bab ii tinjauan pustaka a. penyesuaian diri 1. pengertian
TRANSCRIPT
`18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyesuaian Diri
1. Pengertian Penyesuaian Diri
Dalam istilah psikologi, penyesuaian diri disebut dengan istilah
adjustment. Menurut Davidoff (dalam Idi, 2011), adjustment merupakan suatu
proses untuk mencari titik temu antara kondisi diri dan tuntutan lingkungan.
Manusia dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, kejiwaan
dan lingkungan alam sekitarnya. Kehidupan itu secara alamiah juga
mendorong manusia untuk terus menerus menyesuaikan diri. Dengan
demikian, penyesuaian diri merupakan suatu proses alamiah dan dinamis yang
bertujuan mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai
dengan kondisi lingkungannya.
Schneiders (dalam Agustiani, 2006) mengemukakan bahwa
penyesuaian diri merupakan satu proses yang mecakup respon-respon mental
dan tingkah laku, yang merupakan usaha individu agar berhasil mengatasi
kebutuhan, ketegangan, konflik, dan frustasi yang dialami dalam dirinya.
Usaha individu tersebut bertujuan untuk memperoleh keselarasan dan
keharmonisan antar tuntutan dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh
lingkungan. Scheniders juga mengatakan bahwa individu yang dapat
menyesuaikan diri dengan baik adalah individu dengan keterbatasan yang ada
19
pada dirinya, belajar untuk bereaksi terhadap dirinya dan lingkungan dengan
cara yang matang, bermanfaat, efisien, dan memuaskan, serta dapat
menyelesaikan konflik, frustasi, maupun kesulitan-kesulitan pribadi dan sosial
tanpa mengalami gangguan tingkah laku.
Menurut Chaplin (dalam Indrawati dan Fauziah, 2012) berpendapat
penyesuaian diri adalah variasi dalam kegiatan organisme untuk mengatasi
suatu hambatan dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan serta menegakkan
hubungan yang harmonis dengan lingkungan fisik dan sosial. Misalnya
kebutuhan untuk diterima orang lain maka individu berusaha menjalin relasi
sesuai dengan norma masyarakat, mengurangi perilaku seperti mudah marah,
agresif. Bila individu dapat menyelaraskan kebutuhannya dengan tuntutan
lingkungan yaitu orang lain maka akan tercipta penyesuaian diri yang baik
Menurut W.A. Gerungan (2002), bahwa menyesuaikan diri diartikan
dalam arti yang luas dan dapat berarti mengubah diri sesuai dengan keadaan
lingkungan, tetapi juga mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan
(keinginan) diri. Penyesuaian diri dalam arti yang pertama disebut juga
penyesuaian diri yang autoplastis (auto = sendiri, plastis = dibentuk),
sedangkan penyesuaian diri yang kedua juga disebut penyesuaian diri yang
aloplastis (alo = yang lain). Jadi, penyesuaian diri ada artinya “pasif”, di
mana kegiatan kita ditentukan oleh lingkungan dan artinya yang “aktif”, di
mana kita pengaruhi lingkungan.
Semiun (2006) memberi pengertian bahwa penyesuaian diri adalah
suatu proses yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku yang
20
menyebabkan individu berusaha menanggulangi kebutuhan-kebutuhan,
tegangan-tegangan, frustasi-frustasi, dan konflik-konflik batin serta
menyelaraskan tuntutan-tuntutan batin ini dengan tuntutan-tuntutan yang
dikenakan kepadanya oleh dunia dimana ia hidup.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan penyesuaian diri adalah
usaha membuat hubungan yang memuaskan antara individu dengan perubahan
di lingkungannya agar mampu mengatasi konflik, frustrasi, perasaan tidak
nyaman yang timbul sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan antara
tuntutan dalam diri dan lingkungan.
