bab ii tinjauan pustaka a. psychological well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/bab...

33
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Pengertian Psychological Well-being pada Mahasiswa yang Sedang Mengerjakan Skripsi Ryff (1989) menyatakan bahwa psychological well-being adalah pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Ramos (2007) mengatakan bahwa psychological well-being adalah kebaikan, keharmonisan, menjalin hubungan baik dengan orang lain baik antar individu maupun dalam kelompok. Ryan dan Deci (2001) mendefinisikan psychological well-being sebagai kebahagiaan dan kebahagiaan merupakan unsur dasar kepuasan hidup. Neugarten 1961 (dalam Hadinoto, 1992) menyatakan bahwa seseorang yang berada dalam kesejahteraan psikologis ialah orang yang dalam keadaan: menyenangi aktivitas sehari-hari, menganggap hidupnya berarti, merasa berhasil telah mencapai tujuan hidup, memunyai citra diri yang positif, mempunyai suasana hati yang optimistik dan bahagia. Menurut Campbell (2008) Psychological well-being adalah hasil dari evaluasi yang dilakukan seseorang terhadap hidupnya secara kognitif dan

Upload: others

Post on 18-Feb-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Psychological Well-being

1. Pengertian Psychological Well-being pada Mahasiswa yang Sedang

Mengerjakan Skripsi

Ryff (1989) menyatakan bahwa psychological well-being adalah

pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika

individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki

tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi

pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus

bertumbuh secara personal. Ramos (2007) mengatakan bahwa psychological

well-being adalah kebaikan, keharmonisan, menjalin hubungan baik dengan

orang lain baik antar individu maupun dalam kelompok.

Ryan dan Deci (2001) mendefinisikan psychological well-being

sebagai kebahagiaan dan kebahagiaan merupakan unsur dasar kepuasan hidup.

Neugarten 1961 (dalam Hadinoto, 1992) menyatakan bahwa seseorang yang

berada dalam kesejahteraan psikologis ialah orang yang dalam keadaan:

menyenangi aktivitas sehari-hari, menganggap hidupnya berarti, merasa

berhasil telah mencapai tujuan hidup, memunyai citra diri yang positif,

mempunyai suasana hati yang optimistik dan bahagia.

Menurut Campbell (2008) Psychological well-being adalah hasil dari

evaluasi yang dilakukan seseorang terhadap hidupnya secara kognitif dan

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

14

emosi. Dalam evaluasi kognitif, psychological well-being dimaksudkan

sebagai bentuk kepuasan dalam hidup dimana individu telah mencapai sebuah

target yang telah ditetapkan sebelumnya baik oleh diri sendiri maupun orang

lain. Dalam evaluasi emosi, well-being adalah bentuk afek yang dirasakan

individu ketika mencapai sebuah kepuasan atau perasaan senang.

Jadi dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa psychological

well-being pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi adalah keadaan

dimana mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi dapat menerima

kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup,

mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang

mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara

personal.

2. Dimensi Psychological Well-being

Ryff (1989) merumuskan dimensi-dimensi psychological well-being

sebagai berikut:

a. Self Acceptance (Penerimaan Diri)

Self acceptance dapat diartikan sebagai sikap positif terhadap diri sendiri

dimana individu mengenal dan menerima berbagai aspek kehidupan yang

ada dalam dirinya baik yang positif maupun yang negatif serta memiliki

perasaan yang cenderung positif terhadap kehidupan masa lalunya.

Individu yang memiliki tingkat penrimaan diri yang baik ditandai dengan

sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek

yang ada dalam dirinya, baik yang positif maupun negatif, dan memiliki

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

15

pandangan positif terhadap masa lalu. Sebaliknya seseorang yang

memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik dan memunculkan

persaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan

pengalaman masa lalu dan memiliki pengharapan untuk menjadi pribadi

yang bukan dirinya, dengan kata lain, tidak menjadi dirinya saat ini.

b. Positive Relation with Others (Hubungan yang Positif dengan Orang Lain)

Hubungan positif dengan orang lain adalah kemampuan untuk menjalin

sebagai hubungan yang hangat dan penuh rasa percaya dengan orang lain

memiliki kepedulian akan kesejahteraan orang lian, mampu memberikan

empati afeksi dan intimitas, memahami, saling meminta dan memberi

dalam suatu hubungan. Individu dengan tingkat hubungan positif dengan

orang lain yang tinggi merupakan orang yang hangat, merasa puas dan

percaya untuk berhubungan dengan orang lain, peduli dengan kebahagiaan

orang lain, memiliki empati, afeksi, dan intimasi yang kuat, memahami

adanya proses memberi dan menerima dalam hubungannya dengan orang

lain. Sementara itu, individu dengan tingkat hubungan positif yang rendah

memiliki sedikit hubungan yang dekat atau saling percaya, mengalami

kesulitan menjadi orang yang hangat terbuka dan peduli dengan, terisolasi

dan frustasi dengan hubungan interpersonal, dan tidak berkeinginan untuk

berkompromi dalam mempertahankan ikatan penting dengan orang

lain/berkomitmen.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

16

c. Autonomy (Kemandirian)

Otonomi diartikan sebagai kebebasan untuk menentukan diri sendiri,

mampu bertahan dari tekanan sosial untuk dapat berpikir dan bertindak

dengan cara tertentu, mengatur perilaku berdasar pertimbangan dari dalam

diri, serta mengevaluai diri dengan standar pribadi. Individu yang

memiliki otonomi yang baik merupakan individu yang mandiri dan dapat

membuat keputusannya sendiri, mampu untuk bertahan dari tekanan sosial

untuk berpikir dan berperilaku dalam cara tertentu, mengatur perilaku dari

dalam, serta mengevaluasi diri dari standar pribadi. Sedangkan individu

yang memiliki otonomi yang kurang baik mementingkan harapan dan

evaluasi dari orang lain, bergantung pada penilaian orang lain untuk

membuat keputusan penting, mengubah diri sesuai dengan tekanan dari

lingkungan untuk berikir dan berperilaku dalam cara tertentu.

d. Environmental Mastery (Penguasaan Lingkungan)

Penguasaan lingkungan sekitar yang dimaksud yaitu individu memiliki

kompetensi dalam mengatur lingkungan sekitar hidupnya, memiliki minat

untuk berpartisipasi terhadap hal-hal di luar dirinya baik dalam bentuk

sebuah aktivitas baru maupun rutinitas yang telah dilakukannya sehari

hari. Individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang baik merupakan

individu yang memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur

lingkungannya, yang artinya mampu mengendalikan dan mengatur situasi

kehidupan yang dihadapi. Sedangkan individu dengan penguasaan

lingkungan yang kurang baik tidak mampu mengatur situasi keseharian,

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

17

tidak mampu mengubah dan meningkatkan kualitas lingkungannya.

