bab ii tinjauan pustaka a. anak usia sekolahrepository.ump.ac.id/4161/3/itsna maftuhatul hammi bab...

41
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anak Usia Sekolah Hidayat (2010) mengatakan anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun), usia bermain /toddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5 tahun), usia sekolah (5-11 tahun), usia remaja (11-18 tahun). Rentang ini berbeda antara anak yang satu dengan anak yang lainnya karena mengingat latar belakang anak yang berbeda. Masa usia sekolah adalah masa matang untuk belajar atau masa untuk sekolah. Masa matang untuk belajar karena mereka sudah berusaha mencapai sesuatu, sedangkan masa matang untuk bersekolah, karena mereka sudah menginginkan kecakapan-kecakapan baru, yang dapat diberikan oleh sekolah (Conny, 2008). Mulai anak umur 6 tahun, anak sudah matang untuk masuk sekolah. Masa anak sekolah adalah usia 6-12 tahun, pada masa ini anak memasuki masa belajar didalam dan diluar sekolah. Aspek prilaku dibentuk melalui penguatan (reinforcement) verbal, keteladanan dan identifikasi (Ahmadi, 2005). Menurut Suprajitno (2004) akhir masa kanak-kanak memiliki beberapa ciri antara lain: Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

Upload: others

Post on 04-Nov-2019

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anak Usia Sekolah

Hidayat (2010) mengatakan anak merupakan individu yang berada

dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga

remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang

dimulai dari bayi (0-1 tahun), usia bermain /toddler (1-2,5 tahun), pra sekolah

(2,5-5 tahun), usia sekolah (5-11 tahun), usia remaja (11-18 tahun). Rentang

ini berbeda antara anak yang satu dengan anak yang lainnya karena mengingat

latar belakang anak yang berbeda.

Masa usia sekolah adalah masa matang untuk belajar atau masa untuk

sekolah. Masa matang untuk belajar karena mereka sudah berusaha mencapai

sesuatu, sedangkan masa matang untuk bersekolah, karena mereka sudah

menginginkan kecakapan-kecakapan baru, yang dapat diberikan oleh sekolah

(Conny, 2008).

Mulai anak umur 6 tahun, anak sudah matang untuk masuk sekolah.

Masa anak sekolah adalah usia 6-12 tahun, pada masa ini anak memasuki

masa belajar didalam dan diluar sekolah. Aspek prilaku dibentuk melalui

penguatan (reinforcement) verbal, keteladanan dan identifikasi (Ahmadi,

2005).

Menurut Suprajitno (2004) akhir masa kanak-kanak memiliki beberapa

ciri antara lain:

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

14

1. Label yang digunakan oleh orang tua

a. Usia yang menyulitkan dimana suatu masa ketika anak tidak mau lagi

menuruti perintah dan ketika anak lebih dipengaruhi oleh teman

sebaya dari pada oleh orang tua dan anggota keluarga lain.

b. Usia tidak rapi, suatu masa ketika anak cenderung tidak

memperdulikan dan ceroboh dalam penampilan.

c. Usia bertengkar, suatu masa ketika banyak terjadi pertengkaran antara

keluarga dan suasana rumah yang tidak menyenangkan bagi semua

anggota keluarga.

2. Label yang digunakan pendidik/guru

a. Usia sekolah dasar adalah suatu masa ketika anak diharapkan

memperoleh dasar pengetahuan yang dianggap penting untuk

keberhasilan penyesuaian diri.

b. Periode kritis dalam berprestasi merupakan suatu masa ketika anak

mencapai sukses, tidak sukses atau sangat sukses.

3. Label yang digunakan oleh ahli psikologi

a. Usia berkelompok merupakan suatu masa ketika perhatian utama

tertuju pada keinginan diterima oleh teman sebaya sebagai anggota

kelompok.

b. Usia penyesuaian diri adalah suatu masa ketika anak ingin

menyesuaikan dengan standar yang disetujui oleh kelompok dalam

penampilan, berbicara dan perilaku.

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

15

c. Usia kreatif merupakan suatu masa ketika akan ditentukan apakah

anak akan menjadi konfimis.

d. Usia bermain merupakan suatu masa ketika besarnya keinginan

bermain karena luasnya minat dan kegiatan untuk bermain.

Menurut (Suprajitno, 2004) Perkembangan Usia Sekolah memiliki

beberapa ciri antara lain :

1. Perkembangan biologis

Saat usia dasar pertumbuhan rata-rata 5 cm per tahun untuk tinggi

badan dan meningkat 2 sampai 3 kg per tahun untuk berat badan. Pada

usia ini pembentukan jaringan lemak lebih cepat perkembangannya dari

pada otot.

2. Perkembangan psikososial

Menurut Ericson perkembangan psikososialnya berada dalam tahap

industri inferior. Dalam tahap ini anak mampu melakukan dam menguasai

ketrampilan yang bersifat teknologi dan sosial. Tahap ini sangat dipegang

faktor instrinsik (motivasi, kemampuan, tanggung jawab untuk memiliki,

interaksi dengan lingkungan dan teman sebaya) dan faktor ekstrinsik

(penghargaan yang didapat, stimulus dan keterlibatan orang lain).

3. Temperamen

Sifat temperamen yang dialami sebelumnya merupakan faktor

terpenting dalam perilaku pada masa ini. Pada usia ini temperamen sering

muncul sehingga peran orang tua dan guru sangat besar untuk

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

16

mengendalikannya, yang perlu diperhatikan orang tua adalah menjadi

figur dalam sehari.

4. Perkembangan kognitif

Menurut Peaget usia ini berada dalam tahap operasional konkret

yaitu anak mengekspresikan apa yang dilakukan dengan verbal dan

simbol. Selama periode ini kemampuan anak belajar konseptual mulai

meningkat dengan pesat dan memiliki kemampuan belajar dari benda,

situasi dan pengalaman yang dijumpai.

5. Perkembangan moral

Pada masa akhir kanak-kanak perkembangan moralnya

dikategorikan oleh Kohlberg berada dalam tahap konvensional. Pada tahap

ini anak mulai belajar tentang peraturan-peraturan yang berlaku, menerima

peraturan.

6. Perkembangan spiritual

Anak usia sekolah menginginkan segala sesuatu adalah konkret

atau nyata dari pada belajar tentang agama. Mereka lebih tertarik terhadap

surga dan mereka sehingga cenderung akan melakukan atau mematuhi

peraturan, karena takut bila masuk neraka.

7. Perkembangan Bahasa

Pembicaraan yang dilakukan dalam hidup ini lebih terkendali dan

terseleksi karena anak menggunakan pembicaraan sebagai komunikasi.

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

17

8. Perkembangan social

Akhir masa kanak-kanak sering disebut usia berkelompok yang

ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas teman-teman dan

meningkatnya keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota

kelompok.

9. Perkembangan seksual

Masa ini anak mulai belajar tentang seksualnya dan teman-

temannya, mengembangkan minat-minat sesuai dengan dirinya.

10. Perkembangan konsep diri

Perkembangan konsep diri sangat dipengaruhi oleh mutu hubungan

dengan orang tua, saudara dan sanak keluarga lainnya. Saat ini anak-anak

membentuk konsep diri yang ideal.

B. Tugas Perkembangan Anak

Pada masa ini anak sudah semakin luas lingkungan pergaulannya. Anak

sudah banyak bergaul dengan orang-orang di luar rumah. Masyarakat

mengharapkan agar anak menguasai dan menyelesaikan tugas-tugas

perkembangannya agar diterima dengan baik oleh lingkungannya. Adapun

tugas-tugas perkembangan pada masa anak sekolah adalah (Izzaty, 2008):

1. Belajar keterampilan fisik yang diperlukan untuk bermain.

2. Sebagai makhluk yang sedang tumbuh, mengembangkan sikap yang sehat

mengenai diri sendiri.

