bab ii tinjauan pustaka 2.1 persepsi harga · 2018. 10. 29. · 13 informasi yang jelas mengenai...
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persepsi Harga
Harga merupakan unsur bauran pemasaran yang sifatnya fleksibel dimana
setiap saat dapat berubah menurut waktu dan tempatnya.Harga bukan hanya
angka-angka yang tertera dilabel suatu kemasan atau rak toko, tapi harga
mempunyai banyak bentuk dan melaksanakan banyak fungsi. Menurut Kotler dan
Keller (2012:67), harga adalah satu elemen bauran pemasaran yang menghasilkan
pendapatan, elemen lain menghasilkan biaya. Harga merupakan elemen termudah
dalam program pemasaran untuk disesuaikan, fitur produk, saluran, dan bahkan
komunikasi membutuhkan banyak waktu.
Campbell pada Cockril dan Goode (2010:368) menyatakan bahwa persepsi
harga merupakan faktor psikologis dari berbagai segi yang mempunyai pengaruh
yang penting dalam reaksi konsumen kepada harga. Karena itulah persepsi harga
menjadi alasan mengapa seseorang membuat keputusan untuk membeli.
Xia et al. pada Lee dan Lawson-Body (2011: 532) mengemukakan bahwa
persepsi harga merupakan penilaian konsumen dan bentuk emosional yang
terasosiasi mengenai apakah harga yang ditawarkan oleh penjual dan harga yang
dibandingkan dengan pihak lain masuk diakal, dapat diterima atau dapat
dijustifikasi. Gourville dan Moon pada Toncaret al. (2010:297) menyatakan
bahwa persepsi harga konsumen dipengaruhi oleh harga yang ditawarkan oleh
toko lain dengan barang yang sama.
11
Persepsi harga menjadi sebuah penilaian konsumen tentang perbandingan
besarnya pengorbanan dengan apa yang akan didapatkan dariproduk dan jasa
(Zeithaml dalam Kusdyah, 2012). Menurut Schiffman dan Kanuk (2011:137)
persepsi merupakan suatu proses seseorang individu dalam menyeleksi,
mengorganisasikan, dan menterjemahkan stimulus informasi yang datang menjadi
suatu gambaran yang menyeluruh,persepsi harga ialah bagaimana cara konsumen
melihat harga sebagai harga yangtinggi, rendah dan adil. Hal ini mempunyai
pengaruh yang kuat baik kepada minatbeli dan kepuasan dalam pembelian.
Persepsi harga berkaitan dengan bagaimana informasi harga dipahami seutuhnya
dan memberikan makna yang dalam oleh konsumen.
Chang dan Wildt dalam Kaura (2012) mendefinisikan persepsi harga
sebagai representasi persepsi konsumen atau persepsi subjektif terhadap harga
obyektif produk. Keadaan persaingan yang semakin kompetitif sekarang ini,
perbedaan harga dirasakan menjadi faktor penting dalam keputusan pembelian
dimana umumnya konsumen akan memilih harga yang paling murah untuk suatu
produk atau layanan yang ditawarkan.
Menurut Amryyanti et al. (2013) mendefinisikan persepsi kewajaran harga
sebagai penilaian bagi suatu hasil dan bagaimana suatu proses nantinya
mendapatkan suatu hasil yang dapat diterima dan pastinya dalam suatu kewajaran
dalam arti lain masuk akal. Ketika dirasakan terjadi perbedaan harga, maka
tingkat kesamaan antara transaksi merupakan unsur penting dari penilaian
kewajaran harga. Penilaian kewajaran juga tergantung pada berapa besar
komperatif pihak yang terlibat dalam transaksi.
12
Persepsi kewajaran harga dapat diukur melalui beberapa indikator
pengukuran. Berikut merupakan indikator-indikator pengukuran persepsi
kewajaran harga dari beberapa ahli yaitu :
1) Indikator persepsi kewajaran harga menurut Herawaty et al. (2016) :
(a) Pelanggan membayar harga yang wajar
(b) Ketepatan penetapan harga
(c) Kewajaran kebijakan harga
(d) Perubahan harga sesuai dengan etika
(e) Harga dapat diterima oleh pelanggan
2) Indikator persepsi kewajaran harga menurut Leonnard et al. (2014) :
(a) Price tansparancy, yang jelas, komprehensif dan relevan dalam
menetapkan harga sesuai situasi terkini. Dimensi ini mencakup beberapa
aspek seperti informasi harga, kelengkapan dan akurasi yang jelas.
