bab ii tinjauan pustaka 2.1 motivasi...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Motivasi Kerja
2.1.1 Definisi Motivasi Kerja
Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya mengarahkan daya potensi
bawahan agar mau bekerja secara produktif berhasil mencapai dan mewujudkan
tujuan yang telah di tentukan. Motivasi kerja terdiri dari dua kata yaitu motivasi
dan kerja. motivasi berasal dari kata dasar Motif, yang mempunyai arti suatu
perangsang, keinginan dan daya penggerak kemauan bekerja seseorang. Motivasi
adalah pemberian daya penggerak menciptakan kegairahan kerja seseorang agar
mereka mau bekerja sama dengan efektif dan terintegrasi dangan segala daya
upayanya untuk mencapai kepuasan (Hasibuan, 2008: 33).
Motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi
untuk tujuan organisasi yang di kondisikan oleh kemampuan upaya itu dalam
memenuhi beberapa kebutuhan individual. Kebutuhan terjadi apabila tidak ada
keseimbangan antara apa yang di miliki dan apa yang di harapkan, dorongan
merupakan kekuatan mental yang berorientasi pada pemenuhan harapan dan
pencapaian tujuan dan tujuan adalah sasaran atau hal yang ingin dicapai oleh
seseorang/individu Menurut Robins (2007:51).
Kerja adalah sejumlah aktifitas fisik dan mental untuk mengerjakan suatu
pekerjaan Hasibuan (2009:97).
9
Bekerja merupakan kegiatan dalam melakukan sesuatu. Motivasi kerja
adalah kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan dan memelihara
perilaku yang berhubungan dengan lingkugan kerja (Fattah, 2008:99).
Motivasi kerja adalah suatu kekuatan potensial yang ada dalam diri
seorang manusia, yang dapat di kembangkan oleh kekuatan luar yang pada
intinya berkisar sekitar imbalan moneter dan imbalan non moneter yang dapat
mempengaruhi hasil kinerjanya secara positif atau secara negatif, hal mana
tergantung pada situasi dan kondisi yang di hadapi orang yang bersangkutan
Winardi (2007: 211).
2.1.2 Teori-Teori Motivasi Kerja
Teori-teori motivasi kerja banyak lahir dari pendekatan-pendekatan yang
berbeda-beda, hal ini terjadi karena yang di pelajari adalah perilaku manusia yang
komplek. Jadi teori-teori ini bagi organisasi dalam memahami karyawannya untuk
melakukan sesuatu.
A. Teori Motivasi 2 faktor atau teori iklim sehat oleh Hezberg
Ada 2 faktor ekstrintik dan intrinstik yang mempengaruhi seseorang
bekerja, yang termasuk dalam faktor ekstrinstik yaitu (higienes) hubungan
interpersonal antara atasan dan bawahan, tehnik supervisi, kondisi kerja dan
kehidupan pribadi. Sedangkan faktor instrinstik (motivator) adalah faktor yang
kehadirannya dapat menimbulkan kepuasan kerja dan meningkatkan prestasi atau
hasil kerja individu (Hezberg, 2008:110).
10
Motivasi seseorang akan di tentukan motivatornya, yang meliputi, prestasi
(achievement), penghargaan (reconigtion), tantangan (chalenge), tanggung Jawab
(responsibity), pengembangan (development), keterlibatan (onvolvement) dan
kesempatan (opportunity) Siswanto (2006:66).
Faktor-faktor motivator meliputi prestasi, pengakuan, tanggung jawab,
kemajuan pekerjaan, dan kemudian kemungkinan berkembang
1. Prestasi (achievment). adalah kebutuhan untuk memperoleh prestasi
dibidang pekerjaan yang di tangani. Seseorang yang memiliki keinginan
berprestasi sebagai kebutuhan “need’ dapat mendorongnya mencapai
sasaran.
2. Pengakuan (recoqnition) adalah kebutuhan untuk memperoleh
pengakuan dari pimpinan atas hasil karya yang telah di capai .
3. Tanggung jawab (responsibilty) adalah kebutuhan untuk memperoleh
peningkatan karir (jabatan)
4. Kemajuan (advencement) adalah kebutuhan untuk memperoleh
peningkatan karier (jabatan).
5. Kemungkinan berkembang (the posibility of growth) adalah kebutuhan
untuk memperoleh peningkatan karier Hezberg (2000:104).
Kebutuhan Maslow menjadi kebutuhan tingkat rendah (fisiologis, rasa
aman, dan sosial) dan kebutuhan tingkat tinggi (penghargaan dan aktualisasi diri).
Cara terbaik untuk memotivasi seseorang adalah dengan memenuhi tingkat
tingginya (Frederick Hezberg, 2008:90).
11
B. Teori motivasi prestasi kerja David Mc.
Teori ini berpendapat bahwa karyawan mempunyai cadangan energi
potensial, bagaimana energi ini dilepaskan dan di gunakan tergantung pada
kekuatan dorongan yaitu:
1. Kekuatan Motif dan kekuatan dasar yang terlibat
2. Harapan dan Keberhasilannya
3. Nilai Insentif yang terletak pada tujuan.
Menurut Mc. Callend kebutuhan manusia yang dapat memotifasi gairah kerja
di kelompokan menjadi tiga (Winardi, 2007:144) yaitu :
a. Kebutuhan akan prestasi, karyawan akan antusias untuk berprestasi
tinggi, asalkan kemungkinan untuk hal itu diberi kesempatan. Seseorang,
menyadari bahwa dengan hanya mencapai prestasi kerja akan mendapat
pendapatan yang besar, dengan pendapatan yang besar ia dapat
memenuhi kebutuhannya.
b. Kebutuhan akan aktualisasi seseorang, karena kebutuhan aktualisasi
akan memotivasi dan mengembangkan diri serta memanfaatkan semua
energinya.
c. Kebutuhan akan kekuasaaan, kebutuhan ini merupakan daya penggerak
yang memotivasi semangat kerja seorang karyawan. ego manusia yang
ingin berkuasa lebih dari manusia lainnya akan menimbulkan persaingan
ini oleh menejer di tumbuhkan secara sehat dalam memotivasi
bawahannya supaya termotivasi untuk bekerja lebih giat.
12
Pada teori yang di capai Mc. Clelland gaji /upah penting sebagai suatu
sumber umpan balik kinerja untuk kelompok karyawan yang berprestasi tinggi
(High Achives) sehingga ia dapat bersikap atraktif. Bagi orang–orang yang
memiliki kebutuhan tinggi akan afiliasi, apabila hal tersebut di berikan sebagai
bonus kelompok dan sangat di nilai tinggi oleh orang–orang yang memiliki
kebutuhan tinggi akan kekuasaan, sebagai alat untuk membeli prestise atau
mengendalikan pihak lain (Winardi, 2007:64).
