bab ii tinjauan pustaka a. altruisme 1. pengertian...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Altruisme
1. Pengertian Altruisme
Myers (2012) mendefinisikan altruisme adalah motif untuk
meningkatkan kesejahteraan orang lain tanpa memikirkan kepentingan diri
sendiri. Altruisme adalah kebalikan dari egoisme. Orang yang altruis peduli
dan mau membantu orang lain meskipun tidak ada keuntungan yang
ditawarkan atau tidak mengharapkan imbalan. Pendapat lain dikemukakan oleh
Baron & Byrne (2005) yang menyatakan bahwa altruisme yang sejati adalah
kepedulian yang tidak mementingkan diri sendiri melainkan untuk kebaikan
orang lain. Selain itu, Santrock (2003) mendefinisikan altruisme adalah minat
yang tidak mementingkan dirinya sendiri untuk menolong orang lain.
Altruisme diartikan oleh Aronson, Wilson, & Alkert (Taufik, 2012)
sebagai pertolongan yang diberikan secara murni, tulus, tanpa mengharap
balasan apapun dari orang lain dan tidak memberikan manfaat apapun untuk
dirinya. Selain itu, Schroeder, Penner, Dovidio, dan Pilavin (Taylor, dkk.,
2009) menyatakan bahwa altruisme adalah tidakan sukarela untuk membantu
orang lain tanpa pamrih, atau sekedar ingin beramal baik.
Comte (Taufik, 2012) menjelaskan bahwa altruisme berasal dari kata
“alter” yang artinya “orang lain”. Secara bahasa altruisme adalah perbuatan
yang berorientasi pada kebaikan orang lain. Comte membedakan antara
12
perilaku menolong yang altruis dengan perilaku menolong yang egois.
Menurutnya dalam memberikan pertolongan, manusia memiliki dua motif,
yaitu altruis dan egois. Perilaku menolong yang egois tujuannya mencari
manfaat untuk diri sendiri (penolong) atau mengambil manfaat dari orang yang
ditolong, sedangkan perilaku menolong yang altruis yaitu perilaku menolong
yang ditujukan semata-mata untuk kebaikan orang yang ditolong, selanjutnya
Comte menyebut perilaku menolong ini dengan altruisme. Sementara Batson
(Taufik, 2012) mengartikan altruisme yang tidak jauh berbeda dengan Comte
yaitu dorongan menolong dengan tujuan utama semata-mata untuk
meningkatkan kesejahteraan orang lain, sedangkan egoisme yaitu dorongan
menolong dengan tujuan semata-mata untuk kepentingan dirinya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa altruisme
merupakan motif untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain tanpa
memikirkan kepentingan diri sendiri. Orang yang altruis peduli dan mau
membantu orang lain meskipun tidak ada keuntungan yang ditawarkan atau
tidak mengharapkan imbalan.
2. Aspek-aspek Altruisme
Myers (2012) menjelaskan bahwa altruisme memiliki 3 aspek, antara
lain:
13
a. Memberikan perhatian terhadap orang lain
Seseorang memberikan bantuan kepada orang lain karena adanya rasa
kasih sayang, pengabdian serta kesetiaan yang diberikan, tanpa ada
keinginan untuk memperoleh imbalan untuk dirinya sendiri.
b. Membantu orang lain
Seseorang yang memberikan bantuan kepada orang lain disadari oleh
keinginan yang tulus dan dari hati nuraninya, tanpa ada yang meminta
ataupun mempengaruhinya untuk menolong orang lain.
c. Meletakkan kepentingan orang lain diatas kepentingan diri sendiri
Dalam memberikan bantuan kepada orang lain, kepentingan yang
bersifat pribadi akan dikesampingkan dan lebih mementingkan kepentingan
orang lain.
Sementara itu Leeds (Taufik, 2012) menjelaskan bahwa suatu tindakan
pertolongan dapat dikatakan altruisme jika memenuhi kriteria, yaitu:
a. Memberikan manfaat bagi orang yang ditolong atau berorientasi untuk
kebaikan orang yang akan ditolong, karena bisa jadi seseorang berniat
menolong, namun pertolongan yang diberikan tidak disukai atau dianggap
kurang baik oleh orang yang ditolong.
b. Pertolongan yang telah diberikan berproses dari empati atau simpati yang
selanjutnya menimbulkan keinginan untuk menolong, sehingga tindakannya
itu dilakukan bukan karena paksaan melainkan secara sukarela diinginkan
oleh yang bersangkutan.
14
c. Hasil akhir dari tindakan itu bukan untuk kepentingan diri sendiri, atau tidak
ada maksud-maksud lain yang bertujuan untuk kepentingan si penolong.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek
altruisme menurut Myers meliputi memberikan perhatian kepada orang lain,
membantu orang lain, dan meletakkan kepentingan orang lain diatas
kepentingan diri sendiri. Sementara itu menurut Leeds aspek-aspek altruisme
meliputi memberikan manfaat bagi orang yang ditolong atau berorientasi untuk
kebaikan orang yang akan ditolong, pertolongan yang diberikan berproses dari
empati, dan hasil akhir dari tindakan itu bukan untuk kepentingan diri sendiri.
Pada penelitian ini, peneliti memilih aspek-aspek altruisme dari Myers,
karena aspek yang dibuat lebih detail sehingga memudahkan peneliti dalam
pembuatan instrumen pengumpulan data. Selain itu, teori ini juga telah
digunakan dalam beberapa penelitian terdahulu seperti penelitian yang
dilakukan oleh Afivah (2016).
