktivitas orang muda dan adanya data yang berhubungan
dengan aktivitas seksual.
(4) Data spiritual
Perlu dikaji tentang persepsi pasien terhadap dirinya
sehubungan dengan kondisi sekitarnya, hubungan pasien
dengan perawat, dokter dan tim kesehatan lainnya. Biasanya
pasien akan ikut serta dalam aktifitas sosial atau menarik diri
dari interaksi sosial terutama jika sudah terjadi komplikasi
fisik seperti anemia, ulkus, gangren dan gangguan
penglihatan.
u) Data penunjang
(1) Laboratorium
Dengan pemeriksaan darah akan diketahui apakah infeksi
muncul atau tidak.
(2) Terapi
Dengan terapi dapat diketahui pemberian terapi yang akan
diberikan.
29
v) Analisa Data
Setelah data terkumpul, data harus ditentukan validitasnya.
Setiap data yang didapat, kemudian dianalisis sesuai dengan
masalah. Menentukan validitas data membantu menghindari
kesalahan dalam intrepetasi data.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respon pasien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis
keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respon pasien individu,
keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan
(PPNI, 2016). Diagnosa keperawatan yang ditegakkan dalam masalah ini
adalah pola napas tidak efektif. Pola napas tidak efektif suatu keadaan
dimana inspirasi dana tau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi
adekuat (PPNI, 2016).
Dalam Standar Dignosis Keperawatan Indonesia pola napas tidak
efektif masuk kedalam kategori fisiologis dengan subkategori respirasi.
Berdasarkan perumusan diagnosa keperawatan menurut SDKI
menggunakan format problem, etiology, sign and symptom (PES).
Penyebab dari pola napas tidak efektif adalah depresi pusat pernapasan,
hambatan upaya napas (misalnya nyeri saat bernapas, kelemahan otot
pernapasan), deformitas dinding dada, deformitas tulang dada, imaturitas
neurologia, posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru, sindrom
hipoventilasi, dan efek agen farmakologis (PPNI, 2016).
Gejala dan tanda mayor dari pola napas tidak efektif adalah
subjektif yaitu dispnea, objektif yaitu penggunaan otot bantu
pernapasan, fase ekspirasi memanjang, pola napas abnormal (misalnya
takipnea, bradipnea, hiperventilasi, kussmaul, dan Cheyne-stokes).
Gejala dan tanda minor dari pola napas tidak efektif secara subjektif
30
adalah ortopnea. Secara objektif adalah pernapasan pursed-lip, pernapasan
cuping hidung, diameter thoraks anterior-posterior meningkat, ventilasi
semenit menurun, tekanan ekspirasi menurun, tekanan inspirasi menurun,
dan ekskursi dada berubah (PPNI, 2016).
Diagnosa keperawatan pada masalah kebutuhan Respirasi, dalam buku
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (2017) yaitu:
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas;
2. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelelahan otot
pernafasan; dan
3. Risiko aspirasi berhubungan dengan gangguan menelan.
3. Intervensi Keperawatan
Menurut SIKI DPP PPNI, 2018 intervensi keperawatan adalah
segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada
pengetahuan dan penilaian krisis untuk mencapai luaran (outcome) yang di
harapkan, sedangkan tindakan keperawatan adalah prilaku atau aktivitas
spesifik yang dikerjakan oleh perawat untuk mengimpementasikan
intervensi keperawatan. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
menggunakan sistem klasifiksai yang sama dengan SDKI. Sistem
klasifikasi diadaptasi dari sistem klasifikasi international classification of
nursing precite (ICNP) yang dikembangkan oleh International Council of
Nursing (ICN) sejak tahun 1991.
Komponen ini merupakan rangkaian prilaku atau aktivitas yang
dikerjakan oleh perawat untuk mengimplementasikan intervensi
keperawatan. tindakan-tindakan pada intervensi keperawatan terdiri atas
observasi, teraupetik, edukasi dan kolaborasi (Berman et al, 2015: Potter
dan Perry, 2013; Seba, 2007; Wilkinson et al, 2016). Dalam menentukan
intervensi keperawatan, perawat perlu mempertimbangkan beberapa faktor
yaitu: karakteristik diagnosis keperawatan, luaran (outcome) keperawatan
31
yang diharapkan, kemampulaksanaan intervensi keperawatan, kemampuan
perawat, penerimaan pasien, hasil penelitian.
