bab ii tinjauan pustaka 2.1 karsinogenesis kulit · 2018. 11. 13. · 11 bab ii tinjauan pustaka...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karsinogenesis Kulit
Karsinogenesis adalah proses normal sel yang ditransformasikan ke dalam
sel-sel kanker, terjadi secara bertahap, yang disebabkan oleh mutasi genetik dari
sel normal, yang menyebabkan pembelahan sel tak terkendali akibat terganggunya
keseimbangan antara proliferasi sel dan kematian. Proses ini dapat diaktivasi oleh
berbagai karsinogen lingkungan (seperti uap bensin, asap rokok, emisi industri),
bahan-bahan inflamasi (seperti TNF dan H2O2)dan promotor tumor (ester phorbol
dan asam okadaik) (Aggarwal, 2006). Terdapat dua golongan besar tumor yaitu
tumor jinak dan tumor ganas atau yang dikenal sebagai kanker. Dua jenis tumor
ini memiliki perbedaan sifat yang nyata, yaitu bahwa tumor jinak hanya dapat
menyebabkan kematian secara langsung jika lokasi tumbuhnya membahayakan
misalnya tumor yang berlokasi di leher yang dapat menyumbat saluran napas,
sedangkan tumor ganas lebih berbahaya, bersifat fatal dan dapat menyebabkan
kematian (Kimoto, 1998).
Tumor jinak dapat tumbuh secara lokal menjadi besar, namun tidak
menginvasi jaringan berdekatan dan tidak menyebarkan benih (metastasis). Tumor
ini biasanya tidak tumbuh kembali setelah dioperasi (Teich, 1997). Tumor ganas
(kanker) tumbuhnya relatif lebih cepat, akibatnya akan tampak tumor membesar
dengan cepat di permukaan tubuh dan seringkali di puncaknya disertai dengan
luka yang tidak kunjung sembuh. Luka menahun ini disebabkan oleh suplai nutrisi
kepada sel-sel tumor tidak adekuat untuk mengimbangi pertambahan sel-sel tumor
12
yang sangat cepat dan berlipat ganda, akibatnya sebagian sel yang berada diujung
tidak mendapat nutrisi dan akhirnya mengalami nekrosis (Anan, 2000). Tumor
ganas berpotensi menginvasi dan merusak jaringan yang berdekatan dan pada
akhirnya terjadi metastasis.
Berdasarkan jaringan asal, tumor terbagi menjadi: 1) Tumor asal epithelial,
yang dalam hal ini menjadi obyek penelitian yang dianggap ganas bila menembus
basal lamina dan dianggap jinak bila tidak menembus basal lamina; 2) Tumor asal
mesenchymal; 3) Tumor sel darah; dan 4) Tumor sel germ. Tumor kulit terjadi
akibat mutasi DNA sel kulit, mengaktifkan onkogen atau gen tumor supresor
sehingga akhirnya menyebabkan tumor. Mutasi gen tumor suppressor dapat
menimbulkan kanker, akan tetapi dibutuhkan akumulasi mutasi agar dapat
menimbulkan tumor oleh karena mutasi dalam satu onkogen atau satu gen tumor
supressor biasanya tidak cukup menyebabkan terjadinya tumor. Sel mempunyai
mekanisme perbaikan DNA dan mekanisme lainnya yang memungkinkan sel
menghancurkan dirinya sendiri melalui apoptosis bila kerusakan DNA terlalu
berat (Yantiss, 2008).
Proses karsinogenesis dibagi menjadi dua tahap utama yaitu inisiasi dan
promosi.
2.1.1 Inisiasi Tumor
Pada proses inisiasi terjadi paparan terbatas antara sel dengan karsinogen
dalam waktu singkat. Tanpa paparan lebih lanjut, sel yang telah terinisiasi ini
tidak akan berkembang menjadi sel tumor, akan tetapi perubahan ini tetap tinggal
dalam sel turunannya (progeny) (Sularsito, 2001, Dulgosz, 2008). Proses inisiasi
13
muncul karena paparan senyawa kimia genotoksik maupun sinar ultraviolet yang
menyebabkan mutasi genetic protoonkogen Ha-ras atau inaktivasi gen supresor
tumor seperti p53. Paparan sinar ultraviolet atau senyawa genotoksik yang
berulang menyebabkan ekspansi klon sel yang telah mengalami proses inisiasi
sehingga muncul hiperplasia premaligna yang dapat berubah menjadi tumor kulit
ganas jika sel kehilangan fungsi gen lainnya (Joyce dan Fischer, 2010). Inisiasi
merupakan tahap pertama yang mencakup induksi perubahan struktur DNA yang
permanen (mutasi). Perubahan genetik proto-onkogen dan gen tumor supresor
mengakibatkan sel epidermis menjadi resisten terhadap sinyal diferensiasi
terminal (Bicker dan Athar, 2006). Inisiasi tumor oleh karsinogen kimia seperti
DMBA menghasilkan stadium ireversibel yang melibatkan mutasi somatik
terutama pada onkogen Ha-ras (Mun‘im, 2006).
Mutasi sel somatik timbul melalui formasi mutasi DNA yang telah
dianalisis baik in-vitro maupun in-vivo pada tikus dan didapatkan bahwa 99%
DNA yang diinduksi oleh DMBA didepurinasi oleh satu elektron oksidasi,
dimana 12 metil DMBA bereaksi terhadap N-7 dan adenin atau guanin dengan
perbandingan 1:4 (Nigam dan Shukla, 2007). Formasi DMBA-DNA berikatan
dengan kompleks DNA, membentuk carcinogen-DNA adduct yang
mempengaruhi pasangan basa normal, menyebabkan distorsi DNA untai ganda
dan mempengaruhi replikasi DNA (Sularsito, 2001, Dulgosz dan Yuspa, 2006).
Jadi inisiator dapat menyebabkan mutasi gen (Sularsito, 2001). Hasil akhir tumor
yaitu perkembangan menjadi bentuk papiloma atau menjadi karsinoma sel
skuamosa dan dapat juga terjadi tanpa adanya lesi prekursor. Senyawa 7,12-
14
dimethylbenz(a)anthracene (DMBA) merupakan PAH yang sangat karsinogenik,
berperan pada inisiasi tumor pada jaringan mammae, ovarium dan kulit tikus
(Flint, 2007).
2.1.2 Promosi Tumor
Promosi adalah proses yang menyebabkan sel terinisiasi berkembang
menjadi sel paraneoplasma oleh stimulus zat lain (promotor). Pada percobaan
binatang dibuktikan terdapat karsinogen kimia yang bekerja sendiri sebagai
inisiator dan promotor, disebut karsinogen komplit (Kartawiguna, 2001).
Tahap kedua karsinogenesis adalah promosi tumor, yaitu proses dimana
sel yang sudah terinisiasi mengalami ekspansi secara klonal, yang disebabkan
induksi oleh agen promotor tumor (Bicker dan Athar, 2006). Promosi tumor
adalah proses non-mutagenik, bersifat pleimorfik yang menyebabkan
pertumbuhan aselektif menjadi sel yang terinisiasi dan bersifat reversibel pada
stadium awal (Dulgosz dan Yuspa, 2008). Senyawa gentoksik disertai dengan
paparan berulang zat promoter tumor, seperti tumor pada kulit dapat diinduksi
secara efektif pada tikus dengan aplikasi berulang zat karsinogen (Roomi, 2008).
Mekanisme promosi tumor meliputi aktivasi reseptor permukaan sel, aktivasi atau
inhibisi enzim sitosolik dan faktor transkripsi nuklear, stimulasi proliferasi, serta
inhibisi sel apoptosis dan sitotoksik secara langsung (Dulgosz dan Yuspa, 2008).
