bab ii tinjauan pustaka 2.1 penyakit gangguan ginjal kronik

17
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik 2.1.1 Definisi Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Besar dan berat ginjal sangat bervariasi; hal ini tergantung pada jenis kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi yang lain. Dalam hal ini, ginjal laki-laki relatif lebih besar ukurannya daripada perempuan. Pada orang yang mempunyai ginjal tunggal yang didapat sejak usia anak, ukurannya lebih besar daripada ginjal normal. Pada autopsi klinis didapatkan bahwa ukuran rerata ginjal orang dewasa adalah 11,5 cm panjangnya dengan lebar 6 cm dan tebal 3,5 cm. Beratnya bervariasi antara 120 – 170 gram, atau kurang lebih 0,4 % dari berat badan. Di sebelah posterior, ginjal dilindungi oleh beberapa otot punggung yang tebal serta tulang rusuk ke XI dan XII, sedangkan di sebelah anterior dilindungi oleh organ intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon, dan duodenum; sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas, jejeunum, dan kolon (Purnomo, 2012). Gangguan ginjal kronik adalah penurunan semua faal ginjal secara bertahap, diikuti penimbunan sisa metabolisme protein dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Defenisi lainnya ialah kerusakan ginjal yang terjadi selama ≥ 3 bulan, berdasarkan kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dan dengan pertanda Universitas Sumatera Utara

Upload: lytuong

Post on 11-Dec-2016

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik

2.1.1 Definisi

Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga

retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya

menghadap ke medial. Besar dan berat ginjal sangat bervariasi; hal ini tergantung

pada jenis kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi yang lain. Dalam hal

ini, ginjal laki-laki relatif lebih besar ukurannya daripada perempuan. Pada orang

yang mempunyai ginjal tunggal yang didapat sejak usia anak, ukurannya lebih

besar daripada ginjal normal. Pada autopsi klinis didapatkan bahwa ukuran rerata

ginjal orang dewasa adalah 11,5 cm panjangnya dengan lebar 6 cm dan tebal 3,5

cm. Beratnya bervariasi antara 120 – 170 gram, atau kurang lebih 0,4 % dari berat

badan. Di sebelah posterior, ginjal dilindungi oleh beberapa otot punggung yang

tebal serta tulang rusuk ke XI dan XII, sedangkan di sebelah anterior dilindungi

oleh organ intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon, dan

duodenum; sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas,

jejeunum, dan kolon (Purnomo, 2012).

Gangguan ginjal kronik adalah penurunan semua faal ginjal secara

bertahap, diikuti penimbunan sisa metabolisme protein dan gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit. Defenisi lainnya ialah kerusakan ginjal yang

terjadi selama ≥ 3 bulan, berdasarkan kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan

atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dan dengan pertanda

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik

8

kerusakan ginjal meliputi kelainan komposisi darah dan urin, atau tes pencitraan

ginjal serta LFG < 60 ml/menit/1,73m2(Sukandar, 2006).

Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian, yaitu korteks dan medula

ginjal. Korteks ginjal terletak lebih superfisial dan di dalamnya terdapat berjuta-

juta nefron. Nefron merupakan unit fungsional terkecil dari ginjal. Medula ginjal

yang terletak lebih profundus banyak terdapat duktuli atau saluran kecil yang

mengalirkan hasil ultrafiltrasi berupa urin. Nefron terdiri atas glomerulus, tubulus

kontortus (TC) proksimalis, Loop of Henle, tubulus kontortus (TC) distalis, dan

duktus kologentes. Darah yang membawa sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi

(disaring) di dalam glomerulus dan kemudian setelah sampai di tubulus ginjal,

beberapa zat yang masih diperlukan oleh tubuh mengalami reabsorbsi dan zat sisa

metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh mengalami sekresi membentuk

urin. Setiap hari tidak kurang dari 180 liter cairan tubuh difiltrasi di glomerulus

dan menghasilkan urin sebanyak 1 sampai 2 liter. Urin yang terbentuk di dalam

nefron disalurkan melalui piramida ke sistem pelvikalises ginjal untuk kemudian

disalurkan ke dalam ureter (Purnomo, 2012).