Tabel 2.1 Intervensi Masalah Keperawatan Pola Nafas Tidak Efektif
Diagnosa Keperawatan Intervensi Utama Intervensi Pendukung
Pola nafas tidak efektif
berhubungan dengan hambatan
upaya nafas.
Definisi:
Inspirasi atau ekspirasi yang
tidak memberikan ventilasi
adekuat. Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan pola
nafas pasien teratur dengan
kriteria hasil sebagai berikut: 1. Mendemonstrasikan batuk
efektif dan suara nafas
yang bersih, tidak ada
sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan
sputum, mampu bernafas
dengan mudah, tidak ada
pursed lips); 2. Menunjukkan jalan nafas
yang paten (klien tidak
merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal,
tidak ada suara nafas
abnormal; dan
3. Tanda-tanda vital dalam rentang normal (tekanan
darah, nadi, pernafasan).
Penyebab:
1. Depresi pusat pernafasan; 2. Hambatan upaya nafas
(misal: nyeri saat bernafas,
kelemahan otot pernafasan);
3. Deformitas dinding dada; 4. Deformitas tulang dada;
5. Gangguan neuromoskular;
6. Gangguan neurologi
(misal: elektroensefalogram (EEG) positif, cedera
kepala, gangguan kejang);
7. Imaturitas neurologis; 8. Penurunan energi;
9. Obesitas;
10. Posisi tubuh yang
menghambat ekspansi paru; 11. Sindrom hipoventilasi;
12. Kerusakan intervasi
Manajemen jalan nafas
Observasi:
1. Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas);
2. Monitor bunyi nafas tambahan
(missal: gurgling, mengi,
whezzing, ronkhi kering); dan 3. Monitor sputum (jumlah, warna,
aroma).
Teraupetik:
1. Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head-tilt dan chin-
lift (jaw-thrust jika curiga
trauma servikal);
2. Posisikan Semi-Fowler atau Fowler;
3. Lakukan fisioterapi dada jika
perlu;
4. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik;
5. Lakukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakeal; 6. Keluarkan sumbatan benda
padat dengan forsep McGill; dan
7. Berikan oksigen jika perlu.
Edukasi:
1. Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak
kontraindikasi; dan
2. Ajarkan teknik batuk efektif. Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.
Pemantauan Respirasi
Observasi:
1. Monitor frekuensi, irama,
kedalaman, dan upaya nafas; 2. Monitor pola nafas (seperti
bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, kussmaul, Cheyne-stokes,biot, ataksik);
3. Monitor kemampuan batuk
efektif;
4. Monitor adanya produksi sputum;
5. Monitor adanya sumbatan jalan
1. Dukungan
Emosional;
2. Dukungan Kepatuhan Program Pengobatan;
3. Dukungan Ventilasi;
4. Edukasi Pengukuran
Respirasi; 5. Konsultasi Via
Telepon;
6. Manajemen Energi;
7. Manajemen Jalan Nafas Buatan;
8. Manajemen
Medikasi;
9. Pemberian Obat Inhalasi;
10. Pemberian Obat
Interpleura;
11. Pemberian Obat Intradermal;
12. Pemberian Obat
Intravena;
13. Pemberian Obat Oral; 14. Pencegahan Aspirasi;
15. Pengaturan Posisi;
16. Perawatan Selang
Dada; 17. Manajemen Ventilasi
Mekanik;
18. Pemantauan
Neurologis; 19. Pemberian
Analgesik;
20. Pemberian Obat;
21. Perawatan Trakheostomi;
22. Reduksi Ansietas;
23. Stabilasi Jalan Nafas;
dan 24. Terapi Relaksasi Otot
Progresif.
32
diafragma (kerusakan syaraf
C5 ke atas);
13. Cedera pada medula spinalis;
14. Efek agen farmakologi; dan
15. Kecemasan.
Gejala dan tanda mayor Subjektif:
1. Dyspnea.
Objektif. 1. Penggunaan otot bantu
pernafasan;
2. Fase ekspirasi memanjang;
3. Pola nafas abnormal (misal: takipnea,
bradipnea, hiperventilasi,
kusmaul, cheyne-stokes).
Gejala dan tanda minor Subjektif:
1. Ortopnea.
Objektif: 1. Pernafasan pursed-lip;
2. Pernafasan cuping hidung;
3. Diameter thoraks anterior-
posterior meningkat; 4. Ventilasi semenit menurun;
5. Kapasitas vital menurun;
6. Tekanan ekspirasi
menurun; 7. Tekanan inspirasi
menurun; dan
8. Ekskursi dada berubah
nafas;
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi
paru; 7. Auskultasi bunyi nafas;
8. Monitor saturasi oksigen;
9. Monitor nilai AGD; dan
10. Monitor X-ray toraks. Teraupetik:
1. Atur interval pemantauan
respitrasi sesuai kondisi pasien;
dan 2. Dokumentasi hasil
pemantauan.
