bab ii tinjauan pustaka 2.1 2.1 -...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Klinik Sanitasi
2.1.1 Klinik Sanitasi
2.1.1.1 Pengertian
Klinik adalah balai pengobatan khusus seperti keluarga berencana, penyakit
paru-paru atau juga merupakan organisasi kesehatan yg bergerak dalam
penyediaan pelayanan kesehatan kuratif (diagnosis dan pengobatan), biasanya thd
satu macam gangguan kesehatan. Sanitasi adalah perilaku disengaja dalam
pembudayaan hidup bersih dengan maksud mencegah manusia bersentuhan
langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya dengan harapan
usaha ini akan menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia. Sanitasi dasar
adalah Sarana sanitasi rumah tangga yang meliputi sarana buang air besar, sarana
pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga.
Klinik sanitasi merupakan wahana untuk mengatasi masalah kesehatan
masyarakat melalui upaya terintegrasi kesehatahn lingkungan-pemberantasan
penyakit dengan bimbingan, penyuluhan dan bantuan teknis dari petugas
puskesmas. Klinik sanitasi bukan sebagai unit pelayanan yang berdiri sendiri,
tetapi sebagai bagian dari kegiatan puskesmas. Bekerja sama dengan program
yang lain dari sektor terkait di wilayah kerja puskesmas.
Klinik sanitasi lingkungan merupakan suatu upaya/kegiatan yang
mengintegrasikan pelayanan kesehatan antara promotif, preventif dan kuratif yang
difokuskan pada penduduk yang menderita pnyakit berbasis lingkungan dan
9
masalah kesehatan lingkungan pemukiman yang dilaksanakan oleh petugas
puskesmas bersama masyarakat yang dapat dilaksanakan secara aktif dan pasif di
dalam dan di luar puskesmas (Depkes RI, 2002).
Klinik sanitasi merupakan pengembangan dari konsep yang di perkenalkan
oleh puskesmas wanasaba kabupaten Lombok timur provinsi NTB pada tahun
1995. Selanjutnya kegiatan ini di ikuti oleh beberapa puskesmas di NTB, provinsi
jawa timur, provinsi Sulawesi tenggara, provinsi Sulawesi selatan, provinsi
Sumatra selatan dan Kalimantan selatan. Sampai pada tahun 2004, klinik sanitasi
sudah tersebar diseluruh provinsi di Indonesia, sudah mencapai 23,4 % yaitu
1.527 puskesmas yang melaksanakan klinik sanitasi dari 6.521 jumlah puskesmas
di seluruh Indonesia (Aini, 2004).
Timbulnya konsep ini karena ditemukannya data 10 jenis penyakit terbanyak
yang diderita pasien puskesmas Wanasaba berkaitan erat dengan masalah kondisi
lingkungan pemukiman maupun sarana sanitasi yang tidak memenuhi syarat
kesehatan seperti penyakit diare, ISPA, kulit dan kecacingan (Depkes RI, 2003).
Dalam pelaksanaan kegiatan klinik sanitasi masyarakat difasilitasi oleh petugas
puskesmas, klinik sanitasi diharapkan dapat memperkuat tugas dan fungsi
puskesmas dalam melaksanakan pelayanan pencegahan dan penularan penyakit
berbasis lingkungan dan semua persoalan yang ada kaitannya dengan kesehatan
lingkungan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Secara umum tujuan klinik sanitasi yaitu meningkatnya derajat kesehatan
masyarakat melalui upaya preventif dan kuratif yang di lakukan secara terpadu,
terarah dan terus menerus.
10
2.1.1.2 Pasien
Penderita penyakit yang di duga berkaitan dengan kesehatan lingkungan yang
di rujuk oleh petugas medis ke ruang klinik sanitasi.
2.1.1.3 Klien
Merupakan masyarakat umum bukan penderita penyakit yang datang ke
puskesmas untuk berkonsultasi tentang masalah yang berkaitan dengan kesehatan
lingkungan.
2.1.1.4 Bengkel Sanitasi
Adalah suatu ruangan atau tempat yang dipergunakan untuk menyimpan
peralatan pemantauan dan perbaikan kualitas lingkungan.
2.1.1.5 Ruang Klinik Sanitasi
Adalah suatu ruangan atau tempat yang dipergunakan oleh Sanitarian/Tenaga
Kesling/Tenaga Pelaksana kegiatan Klinik Sanitasi untuk melakukan fungsi
penyuluhan, konsultasi, konseling, pelatihan perbaikan sarana sanitasi dan
sebagainya.
2.1.1.6 Konseling
Adalah kegiatan wawancara mendalam dan penyuluhan yang bertujuan untuk
mengenali masalah lebih rinci kemudian di upayakan pemecahannya yang di
lakukan oleh tenaga sanitarian/tenaga pelaksana klinik sanitasi, sehubungan
dengan konsultasi penderita/klien yang datang ke puskesmas.
Pada waktu konseling membantu klien/pasien, maka terjadi langkah-langkah
komunikasi secara timbal balik yang saling berkaitan (komunikasi interpersonal)
untuk membantu klien/pasien dalam membuat keputusan Jadi konseling bukan
11
semata-mata dialog, melainkan juga proses sadar yang memberdayakan orang
agar mampu mengendalikan hidupnya dan bertanggung jawab atas tindakan-
tindakannya. Oleh karena itu seorang petugas konseling harus dapat menciptakan
hubungan dengan pasien/klien, dengan menunjukkan perhatian dan penerimaan
melalui tingkah laku verbal dan non verbal yang akan mempengaruhi keberhasilan
pertemuan tersebut.