3. Belajar bergaul dengan teman sebaya

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

18

4. Mulai mengembangkan peran social pria atau wanita.

5. Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca,

menulis dan berhitung.

6. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan

sehari-hari.

7. Mengembangkan kata batin, moral dan skala nilai.

8. Mengembangkan sikap terhadap kelompok social dan lembaga.

9. Mencapai kebebasan pribadi

Keberhasilan dalam menyelesaikan tugas perkembangan ditentukan oleh

lingkungan keluarga, orang tua, orang-orang terdekat dalam keluarga dan guru

di sekolah. Tugas-tugas perkembangan yang dipaparkan diatas, merupakan

gambaran perwujudan kematangan biologis dan psikologis individu,

ekspektasi masyarakat dan tuntutan budaya dan agama. Penuntasan tugas-

tugas perkembangan tersebut tidak selalu berjalan dengan mulus. Untuk

mencapai tugas-tugas perkembangan tersebut, beberapa upaya yang dapat

dilakukan oleh pihak sekolah, yaitu: (Yusuf, 2011).

1. Menciptakan iklim religious yang dapat memfasilitasi perkembangan

kesadaran beragama, akhlak mulia, etika atau karakter peserta didik. Pihak

sekolah perlu menyediakan sarana dan prasarana peribadatan, memberikan

contoh atau suri tauladan dalam melaksanakan ibadah, dan berakhlak

mulia, seperti menyangkut aspek kedisiplinan, ketertiban, kebersihan,

keindahan, kejujuran, dan tanggung jawab.

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

19

2. Membangun suasana sosio-emosional yang kondusif bagi perkembangan

keterampilan social dan kematangan emosi peserta didik, seperti

memelihara hubungan yang harmonis antara kepala sekolah dengan guru-

guru, guru dengan guru, siswa dengan siswa. Guru bersikap ramah dan

respek terhadap peserta didik, begitupun peserta didik kepada guru.

3. Membangun iklim intelektual yang memfasilitasi perkembangan berpikir,

nalar, dan kemampuan mengambil keputusan yang baik. Penciptaan ilkim

intelektual ini bias berlangsung dalam proses pembelajaran di kelas

(seperti guru menerapkan metode pembelajaran yang variatif; menjelaskan

materi pelajaran dengan menggunakan multimedia atau memanfaatkan

laboratorium secara efektif; memberikan kesempatan kepada siswa untuk

bertanya, dan mengemukakan pendapat atau gagasan) dan kegiatan

kelompok-kelompok belajar sesuai dengan minat dan kemampuannya.

Menurut Havighurst (2009), tugas perkembangan ialah tugas yang

terdapat pada suatu tahap kehidupan seseorang, yang akan membawa individu

kepada kebahagiaan dan keberhasilan dalam tugas-tugas pengembangan

berikutnya yaitu apabila tahap kehidupan tersebut dijalani dengan berhasil.

Sedangkan kegagalan dalam melaksanakan tugas pengembangan, akan

mengakibatkan kehidupan tidak bahagia pada individu dan kesukaran-

kesukaran lain dalam hidupnya kelak. Tugas perkembangan individu

bersumber pada faktor-faktor :

1. Kematangan fisik

2. Tuntutan masyarakat secara kultural

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

20

3. Tuntutan dan dorongan dan cita-cita individu itu sendiri

4. Norma-norma agama

Di bawah ini dikemukakan rincian tugas perkembangan dari setiap

tahapan menurut Havighurst (2009) pada tugas perkembangan masa kanak-

kanak akhir dan anak sekolah (6-12 tahun):

1. Belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan.

Hakikat tugas perkembangan ini adalah mempelajari keterampilan-

keterampilan yang bersifat fisik atau jasmani untuk dapat melakukan

permainan.

2. Belajar membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai

makhluk biologis.

Hakikat tugas perkembangan ini adalah belajar untuk membentuk

diri sendiri agar dapat memenuhi tugas biologisnya.

3. Belajar bergaul dengan teman sebaya.

Hakikat tugas perkembangan ini adalah bagaimana cara

berkomunikasi dengan teman-teman dengan baik.

4. Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya.

Hakikat tugas perkembangan ini adalah anak belajar bertindak sesuai

dengan peran seksnya sebagai anak laki-laki atau anak perempuan.

5. Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis dan berhitung.

Hakikat tugas perkembangan ini adalah anak belajar

mengembangkan tiga kemampuan dasar yaitu membaca, menulis, dan

berhitung yang diperlukan untuk hidup di lingkungan masyarakat.

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

21

6. Belajar mengembangkan konsep-konsep sehari-hari.

Hakikat tugas perkembangan ini adalah anak harus mempelajari

berbagai konsep agar dapat berpikir efektif mengenani permasalahan

sosial di sekitar kehidupan sehari-hari.

7. Mengembangkan kata hati.

Hakikat tugas perkembangan ini adalah mengembangkan moral yang

bersifat batiniah yaitu hati nurani, serta mengembangkan pemahaman dan

sikap moral terhadap peraturan dan tata nilai yang berlaku dalam

kehidupan anak.

8. Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi.

Hakikat tugas perkembangan ini adalah anak menjadi individu yang

otonom atau bebas, dalam arti dapat membuat rencana untuk masa yang

akan datang, bebas dari pengaruh orang tua atau orang lain.

9. Mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial.

Hakikat tugas perkembangan ini adalah anak belajar memberi dan

menerima dalam kehidupan sosial antar teman sebaya, dan belajar

membina persahabatan dengan teman sebaya.

C. Tahap Perkembangan Anak

Teori perkembangan kepribadian Erickson dikenal sebagai

perkembangan psikososial dan menekankan pada kepribadian yang sehat

(Keperawatan Pediatrik, 2009).

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

22

Banyak teori mengenai perkembangan psikososial, yang paling banyak

dianut adalah teori psikosisal dari Erik Erikson. Teori psikososial dari Erik

Erikson meliputi delapan tahap yang saling berurutan sepanjang hidup. Hasil

dari tiap tahap tergantung dari hasil tahapan sebelumnya, dan resolusi yang

sukses dari tiap krisis ego adalah penting bagi individu untuk dapat tumbuh

secara optimal. Ego harus mengembangkan kesanggupan yang berbeda untuk

mengatasi tiap tuntutan penyesuaian dari masyarakat. Berikut adalah delapan

tahapan perkembangan psikososial menurut Erik Erikson :

1. Tahap I : Trust versus Mistrust (0-1 tahun)

Dalam tahap ini, bayi berusaha keras untuk mendapatkan

pengasuhan dan kehangatan, jika ibu berhasil memenuhi kebutuhan

anaknya, sang anak akan mengembangkan kemampuan untuk dapat

mempercayai dan mengembangkan asa (hope). Jika krisis ego ini tidak

pernah terselesaikan, individu tersebut akan mengalami kesulitan dalam

membentuk rasa percaya dengan orang lain sepanjang hidupnya, selalu

meyakinkan dirinya bahwa orang lain berusaha mengambil keuntungan

dari dirinya.

2. Tahap II: Autonomy versus Shame and Doubt (l-3 tahun)

Dalam tahap ini, anak akan belajar bahwa dirinya memiliki kontrol

atas tubuhnya. Orang tua seharusnya menuntun anaknya, mengajarkannya

untuk mengontrol keinginan atau impuls-impulsnya, namun tidak dengan

perlakuan yang kasar. Mereka melatih kehendak mereka, tepatnya

otonomi. Harapan idealnya, anak bisa belajar menyesuaikan diri dengan

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

23

aturan-aturan sosial tanpa banyak kehilangan pemahaman awal mereka

mengenai otonomi, inilah resolusi yang diharapkan.