Berbeda dengan tahap inisiasi, tahap promosi bersifat reversibel dan memerlukan
aplikasi berulang untuk dapat menimbulkan tumor kulit (Roomi, 2008).
Sel terinisiasi dapat tetap tenang bila tidak dihidupkan oleh zat yang
disebut promotor. Promotor sendiri tidak dapat menginduksi perubahan kearah
15
neoplasma sebelum bekerja pada sel yang terinisiasi, hal ini dibuktikan pada
percobaan binatang. Bila promotor ditambahkan pada sel terinisiasi dalam kultur
jaringan, sel ini akan berproliferasi. Jadi promotor adalah zat proliferatif.
Untuk menimbulkan kanker, dibutuhkan ribuan proses mutasi DNA yang
letaknya pada gen tidak boleh sama. Apabila terjadi mutasi DNA dalam jumlah
besar maka sifat sel akan berubah secara perlahan. Sel yang awalnya bersifat
sosial dan terarah, berubah menjadi ganas dan asosial. Sel yang mengandung gen
yang sudah mengalami mutasi tersebut mulai membelah diri (proliferasi) dan
membentuk kelompok tertentu (klonal) pada lokasi tertentu di dalam tubuh. Sel
tersebut akan membesar dan merusak jaringan sehat. Tahap dimana sel kanker
membentuk klonal inilah yang dinamakan tahap promosi kanker (Salvadori,
2006).
Sifat kanker yang paling sering digunakan dalam memformulasikan upaya
kuratif dan preventif kanker adalah apoptosis dan proliferasi. Pada kasus kanker,
jumlah sel yang mengalami apoptosis sangat rendah sementara proliferasi sel
sangat tinggi. Fenomena ini yang oleh peneliti dicoba untuk diubah dengan
harapan dapat mengembalikan sel pada kondisi normalnya (Ridd, 2006).
Tahap promosi akan diikuti progresi, kemudian satu atau lebih sel
memisahkan diri dari tempat utamanya dan berpindah ke tempat lain (metastasis).
Untuk memenuhi kebutuhan sel di tempat yang baru tersebut dibentuklah
pembuluh darah baru (neoangiogenesis) yang sebenarnya tidak diperlukan oleh
jaringan sehat. Akhirnya, terbentuklah kanker sebagai jaringan baru dalam tubuh
(Ponten,1997).
16
Sel preneoplasma dapat tumbuh terus pada kultur jaringan sedangkan sel
normal akan berhenti tumbuh. Sel preneoplasma lebih tahan terhadap lingkungan
yang tidak mendukung dan kemampuan kloningnya lebih besar. Kebanyakan sel-
sel preneoplasma beregresi menjadi sel berdiferensiasi normal, tetapi sebagian
kecil mengalami perkembangan progresif menjadi sel-sel neoplasma yang
ireversibel. Pada akhir fase promosi terdapat gambaran histologis dan biokimiawi
yang abnormal. (Kartawiguna, 2001)
2.1.3 Tahap Progresi
Pada awal fase ini, sel preneoplasma dalam stadium metaplasia
berkembang progresif menjadi stadium dysplasia sebelum menjadi neoplasma.
Terjadi ekspansi populasi sel-sel ini secara spontan dan ireversibel. Sel-sel
menjadi kurang responsif terhadap sistem imunitas tubuh dan regulasi sel. Pada
tingkat metaplasia dan permulaan displasia (ringan sampai sedang) masih bisa
terjadi regresi atau remisi yang spontan ke tingkat lebih awal yang frekuensinya
makin menurun dengan bertambahnya progresivitas lesi tersebut. Pada akhir fase
ini gambaran histologis dan klinis menunjukkan keganasan. (Kartawiguna, 2001)
Progresi merupakan fase paling terakhir dari transformasi neoplastik,
dimana terjadi perubahan genetik dan fenotip dan terjadinya proliferasi sel. Hal ini
mengakibatkan pertumbuhan yang cepat pada ukuran tumor, dimana sel mungkin
mengalami mutasi lebih jauh dengan potensi invasif dan metastasis. (Siddiqui et
al. 2015)
Progresi merupakan proses yang memerlukan berbagai mutasi tambahan
sampai munculnya sel kanker dengan kemampuan bermetastasis. Beberapa zat
17
yang terlibat dalam proses inisiasi juga dapat memicu progresi sel menjadi sel
dengan fenotipe sel kanker. Zat tersebut meliputi benzo(α)pyrene, β-
napthylamine, 2-acetylaminofluorene, aflatoxin B1, dimethylnitrosamine, 2-
amino-3-methylimidazo(4,5-f)quinoline (IQ), benzidine, vinyl chloride dan 4-
(methylnitrosamino)-1-(3-pyridyl)-1-butaone (NNK) (Tannock dan Hill,1987).
Semua senyawa tersebut diubah menjadi metabolit bermuatan positif yang dapat
berikatan dengan molekul bermuatan negatif, seperti protein dan asam inti. Ikatan
ini menyebabkan pembentukan aduk DNA yang jika tidak tereparasi dengan
benar, maka aduk DNA yang terbentuk dapat menyebabkan mutasi pada gen
(Minamoto et al, 1999). Mutasi inilah yang menyebabkan sel tumor untuk tumbuh
lebih cepat, menginvasi sel sekitarnya dan akhirnya bermetastasis ke berbagai
jaringan. Karena itu, kerusakan DNA mekanisme reparasi DNA dan adanya
mutasi merupakan serangkaian proses yang harus dilewati sampai sel berkembang
menjadi sel kanker (tumor ganas).
Progresi tumor terdiri dari ekspresi dari fenotip malignan dan menjurus
kearah sel malignan untuk mendapatkan karakteristik agresif tiap waktu.
Metastasis mungkin melibatkan kemampuan dari sel tumor untuk mensekresi
protease yang memungkinkan invasi diluar lokasi tumor primer. Karakteristik
menonjol dari fenotip malignan adalah kecenderungan pada ketidakstabilan
genom dan pertumbuhan yang tidak terkontrol (Lengauer, 1998).
Dalam proses ini, perubahan genetis dan epigenetis yang lebih jauh dapat
terjadi, termasuk aktivasi dari protoonkogen dan kehilangan fungsi dari tumor
suppressor gen. Protoonkogen sering diaktifkan oleh dua mekanisme mayor: pada
18
kasus keluarga gen ras, titik mutasi ditemukan di region yang sangat spesifik dari
gen (kodon ke 12, 13, 59dan 61)dan keluarga gen myc, raf, HER2dan jun dapat
terjadi ekspresi berlebihan, terkadang melibatkan peningkatan dari segmen
kromosomal yang mengandung gen tersebut. Beberapa gen diekspresikan
berlebihan bila mereka bertranslokasi dan didekatkan pada promotor kuat
(hubungan bcl-2 dan immunoglobulin heavy chain gen promotor region pada
keganasan B-cell). Kehilangan fungsi dari gen tumor supresor biasanya terjadi
pada model bimodal dan paling sering melibatkan titik mutasidi satu allel dan
kehilangan allel kedua oleh karena delesi, rekombinasi, atau kromosomal
nondisjunction. Fenomena ini memberi kelebihan pada pertumbuhan sel begitu
juga pada kapasitas invasi regional dan pada akhirnya, metastasis jauh. Meskipun
proses terjadinya mutasi sudah jelas, itu semua tetap merupakan suatu akumulasi
dari mutasi dan bukan urutan atau tahapan semata, yang tampaknya menjadi
faktor penentu (Weston, Harris, 2003).
