bab ii tinjauan pustaka a. psychological well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2680/3/bab...
TRANSCRIPT
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Psychological Well-being
1. Pengertian Psychological Well-being pada Mahasiswa yang Sedang
Mengerjakan Skripsi
Ryff (1989) menyatakan bahwa psychological well-being adalah
pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika
individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki
tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi
pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus
bertumbuh secara personal. Ramos (2007) mengatakan bahwa psychological
well-being adalah kebaikan, keharmonisan, menjalin hubungan baik dengan
orang lain baik antar individu maupun dalam kelompok.
Ryan dan Deci (2001) mendefinisikan psychological well-being
sebagai kebahagiaan dan kebahagiaan merupakan unsur dasar kepuasan hidup.
Neugarten 1961 (dalam Hadinoto, 1992) menyatakan bahwa seseorang yang
berada dalam kesejahteraan psikologis ialah orang yang dalam keadaan:
menyenangi aktivitas sehari-hari, menganggap hidupnya berarti, merasa
berhasil telah mencapai tujuan hidup, memunyai citra diri yang positif,
mempunyai suasana hati yang optimistik dan bahagia.
Menurut Campbell (2008) Psychological well-being adalah hasil dari
evaluasi yang dilakukan seseorang terhadap hidupnya secara kognitif dan
14
emosi. Dalam evaluasi kognitif, psychological well-being dimaksudkan
sebagai bentuk kepuasan dalam hidup dimana individu telah mencapai sebuah
target yang telah ditetapkan sebelumnya baik oleh diri sendiri maupun orang
lain. Dalam evaluasi emosi, well-being adalah bentuk afek yang dirasakan
individu ketika mencapai sebuah kepuasan atau perasaan senang.
Jadi dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa psychological
well-being pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi adalah keadaan
dimana mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi dapat menerima
kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup,
mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang
mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara
personal.
2. Dimensi Psychological Well-being
Ryff (1989) merumuskan dimensi-dimensi psychological well-being
sebagai berikut:
a. Self Acceptance (Penerimaan Diri)
Self acceptance dapat diartikan sebagai sikap positif terhadap diri sendiri
dimana individu mengenal dan menerima berbagai aspek kehidupan yang
ada dalam dirinya baik yang positif maupun yang negatif serta memiliki
perasaan yang cenderung positif terhadap kehidupan masa lalunya.
Individu yang memiliki tingkat penrimaan diri yang baik ditandai dengan
sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek
yang ada dalam dirinya, baik yang positif maupun negatif, dan memiliki
15
pandangan positif terhadap masa lalu. Sebaliknya seseorang yang
memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik dan memunculkan
persaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan
pengalaman masa lalu dan memiliki pengharapan untuk menjadi pribadi
yang bukan dirinya, dengan kata lain, tidak menjadi dirinya saat ini.
b. Positive Relation with Others (Hubungan yang Positif dengan Orang Lain)
Hubungan positif dengan orang lain adalah kemampuan untuk menjalin
sebagai hubungan yang hangat dan penuh rasa percaya dengan orang lain
memiliki kepedulian akan kesejahteraan orang lian, mampu memberikan
empati afeksi dan intimitas, memahami, saling meminta dan memberi
dalam suatu hubungan. Individu dengan tingkat hubungan positif dengan
orang lain yang tinggi merupakan orang yang hangat, merasa puas dan
percaya untuk berhubungan dengan orang lain, peduli dengan kebahagiaan
orang lain, memiliki empati, afeksi, dan intimasi yang kuat, memahami
adanya proses memberi dan menerima dalam hubungannya dengan orang
lain. Sementara itu, individu dengan tingkat hubungan positif yang rendah
memiliki sedikit hubungan yang dekat atau saling percaya, mengalami
kesulitan menjadi orang yang hangat terbuka dan peduli dengan, terisolasi
dan frustasi dengan hubungan interpersonal, dan tidak berkeinginan untuk
berkompromi dalam mempertahankan ikatan penting dengan orang
lain/berkomitmen.
16
c. Autonomy (Kemandirian)
Otonomi diartikan sebagai kebebasan untuk menentukan diri sendiri,
mampu bertahan dari tekanan sosial untuk dapat berpikir dan bertindak
dengan cara tertentu, mengatur perilaku berdasar pertimbangan dari dalam
diri, serta mengevaluai diri dengan standar pribadi. Individu yang
memiliki otonomi yang baik merupakan individu yang mandiri dan dapat
membuat keputusannya sendiri, mampu untuk bertahan dari tekanan sosial
untuk berpikir dan berperilaku dalam cara tertentu, mengatur perilaku dari
dalam, serta mengevaluasi diri dari standar pribadi. Sedangkan individu
yang memiliki otonomi yang kurang baik mementingkan harapan dan
evaluasi dari orang lain, bergantung pada penilaian orang lain untuk
membuat keputusan penting, mengubah diri sesuai dengan tekanan dari
lingkungan untuk berikir dan berperilaku dalam cara tertentu.
d. Environmental Mastery (Penguasaan Lingkungan)
Penguasaan lingkungan sekitar yang dimaksud yaitu individu memiliki
kompetensi dalam mengatur lingkungan sekitar hidupnya, memiliki minat
untuk berpartisipasi terhadap hal-hal di luar dirinya baik dalam bentuk
sebuah aktivitas baru maupun rutinitas yang telah dilakukannya sehari
hari. Individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang baik merupakan
individu yang memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur
lingkungannya, yang artinya mampu mengendalikan dan mengatur situasi
kehidupan yang dihadapi. Sedangkan individu dengan penguasaan
lingkungan yang kurang baik tidak mampu mengatur situasi keseharian,
17
tidak mampu mengubah dan meningkatkan kualitas lingkungannya.