3. Tahap III : Initiative versus Guilt (3-6 tahun)

Pada periode inilah anak belajar bagaimana merencanakan dan

melaksanakan tindakannya. Resolusi yang tidak berhasil dari tahapan ini

akan membuat sang anak takut mengambil inisiatif atau membuat

keputusan karena takut berbuat salah. Anak memiliki rasa percaya diri

yang rendah dan tidak mau mengembangkan harapan harapan ketika ia

dewasa. Bila anak berhasil melewati masa ini dengan baik, maka

keterampilanego yang diperoleh adalah memiliki tujuan dalam hidupnya.

4. Tahap IV: Industry versus Inferiority (6-12 tahun)

Pada saat ini, anak-anak belajar untuk memperoleh kesenangan dan

kepuasan dari menyelesaikan tugas khususnya tugas-tugas akademik.

Penyelesaian yang sukses pada tahapan ini akan menciptakan anak yang

dapat memecahkan masalah dan bangga akan prestasi yang diperoleh.

Ketrampilan ego yang diperoleh adalah kompetensi. Di sisi lain, anak yang

tidak mampu untuk menemukan solusi positif dan tidak mampu mencapai

apa yang diraih teman-teman sebaya akan merasa inferior.

5. Tahap V : Identity versus Role Confusion (12-18 tahun)

Pada tahap ini, terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis

seperti orang dewasa sehingga tampak adanya kontraindikasi bahwa di

lain pihak ia dianggap dewasa tetapi di sisi lain ia dianggap belum dewasa.

Tahap ini merupakan masa stansarisasi diri yaitu anak mencari identitas

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

24

dalam bidang seksual, umur dan kegiatan. Peran orang tua sebagai sumber

perlindungan dan nilai utama mulai menurun. Adapun peran kelompok

atau teman sebaya tinggi.

6. Tahap VI : Intimacy versus Isolation (masa dewasa muda)

Dalam tahap ini, orang dewasa muda mempelajari cara berinteraksi

dengan orang lain secara lebih mendalam. Ketidakmampuan untuk

membentuk ikatan social yang kuat akan menciptakan rasa kesepian. Bila

individu berhasil mengatasi krisis ini, makaketerampilan ego yang

diperolehadalahcinta.

7. Tahap VII : Generativity versus Stagnation (masa dewasa menengah)

Pada tahap ini, individu memberikan sesuatu kepada dunia sebagai

balasan dari apa yang telah dunia berikan untuk dirinya, juga melakukan

sesuatu yang dapat memastikan kelangsungan generasi penerus di masa

depan. Ketidakmampuan untuk memiliki pandangan generatif akan

menciptakan perasaan bahwa hidup ini tidak berharga dan membosankan.

Bila individu berhasil mengatasi krisis pada masa ini maka ketrampilan

ego yang dimiliki adalah perhatian.

8. Tahap VIII : Ego Integrity versus Despair (masa dewasa akhir)

Pada tahap usia lanjut ini, mereka juga dapat mengingat kembali

masa lalu dan melihat makna, ketentraman dan integritas. Refleksi ke

masa lalu itu terasa menyenangkan dan pencarian saat ini adalah untuk

mengintegrasikan tujuan hidup yang telah dikejar selama bertahun-tahun.

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

25

Kegagalan dalam melewati tahapan ini akan menyebabkan munculnya rasa

putus asa.

D. Perilaku Agresif

Perilaku agresif adalah perilaku melukai orang lain baik secara fisik

(non verbal) maupun secara kata-kata (lisan/ verbal). Agresivitas pada kanak-

kanak ini dapat berupa perilaku seperti memukul, mencubit, menggigit,

marah-marah, bahkan mencaci maki (Yusuf, 2002).

Perilaku agresif dapat dipengaruhi oleh sifat egosentris, yaitu masih

sulitnya memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain atau masih

sulit berempati. Jadi individu tidak dapat memahami jika ia memukul atau

menghina orang lain, orang tersebut akan merasa sakit. Individu juga mudah

menjadi agresif jika kondisi fisiknya sedang tidak nyaman: lelah, lapar,

menagntuk, atau sakit (Itabiliana, 2008).

Perilaku agresif dapat dikategorikan sebagai bentuk gangguan

emosional, biasanya timbul karena ketidakmampuan individu menyesuaikan

diri dengan lingkunganya, yang diwujudkan dalam bentuk perilaku agresif

atau pemencilan dan penarikan diri. Keagresifan siswa merupakan kesalahan

dalam penyesuaian diri, berbentuk kenakalan, kebrutalan, kekerasan, dan

kemarahan (Sukmadinata, 2007). Lingkungan peserta didik diwarnai dengan

perilaku-perilaku agresif, sehingga agresifitas menjadi pola interaksi,

terbentuk pada setiap anggotanya secara mekanistik, melalui pembiasaan.

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

26

Menurut Anantasari (2006), pada dasarrnya perilaku agresif pada

manusia adalah tindakan yang bersifat kekerasan, yang dilakukan oleh

manusia terhadap sesamanya. Dalam agresi terkandung maksud untuk

membahayakan atau mencederai orang lain. Perilaku agresif juga dapat

disebut sikap bermusuhan yang ada dalam diri manusia. Perilaku agresif

diindikasikan antara lain oleh tindakan untuk menyakiti, merusak, baik secara

fisik, psikis, maupun social. Sasaran orang yang berperilaku agresif tidak

hanya ditujukan kepada musuh tetapi juga kepada benda-benda yang ada

dihadapanya yang memberi peluang bagi dirinya untuk merusak. Perilaku

menyerang, memukul, dan mencubit yang ditunjukan oleh siswa bias

dikategorikan sebagai perilaku agresif. Perilaku ini muncul karena siswa

merasa frustasi menghadapi lingkungan yang sulit ia kendalikan atau tidak

sesuai dengan keinginannya (Itabiliana, 2008).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat diambil kesimpulan

bahwa perilaku agresif adalah perilaku seseorang yang diwujudkan dalam

tindakan penyerangan secara fisik maupun non fisik terhadap orang lain yang

dapat membahayakan atau mencederai orang lain. Perilaku agresif juga dapat

disebut sikap yang bermusuhan yang ada pada diri manusia. Hal ini berarti

bahwa tindakan atau perilaku menyakiti orang lain baik secara fisik maupun

non fisik dan sosial dapat diindikasikan sebagai bentuk tindakan perilaku

agresif.

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

27

E. Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Perilaku Agresif

Menurut Anantasari (2006) faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku

agresif dapat dibedakan menjadi enam kelompok faktor, yaitu :

1. Faktor psikologis

a. Perilaku naluriah

Menurut Freud (Taylor et al., 2009) berasumsi bahwa manusia memiliki

naluri untuk bertindak agresif. Menurut teori insting kematian (thanatos)

yang digagasnya, agresi diarahkan pada diri sendiri atau orang lain.

Menurut Konrad Lorenz (Anantasari, 2006) agresi membuahkan bahaya

fisikal buat orang-orang lain berakar dalam naluri berkelahi yang

dimiliki manusia.

b. Perilaku yang dipelajari

Menurut Miles & Carey (Taylor et al., 2009) mekanisme utama yang

menentukan perilaku agresi manusia adalah proses belajar masa lalu.