Bedasarkan pada dua teori diatas, maka pada penelitian ini yang sesuai
adalah teori dua faktor Hezberg (2008:36), untuk yang motivator. Karena Hezberg
mengemukakan bahwa cara terbaik untuk memotifasi seseorang adalah dengan
memenuhi kebutuhan tingkat tingginya. Hezberg mengatakan bahwa memberikan
seseorang kenaikan gaji atau kondisi kerja yang baik tidak dapat memotifasinya
karena kebutuhan tingkat rendah dapat di penuhi secara cepat. Implikasi teori ini
ialah bahwa seorang pekerja mempunyai persepsi berkarya tidak hanya sekedar
mencari nafkah, akan tetapi sebagai wahana untuk memuaskan kepentingan dan
kebutuhannya, bagaimanapun kebutuhan itu di katagorisasikan.
Indikator dalam penelitian ini meliputi : (1). Kebutuhan akan prestasi. (2).
Kebutuhan akan pengakuan. (3). Tanggung jawab dan (4). Kebutuhan untuk
berkembang/kemajuan (Hezberg, 2008:39).
2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi
Faktor faktor yang mempengaruhi motivasi kerja adalah sebagai berikut :
13
A. Faktor motivator
Seperti yang telah dijelaskan diatas faktor motivator ini mencangkup isi
dari pekerjaan dan merupakan faktor instrinstik dari pekrjaan itu sendiri
(Tawale, 2012).
1. Tanggung jawab (Responsibility)
Besar kecilnya tanggung jawab yang dirasakan dan di berikan kepada
seorang tenaga kerja.
2. Kemajuan (Advecement)
Besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja dapat maju dalam
pekerjaannya.
3. Pekerjaan itu sendiri
Besar kecilnya tantangan yang dirasakan tenaga kerja dari
pekerjaanya.
4. Capaian atau prestasi (Achievment)
Besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja mencapai prestasi kerja
yang tinggi.
5. Pengakuan (Recognition) Besar kecilnya pengakuan yang diberikan
kepada tenaga kerja atas unjuk kerjanya.
B. Faktor Higiene
Merupakan faktor ekstrintik yang berkaitan dengan konteks dari pekerjaan
meliputi
14
1. Adminidtrasi dan kebijakan perusahaan, derajat kesesuaian yang
dirasakan tenaga kerja dari semua kebijakan peraturan yang berlaku
dalam perusahaan.
2. Gaji, derajat kewajaran dari gaji yang diterima sebagai imbalan dalam
pekerjaannya.
3. Hubungan antar pribadi derajat kesesuaian yang dirasakan dalam
berinteraksi dengan tenaga kerja lainnya.
4. Kondisi kerja, derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses
pelaksanaan tugas dan pekerjaannya.
2.1.4 Kedudukan Motivasi Kerja Dalam Meningkatkan Kinerja.
Motivasi kerja merupakan suatu dorongan untuk melakukan suatu
pekerjaan. Motivasi kerja erat hubungannya dengan kinerja atau perfomansi
seseorang. Pada dasarnya motivasi kerja seseorang itu berbeda-beda. Ada motifasi
kerjanya tinggi dan ada juga motivasi kerjanya rendah, bila motifasi kerjanya
tinggi maka akan berpengaruh pada kinerjanya yang tinggi dan begitu pula
sebaliknya (Hezberg, 2008:31).
Seseorang yang mempunyai motivasi kerja tinggi maka ia akan bekerja
dengan keras, tekun, senang hati, dan dengan dedikasi tinggi sehingga hasilnya
sesuai dengan tujuan yang ingin di capai. Dari penelitian diatas peneliti dapat
mengambil kesimpulan bahwa motivasi kerja adalah suatu daya penggerak yang
mampu menciptakan dorongan produktifitas kualitas kerja yang baik dan tulus
yang bersumber dari kemauan atau niat sehingga dapat memberikan pelayanan
sebaik-baiknya (Daud, 2007).
15
2.2 Definisi Burnout
2.2.1 Pengertian Bornout
Burnout merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menunjukan satu
jenis stress. Istilah burnout pertama kali diperkenalkan oleh Bradlei pada tahun
1969. Namun tokoh yang di kenal sebagai penemu dan penggagas istilah burnout
Herbert Freudenberger pada tahun 1974 .
Freudenberger menggunakan istilah yang ada pada awalnya digunakan
pada tahun 1960-an untuk merujuk pada efek penyalagunaan obat-obatan
terlarang yang kronis (Freudenberger dan Richelson dalam Farber, 1991).
Deskripsi awal Freudenberger mengenai seseorang yang menderita kena Sindrom
Burnout sebenarnya diawali pada dirinya sendiri. Ia mengatakan bahwa
“....dan anda menyempatkan sebagian besar diri anda dalam pekerjaan.
Anda sebagai gradual terbentuk didalam lingkungan sekitar anda dan di dalam
diri anda ada perasaan bahwa mereka membutuhkan anda. Anda merasakan sense
of comitmenn yang utuh” (Faber, 1991:105).
Maksudnya adalah jika kita bekerja pada suatu pelayanan, misalnya
perawat maka kita akan terbentuk secarap keseluruhan oleh atmosfir layanan
kesehatan secara intens dengan membiarkan keterlibatan pada diri kita dan
sumber emosi kita sampai pada akhirnya kita akan menemukan diri kita dalam
kelelahan.
Gambaran tersebut menjelaskan bahwa terdapat pemahaman awal tentang
burnout adalah suatu bentuk kelelahan yang disebabkan karena seseorang bekerja
terlalu rutin, berdedikasi dan berkomitmen, bekerja terlalu banyak serta
16
memandang kebutuhan dan keinginan mereka sebagai hal ke dua. Hal tersebut
menyebabkan mereka mengalami tekanan-tekanan yang lebih banyak. Tekanan
bisa berasal dari dalam diri mereka sendiri dan dari klien yang amat
membutuhkan jasa dan pelayanan kesehatan (Tawale, 2012).
Dengan adanya tekanan-tekanan ini, maka dapat menimbulkan rasa
bersalah, yang pada gilirannya dapat mendorong mereka untuk menambah energi
lebih besar, ketika realistis yang tidak mendukung idealisme mereka, maka
mereka berupaya untuk tetap mencapai idealisme tersebut sampai akhirnya
sumber tenaga diri mereka terkuras, sehingga mereka mengalami kelelahan atau
frustasi yang disebabkan terhalangnya pencapaian harapan (Freudenberger &
Farber, 1991).
Freudenberger adalah seorang ahli psikologi pada lembaga pelayanan
sosial yang menangani remaja bermasalah. Ia mengamati perubahan perilaku
sukarelawan setelah bertahun-tahun bekerja, hasil pengamatannya ia laporkan
dalam jurnal psikologi profesional pada tahun 1973 yang di sebut sindrom
burnout.
Menurut Farber (1991:200) Para relawan tersebut mengalami kelelahan
mental, kehilangan komitmen, dan penurunan motivasi seiring dengan berjalannya
waktu. Selanjutnya Freuddenberger memberikan ilustrasi tentang apa yang
dirasakan seseorang yang mengalami sindrom tersebut seperti gedung yang
terbakar habis (burne-out). Suatu gedung yang pada mulanya berdiri megah
dengan berbagai aktifitas di dalamnya, setelah terbakar yang tampak hanyalah
kerangka luarnya saja.
17
Demikian pula dengan seseorang yang terkena burnout, dari luar segalanya
masih nampak utuh, tapi didalamya kosong dan penuh masalah seperti gedung
yang terbakar tadi (Faber, 1991:70).