(b) Price quality ratio, yang merupakan perbandingan antara kualitas layanan
dan biaya moneter. Dimensi ini dihasilkan dari membandingkan kualitas
produk atau layanan dengan biaya.
(c) Price relative, yang merupakan harga yang ditawarkan dari organisasi atau
pesaing.
(d) Price confidence, yang merupakan jaminan bahwa harga memuaskan bagi
konsumen. Dengan kata lain, harga transparan dan terus rendah.
(e) Price reliability, yang merupakan pemenuhan harga yang diharapkan atau
dirasakan dan pencegahan kejutan harga negatif. Hal ini berkaitan dengan
13
informasi yang jelas mengenai harga, tidak ada harga tersembunyi dan
perubahan harga yang tepat.
(f) Price fairness, yang berkaitan dengan persepsi konsumen apakah selisih
harga antara harga pasar dan harga pesaing masuk akal, dapat diterima dan
adil. Dimensi ini berkaitan dengan korelasi antara harga dan harga sosial,
tidak ada penyalahgunaan dalam penetapan harga dan tidak ada
diskriminasi harga.
3) Indikator persepsi kewajaran harga menurut Doong et al. (2008) :
(a) How fair do you think the price is?
(b) How reasonable do you think the price is?
4) Indikator persepsi kewajaran harga menurut Wirasti (2010) :
(a) Keterjangkauan harga
(b) Kesesuaian harga dengan kualitas produk
(c) Kesesuaian harga dengan layanan yang ditawarkan
5) Indikator persepsi kewajaran harga menurut Rahyuda dan Atmaja (2011) :
(a) Harga yang ditetapkan sesuai dengan kualitas layanan
(b) Referensi tingkat harga
(c) Harga yang ditetapkan dapat diterima
(d) Harga yang ditetapkan adalah sebuah etika
6) Indikator persepsi harga menurut Lichtenstein et al. dalam Gecti (2014:148),
yaitu:
(a) Hubungan Kualitas-Harga (Price-Quality Association)
14
Hubungan ini digambarkan dengan keyakinan antara kategori
produkdengan tingkat harga yang saling berhubungan.
(b) Sensitivitas Prestise (Prestige Sensitivity)
Sensitivitas prestise menggambarkan antara persepsi harga yang
berpengaruh terhadap orang lain dan menandakan status pembeli yang
lebih tinggi.
(c) Kesadaran Harga (Price Consciousness)
Bagi beberapa konsumen, persepsi harga dapat juga dikarakterisikan
dengan kesadarannya terhadap harga. Kesadaran terhadap harga
digambarkan sebagai sejauh mana konsumen memfokuskan secara
eksklusif pada membayar harga yang rendah.
(d) Kesadaran Nilai (Value Consciousness)
Persepsi harga untuk beberapa konsumen dapat dikarakteristikan dengan
kepedulian konsumen atas keuntungan yang diterima terhadap harga yang
dibayarkan pada saat transaksi pembelian.
(e) Mavenisme Harga (Price Mavenism)
(f) Persepsi harga dapat dipengaruhi oleh niat konsumen untuk memperoleh
informasi tentang harga agar mereka dapat mentransfer informasi tentang
harga kepada orang lain.
(g) Kecenderungan Potongan Harga (Sale Proneness)
Sale prononess sekedar mengindikasikan tren konsumen terhadap produk
dan jasa dalam penjualan. Konsep ini diproduksi dengan konsep
kecenderungan promosi yang digunakan untuk menjelaskan reaksi yang
15
kuat dari konsumen untuk berbagai promosi. Sale prononess dikaitkan
dengan kecenderungan promosi seperti yang juga terkait dengan harga
diskon.
(h) Kecenderungan Kupon (Coupon Proneness)
Bentuk-bentuk penyajian harga dapat mempengaruhi persepsi harga. Salah
satu bentuk penyajian harga adalah pengurangan harga dalam bentuk
kupon. Dengan adanya kupon yang dikeluarkan oleh perusahaan membuat
harga produk menjadi lebih rendah. Harga yang rendah dapat
meningkatkan permintaan. Permintaan yang tinggi dapat menambah
volume penjualan perusahaan.
