bab ii tinjauan pustaka a. klasifiksi kepiting...

15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifiksi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies jenis kepiting yang tergolong dalam keluarga Portunidae. Portunidae merupakan salah satu keluarga kepiting yang mempunyai pasangan kaki jalan dan pasangan kaki kelimanya berbentuk pipih dan melebar pada ruas yang terakhir dan sebagian besar hidup di laut, perairan bakau dan perairan payau (Kasry, 1996 dalam Agus, 2008). Klasifikasi kepiting bakau menurut Keenan (1999) dalam Souisa (2011), sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Subphylum : Mandibulata Class : Crustacea Subclass : Malacostraca Order : Decapoda Subordo : Pleocyemata Infraorder : Brachyura Superfamily : Portunoidea Family : Portunidae Genus : Scylla Species : Scylla serrata

Upload: trinhlien

Post on 06-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifiksi Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies jenis kepiting

yang tergolong dalam keluarga Portunidae. Portunidae merupakan salah satu

keluarga kepiting yang mempunyai pasangan kaki jalan dan pasangan kaki

kelimanya berbentuk pipih dan melebar pada ruas yang terakhir dan sebagian

besar hidup di laut, perairan bakau dan perairan payau (Kasry, 1996 dalam Agus,

2008).

Klasifikasi kepiting bakau menurut Keenan (1999) dalam Souisa (2011),

sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Subphylum : Mandibulata

Class : Crustacea

Subclass : Malacostraca

Order : Decapoda

Subordo : Pleocyemata

Infraorder : Brachyura

Superfamily : Portunoidea

Family : Portunidae

Genus : Scylla

Species : Scylla serrata

B. Morfologi dan Anatomi Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu jenis Crustacea dari

famili Portunidae yang mempunyai nilai protein tinggi, dapat dimakan dan

merupakan salah satu spesies yang mempunyai ukuran paling besar dalam genus

Scylla (Hill, 1992 dalam Agus, 2008). Secara umum morfologi kepiting bakau

dapat dikenali dengan ciri sebagai berikut:

1. Seluruh tubuhnya tertutup oleh cangkang

2. Terdapat 6 buah duri diantara sepasang mata, dan 9 duri disamping kiri dan

kanan mata.

3. Mempunyai sepasang capit, pada kepiting jantan dewasa Cheliped (kaki yang

bercapit) dapat mencapai ukuran 2 kali panjang karapas.

4. Mempunyai 3 pasang kaki jalan

5. Mempunyai sepasang kaki renang dengan bentuk pipih.

6. Kepiting jantan mempunyai abdomen yang berbentuk agak lancip menyerupai

segi tiga sama kaki, sedangkan pada kepiting betina dewasa agak membundar

dan melebar.

7. Scylla serrata dapat dibedakan dengan jenis lainnya, karena mempunyai ukuran

paling besar, disamping itu Scylla serrata mempunyai pertumbuhan yang

paling cepat dibanding ketiga spesies lainnya. Selain itu, Scylla serrata

memiliki warna relatif yang hampir sama dengan warna lumpur, yaitu coklat

kehitam-hitaman pada karapaksnya dan putih kekuning-kuningan pada

abdomennya. Pada propudus bagian atas terdapat sepasang duri yang runcing

dan 1 buah duri pada propudus bagian bawah. Selain itu habitat kepiting bakau

spesies ini sebagian besar di hutan-hutan bakau di perairan Indonesia. Kepiting

bakau (Scylla serrata), dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kepiting Bakau (Scylla serrata) (Sumber: Foto Lapangan)

Menurut Prianto (2007), walaupun kepiting mempunyai bentuk dan ukuran

yang beragam tetapi seluruhnya mempunyai kesamaan pada bentuk tubuh.