Edukasi:
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan; dan
2. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu.
Tabel 2.2 Intervensi Masalah Keperawatan Gangguan Ventilasi Spontan
Diagnosa Keperawatan Intervensi Utama Intervensi Pendukung
Gangguan ventilasi spontan
berhubungan dengan kelelahan otot pernafasan.
Definisi:
Penurunan cadangan energi
yang mengakibatkan individu tidak mampu bernafas secara
adekuat.
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan pola nafas pasien teratur dengan
criteria hasil sebagai berikut:
1. Respon alergi sistemik: tingkat keparahan respons
hipersensitivitas imun
sistemik terhadap antigen
lingkungan (eksogen) Respon
Dukungan ventilasi Observasi:
1. Identifikasi adanya otot bantu
nafas;
2. Identifikasi efek perubahan posisi terhadap status
pernafasan; dan
3. Monitor status respirasi dan
oksigenasi (missal: frekuensi kedalaman nafas, penggunaan
otot bantu nafas, bunyi nafas
tambahan, saturasi oksigen.
Teraupetik:
1. Pertahankan kepatenan jalan
nafas;
2. Berikan posisi semi Fowler atau
Fowler;
1. Dukungan Emosional;
2. Dukungan Perawatan Diri;
3. Edukasi Keluarga:
Pemantauan Respirasi;
4. Edukasi Pengukuran Respirasi;
5. Fisioterapi Dada;
6. Konsultasi;
7. Manajemen Asam-Basa;
8. Manajemen Asam-
Basa: Alkalosis Respiratorik;
9. Manajemen Asam-
Basa: Asidosis
Respiratorik;
33
ventilasi mekanis: pertukaran
alveolar dan perfusi jaringan
didukung oleh ventilasi mekanik.
2. Status pernafasan pertukaran
gas: pertukaran 𝐶𝑂2 atau
𝑂2 di alveolus untuk
mempertahankan konsentrasi gas darah arteri dalam
rentang normal
3. Status pernafasan ventilasi:
pergerakan udara keluar masuk paru adekuat.
4. Tanda vital: tingkat suhu
tubuh, nadi, pernafasan,
tekanan darah dalam rentang normal
5. Menerima nutrisi adekuat
sebelum, selama, dan setelah
proses penyepihan dari ventilator
Faktor yang berhubungan:
1. Gangguan metabolisme;
dan 2. Kelelahan otot pernafasan.
Batasan karakteristik:
Tanda Mayor
1. Subyektif Dyspnea.
2. objektif
a. Penggunaan otot bantu
nafas meningkat; b. Volume tidal menurun;
c. 𝑃𝐶𝑂2meningkat;
d. 𝑃𝑂2 menurun; dan
e. 𝑆𝑎𝑂2 menurun.
Tanda Minor
1. Subyektif
(tidak tersedia). 2. Objektif
a. Gelisah; dan
b. Takikardi.
3. Fasilitasi merubah posisi
senyaman mungkin;
4. Berikan oksigen sesuai kebutuhan (missal: nasal kanul,
masker wajah, masker
rebreathing atau non
rebreathing); dan 5. Gunakan bag-valve mask, jika
perlu.
Edukasi:
1. Ajarkan melakukan teknik relaksasi nafas dalam;
2. Ajarkan merubah posisis secara
mandiri; dan
3. Ajarkan teknik batuk efektif. Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian
bronchodilator, jika perlu.
Pemantauan Respirasi Observasi:
1. Monitor frekuensi, irama,
kedalaman, dan upaya nafas;
2. Monitor pola nafas (seperti bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, kussmaul,
Cheyne-stokes,biot, ataksik);
3. Monitor kemampuan batuk efektif;
4. Monitor adanya produksi
sputum;
5. Monitor adanya sumbatan jalan nafas;
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi
paru;