Individu tersebut merasa kesulitan untuk mengatur lingkungannyadan

tidak mampu memanfaatkan peluang dan kesempatan yang ada pada

lingkungannya.

e. Purpose In Life (Tujuan Hidup)

Tujuan hidup merupakan kemampuan individu untuk memiliki pengertian

dan pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya yang memiliki

arti bahwa individu tersebut memiliki keyakinan untuk mencapai tujuan

hidupnya. Individu yang memiliki tujuan hidup memiliki rasa keterarahan

dalam hidup, mampu merasakan arti dari masa lalu dan masa kini,

memiliki tujuan dan target yang ingin dicapai dalam hidup. Sebaliknya

individu yang rendah dalam aspek ini menganggap hidupya kurang

bermakna, hanya terdapat sedikit tujuan hidup, kehilangan keyakinan yang

memberikan tujuan hidup serta kurang mampu melihat makna dari

kejadian di masa lalu untuk kehidupannya.

f. Personal Growth (Pertumbuhan Diri)

Pertumbuhan merupakan kemampuan individu untuk merasakan

pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya. Memandang dirinya

sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang. Individu yang

memiliki pertumbuhan pribadi yang baik akan terbuka dengan

pengalaman-pengalaman baru dan memiliki kemampuan untuk beradaptasi

terhadap perubahan-perubahan dalam hidupnya. Sedangkan individu

dengan pertumbuhan pribadi yang rendah akan merasakan dirinya

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

18

stagnasi, tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, yang

mengakibatkan kebosanan dan hilangnya minat terhadap kehidupannya

serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku

yang baik.

Adapun dimensi-dimensi psychological well-being menurut Dayton

(2001), antara lain:

a. Acceptance (Penerimaan)

Dimensi ini menekankan penerimaan individu terhadap kehidupan,

termasuk penerimaan terhadap diri sendiri maupun takdir. Seseorang

dengan penerimaan yang baik sangat menghargai ketenangan pikiran dan

secara sadar berusaha untuk mendapatkan kedamaian dalam diri. Melalui

penerimaan inilah seseorang akan merasakan ketenangan dan kedamaian.

b. Harmony (Keselarasan)

Keselarasan diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam membangun

hubungan harmonis dengan orang lain seperti keluarga, teman, atau

tetangga. Dalam dimensi ini, keselarasan dengan keluarga dianggap paling

penting. Kebahagiaan dan rasa bangga orang tua terhadap kesuksesan anak

sangat ditekankan dalam hubungan interpersonal orang tua dengan anak.

Selain hubungan dengan keluarga, dimensi keselarasan juga menekankan

keharmonisan hubungan dengan tetangga dan teman karena hubungan

positif dengan keluarga, teman dan tetangga sama halnya memberikan

kontribusi terhadap rasa aman.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

19

c. Interdependence (Interdependensi)

Interdependensi ialah perasaan saling bergantung dan membutuhkan satu

sama lain. Dimensi ini melibatkan interaksi kompleks antara pemberian

bantuan, kemandirian, dan ketergantungan.

d. Enjoyment (Kenikmatan)

Enjoyment yaitu kemampuan seseorang dalam menikmati hidupnya secara

keseluruhan. Seseorang yang menikmati hidupnya akan mampu menjalani

hidupnya dengan rasa santai dan tidak terbebani dengan kekhawatiran.

Kenikmatan hidup ini diperoleh melalui interaksi individu dengan

lingkungan sosialnya. Individu yang dapat merasakan kenikmatan hidup

akan merasa bahagia meskipun berada pada situasi yang menekan.

e. Respect (Penghormatan)

Respect yaitu penghormatan dari orang lain. Penghormatan dari orang lain

menunjukkan bahwa keberadaan seseorang sangat dihargai dalam sebuah

komunitas. Penghormatan juga dijadikan penanda kesuksesan sebagai

orang yang baik. Kepatuhan anggota keluarga yang lebih muda untuk

mendengarkan serta menjalankan nasehat dari anggota keluarga yang lebih

tua adalah menifestasi lain dari rasa hormat.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan

bahwa dimensi-dimensi psychological well-being terdiri dari self acceptance,

positive relation with others, autonomy, environmental mastery, purpose in

life, personal growth, acceptance, harmony, interdependence, enjoyment,

respect. Dari dua teori tersebut, peneliti akan menggunakan teori dari Ryff.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

20

Adapun alasan peneliti menggunakan teori dari Ryff karena dimensi-dimensi

tersebut lebih lengkap dan lebih rinci penjabarannya sehingga lebih

memudahkan peneliti untuk membuat aitem dalam skala dibanding dimensi-

dimensi menurut Dayton. Keenam dimensi-dimensi tersebut yang nantinya

peneliti gunakan sebagai acuan dalam penyusunan alat ukur untuk membuat

skala guna mengungkap psychological well-being.

3. Faktor – faktor yang Memengaruhi Psychological Well-being

Merujuk pada beberapa literatur dan hsil penelitian, faktor-faktor yang

memengaruhi psychological well-being adalah sebagai berikut:

a. Gender

Gender juga merupakan faktor yang mempengaruhi psychological

well-being seseorang (Ryff & Keyes, 1995). Dalam 18 penelitiannya,

ditemukan bahwa wanita memiliki pertumbuhan pribadi dan hubungan

positif dengan orang lain yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pria.

b. Usia

Penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Keyes (1995) menemukan

bahwa usia ternyata dapat mempengaruhi psychological well-being

seseorang. Penelitian tersebut melibatkan tiga kelompok usia (muda,

dewasa madya, dan lansia) pada aspek kesejahteraan psikologis yang

bersifat multidimensional. Pada dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan

hidup, ditemukan terdapat penurunan skor dari usia muda sampai dengan

lansia. Hal ini berarti bahwa individu yang lebih muda memiliki

pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup yang lebih tinggi dari pada dewasa

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

21

madya, sedangkan dewasa madya memiliki nilai yang lebih tinggi

daripada lansia pada kedua aspek. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa

dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup mengalami penurunan

seiring dengan bertambahnya usia.