Ginjal memerankan berbagai fungsi tubuh yang sangat penting bagi

kehidupan, yakni menyaring (filtrasi) sisa hasil metabolisme dan toksin dari

darah, serta mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit tubuh, yang

kemudian dibuang melalui urin. Fungsi tersebut adalah mengontrol sekresi

hormon aldosteron dan ADH (anti diuretic hormone) yang berperan dalam

mengatur jumlah cairan tubuh, mengatur metabolisme ion kalsium dan vitamin D,

menghasilkan beberapa hormon, antara lain: eritropoetin yang berperan dalam

pembentukan sel darah merah, renin yang berperan dalam mengatur tekanan

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik

9

darah, serta hormon prostaglandin yang berguna dalam berbagai mekanisme tubuh

(Purnomo, 2012).

2.1.2 Epidemiologi

Beberapa tahun belakangan ini, penderita gangguan ginjal di Indonesia

saat ini terbilang tinggi yakni mencapai 300.000 orang.Berdasarkan hasil survei

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) menunjukkan bahwa 12,5%

(sekitar 25 juta penduduk) dari populasi penduduk Indonesia yang mengalami

penurunan fungsi ginjal (PERNEFRI, 2009). Menurut hasil penelitian Hallan SI,

et al., tahun 2006 menyatakan bahwa, prevalensi dari gangguan ginjal kronik pada

populasi umum Eropa yaitu sebesar 10,2%, dan prevalensi Amerika Serikat yaitu

sebesar 11,5%. Berdasarkan data United State Renal Data System (USRDS) tahun

2013 diperkirakan lebih dari 20 juta (atau lebih dari 10%) orang dewasa di

Amerika Serikat yang mengalami penyakit ginjal kronik per tahunnya. Kasus

penyakit ginjal di dunia per tahun meningkat sebanyak lebih dari 50%. Menurut

hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi terdapat di

Provinsi Sulawesi Tengah dan terendah di Provinsi Kalimantan Timur, NTB, DKI

Jakarta, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Sumatera Selatan dan Riau

(Kemenkes., 2013).

2.1.3 Etiologi

Gangguan ginjal kronik pada umumnya disebabkan oleh

Glomerulonefritis, hipertensi esensial dan pielonefritis. Gangguan ginjal kronik

yang berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik dan nefropati obstruktif

hanya 15% – 20%. Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginjal

progresif dan difus yang seringkali berakhir dengan gagal ginjal kronik. Pada

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik

10

umumnya lebih sering pada laki-laki daripada perempuan, dengan usia antara 20 –

40 tahun. Penyakit ginjal hipertensif juga merupakan salah satu penyebab

gangguan ginjal kronik. Insiden hipertensi esensial berat yang berakhir dengan

gagal ginjal kronik kurang dari 10% (Sukandar, 2006).

2.1.4 Klasifikasi

Klasifikasi derajat penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) sangat

penting sebagai panduan terapi konservatif pada penderita yang mengalami

penyakit gangguan ginjal kronik dan saat dimulainya terapi pengganti faal ginjal.

Derajat penyakit gagal ginjal kronik berdasarkan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)

sesuai dengan rekomendasi National Kidney Foundation Kidney Disease

Outcomes Quality Initiative (NKF-K/DOQI) (2004) dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi gangguan ginjal kronik berdasarkan derajatnya

Derajat Penjelasan LFG (ml/menit/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat

≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan 60 – 89 3 Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang 30 – 59 4 Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat 15 – 29 5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Sumber: NKF-K/DOQI (2004)

Klasifikasi derajat penurunan faal ginjal berdasarkan LFG dapat dilihat

pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Klasifikasi derajat penurunan faal ginjal berdasarkan LFG

Derajat Primer (LFG) Sekunder = Kreatinin (mg%) A Normal Normal B 50% – 80% Normal Normal – 2,4 C 20% – 50% Normal 2,5 – 4,9 D 10% – 20% Normal 5,0 – 7,9 E 5% – 10% Normal 8,0 – 12,0 F < 5% Normal > 12,0

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik

11

Sumber: International committee for nomenclature nosology of renal disease

(1975) dalam (Sukandar, 2006).