7. Auskultasi bunyi nafas; 8. Monitor saturasi oksigen;
9. Monitor nilai AGD; dan
10. Monitor X-ray toraks.
Teraupetik:
1. Atur interval pemantauan
respitrasi sesuai kondisi pasien;
dan
2. Dokumentasi hasil pemantauan. Edukasi:
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan;
2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu;
10. Manajemen Energy;
11. Manajemen Jalan
Nafas; 12. Manajemen Ventilasi
Mekanik;
13. Pemantauan Asam
Basa; 14. Pemberian Obat;
15. Pemberian Obat
Inhalasi;
16. Pemberian Obat Interpleura;
17. Pemberian Obat
Intradermal;
18. Pemberian Obat Intramuscular;
19. Pemberian Obat
Intraoseous;
20. Pemberian Obat Intravena;
21. Pemeriksaan
Kelengkapan Set
Emergensi; 22. Pencegahan Aspirasi;
23. Pencegahan Infeksi;
24. Pencegahan Luka
Tekan; 25. Pengambilan Sample
Darah Arteri;
26. Pengaturan Posisi;
27. Penghisapan Jalan Nafas;
28. Pengontrolan Infeksi;
29. Perawatan Jenazah;
30. Perawatan Tirah Baring;
31. Perawatan
Trakheostomi;
32. Reduksi Ansietas; dan
33. Stabilisasi Jalan
Nafas.
34
Tabel 2.3 Intervensi Risiko Aspirasi
Diagnosa keperawatan Intervensi umum Intervensi pendukung
Resiko aspirasi
Definisi:
beresiko mengalami masuknya
sekresi gastrointestinal, sekresi
orofaring, benda cair atau padat ke dalam saluran trakeobrnchial
akibat disfungsi mekanisme
protektif saluran nafas.
1. Pasien dapat bernafas dengan mudah, tidak irama, frekuensi
pernafasan normal;
2. Pasien mampu menelan,
mengunyah tanpa terjadi aspirasi dan mampu
melakukan oral hygine; dan
3. Jalan nafas paten, mudah
bernafas, tidak merasa tercekik dan tidak ada suara
nafas abnormal.
Faktor resiko:
1. Penurunan tingkat kesadaran; 2. Penurunan refleks muntah
dan batuk;
3. Gangguan menelan disfagia; 4. Kerusakan mobilitas fisik;
5. Peningkatan residu lambung;
6. Peningkatan tekanan
intragastik; 7. Penurunan mobilitas
gastrointestinal;
8. Sflngter esofagus bawah
inkompeten; 9. Perlambatan pengosongan
lamnbung;
10. Terpasang selang nasogenik;
11. Terpasang trakeostomi atau endotracheal tube;
12. Trauma atau pembedahan
leher, mulut, dan wajah;
13. Efek agen farmakologis; dan 14. Ketidakmatangan koordinasi
menghisap, menelan dan
bernafas.
Kondisi klinis terkait 1. Cedera kepala;
2. Stroke;
3. Cedera medula spinalis;
4. Guillain barre syndrome; 5. Penyakit parkinson;
6. Keracunan obat dan
alkohol;
7. Pembesaran uterus;
Manajemen jalan nafas Observasi:
1. Monitor pola nafas (frekuensi,
kedalaman, usaha nafas);
2. Monitor bunyi nafas tambahan (missal: gurgling, mengi,
whezzing, ronkhi kering); dan
3. Monitor sputum (jumlah, warna,
aroma). Teraupetik:
1. Pertahankan kepatenan jalan
nafas dengan head-tilt dan chin-
lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal);
2. Posisikan Semi-Fowler atau
Fowler;
3. Berikan minum hangat; 4. Lakukan fisioterapi dada jika
perlu;
5. Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik; 6. Lakukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakeal; 7. Keluarkan sumbatan benda padat
dengan forsep McGill; dan
8. Berikan oksigen jika perlu.
Edukasi:
1. Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak
kontraindikasi; dan
2. Ajarkan teknik batuk efektif. Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.
Pencegahan Aspirasi
Observasi:
1. Monitor tingkat kesadaran, batuk, muntah, dan kemampuan
menelan;
2. Monitor status pernafasan;
3. Monitor bunyi nafas, trutama setelah makan dan minum;
4. Periska residu gaster sebelum
member asupan oral; dan
5. Periksa kepatenan selang nasogastrik sebelum memberi
asupan oral.
1. Dukungan perawatan diri: Makan dan
Minum;
2. Insersi selang
nasogenik; 3. Manajemen jalan
nafas buatan;
4. Manajemen kejang;
5. Manajemen muntah; 6. Manajemen sedasi;
7. Manajemen ventilasi
mekanik;
8. Pemantauan respirasi; 9. Pemberian makanan;
10. Pemberian makanan
enternal;
11. Pemberian Obat; 12. Pemberian Obat
Inhalasi;
13. Pemberian Obat
Interpleura; 14. Pemberian Obat
Intravena;
15. Pengaturan posisi; 16. Penghisapan jalan
nafas;
17. Perawatan
pascaanastesi; 18. Perawatan selang
gastrointestinal;
19. Resusitasi neonates;
dan 20. Terapi menelan.