3. Faktor-faktor Altruisme
Menurut Myers (2012) ada beberapa faktor yang mempengaruhi
altruisme yaitu faktor internal, faktor situasional, dan faktor personal. Faktor
internal meliputi imbalan (reward) dan empati. Faktor situasional meliputi
jumlah pengamat, membantu ketika orang lain juga membantu (ada model),
tekanan waktu, dan adanya kesamaan. Faktor personal meliputi sifat-sifat
kepribadian, gender, dan religiusitas. Faktor-faktor yang mempengaruhi
altruisme akan dijelaskan secara rinci di bawah ini:
15
a. Faktor Internal
1) Imbalan (reward)
Imbalan (reward) yang memotivasi untuk menolong bisa jadi
bersifat eksternal ataupun internal. Imbalan yang bersifat eksternal yaitu
kita memberi untuk mendapatkan sesuatu. Biasanya seseorang lebih suka
menolong orang yang menarik bagi dirinya (Krebs, dalam Myers, 2012).
Misalnya ketika sebuah perusahaan menyumbangkan uang agar
mendapatkan kesan yang baik. Kemudian contoh lainnya yaitu ketika
seseorang menawarkan tumpangan berharap akan mendapatkan
penghargaan atau agar bisa bersahabat dengan orang yang diberikan
tumpangan tersebut. Lalu imbalan yang bersifat internal yaitu ketika
memberikan pertolongan kepada orang lain akan merasa bahwa diri kita
berharga, seseorang akan merasa baik setelah melakukan kebaikan.
2) Empati
Empati adalah pengalaman yang mewakili perasaan orang lain,
menempatkan diri sendiri pada orang lain. Ketika kita merasakan empati,
kita tidak berfokus terlalu banyak kepada tekanan yang kita rasakan
sendiri, melainkan berfokus kepada mereka yang mengalami
penderitaan. Batson (dalam Howe, 2013) menemukan bahwa ketika
tingkat perasaan empati sangat tinggi, orang-orang akan cenderung
melakukan tindakan altruisme, bahkan dalam situasi-situasi yang relatif
mudah untuk tidak terlibat atau tidak merespon sama sekali. Kepedulian
empatik muncul ketika seseorang menyadari bahwa orang lain
16
membutuhkan bantuan, sehingga terdorong melakukan sesuatu untuk
menolong tanpa memperhitungkan keuntungan. Sejalan dengan Batson,
Temuan lain menunjukkan bahwa altruisme sejati memang ada, dengan
tergugahnya empati mereka, orang akan membantu meskipun mereka
percaya bahwa tidak akan ada satu orang pun yang tahu mengenai
perilaku menolong yang mereka lakukan. Kepedulian mereka akan
berlanjut hingga seseorang telah terbantu (Fultz dkk., dalam Myers,
2012). Maka dengan tergugahnya empati, banyak orang yang termotivasi
untuk membantu orang lain yang sedang membutuhkan atau tertekan,
bahkan ketika bantuan tersebut tanpa menyebutkan nama (Myers, 2012).
b. Faktor Situasional
1) Jumlah Pengamat
Latane dan Darley (Myers, 2012) menyimpulkan bahwa ketika
jumlah pengamat mengalami peningkatan, masing-masing pengamat
tersebut memiliki kemungkinan yang semakin kecil untuk mengetahui
apa yang sedang terjadi, memiliki kecenderungan yang lebih kecil untuk
menginterpretasikan apa yang sedang terjadi sebagai suatu masalah atau
suatu kondisi darurat, dan memiliki kecenderungan yang lebih kecil
untuk berasumsi bahwa mereka bertanggung jawab untuk mengambil
suatu tindakan.
17
2) Membantu Ketika Orang Lain Juga Membantu (ada model)
Salah satu kondisi yang mempengaruhi seseorang cenderung akan
memberikan bantuan adalah ketika baru saja mengobservasi ada orang
lain yang juga memberikan bantuan. Bryan dan Mary Ann Test (Myers,
2012) menemukan bahwa para pengemudi di Los Angeles lebih
cenderung menawarkan bantuan kepada seorang pengemudi wanita yang
mengalami kempes ban jika seperempat mil sebelumnya telah melihat
seseorang membantu untuk mengganti ban.
3) Tekanan Waktu
Kondisi yang dapat meningkatkan perilaku menolong adalah
memiliki setidaknya cukup waktu luang, seseorang yang sedang terburu-
buru cenderung tidak memberikan pertolongan. Hal ini didukung oleh
temuan Darley dan Batson (Myers, 2012) bahwa seseorang yang sedang
tidak terburu-buru mungkin akan menawarkan bantuan kepada seseorang
yang sedang mebutuhkan, sedangkan orang yang sedang terburu-buru
cenderung tidak menawarkan bantuan kepada seseorang yang sedang
membutuhkan.
4) Adanya Kesamaan
Kesamaan erat kaitannya dengan menyukai, dan menyukai terkait
erat dengan membantu, kita akan lebih empati dan cenderung membantu
seseorang yang sama atau mirip dengan kita (Miller dkk., dalam Myers,
2012). Bias kesamaan ini terjadi pada tampilan luar ataupun
18
kepercayaan. Seseorang cenderung membantu orang lain yang memiliki
kesamaan atau kemiripan dengan dirinya.
c. Faktor Personal
1) Sifat-sifat Kepribadian
Para peneliti kepribadian telah melakukan penelitian bagaimana
sifat kepribadian dalam mempengaruhi altruisme. Pertama,
ditemukannya perbedaan individual dalam perilaku menolong dan
terlihat bahwa perbedaan-perbedaan tersebut bertahan sepanjang waktu
dan dikenali oleh rekan-rekan dari orang tersebut (Hampson dkk., dalam
Myers, 2012). Kedua, para peneliti menemukan bahwa seseorang yang
memiliki emosi positif yang tinggi, empati, dan efikasi diri adalah orang
yang yang paling besar kemungkinan memiliki perhatian dan bersedia
memberikan bantuan (Einsberg dkk., dalam Myers, 2012). Ketiga,
kepribadian mempengaruhi bagaimana orang tertentu bereaksi terhadap
situasi-situasi tertentu Carlo dkk., dalam Myers 2012). Seseorang yang
memiliki pemantauan diri yang tinggi akan bergantung pada harapan
orang lain, sehingga akan cenderung lebih penolong karena berpikir
bahwa perilaku menolong akan mendapatkan imbalan secara sosial
(White & Gerstein, dalam Myers, 2012).
