bab ii tinjauan pustaka 2.1.digilib.unimus.ac.id/files/disk1/152/jtptunimus-gdl-nurulkhaki... ·...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Katup buang
Katup adalah komponen penting dalam proses pembakaran bahan bakar di
dalam silinder. Katup berfungsi sebagai pintu gerbang pemasukan bahan bakar
dan pembuangan gas sisa pembakaran, yang mana waktu pembukaan dan
penutupan katup diatur sesuai dengan mekanisme katup (Naresh, 2012), fungsi
lain katup buang adalah mentransfer panas dari ruang bakar ke saluran
pembuangan. Ketika mesin bekerja, temperatur katup buang mencapai 650°C,
sedangkan temperatur katup masuk 250°C (Willard W. Pulkrabek, 2003). Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai berikut :
Gambar 2.1. Suhu pada ruang bakar (satuan celcius) mesin menurut SI pada
kondisimesin normal stabil (Willard W. Pulkrabek, 2003)
Katup (valve) mempunyai susunan dan bentuk tertentu yang ditunjukan pada
Gambar 2.2. katup buang sepeda motor 4 Tak dan 2 Tak mempunyai parameter-
parameter sebagai berikut:
a) Pressure-temperature ratings (nilai tekanan temperatur)
b) Corrosion resistance requirements (syarat ketahanan korosi)
c) Thermal shock (pemanasan secara cepat)
6
d) Physical shock (perubahan fisik)
e) Line stresses (tegangan garis)
f) Fire hazards (bahaya terbakar)
Gambar 2.2. Bagian- bagian katup (Singaiah, G, 2012)
2.2. Kerusakan pada katup
Katup bekerja secara kontinyu pada temperatur tinggi yang menyebabkan
fatigue dan kerusakan (Naresh, 2012). Katup buang bekerja pada temperatur
ekstrim antara 650°C - 810°C, bagaimana pada Gambar 2.3 (Larry Carley, 2005),
sedangkan katup masuk pada temperatur 400°C- 550°C (Ika dkk, 2010). Katup
buang terpapar temperatur tinggi dan secara mekanis mengalami tegangan
berlebih. Selain itu, katup buang selalu kontak dengan gas buang hingga mudah
mengalami korosi dan mengakibatkan retak (Ravindra, 1989) yang ditampilkan
Gambar 2.4. Karena alasan ini katup buang jauh lebih peka terhadap korosi dan
terbakar dibanding katup masuk (Nurten, 2010).
Deposit terbentuk pada katup buang berasal dari reaksi bahan bakar dan
oli. Sulfur, vanadium dan sodium yang terkandung dalam bahan bakar teroksidasi
selama proses pembakaran dan membentuk sulfur dioksida, sulfur trioksida,
sodium oksida dan vanadium pentaoksida. Pada temperatur 550oC, garam-garam
deposit akan mencair dan mengalir sepanjang batas butir, kemudian larut dalam
7
lapisan proteksi mengakibatkan korosi sepanjang butir pada katup buang (Nanda,
2003).
Gambar 2.3. Distribusi panas pada kepala katub buang (SEB, 2010)
Gambar 2.4. Korosi disebabkan gas buang pada katub buang (Ravindra. P., 2012)
Material katup buang sepeda motor yang mempunyai kandungan unsur
Mangan (Mn) besar berpengaruh terhadap ketahanan aus dan meningkatkan
ketahanan korosi (Ravindra. P., 1989). Sedangkan Material katup buang yang
punya kandungan unsur Mangan paling rendah akan mudah aus dan lecet (Ika
dkk., 2010). Baja mangan tinggi memiliki ketahanan terhadap luka lecet yang
diperlihatkan Gambar 2.5. Mangan berinteraksi dengan sulfur dalam baja tahan
8
karat untuk membentuk sulfida mangan. Morfologi dan komposisi sulfida ini
dapat memiliki efek besar pada ketahanan korosi (ASM. vol., 01., 2005).
Gambar 2.5. Luka lecet pada katup buang sepeda motor (Peter J., 2009)
2.3. Material Katup
Awal tahun 1900 katup telah dibuat dari campuran logam baja. Selanjutnya
tahun 1950 material katup yang paling umum adalah PPH Baja Tahan-Karat (21-
4N, 12-12, 23-8) dan tahun 1970-1980 dikembangkan logam campuran nikel,
stellite dan triboloy (www.CMCManufacturing.com). Pada bulan oktober 1998
salah satu produsen katup menciptakan katup masuk dan buang dengan material
titanium paduan Tib yang disebut Metal Matrick Composite (MMC) dari Toyota
Motor Corporation (Furuta, 2001)
Menurut Yamagata (2005), Katup masuk terbuat dari baja JIS-SUH3 fasa
martensitic atau mempunyai sifat keras. Sedangkan katup buang terbuat dari baja
JIS-SUH35 yang mempunyai fasa austenitic. Material katup buang sepeda motor
memiliki kombinasi dua fasa yaitu austenit dan ferit atau disebut Duplex
Stainless Steel (DSS). DSS akan memiliki sifat kekuatan dan ketangguhan yang
tinggi serta ketahanan korosi yang sangat baik. Selain dua sifat di atas duplex juga
mudah untuk difabrikasi dan mudah di las (Sanchez. R et.al., 2002).
Baja merupakan paduan yang terdiri dari besi, karbon dan unsur lainnya.
Besi dikenal sebagai Ferrite yang mempunyai format kristal di bawah titik
leburnya, Salah satu berbentuk atom BCC (body centered cubic) stabil di bawah
suhu kamar untuk 912°C (1675°F) dan dari 1394°C (2540°F) kepada titik lebur
1530°C (2785°F) (ASM vol.1, 2005).
Lecet
9
Karbon merupakan salah satu unsur terpenting karena dapat meningkatkan
kekerasan dan kekuatan baja (Calister, 2007). Baja merupakan logam yang paling
banyak digunakan dalam teknik, dalam bentuk plat, lembaran, pipa, batang, profil
dan sebagainya (Amstead dkk,1995)
Baja tahan karat / Stainless Steel dibagi menjadi lima kelompok :
1. Baja tahan karat martensitic.
2. Baja tahan karat ferritic.
3. Baja tahan karat austenitic.
4. Baja tahan karat duplex (ferritic - austenitic).
5. Baja tahan karat precipitation hardening.
2.3.1. Kriteria Katup Buang
Menurut Afham dkk (2012) Material katup buang harus mempunyai kriteria
sebagai berikut :
1. Tahan temperatur tinggi sampai 700°C.
2. Tahan tekanan tinggi sampai 500 MPa.
3. Memiliki kekuatan besar dengan massa kecil.
4. Tahan terhadap oksidasi.
5. Keras, liat, densitasnya besar dan permukaannya tahan korosi.
6. Material mudah didapatkan.
Penggabungan dua unsur baja dan nikel dapat meningkatkan kekerasan dan
kekuatan tarik dari material, dimana bisa dilihat pada Gambar 2.6. Material ini
memenuhi kriteria katup buang sepeda motor mulai dari tahan temperatur tinggi,
korosi, tahan lama pada tekanan tinggi, oksidasi, lecet (Afham. M. et, al, 2012).