2. Aspek-Aspek Penyesuaian Diri
Dalam melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan, terdapat
beberapa aspek didalamnya. Menurut Schneiders (dalam Agustiani, 2006)
aspek-aspek penyesuaian diri tersebut adalah sebagai berikut:
a. Ketiadaan emosi yang berlebihan
Penyesuaian yang normal dapat diidentifikasi dengan tidak
ditemukannya emosi yang berlebihan. Individu yang merespon masalah
dengan ketenangan dan kontrol emosi memungkinkan individu untuk
memecahkan kesulitan secara inteligen. Adanya kontrol emosi membuat
individu mampu berpikir jernih terhadap masalah yang dihadapinya dan
memecahan masalah dengan cara yang sesuai. Ketiadaan emosi tidak
berarti mengindikasikan abnormalitas tapi merupakan kontrol dari emosi.
21
b. Ketiadaan mekanisme psikologis
Penyesuaian normal dikarakteristikkan dengan tidak ditemukannya
mekanisme psikologis. Ketika usaha yang dilakukan gagal, individu
mengakui kegagalannya dan berusaha mendapatkannya lagi merupakan
penyesuaian diri yang baik dibandingkan melakukan mekanisme seperti
rasionalisasi, proyeksi, kompensasi. Individu dengan penyesuaian diri yang
buruk berusaha melakukan rasionalisasi dengan menimpakan kesalahan
pada orang lain.
c. Ketiadaan perasaan frustrasi pribadi
Penyesuaian yang baik terbebas dari perasaan frustrasi pribadi.
Perasaan frustrasi membuat sulit bereaksi normal terhadap masalah.
Misalnya, seorang siswa yang merasa frustrasi dengan hasil akademiknya
yang terus merosot menjadi sulit untuk mengorganisasikan pikiran, perasa-
an, tingkah laku efisien pada situasi dimana ia merasa frustrasi. Individu
yang merasa frustrasi akan mengganti reaksi normal dengan mekanisme
psikologis atau reaksi lain yang sulit dalam menyesuaikan diri seperti
sering marah tanpa sebab ketika bergaul dengan orang lain.
d. Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri (self-direction)
Karakteristik menonjol dari penyesuaian normal adalah
pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri. Karakteristik ini
dipakai dalam tingkahlaku sehari-hari untuk mengatasi masalah ekonomi,
hubungan sosial, kesulitan perkawinan. Kemampuan individu meng-hadapi
masalah, konflik, frustrasi meng-gunakan kemampuan berpikir secara
22
rasional dan mampu mengarahkan diri dalam tingkah laku yang sesuai
mengakibatkan penyesuaian normal.
e. Kemampuan untuk belajar
Penyesuaian normal dikarakteristikkan dengan belajar terus-
menerus dalam memecahkan masalah yang penuh dengan konflik, frustrasi
atau stress. Misalnya orang yang belajar menghindari sikap egois agar
terjadi keharmonisan dalam keluarga.
f. Kemampuan menggunakan pengalaman masa lalu
Kemampuan menggunakan pengalaman masa lalu merupakan usaha
individu untuk belajar dalam menghadapi masalah. Penyesuaian normal
membutuhkan peng-gunaan pengalaman masa lalu. Penga-laman masa
lampau yang menguntungkan seperti belajar berkebun diperlukan agar
individu dapat menggunakannya untuk pengalaman sekarang ketika
menghadapi kesulitan keuangan dengan membuka usaha menjual tanaman.
g. Sikap realistik dan objektif
Penyesuaian yang normal berkaitan dengan sikap yang realistik dan
objektif. Sikap realistik dan objektif berkenaan dengan orientasi individu
terhadap kenyataaan, mampu menerima kenyataan yang dialami tanpa
konflik dan melihatnya secara objektif. Sikap realistik dan objektif
berdasarkan pada belajar, pengalaman masa lalu, pertimbangan rasional,
dapat menghargai situasi dan masalah. Sikap realistik dan objektif
digunakan untuk menghadapi peristiwa penting seperti orang yang
23
kehilangan pekerjaan tetap memiliki motivasi sehingga dapat menerima
situasi dan berhubungan secara baik dengan orang lain.