Senyawa lingkungan yang dapat menimbulkan kerusakan dan mutasi DNA
adalah radiasi pengionan, sinar ultraviolet dan berbagai senyawa kimia lainnya
(Bertram, 2000). Senyawa tersebut dapat menyebabkan kerusakan DNA seperti
SSB/DSB, perubahan basa, ikatan silang, insersi basa yang salah dan
penambahan/delesi sekuen DNA. Sel mempunyai berbagai mekanisme reparasi
DNA yang dapat mengembalikan DNA yang rusak menjadi normal (Friedberg, et
al 1995).
19
2.2 Apoptosis
Apoptosis dapat terjadi karena berbagai stimulus yang memicu kematian
sel seperti virus, stres sel dan kerusakan DNA. Stimulus dapat berasal dari luar
atau dari dalam sel. Faktor dari luar sel terdiri atas faktor larut, seperti TNF, FasL
dan TRAIL atau ekspresi antigen tertentu pada permukaan sel, seperti virus,
bakteri intrasel dan antigen kanker. Apoptosis jalur intrinsik muncul setelah sel
mengalami stres akibat radiasi atau terpapar senyawa kimia atau infeksi agen
penyakit. Apoptosis juga dapat terjadi karena sel kehilangan faktor pertumbuhan
yang menginaktifkan reseptop pertumbuhan dank arena stres oksidatif oleh
senyawa radikal bebas. Jalur intrinsik umumnya melibatkan mitokondria melalui
aktivasi protein keluarga Bcl-2 proapoptosis.
2.2.1 Jalur Ekstrinsik
Apoptosis melalui jalur ekstrinsik dapat dipicu oleh beberapa keadaan
yang menyebabkan aktivasi reseptor kematian, seperti Fas atau TNFR. Aktivasi
reseptor biasanya terjadi melalui ikatan ligan ekstrasel dengan reseptornya. Pada
keadaan normal, sel mempertahankan daya hidupnya dengan mengaktifkan faktor
yang memicu sel untuk hidup dan tumbuh, seperti hormone dan faktor
pertumbuhan. Hormone dan faktor pertumbuhan mempertahankan kehidupan sel
dengan cara berikatan dengan reseptornya. Apoptosis dapat terjadi apabila faktor
pertumbuhan tidak lagi berikatan dengan reseptornya pada permukaan sel. Selain
itu, apoptosis jalur ekstrinsik dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti radiasi
20
ultraviolet dan pelepasan berbagai ligan untuk mengaktifkan reseptor kematian
sel.
2.2.2 Jalur Intrinsik
Secara molekuler, apoptosis jalur intrinsic dimulai dari pelepasan protein
ATM/ATR dan CHK2 yang menyebabkan akumulasi p53 karena tidak lagi
berikatan dengan protein MDM-2. Protein ATM/ATR teraktivasi sebagai akibat
adanya kerusakan DNA, yang disebabkan oleh berbagai faktor. Pada keadaan
normal, p53 selalu berikatan dengan protein MDM-2 dan ikatannya MDM-2-p53
menghambat proses apoptosis dari p53 karena MDM-2 sebagai ubiquitinase
memicu ubiquitinasi p53. Dengan demikian kadar p53 selalu dipertahankan
rendah agar aktivitas sel tidak terhambat. Peningkatan kadar p53 dalam sel
menghambat aktivitas protein Bcl-2 antiapoptosis dan mengaktivasi protein Bcl-2
proapoptosis BH3-only (Bim, Noxa, PUMA). Protein BH3-only inilah yang
mengaktifkan protein Bax/Bak untuk membentuk oligomer pada permukaan
mitokondria sebagai kanal bagi pelapasan sitokrom C ke sitosol yang juga
memicu apoptosis. Protein p53 juga bertindak sebagai faktor transkripsi protein
BH3-only dan reseptor TRAIL-R2 dan Fas yang memicu apoptosis (Grasso et al.,
2012).
Sitokrom C yang dilepaskan melalui membrane mitokondria merupakan
pembentukan apoptosom yang berperan dalam aktivasi kaspase-9. Kaspase-9 yang
teraktivasi kemudian membentuk holoenzim yang berfungsi untuk mengaktifkan
21
kaspase eksekusioner, yaitu kaspase 3/7 untuk mengeksekusi kematian sel (Jiang
dan Wang, 2004).
Selain dengan memicu transkripsi gen target proapoptosis, p53 juga dapat
secara langsung berinteraksi dengan protein (Bcl-2, Bcl-XL) yang mengikat dan
menginaktifkan protein Bax/Bak. Protein Bak secara tetap menempati membran
bagian luar mitokondria, sedangkan Bax ditemukan dalam sitosol sel normal
maupun sel yang terpapar sinar ultraviolet dan berpindah ke membrane
mitokondria selama apoptosis. Stres reticulum endoplasma juga memicu apoptosis
dengan cara langsung mengaktifkan protein Bax/Baka tau melalui protein p53.
Kerusakan retikulum endoplasma dapat memicu pelepasan Ca2+ juga memicu
apoptosis.
2.2.3 Jalur Perforin / Granzyme
Jalur apoptosis perforin/granzyme-A atau B melibatkan sel T sitotoksik
(sel T CD8) dan sel NK (Martinvalet et al., 2005). Jalur ini bekerja sama dengan
apoptosis jalur ekstriksin dan intrinsik untuk memicu apoptosis yang efektif
(Igney dan Krammer, 2002). Jalur ini merupakan jalur terbaru yang ditemukan
dalam sistem imun untuk menghancurkan sel terinfeksi virus selain melalui jalur
ekstrinsik seperti Fas-Fas ligan. Perforin digunakan oleh sel T sitotoksik dan sel
NK untuk membentuk Pori pada membran sel target. Perforin berinteraksi dengan
granula sekretori intrasel dari sel T dan sel sel NK untuk melepaskan enzim yang
berasal dari granula yang disebut granzyme (granule associated enzyme) A dan B.
Granzyme B (GrB) merupakan protease serin yang ditemukan pada sel NK dan
22
sel T sitotoksik dan bekerja pada sel target sel kanker atau sel terinfeksi agen
penyakit intrasel secara Bersama-sama dengan perforin. Ketika mengenali sel
target, NK atau sel T CD8 mengeluarkan perforin untuk membentuk pori pada
permukaan sel target. Pori ini diperlukan bagi terbentuknya klep intersel antara sel
sitotoksik dan sel target yang memungkinkan translokasi granzyme B dari sel T
sitotoksik atau sel NK ke sitoplasma sel target. Ketika mencapai sitoplasma sel
target, GrB terbelah dan mengaktifkan atau menginaktifkan berbagai protein
substrat yang akhirnya memicu apoptosis. Granzyme B umumnya bekerja secara
tidak langsung dengan mengaktifkan procaspase 3 menjadi kaspase 3 dengan cara
yang serupa yang dilakukan oleh kaspase 8 atau kaspase 9. Selain itu, GrB juga
dapat memecah ICAD sehingga mengaktifkan CAD yang berperan dalam
fragmentasi DNA. Granzyme B juga mengaktifkan jalur apoptosis intrinsic
dengan memicu pelepasan sitokrom C dan memecah Bid menjadi tBid (Elmore et
al., 2007; Trapani, 2012). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa granzyme B
juga dapat bekerja secara langsung dalam menghancurkan kromatin dengan
mengaktifkan DNAase.