Seluruh kepiting mempunyai Chelipeds dan empat pasang kaki jalan. Pada bagian

kaki juga dilengkapi dengan kuku dan sepasang penjepit. Chelipeds terletak di

depan kaki pertama dan setiap jenis kepiting memiliki struktur Chelipeds yang

berbeda-beda. Chelipeds dapat digunakan untuk memegang dan membawa

makanan, menggali, membuka kulit kerang dan juga sebagai senjata dalam

menghadapi musuh. Di samping itu, tubuh kepiting juga ditutupi dengan

Carapace. Carapace merupakan kulit yang keras atau dengan istilah lain

Exoskeleton (kulit luar), berfungsi untuk melindungi organ dalam bagian kepala,

badan dan insang. Anatomi kepiting bakau (Scylla serrata), dapat dilihat pada

Gambar 2 berikut:

Capit Lebar

Propodus Mata karapaks Mata Kaki jalan

Carpus

Merus

Karapaks

Kaki renang

Basi ischium

Gambar 2. Anatomi Kepiting Bakau (Scylla serrata) (Sumber: Modifikasi dari

Robertson, 1998 dalam Suryani, 2006)

Menurut Shimek (2008), bahwa anatomi tubuh bagian dalam, mulut

kepiting terbuka dan terletak pada bagian bawah tubuh. Beberapa bagian yang

terdapat di sekitar mulut berfungsi dalam memegang makanan dan juga

memompakan air dari mulut ke insang. Kepiting memiliki rangka luar yang keras

sehingga mulutnya tidak dapat dibuka lebar. Hal ini menyebabkan kepiting lebih

banyak menggunakan capit dalam memperoleh makanan. Makanan yang

diperoleh dihancurkan dengan menggunakan capit, kemudian baru dimakan.

Anatomi tubuh kepiting bagian dalam dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Anatomi tubuh bagian dalam dari kepiting dewasa (Sumber: Shimek,

2008).

Perbedaan pada kepiting jantan dan betina dapat diketahui secara eksternal.

Kepiting bakau jantan mempunyai ruas-ruas abdomen yang berbentuk menyerupai

segitiga pada bagian perut, sedangkan pada kepiting betina ruas-ruas abdomen

lebih melebar dan sedikit membulat (Moosa dkk.,1985 dalam Asmara, 2004).

Perbedaan antara kepiting jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 4 berikut:

Jantan Betina

Gambar 4. Perbedaan kepiting jantan dan betina (Sumber: Foto lapangan, 2012).

C. Siklus Hidup Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Amir (1994) dalam Agus (2008), menyatakan bahwa kepiting bakau dalam

menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke laut, kemudian induk

berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai, atau berhutan bakau untuk

berlindung, mencari makanan, atau membesarkan diri.

Menurut Bonnie (2008), pada kondisi lingkungan yang memungkinkan,

kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun dan mencapai

ukuran lebar karapas maksimum lebih dari 200 mm. Kepiting betina matang pada

ukuran lebar karapas antara 80-120 mm sedangkan kepiting jantan matang secara

fisiologis ketika lebar karapas berukuran 90-110 mm, namun tidak cukup berhasil

bersaing untuk pemijahan sebelum dewasa secara morfologis (yaitu dari ukuran

capit) dengan lebar karapas 140-160 mm. Menurut penelitian Wijaya dkk., (2010),

induk betina matang gonad Tingkat Kematangan Gonat IV (TKG) yang

tertangkap di habitat mangrove Taman Nasional Kutai (TNK) mempunyai sebaran

ukuran lebar karapas antara 91 -171 mm, sedangkan ukuran berat tubuhnya

berkisar antara 170-870 gram.

Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan memasuki

hutan bakau dan tambak. Proses perkawinan kepiting tidak seperti pada udang

yang hanya terjadi pada malam hari (kondisi gelap). Proses perkawinan dimulai

dengan induk jantan mendatangi induk betina, kemudian induk betina akan

dipeluk oleh induk jantan dengan menggunakan kedua capitnya yang besar. Induk

kepiting jantan kemudian menaiki karapaks induk kepiting betina, posisi kepiting

betina dibalikkan oleh yang jantan sehingga posisinya berhadapan, maka proses

kopulasi akan segera berlangsung. Setelah perkawinan berlangsung kepiting

betina secara perlahan-perlahan akan beruaya di perairan bakau, tambak, ke tepi

pantai, dan selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan pemijahan (Amir, 1994

dalam Agus, 2008).