7) Indikator persepsi harga menurut Suhaily dan Soelasih (2017), yaitu :
(a) consumers trust the quality of products offered in accordance with the
price offered,
(b) the manufacturer gives discounts for products marketed when compared
with competitor prices,
(c) the prices charged by manufacturers reasonable,
(d) overall consumers are satisfied with the price of the product,
(e) consumers will consider information from experts of the price of the
product to be purchased.
2.2 Citra Merek
Kotler dan Armstrong (2012:80) menyatakan “brand image adalah
himpunan keyakinan konsumen mengenai berbagai merek”. Brand image atau
16
brand description merupakan deskripsi tentang asosiasi dan keyakinan konsumen
terhadap merek tertentu. Sebuah produk dapat melahirkan sebuah brand jika
produk itu menurut persepsi konsumen mempunyai keunggulan fungsi (functional
brand), menimbulkan asosiasi dan citra yang diinginkan konsumen (brand image)
dan membangkitkan pengalaman tertentu saat konsumen berinteraksi dengannya
(experiental brand).
Kotler & Keller (2012:G1) mendefinisikan brand imagesebagai ˝The
perceptions and beliefs held by consumers, as reflected in the associations held in
consumer memory.˝ Hal ini dapat diartikan sebagaipersepsi dan kepercayaan yang
dipegang oleh konsumen, yang tercermin atau melekat dalam benak dan memori
dari seorang konsumen sendiri. Persepsi ini dapat terbentuk dari informasi atau
pengalaman masa lalu konsumen terhadap merek tersebut. Kotler & Keller
(2012:10) menyatakan bahwa ˝All companies strive to build a brand image with
as many strong, favorable, and unique brand associations as possible.˝ Jika
melihat pernyataan ini, semua perusahaan berusaha menciptakan citra merek yang
baik dan kuat dengan menciptakan suatu merek seunik mungkin yang dapat
menguntungkan.
Supranto dan Limakrisna (2011) menyatakan citra merek adalah apa yang
konsumen pikir dan rasakan ketika mendengar atau melihat suatu merek dan apa
yang konsumen pelajari tentang merek. Sehingga dapat disimpulkan bahwa citra
merek adalah sekumpulan asosiasi merek yang dapat konsumen rasakan dan
dipikirkan yang diciptakan dan dipelihara oleh pemasar agar terbentuk di dalam
17
benak konsumen. Menurut Utami (2010) citra merek adalah serangkaian asosiasi
yang biasanya diorganisasikan diseputar beberapa tema yang bermakna.
Roslina (2009) mendefinisikan bahwa citra merek merupakan petunjuk
yang akan digunakan oleh konsumen untuk mengevaluasi produk ketika
konsumen tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang suatu produk.
Terdapat kecenderungan bahwa konsumen akan memilih produk yang telah
dikenal baik melalui pengalaman menggunakan produk maupun berdasarkan
informasi yang diperoleh melalui berbagai sumber. Menurut Tjiptono (2014)
bahwa brand image atau citra merek adalah merupakan serangkaian asosiasi yang
dipersepsikan oleh individu sepanjang waktu, sebagai hasil pengalaman langsung
maupun tidak langsung atas sebuah merek.
Menurut Sciffman dan Kanuk (2010) ada beberapa faktor pembentuk citra
merek, sebagai berikut :
1) Kualitas dan mutu, berkaitan dengan kualitas produk barang yang
ditawarkan oleh produsen dengan merek tertentu.
2) Dapat dipercaya atau diandalkan, berkaitan dengan pendapat atau
kesepakatan yang dibentuk oleh masyarakat tentang suatu produk yang
dikonsumsi.
3) Kegunaan atau manfaat, yang terkait dengan fungsi dari suatu produk yang
bisa dimanfaatkan oleh konsumen.
4) Pelayanan, yang terkait dengan tugas produsen dalam melayani
konsumennya.
18
5) Resiko, terkait dengan besar kecilnya akibat untung dan rugi yang
mungkin dialami oleh konsumen.
6) Harga, yang dalam hal ini berkaitan dengan tinggi rendahnya atau banyak
sedikitnya jumlah uang yang dikeluarkan oleh konsumen untuk
mempengaruhi suatu produk, juga dapat mempengaruhi citra jangka
panjang.
7) Citra yang dimiliki oleh merek itu sendiri, yaitu berupa pandangan,
kesepakatan, dan informasi yang berkaitan dengan suatu merek dari
produk tertentu.