Tujuan diadakannya konseling di klinik sanitasi adalah:
1) Menyediakan dukungan teknis bagi mereka yang mempunyai masalah
kesehatan lingkungan dan penyakit berbasis lingkungan.
2) Mencegah penularan penyakit berbasis lingkungan, misalnya malaria,
demam berdarah dengue (DBD), TB paru, ISPA, diare, penyakit kulit dan
lain-lain.
3) Meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan klien/pasien
untuk menggali potensi dan sumber daya serta pelayanan kesehatan yang
dapat membantu klien memecahkan masalah kesehatan lingkungan dan
penyakit berbasis lingkungan yang mereka hadapi.
4) Peningkatan kualitas hidup yang lebih baik
2.1.1.7 Kunjungan rumah
Kunjungan rumah adalah kegiatan sanitarian/tenaga kesling/tenaga pelaksana
klinik sanitasi untuk melakukan kunjungan ke rumah untuk melihat keadaan
lingkungan rumah sebagai tindak lanjut dari kunjungan penderita atau klien ke
ruang klinik sanitasi (Depkes RI, 2002).
12
2.1.2 Kegiatan Klinik Sanitasi
2.1.2.1 Kegiatan dalam gedung (Indoor Activity)
Kegiatan dalam gedung di fokuskan pada identifikasi penyakit yang di derita
pasien, kegiatan konseling yaitu tenaga kesling/sanitarian mewawancarai dan
memberikan penyuluhan kepada pasien serta janji kunjungan rumah. Kegiatan di
dalam gedung di lakukan adalah membahas segala permasalahan, cara pemecahan
masalah, hasil monitoring/evaluasi dan perencanaan klinik sanitasi dan dalam
mini lokakarya puskesmas yang melibatkan seluruh penanggung jawab kegiatan
dan di laksanakan sebulan sekali.
2.1.2.2 Kegiatan luar gedung (outdoor Activity)
Kegiatan luar gedung merupakan tindak lanjut dari kegiatan konselingberupa
kunjungan rumah. Pada kunjungan rumah ini dilakukan inspeksi sanitasi terhadap
kondisi lingkungan tempat tinggal pasien serta penyuluhan yang lebih terarah ,
baik kepada pasien, keluarga pasien maupun tetangga sekitar.
Kunjungan ini merupakan kegiatan rutin yang dipertajam sasarannya, karena
saat kunjungan petugas telah mempunyai data tentang sarana sanitasi lingkungan
yang bermasalah yang perlu diperiksa dan faktor-faktor perilaku yang berperan
besar dalam terjadinya penyakit. Apabila dalam kunjungan tersebut perlu
dilakukan suatu perbaikan atau pembangunan sarana sanitasi dasar dengan biaya
besar, maka petugas dapat mengusulkan kepada instansi terkait (Depkes RI,
2002).
13
Gambar 2.1
Skema Alur Kegiatan Klinik Sanitasi
Ket :
Penderita
Klien
Petugas
Umpan Balik
Sumber Data Depkes RI, 2002
Pemantauan
Penilaian - Pws
Pemantauan
Penilaian - Pws
Kunjungan rumah dan
lingkungan : lingkungan
kerja, TTU, TPM,
Transportasi
Implementasi dan
rekomendasi Perbaikan
lingkungan
PULANG
Lok Mini
Klinik Sanitasi
Apotik
Poliklinik L
O
K
E
T
P u s k e s m a s
Klien Masyarakat
Umum
Penderita
- Dep. Agama
- Dep. PU
- PMD
- Pariwisata - Pertanian
- Sektor Terkait
Lainnya
Koordinasi
Lintas Sektor
- Pustu
- Polindes/
Blindes
Koordinasi
Lintas Program
- Toga
- Toma
- LKMD
- Guru
- Kader
Koordinasi
Masyarakat
14
Keterangan :
1. Pasien datang ke puskesmas, mendaftar di loket, diperiksa oleh
medis/paramedik jika indikasinya menderita penyakit berbasis lingkungan
maka dirujuk ke klinik sanitasi, di klinik sanitasi pasien dikonseling, diberikan
penyuluhan serta membuat perjanjian kunjungan rumah untuk memecahkan
masalah kesehatan lingkungan yang dialaminya kemudian pasien mengambil
obat di apotek kemudian pulang.
2. Petugas berkoordinasi dengan lintas program melalui loka karya mini atau
pertemuan bulanan.
3. Petugas melakukan kunjungan rumah dengan memberikan implementasi dan
rekomendasi perbaikan lingkungan.
4. Klien datang ke puskesmas untuk berkonsultasi mengenai masalah kesehatan
lingkungan yang dihadapi untuk mencari cara pemecahan masalah.
5. Pemantauan wilayah setempat untuk dijadikan tolak ukur pelaksanaan klinik
sanitasi (Depkes RI, 2002).
2.1.3 Hambatan dan peluang
1. Beberapa hambatan yang mungkin ditemui dalam pelaksanaan
klinik sanitasi sebagai berikut yaitu :
a. Masih terbatasnya tenaga puskesmas sebagai pelaksana klinik sanitasi,
sehingga kegiatan ini belum menjadi prioritas puskesmas.
b. Terbatasnya jangkauan petugas klinik sanitasi untuk membina desa
yang ada di wilayah puskesmas karena luasnya wilayah, kondisi
geografis, dan terbatasnya transportasi.