Bayi yang baru lahir mengekspresikan perasaan agresif secra impulsif,

setiap kali keinginannya dihalangi maka ia akan menangis kencang,

setelah dewasa maka impuls kemarahan dan reaksi agresif ini bisa

dikontrol. Albert Bandura (Anantasari, 2006) menyebutkan perilaku

agresif berakar dalam respons-respons agresif yang dipelajari manusia

lewat pengalaman-pengalamannya di masa lampau. Eksperimen klasik

oleh Albert Bandura dan rekannya Ross & Ross (Taylor et al, 2009)

mengilustrasikan peniruan perilaku agresif ini melalui anak melihat

orang dewasa bermain dengan Tinkertoys dan boneka Bobo, orang

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

28

dewasa tersebut bermain dengan boneka Bobo secara agresif dengan

cara mendudukinya, memukulnya, melemparnya, menendangnya sambil

mengucapkan “hajar hidungnya, tonjok mukanya, dan pow” sang anak

terus menyaksikan dan mulai menirukan banyak perilaku orang dewasa

tersebut. Berdasarkan uraian diatas, gagasan toritis utama dalam

eksperimen yang dilakukan Albert Bandura adalah anak melakukan

tindakan agresif melalui apa saja yang ia lihat dari orang lain yang

melakukan respon agresif tersebut.

2. Faktor Sosial

a. Frustasi

Tidak diragukan lagi pengaruh frustasi dalam peruyakan perilaku

agresif, seperti yang diuraikan dalam hipotesis frustasi-agresi oleh John

Dollard (Anantasari, 2006) bahwa frustasi dapat mengakari agresi.

Frustasi menurut Geen (Taylor et al., 2009) berasal dari terhambatnya

atau dicegahnya upaya mencapai tujuan.Ketika upaya pencapaian tujuan

itu dihambat, maka akann timbul frustasi. Frustasi ini kemudian

menimbulkan agresi, hal ini mungkin karena agresi dapat meringankan

emosi negative, Bushman, Baumeister, dan Philips (Taylor et al., 2009).

Frustasi didefinisikan sebagai interferensi eksternal terhadap perilaku

yang diarahkan pada tujuan. Pengalaman frustasi mengaktifkan

keinginan beritindak agresif terhadap sumber frustasi yang sebagai

akibatnya mencetuskan perilaku agresif (Krahe, 2005). Berdasarkan

uraian tentang frustasi-agresi diatas, dapat disimpulkan bahwa efek dari

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

29

adanya frustasi sering ditunjukkan dalam perilaku menyakiti orang lain

atau perilaku agresif dengan maksud meluapkan kekesalannya terhadap

pencapaian tujuan yang tertunda atau yang pencapaian tujuan yang

dihambat.

b. Provokasi langsung

Bukti-bukti mengindikasikan betapa pencideraan fisikal (physical

abuse) dan ejekan verbal dari orang-orang lain dapat memicu perilaku

agresif, Anantasari (2006). Menurut Taylor (2009) faktor lain yang

memperbesar siklus agresi adalah motivasi balas dendam. Riset

eksperimental menunjukkan bahwa pria yang marah dan yang merasa

mampu membalas dendam lebih mungkin untuk mengingat informasi

negatif, selama kemarahan dan keinginan balas dendam membuat

pikiran selalu negatif, maka kemungkinan agresi akan bertambah besar.

Balas dendam merupakan penyaluran frustasi melalui proses internal

yakni merencanakan pembalasan terhadap obyek yang menghambat dan

merugikannya, Willis (2012). Berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami

bahwa perilaku agresif dapat muncul apabila adanya provokasi langsung

yang diterima oleh individu baik secara fisik maupun secara verbal.

Provokasi tersebut menimbulkan cidera fisik maupun verbal (kata-kata

yang menyakitkan hati) pada individu sehingga ia akan timbul rasa

kesal, kemudian muncullah rasa keinginan balas dendam sebagai upaya

penyaluran frustasi dalam bentuk perilaku agresif terhadap obyek yang

menghambat dan merugikannya.

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

30

c. Pengaruh tontonan perilaku agresif di televisi

Diasumsikan secara umum bahwa kekerasan di media memicu

orang untuk berperilaku agresif, Taylor (2009). Pengaruh media

dianggap salah satu faktor terkuat yang bertanggung jawab atas

peningkatan agresi, khususnya dikalangan remaja dan anak-anak (Krahe,

2005). Kekerasan yang disajikan dalam acara TV dapat memicu

perkembangan perilaku agresif anak, karena anak lebih tertarik untuk

melihat acara TV yang mengandung kekerasan. Tidak hanya pada acara

TV, pengaruh media juga berkembang dalam games online yang

memiliki unsur kekerasan. Secara keseluruhan, (Krahe, 2005)

menunjukkan keberadaan lingkaran setan. Individu yang agresif lebih

menyukai acara-acara yang mengandung kekerasan, yang kemudian

menguatkan disposisi agresif mereka. Menurut Anantasari (2006)

terdapat kaitan antara agresi dan paparan tontonan kekerasan lewat

televisi. Semakin banyak anak menonton kekerasan lewat televise,

tingkat agresi anak tersebut terhadap orang lain dan bisa makin

meningkat pula. Berdasarkan uraian secara keseluruhan diatas, dapat

dipahami bahwa terdapat kaitan antara tontonan kekerasan lewat televisi

dan pengaruh media dengan tingkat agresifitas anak yang berkembang

saat ini. Semakin banyak anak menonton kekerasan melalui televisi, dan

semakin banyak anak menggunakan games online yang memiliki unsur

kekerasan, maka semakin besar pula tingkat agresifitas anak tersebut.

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

31

d. Stres

Hude (2006) menyebutkan lingkungan sosial dan non-sosial

berpotensi memicu stress, khususnya jika mengancam stabilitas individu.

Stres dapat memicu timbulnya sikap agresif, diantaranya kepadatan

penduduk, ketidakbebasan, irama kehidupan rutin atau monoton, dan

kurangnya privasi.

e. Hilangnya identitas diri

Masa remaja puncak perkembangan jiwa itu ditandai dengan

adanya proses perubahan dari kondisi entropy ke kondisi negentropy

Sarlito (Sunarto, 2008). Entropy adalah keadaan dimana kesadaran

manusia masih belum tersusun rapi, sedangkan negentropy adalah

keadaan dimana isi kesadaran tersusun dengan baik. Masa peralihan ini

membuat remaja kehilangan identitas diri dan kehilangan kontrol diri

dan akibatnya mereka akan mudah melakukan tindakan agresif.

3. Faktor Lingkungan

a. Lingkungan keluarga

Bandura (Walgito, 2007) menyebutkan orang tua sebagai contoh

anak-anaknya, hal tersebut menunjukkan perilaku berdasarkan model.

Maka seorang anak akan melakukan perilaku agresif sesuai dengan apa

yang telah diajarkan dalam lingkungan keluarganya atau apa yang anak

dapatkan seputar agresifitas dari lingkungan keluarganya tersebut.

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

32

b. Interaksi teman sebaya

Menurut (Krahe, 2005) munculnya pola-pola perilaku agresif

berawal dari konflik dengan teman sebaya dan orang dewasa muncul

dalam kehidupan seseorang dalam bentuk perilaku agresif dan

penggunaan kekuatan fisik seperti memukul, mendorong, menendang).

Dengan demikian interaksi yang terjadi dengan teman sebaya sangatlah

berpengaruh terhadap munculnya perilaku agresif. Menurut Anantasari

(2006) perilaku agresif adalah suatu ledakan emosi yang kuat sekali,

disertai rasa marah, serangan agresif, menangis, menjerit dan

sebagainya. Interaksi teman sebaya sangat mempengaruhi munculnya

perilaku agresif, kombinasi antara ditolak oleh teman sebaya dan

bersikap agresif meramalkan adanya masalah, Ladd et al (Santrock,

2007). Studi terbaru lainnya menemukan bahwa ank kelas tiga yang

sangat agresif dan ditolak oleh sebaya mereka menunjukkan tingkat

kenakalan yang lebih tinggi sebagai remaja dan pemuda disbanding

anak-anak lain, Miller-Johnson et al (Santrok, 2007). Berdasarkan uraian

diatas, dapat dipahami bahwa interaksi teman sebaya sangat

mempengaruhi munculnya perilaku agresif. Anak yang ditolak oleh

teman sebayanya maka akan cenderung menunjukkan perilaku agresif.

c. Suhu udara

Temperatur udara sekeliling adalah determinan situasional agresi.