Individu tersebut merasa kesulitan untuk mengatur lingkungannyadan
tidak mampu memanfaatkan peluang dan kesempatan yang ada pada
lingkungannya.
e. Purpose In Life (Tujuan Hidup)
Tujuan hidup merupakan kemampuan individu untuk memiliki pengertian
dan pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya yang memiliki
arti bahwa individu tersebut memiliki keyakinan untuk mencapai tujuan
hidupnya. Individu yang memiliki tujuan hidup memiliki rasa keterarahan
dalam hidup, mampu merasakan arti dari masa lalu dan masa kini,
memiliki tujuan dan target yang ingin dicapai dalam hidup. Sebaliknya
individu yang rendah dalam aspek ini menganggap hidupya kurang
bermakna, hanya terdapat sedikit tujuan hidup, kehilangan keyakinan yang
memberikan tujuan hidup serta kurang mampu melihat makna dari
kejadian di masa lalu untuk kehidupannya.
f. Personal Growth (Pertumbuhan Diri)
Pertumbuhan merupakan kemampuan individu untuk merasakan
pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya. Memandang dirinya
sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang. Individu yang
memiliki pertumbuhan pribadi yang baik akan terbuka dengan
pengalaman-pengalaman baru dan memiliki kemampuan untuk beradaptasi
terhadap perubahan-perubahan dalam hidupnya. Sedangkan individu
dengan pertumbuhan pribadi yang rendah akan merasakan dirinya
18
stagnasi, tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, yang
mengakibatkan kebosanan dan hilangnya minat terhadap kehidupannya
serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku
yang baik.
Adapun dimensi-dimensi psychological well-being menurut Dayton
(2001), antara lain:
a. Acceptance (Penerimaan)
Dimensi ini menekankan penerimaan individu terhadap kehidupan,
termasuk penerimaan terhadap diri sendiri maupun takdir. Seseorang
dengan penerimaan yang baik sangat menghargai ketenangan pikiran dan
secara sadar berusaha untuk mendapatkan kedamaian dalam diri. Melalui
penerimaan inilah seseorang akan merasakan ketenangan dan kedamaian.
b. Harmony (Keselarasan)
Keselarasan diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam membangun
hubungan harmonis dengan orang lain seperti keluarga, teman, atau
tetangga. Dalam dimensi ini, keselarasan dengan keluarga dianggap paling
penting. Kebahagiaan dan rasa bangga orang tua terhadap kesuksesan anak
sangat ditekankan dalam hubungan interpersonal orang tua dengan anak.
Selain hubungan dengan keluarga, dimensi keselarasan juga menekankan
keharmonisan hubungan dengan tetangga dan teman karena hubungan
positif dengan keluarga, teman dan tetangga sama halnya memberikan
kontribusi terhadap rasa aman.
19
c. Interdependence (Interdependensi)
Interdependensi ialah perasaan saling bergantung dan membutuhkan satu
sama lain. Dimensi ini melibatkan interaksi kompleks antara pemberian
bantuan, kemandirian, dan ketergantungan.
d. Enjoyment (Kenikmatan)
Enjoyment yaitu kemampuan seseorang dalam menikmati hidupnya secara
keseluruhan. Seseorang yang menikmati hidupnya akan mampu menjalani
hidupnya dengan rasa santai dan tidak terbebani dengan kekhawatiran.
Kenikmatan hidup ini diperoleh melalui interaksi individu dengan
lingkungan sosialnya. Individu yang dapat merasakan kenikmatan hidup
akan merasa bahagia meskipun berada pada situasi yang menekan.
e. Respect (Penghormatan)
Respect yaitu penghormatan dari orang lain. Penghormatan dari orang lain
menunjukkan bahwa keberadaan seseorang sangat dihargai dalam sebuah
komunitas. Penghormatan juga dijadikan penanda kesuksesan sebagai
orang yang baik. Kepatuhan anggota keluarga yang lebih muda untuk
mendengarkan serta menjalankan nasehat dari anggota keluarga yang lebih
tua adalah menifestasi lain dari rasa hormat.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan
bahwa dimensi-dimensi psychological well-being terdiri dari self acceptance,
positive relation with others, autonomy, environmental mastery, purpose in
life, personal growth, acceptance, harmony, interdependence, enjoyment,
respect. Dari dua teori tersebut, peneliti akan menggunakan teori dari Ryff.
20
Adapun alasan peneliti menggunakan teori dari Ryff karena dimensi-dimensi
tersebut lebih lengkap dan lebih rinci penjabarannya sehingga lebih
memudahkan peneliti untuk membuat aitem dalam skala dibanding dimensi-
dimensi menurut Dayton. Keenam dimensi-dimensi tersebut yang nantinya
peneliti gunakan sebagai acuan dalam penyusunan alat ukur untuk membuat
skala guna mengungkap psychological well-being.
3. Faktor – faktor yang Memengaruhi Psychological Well-being
Merujuk pada beberapa literatur dan hsil penelitian, faktor-faktor yang
memengaruhi psychological well-being adalah sebagai berikut:
a. Gender
Gender juga merupakan faktor yang mempengaruhi psychological
well-being seseorang (Ryff & Keyes, 1995). Dalam 18 penelitiannya,
ditemukan bahwa wanita memiliki pertumbuhan pribadi dan hubungan
positif dengan orang lain yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pria.
b. Usia
Penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Keyes (1995) menemukan
bahwa usia ternyata dapat mempengaruhi psychological well-being
seseorang. Penelitian tersebut melibatkan tiga kelompok usia (muda,
dewasa madya, dan lansia) pada aspek kesejahteraan psikologis yang
bersifat multidimensional. Pada dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan
hidup, ditemukan terdapat penurunan skor dari usia muda sampai dengan
lansia. Hal ini berarti bahwa individu yang lebih muda memiliki
pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup yang lebih tinggi dari pada dewasa
21
madya, sedangkan dewasa madya memiliki nilai yang lebih tinggi
daripada lansia pada kedua aspek. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa
dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup mengalami penurunan
seiring dengan bertambahnya usia.
Namun, penelitian tersebut menemukan adanya peningkatan skor
pada dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan seiring dengan
bertambahnya usia. Sedangkan pada dua dimensi lain, yaitu penerimaan
diri dan hubungan positif dengan orang lain, tidak ditemukan adanya
perbedaan yang signifikan diantara subjek dengan usia berbeda tersebut.
c. Status Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap psychological
well-being seseorang. Penelitian oleh Wilkinson, Walford dan Espnes
(2000) menemukan bahwa ketidaksetaraan status sosial ekonomi pada
suatu negara berkembang dapat dikaitkan dengan ketidaksetaraan
kesehatan mental individu di dalamnya; dimana hal ini akan berakibat
terhadap kesejahteraan seseorang maupun komunitas. Selanjutnya, status
sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan
hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri (Ryff, Magee,
Kling,& Wing, 1999; Ryan & Deci, 2001).