2.2 Farmakokinetik Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik

Farmakokinetika dapat dijelaskan sebagai suatu ilmu mengenai waktu

absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat serta hubungannya dengan

respon farmakologis. Ekskresi adalah yang terutama dipengaruhi oleh gangguan

ginjal, tetapi absorpsi, distribusi (termasuk ikatan protein), metabolisme maupun

farmakodinamika dapat berubah. Peningkatan kadar urea darah pada penderita

gagal ginjal dapat meningkatkan kadar urea dalam air liur (saliva) yang biasanya

menyebabkan peningkatan pH asam lambung. Hal ini mengakibatkan penurunan

absorpsi beberapa obat misalnya obat-obat yang mengandung zat besi, digoksin,

dan dekstropropoksifen (Aslam, dkk., 2003).

Pada gangguan ginjal, distribusi obat dapat berubah oleh fluktuasi dalam

tingkat hidrasi atau oleh perubahan ikatan protein. Pada obat yang terdistribusi

secara luas ke jaringan tubuh, maka peningkatan yang besar pada jumlah obat

dalam bentuk tak terikat tidaklah penting. Oleh karena peningkatan obat tak

terikat tersebut, yang jumlahnya kecil bila dibandingkan dengan kadar total dalam

tubuh, akan segera terdistribusi kembali ke jaringan sehingga peningkatan kadar

obat dalam bentuk tak terikat menjadi tidak berarti. Jadi, hanya obat yang

mempunyai volume distribusi (Vd) yang rendah (dimana sebagian besar obat

berada dalam plasma dibandingkan pada jaringan) yang akan terpengaruh. Contoh

obatnya meliputi sulfonilurea seperti tolbutamid (96% dalam bentuk terikat, Vd

10 liter), antikoagulan oral seperti warfarin (99% dalam bentuk terikat, Vd 9 liter)

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik

12

dan fenitoin (90% dalam bentuk terikat, Vd 35 liter). Obat lain yang mempunyai

ikatan protein tinggi antara lain diazoksida, metotreksat, asam nalidiksat,

fenilbutazon, dan sulfonamida (Aslam, dkk., 2003).

Ginjal juga merupakan tempat untuk metabolisme dalam tubuh, tetapi efek

gangguan ginjal hanya bermakna secara klinis pada dua kasus saja. Ginjal

bertanggung jawab terhadap tahap akhir aktivasi vitamin D melalui hidroksilasi

25-hidroksikolekalsiferol menjadi bentuk yang lebih aktif, yaitu 1,25-

dihidroksikolekalsiferol. Proses ini terganggu pada pasien gagal ginjal sehingga

penderita membutuhkan terapi pengganti vitamin D. Ginjal merupakan rute

eliminasi utama untuk berbagai obat dan metabolitnya (baik aktif, tidak aktif,

maupun toksik). Ekskresinya dapat melalui filtrasi glomeruler, sekresi tubulus

atau reabsorpsi. Ekskresi merupakan parameter farmakokinetika yang paling

terpengaruh oleh gangguan ginjal. Obat yang dikeluarkan terutama melalui

ekskresi ginjal dipercaya dapat menyebabkan toksisitas pada penderita gagal

ginjal. Jika obat terutama dimetabolisme menjadi senyawa dalam bentuk tidak

aktif, maka fungsi ginjal tidak akan terlalu mempengaruhi eliminasi senyawa aktif

tersebut. Namun, apabila obat atau metabolit aktifnya diekskresi dalam bentuk

tidak berubah melalui ginjal, maka perubahan pada fungsi ginjal akan

mempengaruhi eliminasinya (Aslam, dkk., 2003).

2.3 Pemeriksaan Darah dan Faal Ginjal

Pemeriksaan darah rutin terdiri atas pemeriksaan kadar hemoglobin,

leukosit, laju endap darah, hitung jenis leukosit, dan hitung trombosit. Beberapa

uji faal ginjal yang sering diperiksa adalah pemeriksaan kadar kreatinin, kadar

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik

13

ureum atau BUN (blood urea nitrogen), dan klirens kreatinin. Pemeriksaan BUN,

ureum, atau kreatinin di dalam serum merupakan uji faal ginjal yang paling sering

dipakai, namun uji ini baru menunjukkan adanya kelainan pada saat ginjal sudah

kehilangan 23 dari fungsinya (Purnomo, 2012).

