bab ii tinjauan pustaka a. resiliensi pada istri korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/bab...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Resiliensi pada Istri Korban KDRT
1. Pengertian Resiliensi pada Istri
Resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk menilai,
mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan
atau kesengsaraan dalam hidup. Setiap orang pasti mengalami kesulitan ataupun
sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah
ataupun kesulitan (Grotberg, 1995). Pendapat lain oleh Glantz & Johnson (1999),
resiliensi merupakan proses mengembangkan kapasitas untuk bertahan dalam
menghadapi tantangan fisik, sosial, dan emosi. Beberapa dari individu yang resilien
tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang. Individu akan mengembangkan cara
untuk mengubah keadaan yang penuh tekanan menjadi sebuah kesempatan untuk
pengembangan diri pribadi, Yang pada akhirnya mereka akan menjadi lebih baik
dari yang sebelumnya (Maddi & Khoshaba, 2005).
Sulistyarini (2011) menyatakan bahwa individu dengan resiliensi yang baik
adalah individu yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah
menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan terhadap masa depan dan percaya
bahwa individu dapat mengontrol arah kehidupannya. Optimis membuat fisik
menjadi lebih sehat dan mengurangi kemungkinan menderita depresi. Resiliensi
merupakan konstruk psikologi yang diajukan oleh para ahli behavioral dalam
rangka usaha untuk mengetahui, mendefinisikan, dan mengukur kapasitas individu
untuk tetap bertahan dan berkembang pada kondisi yang menekan (adverse
conditions) dan untuk mengetahui kemampuan individu untuk kembali pulih
(recovery) dari kondisi tekanan (McCubbin, 2001). Menurut Reivich dan Shatte
(2002) resiliensi ialah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika
menghadapi kesulitan atau trauma. Diperjelas oleh Connor dan Davidson (2003)
mengungkapkan bahwa resiliensi merupakan kualitas seseorang dalam hal
kemampuan untuk menghadapi penderitaan. Block dan Kreman (Xianon & Zhang,
2007) menyatakan bahwa resiliensi digunakan untuk menyatakan kapabilitas
individual untuk bertahan/survive dan mampu beradaptasi dalam keadaan stress dan
mengalami penderitaan.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah
kemampuan istri untuk bertahan dan beradaptasi dalam situasi yang menekan serta
meresponnya dengan positif sehingga dapat mengembangkan diri mereka dan
menjadi pribadi yang lebih baik bahkan dari sebelum mengalami kekerasan.
2. Aspek-aspek Resiliensi
Menurut Reivich dan Shatte (2002), terdapat tujuh aspek yang membangun
resiliensi, yaitu:
a. Regulasi emosi
Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang saat berada di bawah
tekanan. Individu yang resilien menggunakan sekumpulan keterampilan dengan
baik yang dapat membantu individu untuk mengontrol emosi, perhatian, dan
perilaku. Self-regulated merupakan hal yang penting dalam membentuk
kedekatan, sukses dipekerjaan dan membantu pemeliharaan kesehatan fisik
seseorang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang memiliki kemampuan
untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga
hubungan pertemanan. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai macam alasan di
antaranya adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang
yang marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang
dirasakan seseorang cenderung menular kepada orang lain. Semakin kita terasosiasi
dengan kemarahan dan rasa cemas maka kita juga akan semakin menjadi seseorang
yang pemarah dan mudah cemas.
Tidak semua emosi yang dirasakan individu harus dikontrol. Tidak semua rasa
marah, sedih, gelisah, dan rasa bersalah harus diminimalisir ataupun ditahan. Hal
ini dikarenakan mengekpresikan emosi yang kita rasakan baik emosi positif
maupun negatif merupakan hal yang konstruktif dan sehat, bahkan kemampuan
untuk mengekspresikan emosi secara tepat merupakan bagian dari resiliensi
(Reivich & Shatte, 2002).
b. Mengontrol Impuls
Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan
keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu
yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami
perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku.