2) Jenis Kelamin (Gender)
Alice Eagly dan Maureen Crowly (dalam Myers, 2012)
menjelaskan bahwa ketika menghadapi situasi-situasi yang berpotensi
menimbulkan bahaya ketika ada seseorang yang mebutuhkan bantuan
19
para pria lebih sering memberikan bantuan pada situasi seperti ini.
Sedangkan pada situasi-situasi yang lebih aman, para wanita cenderung
memberikan bantuan pada situasi-situasi tersebut. Oleh karena itu,
perbedaan gender ini tergantung pada situasi yang ada. Jika dihadapkan
pada masalah seorang teman, para wanita akan merespons dengan empati
yang lebih besar dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menolong
(George dkk., dalam Myers, 2012).
3) Religiusitas
Batson (dalam Zhao, 2012) mengatakan bahwa religiusitas
merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi altruisme.
Semua ajaran-ajaran agama besar secara eksplisit mendorong altruisme,
oleh karena itu semakin kuat keyakinan agama seseorang maka semakin
tinggi altruisme seseorang. Sejalan dengan Batson, Steefen & Masters
(dalam Myers, 2012) mengatakan bahwa empat agama terbesar di dunia
yaitu Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha semuanya mengajarkan tentang
kasih sayang dan beramal. Dalam semua agama-agama ini, menjadikan
altruisme sebagai salah satu tujuan yang penting bahkan menjadi yang
utama. Harapannya adalah agama harus membantu setiap individu untuk
mencapai altruisme (Midlarsky, 2012). Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Shah & Ali (2012) sebagian besar agama
mendorong adanya altruisme. Agama dapat membawa seseorang untuk
berperilaku tanpa pamrih, berbelas kasih, dan bermurah hati. Maka
melalui agama dapat menumbuhka altruisme.
20
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor- faktor yang
mempengaruhi altruisme menurut Myers yaitu faktor internal, faktor
situasional, dan faktor personal. Faktor iternal meliputi imbalan (reward) dan
empati. Faktor situasional meliputi jumlah pengamat, membantu ketika orang
lain juga membantu (ada model), tekanan waktu, dan adanya kesamaan. Faktor
personal meliputi sifat-sifat kepribadian, gender, dan religiusitas.
Pada penelitian ini peneliti memilih faktor empati dan faktor religiusitas
sebagai variabel bebas dalam penelitian. Faktor empati dan faktor religiusitas
keduanya merupakan faktor dari dalam, faktor dari dalam ini dipilih
karena altruisme muncul karena adanya alasan internal di dalam diri sesorang yang
menimbulkan perasaan yang positif sehingga dapat memunculkan tindakan untuk
menolong orang lain. Alasan internal tersebut tidak akan memunculkan egoisme
(Waal, 2008). Egoisme artinya sikap yang mementingkan dirinya sendiri daripada
kesejahteraan orang lain (Suhanda, 2017). Peneliti memilih faktor empati karena
menurut pendapat Batson (dalam Howe, 2013) menemukan bahwa semakin tinggi
tingkat empati seseorang, maka akan cenderung melakukan tindakan altruisme.
Kepedulian empatik muncul ketika seseorang menyadari bahwa orang lain
membutuhkan bantuan, sehingga terdorong melakukan sesuatu untuk menolong
tanpa memperhitungkan keuntung. Peneliti memilih faktor religiusitas karena
merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi altruisme. Semua ajaran-
ajaran agama besar secara eksplisit mendorong altruisme, oleh karena itu semakin
kuat keyakinan agama seseorang maka semakin tinggi altruisme seseorang (Batson,
Schoenrade, & Ventis dalam Zhao, 2012).
21
B. Empati
1. Pengertian Empati
Empati merupakan kemampuan seseorang untuk mengenal dan
memahami emosi, pikiran serta sikap orang lain (Davis, 2014). Selain itu,
Baron dan Byrne (2005) menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan
untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba
menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain.
Cohen (dalam Howe, 2013) mendefinisikan empati sebagai kemampuan
untuk mengidentifikasi apa yang sedang dipikirkan atau dirasakan oleh orang
lain dalam rangka untuk merespons pikiran dan perasaan mereka dengan sikap
yang tepat. Selain itu, Allport (dalam Taufik, 2012) mendefinisikan empati
sebagai perubahan imajinasi seseorang ke dalam pikiran, perasaan, dan
perilaku orang lain. Taufik (2012) berpendapat bahwa empati merupakan suatu
aktivitas untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang
lain, serta apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh yang bersangkutan
(observer, perceiver) terhadap kondisi yang sedang dialami orang lain, tanpa
yang bersangkutan kehilangan kontrol dirinya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa empati merupakan
kemampuan seseorang untuk mengenal dan memahami emosi, pikiran, serta
sikap orang lain.
22
2. Aspek-Aspek Empati
Davis (2014) mengemukakan bahwa secara global ada dua aspek dalam
empati, yaitu aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif terdiri dari
pengambilan perspektif (perspective taking) dan Imajinasi (fantacy).
Sedangkan aspek afektif terdiri dari perhatian empatik (empathic Concern) dan
distress pribadi (personal distress). Keempat aspek tersebut mempunyai arti
sebagai berikut:
a. Aspek Kognitif
1) Pengambilan Perspektif (Perspective Taking)
Perspective-taking didefinisikan oleh Davis sebagai
kecenderungan mengadopsi pandangan-pandangan psikologis orang lain
secara spontan. Mead (dalam Davis, 1983) menekankan pentingnya
kemampuan dalam pengambilan perspektif untuk perilaku non
egosentrik, yaitu kemampuan yang tidak berorientasi pada kepentingan
sendiri, tetapi pada kepentingan orang lain. Pengambilan perspektif
dalam empati meliputi proses self identification dan self positioning. Self
identification yaitu mengarahkan individu untuk menyentuh kesadaran
dirinya sendiri melalui perspektif yang dimiliki oleh orang lain,
sementara self positioning yaitu memandu individu untuk memposisikan
diri pada situasi dan kondisi orang lain untuk kemudian membantu
penyelesaian masalahnya.