15
c. Terbatasnya dana untuk kegiatan klinik sanitasi.
2. Beberapa peluang yang mungki n ditemui dalam pelaksanaan
klinik sanitasi sebagai berikut yaitu :
a. A d a n y a dana operasional Puskesmas yang dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan klinik sanitasi.
b. Penyakit berbasis lingkungan masih mendominasi kasus yang terjadi.
c. Adanya mekanisme lokakarya mini di puskesmas yang dapat digunakan untuk
pengembangan dan koordinasi kegiatan klinik sanitasi.
d. Pendayagunaan tenaga kesehatan lingkungan yang saat ini bekerja di luar
bidang tugasnya untuk pelaksanaan klinik sanitasi.
e. Adanya dana sektor lain yang dapat dialokasikan di desa sehingga dapat
menunjang kegiatan klinik sanitasi.
f. Semakin meningkatnya partisipasi masyarakat dalam p embangunan
di desa sebagai dampak dari pemberdayaan masyarakat selama ini.
g. Telah tersediaannya alat (water test kit dan media penyuluhan).
h. Penerapan paradigma sehat yang selaras dengan pelaksanaan
klinik sanitasi.
2.1.4 Kriteria Keberhasilan
1. Kunjungan Klien Meningkat, Pasien Turun
2. Cakupan SAB/S Swadaya Meningkat
3. Kunjungan Lapangan Meningkat
4. Penyakit Lingkungan Kurang
5. Hub. baik dg L/P dan L/S
16
2.2 Tinjauan Umum Penyakit ISPA
2.2.1 Pengertian ISPA
Saluran pernafasan bagian atas terdiri dari rongga hidung dan sinus paranasal.
Rongga hidung terdiri atas dua nostril yang merupakan pintu masuk menuju
rongga hidung. Adalah dua kanal sempit yang satu sama lainnya di pisahkan oleh
sputum. Dinding rongga hidung di lapisi oleh mukosa respirasi serta sel epitel
batang, bersilia, dan berlapis semu. Sedangkan sinus paranasal berperan dalam
menyereksi mukus, membantu pengaliran air mata melalui saluran nasoklarimalis,
dan membantu dalam menjaga permukaan rongga hidung tetap bersih dan lembab
(Muttaqin, 2008).
Saluran pernafasan merupakan jalur pemaparan yang paling penting pada
lingkungan industri. Berbagai jenis zat padat terbawa dalam udara lingkungan
kerja. Efek paparan zat melalui saluran pernafasan sangat beragam, tergantung
pada konsentrasi dan lamanya pemaparan serta status kesehatan orang yang
terpapar (Mulia, 2005). Infeksi pernapasan akut adalah penyakit infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung
(saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk saluran adneksanya seperti
sinus, rongga telinga tengah dan pleora (Depkes RI, 2002).
Infeksi saluran pernafasan atas adalah infeksi yang di sebabkan oleh
mikroorganisme di struktur saluran nafas atas yang tidak berfungsi untuk
pertukaran gas, termasuk rongga hidung, faring, laring, yang di kenal dengan
ISPA antara lain pilek, faringitis atau radang tenggorok, laringitis, dan influenza
tanpa komplikasi. Sebagian besar ISPA disebabkan oleh virus, meskipun bakteri
17
juga dapat terlibat sejak awal atau yang bersifat sekunder terhadap infeksi virus.
Semua jenis infeksi mengaktifkan respons imun dan inflamasi sehingga terjadfi
pembengkakan dan edema jaringan yang terinfeksi. Reaksi inflamasi
menyebabkan peningkatan produksi mukus yang berperan menimbulkan ISPA,
yaitu kongesti atau hidung tersumbat, sputum berlebihan, dan rabas hidung
(pilek). Sakit kepala, demam ringan, dan malaise juga dapat terjadi akibat reaksi
inflamasi (Elizabeth, 2009).
Infeksi saluran nafas atas mengenai saluran hidung, faring, tonsil dan
epiglotis yang sebagian besar adalah infeksi minor yang di peroleh di masyarakat
dan di sebabkan oleh virus. Infeksi saluran nafas atas dapat menimbulkan
konsekuensi serius bagi pasien berusia lanjut atau sangat mudah (Dinah &
Crhistine, 2003).
2.2.2 Gambaran klinis
Gambaran klinis ISPA bergantung pada tempat infeksi serta mikroorganisme
penyebab infeksi. Semua manifestasi klinis terjadi akibat proses peradangan dan
adanya kerusakan langsung akibat mikroorganisme (Elizabeth, 2009) Manifestasi
klinis antara lain :
Batuk
Bersin dan kongesti nasal
Pengeluaran mucus dan rabas dari hidung serta turun ke tenggorok.
Demam derajat ringan.
Malaise (tidak enak badan)
18
2.2.3 Etiologi ISPA
Infeksi saluran pernafasan akut merupakan kelompok penyakit yang komplek
dan heterogen, yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Etiologi ISPA terdiri dari
300 lebih jenis virus, bakteri dan riketsia serta jamur (Departemen Kesehatan,
2004b). Virus merupakan penyebab tersering Infeksi Saluran Pernapasan Atas
Akut (ISPA-A). Virus penyebab ISPA meliputi rhinovirus, coronavirus, influenza
virus, parainfluenza virus, adenovirus, respiratory sincytial virus (RSV), dan
coxsackieviru (Suhaeni, 2006).