Unsur Cr dan Ni mampu bekerja pada tekanan dan temperatur tinggi
sampai pada suhu 810oC (D.N. Gideon et al, 1962). Hubungan Ni, Cr terhadap
temperatur ditampilkan pada Gambar 2.7.
10
Gambar 2.6. Hubungan nikel dan baja terhadap kekuatan tarik (Afham. M. et, al,
2012).
Gambar 2.7. Hubungan nikel dan kromium terhadap temperatur kerja (Afham.
M. et, al, 2012).
11
Sedangkan sifat mekanik katup buang sepeda motor yang masuk jenis
Duplex Stainless Steel (DSS) diterangkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Sifat mekanik Duplex Stainless Steel (Afham. M. et, al, 2012).
2.3.2. Klasifikasi Baja
Sifat dari baja karbon tergantung dari seberapa besar karbon yang
dikandungnya. Berdasarkan kadar karbonnya baja dikelompokkan sebagai berikut
(Surdia, dkk, 2000) :
1. Baja karbon rendah (Low CarbonSteel), kandungan kadar karbon kurang
dari 0,3%.
2. Baja karbon sedang (Medium CarbonSteel), kandungan kadar karbon antara
0,3-0,45%.
3. Baja karbon tinggi (High CarbonSteel), kandungan kadar karbon antara
0,45-1,7%.
2.3.3. Baja Paduan / Alloy Steel
Berdasarkan persentase paduannya
1. Baja paduan rendah
Bila jumlah unsur tambahan selain karbon lebih kecil dari 8%.
12
2. Baja paduan tinggi
Bila jumlah unsur tambahan selain karban lebih dari atau sama dengan 8%
seperti baja HSS (High Speed Steel) atau SKH 53 (JIS) atau M3-1 (AISI).
Sumber lain menyebutkan:
1. Low alloy steel (baja paduan rendah), elemen paduannya ≤ 2,5 %.
2. Medium alloy steel (baja paduan sedang), elemen paduannya 2,5-10 %.
3. High alloy steel (baja paduan tinggi), elemen paduannya > 10 %.
Tabel 2.2. Spesifikasi baja paduan (JIS) dan komposisi kimia untuk material
katup. CYAUTO Symbols
JIS
SAE
BS
C
Si
Mn
P
S
Ni
Cr
W SNCM4 4140 EN49 0.43 0.35 0.85 0.03 0.03 - 1.2 SNCM7 8645 AEN10
0D 0.40 0.04 0.65 0.03 0.35 0.9 0.75
SNCM8 4030 EN24 0.44 0.35 0.70 0.03 0.035 1.7 1.4 A SUH3 0.45 2.5 0.6 0.03 0.03 0.6 12.0 H SUH11 HNV
3 EN52 0.5 3.0 0.6 0.03 0.035 0.5 8.5
B SUH35 (21-N4)
EV8 349S54 0.58 0.35 10.00 0.04 0.045 4.5 22.0
EN54 0.50 1.75 1.20 0.045 0.045 10.0 14.0 SUH4 ENV
6 EN59 0.85 2.25 0.60 0.03 0.03 1.65 20.5
DIN 1.4882 EV9 0.45 2.5 0.6 0.03 0.03 14.0 15.0 DIN 1.4718 0.4 3.50 0.6 0.03 0.03 0.6 9.5
(Sumber : CYATO AUTOPART.CO.LTD)
Seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 2.2. simbol – simbol diatas antara lain :
1. W Chromium-Manganium-Molybdenum-Steel (JIS SCM4) berlaku untuk katup masuk.
2. H Silicon-Chromium (Silichrome 1) (JIS SUH11) berlaku untuk katup masuk saja.
3. A Silicon-Manganium-Molybdenum-Steel (JIS SUH3) berlaku untuk katup masuk.
4. B Chromium-Mangane Tinggi Baja Austenitic ( JIS Baja SUH35) (anti magnetic 21-4N) berlaku untuk katup buang.
13
Baja karbon rendah memiliki sifat pengerjaan yang baik seperti sifat
keuletan, sifat mampu tempa, kelunakan dan mampu mesin yang baik. Untuk
pemakaian pada suhu tinggi baja sejauh mungkin bebas dari nitrogen dengan jalan
menambahkan Al tetapi tidak melebihi 300 gr/ton baja cair (Wiryosumarto, 2008).
2.3.4. Baja Tahan Karat / Stainless Steel
Stainless Steel (SS) adalah paduan besi dengan minimal 12 % kromium.
Komposisi ini membentuk lapisan pelindung anti korosi (protective layer) yang
merupakan hasil oksidasi oksigen terhadap krom yang terjadi secara spontan.
Tentunya harus dibedakan mekanisme protective layer ini dibandingkan baja yang
dilindungi dengan coating (misal seng dan cadmium) ataupun cat.
Sifat Stainless Steel (SS) antara lain:
1. Tahan temperatur rendah maupun tinggi.
2. Memiliki kekuatan besar dengan massa yang kecil.
3. Keras, liat, densitasnya besar dan permukaannya tahan aus.
4. Tahan terhadap oksidasi.
5. Kuat dan dapat ditempa.
6. Mudah dibersihkan, mengkilat dan tampak menarik
Adapun Material katup buang yang termasuk golongan steel dapat dilihat
pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Spesifikasi Steel dan komposisi kimia untuk material katup (Krzysztof,
2012)
Paduan
C Cr Ni Mn Si ASTM A 743 0.5-1.0 10.0-11.0 5.0-7.0 0.4-0.6 1.0-2.0
X33CrNiMnN 0.28-0.38 22.0-24.0 7.0-9.0 1.5-3.5 0.50-1.0
X50CrMnNiNbN 0.45-0.55 20.0-22.0 3.50-5.50 8.0-10.0 < 0.45
X53CrMnNiNbN 0.48-0.58 20.0-23.0 3.25-4.50 8.0-10.0 < 0.25
X55CrMnNiN 0.50-0.60 19.5-21.5 1.50-2.75 7.0-10.0 < 0.25
14
Kategori SS tidak halnya seperti baja lain yang didasarkan pada persentase
karbon tetapi didasarkan pada struktur metalurginya. Lima golongan utama SS
adalah Austenitic, Ferritic, Martensitic, Duplex dan Precipitation Hardening SS.
