bab ii tinjauan pustaka 2.1 ikan nila (oreochromis...

21
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Ikan nila dikenal sebagai ikan yang rakus, omnivora dan dapat hidup di mana-mana, baik dataran rendah maupun dataran tinggi, di air tawar maupun di air payau (Asmawi 1983). Klasifikasi ikan nila menurut Saanin (1984) adalah : Kelas : Osteichthyes Sub-kelas : Acanthoptherigii Ordo : Percomorphi Sub-ordo : Percoidea Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis Spesies : Oreochromis niloticus. Gambar 1. Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Pertumbuhan ikan nila cepat pada ekologi yang baik dan bentuk tubuhnya relatif lebih lebar. Tetapi karena terlalu sering berkembang biak, kebanyakan ikan nila hanya dapat mencapai berat antara 80 gram sampai 140 gram per ekor. Jika dibandingkan dengan ikan-ikan lainnya, seperti ikan mas, ikan mujair dan tawes, dimana waktu dan cara pemeliharaannya sama, ikan nila dapat mencapai berat dan ukuran yang lebih besar. Dalam masa pemeliharaan 5 bulan ikan nila sudah mencapai berat 120 gram per ekor, sedangkan ikan mas 90 gram dan ikan tawes

Upload: dokhanh

Post on 03-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Ikan nila dikenal sebagai ikan yang rakus, omnivora dan dapat hidup di

mana-mana, baik dataran rendah maupun dataran tinggi, di air tawar maupun di

air payau (Asmawi 1983). Klasifikasi ikan nila menurut Saanin (1984) adalah :

Kelas : Osteichthyes

Sub-kelas : Acanthoptherigii

Ordo : Percomorphi

Sub-ordo : Percoidea

Famili : Cichlidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus.

Gambar 1. Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Pertumbuhan ikan nila cepat pada ekologi yang baik dan bentuk tubuhnya

relatif lebih lebar. Tetapi karena terlalu sering berkembang biak, kebanyakan ikan

nila hanya dapat mencapai berat antara 80 gram sampai 140 gram per ekor. Jika

dibandingkan dengan ikan-ikan lainnya, seperti ikan mas, ikan mujair dan tawes,

dimana waktu dan cara pemeliharaannya sama, ikan nila dapat mencapai berat dan

ukuran yang lebih besar. Dalam masa pemeliharaan 5 bulan ikan nila sudah

mencapai berat 120 gram per ekor, sedangkan ikan mas 90 gram dan ikan tawes

8

80 gram, tetapi ikan mujair jauh lebih lambat, yaitu hanya 40 gram per ekor

(Asmawi 1983).

Ikan nila memiliki ciri khusus yang dapat dibedakan dengan ikan tawes

dan ikan mas, yaitu ada garis-garis vertikal pada bagian sirip punggung (dorsal)

dan sirip ekor (caudal). Komposisi kimia ikan nila per 100 gram daging dapat

dilihat pada Tabel 1 menunjukan bahwa ikan nila memiliki kandungan lemak

yang cukup rendah (2,7%) dan kandungan protein yang cukup tinggi (17,8%)

sehingga cocok sebagai bahan dasar dalam pembuatan tepung ikan untuk pangan.

Tabel 1. Kandungan Kimia Ikan Nila per 100 gram daging

Kandungan Kimia Persentase (%)

Protein kasar 17,8

Lemak kasar 2,7

Air 77,8

Abu 1,2

Sumber: Kusumawardhani (1988)

Hal ini menandakan bahwa ikan baik dikonsumsi oleh semua golongan

usia mulai dari bayi hingga lansia. Sistem pencernaan pada usia balita belum

sesempurna orang dewasa sehingga pola makan harus dijaga. Sedangkan untuk

lansia telah mengalami penurunan sistem pencernaan mengakibatkan tidak semua

makanan yang masuk ke dalam tubuh dapat diolah dengan baik.

2.2 Tepung Ikan

Tepung ikan (fish flour) adalah produk padat kering yang dihasilkan

dengan cara mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian lemak atau seluruhnya

dalam daging ikan yang terkandung dalam tubuh ikan (Ilyas 1977). Pembuatan

tepung ikan sebenarnya dapat menggunakan semua jenis ikan tetapi pada

umumnya hanya ikan pelagis dan demersal saja yang banyak digunakan sebagai

bahan baku pembuatan tepung ikan. Tepung ikan akan bermutu baik apabila

bahan baku yang digunakan adalah ikan yang berkadar lemak rendah, jika

sebaliknya yaitu ikan berkadar lemak tinggi maka tepung ikan yang dihasilkan

9

berkadar lemak tinggi pula sehingga dapat mempercepat terjadinya ketengikan

(Afrianto dan Liviawaty 1993).

Tepung ikan yang diterima sebagai bahan pangan adalah tepung ikan yang

tidak berasal dari bahan mentah yang kurang layak seperti isi perut, insang, sisik

dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena ketidakstabilan cita rasanya lebih

rendah. Daging, ikan, telur dan produk-produk ternak lainnya dapat digunakan

sebagai pelengkap kekurangan gizi dari serealia karena mampu memberikan

protein bermutu tinggi sehingga perlu adanya penganekaragaman produk,

misalnya dengan mencampurkan produk-produk seperti mie, biskuit dan roti serta

produk-produk lain dari serealia dengan protein bermutu tinggi, murah, dapat

diawetkan dan dimantapkan untuk mempertahankan kebutuhan tersebut karena

tidak ada protein hewani kering lainnya kecuali susu rendah lemak (Buckle et al.

1985).