d. Pendidikan
Pendidikan juga merupakan faktor lainnya yang dapat
mempengaruhi psychological well-being seseorang. Pendidikan yang
semakin tinggi akan mengakibatkan individu memiliki berbagai macam
22
solusi atas permasalahan yang dimilikinya. Pendidikan akan berpengaruh
terhadap dimensi tujuan hidup seseorang (Ryff et al., 1999).
e. Budaya
Faktor lainnya yang mempengaruhi psychological well-being
seseorang adalah budaya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lu
(2008), budaya seseorang mempengaruhi cara individu tersebut
memaknai kebahagiaan. Hal ini disebabkan karena budaya memegang
peranan penting dalam membentuk cara seseorang berpikir,
mengkonseptualisasikan diri dan kebahagiaan, serta cara mengatasi
masalah-masalah yang timbul di dalam kehidupan sehari-hari.
f. Locus Of Control
Dalam penelitian Vander Zee et al. (1997) ditemukan bahwa locus
of control merupakan variabel moderator yang menghubungkan antara
dukungan sosial dan psychological well-being. Individu dengan locus of
control internal selalu berusaha untuk menguasai dan memanipulasi
lingkungannya secara aktif, mampu mengendalikan kejadian-kejadian
seperti keberhasilan atau kegagalan, serta mampu menghindarkan diri
mereka dari situasi yang tidak menguntungkan (Kulshretha & Sen, 2006),
demikian sebaliknya untuk individu dengan locus of control eksternal.
g. Kepribadian
Kepribadian seseorang juga ternyata mempengaruhi psychological
well-being. Huppert (2009) mengemukakan bahwa kepribadian
extraversion dan neuroticism memiliki hubungan dengan psychological
23
well-being. Kepribadian seseorang merupakan prediktor terbesar dalam
menentukan tipe emosi yang akan ia munculkan. Individu dengan
kepribadian neuroticism selalu identik dengan tipe emosi yang negatif.
Sebaliknya, individu extraversion identik dengan emosi yang lebih positif
(Diener, Suh, Lucas & Smith, 1999).
Banyak penelitian lintas budaya yang telah melakukan penelitian
sehubungan dengan psychological well-being dan extraversion-
neuroticism dan penelitian dari tiga dekade belakangan ini menunjukkan
bahwa kepribadian extraversion memiliki pengaruh yang besar terhadap
psychological well-being (Abbott, Ploubidis, Croudace, Kuh, Wadsworth,
& Huppert, 2008). Sedangkan, neuroticism memiliki efek terhadap
psychological well-being yang dimediasi oleh distres psikologis.
h. Marital Status
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa individu yang telah
menikah memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi (Myers, 1999).
Bierman et al. (2006) meneliti mengenai salah satu dimensi dalam
psychological well-being, yaitu tujuan hidup. Mereka menemukan bahwa
individu yang telah menikah memiliki nilai yang lebih tinggi pada sub-
skala ini dibandingkan dengan yang tidak menikah. Penelitian lainnya
oleh Clarke et al. (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur
65 tahun ke atas menunjukkan bahwa senior yang sudah menikah
memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi tujuan hidup, penerimaan
diri dan hubungan negatif dengan orang lain.
24
i. Relatedness
Beberapa teori telah mendefinisikan relatedness sebagai kebutuhan
dasar yang sangat penting bagi kesejahteraan manusia (Baumeister &
Leary, 1995). Hubungan interpersonal dapat dikaitkan dengan relatedness
dan banyak penelitian telah menunjukkan bahwa hubungan interpersonal
yang suportif, hangat, dan penuh kepercayaan dapat mempengaruhi
psychological well-being seseorang (Ryan & Deci, 2001).
Nezlek (2000; Ryan & Deci, 2001) telah melakukan review pada
beberapa penelitian dan menemukan bahwa kuantitas dari interaksi dengan
orang lain tidak dapat memprediksi kesejahteraan seseorang, melainkan
kualitas interaksi dengan orang lain (relatedness) yang dapat memprediksi
kesejahteraan. Menurut Johnson dan Johnson (2007), hubungan
interpersonal yang negatif antar individu dapat memicu terjadinya bullying
pada sekolah maupun tempat kerja. Oleh karena itu, peneliti
menyimpulkan bahwa faktor relatedness ini merupakan faktor penting
munculnya bullying di tempat kerja.
j. Coping strategy
Sebagaimana dinyatakan di atas, psychological well-being
dikaitkan dengan coping strategy, Park dan Adler (2003) menemukan
bahwa kesehatan psikologis dan fisik siswa kedokteran menurun setelah
tahun pertama pelatihan mereka. Secara khusus, escape avoidance coping
style dikaitkan dengan rendahnya psychological well-being. Di sisi lain,
adaptive coping strategies seperti penilaian ulang positif dan pemecahan
25
masalah yang direncanakan hanya sedikit terkait dengan psychological
well-being yang lebih tinggi.
Berdasarkan penjelasan di atas, disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
memengaruhi psychological well-being antara lain gender, usia, status sosial
ekonomi, pendidikan, budaya, locus of control, kepribadian, relatedness,
marital status, dan coping strategy. Variabel yang digunakan penelitian ini
akan berfokus pada variabel coping strategy. Selain itu Abbeduto (2004) yang
menyatakan bahwa coping strategy berperan untuk mempertahankan
kestabilan emosi psikis individu dan menurunkan tingkat stres sehingga
individu lebih anyak merasakan emosi positif. Efek jangka panjang dari
coping strategy adalah meningkatnya kesehatan, semangat hidup yang tinggi
serta psychological well-being yang tinggi.
Coping strategy yang berfokus pada masalah dianggap lebih efektif
dan adaptif, dan berkorelasi dengan sedikit gejala psikologis dan
psychological well-being yang lebih sehat (Holahan & Moos, 1987).
Sebagaimana dinyatakan di atas, psychological well-being dikaitkan dengan
coping strategy, Park dan Adler (2003) menemukan bahwa kesehatan
psikologis dan fisik siswa kedokteran menurun setelah tahun pertama
pelatihan mereka. Secara khusus, escape avoidance coping style dikaitkan
dengan rendahnya psychological well-being. Di sisi lain, adaptive coping
strategies seperti penilaian ulang positif dan pemecahan masalah yang
direncanakan hanya sedikit terkait dengan psychological well-being yang lebih
tinggi.