1. Austenitic Stainless Steel
Austenitic SS mengandung sedikitnya 16% Chrom dan 6% Nickel (grade
standar untuk 304), sampai ke grade Super Autenitic SS seperti 904L (dengan
kadar Chrom dan Nickel lebih tinggi serta unsur tambahan Mo sampai 6%).
Molybdenum (Mo), Titanium (Ti) atau Copper (Co) berfungsi untuk
meningkatkan ketahanan terhadap temperatur serta korosi. Austenitic cocok juga
untuk aplikasi temperature rendah disebabkan unsur Nickel membuat SS tidak
menjadi rapuh pada temperatur rendah.
2. Ferritic Stainless Steel
Kadar Chrom bervariasi antara 10,5 - 18 % seperti grade 430 dan 409.
Ketahanan korosi tidak begitu istimewa dan relatif lebih sulit di
fabrikasi/machining. Tetapi kekurangan ini telah diperbaiki pada grade 434 dan
444 dan secara khusus pada grade 3Cr12.
3. Martensitic Stainless Steel
SS jenis ini memiliki unsur utama Chrom (masih lebih sedikit jika
dibanding Ferritic SS) dan kadar karbon relatif tinggi misal grade 410 dan 416.
Grade 431 memiliki Chrom sampai 16% tetapi mikro strukturnya masih
martensitic disebabkan hanya memiliki Nickel 2%. Grade SS lain misalnya 17-
4PH/ 630 memiliki tensile strength tertinggi dibanding SS lainnya. Kelebihan dari
grade ini, jika dibutuhkan kekuatan yang lebih tinggi maka dapat di hardening.
4. Duplex Stainless Steel
Duplex SS seperti 2304 dan 2205 (dua angka pertama menyatakan
persentase Chrom dan dua angka terakhir menyatakan persentase Nickel)
memiliki bentuk mikrostruktur campuran austenitic dan Ferritic. Duplex ferritic-
austenitic memiliki kombinasi sifat tahan korosi dan temperatur relatif tinggi atau
secara khusus tahan terhadap Stress Corrosion Cracking. Meskipun kemampuan
Stress Corrosion Cracking-nya tidak sebaik ferritic SS tetapi ketangguhannya
jauh lebih baik (superior) dibanding ferritic SS dan lebih buruk dibanding
15
Austenitic SS. Sementara kekuatannya lebih baik dibanding Austenitic SS (yang
di annealing) kira-kira 2 kali lipat. Sebagai tambahan, Duplex SS ketahanan
korosinya sedikit lebih baik dibanding 304 dan 316 tetapi ketahanan terhadap
pitting corrosion jauh lebih baik (superior) dibanding 316. Ketangguhannya
Duplex SS akan menurun pada temperatur dibawah - 50oC dan diatas 300oC.
5. Precipitation Hardening Steel
Precipitation hardening stainless steel adalah SS yang keras dan kuat
akibat dari dibentuknya suatu presipitat (endapan) dalam struktur mikro logam.
Sehingga gerakan deformasi menjadi terhambat dan memperkuat material SS.
Pembentukan ini disebabkan oleh penambahan unsur tembaga (Cu), Titanium
(Ti), Niobium (Nb) dan alumunium (Al). Proses penguatan umumnya terjadi pada
saat dilakukan pengerjaan dingin (cold work). Perbandingan masing-masing sifat
dari grade SS ditunjukkan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Perbandingan Sifat Mekanik Berbagai Jenis Stainless Steel
2.3.5. High Strength Low Alloy Steel (HSLA)
Sifat dari HSLA adalah memiliki tensile strength yang tinggi, anti bocor,
tahan terhadap abrasi, mudah dibentuk, tahan terhadap korosi, ulet, sifat mampu
mesin yang baik dan sifat mampu las yang tinggi (weldability). Untuk
mendapatkan sifat-sifat di atas maka baja ini diproses secara khusus dengan
menambahkan unsur-unsur seperti: tembaga (Cu), nikel (Ni), Chromium (Cr),
Molybdenum (Mo), Vanadium (Va) dan Columbium.
2.4. Duplex Stainless Steel
Duplex Stainless Steel (DSS) adalah material dengan kombinasi dua fasa
yaitu austenite dan ferrite. Hadirnya fasa austenite dalam duplex membuat
Jenis
Stainless
Steel
Respon
Magnet
Ketahanan
Korosi
Metode
Hardening
Ke-liat-an
(Ductility)
Ketahanan
Temperatur
Tinggi
Ketahanan
Temperatur
Rendah
Kemampuan
Welding
Austenitic Tdk Sgt Tinggi Cold Work Sgt Tinggi Sgt Tinggi Sgt Tinggi Sgt Tinggi
Duplex Ya Sedang Tidak ada Sedang Rendah Sedang Tinggi
Ferritic Ya Sedang Tidak ada Sedang Tinggi Rendah Rendah
Martensitic Ya Sedang Q & T Rendah Rendah Rendah Rendah
16
material ini tangguh dan ulet sedangkan fasa ferit memberikan sifat ketahanan
korosi namun ketangguhannya rendah. Sehingga DSS akan memiliki sifat
kekuatan dan ketangguhan yang tinggi serta ketahanan korosi yang sangat baik.
Selain dua sifat di atas duplex juga mudah untuk difabrikasi dan mudah di las.
Kemampuan untuk di las dan karakteristik pengelasan DSS lebih baik dari feritic
SS, tetapi secara umum tidak lebih baik dari material austenitic.