Seseorang menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif,
dan berlaku agresif.
Individu dengan pengendalian impuls yang rendah pada umumnya percaya pada
pemikiran impulsifnya yang pertama mengenai situasi sebagai kenyataan dan
bertindak sesuai dengan situasi tersebut. Sedangkan individu dengan pengendalian
impuls yang tinggi dapat mengendalikan impulsivitas dengan mencegah terjadinya
kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon yang tepat pada
permasalahan yang ada.
c. Optimis
Individu yang resilien biasanya memiliki sifat optimis. Individu yang optimis
percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Optimisme adalah
ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang. Individu yang optimis
memiliki harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa merekalah pemegang
kendali atas arah hidup. Individu yang optimis memiliki kesehatan yang lebih baik,
jarang mengalami depresi, serta memiliki produktivitas yang tinggi, apabila
dibandingkan dengan individu yang cenderung pesimis.
Peterson dan Chang (dalam Siebert, 2005) mengungkapkan bahwa optimisme
sangat terkait dengan karakteristik yang diinginkan oleh individu, kebahagiaan,
ketekunan, prestasi, dan kesehatan. Individu yang optimis percaya bahwa situasi
yang sulit suatu saat akan berubah menjadi situasi yang lebih baik. Sebagian
individu memiliki kecenderungan untuk optimis dalam memandang hidup ini
secara umum, sementara sebagian invidu yang lain optimis hanya pada beberapa
situasi tertentu (Siebert, 2005). Optimisme bukanlah sebuah sifat yang terberi
melainkan dapat dibentuk dan ditumbuhkan dalam diri individu (Siebert, 2005).
Optimisme menandakan bahwa adanya keyakinan bahwa kita mempunyai
kemampuan untuk mengatasi kemalangan atau ketidakberuntungan yang mungkin
terjadi di masa depan tersebut. Hal ini juga merefleksikan Self Efficacy yang
dimiliki oleh seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu
menyelesaikan permasahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Reivich &
Shatte(2002) mengemukakan individu yang optimis mampu memprediksi masa
depan dengan akurat pada masalah potensial yang akan muncul dan membangun
strategi untuk mencegah dan mengatasi masalah yang terjadi.
d. Analisis Sebab Masalah (Causal analysis)
Causal analysis merupakan istilah yang digunakan untuk mengartikan sebuah
kemampuan untuk mengidentifikasi penyebab masalah secara akurat. Causal
analysis digunakan individu untuk mencari penjelasan dari suatu kejadian. Jika
individu tidak mampu memperkirakan penyebab masalah dengan akurat, maka
individu tersebut akan membuat kesalahan yang sama secara terus-menerus.
Seligman (dalam Reivich & Shatte, 2002) mengidentifikasikan gaya berpikir
explanatory yang merupakan kebiasaan cara seseorang untuk menjelaskan hal
baik dan buruk yang terjadi pada diri dan kehidupan individu. Gaya berpikir ini erat
kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki individu. Gaya
berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal (saya-bukan saya),
permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak semua).
Individu dengan gaya berpikir ”saya-selalu-semua” merefleksikan
keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari dirinya sendiri (saya), hal ini
selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah (selalu), serta
permasalahan yang ada tidak dapat diubah (semua). Sementara individu yang
memiliki gaya berpikir ”bukan saya-tidak selalu-tidak semua” meyakini bahwa
permasalahan yang terjadi disebabkan oleh orang lain (bukan saya), dimana kondisi
tersebut masih memungkinkan untuk diubah (tidak selalu) dan permasalahan yang
ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar hidupnya (tidak semua). Gaya
berpikir explanatory memegang peranan penting dalam konsep resiliensi (Reivich
& Shatte, 2002). Individu yang terfokus pada ”selalu-semua” tidak mampu melihat
jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi dan mengubah situasi, individu
tersebut akan menyerah dan putus asa. Sebaliknya individu yang cenderung
menggunakan gaya berpikir ”tidak selalu-tidak semua” dapat merumuskan solusi
dan tindakan yang akan dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.