Albert dan Emmons (Kumalasari & Ahyani, 2012) juga
mengungkapkan beberapa aspek dalam penyesuaian diri, yakni sebagai
berikut:
a. Self knowledge dan self insight
Self knowledge dan self insight yaitu kemampuan mengenal
kelebihan dan kekurangan diri. kemampuan ini harus ditunjukkan dengan
emosional insight, yaitu kesadaran diri akan kelemahan yang didukung
oleh sikap yang sehat terhadap kelemahan tersebut.
b. Self objectivity dan self acceptance
Self objectivity dan self acceptance yaitu apabila individu telah
mengenal dirinya, ia bersikap realistik yang kemudian mengarah pada
penerimaan diri.
c. Self development dan self control
Self development dan self control yaitu kendali diri yang berarti
mengarahkan diri, regulasi pada impuls-impuls, pemikiran-pemikiran,
kebiasaan, emosi, sikap dan tingkah laku yang sesuai. Kendali diri bisa
mengembangkan kepribadian kearah kematangan, sehingga kegagalan
dapat diatasi dengan matang.
d. Satisfaction
Satisfaction adanya rasa puas terhadap segala sesuatu yang telah
dilakukan, menganggap segala sesuatu yang telah dilakukan, menganggp
24
suatu pengalaman dan bila keinginannya terpenuhi maka ia akan
merasakan suatu kepuasan dalam dirinya.
Berdasarkan gambaran aspek-aspek penyesuaian diri di atas, penelitian
ini menggunakan aspek penyesuaian diri Schneiders yang terdiri dari
ketiadaan emosi yang berlebihan, ketiadaan mekanisme psikologis, ketiadaan
perasaan frustrasi pribadi, pertimbangan rasional dan kemampuan
mengarahkan diri, kemampuan untuk belajar, kemampuan menggunakan masa
lalu, dan sikap realistik dan objektif.
Peneliti memilih aspek-aspek penyesuaian diri yang dikemukakan oleh
Schneiders karena konsepnya lebih komprehensif dibandingkan dengan aspek-
aspek yang dikemukakan oleh Albert dan Emmons. Aspek-aspek penyesuaian
diri dari Schneiders lebih terperinci untuk menjelaskan permasalahan dalam
penelitian. Sedangkan aspek penyesuain diri Albert dan Emmons lebih terlihat
general.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri
Dalam proses penyesuaian diri, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi proses didalamnya. Menurut Mohammad (2005), faktor-faktor
yang mempengaruhi penyesuaian diri tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kondisi Jasmaniah
Struktur jasmaniah merupakan kondisi primer bagi tingkah laku, maka dari
itu dapat diperkirakan bahwa sistem saraf, kelenjar, dan otot merupakan
faktor yang penting bagi proses penyesuaian diri. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa gangguan-gangguan dalam sistem saraf, kelenjar dan
25
otot dapat menimbulkan gejala-gejala gangguan mental, tingkah laku, dan
kepribadian. Dengan demikian, kondisi sistem-sistem tubuh yang baik
merupakan syarat bagi tercapainya proses penyesuaian diri yang baik
begitu pula sebaliknya.
b. Perkembangan, Kematangan, dan Penyesuaian Diri
Dalam proses perkembangan, respon anak berkembang dari respon yang
bersifat instinktif menjadi respon yang diperoleh melalui belajar dan
pengalaman. Dengan pertambahnya usia, kematangan untuk melakukan
respon yang menjadi lebih baik dalam proses penyesuaian diri. Dengan
kata lain, pola penyesuaian diri akan bervariasi tiap individu sesuai dengan
tingkat perkembangan dan kematangan yang dicapainya.
c. Penentu Psikologis terhadap Penyesuaian Diri
Dalam penentu psikologis terhadap penyesuaian diri, terdapat faktor yang
mempengaruhi didalamnya, yakni:
1) Pengalaman
Dalam kehidupan manusia, pengalaman memiliki peranan penting
dalam pembentukan penyesuaian diri sebagai bahan acuan untuk
kehidupan selanjutnya.