Produk DSS diperoleh dengan beberapa proses pengerjaan seperti
pengecoran (casting), tempa (forging), extrusi dan canai (rolling). Secara umum
sifat DSS dapat dicapai untuk kesetimbangan fasa dalam rentang 30 sampai 70%
ferrite dan austenite. Namun, DSS paling banyak memiliki komposisi yang
seimbang antara ferrite dan austenite, dimana untuk produksi komersial saat ini
lebih banyak penambahan austenite untuk alasan ketangguhan dan karakteristik
fabrikasi yang lebih baik. Untuk menjaga kesetimbangan kedua fasa di atas
bergantung pada komposisi paduan dan perlakuan panas. Dalam proses
pengerjaannya, untuk memprediksi struktur mikro yang diinginkan (austenite dan
ferrite) dapat merujuk pada diagram Schaeffler-DeLong di Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Diagram Schaeffler-DeLong menunjukkan struktur mikro yang
terbentuk pada komposisi paduan tertentu (Sourmail, T. et. Al., 2004).
Elemen-elemen paduan penstabil ferit disebut Chrom-equivalents dan
elemen-elemen penstabil austenit di sebut Nickel-equivalents dengan formula:
Cr-equivalent = Cr + Mo + 1.5Si + 0.5Nb [wt%] (1)
Ni-equivalent = Ni + 30(C+N) + 0.5Mn [wt%] (2)
17
DSS dapat di aplikasikan pada rentang temperatur intermediate dari
temperatur ambient sampai beberapa ratus derajat Farenheit (tergantung
lingkungan), dimana ketahanan terhadap asam dan larutan klorida di persyaratkan.
DSS dapat di aplikasikan pada sektor onshore dan offshore industri minyak dan
gas sebagai sistem pemipaan, (process piping, seawater piping, tube & pipe
fittings, instrumentation & hydraulic tubing), heat exchanger dan reaction vessel
karena sifatnya yang tahan korosi dan memiliki kekuatan yang tinggi.
2.4.1. Unsur-Unsur Penting Paduan Duplex Stainless Steels
1. Chromium (Cr)
Kromium adalah unsur pembentuk ferrite, yang berarti penambahan
kromium menstabilkan struktur BCC besi. Jumlah minimum krom sekitar 10.5%
penting untuk membentuk lapisan pasif krom stabil yang berguna untuk
melindungi baja dari mild atmospheric corrosion. Efek kromium ini penting
karena pengaruhnya pada pembentukan dan penghilangan scale oksida yang
dihasilkan dari perlakuan panas atau pengelasan.
2. Molibdenum (Mo)
Molibdenum berfungsi untuk mendukung kromium dalam ketahanan
korosi klorida tehadap SS. Ketika kandungan krom dalam SS sedikitnya 18%,
penambahan molybdenum menjadi tiga kali lebih efektif seperti penambahan
krom dalam melawan pittingdan crevice corrosion. Di lingkungan klorida,
Molibdenum (Mo) adalah unsur pembentuk ferrite dan juga meningkatkan
kecenderungan SS membentuk fasa intermetalik yang merusak. Oleh karena itu
kandungan Molibdenum dibatasi kurang dari 4% dalam DSS.
3. Nitrogen
Nitrogen meningkatkan ketahanan pitting dan crevicecorrosion pada
austenitic dan DSS. Nitrogen adalah unsur penting pembentuk austenite dan bisa
menggantikan nikel dalam austenitic SS. Unsur pembentuk ferit, kromium dan
molibdenum, diseimbangkan dengan unsur pembentuk austenite nickel dan
nitrogen, untuk mendapatkan struktur duplex.
18
4. Nickel
Nickel adalah unsur penstabil austenit, yang berarti penambahan nikel pada
besi paduan dapat meningkat ketahanan terhadap tegangan-retak dan korosi. Juga
terbentuknya unsur penstabil austenite untuk mempromosikan perubahan struktur
kristal dari BCC (ferritic) ke FCC (austenitic) yang dijelaskan pada Gambar 2.9
(ASM. vol. 01., 2003).
Gambar 2.9. Penambahan nikel, struktur kristal berubah dari Body Centered Cubic (tanpa nikel) menjadi Face-Centered Cubic (sedikitnya 8% nickel)
(International Molybdenum Association., 2009)
Penambahan nikel menunda pembentukan fasa intermetalik yang merusak
pada austenitic ss tetapi nikel kurang efektif dibanding nitrogen pada DSS.
Sruktur FCC membuat austenitic stainless steels memiliki ketangguhan tinggi.
Kehadirannya dari sekitar setengah struktur mikro duplex meningkatkan
ketangguhan duplex dibanding Ferritic SS (Sourmail, T. et. Al., 2004). Untuk
penambahan unsur nikel akan mengubah strukturmikro dari material besi paduan
yang diperlihatkan pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10. Peningkatan kandungan nikel merubah struktur mikro Stainless Steel dari Ferritic (kiri) menjadi Duplex (tengah) menjadi Austenitic (kanan)
(Sourmail, T. et. Al., 2004)
19
2.4.2. Diagram fasa Fe-Cr-Ni
Diagram fasa ternari besi-kromium-nikel menjelaskan sifat metalurgi DSS.
Pada konsentrasi 68% besi (Gambar 2.8. Diagram Schaeffler-DeLong)
mengilustrasikan bahwa paduan ini membeku sebagai ferit (α), sebagiannya
kemudian berubah menjadi austenit (γ) pada suhu sekitar 1000°C (1832°F)
tergantung pada komposisi paduan. Disana ada perubahan lebih jauh dalam
kesetimbangan ferrite–austenite pada temperatur rendah.
Efek peningkatan nitrogen juga ditunjukkan dalam Gambar 2.10. Efek
positif nitrogen lainnya adalah meningkatkan temperatur dimana austenit mulai
terbentuk dari ferit. Oleh karena itu, bahkan pada laju pembekuan cepat,
keseimbangan level austenit dapat dicapai. Pada generasi kedua DSS, efek ini
mengurangi masalah kelebihan ferit pada daerah HAZ. Secara termodinamik,
karena austenit terbentuk dari ferit, maka tidak mungkin untuk paduan menuju
kesetimbangan austenit. Namun, karena proses pembekuan ke temperatur rendah
akan membentuk fasa-fasa yang merugikan seperti karbida, nitrida, sigma dan
fasa intermetalik lainnya pada struktur mikro. Hal ini harus dihindari karena fasa-
fasa tersebut bersifat getas, dan mengurangi ketangguhan duplex.
Gambar 2.11. Diagram fasa terner Fe-Cr-Ni pada kandungan 68% besi. Perubahan kecil pada kandungan nikel dan kromium membuat pengaruh yang
besar pada jumlah austenite dan ferrite dalam duplex stainless steels (Sourmail, T. et. Al., 2004).