Granzyme A biasanya muncul sebagai respons atas adanya stres oksidatif
pada sel. Enzim ini bekerja dengan mengaktifkan DNAase NM23-H1 yang
menghancurkan materi inti sel. Selain stres oksidatif, aktivasi granzyme A juga
dapat dipicu oleh infeksi virus atau bakteri intrasel (Fan et al., 2003).
Peran perforin dalam apoptosis melalui jalur ini adalah untuk melisiskan
membrane sel dan membentuk pori yang memungkinkan masuknya granzyme B
ke dalam sitosol untuk mengaktifkan berbagai substrat, seperti kaspase. Granzyme
23
B juga dapat masuk sel melalui proses endositosis tanpa melibatkan perforin.
Namun, masuknya granzyme melalui proses ini tidak berbahaya karena diredam
oleh vesikula. Jika vesikula pecah oleh adanya perforin, maka granzyme B yang
keluar dari vesikula dapat memicu apoptosis. Cara kerja yang lainnya adalah
dengan mengenali Mannose 6-Phosphate Receptor (MPR) yang merupakan
reseptor permukaan sel untuk granzyme B. Dalam proses ini, granzyme B
membentuk kompleks dengan perforin dan molekul lainnya, seperti serglycin
(SG) (Trapani dan Smyth, 2002).
2.3 7,12-dimethylbenz (a) anthracene (DMBA)
Senyawa DMBA adalah zat kimia yang termasuk dalam golongan
polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH), memiliki sifat teratogenik mutagenik,
sitotoksik, imunosupresif dan karsinogenik. Berdasarkan Division of
Occupational Health and Safety National Institutes of Health, DMBA yang
memiliki 4 cincin benzena termasuk dalam tujuh PAH yang dapat menimbulkan
kanker pada manusia (Lukitaningsih dan Noegrohati, 2000; Vanitha, 2015).
Secara alami DMBA ditemukan di alam sebagai akibat proses pembakaran
yang tidak sempurna, seperti dalam asap tembakau, asap pembakaran kayu, asap
pembakaran gas, bensin, minyak, batu bara, atau daging dan oleh karena itu dapat
ditemukan di dalam air, tanah maupun udara (Vanitha, 2015;Arora,2004). DMBA
menekan kekebalan tubuh dan organ spesifik, merupakan karsinogen yang kuat
dan bertindak sebagai inisiator tumor dengan membuat mutasi yang diperlukan.
Induksi promosi tumor oleh zat ini dapat terjadi dengan aplikasiTPA pada dua
24
tahap karsinogenesis, sehingga memungkinkan pertumbuhan tumor yang cepat
(Muqbil, 2006).
Gambar 2.1 7,12-dimethylbenz(a)anthracene (DMBA) (sumber: Vanitha, 2015)
2.4 12-O-tetradecanoylphorbol-13-acetate (TPA)
Senyawa TPA adalah aktivator kuat protein kinase C (PKC), suatu enzim yang
berperan penting pada jalur transduksi sinyal, termasuk jalur yang diaktifkan oleh
faktor pertumbuhan (Kumar, 2007). TPA merupakan agen promosi tumor yang
memfasilitasi progresi keganasan yang umumnya bersifat genotoksik. Efek
genotoksik TPA bersifat reversibel sehingga dibutuhkan pajanan berulang.
Promosi tumor dapat diinduksi dengan aplikasi TPA dalam model dua tahap
karsinogenesis yang memungkinkan percepatan pertumbuhan tumor. Promotor
mengubah lingkungan jaringan sedemikian rupa sehingga memungkinkan sel
yang telah terinisiasi tumbuh dengan cepat. Aplikasi promotor tumor kulit secara
topikal dapat menyebabkan iritasi, inflamasi dan hiperplasia (Sularsito, 2001).
Klonal sel yang terinisiasi, akibat dipaksa berpolimerasi, mengalami mutasi
tambahan sehingga akhirnya berkembang menjadi sel yang ganas (Kumar, 2007).
Namun, hasil penelitian aplikasi topical caffeic acid phenethyl ester (CAPE), yang
merupakan salah satu kandungan propolis dari sarang lebah pada mencit CD-1
25
yang sebelumnya diinisiasi dengan DMBA menghambat promosi tumor oleh TPA
dan pembentukan 5-hydroxymethyl-2’-deoxyuridine (HMdU) dalam DNA
epidermis (Huang, 1996).
2.5 Gambaran Kelainan Histologi Kanker Kulit
Transformasi menjadi ganas yaitu perubahan epidermis menjadi
trikofolikuloma, trikofolikulokarsinoma, karsinoma sel skuamosa dan karsinoma
sel basal, otot menjadi rhabdomiosarkoma, kelenjar sebasea menjadi
adenokarsinoma sebasea, sel adiposa menjadi liposarkoma dan nodus limfe
subkutan menjadi prolimfotik limfosarkoma. Gambaran histopatologi kanker pada
kulit berupa perubahan displastik pada epidermis, agregasi nukleus dan variasi
bentuk dan ukuran nucleus, serta hiperplasia paraneoplastik folikel rambut tanpa
disertai diferensiasi trikohialin (El-Sherry, 2007). Lesi kulit termasuk proliferasi
papilar baik papiloma dan keratoakantoma yang berhubungan dengan berbagai
variasi hiperplasia epidermis dan penebalan dermis serta fibrosis dan infiltrasi sel
inflamasi ringan sampai sedang (Roomi, 2008).
Broders mengklasifikasikan gambaran histopatologi karsinoma sel
skuamosa menjadi 5, yaitu: stadium I (75% sel berdiferensiasi baik), stadium II
(≥50% sel berdiferensiasi baik), stadium III (25-50% sel berdiferensiasi baik) dan
stadium IV (<25% sel yang berdiferensiasi baik), (McKee dkk, 2005; Grossman
dan Leffel, 2008).
26
2.6 Stres Oksidatif
Stres oksidatif didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi
ketidakseimbangan antara prooksidan dan antioksidan di dalam tubuh (Powers
dan Jackson, 2008). Lebih lanjut, Yoshikawa dan Naito, (2002), mendefinisikan
stres oksidatif sebagai suatu keadaan dimana proses oksidasi melampaui sistem
pertahanan antioksidan di dalam tubuh sehingga terjadi ketidakseimbangan pada
sistem tersebut. Finaud, (2006), memperkuat pernyataan tersebut dengan
menjelaskan bahwa stres oksidatif dapat terjadi karena adanya ketidakseimbangan
antara produksi radikal bebas dengan sistem pertahanan antioksidan di dalam
tubuh.
Istilah stres oksidatif juga didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana
terjadi peningkatan level Reactive Oxygen Species (ROS) (Paravicini dan Touyz,
2008). Peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) tersebut dapat terjadi sebagai
akibat dari metabolisme oksigen, reperfusi oksigen saat kondisi hipoksia, oksidasi
hemoglobin dan mioglobin dan lain-lain (Finaud, 2006). Dalam jumlah normal,
Reactive Oxygen Species (ROS) berperan pada berbagai proses fisiologis seperti
sistem pertahanan, biosintesis hormon, fertilisasi dan sinyal seluler (Paravicini
dan Touyz, 2008). Reactive Oxygen Species (ROS) juga berperan penting pada
sistem kekebalan tubuh dengan melawan antigen selama proses fagositosis
(Finaud, 2006). Akan tetapi, peningkatan produksi Reactive Oxygen Species
(ROS) yang dikenal dengan kondisi stres oksidatif memiliki implikasi pada
berbagai macam penyakit seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes, gagal
jantung, stroke dan penyakit kronis lainnya (Paravicini dan Touyz, 2008).