Menurut Pines dan Aronson (dalam kasumastuti 2005), bahwa burnout
adalah salah satu bentuk ketegangan atau tekanan psikis yang berhubungan
dengan stres kronik, yang dialami seseorang dari hari ke hari yang di tandai
dengan kelelahan fisik, mental dan emosional dan depersonalisasi. Hal ini di
jelaskan pula oleh Leatz dan Stolar (dalam kusumastuti 2005) bahwa
permasalahan dapat terjadi dalam jangka waktu yang lama dengan intensitas yang
cukup tinggi keadaan ini disebut dengan burnout, yaitu kelelahan fisik,
emosional, mental di karenakan oleh stres dalam jangka waktu yang cukup lama
pada situasi yang menuntut keterlibatan emosional yang cukup tinggi.
Kreitner dan Kinicki (2007:49) mendefinisikan burnout sebagai kondisi
kelelahan emosional dan sikap-sikap negatif dari waktu ke waktu kreitner dan
kinichi menjelaskan sikap–sikap negatif tersebut antara lain adalah kebosanan,
ketidaksenangan, kegagalan, kerja berlebihan, kekerasan dan ketidakpuasan dan
melarikan diri.
Jika individu mengalami konflik personal yang tak terpecahkan akan
mengalami kebingungan atas tugas dan tanggung jawab, pekerjaan yang
berlebihan namun kurang penghargaan yang sesuai. Atau terjadinya hukuman
yang tidak sesuai dapat menjadi penyebab seseorang mengalami burnout. Sebuah
proses yang dapat menurunkan komitmen mereka atas pekerjaan yang di lakukan
sehingga membuat mereka mengundurkan diri dari tugasnya, proses pengunduran
18
diri ini di tunjukan dengan reaksi meningkatnya keterlambatan, ketidakhadiran
serta penurunan dan kualitas kerja, Riggio (dalam kusumastuti, 2005).
Burnout merupakan perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi
menarik diri secara psikologis dari pekerjaan seperti menjaga jarak dengan klien
maupun bersikap sinis, membolos, sering terlambat dan keinginan pindah kerja
yang kuat. Pandangan Chernis ini nampak sejalan dengan pandangan
Freudenberger bahwa seseorang memiliki sikap antusias dan tujuan yang hendak
mereka capai pada awal bekerja. Ia merasa terpanggil untuk bekerja sehingga
idealisme merekapun tinggi namun stres yang dialami secara kronis menyebabkan
mereka mengalami perubahan motivasi mereka mengalami burnout (Faber,
1991:70).
Berdasarkan definisi-definisi diatas burnout adalah suatu reaksi psikis
yang merupakan respon tubuh terhadap suatu pekerjaan yang di tandai dengan
kebosanan, apatis terhadap lingkungan sekitar, dan hanya peduli pada diri sendiri
dan terjadi secara berangsur-angsur.
Gejala-gejala burnout yaitu :
A. Kelelahan Fisik.
Yang ditunjukan dengan adanya kurang energi merasa kelelahan dalam
kurun waktu yang panjang dan menunjukan keluhan fisik seperti sakit
kepala, mual, muntah, susah tidur dan mengalami perubahan pola makan,
yang diekspresikan dengan kurang bergairah dalam bekerja, dan lebih
banyak melakukan kesalahan (Geroge,2006:53).
19
B. Kelelahan Mental
Yang ditunjukan oleh adanya sikap sinis terhadap orang lain, berpikir
negatif terhadap orang lain, cenderung merugikan diri sendiri, pekerjaan
dan organisasi. Kehidupan pada umunya diekspresikan dengan sikap
mudah curiga terhadap orang lain menunjukan sikap agresif baik dalam
bentuk ucapan maupun perbuatan menunjukan sikap masa bodoh terhadap
orang lain dan dengan sengaja menyakiti diri sendiri (Geroge,2006:54)..
C. Kelelahan Emosional
Yang di tunjukan dengan gejala seperti depresi perasaan tidak berdaya
dan merasa terperangkap dalam pekerjaan, yang biasanya diekspresikan
dengan perasaan yang sering cemas dalam bekerja, mudah putus asa,
merasa tersiksa dengan pekerjaan, mengalami kejenuhan dan kebosanan
dalam bekerja (Geroge, 2006:55).
D. Penghargaan diri yang rendah
Ditandai dengan penyimpulan bahwa dirinya tidak mampu menunaikan
tugas dimasa lalu dan beranggapan sama untuk masa depannya, yang di
ekspresikan dengan merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang
bermanfaat, menggangap bahwa setiap pekerjaan sudah tidak mempunyai
20
arti bagi dirinya, menggangap bahwa dirinya tidak mempunyai masa
depan (Geroge,2006:56).
Gambaran ke 3 dimensi menurut Pines dan Aronson
1. Kelelahan fisik yaitu suatu kelelahan yang bersifat sakit fisik dan
energi fisik. Sakit fisik dicirikan seperti, sakit kepala, sakit punggung,
demam, ngilu rentan terhadap penyakit tegang pada otot leher dan
bahu, sering terkena flu, susah tidur mual, mual gelisah dan perubahan
kebiasaan makan, energi fisik dicirikan seperti energi yang rendah,
rasa letih yang kronis dan lemah (Pines dan Aronson, 2011)
2. Kelelahan emosional yaitu suatu kelelahan pada individu yang
berhubungan dengan perasaan pribadi yang ditandai adanya rasa tidak
berdaya dan depresi. Kelelahan ini di cirikan antara lain rasa bosan,
mudah tersinggung dan sinisme, perasaan tidak menolong, ratapan
yang tiada henti tidak dapat di kontrol, suka marah, gelisah suka
marah tidak peduli terhadap tujuan tidak peduli dengan perasaan
orang lain, merasa tidak memiliki apa-apa untuk di berikan sia- sia,
putus asa, sedih tertekan dan tidak berdaya (Sujipto, 2001).
3. Kelelahan mental yaitu suatu kondisi kelelahan pada individu yang
berhubungan dengan rendahnya penghargaan diri dan depersonalisasi.
Kelelahan mental ini dicirikan antara lain, merasa tidak berharga, rasa
benci, gagal, putus asa, tidak peka, sinis dan kurang simpati dengan
21
orang lain, cenderung masa bodoh dengan dirinnya, pekerjaannya dan
kehidupannya, acuh tak acuh pilih kasih, selalu menyalahkan, kurang
betoleransi terhadap orang yang di tolong, ketidakpuasan terhadap
pekerjaan konsep diri yang rendah, merasa tidak cakap, merasa tidak
kompoten, dan tidak puas dengan jalan hidup (Sujipto, 2001).
Gejala-gejala seseorang mengalami burnout adalah sebagai berikut :
(1) terdapat perasaan gagal di dalam diri.
(2) cepat marah dan sering kesal.
(3) rasa bersalah dan menyalahkan.
(4) keengganan dan ketidakberdayaan.
(5) bersikap negatif dan menarik diri.
(6) perasaan capek dan lelah setiap hari.
(7) hilang perasaan positif terhadap klien.