Perubahan kecil pada kandungan nikel dan kromium membuat pengaruh
yang besar pada jumlah austenite dan ferrite yang ditampilkan pada Gambar 2.11
(Sourmail, T. et. Al., 2004). Untuk strukturmikro baja paduan yang mengandung
unsur nikel dan kromium lebih kecil menjadikan banyak terbentuk ferit.
20
Sedangkan baja paduan yang mengandung unsur nikel dan kromium lebih besar,
maka banyak terbentuk austenite. Secara termodinamik, austenit terbentuk dari
ferit, maka tidak mungkin untuk paduan menuju kesetimbangan austenite yang
ditampilkan pada Gambar 2.12 (Zucato. I., 2002) Namun, karena proses
pembekuan ke temperatur rendah akan membentuk fasa-fasa yang merugikan
seperti karbida, nitrida, sigma dan fasa intermetalik lainnya pada struktur mikro.
Gambar 2.12. Strukturmikro Material 2205 dengan keseimbangan fasa ferit (F) dan austenite (A). untuk tanda panah menunjukan precipitasi fasa sigma (Zucato.
I., 2002)
2.5. Sifat-sifat material
1. Komposisi Kimia
Proses pengujian komposisi berlangsung dengan pembakaran bahan
menggunakan elektroda dimana terjadi suhu rekristalisasi, dari suhu
rekristalisasi terjadi penguraian unsur yang masing-masing beda warnanya.
Penentuan kadar berdasar sensor perbedaan warna. Proses pembakaran
elektroda ini tidak lebih dari tiga detik. Pengujian komposisi dapat dilakukan
untuk menentukan jenis bahan yang digunakan dengan melihat persentase
unsur yang ada.
Untuk mengetahui komposisi logam cair dilakukan inspeksi logam
cair. Alat uji yang digunakan CE meter atau spektrometer. Seperti yang
dijelaskan sebelumnya setelah diketahui komposisi logam cair dengan
pengujian komposisi dilakukan proses penyesuaian untuk mencapai
komposisi yang sesuai dengan standar. Pada Gambar 2.13 ada tiga bagian
utama proses pengujian komposisi yaitu (Hendri, 2002).
21
1. Furnace berisi logam cair yang dilebur dari beberapa raw material.
2. Standar material yang menentukan kandungan komposisi masing-masing
unsur yang ditetapkan.
3. Proses pengujian komposisi yang menggunakan CE meter dan
Spectrometer.
Gambar 2.13 Ilustrasi proses pengujian komposisi dan proses penyesuaian
(Hendri, 2002)
2. Struktur Mikro
Mikrografi adalah metode yang digunakan untuk memperoleh gambar
yang menunjukkan struktur mikro pada hal ini struktur logam dan paduannya.
Dengan pengujian mikrografi ini kita dapat mengetahui struktur dari suatu
logam dengan memperjelas batas-batas butir logam. Dalam setiap butir,
semua sel satuan teratur dalam satu arah dan satu pola tertentu.
Batas butir mempunyai lima derajat kebebasan, Pada batas butir antara
dua butir yang berdekatan terdapat daerah transisi yang tidak searah dalam
kedua butiran tadi. Batas butir dapat kita anggap berdimensi dua, bentuknya
mungkin melengkung dan sesungguhnya memiliki ketebalan tertentu yaitu
antara dua sampai tiga jarak atom. Ketidak seragaman orientasi antara butiran
yang berdekatan menghasilkan tumpukan atom yang kurang efisien sepanjang
batas.
22
Struktur mikro sangat penting dalam suatu logam dalam suatu logam
yang diperlukan untuk mengetahui sifat-sifat dari logam tersebut.
Strukturmikro pada baja akan mempengaruhi sifat-sifat mekanik dan juga
sifat fisik. Struktur matrik pada baja antara lain:
a) Ferrite (besi alpha)
b) Austenit (besi gamma)
c) Besi Delta
d) Cementit (Karbida besi)
e) Bainit
f) Martensit
g) Perlit
Struktur mikro adalah struktur terkecil yang terdapat dalam suatu
bahan yang keberadaannya tidak dapat di lihat dengan mata telanjang, tetapi
harus menggunakan alat pengamat struktur mikro diantaranya; mikroskop
cahaya, mikroskop electron, mikroskop field ion, mikroskop field emission
dan mikroskop sinar-X. Penelitian ini menggunakan mikroskop cahaya,
adapun manfaat dari pengamatan struktur mikro ini adalah:
1. Mempelajari hubungan antara sifat-sifat bahan dengan struktur dan cacat pada bahan.
2. Memperkirakan sifat bahan jika hubungan tersebut sudah diketahui. Langkah-langkah untuk melakukan pengamatan struktur mikro dapat memakai referensi ASTM E3 dari persiapan sempel dan prosedur pengujian mikroskop sebagai berikut :
a. Cutting (Pemotongan) Pemilihan sampel yang tepat dari suatu benda uji studi mikroskopik
merupakan hal yang sangat penting. Pemilihan sampel tersebut didasarkan pada tujuan pengamatan yang hendak dilakukan. Pada umumnya bahan komersil tidak homogen, Sehingga satu sampel yang diambil dari suatu volume besar tidak dapat dianggap representatif.
Pengambilan sampel harus direncanakan sedemikian sehingga menghasilkan sampel yang sesuai dengan kondisi rata-rata bahan atau kondisi di tempat-tempat tertentu (kritis) yang mana ditunjukan pada
23
Gambar 2.14 dengan memperhatikan kemudahan pemotongan pula. Secara garis besar, pengambilan sampel dilakukan pada daerah yang akan diamati mikrostruktur maupun makrostrukturnya. Sebagai contoh, untuk pengamatan struktur mikro material yang mengalami kegagalan.
Maka sampel diambil sedekat mungkin pada daerah kegagalan (pada daerah kritis dengan kondisi terparah), untuk kemudian dibandingkan dengan sampel yang diambil dari daerah yang jauh dari daerah gagal. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam proses memotong, harus dicegah kemungkinan deformasi dan panas yang berlebihan. Oleh karena itu, setiap proses pemotongan harus diberi pendinginan yang memadai.
Gambar 2.14 Metode menentukan lokasi pemotongan untuk menentukan
area yang dimikrografi (ASTM Handbook E18, 2002).
Ada beberapa sistem pemotongan sampel berdasarkan media pemotong yang digunakan, yaitu meliputi proses pematahan, pengguntingan, penggergajian, pemotongan abrasi (abrasive cutter), gergaji kawat, dan EDM (Electric Discharge Machining) yang bisa dilihat pada Tabel 2.5.