Tepung ikan yang dikonsumsi manusia sebaiknya diolah dengan cara yang

tepat. Dengan bahan baku yang baik dan pengolahannya yang tepat diharapkan

tepung ikan yang dihasilkan dapat memenuhi selera konsumen sehingga dapat

digunakan sebagai salah satu sumber pangan. Pengolahan tepung ikan harus

memperhatikan kondisi kebersihan, standar mutu tepung ikan dan cara

pengepakan yang baik sehingga terhindar dari kontaminasi yang mengakibatkan

oksidasi maupun dari serangan-serangga (Yunawati 2002).

Tepung ikan mempunyai kandungan protein yang tinggi dan merupakan

salah satu zat gizi yang penting yang dibutuhkan oleh tubuh manusia (Kulikov

1971). Kandungan gizi atau komposisi kimiawi tepung ikan berbeda-beda

tergantung pada bahan baku yang digunakan. Komposisi tersebut ditentukan oleh

jenis ikan, mutu bahan baku yang digunakan dan cara pengolahannya (Dwiyitno

1995).

Tepung ikan yang bermutu baik harus mempunyai sifat-sifat sebagai

berikut: butir-butirannya agak seragam, bebas dari sisa tulang, mata ikan dan

benda-benda asing lainnya. Tepung ikan yang dibuat dari bahan offal (sisa dari

industri filet ikan) akan mempunyai kadar protein yang lebih rendah dan kadar

mineral yang lebih tinggi daripada tepung ikan yang dibuat dari filet ikan utuh.

10

Cara pengolahan secara tradisional dan modern memberikan pengaruh yang

berbeda terhadap kadar protein tepung ikan (Moeljanto 1992).

Secara umum tepung ikan pangan dikategorikan sebagai Fish Protein

Concentrate (FPC) atau Konsentrat Protein Ikan (KPI) yang memiliki tipe A, B

dan C. Dari ketiga tipe ini yang digunakan untuk pangan adalah tipe A dan B,

sementara tipe C dimanfaatkan untuk pakan. FAO telah menentukan spesifikasi

untuk FPC, hal ini dipandang penting supaya mutu FPC yang dikonsumsi manusia

dapat terjamin (Buckle et al. 1985). Persyaratan FPC dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 . Standar Tepung Ikan menurut FAO

Kandungan Tipe A Tipe B Tipe C

Protein, min (%) 67,5 65,0 60,0

Daya cerna pepsin, min (%) 92,0 92,0 92,0

Lisin, min (%) dari protein 6,5 6,5 6,5

Air, maks (%) 10,0 10,0 10,0

Lemak, maks (%) 0,7 3,0 10,0

Klorida, maks (%) 1,5 1,5 2,0

SiO2, maks (%) 0,5 0,5 0,5

Bau dan rasa lemah

Tidakada

spesifikasi

Tidak ada

spesifikasi

Sumber: FAO (1964) dalam Buckle et al.(1985)

Mutu tepung ikan terutama ditentukan oleh kadar protein. Pada umumnya,

semakin tinggi kadar protein kasar tepung ikan, maka semakin tinggi harga

jualnya. Tepung ikan impor biasanya berkualitas baik, karena kandungan protein

kasarnya berkisar antara 60-74% dengan kadar lemak berkisar antara 6-10%.

Tepung ikan produksi lokal umumnya mengandung protein kasar berkisar antara

31,72-57,02% kadar lemak berkisar antara 4,57-20,68% dan kadar air berkisar

antara 7,33-11,16% (Purnamasari dkk. 2006).

Penggolongan teknologi pengolahan tepung ikan didasarkan pada proses

pemasakan dan pengeringan bahan mentah ikan. Terdapat dua metode utama

pengolahan tepung ikan yang telah diterapkan secara komersial, yaitu pengolahan

11

sistem basah dan pengolahan sistem kering. Proses pengolahan sistem basah

digunakan terutama untuk produksi tepung ikan dengan bahan mentah ikan

berlemak tinggi (>5%). Metode ini telah diterapkan secara luas dan yang paling

umum dijumpai pada pengolahan tepung ikan. Proses pengolahan sistem basah,

meliputi pengukusan, pengepresan, pengeringan, penggilingan hingga diperoleh

tepung ikan kering. Proses pengolahan sistem kering dipergunakan untuk bahan

mentah ikan yang mengandung kadar lemak rendah (<5%). Proses pengolahan

sistem kering meliputi penggilingan kasar, pengeringan, pengepresan dan

penggilingan (Irianto dan Giyatmi 2002).

2.3 Protein

Protein merupakan suatu zat gizi yang amat penting bagi tubuh, karena

selain berfungsi sebagai penghasil energi dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat

untuk pengatur, pembangun, pertumbuhan, pemeliharaan serta perbaikan tubuh

dan fungsi-fungsi tubuh. Sifat protein sebagai zat pengatur dimiliki oleh enzim.

Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk sel-sel dan jaringan

dalam tubuh. Selain itu, protein juga berperan dalam proses pertumbuhan,

pemeliharaan dan perbaikan jaringan tubuh yang mengalami kerusakan (Winarno

1997)

Protein merupakan senyawa kimia utama dan merupakan bagian terbesar

dari daging ikan dalam keadaan berat kering selain lemak, air dan beberapa jenis

mineral. Daging ikan juga mengandung produk metabolisme dari protein dan

lemak, serta beberapa bahan khusus yang berpengaruh terhadap kerja tubuh

sehari-hari, seperti fosfatida, sterol, vitamin, enzim serta berbagai jenis hormon

(Zaitsev et al. 1969).

Menurut Afrianto dan Liviawaty (2002), bahwa ikan merupakan salah satu

bahan pangan yang banyak mengandung protein. Protein ikan sangat diperlukan

oleh manusia karena selain mudah dicerna juga mengandung asam amino dengan

pola hampir sama dengan pola asam amino yang terdapat di dalam tubuh manusia.