Menurut Boer (1993) dalam Agus (2008), kepiting bakau yang telah

beruaya ke perairan laut akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok

untuk tempat melakukan pemijahan. Setelah telur menetas, maka masuk pada

stadia larva, dimulai pada zoea 1 (satu) yang terus menerus berganti kulit

sebanyak 5 kali, sambil terbawa arus ke perairan pantai sampai pada zoea 5

(lima). Kemudian kepiting tersebut berganti kulit lagi menjadi megalopa yang

bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, tetapi masih memiliki

bagian ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa, kepiting mulai beruaya di dasar

perairan lumpur menuju perairan pantai dan kemudian pada saat dewasa kepiting

beruaya ke perairan berhutan bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan.

D. Habitat Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Menurut Kasry (1996) dalam Agus (2008), kepiting banyak ditemukan di

daerah hutan bakau, sehingga di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan kepiting

bakau (Mangove Crab). Kepiting mangrove atau kepiting lumpur (Mud Crab) ini

dapat hidup pada berbagai ekosistem. Sebagian besar siklus hidupnya berada

diperairan pantai meliputi muara atau estuarin, perairan bakau dan sebagian kecil

di laut untuk memijah. Jenis ini biasanya lebih menyukai tempat yang agak

berlumpur dan berlubang-lubang di daerah hutan mangrove.

Distribusi kepiting menurut kedalaman hanya terbatas pada daerah litoral

dengan kisaran kedalaman 0 – 32 meter dan sebagian kecil hidup di laut dalam.

Pada tingkat juvenile kepiting jarang kelihatan di daerah bakau pada siang hari,

kerena lebih suka membenamkan diri di lumpur, sehingga kepiting ini juga

disebut kepiting lumpur (Moosa dkk., 1985 dalam Suryani, 2006).

E. Makanan dan Kebiasaan Makan Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Kasry (1996) dalam Wijaya (2011), menyatakan bahwa kepiting bakau

termasuk golongan hewan yang aktif pada malam hari (Nokturnal). Kepiting ini

bergerak sepanjang malam untuk mencari pakan bahkan dalam semalam kepiting

ini mampu bergerak mencapai 219 – 910 meter (Mossa dkk., 1995 dalam Wijaya,

2011).

Dalam mencari makan kepiting bakau lebih suka merangkak. Kepiting lebih

menyukai makanan alami berupa algae, bangkai hewan dan udang-udangan.

Kepiting dewasa dapat dikatakan pemakan segala (Omnivora) dan pemakan

bangkai (Scavanger). Sedangkan larva kepiting pada masa awal hanya memakan

plankton. Kepiting menggunakan capitnya yang besar untuk makan, yaitu

menggunakan capit untuk memasukan makanan ke alam mulutnya. Kepiting

mempunyai kebiasaan unik dalam mencari makan, bila di daerah kekuasaannya

diganggu musuh, maka kepiting dapat saja menyerang musuhnya dengan ganas

(Soim, 1999 dalam Suryani, 2006).

F. Penyebaran Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Kepiting bakau (Scylla serrata) tersebar pada perairan berkondisi tropis.

Daerah sebarannya meliputi wilayah Indo-Pasifik, mulai dari pantai Selatan dan

Timur Afrika Selatan, Mozambik terus ke Iran, Pakistan, India, Srilanka,

Bangladesh, pulau-pulau di Lautan Hindia, Kamboja, Vietnam, Cina, Jepang,

Taiwan, Philipina, dan ditemukan di Lautan Pasifik mulai dari kepulauan Hawai

di Utara sampai ke Selandia Baru dan Australia di Selatan. Kepiting bakau

merupakan kepiting yang bisa berenang dan hampir terdapat di seluruh perairan

pantai Indonesia, terutama di daerah mangrove juga di daerah tambak air payau

atau muara sungai (Kasry, 1996 dalam Rosminar, 2008).

Kepiting merupakan fauna yang habitat dan penyebarannya terdapat di air

tawar, payau dan laut. Jenis-jenisnya sangat beragam dan dapat hidup di berbagai

kolom di setiap perairan. Sebagaian besar kepiting yang kita kenal banyak hidup

di perairan payau terutama di dalam ekosistem mangrove. Beberapa jenis yang

hidup dalam ekosistem ini adalah Hermit Crab, Uca sp, Mud Lobster dan kepiting

bakau (Prianto, 2007).