Symbol in diagram Suggested designation
A Rolled Surface
B Direction of rolling
C Rolled edge
D Plannar edge
E Longitudinal section perpendicular to rolled surface
F Transverse section
G Radial longitudinal section
H Tangential longitudinal section
24
Tabel 2.5. Macam-macam pisau pemotong material (ASTM E18, 2002)
Sumber : ASTM Handbook E18, 2002
Berdasarkan tingkat deformasi yang dihasilkan, teknik pemotongan terbagi
menjadi dua, yaitu:
Teknik pemotongan dengan deformasi yang besar, menggunakan
gerinda
Teknik pemotongan dengan deformasi kecil, menggunakan
diamond saw
b. Mounting
Spesimen yang berukuran kecil atau memiliki bentuk yang tidak beraturan akan sulit untuk ditangani khususnya ketika dilakukan pengamplasan dan pemolesan akhir. Sebagai contoh adalah spesimen yang berupa kawat, spesimen lembaran logam tipis, potongan yang tipis dan lain-lain. Untuk memudahkan penanganannya, maka spesimen-spesimen tersebut harus ditempatkan pada suatu media (media mounting). Secara umum syarat-syarat yang harus dimiliki bahan mounting adalah :
Bersifat inert (tidak bereaksi dengan material maupun zat etsa)
Sifat eksoterimis rendah
Hardness HV Materials abrasive Bond Bond Hardness
Up to 300 non-ferrous (Al, Cu) SiC P or R Hard
Up to 400 non-ferrous (Ti) SiC P or R med hard
Up to 400 soft ferrous Al2O3 P or R Hard
Up to 500 Medium soft ferrous Al2O3 P or R med hard
Up to 600 Medium hard ferrous Al2O3 P or R Medium
Up to 700 hard ferrous Al2O3 P or R&R med soft
Up to 800 very hard ferrous Al2O3 P or R&R Soft
> 800 extremely hard ferrous CBN P or R Hard
more brittle ceramics diamond P or R very hard
tougher ceramics diamond M ext hard P – phenolic R&R - resin and rubber
R – rubber M – Metal
25
Viskositas rendah
Penyusutan linier rendah
Sifat adesif baik
Memiliki kekerasan yang sama dengan sampel
Flowabilitas baik, dapat menembus pori, celah dan bentuk
ketidakteraturan yang terdapat pada sampel
Khusus untuk etsa elektrolitik dan pengujian SEM, bahan mounting
harus kondusif
Media mounting yang dipilih haruslah sesuai dengan material dan jenis reagen etsa yang akan digunakan. Pada umumnya mounting menggunakan material plastik sintetik. Materialnya dapat berupa resin (castable resin) yang dicampur dengan hardener atau bakelit. Penggunaan castable resin lebih mudah dan alat yang digunakan lebih sederhana dibandingkan bakelit, karena tidak diperlukan aplikasi panas dan tekanan.
Namun bahan castable resin ini tidak memiliki sifat mekanis yang baik (lunak) sehingga kurang cocok untuk material-material yang keras. Teknik mounting yang paling baik adalah menggunakan thermosetting resin dengan menggunakan material bakelit. Material ini berupa bubuk yang tersedia dengan warna yang beragam.
c. Grinding (Pengamplasan)
Tabel 2.6. Ukuran grit amplas standart Eropa dan USA (ASTM E18, 2002)
FEPA ANSI/CAMI Grit Number Size (µm) Grit Number Size (µm)
P120 125.0 120 116.0 P150 100.0 180 78.0 P240 58.5 …. …. P320 46.2 …. …. P360 40.5 280 42,3 P500 30.2 …. …. P600 25.8 360 27.3 P800 21.8 400 22.1 P1000 18.3 500 18.2 P1500 12.6 800 11.5 P2000 10.3 1000 9.5 P2500 8.4 1500 8.0
not found in the FEPA granding system
ANSI - Amirican National Standart institute
CAMI - Coated abrasives manucfacturers institute
FEPA - european federation of abrasive producers
26
Sampel yang baru saja dipotong, atau sampel yang telah terkorosi
memiliki permukaan yang kasar. Permukaan yang kasar ini harus diratakan agar pengamatan struktur mudah untuk dilakukan. Pengamplasan dilakukan dengan menggunakan kertas amplas yang ukuran butir abrasifnya dinyatakan dengan mesh. Urutan pengamplasan harus dilakukan dari nomor mesh yang rendah (150 mesh) ke nomor mesh yang tinggi (2000 mesh) bisa dilihat pada Tabel 2.6. Ukuran grit pertama yang dipakai tergantung pada kekasaran permukaan dan kedalaman kerusakan yang ditimbulkan oleh pemotongan.
Hal yang harus diperhatikan pada saat pengamplasan adalah pemberian air. Air berfungsi sebagai pemindah geram, memperkecil kerusakan akibat panas yang timbul yang dapat merubah struktur mikro sampel dan memperpanjang masa pemakaian kertas amplas. Penggunaan air dan langkah-langkah pengamplasan bisa dilihat pada Tabel 2.7. untuk pengamplasan material lunak. Hal lain yang harus diperhatikan adalah ketika melakukan perubahan arah pengamplasan, maka arah yang baru adalah 450 atau 900 terhadap arah sebelumnya.
Tabel 2.7. Persiapan uji mikrografi material lunak dibawah 45 HRC (ASTM Handbook E18, 2002).
Surface Lubricant Abrasive type/size
ANSI (FEPA) time sec
force N
(lbf)
Platen
RPM3 Rotation
planar grinding
paper/stone Water
120-320 (p120-400)
grit SiC/al2O3 15-45 20-30(5-8) 200-300 00O
free grinding heavy
nylon clotch
compotible
lubricant 6-15 µm diamond 160-300 20-30(5-8) 100-150 00O
rought polishing low
nap cloth
compotible
lubricant 3-6 µm diamond 120-300 20-30(5-8) 100-150 00O
final polishing
med/high nap clotch
compotible
lubricant 1 µm diamond 60-120 10-20(3-5) 100-151 00O
synthetic suede Water
0.04 µm diamond
colloidall silica or
0.05 or 0.05 mm
alumina
30-60 20-30(5-8) 100-152 Contra
27
d. Polishing (Pemolesan)
Setelah diamplas sampai halus, sampel harus dilakukan pemolesan.