Beberapa jenis bakteri dapat menyebabkan ISPA melalui infeksi primer atau
superinfeksi. Sebagai contoh, sebanyak 5-10% kasus faringitis disebabkan oleh
Streptococcus haemolytic β group A. Bakteri lainnya penyebab faringitis antara
lain Streptococcus haemolytic β group C, diphtheriae, Neisseria gonorrhoeae,
Arcanobacterium haemolyticum, Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma
pneumoniae. Superinfeksi bakteri sering terjadi pada sinusitis akut oleh virus, dan
penyebab terseringnya adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophylus
influenzae, dan Moraxella catarrhalis (Aswan, 2008).
Menurut publikasi World Health Organization (WHO), penelitian di berbagai
negara menunjukkan bahwa di negara berkembang, Streptococcus pneumoniae
dan Haemophylus influenzae merupakan bakteri penyebab tersering pneumonia
dan selalu ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi aspirat paru atau spesimen
darah penderita pneumonia (Departemen Kesehatan, 2004b). Beberapa jenis virus
juga diketahui merupakan penyebab pneumonia antara lain respiratory syncytial
virus, adenovirus, influenza virus, dan parainfluenza virus.
19
2.2.4 Perjalanan alamiah penyakit ISPA
Perjalanan alamiah penyakit dibagi menjadi 5 tahap yaitu :
Tahap pertama adalah tahap kerentanan yang mana pada tahap ini terjadi
interaksi antar agent, penjamu dan lingkungan diluar tubuh, bentuk penyakit
ketika terjadi dan beberapa keadaan dapat merupakan faktor resiko terjadinya
penyakit.
Tahap kedua adalah presimptomatik yang mana pada tahap ini telah terjadi
interaksi dari berbagai faktor yang mengakibatkan perubahan-perubahan
patogenik yang masih dibawah garis korim klinik.
Tahap ketiga adalah klinik, tahap ini telah muncul tanda-tanda atau gejala
penyakit dan dapat diketahui dengan jelas, keadaaan ini disebabkan karena
perubahan anatomik ataupun kelainan fungsional.
Tahap keempat adalah penyakit klinis berlanjut, pada tahap ini perjalanan
penyakit akan berlanjut menjadi lebih berat kalau tidak mendapat perhatian dan
Tahap kelima adalah tahap kecacatan dengan upaya tindakan kesehatan
secara spontan dan beberapa penyakit masih dapat disembuhkan tetapi sebagian
masih meninggalkan gejala yang dapat berlangsung dalam waktu panjang dan
masih merupakan gangguan kesehatan penderita.
Perjalanan alamiah penyakit ISPA dimulai dengan adanya interaksi antara
kuman penyebab, manusia dan lingkungan serta waktu, sehingga jika tidak
interaksi ini berjalan terus akan mengakibatkan perubahan tanpa gejala (Elizabeth
2009).
20
2.2.5 Cara Penularan ISPA
Penyakit ISPA termasuk dalam kelompok penyakit yang ditularkan melalui
udara (airborne diseases). Sumber penularan penyakit adalah penderita ISPA.
Karena beragamnya etiologi ISPA, maka awal dan lamanya penderita dapat
menularkan penyakitnya ke orang lain juga berbeda-beda. Penderita influenza
dapat menularkan penyakitnya ke orang lain sejak awal timbulnya gejala, kadang-
kadang 0-24 jam sebelum gejala timbul, sampai dengan 5-10 hari (Muttaqin,
2008).
Penularan organisme penyebab ISPA terjadi melalui aerosol, droplet atau
kontak langsung tangan dengan sekret yang terinfeksi yang kemudian menyentuh
hidung atau mata. Penularan melalui udara terjadi karena terdapatnya bibit
penyakit di udara yang umumnya berbentuk aerosol yakni suatu suspensi yang
melayang di udara. Adapun bentuk aerosol dari penyebab penyakit tersebut ada 2,
yakni: droplet nuclei (sisa dari sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan dari
tubuh secara droplet dan melayang di udara); dan dust (campuran antara bibit
penyakit yang melayang di udara) (Depkes RI, 2004b).
Kuman dilepaskan ke udara ketika penderita batuk bersin atau berbicara. Pada
umumnya virus dalam bentuk aerosol hanya dapat bertahan di udara dalam bentuk
yang dapat menular selama kurun waktu tidak lebih dari 1 jam. Virus influenza
lebih stabil dalam kondisi kelembaban yang rendah. Percobaan pada tikus
menunjukkan bahwa kondisi kelembaban yang tinggi dapat menurunkan
kemampuan infeksi virus influenza dalam bentuk aerosol dari 24 jam menjadi 1
jam. Dalam penelitian menunjukkan bahwa virus penyebab ISPA juga
21
mempunyai kemampuan bertahan hidup di atas permukaan suatu objek.
Diperkirakan virus influenza tetap memiliki kemampuan untuk menimbulkan
infeksi sampai selama 2 jam, kadang-kadang sampai 8 jam, di atas permukaan
objek yang tercemar. Penularan melalui perantaraan objek yang tercemar ini
terutama terjadi pada infeksi oleh rhinovirus karena dosis infektifnya lebih kecil
(Aswan, 2008).
Penularan terjadi bila kuman tersebut terhirup oleh orang lain yang rentan.