26
B. Coping Strategy
1. Pengertian Coping Strategy
Coping strategy didefinisikan secara terperinci oleh Folkman (1984)
sebagai bentuk usaha kognitif dan perilaku yang dilakukan seseorang untuk
mengatur tuntutan internal dan eksternal yang timbul dari hubungan individu
dengan lingkungan, yang dianggap menganggu batas-batas yang dimiliki oleh
individu tersebut. Coping yang dimaksud terdiri dari pikiran-pikiran khusus
dan perilaku yang digunakan individu untuk mengatur tuntutan dan tekanan
yang timbul dari hubungan individu dengan lingkungan, khususnya yang
berhubungan dengan kesejahteraan.
Coyne, dkk (1981) menyatakan bahwa coping merupakan usaha-usaha
baik kognitif maupun perilaku yang bertujuan untuk mengelola tuntutan
lingkungan dan internal, serta mengelola konflik-konflik yang mempengaruhi
individu melampaui kapasitas individu. Definisi coping dikatakan memiliki
beberapa aspek penting. Pertama, hubungan antara coping dengan situasi atau
kondisi yang menekan merupakan sebuah proses dinamis. Coping merupakan
bagian dari transaksi-transaksi individu untuk memiliki sumber daya, nilai-
nilai, komitmen-komitmen dan lingkungan yang nyaman dengan kemampuan
diri, tuntutan-tuntutan dan batasan-batasan yang ada (Lazarus & Launier,
dalam Taylor 2006). Aspek penting kedua adalah perbedaan. Ada banyak
tindakan dan reaksi yang ditunjukkan untuk menghadapi sebuah kondisi atau
situasi yang menekan. Coping dikatakan sebagai proses mengatur tuntutann-
tuntutan baik internal maupun eksternal yang memerlukan tindakan dari
27
individu. Coping berupa berbagai tindakan dan pemikiran untuk mengurangi
menyepakati dan menghadapi tuntutan-tuntutan lingkungan dan internal, serta
permasalahan yang ada.
Selain itu Cohen dan Lazarus (Folkman, 1984) menambahkan tujuan
perilaku coping adalah untuk mengurangi kondisi lingkungan yang
menyakitkan, menyesuaikan dengan peristiwa-peristiwa atau kenyataan-
kenyataan yang negatif, mempertahankan keseimbangan emosi,
mempertahankan self image yang positif, serta untuk meneruskan hubungan
yang memuaskan dengan orang lain.
Berdasarkan sejumlah pendapat dari para ahli tersebut, dapat
disimpulkan bahwa coping strategy merupakan usaha, proses atau respon
individu untuk mengubah kognisi, intrapsikis dan juga tingkah laku dalam
tingkatan tertentu, agar dapat mengendalikan, menguasai, mengurangi atau
memperkecil pengaruh lingkungan, tuntutan internal, konflik-konflik atau
situasi yang dianggap menimbulkan stres atau mengatasi sesuatu terutama
yang diperkirakan akan menyita dan melampaui kemampuan seseorang.
2. Dimensi Coping Strategy
Lazarus dan Folkman (dalam Carver et.al, 1989) membagi coping
strategy secara umum menjadi dua, yaitu:
a. Problem Focused Coping
Problem Focused Coping bertujuan untuk mengubah kondisi yang
penuh tekanan dengan menghadapi masalah yang menjadi penyebab
timbulnya stres secara langsung. Coping ini mengarahkan individu untuk
28
dapat langsung mendefinisikan masalah, mencari berbagai alternatif,
mengukur alternatif pemecahan masalah dari keuntungan dan kerugian
yang didapat, memilih diantara alternatif tersebut, dan dapat langsung
melaksanakan tindakan. Individu cenderung untuk menggunakan coping
ini ketika mereka percaya bahwa sumber dari kondisi stres masih dapat
diubah (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 1990). Sementara itu
menurut Carver et al, (1989) problem focused coping melibatkan beberapa
dimensi antara lain:
1) Coping aktif (Active coping), proses pengambilan langkah-langkah aktif
untuk mencoba menghilangkan atau menghindari stressor atau untuk
memperbaiki dampaknya. Coping strategy aktif juga termasuk di
dalamnya proses memulai aksi langsung, meningkatkan upaya
seseorang, dan coping dalam mode bertahap.
2) Perencanaan (Planning), memikirkan tentang bagaimana mengatasi
stresor dengan melibatkan strategi untuk bertindak, memikirkan tentang
langkah apa yang perlu diambil dan cara terbaik untuk menangani suatu
masalah tersebut.
3) Penekanan kegiatan yang bersaing (Suppression of competing
activities), mengesampingkan rencana yang lain, mencoba menghindari
terpengaruh dengan peristiwa lain, bahkan membiarkan hal-hal lain
tergeser, jika diperlukan, untuk menangani stressor.
29
4) Pelepasan perilaku (Behavioural disengagement), upaya seseorang
untuk mengurangi terlibat dengan stressor, bahkan menyerah untuk
mencoba mendapatkan apa yang diinginkan.
5) Pembatasan coping (Restraint coping), individu membatasi
keterlibatannya dalam aktifitas kompetisi atau persaingan dan tidak
bertindak terburu-buru.
6) Menggunakan dukungan instrumental (Use instrumental support), yaitu
melalui nasihat, bantuan atau informasi.
Menurut Aldwin & Revenson (1987) terdapat tiga macam problem
focused coping yaitu:
1) Kehati-hatian (Cautioness) yaitu cara individu memikirkan dan
mempertimbangkan secara tidak terburu-buru dalam memecahkan
masalah dengan meminta solusi kepada orang lain tentang masalah
yang sedang dihadapi, bersikap tidak terburu-buru dalam memutuskan
sesuatu dan mencoba mengevaluasi strategi yang pernah digunakan.
2) Tindakan instrumental (instrumental action) meliputi tindakan individu
yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah secara langsung serta
menyusun langkah-langkah yang diperlukan.
3) Negosiasi (negotiation) meliputi cara individu dengan melibatkan orang
lain atau menjadi penyebab masalah yang sedang dihadapinya untuk
ikut memikirkannya atau menyelesaikan masalah tersebut.
30
b. Emotion Focused Coping
Emotion Focused Coping merupakan usaha yang dilakukan
individu untuk mengatur respon emosional dari kondisi yang penuh
dengan tekanan. Individu dapat mengatur respon emosional melalui
pendekatan behavioral dan kognitif. Individu cederung menggunakan
coping ini ketika mereka mengetahui bahwa hanya sedikit atau tidak ada
yang bisa dilakukan untuk mengubah kondisi yang penuh tekanan
(Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 1990).