Kebanyakan penelitian menyebutnya hipotesis hawa panas (heat

hypothesis) yang menyatakan bahwa temperatur tinggi yang tidak

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

33

nyaman meningkatkan motif maupun perilaku agresif, Anderson et al

(Krahe, 2005).

4. Faktor Situasional

a. Kondisi emosional atau kerentanan emosional

Menurut Krahe (2005) kerentanan emosional (emotional

susceptibility) didefinisikan sebagai kecenderungan individu untuk

mengalami perasaan tidak nyaman, putus asa, tidak adekuat, dan ringkih.

Orang-orang yang rentan secara emosional memperlihatkan perilaku

agresif lebih tinggi.

Menurut Hude (2006) tidak jarang peristiwa-peristiwa yang

dialami manusia menjadikannya menangis tersedu-sedu, muka pucat

atau merah padam, nada bicaranya terputus-putus, bergetar seluruh

tubuhnya, melompat kegirangan, berteriak, membanting pintu, dan

sebagainya, hal itu tidak lain dipicu oleh kadar emosi yang amat dalam

dan meluap-luap. Kondisi emosional yang dimiliki seseorang dapat

memicu terjadinya perilaku agresif.

5. Faktor Biologis

Para peneliti yang menyelidiki kaitan antara cedera kepala dan

perilaku kekerasan mengindikasikan betapa kombinasi pencideraan fisikal

yang pernah dialami dan cidera kepala, ikut melandasi terjadinya perilaku

agresif, Anantasari (2006).

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

34

6. Faktor Genetik

Pengaruh faktor genetik antara lain ditunjukkan oleh kemungkinan

yang lebih besar untuk perilaku agresif bagi pria yang memiliki kromosom

XYY, Anantasari (2006). Anak laki – laki pada umumnya memperlihatkan

tingkat agresi fisik yang lebih tinggi daripada anak perempuan. Menurut

Poerwandari (2004) tentang kecenderungan laki-laki untuk lebih agresif,

hal itu dapat dijelaskan melalui penjelasan biologis. Berkaitan dengan

perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam perilaku agresif secara

keseluruhan, menemukan temuan yang sangat jelas mengenai hal ini.

Penjelasan hormonal mengungkapkan kecenderungan agresif yang

meningkat pada hormon seks laki-laki, testoteron. Menurut pandangan ini,

perbedaan jenis kelamin dalam agresi ini berhubungan dengan tingkat

testoteron yang lebih tinggi pada laki-laki, Archer (Krahe, 2005).

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan jenis

kelamin menunjukkan perbedaan tingkat agresifitas antara perempuan dan

laki-laki, hal ini dikarenakan tingkat hormon testoteron yang lebih tinggi

pada laki-laki menunjukkan tingkat maskulinnya.

F. Ciri-Ciri Perilaku Agresif

Menurut Sukmadinata (2007), perilaku-perilaku agresif dimanifestasikan

keluar supaya dapat diamati oleh orang lain. Oleh karena itu, untuk menilai

siswa memilki kecenderungan perilaku agresif atau tidak, guru atau konselor

dapat mengidentifikasi dan melihatnya berdasarkan ciri-ciri sebagai berikut:

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

35

Siswa seringkali berbohong, walaupun ia seharusnya berterus terang,

menyontek, meskipun seharusnya tidak perlu menyontek. Suka mencuri, atau

mengatakan ia kecurian bila barangnya tidak ada. Suka merusak barang orang

lain atau barangnya sendiri, melakukan kekejaman, menyakiti orang lain,

berbicara kasar, menyinggung perasaan orang lain, tidak peduli pada orang

lain yang membutuhkan pertolongannya, dan suka menggangu siswa lain yang

lebih kecil atau lebih lemah. Serta seringkali marah-marah, uring-uringan,

memukulkan kaki tangan, menangis dan menjerit. Sementara itu menurut

Anantasari (2006), ciri-ciri perilaku agresif sebagai berikut:

1. Perilaku menyerang; perilaku menyerang lebih menekankan pada suatu

perilaku untuk menyakiti hati, atau merusak barang orang lain, dan secara

sosial tidak dapat diterima.

Contoh; sikap anak yang mempertahankan barang yang dimiliknya dengan

memukul.

2. Perilaku menyakiti atau merusak diri sendiri, orang lain, atau objek-objek

penggantinya; perilaku agresif termasuk yang dilakukan anak, hampir

menimbulkan adanya bahaya berupa kesakitan yang dapat dialami oleh

dirinya sendiri atau orang lain. Bahaya kesakitan dapat berupa kesakitan

fisik, misalnya pemukulan, dan kesakitan secara psikis misalnya hinaan.

Selain itu yang perlu dipahami juga adalah sasaran perilaku agresif sering

kali ditujukan seperti benda mati.

Contoh : memukul meja saat marah.

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

36

3. Perilaku yang tidak diinginkan orang lain perilaku agresif pada umumnya

juga memiliki sebuah cirri yaitu tidak diinginkan oleh orang yang menjadi

sasaranya.

Contoh: tindakan menghindari pukulan teman yang sedang marah.

4. Perilaku yang melanggar norma sosial; perilaku agresif pada umumnya

selalu dikaitkan dengan pelanggaran terhadap norma-norma sosial.

5. Sikap bermusuhan terhadap orang lain; perilaku agresif yang mengacu

kepada sikap permusuhan sebagai tindakan yang di tujukan untuk melukai

orang lain. Contoh: memukul teman

6. Perilaku agresif yang dipelajari; perilaku agresif yang dipelajari melalui

pengalamannya di masa lalu dalam proses pembelajaran perilaku agresif,

terlibat pula berbagai kondisi sosial atau lingkungan yang mendorong

perwujudan perilaku agresif.

Contoh: kekerasan dalam keluarga, tayangan perkelahian dari media.

Dilihat dari uraian pendapat diatas maka penulis dapat mengambil

kesimpulan bahwa ciri-ciri perilaku agresif yaitu: perilaku atau tindakan

menyerang, kekejaman, seringkali marah-marah, perilaku menyakiti atau

merusak diri sendiri, orang lain atau objek-objek penggantinya, dan

perilaku melanggar norma sosial sehingga menjadikan sikap bermusuhan

terhadap orang lain, dan kerugian pihak yang menjadi korban perilaku

agresif.

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

37

G. Pemicu Terjadinya Perilaku Agresif

Perilaku agresif dapat terjadi karena dipicu oleh: (Anantasari, 2006).

1. terpicu oleh hal kecil

2. menyakiti teman

3. untuk mencari perhatian

Menurut Itabiliana (2008), dalam keadaan frustasi, anak menjadi mudah

terpicu untuk bereaksi secara fisik. Anak juga mudah menjadi agresif jika

kondisi fisiknya sedang tidak nyaman: lelah, lapar, mengantuk, atau sakit.

H. Dampak Perilaku Agresif

Dampak buruk perilaku agresif bagi korban-korbanya meniscayakan kita

selalu berupaya mengeliminasikan faktor-faktor penyebab perilaku agresif.