Individu yang resilien mempunyai fleksibilitas kognitif dan dapat
mengidentifikasi seluruh penyebab signifikan dari kemalangan yang menimpa
mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berpikir explanatory. Individu yang
resilien tidak mengabaikan faktor permanen maupun pervasif. Individu yang
resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang diperbuat demi
menjaga self-esteemnya atau membebaskan diri dari rasa bersalah. Individu yang
resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendali,
sebaliknya memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah,
perlahan individu tersebut mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan
hidup, bangkit dan meraih kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).
e. Empati
Menurut Reivich dan Shatte (2002) empati mencerminkan kemampuan individu
membaca tanda dari kondisi emosional dan psikologis orang lain. Beberapa
individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan
bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain seperti ekspresi wajah,
intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan dan
dirasakan orang lain. Individu-individu yang tidak membangun kemampuan untuk
peka terhadap tanda-tanda noverbal tersebut tidak mampu untuk menempatkan
dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan
memperkirakan maksud dari orang lain. Individu dengan empati yang rendah
cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu
menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte, 2002).
Individu yang berempati dapat memahami bagaimana menghadapi orang lain
sehingga mampu untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Seseorang
yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang
baik (Reivich & Shatte, 2002). Sedangkan ketidakmampuan berempati berpotensi
menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002).
Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain dapat
sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal,
hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai.
f. Efikasi Diri
Efikasi diri merepresentasikan keyakinan seseorang bahwa ia dapat
memecahkan masalah yang dialami dengan efektif dan keyakinan akan kemampuan
untuk sukses. Dalam keseharian, individu yang memiliki keyakinan pada
kemampuannya untuk memecahkan masalah akan tampil sebagai pemimpin,
sebaliknya individu yang tidak memiliki keyakinan terhadap self-efficacy dirinya
akan selalu tertinggal dari yang lain dan terlihat ragu-ragu. Individu yang memiliki
efikasi yang tinggi akan sangat mudah menghadapi tantangan. Individu ini akan
cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang dialami
(Reivich & Shatte, 2002). Efikasi diri merupakan hal yang sangat penting sebagai
untuk mencapai resiliensi.
g. Reaching out (Pencapaian)
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari sekedar
bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan
dan bangkit dari kemalangan yang menimpa dirinya. Resiliensi membantu untuk
meningkatkan aspek positif dalam kehidupan individu. Resiliensi merupakan
sumber dari kemampuan untuk menggapai sesuatu yang lebih (reaching out)
dimana orang lain cenderung tidak dapat melakukannya. Banyak individu yang
tidak mampu melakukan reaching out, hal ini dikarenakan individu tersebut telah
diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi
yang memalukan. Individu-individu ini memilih untuk memiliki kehidupan standar,
dibandingkan harus meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko
kegagalan hidup dan hinaan masyarakat. Individu ini menganggap gagal ketika
melakukan sesuatu lebih buruk daripada gagal sebelum mencoba. Hal ini
menunjukkan kecenderungan individu untuk berlebihan-lebihan (overestimate)
dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa
mendatang. Individu-individu ini memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan
kemampuan mereka hingga batas akhir. Gaya berpikir ini dikenal dengan istilah
self-handicapping, dan secara tidak sadar membatasi diri mereka sendiri. Individu
seperti ini cenderung berlebihan (overestimate) dalam melihat kemungkinan
kegagalan yang akan mendatangkan bencana besar.
Menurut Reivich & Shatte (2002), Reaching out merupakan kemampuan yang
meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup. Individu yang meningkatkan aspek
positif dalam hidup mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu
membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan
hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu
meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan
hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan
pengendalian emosi.