(8) menunda kontak dengan klien, membatasi telepon dari klien.
(9) bersikap sinis terhadap klien dan acap kali menyalahkan klien.
(10) sulit tidur sampai harus menggunakan obat penenan.
(11) menghindari diskusi mengenai pekerjaan dengan teman kerja.
(12) sering demam dan flu, sakit kepala dan gangguan pencernaan.
(13) kaku dalam berpikir dan resisten terhadap perubahan.
(14) rasa curiga yang berlebihan: paranoid.
(15) konflik perkawinan dan keluarga yang berkepanjangan
22
Burnout tidak selalu terjadi pada setiap orang, karena setiap individu
mempunyai ketahanan mental dan kondisi psikologis yang berbeda-beda.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan diatas nampak bahwa
penekanan burnout terletak pada karakteristik individu dan wujud dari sindrom itu
terletak pada interaksinya dengan lingkungan kerja. Maslach berpendapat bahwa
sumber utama timbulnya burnout adalah karena adanya stres yang berkembang
secara akumulatif akibat keterlibatan pemberi dan penerima pelayanan dalam
jangka panjang namun Maslach sangat tersirat mengakui bahwa penting mencari
faktor di lingkungan kerja tempat terjadinya interakasi antara pemberi layanan dan
penerima pelayanan.selain itu analisis juga perlu mengkaji faktor individu yang
ada pada pemberi pelayanan yang turut memberi sumbangan terjadinya burnout
(Chernis, 2007:39)
2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Burnout
A. Karakteristik Individu
Sumber dari dalam diri individu yang turut memberi sumbangan timbulnya
burnout dapat digolongkan atas 2 faktor yaitu faktor demografi dan faktor
kepribadian (Scaufeuli, 1993).
1. Faktor Demografik
Dari hasil penelitiannya yang mengacu pada perbedaan peran jenis
kelamin antara pria dan wanita. pria lebih rentan terhadap stres dan
burnout jika dibandingkan dengan wanita. Orang berkesimpulan bahwa
wanita lebih lentur jika dibandingkan dengan pria karena dipersiapkan
23
dengan lebih baik atau secara emosional lebih mampu menangani tekanan
yang besar. Farber (1993:224).
Proses sosialisasi pria cenderung dibesarkan dengan kemandirian.
Sehingga diharapkan dapat bersikap tegas, lugas dan tidak emosional,
sebaliknya wanita dibesarkan dengan lebih berorientasi berdasarkan pada
kepentingan orang lain (yang paling nyata mendidik anak). Sehingga
sikap-sikap yang diharapkan dapat berkembang dari dalam dirinya, adalah
sikap membimbing, empati, kasih sayang, membantu, dan kelembutan
perbedaaan cara dalam membesarkan pria dan wanita, berdampak bahwa
setiap jenis kelamin memiliki kekuatan dan kelemahan mengalami
burnout. Seorang pria yang dibiasakan terlibat mendalam secara emosional
dengan orang lain akan lebih rentan terhadap berkembangnya
depersonalisasi. Wanita yang lebih banyak terlibat secara emosional
dengan orang lain akan cenderung rentan terhadap kelelahan emosional.
Pada sisi usia Farber (1991:47) menyatakan bahwa guru-guru dibawah
usia 40 tahun paling beresiko terhadap gangguan yang berhubungan
dengan burnout.
Burnout sering di temui pada individu pada usia muda hal ini wajar sebab
para pekerja pemberi pelayanan pada usia muda di penuhi dengan harapan
yang tidak realistis, jika dibandingkan dengan mereka yang lebih tua.
Seiring dengan pertambahan usia pada umunya individu menjadi lebih
matang, lebih stabil, lebih teguh sehingga memiliki pandangan yang
realistis, (Sceheufili,1993).
24
Status perkawinan juga berpengaruh terhadap timbulnya burnout.
profesional yang berstatus lajang lebih banyak mengalami burnout
daripada yang telah menikah (Farber,1991).
Jika dibandingkan antara seseorang yang memiliki anak dan yang tidak
memiliki anak, yang memiliki anak cenderung memiliki tingkat burnout
yang lebih rendah. Alasannya adalah pertama seseorang yang telah
berkeluarga pada umunya cenderung berusia lebih tua, stabil, matang
secara psikologi. Kedua keterlibatan keluarga dengan anak dapat
mempersiapkan mental seseorang, dalam menghadapi masalah pribadi dan
konflik emosional, ketiga kasih sayang dan dukungan sosial dari keluarga
dapat membantu seseorang dalam mengatasi tuntutan emosional dalam
pekerjaan. Dan keempat seseorang yang telah berkeluarga memiliki
pandangan yang lebih realistis (Scaufeli, dkk 1993).
Profesi yang berlatar belakang pendidikan yang tinggi, cenderung rentan
terhadap burnout jika dibandingkan mereka yang tidak berpendidikan
tinggi. Profesi yang berpendidikan tinggi memiliki harapan atau aspirasi
yang idealis sehingga dihadapkan pada suatu realistis bahwa terdapat
kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan maka muncullah kegelisahan
dan kekecewaan yang dapat menimbulkan burnout, Sebaliknya bagi
profesi yang tidak berpendidikan tinggi, mereka cenderung kurang
memiliki harapan yang tinggi sehingga tidak menjumpai banyak
kesenjangan antara harapan dan kenyataan (Scaufeli, dkk 1993).
25
Terdapat hubungan antara status profesional dengan burnout, status
profesional yang bekerja secara penuh waktu lebih beresiko terhadap
burnout jika dibandingkan dengan profesional yang bekerja paruh waktu.
(Caputo, 1991).
Dalam penelitiannya pada pegawai perpustakaan menemukan bahwa
individu yang mengalami burnout lebih banyak di temukan pada mereka
yang bekerja secara penuh.
2. Faktor Kepribadian
Salah satu karakteristik kepribadian yang rentan terhadap burnout adalah
individu yang idealis dan antusias. Mereka adalah individu-individu yang
memiliki sesuatu yang berharga, burnout lebih banyak terjadi pada nilai
dan usaha sebagian besar orang untuk memenuhi cita-cita pekerjaan
mereka (Pines Aronson, 1998 ).
Guru-guru obsesional penuh kasih, idealis dan berdedikasi cenderung
mengalami “sindrom guru-guru terpukul”, suatu gangguan yang di
paparkan Bloch dengan cara yang dipaparkan hampir sama dengan yang di
paparkan oleh orang lain mengenai burnout. Individu-individu ini
memiliki komitmen yang berlebihan dan melibatkan diri secara mendalam
di pekerjaan akan merasa sangat kecewa ketika imbalan dari usahanya
tidaklah seimbang. Mereka akan merasa gagal dan berdampak pada
menurunnya penilaian, terhadap kompetensi diri. (Ferber, 1991)
26
Penilaian diri yang negatif ini menyebabkan individu lebih
menitikberatkan perhatian pada kegagalan dalam setiap hal sehingga
menyebabkan perasaan tidak berdaya dan apatis (Chernis 1980).