Komponen citra merek (brand image) menurut Simamora (2011) terdiri
atas tiga bagian, yaitu:
1) Citra pembuat (corporate image), yaitu sekumpulan asosiasi yang
dipersepsikan konsumen terhadap perusahaan yang membuat suatu barang
atau jasa.
2) Citra pemakai (user image), yaitu sekumpulan asosiasi yang dipersepsikan
konsumen terhadap pemakai yang menggunakan suatu barang atau jasa.
3) Citra produk (product image), yaitu sekumpulan asosiasi yang
dipersepsikan konsumen terhadap suatu barang atau jasa.
Menurut Shimp dalam Bastian (2014:2), citra merek diukur dari 3 hal,
yaitu :
1) Atribut, yaitu ciri-ciri atau berbagai aspek dari merek yang diiklankan.
Atribut juga dibagi menjadi dua bagian, yaitu hal-hal yang tidak
berhubungan dengan produk (contoh : harga, kemasan, pemakai, citra
19
penggunaan), dan hal-hal yang berhubungan dengan produk (contoh :
warna, ukuran, desain).
2) Manfaat, dibagi menjadi tiga bagian, yaitu fungsional, simbolis, dan
pengalaman.
(a) Fungsional, yaitu manfaat yang berusaha menyediakan solusi bagi
masalah masalah konsumsi atau potensi permasalahan yang dapat
dialami oleh konsumen, dengan mengasumsikan bahwa suatu merek
memiliki manfaat spesifik yang dapat memecahkan masalah tersebut.
(b) Simbolis, yaitu diarahkan pada keinginan konsumen dalam upaya
memperbaiki diri, dihargai sebagai anggota suatu kelompok, afiliasi,
dan rasa memiliki.
(c) Pengalaman, yaitu konsumen merupakan representasi dari keinginan
mereka akan produk yang dapat memberikan rasa senang,
keanekaragaman, dan stimulasi kognitif
3) Evaluasi keseluruhan, yaitu nilai atau kepentingan subjektif dimana
konsumen menambahkannya pada hasil konsumsi.
Citra merek dapat diukur melalui beberapa indikator pengukuruan. Berikut
merupakan indikator-indikator pengukuran citra merek dari beberapa ahli yaitu :
1) Menurut Rangkuti (2009: 44) bahwa terdapat beberapa indikator yang harus
diperhatikan dalam membentuk sebuah citra merek, yaitu :
(a) Recognition (pengenalan), tingkat dikenalnya sebuah merek oleh
konsumen.
(b) Reputation (reputasi), tingkat atau status yang cukup tinggi bagi sebuah
20
merek karena telah terbukti mempunyai “track record” yang baik.
(c) Affinity (daya tarik), semacam daya tarik yang mempunyai hubungan
emosional dengan konsumennya.
(d) Brand loyalty (kesetiaan merek), menyangkut ukuran dari kesetiaan
pelanggan terhadap suatu merek yang bersangkutan.
2) Menurut Hamel dan Prahalad (2011: 481) indikator pengukuran citra merek
adalah sebagai berikut :
(a) Recognition (pengakuan), yaitu tingkat dikenalnya sebuah merek oleh
konsumen. Jika sebuah merek tidak dikenal, maka produk dengan merek
tersebut harus dijual dengan mengandalkan harga yang murah. (logo,
atribut).
(b) Reputation (reputasi), yaitutingkat atau status yang cukup tinggi bagi
sebuah merek karena lebih terbukti memiliki track record yang baik.
(c) Affinity (afinitas), yaitusuatu emosional relationship yang timbul antara
sebuah merek dengan konsumennya. Produk dengan merek yang disukai
oleh konsumen akan lebih mudah dijual dan produk dengan memiliki
persepsi kualitas yang tinggi akan memiliki reputasi yang baik.
(d) Domain (lingkup), yaitumenyangkut seberapa besar scope dari suatu
produk yang mau menggunakan merek yang bersangkutan. Domain ini
mempunyai hubungan yang erat dengan scale of scope.