Berdasarakan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terbentuknya suatu
resiliensi pada istri dapat dilihat dari bagaiman istri dapat mengelolah emosi ketika
mengalami KDRT, mengontrol impuls atau mengendalikan dorongan yang dalam
dirinya, optimis bahwa segala sesuatu dapat beruah lebih baik, menganalisis sebab
akibat dari setiap persoalan, berempati dan memahami kondisi orang lain, memiliki
efikasi diri yang baik dan reaching out sehingga mampu memiliki hubungan yang
baik dengan orang lain.
3. Pembentuk Resiliensi
Beberapa sumber yang dapat membentuk resiliensi diungkapkan oleh Grotberg
(1999) yaitu sebagai berikut;
a. I Have ( sumber dukungan eksternal )
I Have merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar. Dukungan ini berupa
hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan,
ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga. Melalui I Have, seseorang
merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan. Hubungan seperti ini
diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman yang
mencintai dan menerima diri anak tersebut.
Individu yang resilien juga memperoleh dukungan untuk mandiri dan dapat
mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatifnya sendiri. Dukungan
yang diberikan oleh orangtua ataupun anggota keluarga lainnya akan sangat
membantu dalam membentuk sikap mandiri dalam diri seseorang. Orangtua akan
mendukung serta melatih anak untuk dapat berinisiatif dan “berkuasa” atas dirinya
sendiri untuk mengambil keputusan tanpa harus bergantung pada orang lain.
Individu yang resilien juga akan mendapatkan jaminan kesehatan, pendidikan, dan
kesejahteraan serta keamanan dari orangtua. Sehingga hal ini akan membantu
mereka untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam diri anak.
b. I Am ( kemampuan individu )
I Am merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut
meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Individu
yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai karakteristik yang menarik dan
penyayang sesama. Hal tersebut ditandai dengan usaha mereka untuk selalu dicintai
dan mencintai orang lain. Individu juga sensitif terhadap perasaan orang lain dan
mengerti yang diharapkan orang lain terhadap dirinya. Individu ini memiliki empati
dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu ditunjukkan melalui
sikap peduli mereka terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain. Indvidu ini
juga merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain
dan berusaha membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi.
Individu yang resilien juga merasakan kebanggaan akan diri mereka sendiri,
bangga terhadap apa yang telah mereka capai. Ketika individu mendapatkan
masalah atau kesulitan, rasa percaya dan harga diri yang tinggi akan membantu
dalam mengatasi kesulitan tersebut. Individu merasa mandiri dan cukup
bertanggungjawab dan dapat melakukan banyak hal dengan kemampuannya sendiri
sehingga bertanggungjawab atas pekerjaan yang telah lakukan serta berani
menangung segala konsekuensinya. Selain itu individu juga diliputi akan harapan
dan kesetiaan. Memiliki kepercaya bahwa akan memperoleh masa depan yang baik
serta memiliki kepercayaan dan kesetiaan dalam moralitas dan ke-Tuhan-an yang
diyakini.
c. I Can ( kemampuan sosial dan interpersonal )
I Can merupakan kemampuan untuk melakukan hubungan sosial dan
interpersonal. Individu dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya dengan
semua orang yang ada disekitarnya. Individu tersebut juga memiliki kemampuan
untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik. Individu mampu
mengekspresikan pikiran dan perasaan dengan baik. Kemampuan untuk
mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati juga dimiliki oleh individu yang
resilien. Individu mampu menyadari perasaan mereka dan mengekspresikannya
dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam perasaan dan hak orang lain.
Mampu mengendalikan dorongan untuk memukul, melarikan diri dari masalah,
atau melampiaskan keinginan pada hal-hal yang tidak baik. Individu juga
memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain. Ini membantu Individu
untuk mengetahui seberapa banyak waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi,
dan seberapa banyak ia dapat menangani berbagai macam situasi. Selain itu,
individu yang resilien juga dapat menemukan seseorang untuk meminta bantuan,
untuk menceritakan perasaan dan masalah, serta mencari cara untuk menyelesaikan
masalah pribadi dan interpersonal.