Namun, penelitian tersebut menemukan adanya peningkatan skor

pada dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan seiring dengan

bertambahnya usia. Sedangkan pada dua dimensi lain, yaitu penerimaan

diri dan hubungan positif dengan orang lain, tidak ditemukan adanya

perbedaan yang signifikan diantara subjek dengan usia berbeda tersebut.

c. Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap psychological

well-being seseorang. Penelitian oleh Wilkinson, Walford dan Espnes

(2000) menemukan bahwa ketidaksetaraan status sosial ekonomi pada

suatu negara berkembang dapat dikaitkan dengan ketidaksetaraan

kesehatan mental individu di dalamnya; dimana hal ini akan berakibat

terhadap kesejahteraan seseorang maupun komunitas. Selanjutnya, status

sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan

hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri (Ryff, Magee,

Kling,& Wing, 1999; Ryan & Deci, 2001).

d. Pendidikan

Pendidikan juga merupakan faktor lainnya yang dapat

mempengaruhi psychological well-being seseorang. Pendidikan yang

semakin tinggi akan mengakibatkan individu memiliki berbagai macam

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

22

solusi atas permasalahan yang dimilikinya. Pendidikan akan berpengaruh

terhadap dimensi tujuan hidup seseorang (Ryff et al., 1999).

e. Budaya

Faktor lainnya yang mempengaruhi psychological well-being

seseorang adalah budaya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lu

(2008), budaya seseorang mempengaruhi cara individu tersebut

memaknai kebahagiaan. Hal ini disebabkan karena budaya memegang

peranan penting dalam membentuk cara seseorang berpikir,

mengkonseptualisasikan diri dan kebahagiaan, serta cara mengatasi

masalah-masalah yang timbul di dalam kehidupan sehari-hari.

f. Locus Of Control

Dalam penelitian Vander Zee et al. (1997) ditemukan bahwa locus

of control merupakan variabel moderator yang menghubungkan antara

dukungan sosial dan psychological well-being. Individu dengan locus of

control internal selalu berusaha untuk menguasai dan memanipulasi

lingkungannya secara aktif, mampu mengendalikan kejadian-kejadian

seperti keberhasilan atau kegagalan, serta mampu menghindarkan diri

mereka dari situasi yang tidak menguntungkan (Kulshretha & Sen, 2006),

demikian sebaliknya untuk individu dengan locus of control eksternal.

g. Kepribadian

Kepribadian seseorang juga ternyata mempengaruhi psychological

well-being. Huppert (2009) mengemukakan bahwa kepribadian

extraversion dan neuroticism memiliki hubungan dengan psychological

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

23

well-being. Kepribadian seseorang merupakan prediktor terbesar dalam

menentukan tipe emosi yang akan ia munculkan. Individu dengan

kepribadian neuroticism selalu identik dengan tipe emosi yang negatif.

Sebaliknya, individu extraversion identik dengan emosi yang lebih positif

(Diener, Suh, Lucas & Smith, 1999).

Banyak penelitian lintas budaya yang telah melakukan penelitian

sehubungan dengan psychological well-being dan extraversion-

neuroticism dan penelitian dari tiga dekade belakangan ini menunjukkan

bahwa kepribadian extraversion memiliki pengaruh yang besar terhadap

psychological well-being (Abbott, Ploubidis, Croudace, Kuh, Wadsworth,

& Huppert, 2008). Sedangkan, neuroticism memiliki efek terhadap

psychological well-being yang dimediasi oleh distres psikologis.

h. Marital Status

Banyak penelitian telah membuktikan bahwa individu yang telah

menikah memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi (Myers, 1999).

Bierman et al. (2006) meneliti mengenai salah satu dimensi dalam

psychological well-being, yaitu tujuan hidup. Mereka menemukan bahwa

individu yang telah menikah memiliki nilai yang lebih tinggi pada sub-

skala ini dibandingkan dengan yang tidak menikah. Penelitian lainnya

oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur

65 tahun ke atas menunjukkan bahwa senior yang sudah menikah

memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi tujuan hidup, penerimaan

diri dan hubungan negatif dengan orang lain.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

24

i. Relatedness

Beberapa teori telah mendefinisikan relatedness sebagai kebutuhan

dasar yang sangat penting bagi kesejahteraan manusia (Baumeister &

Leary, 1995). Hubungan interpersonal dapat dikaitkan dengan relatedness

dan banyak penelitian telah menunjukkan bahwa hubungan interpersonal

yang suportif, hangat, dan penuh kepercayaan dapat mempengaruhi

psychological well-being seseorang (Ryan & Deci, 2001).

Nezlek (2000; Ryan & Deci, 2001) telah melakukan review pada

beberapa penelitian dan menemukan bahwa kuantitas dari interaksi dengan

orang lain tidak dapat memprediksi kesejahteraan seseorang, melainkan

kualitas interaksi dengan orang lain (relatedness) yang dapat memprediksi

kesejahteraan. Menurut Johnson dan Johnson (2007), hubungan

interpersonal yang negatif antar individu dapat memicu terjadinya bullying

pada sekolah maupun tempat kerja. Oleh karena itu, peneliti

menyimpulkan bahwa faktor relatedness ini merupakan faktor penting

munculnya bullying di tempat kerja.

j. Coping strategy

Sebagaimana dinyatakan di atas, psychological well-being

dikaitkan dengan coping strategy, Park dan Adler (2003) menemukan

bahwa kesehatan psikologis dan fisik siswa kedokteran menurun setelah

tahun pertama pelatihan mereka. Secara khusus, escape avoidance coping

style dikaitkan dengan rendahnya psychological well-being. Di sisi lain,

adaptive coping strategies seperti penilaian ulang positif dan pemecahan

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

25

masalah yang direncanakan hanya sedikit terkait dengan psychological

well-being yang lebih tinggi.

Berdasarkan penjelasan di atas, disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

memengaruhi psychological well-being antara lain gender, usia, status sosial

ekonomi, pendidikan, budaya, locus of control, kepribadian, relatedness,

marital status, dan coping strategy. Variabel yang digunakan penelitian ini

akan berfokus pada variabel coping strategy. Selain itu Abbeduto (2004) yang

menyatakan bahwa coping strategy berperan untuk mempertahankan

kestabilan emosi psikis individu dan menurunkan tingkat stres sehingga

individu lebih anyak merasakan emosi positif. Efek jangka panjang dari

coping strategy adalah meningkatnya kesehatan, semangat hidup yang tinggi

serta psychological well-being yang tinggi.

Coping strategy yang berfokus pada masalah dianggap lebih efektif

dan adaptif, dan berkorelasi dengan sedikit gejala psikologis dan

psychological well-being yang lebih sehat (Holahan & Moos, 1987).