Menurut Sudarmadji dkk (1999) protein sangat penting dalam pembentukan sel-

sel baru oleh sebab itu apabila organisme kekurangan protein dalam bahan

12

makanannya maka organisme tersebut akan mengalami hambatan dalam proses

biokimiawinya.

Secara umum, daging ikan memiliki komposisi protein sebesar 15-25%

dari berat total daging ikan. Molekul protein terutama terdiri dari asam amino

yang merupakan senyawa organik yang mengandung satu atau lebih gugus amino

dan satu atau lebih gugus karboksil. Asam amino penting yang harus ada dalam

konsumsi makanan sehari-hari dan tidak dapat disintesis oleh tubuh dikenal

dengan istilah asam amino esensial. Protein daging ikan mengandung asam amino

esensial, yaitu valin, histidin, isoleusin, lisin, leusin, methionine, threonine,

triptofan dan fenilalanin (Irianto dan Giyatmi 2002).

Kebutuhan tubuh manusia terhadap asam amino esensial dapat dipenuhi

dari protein yang terkandung di dalam makanan yang dimakan. Tanaman pangan

sering kekurangan satu atau lebih asam amino esensial sehingga perlu

digabungkan dengan bahan protein lainnya. Dengan demikian, bahan satu dan

lainnya akan saling menutupi dan melengkapi kekurangan dari satu protein

dengan asam amino sejenis yang berlebihan pada protein lain (Wirakusumah

2007).

WHO (World Health Organization) (1985) mengungkapkan bahwa

protein yang berasal dari hewan seperti susu, daging, telur, keju dan unggas

mengandung asam amino dalam kadar yang cukup. Sedangkan protein yang

berada dalam kandungan sayur-sayuran memiliki kadar yang terbatas. Kandungan

protein ikan terdiri dari berbagai asam amino yang hampir seluruhnya dibutuhkan

oleh manusia.

Protein hewani yang dibutuhkan setiap manusia sangat bervariasi

tergantung pada umur, jenis kelamin dan banyak aktivitas yang dilakukan

(Afrianto dan Liviawaty 2002). Protein hewani yang berasal dari ikan yang

diperlukan manusia berbeda-beda tergantung dari usia, usia anak-anak

memerlukan protein lebih rendah daripada orang dewasa (Tabel. 3)

13

Tabel 3. Kebutuhan Manusia akan Protein dan Daging Ikan

Usia Protein (g/hari) Daging ikan (g/hari)

Anak-anak 25-40 125-200

Laki-laki dewasa 50-60 250-325

Wanita dewasa 50-55 250-275

Wanita hamil 60-75 300-375

Wanita menyusui 75-80 375-400

Sumber: Majalah Pertanian No.1 Tahun 1978 dalam Afrianto dan Liviawaty

(2002)

Protein ikan secara umum dapat digolongkan berdasarkan kelarutannya

yaitu protein yang mudah larut dalam air, protein yang tidak dapat larut dalam air,

protein yang sukar larut dalam air dan protein yang hanya dapat larut pada air

yang memiliki kekuatan ion yang tinggi (Winarno 2002). Berdasarkan lokasi

terdapatnya dalam daging, protein digolongkan menjadi protein sarkoplasma,

myofibril dan jaringan ikat atau stroma (Hadiwiyoto 1993). Suzuki (1981)

menyatakan bahwa konsumsi kandungan sarkoplasma 18-20%, miofibril 65- 80%,

dan stroma 3-5%. Protein merupakan komponen terbanyak pada ikan setelah air.

2.3.1 Protein Sarkoplasma

Protein sarkoplasma merupakan protein yang dapat larut dalam air atau

larutan garam netral dan secara normal ditemukan dalam plasma sel. Peranannya

sebagai enzim yang diperlukan untuk metabolisme anaerob sel otot (Mackie

1992). Protein sarkoplasma merupakan berat molekul relatif rendah dan

strukturnya berbentuk globular. Sifak fisik tersebut erat kaitannya dengan

kelarutan protein dalm air dan larutan garam.

Protein sarkoplasma yang paling penting adalah mioglobin yang berperan

dalam warna merah pada daging. Kandungan protein sarkoplasma dalam daging

ikan tergantung dari jenis ikan, jumlah protein ini sebesar 18-20% dari kandungan

protein ikan. Adanya protein sarkoplasma ini akan mempengaruhi pembentukan

gel, sehingga gel menjadi tidak elastis akibat terhambatnya proses pembentukan

jembatan-jembatan antara protein myofibril (Hardoko 2005). Protein sarkoplasma

yang mengandung berbagai jenis protein yang larut dalam air disebut miogen.

14

Kandungan miogen dalam otot ikan tegantung pada spesiesnya, namun pada

umumnya kandungan miogen lebih tinggi pada ikan pelagis jika dibandingkan

dengan ikan demersal (Suzuki 1981).

2.3.2 Protein Myofibril

Protein myofibril dapat larut dalam garam (Suzuki 1981), protein

myofibril merupakan bagian terbesar dari daging ikan. Protein ini terdiri dari

protein aktin, myosin, aktomyosin dan protein regulasi seperti tropomiosin,

troponin dan aktinin (Hardoko 2005). Jumlah protein ini sebesar 65-80% dari

kandungan protein ikan. Daya gelasi (kemampuan membentuk gel) dari protein

myofibril ikan sangat diperlukan pada aplikasi produk-produk berbasis gel, seperti

bakso, surimi, sosis dan nugget (Subagio dkk. 2004). Protein myofibril berperan

dalam pembentukan gel, terutama dari fraksi aktomiosin. Aktomiosin merupakan

gabungan aktin dan miosin (Suzuki 1981).