Berdasarkan definisi di atas ditarik kesimpulan untuk mencapai suatu resiliensi
dibutuhkan sumber keluatan yakni pengaruh atau dukungan dari orang sekitar
individu yang mengalami tekanan, kekuatan yang dimiliki individu itu sendiri
berupa keyakinan, perilaku dan perasaan positif serta mampu menjalin hubungan
dengan sosial dan interpresonal.
4. Fungsi Resiliensi
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa resiliensi berguna bagi manusia
dalam kondisi berikut ini ( Reivich & Shatte, 2002):
a. Overcoming
Dalam kehidupan terkadang manusia menemui kesengsaraan, masalah-masalah
yang menimbulkan stres yang tidak dapat untuk dihindari. Oleh karenanya manusia
membutuhkan resiliensi untuk menghindar dari kerugian-kerugian yang menjadi
akibat dari hal-hal yang tidak menguntungkan tersebut. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara menganalisa dan mengubah cara pandang menjadi lebih positif dan
meningkatkan kemampuan untuk mengontrol kehidupan sendiri. Sehingga dapat
tetap merasa termotivasi, produktif, terlibat, dan bahagia meskipun dihadapkan
pada berbagai tekanan di dalam kehidupan.
b. Steering through.
Setiap orang membutuhkan resiliensi untuk menghadapi setiap masalah,
tekanan, dan setiap konflik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang
resilien akan menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi
setiap masalah yang ada, tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif
terhadap kejadian tersebut. Orang yang resilien dapat memandu serta
mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan hidupnya.
Penelitian menunjukkan bahwa unsur esensi dari steering through dalam stres yang
bersifat kronis adalah self-efficacy yaitu keyakinan terhadap diri sendiri bahwa kita
dapat menguasai lingkungan secara efektif dan dapat memecahkan berbagai
masalah yang muncul.
c. Bouncing back
Beberapa kejadian merupakan hal yang bersifat traumatik dan menimbulkan
tingkat stres yang tinggi, sehingga diperlukan resiliensi yang lebih tinggi dalam
menghadapai dan mengendalikan diri sendiri. Kemunduran yang dirasakan
biasanya begitu ekstrim, menguras secara emosional, dan membutuhkan resiliensi
dengan cara bertahap untuk menyembuhkan diri. Orang yang resiliensi biasanya
menghadapi trauma dengan tiga karakteristik untuk menyembuhkan diri. Mereka
menunjukkan task-oriented coping style dimana mereka melakukan tindakan yang
bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut, mereka mempunyai keyakinan
kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan mereka, dan orang yang
mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari trauma mengetahui
bagaimana berhubungan dengan orang lain sebagai cara untuk mengatasi
pengalaman yang mereka rasakan.
d. Reaching out
Resiliensi, selain berguna untuk mengatasi pengalaman negatif, stres, atau
menyembuhkan diri dari trauma, juga berguna untuk mendapatkan pengalaman
hidup yang lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar
pembelajaran dan pengalaman baru. Orang yang berkarakteristik seperti ini
melakukan tiga hal dengan baik, yaitu tepat dalam memperkirakan risiko yang
terjadi, mengetahui dengan baik diri mereka sendiri dan menemukan makna dan
tujuan dalam kehidupan mereka.
Berdasarkan definisi di atas disimpulkan resiliensi dibutukhan bagi istri untuk
mengatasi situasi tekanan yang dangat berat sehingga istri mampu berpikir positif
dan memiliki motivasi untuk produktif, mampu mengatasi masalah dan tidak
terbebani dengan kejadian tersebut, mampu untuk mengontrol hasil dari kehidupan
sehingga mampu kembali ke kehidupan normal serta mampu menemukan makna
dan tujuan hidup.
5. KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
Kekerasan diranah rumah tangga merupakan tindakan kriminal yang sangat
sering terdengar sehingga tidak heran jika permasalahan ini menjadi topik yang
paling populer dalam ranah problematika kehidupan rumah tangga. UUD No 23
Tahun 2004 tentang PKDRT, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
Menurut Sukri (2004) kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan
yang dilakukan seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain, yang berakibat
atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan
atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang atau penekanan secara ekonomis yang
terjadi dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan terhadap perempuan atau istri dapat
diartikan sebagai suatu tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang
terjadi di dalam keluarga, dan melanggar hak-hak asasi perempuan. Tindak
kekerasan yang dilakukan akan memberikan dampak dan resiko yang sangat besar
bagi perempuan atau istri.
Berdasarka uraian di atas disimpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) merupakan suatu tindakan kekerasan dalam lingkungan keluarga yang
dilakukan oleh anggota keluarga baik secara fisik maupun psikis yang
menimbulkan dampak menyakiti secara fisik, psikis, seksual, ekonomi termasuk
peramasan kemerdekaan bagi korban.
6. Dampak KDRT bagi Istri
KDRT menimbulkan dampak yang sangat besar bagi kehidupan seorang istri,
kekerasan tidak hanya menyebabkan luka pada tubuh, tetapi juga merusak
kesehatan psikis dan emosional, mengganggu fungsi-fungsi sosial ekonomi serta
melumpuhkan sendi-sendi kehidupan perempuan bahkan pada tataran yang sangat
fundamental. Menurut Newton (2001) istri yang mengalami KDRT akan mudah
gelisah, emosional berlebihan, depresi kronis, malnutrisi, mudah panik, memiliki
gangguan somatisasi, disfusi seksual hingga bunuh diri.
Baquandi (2009) mengatakan dampak kekerasan terhadap istri adalah:
mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri,
mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah
menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan
keinginan untuk bunuh diri. Akibat secara fisik seperti memar, patah tulang, cacat
fisik, ganggungan menstruasi, kerusakan rahim, keguguran, terjangkit penyakit
menular, penyakit-penyakit psikomatis bahkan kematian. Dampak psikologis
lainya akibat kekerasan yang berulang dan dilakukan oleh orang yang memiliki
hubungan intim dengan korban adalah jatuhnya harga diri dan konsep diri korban
(ia akan melihat diri negatif banyak menyalahkan diri) maupun depresi dan bentuk-
bentuk gangguan lain sebagai akibat dan bertumpuknya tekanan, kekecewaan dan
kemarahan yang tidak dapat diungkapkan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa dampak KDRT diantaranya
menimbulkan sakit secara fisik, tekanan mental, depresi, rusaknya organ
reproduksi, kehilangan harga diri dan gangguan kepribadian lainya.
7. Faktor Istri Bertahan dalam KDRT
Berbagai faktor yang menyebabkan istri sebagai korban kekerasan tidak
melakukan perlawanan atau keluar dari kondisi KDRT. Diungkapkan oleh Farha
(1999), menyatakan bahwa alasan Istri tetap memilih bertahan dalam KDRT ialah:
a. Takut akan pembalasan suami, banyak istri diancam dengan penganiayaan yang
lebih kejam jika mereka berupayah keluar dari rumah.
b. Tidak adanya tempat berlindung, banyak istri bergantung secara ekonomi pada
suami sehingga tidak ada pilihan lain kecuali mencoba tetap bertahan dalam
penderitaan.
c. Takut dicerca masyarakat, banyak perempuan takut dikatakan perempuan tidak
baik karena diketahui sebgai korban kekerasan dan sebagian tidak siap dengan
status sosial sebagai janda becerai karena diangap rendah dalam masyarakat.
d. Rasa percaya diri yang rendah akibat penganiayaan, istri merasa tidak berani dan
tidak percaya memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah.
e. Untuk kepentingan anak, istri khawatir anak-anaknya akan megalami
penderitaan yang lebih buruk jika berisah dengan ayah mereka.
f. Istri tetap mencintai suami, mereka mendambakan berhentinya kekerasan bukan
putusnya perkawinan. Istri berharap suami akan berubah menjadi baik kembali.
g. Mempertahankan perkawinan, banyak istri yang percaya bahwa perkawiana
merupakan sesuatu yang luhur dan perceraian adalah sesuatu yang buruk
sehingga harus dihindari. Istri menganggap lebih baik tetap menderita dalam
perkawinan dari pada bercerai karena tabu atau dilarang oleh agama.