G. Parameter Populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Parameter populasi kepiting bakau (Scylla serrata) meliputi:

1. Hubungan Lebar Karapaks dengan Berat Kepiting

Hubungan lebar karapaks dan berat tubuh kepiting mempunyai suatu nilai

yang memungkinkan untuk mengubah nilai lebar ke dalam nilai berat atau

sebaliknya. Berat kepiting bakau dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari lebar

karapaks kepiting bakau dan hubungan lebar karapaks berat hampir mengikuti

hukum kubik (Hill, 1936 dalam Asmara, 2004).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asmara (2004), menunjukkan

bahwa dari pengukuran diperoleh kisaran lebar karapaks kepiting jantan yaitu

31,5 – 122,5 mm dengan berat tubuh berkisar 53,75 – 286,08 gram, sedangkan

pada kepiting betina diperoleh kisaran lebar karapaks 74,8 – 120,5 mm dengan

kisaran berat tubuh 69,38 – 229,08 gram. Sedangkan hasil penelitian yang berbeda

yang dilakukan oleh Tuhuteru (2003) dalam Asmara (2004), di perairan Ujung

Pangkah, Gresik, menunjukkan bahwa lebar karapaks Scylla serrata berkisar

antara 30,4 – 131, 6 mmm dengan berat tubuh berkisar 3,91 – 430 gram.

Hubungan lebar karapaks dengan berat tubuh pada kepiting jantan mempunyai

persamaan W = 0,083 L1.6416

dan koefisien korelasi (r) sebesar 0,7936, sedangkan

pertumbuhannya bersifat allometrik negatif karena nilai b yang diperoleh adalah

sebesar 1,6416, sedangkan pada kepiting betina, hubungan lebar karapaks dengan

berat tubuh ditunjukkan oleh persamaan W = 0,0006 L2.7082

dengan (r) sebesar

0,9533. Pertumbuhan kepiting adalah allometrik negatif, sesuai dengan nilai b

sebesar 2,7082. Dari hubungan antara lebar karapaks dengan berat tubuh baik

jantan dan betina diperoleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,7936 dan 0,9533.

Hal ini menunjukkan korelasi yang erat antara lebar karapaks dengan berat tubuh

kepiting bakau dan hal ini berarti perubahan lebar karapaks mempunyai pengaruh

terhadap berat tubuh. Dalam hal ini semakin besar lebar karapaks semakin tinggi

berat tubuhnya.

Menurut Warner (1977) dalam Asmara (2004), jika b > 1 maka

pertumbuhan bersifat allometrik negatif yang berarti bahwa pertambahan lebar

karapaks lebih cepat dari pada berat tubuhnya. Sedangkan b < 1 menunjukkan

pertumbuhan yang allometrik positif yang berarti bahwa pertambahan berat

tubuhnya lebih cepat dari pada lebar karapaksnya. Nilai b ini merupakan koefisien

pertumbuhan yang menggambarkan kecendurungan pertambahan lebar karapaks

terhadap berat tubuh organisme.

2. Struktur Umur

Kepiting menjadi dewasa akan mengalami pergantian kulit antara 17 - 20

kali tergantung kondisi lingkungan dan pakan yang dapat mempengaruhi

pertumbuhan. Proses Moulting dari zoea berlangsung relatif cepat yaitu 3-5,

sedangkan pada fase megalops, proses dan interval pergantian kulit berlangsung

lama 17-26 hari. Setiap Moulting tubuh kepiting akan bertambah besar 1/3 kali

dari sebelumnya dan lebar karapaks meningkat 5-10 mm (Kordy, 1997).

Pada tingkat dewasa, kepiting dewasa masih mengalami perbesaran tubuh,

karapaks juga bertambah lebar sekitar 5-10 mm. Kepiting dewasa berumur 15

bulan dapat memiliki lebar karapas sebesar 17 cm dan berat 2 kg. Pada kondisi

lingkungan yang memungkinkan, kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai

umur 3-4 tahun. Sementara itu, pada umur 12-14 bulan kepiting sudah dianggap

dewasa dan dapat dipijahkan. Sekali memijah, kepiting mampu menghasilkan

jutaan telur 2.000.000 – 8.000.000 telur, tergantung dari ukuran dan umur kepiting

betina yang memijah (Kasry, 1996 dalam Wijaya, 2011).