3) Menurut Kotler dan Keller (2012: 261) indikator pengukuran citra merek
adalah sebagai berikut :
(a) Persepsi konsumen terhadap pengenalan produk
21
(b) Persepsi konsumen terhadap kualitas produk
(c) Persepsi konsumen terhadap ukuran
(d) Persepsi konsumen terhadap daya tahan
(e) Persepsi konsumen terhadap warna produk
(f) Persepsi konsumen terhadap harga
(g) Persepsi konsumen terhadap lokasi
4) Sulistyari (2012:4) menyebutkan bahwa indikator-indikator yang membentuk
brand image, antara lain adalah :
(a) Citra Korporat, merupakan citra yang ada dalam perusahaan itu sendiri.
Perusahaan sebagai organisasi berusaha membangun imagenya dengan
tujuan tak lain agar nama perusahaan ini bagus, sehingga akan
mempengaruhi segala hal mengenai apa yang dilakukan oleh perusahaan
tersebut.
(b) Citra Produk, yaitu citra konsumen terhadap suatu produk yang dapat
berdampak positif maupun negatif yang berkaitan dengan kebutuhan,
keinginan, dan harapan konsumen. Image dari produk dapat mendukung
terciptanya sebuah brand image atau citra dari merek tersebut.
(c) Citra Pemakai, dapat dibentuk langsung dari pengalaman dan
kontakdengan pengguna merek tersebut. Manfaat adalah nilai pribadi
konsumenyang diletakkan terhadap atribut dari produk atau layanan yaitu
apa yang konsumen pikir akan mereka dapatkan dari produk atau layanan
tersebut.
22
2.3 Kepuasan Pelanggan
Menurut Lovelock dan Wirtz (2011:74), kepuasan adalah suatu sikap yang
diputuskan berdasarkan pengalaman yang didapatkan. Kepuasan merupakan
penilaian mengenai ciri atau keistimewaan produk atau jasa, atau produk itu
sendiri, yang menyediakan tingkat kesenangan konsumen berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan konsumsi konsumen.
Menurut Daryanto dan Setyobudi (2014), kepuasan pelanggan merupakan
suatu penilaian emosional dari konsumen setelah konsumen menggunakan suatu
produk, dimana harapan dan kebutuhan konsumen yang menggunakannya
terpenuhi. Kepuasan konsumen dipengaruhi oleh kualitas produk atau barang-
barang yang diberikan pada pelanggan dalam proses penyerahan jasa, kualitas
jasa, persepsi atas harga, serta faktor situasional dan personal. Kapoor dan
Solomon (2011), menyebutkan bahwa kepuasan pelanggan adalah suatu perasaan
keseluruhan konsumen mengenai produk ataujasa yang telah dibeli oleh
konsumen.
Menurut Kotler (2014: 150) kepuasan konsumen adalah tingkat perasaan
seseorang setelah membandingkan (kinerja atau hasil) yang dirasakan
dibandingkan dengan harapannya. Konsumen dapat mengalami salah satu dari
tiga tingkat kepuasan umumyaitu kalau kinerja di bawah harapan, konsumen akan
merasa kecewa tetapi jika kinerja sesuai dengan harapan pelanggan akan merasa
puas danapa bila kinerja bisa melebihi harapan maka pelanggan akan merasakan
sangat puas senang atau gembira.
23
Menurut teori Supranto dalam Susanti (2012), kepuasan konsumen
merupakan label yang digunakan oleh konsumen untuk meringkas suatu
himpunan aksi atau tindakan yang terlihat, terkait dengan produk atau jasa.
Menurut Bachtiar (2011), kepuasan konsumen merupakan perasaan positif
konsumen yang berhubungan dengan produk / jasa selama menggunakan atau
setelah menggunakan jasa atau produk.
Menurut Tjiptono (2014) kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan adalah
respon pelanggan terhadap evaluasi ketidakpuasan yang dirasakan antara harapan
sebelumnya atau harapan kinerja lainnya dankinerja aktual produk yang dirasakan
setelah memakainya. Memuaskan kebutuhan pelanggan adalah keinginan setiap
perusahaan. Selain faktor penting bagi kelangsungan hidup perusahaan,
memuaskan kebutuhan pelanggan dapat meningkatkan keunggulan dalam
persaingan. Pelanggan yang puas terhadap produk dan jasa pelayanan cenderung
untuk membeli kembali produk dan menggunakan kembali jasa pada saat
kebutuhan yang sama muncul kembali dikemudian hari. Kepuasan merupakan
faktor kunci bagi konsumen dalam melakukan pembelian ulang yang merupakan
porsi terbesar dari volume penjualan perusahaan.