Menurut Carver et al (1989) dimensi-dimensi yang terdapat pada
emotion focused coping, antara lain:
1) Menggunakan dukungan emosional (Use emostional support), yaitu
melalui dukungan moral, simpati atau pengertian.
2) Memfokuskan pada peluapan atau pelepasan emosi (Focusing on and
venting of emotions), kecenderungan untuk fokus pada tekanan atau
saat marah, membiarkan emosi untuk keluar
3) Pelepasan mental (Mental disengagement), mengalihkan pikiran dari
permasalahan ke pekerjaan atau kegiatan pengganti lain
4) Reinterpretasi dan pertumbuhan yang positif (Positive reinterpretation
and growth), mencari sesuatu yang baik dari apa yang terjadi
5) Menyalahkan diri sendiri (Self blame), mengkritisi diri sendiri atas
tanggung jawab individu dalam situasi stres tersebut
31
6) Penerimaan (Acceptance), sesuatu yang penuh dengan kondisi stres
dan keadaan yang memaksanya untuk mengatasi masalah tersebut,
belajar untuk hidup dan menerima terhadap keadaan yang terjadi.
7) Penolakan (Denial), menolak untuk percaya bahwa permasalahan itu
telah terjadi
8) Humor, membuat lelucon mengenai permasalahannya, dapat dilakukan
dengan menertawakan kondisinya sendiri atau memunculkan lelucon
mengenai permasalahannya dalam pembicaraam sehari-hari
9) Penggunaan zat (Substance use), menggunakan zat (alkohol, rokok dan
obat-obatan lain) untuk melewati masalah yang terjadi
10) Beralih ke agama (Turning to religion), sikap individu yang
menenangkan dan menyelesaikan masalah secara keagamaan. Individu
mungkin beralih ke agama saat sedang stres karena alasan yang
bermacam-macam: agama bisa berfungsi sebagai sumber dukungan
emosional, sebagai sarana untuk reinterpretasi positif, atau sebagai
salah satu cara untuk mengatasi stressor.
Menurut Aldwin & Revenson (1987) terdapat empat macam
emotion focused coping yaitu:
1) Pelarian dari masalah (escapism) yaitu individu berkhayal seandainya
ia berada dalam situasi dan saat yang menyenangkan untuk
menghindari masalah yang ada, menghindarkan untuk memikirkan
masalah dengan cara makan atau tidur lebih banyak dan menghindari
bertemu orang lain dan merokok lebih banyak
32
2) Pengurangan beban masalah (minimization) yaitu usaha untuk menolak
masalah yang ada dengan cara menganggap seolah-olah masalah
tersebut tidak ada
3) Menyalahkan diri sendiri (self blame) yaitu seseorang cenderung
menyalahkan dan menghukum diri sendiri serta menyesali apa yang
sudah terjadi
4) Pencarian arti (seeking meaning) yaitu seseorang berusaha mencari arti
kegagalan yang dialaminya bagi dirinya serta melihat pada segi-segi
yang lebih penting dalam hidupnya
Carver (1997) mengubah beberapa aspek yang diuraikan di atas sesuai
dengan perkembangan penemuan penelitian. Aspek restraint coping dan
suppression of competing activities dieliminasi karena dinilai tidak
menunjukkan hasil yang berguna, kemudian aspek yang diubah supaya tidak
menimbulkan ambiguitas yaitu: positive reinterpretation and growth menjadi
positive reframing, focus on and venting emotions menjadi venting, mental
disengagement menjadi self distraction. Selanjutnya terdapat satu aspek
tambahan yaitu self blame. Keseluruhan aspek ini diwujudkan Carver (1997)
dalam sebuah alat ukur baru yang dinamakan The Brief COPE.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan
bahwa dimensi-dimensi coping strategy menurut Carver (1997) terdiri dari
active coping, planning, positive reframing, acceptance, humor, religion,
using emotional support, using instrumental support, self distraction, denial,
venting, subtance use, behavioral, disengagement, self blame dan menurut
33
Aldwin & Revenson (1987) terdiri dari cautiouness, instrumental action,
negotiation, escapism, minimization, self blame, seeking meaning
Adapun aspek-aspek yang dikemukakan oleh Carver akan dijadikan
indikator dalam pembuatan skala karena memiliki penjelasan yang rinci
mengenai dimensi-dimensi coping strategy, baik dari problem focused coping
maupun emotion focused coping.
C. Hubungan antara Coping strategy dengan Psychological Well-being pada
Mahasiswa yang Sedang Mengerjakan Skripsi
Seorang mahasiswa di dalam suatu perguruan tinggi dituntut untuk segera
mungkin menyelesaikan masa studinya. Pada umumnya di akhir masa studi,
seorang mahasiswa diberi tugas akhir atau bisa juga disebut dengan skripsi.
Yulianto (2008), mengemukakan skripsi merupakan suatu karangan ilmiah yang
wajib ditulis oleh seorang mahasiswa sebagai bagian dari persyaratan akhir
pendidikan akademisnya. Skripsi juga menjadi salah satu bukti kemampuan
akademik mahasiswa. Skripsi yang disusun mahasiswa, didalamnya membahas
mengenai penelitian yang akan dilakukan sesuai dengan bidang studi. Skripsi
selain sebagai persyaratan akhir pendidikan yang dilakukan oleh mahasiswa
namun juga menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan suatu gelar sarjana.
Namun dalam usaha mengerjakan skripsi mahasiswa sering dihadapkan
oleh berbagai masalah. Mut’adin (2004) mengatakan terdapat beragam hal yang
menjadi penghambat dalam pengerjaan skripsi, antara lain: kejenuhan dalam
mengerjakan skripsi, proses yang lama dalam mengumpulkan data, kesulitan
34
menuangkan pikiran kedalam bentuk tulisan, kesulitan membagi waktu antara
mengerjakan skripsi dengan kegiatan lainnya misalkan bekerja dan kurangnya
kemampuan dalam berbahasa inggris untuk membaca literatur buku yang dipakai.
Santrock (1998) mengatakan mahasiswa termasuk dalam tahap perkembangan
remaja akhir menuju dewasa muda yang memiliki rentang umur antara 18 hingga
22 tahun, sedangkan mahasiswa tingkat akhir yang khususnya sedang
mengerjakan skripsi dalam penelitian ini memiliki rentang umur 20 – 25 tahun,
dimana usia tersebut masuk ke dalam rentang usia dewasa muda yang memiliki
rentang umur 20-40 tahun menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2009).