Sebagaimana dinyatakan di atas, psychological well-being dikaitkan dengan

coping strategy, Park dan Adler (2003) menemukan bahwa kesehatan

psikologis dan fisik siswa kedokteran menurun setelah tahun pertama

pelatihan mereka. Secara khusus, escape avoidance coping style dikaitkan

dengan rendahnya psychological well-being. Di sisi lain, adaptive coping

strategies seperti penilaian ulang positif dan pemecahan masalah yang

direncanakan hanya sedikit terkait dengan psychological well-being yang lebih

tinggi.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

26

B. Coping Strategy

1. Pengertian Coping Strategy

Coping strategy didefinisikan secara terperinci oleh Folkman (1984)

sebagai bentuk usaha kognitif dan perilaku yang dilakukan seseorang untuk

mengatur tuntutan internal dan eksternal yang timbul dari hubungan individu

dengan lingkungan, yang dianggap menganggu batas-batas yang dimiliki oleh

individu tersebut. Coping yang dimaksud terdiri dari pikiran-pikiran khusus

dan perilaku yang digunakan individu untuk mengatur tuntutan dan tekanan

yang timbul dari hubungan individu dengan lingkungan, khususnya yang

berhubungan dengan kesejahteraan.

Coyne, dkk (1981) menyatakan bahwa coping merupakan usaha-usaha

baik kognitif maupun perilaku yang bertujuan untuk mengelola tuntutan

lingkungan dan internal, serta mengelola konflik-konflik yang mempengaruhi

individu melampaui kapasitas individu. Definisi coping dikatakan memiliki

beberapa aspek penting. Pertama, hubungan antara coping dengan situasi atau

kondisi yang menekan merupakan sebuah proses dinamis. Coping merupakan

bagian dari transaksi-transaksi individu untuk memiliki sumber daya, nilai-

nilai, komitmen-komitmen dan lingkungan yang nyaman dengan kemampuan

diri, tuntutan-tuntutan dan batasan-batasan yang ada (Lazarus & Launier,

dalam Taylor 2006). Aspek penting kedua adalah perbedaan. Ada banyak

tindakan dan reaksi yang ditunjukkan untuk menghadapi sebuah kondisi atau

situasi yang menekan. Coping dikatakan sebagai proses mengatur tuntutann-

tuntutan baik internal maupun eksternal yang memerlukan tindakan dari

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

27

individu. Coping berupa berbagai tindakan dan pemikiran untuk mengurangi

menyepakati dan menghadapi tuntutan-tuntutan lingkungan dan internal, serta

permasalahan yang ada.

Selain itu Cohen dan Lazarus (Folkman, 1984) menambahkan tujuan

perilaku coping adalah untuk mengurangi kondisi lingkungan yang

menyakitkan, menyesuaikan dengan peristiwa-peristiwa atau kenyataan-

kenyataan yang negatif, mempertahankan keseimbangan emosi,

mempertahankan self image yang positif, serta untuk meneruskan hubungan

yang memuaskan dengan orang lain.

Berdasarkan sejumlah pendapat dari para ahli tersebut, dapat

disimpulkan bahwa coping strategy merupakan usaha, proses atau respon

individu untuk mengubah kognisi, intrapsikis dan juga tingkah laku dalam

tingkatan tertentu, agar dapat mengendalikan, menguasai, mengurangi atau

memperkecil pengaruh lingkungan, tuntutan internal, konflik-konflik atau

situasi yang dianggap menimbulkan stres atau mengatasi sesuatu terutama

yang diperkirakan akan menyita dan melampaui kemampuan seseorang.

2. Dimensi Coping Strategy

Lazarus dan Folkman (dalam Carver et.al, 1989) membagi coping

strategy secara umum menjadi dua, yaitu:

a. Problem Focused Coping

Problem Focused Coping bertujuan untuk mengubah kondisi yang

penuh tekanan dengan menghadapi masalah yang menjadi penyebab

timbulnya stres secara langsung. Coping ini mengarahkan individu untuk

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

28

dapat langsung mendefinisikan masalah, mencari berbagai alternatif,

mengukur alternatif pemecahan masalah dari keuntungan dan kerugian

yang didapat, memilih diantara alternatif tersebut, dan dapat langsung

melaksanakan tindakan. Individu cenderung untuk menggunakan coping

ini ketika mereka percaya bahwa sumber dari kondisi stres masih dapat

diubah (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 1990). Sementara itu

menurut Carver et al, (1989) problem focused coping melibatkan beberapa

dimensi antara lain:

1) Coping aktif (Active coping), proses pengambilan langkah-langkah aktif

untuk mencoba menghilangkan atau menghindari stressor atau untuk

memperbaiki dampaknya. Coping strategy aktif juga termasuk di

dalamnya proses memulai aksi langsung, meningkatkan upaya

seseorang, dan coping dalam mode bertahap.

2) Perencanaan (Planning), memikirkan tentang bagaimana mengatasi

stresor dengan melibatkan strategi untuk bertindak, memikirkan tentang

langkah apa yang perlu diambil dan cara terbaik untuk menangani suatu

masalah tersebut.

3) Penekanan kegiatan yang bersaing (Suppression of competing

activities), mengesampingkan rencana yang lain, mencoba menghindari

terpengaruh dengan peristiwa lain, bahkan membiarkan hal-hal lain

tergeser, jika diperlukan, untuk menangani stressor.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

29

4) Pelepasan perilaku (Behavioural disengagement), upaya seseorang

untuk mengurangi terlibat dengan stressor, bahkan menyerah untuk

mencoba mendapatkan apa yang diinginkan.

5) Pembatasan coping (Restraint coping), individu membatasi

keterlibatannya dalam aktifitas kompetisi atau persaingan dan tidak

bertindak terburu-buru.

6) Menggunakan dukungan instrumental (Use instrumental support), yaitu

melalui nasihat, bantuan atau informasi.

Menurut Aldwin & Revenson (1987) terdapat tiga macam problem

focused coping yaitu:

1) Kehati-hatian (Cautioness) yaitu cara individu memikirkan dan

mempertimbangkan secara tidak terburu-buru dalam memecahkan

masalah dengan meminta solusi kepada orang lain tentang masalah

yang sedang dihadapi, bersikap tidak terburu-buru dalam memutuskan

sesuatu dan mencoba mengevaluasi strategi yang pernah digunakan.

2) Tindakan instrumental (instrumental action) meliputi tindakan individu

yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah secara langsung serta

menyusun langkah-langkah yang diperlukan.