Menurut Tjiptono (2014: 210) ada empat metode yang
dilakukanperusahaan untuk menegetahui tingkat kepuasan pelanggan, yaitu:
1) Sistem Keluhan dan Saran
Setiap organisasi yang berorientasi pada pelanggan perlu menyediakan
kesempatan dan akses yang mudah dan nyaman bagi para pelanggannya guna
menyampaikan saran, kritik, pendapat, dan keluhan mereka. Media yang biasa
24
digunakan bisa berupa kotak saran, kartu komentar, saluran telepon khusus
bebas pulsa, website dan lainlain. Dimana metode ini dapat memberikan ide
atau masukan yang berharga kepada perusahaan.
2) Ghost Shopping (Pembelanjaan Misteri)
Salah satu cara memperoleh gambaran mengenai kepuasan pelanggan adalah
dengan memperkerjakan beberapa orang Ghost Shoppers ( pembelanjaan
misterius ) untuk berperan atau berpura - pura sebagai pelanggan potensial
produk perusahaan dan pesaing. Para pembelanja misterius akan diminta
untuk mengamati secara seksama dan menilai cara perusahaan dan pesaingnya
melayani permintaan spesifik pelanggan, menjawab pertanyaan pelanggan dan
menangani setiap keluhan. Hal tersebut dilakukan sebagai cara untuk
melakukan penilaian terhadap kinerja karyawan perusahaan.
3) Lost Customer Analysis (Analisis Pelanggan yang Berhenti)
Sedapat mungkin perusahaan menghubungi para pelanggan yang telah
berhenti membeli atau yang telah berpindah pemasok agar dapat memahami
mengapa hal itu terjadi dan supaya dapat mengambil kebijakan perbaikan atau
penyempurnaan selanjutnya.
4) Survey Kepuasan Pelanggan
Sebagian besar riset kepuasan pelanggan dilakukan dengan menggunakan
metode survei, baik survei melalui pos, telepon, email, internet, maupun
wawancara langsung. Melalui survei perusahaan akan memperoleh tanggapan
dan balikan secara langsung dari pelanggan dan juga memberikan kesan
positif bahwa perusahaan menaru perhatian terhadap para pelanggannya.
25
Menurut Tjiptono (2014: 140) ada beberapa manfaat jika perusahaandapat
memaksimalkan tingkat kepuasan pelanggannya, antara lain adalah:
1) Terjalin relasi hubungan jangka panjang antara perusahaan dan para
pelanggannya.
2) Terbentuknya peluang pertumbuhan bisnis melalui pembelian ulang, cross-
selling dan up-selling.
3) Terciptanya loyalitas pelanggan.
4) Terjadinya rekomendasi dari mulut ke mulut yang positif, berpotensi menarik
pelanggan baru dan menguntungkan bagi perusahaan.
5) Reputasi perusahaan dan persepsi pelanggan semakin positif di mata
pelanggan.
6) Laba yang diproleh perusahaan dapat meningkat.
Menurut Suhaily dan Soelasih (2017) indikator pengukuran kepuasan
konsumen adalah sebagai berikut :
1) Consumers are satisfied with the online shoppingexperience,
2) Consumers are feel wise use online shopping,
3) Consumers are satisfied that the use of online shopping can satisfy their
request,
4) Ingeneral consumers think that the decision to make a purchase through
online shopping is right.
Menurut Rahyuda dan Atmaja (2011) kepuasan konsumen dapat diukur
melalui indikator-indikator sebagai berikut:
1) Kesesuaian harapan
26
2) Persepsi kinerja
3) Penilaian pelanggan
2.4 Minat Pembelian Ulang (Repurchase Intention)
Minat konsumen adalah keinginan yang timbul dari proses pengaktifan
ingatan sebagai sebuah rencana yang tersimpan. Keinginan konsumen untuk
membeli ulang suatu produk didasarkan pada kepercayaan dan nilai yang
berkaitan dengan tindakan membeli ataumenggunakan produk tersebut (Kusdyah,
2012). Minat pembelian ulang adalah kenginan dan tindakan konsumen untuk
membeli ulang suatu produk, karena adanya kepuasan yang diterima sesuai yang
dinginkan dari suatu produk (Nurhayati dan Murti, 2012). Merek yang sudah
melekat dalam hati pelanggan akan menyebabkan pelanggan melanjutkan
pembelian atau pembelian ulang.