Dengan upaya tersebut diharapkan dapat meminimalkan terjadinya

tindakan perilaku agresif. Menurut Anantasari (2006), dampak buruk bagi

korban perilaku agresif meliputi perasaan tidak berdaya korban,

kemarahan setelah menjadi korban perilaku agresif, perasaan bahwa diri

sendiri mengalami kerusakan permanent, ketidakmampuan memercayai

orang lain dan ketidakmampuan menggalang relasi dekat dengan orang

lain, keterpakuan pada pikiran tentang tindakan agresif atau kriminal.

Hilangnya keyakinan bahwa dunia bias berada dalam tatanan yang adil.

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

38

I. Mengatasi Perilaku Agresif

Menurut Itabiliana (2008), untuk menghilangkan perilaku agresif

dapat dilakukan dengan memberikan pemahaman pada anak bahwa

perilaku agresifnya tidak dapat diterima. Perkenalkan anak terhadap akibat

dari perilakunya tersebut. Misalnya, tidak boleh masuk kelas lagi kalau

memukul teman. Sekecil apapun berikan perhatian besar terhadap perilaku

yang positif, dengan demikian anak akan belajar perilaku mana yang

diharapkan, dan perilaku perilaku mana yang ditolak oleh lingkungan

sosialnya.

Menurut Anantasari (2006), cara mengatasi perilaku agresif adalah dengan

memberi empati, dorong anak untuk mencurahkan perasaanya, tanggapi

dengan bijak, jangan terlalu melindungi, tumbuhkan percaya diri dan

kembangkan kemampuanya, lakukan pengamatan, dan diskusikan dengan

guru.

1. Beri empati dorong anak untuk mencurahkan perasaannya, menjadi

pendengar yang baik berarti mendengarkan secara aktif tidak hanya

mendengarkan apa yang diucapkan, tetapi juga memperhatikan bahasa

tubuhnya. Yang penting adalah usahakan untuk menunjukan empati

dapat memahami perasaan atau situasi yang dihadapi anak. Dorong

anak supaya mau mencurahkan isi hatinya. Yakinkan anak bahwa anda

mendengar dan memahaminya dengan mengulang apa yang

dikatakannya dan rumuskan kembali pernyataan anak.

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

39

2. Tanggapi secara bijak tanggapan yang bijaksana, penuh empati, dan

jauhdari kesan menginterogasi, akan mendorong anak untuk lebih

terbuka. Jangan menaggapi cerita secara emosional dan terburu-buru

memberi komentar dan saran, apalagi kalau sampai memarahinya.

3. Jangan terlalu melindungi ajarkan pada anak untuk mengatasi

masalahnya sendiri. Sikap selalu melindungi akan membuat terus

bergantung dan kurang mengembangkan kemampuan untuk bersikap

yang tepat bila menghadapi kejadian serupa. Berikan pertanyaan-

pertanyaan yang membimbing dan alternatif tindakan yang dapat

diambilnya, misalnya dengan mengatakan “menurutmu, sebenarnya

kamu bisa berbuat apa?”.

4. Tumbuhkan percaya diri dan kembangkan kemampuanya anak yang

sering menjadi korban agresifisitas biasanya kurang mempunyai

kepercayaan diri. Ia merasa inferior dibandingkan dengan seorang

agresor sehingga merasa tidak berdaya menghadapinya. Tunjukkan

kepada anak bahwa masing-masing individu memiliki kelebihan dan

kekurangan.

5. Lakukan pengamatan amati setiap perkembangan yang terjadi, tidak

perlu terlibat langsung tetapi perhatikan bagaimana anak berinteraksi

dengan temannya. Sediakan diri menjadi teman untuk mengadu dan

mendapatkan rasa aman untuk mendorongnya dan ajak anak untuk

mengevaluasi keadaan dirinya.

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

40

6. Diskusikan dengan guru ada baiknya dari permasalahan yang dihadapi

anak dapat didiskusikan dengan guru atau wali kelasnya apabila

kejadianya disekolah. Mintalah bantuan guru untuk mengamati.

J. Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia (2008) bahwa pola adalah model, sistem, atau cara

kerja. Sedangkan asuh adalah menjaga, merawat, mendidik, membimbing,

membantu, melatih, dan sebagainya Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008).

Gunarsa (2000) mengemukakan bahwa Pola asuh tidak lain merupakan

metode atau cara yang dipilih pendidik dalam mendidik anak-anaknya yang

meliputi bagaimana pendidik memperlakukan anak didiknya. Jadi yang

dimaksud pendidik adalah orang tua terutama ayah dan ibu atau wali.

Casmini (dalam Palupi, 2007) menyebutkan bahwa: Pola asuh sendiri

memiliki definisi bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik,

membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak dalam mencapai

proses kedewasaan, hingga kepada upaya pembentukan norma-norma yang

diharapkan oleh masyarakat pada umumnya.

Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berhubungan dengan

anaknya. Sikap ini dapat dilihat dari berbagai segi, antara lain dari cara orang

tua memberikan pengaturan kepada anak, cara memberikan hadiah dan

hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritas dan cara orang tua

memberikan perhatian, tanggapan terhadap keinginan anak. Dengan demikian

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

41

yang dimaksud dengan pola asuh orang tua adalah bagaimana cara mendidik

anak baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan uraian di

atas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua adalah suatu proses

interaksi antara orang tua dan anak, yang meliputi kegiatan seperti

memelihara, mendidik, membimbing serta mendisplinkan dalam mencapai

proses kedewasaan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Terdapat perbedaan yang berbeda-beda dalam mengelompokkan pola

asuh orang tua dalam mendidik anak, yang antara satu dengan yang lainnya

hampir mempunyai persamaan. Diantaranya sebagai berikut:

Menurut Baumrind (dalam King, 2014) terdapat empat macam pola asuh

yang diberikan orang tua kepada anak yaitu :

1. Pola asuh otoriter.

Dalam pola asuh ini, semua tingkah laku, pengambilan keputusan,

dan cara berpikir anak diatur oleh orang tua. Orang tua memiliki kendali

penuh terhadap segala aspek kehidupan anaknya. Dalam menyampaikan

keinginannya, orang tua cenderung memaksa, memerintah, memberi

ancaman, dan menghukum. Dalam pola asuh ini sedikit sekali komunikasi

secara verbal. Komunikasi yang terjadi hanya bersifat satu arah. Orang tua

tidak lagi memberi pertimbangan terhadap pendapat anaknya.

Dampak pola asuh otoriter terhadap kepribadian anak. Baumrind

(dikutip dalam King, 2014) menyatakan bahwa pola asuh ini akan

membentuk anak yang pendiam, tertutup, sulit berinteraksi sosial, dan

cenderung menarik diri dari kehidupan sosial. Selain itu, anak juga akan

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

42

menjadi penakut, mudah tersinggung, pemurung, dan mudah stress. Dalam

berinteraksi sosial anak akan terlihat kurang memiliki inisiatif untuk

melakukan sesuatu dan mudah dipengaruhi (tidak memiliki pendirian yang

kuat). Anak juga bisa memiliki sikap yang suka menentang, memberontak,

dan tidak mau mematuhi peraturan.

2. Pola asuh otoritatif.

Dalam pola asuh ini orang tua mendorong anak untuk bersikap

mandiri, tetapi orang tua masih memberikan kontrol terhadap perilaku

anak. Anak diperbolehkan untuk mengemukakan pendapatnya. Orang tua

menanamkan nilai-nilai yang berlaku dengan cara yang lebih hangat.

Dalam menanamkan nilai, orang tua akan menjelaskan dampak-dampak

secara rasional dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh anak.

Komunikasi antara orang tua dan anak bersifata dua arah. Kepentingan

anak menjadi prioritas utama orang tua, tetapi masih dikontrol dalam

pemberian kebebasan anaknya.