Selain itu, penularan ISPA juga dapat terjadi melalui kontak langsung tangan
dengan permukaan objek yang terkontaminasi sekret infektif, lalu kemudian
menyentuh hidung atau mata. Permulaan infeksi akan terjadi apabila terjadi
kontak antara bibit penyakit tersebut dengan selaput lendir saluran pernapasan.
Kemampuan penularan (transmissiblility) adalah kapasitas suatu agen infeksi
untuk menyebar dari satu orang ke orang lain. Inhalasi sedikitnya tiga partikel
infektif virus influenza dapat menularkan infeksi, dan sebagian besar orang yang
terinfeksi akan timbul gejala-gejala influenza, yang kemudian akan meningkatkan
kemungkinan penularan. Anak-anak adalah kelompok yang paling mungkin
terkena infeksi dan menularkan penyakit. Bila ada salah seorang anggota keluarga
menderita influenza, maka 20-60% dari anggota keluarga lainnya yang terpapar
akan terinfeksi dan separuh atau lebih diantaranya akan timbul gejala-gejala
penyakit influenza. Adanya infeksi rhinovirus dalam suatu keluarga akan
menyebabkan infeksi pada dua pertiga anggota keluarga lainnya.
Kemungkinan bahwa kuman akan menularkan dari satu orang ke orang
lainnya dan penyakit akan ditimbulkan ditentukan oleh jumlah organisme dalam
22
sekret, kapasitas kuman untuk bertahan hidup, jumlah kuman dibutuhkan untuk
infeksi, virulensi kuman, faktor berkaitan dengan patogenisitas infeksi, dan status
kekebalan pejamu.
2.2.6 Patogenesis
Sejak dapat ditemukan dari biakan sel dan organ pada tahun 1950, infeksi
oleh rhinovirus telah digunakan dalam penelitian untuk mengetahui patogenesis
common cold yang merupakan bentuk ISPA yang paling sering ditemukan.
Setelah masuk melalui rongga hidung, virus dibawa ke nasofaring posterior
terutama oleh sel-sel epitel bersilia. Di nasofaring, virus memasuki sel-sel tubuh
dengan cara melekatkan diri pada reseptor virus di permukaan sel-sel epitel
hidung dan adenoid. Infeksi virus ini akan merangsang sistem saraf parasimpatis
dan mengaktifkan beberapa jalur mekanisme peradangan. Respon tubuh terhadap
virus diyakini merupakan penyebab utama timbulnya gejala-gejala common cold.
Bila infeksi virus berlanjut, virus akan bergerak ke depan ke dalam hidung. Ini
akan merangsang peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan terjadi
transudasi cairan ke dalam selaput lendir hidung. Mediator-mediator peradangan
seperti interleukin ditemukan pada sekresi hidung penderita common cold. Ini
menyebabkan selaput lendir hidung membengkak dan tampak kemerahan, tetapi
tidak terdapat kerusakan langsung pada sel epitel hidung (WHO, 2001).
Gejala mulai timbul setelah 16 jam masuknya virus ke dalam hidung atau
tampak setelah 24-48 jam pasca masuknya virus. Virus dapat hilang dari tubuh
dalam 24 jam, tetapi kadar puncaknya adalah pada hari ke-2 sampai ke 3.
Penyebaran virus tetap bertahan sampai gejala penyakit berkurang, dan pada 10-
23
20% penderita virus masih dapat ditemukan pada biakan hingga 2-3 minggu
setelah infeksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit berlangsung rata-
rata 9,5 – 11 hari. Gejala awal yang dialami oleh pasien biasanya adalah hidung
berair dan tersumbat, batuk, dan sakit kepala.
Mekanisme hiperaktivitas saluran pernapasan yang dipicu oleh rhinovirus,
belum sepenuhnya dipahami. Tetapi faktor-faktor yang berperan seperti
peningkatan refleks bronkokontriksi, pelepasan mediator kekebalan tubuh,
peningkatan respon saluran napas terhadap tachykinins, penumpukan dan aktivasi
sel-sel peradangan, dan induksi Ig E.
Faringitis terjadi akibat virus patogen menginvasi sel mukosa nasofaring dan
rongga mulut. Bakteri menempel dan menginvasi selaput lendir saluran
pernapasan bagian atas menyebabkan edem dan hiperemia membran mukosa dan
tonsil. Banyak manifestasi klinis infeksi terjadi akibat reaksi imun terhadap
produk sel bakteri. Infeksi pada sinus paranasal baik oleh virus atau bakteri
menyebabkan gangguan aktivitas silia pada lapisan epitel sinus dan meningkatkan
sekresi lendir. Ini akan menyebabkan obstruksi ostium sinus paranasal yang akan
menghambat drainase cairan. Multiplikasi bakteri dalam rongga sinus akan
mengubah lendir menjadi eksudat mukopurulen. Adanya pus akan menyebabkan
iritasi pada lapisan selaput lendir dan menyebabkan bertambahnya edema,
kerusakan epitel dan obstruksi ostium. Otitis media akut umumnya terjadi setelah
ISPA atas yang menyebar dari nasofaring melalui tuba eustachius ke telinga
tengah (Suhaeni, 2006).
24
Agen infeksi mencapai saluran pernapasan bagian bawah melalui inhalasi
aerosol, aspirasi kuman dari saluran pernapasan atas, atau penyebaran melalui
aliran darah. Bila bronkus terinfeksi, selaput lendir akan menjadi hiperemia dan
membengkak dan menghasilkan sekret bronkus. Kerusakan mukosa dapat
bervariasi dari yang paling sederhana berupa kehilangan fungsi mukosilia sampai
kerusakan epitel saluran pernapasan.