2) Belajar
Proses belajar merupakan suatu dasar yang fundamental dalam proses
penyesuaian diri karena melalui belajar ini akan berkembang pola-pola
respon yang akan membentuk kepribadian.
26
3) Determinasi Diri
Determinasi diri merupakan faktor-faktor kekuatan yang mendorong
seseorang untuk mencapai sesuatu yang baik atau buruk dalam
mencapai taraf penyesuaian yang tinggi atau bahkan merusak dirinya.
Determinasi mempunyai peranan penting karena keberhasilan dan
kegagalan penyesuaian diri akan banyak ditentukan oleh kemampuan
individu dalam mengarahkan dan mengendalikan dirinya.
4) Konflik dan Penyesuaian
Tidak semua konflik itu bersifat menganggu atau merugikan, konflik
juga memiliki manfaat memotivasi seseorang untuk meningkatkan
kegiatan. Dengan adanya konflik, membuat individu lebih bijaksana
dan ahli dalam memecahkan suatu masalah atau mungkin sebaliknya
membuat individu itu melarikan diri pada penyesuian diri yang salah.
5) Lingkungan sebagai penentu penyesuaian diri
Lingkungan memiliki pengaruh yang kuat dalam proses penyesuaian
diri. Individu memerlukan hubungan dengan lingkungannya yang
mengaitkannya, merangsang perkembangannya atau yang
memberikannya sesuatu yang ia perlukan. Tanpa hubungan ini,
individu bukanlah individu lagi.
27
B. Dukungan Sosial
1. Pengertian Dukungan Sosial Rekan Kerja
Pengertian dukungan sosial bisa diketahui berdasarkan asal-usul kata
(etimology). Menurut Chaplin (1999), dukungan sosial dalam istilah bahasa
Inggris dikenal dengan social support. Sosial artinya menyinggung relasi di
antara dua atau lebih individu. Support memiliki dua arti, yakni mengadakan
atau menyediakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan orang lain, dan
memberikan dorongan atau pengobaran semangat dan nasihat kepada orang
lain dalam situasi pembuatan keputusan.
Secara umum, Sarafino (dalam Smet, 1994) menjelaskan bahwa
dukungan sosial mengacu pada kesenangan yang dirasakan, penghargaan akan
kepedulian, atau membantu orang menerima dari orang-orang atau kelompok-
kelompok lain. Pengertian senda juga dikemukakan oleh Menurut Johnson dan
Jhonson (dalam Saputri, 2011), bahwa dukungan sosial merupakan
keberadaan orang lain yang dapat diandalkan untuk memberi bantuan,
semangat, penerimaan dan perhatian, sehingga bisa meningkatkan
kesejahteraan hidup bagi individu yang bersangkutan.
Pendapat lain mengenai pengertian dukungan sosial dijelaskan oleh
Laura A. King (2012), dimana dukungan sosial adalah informasi atau umpan
balik dari orang lain yang menunjukkan bahwa seseorang dicintai dan
diperhatikan, dihargai dan dihormati, dan dilibatkan dalam jaringan
komunikasi dan kewajiban yang timbal balik.
28
Fass et al. (2000) (dalam Ariani, 2013) menyebut dukungan sosial
rekan kerja dengan istilah Perceived Coworker Support yang dimaknai
sebagai pengaruh positif yang membuat interaksi sosial terjadi berulang-ulang
sebagai hasil dari helping activity. Sejalan dengan definisi tersebut, dukungan
sosial rekan kerja (coworker support) dapat didefinisikan sebagai bantuan
emosional dan instrumental yang diperoleh individu dari hubungan
interpersonal dengan rekan kerja. Definisi tersebut mengacu pada definisi
work support yang tertulis dalam disertasi Lane (dalam Ariani, 2013) sebagai
berikut: “Work support is defined as the emotional and instrumental
assistance one receives through his or her interpersonal relationships at
work”.