Kreatinin adalah hasil dari katabolisme otot skeletal, diekskresikan oleh

ginjal dan tidak terpengaruh oleh kondisi hidrasi seseorang. Oleh karena produksi

kreatinin pada orang yang dalam keadaan aktif, setiap harinya relatif konstan,

yakni lebih kurang 1 mg/menit pada orang dewasa, maka pemeriksaan ini cukup

dipercaya sebagai uji pemeriksaan faal ginjal. Nilai kreatinin dipengaruhi oleh

usia, besar atau volume massa otot, dan jenis kelamin. Pada orang yang berotot,

nilai kreatinin lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak berotot, dan pada usia

yang semakin tua, nilai kreatininnya semakin meningkat. Demikian pula pada

lelaki, laju katabolisme otot relatif lebih tinggi daripada perempuan sehingga nilai

kreatinin laki-laki lebih tinggi (Purnomo, 2012).

Pemeriksaan uji faal ginjal yang paling akurat adalah uji rerata laju filtrasi

glomerulus atau glomerular filtration rate (GFR). Cara pengukuran GFR yang

paling tepat adalah dengan menginjeksikan beberapa senyawa, di antaranya inulin,

beberapa radioisotop, 51chromium-EDTA, 125l-iothalamate, 99mTc-DTPA, atau zat

radiokontras iohexol. Namun teknik ini tidak praktis, perlu biaya mahal, butuh

waktu lama, dan berpotensi menimbulkan efek samping. Pemeriksaan klirens

(bersihan) kreatinin hampir mendekati GFR. Lebih kurang 80% nilai kreatinin

adalah hasil dari filtrasi glomerulus (atau sama dengan nilai GFR) dan 20%

merupakan nilai sekresi kreatinin oleh tubulus ginjal. Dalam menilai faal ginjal,

pemeriksaan ini lebih peka daripada pemeriksaan kreatinin atau BUN. Kadar

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik

14

klirens normal pada laki-laki dewasa adalah 80 – 120 ml/menit. Pada perempuan,

nilai tersebut harus dikalikan dengan 0,85. Klirens kreatinin dihitung melalui

rumus: K = 𝑈𝑈𝑈𝑈𝑃𝑃

× 1,73𝐿𝐿

, dimana K adalah nilai klirens kreatinin (ml/menit), U adalah

kadar kreatinin dalam urin (mg/dl), V adalah jumlah urin dalam 24 jam (ml), P

adalah kadar kreatinin dalam serum (md/dl), dan L adalah luas permukaan tubuh

(m2).

Untuk memeriksa klirens kreatinin harus menampung urin selama 24 jam,

hal ini seringkali sulit dikerjakan oleh pasien, kecuali mereka yang menjalani

rawat inap di rumah sakit. Dengan memperhitungkan harga kreatinin serum, usia

pasien, berat badan, dan jenis kelamin, Cockroft dan Gault memperkenalkan

formula untuk meramalkan harga klirens kreatinin tanpa harus memperhitungkan

jumlah urin selama 24 jam (Purnomo, 2012).

Rumus untuk menghitung klirens kreatinin pada pria = (140−𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 )×𝐵𝐵𝐵𝐵

72 ×𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑢𝑢𝑘𝑘𝑢𝑢𝑘𝑘𝑢𝑢𝑘𝑘 𝑢𝑢𝑘𝑘𝑘𝑘𝑢𝑢𝑠𝑠,

sedangkan pada wanita = (140−𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 )×𝐵𝐵𝐵𝐵

72 ×𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑢𝑢𝑘𝑘𝑢𝑢𝑘𝑘𝑢𝑢𝑘𝑘 𝑢𝑢𝑘𝑘𝑘𝑘𝑢𝑢𝑠𝑠× 0,85 , dimana usianya dalam tahun

dan BB merupakan berat badan dalam kilogram. Namun perlu diperhatikan bahwa

persamaan tersebut kurang akurat memperkirakan GFR jika:

1. pasien terlalu banyak mengonsumsi protein, bahan nabati (vegetarian),

atau sedang menggunakan suplemen keratin atau asam amino.