Masa inkubasi penyakit yang tergolong dalam ISPA bervariasi menurut
etiologinya. Sebagai contoh, masa inkubasi influenza berkisar antara 12-72 jam,
sedangkan pada common cold oleh rhinovirus mempunyai masa inkubasi 8-16
jam, kadang-kadang 2 jam.
2.2.7 Faktor Resiko
Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai negara termasuk Indonesia dan
berbagai publikasi ilmiah, dilaporkan berbagai faktor risiko infeksi saluran
pernapasan akut pada balita meliputi kondisi rumah yaitu ventilasi, kelembaban,
pencahayaan, kamarisasi, letak dapur, kepadatan penghuni, status gizi; status
imunisasi; pemberian ASI; pemberian vitamin A; dan berat badan lahir (Aswan,
2008).
2.3 Tinjauan Umum Sanitasi Dasar
2.3.1 Perumahan
Perumahan yang baik terdiri dari kumpulan rumah yang di lengkapi dengan
berbagai fasilitas pendukungnya seperti sarana jalan, saluran air kotor, tempat
sampah, sumber air bersih (Chandra, 2007). Rumah merupakan tempat untuk
berlindung atau bernaung dari hubungan keadaan alam sekitarnya (misalnya
25
hujan, matahari, dan lain-lain) serta merupakan tempat untuk beristirahat setelah
bertugas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (Suharmadi, 1985).
Rumah bagi manusia saat ini mempunyai arti lebih dari hanya sekedar tempat
berlindung dari cuaca alam. Rumah tinggal sekarang adalah segala-galanya.
Rumah merupakan shelter, sense of security, tempat yang sehat dan nyaman untuk
di tempati sebagai hunian. Rumah sehat terdiri dari atap, dari segi teknis tujuan
pembuatan atap antara lain untuk mencegah pengaruh panas, angin, dan curah
hujan. Atap melindungi ruang di bawahnya, manusia, dan elemen bangunan dari
pengaruh cuaca, hujan, dan panas matahari. Oleh karena itu atap harus kedap air
agar tidak mudah rusak oleh pengaruh cuaca, panas dan hujan (Wardana, 2005).
Lantai rumah merupakan bagian dari rumah yang harus memenuhi syarat
yang harus di penuhi agar fungsi dan manfaatnya maksimal. Permukaan lantai
yang basah atau lembab terjadi karena air yang berada dalam tanah meresap ke
permukaan. Dinding atau tembok sebagai bagian dari rumah yang berfungsi untuk
melindungi penghuni dari terpaan panas dan hujan. Bahan dinding yang di
gunakan untuk rumah sebaiknya aman, kuat, dan tidak membahayakan kesehatan
bagi penghuni rumah (Wardana, 2005).
Kunsen-pintu-jendela adalah bukan dinding yang sangat krusial dan sering
dianggap sebagai symbol dari sebuah rumah. Fungsi dari kunsen-pintu-jendela
antara lain untuk keluar masuk (pintu), untuk melihat dari dalam keluar (jendela),
sebagai ventilasi untuk pertukaran sirkulasi udara dalam rumah serta untuk
menambah estetika rumah (Wardana, 2005).
26
Sanitasi rumah adalah usaha untuk kesehatan masyarakat yang
menitikberatkan pada pengawasan terhadap struktur fisik, dimana orang
menggunakannya sebagai tempat berlindung yang mempengaruhi derajat
kesehatan manusia. Sarana sanitasi tersebut antara lain konstruksi bangunan,
jendela, ventilasi, kepadatan hunian, kamarisasi, lantai, pencahayaan, kelembaban,
saran pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran manusia, dan penyediaan
air bersih. Sanitasi rumah sangat erat kaitannya dengan angka kesakitan penyakit
menular dan penyakit berbasis lingkungan, terutama ISPA. Lingkungan
perumahan sangat berpengaruh pada terjadinya dan tersebarnya penyakit ISPA.
Hubungan antara rumah dengan kondisi kesehatan sudah di ketahui. Pada
komunitas Aborigin prevalensi penyakit yang tinggi disebabkan oleh sanitasi
dasar yang buruk, kontrol kondisi lingkungan yang buruk, kepadatan hunian yang
tinggi dan penyediaan air bersih yang tidak memadai. Rumah yang jendelanya
kecil menyebabkan pertukaran udara tidak dapat berlangsung dengan baik,
akibatnya asap dapur dan asap rokok dapat terkumpul di dalam rumah (Triska
dan Lilis, 2005).
2.3.1.1 Kriteria Rumah sehat
Menurut criteria rumah sehat yang tercantum dalam Residential Environment
dari WHO (1974) yaitu :
1. Harus dapat melindungi dari hujan, panas, dingin, dan berfungsi sebagai
tempat istrahat.
2. Mempunyai tempat-tempat untuk tidur,masak, mandi, mencuci, kakus, dan
kamar mandi.
27
3. Dapat melindungi dari bahaya kebisingan dan bebas dari pencemaran.
4. Bebas dari bahan bangunan yang berbahaya.
5. Terbuat dari bahan bangunan yang kokoh dan dapat melindungi
penghuninya dari gempa, keruntuhan, dan penyakit menular.