Dampak pola asuh otoritatif terhadap kepribadian anak. Dengan

pengasuhan yang hangat, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang

bersahabat. Selain itu, motivasi dan komunikasi yang dilakukan oleh orang

tua akan mendorong anak untuk bersikap percaya diri, bertanggung jawab,

kooperatif, dan mampu mengontrol diri. Anak juga akan cenderung

memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan memiliki orientasi terhadap

prestasi (Baumrind, dikutip dalam King, 2014).

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

43

3. Pola asuh penelantar.

Orang tua yang mengasuh anaknya dengan tipe ini akan cenderung

tidak terlibat dalam kehidupan anaknya. Orang tua tidak peduli dengan apa

yang dilakukan oleh anaknya. Dalam membesarkan anaknya, orang tua

tidak memberikan kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan fisik yang

cukup.

Dampak pola asuh penelantar terhadap kepribadian anak. Oleh

karena tidak merasa dipedulikan atau diurus, anak akan beranggapan

bahwa orang tua memiliki hal lain yang lebih penting daripada dirinya.

Selain itu, anak akan merasa kekurangan kasih sayang. Hal tersebut akan

membuat anak cenderung memiliki sikap yang kurang mandiri dan kurang

bisa mengontrol dirinya. Anak cenderung memiliki tempramen yang

lemah, agresif, kurang bertanggung jawab, memiliki self esteem yang

rendah, dan sering bermasalah dalam melakukan interaksi sosial

(Baumrind, dikutip dalam King, 2014).

4. Pola asuh permisif.

Orang tua memberikan kebebasan yang besar kepada anaknya (anak

bebas melakukan apa yang diinginkannya). Kebebasan diberikan dengan

batasan-batasan yang sangat sedikit. Dengan kata lain, kontrol orang tua

terhadap perilaku anak sangat sedikit. Akan tetapi, orang tua masih terlibat

dalam aspek-aspek kehidupan anaknya. Orang tua cenderung tidak

menegur anaknya jika anaknya melakukan perbuatan yang salah.

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

44

Dampak pola asuh permisif terhadap kepribadian anak. Menurut

Baumrind (dikutip dalam King, 2014), anak yang diberikan kebebasan

yang berlebihan oleh orang tuanya cenderung tumbuh dengan kepribadian

yang kurang bisa menghargai orang lain. Selain itu, anak juga menjadi

manja, tidak patuh, agresif, dan mau menang sendiri. Anak kurang

memiliki rasa percaya diri dan pengendalian diri yang cukup. Anak juga

kurang matang secara sosial. Prestasi pun tidak mendapat perhatian yang

cukup dari anak dengan orang tua yang permisif. Anak juga cenderung

memiliki tingkat inisiatif yang tinggi tetapi anak menuntut agar semua

permohonannya dikabulkan.

Pola ini ditandai dengan sikap acuh tak acuh orang tua terhadap anaknya.

Dari berbagai macam bentuk pola asuh di atas pada intinya hampir sama.

Misalnya saja antara pola asuh parent oriented, authoritarian, otoriter,

semuanya menekankan pada sikap kekuasaan, kedisiplinan dan kepatuhan

yang berlebihan. Demikian pula halnya dengan pola asuh authoritative atau

demokratis menekankan sikap terbuka dari orang tua terhadap anak.

Sedangkan pola asuh neglectful, indulgent, children centered, permisif dan

laissez faire orang tua cenderung membiarkan atau tanpa ikut campur, bebas,

acuh tak acuh, apa yang dilakukan oleh anak diperbolehkan orang tua, orang

tua menuruti segala kemauan anak.

Menurut Erik Erikcson (2009) Salah satu aspek penting dalam hubungan

orang tua dan anak adalah pola asuh. Pola asuh bertujuan untuk

mempertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan kesehatannya,

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

45

memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan

tahapan perkembangan dan mendorong peningkatan kemampuan berperilaku

sesuai dengan nilai agama danbudaya yang diyakini. Ada 3 bentuk pola asuh

orang tua:

1. Pola asuh otoriter

Pola asuh otoriter adalah suatu gaya pengasuhan yang membatasi

dan menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua. Orang tua

yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri-ciri bersifat kaku,

tegas, suka menghukum dan kurang kasih sayang. Orang tua memaksa

anak-anak untuk patuh terhadap nilai-nilai dan peraturan mereka. Dalam

memberikan peraturan itu tidak ada usaha untuk menjelaskan kepada anak

mengapa ia harus patuh pada peraturan itu. Anak dari orang tua yang

otoriter cenderung bersifat curiga pada orang lain dan merasa tidak

bahagia dengan dirinya sendiri merasa canggung berhubungan dengan

teman sebaya, canggung menyesuaikan diri pada awal masuk sekolah dan

memiliki prestasi belajar yang rendah dibandingkan dengan anak-anak

lain. Anak cenderung agresif, impulsive, pemurung dan kurang mampu

konsentrasi.

2. Pola asuh demokratis

Pola asuh demokratis adalah salah satu gaya pengasuhan yang

memperlihatkan pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku anak-anak,

tetapi mereka juga bersikap responsif. Orang tua yang demokratis

memandang sama kewajiban dan hak antara anak dan orang tua. Secara

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

46

bertahap orang tua memberikan tanggung jawab bagi anak anaknya

terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka dewasa. Orang

tua yang demokratis memperlakukan anak sesuai dengan tingkat-tingkat

perkembangan anak dan dapat memperhatikan serta mempertimbangkan

keinginan anak. Pola asuh yang ideal atau pola asuh yang baik adalah pola

asuh demokratis dimana anak mempunyai hak untuk mengetahui mengapa

peraturan-peraturan dibuat dan memperoleh kesempatan mengemukakan

pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak adil.

Dampak perkembangan psikologi anak dengan pola asuh demokratis yaitu

rasa harga diri yang tinggi, memiliki moral yang standar, kematangan

psikologisosial, kemandirian dan mampu bergaul dengan teman

sebayanya.

3. Pola asuh permisif

Pola asuh yang permisif, anak dituntut sedikit sekali tanggung jawab

tetapi mempunyai hak yang sama seperti orang dewasa. Anak diberi

kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri dan orang tua tidak banyak

mengatur anaknya. Dalam pola asuh ini diasosiasikan dengan kurangnya

kemampuan pengendalian diri anak karena orang tua yang cenderung

membiarkan anak mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan dan

akibatnya anak selalu mengharap semua keinginannya dituruti. Dalam

pola asuh permisif, bimbingan terhadap anak kurang dan semua keputusan

lebih banyak dibuat oleh anak daripada orang tuanya. Dalam pola asuh ini,

sikap acceptance orang tua tinggi namun tingkat kontrolnya rendah.

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

47

Dampak perkembangan terhadap psikologi anak yaitu kurang percaya

diri, pengendalian diri buruk,rasa harga diri yang rendah.

K. Faktor Lingkungan Sekolah

1. Pengertian Lingkungan Sekolah

Sekolah merupakan pendidikan formal, karena pendidikan tersebut

diselenggarakan dalam secara terstruktur, berjenjang, dan diselenggarakan

sesuai dengan peraturan-peraturan pemerintah sebagaimana dijelaskan

dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional pasal 1 yang berbunyi pendidikan nasional adalah jalur

pendidikan yang berstruktur dan berjenjang, yang terdiri atas pendidikan

dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, mengenai pengertian

sekolah ada beberapa ahli yang mengungkapkan tentang pengertian

sekolah.

Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimis dan harapan yang

tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah dan kegiatan-kegiatan yang

berpusat pada siswa merupakan iklim sekolah yang dapat menumbuhkan

semangat belajar siswa. Slameto (2003). Lingkungan belajar di sekolah

merupakan situasi yang turut serta mempengaruhi kegiatan belajar

individu.