8. Resiliensi Istri Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Hidup dalam KDRT merupakan suatu tekanan yang sangat besar bagi seorang
istri. KDRT merupakan situasi yang tanpa disadari terus berulang layaknya siklus
kekerasan, siklus ini terdiri dari tahap munculnya konflik dimana timbul
permasalahan dalam hubungan suami istri, yang kedua ialah tahap kekerasan, pada
tahap ini istri akan menerima penganiyayaan secara fisik maupun psikis seperti
pemukulan dan caci maki, selanjutnya tahap bulan madu,suami akan menyesali
perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatanya, lalu tahap reda atau
ketenangan yakni keadaan dimana suami dan istri menjalankan kehidupan seperti
pasangan pada umumnya (Hayati dkk., 2000). Situasi KDRT akan terus berulang
dikarenakan walaupun istri merasakan teror dari kekerasan yang diterima, ketika
suami kembali meminta maaf dan menyesali perbuatanya istri merasa memiliki
harapan suaminya akan berubah. Selain itu, perasaan cinta yang dimiliki istri akan
membuat istri memaklumi perbuatan suaminya ( Rifka Annisa Women’s Crisis,
2000).
KDRT yang terus terjadi memberikan dampak negatif tidak hanya bagi fisik istri
tetapi jauh lebih besar berdampak pada psikologi sorang istri. Istri yang menerima
KDRT akan mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri
dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada
suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami
depresi, hingga keinginan untuk bunuh diri (Baquandi, 2009). Namun, meskipun
KDRT memberikan dampak yang negarif bagi korban, para korban cenderung lebih
memilih untuk bertahan dalam kondisi KDRT daripada keluar dari situasi tersebut
(Krisyanti, 2004).
Bertahan dalam suatu hubungan dengan kekerasan bukanlah suatu hal yang
mudah. Istri yang memilih untuk tetap bertahan dalam kekerasan diyakini bahwa
karna istri memiliki resiliensi. Reseliensi yaitu kemampuan seseorang untuk
menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari
keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup (Grotberg, 1995). Beberapa dari
individu yang resilien tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang. Individu
tersebut akan mengembangkan cara untuk mengubah keadaan yang penuh tekanan
menjadi sebuah kesempatan untuk pengembangan diri pribadi. Sehingga, pada
akhirnya mereka akan menjadi lebih baik dari yang sebelumnya (Maddi &
Khoshaba, 2005).
Untuk mencapai resiliensi yang baik tidaklah mudah, khususnya bagi korban
KDRT yang dapat dikatakan tinggal dan hidup bersama tekanan dan kekerasan
dalam rumah tangganya. Reivich dan Shatte (2002) mengungkapkan berbagai hal
harus dipenuhi seorang istri hingga mencapai resiliensi walapun dengan cara yang
berbeda-beda pada tiap individu, diantaranya mampu mengontrol emosi dan
perasaan yang bergejolak dalam dirinya dan mengalihkan pikiran dan perasaannya
pada hal yang lebih positif dan mampu mengekspresikan emosinya dengan tepat.
Selain itu, istri mampu mengontrol dorongan yang ada dalam dirinya untuk
bertindak melawan tekanan yang dihadapi sehingga mampu meguasai pikiran dan
emosi dan menjadikan perilaku yang resilien.