23
2) Imajinasi (Fantasy)
Kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara
imajinatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakter khayal
(membayangkan) dalam buku, film atau cerita yang dibaca dan
ditontonnya. Fantacy merupakan aspek yang berpengaruh pada reaksi
emosi terhadap orang lain dan menimbulkan perilaku menolong.
b. Aspek Afektif
1) Perhatian Empatik (Empathic Concern)
Perasaan yang berorientasi pada orang lain berupa simpati,
kasihan, peduli dan perhatian terhadap orang lain yang mengalami
kesulitan. Aspek ini berhubungan secara positif dengan reaksi emosional,
perilaku menolong pada orang lain dan merupakan cerminan dari
perasaan kehangatan yang erat kaitannya dengan kepekaan dan
kepedulian terhadap orang lain. Perhatian yang muncul pada seseorang
mencerminkan pula tingkat kematangan emosi dan empati dari orang
tersebut. Seseorang yang telah matang tingkat emosinya memiliki
kemungkinan yang lebih besar pula dalam mengendalikan empatinya
dengan baik. Perhatian yang diberikan bisa dalam bentuk implisit
maupun eksplisit, tergantung bentuk situasi dan kondisinya.
2) Distress Pribadi (Personal Distress)
Distress pribadi atau personal distress yaitu orientasi seseorang
terhadap dirinya sendiri yang berupa perasaan cemas dan kegelisahan
dalam menghadapi setting (situasi) interpersonal yang tidak
24
menyenangkan. Personal Distress yang tinggi membuat kemampuan
sosialisai seseorang menjadi rendah. Sears (dalam Taufik, 2012)
mendefinisikan personal distress sebagai pengendalian reaksi pribadi
terhadap penderitaan orang lain, yang meliputi perasaan terkejut, takut,
cemas, prihatin, dan tidak berdaya (lebih terfokus pada diri sendiri).
Menurut Baron dan Byrne (2005) menyatakan bahwa empati terdiri dari
2 aspek yaitu:
1) Kognitif
Individu yang memiliki kemampuan empati dapat memahami apa
yang orang lain rasakan dan mengapa hal itu dapat terjadi pada orang
tersebut. Kognisi yang relevan termasuk kemampuan untuk
mempertimbangkan sudut pandang orang lain, terkadang disebut sebagai
pengambilan perspektif (perspective taking), mampu untuk menempatkan
diri dalam posisi orang lain. Kemampuan untuk merasa empati pada
karakter fiktif. Penonton yang merasa berempati akan mengalami
kesedihan, ketakutan, atau kegembiraan, ketika emosi-emosi ini dialami
oleh karakter dalam cerita.
2) Afektif
Individu yang berempati merasakan apa yang dirasakan orang lain. Bahkan
anak-anak yang berusia 2 bulan tampak jelas dapat merasakan stress sebagai
respon dari stress yang dirasakan orang lain (Brothers, dalam Baron &
Byrne, 2005). Aspek ini tidak hanya merasa simpati terhadap penderitaan
orang lain, tetapi juga mengekspresikan kepedulian dan mencoba untuk
25
melakukan sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka. Misalnya,
individu yang memiliki empati yang tinggi akan lebih termotivasi untuk
menolong orang lain daripada mereka yang memiliki empati yang rendah
(Schlenker & Britt, dalam Baron & Byrne, 2005).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek empati
menurut Davis terbagi menjadi 2, yaitu: (a) aspek kognitif, terdiri dari
pengambilan perspektif dan imajinasi. (b) aspek afektif, terdiri dari perhatian
empatik dan distress pribadi. Aspek-aspek empati menurut Baron dan Byrne
yaitu aspek kognitif dan aspek afektif. Pada penelitian ini, peneliti memilih
aspek-aspek yang dikemukakan oleh Davis (2014) karena aspek yang dibuat
lebih detail sehingga memudahkan peneliti dalam membuat instrumen
pengumpulan data. Selain itu, teori ini juga telah digunakan dalam beberapa
penelitian terdahulu seperti penelitian yang dilakukan oleh Satoto (2014) dan
Fatimah (2015).
C. Religiusitas
1. Pengertian Religiusitas
Religiusitas berasal dari kata religi berasal dari bahasa Latin yaitu
“religio” yang akar katanya adalah religure yang artinya adalah mengikat.
Maka dari itu mengandung makna bahwa religi atau agama pada umumnya
memiliki aturan dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh
pemeluknya. Semua itu berfungsi untuk mengikat seseorang atau sekelompok
orang dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan sekitarnya
26
(Gazalba dalam Ghufron & Risnawati, 2016). Adapun pengertian agama
menurut Glock & Stark (dalam Ancok dan Suroso, 2011) adalah sistem simbol,
sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang
semua itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling
bermakna (Glock & Stark dalam Ancok & Suroso, 2011).
Berdasarkan istilah agama yang telah dijelaskan di atas, kemudian
muncul apa yang dinamakan religiusitas. Walaupun berakar kata sama, namun
dalam penggunaan istilah religiusitas mempunyai makna yang berbeda dengan
religi atau agama. Menurut Mangunjaya (dalam Jalaluddin, 2016) agama lebih
menunjukkan kepada kelembagaan yang mengatur tata cara beribadah manusia
kepada Tuhan, sedangkan religiusitas lebih melihat kepada aspek yang telah
dihayati di dalam lubuk hati manusia.