Pada dewasa muda, masalah kuliah merupakan masa-masa paling baik
dalam kehidupan dan salah satu tantangan adalah tekanan akademis (National
Health Ministries, 2006). Psychological well-being mahasiswa yang sedang
mengerjakan skripsi dengan berbagai hambatan menyebabkan keluhan personal,
sehingga untuk bisa menangani tekanan tersebut akan membuat individu terus
melakuakan berbagai usaha untuk meredakan dan menghilangkan berbagai
tekanan yang dihadapi yang disebut dengan coping (Parry dalam Saptoto, 2010).
Menurut beberapa penelitian, psychological well-being dipengaruhi oleh beberapa
faktor, salah satunya adalah coping strategy (Folkman, 1984). Coping strategy
merupakan suatu proses individu berusaha untuk menangani dan menguasai
situasi stres yang menekan akibat masalah yang sedang dihadapinya, dengan cara
melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman
dalam dirinya.
35
Coping strategy terdapat 2 aspek utama yaitu Problem Focused Coping
dan Emotional Focused Coping. Aspek pertama dalam coping strategy adalah
Problem Focused Coping. Problem Focused Coping bertujuan untuk mengubah
kondisi yang penuh tekanan dengan menghadapi masalah yang menjadi penyebab
timbulnya stres secara langsung. Coping ini mengarahkan individu untuk dapat
langsung mendefinisikan masalah, mencari berbagai alternatif, mengukur
alternatif pemecahan masalah dari keuntungan dan kerugian yang didapat,
memilih diantara alternatif tersebut, dan dapat langsung melaksanakan tindakan
(Lazarus & Folkman, 1984). Sedangkan emotion focused coping merupakan usaha
yang dilakukan individu untuk mengatur respon emosional dari kondisi yang
penuh dengan tekanan. Individu dapat mengatur respon emosional melalui
pendekatan behavioral dan kognitif. Individu cederung menggunakan coping ini
ketika mereka mengetahui bahwa hanya sedikit atau tidak ada yang bisa dilakukan
untuk mengubah kondisi yang penuh tekanan (Lazarus & Folkman dalam
Sarafino, 1990).
Aspek pertama yaitu active coping. Menurut Carver et al, (1989)
merupakan proses pengambilan langkah-langkah aktif untuk mencoba
menghilangkan atau menghindari stressor atau untuk memperbaiki dampaknya.
Mahasiswa yang memiliki active coping akan cenderung akan berkonsentasi
dengan usaha yang dilakukan dan mengambil tindakan agar skripsi yang
dikerjakan dapat diselesaikan tepat waktu. Usaha-usaha yang dilakukan akan
mendorong mahasiswa untuk berpikir dan bertindak dengan caranya sendiri untuk
dalam membuat keputusan saat pengerjaan skripsi. Mahasiswa akan menjadi
36
pribadi yang mandiri sehingga akan meningkatkan psychological well-being.
Hasil ini sesuai dengan penelitian Qiao et al. (2011) yang menunjukkan aspek
active oping dalam coping strategy dan psychological well-being ditemukan
secara signifikan positif berkorelasi.
Aspek yang kedua planning atau perencanaan yaitu memikirkan tentang
bagaimana mengatasi stressor dengan melibatkan strategi untuk bertindak,
memikirkan tentang langkah apa yang perlu diambil dan cara terbaik untuk
menangani suatu masalah tersebut (Carver, 1997). Ketika mahasiswa mengalami
masalah dalam kehidupan kesehariannya dalam mengerjakan skripsi, dapat
berusaha membuat strategi untuk memecahkan masalah dan berfikir keras dengan
tindakan yang akan dilakukan. Mahasiswa cenderung mampu membuat evaluasi
sesuai dengan standar dirinya sendiri terutama dalam mengerjakan skripsi.
Mahasiswa sedang mengerjakan skripsi yang menggunakan strategi penanganan
yang efektif seperti perencanaan akan memiliki tingkat psychological well-being
yang lebih tinggi. Hasil ini sesuai dengan penelitian Qiao et al. (2011) yang
menunjukkan aspek planning dalam coping strategy dan psychological well-being
ditemukan secara signifikan positif berkorelasi.
Aspek ketiga adalah positive reframing, mencari sesuatu yang baik dari
apa yang terjadi (Carver, 1997). Mahasiswa dapat mencoba melihat masalah dari
sudut pandang yang berbeda dan mencari hal baik dari masalah yang terjadi.
Ketika mahasiswa mengalami permasalahan yaitu sudah berulang kali bimbingan
dengan dosen namun selalu ada revisi, mahasiswa dapat menganggap bahwa hal
tersebut sebagai pembelajaran berkaitan dengan tema skripsi yang sudah diambil.
37
Mahasiswa dapat berpendapat bahwa adanya revisi maka akan menambah
pengetahuan dan pengalaman. Hal tersebut akan memberikan peningkatan dalam
diri dari waktu ke waktu, menyadari potensi yang dimiliki, dan terbuka terhadap
pengalaman baru. Hasil ini sesuai dengan penelitian Subedi (2016) menunjukkan
aspek positive reframing dalam strategy coping berhubungan positif dan
signifikan dengan psychological well-being. Positive reframing sering digunakan
sebagai alat untuk memecahkan stres atau ketegangan.
Aspek keempat acceptance, sesuatu yang penuh dengan kondisi stres dan
keadaan yang memaksanya untuk mengatasi masalah tersebut, belajar untuk hidup
dan menerima terhadap keadaan yang terjadi. Gejala psikologi yang paling umum
dialami oleh mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi adalah kecemasan,
depresi dan juga kehilangan kepercayaan diri. Mahasiswa tingkat akhir akan
cenderung memiliki stress yang berlebih dibandingkan dengan mahasiswa baru.
Mahasiswa yang mampu mengelola stres dengan baik dan mencoba mengatasi
maka akan mendorong mahasiswa memiliki penerimaan diri yang baik.
Mahasiswa dengan penerimaan diri yang baik akan terlihat dari sikap positif
dalam dirinya untuk menerima kondisi selama pengerjaan skripsi. Hasil ini sesuai
dengan penelitian Qiao et al. (2011) yang menunjukkan aspek acceptance dalam
coping strategy dan psychological well-being ditemukan secara signifikan positif
berkorelasi.