Beberapa pengertian di atas memberikan gambaran bahwa dukungan
sosial rekan kerja merupakan dukungan yang diterima oleh individu dari rekan
kerja berupa bantuan emosional ataupun instrumental yang mampu membuat
individu merasa nyaman, dihargai dan dicintai.
2. Aspek-Aspek Dukungan Sosial
Persoalan dukungan sosial bisa digambarkan melalui berbagai aspek.
Menurut House (dalam Smet, 1994) aspek-aspek dukungan sosial adalah
sebagai berikut:
a. Dukungan emosional
Dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian dan
perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan ini dapat
memberikan rasa aman dan nyaman, perasaan dimiliki dan dicintai dalam
29
situasi-situasi stress yang dirasakan. Indikator dukungan emosional antara
lain: merasakan empati, perhatian dan kepedulian dari rekan kerja.
b. Dukungan penghargaan
Dukungan penghargaan terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan)
positif bagi orang itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan
atau perasaan individu, dan perbandingan positif orang itu dengan orang
lain. Dalam lingkungan pekerjaan, indikator dukungan penghargaan antara
lain berupa: penghargaan positif yang dirasakan dari rekan kerja,
mendapatkan persetujuan atas ide dan pendapat atau mendapatkan
dorongan semangat dari rekan kerja.
c. Dukungan instrumental
Dukungan instrumental yaitu mencakup bantuan langsung untuk
mempermudah perilaku yang secara langsung menolong individu.
Misalnya bantuan benda, pekerjaan, dan waktu. Dukungan ini disebut juga
sebagai dukungan pertolongan, dukungan nyata atau dukungan material.
Indikator dukungan instrumental ialah mendapatkan bantuan langsung
berupa tindakan dari rekan kerja, baik materil maupun fasilitas.
d. Dukungan informatif
Dukungan informatif mencakup pemberian nasehat, saran-saran, atau
umpan balik. Melalui dukungan ini, individu mampu mencari jalan keluar
untuk mengatasi masalah melalui pemberian saran, nasehat, sugesti
ataupun umpan balik mengenai apa yang sebaiknya dilakukan. Indikator
dukungan informasi antara lain: mendapatkan nasehat atau saran dari
30
rekan kerja dan mendapatkan pengarahan atau petunjuk dari rekan kerja
tersebut.
3. Sumber Dukungan Sosial
Dukungan sosial berasal dari berbagai sumber. Mennurut Wentzel
(dalam Apollo dan Cahyadi, 2012), bahwa sumber-sumber dukungan sosial
adalah orang-orang yang memiliki hubungan yang berarti bagi individu,
seperti keluarga, teman dekat, pasangan hidup, rekan kerja, saudara dan
tetangga, teman-teman dan guru di sekolah.
Penelitian empiris dalam literatur dukungan sosial di lingkungan kerja,
terdapat sumber dukungan sosial tersendiri. Lane (dalam Ariani, 2013)
membagi dukungan sosial tersebut ke dalam dua sumber, yakni:
a. Work Support
Merupakan dukungan yang diperoleh individu yang berasal dari
dalam (internal) dunia kerja, yaitu: dukungan dari atasan (supervisor
support) dan dukungan dari rekan kerja (coworker support).
b. Non-Work Support
Merupakan dukungan yang diperoleh individu yang berasal dari
luar (eksternal) dunia kerja, seperti: dukungan dari keluarga, teman, dan
sebagainya.
31
C. Hubungan Antara Dukungan Sosial Rekan Kerja dan Penyesuain Diri
Pada Perawat di Rumah Sakit X Kota Tasikmalaya
House (Smet, 1994) membagi dukungan sosial kedalam empat aspek
atau empat jenis dukungan sosial, yaitu dukungan instrumental, dukungan
emosional, dukungan penghargaan dan dukungan informasi. Menurut House
(Smet, 1994) dukungan instrumental misalnya memberikan bantuan finansial,
benda, maupun dalam bentuk pekerjaan. Sedangkan dukungan emosional
mencangkup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap individu yang
bersangkutan, misalnya umpan balik.