Pemolesan bertujuan untuk memperoleh permukaan sampel yang halus
bebas goresan dan mengkilap seperti cermin dan menghilangkan
ketidakteraturan sampel hingga orde 0.01 μm. Permukaan sampel yang akan
diamati di bawah mikroskop harus benar-benar rata. Apabila permukaan
sampel kasar atau bergelombang, maka pengamatan struktur mikro akan
sulit untuk dilakukan karena cahaya yang datang dari mikroskop
dipantulkan secara acak oleh permukaan sampel.
Tahap pemolesan dimulai dengan pemolesan kasar terlebih dahulu
kemudian dilanjutkan dengan pemolesan halus. Ada 3 metode pemolesan
antara lain yaitu sebagai berikut :
1. Pemolesan elektrolit kimia
Hubungan rapat arus dan tegangan bervariasi untuk larutan elektrolit
dan material yang berbeda dimana untuk tegangan, terbentuk lapisan
tipis pada permukaan, dan hampir tidak ada arus yang lewat, maka
terjadi proses etsa. Sedangkan pada tegangan tinggi terjadi proses
pemolesan.
2. Pemolesan kimia mekanis
Merupakan kombinasi antara etsa kimia dan pemolesan mekanis yang
dilakukan serentak di atas piringan halus.
Partikel pemoles abrasif dicampur dengan larutan pengetsa yang umum
digunakan.
3. Pemolesan elektro mekanis (Metode Reinacher)
Merupakan kombinasi antara pemolesan elektrolit dan mekanis pada
piring pemoles. Metode ini sangat baik untuk logam mulia, tembaga,
kuningan, dan perunggu.
e. Etching (Etsa)
Etsa merupakan proses penyerangan atau pengikisan batas butir
secara selektif dan terkendali dengan pencelupan ke dalam larutan pengetsa
baik menggunakan listrik maupun tidak ke permukaan sampel, sehingga
28
detil struktur yang akan diamati akan terlihat dengan jelas dan tajam. Untuk
beberapa material, struktur mikro baru muncul jika diberikan zat etsa.
Sehingga perlu pengetahuan yang tepat untuk memilih zat etsa yang tepat.
1. Etsa kimia
Merupakan proses pengetsaan dengan menggunakan larutan kimia, lihat
Tabel 2.8. dimana zat etsa yang digunakan ini memiliki karakteristik
tersendiri sehingga pemilihannya disesuaikan dengan sampel yang akan
diamati.
Tabel 2.8. Jenis-jenis etsa kimia pada uji mikrografi material (ASTM
Handbook E18, 2002).
6H HCL plus 2 gl
hexametylene tetamine immerse specimentin solution for 1 to 15 min. good for steels.cleaning action can
be enhanced by light brushing or by brief (5 s) periods in an ultrasonic cleaner
3 mL HCL
use a fresh solution at room temperature. Use in an ultrasonic cleaner for about 30
s
4 mL 2-Butyne-, 4
diolinhibitor
50 mL water
49 mL water wash speciment in alcohol for 2 min in ultrasonic cleaner before and after a 2 min
ultrasonic cleaning period with the inhibeted acid bath 49 mL HCL
2 mL Rodine -50 Inhibitor
6 g sodium cyanide electrolytic rust removal solution. Use under a hood with care. Use 100-mA/cm2
current density for up to 15 min 5 g sodium sulphite
100 mL distiled water
10 g ammonium citrate use solution heated to 30oC (86F)
100 mL distiled water
70 mL orthophosphoric acid recommended for removin oxides from aluminum alloy fracture ( some sources
claim that only organic solvent shoild be used) 32 g chromic acid
130 mL water
8 0z endox 214 powder use electrolytically at 250-mA/cm2current density for 1 min with a Pt cathoda to
remove oxidation products. Wash in ultrasonic cleaner with the solution for 1 min.
repeat this cycle several times if necessary.use under a hood 1000 mL cold water ( add
small amount of photo-flo)
ASTM Handbook E18, 2002
29
2. Elektro etsa (Etsa Elektrolitik)
Merupakan proses etsa dengan menggunakan reaksi elektroetsa. Cara ini dilakukan dengan pengaturan tegangan dan kuat arus listrik serta waktu pengetsaan. Etsa jenis ini biasanya khusus untuk stainless steel karena dengan etsa kimia susah untuk medapatkan detil strukturnya.
f. Pengamatan Struktur Makro dan Mikro
Pengamatan metalografi dengan mikroskop dapat dibagi dua, yaitu :
1. Makro yaitu pengamatan struktur pembesaran 10-100 kali. 2. Mikro yaitu pengamatan struktur pembesaran di atas 100 kali. Selanjutnya pengamatan dapat dilakukan dengan Microscope electron Untuk Gambar 2.15 menunjukan material katup yang akan di mikrografi. Mengetahui jenis dan jumlah / distribusi strukturmikro yang menjadi salah satu alat dalam control kualitas bahan, karena sifat bahan akan dipengaruhi oleh struktur mikronya.
Gambar 2.15. Katup buang Honda, Yamaha, dan Kawasaki 110
Metode perhitungan besar butir
Ada tiga metode yang direkomendasikan ASTM, yaitu : 1. Metode Perbandingan
Foto struktur mikro bahan dengan perbesaran 100X dapat dibandingkan
dengan grafik ASTM E11 dapat ditentukan besar butir. Nomor besar
butir ditentukan dengan rumus :
N–2n-1
Dimana N adalah jumlah butir per inch2 dengan perbesaran 100X.
Metode ini cocok untuk sampel dengan butir beraturan.
30
2. Metode intercept
Plastik transparan dengan grid (bergaris kotak-kotak) diletakkan di atas
foto atau sampel. Kemudian dihitung semua butir yang berpotongan
pada akhir garis dianggap setengah. Perhitungan dilakukan pada tiga
daerah agar mewakili. Nilai diameter rata-rata ditentukan dengan
membagi jumlah butir yang berpotongan dengan panjang garis. Metode
ini cocok untuk butir yang tidak beraturan.
3. Metode Planimetri
Metode ini menggunakan lingkaran yang umumnya memiliki 5000
mm2 perbesaran. Sehingga ada sedikitnya 75 butir yang berada di dalam
lingkaran. Kemudian hitung jumlah total semua butir dalam lingkaran
ditambah setengah dari jumlah butir yang berpotongan dengan
lingkaran.