Karakteristik kepribadian berikutnya adalah perfeksionis yaitu individu
yang selalu berusaha melakukan pekerjaan sampai sangat sempurna
sehingga akan sangat mudah merasa frustasi bila kebutuhan untuk tampil
sempurna tidak tercapai. Karenya menurut Caputo (1991), individu yang
perfeksionis cenderung mengalami burnout.
Kemampuan yang rendah dalam mengendalikan emosi juga merupakan
salah satu karakteristik yang dapat menimbulkan burnout. Maslach (dalam
Scaufeli dkk 1993) menyatakan bahwa seseorang ketika melayani klien
pada umumnya mengalami emosi negatif misalnya marah, jengkel, takut,
cemas, khawatir dan sebagainya bila emosi-emosi tersebut tidak dapat di
kuasai mereka akan bersikap impulsif, menggunakan mekanisme
pertahanan diri secara berlebihan atau menjadi terlarut dalam
permasalahan klien. Kondisi tersebut akan menimbulkan kelelahan
emosional. Maslach (dalam scaufelli 1993).
Menurut Khan (dalam Chernis 1980) individu yang introvert akan
mengalami ketegangan emosional yang lebih besar saat menghadapi
konflik karena mereka cenderung menarik diri dan hal ini akan
menghambat efektifitas penyelesaian konflik.
27
B. Lingkungan Kerja
Beberapa tokoh seperti Chernis. Pines, dan Aronson berpendapat bahwa
masalah beban kerja yang berlebihan adalah salah satu faktor dari pekerjaan yang
berdampak pada timbulnya burnout, (Scaufeli dkk 1993).
Beban kerja yang berlebihan bisa meliputi jam kerja, jumlah individu yang
harus di layani, tanggung jawab yang harus di pikul, pekerjaan rutin dan yang
bukan rutin, dan pekerjaan adminidtrasi lainnya yang melampui kapasitas dan
kemampuan individu, disamping itu beban kerja yang berlebihan dapat
mencangkup segi kuantitatif yang berupa jumlah pekerjaan dan kualitatif yaitu
tingkat kesulitan pekerjaan tersebut yang harus di tangani beban kerja yang
berlebihan menyebabkan pemberi pelayanan merasakan adanya ketegangan
emosional saat melayani klien sehingga dapat mengarahkan perilaku pemberi
pelayanan untuk menarik diri secara psikologi dan menghindari diri untuk terlibat
dengan klien (Schaufeli dkk.1993).
Caputo, Pines, Aronson, dan Chernis Maslach (dalam Sujipto, 2001).
Dukungan sosial dari rekan kerja turut berpotensi dalam menyebabkan burnout.
Sisi positif yang dapat diambil bila memiliki hubungan yang baik dengan rekan
kerja, yaitu mereka merupakan sumber emosional bagi individu saat menghadapi
masalah dengan klien.
Individu yang memiliki persepsi adanya dukungan sosial akan merasa
nyaman, diperhatikan, dihargai atau terbantu oleh orang lain. Sisi negatif dari
rekan kerja dapat menimbulkan burnout adalah terjadinya hubungan antara rekan
kerja yang buruk. Hal tersebut dapat terjadi apabila hubungan antara mereka
28
diwarnai dengan konflik, saling tidak percaya, mencurigai dan saling bermusuhan
(Schaufeli dkk 1993)..
Sejumlah kondisi yang potensial terhadap timbulnya konflik antar rekan
kerja, yaitu: (1). Perbedaaan nilai pribadi. (2). Perbedaan pendekatan dalam
melihat permasalahan. (3). Dan mengutamakan kepentingan pribadi dalam
berkompotensi. Disamping dukungan sosial dari rekan kerja tersebut, dukungan
sosial yang tidak ada dari atasan juga menjadi sumber stres emosional yang
berpotensi menimbulkan burnout. (Chernis,1980).
Kondisi atasan yang tidak responsif akan mendukung terjadinya situasi
yang menimbulkan ketidakberdayaan, yaitu bawahan akan merasa segala
upayanya dalam bekerja tidak akan bermakna. (Chernis; Pines dan Aronson;
Maslach dalam Sujipto 2002).
Khan (dalam Chernis 1990) menyatakan bahwa konflik peran merupakan
faktor potensial terhadap timbulnya burnout. Konflik peran ini muncul karena
adanya tuntutan tidak sejalan dengan atau bertentangan (1). seorang guru
diharapkan untuk menerapkan disiplin kepada siswa, namun disisi lain ia harus
memperlihatkan perasaan kasih sayang, perhatian rasa humor, agar suasana
pembelajaran dapat tercipta dengan baik. (2). Guru-guru ingin agar siswa yang
hiperaktif tetap dipertahankan di sekolah namun pihak yayasan sekolah meminta
agar siswa yang berkelakuan seperti itu harus dikeluarkan dari sekolah. dan (3).
Sebagai pekerja sosial ia harus melakukan kerja lembur namun sebagai seorang
ibu ia juga harus memperhatikan kebutuhan keluarga pula.
29
Keacuhan siswa, ketidakpekaan penilik sekolah/pengawas, orang tua siswa
yang tidak peduli, kurangnya apresiasi masyarakat dengan pekerjaan guru, kritik
masyarakat, pindah kerja yang tidak dikehendaki, kelas yang terlalu padat, kertas
kerja yang berlebihan, bangunan fisik sekolah yang tidak baik, hilangnya otonomi,
dan gaji yang tidak memadai merupakan beberapa faktor lingkungan sosial yang
turut berperan menimbulkan burnout Farber (1991).
C. Keterlibatan emosional dengan penerima pelayanan
Bekerja melayani orang lain membutuhkan banyak energi karena harus
bersikap sabar dan memahami orang lain dalam keadaan krisis, frustasi dan
ketakutan, dan kesakitan). Pemberi dan penerima pelayanan turut membentuk dan
mengarahkan terbentuknya hubungan yang melibatkan emosional dan secara tidak
sengaja dapat menyebabkan stres emosional karena keterlibatan antar mereka
dapat memberikan penguatan positif atau kepuasan bagi kedua belah pihak, atau
sebaliknya. Freudenberger (dalam Farber 1991).
Para pekerja dibidang sosial sering menerima umpan balik yang negative.
Hal ini disebabkan oleh tuntutan masyarakat terhadap pelayanan sehingga
individu kesulitan untuk mencapai standart yang diinginkan oleh masyarakat.
Demikian halnya jika pemberi pelayanan dapat memenuhi standart tersebut,
masyarakat pada umunya tidak memberikan pujian, sebab mereka menganggap
bahwa memang sudah seharusnya seperti itu, hal lain yang turut mempengaruhi
rendahnya penghargaan adalah bahwa penerima pelayanan tidak mampu
memberikan umpan balik positif karena keterbatasan mereka, misalnya siswa
dengan keterbelakangan mental dengan keadaan yang selalu menerima umpan
30
balik yang negatif maka pada diri pemberi pelayanan akan terbentuk sikap yang
negatif terhadap penerima pelayanan. Maslach, Caputo, Chernis (dalam Sujipto
2002).
Pada sisi lainnya karyawan sebagai pemberi pelayanan sering menghadapi
karakteristik penerima pelayanan yang sulit ditangani atau klien yang bermasalah
berat dan hal ini mendatangkan stres yang berat, dan hal ini mendatangkan stres
yang emosional. (Scaufeli dkk 1993).