Menurut Sari (Utami, 2013) dukungan dalam bentuk penghargaan
dapat berupa pemberiaan apresiasi ketika individu mencapai suatu
keberhasilan, pemberian semangat, persetujuan pada pendapat individu dan
perbandingan positif dengan individu lain dapat membuat individu merasa
nyaman dan dihargai. Memberikan dukungan penghargaan berpengaruh pada
pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri, sehingga perawat
dapat menggunakan kemampuan berpikir secara rasional dan dapat
menyesuaikan diri dengan normal.
Aspek dukungan informatif merupakan dukungan yang diberikan
kepada individu dapat berupa pemberian informasi, nasehat, pengarahan,
saran atau pertimbangan, mengenai apa yang harus dilakukan seseorang,
terutama dalam mengatasi persoalan yang sedang dihadapi. Dukungan
informasi akan membantu individu memahami situasi dan mencari alternatif
pemecahan masalah atau tindakan yang akan diambil.
32
Dukungan sosial secara psikologis dipandang sebagai hal yang
kompleks. Wortman dan Dunkell-Scheffer (dikutip dalam Abraham, 1997)
mengidentifikasi beberapa jenis dukungan yang meliputi ekspresi perasaan
positif, termasuk menunjukkan bahwa seseorang diperlakukan dengan rasa
penghargaan yang tinggi, ekspresi persetujuan dengan atau pemberitahuan
tentang keyakinan dan perasaan sesorang. Ajakan untuk membuka diri dan
mendiskusikan keyakinan dan sumber-sumber juga merupakan bentuk
dukungan sosial. Jenis dukungan ini dapat menjadi hal utama bagi
pembentukan hubungan saling membantu apakah itu sebagai hubungan
persahabatan.
Berdasarkan pendapat Lane (dalam Ariani, 2013), maka konsep
dukungan sosial rekan kerja atau coworker support yang dimaksudkan dalam
penelitian ini berasal dari konsep dukungan sosial yang dipandang dari
perspektif “fungsional”, yaitu perceived social support yang menjelaskan
mengenai ketersediaan dukungan dari rekan kerja yang dirasakan individu
saat membutuhkan. Dukungan sosial rekan kerja merupakan salah satu jenis
dukungan sosial yang bersumber dari internal dunia kerja individu.
Dampak dari dukungan sosial salah satunya dikemukakan oleh
Morgan, dkk (dalam Abraham, 1997) bahwa hubungan saling percaya yang
kuat penting untuk melindungi orang dari depresi setelah suatu kejadian
hidup yang berat, dan bentuk dukungan sosial lain penting untuk kepentingan
jangka panjang. Dalam kontek hubungan dukungan sosial dan penyesuaian
diri.
33
Dalam lingkungan kerja, penyesuaian diri menjadi faktor penting bagi
tenaga kerja baru untuk bisa cepat beradaptasi dan memaksimalkan tugas
pekerjaannya. Menurut Schneiders (1964) penyesuaian diri sebagai suatu
proses dimana individu berusaha keras untuk mengatasi atau menguasai
kebutuhan dalam individu yang bertujuan untuk mendapatkan keharmonisan
dan keselarasan antara tuntutan lingkungan dimana dia tinggal dengan
tuntutan didalam dirinya. Schneiders membagi penyesuaian diri ke dalam 7
aspek.
Pertama, ketiadaan emosi belebih. Penyesuaian diri yang normal
ditandai dengan tidak adanya emosi yang relatif berlebihan dan memiliki
kontrol emosi untuk menghadapi permasalahan secara cermat. Kedua,
ketiadaan mekanisme psikologis. Individu dengan penyesuaian diri yang
normal bersedia mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali
untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Ketiga, perasaan frustrasi pribadi. Individu yang mengalami frustrasi
ditandai dengan perasaan tidak berdaya dan tanpa harapan, maka akan sulit
bagi individu untuk mengorganisir kemampuan berpikir, perasaan, motivasi
dan tingkah laku dalam menghadapi situasi yang menuntut penyelesaian.