3. Pertumbuhan

Pertumbuhan pada kepiting bakau merupakan pertambahan bobot badan dan

lebar karapaks yang terjadi secara berkala, setelah terjadi pergantian kulit

(Moulting) (Sheen dan Wu 1999, Mayrand dkk., 2000 dalam Yasin, 2011).

Selanjutnya Fujaya (2008) dalam Yasin (2011), menambahkan bahwa kepiting

tidak dapat tumbuh secara linear sebagaimana hewan lain karena kepiting

memiliki cangkang luar yang keras (karapaks) yang tidak dapat tumbuh,

karenanya agar kepiting dapat tumbuh maka, karapaks lama harus diganti dengan

yang baru dan lebih besar.

Pertumbuhan pada kepiting bakau dicirikan oleh perubahan bentuk dan

ukuran yang disebabkan perbedaan kecepatan pertumbuhan dari bagian-bagian

tubuh yang berbeda. Menurut Sulaiman dan Hanafi (1992) dalam Suryani (2006),

besarnya pertumbuhan yang dialami oleh kepiting tergantung pertambahan lebar

dan berat setiap kepiting berganti kulit. Frekuensi ganti kulit bervariasi

dipengaruhi oleh ukuran dan stadia kepiting. Secara umum frekuensi pergantian

kulit lebih sering terjadi pada stadia muda dibandingkan dengan stadia dewasa.

Menurut Karim (2005), ada dua faktor yang mempengaruhi kecepatan

pertumbuhan kepiting yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi

ukuran jenis kelamin dan kelengkapan anggota tubuh, sedangkan faktor luar yaitu

ketersediaan pakan, suhu dan salinitas. Lebih lanjut Karim (2005), mengatakan

bahwa pada umumnya pertumbuhan kepiting bakau tergantung pada energi yang

tersedia, bagaimana energi tersebut digunakan dalam tubuh dan pertumbuhan

hanya akan terjadi apabila terdapat kelebihan energi setelah kebutuhan energi

terpenuhi.

Menurut hasil penelitian Wijaya (2011), bahwa informasi tentang parameter

pertumbuhan merupakan hal yang mendasar dalam upaya pengelolaan

sumberdaya perikanan. Alasannya adalah karena parameter tersebut dapat

memberikan kontribusi dalam menduga produksi, dan laju kematian (mortalitas)

dari suatu populasi.

Hasil analisa Ellefan memperlihatkan lebar karapaks maksimum yang dapat

dicapai berkisar antara 143 – 155 mm dengan kecepatan pertumbuhan berkisar

antara 0.45 - 1.5. Di Subang, kecepatan pertumbuhan (K) kepiting bakau dari 4

spesies Scylla berkisar antara 1.10-1.50/tahun. Lebih lanjut dinyatakan bahwa

kecepatan pertumbuhan Scylla serrata yang berlokasi di Muara Sangatta lebih

tinggi dibanding lokasi lainnya, dengan L∞ yang juga lebih besar. Kondisi Muara

Sangatta yang merupakan muara sungai besar, menjadikan kawasan tersebut

menjadi estuari yang subur dan tinggi produktifitasnya. Umumnya kepiting yang

ditangkap di Muara Sangatta berukuran dibawah ukuran dewasa yaitu dengan

lebar karapaks kurang dari 110 mm (Siahainenia, 2008 dalam Wijaya, 2011).

4. Mortalitas

Menurut Sparre dan Siebren (1999), mortalitas adalah angka kematian

dalam populasi. Laju mortalitas adalah laju kematian, yang didefinisikan sebagai

jumlah individu yang mati dalam satu satuan waktu. Laju mortalitas total dapat

disebabkan karena adanya laju mortalitas alami dan atau laju mortalitas

penangkapan. Laju mortalitas alami pada kepiting bakau disebabkan karena

kepiting bakau tidak pernah tertangkap sehingga mati alami karena umur tua, atau

karena daya dukung lingkungan yang rendah, misalnya akibat perubahan

lingkungan yang ekstrim atau tidak tercukupinya makanan alami atau kelaparan.