3. Kekerasan Logam
Kekerasan merupakan ketahanan suatu material terhadap penetrasi
material lain. Pada umumnya kekerasan menyatakan ketahanan terhadap
deformasi, dan untuk logam dengan sifat tersebut merupakan ketahanannya
terhadap deformasi plastik atau deformasi permanen. Ada 2 (dua) tipe
pengidentasian, yaitu statik dan dinamis. Test identasi statik yang umumnya
dipakai merupakan pengidentasian yang dilakukan pada permukaan material
dengan beban tertentu. Sedangkan test identasi dinamik meliputi beban bebas
yang dijatuhkan yang memberikan impak terhadap material. Berikut ini metode-
metode pengujian logam :
a) Metode Brinell
Penetrator yang digunakan berupa bola baja yang dikeraskan
dengan diameter 0,625 s/d 10 mm dan standard beban 0,97 s/d 3000 Kgf.
Lama penekanan 10 s/d 30 detik. Bola harus berupa baja yang dikeraskan,
ditemper, dan dengan kekerasan minimum 850 VPN.
Kekerasan yang diberikan merupakan hasil bagi beban penekan
dengan keras permukaan lekukan bekas penekanan dari bola baja yang
ditunjukan pada Gambar 2.16.
31
Gambar 2.16. Metode Brinell (Callister,2007).
22 -2
dDDDFHB
Dimana : HB = Nilai kekerasan Brinell
F = Beban yang diterapkan (Kg)
D = Diameter bola (mm)
d = diameter (mm)
Diameter lekukan diukur pada kaca pembesar dengan menggunakan
mistar yang sesuai dengan pembesarannya. HB dilihat langsung dalam
Tabel 2.9. yang tertera pada body preparat. Bola baja hanya digunakan
untuk mengetes baja yang dikeraskan, besi tuang kelabu dan non logam.
Tabel 2.9. Standar Uji Brinell (ASTM E-10,1990)
Diameter Bola
(mm)
Beban ( kg ) Daerah Angka
Kekerasan
10 mm 3000 96 s/d 600
10mm 1500 48 s/d 300
10mm 500 16 s/d 100
32
b) Metode Rockwell
Pengujian kekerasan Rockwell didasarkan pada kedalaman
masuknya penekan benda uji. Nilai kekerasan dapat langsung dibaca
setelah beban utama dihilangkan. Untuk menghitung nilai kekerasan
Rokwell dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
eHR -E=
Dimana: HR = nilai kekerasan Rockwell
E = konstanta tergantung pada bentuk identor.
e = perbedaan antara dalamnya penembusan,
Untuk itulah digunakan Tabel 2.10 Skala Kekerasan Rockwell yang memperlihatkan skala yang digunakan untuk tipe-tipe material tertentu.
Tabel 2.10. Skala Kekerasan Rockwell (Callister,2007).
Skala Beban Mayor (Kg) Tipe Indentor Tipe Material Uji
A 60 1/16” bola intan kerucut Sangat keras, tungsten, karbida
B 100 1/16” bola Kekerasan sedang, baja karbon rendah dan sedang, kuningan, perunggu
C 150 Intan kerucut Baja keras, paduan yang dikeraskan, baja hasil tempering
D 100 1/8” bola Besi cor, paduan alumunium, magnesium yg dianealing
E 100 Intan Kerucut Baja kawakan
F 60 1/16” bola Kuningan yang dianealing dan tembaga
G 150 1/8” bola Tembaga, berilium, fosfor, perunggu
H 60 1/8” bola Pelat alumunium, timah
K 150 ¼” bola Besi cor, paduan alumunium, timah
L 60 ¼” bola Plastik, logam lunak
M 100 ¼” bola Plastik, logam lunak
R 60 ¼” bola Plastik, logam lunak
S 100 ½” bola Plastik, logam lunak
V 150 ½” bola Plastik, logam lunak
33
Pengujian kekerasan Rockwell memiliki dua metode yang biasa
digunakan yaitu:
1) Metode dengan Kerucut (HRC)
Pada percobaan dengan metode ini menggunakan identer
kerucut untuk penekanan ke material (Gambar 2.17) dengan besar
nilai kekerasan HRC. Skala HRC memiliki nilai kekerasan 0
sampai 100,
Gambar 2.17. Diagram mekanisme uji kekerasan Rockwell
(Callister,2007).
Namun pengujian untuk material tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan mesin khusus yang memiliki kapasitas beban 1-30
kg. Metode ini hanya cocok untuk bahan-bahan dengan susunan
yang homogen. Gambar 2.18 menunjukan bagan pengujian
Rockwell Cone atau HRC :
Gambar 2.18. Bagan Pengujian HRC (Callister,2007).
34
2) Metode dengan Peluru (HRB)
Metode ini pada dasarnya sama dengan metode kerucut.
Hanya saja metode ini menggunakan penetrator sebuah peluru.
Berikut ini adalah bagan pengujian Rockwell Ball atau HRB
(Gambar 2.19)
Gambar 2.19. Bagan Pengujian HRB (Callister,2007).
3) Metode Rockwell Superficial
Perbedaannya dengan Rockwell biasa adalah dalam beban
minor dan beban mayor. Pada Rockwell Superficial, beban minor
adalah 3 kg, sedangkan beban mayor adalah 15, 30 dan 45 kg
diperlihatkan pada Tabel 2.11.
Tabel 2.11. Skala Superficial Rockwell (Callister,2007).
Scale Simbol Identor Mayor Load 15 N Diamond 15 30 N Diamond 30 45 N Diamond 45 15 T 1/16 in ball 15 30 T 1/16 1n ball 30 45 T 1/16 in ball 45 15 W 1/8 in ball 15 30 W 1/8 in ball 30 45 W 1/18 in ball 45
35
c) Metode Vickers
Metode ini mirip dengan metode brinell tetapi penetrator yang
dipakai berupa intan berbentuk piramida dengan dasar bujur sangkar dan
sudut puncak 1360 (Gambar 2.16). Maka pada bahannya terdapat bekas
pijakan dari intan tersebut. Cetakan ini bertambah besar hanya jika
bahannya bertambah lunak, dan jika bebannya bertambah besar. Beban
yang digunakan biasanya 1 s/d 120 kg.
Gambar 2.20. Cara Pengukuran Diameter Pada Identor Vickers (Callister,2007)
Perhitungan dengan metode vikers:
221 DDD
2854,1
DF
HV =
Dimana : F = Beban yang ditetapkan
D = Panjang diagonal rata-rata
D1 = Panjang diagonal 1
D2 = Panjang diagonal 2
D = Panjang diagonal rata-rata