2. Faktor-faktor Lingkungan Sekolah

Sebagaimana halnya dengan keluarga dan institusi sosial lainya,

sekolah merupakan salah satu institusi sosial yang mempengaruhi proses

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

48

sosialisasi dan berfungsi mewariskan kebudayaan masyarakat kepada

anak, sekolah merupakan suatu sistem sosial yang mempunyai organisasi

dan pola relasi sosial diantara para anggota yang unik. Ini kita sebut

dengan kebudayaan sekolah. (Slameto, 2010).

Lingkungan belajar di sekolah merupakan situasi yang turut serta

mempengaruhi kegiatan individu menurut Slameto (2010) faktor-faktor

sekolah yang mempengaruhi belajar antara lain:

a. Metode Mengajar

Metode mengajar adalah suatu cara/jalan yang harus dilalui di dalam

mengajar. Metode mengajar yang kurang baik dapat mempengaruhi

belajar siswa yang tidak baik pula. Demikian sebaliknya. Oleh sebab

itu agar siswa dapat belajar dengan baik, maka metode mengajar harus

diusahakan yang setepat, efisien, dan efektif mungkin.

b. Kurikulum

Kurikulum adalah sejumlah kegiatan yang diberikan kepada siswa.

Kegiatan itu sebagian besar adalah menyajikan bahan pelajaran agar

siswa menerima, menguasai dan mengembangkan pelajaran itu.

Jelaslah bahan pelajaran itu mempengaruhi belajar siswa.

c. Relasi guru dengan siswa

Guru yang relasi dengan siswa baik, maka siswa akan menyukai

gurunya, juga suka mata pelajarannya, sedangkan guru yang kurang

berinteraksi dengan siswa secara akrab, menyebabkan proses belajar

mengajar itu kurang lancar.

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

49

d. Relasi siswa dengan siswa

Relasi siswa yang satu dengan siwa yang lain juga akan mempengaruhi

belajar. Relasi yang baik akan memberikan pengaruh positif terhadap

belajar siswa.

e. Disiplin sekolah

Agar siswa belajar lebih maju, siswa harus disiplin di dalam belajar

baik di sekolah, di rumah dan di perpustakaan. Agar siswa disiplin

haruslah guru beserta staf yang lain disiplin.

f. Alat Pelajaran

Mengusahakan alat pelajaran yang baik dan lengkap adalah perlu agar

guru dapat mengajar dengan baik, sehingga siswa dapat menerima

pelajaran dengan baik serta dapat belajar dengan baik pula.

g. Waktu Sekolah

Yaitu waktu terjadinya proses belajar mengajar di sekolah, waktu

dapat pagi hari, siang, sore/malam hari. Di mana siswa melakasanakan

pembelajaran di sekolah, biasanya dilakukan pada pagi sampai dengan

siang hari.

h. Standar pelajaran di atas ukuran

Guru yang menuntut penguasaan materi harus sesuai dengan

kemampuan siswa masing-masing yang penting tujuan yang telah

dirumuskan dapat tercapai.

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

50

i. Keadaan gedung sekolah

Dengan jumlah siswa yang banyak serta variasi karakteristik mereka

masing-masing menuntut keadaan gedung harus memadai di dalam

setiap kelas.

j. Metode Belajar

Banyak siswa melaksanakan cara belajar yang salah. Dalam hal perlu

pembinaan dari guru. Maka perlu belajar setiap hari secara teratur,

membagi waktu dengan baik, memilih cara belajar dengan tepat dan

cukup istirahat dapat meningkatkan hasil belajar.

k. Tugas rumah Waktu belajar terutama adalah di sekolah, di samping

untuk belajar waktu di rumah biarlah digunakan untuk kegiatan yang

lain. Maka diharapkan guru jangan terlalu banyak memberi tugas yang

harus dikerjakan di rumah, sehingga mereka tidak jenuh dengan

kegiatan belajarnya dan anak masih mempunyai waktu yang dapat

digunakan untuk kegiatan yang lain.

Menurut Syah (2005), lingkungan sekolah terdiri dari dua macam,

yaitu lingkungan sosial dan lingkungan nonsosial. Lingkungan sosial

sekolah seperti para guru, para tenaga pendidikan, dan teman sekelas.

Lingkungan nonsosial sekolah meliputi gedung sekolah, alat-alat belajar,

cuaca, dan sebagainya. Menurut Syaodih (2009) lingkungan sekolah

meliputi:

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

51

a. Lingkungan fisik seperti sarana dan prasarana belajar, sumber-sumber

belajar dan media belajar.

b. Lingkungan sosial menyangkut hubungan siswa dengan teman

temanya, guru-gurunya dan staf yang lain.

c. Lingkungan akademis yaitu suasana sekolah, pelaksanaan kegiatan

belajar mengajar dan kegiatan ekstra kulikuler. Berdasarkan uraian di

atas, maka indikator lingkungan sekolah dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Keadaan gedung sekolah

2. Metode mengajar

3. Relasi siswa dengan siswa

4. Relasi guru dengan siswa

5. Disiplin sekolah

Pengambilan 5 indikator dari 6 indikator didasarkan dari

pertimbangan jumlah indikator yang disesuaikan dengan kemampuan

peneliti dan waktu pelaksanaan penelitian. Pemilihan indikator dari teori

Slameto tersebut disederhanakan agar mudah dijabarkan, mudah

dimengerti dan mempunyai maksud yang hampir sama dengan indikator

dari teori lain yakni teori Syaodih.

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

52

L. Kerangka Teori Penelitian

Kerangka teori dalam penelitian ini disusun dari berbagai sumber yaitu

Sukmadinata (2004), Erikcson (2009). Kerangka teori dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

Penyebab perilaku agresif:

Factor psikologis

Factor social

Factor lingkungan

Factor situasional

Factor biologis

Factor genetik

Ciri-ciri perlaku agresif:

Perilaku menyerang

Perilaku menyakiti

Perilaku yang tidak di

inginkan orang lain

Perilaku melanggar

norma-norma social

Sikap bermusuhan

terhadap orang lain

Perilaku agresif yang di

pelajari

Tahap perkembangan anak

Percaya vs tidak percaya

Otonomi vs Ragu-ragu/Malu

Inisiatif vs Merasa Bersalah

Industri vs Inferior

Identitas vs Bingung Peran

Intimasi vs Isolasi

Generativitas vs Stagnasi

Integritas vs Putus Asa

Factor lingkungan sekolah

Lingkungan fisik

Lingkungan social

Lingkungan akademik

Pola asuh orang tua

Pola asuh otoriter

Pola asuh demokratis

Pola asuh permisif

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017

53

M. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep merupakan focus penelitian yang akan diteliti,

kerangka konsep ini meliputi variable bebas (independen) dan variable terikat

(dependen). Kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Variable independen Variable

dependen

N. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep diatas, maka peneliti

menggunakan hipotesis kerja dalam penelitian yaitu ada hubungan antara pola

asuh orang tua dan faktor lingkungan sekolah terhadap perilaku agresif pada

anak usia sekolah.

Pola asuh orang tua

Pola asuh otoriter

Pola asuh demokratis

Pola asuh permisif

Ciri-ciri perlaku agresif:

Perilaku menyerang

Perilaku menyakiti

Perilaku yang tidak di

inginkan orang lain

Perilaku melanggar

norma-norma sosial

Sikap bermusuhan

terhadap orang lain

Perilaku agresif yang di

pelajari

Factor lingkungan sekolah

Lingkungan fisik

Lingkungan social

Lingkungan akademik

Hubungan Pola Asuh..., Itsna Maftuhatul Hammi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017