3) Negosiasi (negotiation) meliputi cara individu dengan melibatkan orang

lain atau menjadi penyebab masalah yang sedang dihadapinya untuk

ikut memikirkannya atau menyelesaikan masalah tersebut.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

30

b. Emotion Focused Coping

Emotion Focused Coping merupakan usaha yang dilakukan

individu untuk mengatur respon emosional dari kondisi yang penuh

dengan tekanan. Individu dapat mengatur respon emosional melalui

pendekatan behavioral dan kognitif. Individu cederung menggunakan

coping ini ketika mereka mengetahui bahwa hanya sedikit atau tidak ada

yang bisa dilakukan untuk mengubah kondisi yang penuh tekanan

(Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 1990).

Menurut Carver et al (1989) dimensi-dimensi yang terdapat pada

emotion focused coping, antara lain:

1) Menggunakan dukungan emosional (Use emostional support), yaitu

melalui dukungan moral, simpati atau pengertian.

2) Memfokuskan pada peluapan atau pelepasan emosi (Focusing on and

venting of emotions), kecenderungan untuk fokus pada tekanan atau

saat marah, membiarkan emosi untuk keluar

3) Pelepasan mental (Mental disengagement), mengalihkan pikiran dari

permasalahan ke pekerjaan atau kegiatan pengganti lain

4) Reinterpretasi dan pertumbuhan yang positif (Positive reinterpretation

and growth), mencari sesuatu yang baik dari apa yang terjadi

5) Menyalahkan diri sendiri (Self blame), mengkritisi diri sendiri atas

tanggung jawab individu dalam situasi stres tersebut

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

31

6) Penerimaan (Acceptance), sesuatu yang penuh dengan kondisi stres

dan keadaan yang memaksanya untuk mengatasi masalah tersebut,

belajar untuk hidup dan menerima terhadap keadaan yang terjadi.

7) Penolakan (Denial), menolak untuk percaya bahwa permasalahan itu

telah terjadi

8) Humor, membuat lelucon mengenai permasalahannya, dapat dilakukan

dengan menertawakan kondisinya sendiri atau memunculkan lelucon

mengenai permasalahannya dalam pembicaraam sehari-hari

9) Penggunaan zat (Substance use), menggunakan zat (alkohol, rokok dan

obat-obatan lain) untuk melewati masalah yang terjadi

10) Beralih ke agama (Turning to religion), sikap individu yang

menenangkan dan menyelesaikan masalah secara keagamaan. Individu

mungkin beralih ke agama saat sedang stres karena alasan yang

bermacam-macam: agama bisa berfungsi sebagai sumber dukungan

emosional, sebagai sarana untuk reinterpretasi positif, atau sebagai

salah satu cara untuk mengatasi stressor.

Menurut Aldwin & Revenson (1987) terdapat empat macam

emotion focused coping yaitu:

1) Pelarian dari masalah (escapism) yaitu individu berkhayal seandainya

ia berada dalam situasi dan saat yang menyenangkan untuk

menghindari masalah yang ada, menghindarkan untuk memikirkan

masalah dengan cara makan atau tidur lebih banyak dan menghindari

bertemu orang lain dan merokok lebih banyak

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

32

2) Pengurangan beban masalah (minimization) yaitu usaha untuk menolak

masalah yang ada dengan cara menganggap seolah-olah masalah

tersebut tidak ada

3) Menyalahkan diri sendiri (self blame) yaitu seseorang cenderung

menyalahkan dan menghukum diri sendiri serta menyesali apa yang

sudah terjadi

4) Pencarian arti (seeking meaning) yaitu seseorang berusaha mencari arti

kegagalan yang dialaminya bagi dirinya serta melihat pada segi-segi

yang lebih penting dalam hidupnya

Carver (1997) mengubah beberapa aspek yang diuraikan di atas sesuai

dengan perkembangan penemuan penelitian. Aspek restraint coping dan

suppression of competing activities dieliminasi karena dinilai tidak

menunjukkan hasil yang berguna, kemudian aspek yang diubah supaya tidak

menimbulkan ambiguitas yaitu: positive reinterpretation and growth menjadi

positive reframing, focus on and venting emotions menjadi venting, mental

disengagement menjadi self distraction. Selanjutnya terdapat satu aspek

tambahan yaitu self blame. Keseluruhan aspek ini diwujudkan Carver (1997)

dalam sebuah alat ukur baru yang dinamakan The Brief COPE.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan

bahwa dimensi-dimensi coping strategy menurut Carver (1997) terdiri dari

active coping, planning, positive reframing, acceptance, humor, religion,

using emotional support, using instrumental support, self distraction, denial,

venting, subtance use, behavioral, disengagement, self blame dan menurut

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

33

Aldwin & Revenson (1987) terdiri dari cautiouness, instrumental action,

negotiation, escapism, minimization, self blame, seeking meaning

Adapun aspek-aspek yang dikemukakan oleh Carver akan dijadikan

indikator dalam pembuatan skala karena memiliki penjelasan yang rinci

mengenai dimensi-dimensi coping strategy, baik dari problem focused coping

maupun emotion focused coping.

C. Hubungan antara Coping strategy dengan Psychological Well-being pada

Mahasiswa yang Sedang Mengerjakan Skripsi

Seorang mahasiswa di dalam suatu perguruan tinggi dituntut untuk segera

mungkin menyelesaikan masa studinya. Pada umumnya di akhir masa studi,

seorang mahasiswa diberi tugas akhir atau bisa juga disebut dengan skripsi.

Yulianto (2008), mengemukakan skripsi merupakan suatu karangan ilmiah yang

wajib ditulis oleh seorang mahasiswa sebagai bagian dari persyaratan akhir

pendidikan akademisnya. Skripsi juga menjadi salah satu bukti kemampuan

akademik mahasiswa. Skripsi yang disusun mahasiswa, didalamnya membahas

mengenai penelitian yang akan dilakukan sesuai dengan bidang studi. Skripsi

selain sebagai persyaratan akhir pendidikan yang dilakukan oleh mahasiswa

namun juga menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan suatu gelar sarjana.

Namun dalam usaha mengerjakan skripsi mahasiswa sering dihadapkan

oleh berbagai masalah. Mut’adin (2004) mengatakan terdapat beragam hal yang

menjadi penghambat dalam pengerjaan skripsi, antara lain: kejenuhan dalam

mengerjakan skripsi, proses yang lama dalam mengumpulkan data, kesulitan

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

34

menuangkan pikiran kedalam bentuk tulisan, kesulitan membagi waktu antara

mengerjakan skripsi dengan kegiatan lainnya misalkan bekerja dan kurangnya

kemampuan dalam berbahasa inggris untuk membaca literatur buku yang dipakai.