Protein myofibril mempunyai peran dalam menentukan tekstur produk

yang diinginkan. Protein yang paling penting dalam proses pengolahan daging

adalah myosin karena myosin mempengaruhi pembentukan gel dan dapat

menghasilkan produk yang elastis (Syartiwidya 2003).

2.3.3 Protein Stroma

Komponen penyusun protein jaringan ikat (stroma) adalah kolagen dan

elastin. Protein stroma tidak larut dalam air walaupun pada cairan dengan

kekuatan ion tinggi (Watabe 1990). Protein stroma dalam industri pengolahan

pangan dapat mengganggu sifat fungsional daging yaitu dapat menyebabkan

turunnya kapasitas emulsi daging dengan mempengaruhi Water Holding Capacity

(WHC) daging. Jumlah protein ini sebesar 3-5% dari kandungan protein ikan.

Protein stroma memiliki nilai gizi yang rendah karena mengandung sedikit

asam amino esensial (Pomeranz 1991). Protein stroma dapat ditemui pada

sarkolema (Hadiwiyoto 1993). Pada pengolahan surimi, protein stroma tidak

dihilangkan, karena mudah dilarutkan oleh panas dan merupakan komponen netral

pada produk akhir.

15

2.4 Dodol

Dodol merupakan salah satu jenis produk olahan hasil pertanian yang

bersifat semi basah, berwarna putih sampai cokelat, dibuat dari campuran tepung

ketan, gula, dan santan. Pengolahan dodol sudah dikenal masyarakat, prosesnya

sederhana, murah dan banyak menyerap tenaga kerja (Soemaatmadja 1997).

Dodol terbuat dari daging buah matang yang dihancurkan, kemudian

dimasak dengan penambahan gula dan bahan makanan lainnya atau tanpa

penambahan bahan makanan lainnya. Sesuai dengan definisi tersebut maka dalam

pembuatan dodol buah-buahan diperbolehkan penambahan bahan lainnya seperti

tepung ketan, tepung tapioka. Bahan-bahan yang ditambahkan harus sesuai dan

tidak boleh lebih dari aturan yang berlaku (Satuhu dan Sunarmani 2004).

Makanan setengah basah adalah suatu makanan yang mempunyai kadar air

yang tidak terlalu rendah. Tetapi makanan ini dapat bertahan lama selama

penyimpanan oleh karena sebagian besar bakteri tidak dapat tumbuh pada aw 0,90

atau dibawahnya. Maka untuk membuat makanan setengah basah yang tahan lama

selama penyimpanan, selain kadar air dibuat menjadi 10-15%, juga aw makanan

harus dibawah 0,90 untuk mencegah pertumbuhan ragi dan kapang (Winarno

1980).

Pengolahan bahan pangan semi basah dikenal dua tipe kasar yaitu adsorbsi

dan desorbsi, pada tipe adsorbsi bahan dikeringkan sambil diamati dengan

penambahan kembali sampai diperoleh keseimbangan yang diinginkan, sedangkan

tipe desorbsi bahan dimasukkan dalam larutan yang mempunyai tekanan osmosa

yang lebih tinggi sampai diperoleh aw yang diinginkan (Ishak dan Sarinah 1985).

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) definisi dodol adalah makanan yang

dibuat dari tepung beras ketan, santan kelapa, dan gula dengan atau tanpa

penambahan bahan makanan dan bahan lain yang diziinkan. Syarat mutu dodol

disajikan pada Tabel 4.

16

Tabel 4. Syarat Mutu Dodol Menurut SNI No. 01-2986-1992

Kriteria Uji Satuan Persyaratan

Bau - Normal/khas dodol

Rasa - Normal/khas dodol

Warna - Normal/khas dodol

Kadar air %bb Maksimum 20

Jumlah gula sebagai sukrosa %bb Minimal 45

Protein (Nx6,23) %bb Minimal 3

Lemak %bb Minimal 3

Bahan Tambahan Makanan - Sesuai dengan SNI 0222-M dan

Peraturan Menteri Kesehatan

No.722/Menkes/Per/Lx/88

Pemanis buatan - Tidak nyata

Cemaran logam

- Timbal (Pb) Mg/kg Maksimum 1,0

- Tembaga (Cu) Mg/kg Maksimum 10,0

- Seng (Zn) Mg/kg Maksimum 40,0

- Arsen (As) Mg/kg Maksimum 0,5

Cemaran Mikroba

- Angka lempeng total Koloni Maksimum 5,0x102

- E.Coli APM/g 3

- Kapang dan Khamir Koloni/g Maksimum 1,0x102

Sumber: Dewan Standarisasi Nasional (1992)dalam Satuhu dan Sunarmani (2004)

Menurut Ilma (2010), hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan

dodol yaitu:

1. Bahan-bahan dicampur bersama dalam kuali yang besar dan dimasak

dengan api sedang.

2. Dodol yang dimasak tidak boleh dibiarkan tanpa pengawasan, karena jika

dibiarkan begitu saja, maka dodol tersebut akan hangus pada bagian

bawahnya dan akan membentuk kerak. Oleh sebab itu, dalam proses

pembuatannya campuran dodol harus diaduk terus menerus untuk

mendapatkan hasil yang baik. Waktu pemasakan dodol kurang lebih

membutuhkan waktu 2-3 jam pada suhu 80-900C dan jika kurang dari itu,

dodol yang dimasak akan kurang enak untuk dimakan.

3. Setelah 2 jam, pada umumnya campuran dodol tersebut akan berubah

warnanya menjadi cokelat pekat. Pada saat itu juga campuran dodol tersebut

akan mendidih dan mengeluarkan gelembung-gelembung udara yang

terbentuk tidak meluap keluar dari kuali sampai saat dodol tersebut harus

didinginkan dalam periuk yang besar. Untuk mendapatkan hasil yang baik

17

dan rasa yang sedap, dodol harus berwarna cokelat tua, berkilat dan pekat.