2. berat badan pasien terlalu kurus atau gemuk

3. pasien mengalami gangguan otot, misalnya otot terlalu besar

4. pasien yang tergantung dialisis atau menderita gagal ginjal akut (Nasution,

et al., 2003).

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik

15

2.4 Penyesuaian Dosis Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik

Peresepan untuk penderita dengan gangguan ginjal memerlukan

pengetahuan mengenai fungsi hati dan ginjal penderita, riwayat pengobatan,

metabolisme zat aktivitas obat, lama kerja obat serta cara ekskresinya. Tingkatan

fungsi ginjal yang memerlukan penurunan dosis tergantung berapa bagian obat

yang secara normal dikeluarkan melalui ginjal dan berapa bagian yang melalui

rute metabolisme lain serta seberapa toksis obat tersebut (Aslam, dkk., 2003).

Pada pasien dengan riwayat gangguan ginjal atau penyakit lainnya

(kelainan hati) yang mempengaruhi metabolisme obat, perlu diketahui dengan

jelas dan juga perlu ditelusuri riwayat penggunaan obat dan kemungkinan adanya

alergi obat. Catatan rekam medik harus diteliti dengan cermat terutama bila ada

penambahan obat baru. Pemeriksaan fisik seperti tinggi badan, berat badan,

bentuk tubuh, status nutrisi serta adanya edema atau dehidrasi perlu diidentifikasi

untuk pengaturan dosis obat (Nasution, et al., 2003).

Sebelum melakukan penyesuaian dosis obat apapun, harus ditentukan

secara jelas rute eliminasi bahan tersebut. Eliminasi obat merupakan parameter

yang paling penting untuk dipertimbangkan pada saat penentuan dosis obat karena

eliminasi obat atau metabolitnya mungkin menurun sehingga menyebabkan

peningkatan efek farmakologis atau toksisitas. Eliminasi sebagian besar obat yang

terutama melalui ginjal akan menurun pada pasien yang menderita gangguan

ginjal. Sampai tingkatan mana gangguan ginjal dapat mempengaruhi eliminasi

tergantung pada presentase obat dalam bentuk tidak berubah yang dikeluarkan

melalui ginjal. Sebaliknya, klirens obat yang terutama dieliminasi melalui

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik

16

mekanisme selain ginjal (misalnya, metabolisme melalui hati) tidak terlalu

berubah pada penderita dengan penyakit ginjal (Aslam, dkk., 2003).

Obat yang terutama dalam bentuk metabolit aktif akan diekskresikan

melalui ginjal, maka penyesuaian dosis atau modifikasi takaran sangat penting

untuk pasien dengan advanced renal failure. Takaran pemeliharaan (maintenance

dose) perlu penyesuaian takaran dengan cara interval pemberian obat

diperpanjang atau pengurangan takaran obat. Bila digunakan cara memperpanjang

interval pemberian obat, maka takaran obat sama (usual dose) dan tidak

diperlukan penyesuaian takaran obat. Bila digunakan teknik dosage reduction,

takaran obat dikurangi dari dosis lazim tetapi interval pemberian obat tetap sama.

Teknik penyesuaian takaran obat ini mempunyai tujuan untuk mempertahankan

konsentrasi obat sehingga efek terapeutik cukup efektif dan terhindar dari

akumulasi obat yang dapat menyebabkan efek samping. Pemantauan (monitoring)

konsentrasi obat sangat penting sebagai panduan terapi obat dan mencegah

toksisitas obat (Sukandar, 2006).