Pemasar pada umumnya menginginkan pelanggan yang dicptakan dapat
dipertahankan selamanya. Mengingat perubahan-perubahan yang terjadi setiap
saat, baik perubahan pada diri pelanggan seperti selera maupun aspek psikologis,
social, dan kultural pelanggan yang berdampak pada proses keputusan membeli
ulang (Nurhayati dan Murti, 2012). Daya beli konsumen yang menurun tajam
mengkondisikan konsumen pada situasi yang lebih terbatas menyangkut pilihan
produk yang diinginkannya. Meskipun pemasar sudah memiliki segmen
pelanggan yang dianggap loyal dalam kondisi krisis, pemasar tetap perlu
memberikan perhatian tentang loyalitas pelanggan agar tidak terjadi perpindahan
merk (Nurhayati dan Murti, 2012).
27
Menurut Sukmawati dan Suyono dalam Pramono dikutip dari Annafik dan
Rahardjo (2012), minat beli merupakan bagian dari komponen perilaku dalam
sikap mengkonsumsi. Minat beli konsumen adalah tahap dimana konsumen
membentuk pilihan mereka diantara beberapa merek yang tergabung dalam
perangkat pilihan. Kemudian pada akhirnya melakukan suatu pembelian pada
suatu altenatif yang paling disukainya atau proses yang dilalui konsumen untuk
membeli suatu barang atau jasa yang didasari oleh bermacam pertimbangan.
Minat beli adalah perilaku konsumen yang menunjukan sejauh mana
komitmennya dalam melakukan pembelian. Sedangkan menurut Kotler, Bowen
dan Makens (2014), minat beli timbul setelah adanya proses evaluasi alternatif.
Dalam proses evaluasi, seseorang akan membuat suatu rangkaian pilihan
mengenai produk yang hendak dibeli atas dasar merek maupun minat. Faktor yang
membentuk minat beli konsumen menurut Kotler dan Keller (2012) yaitu :
1) Sikap orang lain
Sejauh mana sikap orang lain mengurangi alternatif yang disukai seseorang
akan bergantung pada dua hal yaitu, intensitas sifat negatif orang lain terhadap
alternatif yang disukai konsumen dan motivasi konsumenuntuk menuruti
keinginan orang lain.
2) Faktor situasi yang tidak terantisipasi
Faktor ini nantinya akan dapat mengubah pendirian konsumen dalam
melakukan pembelian. Hal tersebut tergantung dari pemikiran konsumen
sendiri, apakah dia percaya diri dalam memutuskan akan membeli suatu
barang atau tidak.
28
Menurut Lucas & Britt (2012), terdapat empat faktor yang mempengaruhi
minat beli konsumen, antara lain:
1) Perhatian (attention), adanya perhatian yang besar dari konsumen terhadap
suatu produk (barang atau jasa).
2) Ketertarikan (interest), menunjukkan adanya pemusatan perhatian dan
perasaan senang.
3) Keinginan (desire), adanya dorongan untuk ingin memiliki.
4) Keyakinan (conviction), adanya perasaan percaya diri individu terhadap
kualitas, daya guna, dan keuntungan dari produk yang akan dibeli.
Pengertian minat beli ulang menurut penelitian Nurhayati dan Wahyu
(2012:53) adalah kenginan dan tindakan konsumen untuk membeli ulang suatu
produk, karena adanya kepuasan yang diterima sesuai yang dinginkan dari suatu
produk. Merek yang sudah melekat dalam hati pelanggan akan menyebabkan
pelanggan melanjutkan pembelian atau pembelian ulang. Pembelian ulang
menurut Peter & Olson dalam Oetomo & Nugraheni (2012) adalah kegiatan
pembelian yang dilakukan lebih dari satu kali atau beberapa kali. Kepuasan yang
diperoleh seorang konsumen, dapat mendorong seseorang untuk melakukan
pembelian ulang, menjadi loyal terhadap produk tersebut ataupun loyal terhadap
toko tempat dia membeli barang tersebut sehingga konsumen dapat menceritakan
hal-hal yang baik kepada orang lain.