35
8. Miestenia gravis;
9. Fistula trakeoesofagus;
10. Striktura esofagus; 11. Sklerosis multipel;
12. Labiopalatoskizi;
13. Atresia esofagus;
14. Laringomalasia; dan 15. Prematuritas.
Teraupetik:
1. Posisikan semi Fowler
(30 − 400) 30 menit sebelum member asupan oral;
2. Pertahankan posisi semi fowler
(30 − 400) pada pasien tidak
sadar; 3. Pertahankan kepatenan jalan
nafas (misal: teknik head tilt
chin, jaw thrust, in line);
4. Pertahankan pengembangan balon Endotracheal tube (ETT);
5. Lakukan penghisapan jalan
nafas, jika produksi secret
meningkat; 6. Sediakan suction diruangan;
7. Hindari member makan melalui
selang gastrointestinal, jika
residu banyak; 8. Berikan makanan dengan ukuran
kecil atau lunak; dan
9. Berikan obat oral dalam bentuk
cair. Edukasi:
1. Ajarkan makan secara
perlahan;
2. Ajarkan strategi mencegah aspirasi; dan
3. Ajarkan teknik mengunyah atau
menelan, jika perlu.
Sumber: Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017. Tim pokja SIKI DPP PPNI,
2018. Amin, Hardhi, 2015
4. Implementasi
Menurut Kozier & Snyder (2010), implementasi keperawatan
merupakan sebuah fase dimana perawat melaksanakan rencana atau
intervensi yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Berdasarkan terminologi
NIC, implementasi terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan yang
merupakan tindakan khusus yang digunakan untuk melaksanakan
intervensi. Implementasi keperawatan membutuhkan fleksibilitas dan
kreativitas perawat. Sebelum melakukan suatu tindakan, perawat harus
mengetahui alasan mengapa tindakan tersebut dilakukan.
Beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya tindakan
keperawatan yang dilakukan harus sesuai dengan tindakan yang sudah
direncanakan, dilakukan dengan cara yang tepat, aman, serta sesuai dengan
36
kondisi pasien, selalu dievaluasi mengenai keefektifan dan selalu
mendokumentasikan menurut urutan waktu. Aktivitas yang dilakukan pada
tahap implementasi dimulai dari pengkajian lanjutan, membuat prioritas,
menghitung alokasi tenaga, memulai intervensi keperawatan, dan
mendokumentasikan tindakan dan respon klien terhadap tindakan yang
telah dilakukan (Debora, 2013).
Implementasi merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan
yang dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan. Dengan
rencana keperawatan yang dibuat berdasarkan diagnosis yang tepat,
intervensi diharapkan dapat mencapai tujuan dan hasil yang diinginkan
untuk mendukung dan meningkatkan status kesehatan pasien (Potter,
2010). Tujuan dari implementasi adalah membantu pasien dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan yang mencakup peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi koping.
Perencanaan asuhan keperawatan akan dapat dilaksanakan dengan baik,
jika klien mempunyai keinginan untuk berpartisipasi dalam implementasi
asuhan keperawatan. Selama tahap implementasi, perawat terus melakukan
pengumpulan data dan memilih asuhan keperawatan yang paling sesuai
dengan kebutuhan pasien (Nursalam, 2008). Jenis-jenis tindakan pada
tahap pelaksanaan implementasi adalah:
a. Secara mandiri (independent)
Tindakan yang diprakarsai oleh perawat untuk membantu pasien dalam
mengatasi masalahnya dan menanggapi reaksi karena adanya stressor.
b. Saling ketergantungan (interdependent)
Tindakan keperawatan atas dasar kerja sama tim keperawatan dengan
tim kesehatan lainnya seperti: dokter, fisioterapi, dan lain-lain.
c. Rujukan/ketergantungan (Dependent)
Tindakan keperawatan atas dasar rujukan dan profesi lainnya
diantaranya dokter, psikiatri, ahli gizi, dan lainnya.
37
5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah tahap akhir dari proses keperawatan
untuk mengukur respon klien terhadap tindakan keperawatan dan kemajuan
respons klien kearah pencapaian tujuan (Potter & Perry, 2009). Menurut
Deswani (2011), evaluasi dapat berupa evaluasi struktur, proses dan hasil.