Setelah itu, dodol tersebut bisa dipotong dan dimakan.

2.4.1. Bahan Tambahan

a. Tepung Beras Ketan (Oryza sativa glutinous)

Beras ketan (Oryza sativa glutinous) termasuk serealia yang kaya akan

karbohidrat sehingga dapat digunakan sebagai makanan pokok manusia, pakan

ternak, dan industri yang menggunakan karbohidrat sebagai bahan bakunya.

Komponen kimia yang paling utama pada serealia adalah karbohidrat terutama

pati kira-kira 80% dari bahan kering (Sugiyono 2002).

Beras ketan (Oryza sativa glutinous) mengandung karbohidrat yang cukup

tinggi yaitu sekitar 80%. Selain karbohidrat, kandungan dalam beras ketan adalah

lemak sekitar 4%, protein 6%, dan air 10%. Karbohidrat di dalam tepung beras

terdapat 2 senyawa yaitu amilosa dan amilopektin dengan kadar masing-masing

sebesar 1% dan 99%. Di dalam proses pembuatan dodol selain tepung beras ketan

dalam adonan ditambahkan tepung terigu dengan maksud agar sifat gel dari dodol

dapat bertahan cukup lama (Ilma 2007).

Tepung beras ketan adalah salah satu jenis tepung yang berasal dari beras

ketan (Oryza sativa glutinous) yaitu varietas dari padi (Oryza sativa) famili

graminae yang termasuk dalam biji-bijian (cereals) yang ditumbuk atau digiling

dengan mesin penggiling (Damayanti 2000).

Tepung beras ketan memberi sifat kental sehingga membentuk tekstur

dodol menjadi elastis. Kadar amilopektin yang tinggi menyebabkan sangat mudah

terjadi gelatinisasi bila ditambah dengan air dan memperoleh perlakuan

pemanasan. Hal ini terjadi karena adanya pengikatan hidrogen dan molekul-

molekul tepung beras ketan (gel) yang bersifat kental (Siswoputranto 1989).

Rasio antara amilosa dan amilopektin berbeda untuk setiap pati. Pada

umumnya tergantung dari jenis tumbuhan asalnya. Kandungan amilopektin yang

tinggi pada beras akan menyebabkan beras menjadi lebih lekat dari beras yang

amilopektinnya kurang (Rubianty dan Berty 1985). Apabila kadar amilosa tinggi,

maka akan bersifat kering, kurang lekat dan cenderung meresap air lebih banyak

18

atau hidroskopis (Haryanto dan Philipus 1992).

Diantara sifat-sifat amilopektin yang sangat disukai oleh ahli pengolahan

adalah memiliki daya perekat yang tinggi, suhu gelatinisasi lebih rendah, tidak

mudah pecah atau rusak pada suhu rendah dan tidak mudah menggumpal pada

suhu normal (Collinson 1986).

Semakin tinggi kadar amilopektin dari suatu bahan makanan maka

kemampuan mengikat air semakin meningkat pula. Sehingga kadar air cenderung

menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi penambahan tepung beras

ketan. Hal ini terjadi karena adanya proses pengikatan air oleh gugus hidroksil

amilopektin dari tepung beras ketan yang ditambahkan (Siswoputranto 1989).

Pati yang dihasilkan dari ketan disebut dengan tepung ketan. Tepung ketan

dapat diperoleh dengan cara perendaman beras ketan selama 2-3 jam. Setelah itu

beras ketan dicuci bersih dan ditiriskan. Selanjutnya beras ketan digiling dan

diayak dengan ayakan berukuran 80 mesh sampai diperoleh tepung ketan yang

halus. Semakin halus tepung ketan yang digunakan maka semakin baik karena

akan mempercepat pengentalan dodol (Satuhu dan Sunarmani 2004). Komposisi

kimia tepung ketan dan tepung terigu dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi Kimia Tepung Ketan dan Tepung Terigu

Komposisi Tepung Ketan (%) Tepung Terigu (%)

Karbohidrat 80 77

Lemak 4 1

Protein 8 11

Air 10 12

Sumber: Satuhu dan Sumarni (2004)

b. Gula

Gula merupakan senyawa organik yang penting sebagai bahan makanan,

karena gula dicerna dan di dalam tubuh sebagai sumber kalori. Disamping sebagai

bahan makanan, gula digunakan pula sebagai pengawet makanan, bahan baku,

alkohol dan pencampur obat-obatan. Gula merupakan senyawa kimia yang

termasuk karbohidrat, memiliki rasa manis dan larut dalam air (Gautara dan

Soesarsono 1981).

19

Gula termasuk ke dalam golongan senyawa yang disebut karbohidrat yang

terdiri dari tiga golongan yaitu monosakarida, disakarida, dan polisakarida.

Monosakarida adalah contoh gula sederhana yang merupakan turunan disakarida.

Apabila sukrosa dihidrolisis akan dihasilkan dua molekul gula sederhana yaitu

molekul glukosa dan atau molekul fruktosa. Gula dalam bentuk glukosa fruktosa,

sukrosa, maltose, dan laktosa adalah suatu bahan yang umum digunakan sebagai

pemanis. Kemanisan ini merupakan sifat gula yang dapat diukur secara subyektif

dan obyektif (Sugiyono 2002).

Gula disamping sebagai bahan pemberi rasa, juga dengan penambahan

gula berpengaruh pada kekentalan gel, sebab gula akan mengikat air, akibatnya

pengembangan pati menjadi lambat. Suhu gelatinisasi menjadi lebih tinggi,

menyebabkan gel lebih tahan dan awet (Sakidja et al. 1985).