Ancok dan Suroso (2011) mendefinisikan religiusitas sebagai
keberagaman yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang
bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah),
tapi juga melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural.
Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat
oleh mata, tapi juga aktivitas yang tak tampak dan terjadi di dalam hati
seseorang. Oleh karena itu, keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai
macam sisi atau dimensi.
Ghufron dan Risnawita (2016) menjelaskan bahwa religiusitas adalah
tingkat penghayatan dan internalisasi ajaran agama sehingga berpengaruh
dalam dalam segala tindakan dan pandangan hidup. Selain itu Jabrohim (dalam
27
Jalaluddin, 2016) menjelaskan bahwa dalam pendekatan psikologi, religiusitas
merupakan konstruk psikologi dan agama yang tidak terpisahkan. Religiusitas
adalah inti dari kualitas hidup manusia, dan harus dimaknakan sebagai rasa
rindu, rasa ingin bersatu, rasa ingin berada dengan sesuatu yang abstrak.
Religiusitas mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi
manusia dan diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia (Nashori,
2008). Selain itu, Norris dan Inglehart (dalam Wulandari, 2017)
mendefinisikan religiusitas yaitu sebagai nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan
praktik-praktik agama yang ada dalam suatu masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas sebagai
keberagaman yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang
bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah),
tapi juga melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural.
Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat
oleh mata, tapi juga aktivitas yang tak tampak dan terjadi di dalam hati
seseorang. Oleh karena itu, keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai
macam sisi atau dimensi.
2. Dimensi-dimensi Religiusitas
Menurut Glock & Stark (dalam Ancok & Suroso, 2011) dimensi-dimensi
religiusitas terdiri dari lima macam, yaitu:
28
a. Dimensi Keyakinan (Religious Belief/ The Ideological Dimensions)
Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius
berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran
ajaran-ajaran tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat
kepercayaan dimana para penganut diharapkan diharapkan akan taat.
Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak
hanya diantara agama-agama, tetapi seringkali juga diantara tradisi-tradisi
dalam agama yang sama.
b. Dimensi Ritualistik (Religious Practice/ The Ritualistic Dimensions)
Dimensi ritualistik mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-
hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama
yang dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini terdiri dari dua kelas penting
yaitu ritual dan ketaatan.
c. Dimensi Pengalaman atau Eksperiensial (Religious e. Feeling/ The
Experiential Dimensions)
Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama
mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika
dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu
akan mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan
terakhir (kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan
kekuatas supernatural). Seperti yang telah dikemukakan bahwa dimensi ini
berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-
persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh
29
suatu kelompok keagamaan (atau suatu masyarakat) yang melihat
komunikasi walaupun kecil dalam suatu esensi ketuhanan, yaitu dengan
Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas transendental.
d. Dimensi Pengetahuan (Religious Knowledge/ The Intellectual Dimensions)
Dimensi ini mengacu pada harapan bahwa orang-orang yang
beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai
dasar-dasar keyakinan, tata cara dalam upacara keagamaan, kitab suci dan
tradisi-tradisi. Dimensi pengetahuan dan keyakinan saling berkaitan satu
sama lain, karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi
penerimanya. Walaupun demikian, keyakinan tidak perlu diikuti oleh syarat
pengetahuan, juga semua pengetahuan agama tidak selalu bersandar pada
keyakinan. Lebih jauh, seseorang dapat berkeyakinan kuat tanpa benar-
benar memahami agamanya, atau kepercayaan bisa kuat atas dasar
pengetahuan yang amat sedikit.
e. Dimensi Pengamalan atau Konsekuensi (Religious Effect/ The
Consequential Dimensions)
Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan
keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke
hari. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya
seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak
sepenuhnya hanya sebatas mana konsekuensi-konsekuensi agama
merupakan bagian dari komitmen keagamaan atau semata-mata berasal dari
agama.
30
Menurut Ancok dan Suroso (2011) dengan mengacu pada dimensi
religiusitas dari Glock dan Stark, religiusitas Islam meliputi lima dimensi,
yaitu:
a. Dimensi keyakinan atau akidah Islam
Dimensi ini menunjukkan seberapa jauh tingkat keyakinan seorang
muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya, terutama terhadap
ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik. Di dalam isi dimensi
akidah menyangkut keyakinan tentang Allah, para malaikat, Nabi atau
Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan qadar.
b. Dimensi peribadatan atau syari’ah (ibadah)
Dimensi ini menunjukkan sejauh mana seorang muslim dalam
menjalankan kewajibannya untuk mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual
sebagaimana yang dianjurkan oleh agamanya. Di dalam dimensi
peribadatan menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat, membaca Al-
Qur’an, berdoa, zikir, haji, ibadah kurban, iktikaf, dan sebagainya.
c. Dimensi pengamalan (akhlak)
Dimensi ini menunjuk seberapa tingkatan seorang muslim berperilaku
dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi
dengan dunianya, terutama dengan manusia lain. Di dalam dimensi ini
meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama, berderma, menegakkan
keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, tidak mencuri,
mematuhi norma-norma agama dalam berperilaku seksual, berjuang untuk
hidup sukses dalam beragama, dan sebagainya.
31
d. Dimensi penghayatan atau pengalaman (ihsan)
Dimensi ini menunjukkan seberapa jauh tingkat seorang muslim
dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman-
pengalaman religius. Di dalam keberislaman dimensi ini terwujud dalam
perasaan dekat atau akrab dengan Allah, perasaan cinta pada Allah, perasaan
doa-doa yang sering terkabul, perasaan tenteram bahagia, perasaan
tawakkal, perasaan khusuk ketika beribadah, dan sebagainya.
e. Dimensi pengetahuan atau ilmu
Dimensi ini menunjukkan seberapa tingkat pengetahuan dan
pemahaman seorang muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama
mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya, sebagaimana termuat dalam
kitab sucinya. Di dalam dimensi ini meliputi pengetahuan tentang isi Al-
Qur’an, pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun Islam dan
rukum iman), hukum dalam Islam, sejarah tentang Islam, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat lima
dimensi religiusitas menurut Glock dan Stark yaitu dimensi keyakinan, dimensi
ritualistik, dimensi pengalaman atau eksperiensial, dimensi pengetahuan, dan
dimensi pengamalan atau konsekuensi. Sementara itu menurut menurut Ancok
dan Suroso dengan mengacu pada dimensi religiusitas dari Glock dan Stark,
religiusitas Islam meliputi lima dimensi yaitu keyakinan atau akidah,
peribadatan atau syari’ah, pengamalan atau akhlak, penghayatan atau ihsan,
dan pengetahuan atau ilmu.