Keempat, Berpikir rasional dan mampu mengarahkan diri. Penyesuaian
normal ditandai dengan adanya kemampuan individu dalam menghadapi
masalah, konflik, dan frustrasi dengan menggunakan kemampuan berpikir
secara rasional dan mampu mengarahkan tingkah laku yang sesuai.
34
Kelima, kemampuan untuk belajar. Penyesuaian normal yang
ditunjukkan individu diperoleh dari proses belajar yang dilakukan secara
berkesinambungan sehingga dari proses belajar tersebut individu memperoleh
berbagai cara yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan yang
dihadapi. Keenam, memanfaatkan pengalaman masa lalu. Kemampuan
individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman merupakan hal yang
penting bagi penyesuaian diri yang normal. Ketujuh, sikap realistis dan
objektif. Sikap ini berkenaan dengan orientasi individu terhadap kenyataaan,
mampu menerima kenyataan yang dialami tanpa konflik dan melihatnya
secara objektif.
Dalam beberapa penelitian sebelumnya, dukungan sosial dan
penyesuaian diri memiliki hubungan yang kuat dan berhubungan. Dalam
hasil penelitian yang dilakukan oleh Fani Kumalasari dan Latifah Nurahyani
(2012), dukungan sosial memiliki hubungan dengan penyesuaian diri
terhadap remaja di panti asuhan. Hal tersebut menunjukkan bahwa dukungan
sosial berpengaruh terhadap penyesuaian diri pada remaja panti asuhan
meskipun dengan angka yang cukup kecil, yakni 11,5%.
Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Dian
Isnawati dan Fendi Suhariadi (2013) dengan subjek karyawan PT Pupuk
Kaltim. Hasil penelitian ini menunjukkan arah hubungan yang positif antara
dukungan sosial dan penyesuaian diri. Artinya semakin tinggi dukungan
sosial semakin tinggi pula penyesuaian diri, begitu juga sebaliknya semakin
rendahnya dukungan sosial semakin rendah pula penyesuaian diri.
35
Kesimpulan yang sama pengaruh hubungan antara dukungan sosial
dan penyesuaian diri juga terdapat dalam penelitian Oki Tri Handono dan
Khaerudin Basori (2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan dukungan sosial dan penyesuaian diri terhadap stress lingkungan
santri tersebut Hasil analisis penelitian menunjukkan adanya ada hubungan
negatif antara penyesuaian diri dan dukungan sosial dengan stres lingkungan.
Semakin tinggi penyesuaian diri dan dukungan sosial maka semakin rendah
stres lingkungan dan semakin rendah penyesuaian diri dan dukungan sosial
maka semakin tinggi stres lingkungan.
Berdasarkan gambaran penjelasan di atas, hubungan antara dukungan
sosial rekan kerja dan penyesuian diri pada perawat baru memiliki kaitan
yang erat. Penyesuaian diri yang baik pada perawat akan berdampak
signifikan bukan hanya pada dirinya sendiri akan tetapi pada
keberlangsungan pasien. Sebagai garda terdepan dalam peningkatan
kesehatan di masyarakat, perawat dituntut untuk cepat menyesuaikan diri di
tempat kerja sehingga tidak membebani pasien. Oleh karena itu, dukungan
sosial dari rekan kerja menjadi salah satu bagian atau faktor penting dalam
melakukan proses penyesuaian diri yang baik pada perawat di rumah sakit.
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan
positif antara dukungan sosial rekan kerja dan penyesuaian diri pada perawat di
Rumah Sakit X Kota Tasikmalaya. Semakin tinggi dukungan sosial rekan kerja,
36
maka semakin tinggi penyesuaian diri positif yang dilakukan. Sebaliknya,
semakin rendah dukungan sosial rekan kerja, maka semakin rendah penyesuaian
diri positif yang dilakukan.