Analisis laju mortalitas kepiting bakau dilakukan dengan menggunakan

estimasi mortalitas dari FISAT-II, yang didasarkan pada data lebar karapas

kepiting bakau yang tertangkap. Laju mortalitas total (Z) digambarkan sebagai

nilai numerik dari kemiringan (Slope) garis regresi antara logaritma N/dt terhadap

umur relatif kepiting yang tertangkap, dan dihitung dari persamaan pertumbuhan

VON BERTALANFFY yang dikenal dengan metode kurva hasil tangkapan. Nilai

mortalitas meliputi mortalitas total, mortalitas alami dan mortalitas penangkapan

(Sparre dan Siebren, 1999).

H. Parameter Pendukung Kehidupan Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Parameter pendukung atau faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

dari kepiting bakau dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Suhu

Suhu merupakan faktor abiotik yang berperan penting dalam pengaturan

aktifitas hewan akuatik. Suhu air mempengaruhi proses fisiologi ikan seperti

respirasi, metabolisme, konsumsi pakan, pertumbuhan, tingkah laku, dan

reproduksi serta mempertahankan hidup. Menurut Cholik (2005) dalam Agus

(2008), suhu yang diterima untuk kehidupan kepiting bakau adalah 18– 35°C,

sedang suhu yang ideal adalah 25 – 30°C. Suhu yang kurang dari titik optimum

berpengaruh terhadap pertumbuhan organisme.

2. Salinitas

Salinitas dapat didefinisikan sebagai total konsentrasi ion-ion terlarut dalam

air. Dalam budidaya perairan, salinitas dinyatakan dalam permil (o/oo) atau ppt

(Part Perthousand) atau g/l. Salinitas menggambarkan padatan total di air setelah

semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan

dengan klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi (Effendi, 2003 dalam

Agus, 2008).

Salinitas berpengaruh terhadap reproduksi, distribusi dan osmoregulasi.

Perubahan salinitas tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku biota tetapi

berpengaruh terhadap perubahan sifat kimia air (Brotowidjoyo, et al. 1995 dalam

Agus, 2008). Biota air laut mengatasi kekurangan air dengan mengkonsumsi air

laut sehingga kadar garam dalam cairan tubuh bertambah. Dalam mencegah

terjadinya dehidrasi akibat proses ini kelebihan garam harus dibatasi dengan jalan

mengekskresi klorida lebih banyak lewat urine yang isotonik (Hoer, et al. 1979 dalam

Agus, 2008). Kepiting mengatur ion plasmanya agar tekanan osmotik didalam

cairan tubuh sebanding dengan kapasitas regulasi. Salinitas yang sesuai untuk

pemeliharaan kepiting adalah 15 – 25 ppt (Ramelan, 1994 dalam Agus, 2008).

Kepiting akan mengalami pertumbuhan yang lambat jika salinitas berkisar antara

35 – 40 ppt, dan tumbuh dengan baik pada salinitas 10 – 15 ppt, tetapi lebih

sensitif terhadap serangan penyakit. Perubahan salinitas dapat mempengaruhi

konsumsi oksigen, sehingga mempengaruhi laju metabolisme dan aktivitas suatu

organisme.

3. pH Air

Menurut Boyd (1990) dalam Agus (2008), derajat keasaman atau pH

menggambarkan aktifitas potensial ion hidrogen dalam larutan yang dinyakatan

sebagai konsentrasi ion hidrogen (mol/l) pada suhu tertentu, atau pH = - log (H+).

Air murni mempunyai nilai pH = 7, dan dinyatakan netral, sedangkan pada air

payau berada pada kisaran normal antara 7 – 9.

Konsentrasi pH mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena

mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan yang asam cenderung

menyebabkan kematian pada ikan demikian juga pada pH yang mempunyai nilai

kelewat basa, hal ini disebabkan konsentrasi oksigen akan rendah sehingga

aktifitas pernafasan tinggi dan berpengaruh terhadap menurunnya nafsu makan

(Ghufron dan H. Kordi, 2005 dalam Agus, 2008). Menurut Amir (1994) dalam

Agus (2008), kepiting bakau mengalami pertumbuhan dengan baik pada kisaran

pH 7,3 – 8,5