Memberi contoh dalam situasi kerja yang menekan emosional yaitu
merawat pasien yang bagian psikiatri yang tidak mampu menolong diri sendiri.
Individu terus. dihadapkan pada kondisi yang menekan secara emosional akan
mudah merasa kesal, marah tertekan, jengkel, dan perasaan tidak enak lainnya.
Apabila jika ditambah oleh perilaku klien yang tidak memberikan umpan balik
positif, maka akan turut menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan.
Maslach (dalam Scaufeli 1993).
2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Burnout Dalam Kerja.
Mengatakan ada 3 faktor dalam organisasi yang menjadi sumber burnout
yaitu :
A. Desain Organisasi
Desain organisasi memiliki 4 peranan penting yang dapat menyebabkan
burnout
31
1. Struktur peran pada kondisi ini dapat menyebabkan burnout
melalui konflik peran dan ketidakjelasan peran. Chernis
(dalam Daud, 2007).
2. Konflik peran dan ketidakjelasan, menyatakan bahwa individu
dapat mengalami kesulitan untuk melaksanakan tuntutan
pekerjaan, yang dapat menyebabkan individu merasa tidak
mungkin mencapai suatu kesuksesan dalam suatu pekerjaan.
Individu merasa tidak mampu mengubah situasi kerja dan
meminimalkan konflik peran dan ketidakjelasan peran maka
perasaan tidak berdaya individu akan menimbulkan perilaku
menarik diri secara emosional. Chernis (dalam daud, 2005).
3. Struktur kekuasaan dalam program layanan manusia .
Ada sejumlah tugas yang seharusnya dilaksanakan oleh
individu maka akan ada sejumlah keputusan yang akan di buat,
beberapa keputusan yang berpengaruh pada kinerja individu di
buat oleh individu itu sendiri. Individu bersama orang lain
dalam kelompok atau orang lain. Chernis (dalam daud, 2005).
4. Struktur yang normatif
Hal yang tercakup dalam struktur normatif antara lain tujuan
norma dan ideologi organisasi. Tujuan organisasi yang di
jabarkan secara spesifik dan operasional dapat mengurangi
burnout. Chernis (dalam daud, 2005).
32
B. Kepemimpinan
Kepemimpinan dan pengawasan merupakan variabel yang sangat
signifikan berhubungan dengan burnout. Konsep kepemimpinan yang ideal selalu
berubah dari waktu ke waktu namun asumsi bahwa kualitas pemimpin
menentukan motivasi dan kinerja bawahan selalu di terima. Parlaman dan
Hartman (dalam kusumastuti,2005).
Adanya hubungan antara derajat keterasingan pada perawat dengan cara
yang di gunakan oleh atasan dalam memberikan perintah. Atasan yang
memberikan alasan pada setiap perintahnya. lebih kecil kemungkinan daripada
atasan yang bersifat secara otoriter atau sewenang-wenang. Chernis (dalam daud
2007).
C. Interaksi Sosial Dan Dukungan Rekan Kerja
Dukungan rekan kerja merupakan variabel yang secara signifikan
berhungan dengan burnout dan interaksi sosial dengan rekan kerja merupakan
sumber dukungan bagi individu untuk dapat menyesuaikan diri dengan stress.
Hartman (Dalam Kusumastuti, 2005).
Individu kecil kemungkinannya untuk mengalami burnout dalam suatu
organisasi dengan memberikan kesempatan pada individu untuk mengukapkan
perasaan akan mednapatkan dukungan dengan umpan balik positif dari rekan
kerja. Pines (dalam daud, 2007).
Berdasarkan kesimpulan diatas maka peneliti merumuskan burnout adalah
suatu reaksi psikis yang merupakan respon tubuh terhadap suatu pekerjaan yang di
33
tandai dengan kebosanan, apatis terhadap lingkungan sekitar, dan hanya peduli
pada diri sendiri dan terjadi secara berangsur-angsur.
2.2.4 Alat ukur Burnout
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur burnout dikembangkan oleh
Maslach yang dikenal sebagai Maslach Burnout Inventory (MBI). MBI diciptakan
oleh Maslach dan Jackson pada tahun 1981 untuk mengukur burnout pada pekerja
bidang Pelayanan Sosial dan dikenal sebagai MBI-Human Services Survey (MBI-
HSS). MBI versi kedua kemudian didesain bagi para pendidik yaitu MBI-
Educators Survey (MBI-ES). Kedua versi tersebut sama-sama terfokus pada jenis
pekerjaan yang mengharuskan individu berinteraksi secara intensif dengan orang
lain yaitu klien dan pasien atau mahasiswa dan murid (Maslach, Schaufeli &
Leiter, 2001).
Alat ukur MBI terdiri dari 22 item pertanyaan yang menggambarkan tiga
skala/dimensi. Schaufeli & Leiter, (2001). pengukuran yaitu :
1. Physical Exhaustion (Kejenuhan Fisik)
2. Emotional Exhaustion/Depersonalization (Kejenuhan
Emosional/Depersonalisasi)
3. Personal Accomplishment (Pencapaian personal)
Pengukuran tingkat burnout dibagi menjadi empat kategori berdasarkan
jumlah angka yang dihasilkan dari jawaban pertanyaan-pertanyaan diatas,
sebagai berikut:
34
0-55 Tidak Burnout (Bahagia).
Tingkatan ini menunjukkan bahwa seseorang merasa cukup bahagia. Skor
yang rendah adalah skor yang bagus yang menunjukkan seseorang dapat
mengatasi stres dengan baik. Walaupun seseorang mengalami stres, tetapi ia dapat
mengelola stres dengan baik dan dapat membuat hidupnya berimbang. Orang-
orang pada tingkatan skor ini tidak akan mudah naik pitam, dan dapat menerima
stress yang dialami dalam perjalanan hidup.
56-110 Burnout Ringan (Sinyal Hijau)
Tingkatan ini menunjukkan perlunya memonitor situasi yang dihadapi dan
pengambilan tindakan jika keadaan yang dihadapi menjadi lebih buruk. Walaupun
tidak perlu diberi peringatan, namun orang pada tingkatan ini perlu meluangkan
waktu untuk merefleksi tindakan yang telah diambil untuk mempertimbangkan
penyebab stres yang dihadapi, apakah semakin mudah atau semakin sukar untuk
ditangani.
111-165 Burnout Sedang (Sinyal Kuning)
Orang-orang pada tingkatan ini cenderung mudah terkena burnout. Ritme
kehidupannya cenderung “panas”. Ia sebaiknya berhenti sejenak dari kegiatan-
kegiatannya untuk menentukan prioritas kegiatan dan menghilangkan beberapa
penyebab stres. Orang pada tingkatan ini perlu pula memeriksakan kesehatan,
meninjau kembali tujuan hidup, keseimbangan antara kerja dan hiburan, dan
sistem dukungan sosial yang dimilikinya (keluarga, teman dan jaringan sosial
lainnya.