Menurut Corin et al. di kutip dalam Hendarsono dan Sugiharto (2013)
pengertian minat beli ulang adalah perilaku pelanggan dimana pelanggan
merespon positif terhadap apa yang telah diberikan oleh suatu perusahaan dan
29
berminat untuk melakukan kunjungan kembali atau mengkomsusi kembali produk
perusahaan tersebut. Menurut Fornell dalam Hendarsono dan Sugiharto (2013)
mengatakan bahwa konsumen yang merasa puas akan melakukan kunjungan
ulang di masa mendatang dan juga memberitahukan kepada orang lain atas produk
atau jasa yang dirasakan.
Menurut Kotler dan Armstrong (2012:135-150) faktor utama yang
mempengaruhi minat seseorang untuk melakukan pembelian ulang, yaitu:
1) Faktor Kultur
Kultur dan kelas sosial seseorang dapat mempengaruhi minat seseorang
dalam melakukan pembelian. Konsumen memiliki persepsi, keinginan dan
tingkah laku yang dipelajari sedari kecil, sehingga pada akhirnya akan membentuk
persepsi yang berbeda-beda pada masing-masing konsumen. Faktor nasionalitas,
agama, kelompok ras dan wilayah geografis juga berpengaruh pada masing-
masing individu.
2) Faktor Psikologis
Meliputi pengalaman belajar individu tentang kejadian di masa lalu, serta
pengaruh sikap dan keyakinan individu. Pengalaman belajar dapat didefinisikan
sebagai suatu perubahan perilaku akibat pengalaman sebelumnya. Timbulnya
minat konsumen untuk melakukan pembelian ulang sangat dipengaruhi oleh
pengalaman belajar individu dan pengalaman belajar konsumen yang akan
menentukan tindakan dan pengambilan keputusan membeli.
3) Faktor Pribadi
30
Kepribadian, umur, pekerjaan, situasi ekonomi dan juga lifestyle dari
konsumen itu sendiri akan mempengaruhi persepsi dan pengambilan keputusan
dalam membeli. Oleh karena itu, peranan restoran penting dalam memberikan
pelayanan yang baik kepada konsumennya. Faktor pribadi ini termasuk di
dalamnya konsep diri. Konsep diri dapat didefinisikan sebagai cara kita melihat
diri sendiri dan dalam waktu tertentu sebagai gambaran tentang upah yang kita
pikirkan. Dalam hubungan dengan minat beli ulang, restoran perlu menciptakan
situasi yang diharapkan konsumen. Begitu pula menyediakan dan melayani
konsumen dengan produk yang sesuai dengan yang diharapkan konsumen.
4) Faktor Sosial
Mencakup faktor kelompok anutan (small reference group). Kelompok
anutan didefinisikan sebagai suatu kelompok orang yang mempengaruhi sikap,
pendapat, norma dan perilaku konsumen. Kelompok anutan ini merupakan
kumpulan keluarga, kelompok atau orang tertentu. Dalam menganalisis minat beli
ulang, faktor keluarga berperan sebagai pengambil keputusan, pengambil inisiatif,
pemberi pengaruh dalam keputusan pembelian, penentu apa yang dibeli, siapa
yang melakukan pembelian dan siapa yang menjadi pengguna. Pengaruh
kelompok acuan terhadap minat beli ulang antara lain dalam menentukan produk
dan merek yang mereka gunakan yang sesuai dengan aspirasi kelompoknya.
Keefektifan pengaruh niat beli ulang dari kelompok anutan sangat tergantung
pada kualitas produksi dan informasi yang tersedia pada konsumen
Menurut Ferdinand dikutip kembali oleh Basrah dan Samsul (2012:7)
terdapat empat dimensi minat beli ulang yaitu:
31
1) Minat transaksional, yaitu kecenderungan konsumen untuk selalu membeli
ulang produk yang telah dikonsumsinya.
2) Minat referensial, yaitu kesediaan konsumen untuk merekomendasikan produk
yang telah dikonsumsinya kepada orang lain.
3) Minat preferensial, yaitu perilaku konsumen yang menjadikan produk yang
telah dikonsumsinya sebagai pilihan utama.
4) Minat eksploratif, yaitu keinginan konsumen untuk selalu mencari informasi
mengenai produk yang diminatinya.
Menurut Suhaily dan Soelasih (2017) indikator pengukuran niat beli
kembali adalah sebagai berikut :
1) Consumers are interested in making a purchase by using online shopping,
2) Consumer online shopping will be revisited in the future, and
3) Consumers are interested in to recommend online shopping because they also
use online shopping