32
Pada penelitian ini, peneliti memilih dimensi-dimensi religiusitas yang
disebutkan oleh oleh Ancok dan Suroso (2011). Penggunaan dimensi tersebut
didasarkan pada pemilihan subjek dalam penelitian ini yang merupakan remaja
muslim, sehingga sesuai dengan pandangan Ancok dan Suroso yang
membatasi dimensi religiusitas untuk individu dengan keyakinan ajaran Islam.
Selain itu, teori ini telah digunakan dalam beberapa penelitian terdahulu seperti
penelitian yang telah dilakukan oleh Wulandari (2015) dan Nisa’ (2015).
D. Hubungan Antara Empati dengan Altruisme
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam
kehidupan. Artinya, manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya membutuhkan
bantuan orang lain dan alam atau tidak bisa hidup sendiri (Wanisyah, 2017).
Sebagai makhluk sosial yang membutuhkan pertolongan orang lain, maka sudah
semestinya kita juga secara sukarela memberikan pertolongan atau bantuan kepada
orang lain (Wulandari, 2017). Berkaitan dengan tolong menolong, salah satu contoh
dari tingkah laku tolong menolong yang paling jelas adalah altruisme
(Hermaningrum, 2017).
Myers (2012) mendefinisikan altruisme adalah motif untuk meningkatkan
kesejahteraan orang lain tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri. Altruisme
adalah kebalikan dari egoisme. Orang yang altrustis peduli dan mau membantu
orang lain meskipun tidak ada keuntungan yang ditawarkan atau tidak
mengharapkan imbalan. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi altruisme,
salah satunya adalah empati (Myers, 2012). Hoffman (dalam Taufik, 2012)
33
mengatakan bahwa dalam penelitian-penelitian sosial empati telah digunakan untuk
menjelaskan berbagai macam bentuk perilaku altruisme.
Selain itu, Batson (dalam Howe, 2013) menemukan bahwa ketika semakin
tinggi tingkat empati seseorang, maka akan cenderung melakukan tindakan
altruisme. Kepedulian empatik muncul ketika seseorang menyadari bahwa orang
lain membutuhkan bantuan, sehingga terdorong melakukan sesuatu untuk
menolong tanpa memperhitungkan keuntungan. Sejalan dengan Batson, Howe
(2013) mengatakan bahwa semakin kurang empati seseorang, semakin rendah
kemungkinannya untuk menjadi selfess dan other oriented. Sebaliknya, semakin
besar besar empati seseorang terhadap kesusahan yang dialami orang lain, maka
akan semakin besar kemungkinannya untuk membantu, dan lebih cepat
kemungkinannya akan menolong.
Davis (1983; 2014) mendefinisikan bahwa empati merupakan kemampuan
seseorang untuk mengenal dan memahami emosi, pikiran, serta sikap orang lain.
Empati memiliki 2 aspek yaitu: (1) Aspek kognitif, meliputi perspective taking dan
fantacy. (2) Aspek afektif (emosi), meliputi empathic concern dan personal distress
(Davis, 1983; 2014).
Aspek perspective taking merupakan kecenderungan seseorang untuk
mengadopsi pandangan-pandangan psikologis orang lain secara spontan. Menurut
theory of mind kunci pokok dari perspective taking terletak pada kemampuan
seseorang dalam mengoptimalkan pikirannya untuk memahami kondisi orang lain,
melalui pemaknaan sikap dan perilaku yang dilihatnya (Taufik, 2012). Davis (2014)
menekankan pentingnya kemampuan dalam perspective taking untuk perilaku non
34
egosentrik, yaitu kemampuan yang tidak berorientasi pada kepentingan sendiri,
tetapi pada kepentingan orang lain. Pengambilan perspektif berhubungan dengan
reaksi emosional dan perilaku menolong pada remaja. Berdasarkan hal tersebut
menunjukkan bahwa dengan adanya perspective taking maka seseorang akan
memberikan bantuan dan mengedepankan kepentingan orang lain daripada
kepentingannya sendiri, memberikan bantuan dan mengedepankan kepentingan
orang lain daripada kepentingannya sendiri merupakan cakupan dari aspek
altruisme (Myers, 2012). Kemudian para teoretikus biasanya menghubungkan
perspective taking dengan berbagai variabel salah satunya yaitu altruisme
(Cialdino, Brown, Lewis, Luce, & Neuberg, dalam Taufik, 2012).
Aspek fantacy merupakan kemampuan seseorang untuk mengubah diri
mereka secara imajinatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakter
khayal (membayangkan) dalam buku, film atau cerita yang dibaca dan ditontonnya.
Fantacy merupakan aspek yang berpengaruh pada reaksi emosi terhadap orang lain
dan menimbulkan perilaku menolong. Ketika mengalami fantasi, seseorang akan
terstimuli untuk menyampaikan perasaan dan persepsi atas suatu kejadian atau
proses yang menyatakan perubahan sikap atau perilaku orang lain. Fantasi sangat
mempengaruhi intensitas empati seseorang, misalnya seperti meminta orang lain
menceritakan runut permasalahannya sebagai media problem solving atas masalah
tersebut (Davis, 1983). Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa dengan
adanya fantacy maka seseorang akan memberikan bantuan kepada orang lain,
memberikan bantuan kepada orang lain merupakan salah satu cakupan dari
altruisme (Myers, 2012).