Santrock (1998) mengatakan mahasiswa termasuk dalam tahap perkembangan

remaja akhir menuju dewasa muda yang memiliki rentang umur antara 18 hingga

22 tahun, sedangkan mahasiswa tingkat akhir yang khususnya sedang

mengerjakan skripsi dalam penelitian ini memiliki rentang umur 20 – 25 tahun,

dimana usia tersebut masuk ke dalam rentang usia dewasa muda yang memiliki

rentang umur 20-40 tahun menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2009).

Pada dewasa muda, masalah kuliah merupakan masa-masa paling baik

dalam kehidupan dan salah satu tantangan adalah tekanan akademis (National

Health Ministries, 2006). Psychological well-being mahasiswa yang sedang

mengerjakan skripsi dengan berbagai hambatan menyebabkan keluhan personal,

sehingga untuk bisa menangani tekanan tersebut akan membuat individu terus

melakuakan berbagai usaha untuk meredakan dan menghilangkan berbagai

tekanan yang dihadapi yang disebut dengan coping (Parry dalam Saptoto, 2010).

Menurut beberapa penelitian, psychological well-being dipengaruhi oleh beberapa

faktor, salah satunya adalah coping strategy (Folkman, 1984). Coping strategy

merupakan suatu proses individu berusaha untuk menangani dan menguasai

situasi stres yang menekan akibat masalah yang sedang dihadapinya, dengan cara

melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman

dalam dirinya.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

35

Coping strategy terdapat 2 aspek utama yaitu Problem Focused Coping

dan Emotional Focused Coping. Aspek pertama dalam coping strategy adalah

Problem Focused Coping. Problem Focused Coping bertujuan untuk mengubah

kondisi yang penuh tekanan dengan menghadapi masalah yang menjadi penyebab

timbulnya stres secara langsung. Coping ini mengarahkan individu untuk dapat

langsung mendefinisikan masalah, mencari berbagai alternatif, mengukur

alternatif pemecahan masalah dari keuntungan dan kerugian yang didapat,

memilih diantara alternatif tersebut, dan dapat langsung melaksanakan tindakan

(Lazarus & Folkman, 1984). Sedangkan emotion focused coping merupakan usaha

yang dilakukan individu untuk mengatur respon emosional dari kondisi yang

penuh dengan tekanan. Individu dapat mengatur respon emosional melalui

pendekatan behavioral dan kognitif. Individu cederung menggunakan coping ini

ketika mereka mengetahui bahwa hanya sedikit atau tidak ada yang bisa dilakukan

untuk mengubah kondisi yang penuh tekanan (Lazarus & Folkman dalam

Sarafino, 1990).

Aspek pertama yaitu active coping. Menurut Carver et al, (1989)

merupakan proses pengambilan langkah-langkah aktif untuk mencoba

menghilangkan atau menghindari stressor atau untuk memperbaiki dampaknya.

Mahasiswa yang memiliki active coping akan cenderung akan berkonsentasi

dengan usaha yang dilakukan dan mengambil tindakan agar skripsi yang

dikerjakan dapat diselesaikan tepat waktu. Usaha-usaha yang dilakukan akan

mendorong mahasiswa untuk berpikir dan bertindak dengan caranya sendiri untuk

dalam membuat keputusan saat pengerjaan skripsi. Mahasiswa akan menjadi

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

36

pribadi yang mandiri sehingga akan meningkatkan psychological well-being.

Hasil ini sesuai dengan penelitian Qiao et al. (2011) yang menunjukkan aspek

active oping dalam coping strategy dan psychological well-being ditemukan

secara signifikan positif berkorelasi.

Aspek yang kedua planning atau perencanaan yaitu memikirkan tentang

bagaimana mengatasi stressor dengan melibatkan strategi untuk bertindak,

memikirkan tentang langkah apa yang perlu diambil dan cara terbaik untuk

menangani suatu masalah tersebut (Carver, 1997). Ketika mahasiswa mengalami

masalah dalam kehidupan kesehariannya dalam mengerjakan skripsi, dapat

berusaha membuat strategi untuk memecahkan masalah dan berfikir keras dengan

tindakan yang akan dilakukan. Mahasiswa cenderung mampu membuat evaluasi

sesuai dengan standar dirinya sendiri terutama dalam mengerjakan skripsi.

Mahasiswa sedang mengerjakan skripsi yang menggunakan strategi penanganan

yang efektif seperti perencanaan akan memiliki tingkat psychological well-being

yang lebih tinggi. Hasil ini sesuai dengan penelitian Qiao et al. (2011) yang

menunjukkan aspek planning dalam coping strategy dan psychological well-being

ditemukan secara signifikan positif berkorelasi.

Aspek ketiga adalah positive reframing, mencari sesuatu yang baik dari

apa yang terjadi (Carver, 1997). Mahasiswa dapat mencoba melihat masalah dari

sudut pandang yang berbeda dan mencari hal baik dari masalah yang terjadi.

Ketika mahasiswa mengalami permasalahan yaitu sudah berulang kali bimbingan

dengan dosen namun selalu ada revisi, mahasiswa dapat menganggap bahwa hal

tersebut sebagai pembelajaran berkaitan dengan tema skripsi yang sudah diambil.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

37

Mahasiswa dapat berpendapat bahwa adanya revisi maka akan menambah

pengetahuan dan pengalaman. Hal tersebut akan memberikan peningkatan dalam

diri dari waktu ke waktu, menyadari potensi yang dimiliki, dan terbuka terhadap

pengalaman baru. Hasil ini sesuai dengan penelitian Subedi (2016) menunjukkan

aspek positive reframing dalam strategy coping berhubungan positif dan

signifikan dengan psychological well-being. Positive reframing sering digunakan

sebagai alat untuk memecahkan stres atau ketegangan.

Aspek keempat acceptance, sesuatu yang penuh dengan kondisi stres dan

keadaan yang memaksanya untuk mengatasi masalah tersebut, belajar untuk hidup

dan menerima terhadap keadaan yang terjadi. Gejala psikologi yang paling umum

dialami oleh mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi adalah kecemasan,

depresi dan juga kehilangan kepercayaan diri. Mahasiswa tingkat akhir akan

cenderung memiliki stress yang berlebih dibandingkan dengan mahasiswa baru.

Mahasiswa yang mampu mengelola stres dengan baik dan mencoba mengatasi

maka akan mendorong mahasiswa memiliki penerimaan diri yang baik.