Istri yang resilien juga memiliki sikap optimis akan masa depan yang lebih baik,
kemampuan ini membantu istri untuk mencari solusi dari setiap persoalan yang
dihadapi hingga mampu memperbaiki keadaan. Optimis akan membuat fisik istri
lebih sehat dan terhindar dari depresi. Kemampuan untuk menganalisis penyebab
persoalan juga menjadi aspek penting dalam resiliensi, istri yang mampu pengolah
kognitifnya dengan baik dapat menemukan penyebab dari setiap tekanan yang
dialami dan menjelaskan pada pribadanya tanpa terjebak pada situasi yang rumit
dan mengakibatkan menyalahkan orang lain ataupun dirinya sehingga mampun
membebaskan diri dari rasa bersalah.
Beberapan orang memiliki kepekaan terhadapa bahasa nonverbal orang lain
sehingga mampu menempatkan dirinya pada posisi orang lain. Individu yang
memiliki empati dapat memahami bagaimana menghadapi orang lain sehingga
mampu untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Seseorang yang
memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang baik
(Reivich & Shatte, 2002). Self-efficacy memampukan istri untuk memiliki
keyakinan atas potensi yang dimiliki. Istri dengan self-efficacy yang baik, memiliki
keyakinan, menumbuhkan pengetahuan bahwa dirinya memiliki bakat dan
ketrampilan, yang dapat digunakan untuk mengontrol lingkungannya dan bangkit
dari tekanan. Kemampuan terakhir yang harus dimilki istri agar mencapai resiliensi
ialah mampu meraih apa yang diinginkan, istri yang resisten mampu meningkatkan
keterampilan yang dimilikinya secara positif tanpa terpengaruh oleh keadaan
sekitarnya. Tekanan yang diterima tidak menghalanginya untuk mencapai impian
akan masa depan yang lebih baik dan memaksimalkan kemampuan yang dimiliki.
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan resiliensi pada istri korban kekerasan
dalam rumah tangga tercermin dari kemampuannya untuk mengolah pikiran,
perasaan, emosi dan fisiknya dengan tepat. Kemampuan ini berbeda-beda pada tiap
individu sehingga tidak semua individu wajib memiliki seluruh aspek resiliensi
tegantung potensi apa yang lebih dominan dalam diri korban. Terbentuknya suatu
resiliensi dapat dipengaruhi oleh bagaimana dukungan dari orang disekitar korban,
kesadaran akan potensi yang dimiliki serta kemampuan untuk berhubungan dengan
lingkungan, maka dari hal tersebut korban dapat memiliki motivasi untuk hidup,
tidak terbebani oleh masalah yag diterima, yakin akan potensi yang dimiliki sehinga
mendapatkan makna akan kehidupannya dan menemukan tujuan dari hidup.
B. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian ini adalah:
1. Central question:
Bagaimana gambaran resiliensi pada istri korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT)?
2. Sub question:
a. Bagaimana cara partisipan mengatur stabilitas emosi saat mengalami
KDRT?
b. Bagaimana cara partisipan mengontrol dorongan dalam dirinya ketika
menghadapi KDRT?
c. Bagaimana bentuk keyakinan partisipan akan masa depannya saat
berada dalam situasi KDRT?
d. Bagaimana partisipan mengidentifikasi sebab permasalahan yang
memicu terjadinya tindakan KDRT?
e. Seberapa mampu partisipan menunjukan rasa empati pada
lingkungannya di tengah dituasi KDRT?
f. Seberapa yakin partisipan akan kemampuan dirinya dalam mengatasi
situasi KDRT?
g. Seberapa besar pencapain partisipan dalam mewujudkan impiannya
ditengah situasi KDRT yang dialami?
3. Topical question:
a. Bagaimana bentuk pengalaman KDRT yang dialami partisipan?
b. Apa saja dampak KDRT yang dialami partisipan?
c. Apa saja yang menjadi faktor pendukung dapat istri bertahan dalam
hubungan yang diwarnai dengan tindakan kekerasan?