35
Aspek empathic concern merupakan perasaan yang berorientasi pada orang
lain berupa simpati, kasihan, peduli dan perhatian terhadap orang lain yang
mengalami kesulitan Davis (1983). Dalam literatur psikologi sosial, empathic
concern telah sering digunakan untuk menjelaskan sebuah respons emosional lain
yang ditimbulkan dan sesuai dengan kondisi orang lain (Batson, dalam Taufik,
2012). Kemudian aspek ini berhubungan secara positif dengan reaksi emosional,
perilaku menolong pada orang lain dan merupakan cerminan dari perasaan
kehangatan yang erat kaitannya dengan kepekaan dan kepedulian terhadap orang
lain (Davis, 1983). Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya empathic
concern dapat menumbuhkan altruisme, sesuai dengan salah satu aspek dari
altruisme menurut Myers (2012) yaitu memberikan perhatian kepada orang lain.
Aspek personal distress merupakan orientasi seseorang terhadap dirinya
sendiri yang berupa perasaan cemas dan kegelisahan dalam menghadapi setting
(situasi) interpersonal yang tidak menyenangkan. Penelitian yang pernah dilakukan
oleh Thomas (2012) menyebutkan bahwa kondisi personal distress berpengaruh
pada bagaimana seseorang memandang kualitas hidupnya. Kualitas hidup yang
dimaksud adalah kualitas dalam memberi kasih sayang atau perhatian kepada orang
lain, yang diindikasikan dengan kepuasan kasih sayang, kejenuhan, dan belas
kasihan yang melelahkan. Seseorang yang mengalami personal ditress,
menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki kesadaran untuk meyayangi orang
lain, terutama dalam membantu mereka untuk menyelesaikan masalahnya. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan adanya personal distress maka seseorang akan
memberikan perhatian dan memberikan bantuan kepada orang lain, memberikan
36
perhatian dan memberikan bantuan kepada orang lain merupakan cakupan dari
aspek altruisme (Myers, 2012).
E. Hubungan Antara Religiusitas dengan Altruisme
Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa selain sebagai makhluk individu,
juga sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial memiliki arti bahwa manusia
memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang lain dalam menjalankan
kehidupannya, mulai dari lahir sampai meninggal dunia. Sebagai makhluk sosial
yang membutuhkan pertolongan orang lain, maka sudah semestinya kita juga secara
sukarela memberikan pertolongan atau bantuan kepada orang lain. Perilaku tolong
menolong dalam psikologi dikenal dengan altruisme (Wulandari, 2017).
Myers (2012) mendefinisikan altruisme adalah motif untuk meningkatkan
kesejahteraan orang lain tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri. Altruisme
adalah kebalikan dari egoisme. Orang yang altrustis peduli dan mau membantu
orang lain meskipun tidak ada keuntungan yang ditawarkan atau tidak
mengharapkan imbalan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi altruisme
adalah religiusitas (Myers, 2012).
Di samping adanya teori di atas, ada banyak penelitian yang menjelaskan
tentang keterkaitan antara altruisme dengan religiusitas. Salah satunya yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Batson, Schoenrade, dan Ventis (dalam Zhao, 2012)
yang mengatakan bahwa religiusitas merupakan salah satu faktor utama yang
mempengaruhi altruisme. Senada dengan penelitian tersebut Zhao (2012)
menyatakan bahwa orang-orang yang religius mempunyai perilaku yang lebih
37
altruistik daripada orang yang non religius. Selain itu, Malhotra (2010) dalam
penelitiannya juga menemukan bahwa religiusitas merupakan faktor utama yang
mempengaruhi altruisme, orang yang religius berkarakteristik lebih stabil, sehingga
spontanitas untuk memberikan bantuan lebih besar.
Religiusitas adalah sebagai keberagaman yang berarti meliputi berbagai
macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan
perilaku ritual (beribadah), tapi juga melakukan aktivitas lain yang didorong oleh
kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak
dan dapat dilihat oleh mata, tapi juga aktivitas yang tak tampak dan terjadi di dalam
hati seseorang. Oleh karena itu, keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai
macam sisi atau dimensi (Ancok & Suroso, 2011). Menurut Ancok dan Suroso
(2011) dengan mengacu pada dimensi religiusitas dari Glock dan Stark, religiusitas
Islam meliputi lima dimensi, yaitu: (1) dimensi keyakinan atau akidah, (2) dimensi
peribadatan atau syari’ah, (3) dimensi pengalaman atau ihsan, (4) dimensi
pengetahuan atau ilmu, dan (5) dimensi pengamalan atau akhlak.
Dimensi Keyakinan atau akidah menunjukkan seberapa jauh tingkat
keyakinan seorang muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya, terutama
terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik (Ancok & Suroso,
2011). Kemudian Batson, Schoenrade, dan Ventis (dalam Zhao, 2012) mengatakan
bahwa semakin kuat keyakinan agama seseorang maka semakin tinggi altruisme
yang dimilikinya. Dalam agama Islam menghendaki pemeluknya untuk meyakini
ajaran agamanya secara komprehensif dan optimal, salah satu perintah yang sangat
38
dianjurkan di dalam Islam adalah saling tolong menolong (Gatot, 2015). Perilaku
tolong menolong dalam psikologi dikenal dengan altruisme (Wulandari, 2017).