Konsentrasi gula yang cukup tinggi (70%) sudah dapat menghambat

pertumbuhan mikroba, akan tetapi pada umumnya gula dipergunakan dengan

salah satu teknik pengawetan lainnya, misalnya dikombinasikan dengan keasaman

yang rendah, pasteurisasi, penyimpanan pada suhu rendah, pengeringan,

pembekuan dan penambahan bahan kimia seperti SO2, asam benzoat dan lain-lain

(Ishak dan Sarinah 1985).

Maksud penambahan gula, selain memberi rasa juga sebagai bahan

pengawet. Efek pengawet dari gula menurut Gautara dan Soesarsono (2005)

antara lain:

1. Kenaikan tekanan osmosis larutan sehingga dapat menyebabkan terjadinya

plasmolisis dari sel-sel mikroba, maka dengan berkurangnya air untuk

pertumbuhan mikroba, sel-sel mikroba akan mengering dan akhirnya akan

mati.

2. Memenuhi water activity dari bahan makanan sampai suatu keadaan dimana

pertumbuhan mikroba tidak mungkin lagi. Jenis gula yang digunakan dalam

pembuatan dodol yaitu gula pasir dan gula merah. Gula pasir adalah butiran

kecil seperti kristal yang terbuat dari proses hasil penggilingan tebu, berwarna

putih, kering, dan tidak kotor. Fungsi gula dalam pembuatan dodol yaitu

memberikan aroma, rasa manis pada dodol, sebagai pengawet dan membantu

20

pembentukan lapisan keras atau tekstur pada dodol. Gula merah merupakan

hasil nira kelapa. Dari segi aroma dan rasa, gula aren jauh lebih tajam dan

manis.

c. Santan

Hermana (1975) menyatakan bahwa santan adalah minyak dari buah

kelapa (Coccus nucifera L) yang diambil secara pengepresan daging buah

bersama air atau dengan penambahan air. Kelapa yang digunakan adalah buah

yang sudah tua agar diperoleh santan yang banyak.

Santan adalah cairan yang diperoleh dengan melakukan pemerasan

terhadap daging buah kelapa parutan. Santan merupakan bahan makanan yang

dipergunakan untuk mengolah berbagai masakan yang mengandung daging, ikan,

dan untuk pembuatan kue, es krim, dodol, dan gula-gula (Suhardiyono 1995).

Daging buah kelapa segar yang tua mempunyai kandungan air sekitar 50%

dan lemak 30% karena dalam pembuatan dodol air santan diuapkan, maka yang

menentukan produk akhir adalah minyaknya (Sudari 1984).

Santan yang digunakan dalam pembuatan dodol terdiri dari 2 macam yaitu

santan kental dan santan encer. Fungsi santan secara umum yaitu sebagai

penambah cita rasa dan aroma. Santan kental penting dalam pembuatan dodol

karena banyak mengandung lemak sehingga dihasilkan dodol yang mempunyai

cita rasa yang lezat dan membentuk tekstur kalis. Santan encer berfungsi untuk

mencairkan tepung, sehingga terbentuk adonan dan untuk melarutkan gula

(Satuhu 2004).

Minyak ini dalam pengolahan bahan makanan berfungsi sebagai media

penghantar panas pada waktu pemasakan. Menaikkan (polabilitas) kelezatan,

makanan dengan mempertinggi flavour, meminyaki makanan serta peralatan

sehingga adonan tidak lengket pada alat. Penambahan ini akan memperbaiki

kenampakan dodol dan lebih mengkilap. Semakin banyak santan yang

ditambahkan, maka kualitas dodol makin baik, yakni makin enak dan makin

lembut (Sudari 1984).

21

Emulsi ini relatif stabil karena adanya protein dan karbohidrat sebagai

stabilisator. Adanya penambahan air pada pembuatan santan, sangat

mempengaruhi komposisi santan, sedangkan jumlah air yang ditambahkan tidak

mempengaruhi kestabilan emulsi (Cheosakul 1967).

Pembuatan santan dapat dilakukan dengan cara kelapa dikupas kemudian

diambil dagingnya. Setelah itu daging buah dicuci dan diparut dengan alat parut

sederhana atau mesin pemarut kelapa. Kelapa yang sudah diparut tersebut

kemudian ditambah air hangat, lalu diremas-remas dan kemudian dilakukan

pemerasan. Perasan pertama akan diperoleh santan yang kental. Selanjutnya

ampas ditambahkan air kembali, kemudian diremas-remas dan diperas kembali

hingga diperoleh santan yang encer (Satuhu dan Sunarmani 2004). Nilai gizi

santan kelapa dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai Gizi Santan Kelapa

Komponen Gizi Santan Murni (g) +Air (1:1)/(g)

Protein 4,20 2,00

Lemak 34,30 10,00

Karbohidrat 5,60 7,60

Air 54,90 80,00

pH 6,25

Sumber: Satuhu dan Sunarmani (2004)

2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Dodol

Menurut Idrus (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas dodol

adalah:

1. Penimbangan bahan

Proses penimbangan bahan harus dilakukan dengan tepat dan menggunakan

alat ukur yang standart. Penimbangan bahan yang dilakukan dengan tidak

tepat akan menyebabkan kegagalan dalam pembuatan dodol.

2. Kualitas bahan dan penggunaan bahan antara lain:

a. Tepung beras ketan

Tepung beras ketan dipilih tepung yang masih baru, tidak berbau apek dan

bersih. Apabila tepung ketan yang digunakan sudah lama dan berbau apek maka

akan berpengaruh terhadap rasa dan aroma dodol.

22

b. Gula

Gula yang digunakan dalam pembuatan yaitu gula kelapa atau gula pasir.