27
Stres oksidatif di dalam tubuh memiliki target kerusakan pada seluruh tipe
biomolekul seperti protein, lipiddan DNA (Wahyuni, 2008), serta berperan pada
proses penuaan dan pemicu terjadinya beberapa penyakit seperti kanker dan
penyakit Parkinson (Finaud, 2006). Stres oksidatif pada sistem biologis sering
ditandai dengan beberapa parameter meliputi: (1) peningkatan formasi radikal
bebas dan oksidan lainnya, (2) penurunan antioksidan, (3) ketidakseimbangan
reaksi redoks pada sel dan (4) kerusakan oksidatif pada komponen-komponen sel
seperti lemak, protein dan DNA (Powers dan Jackson, 2008).
Terdapat beberapa macam senyawa yang dapat dijadikan sebagai indikasi
terjadinya stres oksidatif. Powers dan Jackson (2008) menyebutkan macam-
macam senyawa yang dapat dijadikan sebagai indikator terjadinya stres oksidatif
yaitu: (1) golongan oksidan meliputi Superoxide anions, Hydroxyl radical,
Hydrogen peroxide dan Peroxynitrite, (2) golongan antioksidan meliputi
Glutathione, Ascorbate, Alpha-tocopherol dan Total antioxidant capacity, (3)
golongan penyeimbang antioksidan/prooksidan meliputi GSH/GSSH ratio,
Cysteine redox state dan Thiol/disulfide state, serta (4) golongan produk oksidasi
meliputi Protein carbonyls, Isoprostanes, Nitrotyrosine, 8-OH-dG dan
Malondialdehyde (MDA).
Radikal bebas adalah suatu struktur kimia reaktif yang terdiri atas elektron
tunggal yang tidak berpasangan pada lingkaran luarnya. Elektron yang tidak
berpasangan ini dapat menghasilkan radikal bebas reaktif dalam jumlah besar
melalui reaksi dengan molekul-molekul disekitarnya, seperti protein, lemak,
karbohidrat dan asam nukleat. Sebagaimana diketahui, ROS mempunyai dua
28
peran dalam sistem biologis, yakni efek yang merugikan dan yang bermanfaat
dalam kehidupan. Efek yang merugikan dari ROS ini dihambat oleh enzim-enzim
antioksidan dan ditunjang oleh aksi antioksidan non enzimatik. Meskipun
demikian, kerusakan oksidatif dapat berakumulasi selama siklus hidup sel dan
kerusakan DNA yang ditimbulkan oleh radikal bebas memiliki peranan utama
dalam perkembangan penyakit yang berhubungan dengan pertambahan usia,
antara lain kanker, arteriosklerosis, arthritis, kelainan neurodegeneratif dan
berbagai kondisi lainnya (Cooke, 2003). ROS dapat dihasilkan oleh sel-sel kulit
normal sebagai hasil metabolisme seperti anion superoksida (O_2) dan H2O2 pada
konsentrasi kecil. Baik O _2 maupun H2O2 akan dikonversi menjadi gugus hidroksil
radikal tinggi oleh ion besi (Fe2+). Reactive Nitrogen Species (RNS) terbentuk
sebagai hasil reaksi berantai, diawali oleh konversi arginin menjadi citrulin yang
dimediasi oleh nitrite oxyde synthetase (NOS) yang menghasilkan NO,
yangkemudian bereaksi dengan O_2 untuk menghasilkan peroksinitrit (ONOO-).
Melalui mekanisme yang sama, ROS dan RNS dapat dihasilkan dari aplikasi
lingkungan termasuk kimia (xenobiotik) dengan radiasi UVA dan UVB dari
matahari. Sebagian besar xenobiotik akan dikonversi menjadi kuinon toksik oleh
enzim sitokrom P450 (CYP). UVA maupun UVB memproduksi radikal bebas
yang sama dan atau oksigen tunggal (1O2) dapat secara langsung melalui interaksi
dengan komponen seluler lainnya atau secara tidak langsung dengan adanya agen
kimia yang dikenal sebagai photosensitizer. Bahan fotoaktif ini mengalami proses
kimia pada saat energi terendahnya menyerap radiasi yang ada disekitarnya
(termasuk UVA dan UVB) dalam spektrum absorpsinya. Energi foton yang
29
terserap menghasilkan molekul statis yang kemudian mengalami eksitasi, yang
sangat tidak stabil pada kondisi tertentu. Molekul yang tereksitasi ini akan
menyalurkan energi untuk melekatkan partikel kimia intraseluler (O2) yang
kemudian dikonversi menjadi ROS (Bickers dan Athars, 2006).
Radikal bebas oksigen reaktif (ROS) memiliki dua sifat alamiah, dimana
pada satu sisi diperlukan untuk fungsi sel yang normal, namun di sisi lain jika
jumlahnya berlebihan dapat menjadi mediator kerusakan sel. Efek bermanfaat
ROS melibatkan peran fisiologis dalam respon seluler dan fungsi kekebalan tubuh
terhadap agen infeksi dan fungsi dari sejumlah sistem sinyal selular. Sebaliknya,
pada konsentrasi tinggi, ROS dapat menjadi mediator dasar terjadinya kerusakan
struktur sel, termasuk lipid dan membran, protein dan asam nukleat dimana
kerusakan ini dikenal sebagai "stres oksidatif”. Mahluk hidup memiliki sistem
antioksidan baik secara enzimatik maupun non enzimatik yang digunakan untuk
mengatasi stres oksidatif dengan tujuan untuk memelihara keseimbangan redoks.
(Grigorov B, 2012).
2.7 Malondialdehyde (MDA)
Malondialdehyde (MDA) merupakan metabolit hasil peroksidasi lipid oleh
radikal bebas (Asni, 2009). MDA dapat terbentuk apabila radikal bebas hidroksil
seperti Reactive Oxygen Species (ROS) bereaksi dengan komponen asam lemak
dari membran sel sehingga terjadi reaksi berantai yang dikenal dengan peroksidasi
lemak. Peroksidasi lemak tersebut akan menyebabkan terputusnya rantai asam
lemak menjadi berbagai senyawa toksik dan menyebabkan kerusakan pada
membran sel (Yunus, 2001).
30
MDA merupakan salah satu indikator yang paling sering digunakan sebagai
indikasi peroksidasi lemak (Nielsen dkk, 1997). MDA merupakan senyawa yang
dapat menggambarkan aktivitas radikal bebas di dalam sel sehingga dijadikan
sebagai salah satu petunjuk terjadinya stres oksidatif akibat radikal bebas (Asni
dkk, 2009). Rahardjani, (2010), memperkuat pernyataan tersebut dengan
menyatakan bahwa mediator Malondialdehyde (MDA) merupakan suatu produk
akhir peroksidasi lemak yang digunakan sebagai biomarker biologis peroksidasi
lemak serta dapat menggambarkan derajat stres oksidatif.