Dimensi peribadatan atau syari’ah menunjukkan seberapa jauh seorang
muslim dalam menjalankan kewajibannya untuk mengerjakan kegiatan ritual atau
beribadah yang dianjurkan oleh agamanya (Ancok & Suroso, 2011). Dalam agama
islam menghendaki pemeluknya untuk mengerjakan apa yang diperintahkan, salah
satu ibadah yang dianjurkan di dalam Islam yaitu tolong menolong atau
meringankan beban orang lain (Gatot, 2015). Sebagaimana yang telah
diperintahkan dalam sebuah hadist Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
“Siapa yang melepaskan kesusahan seorang mukmin di dunia niscaya Allah
akan melepaskan kesusahannya di akhirat. Siapa yang memudahkan orang
yang kesusahan, niscaya Allah akan memudahkan (urusannya) di dunia dan
di akhirat. Siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah akan
menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat. Dan Allah selalu menolong
hamba-Nya jika hamba tersebut menolong saudaranya.” (H.R Muslim)
Kemudian Allah SWT menegaskan kembali mengenai kewajiban tolong-
menolong dalam hal kebaikan dalam firman-Nya, sebagai berikut :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar
Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulanbulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id,
dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. Dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat
melampaui batas (kepada mereka). dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah : 2)
39
Ayat ini memberikan perintah untuk saling tolong menolong dalam
mengerjakan kebajikan dan taqwa merupaka perintah bagi seluruh manusia. Yakni,
hendaknya menolong sebagian yang lain dan berusaha untuk mengerjakan apa yang
Allah perintahkan dan mengaplikasikannya. Sebab setiap kebajikan adalah
ketaqwaan dan setiap taqwa adalah kebajikan (Gatot, 2015). Berkaitan dengan
tolong menolong salah satu contoh dari tingkah laku menolong yang paling jelas
adalah altruisme (Hermaningrum, 2017), sehingga seharusnya seorang penganut
agama yang taat memiliki perilaku altruisme (Midlarsky, 2012).
Dimensi pengamalan atau akhlak menunjukkan seberapa tingkatan seorang
muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana
individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain (Ancok &
Suroso, 2011). Bila individu tetap berpegang teguh pada ajaran Islam, maka Islam
akan mengarahkan individu untuk berperilaku sesuai dengan norma agama yang
dianutnya, keberagamaan akan mengerakkan individu untuk melaksanakan ajaran
agama. Salah satu aspek terpenting dalam ajaran agama adalah perbuatan baik
terhadap sesama misalnya yaitu saling tolong menolong (Gatot, 2015). Di dalam
dimensi pengamalan meliputi bekerjasama, berlaku jujur, memaafkan, mematuhi
norma-norma agama, berderma, suka menolong, dan sebagainya (Ancok & Suroso,
2011). Tolong menolong dalam psikologi disebut dengan altruisme (Wulandari,
2017).
Dimensi pengalaman atau ihsan menunjukkan seberapa jauh tingkat seorang
muslim dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman-
pengalaman religius (Ancok & Suroso, 2011). Dalam agama Islam menghendaki
40
pemeluknya menghayati ajaran agama secara kaffah (komprehensif) dan optimal,
termasuk di dalamnya sifat yang sangat di anjurkan di dalam Islam yaitu tolong
menolong sesama manusia (Gatot, 2015). Seorang muslim yang ber-taqwa
menjalani segala perintah dan semua ibadah akan merasakan ketenangan di dalam
hatinya, maka ketika seseorang berbuat baik kepada sesama dengan memberikan
bantuan kepada orang yang membutuhkan akan merasakan ketenangan di dalam
hatinya (Taslim, 2010). Membantu orang lain merupakan cakupan dari aspek
Altruisme (Myers, 2012).
Dimensi pengetahuan atau ilmu menunjukkan seberapa tingkat pengetahuan
dan pemahaman seorang muslim terhadap ajaran agamanya, terutama mengenai
ajaran-ajaran pokok dari agamanya, yang termuat di dalam kitab sucinya (Ancok &
Suroso, 2011). Salah satu perbuatan yang diperintahkan dalam agama Islam adalah
membantu orang lain dan mengedepankan kepentingan orang lain (Gatot, 2015).
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’la, sebagai berikut:
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman
(Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai
orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada memiliki
keinginan di dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada
mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang
Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa
yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,
mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr : 9)
Ayat ini menunjukkan selamatnya hati mereka (orang-orang Anshar) dan
tidak ada rasa dengki dan iri dihatinya kepada kaum muhajirin. Ayat ini juga
menunjukkan sifat orang-orang Anshar yang mengutamakan orang lain daripada
diri sendiri meskipun mereka membutuhkannya. Ayat tersebut turun saat peristiwa
hijrah Nabi saw dimana kaum Anshar mendahulukan kaum muhajirin (Terjemahan
41
dan Tafsir Al-qur’an, 2013). Seorang muslim yang memiliki pengetahuan tentang
ayat tersebut maka akan mencontoh perilaku kaum Anshar yang mendahulukan
kepentingan kaum muhajirin (Gatot, 2015). Mendahulukan kepentingan orang lain
diatas kepentingan pribadi merupakan cakupan dari aspek altruisme (Myers, 2012).
Pada diri individu yang pemahaman agamanya baik tidak hanya sebatas kebenaran
yang diyakini, tetapi secara konsisten tercermin dalam perilakunya dan salah satu
bentuk dari perilaku tersebut adalah altruisme (Rain dalam Gatot, 2015).
F. Hipotesis
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti mengajukan dua hipotesis dalam
penelitian ini, yaitu:
H1: Terdapat hubungan yang positif antara empati dengan altruisme pada remaja.
Semakin tinggi empati yang dimiliki remaja, maka semakin tinggi pula
altruisme pada remaja. Sebaliknya, semakin rendah empati yang dimiliki
remaja, maka semakin rendah pula altruisme pada remaja.
H2: Terdapat hubungan yang positif antara religiusitas dengan altruisme pada
remaja. Semakin tinggi tingkat religiusitas yang dimiliki remaja, maka semakin
tinggi pula altruisme pada remaja. sebaliknya, semakin rendah tingkat
religiusitas yang dimiliki remaja, maka semakin rendah pula altruisme pada
remaja.