Menurut Ashley (2004), bila klirens kreatinin dibawah 60 ml/menit maka

perlu penyesuaian dosis obat yang akan dikonsumsi. Berikut ini beberapa macam

obat yang perlu penyesuaian dosis bila akan diberikan kepada pasien yang

mengalami gangguan ginjal, yaitu:

a. antibiotik/antifungi: aminoglikosida (gentamisin), carbapenem

(meropenem)

b. antikoagulan: low molecular weight heparin (enoxaparin)

c. obat jantung: digoksin dan atenolol

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik

17

d. diuretik: bila klirens kreatinin kurang dari 30 ml/menit maka hindari

penggunaan obat diuretik yang menahan kalium, obat thiazide akan

berkurang efektivitasnya

e. psikotropika/antikejang: lithium dan topiramate

f. obat hipoglikemik: metformin, glibenklamid dan insulin

g. obat lain: methotrexate dan penicillamine

2.5 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik

Antibiotika merupakan suatu obat yang paling banyak digunakan saat ini

oleh banyak orang dan sepertiga dari pasien rawat inap menggunakan antibiotika.

Disamping itu penggunaan antibiotika dapat menimbulkan masalah resistensi dan

efek obat yang tidak dikehendaki. Oleh karena itu, penggunaan antibiotika harus

mengikuti strategi peresepan antibiotika (Aslam, dkk., 2003).

Terdapat beberapa golongan antibiotika yang digunakan pada pasien rawat

inap yang menderita gangguan ginjal kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan

periode Januari – Juni 2014, yaitu:

a. Golongan Cephalosporin

Cephalosporin adalah antibiotika β-lactam yang terkait erat secara

struktural dan fungsional terhadap penicillin. Sebagian besar cephalosporin

diproduksi secara semisintetis melalui ikatan kimiawi rantai samping pada 7-

aminocephalosporanic acid. Cephalosporin mempunyai cara kerja yang sama

dengan penicillin, dan dipengaruhi oleh mekanisme resistensi yang sama.

Meskipun demikian, cephalosporin cenderung lebih resisten daripada penicillin

terhadap β-lactamase tertentu (Harvey, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik

18

Cephalosporin telah diklasifikasikan sebagai generasi pertama, kedua,

ketiga, atau keempat, sebagian besar berdasarkan pola kepekaan bakterinya dan

resistensinya terhadap β-lactamase. [Catatan: cephalosporin tidak efektif melawan

MRSA, L. monocytogenes, Clostridium difficile, dan enterokokus]. Cephalosporin

generasi pertama bekerja sebagai pengganti penicillin G. Generasi ini resisten

terhadap penicillinase stafilokokus dan juga memiliki aktivitas melawan Proteus

mirabilis, E. Coli, dan Klebsiella pneumoniae (disingkat menjadi PecK). Contoh

cephalosporin generasi pertama adalah cefazolin, cefadroxil, cephalexin, dan

cephalothin (Harvey, 2009).

Cephalosporin generasi kedua memperlihatkan aktivitas yang lebih besar

melawan tiga organisme gram-negatif tambahan: H. influenzae, Enterobacter

aerogenes, dan beberapa spesies Neisseria, sedangkan aktivitas melawan

organisme gram-positif lebih lemah (singkatan HENPEcK telah diajukan untuk

cakupan generasi kedua yang lebih luas). [Catatan: pengecualian untuk

generalisasi ini adalah cephamycin yang terkait secara struktural, yaitu cefoxitin

yang memiliki sedikit aktivitas terhadap H. influenzae tetapi efektif terhadap

organisme anaerob Bacteroides fragilis]. Contoh cephalosporin generasi kedua

adalah cefaclor, cefoxitin, cefuroxime sodium, dan cefuroxime axetil (Harvey,

2009).

Cephalosporin generasi ketiga telah memiliki peranan penting dalam

penatalaksanaan penyakit infeksius. Walaupun aktivitasnya terhadap kokus gram-

positif lebih rendah dari generasi pertama, cephalosporin generasi ketiga ini

mempunyai aktivitas yang lebih tinggi melawan basil gram-negatif, meliputi

organisme-organisme yang disebutkan tadi dan juga sebagian besar organisme

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik

19

enterik lainnya, serta Serratia marcescens. Ceftriaxone atau cefotaxime telah

menjadi agen pilihan dalam terapi meningitis. Ceftazidime mempunyai aktivitas

terhadap P. aeruginosa. Contoh cephalosporin generasi ketiga adalah cefdinir,

cefixime, cefotaxime, ceftazidime, ceftibuten, ceftizoxime, dan ceftriaxone.