Malondialdehyde (MDA) adalah produk genotoksik endogen berasal dari
peroksidasi lipid yang diinduksi secara enzimatik oleh oksigen radikal, yang
terjadi dalam DNA yang diisolasi dari manusia yang sehat. Frekuensi mutasi
MDA mengalami peningkatan 15 kali lipat lebih tinggi pada gen reporter supF
dibandingkan dengan DNA yang tidak diberi perlakuan yang sama. Pada sel-sel
manusia, MDA yang mutagenic dievaluasi dengan cara MDA direaksikan dengan
vektor DNA yang diganti pSP189 dan selanjutnya ditransfer kedalam fibroblast
manusia agar terjadi replikasi. Analisis berurutan menunjukkan bahwa sebagian
besar mutasi akibat MDA terjadi pada pasangan basa GC, dimana bentuk yang
paling sering terjadi adalah insersi yang luas dan delesi dan sejumlah kecil
substitusi pasangan basa. Pada induksi MDA pada delesi yang luas tampak lesi
premutagenik berupa DNA yang bersilangan. MDA juga membentuk hubungan
silang pada plasmid dupleks dan oligonukleotida. Substrat yang terjadi berisi
sekuensing dari 5_d(CG) yang sebelumnya telah bersilangan, konsisten dengan
observasi pada substitusi pasangan basa pada sisi 5_d(CG) pada spektrum mutasi
31
yang diinduksi oleh MDA. Eksperimen ini menunjukkan kejadian biologis dan
biokimia dari adanya untaian DNA yang bersilangan yang dapat dihasilkan dari
stres oksidatif endogen dan cenderung memiliki efek biologis yang poten. Mutasi
yang diakibatkan oleh MDA berakhir saat penambahan vektor yang diganti telah
mengalami replikasi pada sel yang mengalami defek dalam perbaikan eksisi
nukleotida (Niedernhofer dkk, 2003).
Gambar 2.2 Struktur dari hasil reaksi MDA dengan DNA (Niedernhofer, dkk. 2003)
2.8 Gen Bax
Bax adalah anggota dari keluarga gen Bcl-2. Anggota keluarga Bcl-2
membentuk hetero- atau homodimers dan bertindak regulator sebagai anti atau
proapoptosis yang terlibat dalam berbagai kegiatan selular. Protein ini membentuk
heterodimer dengan Bcl-2 dan berfungsi sebagai aktivator apoptosis. Protein ini
dilaporkan untuk berinteraksi dengan dan meningkatkan pembukaan Voltage-
dependent anion channels (VDAC), yang menyebabkan hilangnya potensi
32
membran dan pelepasan sitokrom c. Ekspresi gen ini diatur oleh P53 penekan
tumor dan telah terbukti terlibat dalam apoptosis P53-dimediasi (Refseq, 2008).
Gen Bax yang pertama diidentifikasi anggota proapoptosis dari keluarga
protein Bcl-2 (Oltvai ZN, 1993). Anggota Bcl-2 keluarga berbagi satu atau lebih
dari empat domain karakteristik homologi. Bcl-2 homolog (BH) domain (nama
BH1, BH2, BH3 dan BH4)dan dapat membentuk hetero atau homodimers (Oltvai,
1993; Thomas, 1995). Domain ini terdiri dari sembilan α-heliks, dengan α-heliks
inti hidrofobik dikelilingi oleh heliks amphipathic dan transmembran C-terminal
a-helix berlabuh ke mitochondrial outer membrane (MOM). Sebuah alur
hidrofobik terbentuk sepanjang C-terminal dari α2 ke N-terminal α5dan beberapa
residu dari α8, mengikat domain BH3 dari Bax lain atau Bcl-2 protein dalam
bentuk aktifnya. Dalam bentuk tidak aktif protein ini, alur mengikat domain
transmembrannya, transisi dari membran-terikat dengan protein sitosol. Sebuah
alur hidrofobik kecil yang dibentuk oleh α1 dan α6 heliks terletak di sisi
berlawanan dari protein dari alur utama dan dapat berfungsi sebagai situs aktivasi
Bax (Westphal, 2014).
Bax merupakan anggota proapoptosis famili Bcl-2, disisi lain, up
regulation ekspresi Bax dan downregulation Bcl-2 dapat ditunjukkan selama
proses apoptosis (Choudhuri, 2002). Secara teori, proses apoptosis tidak hanya
melibatkan transkripsional Bax pada apoptosis, tetapi juga dalam perubahan dari
Bcl-xL (anggota proapoptosis family Bcl-2)/rasio Bax, sehingga menunjukkan
bahwa hubungan silang antara protein pro dan antiapoptosis merupakan salah satu
faktor penting yang menentukan nasib suatu sel. Protein Bax, suatu homolog dari
33
Bcl-2, menyebabkan apoptosis. Ekspresi berlebih Bcl-2 diketahui menghambat
aktivitas proapoptosis dari Bax (Tock B, 2003). Dalam sel mamalia yang sehat,
mayoritas Bax ditemukan dalam sitosol, tapi setelah inisiasi sinyal apoptosis, Bax
mengalami pergeseran konformasi. Setelah induksi apoptosis, Bax menjadi
organel membran-terkait dan khususnya,membran mitokondria terkait (Wolter,
1997).
Bax diyakini berinteraksi dan menginduksi pembukaan saluran anion
tegangan tergantung mitokondria, VDAC (Shi, 2003). Atau, bukti yang
berkembang juga menunjukkan bahwa diaktifkan Bax dan atau Bak membentuk
pori oligomer, Mitochondrial apoptosis-induced channel (MAC) di MOM
(Buytaert, 2006). Hal ini menyebabkan pelepasan sitokrom c dan faktor
proapoptosis lainnya dari mitokondria, sering disebut Permeabilisasi membran
luar sebagai mitokondria, menyebabkan aktivasi caspases. Ini mendefinisikan
peran langsung untuk Bax di Permeabilisasi membran luar mitokondria. Aktivasi
Bax dirangsang oleh berbagai faktor abiotik, termasuk panas, hidrogen peroksida,
rendah atau tinggi pH dan renovasi membran mitokondria. Selain itu, dapat
menjadi aktif dengan mengikat Bcl-2, serta non-Bcl-2 protein seperti p53 dan Bif-
1. Sebaliknya, Bax dapat menjadi tidak aktif dengan berinteraksi dengan VDAC2,
Pin1dan IBRDC2 (Dewson, 2014). Protein Bax mengendalikan kematian sel
melalui keterlibatan Bax dalam gangguan mitokondria dan selanjutnya pelepasan
sitokrom C dan juga dianggap sebagai salah satu target p53 primer.
34
Salah satu gen yang meregulasi p53 adalah gen Bax. Ekspresi Bax
diregulasi oleh protein penekan tumor p53dan Bax telah terbukti terlibat dalam
apoptosis p53-dimediasi (Goh, 2011). Protein p53 merupakan faktor transkripsi
yang ketika diaktifkan sebagai bagian dari respon sel terhadap stres, mengatur
banyak gen target, termasuk Bax. P53 mempromosikan apoptosis Bax secara in-
vivo sebagai faktor transkripsi utama. Namun, p53 juga memiliki peran
transkripsi-independen dalam apoptosis. Secara khusus, p53 berinteraksi dengan
Bax, mempromosikan aktivasi serta penyisipan ke dalam membran mitokondria
(Korsmeye, 1998).
Ekspresi Bax diregulasi oleh protein penekan tumor p53dan Bax telah
terbukti terlibat dalam apoptosis yang dimediasi p53. Protein p53 merupakan
faktor transkripsi yang ketika diaktifkan sebagai bagian dari respon sel terhadap
stres, mengatur banyak gen target hilir, termasuk Bax. P53 telah ditunjukkan
untuk upregulate transkripsi dari plasmid reporter chimeric memanfaatkan urutan
konsensus promotor Bax sekitar 50 kali lipat lebih p53 mutan. Jadi ada
kemungkinan bahwa p53 mempromosikan apoptosis Bax secara in-vivo sebagai
faktor transkripsi utama. Namun, p53 juga memiliki peran transkripsi-independen
dalam apoptosis. Secara khusus, p53 berinteraksi dengan Bax, mempromosikan
aktivasi serta penyisipan ke dalam membran mitokondria (Korsmeye, 1998).