Gula yang digunakan dalam jumlah yang tepat dan sesuai dengan ukuran.

Penggunaan gula yang terlalu banyak akan menyebabkan warna dodol menjadi

cokelat kehitaman dan tekstur mejadi keras. Penggunaan gula yang kurang juga

akan mengakibatkan dodol dengan rasa kurang manis.

c. Santan

Santan dipilih dari kelapa yang sudah tua, santan masih segar dan bersih.

Penggunaan santan sesuai dengan ukuran. Penggunaan santan yang terlalu banyak

menyebabkan hasil dodol yang lembek dan cepat tengik. Penggunaan santan yang

kurang akan mengakibatkan rasa dodol kurang gurih dan tekstur dodol kurang

kalis.

d. Cara Memasak

Pemasakan dodol harus dilakukan dengan cara pengadukan sesering

mungkin. Pengadukan yang kurang menyebabkan kualitas dodol kurang baik,

kurang rata dan tidak kalis.

e. Lama Pemasakan

Waktu membuat dodol yaitu selama 2-3 jam. Apabila pemasakan kurang

lama maka dodol kurang matang, tekstur tidak kalis, rasa dan aroma hilang.

2.4.3. Jambu Merah

Jambu merah mengandung berbagai zat gizi yang dapat digunakan sebagai

obat. Dalam jambu merah: Budi Daya dan Ragam Pemanfaatannya (Parimin

dalam Penebar Swadaya 2007), dalam tiap 100 gram jambu merah masak segar

terdapat kandungan antara lain dapat dilihat pada Tabel 7.

23

Tabel 7. Kandungan Jambu Merah dalam tiap 100 g

Kandungan Jumlah (g)

Protein 0,9

Lemak 0,3

Karbohidrat 12,2

Kalsium 0,014

Fosfor 0,028

Besi 0,0011

Vitamin A 0,025

Vitamin B1 0,00002

Vitamin C 0,087

Air 86

Total Kalori 49 g kal

Sumber: Parimin dalam Penebar Swadaya (2007)

Kandungan vitamin C jambu merah dua kali lipat jeruk manis yang hanya

49 mg per 100 g buah. Vitamin C itu terkonsentrasi pada kulit dan daging bagian

luarnya yang lunak dan tebal. Kandungan vitamin C jambu merah memuncak saat

menjelang matang. Kandungan vitamin C pada jambu merah sanggup memenuhi

kebutuhan harian anak berusia 13-20 tahun yang mencapai 80-100 mg per hari,

atau kebutuhan vitamin C harian orang dewasa yang mencapai 70-75 mg per hari.

Dengan demikian, sebutir jambu biji dengan berat 275 g per buah dapat

mencukupi kebutuhan harian akan vitamin C pada tiga orang dewasa atau dua

anak-anak. (Parimin dalam Penebar Swadaya 2007)

Jambu merah juga kaya serat, khususnya pektin (serat larut air). Manfaat

pektin antara lain menurunkan kolesterol dengan cara mengikat kolesterol dan

asam empedu dalam tubuh serta membantu mengeluarkannya. Penelitian yang

dilakukan Singh Medical Hospital and Research Center Morrabad, India,

menunjukkan bahwa jambu merah dapat menurunkan kadar kolestreol total dan

trigliserida darah serta tekanan darah pada penderita hipertensi.

Ada pun tanin yang menimbulkan rasa sepat pada jambu merah

bermanfaat memperlancar sistem pencernaan dan sirkulasi darah, serta menyerang

virus. Kalium yang terkandung pada buah ini berfungsi meningkatkan keteraturan

denyut jantung, mengaktifkan kontraksi otot, mengatur pengiriman zat gizi ke sel

tubuh, serta menurunkan kadar kolesterol total dan tekanan darah tinggi

(hipertensi). Jambu merah memiliki rasa yang manis, daging yang tebal dan

24

ukuran yang besar dibandingkan dengan jambu biji biasa. Selain itu jambu merah

juga dapat menyembuhkan penyakit demam berdarah.

2.4.4 Dodol Jambu Merah

Dodol jambu merah merupakan salah satu makanan khas atau oleh-oleh

khas Majalengka. Dodol jambu merah biasanya berbahan dasar tepung ketan,

jambu merah, dan gula pasir. Jambu merah yang digunakan dalam pembuatan

dodol harus yang matang, selain rasanya enak, aromanya pun kuat sehingga

dihasilkan dodol bercita rasa enak dan aroma yang kuat. Jambu merah yang

dipilih yaitu jambu merah yang bebas luka, baik luka mekanis maupun luka akibat

serangga, dan tidak busuk. Sebelum digunakan jambu merah harus dicuci terlebih

dahulu agar kotoran yang melekat hilang.

Tepung yang digunakan untuk campuran pembuatan dodol jambu merah

ini berupa tepung ketan. Tepung berfungsi memperbaiki tekstur agar dodol tidak

liat. Tepung ketan dapat dibuat sendiri dan mudah didapat. Gula yang yang

digunakan dalam pembuatan dodol jambu merah berfungsi sebagai penambah

aroma dan pengawet.

2.4.5 Pengaruh Penambahan Tepung Daging Nila pada Dodol Jambu

Merah

Dodol jambu merah yang ditambahkan dengan tepung ikan dapat

meningkatkan protein pada produk tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa

kandungan protein pada ikan nila lebih tinggi dibanding dengan tepung beras

ketan. Kandungan protein ikan nila sebesar 17,8%, sedangkan kandungan protein

pada tepung beras ketan sebesar 8%.

Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh,

karena zat ini disamping berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein

adalah sumber asam- asam amino yang mengandung unsur C, H, O dan N yang

tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Kadar protein dalam makanan dapat

dipakai sebagai sumber energi. Penambahan tepung ikan dapat meningkatkan

kandungan protein pada produk yang akan dihasilkan dan mempunyai nilai

tambah. Kadar protein dodol menurut SNI minimal 3%.

25

Penetapan standar mutu kadar air berhubungan dengan daya simpan

produk itu sendiri. Kadar air yang tinggi mempengaruhi keawetan bahan pangan

dan memperpendek umur simpan serta memudahkan tumbuhnya mikroorganisme

karena menjadi media yang baik untuk tempat hidupnya. Air merupakan

komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi

penampakan, tekstur, dan cita rasa makanan. Kadar air dalam bahan makanan ikut

menentukan kesegaran dan daya awet bahan makanan tersebut (Winarno 1980).

Kadar air menurut SNI maksimal 20%.

Organoleptik merupakan pengujian terhadap bahan makanan berdasarkan

kesukaan dan kemauan untuk menilai suatu produk. Dalam penilaian bahan

pangan sifat yang menentukan diterima atau tidak suatu produk adalah sifat

indrawinya. Penilaian indrawi ini ada 6 (enam) tahap yaitu pertama menerima

bahan, mengenali bahan, mengadakan klarifikasi sifat-sifat bahan, mengingat

kembali bahan yang telah diamati, dan menguraikan kembali sifat indrawi produk

tersebut. Indra yang digunakan dalam menilai sifat indrawi adalah sebagai

berikut:

1. Penglihatan yang berhubungan dengan warna kilap, viskositas, ukuran dan

bentuk, volume kerapatan dan berat jenis, panjang lebar dan diameter serta

bentuk bahan.

2. Indra peraba yang berkaitan dengan struktur, tekstur dan konsistensi. Struktur

merupakan sifat dari komponen penyusun tekstur merupakan sensasi tekanan

yang dapat diamati dengan mulut atau perabaan dengan jari, dan konsistensi

merupakan tebal tipis dan halus.

3. Indra pencium, penciuman juga dapat digunakan sebagai suatu indikator

terjadinya kerusakan pada produk, misalnya ada bau busuk yang menandakan

produk tersebut telah mengalami kerusakan.

4. Indra pengecap, dalam hal kepekaan rasa, maka rasa manis dapat dengan

mudah dirasakan pada ujung lidah dan rasa asin pada ujung dan pinggir lidah,

rasa asam pada pinggir lidah dan rasa pahit pada bagian belakang lidah.

Penentu bahan makanan pada umumnya sangat ditentukan oleh beberapa

faktor antara lain: warna, rasa, tekstur, aroma dan nilai gizi (Winarno 2004).

26

Rasa berbeda bau dan lebih melibatkan lidah. Penginderaan cecapan dapat

dibagi menjadi empat yaitu: asin, asam, pahit, dan manis. Rasa makanan dapat

dikenali dan dibedakan oleh kucup-kucup cecapan yang terletak pada papila yaitu

bagian noda merah jingga pada lidah (Winarno 2004).

Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu senyawa kimia, suhu,

konsentrasi, dan interaksi dengan komponen rasa yang lain. Berbagai senyawa

kimia menimbulkan rasa yang berbeda. Rasa asam disebabkan oleh donor proton,

misalnya asam pada cuka, buah-buahan, sayuran, dan garam asam seperti cream

of tartar. Intensitas rasa asam tergantung pada ion H+ yang dihasilkan dari

hidrolisis asam.

Rasa asin dihasilkan oleh garam-garam organik lainnya seperti garam

ionida dan bromida mempunyai rasa pahit. Sedangkan garam-garam Pb dan Be

mempunyai rasa manis. Rasa manis disebabkan oleh senyawa organik alifatik

yang mengandung gugus OH seperti alkohol, beberapa asam amino, aldehida, dan

gliserol. Sumber rasa manis yang terutama adalah gula dan sukrosa dan

monosakarida dan disakarida.

Faktor yang menyebabkan bahan pangan mengalami perubahan warna

adalah akibat pengaruh panas terhadap gula yang ditambahkan atau terdapat

secara alami pada buah itu sendiri yang menyebabkan terjadinya reaksi

pencoklatan non enzimatik (Winarno 2004).

Tekstur merupakan segi penting dari mutu makanan. Kadang-kadang lebih

penting dari, bau, rasa, dan aroma. Szczesniac dan Kleyn (1963) melakukan telaah

kepedulian konsumen mengenai tekstur dan menemukan bahwa tekstur

mempengaruhi citra makanan itu. Tekstur paling penting pada makanan lunak dan

makanan ranggup atau renyah. Ciri yang paling sering diacu adalah kekerasan,

kekohesifan, dan kandungan air. Beberapa upaya telah dicoba untuk

mengembangkan sistem klasifikasi untuk ciri-ciri tekstur (Winarno 2004).

Adanya senyawa volatil pada buah dapat memberikan aroma yang khas.

Senyawa volatil ini merupakan persenyawaan terbang yang sekalipun dalam

jumlah kecil namun sangat berpengaruh pada flavour. Kebanyakan merupakan

ester-ester alkohol alifatis juga aldehid, keton, dan lain-lain. Produksi zat-zat ini

27

biasanya dimulai pada masa klimaterik dan dilanjutkan pada proses penuaan

(Apandi 1984).

Bahan makanan umumnya dapat dikenali dengan mencium aromanya.

Aroma mempunyai peranan yang sangat penting dalam penentuan derajat

penilaian dan kualitas suatu bahan pangan, seseorang yang menghadapi makanan

baru, maka selain bentuk dan warna, bau atau aroma akan menjadi perhatian

utamanya sesudah bau diterima maka penentuan selanjutnya adalah cita rasa

disamping teksturnya (Apandi 1984).