Mahasiswa dengan penerimaan diri yang baik akan terlihat dari sikap positif

dalam dirinya untuk menerima kondisi selama pengerjaan skripsi. Hasil ini sesuai

dengan penelitian Qiao et al. (2011) yang menunjukkan aspek acceptance dalam

coping strategy dan psychological well-being ditemukan secara signifikan positif

berkorelasi.

Aspek kelima humor, membuat lelucon mengenai permasalahannya, dapat

dilakukan dengan menertawakan kondisinya sendiri atau memunculkan lelucon

mengenai permasalahannya dalam pembicaraam sehari-hari. Humor

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

38

memungkinkan individu yang bersangkutan memandang persoalan dari sudut

manusiawinya sehingga diartikan secara baru yaitu sebagai persoalan yang biasa

dan dialami oleh mahasiswa lain. Mahasiswa akan cenderung mencari situasi

yang menyenangkan agar bisa melupakan masalah, tekanan-tekanan yang

dirasakan (Sipayung, 2016). Memberi waktu kepada diri sendiri untuk bersantai

dari rutinitas mengerjakan skripsi yang dirasa berat akan membuat seseorang

merasa lebih bugar/santai. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Christianty

(2015) menunjukkan ada hubungan sense of humor dan psychological well-being.

Aspek keenam religion, sikap individu yang menenangkan dan

menyelesaikan masalah secara keagamaan. Mahasiswa berdoa saat mengalami

masalah dan berusaha menemukan kenyamanan dalam agama. Mahasiswa yang

memiliki religiusitas yang baik akan cenderung terlibat dengan aktivitas di luar

lingkungan dirinya salah satunya dengan mengikuti kegiatan keagamaan dan

terlibat dengan keluarga ataupun teman. Hal tersebut akan berfungsi sebagai

sumber dukungan emosional, sebagai sarana untuk reinterpretasi positif, atau

sebagai salah satu cara untuk mengatasi stressor. Tingginya religiustas seseorang

akan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memahami psychological well-

being. Aflekseir (2012) mengungkapkan bahwa spiritualitas dan keyakinan

keagamaan merupakan salah satu komponen penting dalam membangun

kehidupan yang bermakna dalam sisi psikologis seseorang. Penelitian oleh

Kaliampos (2017) menunjukkan bahwa religious coping dapat memainkan peran

positif dalam psychological well-being.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

39

Aspek ketujuh adalah using emotional support yaitu melalui dukungan

moral, simpati atau pengertian. Individu dapat mengatur respon emosional melalui

dukungan emosional yang diberikan kepada mahasiswa lain berupa moral dan

empati, hal tersebut akan meningkatkan pertumbuhan diri mahasiswa sehingga

akan memiliki tujuan hidup yang jelas serta merasakan pertumbuhan pribadi dari

masa ke masa dalam hidupnya. Dukungan emosional yang diberikan keluarga dan

teman akan menumbuhkan keperacayan dan kedekatan terhadap orang lain, hal

terebut akan berdampak pada hubungan yang positif mahasiswa dengan orang

lain. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Carvalho dan Vale-Dias (2013)

yang menunjukkan hubungan positif dan signifikan using emotional support

dengan psychological well-being.

Aspek kedelapan using instrumental support, yaitu melalui nasihat,

bantuan atau informasi. Mahasiswa dalam menghadapi persoalan dalam

pengerjaan skripsi bukan persoalan yang mudah, oleh sebab itu mahasiswa tidak

jarang mengalami kendala. Mahasiswa berupaya untuk mengubah kondisi yang

penuh tekanan dengan menghadapi masalah yang menjadi penyebab timbulnya

stres secara langsung. Mahasiswa mengambil langkah aktif untuk mengindari

stressor, mengurangi terlibat dengan stressor dan menggunakan dukungan

instrumental melalui nasihat dari orang lain. Mahasiswa juga mampu dalam

menggunakan dukungan instrumental orang lain berupa nasihat dan informasi

untuk membantu mengerjakan skripsi, sehingga hal tersebut akan mampu

mengembangkan relasi yang positif mahasiswa dengan orang lain. Upaya-upaya

yang dilakukan mahasiswa dalam mengurangi tekanan, maka tekanan tersebut

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

40

akan berkurang dan dapat meningkatkan psychological well-being sehingga

mempermudah mahasiswa dalam mengerjakan skripsi. Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian Carvalho dan Vale-Dias (2013) yang menunjukkan hubungan

positif dan signifikan using instrumental support dengan psychological well-

being.

Aspek kesembilan yaitu self distraction, mengalihkan pikiran dari

permasalahan ke pekerjaan atau kegiatan pengganti lain. Mahasiswa dapat

menghindari hal-hal yang tidak memiliki kaitan dengan pemecahan masalah yang

dilakukan untuk menemukan kegiatan pengganti. Hal tersebut berkaitan dengan

kemampuan mahasiswa menyesuaikan situasi dan kondisi dengan lingkungan agar

terfokus dengan pemecahan masalah dan kemampuan menumbuhkan kemandirian

mahasiswa. Mahasiswa yang mengalihkan pikiran lain skripsi dengan melakukan

kegiatan lain, maka mahasiwa tidak mampu mengendalikan lingkungannya. Hal

terebut dapat berdampak pada psychological well-being yang kurang bagus

terutama dalam proses pengerjaan skripsi, karena pikiran mahasiswa tidak akan

terfokus pada skripsi yang dikerjakan. Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian Carvalho dan Vale-Dias (2013) yang menunjukkan hubungan negatif

dan signifikan self distraction dengan psychological well-being.

Aspek kesepuluh denial, menolak untuk percaya bahwa permasalahan itu

telah terjadi. Mahasiswa yang lebih banyak melakukan penghindaran masalah

mungkin dapat berakibat pada psychological well-being yang lebih rendah.

Mahasiswa yang menghindari dari kewajiban dalam mengerjakan skripsi

menunjukkan bahwa penerimaan dirinya rendah. Mahasiswa tidak mampu

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

41

menerima secara positif kehidupan yang telah berlalu. Penelitian oleh Qiao et al.

(2011) menunjukkan adanya korelasi negatif yang signifikan antara coping

strategy of denial dengan psychological well-being. Mahasiswa yang sedang

mengerjakan skripsi menggunakan coping strategy yang tidak efektif akan

memiliki tingkat psychological well-being yang lebih rendah.

Aspek kesebelas venting kecenderungan untuk fokus pada tekanan atau

saat marah, membiarkan emosi untuk keluar. Mahasiswa yang membiarkan emosi

keluar hanya untuk sesaat mungkin akan memberikan rasa lega pada waktu itu.