Evaluasi terdiri dari evaluasi formatif yaitu menghasilkan umpan balik
selama program berlangsung. Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan
setelah program selesai dan mendapatkan informasi efektivitas
pengambilan keputusan.
Menurut Dinarti, Aryani, Nurhaeni, Chairani, & Tutiany (2013),
evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk SOAP
(subyektif, obyektif, assessment, planing). Komponen SOAP yaitu S
(subyektif) dimana perawat menemukan keluhan klien yang masih
dirasakan setelah dilakukan tindakan. O (obyektif) adalah data yang
berdasarkan hasil pengukuran atau observasi klien secara langsung dan
dirasakan setelah selesai tindakan keperawatan. A (assesment) adalah
kesimpulan dari data subyektif dan obyektif (biasaya ditulis dala bentuk
masalah keperawatan). P (planning ) adalah perencanaan keperawatan yang
akan dilanjutkan dihentikan, dimodifikasi atau ditambah dengan rencana
kegiatan yang sudah ditentukan sebelumnya.
C. Konsep Penyakit
1. Pengertian PPOK
Penyakit paru obstruktif kronis merupakan sejumlah gangguan yang
mempengaruhi pergerakan udara dari dan ke paru. Gangguan yang penting
adalah bronkhitis obstruktif, emfisema, dan asma bronchial. bronchial
kronis adalah gangguan klinis yang ditandai dengan pembentukan mucus
yang berlebihan dalam bronkhus dan dimanifestasikan dalam bentuk batuk
kronis serta membentuk sputum selama tiga bulan dalam setahun, minimal
dua tahun berturut-turut. Emfisema merupakan perubahan anatomi
38
parenkim paru ditandai dengan pelebaran dinding alveolus, ductus alveolar,
dan destruksi dinding alveolar, sedangkan asma bronchial adalah suatu
penyakit yang ditandai dengan tanggapan reaksi yang meningkat dari
trakea dan bronchus terhadap berbagai macam rangsangan dengan
manifestasi berupa kesukaran bernafas yang disebabkan oleh penyempitan
menyeluruh dari saluran pernafasan (Muttaqin, 2012).
2. Etiologi PPOK
Menurut Ikawati, 2016 ada beberapa faktor risiko utama
berkembangnya penyakit ini , yang dibedakan menjadi faktor paparan
lingkungan dan faktor host.
a. Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain adalah:
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadi PPOK, dengan
resiko 30 kali lebih besar pada perokok disbanding dengan perokok,
dan merupakan penyebab dari 85-90% kasus PPOK. Kurang dari 15-
20% perokok akan mengalami PPOK. Kematian akibat PPOK terkait
dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan
status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun
demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok. Kurang
lebih 10% orang yang tidak merokok juga menderita PPOK.
Perokok pasif (tidak merokok tapi sering terkena asap rokok) juga
berisiko menderita PPOK.
2. Pekerjaan
Para pekerja tambangemas atau batu bara, industri gelas dan
keramik yang terpapar debu silica, atau pekerja yang terpapar debu
katun dan debu gandum, dan asbes, mempunyai risiko yang lebih
besar dari pada yang bekerja di tempat selain yang disebutkan tadi
diatas.
39
3. Polusi udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin
memburuk gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini biasa
berasal dari luar rumah seperti asap pabrik, asap kendaraan bermotor,
dll, maupun polusi yang berasal dari dalam rumah misalnya asap
dapur.
4. Infeksi
Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis
merupakan suatu pemicu inflamasi neutrofilik pada saluran nafas,
terlepas dari paparan rokok. Adanya kolonisasi bakteri menyebabkan
peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur dari peningkatan
jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi dan percepatan
penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan risiko kejadian
PPOK.
b. Beberapa faktor risiko yang berasal dari host atau pasiennya antara lain
adalah:
1. Usia
Semakin bertambah usia, semakin besar risiko menderita PPOK.
2. Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini
terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada
kecenderungan peningkatan pravalensi PPOK pada wanita karena
meningkatnya jumlah wanita yang merokok. Bukti-bukti klinis
menunjukan bahwa wanita dapat mengalami penurunan fungsi paru
yang lebih besar daripada pria dengan status merokok yang relative
sama. Wanita juga akan mengalami PPOK yang lebih parah daripada
pria. Hal ini diduga karena ukuran paru-paru wanita umumnya
relative lebih kecil daripada pria, sehingga dengan paparan asap
40
rokok yang sama persentase paru yang terpapar pada wanita lebih
besar daripada pria.
3. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko
terjadinya PPOK. Individu dengan gangguan fungsi paru-paru
mengalami penurunan fungsi paru-paru lebih besar sejalan dengan
wanita daripada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih berisiko
terhadap perkembangan PPOK. Termasuk di dalamnya adalah orang
yang pertumbuhan parunya tidak normal karena lahir dengan berat
badan rendah, ia memiliki risiko lebih besar untuk mengalami
PPOK.
4. Predisposisi genetik, yaitu defisiensi 𝛼2 antritipsin (AAT).
Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan kejadian emfisema
yang disebabkan oleh hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-
paru secara progresif karena adanya ketidakseimbangan antara enzim
proteolitik dan faktor protektif. Pada keadaan normal faktor protrktif
AAT menghambat enzim proteolitik sehingga mencegah kerusakan.
Karena itu, kekurangan AAT menyebabkan berkurangnya faktor
proteksi terhadap kerusakan paru.
3. Tanda dan Gejala
Menurut Ikawati, 2016 diagnosa PPOK ditegakan berdasarkan adanya gejala-
gejala meliputi:
a. Batuk kronis: terjadi berselang atau setiap hari, dan seringkali terjadi
sepanjang hari (tidak seperti asma yang terdapat gejala batuk malam hari);
b. Produksi sputum secara kronis: semua pola produksi sputum dapat
mengidentifikasi adanya PPOK;
c. Bronchitis akut: terjadi secara berulang;
41
d. Sesak nafas (dyspnea): bersifat progresif sepanjang waktu, terjadi setiap
hari, memburuk jika berolahraga, dan memburuk jika terkena infeksi
pernafasan;
e. Riwayat paparan terhadap faktor resiko: merokok, partikel dan senyawa
kimia, asap dapur;
f. Smoker’s cough, biasanya hanya diawali sepanjang pagi yang dingin,
kemudian berkembang sepanjang tahun;
g. Sputum, biasanya banyak dan lengket, berwarna kuning, hijau atau
kekuningan bila terjadi infeksi;
h. Dyspnea, terjadi kesulitan ekspirasi pada saluran pernafasan;
i. Lelah dan lesu; dan
j. Penurunan toleransi terhadap gerakan fisik (cepat lelah dan terengah-
engah).
Pada gejala berat dapat terjadi:
1) Sianosis, terjadi kegagalan respirasi;
2) Gagal jantung dan oedema perifer; dan
3) Plethoric complexion, yaitu pasien menunjukan gejala wajah yang
memerah yang disebabkan polycythemia (erytrocytosis, jumlah eritrosit
yang meningkat), hal ini merupakan respon fisiologis normal karena
kapasitas pengangkutan 𝑂2 yang berlebih.
4) Patofisiologi
Obstruktif jalan nafas menyebabkan reduksi aliran udara yang beragam
bergantung pada penyakit. Pada bronchitis kronis dan bronchiolitis, terjadi
penumpukan lendir dan sekresi yang sangat banyak sehingga menyumbat
jalan nafas. Pada emfisema, obstruktif pada pertukaran oksigen dan
karbondioksida terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang disebabkan oleh
overekstensi ruang udara dalam paru pada asma, jalan nafas bronkhial
menyempit dan membatasi jumlah udara yang mengalir kedalam paru.
42
PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan interaksi
genetik dengan lingkungan. Merokok, polusi udara, dan paparan ditempat
kerja merupakan factor resiko penting yang menunjang terjadinya penyakit
ini. Prosesnya dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20-30 tahun. PPOK juga
ditemukan terjadi pada individu yang tidak mempunyai enzim yang normal
untuk mencegah penghancuran jaringan paru oleh enzim tertentu.
PPOK merupakan kelainan dengan kemajuan lambat yang
membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menunjukan onset gejala klinisnya
seperti kerusakan fungsi paru, PPOK sering menjadi simptomatik selama
bertahun-tahun usia baya, tetapi insiden nya meningkat sejalan dengan
peningkatan usia (Muttaqin, 2012).
4. Pathway
Sumber Mutaqqin, 2012
Gambar 2.3 Pathway PPOK
43
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan gas darah arteri (AGD)
Pada pasien PPOK, Pa𝑂2 menurun, P𝐶𝑂2 meningkat, sering menurun pada
asma. Nilai PH normal, asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder.
Tabel 2.4 Nilai Normal Hasil Analisis Gas Darah Arteri
Fungsi Pernafasan Pengukuran Nilai Normal
Keseimbangan
asam basa
Oksigenasi
Ventilasi
pH: Konsentrasi ion hydrogen
Pa𝑂2: tekanan parsial kelarutan oksigen didalam
darah
Sa𝑂2: persentase ikatan oksigen dengan
hemoglobin.