Obat yang mengaktifkan Bax, seperti ABT737, sebuah mimesis BH3,
menjanjikan sebagai pengobatan antikanker dengan menginduksi apoptosis pada
sel kanker. Misalnya, mengikat HA-BAD ke Bcl-xL dan gangguan seiring Bax.
Interaksi Bcl-xL ditemukan sebagian membalikkan resistensi paclitaxel dalam sel
35
kanker ovarium manusia. Sementara itu, apoptosis berlebihan dalam kondisi
seperti cedera iskemia reperfusi dan amyotrophic lateral sclerosis (ALS) dapat
mengambil manfaat dari obat inhibitor Bax (Dewson, 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Saleem (2009), menggunakan Lupeol yang
dapat ditemukan pada sayur sayuran seperti sawi putih, timun, tomat dan buah
seperti strawberi, anggur merah, menunjukan bahwa lupeol yang dioleskan secara
topikal dapat menghambat pertumbuhan tumor pada kelompok mencit yang
diberikan paparan TPA dengan cara meningkatkan ratio Bcl-2 dan Bax protein
level secara in-vitro dan in-vivo (Saleem, 2009).
2.9 Gen Bcl-2
Protein keluarga Bcl-2 dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, masing-
masing memainkan peran yang berbeda dalam proses apoptosis. Kelompok
pertama terdiri atas protein dengan empat domain Bcl-2 homology (BH), yaitu
BH (1, 2, 3 dan 4) yang umumnya bersifat antiapoptosis. Kelompok kedua
mengandung tiga domain BH (1, 2, 3) (Bax/Bak) dan kelompok ketiga
mengandung hanya domain BH3 (BH3-only) (Bid, Bad, Bim, Bik) yang bersifat
proapoptosis.
Kelompok Bcl-2 antiapoptosis, seperti Bcl-2 dan Bcl-XL, umumnya bekerja
dengan mengikat protein proapoptosis Bax/Bak sehingga meniadakan aktivitasnya
untuk membentuk pori pada permukaan mitokondria. Sementara itu, protein
proapoptosis, Bid, Bad, Bim dan Bik, bekerja dengan cara mengikat protein
antiapoptosis Bcl-2 dan Bcl-XL dan melepaskan protein proapoptosis Bax/Bak
36
dari kompleks Bcl-2-Bax/Bak atau Bcl-XL-Bax/Bak (Basanez dan Hardwick,
2008).
Bcl-2 merupakan oncogene yang paling banyak dipelajari sebagai
regulator apoptosis kematian sel yang berada di membran mitokondria bagian
luar. Protein Bcl-2 merupakan protein yang mensupresi kematian sel, sehingga
melindungi sel terhadap apoptosis yang terinduksi oleh sinyal kematian yang
berbeda.
Ekspresi Bcl-2 pada tumor atau jaringan proliferatif dapat memprediksi
sifat prognosis dan hasil terapi. Pada kulit manusia yang matur, ekspresi Bcl-2
terbatas pada sel yang terdapat pada lapisan basal epidermis, seperti juga
melanosit, papilla dermis, folikel rambut, sel epitel dari kelenjar keringat ekrin
dan kelenjar sebasea, namun tidak pada lapisan suprabasal epidermis (Sander dan
Carr, 2007).
Peran protein Bcl-2 adalah untuk menghambat atau menunda kematian sel
yang terprogram selama proses proliferasi sel. Distribusi Bcl-2 pada kulit yang
terpapar matahari hanya terbatas pada lapisan sel basal. Investigasi ekspresi Bcl-2
tidak berkorelasi dengan diferensiasi sel, sehingga imunoreaktivitas Bcl-2 tidak
ditemukan disuprabasal dan lapisan atas epidermis.
Proses apoptosis terdiri atas dua kelompok protein yang berlawanan, yaitu
antagonis kematian sel (Bcl-2, Bcl-xL, Mc l-1)dan agonis kematian sel (Bax, Bak,
Bcl-XS). Apoptosis terjadi melalui proses dimerisasi kompetitif antara kedua
kelompok protein tersebut, dengan proporsi relatif yang mengendalikan
sensitifitas atau resistensi sel terhadap rangsangan apoptosis Bcl-2 merupakan
37
salah satu elemen penting pada pengaturan proses apoptosis. Ekspresi yang
berlebihan dari Bcl-2 dan Bax serta prognosisnya telah dilaporkan pada beberapa
kanker epithelial (Ponten dkk, 1997).
2.10 Ekstrak Kulit Garcinia mangostana
Pemanfaatan kulit Garcinia mangostana sebenarnya sudah dilakukan sejak
dahulu. Kulit Garcinia mangostana secara tradisional digunakan pada berbagai
pengobatan di Negara India, Myanmar, Sri langka dan Thailand (Mahabusarakam
dkk, 1987). Secara luas, masyarakat Thailand memanfaatkan kulit Garcinia
mangostana untuk pengobatan penyakit sariawan, disentri, cystitis, diare, gonorea
dan eksim (ICUC, 2003). Pemanfaatan kulit Garcinia mangostana secara luas di
Negara tersebut memicu minat para ilmuwan untuk menyelidiki dan
mengembangkan lebih lanjut aspek ilmiah keberkhasiatan kulit Garcinia
mangostana tersebut di era modern. Banyak penelitian telah membuktikan khasiat
kulit Garcinia mangostana dan diantaranya bahkan menemukan senyawa-
senyawa yang bertanggungjawab terhadap efek-efek tersebut.
Salah satu metabolit utama pada kulit Garcinia mangostana adalah
xanthone banyak digunakan untuk tujuan pengobatan. Unsur tersebut memiliki
struktur kimia yang unik terdiri dari sistem aromatik trisiklik (C6-C3-C6).
Isoprene, methoxyl dan kelompok hydroxy terletak pada berbagai area pada ring A
dan ring B, menimbulkan perbedaan senyawa xanthone. Hingga saat ini lebih dari
50 senyawa xanthone telah diidentifikasi. Sebagian besar terdapat pada kulit
Garcinia mangostana. Senyawa yang paling berperan pada berbagai pengobatan
38
adalah α- and γ-mangostin (gambar 1). Senyawa xanthone lainnya adalah β-
mangostin, gartanin, 8-deoxygartanin, garcinones A, B, C, D and E,
mangostinone, 9-hydroxycalabaxanthone dan isomangostin. Kandungan α-
mangostin sebanyak 2.8 mg dalam 1 g ekstrak buah manggis.
Gambar 2.3 Struktur kimia Xanthone (sumber: Gutierrez-Orozco, 2013)
Daya tarik untuk meneliti efek mangosteen fruit dan xanthones meningkat
pesat beberapa tahun terakhir. Sejauh ini senyawa xanthone yang paling banyak
diteliti adalah α-mangostin (α-MG) sebagai antioksidan antiproliferasi,
proapoptosis, antiinflamasi antikarsinogenik, and antimikrobial.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa kulit buah manggis (Garcinia
mangostana L.) mengandung senyawa yang memiliki aktivitas farmakologi dan
antioksidan. Senyawa tersebut diantaranya flavonoid, tanin dan xanthone (Ho dkk,
2002; Jung dkk, 2006; Moongkarndi dkk., 2004; Weecharangsan dkk,2006).
Sangat banyak manfaat dari kulit Garcinia mangostana, namun demikian
belum ada penelitian yang mengungkapkan tentang aktivitas antioksidan ekstrak
metanol dari kulit Garcinia mangostana.