Aspek kelima humor, membuat lelucon mengenai permasalahannya, dapat
dilakukan dengan menertawakan kondisinya sendiri atau memunculkan lelucon
mengenai permasalahannya dalam pembicaraam sehari-hari. Humor
38
memungkinkan individu yang bersangkutan memandang persoalan dari sudut
manusiawinya sehingga diartikan secara baru yaitu sebagai persoalan yang biasa
dan dialami oleh mahasiswa lain. Mahasiswa akan cenderung mencari situasi
yang menyenangkan agar bisa melupakan masalah, tekanan-tekanan yang
dirasakan (Sipayung, 2016). Memberi waktu kepada diri sendiri untuk bersantai
dari rutinitas mengerjakan skripsi yang dirasa berat akan membuat seseorang
merasa lebih bugar/santai. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Christianty
(2015) menunjukkan ada hubungan sense of humor dan psychological well-being.
Aspek keenam religion, sikap individu yang menenangkan dan
menyelesaikan masalah secara keagamaan. Mahasiswa berdoa saat mengalami
masalah dan berusaha menemukan kenyamanan dalam agama. Mahasiswa yang
memiliki religiusitas yang baik akan cenderung terlibat dengan aktivitas di luar
lingkungan dirinya salah satunya dengan mengikuti kegiatan keagamaan dan
terlibat dengan keluarga ataupun teman. Hal tersebut akan berfungsi sebagai
sumber dukungan emosional, sebagai sarana untuk reinterpretasi positif, atau
sebagai salah satu cara untuk mengatasi stressor. Tingginya religiustas seseorang
akan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memahami psychological well-
being. Aflekseir (2012) mengungkapkan bahwa spiritualitas dan keyakinan
keagamaan merupakan salah satu komponen penting dalam membangun
kehidupan yang bermakna dalam sisi psikologis seseorang. Penelitian oleh
Kaliampos (2017) menunjukkan bahwa religious coping dapat memainkan peran
positif dalam psychological well-being.
39
Aspek ketujuh adalah using emotional support yaitu melalui dukungan
moral, simpati atau pengertian. Individu dapat mengatur respon emosional melalui
dukungan emosional yang diberikan kepada mahasiswa lain berupa moral dan
empati, hal tersebut akan meningkatkan pertumbuhan diri mahasiswa sehingga
akan memiliki tujuan hidup yang jelas serta merasakan pertumbuhan pribadi dari
masa ke masa dalam hidupnya. Dukungan emosional yang diberikan keluarga dan
teman akan menumbuhkan keperacayan dan kedekatan terhadap orang lain, hal
terebut akan berdampak pada hubungan yang positif mahasiswa dengan orang
lain. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Carvalho dan Vale-Dias (2013)
yang menunjukkan hubungan positif dan signifikan using emotional support
dengan psychological well-being.
Aspek kedelapan using instrumental support, yaitu melalui nasihat,
bantuan atau informasi. Mahasiswa dalam menghadapi persoalan dalam
pengerjaan skripsi bukan persoalan yang mudah, oleh sebab itu mahasiswa tidak
jarang mengalami kendala. Mahasiswa berupaya untuk mengubah kondisi yang
penuh tekanan dengan menghadapi masalah yang menjadi penyebab timbulnya
stres secara langsung. Mahasiswa mengambil langkah aktif untuk mengindari
stressor, mengurangi terlibat dengan stressor dan menggunakan dukungan
instrumental melalui nasihat dari orang lain. Mahasiswa juga mampu dalam
menggunakan dukungan instrumental orang lain berupa nasihat dan informasi
untuk membantu mengerjakan skripsi, sehingga hal tersebut akan mampu
mengembangkan relasi yang positif mahasiswa dengan orang lain. Upaya-upaya
yang dilakukan mahasiswa dalam mengurangi tekanan, maka tekanan tersebut
40
akan berkurang dan dapat meningkatkan psychological well-being sehingga
mempermudah mahasiswa dalam mengerjakan skripsi. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Carvalho dan Vale-Dias (2013) yang menunjukkan hubungan
positif dan signifikan using instrumental support dengan psychological well-
being.
Aspek kesembilan yaitu self distraction, mengalihkan pikiran dari
permasalahan ke pekerjaan atau kegiatan pengganti lain. Mahasiswa dapat
menghindari hal-hal yang tidak memiliki kaitan dengan pemecahan masalah yang
dilakukan untuk menemukan kegiatan pengganti. Hal tersebut berkaitan dengan
kemampuan mahasiswa menyesuaikan situasi dan kondisi dengan lingkungan agar
terfokus dengan pemecahan masalah dan kemampuan menumbuhkan kemandirian
mahasiswa. Mahasiswa yang mengalihkan pikiran lain skripsi dengan melakukan
kegiatan lain, maka mahasiwa tidak mampu mengendalikan lingkungannya. Hal
terebut dapat berdampak pada psychological well-being yang kurang bagus
terutama dalam proses pengerjaan skripsi, karena pikiran mahasiswa tidak akan
terfokus pada skripsi yang dikerjakan. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Carvalho dan Vale-Dias (2013) yang menunjukkan hubungan negatif
dan signifikan self distraction dengan psychological well-being.
Aspek kesepuluh denial, menolak untuk percaya bahwa permasalahan itu
telah terjadi. Mahasiswa yang lebih banyak melakukan penghindaran masalah
mungkin dapat berakibat pada psychological well-being yang lebih rendah.
Mahasiswa yang menghindari dari kewajiban dalam mengerjakan skripsi
menunjukkan bahwa penerimaan dirinya rendah. Mahasiswa tidak mampu
41
menerima secara positif kehidupan yang telah berlalu. Penelitian oleh Qiao et al.
(2011) menunjukkan adanya korelasi negatif yang signifikan antara coping
strategy of denial dengan psychological well-being. Mahasiswa yang sedang
mengerjakan skripsi menggunakan coping strategy yang tidak efektif akan
memiliki tingkat psychological well-being yang lebih rendah.
Aspek kesebelas venting kecenderungan untuk fokus pada tekanan atau
saat marah, membiarkan emosi untuk keluar. Mahasiswa yang membiarkan emosi
keluar hanya untuk sesaat mungkin akan memberikan rasa lega pada waktu itu.