Pa𝐶𝑂2 : tekanan parsial kelarutan karbondioksida
dalam darah
7,35-7,45
80-100mmHg
95% atau lebih
35-45mmHg
Sumber: Bararah & Jauhar. 2013
Keterangan :
1. Pa𝑂2 merupakan indikator klinis untuk mengetahui status oksigenasi.
Bila nilainya <80 mmHg mengidentifikasi bahwa pasien mengalami
hipoksemia.
2. Sa𝑂2 merupakan parameter oksigen terkait oleh hemoglobin. Sa𝑂2 ini
mempunyai hubungan dengan Pa𝑂2 yaitu menggambarkan kurva
disosiasi oksihemoglobin.
3. pH menyatakan kepekaan ion hidrogen dan keasaman zat yang
ditimbulkannya. Apabila terjadi penambahan atau peningkatan
konsentrasi ion hidrogen , maka keadaan bersifat asam dan pH akan
turun. Sebaliknya, bila tubuh bersifat basa atau alkali, maka PH akan
meningkat (Asmadi, 2009).
b. Fungsi paru
Dilakukan dengan pengukuran spirometry. Pada pasien PPOK kapasitas
inspirasi menurun, volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis
dan asma. Nilai FE𝑉1/FVC menurun yaitu <70% sehingga menjadi
karakteristik PPOK.
44
c. Pemeriksaan laboratorium
Dilakukan dengan pengambilan darah vena, pemeriksaan yang
dilakukan meliputi pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan
eritrosit. Pada pasien PPOK hemoglobin dan hematokrit meningkat pada
polisitemia sekunder, jumlah darah, eosinofil dan total IgE meningkat,
sedangkan Sa𝑂2 oksigen menurun.
d. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan gram kuman/kultur adanya infeksi campuran. Kuman
pathogen yang biasa ditemukan adalah streptococcus pneumonia dan
hemophylus influenza.
e. Pemeriksaan radiologi thoraks foto.
Menunjukan adanya hiperinflasi paru, pembesaran jantung, dan
bendungan area paru. Pada emfisema paru didapatkan diafragma dengan
letak yang rendah dan mendatar, ruang udara retrosternal > (foto
lateral), jantung tampak bergantung, memanjang dan menyempit.
f. Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG)
Kelainan EKG yang paling awal terjadi adalah rotasi clock wise jantung.
Bila sudah terdapat kor pulmonal, terdapat deviasi aksis ke kanan,
gelombang P tinggi pada hantaran II, III, dana VF. Voltase QRS rendah.
Di 𝑉1 rasio R/S lebih dari 1 dan di 𝑉6, 𝑉1 rasio R/S kurang dari 1
(Mutaqin, 2012).
7. Penatalaksanaan PPOK
Intervensi medis bertujuan untuk
a. Memelihara kepatenan jalan nafas dengan menurunkan spasme bronkus
dan membersihkan secret yang berlebih;
b. Memelihara keefektifan pertukaran gas;
c. Mencegah dan mengobati infeksi saluran pernafasan;
d. Meningkatkan toleransi latihan;
e. Mencegah adanya komplikasi (gagal nafas akut);
45
f. Mencegah allergan/iritasi jalan nafas; dan
g. Manajemen medis yang diberikan berupa :
1) Pengobatan farmakologi.
a) Anti inflamasi (kortikostroid, natrium kromolin, dan lain-lain);
b) Bronkodilator;
(1) Adrenergic: efedirin, epineprin, dan beta adrenergic agosis
selektif.
(2) Non adrenergic: aminofilin, teofilin
c) Antihistamin;
d) Steroid;
e) Antibiotik; dan
f) Ekspetoran.
Oksigen digunakan 3x/menit dengan nasal kanul.
2) Hygiene paru
Cara ini bertujuan untuk membersihkan sekresi paru, meningkatkan
kerja silia, dan menurunkan resiko infeksi. Dilaksanakan dengan
nebulizer, fisioterapi dada, dan postural drainase.
3) Menghindari bahan iritan
Penyebab iritan jalan nafas yang harus dihindari diantaranya asap
rokok dan perlu juga mencegah adanya allergen yang masuk tubuh.
4) Diet
Klien sering kali mengalami kesulitan makan karena adanya dyspnea.
Pemberian porsi yang kecil namun sering lebih baik daripada makan
sekaligus banyak.