6. Memberi rasa aman dan lingkungan tetangga yang serasi (Chandra,2007).
Sementara itu, kriteria rumah sehat menurut Winslow, antara lain :
1. Dapat memenuhi kebutuhan fisiologis.
2. Dapat memenuhi kebutuhan psikologis.
3. Dapat menghindarkan dari terjadinya kecelakaan.
4. Dapat menghindarkan terjadinya penularan penyakit (Chandra,2007)
Di Indonesia, terdapat suatu criteria untuk rumah sehat sederhana (RSS),
yaitu :
1. Luas tanah antara 60-90 meter persegi
2. Luas bangunan antara 21-36 meter persegi
3. Memiliki fasilitas kamar tidur, WC (kamar mandi), dan dapur
4. Berdinding batu bata dan di plester
5. Memiliki lantai dari ubin keramik dan langit-langit dari triplek
6. Memiliki sumur atau air PAM
7. Memiliki fasilitas listrik minimal 450 watt
8. Memiliki bak sampah dan saluran air kotor (Chandra,2007)
2.3.1.2 Syarat Rumah Sehat
Menurut Winslow dan APHA Syarat-syarat rumah sehat :
1) Bahan bangunan
28
1. Lantai ubin atau semen adalah baik
2. Dinding tembok adalah baik
3. Atap genteng untuk daerah tropis.
4. Lain-lain (tiang, kaso dan seng. Kayu untuk tiang, bambu untuk kaso
dan adalah umum di pedesaan.
2) Ventilasi
Venilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dan bakteri-bakteri
terutama bakteri pathogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus
menerus. Bakteri yang dibawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya
adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban
(humidity) yang optimum ( Notoatmodjo, 2003).
Ada 2 macam ventilasi yakni :
1. Ventilasi alamiah
Di mana aliran udara di dalam ruangan tersebut terjadi secara alamiah melalui
jendela, pintu, lubang angin, lubang-lubang pada dinding dan sebagainya. Di
pihak lain ventilasi alamiah ini tidak menguntungkan, karena merupakan jalan
masuknya nyamuk dan serangga lainnya ke dalam rumah. Untuk itu harus ada
usaha-usaha lain melindungi kita dari gigitan-gigitan nyamuk tersebut.
2. Ventilasi buatan
Dengan mempergunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan udara tersebut,
misalnya kipas angin, dan mesin pengisap udara. Tetapi jelas alat ini tidak cocok
dengan kondisi rumah di pedesaan.
29
Perlu di perhatikan disini bahwa sistem pembuatan ventilasi harus di jaga
agar udara tidak membalik lagi, harus mengalir. Artinya di dalam ruangan rumah
harus ada jalan masuk dan keluarnya udara (Notoatmodjo, 2003).
Ventilasi yang baik adalah
1) Berukuran ± 10 – 20 % dari luas lantai.
2) Memberikan udara segar dari luar.
3) Suhu optimum 22 – 24°C.
4) Kelembaban 60 %
5) Pencahayaan yang cukup
Memberi kesempatan cahaya matahari masuk, minimal ± 60 lux dan tidak
menyilaukan sehingga cahaya matahari mampu membunuh kuman-kuman
pathogen dan jika pencahayaan kurang sempurna akan mengakibatkan ketegangan
mata (Kusnoputranto, 2002). Seyogyanya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya
sekurang-kurangnya 15 % sampai 20 % dan luas lantai yang terdapat didalam
ruangan rumah (Notoatmodjo, 2003).
3) Kamarisasi
Kamarisasi berfungsi untuk mengisolasi penderita ISPA dalam ruangan
tertentu sehingga membatasi kontak antara penderita dengan penghuni rumah
lainnya dan membatasi sebaran kuman di udara dalam rumah. Bila kamarisasi
rumah tidak memenuhi syarat dan ada penderita ISPA dalam rumah, maka
kemungkinan kontak penderita dengan penghuni lainnya tidak dibatasi dan kuman
dapat tersebar bebas di udara ke bagian rumah lainnya sehingga menimbulkan
risiko yang lebih besar bagi penghuni lainnya untuk tertular penyakit ISPA
30
(Aswan, 2008). Luas ruang tidur minimal 8 m2, dan tidak dianjurkan lebih dari 2
orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali dibawah umur 5 tahun (Kusnoputranto,
2002).
4) Kepadatan hunian rumah
Setiap orang membutuhkan ruang dalam rumah dengan ukuran yang cukup
untuk beristrahat dan beraktivitas. Jumlah penghuni rumah yang padat
menyebabkan berkurangnya ruang bagi setiap penghuni, sehingga kontak antar
penghuni terjadi lebih sering dan lebih lama. Akibatnya bila ada penderita ISPA di
dalam rumah akan lebih mudah terjadi penularan ke penghuni rumah lainnya yang
lebih rentan seperti balita dan orang berusia lanjut. Hal ini menyebabkan
kemungkinan infeksi silang kepada penghuni lainnya lebih besar. Menurut United
Nations Centre for Human Settlements, penularan penyakit akan meningkat di
antara orang-orang yang tinggal bersama-sama di tempat yang padat penghuni,
dengan rasio ruangan ≥ 9m2/orang menunjukan tidak ada padat penghuni. Secara
spesifik, kepadatan penghuni meningkatkan risiko infeksi karena meningkatnya
jumlah orang yang potensial tertular. Akibatnya, anak-anak yang tinggal di tempat
yang padat penghuni menderita infeksi lebih sering dan bahkan lebih (Aswan,
2008).