39
2.10.1 Antiinflamasi
Penelitian mengenai aktivitas antiinflamasi dari kulit Garcinia
mangostana sampai saat ini baru dilakukan pada tahapan in-vitro dan untuk tahap
in-vivo baru pada penelitian dengan metode tikus terinduksi karsinogen. Dari hasil
penelitian diduga bahwa senyawa yang mempunyai aktivitas antiinflamasi adalah
gamma-mangostin. Gamma-mangostin merupakan xanthone. Nakatani dkk, 2004,
melakukan penelitian aktivitas antiinflamasi in-vitro dari gamma mangostin
terhadap sintesa PGE dan siklooksigenase (COX) dalam sel glioma tikus C6.
2.10.2 Antioksidan
Moongkarndi, dkk, (2004) melaporkan bahwa ekstrak kulit Garcinia
mangostana berpotensi sebagai antioksidan. Selanjutnya, Weecharangsan, dkk,
(2006), menindak-lanjuti hasil penelitian tersebut dengan melakukan penelitian
aktivitas antioksidan beberapa ekstrak kulit Garcinia mangostana yaitu ekstrak
air, etanol 50%dan 95%, serta etil asetat. Metode yang digunakan adalah
penangkapan radikal bebas 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa semua ekstrak mempunyai potensi sebagai penangkal radikal
bebas dan ekstrak air dan etanol mempunyai potensi lebih besar. Berkaitan dengan
aktivitas antioksidan tersebut, kedua ekstrak tersebut juga mampu menunjukkan
aktivitas neuroprotektif pada sel NG108-15. Seiring dengan hasil tersebut, Jung
dkk, (2006), melakukan penelitian aktivitas antioksidan dari semua senyawa
kandungan kulit Garcinia mangostana, minus mangostingon. Dari hasil skrining
aktivitas antioksidan dari senyawa senyawa tersebut, yang menunjukkan aktivitas
40
poten adalah: 8-hidroksikudraxanthone, gartanin, alpha-mangostin, gamma-
mangostin dan smeathxanthone A.
2.10.3 Anti kanker
Penelitian in-vivo untuk melihat efek antitumor dan in-vitro untuk efek
anti proliferatif dan anti apoptosis mangosteen xanthon tampak pada tabel 2.4.
Efek mangosteen xanthones pada Ka. Mamma telah diperiksa pada dua penelitian
menggunakan sel kanker BJMC3879 xenografted dengan melakukan injeksi
subkutaneus α-MG kedalam mencit BALB/c dan diet Panaxanthone (75%–85% α-
MG and 5%–15% γ-MG) secara bermakna menekan volume tumor dan ekspansi
metastastik pada model kanker ini. Secara in-vitro, α-MG menginduksi apoptosis,
siklus sel terhenti, aktivasi caspases-3 dan 9, pelepasan sitokrom c dan loss of
mitochondrial potential pada sel BJMC3879. Dua laporan terakhir efek anti tumor
α-MG pada model mencit xenograft glioblastoma dan prostate (Gutierrez-Orozco,
2013).
Terapi intraperitoneal dengan α-MG menghambat pertumbuhan tumor
50% model xenograft glioblastoma GBM8401 dan efek ini berhubungan dengan
peningkatan phosphorylation AMPK (AMP-activated protein kinase) dan induksi
autophagy. Intake Oral α-MG pada mencit athymic bearing 22Rv1 prostate
tumors 5 kali seminggu setelah implantasi sel kanker menurunkan secara
segnifikan volume tumor. Secara in-vitro α-MG menginduksi apoptosis dan
penghentian siklus sel pada sel kanker prostat 22Rv1 melalui aktivasi caspase-3
dan menghambat cyclin/cyclin-dependent kinase 4 yang berkaitan dengan
41
progresi siklus sel. Penelitian efek anti kanker mangosteen xanthone pada kanker
kolon juga banyak diteliti (Gutierrez-Orozco, 2013).
Diet α-MG secara bermakna menghambat induksi dan pertumbuhan
Aberrant Crypt Foci (ACF) pada model mencit karsinogenesis kolon yang
diinduksi secara kimiawi. Dysplasia yang lebih rendah, lesi lebih sedikit,
pengurangan proliferasi sel juga terjadi pada mencit yang diterapi dengan α-MG.
Pertumbuhan COLO 205 xenografts ditekan secara sempurna bila mencit diinjeksi
intratumor 3 mg ekstrak mangosteen mengandung α-MG dan γ-MG. Caspase
memediasi terjadinya apoptosis pada sel tumor. Dosis yang lebih rendah juga
menurunkan volume tumor. Induksi apoptosis sel COLO 205 juga telah diteliti
secara in-vitro. Diet ekstrak kulit Garcinia mangostana (α-MG dan γ-MG)
menghambat pertumbuhan colorectal HCT116 xenografts pada mencit. In-vitro,
α-MG menurunkan viabilitas sel HCT116 dan menginduksi aktivasi caspase dan
berkurangnya permeabilitas mitochondria. Injeksi intraperitoneal ekstrak kulit
Garcinia mangostana mengandung 25% α-MG pada mencit BALB/c yang
mengalami colon cancer NL-17 xenografts menunjukkan pengurangan ukuran
tumor 50%–70%. Efek antiproliferatif ekstrak pada sel NL-17 juga telah
dikonfirmasi secara in-vitro (Gutierrez-Orozco, 2013)
Terapi Oral α-M juga menurunkan pertumbuhan kanker kolon Her2/CT26
xenografts pada mencit. Akhirnya diet α-MG menurunkan masa tumor kanker
kolon HT-29 xenografts. Pada penelitian ini, xanthones dan metabolitnya telah
dideteksi di serum, tumor, liver dan feses mencit. Analisis in-vitro menunjukkan
42
bahwa α-MG menghambat proliferasi HT-29 dan menurunkan ekspresi Bcl-2dan
β-catenin (Gutierrez-Orozco, 2013).
Gambar 2.4 Penelitian efek anti kanker Garcinia mangostana.
(sumber: Gutierrez-Orozco, 2013)
2.10.4 Efektifitas Antihistamin
Alergi disebabkan oleh respon imunitas terhadap suatu antigen ataupun
alergen yang berinteraksi dengan limfosit B yang dapat memproduksi
imunoglobulin E (IgE). Imunoglobulin E yang diproduksi kemudian menempel
pada reseptor FceRI pada permukaan membran sel mast. Setelah adanya interaksi
kembali antara antigen-antibodi, akan merangsang sel mast untuk melepaskan
histamin (Kresno, 2001; Subowo, 1993). Alfa mangostin juga mampu
menghambat ikatan [3H]-mepiramin terhadap sel otot polos pada tikus. Senyawa
43
terakhir tersebut merupakan antagonis spesifik bagi reseptor histamin H. Dari
analisis kinetik ikatan [3H]-mepiramin mengindikasikan bahwa alfa mangostin
menghambat secara kompetitif. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa alfa
mangostin tersebut dikategorikan sebagai pengeblok reseptor histaminergik
khususnya H sedangkan gamma mangostin sebagai pengeblok reseptor
serotonergik khususnya 5-hidroksitriptamin 2A atau 5HT2A1. Lebih lanjut,
(Nakatani et al. 2002), melakukan penelitian ke arah mekanisme ekstrak Garcinia
mangostana tersebut. Pada penelitian tersebut ekstrak Garcinia mangostana yaitu:
etanol 100%, 70 %, 40%dan air, diuji terhadap sintesis prostaglandin E dan
pelepasan histamin.
Gambar 2.5 Penelitian properti kimia dan aktivitas biologi
Garcinia mangostana. (sumber: Gutierrez-Orozco, 2013)