Namun venting yang berlebihan akan memberikan dampak penerimaan diri buruk
bagi mahasiswa terutama kondisi psikologisnya, mahasiswa akan memiliki
pandangan yang negatif tentang dirinya. Hasil ini sesuai dengan penelitian Subedi
(2016) yang menunjukkan aspek coping strategy of venting berhubungan negatif
dan signifikan dengan psychological well-being. Hal ini berarti venting bukan
merupakan coping strategy yang efektif bagi siapa saja yang mencoba mengatasi
stress sehari-hari, termasuk mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi.
Aspek keduabelas subtance use, menggunakan zat (alkohol, rokok dan
obat-obatan lain) untuk melewati masalah yang terjadi. Subtance use seperti
penyalahgunaan zat digunakan untuk memperpanjang durasi stresor dan biasanya
digunakan untuk mengatasi masalah interpersonal. Green et al. (2013)
mengungkapkan bahwa penggunan zat dapat menyebabkan tekanan pikologis
jangka panjang sehingga akan memberikan konekuensi yang negatif apabila
sering digunakan. Hasil penelitian yang dilakukan MacAulay (2010) bahwa
42
penanganan penyalahgunaan zat akan terkait dengan rendahnya tingkat
psychological well-being.
Aspek ketiga belas yaitu behavioral disengagement, upaya seseorang
untuk mengurangi terlibat dengan stressor, bahkan menyerah untuk mencoba
mendapatkan apa yang diinginkan. Mahasiswa yang menyerah untuk berusaha
mengatasi masalah maka akan memperburuk psychological well-being. Hal
tersebut dikarenakan mahasiswa tidak akan memiliki cita-cita dan tujuan untuk
menyelesaikan skripsi, menyakini tujuan yang dimiliki, memiliki kemampuan
untuk mencapai tujuan tersebut. Penelitian oleh Qiao et al. (2011) menunjukkan
adanya korelasi negatif yang signifikan antara coping strategy of behavioral
disengagement dengan psychological well-being. Mahasiswa tingkat akhir yang
menggunakan strategi penanganan yang tidak efektif memiliki tingkat
kesejahteraan psikologis yang lebih rendah.
Aspek keempatbelas adalah self-blame, mengkritisi diri sendiri atas
tanggung jawab individu dalam situasi stres tersebut. Mahasiswa dengan self-
blame yang buruk akan cenderung menyalahkan diri sendiri dan sering mengkritik
atau mencela diri sendiri karena tidak mampu untuk mengerjakan skripsi.
Mahasiswa yang sering mengkritisi diri sendiri maka tidak akan memiliki
pandangan sebagai pribadi yang tumbuh dan berkembang, karena merasa tidak
mampu untuk mengatasi kesulitas mengerjakan skripsi. Hasil ini sesuai dengan
penelitian Subedi (2016) yang menunjukkan aspek self-blame dari strategy coping
berhubungan negatif dan signifikan dengan psychological well-being. Hal ini
berarti self-blame bukan merupakan coping strategy yang efektif bagi siapa saja
43
yang mencoba mengatasi stress sehari-hari, termasuk mahasiswa yang sedang
mengerjakan skripsi. Meskipun self-blame didasarkan pada sifat stress, namun
harus dipertimbangkan secara khusus karena kadang-kadang dapat menyebabkan
perilaku bunuh diri (Schinina, 2011).
Coping strategy yang berfokus pada masalah dianggap lebih efektif dan
adaptif, dan berkorelasi dengan sedikit gejala psikologis dan psychological well-
being yang lebih sehat (Holahan & Moos, 1987). Coping strategy terdapat cara-
cara efektif dalam mengurangi beban dalam hidup seseorang terutama mahasiswa
dalam menyelesaikan skripsi sehingga dengan kehidupan mahasiswa akan
dipenuhi dengan pikiran positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain.
Adanya coping strategy diharapkan agar tekanan atau stress dapat
berkurang sehingga mahasiswa merasakan psychological well-being dalam
mengerjakan skripsi. Selain itu mahasiswa yang mampu mengalihkan
permasalahan dan mengkritisi diri sendiri atas tanggung jawab akan mampu
menerima dirinya karena memiliki perasaan yang cenderung positif. Orang yang
sehat secara psikologis akan memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang
lain dengan segala kekurangan yang dimiliki, mampu mengatur tingkah lakunya
sendiri, memilih dan membentuk lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan
(Sinaga, 2012). Selain itu Abbeduto (2004) yang menyatakan bahwa coping
strategy berperan untuk mempertahankan kestabilan emosi psikis individu dan
menurunkan tingkat stres sehingga individu lebih banyak merasakan emosi
positif. Efek jangka panjang dari coping strategy adalah meningkatnya kesehatan,
semangat hidup yang tinggi serta psychological well-being yang tinggi.
44
Dinamika hubungan yang telah dijelaskan oleh peneliti juga telah
dibuktikan oleh penelitian sebelumnya bahwa coping berkaitan positif dengan
psychological well-being. Hal tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Mawarpury (2013) dengan judul penelitian Coping Sebagai Prediktor
Kesejahteraan Psikologis: Studi Meta Analisis, coping strategy berkaitan positif
terhadap psychological well-being individu. Coping memiliki hubungan yang
positif dan signifikan dengan psychological well-being. Artinya semakin baik
seseorang menggunakan coping dalam menghadapi persoalan maka semakin baik
pula psychological well-being, demikian sebaliknya.
Penelitian yang lain juga telah dilakukan oleh Angreani dan Cahyanti
(2012) dengan judul Perbedaan Psychological Well-being pada penderita Diabetes
Tipe 2 Usia Dewasa Madya Ditinjau dari Coping strategy dengan hasil penelitian
bahwa kedua bentuk coping strategy tidak menunjukkan perbedaan, keduanya
sama-sama memberikan kontribusi psychological well-being terhadap penderita
diabetes mellitus tipe 2. Penelitian selanjutnya dengan judul Psychological Well-
Being And Coping Mechanism Of Bettered Woman dengan hasil penelitian bahwa
antara psychological well-being dan mekanisme coping terdapat korelasi tetapi
terhadap permsalahan atau kekuatan tertentu.
D. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan
positif antara coping strategy dengan psychological well-being pada mahasiswa
yang sedang mengerjakan skripsi, jadi semakin baik penggunaan coping strategy
45
pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi maka psychological well-being
pada mahasiswa tersebut cenderung semakin baik, sebaliknya semakin buruk
penggunaan coping strategy pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi
maka psychological well-being pada mahasiswa tersebut cenderung semakin
buruk.