2.3.2 Lingkungan Perumahan/Pemukiman Dan Hubungannya Dengan
Kesehatan
Di dalam program kesehatan lingkungan, suatu pemukiman/perumahan
sangat berhubungan dengan kondisi ekonomi, social,pendidikan,tradisi/kebiasaan,
suku, geografi, dan kondisi local.selain itu lingkungan perumahan dan pemukiman
31
di pengaruhi oleh beberapa factor yang dapat menentukan kualitas lingkungan
perumahan tersebut, antara lain fasilitas pelayanan, perlengkapan, peralatan, yang
dapat menunjang terselenggaranya kesehatan fisik, kesehatan mental,
kesejahteraan social, bagi individu dan keluarganya (Mukono, 2008).
2.3.3 Aspek Kesehatan Dari Perumahan
2.3.3.1 Memenuhi kebutuhan fisiologis
Secara fisik kebutuhan fisiologis meliputi kebutuhan suhu dalam rumah yang
ideal berkisar antara 18-200C, yang di pengaruhi oleh suhu udara luar, pergerakan
udara, dan kelembaban udara ruangan. pencahayaan yang optimal, intensitas
cahaya pada suatu ruangan pada jarak 85cm di atas lantai maka intensitas
penerangan minimal tidak boleh kurang dari 5 foot-candle. perlindungan terhadap
kebisingan, ventilasi memenuhi persyaratan, dan tersedianya ruang yang optimal
untuk bermain anak.
2.3.3.2 Memenuhi kebutuhan psikologis
Kebutuhan psikologis berfungsi untuk memnjamin ”Privacy” bagi penghuni
perumahan. Perlu adanya kebebasan untuk kehidupan keluarga yang tinggal di
rumah tersebut secara normal.
2.3.3.3 Perlindungan terhadap penularan penyakit
Untuk mencegah penularan penyakit di perlukan sarana air bersih, fasilitas
pembuangan air kotor, fasilitas peyimpanan makanan, menghindari adanya
intervensi dari serangga dan hama atau hewan lain yang dapat menularkan
penyakit.
32
2.3.3.4 Perlindungan/pencegahan terhadap bahaya kecelakaan dalam rumah
Agar terhindar dari kecelakaan maka konstruksi rumah harus kuat dan
memenuhi syarat bangunan, desain pencegahan terjadinya kebakaran dan
tersedianya alat pemadaam kebakaran, pencegahan kecelakaan jatuh, dan
kecelakaan mekanis laninnya.
2.3.4 Beberapa Faktor Dari Rumah Yang Berpangaruh Terhadap
Kesehatan
Faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan manusia adalah :
1. Kualitas bangunan rumah meliputi kualitas bahan dan konstruksinya serta
denah rumah.
2. Pemanfaatan bangunan rumah yang secara teknis memenuhi syarat kesehatan,
tetapi apabila peruntukannya tidak sesuai maka akan menganggu kesehatan.
3. Pemeliharaan bangunan akan mempengaruhi terjadinya penyakit.
Selain yang tersebut di atas, rumah sehat harus memiliki unsur tersebut di
bawah ini :
1. Komponen bangunan rumah seperti atap, dinding, jendela, pintu, lantai,
dan pondasi.
2. Fasilitas kelengkapan bangunan rumah seperti sarana air bersih, selokan,
kakus, tempat pembuangan sampah, dan fasilitas penerangan.
3. Penataan bangunan rumah seperti perencanaan ruang, dan konstruksi
bangunan rumah.
4. Aturan membangun dan kerukunan bertetangga serta perawatan rumah.
33
2.4 Tinjauan Umum Sumber Daya
Tenaga pelaksana
Tenaga pelaksana merupakan petugas klinik sanitasi yang berperan aktif di
dalamnya seperti tenaga inti ahli di bidang kesehatan lingkungan (sanitarian),
tenaga pendukung seperti tenaga kesehatan lainnya yaitu bidan, perawat kesehatan
masyarakat, petugas gizi dan petugas lainnya. Tenaga-ternaga tersebut di atas,
perlu mendapatkan pengetahuan/organisasi tentang klinik sanitasi.
34
2.5 Kerangka Pikir
Gambar 2.5 Kerangka Pikir
KLINIK SANITASI
Sanitasi dasar Perumahan
Biologi Fisik
Virus, Bakteri
Terjadi melalui
aerosol, droplet
Kontak langsung
dengan penderita
Tipe Rumah
Ventilasi
Kamarisasi
Kepadatan
hunian
Kondisi fisik rumah
Kusades/Tindak Lanjut
Tidak Melaksanakan saran
Pasien/Penderita
Kusades/Tindak Lanjut
Tidak Melaksanakan saran
Klien
Tenaga Inti di Bidang Kesling
Sumber Daya
Kejadian Penyakit
ISPA
Sanitasi dasar SAB Sanitasi dasar JAGA
mikroorganisme
Jenis sarana
air bersih
Kualitas air
bersih
Jenis sarana
Status
kepemilikan
35
2.6 Kerangka Konsep
Gambar 2.6 Kerangka Konsep
Variabel yang di teliti yaitu kondisi fisik rumah penderita ISPA yang meliputi
tipe rumah, ventilasi, kamarisasi dan kepadatan hunian setelah pelaksanaan klinik
sanitasi.
Perumahan
Tipe rumah
Ventilasi
Kamarisasi
Kepadatan hunian
Sumber Daya
Tenaga pelaksana
(sanitarian).
KLINIK SANITASI