Cefepime diklasifikasikan sebagai cephalosporin generasi keempat dan harus

diberikan melalui parenteral. Cefepime mempunyai spektrum bakteri yang luas,

aktif melawan streptokokus dan stafilokokus (tetapi hanya terhadap yang peka

methicillin). Cefepime juga efektif melawan organisme gram-negatif aerobik,

seperti enterobacter, E. coli, K. pneumoniae, P. mirabilis, dan P.

aeruginosa(Harvey, 2009).

Mekanisme resistensi bakteri terhadap cephalosporin, pada dasarnya

serupa dengan yang dijabarkan untuk penicillin. [Catatan: walaupun

cephalosporin tidak rentan terhadap hidrolisis oelh penicillinase stafilokokus,

cephalosporin dapat rentan terhadap β-lactamase yang berspektrum luas]. Dalam

pemberiannya, banyak cephalosporin harus diberikan secara IV atau IM karena

absorpsi oralnya yang buruk. Semua cephalosporin didistribusikan secara baik

dalam cairan tubuh. Meskipun demikian, kadar terapeutik yang adekuat dalam

CSF, tanpa memperhatikan inflamasi, hanya diperoleh dengan penggunaan

cephalosporin generasi ketiga. Semua cephalosporin melewati plasenta. Eliminasi

cephalosporin terjadi melalui sekresi tubulus dan atau filtrasi glomerulus. Oleh

sebab itu, dosis harus disesuaikan pada kasus-kasus gagal ginjal berat untuk

berjaga-jaga terhadap akumulasi dan toksisitas. Ceftriaxone diekskresikan melalui

empedu ke dalam feses sehingga sering digunakan pada pasien dengan

insufisiensi ginjal. Cephalosporin menimbulkan sejumlah efek samping, beberapa

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik

20

diantaranya bersifat unik untuk anggota tertentu golongan ini. Pasien yang

mengalami respon anafilatik terhadap penicillin tidak boleh diberikan

cephalosporin. Cephalosporin harus dihindari atau digunakan secara hati-hati pada

orang-orang yang alergi terhadap penicillin (sekitar 5%-15% menunjukkan

sensitivitas-silang). Sebaliknya , insidensi reaksi alergi terhadap cephalosporin

berkisar satu hingga dua persen pada pasien tanpa riwayat alergi penicillin

(Harvey, 2009).

b. Antibiotika β-Lactam Lainnya (Carbapenem)

Carbapenem adalah antibiotika β-lactam sintetik yang berbeda struktur

dengan penicillin dalam hal atom sulfur cincin thiazolidine yang telah dibuang

dan digantikan oleh suatu atom karbon. Imipenem, meropenem, dan ertapenem

adalah obat-obat dari golongan ini yang tersedia saat ini. Imipenem disenyawakan

dengan cilastatin untuk melindunginya dari metabolisme oleh dehidropeptidase

ginjal. Imipenem/cilastatin dan meropenem merupakan sediaan antibiotika β-

lactam dengan spektrum terluas yang tersedia saat ini. Imipenem tahan dari

hidrolisis oleh sebagian besar β-lactamase, tetapi tidak oleh metallo-β-lactamase.

Obat ini berperan dalam terapi empirik karena aktif melawan organisme gram-

positif dan gram-negatif penghasil penicillinase, anaerob, dan P. aeruginosa

(walaupun galur pseudomonas lainnya bersifat resisten, dan galur P. aeruginosa

yang resisten pernah dilaporkan bermunculan selama terapi). Meropenem

memiliki aktivitas antibakteri yang mirip dengan imipenem. Ertapenem bukan

obat alternatif untuk mencakup P. aeruginosa karena sebagian besar galur

menunjukkan resistensi (Harvey, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik

21

Imipenem dan meropenem deberikan secara IV dan menembus dalam

jaringan dan cairan tubuh secara baik, termasuk CSF ketika meninges mengalami

inflamasi. Keduanya diekskresikan melalui filtrasi glomerulus. Imipenem

mengalami pembelahan oleh dehidropeptidase yang ada pada brush border

tubulus proksimal ginjal. Enzim ini membentuk metabolit inaktif yang berpotensi

menyebabkan nefrotoksik. Persenyawaan imipenem dengan cilastatin melindungi

obat induknya sehingga mencegah pembentukan metabolit toksik. Hal ini

membuat obat dapat digunakan dalam terapi infeksi saluran kemih. Meropenem

tidak mengalami metabolisme. Ertapenem dapat diberikan melalui injeksi IV atau

IM. Dosis obat golongan ini harus disesuaikan pada pasien dengan insufisiensi

ginjal. Efek samping dari imipenem/cilastatin ialah dapat menyebabkan mual,

muntah, dan diare. Kadar imipenem yang tinggi juga dapat memicu kejang, tetapi

meropenem lebih sedikit kemungkinannya untuk menyebabkan kejang (Harvey,

2009).

c. Fluoroquinolone

Semua fluoroquinolone bersifat baktesidial. Contoh fluoroquinolone yang

bermanfaat secara klinis adalah ciprofloxacin. Agen ini merupakan

fluoroquinolone yang paling banyak digunakan saat ini di Amerika Serikat. Kadar

serum ciprofloxacin yang dicapai, efektif terhadap banyak infeksi sistemik,

kecuali infeksi serius akibat methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA),

enterokokus, dan pneumokokus. Ciprofloxacin juga bermanfaat secara khusus

dalam mengobati infeksi yang disebabkan oleh berbagai Enterobacteriaceae dan

basil gram-negatif lainnya. Sebagai contoh, traveler’s diarrhea akibat E. colidapat

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik

22

diobati secara efektif. Ciprofloxacin juga merupakan obat pilihan untuk

profilaksis dan terapi anthraks (Harvey, 2009).

Ciprofloxacin merupakan fluoroquinolone paling poten untuk infeksi

Pseudomonas aeruginosa sehingga obat ini digunakan dalam terapi infeksi

pseudomonas akibat fibrosis kistik. Obat ini juga digunakan sebagai alternatif

bagi obat yang lebih toksik, seperti aminoglycoside. Obat ini dapat bekerja secara

sinergistik dengan β-lactam dan juga memiliki manfaat dalam mengobati

tuberkulosis yang resisten. Ciprofloxacin dapat diberikan melalui injeksi IV.

Konsumsi fluoroquinolone dengan sucralfate, antasida yang mengandung

alumunium atau magnesium, atau suplemen makanan yang mengandung besi

dapat mengganggu absorpsi agen-agen ini. Fluoroquinolone diekskresikan melalui

rute ginjal. Efek samping fluoroquinolone tersering adalah mual, muntah, dan

diare, yang terjadi pada tiga hingga enam persen pasien. Fluoroquinolone harus

dihindari pada kehamilan, ibu menyusui, dan pada anak berusia kurang dari 18

tahun karena erosi kartilago artikular (artropati) terjadi pada hewan percobaan

yang belum dewasa. Pada orang dewasa, kadang-kadang, fluoroquinolone dapat

menyebabkan ruptur tendon. Efek terapi fluoroquinolone terhadap sistem saraf

pusat yang paling menonjol adalah sakit kepala dan pusing atau kepala terasa

ringan. Oleh sebab itu, pasien dengan gangguan SSP, seperti epilepsi, harus

diobati secara hati-hati dengan obat-obat ini. Ciprofloxacin mengganggu

metabolisme theophylline dan dapat membangkitkan kejang (Harvey, 2009).

d. Metronidazole

Metronidazole adalah antibakteri sintetik dari nitroimidazole yang

mempunyai aktifitas bakterisid, amebisid dan trikomonosid. Metronidazole

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik

23

efektif terhadap Trichomonas vaginalis, Entamoeba histolytica, Gierdia

lamblia. Metronidazole bekerja efektif baik lokal maupun sistemik. Perlu

perhatian untuk pemberian kepada wanita hamil. Metronidazole, dosis

lazimnya 500 mg setiap 6 – 8 jam dan tidak mengalami perubahan dosis pada

pasien dengan gangguan fungsi ginjal (Troutman, 2002).

Universitas Sumatera Utara