165-220 Burnout Berat (Sinyal Merah)
35
Mereka yang mendapatkan skor pada tingkatan ini sebaiknya segera
berhenti untuk beristirahat sebelum muncul tanda-tanda wake-up call yang lebih
serius. Mereka membutuhkan konsultansi dan nasihat, baik medis maupun
psikologis agar terhindar dari kondisi kehilangan kendali. Ia memerlukan istirahat
serta menilai kembali hidup dan pekerjaannya. Perolehan skor di tingkatan ini
menunjukkan bahwa ia sedang dalam tekanan stres berlebihan dalam waktu yang
menerus dan sudah cukup lama. Perlu diwaspadai bahwa manusia mempunyai
batas toleransi fisik dan mental. Diperlukan langkah-langkah konkrit untuk
menanggulangi sinyal-sinyal bahaya yang timbul, misalnya dengan berkonsultasi
intensif dengan profesional dan mendapatkan dukungan penuh berkesinambungan
dari keluarga dan jaringan sosial yang dimilikinya untuk mendapatkan masukan
dan kemudian menentukan arahan masa depan hidup selanjutnya.
Alat ukur Maslach Burnout Inventory bisa digunakan untuk mengukur
level burnout para pekerja pemberi jasa dengan apa yang mereka rasakan,
dengan skala 1-10 yang berisi tingkat Tidak Setuju (0) sampai Setuju (10).
2.3 Perawat
2.3.1 Pengertian Perawat
Registrasi dan praktik perawat di jelaskan bahwa perawat adalah
seseorang yang telah lulus pendidikan keperawatan baik di dalam maupun luar
negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(Menkes 2001)
Pengertian perawat adalah deseorang (seorang profesional) yang
mempunyai kemampuan tanggung jawab dan kewenangan melaksanakan
36
pelayanan/asuhan keperawatan pada berbagai jenjang pelayanan keperawatan
(Kusnanto, 2003).
Definisi perawat adalah orang yang telah menyelesaikan pendidikan
profesional keperawatan, dan diberi kewenangan untuk melaksanakan peran serta
fungsinya. Pengertian fungsi adalah suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan
sesuai dengan perannya. Fungsi dapat berubah dari suatu keadaan ke keadaan
yang lain. Perlunya perawat mengetahui apa peran dan fungsinya supaya perawat
dapat memberikan pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan berdasarkan pada ilmu keperawatan. (Wardhono 1998).
2.3.2 Fungsi Perawat
Putri (2010:81). Fungsi perawat ada 3. yaitu :
A. Fungsi Keperawatan Mandiri (Independen).
B. Fungsi Keperawatan Ketergantungan (Dependen).
C. Fungsi Keperawatan Kolaboratif (Interdependen),
1. Fungsi Independen.
Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain,
dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri
dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan dalam rangka
memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti pemenuhan kebutuhan
fisiologi (pemenuhan kebutuhan oksigenasi, pemenuhan kebutuhan
cairan dan elektrolit, pemenhuan kebutuhan nutrisi, pemenuhan
kebutuhan aktivitas, dan lain-lain), pemenuhan kebutuhan keamanan
37
dan kenyamanan, pemenuhan kebutuhan cinta mencintai, pemenuhan
kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri.
2. Fungsi Dependen
Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas pesan
atau instruksi dari perawat lain sebagai tindakan pelimpahan tugas yang
diberikan. Biasanya dilakukan oleh perawat spesialis kepada perawat
umum, atau dari perawat primer ke perawat pelaksana.
3. Fungsi Interdependen
Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling
ketergantungan di antara tim satu dengan lainya fungsi ini dapat
terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerjasama tim
dalam pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan
keperawatan pada penderita yang mempunyai penyakit kompleks
keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan
juga dari dokter ataupun lainya, seperti dokter dalam memberikan
tanda pengobatan bekerjasama dengan perawat dalam pemantauan
reaksi obat yang telah di berikan. (Putri, 2010:81)
2.3.3 Peran Perawat
Perawat mempunyai peran penting terhadap klien. Berikut ini beberapa
peran perawat yaitu :
A. Peran Sebagai Advokat (Pembela) Klien
Bertanggung jawab membantu klien dan keluarga dalam
menginterpretasikan informasi dari berbagai pemberian pelayanan dan
38
dalam memberikan informasi lain yang diperlukan untuk mengambil
persetujuan (informed concent) atas tindakan keperawatan yang
diberikan kepadanya.
1. Mempertahankan dan melindungi hak-hak klien, harus dilakukan
karena klien yang sakit dan dirawat di rumah sakit akan
berinteraksi dengan banyak petugas kesehatan. Perawat adalah
anggota tim kesehatan yang paling lama kontak dengan klien,
sehingga diharapkan mampu membela hak-hak klien seperti hak
atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang
penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya
sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian.
2. Peran ini dilakukan untuk meningkatkan tingkat pengetahuan
kesehatan dan kemampuan klien dalam mengatasi kesehatannya.
3. Memberi informasi dan meningkatkan perubahan perilaku klien.
B. Peran Sebagai Koordinator
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta
mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga
pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan
kebutuhan klien.
C. Peran Sebagai Kolaborator
Perawat disini sabagai kolaborator, karena perawat bekerja melalui
tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi, dan lain-
lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang
39
diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan
bentuk pelayanan selanjutnya.
D. Peran sebagai konsultan
Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau
tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan.
E. Peran Sebagai Pembaharu
Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan
perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai
dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.
F. Perawat Sebagai Pemberi Asuhan Keperawatan
Perawat bertugas menjaga dan memperhatikan kondisi klien
bardasarkan pemberian asuhan keperawatan.
2.3.4 Sifat-Sifat Yang Mendasari Dedikasi Seorang Perawat
Seorang perawat harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
A. Minat Terhadap Orang Lain.
Seorang perawat seharusnya dapat menyenangi orang lain khususnya
kepada siapa yang membaktikan diri dan kepada siapa ia bekerja.
B. Memiliki Kepekaan (Derajat Sensitifiitas)
Perawat harus memiliki kepekaan karena ia menghadapi beraneka
ragam kepribadian sehingga harus membedakan setiap orang yang di
hadapi.
C. Menghargai Hubungan-Hubungan.
40
Keberhasilan seorang perawat juga di tentukan oleh kemampuan
mengadakan penyesuaian-penyesuaian yakni hubungan-hubungan dan
ikatan- ikatan kemanusiaan yang di perlukan dalam menangani orang
yang sehat dan sakit
D. Sikap Terhadap Mereka yang Berkedudukan Lebih Tinggi.
Seorang perawat yang bekerja dengan perawat senior atau dokter
selalu perlu mengingat bahwa pada setiap pengambilan keputusan dan
tindakan yang baru, perlu mempertimbangkan pendapat perawat
supervisor atau dokter yang merawat pasien tersebut. (Gunarsa,
2008:61).
2.4 Hubungan Antara Motivasi Kerja Dengan Dengan Burnout Pada
Perawat.
Peran perawat dalam dunia kesehatan tidak kalah pentingnya dengan
profesi seorang dokter. Dalam kaitannya dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan profesionalisme kerja seorang perawat di tuntut memiliki dedikasi
kerjanya. Seorang perawat harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
A. Minat Terhadap Orang Lain.
Seorang perawat seharusnya dapat menyenangi orang lain khususnya
kepada siapa yang membaktikan diri dan kepada siapa ia bekerja.