Namun venting yang berlebihan akan memberikan dampak penerimaan diri buruk

bagi mahasiswa terutama kondisi psikologisnya, mahasiswa akan memiliki

pandangan yang negatif tentang dirinya. Hasil ini sesuai dengan penelitian Subedi

(2016) yang menunjukkan aspek coping strategy of venting berhubungan negatif

dan signifikan dengan psychological well-being. Hal ini berarti venting bukan

merupakan coping strategy yang efektif bagi siapa saja yang mencoba mengatasi

stress sehari-hari, termasuk mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi.

Aspek keduabelas subtance use, menggunakan zat (alkohol, rokok dan

obat-obatan lain) untuk melewati masalah yang terjadi. Subtance use seperti

penyalahgunaan zat digunakan untuk memperpanjang durasi stresor dan biasanya

digunakan untuk mengatasi masalah interpersonal. Green et al. (2013)

mengungkapkan bahwa penggunan zat dapat menyebabkan tekanan pikologis

jangka panjang sehingga akan memberikan konekuensi yang negatif apabila

sering digunakan. Hasil penelitian yang dilakukan MacAulay (2010) bahwa

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

42

penanganan penyalahgunaan zat akan terkait dengan rendahnya tingkat

psychological well-being.

Aspek ketiga belas yaitu behavioral disengagement, upaya seseorang

untuk mengurangi terlibat dengan stressor, bahkan menyerah untuk mencoba

mendapatkan apa yang diinginkan. Mahasiswa yang menyerah untuk berusaha

mengatasi masalah maka akan memperburuk psychological well-being. Hal

tersebut dikarenakan mahasiswa tidak akan memiliki cita-cita dan tujuan untuk

menyelesaikan skripsi, menyakini tujuan yang dimiliki, memiliki kemampuan

untuk mencapai tujuan tersebut. Penelitian oleh Qiao et al. (2011) menunjukkan

adanya korelasi negatif yang signifikan antara coping strategy of behavioral

disengagement dengan psychological well-being. Mahasiswa tingkat akhir yang

menggunakan strategi penanganan yang tidak efektif memiliki tingkat

kesejahteraan psikologis yang lebih rendah.

Aspek keempatbelas adalah self-blame, mengkritisi diri sendiri atas

tanggung jawab individu dalam situasi stres tersebut. Mahasiswa dengan self-

blame yang buruk akan cenderung menyalahkan diri sendiri dan sering mengkritik

atau mencela diri sendiri karena tidak mampu untuk mengerjakan skripsi.

Mahasiswa yang sering mengkritisi diri sendiri maka tidak akan memiliki

pandangan sebagai pribadi yang tumbuh dan berkembang, karena merasa tidak

mampu untuk mengatasi kesulitas mengerjakan skripsi. Hasil ini sesuai dengan

penelitian Subedi (2016) yang menunjukkan aspek self-blame dari strategy coping

berhubungan negatif dan signifikan dengan psychological well-being. Hal ini

berarti self-blame bukan merupakan coping strategy yang efektif bagi siapa saja

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

43

yang mencoba mengatasi stress sehari-hari, termasuk mahasiswa yang sedang

mengerjakan skripsi. Meskipun self-blame didasarkan pada sifat stress, namun

harus dipertimbangkan secara khusus karena kadang-kadang dapat menyebabkan

perilaku bunuh diri (Schinina, 2011).

Coping strategy yang berfokus pada masalah dianggap lebih efektif dan

adaptif, dan berkorelasi dengan sedikit gejala psikologis dan psychological well-

being yang lebih sehat (Holahan & Moos, 1987). Coping strategy terdapat cara-

cara efektif dalam mengurangi beban dalam hidup seseorang terutama mahasiswa

dalam menyelesaikan skripsi sehingga dengan kehidupan mahasiswa akan

dipenuhi dengan pikiran positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain.

Adanya coping strategy diharapkan agar tekanan atau stress dapat

berkurang sehingga mahasiswa merasakan psychological well-being dalam

mengerjakan skripsi. Selain itu mahasiswa yang mampu mengalihkan

permasalahan dan mengkritisi diri sendiri atas tanggung jawab akan mampu

menerima dirinya karena memiliki perasaan yang cenderung positif. Orang yang

sehat secara psikologis akan memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang

lain dengan segala kekurangan yang dimiliki, mampu mengatur tingkah lakunya

sendiri, memilih dan membentuk lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan

(Sinaga, 2012). Selain itu Abbeduto (2004) yang menyatakan bahwa coping

strategy berperan untuk mempertahankan kestabilan emosi psikis individu dan

menurunkan tingkat stres sehingga individu lebih banyak merasakan emosi

positif. Efek jangka panjang dari coping strategy adalah meningkatnya kesehatan,

semangat hidup yang tinggi serta psychological well-being yang tinggi.

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

44

Dinamika hubungan yang telah dijelaskan oleh peneliti juga telah

dibuktikan oleh penelitian sebelumnya bahwa coping berkaitan positif dengan

psychological well-being. Hal tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Mawarpury (2013) dengan judul penelitian Coping Sebagai Prediktor

Kesejahteraan Psikologis: Studi Meta Analisis, coping strategy berkaitan positif

terhadap psychological well-being individu. Coping memiliki hubungan yang

positif dan signifikan dengan psychological well-being. Artinya semakin baik

seseorang menggunakan coping dalam menghadapi persoalan maka semakin baik

pula psychological well-being, demikian sebaliknya.

Penelitian yang lain juga telah dilakukan oleh Angreani dan Cahyanti

(2012) dengan judul Perbedaan Psychological Well-being pada penderita Diabetes

Tipe 2 Usia Dewasa Madya Ditinjau dari Coping strategy dengan hasil penelitian

bahwa kedua bentuk coping strategy tidak menunjukkan perbedaan, keduanya

sama-sama memberikan kontribusi psychological well-being terhadap penderita

diabetes mellitus tipe 2. Penelitian selanjutnya dengan judul Psychological Well-

Being And Coping Mechanism Of Bettered Woman dengan hasil penelitian bahwa

antara psychological well-being dan mekanisme coping terdapat korelasi tetapi

terhadap permsalahan atau kekuatan tertentu.

D. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan

positif antara coping strategy dengan psychological well-being pada mahasiswa

yang sedang mengerjakan skripsi, jadi semakin baik penggunaan coping strategy

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/BAB II.pdf · oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun

45

pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi maka psychological well-being

pada mahasiswa tersebut cenderung semakin baik, sebaliknya semakin buruk

penggunaan coping strategy pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi

maka psychological well-being pada mahasiswa tersebut cenderung semakin

buruk.