(Gunarsa,2008:61)
41
B. Memiliki Kepekaan (Derajat Sensitifitas)
Perawat harus memiliki kepekaan karena ia menghadapi beraneka
ragam kepribadian sehingga harus membedakan setiap orang yang di
hadapi. (Gunarsa,2008:61)
C. Menghargai Hubungan-Hubungan.
Keberhasilan seorang perawat juga di tentukan oleh kemampuan
mengadakan penyesuaian-penyesuaian yakni hubungan-hubungan dan
ikatan- ikatan kemanusiaan yang di perlukan dalam menangani orang
yang sehat dan sakit. (Gunarsa,2008:61)
Salah satu hal yang mendasari sifat-sifat profesionalisme kerja perawat
tersebut ialah motivasi kerja. Seseorang yang dikatakan memiliki motivasi kerja
yang tinggi apabila ia merasakan mulai adanya bentuk perhatian dan dorongan
yang di berikan dari suatu instansi yang terkait untuk dirinya dalam rangka
menghargai suatu pekerjaan yang telah dilakukan, sehingga ia akan merasa puas
terhadap hasil pekerjaan yang telah ia lakukan (Anoraga, 2006).
Wujud nyata dari adanya motivasi kerja yang tinggi pada perawat di
tunjukan dengan perilaku perawat tulus terhadap adanya tugas untuk memberikan
pelayanan kesehatan kepada orang lain, selalu menjaga keseimbangan sikap
dalam berbagai situasi selalu bersikap positif terhadap pekerjaanya.
Dengan kata lain seorang perawat yang ideal memiliki motivasi kerja
yang baik adalah perawat yang mampu memahami segala bentuk keluhan pasien
tentang penyakitnya dan mampu menjaga hubungan yang baik diantara pasien,
rekan kerja suster kepala, dan juga dokter. Selain itu seorang perawat tersebut
42
memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas-tugas yang
dikerjakannya dan mampu menunjukan prestasi kerja yang baik dengan intansi
terkait.
Dalam melaksanakan tugasnya seorang perawat akan mudah mengalami
stres apabila kurang mampu mengadaptasikan keinginan dan kenyataan. Hal ini
diakibatkan karena perawat sering dihadapkan pada suatu usaha penyelamatan
nyawa seseorang. Perawat juga selalu dihadapkan pada hal-hal yang monoton dan
rutin ruang kerja yang sesak dan sumpek dalam menangani peralatan, seorang
perawat dituntut lebih berhati-hati dan bertindak cepat dalam menangani keluhan
pasien, selain itu dalam hal hubungannnya dengan pekerjaan seorang perawat,
semakin banyak jumlah pasien yang dirawat dan semakin beragamnya penyakit
serta tingkat kebutuhan yang tinggi dari pasien akan membuat perawat menjadi
rentan terkena stres jika perawat tidak mampu memenejmen pekerjaanya. Hal ini
dapat memicu terjadinya stres kerja .
Stres kerja dapat terjadi dalam komponen-komponen fisik pekerjaan atau
lingkungan sosial pekerjaan. Gejala stres ini ditandai dengan hilangnya nafsu
makan, turunya berat badan yang drastis, susah tidur atau kelelahan secara terus-
menerus. (Fraser, 2010:226)
Permasalahan akan muncul bilamana stres dalam jangka waktu yang lama
dengan intensitas yang cukup tinggi inilah yang disebut dengan burnout. Burnout
seorang perawat adalah suatu keadaan dimana seorang perawat mengalami
kelelahan secara fisik, mental dan emosional terhadap pekerjaan yang sedang di
kerjakannya, kelelahan ini desebabkan oleh aktivitas yang di lakukan oleh perawat
43
itu setiap hari, dan juga karena kurangnya dukungan atau motivasi dari rekan-
rekan atau atasan bahkan dari lingkungan sekitar. Jika hal ini terjadi secara terus
menerus akan mengakibatkan stres dan pada gilirannya akan berkembang pada
suatu kondisi yang disebut dengan burnout. Berdasarkan hal tersebut peneliti
ingin mengungkapkan ada hubungan antara burnout dengan motivasi kerja pada
perawat di IRD RSUD Dr. M.M Dunda Limboto.
2.5 Kerangka Berpikir
Motivasi kerja adalah suatu kekuatan potensial yang ada dalam diri
seseorang manusia, yang dapat dikembangkan oleh kekuatan luar yang pada
intinya berkisar sekitar imbalan moneter yang dapat mempengaruhi hasil
kinerjanya secara positif atau secara negatif, hal mana bergantung pada situasi dan
kondisi yang di hadapi orang yang bersangkutan (Winardi, 2007:50).
Faktor yang mempengaruhi motivasi kerja meliputi prestasi, pengakuan,
tanggung jawab, kemajuan, dan kemungkinan berkembang. Motivasi kerja ini
memiliki hubungan dengan burnout. (Hezberg, 2008)
Burnout adalah semacam stres atau kebosanan atau rasa frustasi yang
dapat menyebabkan anda merasa letih, mudah tersinggung, nyeri disana sini dan
merasa tua.Terdapat faktor-faktor yang dapat menyebabkan burnout, yaitu faktor
dalam diri individu dan faktor yang berasal dari luar individu. Faktor yang berasal
dari dalam individu yaitu (1). Krakteristik individu yang meliputi: Faktor
demografi dan Faktor kepribadian. (2). Lingkungan dan (3.) Keterlibatan
emosional dengan penerima pelayanan. (Alex, 2008:89).
44
2.5.1 Kerangka Teoritis
Hubungan Antara Motivasi Kerja Dengan Burnout Pada Perawat
Sumber: Modifikasi Hezberg (2007) & Chernis (dalam Daud 2005).
Faktor – Faktor yang
mempengaruhi Burnout
kerja pada Perawat
1. Desain Organisasi
2. Kepemimpinan
3. Interaksi Ssosial
Faktor-Faktor Lain yang
mempengaruhi Burnout
1. Faktor Demografi
dan Faktor
Kepribadian.
2. Keterlibatan
emosional dengan
penerima
pelayanan.
3. Lingkungan.
Motivasi Kerja Burnout
pada
Perawat
45
2.5.2 Kerangka Konsep
Hubungan Motivasi Kerja Perawat Dengan Kejadian Burnout
Keterangan :
: Variabel Independen
: Variabel Dependen
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan landasan teori diatas maka hipotesis dari penelitian ini adalah
sebagai berikut : “Ada Hubungan Antara Motivasi Kerja dengan Burnout Pada
Perawat di IRD RSUD Dr. M.M Dunda Limboto.
H0 : Tidak ada hubungan antara motivasi kerja dengan burnout pada
perawat IRD RSUD Dr. M.M Dunda Limboto.
H1 : Ada hubungan antara motivasi kerja denga burnout pada perawat
IRD RSUD. Dr. M.M Dunda Limboto.
Motivasi
Kerja
Burnout
pada
Perawat
46